Anda di halaman 1dari 87

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


TERJADINYA LUKA TUSUK JARUM SUNTIK
PADA PARAMEDIS
DI RUMKITAL Dr. MIDIYATO S - TANJUNGPINANG
TAHUN 2012

TESIS

Diajukan
Dalam Rangka Memenuhi Tugas Penyusunan Tesis
Program Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja

JOHAN INTAN
NRM 1106040341

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM MAGISTER
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Depok - 2013

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baikyang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Johan Intan

NPM :1106040341

Tanda Tangan

Tanggal : 12 Januari2013

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh

Nama : Johan Intan


NPM : 1106040341
Program Studi: Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Judul Tesis : FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN LUKA
TUSUK JARUM SUNTIK PADA PARAMEDIS DI RUMKITAL
DR. MIDIYATO S - TANJUNGPINANG TAHUN 2012

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh Gelar Magister Keselamatan
dan Kesehatan Kerja pada Program Studi Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing DR. Ir. Sjahrul M Nasri, MSc in Hyg. /^

Penguji dalam 1 : DR. Dr. L. Meily Kurniawidjaya,


MSc., SpOk.

Penguji dalam 2 DR. Robiana Modjo, SKM, MKes. (

Penguji luar 1 : Djamal Thaib, BSc, SIP, Msc.

Penguji luar 2 Drg. Heny D Mayawati, MKKK

Ditetapkan di
Tanggal

ii

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


KATA PENGATAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha


Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan kegiatan penelitian ini yang diajukan
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan
Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Tesis ini tidak akan tersusun dengan baik tanpa adanya
dorongan dan kontribusi dari berbagai pihak, oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :

1. DR. Ir. Sjahrul M Nasri, MSc in Hyg, selaku pembimbing


yang telah meluangkan waktu dan kesabarannya dalam
memberikan arahan dan bimbingan hingga akhir penulisan
tesis ini.

2. DR. Dr. L. Meily Kurniawidjaja, MSc, SpOK dan para


penguji yang telah bersedia menjadi penguji mulai dari
seminar proposal, seminar hasil sampai seminar te sis ini.

3. Kolonel Laut (K) Dr. IDG Nalendra DI SpB, SpBTKV (K)


Kepala Rumah Sakit TNI AL Dr. Midiyato S yang telah
mengijinkan dan memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melakukan penelitian di rumah sakit ini.

4. Letkol Laut (K) Dr. Achmad Syaiful HD, SpKJ sebagai


Wakamed RUMKITAL Dr. Midiyato S yang telah banyak
membantu dan memberikan kemudahan akses dalam proses
penelitian.

5. Mayor Laut (K) Deni S, MKep, MARS. sebagai Kasubbag


Rawat Jalan dan Mayor Laut (K) Drg. Slamet Sutomo,
Dipl. CE, SpOrt yang telah banyak membantu dalam proses
penelitian.

6. Dr. Hj. Augustine PA, SpPD selaku ketua IDI Cabang


Tanjungpinang yang telah banyak membantu penulis dalam
mengakses key persons terkait penelitian.
iii

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


7. Pimpinan, staf pengajar, dan staf sekretariat Departemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.

8. Seluruh staf dan karyawan RSAL Dr.Midiyato S khususnya


yang telah banyak membantu penulis dalam proses
penelitian.

9. Seluruh staf dan karyawan Klinik Intan Medika yang telah


banyak membantu penulis dalam proses penelitian.

10. Ketua grup dan rekan rekan kuliah yang selalu menjalin
kerjasama, komunikasi, dan memberikan motivasi selama
penyusunan tesis ini.

11. Kepada semua pihak yang belum disebutkan dan telah


mendukung penyelesaian tesis ini, saya haturkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.

Ucapan terima kasih yang paling mendalam khususnya


penulis sampaikan kepada Lina - istri tercinta, Ray dan Sean –
kedua putra tersayang, yang senantiasa memberikan dorongan,
pengertian, kasih sayang dan pengorbanan selama proses
pendidikan dan penelitian.
Penulis telah berdaya-upaya semaksimal mungkin dalam
penyusunan tesis ini, namun demikian demi mendapatkan hasil
yang lebih baik lagi penulis mengaharapkan kritik dan saran dari
semua pihak.
Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Depok, 12 Januari 2013


Penulis

iv

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan


dibawah ini :

Nama : Johan Intan


NPM : 1106040341
Departemen : Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk meberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Royalti Bebas Non Ekslusif (Non Exclusive Royalty-
Free Rights) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA


LUKA TUSUK JARUM SUNTIK PADA PARAMEDIS DI RUMKITAL Dr.
MIDIYATO S - TANJUNGPINANG TAHUN 2012

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Royalti Bebas Non
Ekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih-media
/memformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database). Merawat dan
mempublikasikan "FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
TERJADINYA LUKA TUSUK JARUM SUNTIK PADA PARAMEDIS DI
RUMKITAL Dr. MIDIYATO S - TANJUNGPINANG TAHUN 2012" tugas
akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan
sebagai pemilik Flak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada Tanggal : 12 Januari 2013
Yang Menyatakan

( Johan Intan

v
IV

UNIVERSITAS INDONESIA
Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :Johan Intan


NPM : 1106040341
Mahasiswa : Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Tahun Akademik :2013

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan tesis
saya yang berjudul :

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA


LUKA TUSUK JARUM SUNTIK PADA PARAMEDIS DI RUMKITAL Dr.
MIDIYATO S - TANJUNGPINANG TAHUN 2012

Apabila suatu saat terbukti saya melakukan plagiat maka saya akan menerima
sanksi yang telah ditetapkan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya

Depok, 12 Januari 2013


METERAI
TEMPEL
?/"\
53308ABF47971430/ \ ^
ENAM RIBU RUFIAH

w
(Johan Intan)

vi

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


ABSTRAK

Nama : Johan Intan


Program Studi : Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Judul : FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
TERJADINYA LUKA TUSUK JARUM SUNTIK PADA
PARAMEDIS RUMKITAL Dr. MIDIYATO S -
TANJUNGPINANG TAHUN 2012

Paramedis dalam bekerja sehari-hari menghadapi risiko LTJS dan


dapat berdampak infeksi. RUMKITAL Dr. Midiyato S berkedudukan di
Kota Tanjugpinang Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau yang mempunyai
prevalensi HIV tinggi, menggunakan jarum suntik rata rata 200 buah per
hari. Kejadian LTJS dan faktor faktor yang mempengaruhinya belum
terdata baik.

Telah dilakukan penelitian cross sectional di RUMKITAL Dr.


Midiyato S dan didapatkan insiden LTJS pada tahun 2012 sebesar 80% di
mana faktor persepsi terhadap risiko LTJS, faktor reinforcing, dan faktor
enabling berhubungan signifikan dengan kepatuhan paramedis dalam
melakasanakan kewaspadaan universal. Faktor enbaling juga
berhubungan signifikan dengan keamanan menyuntik. Kepatuhan dan
keamanan menyuntik selanjutnya berhubungan signifikan dengan
kejadian LTJS.

Faktor yang paling dominan berhubungan dengan kepatuhan secara


berurutan adalah faktor reinforcing (p = 0.000; α = 0,05, OR = 99,000),
faktor enabling (p= 0,000, α = 0,05, OR =11,160), dan faktor persepsi
(p = 0,00; α = 0,05, OR = 4,677).
Faktor yang paling dominan berhubungan dengan LTJS secara
berurutan adalah faktor keamanan menyuntik (p = 0,000; α = 0,05, OR =
63,000) dan faktor kepatuhan (p = 0,000; α = 0,05, OR = 42,429).

Kata kunci:
Paramedis - LTJS - persepsi – reinforcing – enabling – kepatuhan –
keamanan menyuntik.

vi

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


ABSTRACT
TOPIC : FACTORS CORRELATING WITH NEEDLE STICK
INJURIES ON PARAMEDICS AT DR. MIDIYATO S -
TANJUNGPINANG NAVAL HOSPITAL IN YEAR 2012.

Paramedics on carry out duties are contracting the risk of needle


stick injuries (NSI) and possible infections. Dr. Midiyato S Naval
Hospital is located in Tanjungpinang The Capital City of Kepulauan Riau
Province where high prevalance of HIV infection takes place. Dr.
Midiyato S Naval Hospital (DMSNH) utilizes an average of 200 needles
per day. Incidence and factors correlating to NSI are unidentified.

A cross sectional study is completed at DMSNH in year 2012.


The incidence of NSI was 80%, whereas factors correlated to
paramedics’compliance to universal precaution practice are perception,
reinforcing factors, and enabling factors. Enabling factors are also
correlated to injection safety. Paramedics’ compliance and injection
safety are in turn correlated to NSI incidence.

Factors ranging from most correlated to compliance are reinforcing


factors (p = 0.000, α = 0,05, OR = 99,000), enabling factors (p = 0,000, α
= 0,05, OR =11,160), and perception (p = 0,00, α = 0,05, OR = 4,677).
Factors ranging from most correlated to NSI are injection safety
(p value = 0,000; α = 0,05, OR = 63,000) dan paramedics’ compliance
(p value = 0,000; α = 0,05, OR = 42,429).

Key words:
Paramedic - NSI – perseption factors – reinforcing factors – enabling
factors – compliance – injection safety.

vii

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS i

HALAMAN PENGESAHAN ii

HALAMAN KATA PENGANTAR iii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v


HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT vi
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR BAGAN xv

BAB I 1

PENDAHULUAN 1

1.1 Latar belakang 1

1.2 Perumusan masalah 2

1.3 Pertanyaan penelitian 2

1.4 Tujuan penelitian 2

1.4.1 Tujuan umum 2

14.2 Tujuan khusus 2

1.5 Manfaat penelitian 3

1.5.1 Manfaat bagi pihak rumah sakit 3

1.5.2 Manfaat bagi keilmuan K3 3

1.5.3 Manfaat bagi mahasiswa 3

1.6 Ruang lingkup penelitian 3

ix

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS i

HALAMAN PENGESAHAN ii

HALAMAN KATA PENGANTAR iii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v


HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT vi
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR BAGAN xv

BAB I 1

PENDAHULUAN 1

1.1 Latar belakang 1

1.2 Perumusan masalah 2

1.3 Pertanyaan penelitian 2

1.4 Tujuan penelitian 2

1.4.1 Tujuan umum 2

14.2 Tujuan khusus 2

1.5 Manfaat penelitian 3

1.5.1 Manfaat bagi pihak rumah sakit 3

1.5.2 Manfaat bagi keilmuan K3 3

1.5.3 Manfaat bagi mahasiswa 3

1.6 Ruang lingkup penelitian 3

ix

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


BAB II 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Definisi luka tusuk jarum suntik (LTJS) 5

2.2 Infeksi patogen darah 6

2.3 Faktor faktor yang melandasi terjadinya LTJS 7

2.3.1 Umur 7

2.3.2 Jenis kelamin 8

2.3.3 Masa kerja 8

2.3.4 Tingkat pendidikan 8

2.3.5 Pelatihan kewaspadaan universal 8

2.3.6 Persepsi terhadap risiko LTJS 8

2.3.7 Standarisasi dan pelaksanaan SOP berpedomankan


kewaspadaan universal 9

2.3.8 Pengawasan pelaksanaan SOP 9

2.3.9 Reward 9

2.3.10 Kebijakan penggunaan jarum suntik safety design 10

2.3.11 Sharps container 10

2.3.12 APD (alat pelindung diri) 10

2.3.13 Kepatuhan pelaksanaan kewaspadaan universal 11

2.3.14 Tingkat keamanan (safety) menyuntik 11

2.3.15 Kewaspadaan universal 12

2.3.16 Post exposure prophylaxis (PEP) 13

2.4 Hirarki Kontrol 13

2.5 Health belief model (HBM) 14

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


2.6 Green model 15

2.7 Skala Likert 17

BAB III 19

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP,


DAN DEFINISI OPERASIONAL 19

3.1 Kerangka teori 19

3.2 Kerangka konsep 19

3.3 Definisi operasional 21

BAB IV 26

METODE PENELITIAN 26

4.1 Rancangan penelitian 26

4.2 Lokasi dan waktu penelitian 26

4.3 Kriteria inklusi dan eksklusi 26

4.4 Populasi dan sampling 27

4.5 Metode pengumpulan data 28

4.6 Pengelolaan Data 28

4.7 Skala pengukuran 29

4.8 Uji validitas dan realibilitas instrumen 30

4.8.1 Validitas instrumen 30

4.8.2 Realibilitas Instrumen 31

4.9 Analisis Data 32

4.9.1 Analisis distribusi frekuensi 32

4.9.2 Analisis hubungan antara variable independen dan dependen 32

4.9.3 Keterbatasan metodologi penelitian 33

xi

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


BAB V 35

HASIL PENELITIAN 35

5.1 Uji validitas dan reabilitas kuesioner 35

5.1.1 Uji validitas 35

5.1.2 Uji reliabilitas 35

5.2 Distribusi frekuensi 37

5.2.1 Distribusi frekuensi LTJS 37

5.2.2 Distribusi frekuensi LTJS berdasarkan jenis kelamin 37

5.2.3 Distribusi frekuensi karakteristik responden 38

5.3 Hubungan persepsi, reinforcing, dan enabling dengan kepatuhan 43

5.3.1 Hubungan persepsi dengan kepatuhan 43

5.3.2 Hubungan faktor reinforcing dengan kepatuhan 44

5.3.3 Hubungan faktor enabling dengan kepatuhan 44

5.4 Hubungan faktor enabling dengan keamanan 45

5.4.1 Hubungan faktor enabling dengan keamanan 45

5.5 Hubungan keapatuhan dan keamanan menyuntik dengan kejadian LTJS 46

5.5.1 Hubungan kepatuhan dengan kejadian LTJS 46

5.5.2 Hubungan keamanan menyuntik dengan LTJS 46

5.6 Hubungan indikator indikator kepatuhan dengan kejadian LTJS 47

5.6.1 Hubungan membaca SOP dengan LTJS 47

5.6.2 Hubungan memperlakukan sampel infeksisus dengan LTJS 47

5.6.3 Hubungan konsistensi memakai sarung tangan dengan LTJS 48

5.6.4 Hubungan pengawasan dengan LTJS 48

5.6.5 Hubungan pengawasan reguler dengan LTJS 49

xii

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


5.6.6 Hubungan mendapat reward dengan LTJS 49

5.6.7 Hubungan mendapat sertifikat dengan LTJS 50

5.7 Hubungan indikator indikator keamanan dengan Kejadian LTJS 50

5.7.1 Hubungan upaya non recapping dengan LTJS 50

5.7.2 Hubungan menampung alat suntik bekas di sharps container


dengan LTJS 51

5.7.3 Hubungan eliminasi jarum suntik dengan LTJS 51

5.7.4 Hubungan penggunaan sistem intravena tanpa jarum dengan LTJS 52

5.7.5 Hubungan penggunaan jarum suntik safety design dengan LTJS 52

BAB VI 53

PEMBAHASAN 53

6.1 Hubungan persepsi, faktor reinforcing, faktor enabling dengan kepatuhan 53

6.5 Hubungan keamanan menyuntik dengan LTJS 54

6.6 Faktor yang paling dominan berhubungan dengan LTJS 54

6.7 Hubungan indikator kepatuhan pelaksanaan kewaspadaan universal


dengan kejadian LTJS. 54

BAB VII 57

SIMPULAN DAN SARAN 57

7.1 SIMPULAN 57

7.2 SARAN 59

DAFTAR PUSTAKA 60

LAMPIRAN 62

LAMPIRAN 1: PERMOHONAN PENGISIAN KUESIONER 62

LAMPIRAN 2: LEMBARAN PERSETUJUAN PENGISIAN KUESIONER 63

LAMPIRAN 3: KUESIONER 64

xiii

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


LAMPIRAN 4: SURAT PERMOHONAN IJN PENELITIAN 70

LAMPIRAN 5: SURAT IJIN PENELITIAN 71

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi frekuensi LTJS paramedis RDMS tahun 2012 46

