Anda di halaman 1dari 13

Demokrasi di Filipina: Studi Kasus Demokratisasi Pasca Revolusi

Epifanio delos Santos Avenue​ (EDSA) Pada Tahun 1986


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Juan Sebastiansyah, 1606890813
Sergio Febrian, 1606877515
Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
E-mail : ​juansebastiansyah@gmail.com​, sergiofebrian@gmail.com

Abstrak

Pada masa pemerintahan Ferdinand E. Marcos, Filipina menjadi negara yang otoriter dan
didominasi oleh kepemimpinan Marcos. Dikeluarkannya ​Martial Law ​pada tahun 1972
menguatkan kekuasaan Marcos dan semakin menekan demokrasi di Filipina. Akhirnya pada
tahun 1986 muncul gerakan ​people power ​yang dikenal dengan revolusi ​Epifanio delos
Santos Avenue ​(EDSA) yang memiliki tujuan untuk menurunkan Marcos dari posisinya
sebagai Presiden. Munculnya revolusi EDSA dipicu oleh kondisi politik, ekonomi, dan
terjadinya kecurangan dalam proses pemilihan umum di Filipina pada tahun 1986. Pasca
revolusi EDSA, Corazon Aquino naik menjadi presiden Filipina dan melakukan perbaikan
dalam tubuh pemerintahan agar menjadi pemerintahan yang demokratis. Untuk fenomena
tersebut, tim penulis menggunakan konsep demokratisasi dari Wolfgang Merkel dan Aurel
Croissant untuk melihat bagaimana demokratisasi yang terjadi pada masa kepemimpinan
Corazon Aquino.

Kata Kunci:​ ​Ferdinand E. Marcos, Corazon Aquino, Revolusi EDSA, Demokratisasi

1
Abstact

During the reign of Ferdinand E. Marcos, the Philippines became an authoritarian state and
was dominated by the Marcos leadership. The release of Martial Law in 1972 strengthened
Marcos' power and increasingly suppressed democracy in the Philippines. Finally in 1986 a
movement of people power, known as the revolution of Epifanio delos Santos Avenue
(EDSA) emerged, which had the goal of bringing down Marcos from his position as
President. The emergence of the EDSA revolution was triggered by political, economic
conditions and the occurrence of fraud in the election process in the Philippines in 1986.
Post the EDSA revolution, Corazon Aquino rose to become president of the Philippines and
made improvements in the body of government to become a democratic government. For
this phenomenon, the writing team used the democratization concept of Wolfgang Merkel
and Aurel Croissant to see how democratization had taken place during the leadership of
Corazon Aquino.

Keyword: ​Ferdinand E. Marcos, Corazon Aquino, EDSA revolution, Democratization

Pendahuluan

Latar Belakang

Fenomena ​Third Wave of Democracy antara tahun 1970 sampai dengan 1990-an
mempengaruhi banyak negara-negara di Amerika Latin, Asia, dan Afrika untuk melakukan
demokratisasi dan menggeser sistem pemerintahan di negara Amerika Latin, Asia, dan
Afrika yang awalnya menggunakan sistem pemerintahan otoritarian atau diktator militer
menjadi pemerintahan yang lebih demokratis (Huntington, 1991). Salah satu negara yang
merubah sistem pemerintahannya dari otoriter menjadi demokratis dalam ​Third Wave of
Democratization ​adalah negara Filipina. Pemerintahan yang demokratis secara sederhana
dapat dijelaskan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
(Asshiddiqie, 2005:14).

Sebelum terjadinya demokratisasi, Filipina dikuasai oleh rezim pemerintahan Ferdinand


Edralin Marcos yang menguasai Filipina sejak tahun 1965 hingga 1986 . Pemerintahan

