Anda di halaman 1dari 8

NAMA : ANGGRIANI ELFRIDA SILITONGA

NPM : 15730002

PENGAWET (PRESERVATIVE)

Dalam rangka mendapatkan makanan sepanjang waktu, manusia berusaha


mengawetkan pangan. Hal ini dikarenakan bahan pangan secara alami bersifat mudah
rusak atau busuk. Ada beberapa bahan pangan bersifat musiman dan juga tidak dapat
diproduksi di semua tempat. Oleh sebab itu, manusia mengembangkan berbagai teknik
pengawetan untuk menjamin bahan pangan tidak mudah rusak.
Kerusakan makanan adalah penyimpangan yang melewati batas yang dapat
diterima oleh indera manusia. Dengan demikian, kerusakan dapat ditandai oleh adanya
perubahan dalam kenampakan, misalnya bentuk atau warna, bau, rasa,tekstur, atau
tanda-tanda penyimpangan lainnya. Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:
a. Pertumbuhan dan Aktifitas Mikroba
Mikroba merupakan penyebab kerusakan pangan yang dapat ditemukan di tanah,
air, dan udara. Tumbuhnya mikroba di dalam bahan pangan dapat mengubah
komposisi bahan pangan, baik dengan cara menghidrolisis pati dan selulosa
menjadi fraksi yang lebih kecil, menyebabkan fermentasi gula, menghidrolisis
lemak dan menyebabkan ketengikan, serta mencerna protein dan menghasilkan
bau busuk dan amoniak. Mikroba tersebut dapat membentuk lendir, gas, busa,
warna, asam, toksin, dan lainnya. Mikroba tersebut menyukai kondisi yang hangat
dan lembab.
b. Aktifitas Enzim-Enzim di dalam Bahan Pangan
Enzim yang terdapat dalam bahan pangan dapat berasal dari mikroba dan ada yang
sudah terdapat dalam bahan pangan tersebut secara normal. Enzim ini
memungkinkan terjadinya reaksi kimia dengan lebih cepat dan dapat
mengakibatkan bermacam-macam perubahan pada komposisi bahan pangan.
Enzim ini dapat diinaktifkan oleh panas/ suhu secara kimia, radiasi, atau perlakuan
lainnya.
c. Serangga Parasit dan Tikus
Serangga dapat merusak buah-buahan, sayuran, biji-bijian, dan umbi-umbian.
Gigitan serangga akan dapat melukai permukaan bahan pangan sehingga
menyebabkan kontaminasi oleh mikroba. Pada bahan pangan dengan kadar air
rendah, dapat dicegah secara fumigasi dengan zat-zat kimia. Parasit banyak
ditemukan dalam daging adalah cacing pita, yang dapat menjadi sumber
kontaminasi pada manusia. Selain itu, tikus juga sangat merugikan karena jumlah
bahan yang dimakan. Termasuk kotoran, rambut, dan urine tikus merupakan
media untuk bakteri serta menimbulkan bau yang tidak enak.
d. Suhu (Pemanasan dan Pendinginan)
Pemanasan dan pendinginan yang tidak diawasi secara teliti dapat menyebabkan
kebusukan bahan pangan. Suhu pendingin sekitar 4,50C dapat mencegah atau
memperlambat proses pembusukan. Pemanasan berlebih dapat menyebabkan
denaturasi protein, pemecahan emulsi, merusak vitamin, dan degradasi
lemak/minyak. Pembekuan pada sayuran dan buah-buahan dapat menyebabkan
“thawing” setelah dikeluarkan dari tempat pembekuan, sehingga mudah
kontaminasi dengan mikroba. Pembekuan juga dapat menyebabkan denaturasi
protein susu dan penggumpalan.
e. Kadar Air
Kadar air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi RH udara
sekitar. Bila terjadi kondensasi udara pada permukaan bahan pangan akan dapat
menjadi media yang baik bagi mikroba. Kondensasi tidak selalu berasal dari luar
bahan. Di dalam pengepakan buah-buahan dan sayuran dapat menghasilkan air
dari respirasi dan transpirasi, air ini dapat membantu pertumbuhan mikroba.
f. Udara dan Oksigen
Udara dan oksigen selain dapat merusak vitamin terutama vitamin A dan C, warna
bahan pangan, flavor dan kandungan lain, juga penting untuk pertumbuhan
kapang. Umumnya kapang adalah aerobik, karena itu sering ditemukan tumbuh
pada permukaan bahan pangan. Oksigen dapat menyebabkan tengik pada bahan
pangan yang mengandung lemak. Oksigen dapat dikurangi jumlahnya dengan
cara menghisap udara keluar secara vakum atau penambahan gas inert selama
pengolahan, mengganti udara dengan N2, CO2 atau menagkap molekul oksigen
dengan pereaksi kimia.
