Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN BBDM MODUL 6.

2
SKENARIO 2

oleh :
Kelompok 2

Hafiza Rahmi 22010114120012

Soraya Hardiyanti H. 22010114120013

Gianina Dinda 22010114120014

Ega Lawalata 22010114120015

Marieta Puspa 22010114120016

Mega Kumala 22010114120017

Annisa Zakia 22010114120018


Rhory Defie 22010114120019

Putri Gayatri 22010114120020

Nadira Hanifah 22010114120021

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017

SKENARIO KASUS

Seorang anak berusia 2 bulan BB 5 Kg datang ke Puskesmasa dengan keluhan batuk dan sesak
napas. Batuk sejak 2 minggu yang alu, mula-mula batuk biasa diseratai dengan pilek, kemudian
1 minggu terakhir batuk semakin bertambah berat, batuk disertai dengan tarikan napas yang
berbunyi, saat batuk anak terlihat biru di jari kaki dan tangan. Demam (+) naik turun sejak 2
minggu yang lalu, 3 hari terakhir demam tinggi terus-menerus. Anak tidak mau makan dan
minum. Riwayat tersendak disangkal. Anak mendapatkan susu formula, karena ibu bekerja
sehingga ASI tidak keluar lagi. Ayah pasien perokok. Ibu pasien mempunyai riwayat alergi debu.
Riwayat imunisasi yang telah diberikan Hepatitis B 2x, BCG 1x. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum apatis tampak sesak, sianosis. Tanda vital laju jantung 130x/menit, isi
dan tegangan cukup, frekuensi napas 58x/menit. Suhu 390 C, SaO2 84 %. Hidung napas cuping
(+), pemeriksaan thorak terlihat inspiratory effort disertai dengan retrksi subcostal, auskutasi
paru SD bronchial diseluruh lapangan paru, ST rhonki kasar (+), ekstremitas atas dan bawah
sianosis (+). Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 9,6 gr%, Hematokrit 32%,
leukosit 24.000/mmk, Trombosit 556.00/mmk. Diffcount 2/0/0/4/16/70/8. X-Foto thoraks
didapatkan kesan bercak infiltrat dipara hiler.

STEP 1: UNINDENTIFIED TEMRS


1.Retraksi subkostal penarikan otot tajam kebelakang dibawah costa. Terjadi akibat penurunan
tekanan rongga dada

2. Bronkial termasuk suara napas pokok (selain vesikuler). Terdengar lebih keras didaerah
bronkus.

3. Rhonki Kasar seperti gelombang pecah. Terdengar bila banyak secret di paru

4. Diffcount perhitungan leukosit dalam darah

5. Inspiratory effort inspiratry pressure-time product < 125

6. Bercak infiltrate dipara hiler gambaraan radiologis, bercak-bercak opak dipara hiler.

STEP 2: DEFINE PROBLEMS

1.Bagaimana hubungan riwayat susu formula dengan skenario serta status gizi mya?

2. Apakah hubungan ayah perokok dan ibu pasien memiliki riwayat alergi debu terhadap
skenario?

3. Bagaimana hubungan riwayat imunisasi dengan kasus pada skenario?

4. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang?

5. Apakah diagnosis sementara pada skenario?

STEP 3: HYPOTHESIZE

1.Seharusnya anak masih mengonsumsi ASI eksklusif. Didalam ASI terdapat Ig A dari ibu yang
dapat mencegah terjadinya infeksi. Sehingga anak-anak yang tidak meminum ASI eksklusif ebih
rentan disbanding yang minum ASI eksklusif.

2. Hubungan ayah perokok dan ibu yang memiliki riwayat alergi debu

 Ayah perokok meningkatkan resiko infeksi pada bayi.


 Ibu alergi juga merupakan faktor risiko dapat diturunkan ke anak
3. Imunisasi pada anak usia 2 bulan seharusnya sudah mendapatkan:

 Hepatitis B,
 Polio,
 BCG,
 DPT,
 Hib

Sehingga apabila belum di vaksin maka akan rentan terhadap penyakit tertentu.

