Anda di halaman 1dari 33

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

DEMAM TIFOID

Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang


1. Pengertian (Definisi) disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi.1

1. Prolonged fever (38,8°-40,5°C)


2. Sakit kepala
3. Menggigil
4. Batuk
5. Berkeringat
2. Anamnesis 1
6. Myalgia
7. Malaise
8. Arthralgia
9. Gejala gastrointestinal: anoreksia, nyeri abdomen, mual,
muntah, diare, konstipasi.
1. Suhu badan meningkat.
2. Bradikardi relative (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8x/menit)
3. Lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung
merah serta tremor)
3. Pemeriksaan Fisik 1
4. Hepatomegali
5. Splenomegaly
6. Meteorismus
7. Gangguan mental: somnolen, stupor, koma, delirium
atau psikosis.
1. Suhu badan meningkat.
2. Gejala gastrointestinal: anoreksia, nyeri abdomen, mual,
muntah, diare, konstipasi.
3. Bradikardi relative
4. Lidah yang berselaput
4. Kriteria Diagnosis 1 5. Uji Widal

Kriteria rawat inap5:


1. Pasien dengan muntah persisten
2. Diare hebat hingga muncul tanda dehidrasi
3. Distensi abdomen
5. Diagnosis Kerja Demam Tifoid
1. Demam dengue
6. Diagnosis Banding5 2. Malaria
3. Enteritis bacterial
Laboratorium
1. Darah perifer lengkap sering: leukopenia, anemia dan
trombositopenia.
2. Uji Widal: bila kenaikan 4 kali titer antibody O dan H
Pemeriksaan pada specimen yang diambil pada jarak 2 minggu
7.
Penunjang1,2,3,4,5 3. Kultur darah, feses dan urin
4. Uji TUBEX
5. Typhidot
6. Dipstick
7. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
Trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
1. Diet (pemberian makanan padat dini, menghindari
sementara sayuran yang berserat)
2. Terapi penunjang (simptomatik)
3. Pemberian antimikroba

Pemberian antimikroba pilihan utama:


1. Kloramfenikol 4x500 mg (50-70 mg/KgBB) 14-21 hari
atau sampai dengan 7 hari bebas demam.

Alternatif lain:
1. Tiamfenikol 4x500 mg
2. Kotrimoksazol 2x960 mg selama 2 minggu
Tata Laksana4,6 3. Ampisilin dan amoksisillin 50-150 mg/Kg BB selama 2
minggu
4. Sefalosporin generasi III: seftriakson 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc selama ½ jam per-infus sekali sehari,
selama 3-5 hari
5. Sefotaksim 2-3x1 gram, Sefoperazon 2x1 gram
6. Fluorokuinolon
 Norfloksasin 2x400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin 2x500 mg/hari (15 mg/KgBB)
selama 5-7 hari
 Ofloksasin 2x400 mg/hari (15 mg/KgBB) selama 5-
7 hari
 Perfloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
 Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari

1. Edukasi mengenai kebersihan air, makanan, dan sanitasi


9. Edukasi6
2. Vaksinasi

Jika tidak diobati, angka kematian pada demam tifoid 10-


20%, sedangkan pada kasus yang diobati angka mortalitas
tifoid sekitar 2%. Kebanyakan kasus kematian berhubungan
10
Prognosis dengan malnutrisi, balita, dan lansia. Pasien usia lanjut atau
.
pasien debil prognosisnya lebih buruk. Bila terjadi
komplikasi, maka prognosis semakin buruk. Relaps terjadi
pada 25% kasus.
11
Tingkat Evidens
.
12
Tingkat Rekomendasi
.

13
Penelaah Kritis
.

14
Indikator (Outcome)
.
1. Peters CJ. Infections Caused by Arthopod and Rodent
Borne viruses, In: Longo Fauci Kasper, Harrison’s
Principles of Internal Medicine 17th edition. United
States of America. McGrow Hill. 2008
2. Widodo D. demam Tifoid. Buku Ajar penyakit Dalam.
Edisi 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam;
2797-2805.
3. Parry Christopher M, Hien Trans tinh. Thyphoid fever. N
Engl J Med 2002; 347: 1770-1782
15 4. Herath. Early Diagnosis of Typhoid Fever by the
Kepustakaan
. detection on Salivary IgA. J Clin Pathol 2003: 56: 694-
698
5. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary D,
editors. Panduan Praktik Klinis Penatalaksanaan di
Bidang ilmu Penyakit Dalam. Indonesia. Interna
Publishing. 2015. P892-898.
6. Background document: The diagnosis, and prevention of
typhoid fever. Communicable Disease Surveillance and
Response vaccines and Biologicals. World Health
Organization. 2003

Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam

Dr. I Putu Agus Lastya Eka Permana, M.Biomed, Sp.PD


DITETAPKAN PADA:
3 JUNI 2019 Mengetahui,
Ketua Komite Medik RSU Famili Husada,

Dr. I Ketut Gede Arta Bujangga, Sp.OT


PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

GAGAL JANTUNG

Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang terjadi


karena abnormalitas struktur dan/atau fungsi jantung
yang diturunkan atau didapatkan sehingga mengganggu
kemampuan pompa jantung.
1. Pengertian (Definisi)1-4
Gagal jantung kronik/kongstif adalah suatu kondisi
patofisiologis terdapat kegagalan jantung memompa
darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan, terjadi
sejak lama.
1. Fatigue
2. Dyspnea
3. shortness of breath
2. Anamnesis1 4. Keluhan saluran pencernaan: anoreksia, nausea, dan
rasa penuh.
5. Jika berat dapat terjadi konfusi, disorientasi,
gangguan pola tidur dan mood.
1. Sesak
2. Irama gallop saat auskultasi jantung
3. Kongesti paru: ronki basah pada kedua basal paru.
4. Peningkatan vena jugular akibat adanya tekanan
3. Pemeriksaan Fisik1
pada abdomen
5. Pada abdomen: hepatomegal, asites,
6. Ikterus karena fungsi hepar yang terganggu.
7. Edema ekstremitas yang umumnya simetris
Berdasarkan klasifikasi NYHA 2,3
 Class I: pasien dengan penyakit jantung tanpa
keterbatasan aktivitas. Aktivitas biasa tidak
menyebabkan fatigue, dyspnea, atau nyeri angina.
 Class II: penderita penyakit jantung dengan
keterbatasan ringan pada aktivitas fisik. Aktivitas
4. Kriteria Diagnosis
biasa menyebabkan fatigue, dyspnea, atau nyeri
angina; yang hilang dengan istirahat.
 Class III: penderita penyakit jantung dengan
keterbatasan pada aktivitas fisik. Sedikit aktifitas
menyebabkan fatigue, dyspnea, atau nyeri angina;
hilang dengan istirahat.
 Class IV: penderita penyakit jantung dengan
ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik. Keluhan
gagal jantung atau sindrom angina mungkin masih
dirasakan meskipun saat istirahat. Jika melakukan
aktivitas fisik, rasa tidak nyaman bertambah.

Pertimbangan rawat inap pada pasien gagal jantung:3


1. Tidak membaik dengan pemberian regimen sodium
atau setelah pembatasan cairan
2. Iskemik miokard akut
3. Tekanan darah tinggi yang tidak mengalami
perbaikan
4. Atrial fibrilasi atau aritmia lainnya
5. Setelah pemberian obat penghambat inotropic
(contoh: verapamil, nifedipin, diltiazem, penyekat
beta)
6. Emboli paru
7. Pemberian Non-steroid anti-inflammantory disease
(NSAID)
8. Penggunaan alcohol dan obat terlarang yang
berlebihan
9. Kelainan endokrin (contoh: diabetes mellitus,
hipertiroid, hipotiroid)
10. Infeksi (contoh: pneumonia, infeksi virus)

5. Diagnosis Kerja Gagal Jantung Kronik

1. Acute respiratory distress syndrome


6. Diagnosis Banding
2. gagal ginjal.
1. Laboratorium : DPL, elektrolit, urea, kreatinin, gula
darah, albumin, enzim hati. (1C)
2. Analisa gas darah
3. Natriuretic peptide (B type natriuretic peptides/BNP
atau NT-pro BNP)
7. Pemeriksaan Penunjang4
4. Elektrokardiografi
5. Foto toraks
6. Ekokardiografi
7. Exercise Testing
8. Ultrasonografi (2bB)
1. Pasien HF yang dirawat dengan overload cairan
sebaiknya diterapi dengan diuretik IV. Pasien HF
8. Tata Laksana1,3,4
dengan terapi loop diuretic sebaiknya mendapatkan
dosis terapi IV yang sama atau lebih tinggi daripada
dosis diuretic harian. Diuretik, bertujuan untuk
mencapai tekanan vena jugularis normal dan
menghilangkan edema. (1B)
 Furosemide 1-2x20-440 mg dosis maksimun
500 mg/hari,
 Bumetadin 1-2x0,5-1,0 mg dosis maksimum 10
mg/hari,
 Torasemid 1x10-20 mg dosis maksimun 200
mg/hari.
 Hidroklorotiazid 1-2x25 qd dosis maksimum
100 mg/hari,
 Metolazon 1x2,5 qd atau bid dosis maksimum
20 mg/hari,
 Indapamid 1x25 mg,
 Ailorid 1x5 mg dosis maksimum 40 mg/hari,
 Triamteren 2x50 mg dosis maksimum 200 mg
 Spironolakton 1x1,50-50 qd dosis maksimum
100-200 mg/hari
Ketika diuresis tidak adekuat, dapat diberikan dosis
loop diuretin IV yang lebih tinggi atau tambahkan
diuretic kedua (contoh: Thiazide). (2aB)

2. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan


aktivasi neurohormonal, dan pada gagal jantung
yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
 Captopril dosis pemeliharaan 25-50 mg tid,
 Benazepil 5-10 mg bid
 Enalapril 10 mg bid
 Lisinopril 5-20 mg/hari
 Ramipril 2,5-5 mg bid
 Trandolapril 4 mg qd.

3. Penyekat beta, memiliki manfaat yang sama dengan


penghambat ACE. Pemberian terapi penyekat beta
dimulai dengan dosis rendah setelah status volume
cairan tertangani. (1B)
 Carvedilol dosis pemeliharaan 12,5-50 bid
 Bisoprolol 2-10 qd
 Metoprolol suksinat 10-30 mg.

4. Angiotensin II antagonis reseptor digunakan bila ada


kontraindikasi penggunaan penghambat ACE
 Valsatran dosis pemeliharaan 80-320 mg
 Candesartan 4-32 mg
 Irbesartan 150-300 mg
 Lasartan 50-100 mg.

