Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam metabolisme sekunder yang terjadi pada tumbuhan akan menghasilkan


beberapa senyawa yang tidak digunakan sebagai cadangan energi melainkan untuk
menunjang kelangsungan hidupnya seperti untuk pertahanan dari predator. Beberapa
senyawa seperti alkaloid, triterpen dan golongan phenol merupakan senyawa-senyawa
yang dihasilkan dari metabolisme sekunder. Golongan fenol dicirikan oleh adanya cincin
aromatik dengan satu atau dua gugus hidroksil. Kelompok fenol terdiri dari ribuan
senyawa, meliputi flavonoid, fenilpropanoid, asam fenolat, antosianin, pigmen kuinon,
melanin, lignin, dan tanin, yang tersebar luas di berbagai jenis tumbuhan.
Pada makalah Farmakognosi ini, kami akan membahas mengenai tanin, yang
merupakan salah satu metabolit sekunder yang dapat dihasilkan oleh tanaman. Tanin
merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol. Senyawa
tanin ini banyak di jumpai pada tumbuhan. Tanin dahulu digunakan untuk menyamakkan
kulit hewan karena sifatnya yang dapat mengikat protein. Selain itu juga tanin dapat
mengikat alkaloid dan glatin.

1.2. Rumusan Masalah

Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang memiliki berat
molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein.
Berdasarkan strukturnya, tanin dibedakan menjadi dua kelas yaitu tanin terkondensasi
(condensed tannins) dan tanin-terhidrolisiskan (hydrolysabletannins).
Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks. Hal ini dikarenakan sifat tanin
yang sangat kompleks mulai dai pengendap protein hingga pengkhelat logam. Maka dari
itu efek yang disebabkan tanin tidak dapat diprediksi. Tanin juga dapat berfungsi sebagai
antioksidan biologis. Maka dari itu semua penelitian tentang berbagai jenis senyawa tanin
mulai dilirik para peneliti sekarang. Dalam makalah Farmakognosi ini akan dibahas

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 1


berbagai hal tentang tanin yaitu penggolongnan tanin, struktur tanin, tanaman penghasil
tanin, manfaat tanin, cara skrining fitokimia tanin, cara isolasi tanin, dan kromatografi
tanin.

1.3. Maksud dan Tujuan

Pembuatan makalah Farmakognosi tentang Tanin ini bertujuan untuk memperdalam


pengetahuan mengenai tanin. Sebagai media pembelajaran bagi kami sebagai penyususn
dan mahasiswa lainnya. Adapun maksud dan tujuan pembuatan makalah ini secara
rincinya adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui definisi tanin.
b. Mengetahui penggolongan tanin.
c. Mengetahui struktur kimia tanin.
d. Mengetahui tanaman penghasil tanin.
e. Mengetahui manfaat tanin.
f. Mengetahui cara skrining fitokimia tanin.
g. Mengetahui cara isolasi tanin.
h. Mengetahui kromatografi tanin.

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 2


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Tanin adalah kelas utama dari metabolit sekunder yang tersebar luas pada tanaman.
Tanin merupakan polifenol yang larut dalam air dengan berat molekul biasanya berkisar
1000-3000 (Waterman dan Mole tahun 1994, Kraus dll., 2003). Menurut definisi, tanin
mampu menjadi pengompleks dan kemudian mempercepat pengendapan protein serta
dapat mengikat makromolekul lainnya (Zucker, 1983). Tanin merupakan campuran
senyawa polifenol yang jika semakin banyak jumlah gugus fenolik maka semakin besar
ukuran molekul tanin. Pada mikroskop, tanin biasanya tampak sebagai massa butiran
bahan berwarna kuning, merah, atau cokelat.

Tanin dapat ditemukan di daun, tunas, biji, akar, dan batang jaringan. Sebagai contoh
dari lokasi tanin dalam jaringan batang adalah tanin sering ditemukan di daerah
pertumbuhan pohon, seperti floem sekunder dan xylem dan lapisan antara korteks dan
epidermis. Tanin dapat membantu mengatur pertumbuhan jaringan ini.

Tanin berikatan kuat dengan protein & dapat mengendapkan protein dari larutan.
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus
dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk
kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang
berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit
siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein.

Secara fisika, tanin memiliki sifat-sifat: jika dilarutkan kedalam air akan membentuk
koloid dan memiliki rasa asam dan sepat, jika dicampur dengan alkaloid dan glatin akan terjadi
endapan, tidak dapat mengkristal, dan dapat mengendapkan protein dari larutannya dan
bersenyawa dengan protein tersebut sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim protiolitik.