2
otoriter Marcos dimulai sejak dikeluarkannya ​Martial Law ​pada 22 September 1972 yang
membuat Marcos sebagai Presiden Filipina berperan sebagai kepala pemerintahan dan juga
kepala negara. Dikeluarkannya ​Martial Law d​ i Filipina menyebabkan hilangnya nilai-nilai
demokrasi dalam pemerintahan Filipina, seperti tidak adanya ​checks and balances d​ alam
politik Filipina, berkurangnya efektivitas dari institusi politik seperti ​congress d​ an partai
politik, menguasai institusi penting seperti ​Commission on Elections ​(COMELEC) sebagai
lembaga yang penting dalam pemilihan umum di Filipina, membatasi partisipasi politik
masyarakat seperti demonstrasi, dan melakukan kontrol serta manipulasi terhadap media
Filipina (Timberman, 1991:96). Kepemimpinan Marcos di Filipina menimbulkan
ketidakpuasan dalam masyarakat Filipina yang akhirnya menyebabkan menurunnya
legitimasi dan kredibilitas pemerintahan Marcos. Hal ini disebabkan oleh terjadinya krisis
ekonomi, korupsi, dan birokrasi pemerintahan yang kurang baik (Timberman, 1991:76).

Lalu pada tahun 1986 terjadi peristiwa yang akhirnya mengakhiri rezim pemerintahan
Ferdinand Marcos di Filipina yaitu munculnya ​people power ​di Filipina atau yang dikenal
dengan revolusi ​Epifanio Delos Santos Avenue (​ EDSA). Revolusi EDSA dipicu beberapa
hal, yaitu matinya Benigno Aquino yang merupakan salah satu aktor yang mengepalai
gerakan pemberontakan kepada Ferdinand Marcos oleh rakyat Filipina, matinya Benigno
Aquino diasumsikan merupakan rencana yang dilakukan oleh Ferdinand Marcos sebagai
usaha untuk menjaga kekuasaannya di Filipina. (Bih Ni, 2012:142). Selain memicu reaksi
masyarakat lokal, kematian Benigno Aquino juga meningkatkan perhatian internasional
terhadap politik di Filipina, terutama negara Amerika Serikat. Amerika Serikat melakukan
intervensi rezim pemerintahan Marcos melalui militer, politik, dan juga mendukung oposisi
pemerintahan Ferdinand Marcos (Anggara, Marjono, & Swastika, 2017:121-124).

Selanjutnya, peristiwa yang menjadi puncak dari munculnya revolusi EDSA adalah
pemilihan umum Filipina pada tahun 1986. Dalam pemilihan umum Presiden Filipina antara
Marcos dan Corazon Aquino, terjadi kecurangan dalam hasil pemilu, penghilangan hak pilih
pendukung Corazon Aquino, dan Marcos juga melakukan intimidasi terhadap masyarakat
yang memiliki kecenderungan pro terhadap Corazon Aquino. Selanjutnya, lembaga
pemilihan umum Filipina mengumumkan kemenangan Marcos yang menimbulkan

3
penolakan dari masyarakat Filipina. Akhirnya, revolusi EDSA terjadi sebagai bentuk
penolakan terhadap Marcos dan usaha untuk menurunkan Marcos dari jabatannya sebagai
Presiden (Vey, 1998:248-249). Setelah revolusi EDSA terjadi, Corazon Aquino terpilih
sebagai Presiden Filipina dan Filipina menjadi harapan baru untuk mengembalikan
perdamaian, dan kemakmuran di Filipina, dan menjadi proses awal demokratisasi di
Filipina.

Rumusan Masalah

Jatuhnya rezim kepemimpinan Ferdinand Marcos pasca revolusi EDSA tahun 1986
membuat Corazon Aquino naik menjadi Presiden Di Filipina. Naiknya Corazon Aquino
merupakan awal dari proses demokratisasi yang terjadi di Filipina setelah lebih dari dua
puluh tahun Filipina terbelenggu oleh rezim pemerintahan Ferdinand Marcos. Berdasarkan
hal tersebut, penulis merumuskan pertanyaan yakni: “Bagaimana proses demokratisasi
Filipina pasca Revolusi EDSA tahun 1986 di bawah pemerintahan Corazon Aquino?”

Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk memahami bagaimana kondisi politik Filipina pasca
terjadinya revolusi EDSA 1986. Secara lebih spesifik, tulisan ini mencoba untuk
menjelaskan dan memahami bagaimana proses demokratisasi yang terjadi pasca jatuhnya
kepemimpinan otoriter Ferdinand Marcos. Tulisan ini akan melihat bagaimana
pemerintahan Corazon Aquino melakukan demokratisasi melalui kebijakan-kebijakannya
dan perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki sistem pemerintahan yang telah lama
berada di bawa kepemimpinan otoriter.