g. Sinar
Sinar dapat merusak beberapa vitamin terutama riboflavin, vitamin A, vitamin C,
warna bahan pangan dan juga mengubah flavor susu karena terjadinya oksidasi
lemak dan perubahan protein yang dikatalisis sinar. Bahan yang sensitif terhadap
sinar dapat dilindungi dengan cara pengepakan menggunakan bahan yang tidak
tembus sinar.
h. Waktu
Pertumbuhan mikroba, keaktifan enzim, kerusakan oleh serangga, pengaruh
pemanasan atau pendinginan, kadar air, oksigen dan sinar, semua dipengaruhi
oleh waktu. Waktu yang lebih lama akan menyebabkan kerusakan yang lebih
besar, kecuali yang terjadi pada keju, minuman anggur, wiski dan lainnya yang
tidak rusak selama “ageing”.
Mikroba penyebab kebusukan pangan dapat ditemukan di mana saja baik di tanah,
air, udara, di atas kulit atau bulu ternak dan di dalam usus. Beberapa mikroba juga
ditemukan di atas permukaan kulit buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian dan
kacang-kacangan. Adapun mikroba yang harus dihindari untuk mengawetkan bahan
pangan adalah sebagai berikut.
a. Mikroba pembusuk
Mikroba pembusuk merupakan salah satu makhluk hidup yang mempunyai peran
dalam perombakan senyawa lengkap menjadi senyawa yang lebih sederhana dan
umumnya ditandai dengan ciri-ciri aroma busuk dan terjadi perubahan
penampakan baik secara organoleptik maupun tekstur. Protein akan dipecah oleh
mikroba pembusuk sehingga menjadi unsur yang lebih sederhana seperti amoniak.
Beberapa mikroba digunakan sebagai indikator dalam proses pembusukan daging
misalnya Micrococcus sp., Bacillus sp., Corynebacterium sp dan Pseudomonas
sp. Mikroorganisme tersebut merupakan mikroba yang sering digunakan sebagai
indikator dari kualitas daging yang buruk. Ciri – ciri dari kebusukan yang
diakibatkan dari mikroba tersebut diantaranya yaitu berbau busuk, terdapat
pembentukan lendir, adanya perubahan tekstur, adanya perubahan warna pada
daging, dan perubahan rasa. Terjadinya perubahan warna pada daging diakibatkan
oleh karena adanya proses elaborasi pigmen asing dari Pseudomonas sp.
b. Mikroba patogen
Mikroba patogen adalah mikroba penyebab penyakit. Penyakit yang disebabkan
oleh mikroba patogen umumnya disebut infeksi. Terdapat banyak mikroba
patogen yang membahayakan kesehatan manusia, berikut ini beberapa di
antaranya adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella, Shigella,
Vibrio cholerae, Clostridium botulinum, dan Pseudomonas cocovenenans.
Untuk membuat makanan memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan
sifat-sifat fisik dan kimia makanan, maka dilakukan proses pengawetan. Dalam
mengawetkan makanan harus diperhatikan jenis bahan makanan yang diawetkan,
keadaan bahan makanan, cara pengawetan, dan daya tarik produk pengawetan
makanan. Cara pengawetan bahan makanan dapat disesuaikan dengan keadaan bahan
makanan, komposisi bahan makanan, dan tujuan dari pengawetan. Secara garis besar
ada dua cara dalam mengawetkan makanan, yaitu fisik serta biokimia.
a. Fisik
Pengawetan makanan secara fisik merupakan yang paling bervariasi jenisnya,
contohnya adalah:
1. Pemanasan
Teknik ini dilakukan untuk bahan padat, namun tidak efektif untuk bahan yang
mengandung gugus fungsional, seperti vitamin dan protein.
2. Pendinginan
Teknik ini dilakukan dengan memasukkan bahan pangan ke lemari pendingin,
dapat diterapkan untuk daging dan susu.
3. Pembekuan
Teknik ini dilakukan dengan menurunkan temperatur bahan pangan hingga di
bawah titik beku air.
4. Pengasapan
Teknik ini dilakukan dengan perpaduan teknik pengasinan dan pengeringan,
untuk pengawetan jangka panjang, biasa diterapkan pada daging.
5. Pengalengan
Teknik ini dilakukan dengan perpaduan kimia (penambahan bahan pengawet)
dan fisika (ruang hampa dalam kaleng).
6. Pembuatan acar
Sering dilakukan pada sayur ataupun buah.
