Anda di halaman 1dari 10

10 Pangan Fungsional

Isi :

10.1. Konsep dasar pangan fungsional

10.2. Senyawa Bioaktif dalam Pangan

10.3. Fortifikasi Pangan

10.4. Berpikir Kritis tentang Pangan


Fungsional

Kangkung Lombok menjadi salah satu produk utama yang


banyak dibudidayakan. Teksturnya yang renyah meskipun
telah direbus membuatnya sangat berbeda dengan kangkung
lainnya di beberapa daerah di Indonesia. Selain itu,
kandungan senyawa bioaktifnya sangat beragam. Sehingga
memungkinkan untuk mengembangkannya menjadi salah satu
produk pangan fungsional

136
10.1. Konsep Dasar Pangan Fungsional

Istilah pangan fungsional mulanya diperkenalkan di Jepang pada awal 1980-an, yang
mengacu pada pangan olahan dengan ingredient yang berdampak menguntungkan bagi
fungsi fisiologis, seperti mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh manusia.
th
Menurut Functional Food Center (FFC) Dallas USA dalam 17 International Conference
2014, pangan fungsional merupakan pangan alami ataupun olahan yang mengandung
senyawa bioaktif yang tidak bersifat toksik dalam jumlah yang efektif saat dikonsumsi, Gambar 10.1. Yakult, minuman
susu fermentasi produk Jepang
yang dibuktikan secara klinis dan memiliki dampak kesehatan untuk pencegahan, yang tergolong pangan fungsional,
mengandung bakteri Lactobacillus
pemeliharaan atau perlakuan terhadap penyakit kronis (Martirosyan dan Singh, 2015). yang baik untuk kesehatan sistem
imun dan usus.
Hingga saat ini belum ada definisi terkait istilah pangan fungsional yang diterima
secara global (Eisenbrand, 2004). Codex Allimentarius Commission yang menjadi rujukan
BPOM menjadi badan yang
Indonesia dalam peraturan pangan pun belum mengatur hal tersebut. Adapun regulasi
dalam fungsinya mengawasi
terbaru di Indonesia tahun 2016 yang dikeluarkan oleh BPOM menyebutkan istilah pangan produk makanan sebelum
dan selama beredar.
fungsional dengan istilah “Pangan dengan klaim gizi dan kesehatan”. Untuk klaim tertinggi
yang diperbolehkan yaitu klaim terhadap penurunan resiko penyakit (BPOM, 2016).

Sebelumnya pada tahun 2005 ada regulasi yang menyebutkan bahwa pangan
fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional
yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak
membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Kemudian pada tahun 2011, regulasi
tersebut berubah dan istilah pangan fungsional dikenal sebagai “Pangan dengan klaim
P3FNI menjadi organisasi
dan/atau penurunan resiko penyakit”. Meskipun demikian, saat ini di Indonesia telah profesi para penggiat
pengembangan pangan
tumbuh organisasi profesi yang mewadahi berbagai kegiatan di bidang pangan fungsional fungsional dan nutrasetikal di
Indonesia. P3FNI. Info
dan nutrasetikal yaitu Perhimpunan Penggiat Pangan Fungsional dan Nutrasetikal
selengkapnya di p3fni.org
Indonesia (P3FNI). P3FNI sampai sekarang terus berkiprah dalam mendorong
pengembangan pangan fungsional yang bersumber dari kearifan lokal maupun sumber
daya alam lainnya.

Suatu produk pangan fungsional juga harus mempunyai beberapa kriteria yaitu :

a). harus menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan
serta standar dan persyaratan lain yang ditetapkan;

b). mempunyai manfaat bagi kesehatan yang dinilai dari komponen pangan fungsional
berdasarkan kajian ilmiah;

c). disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman;

d). memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi dan
cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen.
137
Pangan fungsional harus mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu sensory (warna dan
penampilannya menarik, citarasa enak), nutritional (bernilai gizi tinggi), dan
physiological (memberikan pengaruh fisiologis yang menguntungkan bagi tubuh). Fungsi
fisiologis dari suatu pangan fungsional ini diantaranya pencegahan timbulnya suatu
penyakit yang berhubungan dengan konsumsi pangan, meningkatkan daya tahan tubuh
(regulating bio-defensiveness), regulasi ritem kondisi fisik tubuh, memperlambat proses
penuaan (aging), dan penyehatan kembali (recovery) tubuh setelah menderita suatu
penyakit tertentu.