5. Kombinasi hidralazin dengan isosorbite dinitrat


untuk pasien yang intoleran terdapat penghambat
ACE.
6. Digoksin untuk pasien gagal jantung disfungsi
sistolik ventrikel kiri terutama dengan fibrilasi atrial.
Dosis 0,125 qd dosis maksimal 0,375qd
7. Antikoagulan dan antiplatelet. Pemberian profilaksis
thrombosis/thromboembolism disarankan pada
pasien HF yang dirawat. (1B)
8. Hindari antiaritmia dan antagonis kalsium
9. Pemakaian alat dan tindakan bedah:
9. Edukasi
Angka kematian dalam 1 tahun setelah terdiagnosis
mencapai 30-40%, sedangkan dalam 5 tahun 60-70%.
Kematian disebabkan karena perburukan klinis
10. Prognosis mendadak yang kemungkinan disebabkan karena
aritmia ventrikel. Berdasarkan klasifikasinya, NYHA
kelas IV mempunyai angka kematian 30-70%,
sedangkan NYHA kelas II 5-10%.1

11. Tingkat Evidens

12. Tingkat Rekomendasi

13. Penelaah Kritis

14. Indikator (Outcome)


1. Anil Chandraker A. Heart Failure. In: Fauci A,
Kasper D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
Loscalzo J, editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 18th ed. United States of America; The
McGraw-Hill Companies, 2012. Chapter 234
2. Pangabean M. gagal jantung. Dalam: Alwi I, Setiati
S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW,
editors. Buku Ajar Ilmu penyakit dalam Jilid III Edisi
IV. Jakarta: Interna Publishing; 2006; Hal 1513-
1514.
3. Gary S, Francis, Theodore G. Ganiats, Marvin A,
Konstam. 2009 Focused Update: ACCF/AHA
15. Kepustakaan
Guidelines for the Diagnosis and Management of
Heart Failure in Adults; 2009 Wrint Group to Review
New Evidence and Update the 2005 Guidelines for
the Management of Patients with Chronic Heart
Failure Writing on Behalf the 2005 Heart Failure
Writing. Circulation. 2009; 119: 1977-2016. Diunduh
dari http://circ.ahajournals. Org/content/119/14/1977
pada tanggal 19 Juni 2012
4. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary
D, editors. Panduan Praktik Klinis Penatalaksanaan
di Bidang ilmu Penyakit Dalam. Indonesia. Interna
Publishing. 2015. P594-605.
Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam

Dr. I Putu Agus Lastya Eka Permana, M.Biomed,


Sp.PD
DITETAPKAN PADA:
3 JUNI 2019
Mengetahui,
Ketua Komite Medik RSU Famili Husada,

Dr. I Ketut Gede Arta Bujangga, Sp.OT


PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

PNEUMONIA DIDAPAT DI MASYARAKAT


Pneumonia adalah peradangan yang mengenai
parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang
mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoulus,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
pertukaran gas setempat.1
1. Pengertian (Definisi)
Pneumonia didapat di masyarakat atau Community-
Acquired Pneumonia (CAP): Pneumonia pada individu
yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48
jam sejak masuk rumah sakit.1
1. Demam
2. Fatique
3. Malaise
4. Sakit kepala
5. Myalgia
2. Anamnesis2
6. Arthralgia
7. Batuk produktif/batuk tidak produktif dengan
sputum purulent, bisa disertai darah
8. Sesak napas
9. Nyeri dada
1. Demam
2. Sesak napas (berbicara dengan kalimat terpengal)
3. Pemeriksaan Fisik2 3. Perkusi paru pekak
4. Ronki nyaring
5. Suara pernapasan bronchial.
Kriteria rawat jalan3:
1. Tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor
modifikasi (Grup I)
2. Terdapat riwayat penyakit kardiopulmonal dan/ atau
faktor modifikasi (Grup II)
Faktor modifikasi: penyakit jantung, hati, atau ginjal
4. Kriteria Diagnosis yang kronis, diabetes mellitus, alkoholik, keganasan,
asplenia, imunokompromais menggunakan antibiotik
dalam 3 bulan terakhir, adanya risiko streptococcus
pneumonia resisten obat.

Kriteria rawat inap (Grup III)2:


Jika terdapat kriteria CURB-65 ≥ 2
1. Confusion
2. Uremia (BUN > 19 mg/dL or 7 mmol/L)
3. Respiratory rate (> 30x/menit)
4. Blood preassure (diastolik < 60 or sistolik < 90
mmHg)
5. 65 tahun atau lebih
Atau tidak mendapatkan perawatan yang baik di rumah

Kriteria rawat ICU (Grup IV)4:


1. Ditemukan 1 diatara 2 kriteria mayor:
 Memerlukan ventilasi mekanik
 Syok septik dan memerlukan obat vasopressor
2. Atau ditemukan 3 kriteria minor
 Laju napas > 30x/menit
 PaO2/FiO2 rasio < 250
 Infiltrat multilobus
 Konfusi
 Blood urea nitrogen (BUN) > 20 mg/dL
 Leukopenia (leukosit < 100.000 mm3)
 Hipotermi (suhu tubuh < 36°C)
 Hipotensi, memerlukan terapi cairan agresif
Pneumonia didapat di Masyarakat atau Community
5. Diagnosis Kerja
Acquired Pneumonia (CAP)
1. Bronkitis akut
2. Bronchitis kronis eksaserbasi akut
6. Diagnosis Banding2 3. Gagal jantung
4. Emboli paru
5. Pneumonitis radiasi
1. Rontgen thorax (1A)
2. CT Scan thorax (2A)
3. Pulse Oxymetry
4. Laboratorium rutin: DPL, hitung jenis, LED,
glukosa darah, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT (3A)
5. Analisa gas darah, elektrolit (3A)
Pemeriksaan
7. 6. Pewarnaan gram sputum (2A)
Penunjang1,2,7
7. Kultur sputum (2A)
8. Kultur darah (2A)
9. Pemeriksaan serologis (2A)
10. Pemeriksaan antigen (2A)
11. Pemeriksaan polymerase chain reaction (CPR)
(1A)
12. Tes invasive (torakosintesis, aspirasi transtrakheal,
bronkoskopi, aspirasi jarum transtorakal, biopsy
paru terbuka dan thorakoskopi. (1A)
Rawat jalan:
1. Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan
minum banyak cairan
2. Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan
parasetamol
3. Ekspektoran/mukolitik
4. Nutrisi tambahan pada penyakit yang
berkepanjangan
5. Control setelah 48 jam atau lebih bila diperlukan
6. Bila tidak membaik dalam 48 jam;
dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau
dilakukan foto thoraks
7. Antibiotik:
 Grup I: Makrolid (Azithromycin 1x500 mg PO
lalu 1x250 mg PO, atau Erythromycin 4x500
mg PO, Doxycycline 2x100 mg PO (1A)
 Grup II:
 Flouroquinolone (maxifloxacin 1x400 mg
PO, gemifloxacin atau levofloxacin 1x500
8. Tata Laksana3,4,5,8 mg PO/IV) (1A)
 B-lactam + makrolid (pilihan: amoxicillin
dosis tinggi 3x1 gram IV atau
amoxicillin-clavulanate 2x2 gram, atau
alternative ceftriaxone 1x1 gram IV,
cefpodoxime 2x200 mg PO, dan
cefuroxime 2x500 mg PO atau 3x750-
1500 mg IV dengan doxycycline
(makrolid alternative) (1A)