Tabel 2. Distribusi frekuensi LTJS berdasarkan jenis kelamin pada paramedis


RDMS tahun 2012 46

Tabel 3. Distribusi frekuensi paramedis RDMS tahun 2012 47

Tabel 4. Distribusi faktor persepsi, faktor reinforcing, faktor enabling, faktor


kepatuhan, dan faktor keamanan menyuntik pada paramedis RDMS
tahun 2012 49

Tabel 5. Distribusi indikator indikator kepatuhan pada paramedis RDMS


tahun 2012 50

Tabel 6. Distribusi indikator indikator keamanan menyuntik pada paramedis


RDMS tahun 2012 51

Tabel 7. Hasil uji chi-square hubungan persepsi dengan kepatuhan paramedis


RDMS tahun 2012 52

Tabel 8. Hasil uji chi-square hubungan reinforcing dengan kepatuhan paramedis


RDMS tahun 2012 53

Tabel 9. Hasil uji chi-square hubungan enabling dengan kepatuhan paramedis


RDMS tahun 2012 53

Tabel 10. Hasil uji chi-square hubungan faktor enabling dengan keamanan
menyuntik pada paramedis RDMS tahun 2012 54

Tabel 11. Hasil uji chi-square hubungan kepatuhan dengan kejadian LTJS pada
paramedis RDMS tahun 2012 55

Tabel 12. Hasil uji chi-square hubungan keamanan menyuntik dengan kejadian
LTJS pada paramedis RDMS tahun 2012 55

Tabel 13. Hasil uji chi-square hubungan membaca SOP dengan LTJS
paramedis RDMS tahun 2012 56

xiv

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


Tabel 14. Hasil uji chi-square hubungan konsistensi memperlakukan sampel
infeksisus dengan LTJS pada paramedis RDMS tahun 2012 56

Tabel 15. Hasil uji chi-square hubungan memakai sarung tangan dengan
LTJS pada paramedis RDMS tahun 2012 57

Tabel 16. Hasil uji chi-square hubungan pengawasan dengan LTJS pada
paramedis RDMS tahun 2012 57

Tabel 17. Hasil uji chi-square hubungan pengawasan reguler dengan LTJS
pada paramedis RDMS tahun 2012 58

Tabel 18. Hasil uji chi-square hubungan mendapat reward dengan LTJS
pada paramedis RDMS tahun 2012 58

Tabel 19. Hasil uji chi-square hubungan mendapat sertifikat dengan LTJS
pada paramedis RDMS tahun 2012 59

Tabel 20. Hasil uji chi-square hubungan upaya non recapping dengan LTJS
pada paramedis RDMS tahun 2012 59

Tabel 21. Hasil uji chi-square hubungan menampung alat suntik bekas di
sharps container dengan LTJS pada paramedis RDMS tahun 2012 60

Tabel 22. Hasil uji chi-square hubungan eliminasi jarum suntik dengan

LTJS pada paramedis RDMS tahun 2012 60

Tabel 23. Hasil uji chi-square hubungan penggunaan sistem intravena tanpa
jarum dengan LTJS pada paramedis RDMS tahun 2012 61

Tabel 24. Hasil uji chi-square hubungan penggunaan jarum suntik safety design
tanpa jarum dengan LTJS pada paramedis RDMS tahun 2012 61

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Modifikasi HBM menurut Champion & Skinner 15


Bagan 2. Model PRECEDE – PROCEED menurut Green 17

xv

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Dalam bekerja sehari-hari Petugas Pelayanan Kesehatan (PPK)
berhadapan dengan risiko luka tusuk jarum suntik (LTJS) di mana jarum suntik
dapat membawa-serta patogen darah seperti virus hepatitis B (HBV), virus
hepatitis C (HCV), HIV (human immunodeficiency virus), dan dua puluh lebih
patogen lainnya, yang berdampak infeksi di mana peluang terjangkit infeksi
Hepatitis B ~ 30%, Hepatitis C ~ 10%, dan HIV ~ 0.3% (ICN, 2000)
Menurut WHO setiap tahun sebanyak 12 miliar suntikkan dilakukan di
seluruh dunia, dan setiap tahun sebanyak 3 juta orang terkena LTJS (Stoker,
2004). World Health Report 2002 melaporkan bahwa sebanyak 2 juta dari 35 juta
PPK di dunia terpajan infeksi per kutaneus per tahun (WHO, 2002)
Di Amerika Serikat diperkirakan PPK di rumah sakit menderita LTJS dan
luka akibat alat medis tajam lainnya sebanyak 385,000 kasus per tahun atau 1,000
kasus per hari (CDC, 2008). Di Indonesia, dalam Kepmenkes Nomor :
1087/MENKES/SK/VIII/2010 mencantumkan, penelitian dr. Joseph tahun 2005-
2007 mencatat bahwa proporsi LTJS mencapai 38-73% dari total petugas
kesehatan (Rival, 2012).
Faktor faktor yang melatar-belakangi terjadinya LTJS bervariasi di setiap
tempat kerja. Faktor predisposisi, faktor penguat (reinforcing factors), faktor
pemungkin (enabling factors) yang mempengaruhi perilaku seseorang pada model
Green tentang perilaku dan gaya hidup sehat, misalnya kepatuhan dan keamanan
menyuntik, dapat dipakai sebagai dasar untuk menjelaskan kejadian LTJS
(Green, 2012). Paramedis yang bertugas di rumah sakit terpajan risiko LTJS
dengan dampak infeksi yang menjadi kendala keselamatan kerja dan kesehatan
bagi mereka sekaligus tanggung jawab rumah sakit untuk menjamin keselamatan
dan kesehatan kerja paramedis.
RUMKITAL Dr Midiyato S (RDMS) berkedudukan di Tanjungpinang ibu
kota provinsi Kepulauan Riau adalah RUMKITAL Tingkat II milik TNI AL dan

1
UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


2

merupakan RUMKITAL rujukan untuk wilayah LANTAMAL IV yang melayani


kesehatan anggota TNI AL dan umum. RDMS terakreditasi Kementrian
Kesehatan RI untuk 5 bidang pelayanan, mampu melayani 300 pasien per hari,
berkapasitas 157 tempat tidur, memiliki 14 spesialisasi dengan 16 dokter
spesialis, 12 dokter umum, dan 330 paramedis.
Peneliti tertarik untuk menganalisa faktor faktor apa saja yang
mempengaruhi LTJS di RDMS.
1.2 Perumusan Masalah
RDMS menggunakan jarum suntik sebanyak 73.000 buah per tahun atau
200 buah per hari, namum demikian kejadian luka tusuk jarum suntik belum
terdata.
Prevalensi HIV per Juni 2012 di provinsi Kepulauan Riau sebesar 25.31
per 100.000 atau ranking ke lima secara nasional setelah Papua 171.70, Bali
70.81, DKI Jakarta 53.27, dan Kalimantan Barat 30.89 per 100.000 (Yayasan
Spiritia, 2012).
Faktor faktor yang berhubungan dengan terjadinya LTJS tersebut belum
teridentifikasi.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan pada penelitian ini adalah:
1. Faktor faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian LTJS?
2. Faktor faktor apa saja yang dominan ?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian adalah untuk mengetahui atau identifikasi
mengenai factor faktor berhubungan dengan kejadian LTJS pada paramedis di
RMDS.
14.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko berhubungan dengan
kejadian LTJS paramedis di RMDS, yaitu faktor persepsi,
faktor reinforcing, faktor enabling, faktor kepatuhan dan
faktor keamanan.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


3

2. Menentukan faktor dominan yang berhubungan dengan


LTJS di RMDS.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat bagi pihak rumah sakit
1. Sebagai masukan atau informasi tentang kejadian LTJS, faktor
faktor yang berhubungan dengannya.
2. Sebagai masukan untuk penyusunan program guna meminimalkan
kejadian LTJS melalui pengendalian faktor faktor yang
berhubungan.
1.5.2 Manfaat bagi keilmuan K3
1. Memperkaya informasi studi tentang kejadian LTJS, faktor faktor
berhubungan dengan kejadian LTJS.
2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang berhubungan
dengan kejadian LTJS berhubungan dengan kejadian LTJS.
1.5.3 Manfaat bagi mahasiswa
1. Merupakan media pemahaman terhadap LTJS dan faktor faktor
yang berhubungan dengannnya.
2. Sebagai bentuk aplikasi keilmuan K3 khususnya mengenai
kejadian LTJS dan faktor faktor yang berhubungan dengannnya.
1.6 Ruang lingkup penelitian
1. Subyek Studi
Subyek studi ini adalah paramedis RDMS Tanjungpinang.
2. Periode Studi
Penelitian ini dilakukan pada bulan November s/d Desember 2012
3. Lokasi Studi
Penelitian ini dilakukan di RDMS Tanjungpinang pada Instalasi
Gawat Darurat, Rawat Inap, ICU, Kamar Bedah, dan Laboratorium.
4. Aspek Studi
Aspek studi ini meliputi pengkajian faktor faktor yang mendasari
kejadian LTJS guna membantu RMDS dalam upaya meningkatkan
keselamatan dan kesehatan kerja paramedis, dan upaya menurunkan
insiden LTJS.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


4

5. Design Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional .

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi luka tusuk jarum suntik (LTJS)
The Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS)
menyatakan LTJS sebagai luka menembus kulit karena tertusuk jarum suntik
secara tidak sengaja dan dapat menularkan penyakit infeksi terutama virus
patogen darah seperti HIV, hepatitis B dan hepatitis C (CCOHS, 2005).
The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)
mendefinisikan LTJS sebagai luka yang disebabkan oleh jarum suntik seperti
jarum hipodermik, jarum pengambilan darah, stylet intravena, dan jarum yang
digunakan untuk menghubungkan bagian dari sitem intravena (NIOSH - CDC,
1999).
Pada tahun 2008, CDC (Centre of Dsesase Control and Prevention of
America) memperkirakan PPK di rumah sakit menderita LTJS dan luka akibat
alat medis tajam lainnya sebanyak 385,000 kasus per tahun atau 1,000 kasus per
hari. Kejadian LTJS yang sesungguhnya mungkin lebih tinggi dari perkiraan CDC
karena banyak kasus yang tidak dilaporkan (underreporting), beberapa survei
menyebutkan bahwa > 50% PPK tidak melaporkan LTJS yang terjadi pada diri
mereka (CDC, 2008).
Di Malaysia, Dr. Ng pada tahun 2006 melaporkan dalam penelitiannya
bahwa di rumah sakit pendidikan di Kuala Lumpur insiden LTJS untuk pembantu
perawat sebesar 50 %, perawat 37 %, dan dokter 27.2 % (Ng, 2007).
Di Indonesia, Kepmenkes Nomor 1087/Menkes/Sk/VIII/2010
mencantumkan hasil penelitian dr. Joseph tahun 2005-2007 yang mencatat bahwa
proporsi LTJS mencapai 38-73% dari total petugas kesehatan (Rival, 2012).
LTJS merupakan kecelakaan yang tidak dihendaki dan bila terpajan
patogen darah, misalnya HBV, HCV dan HIV, dapat berdampak infeksi. Oleh
karena itu perlu untuk mengetahui besaran prevalensi dan mengidentifikasi faktor
faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya LTJS guna melakukan
pengendalian dan pencegahan.

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


6

2.2 Infeksi patogen darah


PPK yang terkena LTJS dapat terpajan patogen darah dan berdampak
infeksi. Perawat mengalami insiden LTJS yang tertinggi diantara PPK. Patogen
darah meliputi virus Hepatitis B, virus Hepatitis C, HIV (human
immunodeficiency virus), dan lebih dari 20 jenis patogen darah lainnya. Risiko
terjangkit infeksi Hepatitis B ~ 30%, Hepatitis C ~ 10%, dan HIV ~ 0.3% (ICN,
2000).
Infeksi Hepatitis B merupakan risiko okupasional yang paling sering
terjadi pada PPK. Tingkat risiko seseorang PPK terinfeksi Hepatitis B di tempat
kerja berhubungan dengan tingkat kontak darah dan status e-Antigen Hepatitis B
(HBeAg) darah tersebut (Wilburn & Eijkemans dalam Naphole, 2009).
Sebagaimana diketahui, CDC mencatat bahwa PPK yang terkena LTJ dan
terkontaminasi darah dengan HBsAg positif dan HBeAg negatif mempunyai
risiko hepatitis klinis 1% sd 6% dengan serokonversi 23% sd 37%, sedangkan
kontaminasi darah dengan HBsAg negatif dan HBeAg positif mempunyai risiko
hepatitis klinis 22% sd 33% dengan serokonversi 37% sd 62%. (De Villiers, et all
dalam Naphole). Dalam konteks LTJS, risiko penularan HBV diperkirakan 60 kali
lebih besar jika carrier berstatus HBeAg positif dibanding carrier dengan HBeAg
negatif. Penularan HBV mempunyai risiko 10 kali lebih besar dari penularan HIV.
Risiko hepatitis B kronik bervariasi menurut umur saat terkena infeksi:
sekitar 90% untuk bayi dan 30% untuk balita, 5 – 6% untuk dewasa. Tergantung
tingkat keparahan, sekitar 25% hepatitis B kronik dapat berkembangan menjadi
sirosis hepatis. Hollinger menyatakan bahwa 5% penderita sirosis hepatis akan
berkembang menjadi hepatocellular carcinoma (HCC), sebaliknya 60 sd 90%
penderita dengan HCC positif menderita sirosis. (Hollinger, 2011, 12th Ed)
Insiden serokonversi anti HCV pasca pajanan terhadap sumber penularan
virus hepatitis C (HCV) posotif adalah 1.8%. EPINet (Exposure Prevention
Information Network) pada tahun 2003 menginformasikan bahwa terjadi laju
konversi 0.85% pada LTJS terkontaminasi HCV. Penularan HCV jarang sekali
terjadi pada selaput lendir yang terpajan darah dan juga belum pernah
terdokumentasi pada pajanan kulit yang tidak intak terhadap darah. Gejala klinis
terinfeksi HCV tidak segera terjadi pasca LTJS / NSI. Penelitian CDC

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


7

menunjukkan bahwa diperlukan waktu bertahun-tahun sampai Hepatitis C


menggejala pada seseorang. Oleh karena itu sesudah 10 – 20 tahun atau lebih
penyakit ini baru terdiagnosis. Sebanyak 80% dari mereka yang terinfeksi HCV
melalui LTJS / NSI berkembang menjadi hepatitis kronik and berisiko terhadap
sirosis hati dan kanker hati; sehingga mungkin memerlukan pencangkokan hati.
Risiko terjangkit HIV pada LTJS terpajan darah HIV positif tidak besar.
Beltrami memperkirakan risiko penularan HIV pasca pajanan melalui luka di kulit
akibat terjanan darah HIV positif skitar 0.3%. The Health Protection Agency
(HPA) di Inggris pada tahun 1993 melaporkan tercatat lima kasus infeksi HIV
pasca pajanan okupasi di sarana pelayanan kesehatan. (Noble & Spink dalam
Naphole, 2009)
2.3 Faktor faktor yang melandasi terjadinya LTJS
Wilburn dan Eijkemans dalam Naphole menyatakan bahwa determinan
LTJS meliputi: injeksi yang berlebihan, ketidak-tersediaan jarum suntik safety
design dan sharps container, kekurangan PPK, recapping pasca suntik,
pengoperan alat suntik, kurang waspada terhadap hazard jarum suntik, kurang
pelatihan (Naphole, 2009).
Ng menyatakan bahwa faktor faktor yang berkontribusi terhadap LTJS
termasuk tingkat pengetahuan tentang penyakit akibat patogen darah dan
kewaspadaan universal, dan persepsi terhadap risiko (Ng, 2007).
Ismail dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor faktor yang
mendasari terjadinya LTJS meliputi persepsi terhadap risiko LTJS, pengetahuan
dan pemberlakuan kewaspadaan universal, prosedur kerja, dan kepatuhan
pelaksanaan kewaspadaan universal (Ismail et all, 2009).
Jagger dalam Foley menyatakan bahwa alat suntik yang lebih aman,
bersama-sama dengan edukasi PPK dan pengendalian cara kerja dapat
mengurangi LTJS sampai > 90%. (Foley, 2003)
2.3.1 Umur
Umur merupakan faktor modifikasi (modifying factor) yang dapat
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap bahaya (threat) di mana orang muda
tidak menganggap sesuatu keadaan sebagai berbahaya tapi orang yang lebih
dewasa akan merasakan hal tersebut berbahaya (Redding et all, 2000).