Pangan fungsional yang dirancang tentulah berdasarkan atas kebutuhan konsumen


untuk menunjang kesehatannya, yang kemudian dipadukan dengan ilmu pengetahuan
mengenai senyawa bioaktif yan terkandung di dalam bahan pangan (zat gizi atau zat non-
gizi). Selanjutnya pemilihan jenis produk yang akan diproduksi, juga didasarkan atas
keinginan konsumen (berdasarkan hasil survey konsumen atau perkembangan
kesehatan). Setelah hal tersebut dikuasai, barulah dibuat formula, kemudian lakukan uji Gambar 10.2. Uji skala laboratorium
coba produksi (skala laboratroium) dan uji organoleptik. Apabila telah mencapai hasil menjadi salah satu tahapan utama
pengembangan pangan fungsional
positif, kemudian uji coba produksi dalam skala yang lebih besar, yang kemudian diikuti sebelum uji coba produksi yang
besar
oleh pengujian organoleptik oleh konsumen secara luar.

Suatu bahan pangan biasa dapat diubah menjadi produk pangan fungsional melalui
cara-cara sebagai berikut:

1. Meningkatkan konsentrasi senyawa alami hingga mencapai suatu level yang dapat
menginduksi pengaruh yang diinginkan, atau dengan cara meningkatkan senyawa
non-gizi, apabila terdapat data hasil penelitian yang mendukung bahwa senyawa
tersebut memberikan efek menguntungkan bagi kesehatan.

2. Menambahkan senyawa yang secara normal tidak terdapat dalam bahan pangan O
tersebut, tetapi telah dibuktikan bahwa senyawa tersebut memberikan efek
menguntungkan bagi kesehatan (misalnya antioksidan non-vitamin). Gambar 10.3. Flavonoid, metabolit
sekunder yang menjadi senyawa
3. Mengganti komponen, umumnya makronutrien yang biasa dikonsumsi secara bioaktif dalam berbagai
pengembangan pangan fungsional
berlebihan sehingga memberikan efek merugikan pada tubuh (misalnya lemak khususnya yang berbasis
antioksidan.
atau minyak) dengan suatu senyawa yan telah terbukti dapat memberikan efek
Flavonoid bersumber utama dari
menguntungkan misalnya bahan pengganti lemak (fat replacer). buah dan sayuran (Yao et al., 2004)

4. Meningkatkan ketersediaan (bioavailabilitas) senyawa tertentu dalam bahan


pangan yang telah terbukti dapat memberikan efek menguntungkan bagi
kesehatan. Perlu ditekankan disinibahwa bukti “efek menguntungkan” tersebut
harus didasari oleh pembuktian secara ilmiah (Roberfroid, 2000).

138
10.2. Senyawa Bioaktif dalam Pangan

Banyak bukti, baik yang berasal dari studi epidemiologis maupun penelitian-penelitian in vitro dan in
vivo serta percobaan klinis mengindikasikan bahwa konsumi pangan yang berasal dari tanaman dapat
mengurangi resiko timbulnya penyakit kronis, terutama kanker. Hal ini menggambarkan bahwa dalam
pangan nabati terkandung senyawa lain diluar zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral)
yang berperan terhadap fungsi tersebut. Senyawa tersebut kemudian dikenal sebagai senyawa bioaktif
atau senyawa fitokimia. Sehingga dalam tahapan pengembangan pangan fungsional, umumnya
melibatkan skrining fitokimia terhadap bahan pangan yang akan dijadikan sebagai pangan fungsional.

Tabel 10.1. Beberapa Senyawa Bioaktif, Sumber dan Fungsinya.


Senyawa bioaktif Sumber Fungsi
Glukosinolat, dialil, sulfide, Brokoli, kembang kol, bawang Antimikroba, antikanker,
isotiosianat putih, bawang merah, immunomudulator,

Tocopherol dan tocotrienols Minyak sayur, kacang-kacangan, Antioksidan, immunomodulator


biji-bijian

Isoflavonoids dan polyphenols Anggur, teh, buah-buahan segar Antioksidan, penurun lipid,
dan sayuran immunomodulator,
antiosteoporotic, antikanker

Phytoestrogens Kedelai dan produk berbasis Antiestrogen, antiosteoporotic,


kedelai, kubis, legume, teh antiproliferatif

Fitosterol Minyak sayur, kacang-kacangan Penurun lipid

Serat Pangan Serealia, oats, buah segar Penurun lipid

Asam linolenat, asam lemak Evening primrose (minyak bunga Anti-inflammatory, penurun lipid
omega-3 mawar malam), flaxseed, kacang
kenari, ikan, mikroalga