7. Pengentalan dapat dilakukan untuk mengawetkan bahan cair
8. Pengeringan
Teknik ini dilakukan untuk mencegah pembusukan makanan
akibat mikroorganisme, biasanya dilakukan untuk bahan padat yang
mengandung protein dan karbohidrat.
9. Pembuatan tepung
Teknik ini sangat banyak diterapkan pada bahan karbohidrat
10. Irradiasi
Teknik ini dilakukan untuk menghancurkan mikroorganisme dan menghambat
perubahan biokimia.
b. Biokimia
Pengawetan makanan secara biokimia secara umum ditempuh dengan
penambahan senyawa pengawet, seperti:
1. Penambahan enzim, seperti papain dan bromelin.
2. Penambahan bahan kimia, misalnya asam sitrat, garam, dan gula.
3. Pengasinan, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk makanan.
4. Pemanisan, menaruh dalam larutan dengan kadar gula yang cukup tinggi untuk
mencengah kerusakan makanan.
5. Pemberian bahan pengawet, biasanya diterapkan pada bahan yang cair atau
mengandung minyak. Bahan pengawet makanan ada yang bersifat racun
dan karsinogenik. Bahan pengawet tradisional yang tidak berbahaya
adalah garam seperti pada ikan asin dan telur asin, dan sirup karena larutan
gula kental dapat mencegah pertumbuhan mikroba. Kalsium propionat atau
natrium propionat digunakan untuk menghambat pertumbuhan kapang, asam
sorbat menghambat pertumbuhan kapang dalam keju, sirup dan buah kering.
Bahan kimia yang dapat mengawetkan bahan pangan adalah antimikroba. Bahan
pengawet antimikroba digunakan untuk mencegah terjadinya degradasi oleh mikroba.
Metode ini merupakan tipe pengawetan yang paling tradisional dan merupakan jenis
terlampau dari metode pengawetan-lampau seperti pembuatan acar dan penambahan
madu untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme dengan memodifikasi tingkat
pH. Pengawet antimikroba yang paling umum digunakan adalah asam laktat.
Nitrat dan nitrit juga merupakan antimikroba. Mekanisme rinci senyawa kimia ini
berkisar dari penghambatan pertumbuhan bakteri hingga penghambatan enzim
tertentu.
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang
mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat
proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba.
Penggunaan pengawet dalam makanan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu
bahan pengawet mungkin efektid untuk mengawetkan bahan pangan tertentu, tetapi
tidak efektif untuk jenis lainnya. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan hasil yang efektif
maka perlu dilakukan pemilihan antimikroba yang tepat serta mengetahui kondisi
pangan yang diawetkan dan juga antimikroba yang digunakan.
Dalam memilih antimikroba yang tepat untuk digunakan dalam pengawetan
bahan pangan maka harus diketahui sifat antimikroba tersebut. Sifat antimikroba dapat
dilihat melalui keefektifannya terhadap jenis dan kondisi bahan pangan. Adapun sifat-
sifat dari antimikroba tersebut adalah mengganggu sistem genetik, menghambat
sintesa dinding sel atau membran, menghambat enzim, dan meningkatkan nutrien
esensial. Sifat-sifat bahan pengawet meliputi sifat kimia dan fisik. Sifat kimia antara
lainstruktur kimia atau rumus molekul dan pKa yang spesifik untuk setiap jenis
bahan pengawet. Sedangkan sifat fisik antara lain larutan, baik dalam air, alkohol ma
upunminyak, bentuk bahan pengawet. Besarnya pelarutan sangat dipengaruhi oleh
suhu,misalnya natrium bisulfit pada suhu 25 C kelarutannya 28.5 g/100 mL air dan
menjadikurang lebih dua kalinya (50g/100 mL air) pada suhu 100 C.
Dalam memilih jenis pengawet, harus diperhatikan kondisi bahan pangan, antara
lain pH. Beberapa jenis bahan pengawet bekerja efektif di pH rendah (suasana asam),
namun beberapa jenis lainnya justru akan efektif dalam suasana alkali. Oleh karena
itu, jenis bahan pangan dan pH akan menentukan jenis pengawet yang akan digunakan.
Menurut Permenkes nomor 033 tahun 2013 tentang bahan tambahan pangan,
bahan pengawet (preservative) merupakan bahan tambahan pangan untuk mencegah
atau menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian, dan perusakan lainnya
terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Bahan pengawet antimikroba terdiri dari dua jenis, yaitu pengawet organik dan
pengawet anorganik. Pengawet organik lebih banyak dipakai dari pada anorganik
karena bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organik digunakan baik dalam bentuk
asam maupun dalam bentuk garamnya.
