Anda di halaman 1dari 31

Laboratorium / SMF Kedokteran Radiologi

REFERAT
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

ARTRITIS REUMATOID

Oleh
Muhammad Fadlan Adam
NIM. 1910027012

Dosen Pembimbing
dr. Yudanti Riastiti, M. Kes., Sp.Rad

Laboratorium / SMF Ilmu Radiologi


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
September 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Artritis
Reumatoid”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Yudanti
Riastiti, M. Kes, Sp.Rad selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
banyak bimbingan, perbaikan dan saran penulis sehingga referat ini dapat
diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari masih terdapat banyak ketidak
sempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran
demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata penulis berharap semoga referat ini
menjadi ilmu bermanfaat bagi para pembaca.

Samarinda, 24 September 2019

Penulis,

Muhammad Fadlan Adam

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………………………………..2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………………….3
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………….4
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 4
1.2 Tujuan ....................................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………………………….6
2.1 Definisi...................................................................................................................... 6
2.2 Anatomi Sendi .......................................................................................................... 6
2.3 Etiologi...................................................................................................................... 8
2.4 Patogenesis................................................................................................................ 9
2.5 Manifestasi Klinis ..................................................................................................... 9
2.6 Diagnosis................................................................................................................. 11
2.7 Gambaran Radiologi ............................................................................................... 12
2.7 Diagnosis Banding .................................................................................................. 22
2.8 Penatalaksanaan ...................................................................................................... 28
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………..30

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh
inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama1.
Menurut Smith (2019), kejadian tahunan AR di seluruh dunia adalah sekitar 3
kasus per 10.000 populasi dan angka prevalensinya 1%, meningkat dengan
bertambahnya usia dan memuncak antara usia 35 dan 50 tahun. Perempuan
terkena sekitar 3 kali lebih sering daripada laki-laki, tetapi perbedaan jenis
kelamin berkurang pada kelompok usia lebih tua. AR mempengaruhi semua
populasi, meskipun jauh lebih lazim pada beberapa kelompok (misal 5-6% pada
beberapa kelompok penduduk asli Amerika) dan jauh lebih sedikit prevalen pada
yang lain (misal orang kulit hitam dari wilayah Karibia)2. Berdasarkan panduan
Perhimpunan Reumatologi Indoneisa (2014), hasil survey epidemiologi di
Indonesia yakni di Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi AR 0,3%,
sedang di Malang pada penduduk berusia di atas 40 tahun di dapatkan prevalensi
AR 0,5% di daerah kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten3.
Gambaran khas AR adalah peradangan sinovial (sinovitis) yang menetap,
terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki dengan distribusi
simetrik1,4. Potensi peradangan sinovium untuk menyebabkan destruksi tulang
rawan dan erosi tulang dan selanjutnya deformitas sendi merupakan tanda utama
penyakit ini. Sekalipun memiliki potensi destruktif, perjalanan AR dapat cukup
bervariasi. Sebagian pasien mungkin hanya mengalami penyakit yang mengenai
sebagian kecil sendi (oligoartikuler) ringan dalam waktu singkat dengan
kerusakan sendi minimal, sementara yang lain akan menderita poliartritis yang
terus menerus progresif disertai deformitas sendi yang mencolok. Sebagian besar
pasien akan mengalami penyakit dengan tingkat keparahan yang sedang4.
Diagnosis dini didasarkan pada kombinasi uji klinis, serologis dan
pencitraan. Sayangnya, diagnosis tidak dapat hanya didasarkan pada tes serologis.
Reumatoid factor (RF) hanya positif pada 50% pasien selama 6 bulan pertama,
ketika penyakitnya lebih lanjut, ia menjadi positif 85% pasien. RF tidak spesifik