Rawat Inap
1. Oksigen, bila perlu dengan pematauan saturasi dan
konsentrasi oksigen inspirasi
2. Terapioksigen pada pasien dengan penyakit dasar
PPOKdengan komplikasi gagal napas dituntun
dengan pengukuran analisis gas darah berkala
3. Cairan: bila perlu dengan cairan intravena
4. Nutrisi
5. Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan
parasetamol
6. Ekspektoran/mukolitik
7. Foto thoraks diulang pada pasien yang tidak
menunjukkan perbaikan yang memuaskan
8. Terapi antibiotik (Grup III):
 Fluoroquinolon
 B-lactam + makrolid (b-lactam pilihan:
cefotaxime, ceftriaxone, dan ampicillin,
erapenem (untuk pasien tertentu) dengan
doxycycline 4x500-1000 mg IV (alternative
makrolid). Jika alergi penicillin gunakan
fluoroquinolon. (1A)

Rawat di ICU
1. Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi secret,
mengambil sampel untuk kultur guna penelusuran
mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan
endobronkial.
2. Terapi antibiotik (Grup IV):
 B-lactam (cefotaxime, ceftriaxone, atau
ampicillin-sulbactam) + azithromycin atau
fluoroquinolone (jika alergi penicillin gunakan
fluoroquinolone atau aztrenonam) (2A)
 Jika ada risiko infeksi pseudomonas, gunakan
antipneumococcal, antipseudomonal b-lactam
(piperacillin- tazobactam, cefepime,
ciprofloxacin atau levofloxacin 750 mg atau
b-lactam + aminoglikosida + azithromycin
atau b-lactam plus + aminoglycoside +
antipneumococcal fluoroquinolone (untuk
alergi penicillin ganti b-lactam dengan
aztreonam) (2A)

Tatalaksana antibiotik:
1. Terapi antibiotik diberikan selama 5 hari untuk
pasien rawat jalan dan 7 hari untuk pasien rawat
inap. (1A)
2. Syarat untuk alih terapi antibiotik intravena ke oral
(ATS 2007): Hemodinamik stabil dan gejala klinis
membaik (2A)
9. Edukasi
Mortalitas pasien CAP yang dirawat jalan <1%, yang
dirawat inap di rumah sakit 5,7-14%, yang dirawat di
10. Prognosis
ICU >30%.4 mortalitas pasien dengan nilai CURB-
65=0 adalah 1,2%, 3-4 adalah 31%.5
11. Tingkat Evidens

12. Tingkat Rekomendasi


13. Penelaah Kritis
Kriteria klinis stabil: suhu ≤ 37,6°C, laju nadi ≤
100x/menit, laju napas ≤ 24x/menit, tekanan darah
sistolik ≥ 90 mmHg, saturasi oksigen arteri ≥ 90% atau
PaO2 > 60 mmHg pada udara ruangan, dapat
Indikator
14. memelihara asupan oral, status kesadaran compos
(Outcome)3,4,5,8
mentis. (2A)
Kriteria pasien dipulangkan: klinis stabil, tidak ada
masalah medis aktif, memiliki lingkungan yang sesuai
untuk rawat jalan.
1. Dahlan, Zul. Pneumonia. Dalam: Sudoyo, Aru W.
setyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata,
Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dlama. Jilid III. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2009.p2196-2206
2. Dahlan Z. pneumonia Bakterial, Dalam: amin Z,
Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan
Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit
Kritis Paru.
3. Pneumonia, Dalam: Fauci A, Kasper D, Lango D,
Braunwald D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison’s principles of internal medicin.
15. Kepustakaan
18th ed. United States of America; The McGrow-Hill
Companies, 2011.
4. American Thoracic Society. Guidelines for the
Management of Adults with Community-Acquired
Pneumonia: Diagnosis, Assesment of Severity,
Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J
Respair Crit Care Med.2001;163:1730-54.
5. Mandell, Lionel A. Et all. Infectious Disease Society
of America. American Toracic Society Consensus
Guidelines on the Management of Communty-
Aquired Pneumonia in Adults. CID 2007: 44 (Suppl
2). Diunduh dari:
http://www.thoracic.org/statements/resources/mtpi/i
dsaats-cap.pdf. Pada tanggal 29 mei 2012.
6. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary
D, editors. Panduan Praktik Klinis Penatalaksanaan
di Bidang ilmu Penyakit Dalam. Indonesia. Interna
Publishing. 2015. P774-779.
7. Guidelines for Diagnosis and Management of
Community and Hospital Acquired Pneumonia in
Adults: Joint ICS/NCPP (I) Recommendations. 2012
Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam

Dr. I Putu Agus Lastya Eka Permana, M.Biomed,


Sp.PD
DITETAPKAN PADA:
3 JUNI 2019
Mengetahui,
Ketua Komite Medik RSU Famili Husada,

Dr. I Ketut Gede Arta Bujangga, Sp.OT


PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

ST ELEVATION MYOCARDIAL INFRACTION (STEMI)


Menurut ACC/AHA STEMI Guidelines 2004, STEMI
1. Pengertian (Definisi) adalah elevasi segmen ST > 1 mm pada 2 lead
berturut turut (baik precordial atau limb leads 1
1. Nyeri visera seperti terbakar atau tertusuk di dada
tengah atau epigastrium, terkadang menjalar ke
langan, dapat juga ke perut, punggung, rahang
bawah, dan leher, biasanya terjadi pada saat
istirahat
2. Anamnesis1
2. Lemah
3. Nausea
4. Keringat
5. Muntah
6. Ansietas
1. Pucat
2. ekstremitas teraba dingin
3. takikardi dan atau hipertensi (pada anterior
infark)
4. bradikardi dan atau hipotensi (posterior infarc).
5. Terdapat bunyi jantung III dan IV
3. Pemeriksaan Fisik1
6. Penurunan intensitas bunyi jantung,
7. Paradoxical splitting pada bunyi jantung II
8. Transient midsystolic atau late systolic apical
systolic murmur akibat disfungsi katup mitral.
9. Pericardial friction rub pada transmural STEMI.
10. Pulsasi karotis menurun
1. Nyeri visera seperti terbakar atau tertusuk di dada
tengah atau epigastrium, terkadang menjalar ke
langan, dapat juga ke perut, punggung, rahang
bawah, dan leher, biasanya terjadi pada saat
4. Kriteria Diagnosis3 istirahat
2. EKG: elevasi segmen ST dengan gelombang Q
3. Serum cardiac biomarkers: Cardiac-spesific
troponin T (cTnT) dan cardiac-spesific troponin I
(cTnI) meningkat
5. Diagnosis Kerja ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)

6. Diagnosis Banding1 1. Unstable angina


2. Non ST Elevation Myocardial Infraction,
3. pericarditis dengan miokard infark
4. kor pulmonal akut
5. kontusio miokard
6. dressler’s syndrome.
1. EKG: elevasi segmen ST dengan gelombang Q
(1C)
2. Serum cardiac biomarkers: Cardiac-spesific
troponin T (cTnT) dan cardiac-spesific troponin I
(cTnI) meningkat > 20 kali dari nilai normal
tertinggi dan bertahan 7-10 hari setelah STEMI
7. Pemeriksaan Penunjang1,4 (1C)
3. Ekokardiografi: infark ventrikel kanan, aneurisma
ventrikel, efusi pericardial, dan thrombus vena
kiri. Doppler ekokardiografi untuk deteksi dan
kuantitas defek septum ventrikel dan regurgitasi
mitral (2aB)
4. Cardiac MRI (1B)
Pada ruang emergensi
1. Aspirin: 160 mg (1A) -325 mg (1C) tablet buccal,
lanjutkan 75-162 mg/hari.

2. Jika hipokalsemia, berikan suplementasi O2 2-4


L/menit selama 6-12 jam. (1B)

3. Kontrol ketidaknyamanan
a. Nitrogliserin sublingual 3x0,4 mg dengan jeda
5 menit. Bila gejala tidak hilang berikan
nitrogliserin intravena. (1C)
b. Morfin 2-4 mg intravena, dapat diulang
8. Tata Laksana 1,2,3,4
sampai 3 kali dengan jeda 5 menit. (1C)
c. Betablocker IV: Metroprolol 5 mg, 2-5 menit
sebanyak 3 kali. 15 menit setelah dosis ke-3,
berikan 4-50 mg PO selama 2 hari, lalu 2x100
mg. Atenolol: 2,5-5 mg selama 2 menit, total
10 mg selama 10-15 menit. Bisoprolol 1x2,5-
10 mg. (1B)

4. Terapi revaskualarisasi
Jika tidak tersedia sarana Intervensi Koroner
Perkutan (IKP) atau tidak mungkin mengerjakan
IKP primer < 2 jam.
a. Terapi fibrinolysis. (1B)
 Waktu pemberian: efektifitas menurun
dengan lamanya waktu, terutama bila > 3
jam setelah onset.
 Indikasi: serangan < 12 jam, elevasi
segmen ST ≥ 0,1 mV (≥ 1 mm)dalam 2
lead berturut turut atau adanya Left Bundle
Branch Block (LBBB).
 Kontraindikasi:
Absolut: neoplasma intracranial,
aunerisma, malformasi arteri vena, strok
non hemoragik atau trauma kepala
tertutup selama 3 bulan terakhir,
perdarahan internal aktif atau adanya
perdarahan diastasis, curiga diseksi aorta.
Relatif: hipertensi berat dengan tekanan
darah sistol > 180 atau diastole > 110
mmHg, strok iskemik, resusitasi kardio
pulmonal yang lama > 10 menit, trauma
atau operasi besar dalam 3 minggu
terakhir, perdarahan interna dalam 2-4
minggu terakhir, noncompressible
vascular puncture, kehamilan,
menggunakan antikoagulan.
 Tissue Plasminogen Activator (tPA): 15
mg bolus IV, lanjutkan 50 mg selama 30
menit lalu 35 mg selama 60 menit.
 Streptokinase: 1,5 juta unit IV selama 1
jam
 Tenecteplase (TNK): 0,53 mg/Kg IV bolus
 Reteplase (rPA): 2x10 juta unit bolus
dalam 2-3 menit, jeda 30 menit antara
dosis pertama da kedua.
b. Intervensi Koroner Perkutan (IKP): jika
tersedia sarana IKP dan IKP bisa dikerjakan
< 2 jam, jika tidak bisa diberikan fibrinolitik.
(1A)

