Anda di halaman 1dari 11

Tugas Individu:

PENELITIAN SASTRA
“Ketidakadilan Jender yang Dialami oleh Kaum Perempuan dalam Novel ‘Di Bawah
Bayang-Bayang Ode’ karya ‘Sumiman Udu’ Menggunakan Pendekatan Feminisme”

RUSLAN HAMID NGUNA


A1D1 14 049

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada dasarnya isi sebuah karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-
tokoh cerita. Sangat beragam perilaku manusia yang bisa dimuat dalam cerita. Kadang-kadang
hal ini terjadi perulangan jika diamati secara cermat. Pola atau keterulangan inilah yang
ditangkap sebagai fenomena dan seterusnya diklasifikasikan ke dalam kategori tertentu seperti
gejala kejiwaan, sosial, dan masyarakat. Misalnya perilaku yang berhubungan gejala kejiwaan
yaitu fenomena frustrasi atau kekecewaan (anxienty).

Novel sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita di dalamnya terjadi peristiwa
dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh) baik itu peristiwa yang manusiawi dan
tidak. Sebagai contoh, ditemukannnya beberapa ketidak adilan terhadap kaum perempuan di
dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode kaerya Sumiman Udu. Salah Satu tokoh utama
dalam novel tersebut mengalami beberapa ketidak adilan yang dilakukan oleh kaum laki-laki
dengan alas an adat sebagai hal pembenarnya. Amalia Ode di paksa untuk menikah (kawin
paksa) oleh keluarganya hanya karena alasan adat, kebangsawanan dan materi, dan msekipun
Amalia Ode menolak hal tersebut, tetapi tetap saja akhirnya ia mengalah juga karena kukungan
adat yang sangat membelenggunya. Ketidak adalian kepada kaum perempun juga dirasakan oleh
Wa Ode Siti, tante dari Amalia Ode. Berdasarkan hal yang telah diuraikan sebelumnya, penulis
memandang perlu untuk melakukan analisis menggunakan pendekatan feminisme terhadap novel
Di Bawah Bayang-Bayang Ode.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah
untuk makalah ini yaitu bagaimanakah ketidakadilan jender yang dialami oleh kaum perempuan
dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu dengan menggunakan
pendekatan feminisme?

1.3. Tujuan
Berdasrkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, tujuan penulisan makalah
ini yaitu untuk mengetahui ketidakadilan jender yang dialami oleh kaum perempuan dalam novel
Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu dengan menggunakan pendekatan
feminisme

BAB II

A. HAKIKAT FEMINISME
Kata feminisme berasal dari kata latin femina (perempuan) yang mempunyai makna
‘memiliki kualitas perempuan’ dan istilah tersebut mulai dipakai pada tahun 1890-an dalam
sebuah publikasi bernama The Athenaeum, 27 April 1895 (Arivia, 2003: 90). Namun, feminis
mulai membuka horizon baru dalam kritikan sastra bermula pada akhir tahun 1960 dan awal
tahun 1970 (Aziz, 2003: 31). Pendekatan dalam penelitian ini bertolak dari berbagai tentang
feminisme (Fakih dkk, 1996) dan penafsiran tentang perempuan dalam sastra (Newton, 1994;
Djajanegara, 2003; Sugihastuti, 2000; Aziz, 2003).
Citra perempuan stereotip ini dikaitkan dengan watak perempuan yang memperlihatkan
peranan seksnya yang stereotip seperti mengurus rumah tangga, melahirkan dan mendidik anak,
melayani makan, minum, dan seks suami, serta menjadi teman sosial dan seks laki-laki.
Berkaitan dengan pendapat Kate Millet (1990), perempuan-perempuan stereotipe seperti muncul
dalam masyarakat yang dibentuk berdasarkan struktur patriarki, yaitu sebuah struktur masyarakat
yang berasaskan lelaki sebagai orang yang berkuasa, dan segalanya selalu merujuk lelaki.
Struktur patriarki menghasilkan apa yang disebut dengan istilah politik seksual (sexual politics).
Pembentukan dan pengukuhan struktur patriarki dalam suatu masyarakat itu dapat dipahami
melalui teori patriarki yang berasaskan pro pembudayaan.
Feminisme merupakan hal yang berasal dari konstruksi sosial dianggap sebagai kodrat,
seperti mendidik anak, mengelola, dan merawat rumah tangga dianggap kodrat perempuan.
Akibatnya, pelimpahan beban kerja rumah tangga diberikan kepada perempuan. Perbedaan
antara laki-laki dan perempuan sebagai akibat dari pemahaman gender yang keliru ini,
menimbulkan ketidakadilan dan kepincangan terutama di pihak perempuan.
Perlawanan terhadap ideologi gender dalam sastra melahirkan aliran feminisme
(Djajanegara, 2003) dan ini menimbulkan suatu kritik sastra baru dalam melihat tokoh dan
penokohan perempuan dalam karya sastra dengan perspektif feminisme. Goefe mengartikan
feminisme sebagai teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik,
ekonomi, dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta
kepentingan perempuan.