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


8

2.3.2 Jenis kelamin


Jenis kelamin merupakan faktor modifikasi (modifying factor) yang dapat
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap bahaya (threat) (Redding et all,
2000).
Laki laki mempunyai pengetahuan dan praktek tentang kewaspadaan
universal lebih baik di banding perempuan (Mary dalam Ismail et all 2009).
2.3.3 Masa kerja
Masa kerja adalah faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi motivasi
individu maupun populasi untuk melakukan untuk mempraktekkan perilaku
sehat. Pekerja baru misalnya, kurang memiliki motivasi untuk berperilaku sehat
(Green, 2012).
PPK yang baru bekerja memiliki nilai persepsi terhadap risiko LTJS lebih
rendah (Ng dalam Ismail et all, 2009).
2.3.4 Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan adalah faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi
motivasi individu maupun populasi untuk mempraktekkan perilaku sehat di mana
individu dengan pendidikan lebih tinggi akan mempunyai motivasi yang lebih
kuat untuk berperilaku sehat (Green, 2012).
2.3.5 Pelatihan kewaspadaan universal
Kewaspadaan universal (universal precaution) merupakan konsep di mana
semua darah dan cairan tubuh diperlakukan sebagai infeksius dan dalam bekerja
pemakaian jarum suntik dan benda tajam lainnya di sarana kesehatan harus
mematuhi prosedur baku sebagai panduan umuk mencegah pajanan luka per
kutaneus dan membran mukosa terhadap patogen darah.
PPK yang tidak megikuti pelatihan kewaspadaan universal mempunyai
risiko LTJS yang lebih tinggi dibanding yang mengikuti pelatihan (Tan Siew
Khoon dalam Ismail et all, 2009).
2.3.6 Persepsi terhadap risiko LTJS
Persepsi terhadap risiko merupakan penafsiran subyektif kemungkinan
terjadinya sesuatu kecelakaan dan sejauh mana kita peduli dengan dampak
negatifnya. Dengan demikian, persepsi risiko merupakan kemampuan seseorang

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


9

untuk mengevaluasi probabilitas sesuatu kejadian yang tidak dikehendaki dan


keparahan konskuensi negatif dari kejadian tersebut.
Persepsi terhadap risiko pada PPK yang tidak mengalamiLTJS lebih tinggi
dari PPK yang mengalami LTJS (Ng, 2007) (Ismail et all, 2009).
2.3.7 Standarisasi dan pelaksanaan SOP berpedomankan kewaspadaan
universal
Standard Operating Procedure (SOP) atau prosedur operasi standar
merupakan serangkaian instruksi tertulis berupa dokumentasi aktifvitas rutin atau
repititif sebagai panduan sesuatu organisasi. Pengembangan dan pemakaian SOP
adalah bagian integral dari sistim pengendalian mutu karena menyediakan
informasi untuk bekerja dengan baik, dan mengfasilitasi konsistensi mutu serta
integritas dari sesuatu produk atau hasil akhir.
Dalam menjalankan tugas menyuntik dan mengambil darah, PPK
menghadapi risiko LTJS dan dampak infeksi, oleh karena itu mereka
memerlukan jaminan keselamatan kerja. CDC mengeluarkan panduan
kewaspadaan universal pada tahun 1985, selanjutnya rumah sakit
mengembangkan dan menerapkan kewaspadaan universal dalam SOP (standard
operating procedure) sebagai panduan kerja guna mencegah LTJS dan dampak
infeksi pada PPK.
2.3.8 Pengawasan pelaksanaan SOP
Pengawasan pelaksanan SOP merupakan factor reinforcing yang penting.
SOP walaupun tersedia lengkap dan diberlakukan secara resmi, masih
memerlukan pengawasan dilapangan untuk memastikan bahwa SOP telah
dilakukan dengan sebenarnya. Dalam Kepmenkes Nomor
1087/Menkes/Sk/VIII/2010 disebutkan pengawasan juga penting untuk
pengendalian mutu Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS).
2.3.9 Reward
Green dalam model PRECEDE – PROCEED menyatakan bahwa pemberian
reward penting untuk memotivasi perilaku orang untuk mencapai hasil outcome
yang dihendaki pada program kesehatan masyarakat (Green, 2012).

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


10

2.3.10 Kebijakan penggunaan jarum suntik safety design


OSHA menerbitkan Bloodborne Pathogens Standard pada thun 1991 yang
bertujuan melindungi PPK terhadap pajanan darah melalui hirarki kontrol dan
memberikan perhatian yang lebih besar untuk meniadakan bahaya LTJS melalui
pengembangan dan penerapan engineering control.
Amerika Serikat pada November 2008 mengesahkan Federal Needlestick
Safety And Prevention Act menjadi undang undang yang melindungi PPK
terhadap LTJS/alat medis tajam lain melalui pemanfaatan alat suntik/alat medis
tajam dengan rekayasa safety.
Pada dasarnya jarum suntik aman (safety needle) mempunyai karakteristik
rekayasa sebagau berikut:
1. Alat suntik dilengkapi laras atau retraktor atau mekanisme penumpulan
jarum suntik yang dapat dioperasikan secara manual maupun otomatis.
2. Memanfaatkan sistem menyuntik tanpa jarum pada aplikasi medis
tertentu.
2.3.11 Sharps container
CDC tahun 2008 menyatakan bahwa ketersediaan sharps container
sebagai alat penampung jarum suntik bekas pakai dapat mengurangi insiden
LTJS.
Pada dasarnya sharps container harus dapat tertutup rapat, rigid dan tak
dapat ditembus jarum suntik dan alat medis tajam lainnya. Sharps container
harus diberi label biohazard berwarna dasar kuning dengan tulisan merah, dan
diletakkan di tempat yang mudah dijangkau. Ketersediaan dan kemudahan akses
sharps container mempengaruhi kejadian LTJS (CDC, 2008).
2.3.12 APD (alat pelindung diri)
APD yang diperlukan dalam rangka mencegah risiko LTJS minimal
meliputi sarung tangan lateks tebal, celemek (apron) tahan tusukan jarum suntik
dan sepatu dengan fitur safety yang tidak tertembus oleh jarum suntik yang
terjatuh .
OSHA dan CDC di masa awal menekankan pentingnya penggunaan APD
dalam hal mencegah insiden LTJS, namun pada perkembangannya menerapkan
hirarki kontrol yang lazim digunakan pada praktek higiene industri dan

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


11

menekankaneliminasi dan reduksi pemakaian jarum suntik sebagai best practice,


dan isolasi pada kondisi eliminasi dan reduksi kurang memungkinkan. APD
dewasa ini diperlakukan sebagai last resources (Hoy, 2009)
2.3.13 Kepatuhan pelaksanaan kewaspadaan universal
Kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak orang yang belum
mengamalkan dengan benar kewaspadaan universal saat menangani pekerjaan
berhubungan alat suntik dan darah atau bahan infeksius lainnya.
OHSA (The Occupational Safety and Health Act) di satu pihak
mengharuskan majikan melakukan upaya keselamatan dan keseshatan kerja bagi
karyawam, di lain pihak mengharuskan karyawan menjaga dan memelihara
keselamatan dan kesehatan diri mereka sendiri dan sesama.
Di Indonesia, Kepmenkes No. 1087/Menkes/SKNIII/2010 tentang standar
kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit (K3RS) mengharuskan pengelola
rumah sakit maupun SDM rumah sakit mengupayakan keselamatan dan
kesehatan kerja melalui K3RS agar risiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja
(PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di rumah sakit dapat dihindari.
2.3.14 Tingkat keamanan (safety) menyuntik
Pada dasarnya upaya pencegahan LTJS meliputi tiga bidang yaitu:
1. Pelatihan dan edukasi
2. Penata-laksanaan kerja yang aman
3. Pemanfaatan alat suntik dengan safety design
Peningkatan pelatihan dan edukasi dan penatalaksanaaan kerja saja tidak
cukup untuk meniadakan LTJS keseluruhan. Pemanfaatan alat suntik dengan
rekayasa safety design diperlukan untuk peningkatan keselamatan menyuntik
guna pencegahan LTJS yang lebih baik (Eucomed, 2001)
OSHA mendefinisikan safety design sebagai atribut fisik yang
ditempahkan pada alat suntik yang digunakan untuk pengambilan cairan tubuh,
mengakses vena atau arteri, atau memasukkan obat atau cairan lain, yang secara
efektif mengurangi risiko pajanan insiden LTJS dengan mekanisme berupa
barrier, penumpulan, pembuangan atau mekanisme efektif lainnya.
Strategi rekayasa alat suntik safety pada umumnya meliputi langkah
langkah sebagai berikut:

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


12

1. Eliminasi kebutuhan jarum suntik (substitusi)


2. Isolasi jarum suntik agar tidak memliki hazard
3. Menambahkan alat untuk isolasi jarum suntik sesudah dipakai
Kombinasi pelatihan dan edukasi, penatalaksanaan kerja, dan pemanfaatan
alat suntik safety design akan meningkatkan keamanan menyuntik dandiprediksi
akan menurunkan risiko KTJS secara signifikan.
Engeneering control lainnya berupa pemafaatan sharps container untuk
penampungan alat suntik bekas pakai. Alat penampungan ini merupakan strategi
penting dan elemen inti dari upaya pencegahan dan pengendalian LTJS yang
komprehensif.

2.3.15 Kewaspadaan universal


OHSA dan CDC menyatakan bahwa pendekatan kewaspadaan universal
dengan penekanan pentingnya pemakaian APD dan pengendalian tatalaksana
kerja, efektif mencegah pajanan luka dan membran mukosa terhadap patogen
darah (CDC, 2008).
Prosedur baku kewaspadaan universal pada saat bekerja menggunakan
jarum suntik meliputi (Hoy, 2009):
1. Menggunakan APD (alat pelindung diri) berupa sarung tangan,
apron, dan sepatu tahan tembus.
2. Tidak menyarungkan kembali jarum suntik sesudah menyuntik/
mengambil darah (non recapping).
3. Menampung jarum suntik bekas di sharps container.
4. Mencuci tangan sebelum dan sesudah memakai sarung tangan.
5. Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak klinis dengan pasien.
6. Mencuci tangan sesudah memakai alat suntik.
7. Memeriksakan serologi dasar hepatitis B, hepatitis C, dan HIV.
8. Immunisasi Hepatitis B untuk petugas pelayanan kesehatan.
9. Memeriksakan kadar antibodi hepatitis B petugas pelayanan
kesehatan.
10. Memeriksakan serologi berkala hepatitis B, hepatitis C, dan HIV.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


13

11. Pemberian PEP hepatitis B berupa HBIG diberikan dalam 72 jam


pasca terpajan.
12. Pemberian PEP HIV berupa kombinasi tablet ARV (anti
retrovirus) diberikan antara satu sampai dengan dua jam pasca
terpajan.
2.3.16 Post Exposure Prophylaxis (PEP)
PEP (post exposure prophylaxes) adalah obat atau terapi yang diberikan
segera sesudah seseorang terpajan darah dan/atau carian tubuh yang dapat
menularkan infeksi, misalnya HBIG yang disuntikkan dalam 72 jam pasca
terpajan hepatitis B dan tablet ARV (anti retrovirus) untuk diminum dalam 1
sampai 2 jam pasca terpajan virus HIV.

2.4 Hirarki Kontrol


Menurut Foley (2003), The American Nurses Association (ANA) pada
tahun 2001 mulai memanfaatkan hirarki kontrol untuk pengendalian LTJS dengan
urutan mulai dari yang paling efektif sebagai berikut:
Hirarki kontrol
Eliminasi hazard, misalnya:
Menggantikan suntikan dengan obat per oral, per inhalasi atau
transdermal
Menggantikan jarum suntik dan spuit dengan jet injector
Menggunakan sisten intravena tanpa jarum.
Kontrol engineering, misalnya:
Menggunakan jarum suntik yang masuk kembali, tertutup laras,
atau menjadi tumpul secara otomatis segera setelah disuntikkan.
Kontrol administratif, misalnya:
Policy yang membatasi panjanan terhadap hazard.
Alokasi sumber daya terkait keselamatan PPK
Pembentukan badan pnecegahan LTJS
Program pengendalian pajanan
Penghapusan alat medis yang tidak aman
Pelatihan pemanfaatan alat medis yang aman.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


14

Pengendalian cara kerja, misalnya:


Mengupayakan non recapping sesudah menyuntik/mengambil
darah.
Tidak melakukan recapping
Menempatkan sharps container setinggi mata dan sejangkauan
tangan
APD, misalnya:
Menyediakan sarung tangan, celemek (apron) , goggle, dan masker

2.5 Health Belief Model (HBM)


Health Belief Model (HBM) adalah model psikologis yang berupaya
menjelaskan dan memprediksi perilaku kesehatan, dan berfokus pada sikap dan
keyakinan individu. HBM pertama kali dikembangkan pada tahun 1950 oleh
psikolog sosial Hochbaum, Rosenstock dan Kegels yang bertugas di Pelayanan
Kesehatan Masyarakat AS. Model ini dikembangkan dalam menanggapi
kegagalan program skrining kesehatan bebas terhadap tuberculosis (TB). HBM
kemudian diadaptasi untuk mengeksplorasi berbagai perilaku kesehatan jangka
panjang dan jangka pendek, termasuk perilaku seksual berisiko dan penularan
HIV/AIDS. (Utwente.nl)
Menurut HBM, likelyhood seseorang untuk bertindak-cegah terhadap
sesuatu penyakit tergantung pada persepsi dirinya terhadap kerentanan
(susceptibility), keparahan dampak penyakit (seriousness), manfaat-biaya (cost
benefit) dan palang perilaku (barriers) (Redding et all ,2000).
Perceived susceptibility merupakan kajian sesorang terhadap peluang
terkena penya kit. Individu yang percaya bahwa merokok dapat menyebabkan
kanker akan berhenti atau tidak merokok.
Perceived seriousness adalah kajian seseorang akan keparahan dampak
dari sesuatu penyakit. Mereka yang percaya bahwa konsekuensi dari sesuatu
penyakit cukup parah akan berusaha menghindari penyakit tersebut.
Perceived seriousness bersamasama dengan perceived susceptibility akan
membentuk persepsi seseorang terhadap ancaman yang dirasakan (perceived
threat).

