Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KULIAH LAPANGAN KECIL PROYEK EKOLOGI (BI3102)

ANALISIS EKOSISTEM AKUATIK CURUG CIMAHI DAN SUNGAI


CIHANJUANG

Tanggal praktikum: 23 September 2018


Tanggal pengumpulan: 6 Oktober 2018

Disusun oleh:
Sylvia Tifani Siswanto S. H.
10616053
Kelompok 6

Asisten:
Praniti Herma S.
10615067

PROGRAM STUDI BIOLOGI


SEKOLAH ILMU TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Teori river continuum adalah suatu pendekatan untuk mengklasifikasi dan
mendeskripsikan perubahan yang terjadi pada sistem sungai berupa perubahan
faktor abiotik dan biotik (Gordon, et al., 2004). Teori river continuum terjadi
di sepanjang orde sungai, dimulai dari orde sungai yang paling kecil. Semakin
besar orde sungai maka perubahan yang terjadi akan semakin besar. Perubahan
tersebut dapat dipengaruhi salah satunya oleh penggunaan lahan di sekitar
kawasan sungai. Penggunaan lahan biasanya dimanfaatkan sebagai kawasan
pertanian, industri, dan pemukiman sehingga mempengaruhi kondisi sungai.
Penggunaan lahan tersebut dapat menimbulkan erosi, tingginya pencemaran,
penurunan curah hujan, kondisi ekstrim seperti banjir dan kekeringan, dan
menurunnya kualitas air (Pawitan, 2018).

1.2. Tujuan
Tujuan dari kuliah lapangan proyek ekologi ini adalah sebagai berikut.
1. Menentukan status ekologi perairan di stasiun Curug Cimahi dan stasiun
Sungai Cihanjuang.
2. Menentukan kerapatan dan keanekaragaman makrozoobenthos di stasiun
Curug Cimahi dan stasiun Sungai Cihanjuang.
3. Menentukan kondisi faktor abiotik stasiun Curug Cimahi dan stasiun
Sungai Cihanjuang.
4. Mendeskripsikan kondisi perairan stasiun Curug Cimahi, stasiun Sungai
Cihanjuang, dan stasiun sungai di daerah Sapan terkait penggunaan lahan.
BAB II
METODE KERJA

2.1. Deskripsi Area


Pengamatan pertama dilakukan di Curug Cimahi yang terletak di Jalan
Kolonel Masturi No.325, Kertawangi, Cisarua, Kabupaten Bandung Barat,
Jawa Barat. Pengamatan pada Curug Cimahi dilakukan pada pukul 07.00 –
09.00. Koordinat titik lokasi pengamatan di Curug Cimahi ditunjukkan pada
Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Koordinat Lokasi Pengamatan di Curug Cimahi (Google Earth, 2018).
Kondisi rona lingkungan di Curug Cimahi yaitu banyak vegetasi herba,
berbatu, dikelilingi oleh tebing, dan ternaungi oleh pohon. Kondisi cuaca yaitu
cerah dan tidak berawan. Rona lingkungan ditunjukkan pada Gambar 2.2 dan
Gambar 2.3.

Gambar 2.2 Rona Lingkungan di Curug Cimahi


Gambar 2.3 Rona Lingkungan di Curug Cimahi
Pengamatan kedua dilakukan di Sungai Cihanjuang yang terletak di
Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pada pukul
10.00 -11.00. Koordinat titik lokasi pengamatan di Sungai Cihanjuang
ditunjukkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Koordinat Lokasi Pengamatan di Sungai Cihanjuang (Google Earth, 2018).
Kondisi rona lingkungan di Sungai Cihanjuang yaitu sedikit vegetasi, tidak
ternaungi oleh pohon, banyak rumah warga, banyak sampah, berlumpur dan
berbatu. Kondisi cuaca yaitu panas, terik, tidak berawan, dan berangin. Rona
lingkungan ditunjukkan pada Gambar 2.5 dan Gambar 2.6.
Gambar 2.5 Cuaca di Sungai Cihanjuang

Gambar 2.6 Rona Lingkungan di Sungai Cihanjuang


Pengamatan juga dilakukan di sungai daerah Sapaan yang beralamat di
Jalan Raya Sinar Mukti, Desa Selacau, Kecamatan Batujajar, Kabupaten
Bandung Barat, Jawa Barat.

