Anda di halaman 1dari 4

2.3.

Sitokin Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap mikroba dan antigen
lainnya yang memediasi dan meregulasi reaksi imun dan inflamasi (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007). Sitokin
merupakan peptida pengatur (regulator) yang dapat diproduksi oleh hampir semua sel yang berinti
dalam tubuh. Sitokin dikelompokkan dalam mediator yang berfungsi dalam komunikasi antar sel yang
berfungsi membawa sinyal yang dikirimkan ke sel sasaran agar melakukan perubahan perilaku. Dalam
komunikasi antar sel dibutuhkan sel penghasil mediator, pembawa sinyal dan sel sasaran yang akan
menerima sinyal. Sinyal yang dibawa oleh mediator akan diterima oleh molekul reseptor yang akan
meneruskan pesan melalui mekanisme transduksi yang berakhir dalam aktifasi genagena dalam inti sel
sasaran (Subowo, 2009). Sitokin biasanya mempunyai sel-sel sasaran yang tidak terlalu jauh letaknya,
sehingga sitokin tidak bergantung pada peredaran darah, namun tidak berarti bahwa sitokin tidak dapat
ditemukan dalam darah. Walaupun umumnya sitokin mempunyai efek pada sel-sel sasaran yang berada
di dekatnya, beberapa jenis sitokin, misalnya IL-3 dan GM-CSF yang dilepaskan oleh sel TCD4+ Sitokin,
menurut definisi yang diusulkan oleh Jan Vilcek tahun 1998, adalah protein regulator yang dilepaskan
oleh sel-sel lekosit dan membantu merekrut sel-sel efektor di daerah infeksi dengan cara menginduksi
sumsum tulang untuk meningkatkan mielopoiesis sehingga terjadi penambahan sel-sel granulosit dan
makrofag di daerah infeksi (Subowo, 2009). Universitas Sumatera

berbagai jenis sel lain dalam tubuh; kegiatan pleiotropik sitokin mencakup efek pada sel dari sistem
imun dan modulasi respon radang. Karena tidak ada definisi singkat yang dapat mencakup sifat-sifat
utama yang dimiliki sitokin, paling tepat kiranya ditetapkan dalam bentuk senarai uraian sifatsifat sitokin
seperti yang diusulkan Jan Vilcek sebagai berikut : 1. Sebagian besar sitokin berbentuk polipeptida atau
glikoprotein sederhana dengan BM sebesar 30 kd atau kurang (tetapi banyak sitokin membentuk
molekul oligomer dengan BM lebih dan satu sitokin (IL-2) merupakan heterodimer) ; 2. Umumnya
produksi sitokin sangat rendah atau sama sekali tidak diproduksi, produksi sitokin diatur oleh berbagai
rangsang melalui induksi pada tingkat transkripsi atau transduksi ; 3. Produksi sitokin hanya selintas dan
jarak kegiatannya dengan sel sasaran biasanya pendek (sangat jelas pada autokrin atau parakrin yang
berbeda dengan endokrin) ; 4. Mekanisme kerja sitokin pada sel sasarannya melalui ikatan dengan
reseptor permukaan sel sasarannya yang bersifat sangat spesifik dengan afinitas tinggi ; 5. Sebagian
besar mekanisme kerja sitokin dimanifestasikan dalam pola alternatif pada ekspresi gena dalam sel
sasarannya. Mekanisme kerja tersebut mendorong ke arah peningkatan atau pengurangan rasio
pembelahan sel, perubahan status diferensiasi sel dan/atau perubahan ekspresi beberapa fungsi
diferensiasi ; 6. Walaupun rentang efek dari masing-masing sitokin dapat sangat lebar dan beraneka
ragam, paling sedikit beberapa efek setiap sitokin ditujukan pada sel-sel hematopoetik (Subowo, 2009).