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


15

Perceived benefits berupa keuntungan atau manfaat yang dirasakan apabila


seseorang melakukan proteksi. Misalnya orang percaya bahwa vaksinasi hepatitis
B akan melindungi dirinya dari infeksi tersebut.
Perceived Barriers adalah evaluasi seberapa sulitnya dirasakan secara
psikologis atau non psikologis jika berperilaku sehat sesuai advis.
Cues to action merupakan motivasi rangsangan seseorang untuk
berperilaku sehat, Misalnya orang tua yang sakit atau meninggal karena sesuatu
penyakit menjadi cue to action seseorang untuk menghindari penyakit tersebut
(Redding et all, 2000).
Dewasa ini HBM telah banyak dimodifikasi, berikut ini adalah salah satu
model yang sering digunakan:

Bagan 1. Modifikasi HBM menurut Champion & Skinner

Bagan dikutip dan digambar ulang dari The HealthBelief Model (Remocker, 2001)

2.6 Green model


Lawrence W. Green, pada tahun 1970 memperkenalkan model PRECEDE
dan PROCEED yang dapat dimanfaatkan untuk penaganan masalah kesehataan
masyarakat maupun masalah masyarakat lainnya.
PRECEDE merupakan akronim dari Predisposing Reinforcing and Enabling

Constructs in Educational/Environmental Diagnosis and Evaluation. Procede


secara harafiah dapat berarti proses menuju ke sesuatu intervensi. Sedangkan
PROCEED merupakan singkatan dari Policy Regulatory and Organizational

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


16

Constructs in Educational and Environmental Development, yang juga berarti


meneruskan intervensi tadi. Jadi PRECEDE dan PROCEED dapat bermakna
manajemen menuju sesuatu intervensi masalah kesehatan masyarakat dan seni
menerapkan intervensi tersebut.
Faktor predisposisi (predisposing factors) merupakan faktor yang
mempengaruhi motivasi individu maupun populasi untuk melakukan atau
mempraktekkan perilaku tertentu. Faktor predisposisi meliputi umur, masa kerja,
pendidikan, pengetahuan, sikap, kepercayaan, kegemaran, keterampilan
(pelatihan), and keyakinan diri (self-efficacy) terhadap hasil yang akan dicapai.
Reinforcing factors meliputi faktor faktor misalnya memberi reward untuk
perubahan perilaku yang diharapkan, misalnya bantuan sosial, bantuan ekonomi.
Enabling factors merupakan ketersediaandan kemudahan akses sumber
daya termasuksarana fisik, skill dan layanan yang memudahkan pencapaian
perubahan perilaku untuk membuahkan hasil akhir.
Pada tahun 1990 PROCEED menambahkan faktor kebijakan (policy) dan
peraturan (regulatory) serta faktor ekologi dan lingkungan sebagai determinan
penanganan isu kesehatan masyarakat. Sehubung perkembangan pesat di
bidangnya, pada tahun 2005 genetika ditambahkan ke model PRECEDE – PROCEED
sebagai revisi.
PRECEDEterdiri dari empat tahapan atau fase meliputi:

Fase 1 : Identifikasi hasil akhir (outcome) yang dihendaki.


Fase 2 : Identifikasi dan menetapkan prioritas masalah kesehatan
msayarakat dan determinan perilaku dan lingkungnan atau
kondisi lain yang dapat mencapai hasil akhir tersebut.
Fase 3 : Identifikasi faktor faktor predisposing, enabling, and reinforcing
yang dapat mempengaruhi faktor perilaku, sikap dan lingkungan
pada fase 2.
Fase 4: Identifikasi faktor administrasi dan kebijakan yang dapat
mempengaruhi implementasi program.
Pokok pikiran yang melatar-belakangi siklus PRECEDE-PROCEED bahwa
proses perubahan dimulai dari outcome. Jadi PRECEDE berjalan arah mundur dari
outcome ke administrasi dan kebijakan.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


17

PROCEEDjuga terdiri dari 4 fase dengan arah menuju ke outcome.

Fase 5 : Implementasi
Fase 6 : Evaluasi proses
Fase 7 : Evaluasi dampak
Fase 8 : Evaluasi hasil / outcome
Model PRECEDE – PROCEED dikembangkan terus oleh ilmuwan dan
praktisi maupun Green sendiri. Sampai sekarang sudah terdapat 1000 lebih model
aplikasi. Model yang dibahas tersebut di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan 2. Model PRECEDE – PROCEED menurut Green


Gambar dikutip dari"Precede-Proceed Model." Encyclopedia of Public Health. Ed.
Lester Breslow. Vol. 3. 2002 (Breslow, 2002)
2.7 SkalaLikert
Skala Likert adalah skala yang digunakan untuk mengukur sikap,
pendapat, dan persepsi seseorang atau kelompok tentang fenomena sosial dan
kesehatan masyarakat. Fenomena sosial dan kesehatan ini akan digunakan sebagai
variabel dalam penelitian. Variabel dapat diukur berdasarkan indikator variabel

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


18

sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrument berupa pernyataan atau
pertanyaaan (Sugiyono, 2009).
Pada skala Likert, variabel yang akan diukur diuraikan menjadi indikator
variabel. Berdasarkan indikator variabel tersebut disusun item-item instrument
berupa pertanyaan atau pernyataan. Skala Likerttediri dari lima titik skala dengan
titik netral pada posisi tengah. Gradasi jawaban responden mulai dari kategori
paling positif sampai paling negatif, misalnya Sangat Sering (SS), Sering (S),
Kadang-kadang (KK), Jarang (JR), dan TidakPernah (TP). Pernyataan yang
menguntungkan (favorable) diberi skor 5 sampai dengan 1, dan sebaliknya
pernyataan non favorable diberi skor 1 sampai 5.
Guna mempermudah intepretasi dilakukan dikotomisasi terhadap katagori
respon dengan cara menggabung beberapa kategori menjadi satu, sehingga
akhirnya hanya didapatkan dua katagori saja. Kategori dengan skor 5 atau 4 diberi
nilai 1, sedangkan kategori dengan skor 2 atau 1 diberi nilai 0.
Skor respoden sesudah dilakukan dikotomi akhirnya menjadi dua kategori
nilai saja yaitu 0 atau 1. Skor seorang responden merupakan penjumlahan nilai
seluruh penyataan pasca dikotomi.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI
OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori

3.2 Kerangka Konsep


Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:

19

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


20

Keterangan:

Persepsi PPK terhadap risiko LTJS dan dampak infeksi meliputi kesadaran
bahwa :
1. Semua sampel darah dan cairan tubuh harus diperlakukan
infeksius
2. Perlunya mencuci tangan sebelum dan sesudah memakai
sarung tangan
3. Perlunya memakai APD berupa sarung tangan
4. Perlunya memakai APD berupa apron
5. Perlunya praktek non recapping sesudah memakai jarun
suntuk
6. Perlunya sharps container untuk menampung limbah alat
suntik.
7. Perlunya sistem intravena tanpa jarum

Faktor reinforcing terhadap PPK meliputi kewaspadaan universal dan


hirarki kontrol meliputipemberlakuan:
1. SOP tentang Kewaspadaan Universal dan Higiene Hindustri.
2. Keharusan mencuci tangan sebelum dan sesudah memakai
sarung tangan.
3. Keharusan memakai APD berupa sarung tangan
4. Keharusan melakukan non recappingsesudah menyuntik
5. Keharusan menampung jarum suntik bekas di sharps
container
6. Keharusanuntuk sedapat mungkin tidak menggunakan alat
suntik (eliminasi).
7. Pemakaian sistem intravena tanpa jarum
8. Pemakaian jarum safety design
9. Melakukan pengawasan
10. Memberikan reward dan penghargaan
Faktor enabling untuk pelaksanaan SOP meliputi indikator ketersediaan
sumber daya sebagai berikut:
1. Pengadaan pelatihan kewaspadaan universal dan higiene
industri oleh rumah sakit
2. Ketersediaan salinan SOP di tempat kerja
3. Salinan SOP terpampang dan yang mudah di baca
4. Ketersedian sarung tangan (hand glove) untuk menyuntik /
mengambil darah
5. Ketersediaan pedoman non recapping
6. Pedoman non recapping SOP terpampang dan yang mudah
di baca.
7. Ketersediaan sharps container
8. Ketersediaan sistem intravena tanpa jarum
9. Ketersediaan jarum suntik safety design
10. Pemberdayaan supervisor program
11. Pemberdayaan pengawasan reguler

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


21

12. Memberikan reward


13. Memberikan award
Faktor Kepatuhan pelakasanaan kewaspadaan universal dan higiene
industri meliputi::
1. Konsistensi membaca SOP sebelum bekerja
2. Konsistensi memperlakukan semua sampel sebagai bahan
infeksisus
3. Konsistensi memakai sarung tangan
4. Mendapat pengawasan pelaksananan kewaspadaan
universal
5. Konsistensi (regularitas) pengawasan
6. Mendapat reward
7. Mendapat sertifikat
Faktor keamanan menyuntik meliputi indikatorgai berikut:
1. Upaya non recapping dengan LTJS
2. Upaya menampung alat suntik bekas di sharps container
3. Upaya eliminasi jarum suntik dengan LTJS
4. Penggunaan sistem intravena tanpa jarum dengan LTJS
5. Penggunaan jarum suntik safety design dengan LTJS

3.3 Definisi operasional


Definisi operasional dari kerangka konsep di atas adalah sebagai berikut :

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


22

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


23

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


24

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


25

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan penelitian


Desain penelitian ini merupakan cross sectional study yang bersifat
kuantitatif obervasional, bermaksud untuk mengetahui distribusi frekuensi dari
LTJS, faktor predisposisi, faktor reinforcing, dan faktor enabling serta korelasi
antara faktor faktor tersebut dengan inseden LTJS pada PPK yang bertugas
di,Instalasi Gawat Darat, Unit Rawat Inap, ICU, Kamar Bedahdan Laboratorium
Klinik di RUMKITAL Dr. Midiyato S Tanjungpinang.
Data penelitian akan disajikan dalam bentuk deskriftif untuk insiden LTJS,
faktor prediposisi, faktor reinforcing, faktor enabling, faktor kepatuhan, faktor
kemananan menyuntik; dan analitik untuk korelasi antar variabel.
4.2. Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi penelitian meliputi Instalasi Gawat Darurat, Rawat Inap, ICU,
Kamar Bedah dan Laboratorium di Rumkital Dr. Midiyato S Tanjungpinang pada
kurun waktu November sd Desember 2012.
4.3 Kriteria inklusi dan eksklusi
Kriteria inklusi merupakan karaktristik umum yang harus dipenuhi oleh
subyek sehingga dapat diikut-sertakan dalam penelitian. Kriteria inklusi pada
penelitian ini yaitu:
1. Pria dan wanita
2. Berumur 20 sd 50 tahun
3. PPK meliputi paramedis yang bertugas di Instalasi Gawat Darat, Unit
Rawat Inap, ICU, Kamar Bedah dan Laboratorium Klinikdi Rumkital
Dr. Midiyato S Tanjungpinang
4. Masa bekerja minimal 2 tahun
5. Bersedia menjadi subyek pada penelitian dan memberi persetujuan
tertulis.

Kriteria eksklusi adalah hal hal yang menyebabkan bahwa subyek yang
memenuhi kriteria tapi tidak diikut-sertakankan dalam penelitian, yaitu:
26
UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


27

1. Responden sedang sakit


2. Responden tidak di tempat karena cuti, tugas luar atau pindah.

4.4 Populasi dan sampling


Populasi pada penelitian ini adalah paramedis yang bertugas di Instalasi
Gawat Darat, Unit Rawat Inap, ICU, Kamar Bedah dan Laboratorium Klinik di
Rumkital Dr. Midiyato S Tanjungpinang. Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik populasi PPK yang dapat mewakili seluruh populasi PPK yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Penarikan sampel menggunakakan random sampling. Populasi PPK yang
akan diteliti terdiri dari perawat dengan jenjang pendidikan berbeda-beda.
Sedangkan penghitungan besaran sampel (sample size) dengan menggunakan
rumus uji beda dua proporsi dua sisi untuk uji hipotesis beda proporsi sebagai
berikut (Ariawan, 1998):

( − ) + ( − )+ ( − )
=
( )

Keterangan :
n = Jumlah Sampel
P = Rata-rata proporsi P1 dan P2
P1 = Proporsi LTJS pada perawat di rumah sakit pendidikan
di Kuala umpur37% (Ng, 2007)
P2 = Proporsi LTJSpada orang awam di Indonesia (15% asumsi)
Z1-α/2 = nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2sebesar 95% (1.96)
Z1-β = nilai Z pada kekuatan uji 1-β sebesar 90% (1.282)

Jika P1 sebesar 37% dan P2 sebesar 15%, maka hasil penhitungan nilai n =
97. Dengan demikian besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 97 sampel.
Untuk menghindari penyusutan bila ada sampel yang gugur maka sampel
ditambah 10% menjadi 106.7 dengan pembulatan menjadi 108 sampel.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


28

4.5 Metode pengumpulan data


Data akan dikumpulkan oleh peneliti sendiri selama penelitian
berlangsung. Langkah langkah pengumpulan data sbb :
1. Setelah mendapat ijin untuk mengadakan penelitian, peneliti
mengidentifikasi calon dan medekati calon responden untuk menjelaskan
tujuan dan manfaat peran serta mereka dan memberi jaminan kerahasiaan
calon responden; kemudian meminta tanda tangan calon yang menyetujui
untuk ikut serta dalam penelitian ini.
2. Mengumpulkan responden yang terpilih dan memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi, untuk menjelaskan tentang informed consent dan cara pengisian
kuesioner, kemudian n membagikan kuesioner untuk diisi.
3. Mengumpulkan kuesioner setelah diisi lengkap.
4.6 Pengelolaan Data
Mengelola data terkumpul dengan cara menggunakan empat tahapan
pengelolaan sebagai berikut:
1. Pengeditan data (Data Editing)
Sesudah kuesioner diisi lengkap oleh responden, dilakukan
pemeriksaan terhadap kelengkapan pengisian, konsistensi jawaban dan
kejelasan hasil pengisian setiap kuesioner tersebut. Pengeditan dilakukann
di lapangan sehingga apabila terjadi kesalahan data dapat degera di
perbaiki.
2. Kodefikasi data (Data coding)
Kodifikasi data adalah kegiatan merubah data alfabet menjadi data
numerik. Kodifikasi ini bermanfaat mempermudah analisis data dan
mempercepat data entry ke program SPSS.
3. Pemasukkan data (data entry)
Data Entry berarti memasukkan data ke program SPSS. SPSS
dapat mengelola dan menyajikan data secara deskriptif maupun analitik.
Data deskriptif misalnya frekuensi distribusi dan data analitik misalnya
korelasi antar variabel pada uji bivariat maupun uji multivariat.
4. Membersihkan data (Data Cleaning)

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


29

Data Cleaning bermaksuduntuk mencegah kesalahan yang


mungkin terjadi, di mana nilai hilang (missing value) dan data yang di luar
range tidak diikut-sertakan dalam analisis data.
Dengan demikian data siap untuk dianalisis.
4.7 Skala pengukuran
Penelitian ini menggunakan skala Liker 4 titik untuk mengukur indikator
varaibel di mana gradasi jawaban responden mulai dari kategori paling negatif
sampai paling positif, yaitu TidakPernah (TP),Jarang (JR), Sering (S), dan Sangat
Sering (SS). Pernyataan yang diberi skor 1 sampai dengan 4 mulai dari yang non
favorable sampai dengan yang favorabel.
Skor respoden sesudah dilakukan dikotomi menjadi dua kategori nilai saja
yaitu 0 atau 1. Kategori sangat Jarang (SJ) atau Jarang (JR) diberi skor 0, Sering
(S) atau Sangat Sering (SS) diberi skor 1. Skor seorang responden merupakan
penjumlahan nilai seluruh penyataan pasca dikotomi.
Contoh evaluasi kuesioner seorang responden sebagai berikut:
Skoring Likert untuk kuesioner tentang persepsi terdiri dari 7 pertanyaan
sebagai berikut:
Tabel 1 Nilai komposit variabel persepsi pra dan pasca dikotomisasi

