Anda di halaman 1dari 35

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN

KOOPERATIF DAN KOLABORATIF

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pembelajaran Biologi Abad 21 yang


Dibina oleh
Prof. Dra. Herawati Susilo, M. Sc. Ph.D dan
Rifka Fachrunnisa, S.Pd., M.Ed.

Oleh:
Kelompok VI
Aushofusy Syarifah A 150341606815
Christine Apriyani 150341600023
Iqbal Bilgrami 150341606676

UNIVERSTAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
Desember 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat dan karunia yang Allah SWT berikan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengembangan
Pembelajaran Kooperatif Dan Kolaboratif”. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad
SAW, karena beliau kita dapat mempelajari ilmu pengetahuan seperti saat ini.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Pembelajaran Biologi Abad 21. Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini, antara lain:
1. Prof. Dra. Herawati Susilo, M. Sc. Ph.D dan Rifka Fachrunnisa, S.Pd., M.Ed., M. Pd.
selaku dosen pembina matakuliah Pembelajaran Biologi Abad 21
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan makalah ini.
Semoga semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan bernilai ibadah disisi
Allah SWT. Penulis berusaha untuk menyusun makalah ini dengan sebaik mungkin dan
menyadari tentu ada kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun guna perbaikan makalah ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Malang, 6 Desember 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 3
1.3 Tujuan .................................................................................................... 3
1.4 Manfaat ................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pembelajaran Kooperatif
2.1.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif ................................................. 5
2.1.2 Tujuan Pembelajaran Kooperatif ....................................................... 6
2.1.3 Unsur dasar Pembelajaran Kooperatif ............................................... 6
2.1.4 Kelebihan Pembelajaran Kooperatif.................................................. 9
2.1.5 Kelemahan Pembelajaran Kooperatif ................................................ 9
2.1.6 Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif ...................................... 10
2.1.7 Tipe-tipe Pembelajaran Kooperatif ................................................... 10
2.2 Pembelajaran Kolaboratif
2.2.1 Pengertian Pembelajaran Kolaboratif ................................................. 13
2.2.2 Karakteristik Pembelajaran Kolaboratif ........................................... 16
2.2.3 Tujuan Pembelajaran Kolaboratif...................................................... 17
2.2.4 Pentingnya Pembelajaran Kolaboratif ............................................... 19
2.2.5 Langkah-langkah Pembelajaran Kolaboratif .................................... 23
2.2.6 Kekurangan dan Kelebihan Pembelajaran Kolaboratif ..................... 26
2.2.7 Kendala Pembelajaran Kolaboratif.................................................... 27
BAB III PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................. 28
B. Saran ....................................................................................................... 28
DAFTAR RUJUKAN ......................................................................................... 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan arus globalisasi telah membawa perubahan di
semua aspek kehidupan manusia. Dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan yang
ditimbulkan, persaingan global dsn proses demokratisasi, sangat diperlukan sumber daya manusia
yang berkualitas melalai pembaharuan sistem pendidikan yang bebasis kompetensi, demokratis
dan berwawasan local dengan tetap memperhatikan standar nasional. Era globalisasi menuntut
suatu Negara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya agar mampu bersaing di
kancah internasiona. Oleh sebab itu masing-masing individu dituntut mengembangkan keahlian
serta memperluas wawasan guna meningkatkan kualitas diri.

Pembahuruan-pembahuruan dalam bidang pendidikan harus selalu dilakukan untuk


meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Salah satu pembaharuan tersebut adalah
dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang bersifat konvensional saat ini masih banyak
digunakan, padahal sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang ada.
Pembahuruan harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran itu sendiri dan pada
akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Usaha-usaha guru dalam membelajarkan siswa merupakan bagian yang sangat penting dalam
mencapai keberhasilan tujuan pembelajaran yang sudah direncanakan.Oleh karena itu pemilihan
berbagai metode, strategi, pendekatan serta tehnik pembelajan merupakan suatu hal yang utama.
Menurut Wardhani (2005), model pembelajaran adalah pedoman berupa program atau petunjuk
strategi mengajar yang dirancang untuk mencapai suatupembelajaran.Pedoman itu memuat
tanggung jawab guru dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan
pembelajaran.

Pembelajaran yang terpusat pada guru mengakibatkan peserta didik kurang aktif, oleh karena
itu perlu digeser sedemikian rupa sehingga menjadi lebih terpusat pada peserta didik. Demikian
pula adanya asumsi bahwa seluruh peserta didik di kelas mempunyai karakteristik sama membawa
konsekuensi pada pemberian perlakuan belajar yang serba sama pula pada mereka, sehingga
mengurangi kesempatan mereka untuk berkembang sesuai perbedaan yang dimilikinya. Menurut
Murphy, seorang psikolog kenamaan, berpandangan bahwa proses belajar terjadi karena adanya

1
interaksi antara organisme yang dasarnya bersifat individual dengan lingkungan khusus tertentu
(Suryabrata, 2002). Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan guru adalah
pembelajaran kooperatif dan kolaboratif.

Erikson dalam Seifert (1991) memberikan alternatif bagaimana mewujudkan pembelajaran


yang baik.Pertama, berikan tugas dan aktivitas yang diinginkan dan yang dapat dikerjakannya.
Tingkatkan semangatnya dengan jalan mengurangi tingkat kompetisi dan yakinkan bahwa setiap
peserta didik mampu menyelesaikannya. Sampaikan pesan bahwa semua peserta didik dalah
pemenang. Kedua, kuatkan usaha dan ketekunannya bagi peserta didik yang mengalami kesulitan,
bantu peserta didik tersebut sehingga terpecahkan masalah pertamanya 1kemudian pastikan ia
berkonsentrasi pada masalah berikutnya sampai selesai. Saran erikson tersebut bukan berarti
bahwa kompetisi sama sekali harus dihilangkan, namun kompetisi seharusnya hanya digunakan
sewajarnya (sparingly) dan pada kondisi yang cocok (Johnson dan Johnson, 1987). Kompetisi
yang tidak diberikan pada kondisi yang cocok akan mengakibatkan rasa rendah diri (inferiority)
pada peserta didik yang tidak berhasil dalam tugas. Kompetisi kelas dapat dilakukan pada dua
kondisi berikut. Pertama, pada klas yang memiliki motivasi dan kemampuan yang sama dan,
kedua, hasil-hasil kompetisi tidak perlu dianggap terlalu serius. Kalau dua kondisin ini tidak
dipenuhi, maka peserta didik akan enggan dan mungkin menolak untuk untuk mengerjakan tugas-
tugas dikemudian hari (Seifert, 1991).

Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan


adanya kelompok-kelompok. Setiap siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat
kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah) dan jika memungkinkan anggota
kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender.
Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan
untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Sedangkan pembelajaran kolaborasi adalah suatu strategi pembelajaran di mana para siswa dengan
variasi yang bertingkat bekerjasama dalam kelompok kecil kearah satu tujuan. Dalam kelompok
ini para siswa saling membantu antara satu dengan yang lain. Jadi situasi belajar kolaboratif ada
unsur ketergantungan yang positif untuk mencapai kesuksesan.

2
Belajar kolaboratif menuntut adanya modifikasi tujuan pembelajaran dari yang semula sekedar
penyampaian informasi menjadi konstruksi pengetahuan oleh individu melalui belajar kelompok.
Dalam belajar kolaboratif, tidak ada perbedaan tugas untuk masing-masing individu, melainkan
tugas itu milik bersama dan diselesikan secara bersama tanpa membedakan percakapan belajar
siswa.

Secara fisik belajar kolaboratif tak ada beda bentuk maupun formulanya dengan belajar
kooperatif, yang membedakan terletak pada intensitas interaksi, isi kegiatan dan implikasi yang
ditimbulkannya bagi setiap anggota kelompok belajar yaitu adanya rasa saling ketergantungan dan
tanggungjawab yang ditopang oleh kemandirian dari setiap individu yang terlibat dalam belajar
melalui interaksi sosial.