Secara kimiawi, memiliki sifat-sifat diantaranya: merupakan senyawa kompleks


dalam bentuk campuran polifenol yang sukar dipisahkan sehingga sukar mengkristal, tanin dapat

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 3


diidentifikasikan dengan kromotografi, dan senyawa fenol dari tanin mempunyai aksi
adstrigensia, antiseptik dan pemberi warna (Najebb, 2009).

Senyawa phenol yang secara biologis dapat berperan sebagai khelat logam. Proses
pengkhlatan akan terjadi sesuai pola subtitusi dan pH senyawa phenolik itu sendiri. Karena
itulah tanin terhidrolisis memiliki potensial untuk menjadi pengkhelat logam. Hasil khelat
dari tanin ini memiliki keuntungan yaitu kuatnya daya khelat dari senyawa tanin ini
membuat khelat logam menjadi stabil dan aman dalam tubuh. Tetapi jika tubuh
mengkonsumsi tanin berlebih maka akan mengalami anemia karena zat besi dalam darah
akan dilkhelat oleh senyawa tanin tersebut (Hangerman, 2002).

2.2. Penggolongan

Senyawa tanin termasuk ke dalam senyawa polifenol yang artinya senyawa yang
memiliki bagian berupa fenolik. Senyawa tanin dibagi menjadi dua berdasarkan pada sifat
dan struktur kimianya, yaitu tanin yang terhidrolisis dan tanin yang terkondensasi. Tanin
terhidrolisis biasanya ditemukan dalam konsentrasi yang lebih rendah pada tanaman bila
dibandingkan dengan tanin terkondensasi. Tanin terkondensasi terdiri dari beberapa unit
flavanoid (flavan-3-ol) dihubungkan oleh ikatan-ikatan karbon. Tanin terkondensasi
banyak ditemukan dalam berbagai jenis tanaman seperti Acacia spp, sericea Lespedeza
serta spesies padang rumput seperti Lotus spp.
Tanin terkondensasi (condensed tannins) biasanya tidak dapat dihidrolisis, tetapi
dapat terkondensasi menghasilkan asam klorida. Tanin jenis ini kebanyakan terdiri dari
polimer flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Nama lain dari tanin ini adalah
Proanthocyanidin. Proanthocyanidin merupakan polimer dari flavonoid yang dihubungkan
dengan melalui ikatan C-8 dengan C-4. Salah satu contohnya adalah Sorghum procyanidin,
senyawa ini merupakan trimer yang tersusun dari epiccatechin dan catechin. Senyawa ini
jika dikondensasi maka akan menghasilkan flavonoid jenis flavan dengan bantuan
nukleofil berupa floroglusinol.
Tanin terhidrolisis biasanya berikatan dengan karbohidrat dengan
membentuk jembatan oksigen, maka dari itu tanin ini dapat dihidrolisis dengan
menggunakan asam sulfat atau asam klorida. Salah satu contoh jenis tanin ini adalah
gallotanin yang merupakan senyawa gabungan dari karbohidrat dengan asam galat. Selain

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 4


membentuk gallotanin, dua asam galat akan membentuk tanin terhidrolisis yang biasa
disebut Ellagitanins. Ellagitanin sederhana disebut juga ester asam hexahydroxy diphenic
(HHDP). Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam galic jika dilarutkan dalam air.

2.3. Struktur Kimia

Tanin atau lebih dikenal dengan asam tanat, biasanya mengandung 10% H2O.
Struktur kimia tanin adalah kompleks dan tidak sama. Asam tanat tersusun 5 - 10 residu
ester galat, sehingga galotanin sebagai salah satu senyawa turunan tanin dikenal dengan
nama asam tanat. Beberapa struktur kimia senyawa tanin adalah sebagai berikut.

Gambar 1.1: Struktur kimia tanin

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 5


Gambar 2.1: Tanin Terkondensasi, Proanthocyanidin merupakan polimer dari
flavonoid yang dihubungkan dengan melalui ikatan C-8 dengan C-4.

Gambar 3.1: Tanin Terhidrolisis, Gallotanin prototipe merupakan glukosa


pentagalloyl (β-1, 2, 3, 4, 6-Pentagalloyl-OD-Glukopyranose). PGG memiliki 5
hubungan ester identik yang melibatkan gugus hidroksi alifatik gula inti. PGG
memiliki banyak isomer seperti Gallotanin.

