Anda di halaman 1dari 11

PANSITOPENIA

Pansitopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit, sel darah putih, dan sel darah
merah di dalam dalam perifer semuanya berkurang.

Pansitopenia adalah sindrom kegagalan sumsum tulang ditandai dengan produksi sel
darah yang berkurang dan menyebabkan sedikitnya eritrosit, leukosit dan trombosit di darah
tepi. Sehingga angka eritrosit, leukosit dan trombosit yang rendah di darah tepi. Hal ini
terjadi ketika tubuh tidak mampu meproduksi sel darahan karena stem sel pada sumsum
tulang yang membentuk darah tidak berfungsi secara normal. Pansitopenia muncul dengan
gejla kegagalan sumsum tulang seperti adanya pallor, dypsnue, perdarahan, memar, dan
peningkatan kecenderungan infeksi.

Penyebab pansitopenia :

A. Pengurangan kuantitatif jaringan hematopoetik (defisiensi sumsum


tulang)

1. Anemia hiporoliferatif dan aplastik

Anemia Fanconi

Anemia idiopatik

2. Infeksi
virus: virus hepatitis B. Virus Epstein-Barr. Sitomegalovirus, Parvovirus
Bakteri (tuberkulosis)
3. Neoplasma
a. Penyakit hematopoetik klonal
b. Keganasan sekuder (metastatik) :karsinoma, limfoma
c. Sindrom mielodisplastik
4. Toksis
a. Obat: kloramfenikol, fenilbutazon, kemoterapi
b. Radiasi
5. Penyakit auto imun:
a. Syndroma Lupus Erimatosus
b. Artritis rematoid
c. Pansitepenia auto imun
6. Penggantian sumsum tulang:
a. Mielofibrosis (penggantian sumsum tulang hematopoetikoleh elemn
jaringan ikat fibrosa) : idiopatik, sekunder (keganasan etastatik, TB),
limfoma, penyakit granulomatosa
B. Hematopoesis yang tidak efektif
1. Anemia megaloblastik
2. Sindrom mielodisplastik
C. Hemodilusi
D. Hipersplenisme/splenomegali
E. Destruksi imun (penyakit autoimun)

Diambil dari : Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. By Ronald A. Sacher;


Richard A. Mc.Pherson. Penerbit buku kedokteran EGC. Tahun terbit 2004

TRANSFUSI DARAH

Komponen darah

1. Darah lengkap (WBC)

Indikasi utama : anemia simtomatis dengan kehilangan volume darah yang


banyak.

Kerja : pemeliharaan kapasitas pengangkutan oksigen, pmeliharaan


volume darah.

Tidak diindikasikan : keadaan yang berespon terhadap komponen tertentu

Perhatian khusus : harus sesuai golongan ABO. Faktor koagulasi labil akan rusak
dalam 24 jam setrlah pengambilan darah.

Bahaya : penyakit infeksi:septik/toksik, alergi, reaksi ferbis, kelebihan


beban sirkulasi

Kecepatan pemberian : untuk kehilangan masif, secepat yang dapat ditoleransi pasien

2. Sel darah merah

Indikasi : anemia simtomatik

Kerja : pemeliharaan kapasitas pengangkutan oksigen

Tidak diindikasikan : anemia yang dapat ditangani secara farmakologis


Perhatian khusus : harus sesuai dengan golongan ABO

Bahaya : penyakit infeksi:septik/toksik, alergi, reaksi ferbis

Kecepatan pemberian : sesuai toleransi pasien namun tidak boleh lebih dari 4 jam

3. Sel darah merah, lekosit telah dihilangkan

Indikasi : anemia simtomatik, reaksi febril akibat antibodi lekosit

Kerja : pemeliharaan kapasitas pengangkutan oksigen

Tidak diindikasikan : defisiensi koagulasi, anemia yang dapat ditangani secara


farmakologis

Perhatian khusus : harus sesuai dengan golongan ABO

Bahaya : penyakit infeksi:septik/toksik, alergi (kecuali plasma juga


sudah dihilangkan, misal dengan pencucian)