4. Interpretasi pemeriksaan fisik

 Keadaan umum apatis, tampak sesak dan sianosis


 Tanda vital : HR meningkat, RR turun, Suhu tinggi.
 Pemeriksaan thoraks terlihat inspiratory effort disertai dengan retrksi subcostal
 Sianosis napas cuping (+) hipoksia
 SaO2 84%

Pemeriksaan Laboratorium

Hb turun (anemia)

Leukositosis

5. Diagnosis sementara kasus adalah pertusis dengan ciri khas

 adanya whooping cough ( membedakan dengan pneumonia bakterial),


 leukositosis serta tidak ada ditemukan tanda-tanda keganasan ( lerkemia).
 Belum imunisasi DPT
 Ayah merokok sehingga anak rentan terkena infeksi.

STEP 4 : SCHEME

Gejala dan Tanda


Anamnesis

Riwayat

Pemeriksaan Fisik
Diagnosis Sementara

 Etiologi dan
Pemeriksaan
factor risiko Diagnosis Banding
Penunjang
 Pathogenesis dan
patofisiologi
 Tatalaksana
Pneumonia Bakterial
Bronkiolitis

STEP 5 : LEARNING OBJECTIVES

1.Etiologi dan Faktor Risiko Pertusis?

2. Patogenesis dan Ptofisiologi Pertusis?

3. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Pertusis?

4. Diagnosis dan Diagnosis Banding Pertusis?

5. Pemeriksaan Penunjang Pertusis?

6. Tatalaksana Pertusis?

7. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Pasien?

8. Tatalaksan komperhensif scenario kasus?

STEP 6 : HASIL, PRIVVATE STUDY

1.Etioogi dan Faktor Risiko Pertusis

a. Etiologi

Penyebabnya adalah Bordetella pertusis. B. pertussis ini merupakan satu-satunya penyebab


pertusis endemis dan penyebab biasa pertusis sporadis, terutama karena manusia merupaka satu-
satunya host untuk spesies ini. Penyakit serupa- disebut juga a mild pertussis-like illness- juga
dapat disebabkan oleh B. parapertussis (terutama di Denmark, Republik Ceko, Republik Rusia,
dan Slovakia) dan B. bronchiseptica (jarang pada manusia karena merupakan patogen yang
lazim pada binatang-kucing dan binatang pengerat-, kecuali pada manusia dengan gangguan
imunitas dan terpapar secara tidak biasa pada binatang). Kadang-kadang sindroma klinik berupa
batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh sehingga susah dibedakan, juga terdapat pada infeksi
adenovirus (tipe 1,2,3, dan 5), Respiratory Syncitial Virus, parainfluenza virus atau influenza
virus, enterovirus dan mycoplasma.

b. Faktor Risiko

Pertussis merupakan penyakit yang sangat menular melalui droplet. Faktor risiko pertussis
diantaranya:

 Kontak dengan orang yang terinfeksi pertussis (di rumah, mobil, dsb)
 Tidak atau belum divaksin dpt
 Bayi berumur kurang dari enam bulan
 Bayi merupakan perokok sekunder
Orang yang terinfeksi pertussis mencapai puncak penularan penyakit pada dua minggu
setelah batuk dimulai.

2. Patogenesis dan Patofisiologi Pertusis

A. Patogenesis

Bordetella pertussis ditansmisikan melalui sekresi udara pernafasan, dan kemudian


melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertussis terjadi melalui 4 tahap yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik.
Filamentous hemaglutinin (FHA), Lymphositosis promoting factor (LPF)/ pertusis toxin
(PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan Bordetella pertussis pada silia. Setelah
terjadi perlekatan Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar keseluruh
permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis
tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertussis, maka akan menghasilkan
toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin
terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertussis toxin. Toksin
pertussis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan
dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktifasi
enzim membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan magrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur sintesis protein
di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target
termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan
serotonin, efek memblokir beta adrenergik dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan
menurunkan konsengtrasi gula darah.
Toksin menyebabkan perassdangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumoniae, H. influenza dan Staphylococcus aureus). Penumpukan mukos
akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia
dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan
timbulnya apnue saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan
susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh toksin langsung atakah sekunder akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak bila sel mengalami
regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses
penyakit.

Dermonecrotic toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan kontraksi otot
polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis trakea.
Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan
kematian sel. Pertussis lipopolysacharida (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal
patogenesis penyakit ini. Kadang – kadang Bordetella pertussis hanya menyebakan infeksi
yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.

