Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN

RESPON HEWAN TERHADAP LINGKUNGAN BIOTIK DAN ABIOTIK


(AKTIFITAS SERANGGA PERKEBUNAN)

Oleh:
Kelompok 2

1. Abdul Roni (12222002)


2. Ayu Pujiastuti (12222017)
3. Bunga Pertiwi (12222018)
4. Asia Astuti (12222013)
5. Desi Ratnasari (12222023)
6. Eli Apriana (12222032)
7. Fini Eka Pramitha (12222037)
8. Fitri Astriawati (12222038)
9. Gestri Rolahnoviza (12222040)

Dosen Pembimbing:
Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG 2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hewan merupakan hewan yang bersifat motil, artinya dapat berjalan dari satu
tempat ke tempat lain. Jenis-jenis hewan tertentu tinggal disuatu lingkungan hidup
yang sesuai dengan cirri-ciri kehidupannya. Sehingga ada yang ada hidup ditanah
disebut dengan terrestrial, di pohon disebut arboreal dan di air dikenal dengan
aquatic. Berpindah atau tidaknya bergantung pada lingkungan.
Organisme yang hidup di alam memiliki tingkat dan jenis kepekaan yang
berbeda-beda terhadap suatu rangsangan. Setiap spesies yang satu dengan spesies
yang lainnya akan memberikan respon (tanggapan) yang berbeda-beda terhadap
suatu rangsangan, hal ini berkaitan erat dengan habitat dan kebiasaan spesies
tersebut. Adanya respon saat terjadinya suatu rangsangan ini merupakan salah
satu cara mahkluk hidup mempertahankan diri terhadap rangsangan itu sendiri.
Pertahanan diri suatu jenis mahkluk hidup ini biasanya dilakukan dengan cara
penyesuaian diri terhadap lingkungan yang mengalami rangsangan. Adaptasi
dilakukan pada lingkungan yang baru, tentu lebih berbeda dari lingkungan habitat
biasanya sebagai lingkungan hidup.
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap kehidupan hewan. Faktor
lingkungan terbagi menjadi dua yaitu: kondisi dan sumber daya. Respon hewan
terhadap kedua faktor ini akan mempengaruhi hewan pada suatu habitat. Dengan
demikian hewan akan melakukan adaptasi untuk menyesuaikan terhadap
lingkungan yang baru.

1.2 Tujuan
Dalam tujuan kegiatan ini mahasiswa diharapkan dapat:
1. Untuk melihat keanekaragaman serangga arboreal pada tanaman kelapa
sawit.
2. Untuk melihat peran ekologis serangga pohon.
3. Mengukur faktor-faktor fisik lingkungan.
1.3 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum, antara lain silinder trap, tali,
mangkok warna kuning.
Bahan yang digunakan dalam praktikum antara lain bunga mawar (Rosa
gallica) kupu-kupu (Appias libythea), pisang (Musa paradisiaca).

1.4 Cara Kerja


1. Metode Silinder Trap
a. Menentukan lahan perkebunan 100x100 meter, kemudian sampel
tanaman dipilih sebanyak 4 pohon secara acak dan pengambilannya
secara sistematik baik diagonal maupun lajur dan baris.
b. Kemudian menyiapkan perangkap berupa mangkok yang berwarna
kuning yang di dalamnya diisi dengan pisang ambon (Musa
paradisiaca) sebagai umpannya.
c. Perangkap disebar sebanyak 1 perangkap perpohon yang dipasang
selama 1x24 jam. Kemudian sampel serangga yang tertangkap dibawa
ke laboratorium.
2. Metode Hand collecting
a. Pengambilan sampel serangga pohon dilakukan dengan menggunakan
koleksi langsung dengan tangan yaitu menggunakan pinset sebagai alat
bantunya. Pengambilan dilaksanakan selama 10 menit per/pohon.
b. Sampel yang didapat di koleksi dalam botol yang sudah diberi alcohol.
Kemudian sampel di identifikasi di laboratorium.
c. Kegiatan di laboratorium meliputi sortir, identifikasi, mounting, dan
labeling.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Respon Hewan