1.2 Rumusan masalah


Dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka memunculkan beberapa rumusan
masalah, diantaranya yaitu :
1. Bagaimana pengertian pembelajaran kooperatif?
2. Bagaimana tujuan pembelajaran kooperatif?
3. Bagaimana unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif?
4. Bagaimana kelebihan dan kekurangan pembelajaran kooperatif?
5. Bagaimana langkah-langkah pembelajaran kooperatif?
6. Bagaimana tipe-tipe pembelajaran kooperatif?
7. Bagaimana pengertian pembelajaran kolaboratif ?
8. Bagaimana karakteristik pembelajaran Kolaboratif?
9. Bagaimana tujuan pembelajaran kolaboratif?
10. Bagaimana peranan dan pentingnya pembelajaran kolaboratif dalam pembelajaran?
11. Bagaimana langkah-langkah pembelajaran kolaboratif?
12. Bagaimana kekurangan dan kelebihan pembelajaran kolaboratif?
13. Bagaimana kendala-kendala pembelajaran kolaboratif?

1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka terdapat beberapa tujuan,
diantaranya yaitu :

3
1. Untuk mengetahui pengertian pembelajaran kooperatif.
2. Untuk mengetahui tujuan pembelajaran kooperatif.
3. Untuk mengetahui unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif.
4. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pembelajaran kooperatif.
5. Untuk mengetahui langkah-langkah pembelajaran kooperatif.
6. Untuk mengetahui tipe-tipe pembelajaran kooperatif.
7. Untuk mengetahui pengertian pembelajaran kolaboratif.
8. Untuk mengetahui karakteristik pembelajaran Kolaboratif.
9. Untuk mengetahui tujuan pembelajaran kolaboratif.
10. Untuk mengetahui peranan dan pentingnya pembelajaran kolaboratif dalam pembelajaran.
11. Untuk mengetahui langkah-langkah pembelajaran kolaboratif.
12. Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan pembelajaran kolaboratif.
13. Untuk mengetahui kendala-kendala pembelajaran kolaboratif

1.4 Manfaat
Dari tujuan yang telah dikemukakan diatas, maka terdapat beberapa manfaat, diantaranya
yaitu :
1. Sebagai bahan bacaan dalam rangka menambah pengetahuan tentang Pembelajaran
Kooperatif;
2. sebagai bahan bacaan dalam rangka menambah pengetahuan tentang Pembelajaran
Kolaboratif.

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pembelajaran Kooperatif
2.1.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh
siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan. Menurut Slavin (2005) pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran
dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok kelompok kecil secara kolaboratif yang
anggotanya 5 orang dengan struktur kelompok heterogen. Sedangkan menurut Sunal dan Hans
(2002) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu cara pendekatan atau
serangkaian strategi yang khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada siswa agar bekerja
sama selama proses pembelajaran.
Cooperative learning menurut Slavin (2005) merujuk pada berbagai macam model
pembelajaran di mana para siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari
berbagai tingkat prestasi, jenis kelamin, dan latar belakang etnik yang berbeda untuk saling
membantu satu sama lain dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif, para siswa
diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan, dan berargumentasi untuk mengasah
pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-
masing. Cooperative learning lebih dari sekedar belajar kelompok karena dalam model
pembelajaran ini harus ada struktur dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif sehingga
memungkinkan terjadi interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat
interdependensi efektif antara anggota kelompok.
Lie (2007) menguraikan model pembelajaran kooperatif ini didasarkan pada falsafah homo
homini socius. Berlawanan dengan teori Darwin, filsafat ini menekankan bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Dialog interaktif (interaksi sosial) adalah kunci seseorang dapat menempatkan
dirinya di lingkungan sekitar. Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang
menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang anggotanya bersifat heterogen, terdiri
dari siswa dengan prestasi tinggi, sedang, dan rendah, perempuan dan laki-laki dengan latar
belakang etnik yang berbeda untuk saling membantu dan bekerja sama mempelajari materi
pelajaran agar belajar semua anggota maksimal.

5
2.1.2 Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Slavin (2005) mengemukakan tujuan yang paling penting dari model pembelajaran kooperatif
adalah untuk memberikan para siswa pengetahuan, konsep, kemampuan, dan pemahaman yang
mereka butuhkan supaya bisa menjadi anggota masyarakat yang bahagia dan memberikan
kontribusi. Tujuan pembelajaran kooperatif juga dapat menciptakan norma-norma yang
proakademik di antara para siswa, dan norma pro-akademik memiliki pengaruh yang amat penting
bagi pencapaian siswa.
Pada dasarnya model cooverative learning dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya
tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum Ibrahim, dkk. (2000) yaitu:
a. Hasil belajar akademik : pembelajaran ini meningkatkan kinerja peserta didik dalam tugas-
tugas akademik. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini juga unggul dalam membantu
peserta didik memahami konsep-konsep yang sulit.
b. Penerimaan terhadap perbedaan individu : pembelajaran ini dapat meningkatkan penerimaan
yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, maupun
ketidakmampuan serta engajarkan untuk saling menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan keterampilan sosial : pembelajaran ini mengajarkan kepada peserta didik
keterampilan kerjasama dan kolaborasi, keterampilan ini penting karena banyak anak muda dan
orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial.

2.1.3 Unsur-unsur Dasar dalam Pembelajaran Kooperatif


Lundgren (1994) mengemukakan unsur-unsur dalam pembelajaran kooperatif sebagai
berikut:
a. para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama”;
b. para siswa harus me miliki tanggung jawab terhadap siswa atau siswa lain dalam kelompoknya,
selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi;
c. para siswa harus berpendapat bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama;
d. para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para anggota kelompok;
e. para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap
evaluasi kelompok;
f. para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama
selama belajar;

6
g. setiap siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani
dalam kelompok kooperatif.
David, dkk. (2000) mengatakan bahwa tidak semua belajar kelompok bisa dianggap
pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model
pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah sebagai berikut.
a. Positive interdependence (saling ketergantungan positif) Unsur ini menunjukkan bahwa dalam
pembelajaran kooperatif ada dua pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan
yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu
mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.
b. Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan) Pertanggungjawaban ini muncul jika
dilakukan pengukuran terhadapkeberhasilan kelompok. Tujuan pembelajaran kooperatif
membentuk semua anggota kelompok menjadi pribadi yang kuat. Tanggungjawab
perseorangan adalah kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar
bersama. Artinya, setelah mengikuti kelompok belajar bersama, anggota kelompok harus dapat
menyelesaikan tugas yang sama.
c. Face to face promotive interaction (interaksi promotif) Unsur ini penting karena dapat
menghasilkan saling ketergantungan positif. Ciri–ciri interaksi promotif adalah saling
membantu secara efektif dan efisien, saling memberikan informasi dan sarana yang diperlukan,
memproses informasi bersama secara lebih efektif dan efisien, saling mengingatkan, saling
membantu dalam merumuskan dan mengembangkan argumentasi serta meningkatkan
kemampuan wawasan terhadap masalah yang dihadapi, saling percaya, dan saling memotivasi
untuk memperoleh keberhasilan bersama.
d. Interpersonal skill (komunikasi antaranggota) Untuk mengkoordinasikan kegiatan siswa dalam
pencapaian tujuan siswa harus adalah saling mengenal dan mempercayai, mampu
berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius, saling menerima dan saling mendukung, serta
mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.
e. Group processing (pemrosesan kelompok) Pemrosesan mengandung arti menilai. Melalui
pemrosesan kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan
kegiatan dari anggota kelompok. Siapa di antara anggota kelompok yang sangat membantu dan
siapa yang tidak membantu. Tujuan pemrosesan kelompok adalah meningkatkan efektivitas

7
anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan
kelompok. Ada dua tingkat pemrosesan yaitu kelompok kecil dan kelas secara keseluruhan.
Pembelajaran kooperatif memiliki beberapa tingkat antara lain sebagai berikut (Lungdren,
1994):
a. Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal :
Keterampilan kooperatif tingkat awal meliputi beberapa aktivitas meliputi: Menggunakan
kesepakatan yaitu menyamakan pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubungan kerja
dalam kelompok. Menghargai kontribusi yang berarti memperhatikan atau mengenal apa yang
dapat dikatakan atau dikerjakan anggota lain. Mengambil giliran dan berbagi tugas yang
mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok bersedia menggantikan dan bersedia
mengemban tugas/tanggungjawab tertentu dalam kelompok. Berada dalam kelompok yaitu
setiap anggota tetap dalam kelompok kerja selama kegiatan berlangsung.
Berada dalam tugas yaitu meneruskan tugas yang menjadi tanggungjawabnya, agar
kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu yang dibutuhkan. Mendorong partisipasi yangi berarti
mendorong semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok.
Mengundang orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi terhadap tugas. Menyelesaikan tugas
dalam waktunya Menghormati perbedaan individu Menghormati perbedaan individu berarti
bersikap menghormati terhadap budaya, suku, ras atau pengalaman dari semua siswa atau
peserta didik.
b. Keterampilan Kooperatif Tingkat Menengah
Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan simpati,
mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dapat diterima, mendengarkan dengan arif,
bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengorganisir, dan mengurangi ketegangan.
c. Keterampilan Kooperatif Tingkat Mahir
Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan cermat,
menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.
Isjoni (2009) menguraikan bahwa pada pembelajaran kooperatif yang diajarkan adalah
keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya,
seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau
tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah
mencapai ketuntasan.