Menurut Millet dipandang dari sudut sosial, feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan
terhadap sistem patriarki yang ada pada masyarakat. Patriarki (pemerintahan ayah) adalah sebuah
istilah yang digunakan untuk menguraikan sebab penindasan terhadap perempuan. Patriarki
meletakkan perempuan sebagai laki-laki yang inferior. Kekuatan digunakan baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan.
Penggunaan berbagai teori feminis tersebut diharapkan mampu memberikan pandangan-
pandangan baru terutama yang berkaitan dengan bagaimana karakter-karakter perempuan
diwakili dalam karya sastra. Para feminis menggunakan kritik sastra feminis untuk menunjukkan
citra perempuan dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan perempuan sebagai
makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan serta disepelekan oleh tradisi
patriarki yang dominan.

Selain itu kajian tentang perempuan dalam tulisan penulis laki-laki dapat juga
menunjukkan tokoh-tokoh perempuan yang kuat dan mungkin sekali lebih mendukung niali-nilai
feminis. Kedua keinginan tersebut menimbulkan beberapa ragam kritik sastra feminis. Di antara
beberapa ragam kritik sastra feminis, kritik sastra ideologis merupakan kritik sastra feminis yang
paling banyak digunakan. Kritik ini melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis sebagai
pembaca. Yang menjadi puast perhatian pembaca perempuan adalah citra serta stereotip
perempuan dalam karya sastra.
B. Perspektif Jender
Faruk (1999: 13-23) mengemukakan bahwa menifestasi ketidakadilan jender antara lain:
(1) jender dan marjinalisasi perempuan; (2) jender dan subordinasi; (3) jender dan stereotipe; (4)
jender dan kekerasan; (5) jender dan beban kerja. Marjinalisasi berarti menempatkan atau
menggeser perempuan ke pinggiran. Perempuan dicitrakan lemah kurang atau tidak rasional,
kurang atau tidak berani, sehingga tidak pantas atau tidak berani memimpin. Akibatnya
perempuan selalu dinomorduakan apabila ada kesempatan untuk memimpin. Marjinalisasi kaum
perempuan sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat dan tempat bekerja (Faruk,
1999: 14-15).
Subordinasi terhadap kaum perempuan sering terjadi di dalam masyarakat. Perempuan
sering diberi tugas yang ringan dan mudah karena mereka dipandang kurang mampu dan lebih
rendah dari pada laki-laki. Pandangan ini bagi perempuan menyebabkan mereka merasa sudah
selayaknya sebagai pembantu, sosok, bayangan, dan tidak berani memperhatikan kemampuannya
sebagai pribadi. Bagi laki-laki pandangan ini menyebabkan mereka sah untuk tidak memberikan
kesempatan perempuan muncul sebagai pribadi yang utuh.
Pandangan stereotipe masyarakat terhadap perempuan, yakni pembakuan diskriminatif
antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sudah dibakukan sifat yang
sepantasnya, sehingga tidak mampu keluar dari kotak definisi yang membakukan tersebut.
Stereotipe adalah pelabelan atau penanda terhadap sesuatu kelompok tertentu, dan stereotipe ini
selalu menimbulkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan pada umumnya. Anggapan
masyarakat tentang tugas utama kaum perempuan kaum perempuan yang bersolek atau
mempercantik diri hanya ingin diperhatikan oleh lawan jenis, dan bila terjadi pemerkosaan atau
pelecehan seksual itu merupakan kesalahan perempuan (Faruk, 1999: 16).
Stereotipe laki-laki atas perempuan diungkapkan dalam bentuk kekuasaan laki-laki untuk
melakukan kekerasan fisik, psikis baik verbal maupun nonverbal terhadap perempuan.
Kekerasan (Violence) adalah saranan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap semua manusia pada dasarnya berasal dari
berbagai sumber. Bias jender menjadi salah satu penyebab munculnya kekerasan terhadap
perempuan. Kekerasan berdasarkan bias jender disebut sebagi Gender-related violence (Fakih,
1999: 17).
Perspektif jender mempergunakan aspek jender untuk membahas atau menganalisis isu-
isu di dalam bidang-bidang: politik, ekonomi, sosial, hukum budaya, psikologi untuk memahami
bagaimana aspek jender tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan,
program, proyek, dan kegiatan-kegiatan. Dalam pembahasan tersebut dipelajari bagaimana faktor
jender menumbuhkan diskriminasi dan memjadi perintang bagi kesempatan dan pengembangan
diri seseorang. Menurut perspektif jender, tujuan perkawinan akan tercapai jika di dalam
keluarga tersebut membangun atas dasar berkesetaraan dan berkeadilan jender. Kesetaraan dan
keadilan jender merupakan kondisi dinamis, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama
memiliki hak, kewajiban, menghargai dan bantu membantu di berbagai sector kehidupan.