4
dan dapat positif pada penyakit lain seperti artritis reaktif, penyakit autoimun
lainnya, infeksi, atau keganasan, serta pada subjek sehat. Antibodi yang lebih
baru, terutama ACCP memiliki spesifitas yang lebih tinggi untuk AR dan juga
terkait prognosis yang lebih buruk. Namun 20% dari pasien tetap seronegatif.
Maka dari itu, diagnosis dini juga didasarkan pada pemeriksaan klinis dan teknik
pencitraan5.
Dalam praktik klinis, diagnosis dan tindak lanjut AR didasarkan pada
radiografi konvensional, meskipun memiliki keterbatasannya dibandingkan USG
atau MRI. Peran MRI dan USG dalam praktik klinis masih perlu ditentukan.
Dalam penelitian, USG dan MRI memiliki banyak keuntungan, terutama
sensitivitas yang lebih tinggi. Namun, efektivitas biaya bersama dengan spesifitas
yang lebih rendah karena tumpang tindih dalam diagnosis dini dengan penyakit
inflamasi lainnya, tetapi juga dengan populasi asimptomatik, menetapkan bahwa
radiografi konvensional masih dianggap dalam praktek klinis metode radiologis
utama untuk diagnosis dan tindak lanjut AR6,7,8.
Mortalitas AR meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular,
infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya komorbiditas. Maka dari itu,
menegakan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin penting dilakukan agar
dapat menurunkan progresifitas penyakit1. Selain itu juga penting mempelajari
gambaran radiologi reumatoid artritis dan membedakan dengan penyakit lainnya
yang bermanifestasi di sendi seperti osteoarthritis, psoriatik artritis dan gout
artritis.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang artritis
reumatoid dari definisi, etiologi, manifestasi klinis dan penegakan diagnosa serta
penatalaksanaan untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan secara umum
mengenai artritis reumatoid. Adapun tujuan secara khususnya adalah untuk
mengetahui gambaran radiologi yang khas pada artritis reumatoid sehingga dapat
mempermudah menegakkan diagnosis serta membedakan gambaran radiologi
artritis reumatoid dengan diagnosis banding lainnya.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Artritis reumatoid didefinisikan sebagai poliarthritis kronis akibat adanya
inflamasi, kongesti, dan proliferasi sinovium, yang menyebabkan erosi tulang
dengan destruksi pada kartilago9. Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit
autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana
sendi merupakan target utama1.

2.2 Anatomi Sendi


Sendi memungkinkan kita untuk memindahkan kerangka tulang kita.
Sendi terdiri kartilago artikular, kartilago terkalsifikasi, lempeng subkondral
bertulang dan tulang kanselus yang mendasari, kapsul, ligament, membran
sinovial, cairan sinovial, dan pada beberapa sendi terdapat menisci. Sendi
diklasifikasikan berdasarkan jenis gerakan yang dilakukan, yakni sendi tak
bergerak (synarthroses), sendi sedikit bergerak (amphiarthroses), dan sendi
bergerak (diarthroses)10.

Gambar 1. Sendi sinovial. 1 = periosteum, 2 = lapisan luar jaringan kapsul, 3 = lapisan


dalam sinovial kapsul, 4 = lemak dan jaringan lunak, 5 = rongga sendi, 6 = tulang rawan,
7 = tulang, 8 = bare area

6
Sendi juga diklasifikasikan berdasarkan sifat dan bentuk khusus dari
jaringan ikat yang ada. Kedua klasifikasi tersebut saling terkait karena arsitektur
dan konstruksi jaringan sendi menentukan mobilitas relatif mereka. Selaput
berserat atau tulang rawan (syndesmoses atau synchondroses) menghubungkan
ujung tulang dari sendi yang tidak bergerak atau sedikit bergerak. Sebaliknya
komponen bertulang bagian sendi yang dapat bergerak, meskipun ditutupi oleh
tulang rawan hialin, sepenuhnya tertutup oleh rongga sendi yang dilapisi oleh
membran sinovial (sendi sinovial atau diarthrodial)10.

Gambar 2. Struktur sendi

Membran sinovial berfungsi sebagai penyediaan nutrisi ke sel-sel tulang


rawan artikular dan produksi cairan pelumas untuk memastikan gesekan rendah
artikulasi sendi. Membran terdiri dua lapisan berbeda, yakni lapisan intimal tipis
atau lapisan permukaan sinovial, dan lapisan subintimal jaringan ikat yang
mendukung baik lapisan dan pembuluh darah yang memasok membran. Lapisan
sinovial menghasilkan cairan sinovial dan mewakili antarmuka langsung ke
rongga intraartikular. Pada penyakit radang, penampilan ini dapat berubah secara
dramatis, dengan hipertrofi dan hiperplasia yang berkembang pesat, menghasilkan
membran fibrosa yang meradang10.