5. Antiplatelet
 Aspirin 162-325 mg
 Clopidogrel 300-600 mg (1C)
 Prasugrel 60 mg (1B)
Antiplatelet diberikan selama 5-7 hari, kecuali
bila akan dilakukan revaskularisasi emergency.
Pemberian antiplatelet meningkatkan risiko
perdarahan.

6. Antithrombotic
 UFH bolus 60 U/KgBB IV, dosis maksimal
4000 U IV; Infus pertama 12 U/KgBB per
jam, maksimal 1000 U/jam
 LMWH
Diberikan selama 48 jam atau sampai
mendapatkan terapi reperfusi. Antitrombotik
diberikan pada pasien dengan risiko tinggi emboli
sistemik (Infark miokard anterior atau Infark
miokard yang luas, atrium fibrilasi, riwayat
emboli sebelumnya, adanya LV thrombus, atau
syok kardiogenik) (IC)

7. Glycoprotein IIb/IIIa inhibitors (GP IIb/IIIa


inhibitors): berkerja menghambat agregasi
trombosit. (2aA)
8. ACE Inhibitor untuk hipertensi, akut miokard
indark anterior, atau disfungsi ventrikel kiri:
captopril 3x6,25 mg, mulai dalam waktu 24 jam
atau ketika stabil (tekanan darah sistolik > 100
mmHg). (1A)
9. Lipid-lowering agent (jika LDL > 70-100 mg/dL,
total cholesterol > 135 mg/dL): Atorvastatin 10-
80 mg/hari, rosuvastatin 20-40 mg/hari.

9. Edukasi

Terapi jangka panjang dengan anti platelet agent


10. Prognosis (biasanya aspirin) mengurangi angka kekambuhan
STEMI sebesar 25%1

11. Tingkat Evidens

12. Tingkat Rekomendasi

13. Penelaah Kritis


14. Indikator (Outcome)

1. ST Elevation Miocard Infark. Dalam: Fauci A,


Kasper D, Braunwald E, Hauser S, Jamesan J,
Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of
Internal Medicine. 18th ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011.
2. Boyle, Andrew J. Jaffe, Allan S. Acute
Myocardial Infraction. Dalam: Crawford,
Michael H. Current Diagnosis & Treatment
Cardiology 3rd edition. The MacGraw Hlls
15. Kepustakaan Company. 2009
3. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J,
Tahapary D, editors. Panduan Praktik Klinis
Penatalaksanaan di Bidang ilmu Penyakit Dalam.
Indonesia. Interna Publishing. 2015. P564-568.
4. Wright, R Scott.2011 ACCF/AHA Focused
Update of the Guidelines for the Management of
patients With Unstable Angin/Non-ST-Elevation
Myocardial Infraction (Updating the 2007
Guideline).
Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam

Dr. I Putu Agus Lastya Eka Permana, M.Biomed,


Sp.PD
DITETAPKAN PADA:
3 JUNI 2019
Mengetahui,
Ketua Komite Medik RSU Famili Husada,

Dr. I Ketut Gede Arta Bujangga, Sp.OT


PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

DIABETES MELITUS
1. Pengertian Suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia
(Definisi) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-
duanya.
2. Anamnesis Keluhan
a. Polifagia
b. Poliuri
c. Polidipsi
d. Penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya

Keluhan tidak khas DM :


a. Lemah
b. Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstremitas)
c. Gatal
d. Mata kabur
e. Disfungsi ereksi pada pria
f. Pruritus vulvae pada wanita
g. Luka yang sulit sembuh

Faktor resiko DM tipe 2 :


a. Berat badan lebih dan obese (IMT≥25 kg/m2)
b. Riwayat penyakit DM di keluarga
c. Hipertensi
d. Pernah didiagnosis penyakit jantung atau stroke
(kardiovaskuler)
e. Kolesterol HDL <35mg/dl dan / atau Trigliserida >250mg/dl
atau sedang dalam pengobatan dyslipidemia
f. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4000gram atau pernah
didiagnosis DM gestational
g. Perempuan dengan riwayat PCOS
h. Riwayat GDPT /TGT
i. Aktivitas jasmani yang kurang
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya

Faktor Predisposisi
a. Usia >45 tahun
b. Diet tinggi kalori dan lemak
c. Aktivias fisik yang kurang
d. Hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg)
e. Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT)
f. Penderita penyakit jantung coroner , tuberculosis ,
hipertiroidime
g. Dyslipidemia
4. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klasik DM (polyuria , polydipsia, polifagia) + glukosa plasa
sewaktu ≥ 200mg/dl. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil
pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu
makan terakhir. ATAU
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa ≥126mg/dl. Puasa
diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
ATAU
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa terganggu
(TTGO) ≥200mg/dl . TTGO dilakukan dengan standard WHO ,
menggunakan beban glukosa anhidrus 75gram yang dilarutkan
dalam air. ATAU
4. HbA1c *

*) Penentuan diagnosis DM berdasarkan HbA1c ≥ 6,5% belum dapat


di gunakan secara nasional di Indonesia,mengingat standarisasi
pemeriksaan yang masih belum baik.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM ,


maka dapat digolongkan kedalam kelompok TGT atau GDPT
tergantung dari hasil yang diperoleh.