BAB

PEMBAHASAN

Ketidakberdayaan perempuan

Ketidakberdayaan perempuan dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya


Sumiman Udu dapat ditemukan pada penggalan berikut ini:

“Jangan kau sentuh tubuhku, atau aku berteriak!” Lia menggeser tempatnya berdiri dan
berusaha menghindar dari tangan laki-laki itu lagi. Tetapi tangan itu lebih cepat melekat di
bahunya. Dengan sekali tarik, tubuh lansing itu sudah menghadap ke arah laki-laki itu. Dua
bola mata Lia terbakar dengan benci, sedangkan mata lelaki itu telah buta oleh nafsu dan
kesombongan. Lia memberontak, tetapi tenaganya terlampau lemah untuk dapat melawan
tangan perkasa yang mencengkram tubuhnya. Lia meronta-ronta, tetapi tidak berdaya.
Tangan lia mendarat di pipi lelaki itu. Tetapi lelaki itu hanya tersenyum tidak membalas. Lia
terus memberontak. (Sumiman Udu, 2015: 35)
Berdasarkan penggalan cerita tersebut jelaslah bahwa perempuan sangatlah tidak berdaya
terhadap kekuatan fisik dari kaum laki-laki dan perempuan digamabrkan sebagai kaum yang
lemah. Psada penggalan di atas, meskipun Amalia Ode terus Meronta-ronta tetapi ia tetap tak
berdaya oleh kekuatan dari La Ode Halimu, sepupu sekaligus calon suaminya yang dijodohkan
denga Amalia Ode. Hal lain yang menunjukan ketidak berdayaan dari Amalia Ode yaitu
dapatdilihat pada penggalan cerita berikut ini:
“Ya Allah berikanlah aku petunjuk, berikanlah aku kekuatan agar aku bisa memperjungakn
cintaku, keyakinanku. Dan seandainya aku tidak dapat memperjungkannya, maka lebih baik
ambil saja nyawaku ya Allah. Aku memilih untuk menyerahkan hidupku kepadamu ya Allah,
daripada aku hidup dengan tanpa cinta dan keyakinan…..” tanpa ia sadari, air matanya leleh
ke pipi.” (Sumiman Udu, 2015: 38)
Penggalan lain yang menunjukan ketidakberdayan Amalia Ode dapat dilihat pada
penggalan cerita berikut:
“Lia, mulai saat ini, kau tidak berhubungan dengan laki-laki yang tidak tahu diri itu! Mama
tahu, selama ini kalian bersama-sama. Tapi sekarang Lia harus sadar bahwa adat dan
budaya tidak mungkin memmpersatukan kalian!” Suara itu terus terngiang-ngiang di dalam
pikiran Lia. Suara adat, suara yang membawa derita jiwa. Air mata Lia menetes membasahi
pipinya yang mulus, seolah ingin berbagi dengan cermin ranjang di sampingnya. (Sumiman
Udu, 2015: 40)
Penggalan cerita tersebut meruapakan salah satu bentuk ketidakberdayaan perempuan
karena dipaksa menikah dengan laki-laki yang dicintainya. Sehingga hal yang dilakukan oleh Lia
pada penggalan cerita di atas hanyalah meneteskan Air Mata.