Kerja Faktor
Virulensi
B. Patofisiologi

Organisme bermultiplikasi pada epitel yang bersilia dan menghasilkan faktor-faktor virulen
(termasuk toksin).

Ada bendungan dan infiltrasi mukosa oleh sel-sel limfosit dan leukosit PMN, dan hasil hasil
peradangan dalam lumen bronki. Pada awalnya terjadi hiperplasia limfoid peribronkial.
Terjadi bronkopneumonia dengan nekrosis dan deskuamasi epitel permukaan bronki.

Obstruksi bronkial dan atelektasis terjadi karena penumpukan sekresi mukus. Dapat pula
timbul bronkiektasi.
Perubahan patologis juga ditemukan pada otak dan hati. Dapat ditemukan perdarahan
serebral dan atrofi kortikal yang kemungkinannya karena adanya anoksia. Pada hati dapat
ditemukan infiltrasi lemak.

3. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Pertusis

a. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, kelushan utama serangan paroksismal dan
bunyi whoop yg khas, serta gejala klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga,
riwayat penyakit dahulu, riwayat imunisasi, dan riwayat kontak dengan pasien pertusis
Daftar anamnesis
1. Tanyakan identitas dan usia pasien
2. Tanyakan keluhan utama : pada umunya batuk
3. Sudah berapa lama menderita batuk?
4. Bagaimana manifestasi batuk yang dialami setiap hari?
5. Bila batuk terjadi berlanjut lebih dari 7 hari:
Apakah batuk berkepanjangan disertai atau tanpa batuk paroksismal?
Apakah diikuti dengan whoop pada inspirasi?
6. Apakah pada akhir episode batuk selalu diikuti dengan muntah?
7. Apakah batuk muka merah, sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi,
salivasi, distensi vena leher, dan petekie di wajah dan konjungtiva?
8. Apakah anak menjadi apatis?
9. Apakah berat badan menurun?
10. Apakah batuk mudah dibangkitkan dengan stres emosional dan aktivitas fisik?
11. Selama terdapat gejala batuk apakah disertai demam?
12. Apakah disertai dengan gelisah dan sesak?
13. Apakah sudah diberi obat batuk dan obat penurun demam ?
14. Apakah ada yang menderita sakit serupa di lingkungan keluarga/ tetangga /sekolah?
15. Adakah riwayat alergi dalam keluarga?

b. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.

Stadium kataral
 Selama 1-2 minggu
 Gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas predominan rinore,
conjuctival injection, lakrimasi, batuk ringan, panas tidak begitu tinggi
 Pada stadium ini biasanya diagnosis pertussis belum dapat ditetapkan
Stadium paroksismal
 Selama 2-4/6 minggu
 Jumlah dan berat batuk bertambah
 Batuk khas, ada ulangan 5-10 batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha
inspirasi masif yang mendadak yang menimbulkan “whoop” ( udara dihisap
secara kuat melalui glotis yang sempit)
 Mukanya merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi
dan distensi vena leher selama serangan.
 Episode batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi “mucous
plug” pada saluran nafas menghilang
 Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau
perdarahan konjungtiva. Emesis sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup
khas sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”.
 Anak tampak apatis dan berat badan menurun. Serangan-serangan dapat
dirangsang dengan menguap, bersin, makan, minum, aktivitas fisik atau malahan
sugesti
 Diantara serangan penderita tampak sakit minimal dan lebih enak
 “Whoop” dapat tidak ditemukan pada beberapa penderita terutama bayi-bayi
muda
Stadium Konvalesens
 Selama 1-2 minggu
 Episode paroksimal batuk dan muntah sedikit demi sedikit menurun dalam
frekuensi dan beratnya
 Batuk dapat menetap untuk beberapa bulan Pemeriksaan fisik umumnya tidak
informatif
 Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher / perdarahan
konjungtiva