Kriteria gangguan toleransi glukosa :


a. GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa di dapatkan antara 100 – 125 mg/dl
b. TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO kadar glukosa
plasma 140 – 199 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75
gram
c. HbA1c 5,7 – 6,4% *

Klasifikasi DM :
a. DM tipe 1
1. DM pada usia muda <40 tahun
2. Insulin dependent akibat destruksi sel :
- Immune-mediated
- Idiopatik
b. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari yang predominan resistensi
insulin dengan defisiensi insulin relative – dominan defek
sekresi insulin disertai resistensi insulin)
c. Tipe lain :
1. Defek genetic pada fungsi sel β
2. Defek genetic pada kerja insulin
3. Penyakit eksokrin pancreas
4. Endokrinopati
5. Akibat obat atau zat kimia tertentu, misalnya vacor ,
pentamidine , nicotinic acid ,glukokortikoid , hormone
tiroid , diazoxide , agonis adrenergic ,thiazid, phenytoin ,
interferon, protease inhibitors ,clozapine.
6. Infeksi
7. Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM
8. Sindrom genetic lain , yang kadang berhubungan dengan
DM
d. DM gestational
DM Gestational adalah suatu gangguan toleransi karbohidrat
(TGT ,GDPT , DM) yang terjadi atau diketahui pertama kali
pada saat kehamilan sedang berlangsung.
Skrining
Dilakukan sejak kunjungan pertama untuk pemeriksaan
kehamilan.
Faktor resiko DMG meliputi :
a. Riwayat DMG sebelumnya atau TGT atau GDPT
b. Riwayat keluarga dengan diabetes
c. Obesitas berat (>120% berat badan ideal)
d. Riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan atau dengan
berat badan lahir >4000gr
e. Abortus berulang
f. Riwayat PCOS
g. Riwayat Preeclampsia
h. Glukosuria
i. Infeksi saluran kemih berulang atau kandidiasis

Pada wanita hamil yang memiliki resiko tinggi DMG perlu


dilakukan tes DMG pada minggu ke 24 – 28 kehamilan

Bukan Belum DM
DM pasti DM
kadar glukosa darah sewaktu
Plasma Vena <110 110 - 199 >200
Darah kapiler <90 90 - 199 >200
Kadar glukosa darah puasa
Plasma Vena <110 110 - 125 >126
Darah kapiler <90 90 - 109 >110

Komplikasi
a. Akut :
1. Ketoasidosis diabetic
2. Hiperosmolar non ketotik
3. Hipoglikemia
b. Kronik :
1. Makroangiopati
2. Pembuluh darah jantung
3. Pembuluh darah perifer
4. Pembuluh darah otak
c. Mikroangiopati
1. Pembuluh darah kapiler retina
2. Pembuluh darah kapiler renal
d. Neuropati
e. Gabungan
1. Kardiomiopati
2. Rentan infeksi
3. Kaki diabetic
4. Disfungsi ereksi

5. Diagnosis Diabetes Insipidus pada ibu hamil


Banding
6. Pemeriksaan 1. Gula darah puasa
Penunjang 2. Gula darah 2 jam Post Prandial
3. HbA1c
7. Terapi Pengobatan pada DM disesuaikan dengan kelainan dasar yang terjadi,
seperti :
 Resistensi insulin pada jaringan lemak , otot, dan hati
 Kenaikan produksi glukosa oleh hati
 Kekurangan sekresi insulin oleh pancreas

OHO
a. Sulfonilurea
Obat golongan sulfoniurea bekerja dengan cara :
- Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan
- Menurunkan ambang sekresi insulin
- Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa.
Obat ini biasa diberikan pada pasien dengan berat badan normal
dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.
Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi
renal dan orang tua karena resiko hipoglikemia yang
berkepanjangan, demikian juga glibenklamid. Untuk orang tua
dianjurkan preparat dengan waktu kerja pendek (tolbutamid ,
glikuidon). Glikuidon juga diberikan pada pasien DM dengan
gangguan fungsi ginjal atau hati ringan.

b. Biguanid
Biguanid menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai
dibawah normal. Preparat yang ada dan aman adalah
metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi tinggi
didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat
dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya prose tersebut
maka metformin biasa diberikan 2 – 3 kali sehari kecuali dalam
bentuk extended release. Pengobatan dosis maksimal dapat
menurunkan A1C sebesar 1 – 2 %. Efek samping yang dapat
terjadi adalah asidosis laktat, dan sebaiknya tidak diberikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin > 1,3
mg/dL pada perempuan dan > 1,5 mg/dL pada laki-laki) atau
pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus
diberikan dengan hati – hati pada orang lanjut usia.Obat ini
dianjurkan untuk pasien gemuk (IMT >30) sebagai obat
tunggal. Pada pasien dengan berat lebih (IMT 27 – 30) dapat
dikombinasi dengan obat golongan sulfonylurea karena
mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat
menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan
tunggal masing - masing.

c. Inhibitor α glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α
glukosidase di dalam saluran cerna, sehingga menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia
pascaprandial.