Kapasitas pemberian : sesuai toleransi pasien namun tidak boleh lebih dari 4 jam

4. Sel darah merah, dengan penambahan Adenin-Salin

Indikasi : anemia simtomatik dengan defisit volume

Kerja : pemeliharaan kapasitas pengangkutan oksigen

Tidak diindikasikan : defisiensi koagulasi, anemia yang dapat ditangani secara


farmakologis, defisiensi koagulasi

Perhatian khusus : harus sesuai dengan golongan ABO

Bahaya : penyakit infeksi:septik/toksik, alergi, febril, kelebihan beban


sirkulasi

Kapasitas pemberian : sesuai toleransi pasien namun tidak boleh lebih dari 4 jam

5. Plasma segar beku (FFP)

Indikasi : kekurangan faktor koagulasi plasma stabil dan labil dan TTP

Kerja : sumber faktor plasma labil dan non labil

Tidak diindikasikan : kondisi yang berespon dengan penggantian volume

Perhatian khusus : harus sesuai dengan golongan ABO

Bahaya : penyakit infeksi:septik/toksik, alergi, kelebihan beban


sirkulasi

Kapasitas pemberian : kurang dari 4 jam


6. Cairan plasma dan plasma

Indikasi : kekurangan faktor koagulasi plasma stabil

Kerja : sumber faktor non labil

Tidak diindikasikan : kekurangan faktor koagulasi labil atau penggantian volume

Perhatian khusus : harus sesuai dengan golongan ABO

Bahaya : penyakit infeksi, alergi

Kapasitas pemberian : kurang dari 4 jam

7. AHF Kriopresipirat

Indikasi : Hemofilia A,penyakit non Willebrand, hipo fibrionogenemia,


defisiensi faktor XIII

Kerja : memberikan faktor VII, fibrinogen, VWF, faktor XIII

Tidak diindikasikan : keadaan tanpa kekurangan faktor yang terkandung

Perhatian khusus : perlu pemberian dosis berulang

Bahaya : penyakit infeksi, alergi

Kapasitas pemberian : kurang dari 4 jam

8. Trombosis: trombosis, pheresis

Indikasi : perdarahan akibat trombositopenia atau abnormalitas fungsi


trombosit

Kerja : memperbaiki hemostasis

Tidak diindikasikan : kekurangan koagulasi plasma dan beberapa keadaan dengan


penghancuran trombosit segera (mis: ITP)

Perhatian khusus : tidak boleh memakai filter mikroagregrat tertentu (periksa


dulu petunjuk pabrik)

Bahaya : penyakit infeksi, alergi, reaksi septik/toksik, febril

Kapasitas pemberian : kurang dari 4 jam

9. Granulosit

Indikasi : netrofenia dengan infeksi

Kerja : berikangranulosit
Tidak diindikasikan : infeksi yang berespon terhadap antibiotik

Perhatian khusus : harus sesuai dengan ABO, tidak boleh memakai filter
mikroagregrat

Bahaya : penyakit infeksi, alergi, febril

Kapasitas pemberian : satu unit pheresis periode 2 sampai 4 jam observasi ketat
adanya reaksi

REAKSI AKIBAT KESALAHAN PEMBERIAN TRANSFUSI

1. Reaksi hemolitik akut

Antibodi dalam plasma resipienakan segera bergabung dengan antigen pada


eritrosit donor, dan sel tersebut segera mengalami hemolisis (dihancurkan) baik
dalam sirkulasi maupun dalam sistem retikuloendotelial. Hemolisis yang paling
cepat terjadi pada ketidaksesuaian darah ABO. Ketidaksesuaian Rh biasanya lebih
ringan. Reaksi ini dapat terjadi setelah pemberian paling tidak 10 ml darah.