4. Diagnosis dan Diagnosis Banding Kasus

a. Penegakan diagnosis Pertusis

ANAMNESIS

 Riwayat kontak dengan kasus-kasus pertusis


 Riwayat imunisasi
 Serangan batuk khas (batuk mula mula timbul pada malam hari tidak mereda malahan
meningkat menjadi siang dan malam), bersifat paroksismaldan bunyi whoop yang khas
PEMERIKSAAN FISIK :
 Lakukan pengukuran tanda vital: kesadaran, tekanan darah, laju nadi, laju pernafasan, &
suhu tubuh
 Apakah dijumpai gejala batuk-batuk, dari ringan & kering sampai menjadi berat berupa
batuk paroksismal?
 Periksa konjungtiva apakah mengalami perdarahan?
 Periksa mata: eyes roll back?
 Periksa wajah: sianosis, ptekie’?
 Periksa toraks: whoop (suara melengking pada inspirasi)?
 Adakah nafas cuping hidung, retraksi?
 Adakah ditemukan kesadaran menurun?

PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Lab darah rutin


Leukositosis (20.000-50.000/mm³ darah) dengan limfositosis absolut khas,

 Foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelaktasis atau empiema. –


 Diagnostik spesifik tergantung dari didapatkannya organisme, terbaik diperiksa selama
fase awalpenyakit dengan melakukan apus nasofaring yang dibiak pada media Bordet-
Gengou. Kultur paling positif pada fase kataral dan awal paroksimal dan seharusnya
dilakukan pada semua kasus yang tersangka.
 “Direct flourescent antibody staining” dari spesimen faring dapat membedakan
diagnosis spesifik secara tepat.
 Diagnosis serologis dapat dilakukan dengan penentuan antibodi toksin pertussis dari
sepasang serum.Test serologis berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk
menentukan adanya infeksi pada individu dengan kultur negatif.
 ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap “filamentous
hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA dan IgM-TP serum
tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena menggambarkan respon imun
primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap
toksinpertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-
FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi
natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertussis.
 Tidak ada test tunggal berlaku saat ini yang sangat sensitif dan sangat spesifik untuk
menentukan infeksi B. pertussis selama semua fase penyakit.
b. Diagnosis Banding

- InfeksiAdenovius
Demam, nyeri tenggorokan, konjungtivitis
- Pneumonia klamidial
Batuk, wheezing, discharge konjungtiva
- Ketika ada batuk spasmodic pada anak, perlu dipikirkan :
o Benda asing
Menimbulkan batuk paroksismal, tapi biasanya gejalanya mendadak dan dapat
dibedakan dari pemeriksaan radiologic dan endoskopi.
o Bronkiolitis
o Pneumonia bacterial
o Cystic fibrosis
o Tuberkulosis

Pada umumnya, pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium

5. Pemeriksaan Penunjang Pertusis

Uji Laboratorium Diagnostik


Ada beberapa cara pemeriksaan penyakit pertusis di laboratorium yaitu:
1. Spesimen
pencucian nasal dengan larutan saline adalah spesimen yang dipilih. Usapan nasofaring
atau droplet yang dikeluarkan dari batuk ke dalam “cawan batuk” yang dipegang di
depan mulut pasien selama batuk paroksimal kadang-kadang digunakan tetapi tidak
sebagus pencucian nasal dengan larutan saline
2. Uji Antibodi Flouresens (FA) Langsung
Reagen FA dapat digunakan untuk memeriksa usapan neosafaring. Walaupun demikian
ahasil positif palsu dan negatif palsu dapat terjadi. Sensitivitasnya sekitar 50%. Uji FA
paling berguna dalam mengidentifikasi B.pertusis setelah biakan pada madia solid
3. Biakan
Cairan hasil pencucian nasal dengan saline dibiakkan pada agar medium solid. Antibiotik
di dalam media cenderung untuk menghambat flora respirasi yang lain tetapi
memungkinkan pertumbuhan B.pertusi. organisme diidentifikasi dengan pewarnaan
immunofluoresens atau dengan aglutinasi slide menggunakan antiserum spesifik.
4. Reaksi Rantai Polimerase
PCR adalah metode yang paling sensitif untuk mendiagnosis pertusis. Primer
untuk B.pertusis harus tercakup. Jika memungkinkan, uji PCR harus dapat menggantikan
biakan dan uji flouresens antibodi langsung.
5. Serologi
Uji serologi pada pasien mempunyai peran yang tidak begitu penting dalam membuat
diagnosis karena peningkatan aglutinasi atau presipitasi antibodi tidak terjadi sampai
minggu ketiga perjalanan penyakit. Serum tungal denga titer antibodi yang tinggi dapat
berguna dalam mendiagnosis penyakit batuk lama, satu dari durasi beberapa minggu.