Subordinasi terhadap kaum perempuan

Subordinasi terhadap kaum perempuan sering terjadi dalam masyarakat tidak terkecuali
di dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode. Perempuan sering diberi tugas yang ringan yang
menyebabkan perempua dianggap sebagai pembantu didalam rumah tangga yang pekerjaanya
hanyalah dapur yang artinya semua pekerjaan yang berhubungan dengan pekerjaan dapur seperti
memasak dan lain sebagainya, sumur yang artinya semua pekerjaan yang berhubungan dengan
sumur dan lain sebagaianya, dan kasur yang artinya melayani kebutuhan suami secara intim. Hal
ini dapat dilihat pada penggalan cerita sebagai berikut:

“…Tugas perempuan adalah melahirkan dan melayani suaminya! Ingat itu, kalau kau mau
masuk surga, kau juga harus ikut semua perintah ibumu dan perintah suamimu,” suara itu
terus terngiang sampai sekarang.” (Sumiman Udu, 2015: 43)
Dari penggalan cerita di atas sangatlah jelas menggambarkan tugas perempuan khususnya
seorang istri yaitu melayani suaminya dan mengurusi anak-anaknya. Di sisi lain tugas seorang
perempuan (istri) bukanlah hanya untuk melayani suaminya tetapi juga pekerjan dapur
(memasak). Hal ini dapat dilihat pada penggalan cerita beikut ini:

…doktrin bahwa setinggi apapun sekolahnya, tetap ia akan kembali ke dapur, memasak
untuk suaminya dan merawat anak-anaknya. Dan tugas mulia seorang perempuan adalah
mematuhi suaminya. (Sumiman Udu, 2015:120)
Dari kutipan cerita di atas sangatlah jelas menggambarkan tugas utama dari seorang
perempuan yaitu memasak.

Kekerasan terhadap kaum perempuan


Stereotipe laki-laki atas perempuan diungkapkan dalam bentuk kekuasaan laki-laki untuk
melakukan kekerasan fisik, psikis baik verbal maupun nonverbal terhadap perempuan.
Kekerasan (Violence) adalah sasaran atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap semua manusia pada dasarnya berasal dari
berbagai sumber. Bias jender menjadi salah satu penyebab munculnya kekerasan terhadap
perempuan.

a. kekerasan fisik

Terjadinya kekerasan menunjukkan bahwa fenomena yang terjadi dalam kehidupan sosial
masyarakat kita masih beranjak dari sistem patriarki atau kekuasaan, yakni perempuan berada di
sektor domestik, dan laki-laki di sektor publik dapat menyebabkan laki-laki dapat berbuat
semena-mena terhadap perempuan. Bapak pada anaknya dan suami pada istrinya, paman kepada
keponakannya, bahkan memukul secara fisik atau dalam bentuk kekerasan fisik lain. Hal tersebut
digambarkan dalam kutipan berikut:

“Demikian pula resa panas di pipinya akibat tamparan tangan kekar pamannya masih terus
melekat. Mungkin bukan karena semata rasa sakit secara fisik yang ia rasakan akibat
tamparan dan hardikan itu, tapi lebih pada harga dirinya, lebih pada pusat-pusat kekuasaan
itu telah demikian menekannya.” (Sumiman Udu, 2015: 99)
Kekerasan fisik tersebut merupakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh paman kepada
keponakannya. Kekerasan yang hanya didasarkan oleh suatu alas an yang mengatas namakan
adat dan keturunan. Hal tersebut tergambar pada kata-kata Amalia Ode, “…pusat-pusat
kekuasaan itu telah demikian menekannya.”.

Kekerasan lain yang dilakukan oleh paman Amalia Ode kepada Amalia Ode dapat dilihat
pada penggalan cerita sebagai berikut:

“Tapi anehnya, Lia malah takut dengan ancaman itu. Lia tiba-tiba hendak berdiri. Tetapi
sekali lagi pamannya yang kekar itu semakin kasar menariknya. Lia terjatuh lagi ke kursinya.
Lia menangis dan saat itulah dengan gerak cepat tangan kasar itu menampar pipi Amalia Ode
lagi. Plaak…!” (Sumiman Udu, 2015: 128)
Kekerasan secara fisik tidak hanya dialami oleh Amalia Ode sebagai kaum perempuan, tetapai
dialami juga oleh bibinya yaitu Wa Ode Siti hanya karena membela Amalia Ode yang
mendapatkan perlakuan kasar dari pamannya. Hal tersebut dapat dilihat dari penggalan berikut
ini:

“…”jangan kalian pukul! Kasihan! Suara spontan Wa Ode Siti. Lia menoleh kea rah suara
itu. Dan seketika itu juga tangan yang baru saja menampar Amalia Ode telah mendarat di
punggung Wa Ode Sit”i. (Sumiman Udu, 2015: 128)
Kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap kaum perempuan seperti yang
terdapat dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode membuktikan bahwa kaum perempuan
merupakan kaum yang paling empuk dijadikan sebagai objek. Perempuan tidak bisa melawan
terhadap apa yang dilakukan oleh kaum laki-laki kerena tenaga dari perempuan sangatlah lemah,
sehingga mereka tidak dapat membalas apa yang dilakukan oleh kaum laki-laki sehingga
hanyalah ketakutan yang muncul dari perempuan. Hal ini dapat dilihat pada penggalan cerita
berikut ini:

“Awas sekali lagi kau menantang Odemu seperti itu, ibu akan menyuruh paman-pamanmu
agar kau diberi pelajaran.” Lia menjadi takut. Ia pernah dikurung oleh paman-pamannya
selama tiga hari tiga malam, karena soal hubungannya dengan Imam. Lia tidak masuk
sekolah waktu itu, dan sampai pula tidak diperbolehkan untukm kuliah…”
b. kekerasan psikologis

Kekerasan psikologis terhadap perempuan berbentuk tekanan-tekanan dan penindasan


batin, adanya prasangka gender yang menganggap bahwa kodrat perempuan yaitu menurut atas
apa yang dikehendaki suami (laki-laki) dan melayani suami (laki-laki). Hal ini dapat dilihat pada
penggalan cerita berikut ini:

“…Salah seorang pamannya pernah bilang: “Kau tidak perlu kuliah! Tugas perempuan adalah
melahirkan dan melayani suaminya! Ingat itu, kalau kau mau masuk surga, kau juga harus
ikut semua perintah ibumu dan perintah suamimu,” suara itu terus terngiang sampai
sekarang.” (Sumiman Udu, 2015: 43)

Selain kekerasan psikologis berupa prasangka jender di atas yang menganggap bahwa
tugas perempuan hanyalah melayani suami dan semacamnya, di dalam novel Di Bawah Bayang-
Bayang Ode juga ditemukan kekerasan secara batin sehingga membuat Amalia Ode yaitu seperti
tertimpah benteng-benteng keratin. Hal ini dapat dilihat pada penggalan cerita berikut ini:
“Lia hanya mampu melihat Odenya. Kemudian melihat lelaki itu. Ia terdiam , seperti
tertimpa oleh batu-batu benteng keraton yang diroboh. Peristiwa itu seolah menimpa Amalia
Ode yang tidak berdaya pada budaya dan adat budayanya.” (Sumiman Udu, 2015: 46)
Hal lain yang menunjukan tekanan batin yang luar biasa oleh Amalia Ode dapat dilihat pada
penggalan cerita berikut:

“Ya Allah berikanlah aku petunjuk, berikanlah aku kekuatan agar aku bisa memperjungakn
cintaku, keyakinanku. Dan seandainya aku tidak dapat memperjungkannya, maka lebih baik
ambil saja nyawaku ya Allah. Aku memilih untuk menyerahkan hidupku kepadamu ya Allah,
daripada aku hidup dengan tanpa cinta dan keyakinan…..” tanpa ia sadari, air matanya leleh
ke pipi.” (Sumiman Udu, 2015: 38)
Dari kutipan di atas, sangatlah jelas bahwa penderitaan batin yang dialami oleh Amalia
Ode sangatlah luar biasa hebatnya. Bahkan, ia lebih memilih untuk menyerahkan hidupnya
apabila ia terus dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintainya.

;
BAB
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. Rahim. 1995. Pemikiran Sasterawan Nusantara: Suatu Kajian Perbandingan.


Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Arimbi, Heroepoetra dan Valentina. 2004. Percakapan tentang Feminisme versus
Neoliberalisme. Jakarta: debtWATCH Indonesia.
Budiman, Manneke. 2005. "Sihir yang Membebaskan Demistifikasi Perempuan Patriarki dalam
Sihir Perempuan," dalam http:// www.fib.ui.ac.id/indexl.php?id=view news&ct ne\vs=133/.
Djajanegara. Soenarjati. 2003. Krtitik Sastra Feminisme. Sebuah Pengamar. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Endaswara Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurgiyantoro Burhan.2004. Pengkajian Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rachmad Djoko Pradopo. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press.

Anda mungkin juga menyukai