Universi Walaupun berbagai jenis sitokin secara struktural berbeda, mereka memilki beberapa
kesamaan : 1. Sekresi sitokin berlangsung singkat dan self-limited. Sitokin biasanya tidak disimpan dan
sintesanya diinisiasi oleh transkripsi gena yang baru sebagai akibat aktifasi seluler. Transkripsi ini bersifat
transien, dan m-RNA yang membawa kode sebagian besar sitokin bersifat tidak stabil, jadi sintesa sitokin
juga bersifat transien ; 2. Kerja sitokin bersifat pleiotropik dan redundant. Pleiotropik artinya satu sitokin
bekerja pada berbagai jenis sel sedangkan redundancy artinya beberapa sitokin yang berbeda memiliki
efek yang sama ; 3. Sitokin sering mempengaruhi dan bekerja pada sitokin lainnya ; 4. Kerja sitokin dapat
bersifat lokal maupun sistemik. Kebanyakan sitokin bekerja di dekat tempatnya dihasilkan, apakah pada
sel penghasilnya sendiri (autokrin) atau sel-sel di sekitarnya (parakrin). Jika dihasilkan dalam jumlah
besar, sitokin dapat memasuki sirkulasi darah dan bekerja di tempat yang jauh (endokrin) ; 5. Sitokin
memulai kerjanya dengan berikatan pada reseptor di membran sel sasaran. Reseptor sitokin memiliki
afinitas yang tinggi terhadap ligandnya. Sehingga untuk menghasilkan efek biologisnya, cukup hanya
sejumlah kecil sitokin yang berikatan dengan reseptornya ; 6 Sinyal eksternal meregulasi ekspresi
reseptor sitokin dan juga respon sel terhadap sitokin ; 7. Respon sel sasaran terhadap sebagian besar
sitokin berupa perubahan ekspresi gena sehingga menghasilkan fungsi yang baru dan kadang-kadang
menyebabkan proliferasi sel sasaran ; 8. Respon sel terhadap sitokin diatur secara ketat melalui
mekanisme inhibisi umpan balik untuk menghentikan efeknya (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007).
Universitas Sumatera Utara 85 Secara fungsional, sitokin dapat dibagi atas 3 kategori berdasarkan kerja
biologis utamanya, yaitu : 1. Mediator dan regulator dari innate immunity yang terutama dihasilkan oleh
fagosit mononuklear sebagai respon terhadap agen infeksius, misalnya TNF, IL-1, IL-12 dan IFN-γ ; 2.
Mediator dan regulator adaptive immunity yang terutama dihasilkan oleh limfosit T sebagai respon
terhadap pengenalan spesifik antigen asing, misalnya IL-2, IL-4, IL-5 dan IFN-γ ; 3. Stimulator
hematopoesis yang dihasilkan oleh sel stroma sumsum tulang, lekosit dan sel-sel lainnya dan berfungsi
merangsang pertumbuhan dan diferensiasi lekosit immature (Abbas, Lichtman, Pillai, 2007). Gambar 4 .