Kerangka Konseptual

Konsep Demokratisasi

Dalam menjawab pertanyaan penulisan dan memenuhi tujuan dari penulisan, tim
penulis menggunakan konsep yang akan menjelaskan bagaimana fenomena demokratisasi
yang terjadi di Filipina. Tim penulis menggunakan konsep demokratisasi menurut Wolfgang

4
Merkel dan Aurel Croissant untuk dapat membantu penulis untuk menganalisis bagaimana
demokratisasi yang terjadi di Filipina pasca terjadinya revolusi EDSA di Filipina.

Konsep demokratisasi menurut Wolfgang Merkel dan Aurel Croissant (Merkel &
Croissant, 2004:200) memberikan penjelasan bahwa dalam proses demokratisasi terdapat
dua jenis demokrasi yang dapat terbentuk yaitu ​Good Democracies dan ​Defective
Democracies​. Secara lebih spesifik Merkel dan Croissant menjelaskan konsep demokratisasi
yang terjadi di negara Dunia ketiga seperti Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Merkel dan
Croissant menjelaskan bahwa pengertian demokrasi dinilai tidak didefinisikan secara
normatif dan teoritis. Definisi yang diberikan oleh ahli-ahli seperti Schumpeter, Dahl, dan
Przeworski cenderung mendefinisikan demokrasi menggunakan kacamata fungsional seperti
adanya persaingan dalam pemilihan umum yang bebas, akuntabilitas vertikal, dan kuatnya
peran aktor politik serta sosial dalam politik, konsep demokrasi yang lebih digambarkan
secara fungsional membuat demokrasi yang cenderung lebih elitis pemilu.

Dalam memperkuat argumennya, Merkel dan Croissant juga menggunakan argumen


dari salah satu ahli yang mengkritik bentuk demokrasi fungsional yaitu Guillermo
O’Donnell yang melihat bahwa fenomena demokratisasi elektoral yang terjadi di negara
seperti Denmark, Swedia atau Perancis tidak dapat disamakan dengan demokrasi yang
terjadi dalam rezim di Rusia, Thailand, dan Brazil. Hal ini juga semakin memperjelas bahwa
demokrasi yang terjadi di negara Dunia ketiga tidak dapat dilabeli sebagai demokrasi
liberal. Kompetisis pemilihan umum yang bebas dalam demokrasi ternyata tidak dapat
menjamin adanya supremasi hukum, hak-hak sipil, dan akuntabilitas yang horizontal.
Demokrasi membutuhkan dukungan dari pemerintahan seperti seperti aturan hukum,
akuntabilitas horizontal dan ruang publik yang terbuka untuk mewujudkan demokrasi yang
tidak hanya menjalankan sisi fungsionalis seperti pemilihan umum yang tidak hanya
berjalan tetapi bermakna.

Good Democracies adalah demokrasi yang memiliki struktur kelembagaan yang stabil
yang mewujudkan kebebasan dan kesetaraan warga negara melalui fungsi lembaga. Dalam
good democracies, kualitas dari demokrasi harus dievaluasi dalam hal prosedur, konten, dan
hasilnya. Dan terdapat lima dimensi dalam melihat kualitas demokrasi: dimensi pertama

5
(prosedural) adalah aturan hukum, yang kedua adalah akuntabilitas, yang ketiga berkaitan
dengan responsif pejabat terpilih yang terpilih, yang keempat dimensi berfokus pada
realisasi hak-hak politik dan kebebasan sipil yang setara, sedangkan dimensi kelima bersifat
'substantif secara alamiah' - dimensi ini menyangkut pengurangan progresif kesenjangan
sosial dan ekonomi (Merkel & Croissant, 2004:202).

Selanjutnya adalah ​Defective Democracies yang menjelaskan bahwa demokrasi yang


buruk adalah demokrasi yang memiliki kualitas demokrasi yang rendah di mana pertama
tidak adanya pemilihan umum yang bebas dan adil, dan rusaknya lembaga-lembaga politik.
Kedua adalah buruknya akuntabilitas dan aturan hukum yang menyebabkan terjadinya
penyelewengan wewenang dan terjadinya tindakan yang melanggar hukum seperti korupsi.
Ketiga adalah terdapatnya kelompok politik kuat yang mendominasi politik yang
menyebabkan kelompok tersebut memiliki otoritas yang kuat. Keempat adalah adanya
warga negara yang low-intensity citizenship yang menyebabkan birokrasi yang tidak
terorganisir, kekuasaan negara yang tidak efektif, dan lemahnya aturan hukum (Merkel &
Croissant, 2004:203). Dan dijelaskan juga bahwa terdapat terakhir terdapat tiga dampak dari
Defective Democracies terhadap proses demokratisasi di suatu negara negara yaitu ​The
Regression Scenario, The Stability Scenario,​ dan ​The Progression Scenario​.