Dalam menanggapi (merespon) perubahan faktor-faktor lingkungan, menurut
karmadibrata (1992) dikenal tiga macam respon dasar hewan untuk menanggapi
kondisi faktor lingkungan, yaitu respons pengaturan, respon penyesuaian dan
respon perkembangan. ketiga macam respon itu beroperasi menurut mekanisme
sistem umpan balik negatif, seperti cara kerja termostat (Sukarsono, 2009).
1. Respon Reversibel
Respon tipe ini berlangsung cepat dan terjadi melalui mekanisme
fisiologi hewan yang menyangkut proses perubahan metabolisme tubuhnya.
contoh dari respon tipe ini adalah adanya perubahan bentuk pupil mata
hewan karena berubahnya intensitas cahaya, gerakan sayap serangga bila
suhu turun, kontraksi hewan bila terkena sentuhan dan lain sebagainya
(Sukarsono, 2009).
2. Respon tak reversibel
Respon perkembangan sifatnya berlangsung lama karena bukan saja
melibatkan terjadinya proses-proses yang banyak macamnya tetapi juga
menyangkut terjadinya perubahan struktur yang lebih banyak pula.
Perwujudan dari respon ini yang berupa perubahan struktur dan morfologi
tertentu sifatnya relatif permanen. contohnya adalah perubahan jumlah mata
faset karena kondisi lingkungan yang bersuhu tinggi (Sukarsono, 2009).

2.2 Respon Individu Hewan Terhadap Perubahan Lingkungan


Menurut Sukarsono (2009), individu melakukan respon terhadap perubahan
lingkungan dengan menggunakan beberapa cara seperti, fisiologis, morfologis dan
perilaku.
1. Respon Fisologis
Banyak organisme mampu untuk beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan dengan membuat penyesuaian fisiologis. contohnya, tubuh kita
jika tubuh kita terdedah oleh udara dingin, maka pembuluh darah diwajah
kita akan mengerut dan akan terasa dingin.
2. Respon Morfologis
Hewan yang memelihara suhu tubuh internal secara tetap disebut
dengan hewan endotermik, dalam lingkungan yang dingin memiliki
kemampuan adaptasi dengan cara meminimalkan energi yang dikeluarkan.
3. Respon Perilaku
Kebanyakan hewan menghadapi perubahan lingkungan dengan cara
bergerak dari satu habitat ke habitat lainnya untuk menghindari bagian yang
tidak cocok.

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respon Hewan


1. Faktor Biotik
Faktor biotik merupakan faktor-faktor hidup semua organisme yang
merupakan bagian dari lingkungan suatu individu (Campbell, 2010).
2. Faktor Abiotik
Faktor abiotik merupakan faktor-faktor tak hidup seperti suhu, cahaya,
air, iklim, sinar matahari dan lain sebagainya (Campbell, 2010).