Respon Imun Pada Infeksi Bakteri Patogen Dikutip dari : D’Elia, et.al (2013) Universitas Sumatera Utara
86 Selama terjadi infeksi, tubuh mengenali bakteri patogen yang mengarah kepada cellular recruitment
dan timbulnya respon sitokin proinflamatori termasuk IL-6 dan TNF-α. Respon inflamasi ini berlanjut ke
pembersihan bakteri patogen dan memungkinkan tubuh kembali ke keadaan homeostasis imunitas dan
penderita selamat. Pada beberapa kasus infeksi, bakteri patogen terlambat diidentifikasi sehingga
respon imun pun terlambat muncul. Hal ini memungkinkan bakteri patogen berproliferasi dan memicu
hipersitokinemia sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan, bahkan kematian (D’Elia, Harrison,
Oyston, Lukaszewski, Clark, 2013). Gambar 5. “Cytokine Storm” Dikutip dari : D’Elia, et.al.(2013) Ketika
“cytokine storm” telah terjadi, terapi konvensional mungkin tidak lagi memadai. Strategi untuk
mengatasinya adalah dengan Universitas Sumatera Utara 87 menggunakan zat yang bekerja pada jalur
immune fundamental misalnya jaringan chemokine dan pada jalur anti inflamasi kolinergik, dan strategi
lebih spesifik termasuk dengan menggunakan antibodi HMGB1 da inhibitor COX-2. Semua strategi ini
akan meredakan “cytokine storm” dan mengurangi risiko kerusakan jaringan dan memberikan waktu
bagi terapi konvensional untuk bekerja secara langsung terhadap bakteri patogen (D’Elia, Harrison,
Oyston, Lukaszewski, Clark, 2013). Gambar 6. Summary of actions of cytokines and chemokines Dikutip
dari : Borish dan Steinke, (2003)

2.3.2. Interleukin Berdasarkan jenis sel penghasilnya, sitokin dibedakan atas : 1. Monokin, yaitu sitokin
yang dihasilkan terutama oleh monosit dan turunannya, dan 2. Limfokin, yaitu sitokin yang dihasilkan
terutama oleh limfosit. Karena banyak sitokin yang dihasilkan oleh lekosit dan bekerja pada lekosit
lainnya, mereka disebut interleukin. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena banyak sitokin yang
hanya dihasilkan oleh lekosit dan juga hanya bekerja pada lekosit tidak disebut interleukin, sebaliknya
banyak sitokin yang disebut interleukin dihasilkan dan bekerja pada selsel yang bukan lekosit (Abbas,
Lichtman, Pillai, 2007).

2.3.2.2. Interleukin-6 (IL-6). Interleukin-6 juga telah dihubungkan dengan agregasi amiloid beta dan
terjadinya hiperfosforilasi protein tau pada penyakit Alzhemer. Polimorfisme IL-6 berhubungan dengan
menurunnya risiko late-onset Alzheimer disease, khususnya pada yang bukan carrier ApoEε4 (Chen dan
Smith, 2012). Pada penderita migren telah diketahui bahwa kadar IL-6 meningkat pada saat serangan.
Penelitian Yan et.al. menunjukkan bahwa IL-6 memperkuat eksitabilitas saraf afferen duramater
sehingga terjadi sensitisasi yang berkontribusi terhadap patogenese nyeri kepala migren (Yan,
Melemedjian, Price, Dusson, 2012). Interleukin-6 juga dihubungkan dengan penyakit aterosklerosis dan
juga merupakan mediator kunci pada respon inflamasi pada iskemi serebral. Review oleh Tso dan
kawankawan terhadap 12 publikasi mengenai hubungan IL-6 dan stroke menyimpulkan adanya hasil
yang tidak konsisten, diduga akibat kompleksnya fisiologi IL-6 dan beragamnya subtipe stroke (Tso,
Merino, Warach, 2007). Kadar serum IL-6 saat masuk rumah sakit juga berhubungan dengan perburukan
klinis secara dini pada penderita stroke iskemik tanpa tergantung pada ukuran infark, topografi dan
mekanisme terjadinya infark (Vila, Castillo, Da’valos, Chamorro, 2000). Interleukin-6 juga berperan
penting dalam reaktifasi virus sitomegalo pada manusia melalui extracellular signal-regulated
kinasemitogen-activated protein kinase (ERKMAPK). Pada penelitian ex vivo IL6 berperan penting dalam