Uji Labolatorium Darah


1. Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC)
suatu jenis pemeriksaaan penyaring untuk menunjang diagnosa suatu penyakit dan atau
untuk melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu penyakit. Disamping itu juga
pemeriksaan ini sering dilakukan untuk melihat kemajuan atau respon terapi pada pasien
yang menderita suatu penyakit infeksi. Pemeriksaan Darah Lengkap terdiri dari beberapa
jenis parameter pemeriksaan, yaitu :
 Hemoglobin.
 Hematokrit.
 Leukosit (White Blood Cell / WBC).
 Trombosit (platelet).
 Eritrosit (Red Blood Cell / RBC).
 Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC).
 Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR).
 Hitung Jenis Leukosit (Diff Count).
 Platelet Disribution Width (PDW).
 Red Cell Distribution Width (RDW).

Pemeriksaan Darah Lengkap biasanya disarankan kepada setiap pasien yang datang ke suatu
Rumah Sakit yang disertai dengan suatu gejala klinis, dan jika didapatkan hasil yang diluar nilai
normal biasanya dilakukan pemeriksaan lanjutan yang lebih spesifik terhadap gangguan tersebut,
sehingga diagnosa dan terapi yang tepat bisa segera dilakukan. Lamanya waktu yang dibutuhkan
suatu laboratorium untuk melakukan pemeriksaan ini berkisar maksimal 2 jam.
a. Leukosit (White Blood Cell / WBC)
Leukosit merupakan komponen darah yang berperanan dalam memerangi infeksi yang
disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun proses metabolik toksin, dll.Nilai normal leukosit
berkisar 4.000 - 10.000 sel/ul darah.
Penurunan kadar leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit akibat infeksi virus,
penyakit sumsum tulang, dll, sedangkan peningkatannya bisa ditemukan pada penyakit infeksi
bakteri, penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut, leukemia, gagal ginjal, dll.
Pada pertusis terjadi Leukositosis (20.000-50.000/mm³ darah) pada bayi-bayi jumlah
leukosit tidak dapat menolong untuk diagnosis, oleh karena respon leukositosis terdapat pula
pada banyak infeksi.

b. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)


Hitung jenis leukosit digunakan untuk mengetahui jumlah berbagai jenis leukosit. Terdapat
lima jenis leukosit, yang masing-masingnya memiliki fungsi yang khusus dalam melawan
patogen. Sel-sel itu adalah neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil. Hasil hitung jenis
leukosit memberikan informasi yang lebih spesifik mengenai infeksi dan proses penyakit. Hitung
jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relatif dari masing-masing jenis sel. Untuk
mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai relatif (%) dikalikan jumlah
leukosit total dan hasilnya dinyatakan dalam sel/µl.
Nilai normal :
 Eosinofil 1-3%.
 Netrofil 55-70%.
 Limfosit 20-40%.
 Monosit 2-8%.
Pada pertusis terjadi limfositosis absolut yang khas akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang digunakan adalah X-Foto Thorax dengan menggunakan
posisi AP/PA dan Lateral. Pada foto rontgen dada memeperlihatkan adanya infiltrate perihilus,
atelaktasis atau emphysema

Ket: increased perihiler infiltra, efusi pleura. Ket : showing bilateral perihilar
6.Tatalaksana Pertusis
1. Farmakoterapi
 Tatalaksana farmakoterapi pada pertussis adalah menggunakan antibiotik
golongan makrolide, yaitu :
1. Azithromycin
2. Erythromycin
3. Clarithomycin
 Apabila pasien memiliki alergi pada antibiotik golongan makrolide maka bisa
menggunakan Trimethoprim sulfamethoxazole
 Pemberian antibiotik tidak untuk memperpendek masa penyakit namun untuk
mengurangi periode infeksius (21 hari)