8
2.1.4 Kelebihan Pembelajaran Kooperatif
Sadker dalam Huda (2011) menjabarkan beberapa kelebihan pembelajaran kooperatif.
Selain meningkatkan keterampilan kognitif dan afektif siswa, pembelajaran kooperatif juga
memiliki kelebihan lain seperti berikut :
a. siswa yang diajari dengan dan dalam struktur-struktur kooperatif akan memperoleh hasil
belajaryang lebih tinggi;
b. siswa yang berpartisipasi dalam pembelajaran kooperatif akan memiliki sikap harga-diri
yang lebih tinggi dan motivasi yang lebih besar untuk belajar;
c. dengan pembelajaran kooperatif, siswa menjadi lebih peduli pada teman-temannya, dan di
antara mereka akan terbangun rasa ketergantungan yang positif (interdependensi positif)
untuk proses belajar mereka nanti;
d. pembelajaran kooperatif meningkatkan rasa penerimaan siswa terhadap teman-temannya
yang berasal dari latar belakang ras dan etnik yang berbeda-beda.

2.1.5 Kelemahan Pembelajaran Kooperatif


Kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam
(intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut:
a. guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih
banyak tenaga, pemikiran dan waktu;
b. agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat
dan biaya yang cukup memadai;
c. selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan
yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan;
d. saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang
lain menjadi pasif.
Slavin (2005) mengemukakan bahwa ketiga kendala ini bisa diatasi jika guru mampu
melakukan beberapa faktor sebagai berikut 1) mengenakan sedikit banyak karakteristik dan level
kemampuan siswanya, 2) selalu menyediakan waktu khusus untuk mengetahui kemajuan setiap
siswanya dengan mengevaluasi mereka secara individual setelah bekerja kelompok, dan yang
paling penting 3) mengintegrasikan metode yang satu dengan metode yang lain.

9
2.1.6 Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif
Suprijono (2009) memaparkan sintak model pembelajaran kooperatif terdiri dari enam fase
sebagai berikut.
Fase 1 : Present goals and set : guru menyampaikan dan menjelaskan tujuan dan mempersiapkan
siswa belajar
Fase 2 :Present information : guru menyajikan informasi kepada siswa secara verbal
Fase 3 : Organize students into learning teams : guru mengorganisir siswa ke dalam tim-tim belajar
Fase 4 : Assist team work and studeny : guru membantu tim belajar selama siswa mengerjakan
tugasnya
Fase 5 : Test on the materials : guru mengevaluasi dan menguji pengetahuan siswa mengenai
berbagai materi pembelajaran atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya
Fase 6 : Provide recognition : guru memberikan pengakuan atau penghargaan terhadap usaha dan
prestasi individu maupun kelompok

2.1.7 Tipe-Tipe Pembelajaran Kooperatif


Model pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa pendekatan yang lebih dikenal
dengan tipe-tipe pembelajaran kooperatif. Menurut Arends (2001) yaitu;
a. Student Teams Achievement Division (STAD)
b. Group Investigation
c. Jigsaw
d. Structural Approach
Sedangkan dua pendekatan lain yang dirancang untuk kelas rendah adalah;
a. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) : digunakan pada pembelajaran
membaca dan menulis pada tingkatan 2-8 (setingkat TK sampai SD).
b. Team Accelerated Instruction (TAI) digunakan pada pembelajaran matematika untuk
tingkat 3-6 (setingkat TK)
Masing-masing tipe dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut:
a. Student Teams Achievement Division (STAD)
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin
dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Guru yang

10
menggunakan STAD, juga mengacu kepada belajar kelompok siswa, menyajikan informasi
akademik baru kepada siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam
suatu kelas tertentu dipecah menjadi kelompok dengan anggota 4-5 orang, setiap kelompok
haruslah heterogen, terdiri dari laki-laki dan perempuan, berasal dari berbagai suku, memiliki
kemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
Anggota tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk
menuntaskan materi pelajarannya dan kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami
bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, satu sama lain dan atau melakukan diskusi secara individual
setiap minggu atau setiap dua minggu siswa diberi kuis. Kuis itu diskor, dan tiap individu diberi
skor perkembangan. Skor perkembangan ini tidak berdasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi
berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor yang lalu. Setiap minggu pada
suatu lembar penilaian singkat atau dengan cara lain, diumumkan tim-tim dengan skor tertinggi,
siswa yang mencapai skor perkembangan tinggi, atau siswa yang mencapai skor sempurna pada
kuis-kuis itu. Kadang-kadang seluruh tim yang mencapai kriteria tertentu dicantumkan dalam
lembar itu.
b. Investigasi Kelompok
Investigasi kelompok mungkin merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling
kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini dikembangkan pertama kali oleh Thelan.
Siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang dipelajari maupun bagaimana jalannya
penyelidikan mereka. Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih rumit
daripada pendekatan yang lebih terpusat pada guru. Dalam penerapan investigasi kelompok ini
guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 5 atau 6 siswa yang heterogen.
Dalam beberapa kasus, kelompok dapat dibentuk dengan mempertimbangkan keakraban
persahabatan atau minat yang sama dalam topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk
diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang dipilih itu. Selanjutnya
menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas.
c. Pendekatan Struktural
Pendekatan ini dikembangkan oleh Spencer Kagen dan kawan-kawannya. Meskipun
memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan lain, namun pendekatan ini memberi penekanan
pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa.
Struktur tugas yang dikembangkan oleh Kagen ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap

11
struktur kelas tradisional, seperti resitasi, di mana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh
kelas dan siswa memberi jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk. Struktur yang
dikembangkan oleh Kagen ini menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil
dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif, daripada penghargaan individual. Ada struktur
yang dikembangkan untuk meningkatkan perolehan isi akademik, dan ada struktur yang dirancang
untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok. Dua macam struktur yang
terkenal adalah think-pair-share dan numbered-head-together, yang dapat digunakan oleh guru
untuk mengajarkan isi akademik atau untuk mengecek pemahaman siswa terhadap isi tertentu.
Sedangkan active listening dan time token, merupakan dua contoh struktur yang dikembangkan
untuk mengajarkan keterampilan sosial.
d. Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman
di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John
Hopkins (Arends, 2001). Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran
kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas
penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengarjarkan bagian tersebut kepada anggota lain
dalam kelompoknya Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran
kooperatif, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara
heterogen dan bekerjasama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas
ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut
kepada anggota kelompok yang lain. Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab
siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain.
Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap
memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain, dengan
demikian siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif
untuk mempelajari materi yang ditugaskan (Lie, 1994).
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi
(tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada
mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim/kelompok asal untuk menjelaskan kepada
anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan
tim ahli. Pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok

12
ahli. Kelompok asal, yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan,
asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari
beberapa ahli. Kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang
berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan
tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota
kelompok asal. Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama
dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing
anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut.
Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan
mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di
kelompok ahli.
Jigsaw didesain selain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa secara mandiri juga
dituntut saling ketergantungan yang positif (saling memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya.
Selanjutnya di akhir pembelajaran, siswa diberi kuis secara individu yang mencakup topik materi
yang telah dibahas. Kunci tipe Jigsaw ini adalah interdependensi setiap siswa terhadap anggota
tim yang memberikan informasi yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan kuis
dengan baik.

2.2 Pembelajaran Kolaboratif


2.2.1 Pengertian Pembelajaran Kolaboratif
Pembelajaran kolaboratif dapat didefinisikan sebagai filsafat pembelajaran yang
memudahkan para siswa bekerjasama, saling membina, belajar dan berubah bersama, serta maju
bersama pula. Inilah filsafat yang dibutuhkan dunia global saat ini. Bila orang-orang yang berbeda
dapat belajar untuk bekerjasama di dalam kelas, di kemudian hari mereka lebih dapat diharapkan
untuk menjadi warganegara yang lebih baik bagi bangsa dan negaranya, bahkan bagi seluruh
dunia. Akan lebih mudah bagi mereka untuk berinteraksi secara positif dengan orang-orang yang
berbeda pola pikirnya, bukan hanya dalam skala lokal, melainkan juga dalam skala nasional
bahkan mondial. (Utomo Dananjaya,2012:139).
Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan
praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology for instruction),
pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif para siswa dan meminimisasi perbedaan-

13
perbedaan antar individu. Pembelajaran kolaboratif telah menambah momentum pendidikan
formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, yaitu :
1. Realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas kolaboratif dalam
kehidupan di dunia nyata.
2. Menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan pembelajaran
bermakna.
Ide pembelajaran kolaboratif bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar.
Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis
sebuah buku “Democracy and Education” yang isinya bahwa kelas merupakan cermin masyarakat
dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang
utama tentang pendidikan (Jacob et al., 1996), adalah:
1. Siswa hendaknya aktif, learning by doing.
2. Belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik.
3. Pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap.
4. Kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa.
5. Pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling
menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting.
6. Kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata dan bertujuan
mengembangkan dunia tersebut.
Metode kolaboratif didasarkan pada asumsi-asumsi mengenai siswa proses belajar sebagai
berikut (Smith & MacGregor, 1992) :
1. Belajar itu aktif dan konstruktif
Untuk mempelajari bahan pelajaran, siswa harus terlibat secara aktif dengan bahan itu.
Siswa perlu mengintegrasikan bahan baru ini dengan pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya. Siswa membangun makna atau mencipta sesuatu yang baru yang terkait
dengan bahan pelajaran.
2. Belajar itu bergantung konteks
Kegiatan pembelajaran menghadapkan siswa pada tugas atau masalah menantang yang
terkait dengan konteks yang sudah dikenal siswa. Siswa terlibat langsung dalam
penyelesaian tugas atau pemecahan masalah itu.
3. Siswa itu beraneka latar belakang

14
Para siswa mempunyai perbedaan dalam banyak hal, seperti latar belakang, gaya belajar,
pengalaman, dan aspirasi. Perbedaan-perbedaan itu diakui dan diterima dalam kegiatan
kerjasama, dan bahkan diperlukan untuk meningkatkan mutu pencapaian hasil bersama
dalam proses belajar.
4. Belajar itu bersifat sosial
Proses belajar merupakan proses interaksi sosial yang di dalamnya siswa membangun
makna yang diterima bersama.
Menurut Piaget dan Vigotsky, Strategi pembelajaran kolaboratif didukung oleh adanya tiga
teori, yaitu :
1. Teori Kognitif
Teori ini berkaitan dengan terjadinya pertukaran konsep antar anggota kelompok pada
pembelajaran kolaboratif sehingga dalam suatu kelompok akan terjadi proses
transformasi ilmu pengetahuan pada setiap anggota.
2. Teori Konstruktivisme Sosial
Pada teori ini terlihat adanya interaksi sosial antar anggota yang akan membantu
perkembangan individu dan meningkatkan sikap saling menghormati pendapat semu
anggota semua kelompok.
3. Teori Motivasi
Teori ini teraplikasi dalam struktur pembelajaran kolaboratif karena pembelajaran
tersebut akan memberikan lingkungan yang kondusif bagi siswa untuk belajar, menambah
keberanian anggota untuk memberi pendapat dan menciptakan situasi saling memerlukan
pada seluruh anggota dalam kelompok.

Piaget dengan konsepnya “active learning” berpendapat bahwa para siswa belajar lebih baik
jika mereka berpikir secara kelompok, menurut pikiran mereka maka oleh sebab itu menjelaskan
sebuah pekerjaan lebih baik menampilkan di depan keras. Piaget juga berpendapat bila suatu
kelompok aktif klompok tersebut akan melibatkan yang lain untuk berpikir bersama, sehingga
dalam belajar lebih menarik (Smith, B.L. and Mac Gregor, 2004).

15
2.2.2 Karakteristik Pembelajaran Kolaboratif
Myers (1991) memandang collaborative learning sebagai pembelajaran yang berorientasi
"transaksi" ditinjau dari sisi metodologi. Orientasi itu memandang pembelajaran sebagai dialogue
antara pebelajar dengan pebelajar, pebelajar dengan pembelajar, pebelajar dengan masyarakat dan
lingkungannya. Para pebelajar dipandang sebagai pemecah masalah. Perspektif ini memandang
mengajar sebagai " percakapan" di mana para pembelajar dan para pebelajar belajar bersama-sama
melalui suatu proses negosiasi. Proses negosiasi dalam pola belajar kolaborasi memiliki 6
karakteristik, yakni (1) tim berbagi tugas untuk mencapai tujuan pembelajaran, (2) diantara
anggota tim saling memberi masukan untuk lebih memahami masalah yang dihadapi, (3) para
anggota tim saling menanyakan untuk lebih mengerti secara mendalam, (4) tiap anggota tim
menguasakan kepada anggota lain untuk berbicara dan memberi masukan, (5) kerja tim
dipertanggungjawabkan ke (orang) yang lain, dan dipertanggung-jawabkan kepada dirinya sendiri,
dan (6) diantara anggota tim ada saling ketergantungan. (Mustaji 2010)
Ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan dalam pola belajar kolaboratif, yakni peran
pebelajar dan peran pembelajar (Panitz,1996). Peran pebelajar yang harus dikembangkan adalah
(1) mengarahkan, yaitu menyusun rencana yang akan dilaksanakan dan mengajukan alternatif
pemecahan masalah yang dihadapi, (2) menerangkan, yaitu memberikan penjelasan atau
kesimpulan-kesimpulan pada anggota kelompok yang lain, (3) bertanya, yaitu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan informasi yang ingin diketahui, (4) mengkritik, yaitu
mengajukan sanggahan dan mempertanyakan alasan dari usulan/ pendapat/pernyataan yang
diajukan, (5) merangkum, yaitu membuat kesimpulan dari hasil diskusi atau penjelasan yang
diberikan, (6) mencatat, yaitu membuat catatan tentang segala sesuatu yang terjadi dan diperoleh
kelompok, dan (7) penengah, yaitu meredakan konflik dan mencoba meminimalkan ketegangan
yang terjadi antara anggota kelompok.
Dalam kerja kolaboratif, pebelajar berbagi tanggung-jawab yang digambarkan dan yang
disetujui oleh tiap anggota. Persetujuan itu meliputi (1) kesanggupan untuk menghadiri, kesiapan
dan tepat waktu untuk memenuhi kerja tim, (2) diskusi dan perselisihan paham memusatkan pada
masalah yang dipecahkan dengan menghindarkan kritik pribadi, dan (3) ada tanggung jawab tugas
dan menyelesaikannya tepat waktu. Pebelajar boleh melaksanakan tugas, sesuai dengan
pengalaman mereka sendiri meskipun sedikit pengalaman dibanding anggota lainnya yang penting
dapat berpikir jernih/baik sesuai dengan kapabilitasnya.

16
Peran-peran yang harus dihindari oleh pebelajar adalah:
(1) free-rider, yaitu membiarkan teman-temannya melakukan tugas tim, tanpa berusaha ikut serta
memberikan kontribusi dalam proses kolaborasi;
(2) sucker, yaitu tidak ikut serta memberikan kontribusinya karena tidak bersedia membagi
pengetahuan yang dimilikinya;
(3) mendominasi, yaitu menguasai jalannya proses penyelesaian tugas, sehingga kontribusi
anggotatim yang lain tidak optimal;
(4) ganging up on task, yaitu cenderung menghindari tugas dan hanya menunjukkan sedikit usaha
untuk menyelesaikannya;
Dalam pembelajaran kolaborasi, pembelajar tidak lagi memberikan ceramah di depan kelas,
tapi dapat berperan seperti:
(1) fasilitator, dengan menyediakan sarana yang memperlancar proses belajar; mengatur
lingkungan fisik, memberikan atau menunjukkan sumber-sumber informasi, menciptakan iklim
kondusif yang dapat mendorong pebelajar memiliki sikap dan tingkah laku tertentu, dan
merancang tugas;
(2) model, secara aktif berupaya menjadi contoh dalam melakukan kegiatan belajar efektif, seperti
mencontohkan penggunaan strategi belajar atau cara mengungkapkan pemikiran secara verbal
(think aloud) yang dapat membantu proses konstruksi pengetahuan;
(3) pelatih (coach), memberikan petunjuk, umpan balik, dan pengarahan terhadap upaya belajar
pebelajar. Pebelajar tetap mencoba memecahkan masalahnya sebelum memperoleh masukan
pengajar. (Mustaji 2010)

2.2.3 Tujuan Pembelajaran Kolaborasi


Dalam penerapan pembelajaran kolaborasi, terdapat pergeseran peran si belajar (MacGregor,
2005) :
1. Dari pendengar, pengamat dan pencatat menjadi pemecah masalah yang aktif, pemberi
masukan dan suka diskusi.
2. Dari persiapan kelas dengan harapan yang rendah atau sedang menjadi ke persiapan kelas
dengan harapan yang tinggi.
3. Dari kehadiran pribadi atau individual dengan sedikit resiko atau permasalahan menjadi
kehadiran publik dengan banyak resiko dan permasalahan.

17
4. Dari pilihan pribadi menjadi pilihan yang sesuai dengan harapan komunitasnya.
5. Dari kompetisi antar teman sejawat menjadi kolaborasi antar teman sejawat.
6. Dari tanggung jawab dan belajar mandiri, menjadi tanggung jawab kelompok dan belajar
saling ketergantungan.
7. Dahulu melihat guru dan teks sebagai sumber utama yang memiliki otoritas dan sumber
pengetahuan sekarang guru dan teks bukanlah satu-satunya sumber belajar. Banyak
sumber belajar lainnya yang dapat digali dari komunitas kelompoknya.
Menurut Dananjaya (2012),Tujuan Pembelajaran Kolaboratif dalam pembelajaran adalah:
a. Melatih Kejasama antar siswa.
b. membiasakan siswa bekerja dalam tim.
c. Menganalisis gagasan.
Gokhale mendefinisikan bahwa “collaborative learning” mengacu pada metode pengajaran
di mana siswa dalam satu kelompok yang bervariasi tingkat kecakapannya bekerjasama dalam
kelompok kecil yang mengarah pada tujuan bersama. Pengertian kolaborasi sendiri yaitu:
1) Keohane berpendapat bahwa kolaborasi adalah bekerja bersama dengan yang lain, kerja
sama, bekerja dalam begian satu team, dan di dalamnya bercampur didalam satu kelompok
menuju keberhasilan bersama.
2) Patel berpendapat bahwa kolaborasi adalah suatu proses saling ketergantungan fungsional
dalam mencoba untuk keterampilan koordinasi, to coordinate skills, tools, and rewards.
Dari pengertian kolaborasi yang diungkapkan oleh berbagai ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pengertian belajar kolaborasi adalah suatu strategi pembelajaran di mana para siswa dengan
variasi yang bertingkat bekerjasama dalam kelompok kecil kearah satu tujuan. Dalam kelompok
ini para siswa saling membantu antara satu dengan yang lain. Jadi situasi belajar kolaboratif ada
unsur ketergantungan yang positif untuk mencapai kesuksesan.
Belajar kolaboratif menuntut adanya modifikasi tujuan pembelajaran dari yang semula
sekedar penyampaian informasi menjadi konstruksi pengetahuan oleh individu melalui belajar
kelompok. Dalam belajar kolaboratif, tidak ada perbedaan tugas untuk masing-masing individu,
melainkan tugas itu milik bersama dan diselesikan secara bersama tanpa membedakan percakapan
belajar siswa. Dari uraian diatas, kita bisa mengetahui hal yang ditekankan dalam belajar
kolaboratif yaitu bagaimana cara agar siswa dalam aktivitas belajar kelompok terjadi adanya
kerjasama, interaksi, dan pertukaran informasi.

18
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pembelajaran kolaboratif adalah sebagai
berikut :
1. Memaksimalkan proses kerjasama yang berlangsung secara alamiah di antara para siswa.
2. Menciptakan lingkungan pembelajaran yang berpusat pada siswa, kontekstual,
terintegrasi, dan bersuasana kerjasama.
3. Menghargai pentingnya keaslian, kontribusi, dan pengalaman siswa dalam kaitannya
dengan bahan pelajaran dan proses belajar.
4. Memberi kesempatan kepada siswa menjadi partisipan aktif dalam proses belajar.
5. Mengembangkan berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah.
6. Mendorong eksplorasi bahan pelajaran yang melibatkan bermacam-macam sudut
pandang.
7. Menghargai pentingnya konteks sosial bagi proses belajar.
8. Menumbuhkan hubungan yang saling mendukung dan saling menghargai di antara para
siswa, dan di antara siswa dan guru.
9. Membangun semangat belajar sepanjang hayat.

2.2.4 Peranan dan Pentingnya Tim dalam Pembelajaran Kolaborasi


McCahon & Lavelle, (1998) menyarankan agar dalam collaborative learning, kelas dibagi
ke dalam beberapa tim dan tiap tim ditugasi untuk melakukan riset sederhana, kemudian dievaluasi
dan didiskusikan kembali di dalam kelas. Tim yang dimaksud adalah: “a group of two to five
students who are tied together by a common purpose to complete a task and to include every group
member” (Dishon dan O’Leary, 1994). Dalam konteks ini, Benne and Seats (1991) menegaskan
bahwa premis mayor dalam suatu tim adalah bahwa setiap orang dalam tim tersebut harus
berfungsi sebagai pemain yang kolaboratif dan produktif untuk menuju tercapainya hasil yang
diinginkan. Dengan sangat menekankan pentingnya kohesivitas, Duin, Jorn, DeBower, dan
Johnson (1994) mendefinisikan “collaboration” sebagai suatu proses di mana dua orang atau lebih
merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kegiatan bersama.
Konsep “tim” dengan segala aspeknya ini harus benar-benar dipahami oleh pebelajar.
Kurangnya pemahaman tentang konsep ini dapat berakibat kurangnya kesadaran akan pentingnya
kerjasama, tidak dapat memprioritaskan tujuan tim daripada tujuan individu, dan pada gilirannya
dapat berakibat berbuat kesalahan dalam menyelenggarakan pertemuan, mengabaikan batas waktu

19
penyelesaian pekerjaan tim, kurang penuh dalam bertanggungjawab, serta kurang dapat bekerja
secara efisien (Ravenscroft dan Buckless,1995).
Dalam pembentukan tim, jumlah anggota, sifat, dan kompleksitas pekerjaan merupakan
faktor kunci. Mengenai berapa orang sebaiknya jumlah anggota dalam ternyata ada berbagai
pendapat. Secara umum, para ahli merekomendasikan agar pembentukan tim dalam kelas
sebaiknya terdiri dari tiga sampai dengan lima orang (Howard, 1999). Namun, ia menegaskan
bahwa untuk permulaan latihan pengembangan keterampilan kolaborasi sebaiknya para
pembelajar memperkenalkannya dengan kelompok kecil lebih dulu, sekitar dua sampai tiga orang
dalam satu kelompok. Tujuan utamanya agar pebelajar familiar bekerja/belajar secara kolaborasi
dengan orang lain. Untuk kegiatan semacam riset/investigasi yang ditindaklanjuti dengan
pembuatan laporan dan menyajikannya di kelas, Howard (1999) menyarankan sebaiknya tim
terdiri dari tiga sampai dengan lima orang agar dapat bekerja secara efektif. Ia juga menyarankan
jumlah anggota sebaiknya gasal, jangan genap agar kalau suatu saat terjadi konflik dapat diatasi
dengan voting dalam penyelesaiannya.
Selain jumlah pebelajar yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan suatu tim, Bowen
(1998) mengingatkan bahwa keragaman latar belakang pebelajar juga perlu diperhatikan dan latar
belakang mana yang akan lebih diberikan tekanan. Misalnya, kualitas perspektif pebelajar dalam
memandang berbagai persoalan, jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Namun, Bowen (1998)
menekankan bahwa tujuan kegiatan merupakan faktor utama untuk mempertimbangkan
pembentukan tim. Untuk kegiatan jangka pendek, seperti kegiatan di kelas bagi pebelajar yang
tujuan utamanya adalah latihan bekerja secara kolaboratif dalam tim, pemilihan anggota tim cukup
dilakukan secara acak. Sebaliknya, jika tujuan tim dimaksudkan untuk menelusuri kesempatan
karir di berbagai instansi atau perusahaan, maka pemilihan anggota tim akan lebih tepat didasarkan
atas minat karir yang sejenis.
Setiap tim harus memiliki seorang ketua untuk memimpin pertemuan atau rapat, menjadi
penghubung antara tim dengan pembelajar, dan melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan
lainnya. Ketua tim juga harus bekerjasama dengan pembelajar untuk menangani setiap masalah
yang muncul dan memerlukan bantuan pembelajar. Sangat boleh jadi suatu tim menghadapi suatu
konflik atau masalah yang tidak dapat diatasi sendiri oleh anggota timnya sehingga terpaksa harus
melibatkan pembelajar dalam memecahkannya. Namun demikian, menurut Bowen (1998) penting
untuk ditekankan bahwa apa sebenarnya inti konflik atau masalah yang dihadapi, mengapa hal itu

20
bisa terjadi, dan bagaimana mengatasinya, sebaiknya didiskusikan oleh anggota tim lebih dahulu
tanpa buru-buru mengundang campur tangan pembelajar agar pebelajar terbiasa mengenali dengan
cermat dan mampu mengatasi secara efektif setiap masalah atau konflik yang dihadapi oleh
timnya.
Bisa jadi anggota tim lupa terhadap detail pekerjaan penting yang harus ditanganinya. Oleh
sebab itu, akan sangat berguna jika pembelajar memberikannya dalam bentuk tulisan semacam
handout dalam membimbing pebelajar melakukan kegiatan-kegiatan tim secara kolaboratif.
Berikut sejumlah strategi yang diajukan oleh Howard (1999) untuk membantu tim memfokuskan
pada tugas pokok yang harus dikerjakannya:
1. Membagikan secara tertulis petunjuk pelaksanaan kegiatan yang dikerjakan oleh tim. Petunjuk
itu dibuat detail agar pebelajar tidak mengalami kebingungan dalam melaksanakannya. Dengan
cara demikian, pebelajar tidak hanya menyandarkan pada ingatan semata atau catatan-catatan
yang dibuat tiap anggota tim.
2. Membuat schedule untuk penyelesaian tugas sementara yang di dalamnya meliputi: tanggal
penyelesaian kegiatan, kartu catatan, dan garis besar penyusunan laporan. Jika schedule telah
disusun, misalnya untuk melaksanakan riset perpustakaan, melakukan berbagai keterampilan di
kelas yang berbeda bersama pembelajar dari disiplin ilmu yang berbeda, atau melakukan
pertemuan di tempat lain di luar kelas, semua itu harus dicantumkan di dalam schedule.
3. Mendiskusikan dengan pebelajar dan memberikan fotokopi lembaran evaluasi yang dapat
digunakan untuk menilai aspek-aspek kegiatan tim. Ini berguna untuk membantu pebelajar
memahami bagaimana menyelesaikan kegiatannya dengan baik dan benar.
4. Mengusahakan setiap anggota tim memiliki buku catatan kegiatan yang dibagi ke dalam bagian-
bagian guna mengorganisasikan kegiatan yang harus diselesaikan. Lembaran tugas, petunjuk
pelaksanaan kegiatan, dan schedule kegiatan harus dilekatkan di bagian depan buku catatan
pebelajar
Pembagian tanggungjawab yang dilakukan oleh pembelajar secara kurang bijaksana dapat
mengurangi keberhasilan pola kerja kolaborasi. Seringkali orang berpendapat bahwa pembagian
kerja anggota tim sebaiknya didasarkan pada penguasaan keterampilan yang telah dimiliki
sebelumnya. Misalnya, suatu tim yang beranggotakan tiga orang, di mana satu orang mahir dalam
mengoperasikan komputer, satu orang lagi memiliki kelebihan dalam melakukan riset, dan seorang
lagi memiliki kelebihan dalam menyusun laporan kegiatan. Kedengarannya memang ideal jika

21
pembagian tugas disesuaikan dengan penguasaan yang telah dimiliki tiap anggota tim tersebut.
(Mustadji, 2010)
Menurut Davis dan Miller (1996), pembagian tugas semacam itu sesungguhnya mengandung
kelemahan serius karena pebelajar tidak terlatih menguasai dan menyelesaikan pekerjaan dalam
lingkup yang lebih luas yang sebenarnya dituntut secara kompetitif manakala nanti sudah
memasuki dunia kerja. Akibatnya, pebelajar menyimpan kelemahan dan keterbatasan kesempatan
untuk memperoleh atau meningkatkan kompetensi lainnya yang juga penting. Atas dasar itu, Davis
dan Miller (1996) menyarankan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dalam bekerja secara
kolaboratif seharusnya setiap anggota tim menerima tanggungjawab tidak hanya pada tugas-tugas
yang mereka sudah memiliki keterampilan atau penguasaan, melainkan juga pada tugas-tugas yang
belum mereka kuasai sambil belajar dan meningkatkan keterampilannya selama menyelesaikan
kegiatan dengan anggota timnya.
Lingkungan dunia kerja modern memerlukan orang-orang yang mampu menghargai
pentingnya tanggungjawab, bukan saja dari tim secara keseluruhan melainkan juga dari tiap-tiap
personel dalam tim tersebut. Oleh sebab itu, menjadi sangat penting penghargaan terhadap
tanggungjawab tersebut untuk dikembangkan secara maksimal kepada pebelajar sebagai persiapan
sebelum memasuki dunia kerja. Pengembangan tanggungjawab ini, menurut Bowen (1998), dapat
dirancang dan dikembangkan secara langsung oleh pembelajar atau melalui kesepakatan tim atau
bisa juga melalui konsensus antara pembelajar dengan pebelajar. Hal terpenting adalah apapun
bentuk proses yang ditempuh dalam membangun tanggung jawab itu, para anggota tim harus
memahami betul bahwa mereka bertanggungjawab terhadap semua pertemuan yang
diselenggarakan oleh tim, memberikan sumbangan terhadap kegiatan diskusi dalam tim, dan
menyelesaikan tugas-tugas tim secara baik dan tepat waktu. (Utomo Dananjaya 2012:142)
Jika seorang pebelajar terpaksa tidak dapat hadir dalam suatu pertemuan tim, maka dia
berkewajiban memberitahu ketua tim atau anggota tim lainnya tentang penyebab
ketidakhadirannya itu. Cara ini harus dibiasakan agar tetap terjaga rasa tanggungjawab terhadap
tim (Alexander & Stone,1997). Bahkan, jika memungkinkan, meskipun seorang pebelajar tidak
dapat hadir dalam pertemuan tim, tetapi harus mengirimkan gagasan-gagasannya secara tertulis,
laporan tertulis, dan/atau tugas-tugas yang telah diselesaikannya sehingga dapat dibahas dalam
pertemuan tim. Setelah pertemuan tim selesai, pebelajar yang tidak hadir tersebut juga harus
mengontak lagi ketua tim atau anggota tim lainnya untuk mendapatkan informasi tentang hasil

22
diskusi selama pertemuan tim atau barangkali ada kertas kerja atau tulisan yang dapat di (McCahon
& Lavelle, 1998).

2.2.5 Langkah-langkah Pembelajaran Kolaboratif


Dalam pembelajaran kolaboratif agar pelaksanaan pembelajaran menjadi bermakna yaitu
harus melewati langkah-langkah Berikut ini: Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan
belajar dan membagi tugas sendiri-sendiri. Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi,
dan menulis.
1. Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi, mendemontrasikan,
meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-jawaban tugas atau masalah
dalam LKS atau masalah yang ditemukan sendiri.
2. Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah, masing-masing
siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap.
3. Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya diupayakan agar semua
kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan presentasi hasil diskusi kelompok
kolaboratifnya di depan kelas, siswa pada kelompok lain mengamati, mencermati,
membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi. Kegiatan ini dilakukan
selama lebih kurang 20-30 menit.
4. Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan elaborasi, inferensi, dan
revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan dikumpulan.
5. Laporan masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang telah dikumpulkan, disusun
perkelompok kolaboratif.
6. Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada pertemuan berikutnya,
dan didiskusikan.
Keterampilan yang dibutuhkan oleh peserta yang berpartisipasi dalam model pembelajaran
kolaboratif adalah:
1. Pembentukan kelompok
2. Bekerja dalam satu kelompok
3. Pemecahan masalah kelompok
4. Manajemen perbedaan kelompok

23
Menurut Reid (2004) untuk menggembangkan collaborative learning ada lima tahapan yang
harus dilakukan, yaitu:
1. Engagement
Pada tahap ini, pengajar melakukan penilaian terhadap kemampuan, minat, bakat dan
kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Lalu, siswa dikelompokkan yang di
dalamnya terdapat siswa terpandai, siswa sedang, dan siswa yang rendah prestasinya.
2. Exploration
Setelah dilakukan pengelompokkan, lalu pengajar mulai memberi tugas, misalnya dengan
memberi permasalahan agar dipecahkan oleh kelompok tersebut. Dengan masalah yang
diperoleh, semua anggota kelompok harus berusaha untuk menyumbangkan kemampuan
berupa ilmu, pendapat ataupun gagasannya.
3. Transformation
Dari perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing siswa, lalu setiap anggota
saling bertukar pikiran dan melakukan diskusi kelompok. Dengan begitu, siswa yang
semula mempunyai prestasi rendah, lama kelamaan akan dapat menaikkan prestasinya
karena adanya proses transformasi dari siswa yang memiliki prestasi tinggi kepada siswa
yang prestasinya rendah.
4. Presentation
Setelah selesai melakukan diskusi dan menyusun laporan, lalu setiap kelompok
mempresentasikan hasil diskusinya. Pada saat salah satu kelompok melakukan presentasi,
maka kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut,
dan menanggapi.
5. Reflection
Setelah selesai melakukan presentasi, lalu terjadi proses Tanya-jawab antar kelompok.
Kelompok yang melakukan presentasi akan menerima pertanyaan, tanggapan ataupun
sanggahan dari kelompok lain. Dengan pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain,
anggota kelompok harus bekerjasama secara kompak untuk menanggapi dengan baik.
Brandt (2004) menekankan adanya lima elemen dasar yang dibutuhkan agar kerjasama
dalam proses pembelajaran dapat sukses, yaitu :
1. Possitive interdependence (saling ketergantungan positif)

24
Yaitu siswa harus percaya bahwa mereka adalah proses belajar bersama dan mereka peduli
pada belajar siswa yang lain. Dalam pembelajaran ini setiap siswa harus merasa bahwa ia
bergantung secara positif dan terikat dengan antarsesama anggota kelompoknya dengan
tanggung jawab menguasai bahan pelajaran dan memastikan bahwa semua anggota
kelompoknya pun menguasainya. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain juga
tidak sukses.
2. Verbal, face to face interaction (interaksi langsung antarsiswa)
Yaitu hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan adanya komunikasi verbal
antarsiswa yang didukung oleh saling ketergantungan positif. Siswa harus saling
berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar. Siswa juga harus
menjelaskan, berargumen, elaborasi, dan terikat terhadap apa yang mereka pelajari
sekarang untuk mengikat apa yang mereka pelajari sebelumnya.
3. Individual accountability (pertanggungjawaban individu)
Yaitu setiap kelompok harus realis bahwa mereka harus belajar. Agar dalam suatu
kelompok siswa dapat menyumbang, mendukung dan membantu satu sama lain, setiap
siswa dituntut harus menguasai materi yang dijadikan pokok bahasan. Dengan demikian
setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari pokok bahasan dan
bertanggung jawab pula terhadap hasil belajar kelompok.
4. Social skills (keterampilan berkolaborasi)
Yaitu keterampilan sosial siswa sangat penting dalam pembelajaran. Siswa dituntut
mempunyai keterampilan berkolaborasi, sehingga dalam kelompok tercipta interaksi yang
dinamis untuk saling belajar dan membelajarkan sebagai bagian dari proses belajar
kolaboratif. Siswa harus belajar dan diajar kepemimpian, komunikasi, kepercayaan,
membangun dan keterampilan dalam memecahkan konflik.
5. Group processing (keefektifan proses kelompok)
Yaitu kelompok harus mampu menilai kebaikan apa yang mereka kerjakan secara bersama
dan bagaimana mereka dapat melakukan secara lebih baik. Siswa memproses keefektifan
kelompok belajarnya dengan cara menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbang
belajar dan mana yang tidak serta membuat keputusan-keputusan tindakan yang dapat
dilanjutkan atau yang perlu diubah.
Tiga pola pengelompokkan, yaitu :

25
a. The two-person group (tutoring)
Yaitu satu orang ditugasi mengajar yang lain. Jadi, siswa dapat berperan sebagai pengajar
yang disebut tutor, sedangkan siswa yang lain disebut tutee.
b. The small group (interactive recitation; discussion)
Adalah cara penyampaian baha pelajaran di mana guru memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternative
pemecahan masalah.
c. Small or large group (recitation)
Yaitu suatu metode mengajar dan pengajar memberikan tugas untuk mempelajari sesuatu
kepada pembelajar, kemudian melaporkan hasilnya. Tugas-tugas yang diberikan oleh
pengajar dapat dilaksanakan di rumah, sekolah, perpustakaan, laboratorium, atau di tempat
lain.
Karakteristik dalam belajar kolaboratif adalah :
1. Siswa belajar dalam satu kelompok dan memiliki rasa ketergantungan dalam proses
belajar, penyelesaian tugas kelompok mengharuskan semua anggota bekerja bersama.
2. Interaksi intensif secara tatap muka antar anggota kelompok.
3. Masing-masing siswa bertanggung jawab terhadap tugas yang telah disepakati.
4. Siswa harus belajar dan memiliki ketrampilan komunikasi interpesonal.
5. Peran guru sebagai mediator.
6. Adanya sharing pengetahuan dan interaksi antara guru dan siswa, atau siswa dan siswa.
7. pengelompokkan secara heterogen.

2.2.6 Kekurangan Dan Kelebihan Pembelajaran Kolaboratif


a. Kelebihan
1. Siswa belajar bermusyawarah
2. Siswa belajar menghargai pendapat orang lain
3. Dapat mengembangkan cara berpikir kritis dan rasional
4. Dapat memupuk rasa kerja sama
5. Adanya persaingan yang sehat

26
b. Kekurangan
1. Pendapat serta pertanyaan siswa dapat menyimpang dari pokok persoalan.Membutuhkan
waktu cukup banyak.
2. Adanya sifat-sifat pribadi yang ingin menonjolkan diri atau sebaliknya yang lemah merasa
rendah diri dan selalu tergantung pada orang lain.
3. Kebulatan atau kesimpulan bahan kadang sukar dicapai. (Utomo Dananjaya,2012:139).

2.2.7 Kendala Pembelajaran Kolaboratif


Kendala atau masalah yang timbul, meliputi fasilitas penunjang pembelajaran dengan PBM,
resistensi pembelajar, resistensi pebelajar, dan informasi yang diperoleh dilakukan untuk
melakukan perbaikan dari sisi perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran. Hasil
Pengujian Model Pembelajaran Kolaborasi Gokhale (1995), menemukan bahwa kelompok
pebelajar yang belajar dengan pola belajar kolaborasi lebih tinggi prestasi belajarnya dibanding
kelompok pebelajar yang belajar secara kompetitif.
Penyebab belum optimalnya kegiatan pembelajaran yaitu karena 3 hal, yakni (1) pembelajar
kurang mampu menyelenggarakan proses pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan
perkembangan di bidang teknologi pembelajaran, (2) pembelajar keliru dalam memandang proses
pembelajaran, dan (3) pembelajar menggunakan konsep-konsep pembelajaran yang tidak relevan
dengan perkembangan teknologi pembelajaran (Boud & Feletti,1991). Sistem pembelajaran harus
didesain agar pebelajar mampu berpikir kritis, memecahkan masalah, mandiri (Barrows & Kelson,
2004).