The Regression Scenario adalah disaat demokratisasi yang terjadi di suatu negara
terjadi krisis politik yang tidak dapat diselesaikan suatu negara. Dalam skenario ini, suatu
negara mempertahankan norma dan struktur negaranya melalui liberalisme. Terjadinya juga
peningkatan konsentrasi kekuatan politik di eksekutif. Hal ini terjadi karena adanya cacat
secara parsial dalam proses demokratisasi yang terjadi di suatu negara. ​The Stability
Scenario adalah disaat demokrasi yang masuk kedalam suatu negara berjalan lebih efektif
dibandingkan rezim otoriter dan menciptakan kestabilan sistem politik. Kestabilan yang
diciptakan demokrasi juga dipengaruhi oleh budaya politik, dan budaya sipil negara tersebut
dalam memecahkan masalah di suatu negara. Dalam ​The Stability Scenario terjadi selama
selama elit oligarkis lama dapat melindungi kepentingan ekonomi dan posisi politik
dominan mereka. Jika pentingnya mereka dapat terjaga, maka mereka akan mendukung
proses demokratisasi. Terakhir, The Progression Scenario adalah disaat demokrasi disuatu

6
negara secara struktur tidak sesuai dengan keadaan yang ada di suatu negara akan tetapi
pemerintahan di suatu negara tetap menggunakan nilai-nilai demokrasi dalam pengambilan
keputusan di suatu negara (Merkel & Croissant, 2004:208-209).

Demokratisasi Filipina masa Corazon Aquino

Perubahan sistem politik di Filipina memberikan ruang perubahan dalam kehidupan


negara tersebut. Filipina mengalami perubahan melalui modernisasi dan perubahan dalam
struktur sosial mengalami impuls demokratis dan reformis yang berulang. Namun narasi
reformis dan populis yang bersaing yang telah mendominasi politik Filipina kontemporer
juga dapat menawarkan kesempatan untuk memperdalam proses demokrasi, terutama jika
itu merangsang perdebatan nasional tentang bagaimana pemerintahan demokratis yang baik
dan mungkin sangat dibutuhkan reformasi kelembagaan yang komprehensif untuk
memastikan pemerintahan yang lebih inklusif dan stabil (Dressel, 2012: 531).

Corazon Aquino membentuk Komisi Konstitusi Filipina untuk menetapkan konstitusi


1987. Penetapan konstitusi dilakukan melalui referendum. Hasil referendum pada tanggal 3
Februari 1987 menunjukkan rakyat Filipina menerima konstitusi baru. Konstitusi 1987
tersebut menggantikan Konstitusi 1973 yang di mana isi konstitusi tersebut dinilai menindas
rakyat Filipina. Konstitusi 1987 mengabadikan hak-hak yang terkait dengan martabat
pribadi (hak untuk hidup, larangan penyiksaan dan perbudakan); hak-hak sipil (habeas
corpus; kebebasan beragama, berekspresi, berserikat; dan kebebasan dan keamanan pribadi);
dan hak politik (untuk memilih dan dipilih). Pedoman mengenai hak sosial dan keadilan
sosialnya juga sama komprehensifnya. Mewujudkan prinsip bahwa 'mereka yang
kekurangan dalam hidup harus mendapat lebih dalam hukum' (Bernas, 2003: 971)

Dalam hal akuntabilitas institusional - sistem formal ​checks and balances antara
cabang-cabang dan lembaga-lembaga pemerintah - sistem politik Filipina secara formal
tampak setidaknya berjalan dengan baik. Model ini merujuk pada sistem pemerintahan AS
di mana terdapat pembagian kekuasaan, dan Konstitusi 1987 membangun kembali beberapa
lembaga pengawas konstitusi seperti Komisi Audit (COA), Komisi Layanan Sipil (CSC),
dan Komisi Pemilihan Umum (COMELEC) untuk memantau cabang-cabang pemerintahan.