Lutein Sayuran dedaunan Mereduksi degenerative

Karotenoid Wortel, jagung, sayuran dedaunan, Antioksidan, immunomodulator


jeruk, pepaya, red palm oil, wuluh

Likopen Tomat Antiproliperatif, antikanker

Peptide bioaktif: laktoferin, Susu dan produk fermentasi susu Meningkatkan sistem imun,
glikomakropeptida antiproliferatif, antimikroba

Probiotik Produk fermentasi susu Immunomodulator, antikanker,


modulator kesehatan
pencernaan.
(Paul, 2007)

139
Klaim Kesehatan

Klaim kesehatan pangan fungsional harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan. Jepang merupakan negara pertama dan satu-satunya yang
membuat peraturan (legislasi) terkait pangan fungsional. Kementerian Kesehatan dan
Kesejahteraan Jepang telah mengatur “Food for Specified Health Use” (FOSHU) sebagai
sistem peraturan yang mengizinkan klaim atau pernyataan dalam label makanan yang
Gambar 10.4. Logo FOSHU,
berdampak baik bagi kesehatan tubuh (Shimizu, 2012). setiap pangan di Jepang yang
telah dinyatakan sebagai
Regulasi klaim kesehatan di Indonesia diatur dalam Peraturan Kepala BPOM Nomor pangan fungsional akan
dicantumkan logo tersebut.
13 Tahun 2016 tentang Pengawasan Klaim pada Label dan Iklan Pangan Olahan. Klaim
kesehatan yang dimaksud dalam peraturan tersebut yaitu segala bentuk uraian yang
menyatakan, menyarankan atau menyiratkan bahwa terdapat hubungan antara pangan
atau bahan penyusun pangan dengan kesehatan. Terdapat juga klaim fungsi lain sebagai
klaim yang berkaitan dengan efek khusus yang menguntungkan dari pangan atau
kompone pangan dalam diet total terhadap fungsi atau aktivitas biologis normal dalam
tubuh. Klaim ini berkaitan dengan efek positif untuk memperbaiki fungsi tubuh atau
memelihara kesehatan.

Contoh klaim kesehatan untuk fungsi lain yaitu:

“Serat pangan larut (psyllium, beta glucan dari oats dan/atau barley, inulin dari chicory,
dan pectin dari buah-buahan) dapat menurunkan kadar kolesterol darah jika disertai
dengan diet rendah lemak jenuh dan rendah kolesterol.” (Perka BPOM RI, 2016).

Beta glucan, salah satu


serat pangan larut yang
sumber utamanya dari
tanaman gandum

Gambar 10.5. Struktur kimia beta glucan

10.3. Fortifikasi Pangan

Garam dapur beryodium sebagai bumbu dapur merupakan salah satu bentuk
produk pangan dari proses fortifikasi. Fortifikasi didefinisikan sebagai penambahan zat-zat
gizi yang sebelumnya tidak terdapat dalam bahan pangan. Dalam contoh garam dapur
beryodium tersebut, penambahan zat mineral iodium (dalam senyawa kalium iodat, KIO 3)
adalah sebagai zat fortifikan. Fortifikasi terhadap suatu bahan pangan bertujuan untuk
meningkatkan nilai gizi pangan dan konsumsi suatu zat gizi tertentu oleh masyarakat.

Penambahan zat gizi tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu 1). Zat

140
gizi yang ditambahkan tidak mengubah warna dan cita rasa makanan; 2). Dapat
dimanfaatkan tubuh; 3). Stabil selama penyimpanan; 4). Tidak menyebabkan timbulnya
interaksi negatif dengan zat gizi lain yang ditambahkan atau yang ada dalam bahan
pangan; 5). Jumlah yang ditambahkan harus memperhitungkan kebutuhan individu.

Penerapan fortifikasi di Indonesia sudah merambah ke berbagai produk pangan,


diantaranya :

1. Minyak goreng yang difortifikasi dengan vitamin A.

2. Margarin yang difortifikasi dengan berbagai vitamin yaitu vitamin A untuk merk
Blue band, ForVITA, Sovia dan Filma, vitamin E untuk merk Filma, vitamin B1,
vitamin B2, vitamin D, vitamin E dna niasin untuk merk Blue Band dan Simas
Palmia.