2.2. Cara Kerja


Pengambilan data pada ekosistem akuatik Curug Cimahi dan Sungai
Cihanjuang meliputi pencuplikan air dengan botol gelap, pengukuran
parameter fisika perairan, pengukuran parameter kimia perairan, dan
pencuplikan benthos. Pencuplikan air dengan botol gelap dilakukan sebanyak
8 kali di Curug Cimahi dan 8 kali di Sungai Cihanjuang. Pencuplikan air
dilakukan dengan cara menghadap searah arus air lalu memasukkan botol
sejajar dengan permukaan air agar tidak ada gelembung yang masuk ke dalam
botol gelap. Setelah air dicuplik, botol tidak boleh diagitasi agar kandungan
DO dalam air tidak berubah.
Pengukuran parameter fisika perairan meliputi pengukuran warna, suhu,
bau, dan arus air. Pengukuran warna, suhu, dan bau air dilakukan dengan cara
mencuplik air menggunakan gelas air mineral bening kemudian menilai warna,
suhu, dan bau air sesuai skala yang ada. Pengukuran arus air dilakukan dengan
cara meletakkan styrofoam yang telah diikat oleh tali sepanjang 2 m pada
permukaan air, kemudian dihanyutkan sesuai panjang tali dan diukur
waktunya.
Pengukuran parameter kimia perairan meliputi TDS-TSS, nutrien, dan
kandungan oksigen terlarut (DO). Pengukuran TDS-TSS dilakukan dengan
cara memanaskan cawan pijar dan cawan uap pada suhu 600°C serta kertas
saring yang telah dibasahi pada suhu 105°C selama 1 jam, kemudian
ditimbang. Air kemudian disaring dan dipanaskan pada suhu 105°C selama 1
jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kertas hasil penyaringan
dimasukkan ke dalam cawan pijar dan dipanaskan pada suhu 105°C selama 1
jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kandungan TDS adalah
berat cawan penguap akhir dikurangi dengan berat cawan penguap awal,
sedangkan kandungan TSS adalah berat cawan pijar akhir dikurangi dengan
berat cawan pijar awal dan berat kertas saring. Pengukuran kandungan oksigen
terlarut dilakukan dengan menggunakan DO meter.
Pencuplikan benthos dilakukan dengan menggunakan jala surber yang
berukuran 40 x 24,5 cm2. Jala surber diletakkan di dasar air dan menghadap
berlawanan dengan arus air, kemudian batuan yang berada pada plot jala surber
dipisahkan dan disikat agar benthos terlepas dari batuan lalu benthos
dikumpulkan. Lalu tanah yang berada pada plot jala surber diagitasi dengan
cara ditepuk-tepuk agar benthos yang berada di tanah masuk ke dalam jala,
kemudian benthos yang terkumpul di jala surber dikumpulkan.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Komunitas Benthos