7
2.3 Etiologi
Penyebab AR masih belum diketahui. Beberapa virus dan bakteri diduga
menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respons sel T
sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen
infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyakit. Protein heat shock (HSP)
merupakan keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai
respons terhadap stress. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino
homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikobakterium tuberculosis mempunyai
65% untaian homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop
HSP pada agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit
dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal
sebagai kemiripan molekul (molecular mimicry)1,4.
Penelitian terakhir mencoba memfokuskan peran superantigen yang
dihasilkan oleh sejumlah mikroorganisme, termasuk stafilokokus, streptokokus,
dan Mycoplasma arthritidis. Superantigen adalah protein yang memiliki kapasitas
berikatan dengan molekul HLA-DR dan segmen Vβ. Peran superantigen dalam
etiologi AR masih spekulatif. Selain itu beberapa faktor risiko yang berhubungan
dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis kelamin perempuan, ada
riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan salisilat dan
merokok1,4.

Tabel 1. Agen infeksi yang diduga sebag ai penyebab Artritis Reumatoid1


Agen infeksi Mekanisme pathogen
Mycoplasma Infeksi sinovial langsung, superantigen
Parvovirus B19 Infeksi sinovial langsung
Retrovirus Infeksi sinovial langsung
Enteric bacteria Kemiripan molekul
Mycobacteria Kemiripan molekul
Epstein-Barr Virus Kemiripan molekul
Bacterial cell walls Aktivasi makrofag

8
Kajian atas keluarga mengisyaratkan adanya predisposisi genetik.
Misalnya, AR berat ditemukan kurang lebih empat kali lipat lebih sering pada
anggota keluarga tingkat pertama individu dengan seropositif dibandingkan
populasi umum. Peran pengaruh genetik dalam etiologi AR dipastikan oleh
pembuktian adanya asosiasi dengan produk gena kompleks histokompatibilitas
mayor kelas II HLA-DR44. Prevalensi AR lebih besar pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormon seks juga berperan dalam
perkembangan penyakit ini1

2.4 Patogenesis
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblast
sinovial setelah adanya faktor pencetus, berupa auto imun atau infeksi. Limfosit
menginfiltrasi daerah perivascular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang
selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat
mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi
pertumbuhan yang irregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi
sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan
sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor
pertumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi
sistemik1.

Gambar 3. Patogenesis artritis reumatoid

2.5 Manifestasi Klinis


Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada
banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu

9
atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri, bengkak,
kemerahan dan teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau
selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak
dijumpai pada AR yang kronik. Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu
adanya inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi. Pada
umumnya sendi yang terkena adalah persendian tangan, kaki dan vertebra sevikal,
tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena. Sendi yang
terlibat pada umumnnya simetris, meskipun pada presentasi awal bisa tidak
simetris1.
Daerah-daerah khusus yang terlibat:
1. Tangan: sendi metakarpofalang (MCP) dan interfalang proksimal (PIP) adalah
yang paling sering terkena, sedangkan sendi interfalang distal jarang terlibat.
Kelainan-kelainan yang meliputi pembengkakan jaringan lunak dan subluksasi
pada sendi-sendi MCP:
a. Deformitas 'Boutonniere': deformitas fleksi pada sendi interfalang proksimal
dan perluasan pada sendi interfalang distal;
b. Deformitas 'swan neck/leher angsa': hiperekstensi pada sendi interfalang
proksimal dan fleksi pada sendi interfalang distal.
2. Kaki: secara umum kelainan menyerupai pada tangan
3. Pergelangan tangan: erosi yang disertai penggabungan tulang karpal.
4. Siku: lokasi yang umum untuk nodul rheumatoid jaringan lunak.
5. Bahu: erosi pada kaput humerus dan sendi akromioklavikula
6. Lutut: penyempitan rongga sendi yang seragam disertai osteoporosis. Kista
Baker merupakan komplikasinya, dengan ruptur yang menyebabkan tanda dan
gejala yang menyerupai tanda dan gejala pada trombosis vena dalam.
7. Tulang belakang servikal: subluksasi, erosi dan gabungan. Subluksasi paling
sering terjadi di sendi atlantoaksial9.