Skala Likert 4 titik Dikotomisasi


Kuesioner Nilai Nilai Nilai
Nilai mininal
Persepsi maksimal mininal maksimal
KP1 1 4 0 1
KP2 1 4 0 1
KP3 1 4 0 1
KP4 1 4 0 1
KP5 1 4 0 1
KP6 1 4 0 1
KP7 1 4 0 1
Nilai Komposit 7 28 0 7

Variabel persepsi adalah nilai komposit pasca dikotomisasi indikator KP1


s/d KP7, di mana nilai komposit minimal = 0 dan nilai komposit
maksimal = 7.
Dengan nilai cut off 3,5 akan didapatkan 2 kategori:
Nilai persepsi rendah ≤ 3,5

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


30

Nilai persepsi tinggi > 3,5


Dengan cara yang sama dapat ditetapkan nilai variabel lain sebagai
berikut:
Nilai reinforcing tidak memadai ≤ 5
Nilai reinforcing memadai > 5
Nilai enabling tidak memadai ≤ 6,5
Nilaienabling memadai > 6,5
Nilai tidak patuh ≤ 3,5
Nilai patuh > 3,5
Nilai tidak menyuntik secara aman ≤ 2,5
Nilai menyuntik secara aman > 2.5
4.8 Uji validitas dan realibilitas instrumen
4.8.1 Validitas instrumen
Instrumen yang valid berarti instrumen tepat digunakan untuk memperoleh
data sehingga benar dapat digunakan untuk mengukur sesuatu yang hendak
diukur. Dikenal validilitas internal dan eksternal di mana validitas internal
meliputi validitas konstruk dan validitas isi. Validitas eksternal berupa
pembandingan kriteria pada instrumen dengan fakta fakta empiris di lapangan.
Instrumen mempunayi validitas konstruk yang baik apabila indikator
variabel yang hendak diukur sesuai dan berlandaskan teori dan pendapat ahli yang
kuat; sedangkan instrumen mempunyai validitas isi yang baik apabila alat
penelitian tersebut relevan dengan kemampuan, pengetahuan, pengalaman, dan
latar belakang responden (Sugiyono, 2009) (Prasetyo et all, 2011).
Pada setiap instrumen terdapat butir-butir (item) pertanyaan atau
pernyataan. Untuk menghitung nilai korelasinya digunakan Pearson Product
Moment yang dirumuskan:

Keterangan:
R = koefisien korelasi

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


31

X = skor butir
Y = skor total butir
N = besar sampel

Nilai korelasi ini digunakan untuk mengukur kekuatan linier antara data
yang memiliki tingkat pengukuran interval/rasio dengan arah hubungan simetrik.
Koefisien yang dihasilkan bernilai antara -1 hingga +1, yang menunjukkan apakah
hubungan linier tersebut positif atau negatif.
Agar penelitian ini lebih teliti, sebuah item sebaiknya memiliki korelasi (r)
dengan skor total masing-masing variabel ≥ 0,25. Item yang mempunyai r hitung <
0,25 akan disingkirkan karena tidak memiliki kontribusi.
Jika hasil uji tidak valid maka pertanyaan atau pernyataan tersebut
dibuang. Pertanyaan-pernyataan yang valid secara bersama diukur reliabilitasnya
dengan membandingkan nilai “r table” dengan nilai “r hitung”
4.8.2 Realibilitas instrumen
Instrumen yang reliabel berarti instrumen yang bila digunakan berulang
kali untuk mengukur objek yanga sama akan menghasilkan data yang sama. Uji
reabilitas instrumen dapat dilakukan secara eksternal maupun intenal. Uji
reliabilitas eksternal dapat dilakukan dengan test-retest,equivalent, dan gabungan
keduanya. Uji reliabilitas internal dilakukan dengan mencoba instrumen hanya
sekali saja di mana hasil yang diperoleh dianalisa dengan teknik Spearman
Brown(split half), rumus KR 20 (Kuder Richardson), KR 21, Anova Hoyt, dan
Alfa Cronbach. Analisa data dikotomis dapat menggunakan uji reliabilitas split
half dari Spearman Brown.Hasil analisis dapat digunakan untuk memprediksi
reliabilitas instrumen. (Sugiyono, 2009)

Rumus Spearman Brown (split half) sebagai berikut:

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


32

Keterangan:
= nilai reliabilitas instrument
= nilai korelasi product moment

Kemudian dilaksanakan uji reliabilitas angket kepada beberapa responden,


memperbaiki angket yang tidak reliabel, menyebarkan angket yang dapat
dipercaya (reliable), mengumpulkan kembali angket, dan pengolahan data hasil
angket yang telah diterima kembali.
4.9 Analisis data
Studi ini mengumpulkan data dengan memggunakan angket kuesioner
yang terstrutur dan pertanyaan bersifat tertutup di mana responden menjawab
pertanyaan sesuai dengan variabel yang diteliti. Penggunaan kuesioner
mempunyai keuntungan karena murah, di samping itu kuesioner dapat digunakan
secara luas dan dalam jumlah besar, dan tidak bias akibat pengaruh pewawancara
(Kothari, 2004).
Untuk menghindari jawaban yang ragu ragu maka peneliti melakukan
modifikasi skala Likert dengan cara meniadakan nilai tengah agar jawaban
menjadi 4 kategori saja yaitu Sangat Jarang (SJ), Jarang (JR), Sering (S), Sangat
sering (SS).
Analisis data pada penelitian ini bermaksud untuk mengolah dan
menyajikan data dalam bentuk yang mudah dibaca dan diintepretasikan. Analisis
data akan dilakukan sebagai berikut:
4.9.1 Analisis distribusi frekuensi
Analisis distribusi frekuensi pada penelitian ini bermaksud untuk
meyajikan gambaran distribusi frekuensi dari setiap variabel penelitian terkait
prevalensi, dan faktor predisposisi, faktor reinforcing, dan faktor enabling sebagai
variabel independen serta insiden LTJS sebagai variabel dependen.
4.9.2 Analisis hubungan antara variable independen dan dependen
Setelah karakteristik distribusi frekuensi tergambarkan maka mengolahan
data dapat dilanjutkan dengan analisis bivariat. Analisis bivariat ini digunakan
UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


33

untuk menguji hipotesis dengan cara menentukan korelasi antara variabel


independen dan variabel dependen melalui uji sebagai berikut:
1. Analisis proporsi untuk membandingkan distribusi silang antar dua
variabel yang berkaitan.
2. Analisis hasil uji (chi-square) untuk menentukan korelasi dan
signifikansi korelasi antara dua variabel.
3. Odds ratio (OR) untuk menganalisis keeratan hubungan antara dua
variabel. Makin besar odds ratio makin kuat hubungan antar variabel
atau sebaliknya.
Penelitian ini menggunakan uji chi square karena variabel variabel yang
akan diuji merupakan data skala kategorik.
Rumus chi-square sebagai beikut:

di mana:
x2 = nilai chi square
O = nilai observasi
E = nilai ekspektasi

Pada tingkat kesalahan α (0.05) dan interval kepercayaan (CI = 95%),


analisis hasilpenelitian sebagai berikut:
1. Jika p value ≤ α (0.05), maka Ho diterima.
Kesimpulan:
Ada perbedaan atau ada hubungan bermakna secara statistik.
2. Jika p value ≥ α (0.05), maka Ho ditolak.
Kesimpulan:
Tidak ada perbedaan atau tidak ada hubungan bermakna secara statistik
(Dahlan, 2011, Edisi 5).
4.9.3 Keterbatasan metodologi penelitian
Keterbatasan dalam metodologi penelitian dapat mempengaruhi hasil
penelitian antara lain karena:

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


34

1. Penelitian hanya dilakukan pada paramedis di satu rumah sakit saja.


2. Penelitian belum diaplikasikan di rumah sakit lain.
3. Data penelitian diperoleh dengan hanya satu kali penelitian dalam
waktu yang sama melalui kuesioner yang terstruktur dan pertanyaan
yang tertutup.
4. Sehubung keterbatasan waktu, tidak semua aspek diteliti, sehingga
masih diperlukan penelitian lanjutan untuk mengkaji aspek lain yang
mempengaruhi kejadian LTJS di RMDS.
5. Jawaban responden tidak selalu menggambarkan keadaan yang
sebenarnya akibat kemungkinan salah persepsi terhadap kuesioner
yang diberikan; di samping itu kejujuran juga berpengaruh.
6. Dalam mengisi kuesioner sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis
serta mood responden pada penelitian, di mana resapon masih dalam
jam kerja.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


BAB V
HASIL PENELITIAN
Hasil analisis terdiri dari analisis univariat dengan menyajian frekuensi
distribusi dari faktor predisposisi, faktor reinforecing, faktor enabling, faktor
kepatuhan, dan faktor keamanan menyuntik yang dapat mempengaruhi kejadian
LTJS. Analisis bivariat menggunakan chi-square untuk mengetahui probabilitas
faktor faktor yang berhubungan dengan LTJS.
5.1 Uji validitas dan reabilitas kuesioner
Uji validitas dan uji reliabilitas instrument dilakukan sebelum penelitian
dimulai. Uji validitas adalah uji statistik yang digunakan guna menentukan
seberapa valid suatu item pertanyaan mengukur variabel yang diteliti. Uji
reliabilitas item adalah uji statistik yang digunakan guna menentukan reliabilitas
serangkaian pertanyaan dalam kehandalannya mengukur suatu variabel.
5.1.1 Uji validitas
Uji validitas kuesioner dilakukan terhadap 30 responden. Dalam uji ini,
setiap skor item kuesioner diuji relasinya dengan skor total variabel yang
dikonstruk dengan menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment. Jika nilai
koefisien korelasi (r) yang diperoleh adalah positif atau r hitung > r tabel, maka
butir kuesioner yang diuji adalah valid.
Validitas item penelitian ini diuji pada taraf kepercayaan (CI) 95%
dengan jumlah responden 15 (N=30) di mana item-item dengan nilai r hitung > r
tabel (0,250) akan digunakan dalam penelitian.
Hasil uji validitas menggunakan software SPSS 20, dari total 64 butir
pertanyaan yang ditanyakan kepada responden, yang valid sebanyak 42 butir
pertanyaan. Butir yang tidak valid sebanyak 22 butir dikeluarkan dari kuesioner.
5.1.2 Uji reliabilitas
Untuk menguji sejauh mana konsistensi responden menjawab instrument
kuesioner yang dinilai digunakan uji Alfa Cronbach dengan rumus sebagai
berikut:

35

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


36

keterangan:

 Jika alpha > 0,90 maka reliabilitas sempurna


 Jika alpha antara 0,70 – 0,90 maka reliabilitas tinggi
 Jika alpha antara 0,50 – 0,70 maka reliabilitas moderat
 Jika alpha < 0,50 maka reliabilitas rendah (Hilton,
2004)

Penelitian ini menggunakan uji Alfa Cronbach dengan software SPSS 20


dengan nilai hasil uji realibilitas sebesar 0,975 yang berarti kuesioner yang
berjumlah 42 butir pertanyan adalah reliabel dan valid dalam penelitian ini.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


37

5.2 Distribusi frekuensi


5.2.1 Distribusi frekuensi LTJS
Tabel 1. Distribusi frekuensi LTJS paramedis RDMS tahun 2012

N %
Kategori
Tertusuk 80 80.00
Tidak tertusuk 20 20.00
Total 100 100.00

Responden sebagian besar (80%) mengalami LTJS.


5.2.2 Distribusi frekuensi LTJS berdasarkan jenis kelamin
Tabel 2. Distribusi frekuensi LTJS berdasarkan jenis kelamin
pada paramedis RDMS tahun 2012

LTJS
Jenis kelamin Ya Tidak
N (%) N (5)
Wanita 66 (80,5%) 16 (19,5%)
Pria 14 (77,8%) 4 (22,2)

Responden wanita lebih banyak mengalami LTJS (80,5%).

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


38

5.2.3 Distribusi frekuensi karakteristik responden


Tabel 3. Distribusi frekuensi paramedis RDMS tahun 2012

Karakteristik Kategori
N %

Jenis kelamin Wanita 82 82,00


Pria 18 18,00
Total 100 100.00
Umur (interval) Umur ≤ 25 th 56 56,00
Umur 25 – 35 th 11 11,00
Umur > 35 th 33 33,00
Total 100 100,00
Umur (cut off) Umur ≤ 30 th 57 57,00
Umur> 30 th 43 43,00
Total 100 100,00
Pendidikan SKP & DIII Kep 89 89,00
S1 Kep 11 11,00
Total 100 100,00
Umur < 5 th 56 56,0
Masa kerja Umur 5 - 10 th 11 11,0
(interval) Umur > 10 th 33 33,0
Total 100 100,0
Masa kerja (cut off) Masa Kerja ≤ 10 th 67 67,0
Masa Kerja > 10 th 33 33,0
Total 100 100,0
Pelatihan Jarang 72 72,0
Sering 28 28,0
Total 100 100,0
IGD 17 17,0
Ranap 58 58,0
Unit kerja ICU 10 10,0
Bedah 10 10,0
Labor 5 5,0
Total 100 100,0

1. Jumlah responden dengan jenis kelamin wanita lebih banyak (82%).


2. Berdasarkan kategori interval, jumlah responden berumur < 25 tahun
paling banyak (56%).
3. Berdasarkan kategori cut off, jumlah responden berumur ≤ 30 th
terbanyak (57%).

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


39

4. Responden berpendidikan SKP/DIII Keperawatan terbanyak (89%).


5. Berdasarkan kategori interval, jumlah reponden dengan masa kerja ≤ 5
tahun terbanyak (56%).
6. Berdasarkan kategori cut off, jumlah responden dengan masa kerja
≤ 10 terbanyak (67%).
7. Jumlah responden yang jarang mengikuti pelatihan terbanyak (72%).
8. Jumlah responden yang bertugas di unit rawat inap terbanyak (58%).

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


40

Tabel 4. Distribusi faktor persepsi, faktor reinforcing, faktor enabling,


faktor kepatuhan, dan faktor keamanan menyuntik
pada paramedis RDMS tahun 2012

Total
N %
Persepsi
Rendah (Nilai ≤ 3.5) 72 72,00
Tinggi (Nilai > 3.5) 28 28,00
Total 100 100
Faktor reinforcing
Tidak memadai (Nilai ≤ 5) 74 74,00
Memadai (Nilai > 5) 26 26,00
Total 100 100
Faktor enabling
Tidak memadai (Nilai ≤ 6.5) 72 72,00
Memadai (Nilai > 6.5) 28 28,00
Total 100 100
Faktor kepatuhan
Tidak patuh (Nilai ≤ 3.5) 68 68,00
Patuh (Nilai > 3.5) 32 32,00
Total 100 100
Faktor keamanan menyuntik
Tidak aman (Nilai ≤ 2.5) 70 70,0
Aman (Nilai > 2.5) 10 10,0
Total 100 100

1. Jumlah responden dengan persepsi rendah terbanyak (72%).


2. Jumlah responden faktor reinforcing tidak memadai terbanyak
(74%).
3. Responden dengan faktor enabling tidak memadai terbanyak
(72%).
4. Jumlah responden yang tidak patuh terbanyak (68%).
5. Jumlah responden yang tidak menyuntik dengan aman terbanyak
(72%).