3. Tepung terigu yang difortifikasi dengan vitamin B1 (thiamin) min 2,5 mg/kg, vitamin Gambar 10.6. forVITA, produk
margarin yang difortifikasi
B2 (riboflavin) min 4 mg/kg, vitamin B9 (asam folat) min 2 mg/kg, Besi (Fe) min 50 dengan vitamin A
mg/kg dan Seng (Zn) min 30 mg/kg.

4. Biskuit yang difortifikasi dengan vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, dan
vitamin B12.

5. Garam yang difortifikasi dengan iodium min 30 mg/kg (kalium iodat (KIO 3) sebagai
fortikan).

6. Berbagai minuman yang difortifikasi dengan beta karoten, vitamin A, vitamin D,


vitamin E, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin B9, vitamin B12, vitamin C,
besi (Fe), dan kalsium (Ca).

7. Makanan pendamping ASI (MP ASI) yang difortifikasi dengan vitamin A, vitamin D,
vitamin E, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin B9, vitamin B12, vitamin C,
besi (Fe), kalsium (Ca), Iodium (I), dan Seng (Zn).

Dalam proses fortifikasi pangan, terkadang zat fortifikan mudah mengalami kerusakan
akibat pengaruh proses pengolahan. Untuk itu diperlukan suatu teknik untuk melindungi
fortifikan tersebut dari pengaruh pemanasan, oksidasi dan proses pengolahan lainnya.
Teknik yang kerap digunakan yaitu dengan teknik enkapsulasi.

Enkapsulasi merupakan metode yang penting untuk melindungi bahan volatil, bahan yang
reaktif secara kimia, atau bahan ingridient yang mengandung komponen yang sensitif
terhadap pemanasan dan adanya bahan kimia, dan (2) untuk mengurangi jumlah
ingredient bahan aktif yang diperlukan dalam suatu aplikasi industri, sehingga dapat
mengurangi biaya produksi karena mahalnya bahan aktif tersebut. Bahan yang digunakan

141
akan dilapisi dengan zat penyalut. Zat penyalut yang sering digunakan misalnya gum arab
dan maltodesktrin.

Gum arab atau gum acacia adalah produk getah dari hasil penyadapan pada batang
tumbuhan legume yaitu Acacia senegal. Gum arab menghasilkan emulsi stabil.
Penggunaan gum arab dapat melindungi senyawa volatile seperti oleoresin dari oksidasi
dan penguapan. Maltodekstrin adalah senyawa polimer glukosa yang dihasilkan dari
hidrolisis partial pati baik secara kimia ataupun enzim. Prinsip dekstrinasi ini yaitu hidrolisis Gambar 10.7. Getah hasil
sadapan dari batang pohon
atau pemotongan secara acak ikatan α-(1,4) glikosida pati oleh asam atau enzim α- Acacia senegal yang
kemudian menjadi gum arab
amilase menjadi polimer-polimer yang lebih pendek.

Sebagai contoh, Sari dkk (2014) melakukan mikroenkapulasi Fe dan Zn dengan


metode spray drying. Metode spray drying memiliki tiga tahapan utama yaitu persiapan
emulsi, homogenisasi dispersi, dan atomisasi. Mineral yang digunakan sebagai inti yaitu
ferro sulfat (FeSO4) dan seng sulfat (ZnSO4). Sebagai zat penyalut digunakan gum arab
dan maltodekstrin.

a. Persiapan emulsi dengan mencampurkan maltodekstrin, gum arab dan senyawa


fortifikan dengan metode dry mixing.

b. Setelah diperoleh campuran bubuk mineral dan penyalut yang homogen maka
campuran kering dilarutkan dengan menggunakan akuades dan dihomogenisasi
dengan homogenizer, tahap ini disebut sebagai dengan pembuatan dispersi.
Pengadukan dengan homogenizer bertujuan untuk membentuk droplet-droplet
kecil mineral yang telah berikatan dengan penyalut.

c. Tahap akhir dari proses enkapsulasi adalah pengeringan dengan menggunakan


spray dryer, dengan suhu pengeringan masuk 170°C dan suhu pengeringan keluar
85°C.