2. Supportive Treatment
 Oksigen
 Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas
atau batuk paroksismal berat
 Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal,
karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih
dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen.
 Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada
lagi.
 Tatalaksana jalan napas
 Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih
rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi
muntahan dan membantu pengeluaran sekret.
 Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan
tenggorokan dengan lembut dan hati-hati.
 Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual
atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen

 Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya


batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan
penggunaan NGT.
 Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin.
 Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu.
 Jika anak demam (≥ 390 C) yang dianggap dapat menyebabkan distres, berikan
parasetamol.
 Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa
nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi
kebutuhan harian anak.
 Jika terdapat distres pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari
risiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rangsang batuk.
 Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian makanan porsi kecil dan sering.
 Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui NGT
7. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Pasien
Imunisasi anak Anda secara tepat waktu
• Vaksin tidak memberikan perlindungan seumur hidup terhadap pertusis, dan perlindungan
adakalanya tidak lengkap.
• Anak-anak perlu diimunisasi pada dua, empat dan enam bulan.
• Booster diperlukan pada usia empat tahun dan sekali lagi pada usia 15 tahun.
• Imunisasi dapat diperoleh dari dokter keluarga dan beberapa pemerintah setempat.

Jauhkan bayi Anda dari orang yang batuk


• Bayi memerlukan dua atau tiga vaksinasi sebelum terlindung. Oleh karena ini, penting sekali
bayi Anda menjauhi dari orang yang menderita penyakit batuk supaya pertusis atau kuman lain
tidak ditularkan. Dapatkan imunisasi jika Anda seorang dewasa yang berada dalam kontak dekat
dengan anak kecil

Tersedia vaksin untuk orang dewasa. Vaksin ini dianjurkan:


• Untuk kedua orang tua sewaktu merencanakan kehamilan, atau segera setelah bayi lahir
• Untuk orang dewasa yang bekerja dengan anak kecil, terutama petugas kesehatan dan petugas
penitipan anak.

Jika Anda berada dalam kontak dekat dengan penderita pertusis:


• Perhatikan gejala-gejala. Jika gejala timbul, berjumpalah dengan dokter Anda, bawa lembar
fakta ini bersama Anda dan jelaskan kontak Anda dengan pertusis.
• Beberapa kontak dekat yang menghadapi risiko tinggi (mis. anak di bawah usia satu tahun,
anak yang belum divaksinasi secara lengkap dan wanita di akhir kehamilannya) dan orang lain
yang hidup atau bekerja dengan orang yang menghadapi risiko tinggi mungkin perlu
menggunakan antibiotik untuk mencegah infeksi.

Jika Anda menderita pertusis:


• Dapatkan perawatan dini sewaktu dapat menularkan penyakit, jauhi dari orang lain dan jauhi
dari anak kecil, mis. di pusat penitipan anak, prasekolah dan sekolah.
8. Tatalaksana Komperhensif Pada Skenario

Anak berusia 2 bulan dengan BB 5 kg

Berdasarkan Kurva diatas anak dengan umur 2 bulan normal biala laki-laki normalnya 5,5 dan
bila perempuan 5,2.
Untuk menaikkan Berat Badannya
Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan
berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika
terdapat distres pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya
aspirasi dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian
makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui
NGT.

Anak Batuk Sejak 2 minggu yang lalu dan terjadi sianosis


Tatalaksana jalan napas
Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam posisi
telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran sekret.

o Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan
dengan lembut dan hati-hati.
o Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau
dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.

Oksigen

 Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk
paroksismal berat.
 Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan
memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar tidak
menghambat aliran oksigen.
 Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi.
 Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada posisi yang
benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan aman.

Perawatan penunjang

 Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk,
seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT.
 Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin.
 Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu.
 Jika anak demam (≥ 39º C) yang dianggap dapat menyebabkan distres, berikan
parasetamol.