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


41

Tabel 5. Distribusi indikator indikator kepatuhan


pada paramedis RDMS tahun 2012

Indikator kepatuhan Total


N %
Membaca SOP
Sangat jarang / Jarang 70 70,00
Sering / Sangat sering 30 30,00
Total 100 100
Memperlakukan sampel sebagai bahan
infeksius
Sangat jarang / Jarang 30 30,00
Sering / Sangat sering 70 70,00
Total 100 100
Sarung Tangan
Sangat jarang / Jarang 30 30,00
Sering / Sangat sering 70 70,00
Total 100 100
Mendapat pengawasan
Sangat jarang / Jarang 76 76,00
Sering / Sangat sering 24 24,00
Total 100 100
Mendapat pengawasan reguler
Sangat jarang / Jarang 76 76,00
Sering / Sangat sering 24 24,00
Total 100 100
Mendapat reward karena patuh
Sangat jarang / Jarang 72 72,00
Sering / Sangat sering 28 28,00
Total 100 100
Mendapat sertifikat karena patuh
Sangat jarang / Jarang 72 72,00
Sering / Sangat sering 28 28,00
Total 100 100

1. Jumlah responden yang sangat jarang / jarang membaca SOP


sebelum bekerja terbanyak (70%).
2. Jumlah responden dengan yang sangat jarang / jarang
memperlakukan sampel sebagai bahan infeksius terbanyak
(30%).

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


42

3. Jumlah responden yang sangat jarang / jarang memakai sarung


tangan terbanyak (30%).
4. Jumlah responden yang sangat jarang / jarangmendapat
pengawasan terbanyak (76%).
5. Jumlah responden yang sangat jarang / jarang mendapat
pengawasan reguler terbanyak (76%).
6. Jumlah responden yang sangat jarang / jarang mendapat reward
terbanyak (72%).
7. Jumlah responden yang sangat jarang / jarang mendapat sertifikat
terbanyak (70%).

Tabel 6. Distribusi indikator indikator keamanan menyuntik


pada paramedis RDMS tahun 2012

Indikator Total
Keamanan menyuntik N %
Non recapping
Sangat jarang / jarang 70 70,00
Sering / sangat sering 30 30,00
Total 100 100
Sharps container
Sangat jarang / jarang 72 72,00
Sering / sangat sering 28 28,00
Total 100 100
Eliminasi
Sangat jarang / jarang 74 74,00
Sering / sangat sering 26 26,00
Total 100 100
Sistem intravena tanpa jarum
Sangat jarang / jarang 76 76,00
Sering / sangat sering 24 24,00
Total 100 100
Jarum suntik safety design
Sangat jarang / jarang 76 76,00
Sering / sangat sering 24 24,00
Total 100 100

1. Jumlah responden yang sangat jarang / jarang melakukan non


recapping terbanyak (70%).
UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


43

2. Jumlah responden dengan yang sangat sering / sering tidak


menampung alat suntik bekas pada sharps containerterbanyak
(72%).
3. Jumlah responden yang sangat sering / sering melakukan
eliminasi terbanyak (74%).
4. Jumlah responden yang sangat jarang / jarang menggunakan
sistem intravena tanpa jarum terbanyak (76%).
5. Jumlah responden yang sangat jarang / menggunakan sistem
intravena jarum suntik safety design terbanyak (76%).

5.3 Hubungan persepsi, reinforcing, dan enabling dengan kepatuhan

5.3.1 Hubungan persepsi dengan kepatuhan


Tabel 7. Hasil uji chi-square
hubungan persepsi dengan kepatuhan
paramedis RDMS tahun 2012

Kepatuhan
Tidak patuh Patuh Total Nilai p OR
N % N % N %
Persepsi
Rendah (Nilai ≤ 3.5) 56 77,78 16 22,22 72 72,00 0,001 4,667
Tinggi (Nilai > 3.5) 12 42,86 16 57,14 28 28,00
Total 100 100

Responden dengan nilai persepsi rendah dan tidak patuh sebanyak


77,78%.
Nilai p = 0.001 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan signifikan antara persepsi dengan kepatuhan
melaksanakan kewaspadaan universal.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


44

5.3.2 Hubungan faktor reinforcing dengan kepatuhan


Tabel 8. Hasil uji chi-square
hubungan reinforcing dengan kepatuhan
paramedis RDMS tahun 2012

Kepatuhan
Tidak patuh Patuh Total Nilai p OR
N % N % N %
Reinforcing
Tidak memadai (Nilai ≤ 5) 66 89,19 8 10,81 74 74,00 0,000 99,000
Memadai (Nilai > 5) 2 7,69 24 92,31 26 26,00
Total 100 100

Responden dengan nilai reinforcing tidak memadai dan tidak patuh


sebanyak 89,19%.
Nilai p = 0.000 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan signifikan antara reinforcing dengan kepatuhan
melaksanakan kewaspadaan universal.
5.3.3 Hubungan faktor enabling dengan kepatuhan
Tabel 9. Hasil uji chi-square
hubungan enabling dengan kepatuhan
paramedis RDMS tahun 2012

Kepatuhan
Tidak
Patuh Total Nilai p OR
patuh
N % N % N %
Faktor enabling
Tidak memadai (Nilai ≤ 6.5) 62 86,11 10 13,89 72 72,00 0,000 22,733
Memadai (Nilai > 6.5) 6 21,43 22 78,57 28 28,00
Total 100 100

Responden dengan nilai enabling tidak memadai dan tidak patuh sebanyak
86,11%.
Nilai p = 0.000 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan signifikan antara enabling dengan kepatuhan
melaksanakan kewaspadaan universal.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


45

5.4 Hubungan faktor enabling dengan keamanan

5.4.1 Hubungan faktor enabling dengan keamanan


Tabel 10. Hasil uji chi-square
hubungan faktor enabling dengan keamanan menyuntik
pada paramedis RDMS tahun 2012

Keamanan
Tidak
Aman Total Nilai p OR
aman
N % N % N %
Enabling
Tidak memadai (Nilai ≤ 6.5) 62 86,11 10 13,89 72 72,00 0,000 11,160
Memadai (Nilai > 6.5) 10 35,71 18 64,29 28 28,00
Total 28 100 100

Responden dengan nilai enabling tidak memadai dan tidak menyuntik


secara aman sebanyak 86,11%.
Nilai p = 0.000 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan signifikan antara enabling dengan keamanan
menyuntik.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


46

5.5 Hubungan kepatuhan dan keamanan menyuntik dengan kejadian LTJS

5.5.1 Hubungan kepatuhan dengan kejadian LTJS


Tabel 11. Hasil uji chi-square
hubungan kepatuhan dengan kejadian LTJS
pada paramedis RDMS tahun 2012

Luka Tusuk Jarum


Suntik
Tidak
Tertusuk Total Nilai p OR
Tertusuk
N % N % N % (90% CI)
Kepatuhan
Tidak patuh (Nilai ≤ 3.5) 66 97,06 2 2,94 68 68,00 0,000 42,429
Patuh (Nilai > 3.5) 14 43,75 18 56,25 32 32,00
Total 100 100

Responden tidak patuh dan mengalami LTJS sebanyak 97,06%.


Nilai p = 0.000 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara kepatuhan dengan kejadian LTJS.

5.5.2 Hubungan keamanan menyuntik dengan LTJS


Tabel 12. Hasil uji chi-square
hubungan keamanan menyuntik dengan kejadian LTJS
pada paramedis RDMS tahun 2012

Luka Tusuk Jarum


Suntik
Tidak
Tertusuk Total Nilai p OR
Tertusuk
N % N % N % (90% CI)
Keamanan menyuntik
Tidak aman (Nilai ≤ 2.5) 70 97,22 2 2,78 72 72,00 0,000 63,000
Aman (Nilai > 2.5) 10 35,71 18 64,29 28 28,00
Total 100 100

Responden yang tidak menyuntik secara aman dan mengalami LTJS


sebanyak 97,22%.
Nilai p = 0.000 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara keamanan menyuntik dengan kejadian LTJS.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


47

5.6 Hubungan indikator indikator kepatuhan dengan kejadian LTJS

5.6.1 Hubungan membaca SOP dengan LTJS


Tabel 13. Hasil uji chi-square
hubungan membaca SOP dengan LTJS paramedis RDMS tahun 2012

Luka tusuk jarum suntik


Indikator kepatuhan Tertusuk Tidak tertusuk Total Nilai p OR
N % N % N %
Membaca SOP
Tidak membaca 68 97,14 2 2,86 70 70,00 0,000 51,000
Membaca 12 40,00 18 60,00 30 30,00
Total 100 100

Responden yang tidak membaca SOP sebelum bekerja dan mengalami LTJS
sebanyak 97,14%.
Nilai p = 0.000 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara membaca SOP sebelum bekerja dengan
kejadian LTJS.
5.6.2 Hubungan memperlakukan sampel infeksius dengan LTJS
Tabel 14. Hasil uji chi-square
hubungan konsistensi memperlakukan sampel infeksisus
dengan LTJS pada paramedis RDMS tahun 2012

Luka tusuk jarum suntik


Indikator kepatuhan Tertusuk Tidak tertusuk Total Nilai p OR
N % N % N %
Sampel infeksius
Tidak memperlakukan 26 86,67 4 13,33 30 30,00 0,414 1,926
Memperlakukan 54 77,14 16 22,86 70 70,00
Total 100 100

Responden yang tidak konsisten memperlakukan semua sampel sebagai


infeksius dan mengalami LTJS sebanyak 86,67%.
Nilai p = 0.006 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara konsistensi memperlakukan semua sampel
infeksius dengan kejadian LTJS.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


48

5.6.3 Hubungan konsistensi memakai sarung tangan dengan LTJS


Tabel 15. Hasil uji chi-square
hubungan memakai sarung tangan
dengan LTJS pada paramedis RDMS tahun 2012

Luka tusuk jarum suntik


Indikator kepatuhan Tertusuk Tidak Tertusuk Total Nilai p OR
N % N % N %
Sarung tangan
Tidak memakai 26 86,67 4 13,33 30 30,00 0,414 1,926
Memakai 54 77,14 16 22,86 70 70,00
Total 100 100

Responden terbanyak tidak konsisten memakai sarung tangan dan


mengalami LTJS sebanyak 86,67%.
Nilai p = 0.414 (α = 0,05) maka p > α dan Ho ditolak, sehingga dapat
disimpulkan tidak ada hubungan antara memakai sarung tangan dengan kejadian
LTJS.

5.6.4 Hubungan pengawasan dengan LTJS


Tabel 16. Hasil uji chi-square
hubungan pengawasan dengan LTJS
pada paramedis RDMS tahun 2012

Luka Tusuk Jarum Suntik


Indikator kepatuhan Tertusuk Tidak tertusuk Total Nilai p OR
N % N % N %
Pengawasan
Tidak ada 66 86,84 10 13,16 76 76,00 0,006 4,714
Ada 14 58,33 10 41,67 24 24,00
Total 100 100

Responden yang tidak mendapat pengawasan dan mengalami LTJS


sebanyak 86,84% .
Nilai p = 0.006 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara mendapat pengawasan dengan kejadian LTJS.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


49

5.6.5 Hubungan pengawasan reguler dengan LTJS


Tabel 17. Hasil uji chi-square
hubungan pengawasan reguler dengan LTJS
pada paramedis RDMS tahun 2012

Luka Tusuk Jarum Suntik


Indikator kepatuhan Tertusuk Tidak tertusuk Total Nilai p OR
N % N % N %
Membaca SOP
Pengawasan reguler
Tidak ada 66 86,84 10 13,16 76 76,00 0,006 4,714
Ada 14 58,33 10 41,67 24 24,00
Total 100 100

Responden yang tidak mendapat pengawasan reguler dan mengalami LTJS


sebanyak 66 (86,84%).
Nilai p = 0.006 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara mendapat pengawasan reguler dengan kejadian
LTJS.

5.6.6 Hubungan mendapat reward dengan LTJS

Tabel 18. Hasil uji chi-square hubungan mendapat reward dengan LTJS
pada paramedis RDMS tahun 2012

Luka Tusuk Jarum Suntik


Tidak
Indikator kepatuhan Tertusuk Total Nilai p OR
tertusuk
N % N % N %
Reward
Tidak dapat 70 97,22 2 2,78 72 72,00 0,000 63,000
Dapat 10 35,71 18 64,29 28 28,00
Total 100 100

Responden yang tidak mendapat reward dan mengalami LTJS sebanyak 97,22%.
Nilai p = 0.000 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara mendapat reward dengan kejadian LTJS.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


50

5.6.7 Hubungan mendapat sertifikat dengan LTJS


Tabel 19. Hasil uji chi-square
hubungan mendapat sertifikat dengan LTJS
pada paramedis RDMS tahun 2012

Luka Tusuk Jarum Suntik


Tidak
Indikator kepatuhan Tertusuk Total Nilai p OR
tertusuk
N % N % N %
Total 100 100
Sertifikat
Tidak dapat 70 97,22 2 2,78 72 72,00 0,000 63,000
Dapat 10 35,71 18 64,29 28 28,00
Total 100 100

Responden yang tidak mendapat sertifikt dan mengalami LTJS sebanyak 97,22%.
Nilai p = 0.00 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima sehingga dapat disimpulkan
ada hubungan antara mendapat sertifikat dengan kejadian LTJS.
5.7 Hubungan indikator indikator keamanan dengan Kejadian LTJS
5.7.1. Hubungan upaya non recapping dengan LTJS
Tabel 20. Hasil uji chi-square hubungan
upaya non recapping dengan LTJS pada paramedis RDMS
tahun 2012

Luka Tusuk Jarum Suntik


Tidak
Indikator Tertusuk Total Nilai p OR
Tertusuk
Keamanan menyuntik N % N % N %
Non recapping
Tidak melakukan 68 97,14 2 2,86 70 70,00 0,000 51,000
Melakukan 12 40,00 18 60,00 30 30,00
Total 100 100

Responden yang tidak melakukan non recapping dan mengalami LTJS


sebanyak 97,14%.
Nilai p = 0.000 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara melakukan non recapping dengan kejadian
LTJS.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


51

5.7.2 Hubungan menampung alat suntik bekas di sharps container dengan


LTJS
Tabel 21. Hasil uji chi-square
hubungan menampung alat suntik bekas di sharps container
dengan LTJS pada paramedis RDMS tahun 2012

Luka Tusuk Jarum Suntik


Tidak
Indikator Tertusuk Total Nilai p OR
Tertusuk
Keamanan menyuntik N % N % N %
Sharps container
Tidak menampungkan 70 97,22 2 2,78 72 72,00 0,000 63,000
Menampungkan 10 35,71 18 64,29 28 28,00
Total 100 100

Responden yang tidak nemampung alat suntik bekas disharps container


dan mengalami LTJS sebanyak 97,22%.
Nilai p = 0.000 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara mendapat sertifikat dengan kejadian LTJS.