10
Gambar 4. Tahap artritis reumatoid
2.6 Diagnosis
Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut
American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010,
dengan skor >6 diklasifikasikan menjadi pasien definitif AR3,11.

Gambar 5. Kriteria klasifikasi AR ACR/EULAR 20103

Pasien dengan erosi sendi yang khas AR dengan riwayat penyakit yang
cocok untuk kriteria sebelumnya diklasifikasikan sebagai AR. Pasien dengan
penyakit yang lama termasuk penyakit tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan)
yang berdasarkan data-data sebelumnya didiagnosis AR hendaknya tetap
diklasifikasikan sebagai AR. Pada pasien dengan skor <6 dan tidak
diklasifikasikan sebagai AR, kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin
kriterianya dapat terpenuhi seiring berjalannya waktu3.
Terkenanya sendi adalah adanya bengkak atau nyeri sendi pada
pemeriksaan yang dapat didukung oleh adanya bukti sinovitis secara pencitraan.

11
Sendi besar diantaranya bahu, siku, lutut, pangkal paha dan pergelangan kaki.
Sendi kecil diantaranya MCP, PIP MTP II-V, IP ibu jari dan pergelangan tangan.
Hasil laboratorium negatif adalah nilai yang kurang atau sama dengan batas atas
ambang batas normal; positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari batas
normal tapi sama atau kurang dari 3 kali nilai tersebut; positif tinggi adalah nilai
yang lebih tinggi dari 3 kali batas atas. Jika RF hanya diketahui positif atau
negatif, maka positif harus dianggap sebagai positif rendah. Lamanya sakit adalah
keluhan pasien tentang lamanya keluhan atau tanda sinovitis (nyeri, bengkak atau
nyeri pada perabaan)3.

2.7 Gambaran Radiologi


Perubahan radiologis baru terlihat lama setelah terjadi gejala klinis.
Reumatoid Arthritis cenderung memiliki distribusi yang simetris, paling sering
mengenai tangan dan kaki. Setiap sendi synovial dapat terlibat, tanda-tanda yang
paling signifikan dan sering dijumpai pada artritis reumatoid adalah penyempitan
yang seragam pada ruang sendi, erosi marginal, dan osteoporosis periartikular9.
Gambaran berikut dapat ditemukan:
a. Pembengkakan sendi: akibat proliferasi membran synovial dan efusi sendi.
b. Erosi: pada awalnya berlokasi pada daerah periartikular di sepanjang tepi sendi,
di mana tidak terdapat lapisan pelindung. Erosi biasanya menyebar melewati
permukaan articular.
c. Osteoporosis: pada awalnya berada di periartikular, namun kemudian menjadi
umum akibat tidak digunakan dan menjadi hyperemia.
d. Penyempitan rongga sendi: pelebaran rongga sendi pada daerah di luar
penyakit, namun dapat terjadi penyempitan yang signifikan dari erosi dan
deformitas kartilago. Obliterasi dan destruksi komplet pada ruang sendi sewaktu-
waktu dapat menyebabkan ankilosis9.
Pembengkakan Sendi

Salah satu tanda radiografi RA yang paling dini adalah adanya


pembengkakan jaringan lunak periartikular simetris atau fusiform, yang
merupakan sekunder akibat efusi sendi dan sinovitis. Pembengkakan sendi yang
terpisah terutama pada sendi kecil sulit dinilai pada radiografi konvensional5.

12
Gambar 6. (A) Foto polos wrist menunjukan pembengkakan jaringan lunak dan
osteoporosis periartikular. (B) Foto polos tangan dengan pembengkakan jaringan lunak
pada jari kedua dan ketiga dengan kehilangan kartilago pada PIP.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Gambar 7. Sinovitis pada sendi MCP. Longitudinal high resolution sonogram


menunjukkan penebalan jaringan sinovial.
Sumber gambar: Somner, et al., 2005

Namun, radiografi konvensional sensitif untuk efusi dan radang kandung


lender pada sendi besar yang dapat dengan mudah digambarkan dengan
pemisahan tepukan lemak, yang mengelilingi sendi, dan perpindahan struktur
jaringan lunak5.