Hb Anak 9,6 gr%=Anemia Rendah

Tatalaksanan Anemia

 Beri pengobatan (di rumah) dengan zat besi (tablet besi/folat atau sirup setiap hari)
selama 14 hari.
 Minta orang tua anak untuk datang lagi setelah 14 hari. Jika mungkin, pengobatan harus
diberikan selama 2 bulan. Dibutuhkan waktu 2 - 4 minggu Untuk menyembuhkan anemia
dan 1-3 bulan setelah kadar Hb kembali normal untuk mengembalikan persediaan besi
 tubuh.
 Jika anak berumur ≥ 2 tahun dan belum mendapatkan mebendazol dalam kurun waktu 6
bulan, berikan satu dosis mebendazol (500 mg) untuk kemungkinan adanya infeksi
cacing cambuk atau cacing pita.
 Ajari ibu mengenai praktik pemberian makan yang baik.
Anak usia 2 bulan telah vaksin hepatotis B 2x dan BCG 1x
Tindakan Kesehatan masyarakat

 Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga yang
imunisasinya belum lengkap.
 Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi.

Pencegahan

1. Pencegahan yang dilakukan secara aktif dan secara pasif:


a) Secara aktif
Dengan pemberian imunisasi DPT dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan(DPT tidak
boleh dibrikan sebelum umur 6 minggu)dengan jarak 4-8 minggu. DPT-1 deberikan pada
umur 2 bulan,DPT-2 pada umur 4 bulan dan DPT-3 pada umur 6 bulan. Ulangan DPT
selanjutnya diberikan 1 tahun setelah DPT-3 yaitu pada umur 18-24 bulan,DPT-5 pada saat
masuk sekolah umur 5 tahun. Pada umur 5 tahun harus diberikan penguat ulangan DPT.
Untuk meningkatkan cakupan imunisasi ulangan,vaksinasi DPT diberika pada awal sekolah
dasar dalam program bulan imunisasi anak sekolah(BIAS). Beberapa penelitian menyatakan
bahwa vaksinasi pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan dengan hasil yang baik
sedangkan waktu epidemi dapat diberikan lebih awal lagi pada umur 2-4 minggu.
Kontra indikasi pemberian vaksin pertusis :
1. Panas yang lebih dari 38 derajat celcius
2. Riwayat kejang
3. Reaksi berlebihan setelah imunisasi DPT sebelumnya, misalnya suhu tinggi dengan kejang,
penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilaktik lainnya.

b) Secara pasif
Secara pasif pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan kemopropilaksis. Ternyata
eritromisin dapat mencegah terjadinya pertussis untuk sementara waktu.
Pencegahan penyebar luasan penyakit dilakukan dengan cara :
 Isolasi: mencegahkontakdenganindividu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan anak
usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotic sekurang-kurangnya 5 hari dari
14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bila mana
pasien tidak mendapatkan antibiotik.
 Karantina: kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak diimunisasi, atau
imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat public selama 14 hari atau setidaknya
mendapat antibiotic selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.
 Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang terkontaminasi
secret pernapasan dari pasien pertusis
DAFTAR PUSTAKA

1. Long, Sarah S. Pertussis. Nelson : Textbook of Pediatrics. USA. WB Saunders, 2004.


17th edition. Chapter 180. h: 908-912,1079.
2. Arief Manjoer. 2000. “Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II”. Jakarta: EG
3. Behrman, Kliegnan, Arvin. 1999. “Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol.2. Edisi 15.”
Jakarta: EGC.
4. Ngastiyah. 1997. “Perawat Anak Sakit.” Jakarta: EGC.
5. Shehab, Ziad M. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA.
Mosby Inc. 2000. Chapter 42. h: 693-699.
6. Garna, Harry, Azhali M.S, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung,
Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86.
7. Mortimer EA, Cherry JD. Pertusis (Whooping Cough). Dalam: Gershon AA, Hotez PJ,
Katz SL, penyunting. Infectious Diseases of Children. Edisi ke-11. Philadelphia: Mosby,
2004. Hal 443-59.
8. Cherry JD. Heininger U, Pertussis and Bordetella Infections. Dalam: Feigin RD, Cherry
JD, Demmler GJ, Kaplan SL, penyunting. Textbook of Pediatric Infectious Diseases,
volume 1. Edisi ke-4. Philadelphia: Saunders, 2004.
9. S Azhali M. Pertusis. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis,
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, penyunting. Edisi ke-1. Jakarta; Balai
Penerbit FKUI, 2002.
10. Red book 2007: report of the commitee on infectious diseases. Elk Grove Village:
American Academy of Pediatrics, 2006.
11. Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III VC. Nelson textbook opediatrics;
edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Company, 2004.h.647-54.

Anda mungkin juga menyukai