5.7.3 Hubungan eliminasi jarum suntik dengan LTJS


Tabel 22. Hasil uji chi-square
hubungan eliminasi jarum suntik
dengan LTJS pada paramedis RDMS tahun 2012

Luka tusuk jarum suntik


Indikator Tertusuk Tidak tertusuk Total Nilai p OR
Keamanan menyuntik N % N % N %
Eliminasi
Tidak melakukan 70 94,59 4 5,41 74 74,00 0,000 28,000
Melakukan 10 38,46 16 61,54 26 26,00
Total 100 100

Responden yang tidak melakukan eliminasi jarum suntikdan mengalami


LTJS sebanyak 94,59%.
Nilai p = 0.000 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan antara eliminasi jarum suntik dengan kejadian LTJS.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


52

5.7.4 Hubungan penggunaan sistem intravena tanpa jarum dengan LTJS


Tabel 23. Hasil uji chi-square
hubungan penggunaan sistem intravena tanpa jarum
dengan LTJS pada paramedis RDMS tahun 2012

Luka tusuk jarum suntik


Indikator Tertusuk Tidak tertusuk Total Nilai p OR
Keamanan menyuntik N % N % N %
Intravena tanpa jarum
Tidak menggunakan 66 86,84 10 13,16 76 76,00 0,006 4,714
Menggunakan 14 58,33 10 41,67 24 24,00
Total 100 100

Responden yang tidak menggunakan sistem intravena tanpa jarum dan mengalami
LTJS sebanyak 86,84%.

Nilai p = 0.006 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, sehingga dapat


disimpulkan ada hubungan antara penggunaaan sistem intravena tanpa jarum
dengan kejadian LTJS.

5.7.5 Hubungan penggunaan jarum suntik safety design dengan LTJS


Tabel 24. Hasil uji chi-square
hubungan penggunaan jarum suntik safety design tanpa jarum
dengan LTJS pada paramedis RDMS
tahun 2012

Luka tusuk jarum


suntik
Tidak
Indikator Tertusuk Total Nilai p OR
tertusuk
Keamanan menyuntik N % N % N %
Jarum suntik safety design
Tidak menggunakan 70 92,11 6 7,89 76 76,00 0,000 16,333
Menggunakan 10 41,67 14 58,33 24 24,00
Total 100 100

Responden yang tidak menggunakan jarum suntik safety design dan mengalami
LTJS sebanyak 92,11%.
Nilai p = 0.000 (α = 0,05) maka p < α dan Ho diterima, dan dapat disimpulkan
ada hubungan antara penggunaan sistem intravena tanpa jarum dengan kejadian
LTJS.
UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


BAB VI
PEMBAHASAN

6.1 Hubungan persepsi, faktor reinforcing, faktor enabling dengankepatuhan


Persepsi tentang risiko LTJS, yang mempunyai hubungan signifikan
dengan kepatuhan melaksanakan kewaspadaan, sesuai model PRECEDE di
mana faktor predisposing berhubungan dengan perilaku dan gaya hidup sehat
seseorang. (Green, 2012)
Faktor reinforcing, yang mempunyai hubungan signifikan dengan
kepatuhan melaksanakan kewaspadaan universal, sesuai model PRECEDE
yang menyatakan bahwa faktor reinfocing berhubungan dengan perilaku dan
gaya hidup sehat seseorang. (Green, 2012)
Faktor enabling, yang mempunyai hubungan signifikan dengan
kepatuhan melaksanakan kewaspadaan universal, sesuai model PRECEDE
yang menyatakan bahwa ketersediaan dan kemudahan akses sumber daya
berhubungan dengan perilaku dan gaya hidup sehat seseorang (Green, 2012).
6.2 Hubungan enabling dengan keamanan
Enabling, yang mempunayi hubungan signifikan dengan kemanan
menyuntik, sesuai pernyataan Eucomed bahwa ketersediaan dan pemanfaatan
alat suntik dengan rekayasa safety design diperlukan untuk peningkatan
keamanan menyuntik guna pencegahan LTJS yang lebih baik (Eucomed,
2001)
6.3 Faktor yang paling dominan berhubungan dengan kepatuhan
Urutan faktor mulai dari yang paling dominan mempengaruhi
kepatuhan:
1. Reinforcing
2. Enabling
3. Persepsi
6.4 Hubungan kepatuhan dengan kejadian LTJS
Kepatuhan, yang mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian
LTJS, sesuai dengan pernyataan Ismail dalam penelitiannya bahwa salah satu

53
UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


54

faktor yang mendasari terjadinya LTJS adalah kepatuhan pelaksanaan


kewaspadaan universal (Ismail et all, 2009).
6.5 Hubungan keamanan menyuntikdengan LTJS
Keamanan, yang mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian
LTJS, sesuai dengan pernyataan Jagger dalam Foley bahwa alat suntik yang
lebih aman bersama-sama dengan edukasi PPK dan pengendalian cara kerja
dapat mengurangi LTJS (Foley, 2003); dan pernyataan Eucomed bahwa
pemanfaat alat suntik dengan rekayasa safety diperlukan untuk peningkatan
keamanan menyuntik guna mengurangi pencegahan LTJS. (Eucomed, 2001)
6.6 Faktor yang paling dominan berhubungan dengan LTJS
Faktor faktor yang paling dominan berhubung dengan kepatuhan
melaksanakan kewaspadaan universal, mulai dari yang paling dominan:
1. Keamanan
2. Kepatuhan
6.7 Hubungan indikator kepatuhan pelaksanaan kewaspadaan universal
dengan kejadian LTJS.
Indikator faktor kepatuhan menyuntik meliputi:
1. Konsistensi membaca SOP sebelum bekerja
2. Konsistensi memperlakukan semua sampel infeksius
3. Konsistensi memakai sarung tangan
4. Mendapat pengawasan pelaksananan kewaspadaan universal
5. Konsistensi (regularitas) pengawasan
6. Mendapat reward
7. Mendapat sertifikat
Konsistensi membaca SOP sebelum menyuntik/mengambil
sampel, yang mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian LTJS, sesuai
hasil penelitian Ismail et all yang menyatakan bahwa kepatuhan pelaksanaan
kewaspadaan universal berhubungan dengan kejadian LTJS.
Konsistensi memperlakukan semua sampel infeksius, yang tidak
mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian LTJS, tidak sesuai dengan
konsep kewaspadaan universal (Hoy, 2009).
Konsistensi memakai sarung tangan, yang tidak mempunyai

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


55

hubungan signifikan dengan kejadian LTJS, sesuai dengan pernyataan Hoy


bahwa APD (sarung tangan) merupakan last resources dalam upaya
pengendalian LTJS karena kurang efektif (Hoy, 2009).
Faktor mendapat pengawasan sebagai indikator kepatuhan, yang
mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian LTJS, sesuai hasil
penelitian Ismail et all yang menyatakan bahwa kepatuhan pelaksanaan
kewaspadaan universal berhubungan dengan kejadian LTJS (Ismail et all,
2009), dan pernyataan Jagger dalam Hoy bahwa pengendalian cara kerja
dapat mengurangi LTJS.
Mendapat reward maupun sertifikat karena patuh, yang mempunyai
hubungan signifikan dengan kejadian LTJS, sesuai hasil penelitian Ismail et
all yang menyatakan bahwa kepatuhan pelaksanaan kewaspadaan universal
berhubungan dengan kejadian LTJS (Ismail et all, 2009), dan pernyataan
Jagger dalam Hoy bahwa pengendalian cara kerja dapat mengurangi LTJS.
6.8 Hubungan indikator keamanan menyuntik dengan kejadian LTJS.
Indikator faktor keamanan menyuntik meliputi:
1. Upaya non recappingdengan LTJS
2. Upaya menampung alat suntik bekas di sharps container
3. Upaya eliminasi jarum suntik dengan LTJS
4. Penggunaan sistem intravena tanpa jarum (SITJ) dengan LTJS
5. Penggunaan jarum suntik safety design dengan LTJS
Upaya non recapping sesudah menyuntik, yang mempunyai
hubungan signifikan dengan kejadian LTJS, sesuai dengan pernyataan Jagger
dalam Foley bahwa alat suntik yang lebih aman dan pengendalian cara kerja
dapat mengurangi LTJS (Foley, 2003).
Upaya menampung alat suntik bekas di sharps container, yang
mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian LTJS,sesuai dengan
pernyataan CDC tahun 2008 bahwa ketersediaan sharps container sebagai
alat penampung jarum suntik bekas pakai dapat mengurangi insiden LTJS
(CDC, 2008).
Upaya eliminasi jarum suntik, yang rmempunyai hubungan
signifikan dengan kejadian LTJS, sesuai dengan pernyataan Jagger dalam

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


56

Foley bahwa alat suntik yang lebih aman dan pengendalian cara kerja dapat
mengurangi LTJS (Foley, 2003), dan pernyataan Eucomed bahwa
pemanfaatan alat suntik dengan rekayasa safety diperlukan untuk
peningkatan keamanan menyuntik guna pencegahan LTJS yang lebih baik
(Eucomed, 2001).
Penggunaan sistem intravena tanpa jarum, yang mempunyai
hubungan signifikan dengan kejadian LTJS, sesuai dengan pernyataan
Jagger dalam Foley bahwa alat suntik yang lebih aman dan pengendalian
cara kerja dapat mengurangi LTJS (Foley, 2003), dan pernyataan Eucomed
bahwa pemanfaatan alat suntik dengan rekayasa safety design diperlukan
untuk peningkatan keamanan menyuntik guna pencegahan LTJS yang lebih
baik (Eucomed, 2001)
Penggunaan jarum suntik safety design, yang rmempunyai
hubungan signifikan dengan kejadian LTJS, sesuai dengan pernyataan
Jagger dalam Foley bahwa alat suntik yang lebih aman dan pengendalian
cara kerja dapat mengurangi LTJS (Foley, 2003), dan pernyataan Eucomed
bahwa pemanfaatan alat suntik dengan rekayasa safety design diperlukan
untuk peningkatan keamanan menyuntik guna pencegahan LTJS yang lebih
baik (Eucomed, 2001)

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1 SIMPULAN
1. Faktor faktor dan hubungannya terhadap kejadian LTJS paramedis di RDMS
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ada hubungan signifikan faktor persepsi dengan kepatuhan pelaksanaan
kewaspadaan universal (p = 0,001, α = 0,05, OR = 4,667).
2. Ada hubungan signifikan faktor reinforcing dengan kepatuhan
pelaksanaan kewaspadaan universal (p = 0,000, α = 0,05, OR = 99,000).
3. Ada hubungan signifikan faktor enabling dengan kepatuhan
pelaksanaan kewaspadaan universal (p = 0,000, α = 0,05, OR = 11,160).
4. Ada hubungan signifikan antara faktor enabling dengan keamanan
menyuntik (p = 0,000; α = 0,05, OR = 11,160).
5. Ada hubungan signifikan antara faktor kepatuhan dengan kejadian
LTJS (p = 0,000; α = 0,05, OR = 42,429).
6. Ada hubungan signifikan antara faktor keamanan menyuntik dengan
kejadian LTJS (p = 0,000, α = 0,05, OR = 63,000).
7. Ada hubungan signifikan antara membaca SOP sebelum menyuntik /
mengambil sampel dengan kejadian LTJS (p = 0,000, α = 0,05, OR =
51,000).
8. Tidak ada hubungan antara memperlakukan semua sampel sebagai
bahan infeksius dengan kejadian LTJS (p = 0,414, α = 0,05, OR =
1,926).
9. Tidak ada hubungan antara memakai sarung tangan dengan kejadian
LTJS (p = 0,414, α = 0,05, OR = 1,926).
10. Ada hubungan signifikan antara pengawasan dengan kejadian LTJS (p =
0,006, α = 0,05, OR = 4,714).
11. Ada hubungan signifikan antara pengawasan reguler dengan kejadian
LTJS (p = 0,006, α = 0,05, OR = 4,714).

57
UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


58

12. Ada hubungan signifikan antara mendapat reward dengan kejadian


LTJS (p = 0,000, α = 0,05, OR = 63,000).
13. Ada hubungan signifikan antara mendapat sertifikat dengan kejadian
LTJS (p = 0,000, α = 0,05, OR = 63,000).
14. Ada hubungan signifikan antara praktek non recapping dengan
kejadian LTJS (p = 0,000, α = 0,05, OR = 51,000).
15. Ada hubungan signifikan antara menampung alat suntik bekas pakai di
sharps container dengan kejadian LTJS (p = 0,000, α = 0,05, OR =
63,000).
16. Ada hubungan signifikan antara eliminasi jarum suntik dengan kejadian
LTJS (p = 0,000, α = 0,05, OR = 28,000).
17. Ada hubungan signifikan antara pemakaian sistem intravena tanpa
jarum dengan kejadian LTJS (p = 0,000, α = 0,05, OR = 4,714).
18. Ada hubungan signifikan antara pemakaian jarum suntik safety design
dengan kejadian LTJS (p = 0,000, α = 0,05, OR = 4,714).
2. Faktor Faktor dominan yang mempengaruhi LTJS paramedis RMDS sebaga
beirkut:
Hubungan terhadap kepatuhan mulai dari yang paling dominan:
1.Faktor reinforcement (p = 0,001, α = 0,05, OR = 99,000)
2. Faktor enabling (p = 0.000, α = 0,05, OR = 11,110)
3. Faktor persepsi ( p = 0,001, α = 0,05, OR = 4,667)
Hubungan terhadap kejadian LTJS mulai dari yang paling dominan:
1. Faktor keamanan menyuntik (p = 0.000, α = 0,05, OR = 63,000)
2. Faktor kepatuhan (p = 0.000, α = 0,05, OR = 42,429)
Hubungan indikator keamanan terhadap kejadian LTJS mulai dari yang paling
dominan:
1.Penggunaan sharps container (p = 0.000, α = 0,05, OR = 63,000)
2. Upaya non recapping (p = 0.000, α = 0,05, OR = 51,000)
3. Upaya eliminasi (p = 0.000, α = 0,05, OR = 28,000)
4. Pemakaian jarum suntik safety design (p = 0.000, α = 0,05, OR =
16,333)
5. Pemakaian sistem intravena tanpa jarum (p = 0.000, α = 0,05, OR =
UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


59

47,104)
Hubungan indikator kepatuhan terhadap kejadian LTJS mulai dari ang paling
signifikan sebagai berikut:
1. Mendapat reward (p = 0.000, α = 0,05, OR = 63,000)
2. Mendapat sertifikat (p = 0.000, α = 0,05, OR = 63,000)
3. Membaca SOP sebelum menyuntik / mengambil darah (p = 0.000; α
= 0,05, OR = 51,000)
4. Mendapat pengawasan regular (p = 0.000, α = 0,05, OR = 4,714)
7.2 SARAN
1. Membuat program pengendalian dan pencegahan LTJS paramedis RDMS
secara komprehensif sesuai hasil penelitian dengan urutan penekanan
pada faktor reinforcing, faktor enabling, faktor persepsi, faktor keamanan
menyuntik, dan kepatuhan melaksanakan SOP yang berpedoman pada
kewaspadaan universal dan hirarki kontrol.
2. Merekomendasikan peningkatan faktor reinforcing pada paramedis guna
meningkatkan kepatuhan pelaksanaan kewaspadaan universal dengan
urutan penekanan tentang pentingnya rewarding, awarding, membaca
SOP sebelum bekerja dan pengawasan reguler.
3. Merekomendasikan peningkatkan faktor enabling guna meningkatkan
kepatuhan pelaksanaan kewaspadaan dan meningkatkan kemanan
menyuntik dengan urutan penekanan pentingnya ketersediaan reward,
award, SOP dan pengawasan; serta penyediaan dan penggunaan sharps
container, praktek non recapping, dan eliminasi alat suntik. Jika
pendanaan memungkin, dianjurkan untuk penerapan penggunaan jarum
suntik safety design.