7
Bahkan, dikombinasikan dengan seorang aktivis Mahkamah Agung, struktur pemerintahan
yang terdesentralisasi, dan berbagai lembaga pengawas lainnya (misalnya Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia, Kantor Ombudsman, Komisi Anti-Graft Presiden), ada banyak
pemeriksaan dan keseimbangan yang dibangun ke dalam struktur politik yang ada.
Pengaturan saat ini memungkinkan eksekutif untuk menunjuk anggota birokrasi dan
lembaga independen, memberikan perlindungan untuk membentuk mayoritas kongres, dan
mengeluarkan perintah eksekutif, yang digunakan pemerintah GMA secara efektif untuk
memblokir penyelidikan korupsi dengan mencegah pejabat publik bersaksi. Selain itu,
meskipun kadang-kadang kepemimpinan yang luar biasa, banyak lembaga pengawas telah
menderita karena kendala keuangan dan administrasi atau campur tangan politik dan
tuduhan korupsi. Gerakan pemakzulan parlemen, meskipun umum, tetapi jarang berhasil.
Demikian pula, kantong-kantong otoriter dan ​bossisme telah menumpulkan dampak struktur
pemerintah daerah (Dressel, 2012; Sidel, 1999: 354-355). Singkatnya, mekanisme
akuntabilitas horisontal sering dikacaukan oleh kerja informal lembaga-lembaga politik atau
oleh hambatan politik dan kurangnya kapasitas administrasi.

Dari segi partisipasi politik pasca perubahan sistem menjadi demokrasi di Filipina
pada awalnya meningkat. Hal ini sebagai dampak terhadap respons pemberontakan ​‘People
Power​’ 1986. Konstitusi 1987 tidak hanya membangun kembali proses pemilihan baik di
tingkat nasional maupun lokal, tetapi juga berhasil mendorong partisipasi representatif dari
kelompok-kelompok marjinal melalui mekanisme sistem daftar kuota partai di Majelis
Rendah dan mekanisme konstitusi pemungutan suara rakyat. Konsultasi antara pemerintah,
masyarakat sipil, dan asosiasi tinggi menjadi hal yang biasa

Meskipun pemilihan umum telah dilaksanakan di Filipina dan menjadikan Corazon


Aquino presiden saat itu, namun demokrasi yang berjalan di Filipina bersifat rapuh dan
memiliki banyak kekurangan dalam prosesnya. Hal ini dapat dilihat dari dominasi elite,
kelemahan institusional, dan penyalahgunaan kantor-kantor tinggi negara secara luas.
Terdapat banyak struktur politik di Filipina yang muncul sebagai hasil dari kolonialisasi AS.
Struktur tersebut dapat terlihat dari pencabutan massa, patronase yang dipenuhi oleh
partai-partai politik yang tidak berdaya, dan ​sistem rampasan y​ ang telah mengikis otonomi

8
birokrasi (Abinales dan Amoroso, 2005 ; Bello, 2004; Wurfel, 1988). Tantangan lain yang
dihadapi oleh Corazon Aquino pada saat itu ialah selain menjadi kepala dari sebuah
pemerintahan yang tercerai-berai, Aquino juga menghadapi ancaman dari ekstrim kiri dan
kanan dan menjaga persatuannya yang rapuh. Pada saat yang sama, ia berusaha untuk
memulihkan lembaga-lembaga demokrasi, menghidupkan kembali ekonomi, dan mencari
solusi damai untuk pemberontakan komunis tanpa mengasingkan kelompok-kelompok
kunci, terutama militer (Timberman, 1986:169).

Proses Demokratisasi Filipina

Selanjutnya demokratisasi di Filipina akan dijelaskan dan dilihat melalui kacamata


demokratisasi menurut Wolfgang Merkel dan Aurel Croissant. Dalam proses demokratisasi
di suatu negara terutama negara dunia ketiga, proses demokratisasi akan membentuk dua
jenis demokrasi yang dijelaskan oleh Merkel dan Croissant adalah ​Good Democracies d​ an
Defective Democracies. ​Untuk melihat bagaimana demokratisasi yang terjadi pada masa
kepemimpinan Corazon Aquino, harus dilihat lebih jauh bagaimana demokrasi pada masa
pemerintahan Marcos.