142
Contoh proses fortifikasi yaitu :

Ikan Nila

Penyiangan, pemfilletan, dan


pencucian
Cokelat
batangan

Perendaman dalam larutan air jeruk


nipis 5%(v/b) dan garam 1% (b/b)
15 menit
Pemotongan kecil-kecil

Blanching (80-90°C, 10 menit)


Pencairan (melting)
(40-45°C, ±10 menit)

Pemerasan dengan kain

Penghalusan dengan food


processor sampai berbentuk
serpihan (± 5 menit) Cokelat mencair

*Daging halus

Flavor mint
1% (v/b)
Pencampuran (40-45°C, ± 5 menit)

Pencetakan (molding)

Pendinginan (0-5°C, ± 30 menit)

Permen cokelat

Pengemasan

Penyimpanan
Gambar 10.8. Proses fortifikasi permen cokelat dengan daging ikan nila (Oreochromis sp.) (Sari,
2007).

143
10.4. Berpikir Kritis tentang Pangan Fungsional

Industri pangan saat ini tengah berkembang pesat. Berbagai produk pangan yang
menawarkan manfaat kesehatan tertentu begitu marak lewat iklan-iklan di media sosial. Tidak
sedikit dari masyarakat kita terbawa arus iklan tersebut sehingga menjadi konsumen produk
tersebut. Bukan berarti itu tidak benar, namun yang perlu diperhatikan adalah dasar klaim bahwa
produk tersebut punya khasiat untuk peningkatan kesehatan atau pencegahan penyakit tertentu.

Yang perlu disadari adalah bahwa untuk mencapai tingkatan klaim kesehatan dari sebuah
pangan itu membutuhkan tahapan panjang termasuk diantaranya uji klinis. Istilah pangan
fungsional sendiri dalam peraturan perundangan yang berlaku saat ini dikenal sebagai Pangan
dengan klaim gizi dan kesehatan. Pangan tersebut haruslah berbentuk makanan sebagaimana
makanan yang dikonsumsi sehari-hari, bukan dalam bentuk kapsul obat-obatan.

Berdasarkan hal tersebut, maka sangat luaslah potensi alam daerah kita ini yang dapat
dikembangkan sebagai pangan fungsional atau pangan dengan klaim gizi dan kesehatan.
Lihatlah potensi alam sekitar kita, banyak yang bisa dikembangkan dalam bentuk makanan untuk
kesehatan meskipun untuk mendapat klaim kesehatan yang resmi membutuhkan proses yang
panjang dan ilmiah.

Referensi :

Astuti, M., Andreanyta, M., Dalais, S. F., dan Wahlqhist, M. L. (2000). Tempe, a nutritious and
healthy food from Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinic and Nutrition, 9: 322-325.
Eisenbrand, G. (2004). Criteria for the evaluation of functional foods. Molecules Nutrition of Food
Research, 48: 541-544.
Lattimer, J. M and M. D. Haub. 2010. Effects of dietary fiber and its components on metabolic
health. Nutrients. 2: 1266-1289.
Martirosyan, D. M and J. Singh. 2015. A new definition of functional food by FFC: what makes a
new definition unique?. Functional food in Health and Disease. 5(6): 209-223.
Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK 00.05.52.0685 Tahun 2005 tentang Ketentuan Pokok
Pengawasan Pangan Fungsional
Peraturan Kepala BPOM RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pengawasan Klaim pada Label dan
Iklan Pangan Olahan.
Roberfroid, M. B. (2000). Concepts and strategy of functional food science: the European
perspective. American Journal Clinical Nutrition, 71: 1660S -1664S.
Shimizu, T. (2012). Functional food in Japan: current status and future of gut-modulating food.
Journal of Food and Drug Analysis. 20(1): 213-216.

144
Slavin, J. 2013. Fiber and prebiotics: mechanisms and health benefits. Nutrients. 5: 1417-1435.
Sari, A. C. (2007). Fortifikasi permen cokelat dengan daging ikan nila (Oreochromis sp.). Skripsi.
Institut Pertanian Bogor.
Sari, D. K., Marliyati, S. A., Kustiyah, L., Khomsan, A., dan Gantohe, T. M. (2014). Bioavailabilitas
fortifikan, daya cerna protein, serta kontribusi gizi biscuit yang ditambah tepung ikan
gabus (Ophiocephalus striatus) dan difortifikasi seng dan besi. Agritech, 34(4): 359-364.
Yao, L. H., Jiang, Y. M., Shi, J., Tomas-Barberan, F. A., Datta, N., Singanusong, R., dan Chen, S.
S. (2004). Flavonoids in food and their health benefits. Plant Foods and Human Nutrition,
59(3): 113-122.

145

Anda mungkin juga menyukai