2.4 Aklimasi dan Adaptasi


Alkimatisasi dan adaptasi merupakan perwujudan respon terhadap
lingkungannya. Aklimatisasi terjadi pada periode ontogeny, reversible, dan tidak
diwariskan. Yang serupa dengan aklimatisasi adalah aklimasi. Perbedaannya
aklimatisasi menyangkut banyak factor alami, aklimasi digunakan untuk satu atau
dua faktor yang terjadi dalam lingkungan terkontrol di laboratorium. Contoh :
respon Rana pipiens berupa laju konsumsi oksigen pada kondisi suhu tertentu
menjadi berbeda setelah mengalami aklimasi, dan perubahan ini tidak langgeng.
Adaptasi melibatkan perubahan yang diakibatkan seleksi alam, bersifat herediter,
dan proses berlangsung meliputi sejumlah besar generasi yang berurutan
(Ginanjar, 2012).
Terdapat tiga macam hasil proses adapatasi pada hewan menurut Ginanjar (2012),
yaitu:
1. Adaptasi fisiologis
Adaptasi fisiologi adalah penyesuaian yang dipengaruhi oleh
lingkungansekitar yang menyebabkan adanya penyesuaian pada alat-alat
tubuh untuk mempertahankan hidup dengan baik. Adaptasi fisiologis
(adaptasi fungsional) adalah seluruh perangkat kemampuan fisiologis untuk
menghadapi kondisi lingkungannya, meliputi proses kimiawi, substansi
kimiawi, enzim, ko-enzim serta hormon yang terlibat pada proses tersebut.
Adapatasi fiologis biasa didukung oleh adaptasi struktural dan perilaku.
2. Adaptasi morfologis
Adaptasi morfologi adalah penyesuaian pada organ tubuh yang
disesuaikan dengan kebutuhan organisme hidup. Contoh: Koral Madrepora
berbeda bentuk pada lingkungan yang berbeda. Adanya kesamaan corak dan
kondisi lingkungan, mungkin menghasilkan bentuk yang serupa pada
berjenis-jenis hewan dari kelompok yang bertaksonomi perkerabatan jauh.
Contoh: berbagai jenis ikan dan mamalia yang hidup di lautan. Adaptasi
struktural menyangkut seluruh aspek hidup hewan. Misal: tipe mulut pada
Insekta dan tipe paruh pada burung sesuai dengan jenis makanannya.
Adapatasi dari berbagai struktur tubuh saling mendukung untuk melakukan
suatu fungsi hidup, misal pada burung karnivor memiliki paruh yang kukuh
dah tajam, penglihatan tajam, daya terbang baik dan kaki bercakar kuat.
Adaptasi tidak hanya menyangkut bentuk dan besar struktur, melainkan juga
warna, pola pewarnaan, dan aspek fenotip lainnya.
Aturan mengenai adaptasi struktural pada hewan:
a. Aturan Bergmann: Hewan yang hidup di suhu tinggi cenderung
bertubuh kecil dibandingkan kerabatnya yang hidup di daerah suhu
rendah.
b. Aturan Allen: Paruh, daun telinga, ekor dan bagian tubuh yang
terjulur lainnya, cenderung lebih pendek pada hewan yang hidup di
daerah bersuhu rendah dibandingkan dengan kerabatnya yang
hidup di daerah bersuhu tinggi.
c. Aturan Gloger: Hewan homoterm di daerah beriklim panas dan
lembab cenderung berpigmen hitam, di daerah kering berpigmen
kuning, coklat dan merah, dan pada daerah dingin pigmen
mengalami reduksi.
d. Aturan Jordan: Jumlah vertebrata pada jenis-jenis ikan di perairan
bersuhu rendah cendurung lebih sedikit dibandingkan dengan di
peraiaran bersuhu tinggi.
e. Sayap dari jenis burung di daerah pegunungan atau beriklim dingin
cenderung berukuran lebih panjang dibandingkan dengan yang di
dataran rendah atau beriklim panas.
3. Respon dan Adaptasi Perilaku
Perilaku hewan merupakan aktivitas terarah berupa respon terhadap
kondisi dan sumber daya lingkungan. Terjadinya suatu perilaku melibatkan
peranan reseptor dan efektor serta koordinasi saraf dan hormon. Jenis
efektor yang paling berperan adalah otot-otot tubuh.
Perilaku pada hewan rendah seluruhnya ditentukan secara genetik,
bersifat khas, terjadi secara otomatis. Pada hewan tinggi banyak
mengandung komponen yang tidak bersifat herediter, melainkan proses
belajar yang dipengaruhi faktor lingkungan. Pada Invertebrata berupa taksis
atau refleks, pada serangga berupa instink dan pada manusia ditentukan oleh
komponen belajar dan menalar.
a. Taksis
Adalah berbagai perilaku Invertebrata dan Vertebrata rendah,
berupa gerakan di tempat maupun berpindah tempat dengan jalan
berkerut, meregang, membelokkan tubuh dan sebagainya. Stimulus
dapat berupa cahaya (foto-), suhu (termo-), sentuhan (tigmo-), arus air
(reo-) dan sebagainya. Respon perilaku hewan mobil yang berupa
gerakan yang terorientasi langsung pada sumber stimulus dan meliputi
gerakan berpindah tempat disebut taksis. Misal termotaksis negatif
atau tigmotaksis positif. Hewan Invertebrata sesil juga perilakunya
terorientasi langsung pada sumber stimulus, hanya memeperlihatkan
gerakan seluruh atau sebagian tubuhnya tanpa berpindah tempat
disebut tropisme. Misal Respon kemotropi negative Hydra terhadap
larutan asam (tentakel dan tubuh mengkerut). Kinesis merupakan
gerakan yang tidak terorientasi langsung pada sumber stimulus dan
dicapainya situasi akhir terjadi melalui gerakan coba-coba. Misal Jenis
Protozoa berpindah tempat karena respon kemikinesis negatif
(Ginanjar, 2012).
b. Refleks
Sejumlah gerakan atau perilaku hewan umumnya berlangsung
secara refleks,meskipun frekuensinya berkurang pada hewan tinggi.
Refleks merupakan gerakanotomatis yang terjadi aakibat
beroperasinya mekanisme reseptor sederhana, dnproporsional
terhadap besarnya stimulus. Pada hewan rendah, berbagai
aktivitaspenting terjadi sebagai seurutan refleks-refleks. Misal pada
lalat. Refleks merupakan salah satu komponen dasar dari perilaku
yang mempunyai nilai kesintasan. Refleks akan menjauhkan hewan
dari kondisi membahayakan dan memanfaatkan sumber daya
lingkungannya (Ginanjar, 2012).
c. Perilaku Naluriah Naluri (instink)
Artinya perilaku atau landasan pendorong yang merupakan
terjadinya perilaku itu. Perilaku naluriah didefinisikan sebagai suatu
perilaku yang rumit, khas spesies, testerotipe, herediter dan terjadi
otomatis oleh induksi stimulus kunci atau stimulus syarat. Respon ini
bersifat tidak proporsional dengan intensitas stimulus. Instink
memerlukan mekanisme saraf, namun yang paling utama karena
timbulnya dorongan (drive) yang timbul karena mencapai status
fisiologis tertentu (motivasi) dengan “mood” yang tepat. Bila
dikombinasikan dengan stimulus sinyal yang tepat dari lingkungan
akan mewujudkan instink. Stimulus isyarat dapat berupa bentuk,
warna, suara/nyanyian, feromon, sentuhan dan sebagainya (Ginanjar,
2012).
d. Belajar
Menurut Ginanjar (2012) belajar merupakan perubahan perilaku
akibat suatu pengalaman, berarti respon terhadap suatu stimulus
tertentu menjadi berubah dibandingkan sebelumnya.Terjadi pada
Vertebrata tinggi, dan paling efektif pada usia muda. Macam-macam
corak belajar:
a). Habituasi (pembiasaan), hewan tidak lagi memberikan
respon pada suatustimulus yang tidak memberikan arti dalam
kehidupannya. Misal: anak hewan menghindari
bunyi/gerakan tiba-tiba, setelah tahu tidak memberikan efek
buruk, maka stimulus tidak diacuhkan lagi.
b). Pengkondisian, suatu stimulus yang tadinya tidak
mengandung arti, setelah melalui pengalaman menjadi
penting, yakni terbinanya kesan hubungan antara stimulus
dengan ganjaran. Misal respon anjing yang diberi stimulus
visual dan auditori.
c). Imprinting (perekaman), perilaku naluriah mengikuti induk.
Misal anak itik yang ditetaskan secara terisolasi, akan terus
mengikuti manusia atau objek bergerak yang pertama kali
dilihatnya.
d). Imitating (meniru), suatu individu dalam kelompok akan
melakukan gerakan atau aktiviatar tertentu (berlari,
bernyanyi, makan dll) yang sama dengan individu lain dalam
kelompok. Terjadi pada hewan yang bersifat gregarious.
e). Trial and Error (coba-coba), eliminasi dari semua stimulus
dan respon, kecuali yang relevan, dengan diperolehnya
ganjaran atau hukuman. Misalnya anak ayam mematuki
sembarang objek, lalu hanya mematuki makanannya saja.
f). Reasoning (menalar), meliputi terjadinya proses pembinaan
suatu kesan hubungan antara objek dengan objek, kejadian
dengan kejadian atau objek dengan kejadian, untuk kemudian
diwujudkan dalam bentuk respon perilaku yang tepat, tanpa
didahului coba-coba. Hanya terjadi pada mamalia tingkat
tinggi, misal lumba-lumba, anjing dan kera. Misal kera yang
terkurung mengambil pisang di luar dengan tongkat. Menalar
atau belajar konsepsional paling baik perkembangannya pada
manusia, karena perkembangan bagian korteks otaknya
paling baik
4. Adaptasi Tingkah Laku
Menurut Ginanjar (2012), makhluk hidup melakukan penyesuaian diri
terhadap lingkungan di sekitar habitat tempat hidupnya tidak terkecuali
manusia. Adaptasi yang dilakukan makhluk hidup bertujuan untuk dapat
bertahan hidup dari kondisi lingkungan yang mungkin kurang
menguntungkan. Di bawah ini adalah merupakan beberapa bentuk adaptasi
tingkah laku (behavioral adaptation) pada binatang/hewan disekitar kita
disertai pengertian dan arti definisi :
a. Mimikri
Mimikri adalah teknik manipulasi warna kulit pada binatang
seperti misalnya bunglon yang dapat berubah-ubah sesuai warna
benda di sekitarnya agar dapat mengelabuhi binatang
predator/pemangsa sehingga sulit mendeteksi keberadaan bunglon
untuk dimangsa. Jika bunglon dekat dengan dedaunan hijau maka dia
akan berubah warna kulit menjadi hijau, jika dekat batang pohon
warna coklat, dia juga ikut ganti warna menjadi coklat, dan lain
sebagainya.
b. Hibernasi
Hibernasi adalah teknik bertahan hidup pada lingkungan yang
keras dengan cara tidur menonaktifkan dirinya (dorman). Hibernasi
bisa berlangsung lama secara berbulan-bulan seperti beruang pada
musim dingin. Hibernasi biasanya membutuhkan energi yang sedikit,
karena selama masa itu biantang yang berhibernasi akan memiliki
suhu tubuh yang rendah, detak jantung yang lambat, pernapasan yang
lambat, dan lain-lain. Binatang tersebut akan kembali aktif atau
bangun setelah masa sulit terlewati. Contoh hewan yang berhibernasi
yaitu seperti ular, ikan, beruang, kura-kura, bengkarung, dan lain-lain.
c. Autotomi
Autotomi adalah teknik bertahan hidup dengan cara
mengorbankan salah satu bagian tubuh. Contoh autotomi yaitu pada
cicak /cecak yang biasa hidup di dinding rumah dan pohon. Cicak jika
merasa terancam ia akan tega memutuskan ekornya sendiri untuk
kabur dari sergapan musuh. Ekor yang putus akan melakukan
gerakan-gerakan yang cukup menarik perhatian sehingga perhatian
pemangsa akan fokus ke ekor yang putus, sehingga cicak pun bisa
kabur dengan lebih leluasa.
d. Estivasi
Estivasi adalah menonaktifkan diri (dorman) pada saat kondisi
lingkungan tidak bersahabat. Bedanya dengan hibernasi adalah di
mana pada estivasi dilakukan pada musim panas dengan suhu udara
yang panas dan kering. Hewan-hewan seperti kelelawar, tupai, lemur
kerdil, dilakukan dengan mengestivasi diri di tempat yang aman dan
terlindung. Pada tumbuhan estivasi juga dilakukan oleh oleh pohon
jati dengan meranggas atau menggugurkan daun.
e. Simbiosis Rayap dan Flagellata
Rayap membutuhkan bantuan makhluk hidup lainnya yaitu
flagelata untuk mencerna kayu yang ada di dalam usus rayap. Tanpa
flagellata rayap tidak akan mampu mencerna kayu yang masuk ke
dalam tubuhnya. Rayap-rayap kecil yang baru menetas mendapatkan
flagellata dengan jalan menjilat dubur rayap dewasa. Rayap secara
periodik melakukan aktivitas ganti kulit dan meninggalkan bagian
usus lama, sehingga rayap akan memakan kulit yang mengelupas
untuk memasukkan kembali flagellata ke dalam usus pencernaannya.
f. Pernapasan Ikan Paus
Ikan paus adalah mamalia yang mirip ikan dan hidup di air. Paus
memiliki paru-paru yang harus diisi dengan oksigen dari permukaan
laut minimal setiap setengah jam sekali. Ikan paus ketika muncuk ke
permukaan akan membuang udara kotor lewat hidung mirip seperti air
mancur yang berisi karbon dioksida bercampur uap air jenuh yang
terkondensasi

2.5 Thermoregulasi
Themoregulasi adalah proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu
tubuhnya agar tetap konstan dinamis. Adapun mekanismenya adalah mengatur
keseimbangan antara perolehan panas dengan pelepasan panas. Suhu tubuh hewan
dipengaruhi oleh suhu lingkungan hewan. Namun untuk hidup secara normal
hewan harus memilih kisaran suhu yang lebih sempit dari kisaran suhu tersebut
yang ideal dan disukai agar proses fisiologi soptimal. Suhu tubuh konstan sangat
dibutuhkan karena perubahan suhu berpengaruh pada konformasi protein dan
ativitas enzim juga pada energi kinetik molekul zat. Kenaikan suhu lingkungan
mengakibatkan peningkatan laju reaksi yang berpengaruh pada aktivitas
metabolisme sel tubuh (Ginanjar, 2012).
Kemampuan hewan untuk mempertahankan suhu tubuh menurut Ginanjar
(2012) ada 2, yaitu:
1. Hewan poikiloterm adalah hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah
seiring dengan berubahnya suhu lingkungan.
2. Hewan homeoterm adalah hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan
sekalipun suhul ingkungannya berubah.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
Berdasarkan pengamatan yang telah dilaksanakan pada respon hewan kupu-
kupu (Appias libythea), diperoleh hasil sebagai berikut:
Perilaku Kupu- Penyebab Kupu-
No Spesies Karekteristik
Kupu Kupu Mati
1 Spesies 1 Tidak bisa di amati, 1. Motif sayapnya 1. Saat
karena kupu-kupu berwarna coklat penangkapan,
telah mati sebelum dan abu-abu. terpegang
diamati. 2. Ukurannya tubuhnya terlalu
kecil kuat.
2. Lama
2 Spesies 2 Tidak bisa di amati, 1. Motif sayapnya perjalanan, yang
karena kupu-kupu unik, karena menyebabkan
telah mati sebelum memiliki kekurangan
diamati beberapa oksigen.
warna, yaitu 3. Kupu-kupu tidak
hijau, kuning, dapat
putih, coklat, beradaptasi
dan hitam. dengan
2. Ukurannya tumbuhan baru.
relatif besar. Karena tanaman
di habitat
Aslinya tidak
sama dengan
tanaman yang
dijadikan
lingkungan baru
sebagai tempat
hidupnya.
3.2 Pembahasan
Hewan merupakan organisme yang bersifat motil, artinya dapat berjalan dari
satu tempat ke tempat lain. Hewan tinggal di suatu lingkungan hidup yang sesuai
dengan ciri-ciri kehidupannya. Sehingga ada hewan yang hidup di tanah yang
disebut dengan hewan terrestrial, hewan yang hidup di pohon disebut hewan
arboreal dan hewan yang hidup di air disebut sebagai hewan aquatic.
Namun dalam praktikum ini, yang diamati adalah keanekaragaman serangga
arboreal yaitu kelas insecta dari ordo Lepidoptera (kupu-kupu). Pengamatan di
awali dengan membuat perangkap untuk serangga arboreal, pada awalnya metode
yang digunakan adalah metode silinder trap yang telah dilengkapi dengan yellow
pan trap yang kemudian dipasang di pohon setinggi 60 m. Tata letak silinder trap
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu botton tata letak yang paling atas (60 m),
middle tata letak di bagian tengah (30 m), dan lower tata letak paling bawah (10
m), jadi dalam satu pohon terdapat tiga silinder trap yang dipasang. Selanjutnya
perangkap silinder trap tersebut dibiarkan selama 1x24 jam.
Berdasarkan hasil praktikum, tidak ditemukan spesies serangga arboreal yang
terperangkap dalam silinder trap yang telah dipasang, hal ini mungkin disebabkan
karena pohon yang digunakan sebagai tempat silinder trap kurang tinggi, yaitu
berkisar 20 m, sehingga letak perangkap botton hanya setinggi 20 m, middle
setinggi 10 m, dan lower setinggi 5 m, selain itu mungkin makanan yang