Pada masa pemerintahan Ferdinand E. Marcos, demokrasi yang ada di Filipina adalah
Defective Democracies y​ ang di mana pada demokrasi yang ada di Filipina memiliki kualitas
demokrasi yang rendah, yang dicirikan dengan; (1) tidak adanya pemilihan umum yang
bebas dan adil, dan rusaknya lembaga-lembaga politik. (2) buruknya akuntabilitas dan
aturan hukum yang menyebabkan terjadinya penyelewengan wewenang dan terjadinya
tindakan yang melanggar hukum seperti korupsi. (3) Terdapatnya kelompok politik kuat
yang mendominasi politik yang menyebabkan kelompok tersebut memiliki otoritas yang
kuat. (4) Adanya warga negara yang ​low-intensity citizenship yang menyebabkan birokrasi
yang tidak terorganisir, kekuasaan negara yang tidak efektif, dan lemahnya aturan hukum.
Pada masa pemerintahannya, Marcos menjadi aktor yang mendominasi politik di Filipina
dan juga melemahkan lembaga-lembaga politik seperti ​congress d​ an partai politik yang ada
di Filipina, sehingga memburuknya akuntabilitas pemerintahan karena tidak adanya ​checks
and balances ​antara lembaga politik. Lembaga pemilihan umum Filipina yaitu COMELEC

9
juga berada di bawah Marcos, sehingga pemilihan umum sudah pasti berjalan dengan
kecurangan dan kecenderungan mendukung Marcos.

Lalu masuk pada masa Corazon Aquino, demokrasi Filipina yang dapat dikategorikan
sebagai ​Defective Democracy b​ erkembang dan masuk dalam proses ​The Stability Scenario
yang di mana demokrasi yang masuk kedalam suatu negara berjalan lebih efektif
dibandingkan rezim otoriter dan akhirnya menciptakan kestabilan sistem politik di suatu
negara. Kestabilan yang diciptakan demokrasi juga dipengaruhi oleh budaya politik, dan
budaya sipil negara tersebut dalam memecahkan masalah di suatu negara. Dalam ​The
Stability Scenario juga terdapat elit oligarkis lama yang melindungi kepentingan ekonomi
dan posisi politik dominan mereka. Jika kepentingan mereka dapat terjaga, maka mereka
akan mendukung proses demokratisasi.

Pemerintahan Corazon Aquino pada masa awal pemerintahannya melakukan perubahan


konstitusi Filipina yang didalamnya terdapat jaminan mengenai hak asasi manusia, hak sipil,
dan hak politik terhadap masyarakat Filipina. Penjaminan tersebut sejalan dengan nilai
demokrasi seperti bebas dan adil. Corazon Aquino juga melakukan perbaikan terhadap
lembaga-lembaga politik yang rusak di Filipina pada masa sebelumnya, yang akhirnya
membuat lembaga politik dapat menjaga akuntabilitas pemerintah dengan melakukan ​checks
and balances d​ an hal ini memperbaiki stabilitas politik Filipina. Demokratisasi Filipina
yang diawali dengan revolusi EDSA yang dilakukan oleh masyarakat Filipina juga
menciptakan budaya politik yang baik di Filipina. Dalam konstitusi 1987, Corazon Aquino
memperbaiki proses pemilihan baik di tingkat nasional maupun lokal, dan juga mendorong
partisipasi representatif dari kelompok-kelompok melalui Majelis Rendah dan mekanisme
konstitusi pemungutan suara rakyat. Hal ini menciptakan budaya politik yang partisipatif
dan sesuai dengan demokrasi.

Kesimpulan

Proses demokratisasi merupakan proses memasukan nilai-nilai demokrasi dalam suatu


negara yang merupakan proses yang panjang. Dalam konteks Filipina, proses demokratisasi
harus dilihat mulai dari masa pemerintahan Ferdinand E. Marcos. Demokrasi pada masa

10
Marcos dapat dikatakan sebagai demokrasi yang rusak atau ​defective democracy ​yang di
mana demokrasi tidak berjalan dengan baik. Dalam pemerintahannya, Marcos mendominasi
kekuasaan politik di Filipina dan Marcos melemahkan lembaga-lembaga politik yang dapat
menjadi oposisi. Pemerintahan Marcos tidak memiliki akuntabilitas yang baik dan tidak
berjalannya ​check and balances d​ alam pemerintahan karena Marcos dalam ​martial law
Presiden memiliki peran sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Selain itu,
terjadinya banyak kecurangan dan manipulasi dalam pemilihan umum yang dilaksanakan di
Filipina karena Marcos menguasai COMELEC sebagai lembaga pemilihan umum di
Filipina.