27
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Pembelajaran kolaboratif lebih daripada sekadar kooperatif. Dimana pembelajaran
kooperatif merupakan teknik untuk mencapai hasil tertentu secara lebih cepat, lebih baik,
setiap orang mengerjakan bagian yang lebih sedikit dibandingkan jika semua
dikerjakannya sendiri, sedangkan pembelajaran kolaboratif mencakup keseluruhan proses
pembelajaran, siswa saling mengajar sesamanya. Bahkan bukan tidak mungkin, ada
kalanya siswa mengajar gurunya juga.
2. Pembelajaran kooperatif dan kolaboratif baik digunakan dalam belajar karena dapat
memunculkan softskills pada siswa, seperti cara bergaul, beriteraksi dengan orang lain, hal
ini memberikan pengaruh pada siswa untuk mendapatkan pengetahuan dari orang lain
3. Model Pembelajaran Koperatif tipe STAD merupakan pendekatan Cooperative Learning
yang menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan
saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang
maksimal.
4. Hal yang ditekankan dalam belajar kolaboratif yaitu bagaimana cara agar siswa dalam
aktivitas belajar kelompok terjadi adanya kerjasama, interaksi, dan pertukaran informasi.
disimpulkan bahwa pengertian belajar kolaborasi adalah suatu strategi pembelajaran di
mana para siswa dengan variasi yang bertingkat bekerjasama dalam kelompok kecil kearah
satu tujuan. Dalam kelompok ini para siswa saling membantu antara satu dengan yang lain
5. Di era serba modern ini Pembelajaran kolaboratif sangat cocok diterapkan pada siswa
karena dianggap lebih efisien dibandingkan dengan metode lain, siswa dapat belajar
bermusyawarah, Siswa belajar menghargai pendapat orang lain, Dapat mengembangkan
cara berpikir kritis dan rasional, Dapat memupuk rasa kerja sama, dan adanya persaingan
yang sehat.

3.2 Saran
Karena model pembelajaran kooperatif dan kolaboratif hanya dapat dipakai untuk materi
materi tertentu, maka seorang guru atau seorang calon guru disarankan agar mampu memilih dan
memilah materi mana yang tepat dan cocok yang dapat diterapkan dalam proses belajar agar tidak

28
menyita waktunya juga tidak hanya melibatkan beberapa siswa saja, karena model pembelajaran
kooperatif dan kolaboratif diperlukan keaktifan seluruh siswa. Selain itu alat – alat bantu mengajar
(audio visual, dll) haruslah diusahakan oleh guru atau calon guru yang hendak menerapkan metode
ini, tujuannya untuk memberikan siswa pengalaman langsung.

29
DAFTAR RUJUKAN
Arends, Richard I. 2011. Learning To Teach. New York: McGraw Hill.
David W. J., Roger T. J., and Mary, B. S. (2000). Cooperative Learning Methods: A Meta-
Analysis. University of Minnesota.
Dananjaya, U. 2012.Media Pembelajaran Aktif. Bandung: Nuansa
Erlina. 2012. Pendidikan sejarah. (http://ccs.infospace.com/ClickHandler.ashx?du
file.upi.edu%2fDirektori%2fFPIPS%2fJUR._PEND._SEJARAH%2f196207181986012-
ERLINA_WIJANARTI%2fC) (online) (diakses pada tanggal 2 Desember 2018).
Dwi Priyo Utomo, Model Pembelajaran Kooperatif; Teori Yang Mendasari Dan
Prakteknya Dalam Pembelajaran Di Sekolah Dasar Dan Sekolah Lanjutan Pogram Studi
Pendidikan MatematikaUniversitas Muhammadiyah Malang
Johnson, D.W., Johnson, R. (1975/1999).Learning together and alone: cooperative,
competitive andindividualistic learning. Boston: Allyn &Bacon. First edition, 1975
Johnson, D. & Smith, K. (1987). Academic conflict among students: Controversy
and learning. In R. Feldman (Ed.),Social psychological applications to education.
Cambridge: Cambridge University press.
Johnson, D.W., Johnson, R., Dudley, B. &Acikgoz, K. (1994).Effects of conflict
resolution training on elementary school students. Journal of Social Psychology, 134 (6),
803-817
Johnson, R. T. and Johnson, D. G. (1994).An overview of cooperative learning.In J.
Thousand, A. Villa and A. Nevin (Eds), Creativity and Collaborative Learning. Baltimore,
Maryland: Brookes Press. Also available on the web at:http://www.co-
operation.org/pages/overviewpaper.html
Johnson, D. & Smith, K. (1987). Academic conflict among students: Controversy and
learning. In R. Feldman (Ed.),Social psychological applications to education. Cambridge:
Cambridge University press.
Kitchen, D., & McDougall, D. (1998–1999). Collaborative learning on the Internet.
Journal ofEducational Technology Systems, 27(3), 245–258.
Lang, R.H dan Evans, N.D. (2006). Models strategis, and Methods. New York:person
M. Nafiur Rofiq, pembelajaran koperatif (cooperative learning) dalam pengajaran
pendidikan Agama. Vol. 1 no.1 maret 2010

30
Rahmat aziz, Penggunaan Mdel Pembelajaran Kooperatif Dan Kompetitif Dalam
Mengembangkan Kreativitas Siswa Fakultas Psiklgi dan PGMI Malang.
Retno Dwi Suryanti.2010. Strategi pembelajaran kimia.Yogyakarta :Graha Imu
Sato, Manabu. (2007).tantangan yang harus dihadapi guru. Dalam bacaan rujukan
untuk lesson study: Sisttems (Strengthening In-service Training Of Mathematics and Scinse
Education at junior @secondary level). Dirjen PMPTL-Depdikn as dan JICa
Seifert, Kelvin L. (1991) Education Psychology. Boston : Houghton Miflin Co.
Salvin, R. (1990). Cooperative Learnin, Research and practice. Bolton: Allyn &
Bacon
Smith, B. L., & MacGregor, J. T. (1992) “what is collaborative learning” In
Goodsell, A. S., Maher, M. R., and Tinto, V. (eds), Collaborative learning: A sourcebook
for Higher Education. National Center on Postsecondary Teaching, Learning, &
Assessment, Syracurse University.
Sri Wardhani. (2005). Pembelajaran Matematika Kontekstual. Bahan Ajar Diklat di
PPPG Matematika, Yogyakarta: PPPG Matematika
Suryosubroto, B. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
Unggul Sudarmo,dkk Rencana Pembelajaran Mata Pelajaran Kimia Model STAD,
2004 – Tim Penyusun
Wiersma, W., 2000. Research Methods in Education: An Introduction. 7th Edn.,
Allyn and Bacon, Massachussetts, ISBN: 0-205-15654-1, pp: 311.
Huda, Miftahul. 2011. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Ibrahim, Muhsin dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : University Press.
Isjoni. (2009). Cooperative Learning Mengembangkan Kemampuan Belajar Berkelompok.
Bandung : Alfabeta.
Lie, A. 2007. Cooperative Learning, Mempraktekan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas.
Jakarta : Grasindo.
Lundgren, Linda. 1994. Cooperative learning in the science classroom. Glencoe:
MacMillan/McGraw-Hill.
Matthews.2010.. Building bridges between cooperative and collaborative learning.
(http://www.teachersrock.net) (online) (diakses pada tanggal 2 Desember 2018).

31
Mustadji, Prof,Dr. 2010. Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran
Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi. (http://pasca.tp.ac.id/site/
desain-pembelajaran-dengan-menggunakan-model-pembelajaran-kolaborasi-untuk-
meningkatkan-kemampuan-berkolaborasi) (online) (diakses pada tanggal 2 Desember 2018)
Slavin R. E. 2005. Coopertative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Bandung : Nusa Media.
Sunal dan Hans. 2002. Cooperative Learning. Jakarta : Erlangga.
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning . Yogyakarta : Pustaka Belajar.

32

Anda mungkin juga menyukai