proses reaktifasi virus sitomegalo dari sel dendrit. (Reeves dan Compton, 2011). Penelitian
eksperimental in vitro Universitas Sumatera Utara 106 menunjukkan peningkatan produksi IL-6 oleh sel
glia yang terinfeksi virus ensefalomieitis murine. Interleukin-6 mRNA dari sel glia yang terinfeksi
meningkatkan hibridisasi terhadap urutan pengkodean IL-6 yang terletak pada kromosom 5 (Rubio,
Cerciat, Unkila, Garcia-Segula, Arevalo, 2011). Interleukin-6 juga dilaporkan diduga berperan pada
penyakit autoinflamasi. Penyakit ini jarang ditemukan dan ditandai dengan dengan karakteristik berupa
terjadinya inflamasi tanpa penyebab yang jelas dan tanpa titer autoantibodi atauu antigen spesifik sel T
yang tinggi. Diduga hipersekresi IL-6 di dalam SSP berperan dalam proses patogenesisnya (Salsano,
Rizzo, Bedini, Bernard, Dall’Olio, Volorio, et.al., 2013). Pada penyakit di luar sistem saraf, beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa kadar hemoglobin terendah dijumpai pada konsentrasi tertinggi
marker inflamasi yaitu sitokin proinflamasi, (IL-6, IL1, TNF a) dan CRP, walaupun hanya IL-6 yang menjadi
faktor independen yang menentukan kadar hemoglobin. Namun penelitian oleh Wibawa dan Bakta di
Denpasar, Bali pada tahun 2008 tidak dapat membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara
kadar IL-6 dengan kadar hemoglobin (Wibawa dan Bakta, 2008). Penelitian di Bandung mengenai kadar
IL-6 pada penderita kanker payudara menunjukkan bahwa kadar IL6 serum pada kanker payudara
bermetastase lebih tinggi dibandingkan dengan kanker payudara lanjut lokal (Sapari, Abdurrahman,
Tjandrawati, 2014). Sitokin juga diketahu berperan dalam proses aterogenesis. Penelitian dengan
sampel laki-laki sehat menunjukkan bahwa peningkatan kadar IL-6 dihubungkan dengan meningkatnya
risiko infark miokard Universitas Sumatera Utara 107 (Ridker, Rifai, Stampfer, Hennekens, 2000). Kadar
IL-6 dan IL-2 juga ditemukan meningkat secara bermakna pada penderita burning mouth syndrome
dibandingkan dengan kontrol dan berkorelasi dengan keparahan penyakit tersebut (Simˇci´c, Pezelj-
Ribari’c, Gr’zi’c, Horvat, Brumini, Muhvi’c-Urek, et.al., 2006). Pada penderita penyakit arteri perifer,
kadar IL-6 yang tinggi secara persisten dihubungkan dengan penurunan fungsional yang lebih cepat bila
dibandingkan dengan penderita yang kadar IL-6 nya rendah atau fluktuatif (McDermott et.al., 2011)
Kadar IL-6 juga ditemukan lebih tinggi pada serum penderita psoriasis aktif dibanding kontrol (Arican,
Aral, Sasmaz, Ciragil, 2005). Interleukin-6 rekombinan manusia telah diketahui dapat meningkatkan
jumlah trombosit pada tikus, anjing dan primata normal. Pemberian IL-6 pada penderita kanker ovarium
yang menjalani kemoterapi dapat ditoleransi dengan baik dan mempercepat pemulihan jumlah
trombosit (D’Hondt, Humblet, Guillaume, Baatout, Chatelain, Berleire, et.al., 1995). Tocilizumab (TCZ)
merupakan antibodi monoklonal yang bekerja secara langsung terhadap reseptor IL-6 baik yang dalam
bentuk terlarut maupun yang terikat pada membran. Di Jepang obat ini sudah digunakan pada penyakit
Castleman, artritis rematoid dan artritis juvenil idiopatik (Alonso dan Bilbao, 2009). Selain perannya
pada berbagai proses inflamasi, IL-6 juga berperan pada penyakit neoplastik. Neumann et.al. meneliti
kadar serum IL-6 pada anjing dengan berbagai penyakit hati yang berbeda dan menyimpulkan bahwa
kadar serum IL-6 dapat membantu membedakan hepatitis akut dari hepatitis kronis dan Universitas
Sumatera Utara 108 membedakan tumor hati primer atau sekunder (Neumann, Kaup, Scheulen, 2012).

Anda mungkin juga menyukai