Keberadaan makrozoobenthos tertentu dapat mengindikasikan kondisi dari
suatu lingkungan. Pada daerah Curug Cimahi dan Sungai Cihanjuang terdapat
komunitas makrozoobenthos yang hidup pada kawasan tersebut. Terdapat 19
makrozoobenthos yang ditemui di kawasan Curug Cimahi. Indeks
keanekaragaman (H’) makrozoobenthos di Curug Cimahi sebesar 2,044.
Berdasarkan skor penentuan status ekologis, keanekaragaman (H’)
makrozoobenthos di Curug Cimahi dapat dikategorikan dengan skor 1.
Variabel lain (warna, bau, suhu air, konduktivitas, padatan tersuspensi, pH,
DO) yang dikategorikan dengan skor 1, sesuai dengan kondisi Curug Cimahi.
Berdasarkan A. Hardjosuwarno (1990), keanekaragaman makrozoobenthos di
Curug Cimahi termasuk kedalam tingkat tinggi karena berada diantara rentang
1,6 – 3,0. Dominansi makrozoobenthos di Curug Cimahi sebesar 0,215
menandakan dominansi spesies di kawasan tersebut cukup rendah.
Spesies Hydropsychidae 1 memiliki kerapatan yang sangat tinggi yaitu
sebesar 61,97. Hydropsychidae biasa hidup di perairan lotik, hidup dibawah
bebatuan, sesuai dengan kondisi rona lingkungan di Curug Cimahi. Spesies
Chrysomelidae, Leptoceridae, Macromidae, Libellolidae, Bithyniidae 1,
Dystiscidae, Chironomidae, Bithyniidae 2, dan Limoniidae memiliki kerapatan
spesies terendah yaitu sebesar 1,215. Hasil perhitungan kerapatan
makrozoobenthos di kawasan Curug Cimahi dapat dilihat pada Lampiran A.
Di kawasan Curug Cimahi terdapat spesies Hydropsychidae dan Perlidae yang
menurut Norton dan Hoffman (2002), merupakan indikator perairan bersih,
serta terdapat spesies Tipulidae dan Dystiscidae yang merupakan indikator
perairan moderat / sedang. Kerapatan spesies makrozoobenthos pada Curug
Cimahi ditunjukkan pada Gambar 3.1.
70

Kerapatan Makrozoobenthos
60
50
40
30
20
10
0
-10

Spesies

Gambar 3.1 Kerapatan Spesies Makrozoobenthos di Curug Cimahi


Pada kawasan Sungai Cihanjuang, ditemukan makrozoobenthos sebanyak
20 spesies dengan kerapatan yang ditunjukkan pada Gambar 3.2. Spesies
Tubificidae memiliki kerapatan paling tinggi yaitu sebesar 235,723. Populasi
Tubificidae yang tinggi dipengaruhi oleh banyaknya polutan organik di daerah
tersebut. Tubificidae toleran terhadap kandungan polutan organik yang tinggi
dan kandungan oksigen terlarut yang rendah (Martins, et al., 2008). Hal
tersebut sesuai dengan kondisi Sungai Cihanjuang yang tercemar dilihat dari
rona lingkungan yang diamati. Spesies yang memiliki kerapatan paling rendah
yaitu Ampullaridae, Viviparidae, Erpobdellidae 1, Turbinidae, Chironomidae
2, dan Lumbricidae yaitu sebesar 1,215. Hasil perhitungan kerapatan
makrozoobenthos di kawasan Sungai Cihanjuang dapat dilihat pada Lampiran
B.
Indeks keanekaragaman (H’) di kawasan Sungai Cihanjuang sebesar 1,695
yang menandakan bahwa keanekaragaman tinggi. Berdasarkan skor penentuan
status ekologis, keanekaragaman (H’) makrozoobenthos di Sungai Cihanjuang
dapat dikategorikan dengan skor 3. Dominansi makrozoobenthos di Sungai
Cihanjuang sebesar 0,312 yang menandakan tidak ada spesies di kawasan
tersebut yang sangat mendominasi. Pada kawasan Sungai Cihanjuang, terdapat
spesies Tubificidae, Chironomidae, Physidae, dan Simuliidae yang merupakan
indikator perairan tercemar serta yang merupakan indikator perairan moderat /
sedang menurut Norton dan Hoffman (2002).
250

Kerapatan Makrozoobenthos
200

150

100

50

-50

Spesies

Gambar 3.1 Kerapatan Spesies Makrozoobenthos di Sungai Cihanjuang

3.2. Mikroklimat dan Parameter Fisika-Kimia


3.2.1. Mikroklimat
Pengukuran mikroklimat meliputi intensitas cahaya,
kelembaban, dan suhu udara. Intensitas cahaya di kawasan Curug
Cimahi rata-rata sebesar 1905,8 lux, sangat jauh bila dibandingkan
dengan rata - rata intensitas cahaya di kawasan Sungai Cihanjuang
yang sebesar 121637,5 lux. Faktor yang mempengaruhi diantaranya
kondisi naungan, waktu pengamatan, dan cuaca sesuai dengan rona
lingkungan yang diamati. Perbedaan intensitas cahaya kedua
kawasan ditampilkan pada Gambar 3.2.1.1.
160000
140000 121637.5
120000
100000
80000
lux

60000
40000
20000 1905.8
0
-20000 Curug Cimahi Sungai Cihanjuang

-40000
Lokasi Pengamatan

Gambar 3.2.1.1 Perbandingan Intensitas Cahaya


Kelembaban di kawasan Curug Cimahi rata- rata sebesar
94,9167% sedangkan di kawasan Sungai Cihanjuang rata – rata
sebesar 66, 625%. Faktor yang mempengaruhi kelembaban
diantaranya suhu, tekanan udara, angin, vegetasi, dan jumlah air di
wilayah tersebut (Handoko, 1986). Banyaknya vegetasi, jumlah air,
dan rendahnya suhu membuat kelembaban di Curug Cimahi tinggi.
Kondisi Sungai Cihanjuang yang panas dan cenderung kering
membuat kelembaban di daerah tersebut rendah. Kelembaban di
kedua tempat ditunjukkan pada Gambar 3.2.1.2.
120 94.9166666
7
100
80 66.625
%

60
40
20
0
Curug Cimahi Sungai Cihanjuang
Lokasi Pengamatan

Gambar 3.2.1.2 Perbandingan Kelembaban Udara


Rata – rata suhu udara di kawasan Curug Cimahi mencapai
17,1°C sedangkan rata- rata di kawasan Sungai Cihanjuang
mencapai 29,85°C. Suhu udara dipengaruhi oleh perbedaan waktu
pengamatan serta kondisi vegetasi. Perbedaan suhu udara di kedua
tempat ditunjukkan pada Gambar 3.2.1.3.
4.2 29.8545454
5
30.1
25.1
20.1 17.1
°C

15.1
10.1
5.1
0.1
Curug Cimahi Sungai Cihanjuang
Lokasi Pengamatan

Gambar 3.2.1.3 Perbandingan Suhu Udara


3.2.2. Parameter Fisika – Kimia Perairan
Parameter fisika –kimia perairan meliputi suhu air, warna
air, bau air, konduktivitas, kadar DO, pH air, arus air, dan TDS-TSS.
Rata-rata suhu air di Curug Cimahi yaitu sebesar 16,35°C sedangkan
rata – rata suhu air di Sungai Cihanjuang sebesar 24,86°C. Suhu air
dipengaruhi oleh suhu udara dan intensitas cahaya. Suhu udara dan
intensitas cahaya yang tinggi di Sungai Cihanjuang menyebabkan
suhu air di Sungai Cihanjuang juga tinggi. Sebaliknya suhu udara
dan intensitas cahaya di Curug Cimahi yang rendah menyebabkan
suhu air di Curug Cimahi rendah. Warna air di Curug Cimahi jernih
sedangkan warna air di Sungai Cihanjuang kekuningan dan agak
keruh. Air di Curug Cimahi cenderung tidak berbau sedangkan air
di Sungai Cihanjuang agak berbau. Perbandingan suhu air di kedua
tempat terdapat pada Gambar 3.2.2.1. Suhu, warna dan bau air di
Curug Cimahi dikategorikan skala 1 sedangkan di Sungai
Cihanjuang dikategorikan skala 3 pada skor penentuan status
ekologis.
30
24.8625
25

20 16.357142
86
°C

15

10

0
Curug Cimahi Sungai Cihanjuang
Lokasi

Gambar 3.2.2.1 Perbandingan Suhu Air


Konduktivitas merupakan kemampuan air untuk
menghantarkan listrik karena kandungan garam terlarut yang
terionisasi di air (Gray, 2004). Konduktivitas di Curug Cimahi rata
– rata sebesar 165,075 µmhos/cm sedangkan konduktivitas di
Sungai Cihanjuang rata - rata sebesar 310,666 µmhos/cm.
Konduktivitas di Curug Cimahi dan Sungai Cihanjuang
dikategorikan dalam skala 6 pada skor penentuan status ekologis.
Perbandingan konduktivitas di kedua tempat terdapat pada Gambar
3.2.2.2.
400
310.6662
350
5
(µmhos/cm) 300

250

200 165.075
150

100

50

0
Curug Cimahi Sungai Cihanjuang
Lokasi

Gambar 3.2.2.2 Perbandingan Konduktivitas


Kadar DO (dissolved oxygen) sangat penting bagi ekosistem
perairan karena oksigen sangat dibutuhkan oleh biota perairan untuk
respirasi (Wetzel, 2001). Kadar DO di Curug Cimahi rata – rata
sebesar 10,35 ppm sedangkan di Sungai Cihanjuang rata – rata
sebesar 7,706 ppm. Kadar DO berbanding terbalik dengan suhu air
(Wetzel, 2001). Hal tersebut sesuai dengan perbandingan grafik
suhu air dan grafik kadar DO, yaitu suhu Curug Cimahi yang rendah
mempengaruhi kadar DO di Curug Cimahi sehingga kadar DO-nya
tinggi, dan sebaliknya pada Sungai Cihanjuang. Berdasarkan pada
skor penentuan status ekologis, kadar DO di Curug Cimahi dan
Sungai Cihanjuang dikategorikan dalam skala 1. Perbandingan
kadar DO di kedua tempat terdapat pada Gambar 3.2.2.3.
12
10.35
10

7.70625
8

ppm
6

0
Curug Cimahi Sungai Cihanjuang
Lokasi

Gambar 3.2.2.3 Perbandingan Kadar DO


Derajat keasaman pada air (pH) berperan penting terhadap
kehidupan biota air serta mempengaruhi kelarutan bahan kimia dan
logam berat pada air (USGS, 2013). pH optimum untuk daerah
perairan berkisar antara 6.5 hingga 8 (EPA, 2012). Rata – rata pH di
Curug Cimahi yaitu 6,875 sedangkan rata – rata pH di Sungai
Cihanjuang sebesar 6,705. Berdasarkan pada skor penentuan status
ekologis, pH di Curug Cimahi dan Sungai Cihanjuang dikategorikan
dalam skala 1. Perbandingan pH di kedua tempat terdapat pada
Gambar 3.2.2.4.
6.95
6.9 6.875
6.85
6.8
6.75 6.705
pH

6.7
6.65
6.6
6.55
6.5
Curug Cimahi Sungai Cihanjuang
Lokasi

Gambar 3.2.2.4 Perbandingan pH


Kondisi arus air mempengaruhi kondisi perairan di daerah
tersebut. Arus air di Curug Cimahi memiliki kecepatan rata – rata
sekitar 0.314 m/s sedangkan arus air di Sungai Cihanjuang memiliki
kecepatan rata- rata 0,222 m/s. Semakin cepat pergerakan air
mempengaruhi kandungan DO air. Grafik arus air sesuai dengan
grafik kandungan DO, yaitu Curug Cimahi lebih tinggi
dibandingkan dengan Sungai Cihanjuang. Perbandingan arus air di
kedua tempat terdapat pada Gambar 3.2.2.5.
0.35 0.3140398
75
0.3
0.2221196
0.25 36
0.2
m/s

0.15

0.1

0.05

0
Curug Cimahi Sungai Cihanjuang
Lokasi

Gambar 3.2.2.5 Perbandingan Arus Air


Kadar TSS (Total suspended solid) adalah jumlah total
padatan yang tidak dapat larut dalam air dan TDS (Total Dissolved
Solid) adalah jumlah total padatan yang larut dalam air. Keduanya
merupakan indikator pencemaran air. Semakin besar TSS dan TDS
dapat diartikan bahwa perairan tersebut tercemar. Pada daerah
Curug Cimahi, rata - rata kadar TSS sebesar -300 mg/L sedangkan
di daerah Sungai Cihanjuang, rata – rata TSS sebesar 3950 mg/L.
Pada daerah Curug Cimahi, rata - rata kadar TDS sebesar 1500 mg/L
sedangkan di daerah Sungai Cihanjuang, rata – rata TDS sebesar
10200 mg/L. Terdapat hasil perhitungan yang minus dapat
disebabkan oleh faktor seperti perbedaan akurasi timbangan yang
digunakan. Kadar TDS berbanding lurus dengan konduktivitas
karena dissolved solid seperti garam akan menjadi ion bila terlarut
dalam air dan mempengaruhi konduktivitas. Berdasarkan
perbandingan grafik konduktivitas dan grafik TDS, didapatkan hal
yang sama yaitu di Sungai Cihanjuang lebih tinggi daripada di
Curug Cimahi. Perbandingan TDS - TSS di kedua tempat terdapat
pada Gambar 3.2.2.6.
14000

12000
10200
10000

8000
mg/L

6000
3950
4000
1500
2000

0
TDS -300TSS
-2000

Curug Cimahi Sungai Cihanjuang

Gambar 3.2.2.6 Perbandingan TDS-TSS

3.3. Penentuan Status Ekologis Sungai


Status ekologis sungai didasarkan pada parameter fisika – kimia berupa
warna air, suhu air, bau air, konduktivitas, kadar DO, pH serta indeks
keanekaragaman makrozoobenthos (H’) yang telah disesuaikan dengan skala
yang ada. Skor variabel warna, suhu, bau, kadar DO, pH, dan indeks
keanekaragaman makrozoobenthos di Curug Cimahi masing – masing yaitu 1,
sedangkan skor variabel konduktivitas di Curug Cimahi yaitu 6. Rata – rata
dari variabel tersebut yaitu sebesar 1,714. Skor variabel warna, suhu, bau, dan
indeks keanekaragaman makrozoobenthos di Sungai Cihanjuang masing –
masing yaitu 3, skor variabel konduktivitas di Curug Cimahi yaitu 6, dan skor
variabel pH dan kadar DO masing – masing 1. Rata – rata dari variabel tersebut
yaitu sebesar 2,857.
Bila skor rata – rata dibawah 2,00 berarti status ekologis sungai tersebut
belum atau sedikit tercemar, maka status ekologis Curug Cimahi yaitu belum
atau sedikit tercemar karena nilai 1,714 dibawah 2,00. Daerah di Curug Cimahi
masih terjaga serta letaknya jauh dari pemukiman warga. Selain itu, di daerah
tersebut merupakan tempat wisata yang dikelola oleh pihak terkait dan hanya
terdapat 1 warung dan 1 toilet sehingga tidak terlalu banyak pencemaran yang
ada di Curug Cimahi. Bila skor rata – rata antara 2,00 – 4,00 berarti status
ekologis sungai tersebut tercemar ringan, maka status ekologis Sungai
Cihanjuang yaitu tercemar ringan karena nilai 2,857 diantara 2,00 – 4,00.
Daerah Sungai Cihanjuang dekat dengan pemukiman warga sehingga banyak
aktivitas yang dilakukan di sungai tersebut dan pencemaran oleh limbah rumah
tangga. Selain itu, kondisi Sungai Cihanjuang yang terik dan tidak ada naungan
membuat kondisi Sungai Cihanjuang semakin buruk.