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 6


Gambar 3.2: Rantai ester poligallol ditemukan di dalam gallotanin terbentuk dari meta-
atau para-depside obligasi, melibatkan hidroksil fenolik daripada gugus hidroksi alifatik.
Depside obligasi lebih mudah dihidrolisis daripada ikatan ester alifatik. Metanolisis
dalam asam lemah dengan menggunakan metanol dapat menghancurkan depside tetapi
tidak ester obligasi. Dengan demikian poliol inti dengan kelompok galloyl yang
teresterisasi dapat dihasilkan dari campuran kompleks dari ester polygalloyl oleh
metanolisis dengan buffer asetat. Asam kuat mineral, panas, dan metanol dapat digunakan
untuk metanolisis baik depside dan ester obligasi menghasilkan poliol inti dan metil galat.
Hidrolisis dengan asam kuat dapat mengubah galotanin menjadi asam galat dan poliol
inti.

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 7


Gambar 3.3: Aceritannin, gallotannin yang ditemukan pada daun maple dan
hamamellitannin adalah gallotannin dari kulit kayu pohon ek.

Gambar 4.1: Elagitanin sederhana merupakan ester dari asam hexahidroxidifenik


(HHDP).

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 8


Gambar 4.2: Eugenin membentuk HHDP pada ikatan karbon C-4 dan C-6, casuarictin
pada ikatan C-2 dan C-3

Gambar 4.3: Corilagin berikatan pada C-3 dan C-6, geraniin pada ikatan C-2 dan C-4,
davidiin pada ikatan C-1 dan C-6

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 9


Gambar 4.4: Setelah casuarictin berubah menjadi pedunculagin, cincin piranosa dari
glukosa terbuka dan membentuk kelompok senyawa termasuk castalagin dan vescalagin.

Gambar 4.5: Elagitanin berikatan dengan tanin terhidrolisis lain. Sebagai contoh, pada
beberapa euforbs, geraniin oksidatif mengembun bersama PGG untuk menghasilkan
berbagai euphrobin, ditandai dengan adanya kelompok valoneoyl.

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 10


Gambar 4.6: Oenethein adalah dimer makrosiklik dihubungkan oleh dua kelompok
valoneoyl.

2.4. Tanaman Penghasil

Jenis tanaman yang mengandung tanin antara lain adalah daun sidaguri (Sida rhombifolia L.)
yang diketahui mengandung tanin cukup tinggi dan telah digunakan sebagai pestisida nabati
pembunuh ulat (larvasidal) (Kusuma et al., 2009; Islam et al., 2003). Daun melinjo (Gnetum
gnemon L.) juga mengandung tanin. Daun gamal (Gliricidia sepium Jacq.) dan lamtoro (Leucaena
leucocephala Lamk.) mempunyai kandungan tanin 8-10% (Suharti, 2005; Sulastri, 2009). Biji
pinang (Areca catechu L.) dan simplisia gambir (Uncaria gambir Roxb.) telah dikenal luas
sebagai penghasil tanin dengan kandungan tanin masing-masing sebesar 26,6% dan 30-40%
(Pambayun, 2007; Hadad et al., 2007).

Pegagan (Centella asiatica) atau antanan (Sunda), daun kaki kuda (Melayu), gagan-
gagan, rendeng (Jawa), taidah (Bali) sandanan (Papua) broken copper coin, buabok
(Inggris), paardevoet (Belanda), gotu kola (India), ji xue cao (Hanzi) juga diduga memiliki
kandungan senyawa tanin beserta asiaticoside, thankuniside, isothankuniside,
madecassoside, brahmoside, brahmic acid, brahminoside, madasiatic acid, meso-inositol,
centelloside, carotenoids, hydrocotylin, vellarine, serta garam mineral seperti kalium,

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 11


natrium, magnesium, kalsium dan besi. Zat vellarine dan tanin yang ada dapat memberikan
rasa pahit.

Tanaman sirih merah (Piper crocatum) termasuk dalam famili Piperaceae, tumbuh
merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai, yang tumbuh berselang-
seling dari batangnya serta penampakan daun yang berwarna merah keperakan dan
mengkilap. Dalam daun sirih merah terkandung senyawa fitokimia yakni alkoloid,
saponin, tanin dan flavonoid.

Buah, daun, dan kulit batang pohon jambu biji (Psidium guajava) mengandung
tanin, sedang pada bunganya tidak banyak mengandung tanin. Daun jambu biji juga
mengandung zat lain kecuali tanin, seperti minyak atsiri, asam ursolat, asam psidiolat,
asam kratogolat, asam oleanolat, asam guajaverin dan vitamin (IPTEKnet, 15 Januari,
2007).

Daun dewa (Gynura divaricata) mengandung zat saponin, minyak atsiri,


flavonoid, dan tanin. Efek farmakologis daun dewa adalah antikoagulan (koagulan=zat
yang mempermudah dan mempercepat pembekuan darah), mencairkan bekuan darah,
stimulasi sirkulasi, menghentikan perdarahan, menghilangkan panas, dan
membersihkan racun.

Ciplukan (Physalis minina) temasuk ke dalam famili tumbuhan Solanaceae. Nama


lain dari ciplukan antara lain adalah morel berry (Inggris), ceplukan (Jawa), cecendet
(Sunda), yoryoran (Madura), lapinonat (Seram), angket, kepok-kepokan, keceplokan
(Bali), dedes (Sasak), leletokan (Minahasa). Tumbuhan ini mempunyai kandungan kimia
berupa chlorogenik acid, asam citrun, fisalin, flavonoid, saponin, polifenol. Buah
mengandung asam malat, alkaloid, tanin, kriptoxantin, vitamin C dan gula. Biji
mengandung elaidic acid. Sifat tumbuhan ini analgetik (penghilang rasa sakit), peluruh air
seni (diuretik), menetralkan racun, meredakan batuk, mengaktifkan fungsi kelenjar-
kelenjar tubuh dan anti tumor.

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 12


2.5. Manfaat

Tanin diketahui dapat digunakan sebagai antivirus, antibakteri, dan antitumor. Tanin
tertentu dapat menghambat selektivitas replikasi HIV dan juga digunakan sebagai diuretik
(Heslem, 1989). Tanaman yang mengandung tanin telah diakui memiliki efek farmakologi
dan dikenal agar membuat pohon-pohon dan semak-semak sulit untuk dihinggapi/dimakan
oleh banyak ulat (Heslem, 1989).
Di dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma, tetapi bila
jaringan rusak, misalnya bila hewan memakannya, maka reaksi penyamakan dapat terjadi.
Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan pencernaan hewan. Pada
kenyataanya, sebagian besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan
pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat. Kita menganggap salah satu fungsi utama
tanin dalam tumbuhan ialah sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan. Fungsi tanin pada
tanaman biasanya sebagai senjata pertahanan untuk menghindari terjadinya over grazing
oleh hewan ruminansia dan menghindari diri dari serangga, sebagai penyamak kulit, bahan
untuk pembuatan tinta (+ garam besi(III) → senyawa berwarna tua), sebagai reagen untuk
deteksi gelatin, protein, alkaloid (karena sifat mengendap), sebagai antidotum keracunan
alkaloid (membentuk tannat yang mengendap), sebagai antiinflamasi saluran pencernaan
bagian atas, obat diare karena inflamasi saluran gastro intestinal, dan sebagai obat topikal
(lesi terbuka, luka, hemoroid).

Tanin terutama dimanfaatkan orang untuk menyamak kulit agar awet dan mudah
digunakan. Tanin juga digunakan untuk menyamak (mengubar) jala, tali, dan layar agar
lebih tahan terhadap air laut. Selain itu tanin dimanfaatkan sebagai bahan pewarna,
perekat, dan mordan.

Tanin yang terkandung dalam minuman seperti teh, kopi, anggur, dan bir
memberikan aroma dan rasa sedap yang khas. Bahan kunyahan seperti gambir (salah satu
campuran makan sirih) memanfaatkan tanin yang terkandung di dalamnya untuk
memberikan rasa kelat ketika makan sirih. Sifat pengelat atau pengerut (astringensia) itu
sendiri menjadikan banyak tumbuhan yang mengandung tanin dijadikan sebagai bahan
obat-obatan. Tanin yang terkandung dalam teh memiliki korelasi yang positif antara kadar
tanin pada teh dengan aktivitas antibakterinya terhadap penyakit diare yang disebabkan
oleh Enteropathogenic Esclierichia coli (EPEC) pada bayi. Hasil penelitian Yulia (2006)

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 13


menunjukkan bahwa daun teh segar yang belum mengalami pengolahan lebih berpotensi
sebagai senyawa antibakteri, karena seiring dengan pengolahan menjadi teh hitam,
aktivitas senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri pada daun teh menjadi
berkurang.

Senyawa tanin juga bersifat sebagai astringent, yaitu melapisi mukosa usus,
khususnya usus besar dan menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak. Serta
sebagai penyerap racun (antidotum) dan dapat menggumpalkan protein. Oleh karena itu,
senyawa tanin dapat digunakan sebagai obat diare.

2.6. Skrining Fitokimia

Bahan tanaman: daun Mangga (Mangifera indica).


Persiapan ekstraksi tanaman: heksana, etil asetat dan ekstrak metanol dari daun
tanaman yang telah disiapkan sesuai dengan metode standar (Harborne, 1973; Sofowora,
1982). Sampel tanaman yang dikumpulkan ketika udara kering dan digiling dengan
menggunakan mesin penggilingan. Bahan yang telah diserbukkan dipindahkan ke dalam
alat Soxhlet dan diekstraksi dalam ekstraktor Soxhlet menggunakan heksana, etil asetat
dan metanol berturut-turut masing-masing selama72 jam. Ekstrak terkonsentrasi sampai
kering dan residu yang diperoleh sebagai hitam solid, bergetah hitam kehijauan solid dan
kecoklatan hitam solid, masing-masing setelah itu, residu dipindahkan ke dalam wadah
sampel pra-ditimbang dan disimpan dan kemudian siap digunakan untuk skrining
fitokimia.
Skrining fitokimia: ekstrak daun mangga (Mangifera indica) (varietas Edward)
dianalisis mengandung alkaloid, saponin, antrakuinon, steroid, tanin, flavonoid,
mengurangi kadar gula darah sesuai dengan metode standar (Odebiyi dan Sofowora, 1978;
Sofowora, 1982, Harborne, 1973;. Onwukeame dll., 2007).
Ekstraksi air sampel dilakukan dengan menggunakan larutan uji klorida 15 %. Catat
warna yang dihasilkan. Jika warna yang dihasilkan adalah warna biru, maka menunjukkan
adanya tanin terhidrolisis. Atau, 10 mL kalium hidroksida (KOH) disiapkan dalam gelas
kimia, tambahkan 0,5 g ekstrak kemudian aduk. Jika terbentuk endapan kotor, maka
menunjukkan adanya tanin (Odebiyi dan Sofowora, 1978; Sofowora, 1982).

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 14


Berikut adalah indikator yang dapat digunakan ketika mengidentifikasi senyawa
tanin secara kualitatif:
a. Galotanin, Elagitanin + garam Feri → warna + hitam kebiruan
b. Tanin terkondensasi + garam Feri → coklat kehijauan
c. Galotanin + K-iodat → warna rosa
d. Asam galat bebas + K-iodat → warna jingga
e. Elagitanin + asam nitrit → mula-mula rosa, kemudian ungu, lalu biru
f. Tanin terkondensasi + vanilin + HCl → merah

2.7. Kromatografi dan Isolasi

Penemuan berbagai senyawa obat baru dari bahan alam semakin memperjelas peran
penting metabolit sekunder tanaman sebagai sumber bahan baku obat. Metabolit sekunder
adalah senyawa hasil biogenesis dari metabolit primer. Umumnya dihasilkan oleh
tumbuhan tingkat tinggi, yang bukan merupakan senyawa penentu kelangsungan hidup
secara langsung, tetapi lebih sebagai hasil mekanisme pertahanan diri organisme.
Kandungan senyawa metabolit sekunder telah terbukti bekerja sebagai derivat antikanker,
antibakteri dan antioksidan, antara lain adalah golongan alkaloid, tanin, golongan polifenol
dan turunanya.
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) merupakan salah satu jenis tanaman yang
sering digunakan sebagai obat tradisional. Tanaman ini banyak dimanfaatkan mengatasi
berbagai penyakit seperti batuk, diabetes, rematik, gondongan, sariawan, sakit gigi, gusi
berdarah, jerawat, diare sampai tekanan darah tinggi.
Ekstrak daun belimbing wuluh mengandung flavonoid, saponin, triterpenoid dan
tanin (Faharani, 2009; Hayati, et al., 2010). Bahan aktif pada daun belimbing wuluh yang
dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah tanin. Tanin merupakan suatu senyawa fenol yang
memiliki berat molekul besar yang terdiri dari gugus hidroksi dan beberapa gugus yang
bersangkutan seperti karboksil untuk membentuk kompleks kuat yang efektif dengan
protein dan beberapa makromolekul (Horvart, 1981). Tanin terdiri dari dua jenis yaitu
tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Kedua jenis tanin ini terdapat dalam tumbuhan,
tetapi yang paling dominan terdapat dalam tanaman adalah tanin terkondensasi. Kadar
tanin yang tinggi pada daun belimbing wuluh muda sebesar 10,92% (Ummah, 2010).

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 15


Secara kualitatif pengujian fitokimia senyawa tanin terhadap esktrak aseton-air (7:3)
daun belimbing wuluh dengan reagen FeCl3, gelatin dan campuran formalin: HCl
menunjukan adanya golongan senyawa tanin. Ekstrak tanin pada daun belimbing wuluh
mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
(Hayati, et al., 2009), Pseudomonas fluorescens, dan Micrococcus luteus (Hayati, et al.,
2010). Adanya potensi aktif terhadap beberapa bakteri dapat dimanfaatkan sebagai obat
diare dan pengawet alami.
Tanin dapat diisolasi dari daun belimbing wuluh menggunakan metode maserasi,
sedangkan salah satu cara untuk memisahkan senyawa tanin adalah dengan kromatografi
lapis tipis preparatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eluen terbaik dalam
pemisahan senyawa tanin dari daun belimbing wuluh dengan kromatografi lapis tipis
(KLT) dan mengetahui jenis senyawa tanin yang terdapat dalam daun belimbing wuluh.
Bahan utama yang digunakan adalah daun belimbing wuluh, dipilih daun muda yang
segar dan diambil diujung ranting dari daerah Malang. Bahan-bahan kimia yang digunakan
berderajat pa meliputi: aseton, akuades, asam askorbat 10 mM, kloroform, etil asetat,
gelatin, formaldehid 3 %, natrium asetat, HCl pekat, FeCl3 1 %, FeCl3 5 %, toluen, ferri
sulfat, asam asetat glasial, asam asetat, n-butanol, metanol, NaOH 2 M, AlCl3 5 %, AlCl3 1
%, H3BO3, pelet KBr, plat KLT silika G60 F254.
Alat penelitian yang digunakan pada penelitian ini meliputi seperangkat alat gelas,
vacum rotary evaporator, bejana pengembang, lampu UV 254 dan 366 nm, seperangkat
alat UV-Vis merk Shimadzu, seperangkat alat FTIR merk IR Buck M500 Scientific.
Daun belimbing wuluh yang muda dicuci bersih dengan air dan diiris kecil-kecil
kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 30-37 ºC selama 5 jam dan diblender
sampai diperoleh serbuk. Hasil yang diperoleh digunakan sebagai sampel penelitian.
Serbuk daun belimbing wuluh ditimbang sebanyak 50 gram kemudian direndam dengan
400 mL pelarut aseton : air (7:3) dengan penambahan 3 mL asam askorbat 10 mM.
Ekstrak tanin dipekatkan dengan menggunakan vakum rotary evaporator dan
pemanasan di atas waterbath pada suhu 40-50°C. Cairan hasil ekstrak kemudian
diekstraksi dengan kloroform (4x25 mL) menggunakan corong pisah sehingga terbentuk 2
lapisan. Lapisan kloroform (bawah) dipisahkan dan lapisan air 1 (atas) diekstraksi dengan
etil asetat (1x25 mL) dan terbentuk 2 lapisan. Lapisan etil asetat 1 (atas) dipisahkan dan
lapisan air 2 (bawah) dipekatkan dengan vacum rotary evaporator (Makkar, 1998).
Pada pemisahan dengan KLT analitik digunakan plat silika G 60 F254 yang sudah
diaktifkan dengan pemanasan dalam oven pada suhu 100oC selama 10 menit. Masing-

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 16


masing plat dengan ukuran 1 cm x 10 cm. Ekstrak tanin ditotolkan pada jarak 1 cm dari
tepi bawah plat dengan pipa kapiler kemudian dikeringkan dan dielusi dengan fase gerak
toluen : etil asetat (3:1) dengan pendeteksi ferri sulfat (Yuliani, 2008), forestal (asam asetat
glasial : H2O : HCl pekat) (30:10:3) (Nuraini, 2002), etil asetat : metanol : asam asetat
(6:14:1) dengan pendeteksi aluminium klorida 5% (Olivina, 2005), n-butanol : asam asetat
: air (4:1:5), metanol : etil asetat (4:1) dengan pendeteksi AlCl3 1% (Lidyawati, 2006), etil
asetat : kloroform : asam asetat 10% (15:5:2). Setelah gerakan larutan pengembang sampai
pada garis batas, elusi dihentikan. Noda yang terbentuk masing-masing diukur harga Rf
nya, selanjutnya dengan memperhatikan bentuk noda pada berbagai larutan pengembang
ditentukan perbandingan larutan pengembang yang paling baik untuk keperluan preparatif.
Noda yang terbentuk diperiksa dengan lampu UV-Vis pada panjang gelombang 254
nm dan 366 nm. Pada pemisahan dengan KLT preparatif digunakan plat silika G 60 F254
dengan ukuran 10 cm x 20 cm. Ekstrak pekat hasil ekstraksi dilarutkan dengan aseton-air,
kemudian ditotolkan sepanjang plat pada jarak 1 cm dari garis bawah dan 1 cm dari garis
tepi. Selanjutnya dielusi dengan menggunakan eluen n-butanol : asam asetat : air (BAA)
(4:1:5) yang memberikan pemisahan terbaik pada KLT analitik. Setelah gerakan larutan
pengembang sampai pada garis batas, elusi dihentikan. Noda yang terbentuk masing-
masing diukur nilai Rf nya. Noda-noda diperiksa di bawah sinar UV pada panjang
gelombang 254 nm dan 366 nm. Isolat-isolat yang diperoleh dari hasil KLT preparatif,
dilarutkan dengan aseton : air dan disentrifuge kemudian dianalisis dengan
spektrofotometer UV-Vis merk Shimadzu. Masing-masing isolat sebanyak 2 mL
dimasukkan dalam kuvet dan diamati spektrumnya pada bilangan gelombang 200-800 nm.
Identifikasi dilanjutkan dengan penambahan pereaksi geser NaOH 2 M, AlCl3 5%,
AlCl3 5%/HCl, NaOAc, NaOAc/H3BO3. Kemudian diamati pergeseran puncak
serapannya. Tahapan kerja penggunaan pereaksi geser adalah sebagai berikut:
a. Isolat yang dapat diamati pada panjang gelombang 200-800 nm, direkam dan dicatat
spektrum yang dihasilkan.
b. Isolat dari tahap 1 ditambah 3 tetes NaOH 2 M kemudian dikocok hingga homogen
dan diamati spektrum yang dihasilkan. Sampel didiamkan selama 5 menit dan diamati
spectrum yang dihasilkan.
c. Isolat dari tahap 1 kemudian ditambah 6 tetes pereaksi AlCl3 5 % dalam metanol
kemudian dicampur hingga homogen dan diamati spektrumnya. Sampel ditambah
denga 3 tetes HCl kemudian dicampur hingga homogen dan diamati spektrumnya.

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 17


d. Isolat dari tahap 1 ditambah serbuk natrium asetat kurang lebih 250 mg. Campuran
dikocok sampai homogen menggunakan fortex dan diamati lagi spektrumnya.
Selanjutnya larutan ini ditambah asam borat kurang lebih 150 mg dikocok sampai
homogen dan diamati spektrumnya.
Isolat hasil KLT preparatif yang diduga senyawa tanin diidentifikasi dengan
menggunakan spektrofotometer FTIR. 0,2 g pelet KBr ditambahkan dengan satu tetes
isolat yang diduga senyawa tanin, dikeringkan kemudian diidentifikasi dengan
spektrofotometer FTIR merk IR Buck M500 Scientific dengan panjang gelombang 4000-
400 cm-1.

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 18


BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Tanin merupakan salah satu senyawa polifenol dengan berat molekul lebih dari 1000
yang dapat diperoleh dari semua jenis tumbuhan. Tanin memiliki sifat yang khas baik fisik
maupun kimianya. Tanin biasanya dalam tumbuhan berfungsi sebagai sistem pertahanan
dari predator, contohnya pada buah yang belum matang, buah akan terasa asam dan sepat,
hal ini sama dengan sifat tanin yang asam dan sepat. Selain itu tanin juga dapat
mengendapkan protein, alkaloid, dan glatin. Tanin juga dapat membentuk khelat dengan
logam secara stabil, sehingga jika manusia kebanyakan mengkonsumsi makan yang
memiliki tanin maka Fe pada darah akan berkurang sehingga menyebabkan anemia. Tanin
diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi.
Masing-masing jenis memiliki struktur dan sifat yang berbeda. Untuk tanin yang
tehidrolisis memiliki ikatan glikosida yang dapat dihidrolisis oleh asam. Kalau tanin
terkondensasi biasanya bebrbentuk polimer, jenis ini didominasi dengan flavonoid sebagai
monomernya. Beberapa cara mengujinya bergantung pada tujuannya apakah kualitatif atau
kuantitatif, masing-masing dapat dilakukan di laboratorium dengan reagen dan metode
tertentu. Tanin jenis terhidrolisis lebih mudah untuk dimurnikan daripada jenis
terkondensasi.

3.2. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai Tanin yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah Farmakognosi ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan makalah Tanin ini.
Kami sebagai penulis banyak berharap agar para pembaca yang budiman bersedia
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah
ini dan dan penulisan makalah di kesempatan - kesempatan berikutnya. Semoga makalah
ini berguna bagi kami pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 19


LAMPIRAN

Buck M500 Infra-red Spectrometer BUCK Scientific M500 Scanning Infra-Red System
Buck

Shimadzu UVmini 1240 UV Visible Scanning Spectrophotometer 115 VAC

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 20


Vacuum Rotary Evaporator RV 10

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 21


DAFTAR PUSTAKA

Olav Smidsrød, Størker Moe, & Størker T. Moe (2008). Biopolymer Chemistry. Dari
http://books.google.co.id/books?id=qDWZiFcbS0EC&pg=PA117&dq=Tannin,+Ce
llulose,+Lignin&hl=id&sa=X&ei=yqqEU6m3PMm2uATI9IDgBA&ved=0CHUQ
6AEwCQ#v=onepage&q=tannin&f=false, 27 Mei 2014

Edwin Haslam (1989). Plant Polyphenols: Vegetable Tannins Revisited. Dari


http://books.google.co.id/books?hl=id&id=Zyc9AAAAIAAJ&q=tannin#v=snippet
&q=tannin&f=false, 27 Mei 2014

O.O. Aiyelaagbe and Paul M. Osamudiamen (2009). Phytochemical Screening for Active
Compounds in Mangifera indica Leaves. Dari
http://www.medwelljournals.com/fulltext/?doi=psres.2009.11.13, 27 Mei 2014

Shahin Hassanpour, Naser MaheriSis, Behrad Eshratkhah, & Farhad Baghbani


Mehmandar (2011). Plants and Secondary Metabolites (Tannins): A Review. Dari
http://www.ijfse.com/index.php/IJFSE/article/view/IJFSE-Vol%201%281%29-
2011-8, 28 Mei 2014

Elok Kamilah Hayati, A. Ghanaim Fasyah, dan Lailis Sa’adah (2010). Fraksinansi dan
Identifikasi Senyawa Tanin pada Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.).
Dari http://ojs.unud.ac.id/index.php/jchem/article/download/2804/1993, 27 Mei
2014

Asriyah Firdausi, Tri Agus Siswoyo, dan Soekandar Wiryadiputra (2013). Identifikasi
Tanaman Potensial Penghasil Tanin-Protein Kompleks untuk Penghambatan
Aktivitas α-Amilase Kaitannya Sebagai Pestisida Nabati. Dari
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&ved=0C
DoQFjAC&url=http%3A%2F%2Ficcri.net%2Fdownload%2FPelita%2520Perkebu
nan%2Fvol_29_no_1_april_2013%2FIdentifikasi%2520Tanaman%2520Potensial
%2520Penghasil%2520Tanin-
protein%2520Kompleks%2520Untuk%2520Penghambatan%2520Aktivitas%2520
amylase%2520Kaitannya%2520Sebagai%2520Pestisida%2520Nabati.pdf&ei=RW

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 22


eKU-7NCcmTuATY3IGYCQ&usg=AFQjCNFgL_czFl-pJUE-
ZnsmoYgZUa9O3A&sig2=P7jLvK4KESb6_4JpnULWgA, 27 Mei 2014

Imelda Fajriati (2006). Optimasi Metode Penetuan Tanin (Analisis Tanin secara
Spektrofotometri dengan Pereaksi Orto-Fenantrolin). Dari
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&ved=0C
GMQFjAF&url=http%3A%2F%2Fdigilib.uin-
suka.ac.id%2F7897%2F1%2FIMELDA%2520FAJRIATI%2520OPTIMASI%252
0METODE%2520PENENTUAN%2520TANIN.pdf&ei=MvyKU9r8EpG9uATe04
KICA&usg=AFQjCNHTLCtJiexNAqTyal0exhQ8SwTsNw&sig2=uYLfQbaa7g-
OlwaIRZ_kNw, 27 Mei 2014

Makalah Farmakognosi: “Tanin” D3 1 FA1 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Page 23

Anda mungkin juga menyukai