Makalah Tanin
Makalah Tanin
PENDAHULUAN
Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang memiliki berat
molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein.
Berdasarkan strukturnya, tanin dibedakan menjadi dua kelas yaitu tanin terkondensasi
(condensed tannins) dan tanin-terhidrolisiskan (hydrolysabletannins).
Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks. Hal ini dikarenakan sifat tanin
yang sangat kompleks mulai dai pengendap protein hingga pengkhelat logam. Maka dari
itu efek yang disebabkan tanin tidak dapat diprediksi. Tanin juga dapat berfungsi sebagai
antioksidan biologis. Maka dari itu semua penelitian tentang berbagai jenis senyawa tanin
mulai dilirik para peneliti sekarang. Dalam makalah Farmakognosi ini akan dibahas
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Tanin adalah kelas utama dari metabolit sekunder yang tersebar luas pada tanaman.
Tanin merupakan polifenol yang larut dalam air dengan berat molekul biasanya berkisar
1000-3000 (Waterman dan Mole tahun 1994, Kraus dll., 2003). Menurut definisi, tanin
mampu menjadi pengompleks dan kemudian mempercepat pengendapan protein serta
dapat mengikat makromolekul lainnya (Zucker, 1983). Tanin merupakan campuran
senyawa polifenol yang jika semakin banyak jumlah gugus fenolik maka semakin besar
ukuran molekul tanin. Pada mikroskop, tanin biasanya tampak sebagai massa butiran
bahan berwarna kuning, merah, atau cokelat.
Tanin dapat ditemukan di daun, tunas, biji, akar, dan batang jaringan. Sebagai contoh
dari lokasi tanin dalam jaringan batang adalah tanin sering ditemukan di daerah
pertumbuhan pohon, seperti floem sekunder dan xylem dan lapisan antara korteks dan
epidermis. Tanin dapat membantu mengatur pertumbuhan jaringan ini.
Tanin berikatan kuat dengan protein & dapat mengendapkan protein dari larutan.
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus
dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk
kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang
berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit
siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein.
Secara fisika, tanin memiliki sifat-sifat: jika dilarutkan kedalam air akan membentuk
koloid dan memiliki rasa asam dan sepat, jika dicampur dengan alkaloid dan glatin akan terjadi
endapan, tidak dapat mengkristal, dan dapat mengendapkan protein dari larutannya dan
bersenyawa dengan protein tersebut sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim protiolitik.
Senyawa phenol yang secara biologis dapat berperan sebagai khelat logam. Proses
pengkhlatan akan terjadi sesuai pola subtitusi dan pH senyawa phenolik itu sendiri. Karena
itulah tanin terhidrolisis memiliki potensial untuk menjadi pengkhelat logam. Hasil khelat
dari tanin ini memiliki keuntungan yaitu kuatnya daya khelat dari senyawa tanin ini
membuat khelat logam menjadi stabil dan aman dalam tubuh. Tetapi jika tubuh
mengkonsumsi tanin berlebih maka akan mengalami anemia karena zat besi dalam darah
akan dilkhelat oleh senyawa tanin tersebut (Hangerman, 2002).
2.2. Penggolongan
Senyawa tanin termasuk ke dalam senyawa polifenol yang artinya senyawa yang
memiliki bagian berupa fenolik. Senyawa tanin dibagi menjadi dua berdasarkan pada sifat
dan struktur kimianya, yaitu tanin yang terhidrolisis dan tanin yang terkondensasi. Tanin
terhidrolisis biasanya ditemukan dalam konsentrasi yang lebih rendah pada tanaman bila
dibandingkan dengan tanin terkondensasi. Tanin terkondensasi terdiri dari beberapa unit
flavanoid (flavan-3-ol) dihubungkan oleh ikatan-ikatan karbon. Tanin terkondensasi
banyak ditemukan dalam berbagai jenis tanaman seperti Acacia spp, sericea Lespedeza
serta spesies padang rumput seperti Lotus spp.
Tanin terkondensasi (condensed tannins) biasanya tidak dapat dihidrolisis, tetapi
dapat terkondensasi menghasilkan asam klorida. Tanin jenis ini kebanyakan terdiri dari
polimer flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Nama lain dari tanin ini adalah
Proanthocyanidin. Proanthocyanidin merupakan polimer dari flavonoid yang dihubungkan
dengan melalui ikatan C-8 dengan C-4. Salah satu contohnya adalah Sorghum procyanidin,
senyawa ini merupakan trimer yang tersusun dari epiccatechin dan catechin. Senyawa ini
jika dikondensasi maka akan menghasilkan flavonoid jenis flavan dengan bantuan
nukleofil berupa floroglusinol.
Tanin terhidrolisis biasanya berikatan dengan karbohidrat dengan
membentuk jembatan oksigen, maka dari itu tanin ini dapat dihidrolisis dengan
menggunakan asam sulfat atau asam klorida. Salah satu contoh jenis tanin ini adalah
gallotanin yang merupakan senyawa gabungan dari karbohidrat dengan asam galat. Selain
Tanin atau lebih dikenal dengan asam tanat, biasanya mengandung 10% H2O.
Struktur kimia tanin adalah kompleks dan tidak sama. Asam tanat tersusun 5 - 10 residu
ester galat, sehingga galotanin sebagai salah satu senyawa turunan tanin dikenal dengan
nama asam tanat. Beberapa struktur kimia senyawa tanin adalah sebagai berikut.
Gambar 4.3: Corilagin berikatan pada C-3 dan C-6, geraniin pada ikatan C-2 dan C-4,
davidiin pada ikatan C-1 dan C-6
Gambar 4.5: Elagitanin berikatan dengan tanin terhidrolisis lain. Sebagai contoh, pada
beberapa euforbs, geraniin oksidatif mengembun bersama PGG untuk menghasilkan
berbagai euphrobin, ditandai dengan adanya kelompok valoneoyl.
Jenis tanaman yang mengandung tanin antara lain adalah daun sidaguri (Sida rhombifolia L.)
yang diketahui mengandung tanin cukup tinggi dan telah digunakan sebagai pestisida nabati
pembunuh ulat (larvasidal) (Kusuma et al., 2009; Islam et al., 2003). Daun melinjo (Gnetum
gnemon L.) juga mengandung tanin. Daun gamal (Gliricidia sepium Jacq.) dan lamtoro (Leucaena
leucocephala Lamk.) mempunyai kandungan tanin 8-10% (Suharti, 2005; Sulastri, 2009). Biji
pinang (Areca catechu L.) dan simplisia gambir (Uncaria gambir Roxb.) telah dikenal luas
sebagai penghasil tanin dengan kandungan tanin masing-masing sebesar 26,6% dan 30-40%
(Pambayun, 2007; Hadad et al., 2007).
Pegagan (Centella asiatica) atau antanan (Sunda), daun kaki kuda (Melayu), gagan-
gagan, rendeng (Jawa), taidah (Bali) sandanan (Papua) broken copper coin, buabok
(Inggris), paardevoet (Belanda), gotu kola (India), ji xue cao (Hanzi) juga diduga memiliki
kandungan senyawa tanin beserta asiaticoside, thankuniside, isothankuniside,
madecassoside, brahmoside, brahmic acid, brahminoside, madasiatic acid, meso-inositol,
centelloside, carotenoids, hydrocotylin, vellarine, serta garam mineral seperti kalium,
Tanaman sirih merah (Piper crocatum) termasuk dalam famili Piperaceae, tumbuh
merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai, yang tumbuh berselang-
seling dari batangnya serta penampakan daun yang berwarna merah keperakan dan
mengkilap. Dalam daun sirih merah terkandung senyawa fitokimia yakni alkoloid,
saponin, tanin dan flavonoid.
Buah, daun, dan kulit batang pohon jambu biji (Psidium guajava) mengandung
tanin, sedang pada bunganya tidak banyak mengandung tanin. Daun jambu biji juga
mengandung zat lain kecuali tanin, seperti minyak atsiri, asam ursolat, asam psidiolat,
asam kratogolat, asam oleanolat, asam guajaverin dan vitamin (IPTEKnet, 15 Januari,
2007).
Tanin diketahui dapat digunakan sebagai antivirus, antibakteri, dan antitumor. Tanin
tertentu dapat menghambat selektivitas replikasi HIV dan juga digunakan sebagai diuretik
(Heslem, 1989). Tanaman yang mengandung tanin telah diakui memiliki efek farmakologi
dan dikenal agar membuat pohon-pohon dan semak-semak sulit untuk dihinggapi/dimakan
oleh banyak ulat (Heslem, 1989).
Di dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma, tetapi bila
jaringan rusak, misalnya bila hewan memakannya, maka reaksi penyamakan dapat terjadi.
Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan pencernaan hewan. Pada
kenyataanya, sebagian besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan
pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat. Kita menganggap salah satu fungsi utama
tanin dalam tumbuhan ialah sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan. Fungsi tanin pada
tanaman biasanya sebagai senjata pertahanan untuk menghindari terjadinya over grazing
oleh hewan ruminansia dan menghindari diri dari serangga, sebagai penyamak kulit, bahan
untuk pembuatan tinta (+ garam besi(III) → senyawa berwarna tua), sebagai reagen untuk
deteksi gelatin, protein, alkaloid (karena sifat mengendap), sebagai antidotum keracunan
alkaloid (membentuk tannat yang mengendap), sebagai antiinflamasi saluran pencernaan
bagian atas, obat diare karena inflamasi saluran gastro intestinal, dan sebagai obat topikal
(lesi terbuka, luka, hemoroid).
Tanin terutama dimanfaatkan orang untuk menyamak kulit agar awet dan mudah
digunakan. Tanin juga digunakan untuk menyamak (mengubar) jala, tali, dan layar agar
lebih tahan terhadap air laut. Selain itu tanin dimanfaatkan sebagai bahan pewarna,
perekat, dan mordan.
Tanin yang terkandung dalam minuman seperti teh, kopi, anggur, dan bir
memberikan aroma dan rasa sedap yang khas. Bahan kunyahan seperti gambir (salah satu
campuran makan sirih) memanfaatkan tanin yang terkandung di dalamnya untuk
memberikan rasa kelat ketika makan sirih. Sifat pengelat atau pengerut (astringensia) itu
sendiri menjadikan banyak tumbuhan yang mengandung tanin dijadikan sebagai bahan
obat-obatan. Tanin yang terkandung dalam teh memiliki korelasi yang positif antara kadar
tanin pada teh dengan aktivitas antibakterinya terhadap penyakit diare yang disebabkan
oleh Enteropathogenic Esclierichia coli (EPEC) pada bayi. Hasil penelitian Yulia (2006)
Senyawa tanin juga bersifat sebagai astringent, yaitu melapisi mukosa usus,
khususnya usus besar dan menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak. Serta
sebagai penyerap racun (antidotum) dan dapat menggumpalkan protein. Oleh karena itu,
senyawa tanin dapat digunakan sebagai obat diare.
Penemuan berbagai senyawa obat baru dari bahan alam semakin memperjelas peran
penting metabolit sekunder tanaman sebagai sumber bahan baku obat. Metabolit sekunder
adalah senyawa hasil biogenesis dari metabolit primer. Umumnya dihasilkan oleh
tumbuhan tingkat tinggi, yang bukan merupakan senyawa penentu kelangsungan hidup
secara langsung, tetapi lebih sebagai hasil mekanisme pertahanan diri organisme.
Kandungan senyawa metabolit sekunder telah terbukti bekerja sebagai derivat antikanker,
antibakteri dan antioksidan, antara lain adalah golongan alkaloid, tanin, golongan polifenol
dan turunanya.
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) merupakan salah satu jenis tanaman yang
sering digunakan sebagai obat tradisional. Tanaman ini banyak dimanfaatkan mengatasi
berbagai penyakit seperti batuk, diabetes, rematik, gondongan, sariawan, sakit gigi, gusi
berdarah, jerawat, diare sampai tekanan darah tinggi.
Ekstrak daun belimbing wuluh mengandung flavonoid, saponin, triterpenoid dan
tanin (Faharani, 2009; Hayati, et al., 2010). Bahan aktif pada daun belimbing wuluh yang
dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah tanin. Tanin merupakan suatu senyawa fenol yang
memiliki berat molekul besar yang terdiri dari gugus hidroksi dan beberapa gugus yang
bersangkutan seperti karboksil untuk membentuk kompleks kuat yang efektif dengan
protein dan beberapa makromolekul (Horvart, 1981). Tanin terdiri dari dua jenis yaitu
tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Kedua jenis tanin ini terdapat dalam tumbuhan,
tetapi yang paling dominan terdapat dalam tanaman adalah tanin terkondensasi. Kadar
tanin yang tinggi pada daun belimbing wuluh muda sebesar 10,92% (Ummah, 2010).
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Tanin merupakan salah satu senyawa polifenol dengan berat molekul lebih dari 1000
yang dapat diperoleh dari semua jenis tumbuhan. Tanin memiliki sifat yang khas baik fisik
maupun kimianya. Tanin biasanya dalam tumbuhan berfungsi sebagai sistem pertahanan
dari predator, contohnya pada buah yang belum matang, buah akan terasa asam dan sepat,
hal ini sama dengan sifat tanin yang asam dan sepat. Selain itu tanin juga dapat
mengendapkan protein, alkaloid, dan glatin. Tanin juga dapat membentuk khelat dengan
logam secara stabil, sehingga jika manusia kebanyakan mengkonsumsi makan yang
memiliki tanin maka Fe pada darah akan berkurang sehingga menyebabkan anemia. Tanin
diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi.
Masing-masing jenis memiliki struktur dan sifat yang berbeda. Untuk tanin yang
tehidrolisis memiliki ikatan glikosida yang dapat dihidrolisis oleh asam. Kalau tanin
terkondensasi biasanya bebrbentuk polimer, jenis ini didominasi dengan flavonoid sebagai
monomernya. Beberapa cara mengujinya bergantung pada tujuannya apakah kualitatif atau
kuantitatif, masing-masing dapat dilakukan di laboratorium dengan reagen dan metode
tertentu. Tanin jenis terhidrolisis lebih mudah untuk dimurnikan daripada jenis
terkondensasi.
3.2. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai Tanin yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah Farmakognosi ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan makalah Tanin ini.
Kami sebagai penulis banyak berharap agar para pembaca yang budiman bersedia
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah
ini dan dan penulisan makalah di kesempatan - kesempatan berikutnya. Semoga makalah
ini berguna bagi kami pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Buck M500 Infra-red Spectrometer BUCK Scientific M500 Scanning Infra-Red System
Buck
Olav Smidsrød, Størker Moe, & Størker T. Moe (2008). Biopolymer Chemistry. Dari
http://books.google.co.id/books?id=qDWZiFcbS0EC&pg=PA117&dq=Tannin,+Ce
llulose,+Lignin&hl=id&sa=X&ei=yqqEU6m3PMm2uATI9IDgBA&ved=0CHUQ
6AEwCQ#v=onepage&q=tannin&f=false, 27 Mei 2014
O.O. Aiyelaagbe and Paul M. Osamudiamen (2009). Phytochemical Screening for Active
Compounds in Mangifera indica Leaves. Dari
http://www.medwelljournals.com/fulltext/?doi=psres.2009.11.13, 27 Mei 2014
Elok Kamilah Hayati, A. Ghanaim Fasyah, dan Lailis Sa’adah (2010). Fraksinansi dan
Identifikasi Senyawa Tanin pada Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.).
Dari http://ojs.unud.ac.id/index.php/jchem/article/download/2804/1993, 27 Mei
2014
Asriyah Firdausi, Tri Agus Siswoyo, dan Soekandar Wiryadiputra (2013). Identifikasi
Tanaman Potensial Penghasil Tanin-Protein Kompleks untuk Penghambatan
Aktivitas α-Amilase Kaitannya Sebagai Pestisida Nabati. Dari
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&ved=0C
DoQFjAC&url=http%3A%2F%2Ficcri.net%2Fdownload%2FPelita%2520Perkebu
nan%2Fvol_29_no_1_april_2013%2FIdentifikasi%2520Tanaman%2520Potensial
%2520Penghasil%2520Tanin-
protein%2520Kompleks%2520Untuk%2520Penghambatan%2520Aktivitas%2520
amylase%2520Kaitannya%2520Sebagai%2520Pestisida%2520Nabati.pdf&ei=RW
Imelda Fajriati (2006). Optimasi Metode Penetuan Tanin (Analisis Tanin secara
Spektrofotometri dengan Pereaksi Orto-Fenantrolin). Dari
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&ved=0C
GMQFjAF&url=http%3A%2F%2Fdigilib.uin-
suka.ac.id%2F7897%2F1%2FIMELDA%2520FAJRIATI%2520OPTIMASI%252
0METODE%2520PENENTUAN%2520TANIN.pdf&ei=MvyKU9r8EpG9uATe04
KICA&usg=AFQjCNHTLCtJiexNAqTyal0exhQ8SwTsNw&sig2=uYLfQbaa7g-
OlwaIRZ_kNw, 27 Mei 2014