13
Gambar 8. (A) Film polos siku lateral yang menunjukkan efusi sendi pada relung
posterior dan anterior dengan perpindahan tepukan lemak. (B) Correponding sagittal spin
echo (FSE) T1-weight dengan saturasi lemak setelah injek Gadolinium mengkonfirmasi
efusi sendi dan peningkatan sinovial.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Tidak adanya kalsifikasi akan membantu membedakan RA dari artropati


deposit Kristal. Pembengkakan jaringan lunak pada stadium lanjut penyakit harus
dibedakan dari nodul reumatoid. Nodul reumatoid terdiri dari nekrosis fibroid di
pusat dengan histosit di perifer. Nodul reumatoid sering terlihat di jaringan lunak
subkutan dekat dengan titik-titik tekanan dan tulang yang menonjol, seperti
permukaan ekstensor lengan bawah atau tangan dan kaki. Lesi jaringan lunak ini
dapat dengan mudah didiagnosis sebagai nodul reumatoid ketika ada bukti
radiografi artritis pada sendi berdekatan5.

Gambar 9. (A) Foto polos tangan dengan nodul reumatoid di sisi radial lateral sendi PIP
dan MCP pada jari kedua, dan sisi lateral ulnaris dari sendi PIP dan MCP dari jari
kelima. (B) Foto polos kaki dengan nodul reumatoid di sisi lateral sendi MTP dari jari
kelima yang berdekatan dengan erosi sisi lateral di kepala MT. Erosi lain terlihat di
kepala metatarsal pertama, kedua dan ketiga.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

14
Osteoporosis

Osteopenia periartikular adalah tanda morfologis osseous pertama yang


terjadi sebelum perkembangan erosi dan penyempitan ruang sendi. Osteoporosis
periartikular pada AR ditandai oleh hiperemia disekitar sendi, peradangan
sinovial, dan rekrutmen berbagai jalur pensinyalan, yang juga mengakibatkan
peningkatan aktivitas osteoklas di tulang trabekuler periartikular. Osteoporosis
periartikular muncul sebelum pengobatan kortikosteroid5,12,13.

Gambar 10. (A) Foto polos pergelangan tangan dengan osteoporosis periartikular
pada MCP dan PIP. (B) Foto polos kaki dengan osteoporosis periartikular pada sendi
MTP pada jari kedua.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Erosi

Erosi adalah gangguan kortikal kecil dengan paparan tulang kanselus dan
merupakan kunci dalam mendiagnosis AR. Erosi berkembang lebih awal, dimulai
di zona area kosong seperti yang disebutkan sebelumnya, dan meluas ke pusat.
Erosi juga terjadi pada perlekatan tendon dan ligament pada tulang, enthesis,
tetapi juga dapat dilihat di tempat spesifik seperti ulnar styloid, MCP, MTF atau
PIP. Erosi tulang hanya terdeteksi pada radiografi konvensional ketika sejumlah
besar tulang dihancurkan dan karenanya terdeteksi relatif terlambat pada
radiografi konvensional, terutama dibandingkan dengan computed tomography
(CT) atau MRI5.

15
Gambar 11. Foto polos kaki fase awal AR dengan erosi marjinal dari sendi MTP
pertama, ketiga, kelima dengan pembengkakan jaringan lunak berdekatan dengan sendi
MTP dari jari kelima.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Gambar 12. Gambaran MRI menunjukkan sebuah erosi pada bare area pada base phalang
proksimal ketiga.
Sumber gambar: Somner, et al., 2005

Pada pasien kronis, erosi progresif dapat menyatu dan menghasilkan


deformitas pen in cup pada MCP dan MTP5.

16
Gambar 13. Foto polos tangan dengan deformitas pen-in-cup di IP jari pertama
dan deformitas Boutonniere pada PIP jari kedua.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Kista Subkondral

Kista subkondral adalah pesudokista yang mungkin berkembang sekunder


akibat perluasan pannus baik melalui defek pada tulang rawan atau melalui
penetrasi persimpangan chondroosseous, sehingga menciptakan rongga kistik.
Kista bisa insidental atau terkait dengan mikrotrauma osseus berulang, biasanya
tanpa temuan sekunder seperti edema sumsum tulang pada MR. Kista dapat
ditemukan di kepala metacarpal, lebih sering pada perlekatan ligamentum
kolateral radial di jari kedua, ketiga, dan keempat. Kista terkait dengan gaya tekan
di daerah dengan tekanan lebih tinggi selama menggenggam5.