Gejala: menggigil, nyeri pinggang bawah, sakit kepala, mual,atau merasa sesak
nafas di dada,kemudian diikuti demam, hipotensi, dan kolaps vaskuler,dan dapat
mengakibatkan kematian. Reaksi hebat biasanya dimulai dalam 15 menit setelah
pemberian transfusi mulai. Hemoglobinuria terjadi pada saat penderita kencing.
Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah (intravaskular), yaitu
sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Plasma donor yang mengandung eritrosit
dapat merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan
antibodi pada resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM) anti-A, anti-B, atau
terkadang antirhesus. Proses hemolitik dibantu oleh reaksi komplemen sampai
terbentuknya C5b6789 (membrane attack complex). Pada beberapa kasus juga
dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dan eritrosit resipien sebagai
antigen (minor incompatability). Malah dapat terjadi interaksi plasma donor
sebagai antibodi dengan eritrosit donor sendiri sebagai antigen (inter-donor
incompatability) pada saat diberikan kepada resipien, tetapi kasus seperti ini
jarang sekali. AHTR juga dapat melibatkan IgG dengan atau tanpa melibatkan
komplemen, dan proses ini dapat terjadi secara ekstravaskular. Ikatan antigen-
antibodi akan mengaktivasi reseptor Fc dari sel sitotoksik atau sel K (large
lymphocytes) yang menghasilkan perforin (antibody dependent cellular
cytotoxicity, ADCC) dan mengakibatkan lisis dari eritrosit. Awal manifestasi
klinis umumnya tidak spesifik, dapat berupa demam menggigil, nyeri kepala,
nyeri pada panggul, sesak napas, hipotensi, hiperkalemia, dan urin berwarna
kemerahan atau keabuan (hemoglobinuria). Pada AHTR yang terjadi di
intravaskular dapat timbul komplikasi yang berat berupa disseminated
intravascular coagulation (DIC), gagal ginjal akut (GGA), dan syok. Pada pasien
yang masih mendapat pengaruh obat-obat anestesi atau koma, DIC merupakan
petunjuk yang sangat penting untuk terjadinya AHTR

Tata laksana

Jika terjadi AHTR, pemberian transfusi harus dihentikan segera dan harus dilakukan
hidrasi dengan cairan salin normal (3000 ml/m2/hari). Terapi suportif yang harus
tetap dilakukan adalah pemantauan tanda vital seperti jalan napas, tekanan darah,
frekuensi jantung, dan jumlah urin. Antihistamin (difenhidramin) dan kortikosteroid
(prednisolon) dapat diberikan untuk mengatasi gejala dan tanda klinis. Kejadian
AHTR harus dicatat dalam laporan pasien dan darah yang tersisa harus dikembalikan
ke unit transfusi darah (UTD) untuk dilakukan investigasi serologis. Selain dilakukan
hidrasi, untuk mencegah terjadinya GGA dapat diberikan dopamin dosis rendah (1
sampai 5 mcg/ kg/menit) dan diuretik osmotik berupa manitol (100 ml/m2/ bolus dan
selanjutnya 30 ml/m2/hari yang diberikan tiap 12 jam) atau furosemid (1 sampai 2
mg/kgBB). Jika dijumpai tanda DIC maka transfusi FFP, kriopresipitat, dan/atau
trombosit dapat dipertimbangkan. Pemeriksaan laboratorium yang harus segera
dilakukan adalah melakukan crossmatch ulang. Prinsip dari crossmatch ini adalah
mencocokkan jenis darah antara resipien dan donor dengan melihat reaksi
kompatabilitas yang ditimbulkannya. Pemeriksaan laboratorium yang lain adalah
Direct Antiglobulin Test (DAT), investigasi serologis (Rhesus, Kidd, Kell, Duffy),
hemoglobinemia pada plasma, dan hemoglobinuria pada analisis urin. Untuk
mengetahui adanya komplikasi dari reaksi hemolitik akibat transfusi sangat perlu
dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan status koagulasi (prothrombin time, partial
thromboplastin time, dan fibrinogen). Konfirmasi laboratorium bahwa telah terjadi
reaksi hemolitik akut akibat transfusi dapat dilakukan dengan pemeriksaan Lactate
Dehidrogenase (LDH), bilirubin, dan haptoglobin. Pemeriksaan kultur darah dan urin
penting dilakukan jika dicurigai sepsis.
2. Reaksi Hemolitik Lambat Akibat Transfusi

Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan evaluasi tentang respons
antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO lainnya) setelah terpapar
dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat dilakukan
crossmatch sebelum transfusi karena interaksi antigen-antibodi merupakan respons
imun sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. Angka kejadiannya
diperkirakan 1 : 6 000 sampai 33 000.2-4,11 DHTR diawali dengan reaksi antigen-
antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara
ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major
incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien.
Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag
di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan
komplemen, maka ikatan antigen- antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah
dan dihancurkan di limpa. Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari
setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit,
peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya
sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus DHTR tidak memperlihatkan
gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif.
Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi
jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang
mengalami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi penyakit.4,7,8,10

Tata Laksana

Jika tidak dijumpai reaksi hemolitik yang berat, tidak ada pengobatan yang spesifik,
dan dapat diberikan terapi suportif untuk mengatasi gejala klinis. Pemberian transfusi
dapat dihentikan atau diganti dengan pengganti darah jenis lain. Konfirmasi
pemeriksaan laboratorium pada prinsipnya hampir sama dengan reaksi hemolitik akut.

3. Reaksi Pseudohemolitik Akibat Transfusi

Reaksi pseudo-hemolitik akibat transfusi merupakan reaksi hemolitik lain yang terjadi
pada darah donor selama atau setelah transfusi diberikan, yang bukan merupakan
reaksi transfusi. Gejala dan tanda klinis hampir sama dengan reaksi hemolitik akibat
reaksi transfusi. Reaksi pseudohemolitik dapat berhubungan dengan proses imun
maupun non-imun. Pada reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dijumpai reaksi yang
compatible pada pemeriksaan crossmatch dan DAT yang negatif. Beberapa reaksi
pseudohemolitik akibat transfusi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme sebagai
berikut:

Mekanisme Reaksi Pseudohemolitik12

- Transfusion of aged cells

- Thermal hemolysis (overheating, freezing)

- Osmotic hemolysis (inadequate deglicerolitation, administration with hypotonic


solutions or drugs)

- Mechanical hemolysis (improper infusion devices, catheters, or needles)

- Bacterial/parasitic contamination

- Hemolysis due to congenital (G6PD deficiency, sickle trait)

4. Trauma Suhu

Trauma ini terjadi oleh karena darah yang diberikan terlalu panas atau masih terlalu
dingin. Eritrosit tidak boleh terpapar dengan temperatur melebihi 40oC karena suhu
tinggi dapat menyebabkan kerusakan membran eritrosit sehingga mengubah
viskositas, ketidakstabilan, perubahan bentuk dan permeabilitas, serta gangguan
osmotik. Eritrosit yang telah pecah akibat panas akan dibersihkan dari sirkulasi oleh
limpa. Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Standar darah yang dapat
diberikan adalah darah yang hangat (sekitar 38oC). Metode yang dapat digunakan
untuk menghangatkan darah adalah pemanasan dengan microwaves atau fototerapi,
atau juga dapat digunakan air yang hangat. Paparan darah pada temperatur kurang
dari 10oC per menit tanpa cryoprotective agent (seperti gliserol) dapat mengakibatkan
trauma dehidrasi (dehydration injury) pada pasien. Namun, temperatur lebih dari
10oC per menit akan mengakibatkan kerusakan pada membran eritrosit oleh kristal es.
Pada temperatur yang terlalu dingin, reaksi hemolitik dapat terjadi sebelum dilakukan
transfusi, dan ini dapat dideteksi dari perubahan warna pada isi kantong darah.
5. Trauma Osmotik