diletakkan dalam mangkok yellow pan trap kurang menarik perhatian serangga,
sehingga tidak ada serangga yang mendekati perangkap yang telah dipasang.
Karena dengan metode silinder trap tidak ditemukan spesies, maka diganti
dengan metode hand collecting, yaitu pengambilan serangga pohon secara
langsung dengan tangan yaitu menggunakan jarring-jaring atau pinset sebagai alat
bantunya. Spesies yang berhasil ditemukan yaitu berjumlah 2 spesies, spesies
pertama dengan ukuran tubuh yang kecil mempunyai motif sayap yang berwarna
coklat dan abu-abu. Sedangkan pada spesies yang kedua, mempunyai ukuran
tubuh yang relatif besar, mempunyai motif sayap yang unik, yaitu adanya
percampuran warna pada sayap yang meliputi warna hijau, kuning, putih, coklat,
dan hitam.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kematian pada kupu-
kupu tersebut, yaitu faktor lingkungan, yang meliputi suhu dan cahaya. Selain itu
ada juga faktor teknis yang menyebabkan matinya kupu-kupu tersebut yaitu saat
penangkapan, terpegang tubuhnya terlalu kuat. Lama perjalanan, yang
menyebabkan kekurangan oksigen. Kupu-kupu tidak dapat beradaptasi dengan
tumbuhan baru. Karena tanaman di habitat aslinya tidak sama dengan tanaman
yang dijadikan lingkungan baru sebagai tempat hidupnya.
Serangga arboreal ini memiliki peranan ekologis yang sangat penting bagi
kehidupan, diantaranya yaitu serangga berperan sebagai komponen rantai
makanan, sebagai penyerbuk (pollinator) yang andal untuk semua jenis tanaman
dan dapat berperan sebagai indicator, yaitu untuk memprediksi tingkat kepunahan
spesies lain atau perubahan mikro lingkungan, habitat maupun ekosistem tertentu.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa faktor fisik lebih banyak berpengaruh
terhadap serangga di bandingkan faktor internal atau faktor dari hewan pemangsa
lainnya. Faktor tersebut seperti suhu dan kisaran suhu, kelembapan/hujan,
cahaya/warna/bau, angin dan tofografi. Serangga memiliki kisaran suhu tertentu
dimana serangga tersebut dapat bertahan hidup. Pada umumnya suhu yang relatif
adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C, dan suhu maksimum 450C.
Tinggi rendahnya populasi suatu jenis serangga pada suatu waktu merupakan hasil
pertemuan antaradua faktor, yaitu faktor biotic dan faktor abiotik (lingkungan).
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Respon hewan terhadap perubahan lingkungan bermacam-macam, yaitu
dengan menggunakan beberapa cara seperti, fisiologis, morfologis dan perilaku.
Faktor yang mempengaruhi yaitu Faktor lingkungan, terbagi menjadi dua yaitu:
kondisi dan sumber daya. diantaranya kedua faktor ini akan mempengaruhi hewan
pada suatu habitat. Dengan demikian hewan akan melakukan adaptasi untuk
menyesuaikan terhadap lingkungan yang baru.

4.2 Saran
Sebaiknya pada saat praktikum Respon Hewan Terhadap Lingkungan Biotik
dan Abiotik ini, diharapkan seluruh praktikan harus dapat pergi ke lapangan
tempat praktikum ini berlangsung, agar praktikan dapat mengerti dan memahami
secara langsung kegiatan tentang praktikum ini.
DAFTAR PUSTAKA

Campbell, Neil A, dkk. 2012. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Ginanjar, Rifki Saeful. 2012. Respon dan Adaptasi Hewan http:// www.
scribd.com/doc/86616691/Makalah-Respon-Dan-Adaptasi-Hewan. Diakses
pada 26 Juni 2014. Pukul 22.00 WIB.

Sukarsono. 2008. Ekologi Hewan. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Malang


Press.

Anda mungkin juga menyukai