Gambar 14. Radiografi pergelangan tangan AR. Ada kista kecil dalam process styloid dan
tulang skafoid. Rongga sendi radiokarpal dipersempit.
Sumber gambar: Somner, et al., 2005

17
Gambar 15. Sebuah subkortikal kista (tanda panah) terlihat dekat di bare area.
Sumber gambar: Somner, et al., 2005

Penyempitan Rongga Sendi


Penyempitan progresif dari rongga sendi adalah kejadian sekunder dari
kerusakan tulang rawan oleh eksudat inflamasi dari sinovitis hipertrofik dan
biasanya konsentris dan bilateral5.

Gambar 16. Foto polos tangan yakni perkembangan kehilangan tulang rawan dan destrukti
progresif pergelangan tangan dalam waktu singkat. (A) Tahap awal normal. (B) Osteoporosis
periartikular dan kehilangan minimal ruang snedi. (C) Ruang sendi berkurang secara nyata dan
mulai keruntuhan karpal. (D) Carpal runtuh dengan hilangnya keselarasan normal, ankyloses
hamate bulan sabit, dan perpindahan ulnaris pada carpus.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017
18
Osteolisis
Pada tahap lanjut, proses inflamasi dapat menyebabkan erosi massif dan
mutilasi tulang serta penghancuran struktur jaringan lunak di sekitar sendi5.

Gambar 17. (A) Radiografi AP menunjukkan osteolisis siku yang parah. (B) radiografi
AP bahu dengan lisis kepala humerus dan osteolisis klavikula distal dan osteoporosis
umum.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Gambar 18. Radiografi tangan menunjukkan deviasi ulnaris pada sendi MCP jari ketiga,
keempat, dan kelima serta deformitas pencil-in-cup pada sendi MCP pada jari pertama
dan kedua.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

19
Gambar 19. Radiografi pergelangan tangan dan tangan PA dengan keterlibatan AR
simetris dengan erosi marginal terutama pada MCP dan sendi radiokarpal.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Gambar 20. Radiografi kaki AP dari AR tahap lanjut kaki depan, erosi, dan hilangnya
ruang sendi terlihat pada sendi MTP dengan deviasi lateral pada kaki kanan dan dislokasi
sendi MTP pada jari keempat.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

20
Gambar 21. (A) AP lutut dan (B) radiografi tampilan lateral dengan keterlibatan AR,
osteoporosis, penurunan seragam ruang sendi dan efusi sendi.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Gambar 22. (A) Radiografi bahu AP menunjukkan perubahan awal dengan erosi di
bagian atas dan bawah kepala humerus. (B) Radiografi bahu AP melakukan
penghancuran lanjutan dari kepala humerus dan glenoid dengan penurunan ruang sendi,
erosi besar, dan migrasi superior kepala humerus sebagai tanda tidak langsung dari
robekan rotator cuff
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

21
Gambar 23. Tampilan tulang belakang leher lateral. Erosi kecil pada pelat akhir, dengan
penurunan ruang intervertebralis pada C4-C5, C5-C6, dan C6-C7.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

2.7 Diagnosis Banding

Gambar 24. Diagnosis banding artropati erosif

Sumber gambar: Patel, 2007

22
Gambar 25. Foto polos tangan dan kaki (A) Perbedaan distribusi keterlibatan pada tangan
dan pergelangann tangan (1) AR; (2) psoriasis; (3) osteoarthrosis; (4) CPPD deposit; (5)
gout. (B) Perbedaan distribusi keterlibatan pada kaki (1) AR; (2) psoriasis; (3) artritis
reaktif; (4) diabetes; (5) gout.

Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Artritis Psoriatik

Artritis psoriatik memiliki beberapa fitur yang membedakannya dari AR.


Psoriasis ditandai oleh distribusi asimetris, erosi terletak pada sendi DIP dan PIP,
proliferasi tulang, keterlibatan enthesis, dan mineralisasi normal. Kurangnya
proliferasi tulang pada AR akan membantu membedakannya dari psoriasis.
Artritis psoriatic dapat mendahului gejala kulit, kadang-kadang membuat
diagnosis spesifik menjadi sulit, diperlukan waktu untuk memungkinkan
diagnosis yang akurat dilakukan5.

23
Gambar 26. (A) Foto polos kaki (calcaneus) lateral dengan psoriasis ditandai dengan erosi
pada tuberositas posterior. (B) MRI pada saturasi lemak T1 sagital setelah injeksi
gadolinium yang menunjukkan enthesitis Achilles dan insersi plantar fascia.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Gambar 27. (A) Foto polos tangan pada artritis psoriasis dengan pembengkakan jaringan
lunak jari kedua yang menyebar, jari sosis.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

24
Gambar 28. (A) Foto polos tangan pada artritis psoriasis dengan keterlibatan asimetris
DIP dari jari kedua, keempat, dan kelima.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Gout Artritis

Deteksi kalsifikasi halus bersama dengan gambaran radiografi


karakteristik gout (erosi paraartikular dengan tepi sklerotik, nodul padat,
mineralisasi osseous normal, dan ruang sendi normal), lokasi klasik (sendi MTF
pertama, Lisfranc) memungkinkan diagnosis yang tepat dari gout5.

Gambar 29. Foto polos kaki pada pasien gout kronis. Podagra, atau nyeri sendi MTP
pertama. Sklerosis dan penyempitan ruang sendi pada sendi MTP pertama serta pada
sendi IP keempat. Gambar milik Larry Berent, MD.
Sumber gambar: https://emedicine.medscape.com

25
Artropati CPPD

Deteksi Kristal cairan urat sinovial atau Kristal deposisi kalsium pirofosfat
(CPPD) akan memungkinkan diagnosis artritis pengendapan Kristal. Salah satu
keuntungan radiografi dibandingkan MR adalah kemampuannya mendeteksi
kalsifikasi halus. Kunci untuk diagnosis artropati CPPD adalah adanya
chondrocalcinosis5.

Gambar 30. Foto polos pergelangan tangan chondrocalcinosis dengan kalsifikasi jaringan
lunak, fibrocartilage segitiga, ligament scapholatunate dan lunotriquetal.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Osteoartritis

Pola osteoarthritis tangan berbeda dari pola AR, terutama karena


keterlibatan preferensi sendi DIP dalam osteoarthritis, nodul heberden di sekitar
sendi DIP, penyempitan ruang sendi, dan adanya osteofit dan tidak adanya erosi
pada sendi proksimal dari sinar kedua ke kelima. Erosi dan kista memang terjadi
pada osteoarthritis, tetapi mereka terletak di sendi DIP dan pada sendi
carpometacarpal pertama5.

26
Gambar 31. Foto polos pergelangan tangan dengan ditandai erosif osteoarthritis dengan
keterlibatan PIP dan sendi DIP yang parah.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

Hemochromatosis
Hemochromatosis adalah kelainan yang menyebabkan peningkatan
penyerapan zat besi usus dan endapan besi sekunder di hati, pankreas, jantung,
dan tulang rawan. Sekitar 50% dari pasien akan mengalami radang sendi sekunder
akibat deposit zat besi di sendi. Manifestasi radiologis mirip dengan artropati AR
atau CPPD. Temuannya adalah pembesaran tulang, penyempitan ruang sendi,
kista subchondral dengan batas sklerotik, osteoporosis, dan osteofit dengan bentuk
kait atau paruh yang khas. Distribusi hemochromatosis adalah polyarticular,
biasanya keterlibatan simetris, terutama dalam MCP, PIP dari jari kedua dan
ketiga. Tidak adanya efusi jaringan lunak, deviasi ulnaris dan lokasi erosi
membantu untuk membedakan artropati hemochromatosis dari AR5.