Lalu pada masa Corazon Aquino, proses demokratisasi berhasil menstabilkan


pemerintahan dan politik Filipina yang sebelumnya rusak oleh kepemimpinan Ferdinand E.
Marcos. Meskipun memang, dalam proses demokratisasi pada masa Aquino masih terdapat
beberapa hambatan akibat warisan dari pemerintahan Marcos. Secara garis besar, pada masa
Corazon Aquino proses demokratisasi di Filipina menghadapi masalah seperti adanya
ancaman dari ekstrim kiri dan kanan dan menjaga persatuannya yang rapuh. Corazon juga
harus memulihkan lembaga-lembaga demokrasi, menghidupkan kembali ekonomi, dan
mencari solusi damai untuk pemberontakan komunis.

Secara garis besar, Demokrasi Filipina pada masa Marcos merupakan ​defective
democracy a​ tau demokrasi yang rusak. Terjadinya ​people power a​ tau revolusi EDSA di
Filipina yang menurunkan kekuasaan Marcos akhirnya mendorong terjadinya proses
demokratisasi secara lebih dalam. Masa kepemimpinan Corazon Aquino mencoba untuk
merestorasi pemerintahan Filipina yang awalnya otoriter menjadi lebih demokratis. Pada
​ asuk dalam ​stability scenario ​yang di mana pemerintahan
masa ini ​defective democracy m
mulai stabil dan demokrasi berjalan lebih baik daripada pemerintahan otoriter. Walaupun
memang masih terdapat hambatan dan masalah dalam proses demokratisasi di Filipina.

Saran

Topik mengenai demokratisasi merupakan topik yang menarik untuk didiskusikan,


karena proses demokratisasi di setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda dan tidak

11
dapat disamakan satu sama lain. Proses demokratisasi di Filipina juga dapat didiskusikan
dan dilihat secara lebih jauh. Bagaimana proses demokratisasi pasca masa kepemimpinan
Corazon Aquino hingga era yang lebih kontemporer dapat dibahas dan dikaji lebih jauh
mengingat bahwa proses demokratisasi merupakan proses yang panjang. Dalam proses
penulisan artikel ini, penulis tidak dapat menjelaskan secara keseluruhan proses
demokratisasi di Filipina hingga era kontemporer karena terlalu besarnya cangkupan topik
proses demokratisasi. Artikel jurnal ini memang sangat jauh dari kata sempurna, besar
harapan kami dari tim pembahas dapat memberikan kritik dan masukan untuk
menyempurnakan artikel jurnal ini.

12
Daftar Pustaka

Abinales PN, Amoroso DJ (2005) State and Society in the Philippines. Lanham, MD:
Rowman & Littlefield.

Anggara S, Clip, Marjono & Swastika, Kayan. (2017). ​American Intervention In The
Overthrow Of President Ferdinand E. Marcos In Philippines in 1983 - 1986. ​Jurnal
Historica Vol.1 Issue.1

Asshiddiqie, Jimly. (2005). ​Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,​ Jakarta:
Perpustakaan Nasional RI

Dressel, Björn. (2011). ​The Philippines: How Much Real Democracy?. ​IPSR Vol. 32 No. 5

Huntington, Samuel P. (1991). Democracy’s Third Wave. Amerika: Journal of Democracy.


Vol.2.No.2

Mer​ kel, Wolfgang & Croissant, Aurel. (2004). ​Democratization: Conclusion: Good and
Defective Democracies​. Democratization Vol. 11, No.5

Ni, Lee Bih. (2012). ​Sejarah Asia Tenggara. ​Kinabalu: Social University Malaysia Sabah.

Timberman, D. G. (2016). ​A Changeless Land: Continuity and Change in Philippine


Politics: Continuity and Change in Philippine Politics​. Routledge.

Vey, Ruth. ​Kaum Kapitalis Asia Tenggara. J​ akarta: Yayasan Obor Indonesia.

13

Anda mungkin juga menyukai