UNIVERSITAS INDONESIA

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


DAFTAR PUSTAKA

Ariawan, I. (1998). Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok:
Fakultas Kesehatan Masyarakat - Universitas Indonesia.
CCOHS. (2005). NeedleStick Injuries. Retrieved December 24, 2012, from
http://www.ccohs.ca/oshanswers/diseases/needlestick_injuries.html
CDC. (2008). Workbook for Designing, Implementing and Evaluating a Sharps
Injury Prevention Program. Atlanta - USA: Centers for Disease Control
and Prevention - Department of Health and Human Services .
Dahlan, M. S. (2011, Edisi 5). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Eucomed. (2001). Preventing Sharps Injuries. Retrieved December 24, 2012,
from www.eucomed.org/uploads/.../Eliminating%20sharps%20injuries.pdf
Foley, M. (2003). American Nurses Association – Independent Study Module.
Retrieved December 24th, 2012, from www.who.int/occupational_health/
activities /1anaism.pdf
Green, L. W. (2012). PRECEDE - PROCEED. Retrieved December 24, 2012,
from http://ctb.ku.edu/en/tablecontents/sub_section_main_1008.aspx
Hollinger, F. B. (2011, 12th Ed). Reports on Carcinogens - Hepatitis B Virus -.
National Toxicology Program, Department of Health and Human Services.
Washington - USA: U.S. Department of Health and Human Services.
Hoy, J. (2009). Standard Precautions and Infection Control in Viral Hepatitis and
STIs: A Guide for Primary Care. Darlinghurst NSW - Australia: Paragon
Print.
ICN. (2000). Fact Sheet: ICN on Preventing Needlestick Injuries. Retrieved
December 24, 2012, from www.who.int/occupational_health/activities/
2icnneed.pdf
Ismail et all, N. H. (2009). Needlestick Injury: A Review Of Twelve Theses
Among Healthcare Personnel in Malaysia. Jurnal of Community Health
2009: Vol 15 Number 1, 47 - 56.

60

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


Naphoel, L. E. (2009, November). Reported Needlestick Injuries Amongst Health
Care Workers in The Free State Province. Free Sate - South Afrika:
University of The Free State - Faculty of Health Sciences - School of
Nursing.
Ng, Y. (2007). Needlestick Injury Among Medical Personnel in Accident and
Emergency Department of Two Teaching Hospitals. Med J Malaysia Vol
62 No 1 March 2007, 9 - 12.
Redding et all, C. A. (2000). Health Behaviour Model. The International
Electronic Journal of Health Education, 2000; 3 (Special Issue), 180-193.
Rival, A. (2012). STANDAR KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DI
RUMAH SAKIT. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Stoker, R. (2004). Anatomy of a Needlestick Injury. BUSINESS BRIEFING:
GLOBAL HEALTHCARE – ADVANCED MEDICAL TECHNOLOGIES
2004, 34 - 38.
Sugiyono. (2009). Statistik Untuk Peneliitan. Bandung: CV Alpha Beta.
WHO. (2002). Protecting Health Care Workers - Preventing Needlestick Injuries.
Retrieved December 24, 2012, from World Health Organization Web site:
http://www.who.int/occupational_health/topics/needinjuries/en/
Yayasan Spiritia. (2012). Staistik - Laporan Terakhir Kepemenkes. Retrieved
December 24, 2012, from http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id

61

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


LAMPIRAN

LAMPIRAN 1: PERMOHONAN PENGISIAN KUESIONER

Tanjungpinang,
Yth.

Mitra Paramedis
di
Rumkital Dr. Midiyato S Tanjungpinang

Dengan hormat,

Dalam rangka penulisan tesis yang berjudul: FAKTOR FAKTOR YANG


BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA LUKA TUSUK JARUM SUNTIK PADA PARAMEDIS
DI RUMKITAL Dr. MIDIYATO S - TANJUNGPINANG TAHUN 2012.
Dengan segala kerendahan hati, saya:
Johan Intan
Mahasiswa Program Pascasarjana
Magister Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Fakultas Kesehatan Masyarakat - Universitas Indonesia
bermaksud mengadakan penelitian tentangFAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN TERJADINYA LUKA TUSUK JARUM SUNTIK PADA PARAMEDIS DI
RUMKITAL Dr. MIDIYATO S - TANJUNGPINANG TAHUN 2012.
Data yang diperoleh akan digunakan sebagai rekomendasi peneliti demi
peningkatan keselamatan kerja paramedik di Rumkital Dr. Midiyato S Tanjungpinang
tempat anda bertugas.
Peneliti menjamin bahwa penelitian ini tidak akan berdampak negatif terhadap
perawat maupuninstitusi. Peneliti berjanji akan senantiasa menghargai dan menjunjung
tinggi hak-hak responden dan menjamin kerahasiaan identitas dan data yang diperoleh,
baik dalam pengumpulan, pengolahan, maupun penyajian laporan nanti.
Peneliti memohon kesediaan dan partisipasi Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi
kuesioner ini dengan jujur dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Terima kasih atas kesediaan dan partisipasinya.

Hormat saya,

Peneliti

62

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


LAMPIRAN 2: LEMBARAN PERSETUJUAN PENGISIAN KUESIONER

Saya memahami tujuan dan manfaat penelitian setelah membaca penjelasan di atas.
Saya mengerti bahwa peneliti akan menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak saya
sebagai responden, dan bahwa penelitian ini tidak akan berdampak negatif bagi saya
maupun institusi.

Saya sebagai responden memahami bahwa keikutsertaan saya dalam penelitian ini
akan besar manfaat bagi peningkatan keselematan kerjaparamedis di Rumkital Dr.Midiyato
S - Tanjungpinang.

Bersama ini saya memberikan persetujuan kepada peneliti dengan sukarela dan
dalam keadaan sadar.

Tanjungpinang,

Peneliti, Responden,

Johan Intan _____________

63

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


LAMPIRAN 3: KUESIONER

Kode
Responden

Tanggal Pengisian:
Petunjuk Pengisian:

1. Kuesioener ini ditujukan kepada perawat / analisis / pembantu perawat di IGD,


rawat inap, ICU, kamar bedah, dan laboratorium.
2. Kuesioener ini terdiri dari dua bagian, yaitu:
Bagian 1: Karakteristik responden paramedic
Bagian 2: Luka tusuk jarum suntik (LTJS) dan faktor-faktor yang
Berhubungan dengan LTJS.
3. Silahkan mencoba penjelasan tentang singktan dan istilah teknis pada halaman
ini.
4. Bacalah petunjuk pengisian sebelum memberikan jawaban.
5. Periksalah sekali lagi kelengkapan jawaban anda, pastikan tidak ada item
pertanyaan/pertanyaan yang belum dijawab.

Singkatan dan istilah:


LTJS atau luka tusuk jarum suntik adalah luka tertusuk jarum suntik secara tidak
sengaja saat bekerja, tidak termasuk jarum jahit luka.

Kewaspadaan universal atau universal precaution: adalah standar bahwa bekerja


harus mematuhi prosedur pengunaan alat suntik yang aman, penggunaan alat
suntik dengan safety design, dan memperlakukan darah dan cariran tubuh sebagai
bahan infeksius.

Jarum suntik safety design adalah jarum suntik dengan rancangan aman untuk
menghindari terjadinya LTJS.

APD atau alat pelindung diri meliputi sarung tangan, gaun dan alas kaki saat
melakukan suntikan, venopunksi maupun prosedur invasif lainnya.

PEP (Post Exposure Prophylaxes) adalah obat atau terapi yang diberikan segera
sesudah seseorang terpajan darah dan / atau cairan tubuh yang dapat menularkan
infeksi, misalnya HBV, HCV, dan HIV.

PEP hepatitis B berupa HBIG untuk HBV dan diberikan dalam 72 jam pasca
terpajan.

PEP HIV berupa kombinasi tablet ARV (anti retrovirus) diberikan antara satu sd
dua jam pasca terpajan.

64

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


Format hh/bb/tttt adalah format tanggal misalnya 12/08/1999 yang berarti 12
Agustus 1999

Karakteristik Responden

Petunjuk:

Pilihlah jawaban sesuai karakteristik anda


Beri tanda (√) ) pada □ (kotak jawaban) yang tersedia.
Isi spasi kosong pada pernyataan lama bekerja.

1.1 Jenis kelamin : □ 2. Pria □ 1. Wanita

1.2 Tanggal lahir : ____________ (format: hh/bb/tttt)


1.3 Masa kerja : Rumkital Dr. Midiyato S tahun bulan
1.4 Tingkat pendidikan : □ 1. SPK atau sederajat
□ 2. DIIIKeperawatan/Kebidanan/Anestesi/Analisis/sederajat
□ 3. S1 Keperawatan atau sederajat
1.5 Unit Kerja : □ 1. IGD □ 2. Rawat Inap □ 3. ICU

□ 4. Kamar Bedah □ 5. Lab

LTJS dan Faktor Faktor yang Mempengaruhinya.

Petunjuk Pengisian:

1. Jawablah pernyataan di bawah ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan
berikan tanda (√) di kolom yang telah disediakan
2. Singkatan: SJ = Sangat Jarang, JR = Jarang, SR = Sering, SS = Sangat Sering

I. PERTANYAAN TENTANG FAKTOR PERSONAL, FAKTOR PEKERJAAN,


LINGKUNGAN KERJA DAN ASPEK PENDUKUNG

Silahkan centang (√) pada salah satu kolom pilihan yang menurut Anda paling sesuai
dengan pendapat Anda.

65

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


PENELITIAN
FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN TERJADINYA
LUKA TUSUK JARUM SUNTIK
PADA PARAMEDIS
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT DI RUMKITAL Dr. MIDIYATO S -
UNIVERSITAS INDONESIA TANJUNGPINANG
TAHUN 2012
KUESIONER
No PERNYATAAN
KARAKTERISTIK RESPODEN
1. (KKr1) Jenis Kelamin
2. (KKr2) Umur saya saat ini*
3. (KKr3) Masa Kerja*
4. (KKr4) Tingkat pendidikan*
5. (KKr6) Unit Kerja*
( *skor KKr1,2,3,4 &6 diisi oleh peneliti )
PELATIHAN KEWASPADAAN UNIVERSAL SJ JR SR SS
6. (KKr5) Saya mengikuti pelatihan kewaspadaan universal
LUKA TUSUK JARUM SUNTIK Ya td
Saya terkena LTJS minimal satu kali pada tahun lalu.
7. (KLt1)
(01 Januari sd 31 Desember 2011)
PERSEPSI
SJ JR SR SS
TERHADAP LUKA TUSUK JARUM SUNTIK
8. (KP1) Setiap sampel darah dan cairan tubuh bersifat infeksius.
Saya merasa perlu memakai sarung tangan (hand glove) saat
9. (KP2)
menyuntik / mengambil darah.
Saya merasa perlu melakukan non recapping sesudah
10. (KP3)
menyuntik / mengambil darah.
Saya merasa perlu menampung jarum suntik di sharps
11. (KP4)
container.
Saya merasa perlu sedapat mungkin tidak menyuntik
12. (KP5)
(eliminasi).

13. (KP5) Saya merasa perlu menggunakan sistem intravena tanpa jarum

Saya merasa perlu memakai jarum suntik berancang keamanan


14. (KP7)
(safety design).

FAKTOR REINFORCING SJ JR SR SS
Rumah sakit kami mempunyai SOP tentang kewaspadaan
15. (KR1)
universal dan higiene hindustri.
Rumah sakit mengharuskan saya untuk mengenakan sarung
16. (KR2)
tangan (hand glove) saat menyuntik / mengambil darah.

66

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


Rumah sakit mengharuskan saya melakukan non recapping
17. (KR3)
sesudah menyuntik / mengambil darah.
Rumah sakit mengharuskan saya untuk menampung alat suntik
18. (KR4)
bekas di sharps container.
Rumah sakit mengharuskan saya untuk sedapat mungkin tidak
19. (KR5)
menggunakan alat suntik (eliminasi).
20. (KR6)
Rumah sakit mengharuskan saya menggunakan sistem
intravena tanpa jarum.
21. (KR7)
Rumah sakit mengharuskan saya untuk menggunakan
jarum suntik berancang keamanan (safety design).
Rumah sakit memberlakukan pengawasan untuk kewaspadaan
22. (KR8)
universal.
Rumah sakit memberikan hadiah (reward), misalnya bantuan
23. (KR9) sosial, jika saya melaksanakan dengan baik kewaspadaan
universal.
Rumah sakit memberikan pengukuhan, misalnya sertifikat, jika
24. (KR10)
saya melaksanakan kewaspadaan universal dengan baik.
FAKTOR ENABLING SJ JR SR SS
Rumah sakit mengadakan pelatihan untuk kewaspadaan
25. (KE1)
universal.
Rumah sakit menyediakan salinan SOP yang tercetak jelas
26. (KE2)
tentang kewaspadaan universal.
27. (KE3) Rumah sakit memampang salinan SOP yang mudah di baca.
Rumah sakit menyediakan sarung tangan (hand glove) untuk
28. (KE4)
menyuntik / mengambil darah.
Rumah sakit menyediakan brosur berisi instruksi dan gambar
29. (KE5)
yang yang jelas tentang tehnik non recapping jarum suntik.
Rumah sakit memampang brosur berisi tehnik non recapping
30. (KE6)
di tempat yang mudah dibaca.
Rumah sakit menyediakan sharps container di tempat kerja
31. (KE7)
untuk menampung jarum bekas pakai.
32. (KE8) Rumah sakit menyediakan sistem intravena tanpa jarum.
Rumah sakit menyediakan jarum suntik berancang keamanan
33. (KE9)
(safety design).
Rumah sakit mempunyai supervisor untuk pengawasan
34. (KE10)
pelaksanaan kewaspadaan universal.
Pengawasan secara teratur pelaksanaan kewaspadaan universal
35. (KE11)
dilakukan secara reguler.
Rumah sakit memberi hadiah (reward), misalnya bantuan
36. (KE12) sosial, jika saya melaksanakan dengan baik kewaspadaan
universal.
Rumah sakit memberi pengukuhan, misalnya sertifikat, jika
37. (KE13)
saya melaksanakan dengan baik kewaspadaan universal.
FAKTOR KEPATUHAN SJ JR SR SS
38. (KKp1) Saya membaca SOP sebelum bekerja.
Saya memperlakukan semua sampel darah dan cairan tubuh
39. (KKp2)
sebagai bahan infeksius.
67

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


Saya mengenakan sarung tangan (hand glove) saat menyuntik /
40. (KKp3)
mengambil darah.
Saya mendapat pengawasan pelaksanaan kewaspadaan
41. (KKp4)
universal secara reguler.
Saya mendapat pengawasan pelaksanaan kewaspadaan
42. (KKp5)
universal secara reguler.
Saya mendapat hadiah karena melaksanakan dengan baik
43. (KKp6)
kewaspadaan universal.
Saya mendapat sertifikat penghargaan karena saya
44. (KKp7)
melaksanakan dengan baik kewaspadaan universal.
FAKTOR KEAMANAN MENYUNTIK SJ JR SR SS
Saya melakukan non recapping setelah menyuntik /
45. (KKa1)
mengambil darah.
46. (KKa2) Saya menampung jarum suntik bekas di sharps container.
Saya sedapat mungkin tidak menggunakan alat suntik
47. (KKa3)
(eliminasi).
48. (KKa4) Saya menggunakan sistem intravena tanpa jarum.
Saya menggunakan jarum suntik berancangan keamanan
49. (KKa5)
(safety design).

Keterangan:
SJ : Sangat Jarang, JR: Jarang
SR : Sering, SS : Sangat Sering
Ya : Tertusuk Td : Tidak tertusuk

Terima kasih atas partisipasi Anda dalam mengisi kuesioner ini.

68

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


LAMPIRAN 4: SURAT PERMOHONAN IJN PENELITIAN

69

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013


LAMPIRAN 5: SURAT IJIN PENELITIAN

70

Faktor faktor..., Johan Intan, FKM UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai