Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS PROGRAM INTERNSHIP

SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDI

Pembimbing :
dr. Saidi Maghfur Ginting

Disusun Oleh :
dr. Muchnahar Budi Izmi

RSUD SUTAN SULAIMAN


SEI RAMPAH
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan hipertensi
sistemik yang lama dan berkepanjangan. Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja
jantung, dan seiring dengan berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot
jantung. Karena jantung memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh
darah yang meningkat, ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung
setiap menitnya (cardiac output) berkurang. Pada bagian akhir penyakit, Hipertrofi ventrikel
kiri (HVK) gagal mengkompensasi dengan meningkatkan cardiac output dalam menghadapi
peningkatan tekanan darah, kemudian ventrikel kiri mulai berdilatasi untuk mempertahankan
cardiac output. Saat penyakit ini memasuki tahap akhir, fungsi sistolik ventrikel kiri menurun.
Hal ini menyebabkan peningkatan lebih jauh pada aktivasi neurohormonal dan sistem renin-
angiotensin, yang menyebabkan peningkatan retensi garam dan cairan serta meningkatkan
vasokontriksi perifer.
Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba dapat menyebabkan edema paru akut tanpa
perlu perubahan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri. Secara umum, perkembangan dilatasi atau
disfungsi ventrikel kiri yang asimtomatik maupun yang simtomatik melambangkan
kemunduran yang cepat pada status klinis dan menandakan peningkatan risiko kematian.
Sebagai tambahan, selain disfungsi ventrikel kiri, penebalan dan disfungsi diastolik ventrikel
kanan juga terjadi sebagai hasil dari penebalan septum dan disfungsi ventrikel kiri.
Aritmia sering terjadi pada pasien gangguan struktur jantung dan sering menjadi
faktor presipitasi atau perburukan gagal jantung. Gagal jantung juga dapat menambah risiko
terjadinya aritmia. Perkembangan gagal jantung untuk menjadi aritmia didasari oleh kelainan
struktur dan adanya regangan pada sistem konduksi karena terjadi peningkatan tekanan akhir
diastolik.
Arimia kardia umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi yang mengalami
arterial fibrilasi kontraksi ventrikel yang prematur dan ventrikuler takikardi. Resiko henti
jantung mendadak meningkat. Berbagai metabolisme dipekirakan memegang peranan dalam
patogenesis aritmia termasuk perubahan struktur dan metabolisme sel, ketidakhomogen
miokard, perfusi yang buruk, fibrosis miokard dan fluktuasi pada afterload. Semua faktor
tersebut dapat menyebabkan peningkatanan resiko ventrikel takiaritmia.

Supraventrikular takikardi (SVT) adalah satu jenis takidisritmia yang ditandai dengan
perubahan laju jantung yang mendadak bertambah cepat menjadi berkisar antara 150
kali/menit sampai 250 kali/menit. Kelainan pada SVT mencakup komponen
sistem konduksi dan terjadi dibagian atas bundel HIS.

BAB II
PRESENTASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. D
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl.Sei rampah
Pekerjaan : IRT
Tanggal masuk : 24 juli 2019
Tanggal keluar: 25 juli 2019

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak nafas
Keluhan Tambahan : Berdebar-debar, nyeri dada sebelah kiri.

Riwayat Penyakit Sekarang :


OS datang ke RS Sutan Sulaiman pada tanggal 24 Juli 2019 dengan keluhan sesak
nafas yang dialami dalam 1 bulan ini dan memberat sejak 5 jam SMRS, suara nafas tidak
berbunyi. Sebelumnya OS juga sudah sering mengeluh sesak napas, terutama bila banyak
beraktivitas. Apabila dalam keadaan sesak OS lebih nyaman pada posisi duduk daripada
posisi berbaring. OS juga mengeluh dada berdebar-debar dan nyeri dada sebelah kiri yang
menjalar hingga ke punggung, nyeri dada hilang timbul. Nyeri kepala (+), mual (-), muntah
(-), kedua kaki bengkak (-).

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Hipertensi (+)
 Penyakit jantung (+)
 DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang mempunyai keluhan seperti pasien

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Umum
o Kesadaran : Compos Mentis
o Kesan Gizi : Sedang
o Tinggi badan : 167 Cm
o Berat badan : 60 Kg
o Vital Sign : TD 220/120
Nadi 216x/menit
Respirasi 32x/menit
Suhu 36,5oC
B. Pemeriksaan Khusus
o Kepala : Normocephal, rambut warna hitam
o Mata : Normal
 Palpebra : Tidak tampak edema
 Konjungtiva : Tidak anemis
 Sklera : Tidak tampak ikterik
 Pupil : Bulat isokor
 Refleks Cahaya : Langsung +/ + , tidak langsung +/+
o Leher :
 JVP 5+2 mmHg
 Massa abnormal tidak ditemukan
 Deviasi trakea tidak ditemukan

o Thoraks
 Inspeksi
 Dinding dada simetris pada keadaan statis dan dinamis
 Normochest, diameter ventrolateral : AP = 2 : 1
 Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi
 Ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis sinistra
 Fremitus taktil/vokal simetris, tidak ada pergerakan dinding
dada yang tertinggal

 Perkusi
 Terdengar redup pada lapangan paru
 Perenjakan paru positif, batas jantung kanan pada ICS V linea
sternalis dextra
 Batas jantung kiri pada ICS VI satu jari medial linea
midclavicularis sinistra
 Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis dextra
 Auskultasi
 S1(N) S2(N) S3(-) S4(-) Regulitas : Iregular
Murmur (-) Gallop (-)
 Vesikuler di kedua hemitoraks , Rh +/+ Wh -/-
o Abdomen
 Inspeksi
 Permukaan rata, simetris.
 Auskultasi
 Bising usus ( + )
 Perkusi
 Timpani pada seluruh lapang abdomnen
 Palpasi
 Hepar, lien, dan ginjal tidak teraba adanya pembesaran
 Tidak ada nyeri tekan, nyeri lepas pada abdomen
o Ekstremitas
 Akral hangat, perfusi baik
 Edema pada kedua tungkai.
 Sianosis tidak ditemukan pada keempat ekstremitas.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium darah
 Darah lengkap (24 Juli 2019)
-
Hb : 15 g/dl
-
Ht : 44 %
-
Eritrosit : 4,8 x 106 / mm3
-
Leukosit : 10.900
-
Trombosit : 186.000
- Glukosa sewaktu : 163 mg/dl
- Ureum : 27 mg/dl
- Creatinin : 0,7 mg/d
b.EKG
24/07/2019 (22.38)

Kesan : - SVT

V.RESUME
Perempuan 65 tahun datang ke RSUD Sutan Sulaiman dengan keluhan sesak nafas
yang memberat sejak 5 jam SMRS, sesak tidak berbunyi. Sebelumnya OS juga sudah sering
mengeluh sesak napas, terutama bila banyak beraktivitas. Apabila dalam keadaan sesak OS
lebih nyaman pada posisi duduk daripada posisi berbaring. OS juga mengeluh dada berdebar-
debar dan nyeri dada sebelah kiri yang menjalar hingga ke punggung, nyeri dada hilang
timbul. Nyeri kepala (+), kedua kaki bengkak (-). Terdapat riwayat hipertensi dan penyakit
jantung. Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD : 220/120, HR: 216x/mnt, RR: 32x/mnt. Pada
pemeriksaan fisik Thorax didapatkan redup pada perkusi dan terdengar ronchi pada auskultasi
lapangan paru. Kesan EKG : Supraventrikular Takhikardi.

VI. DIAGNOSIS KERJA


- HHF
- Hipertensi Emergency
- SVT

VII. PENATALAKSANAAN
- Non medikamentosa :
 Tirah baring
 Diet rendah garam
 Rawat iICU
- Medikamentosa :
 O2 : 10 l/mnt NRM
 DC Shock 100 joule
 Inj Dobutamine 5-10 mikro/kgBB/i
 Inj. Amiodaron 300 mg (2amp) cairkan dalam NaCl 50cc habis dalam 1
jam, selanjutnya 900 mg(6amp) cairkan dalam 50 cc NaCl habis dalam
24 jam.
P/O :
 Candesartam 1x8 mg
 Amlodipin 2x5 mg
 ISDN 3x5 mg

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDI (SVT)
Aritmia merupakan kelainan irama jantung yang sering dijumpai.
Aritmia adalah irama jantung di luar irama sinus normal. Istilah aritmia
sebenarnya tidak tepat karena aritmia berarti tidak ada irama. Oleh karena
itu saat ini digunakan istilah disritmia yang berarti irama yang tidak
normal. Supraventrikular takikardi (SVT) adalah satu jenis takidisritmia.5
3.2.1 Definsi SVT
Supraventrikular takikardi (SVT) adalah satu jenis takidisritmia yang ditandai
dengan perubahan laju jantung yang mendadak bertambah cepat menjadi berkisar
antara 150 kali/menit sampai 250 kali/menit. Kelainan pada SVT mencakup
komponen sistem konduksi dan terjadi dibagian atas bundel HIS. 5
3.2.2 Epidemiologi SVT
Insiden SVT sekitar 1-3 per 1000 orang . Dalam sebuah studi
berbasis populasi, prevalensi SVT adalah 2,25 kasus per 1000 orang
dengan kejadian 35 kasus per 100.000 orang/tahun. AVNRT
(Atrioventricular nodal re-entry tachycardia ) lebih sering terjadi pada
pasien yang berusia menengah atau lebih tua, sementara remaja lebih
cenderung memiliki SVT dimediasi oleh jalur aksesori. Dalam sebuah studi
berbasis populasi, resiko SVT dua kali lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria. 5

3.2.3 Elektrofisiologi
Gangguan irama jantung secara elektrofisiologi disebabkan oleh
gangguan pembentukan rangsang, gangguan konduksi rangsang dan
gangguan pembentukan serta penghantaran rangsang. 9 , 1 0
1. Gangguan pembentukan rangsang
Gangguan ini dapat terjadi secara aktif atau pasif. Bila gangguan rangsang
terbentuk secara aktif diluar urutan jaras hantaran normal, seringkali
menimbulkan gangguan irama ektopik dan bila dibentuk secara pasif sering
menimbulkan escape rhytm (irama pengganti).
a. Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsangan ektopik secara
aktif dan fenomena reentry.
b. Escape beat (denyut pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal tidak
atau belum sampai waktu tertentu dari irama normal, sehingga bagian
jantung yang belum atau tidak mendapat rangsang itu bekerja secara
otomatis untuk mengeluarkan rangsangan intrinsik yang memacu jantung
berkontraksi.
c. Active ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan
kecepatan automasi pembentukan rangsang pada sebagian otot jantung
yang melebihi keadaan normal.
d. Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade
unidirectional (blokade terhadap rangsang dalam arah antegrad) dimana
rangsang dari arah lain masuk kembali secara retrograd melalui bagian
yang mengalami blokade tadi setelah masa refrakternya dilampaui.
Keadaan ini menimbulkan rangsang baru secara ektopik. Bila reentry
terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau tidak teratur (pada
beberapa tempat), maka dapat menimbulkan keadaan takikardi ektopik
atau fibrilasi.
2. Gangguan konduksi
Kelainan irama jantung dapat disebabkan oleh hambatan pada hantaran
(konduksi) aliran yang disebut blokade. Hambatan tersebut mengakibatkan
tidak adanya aliran rangsang yang sampai ke bagian miokard yang
seharusnya menerima rangsang untuk dimulainya kontraksi. Blokade ini
dapat terjadi pada tiap bagian sistem hantaran rangsang mulai dari nodus SA
atrium, nodus AV, jaras HIS, dan cabang-cabang jaras kanan kiri sampai
pada percabangan purkinje dalam miokard.
3. Gangguan pembentukan dan konduksi rangsang
Gangguan irama jantung dapat terjadi sebagai akibat gangguan
pembentukan rangsang bersama gangguan hantaran rangsang.

3.2.4 Mekanisme SVT


Berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak, terdapat dua mekanisme
terjadinya takikardi supraventrikular yaitu: 9,10
(1). Otomatisasi (automaticity)
Irama ektopik yang terjadi akibat otomatisasi sebagai akibat adanya sel yang mengalami
percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan sel ini dapat terjadi di atrium, A-V junction, bundel
HIS, dan ventrikel. Struktur lain yang dapat menjadi sumber/fokus otomatisasi adalah vena
pulmonalis dan vena kava superior. Contoh takikardi otomatis adalah sinus takikardi. Ciri
peningkatan laju nadi secara perlahan sebelum akhirnya takiaritmia berhenti. Takiaritmia
karena otomatisasi sering berkaitan dengan gangguan metabolik seperti hipoksia,
hipokalemia, hipomagnesemia, dan asidosis.
(2). Reentry
Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab takiaritmia dan paling mudah
dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologi. Syarat mutlak untuk timbulnya reentry adalah:
a. Adanya dua jalur konduksi yang saling berhubungan baik pada bagian distal maupun
proksimal hingga membentuk suatu rangkaian konduksi tertutup.
b. Salah satu jalur tersebut harus memiliki blok searah.
c. Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur konduksi yang tidak mengalami blok
memungkinkan terangsangnya bagian distal jalur konduksi yang mengalami blok
searah untuk kemudian menimbulkan aliran listrik secara retrograd secara cepat pada
jalur konduksi tersebut.
Gambar 2. Proses terjadinya SVT
3.2.5 Klasifikasi SVT
Terdapat 3 jenis SVT yang sering ditemukan : 9 , 1 0
a. Takikardi atrium primer (takikardi atrial ektopik)
Terdapat sekitar 10% dari semua kasus SVT, tetapi SVT jenis ini sukar
untuk diobati. Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Biasanya
ditemukan jika pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena ada gagal
jantung akibat aritmia yang lama. Pada takikardi atrium primer tampak
adanya gelombang p yang agak berbeda dengan gelombang p pada waktu
irama sinus tanpa disertai pemanjangan interval PR. Pada pemeriksaan
elektrofisiologi intrakardiak tidak didapatkan jaras abnormal.
b. Atrioventricular re-entry tachycardia (AVRT)
Pada AVRT pada sindrom Wolf Parkinson White (WPW) jenis orthodromic,
konduksi antegrad terjadi pada jaras his purkinje (slow conduction)
sedangkan konduksi retrograd terjadi pada jaras tambahan (fast conduction).
Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS
yang sempit dengan gelombang p yang timbul segera setelah kompleks QRS
dan terbalik. Pada jenis yang antidromic, konduksi antegrad terjadi pada
jaras tambahan sedangkan retrograd terjadi pada jaras his-purkinje.
Kelainan pada EKG tampak adalah takikardi dengan kompleks QRS yang
lebar dengan gelombang p yang terbalik dan timbul pada jarak yang lebih
jauh setelah kompleks QRS.
c. Atrioventricular nodal re-entry tachycardia (AVNRT)
Pada jenis AVNRT, reentry terjadi di dalam nodus AV. Sirkuit tertutup pada
jenis ini merupakan sirkuit fungsional. Jika konduksi antegrad terjadi pada
sisi lambat (slow limb) dan konduksi retrograd terjadi pada sisi yang cepat
(fast limb), jenis ini disebut juga jenis typical (slow-fast) atau orthodromic.
Kelainan pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan kompleks QRS
sempit dengan gelombang P yang timbul segera setelah kompleks QRS
tersebut dan terbalik atau terkadang tidak tampak karena gelombang p
tersebut terbenam di dalam kompleks QRS. Jika konduksi antegrad terjadi
pada sisi cepat dan konduksi retrograd terjadi pada sisi lambat,jenis ini
disebut dengan atypical (fast-slow) atau antidromic. Kelainan yang tampak
pada ekg adalah kelainan dengan kompleks QRS sempit dan gelombang p
terbalik dan timbul pada jarak yang cukup jauh setelah kompleks QRS.

Gambar 3. Gambaran EKG pada SVT

3.2.6 Manifestasi klinis


Karena keparahan gejala tergantung pada adanya penyakit jantung struktural
dan cadangan hemodinamik pasien, individu dengan SVT mungkin hadir dengan
gejala ringan atau keluhan cardiopulmonary yang parah. Gejala yang muncul
SVT dan tingkat frekuensi sebagai berikut :
- Palpitasi
- Dizziness
- Sesak napas
- Sinkop
- Nyeri dada
- Kelelahan
- Diaforesis
- Mual
Palpitasi dan dizziness adalah gejala yang paling umum dilaporkan oleh pasien
dengan SVT. Sesak nafas mungkin menjadi sekunder untuk detak jantung yang
cepat, dan sering menghilang dengan penghentian takikardia. SVT Persistent
dapat menyebabkan tachycardia-induced cardiomyopathy . 9
3.2.7 Penatalaksanaan SVT

1. Tindakan yang dulu lazim dicoba pada anak yang lebih besar adalah perasat valsava
2. Pemberian adenosin. Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat
kronotropik negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan
berlangsung sangat singkat dengan konsekuensi pada hemodinamik sangat minimal.
Adenosin dengan cepat dibersihkan dari aliran darah (sekitar 10 detik) dengan
cellular uptake oleh sel endotel dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok segera
pada nodus AV sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin
mempunyai efek yang minimal terhadap kontraktilitas jantung.
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi SVT
karena dapat menghilangkan hampir semua SVT. Efektivitasnya dilaporkan pada
sekitar 90% kasus. Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush
saline, mulai dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit
(maksimal 250 µ/kg). Dosis yang efektif pada anak yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada
sebagian pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.
3. Verapamil juga tersedia untuk penanganan segera SVT, Jika diberikan verapamil,
persiapan untuk mengantisipasi hipotensi harus disiapkan seperti kalsium klorida (10
mg/kg), cairan infus, dan obat vasopressor seperti dopamin. Tidak ada bukti bahwa
verapamil efektif mengatasi ventrikular takikardi pada kasus-kasus yang tidak
memberikan respon dengan adenosin. Tahun 2008, penelitian oleh Leitner dkk,
menemukan bahwa verapamil intravena efektif pada 100% pasien SVT.
4. Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif. Obat ini bekerja
memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada konduksi retrograd pada jalur
cepat pada sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat
loading dose diberikan.
5. Digoksin dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan SVT
6. Bila adenosin tidak bisa digunakan serta adanya tanda gagal jantung kongestif atau
kegagalan sirkulasi jelas dan alat DC shock tersedia, dianjurkan penggunaan direct
current synchronized cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-
detik/pon yang pada umumnya cukup efektif. DC shock yang diberikan perlu sinkron
dengan puncak gelombang QRS, karena rangsangan pada puncak gelombang T dapat
memicu terjadinya fibrilasi ventrikel. Tidak dianjurkan memberikan digitalis sebelum
dilakukan DC Shock oleh karena akan menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi
ventrikel. Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC shock kedua yang
tidak sinkron. Apabila DC shock kedua ini tetap tidak berhasil, maka diperlukan
tindakan invasif.
7. Bila DC shock tidak tersedia baru dipilih alternatif kedua yaitu preparat digitalis
secara intravena. Dosis yang dianjurkan pada pemberian pertama adalah sebesar ½
dari dosis digitalisasi (loading dose) dilanjutkan dengan ¼ dosis digitalisasi, 2 kali
berturut-turut berselang 8 jam.
8. Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak bisa digunakan,
dan digitalis tidak efektif, infus intravena phenylephrine bisa dicoba untuk konversi
cepat ke irama sinus. Phenylephrine dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat
dan mengubah takikardi dengan meningkatkan refleks vagal. Efek phynilephrin (Neo-
synephrine) sama halnya dengan sedrophonium (tensilon) yang meningkatkan reflek
vagal seperti juga efek anti aritmia lain seperti procainamid dan propanolol.
9. Penelitian oleh Etheridge dkk tahun 1999, penggunaan beta bloker efektif pada 55%
pasien. Selain itu juga penggunaan obat amiodarone juga berhasil pada 71% pasien
dimana di antaranya sebagai kombinasi dengan propanolol. Keberhasilan terapi
memerlukan kepatuhan sehingga amiodarone dipakai sebagai pilihan terapi pada
beberapa pasien karena hanya diminum 1x sehari. Semua pasien yang diterapi dengan
amiodarone, harus diperiksa tes fungsi hati dan fungsi tiroid setiap 3 bulan.
Propanolol dapat digunakan secara hati-hati, sering efektif dalam memperlambat
fokus atrium pada takikardi atrial ektopik.
Gambar 4. Algoritma Manajemen Jangka Pendek SVT 8
Gambar 5. Guidelines SVT ACLS 2010

Anda mungkin juga menyukai