Beberapa contoh pengawet organik adalah asam benzoat dan garamnya, asam
sorbat dan garamnya, asam propionat dan garamnya, serta nisin. Asam benzoat dan
asam sorbat merupakan pengawet yang paling populer digunakan.
Asam benzoat berfungsi untuk mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri.
Senyawa ini relatif kurang efektif sebagai bahan pengawet pada pH yang lebih besar,
namun kerjanya sebagai pengawet naik dengan turunnya pH sampai dibawah 5.
Turunnya pH medium akan menaikkan proporsi asam yang tidak terdisosiasi karena
asam yang tidak terdisosiasi penentu utama peranan pengawet. Asam benzoat sangat
efektif dalam menghabat pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan dengan pH
rendah, seperti sari buah dan minuman penyegar. Bahan ini banyak digunakan pada
kecap, minuman ringan, acar, margarin, selai, saos, dll. Batas maksimum penggunaan
600 mg – 1 gr/kg.
Kerja asam sorbat akan efektif pada pH rendah dan pada kondisi tidak
terdisosiasi. Apabila ditambahkan pada bahan pangan dengan pH rendah akan sangat
efektif dalam menghambat pertubuhan khamir dan kapang. Kerjanya selektif, yaitu
mampu menghambat pertumbuhan mikroba yang menguntungkan, contohnya pada
proses pematangan keju. Dosis penggunaan 3gr/kg.
Selain bahan pengawet organik di atas, juga terdapat beberapa contoh bahan
pengawet anorganik, diantaranya yaitu sulfur dioksida, sulfit dan senyawaannya, serta
nitrit dan nitrat. Zat pengawet anorganik yang masih sering digunakan adalah sulfit
serta nitrit dan nitrat.
Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau Ksulfit, bisulfit, dan
metabisulfit. Selain sebagai pengawet, sulfit dapat berinteraksidengan gugus karbonil.
Hasil reaksi itu akan mengikat melanoidin sehingga mencegahtimbulnya warna
cokelat. Sulfur dioksida juga dapat berfungsi sebagai antioksidan dan meningkatkan
daya kembang terigu.
Garam nitrat dan nitrit umumnya digunakan pada proses curing daging
untukmemperoleh warna yang baik dan mencegah pertumbuhan mikroba seperti
Clostridium botulinium, suatu bakteri yang dapat memproduksi racun yang mematika
n. Akhirnya,nitri dan nitrat banyak digunakan sebagai bahan pengawet tidak saja pada
produk- produk daging, tetapi juga pada ikan dan keju. Penggunaan Na-nitrit sebagai
pengawetuntuk mempertahankan warna daging atau ikan ternyata menimbulkan efek
yang membahayakan. Nitrit dapat berkaitan dengan amino atau amida dan
membentukturunan nitrosamin yang bersifat toksik.
Bahan pangan yang biasa ditambahkan bahan pengawet, yaitu acar dalam botol,
keju, margarin, apricot kering, selai, jely, sirup, saus, kecap, anggur buah dan minuman
berakohol, potongan kentangan goreng beku, udang beku, daging olahan, daging
awetan, dan corned kalengan.
Jumlah bahan pengawet yang diizinkan akan mengawetkan bahan pangan
dengan jumlah mikroorganisme yang normal untuk satu jangka waktu tertentu, tapi
kurang efektif jika dicampurkan kedalam bahan-bahan pangan membusuk atau
terkontaminasi secara berlebih. Namun penggunaan bahan pengawet sebagai
antimikroba mempunyai efek samping. Pada penderita asma dan orang yang menderita
urtikaria sangat sensitif terhadap asam benzoate, jika dikonsumsi dalam jumlah besar
akan mengiritasi lambung. Contoh yang lainnya adalah sulfur dioksida. Sulfur
dioksida merupakan bahan pengawet yang sangat luas pemakaiannnya namun pada
dosis tertentu dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan tetapi belum ada
pengganti belerang dioksida yang sama efektifnya atau cukup memuaskan. Keracunan
adanya belerang dioksida dapat menyebabkan luka usus.
Penggunaan antimikroba sebagai bahan pengawet sebaiknya digunakan apabila
sudah sangat dibutuhkan. Perlakuan dengan pemanasan, pasteurisasi, dan pengasapan
juga dapat membuat bahan pangan tersebut mempunyai daya simpan yang cukup lama.
Namun apabila perlakuan tersebut juga belum dapat menghasilkan bahan pangan yang
memiliki daya simpan yang cukup, maka penggunaan bahan kimia adalah hal yang
wajar. Penggunaan bahan kimia yang tepat takaran tidak akan berdampak buruk bagi
kesehatan manusia.

Anda mungkin juga menyukai