d. Insulin sensitizing agent


Thiazolidinediones adalah golongan obat baru yang mempunyai
efek farmakologi meningkatkan sensitivitas insulin , sehingga
bisa mengatasi masalah resistensi insulin dan berbagai masalah
akibat resisteni insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia.
Cara pemberian OHO , terdiri dari :
a. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan
sampai dosis optimal
b. Sulfonylurea : 15 – 30 menit sebelum makan
c. Repaglinid , Nateglinid : sesaat sebelum makan
d. Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan
e. Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan
pertama
f. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan
g. DPP – IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau
sebelum makan.
Nama Dosis Dosis Lama
Generik Maksimal Awal Kerja Frekuensi
Sulfonilurea
Klorpropamid 500 50 6 - 12 1
Glibenklamid 15 -20 2,5 12-24 1-2
Glipisid 20 5 10-16 1-2
Glikasid 240 80 10-20 1-2
Glikuidon 120 30 10-20 2-3
Glipisid GITS 20 5 1
Glimepirid 6 1 1
Biguanid
Metformin 2500 500 1-3
Inhibitor α glukosidase
Acarbose 300 50 1-3

Insulin
Indikasi penggunaan insulin pada NIDDM adalah :
 DM dengan berat badan menurun cepat / kurus
 Ketoasidosis , asidosis laktat , dan koma hyperosmolar
 DM yang mengalami stress berat (infeksi sistemik, operasi
berat , dan lain lain)
 DM dengan kehamilan / DM gestational yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral
dosis maksimal atau ada kontraindikasi dengan obat tersebut.
Jenis Kerja Preparat
Kerja Pendek Actrapid Human 40 /
Humulin
Actrapid Human 100
Kerja Sedang Monotard Human 100
Insulatard
NPH
Kerja Panjang PZI (tidak dianjurkan karena
resiko hipoglikemia)
Campuran kerja pendek dan Mixtard
sedang / panjang

Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah , lalu
dinaikkan perlahan seuai dengan hasil glukosa darah pasien. Jika
pasien sudah diberikan sulfonylurea atau metformin sampai dosis
maksimal namun kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dianjurkan penggunaan kombinasi sulfonylurea dan insulin.
8. Edukasi Edukasi meliputi pemahaman tentang :
(Hospital Health a. Penyakit DM
Promotion) b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
c. Penyulit DM
d. Intervensi farmakologis
e. Hipoglikemia
f. Masalah khusus yang dihadapi
g. Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan
ketrampilan
h. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
i. Pemberian obat jangka panjang dengan kontrol teratur setiap
2minggu / 1 bulan

Perencanaan makan
Standar yang dianjurkan adalah makan dengan komposisi :
a. Karbohidrat 45 – 65%
Rekomendasi pemberian karbohidrat :
1. Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung
karbohidrat lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan
dengan jenis karbohidrat itu sendiri.
2. Dari total kebutuhan kalori per hari , 60 – 70 % diantaranya
berasal dari sumber karbohidrat
3. Jika ditambah MUFA (monounsaturated fatty acids) sebagai
sumber energy, maka jumlah KH maksimal 70% dari total
kebutuhan kalori per hari.
4. Jumlah serat 25 – 50 gram per hari
5. Jumlah sucrose sebagai sumber energy tidak perlu dibatasi,
namun jangan sampai lebih dari total kalori per hari
6. Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori
seperti sakarin, aspartame, acesulfam dan sukralosa
7. Penggunaan alcohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10
gram/hari
8. Fruktosa tidak bole lebih dari 60 gram/ hari
9. Makanan yang banyak mengandung fruktosa tidakperlu
dibatasi
b. Protein 15 – 20%
Rekomendasi pemberian protein :
1. Kebutuhan protein 15 – 20 % dari total kebutuhan energy
per hari
2. Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan
protein tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah
3. Pada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol,
pemberian protein sekitar 0,8 -1,0 mg/kg berat badan / hari
4. Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein
diturunkan sampai0,85 gram/kg berat badan /hari dan tidak
kurang dari 40 gram
5. Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber
protein nabati lebih dianjurkan dari protein hewani.

Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram.

c. Lemak 20 – 25%
Lemak mempunyai kandungan energy sebesar 9 kilokalori per
gramnya.
Rekomendasi pemberian lemak :
1. Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh,
jumlah maksimal 10% dari total kebutuhan kalori per hari.
2. Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl , asupan lemak
jenuh diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori
perhari
3. Konsumsi kolesterol maksimal 300mg/hari , jika kadar
kolesterol LDL ≥100mg/dl , maka maksimal kolesterol
yang dapat di konsumsi 200 mg/hari
4. Batasi asupan asam lemak bentuk trans
5. Konsumsi ikan seminggu 2 – 3 kali untuk mencukupi
kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang
6. Asupan lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10 %
dari asupan kalori per hari
9. Lama rawat
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/ malam
Ad sanationam : dubia ad bonam / malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/ malam
11. Kepustakaan
Kriteria pengendalian diabetes mellitus
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah plasma
vena
puasa 80 - 109 110 - 139 >140
2 jam 110 - 159 160 - 199 >200
HbA1c 4-6 6-8 >8
Kolesterol Total <200 200 - 239 >240
Kolesterol LDL
tanpa PJK <130 130 - 159 ≥160
dengan PJK <100 100 - 129 ≥130
Kolesterol HDL >45 35 - 45 <35
Trigliserida
tanpa PJK <200 <200 - 249 >250
dengan PJK <150 <150 - 199 >200
BMI /IMT
>25 atau
perempuan 18,5 - 23,9 23 - 25 <18,5
>27 atau
laki-laki 20 - 24,9 25 - 27 <20
140 - 160/90
Tekanan Darah <140 /90 - 95 >160/95

Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam

Dr. I Putu Agus Lastya Eka Permana, M.Biomed, Sp.PD


DITETAPKAN PADA:
3 JUNI 2019 Mengetahui,
Ketua Komite Medik RSU Famili Husada,

Dr. I Ketut Gede Arta Bujangga, Sp.OT

Anda mungkin juga menyukai