3.4. Fenomena Sungai di Daerah Sapaan


Sungai yang terdapat di daerah Sapaan termasuk anak sungai dari Sungai
Citarum. Di sungai tersebut terdapat floodplain yang cenderung luas dan
terdapat banyak tanaman yang tumbuh di floodplain tersebut. Hal tersebut
disebabkan oleh erosi yang terjadi di daerah sungai yang memiliki orde lebih
kecil, kemudian komponen – komponen erosi tersedimentasi pada sungai
dengan orde yang lebih besar sehingga terbentuk floodplain yang cukup luas.
Selain itu, sungai tersebut melewati kawasan industri dan pertanian sehingga
kandungan logam berat serta nutrien N, P, K menjadi tinggi. Hal tersebut yang
menyebabkan banyaknya tanaman pada daerah floodplain. Tanaman yang
tumbuh di daerah floodplain tersebut dapat menjadi agen fitoremediasi dengan
menyerap logam berat pada air. Agen remediasi yang lain yaitu bendungan.
Sungai Citarum melewati 3 bendungan yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata,
dan Waduk Jatiluhur pada perjalanannya. Bendungan dapat menjadi agen
remediasi karena air yang seharusnya mengalir menjadi diam pada waktu yang
lama. Selama air tersebut diam, terjadi pengendapan partikel ke dasar
bendungan, sehingga ketika air keluar dari bendungan, air menjadi lebih
bersih.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari kuliah lapangan proyek ekologi ini adalah sebagai berikut.
1. Status ekologis dari Curug Cimahi yaitu belum atau sedikit tercemar dan status
ekologis dari Sungai Cihanjuang yaitu tercemar ringan.
2. Kerapatan makrozoobenthos di Curug Cimahi dan Sungai Cihanjuang dapat
dilihat pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2. Keanekaragaman
makrozoobenthos di Curug Cimahi dan Sungai Cihanjuang yaitu sebesar 2,044
dan 1,695.
3. Kondisi faktor abiotik di Curug Cimahi dan Sungai Cihanjuang cenderung
berbanding terbalik. Selain itu, faktor abiotik mempengaruhi kondisi biotik
dan abiotik di Curug Cimahi dan Sungai Cihanjuang.
4. Kondisi perairan di Curug Cimahi cenderung berarus lebih cepat, bersih, dan
debit air besar. Kondisi perairan di Sungai Cihanjuang cenderung berarus
pelan, tercemar, floodplain sempit dan debit air kecil. Kondisi perairan di
sungai daerah Sapaan cenderung berarus tenang, floodplain lebar.
DAFTAR PUSTAKA
EPA. (2012). Total Alkalinity. In Water: Monitoring and Assessment.
Diakses pada 1 Oktober 2018.
Google Earth. (2018). Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Di akses pada 1
Oktober 2018.
Gordon, D. et al. (2004). Stream Hydrology - An Introduction for ECOLOGISTE.
Chichester, West Sussex: John Wiley & Sons.p. 108-109
Gray, J. R. (2004). Conductivity Analyzers and Their Application. Pada: R. D.
Down & J. H. Lehr, eds. Environmental Instrumentation and Analysis
Handbook. Hoboken, New Jersey: Wiley, p. 491–510.
Handoko, A. (1986). Pengantar Unsur-unsur Cuaca di Stasiun Klimatologi
Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press.
Hardjosuwarno, A. (1990). Dasar-Dasar Ekologi Tumbuhan. Yogyakarta: Fakultas
Biologi UGM.
Martins, R., Stephan, N. & Alves, R. (2008). Tubificidae (Annelida: Oligochaeta)
as an indicator of water quality in an urban stream in southeast Brazil. Acta
Limnol. Bras, 20(3), p. 221 - 226.
Norton, A. M. & D, H. (2002). An Introduction to Benthic Macroinvertebrates.
Diakses pada 1 Oktober 2018.
Pawitan, Hidayat. (2018). Land Use Changes and Their Impacts on Watershed
Hydrology. Diakses pada 1 Oktober 2018.
USGS. (2013). Water Properties: pH. In The USGS Water Science School.
Diakses pada 1 Oktober 2018.
Wetzel, R. G. (2001). Limnology: Lake and River Ecosystems. 3rd ed. San Diego:
Academic Press.

Anda mungkin juga menyukai