27
Gambar 32. Foto polos pergelangan tangan dan tangan dengan hemochromatosis dengan
karakteristik osteofit seperti kait di sepanjang aspek radial kedua, ketiga, dan keempat
dari kepala metacarpal.
Sumber gambar: Llopis, et al., 2017

2.8 Penatalaksanaan
Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat anti-
inflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokotikoid dosis
rendah atau intraartikular dan Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs
(DMARD). Analgetik lain juga mungkin digunakan seperti acetaminophen,
opiate, diproqualone dan lidokain topikal. Terapi non farmakologik menunjukan
hasil yang baik seperti terapi puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi spa
dan latihan. Pembedahan harus dipertimbangkan bila terdapat nyeri berat yang
berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif, keterbatasan gerak yang
bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat dan ada rupture tendon1.

28
BAB III

KESIMPULAN

1. Artritis reumatoid merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan


poliartritis kronis akibat adanya inflamasi, kongesti, dan proliferasi
sinovium, yang menyebabkan erosi tulang dengan destruksi pada kartilago
2. Pemeriksaan radiologis merupakan salah satu dasar menentuan diagnosis
dini pada artritis reumatoid.
3. Tanda khas reumatoid artritis yang didapatkan pada pemeriksaan
radiologis adalah pembengkakan sendi akibat efusi, erosi periartikular,
osteoporosis, dan penyempitan rongga sendi yang biasanya simetris
dengan distribusi paling sering pada sendi MCP dan PIP.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Suarjana, I Nyoman. (2015). Artritis Reumatoid. In S. Setiati (Eds.), Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam (pp. 3132-3149). Jakarta : InternaPublishing.

2. Smith, H. R. (2019). Rheumatoid Arthritis. Retrieved from


https://emedicine.medscape.com/article/331715-overview#a n 5

3. Perhimpunan Reeumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan


Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia

4. Harrison. (2000). Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC.

5. Llopis, E., Kroon, H. M., Acosta, J., Bloem, J. L. (2017). Conventional


Radiology in Rheumatoid Arthritis. Elseiver, 55, 917-941.

6. Mangnus, L., van Steenbergenn, H. W., Reijnerse, M., Van der Helm-van Mil,
A. H. (2016). Magnetic resonance imaging-detected features of inflammation and
erosions in symtom-free persons from the general population. Wiley. 68(11),
2593-602.

7. Stomp, W., Krabben, A., van der Heijde, D., Huizinga, T. W., Bloem, J. L., van
der Helm-van Mil, A. H., Reijnierse, M. (2014). Are rheumatoid arthritis patients
discernible from other early arthritis patients using 1,5T extremity magnetic
resonance imaging? a large cross-sectional study. The Journal of Rheumatology.
41(8), 1630-7.

8. Ostegaard, M., Haavardsholm, E. A. (2016). Imaging: MRI in healthy


volunteers-important to do, and do correctly. Nature Reviews Rheumatology,
12(10), 563-4.

9. Patel, P., R. (2007). Lecture Notes Radiologi. Jakarta : Penerbit Erlangga.

10. Wooley, P. H., Grimm, M. J., & Radin, E. L. (2005). The Structure and
Function of Joints. Ovid: Arthritis & Allied Conditions, 15.

11. Aleteha, D., Neogi, T., Silman, J. A., Funovits, J., Felson, D. T., Bingham, C.
O., … Birnbaum, N. S. (2010). 2010 Rheumatoid arthritis classification criteria.
Arthritis & Rheumatism. 62(9), 2569-2581.

12. Bottcher, J., & Pfeil, A. (2008). Diagnosis of periarticular osteoporosis in


rheumatoid arthritis using digital X-ray radiogrammetry. PMCJ, 10(1), 103..

13. Shimizu, S., Shiozawa, S., Shiozawa, K., Imura, S., Fujita, T. (1985).
Quantitative histologic studies on the pathogenesis of periarticular osteoporosis in
rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum, 28(1).

30
14. Smelser, C. D. (2017). Gout Imaging. Retrieved from
https://emedicine.medscape.com/article/389965-overview.

15. Somner, O. F., Kladosek, A., Weiler, V., Czembirek, H., Boeck, M., &
Stiskal, M. (2005). Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-the-Art
Imaging, Image Interpretation, and Clinical Implications. RadioGraphics, 25(2),
381-3908.

31

Anda mungkin juga menyukai