Eritrosit sangat sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik yang dapat


mengakibatkan proses hemolitik secara cepat. Degliserolisasi eritrosit (degliserolized
red blood cell) yang tidak adekuat dapat mengakibatkan hemolitik karena tekanan
osmotik yang lebih rendah (hypotonic solutions) di intravaskular pada saat transfusi.
Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Untuk mencegah hal ini, cairan harus
tetap isotonis. Setiap kantong darah yang berisi eritrosit, harus mengandung cairan
salin normal, ABO-compatible plasma, dan albumin 5%. Eritrosit tidak dapat
dicampur dengan obat-obatan dan beberapa cairan hipotonis seperti dekstrosa 5%,
dekstrosa 5% dalam salin normal 0,225%, dan dekstrosa 5% dalam salin normal
0,45%. Ringer laktat juga tidak dapat ditambahkan pada eritrosit sebab kalsium yang
dijumpai pada cairan ini akan bereaksi dengan senyawa sitrat yang merupakan
antikoagulan dan dapat mengakibatkan bekuan darah di dalam kantong darah. Oleh
karena itu pemberian cairan sebelum dilakukan transfusi haruslah diperhatikan.
Pemberian cairan hipotonis dapat mengakibatkan reaksi hemolitik intravaskular.

6. Trauma Mekanik

Eritrosit dari donor dapat mengalami kerusakan selama proses transfusi oleh karena
trauma mekanik seperti saat darah melewati jarum yang terlalu kecil, selang infus
yang terlipat, dan adanya penekanan mekanik. Reaksi hemolitik juga dapat
disebabkan oleh trauma mekanik pada pembuatan katup jantung dalam operasi
jantung, pada tindakan hemodialisis, dan pada plasmapheresis atau cytapheresis.
Gejala dan tanda klinis reaksi hemolitik akibat trauma mekanik mirip dengan AHTR.

Sumber:

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
BedahBrunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009


JENIS ANTIBIOTIK YANG MENGAKIBATKAN MUAL

1. Amoxicillin

Mual dan muntah menjadi salah satu efek samping alergi amoksisilin yang umum.
Rasa mual berkisar dari ringan hingga intens yang akan semakin berkurang saat
konsumsi obat dihentikan

2. Kuinolon dan flurokuinolon

Siprofloksasin, Ofloksasin, Levofloksasin, Pefloksasin, Norfloksasin, Enoksasin,


Levofloksasin, dan Flerofloksasin (flurokuinolon untuk kuman gram-negatif).
Golongan flurokuinon baru : Moksifloksasin, Gatifloksasin, dan
Gemifloksasin( untuk kuman gram-positif)

3. Antibiotika Golongan Penisilin

4. Sefadroksil

Interaksi : sefalosforin aktif terhadap kuman garm (+) dan (-) tetapi spectrum anti
mikroba masing-masng derrivat bervariasi. efek samping : diare dan colitis yang
disebabkan oleh antibiotic ( penggunaan dosis tinggi) mual dan mumtah rasa tidak
enak pada saluran cerna sakit kepala,ll. Kontra indikasi : hipersensitivitas
terahadap sefalosforin, porfiria

5. Tetrasiklin

Indikasi: eksaserbasi bronkitri kronis, bruselosis (lihat juga keterangan diatas)


klamidia, mikoplasma, dan riketsia, efusi pleura karena keganasan atau sirosis,
akne vulganis. Peringatan: gangguan fungsi hati (hindari pemberian secara i.v),
gangguan fungsi ginjal, kadang-kadang menimbulkan fotosintesis. Efek samping:
mual, muntah, diare, eritema.

6. Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan antibiotic dengan spectrum luas, namun bersifat toksik.


Obat ini seyogyanya dicadangkan untuk infeksi berat akibat haemophilus
influenzae, deman tifoid, meningitis dan abses otak, bakteremia dan infeksi berat
lainnya. Karena toksisitasnya, obat ini tidak cocok untuk penggunaan sistemik.
Kontraindikasi: wanita hamil, penyusui dan pasien porfiria. Efeks samping :
kelainan darah yang reversible dan irevesibel seperti anemia anemia aplastik
( dapat berlanjut mejadi leukemia), neuritis perifer, neuritis optic, eritem
multiforme, mual, muntah, diare, stomatitis, glositits, hemoglobinuria nocturnal.

Sumber: Farmakologi dan Terapi, edisi 5, Departemen Farmakologi Terapeutik,


Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 2007.

Anda mungkin juga menyukai