Penuntun Farmako S 1 PDF
Penuntun Farmako S 1 PDF
TIM PENYUSUN
Pas Foto
3x4
BIODATA MAHASISWA
NAMA :
NIM :
KELOMPOK :
PROGRAM STUDI :
FAKULTAS :
UNIVERSITAS :
i
STAF LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN
TOKSIKOLOGI
FAKULTAS FARMASI USU
PLT Kepala Laboratorium : Embun Suci Nasution, S.Si., M. Farm. Klin., Apt.
Asisten Laboratorium :
Zainul Fuad Nurhadi Kurnia Lavinda Yusfa
Joule De Ceva Magribi Sigit Dui Harianto
Dhea Nur Fadhillah Akbar Pratama
Cindi Indriyani Nurnasuha
Trya Nur Indah Ulva Khairani Ritonga
Christal Jennifer Grundling
ii
PERATURAN LABORATORIUM
iii
TUJUAN INSTRUKSIONAL
A. Umum
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa S-1 Reguler Farmasi akan dapat
mengevaluasi aktivitas obat menggunakan berbagai metode eksperimen farmakologi.
B. Khusus
1. Mahasiswa dapat mengaplikasikan cara penanganan hewan yang baik dan
penggunaan hewan yang sesuai etik.
2. Mahasiwa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan Rute Pemberian Obat
3. Mahasiwa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan Variasi Biologi
4. Mahasiwa dapat mengevaluasi aktivitas analgetik Obat
5. Mahasiwa dapat mengevaluasi aktivitas antipiretik Obat
6. Mahasiwa dapat mengevaluasi aktivitas antiinflamasi Obat
7. Mahasiwa dapat mengevaluasi aktivitas diuretik Obat
8. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktifitas obat terhadap sistem saraf pusat
9. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktifitas obat terhadap sisten safar Perifer
10. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktifitas obat terhadap sisten pencernaan
11. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktifitas obat terhadap sisten imun
iv
DAFTAR ISI
v
BAB I. AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN DOSIS, RUTE PEMBERIAN
OBAT, DAN VARIASI BIOLOGI
1
memakai organ/jaringan hewan dari rumah potong, hewan dari ordo lebih rendah) dan absolut
(mengganti hewan percobaan dengan kultur sel, jaringan, atau program komputer).
Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin,
tetapitetap mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah minimum biasa dihitung menggunakan
rumus Frederer yaitu (n-1) (t-1) >15, dengan n adalah jumlah hewan yang diperlukan dan t
adalah jumlah kelompok perlakuan. Kelemahan dari rumus itu adalah semakin sedikit kelompok
penelitian, semakin banyak jumlah hewan yang diperlukan, serta sebaliknya. Untuk
mengatasinya, diperlukan penggunaan desain statistik yang tepat agar didapatkan hasil
penelitian yang sahih.
Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi (humane),
memeliharahewan dengan baik, tidak menyakiti hewan, serta meminimalisasi perlakuan yang
menyakitkan sehingga menjamin kesejahteraan hewan coba sampai akhir penelitian. Pada
dasarnya prinsip refinement berarti membebaskan hewan coba dari beberapa kondisi. Yang
pertama adalah bebas darirasa lapar dan haus, dengan memberikan akses makanan dan air
minum yang sesuai dengan jumlah yang memadai baik jumlah dan komposisi nutrisi untuk
kesehatannya. Makanan dan air minum memadai dari kualitas, dibuktikan melalui analisa
proximate makanan, analisis mutu air minum, dan uji kontaminasi secara berkala. Analisis
pakan hewan untuk mendapatkan komposisi pakan menggunakan metode standar. Kedua, hewan
percobaan bebas dari ketidaknyamanan, disediakan lingkungan bersih dan paling sesuai dengan
biologi hewan percobaan yang dipilih, dengan perhatian terhadap: siklus cahaya, suhu,
kelembaban lingkungan, dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang untuk kebebasan bergerak,
kebiasaan hewan untuk mengelompok atau menyendiri. Berikutnya, hewan coba harus bebas
dari nyeri dan penyakit dengan menjalankan program kesehatan, pencegahan, dan pemantauan,
serta pengobatan tehadap hewan percobaan jika diperlukan. Penyakit dapat diobati dengan
catatan tidak mengganggu penelitian yang sedang dijalankan. Bebas dari nyeri diusahakan
dengan memilih prosedur yang meminimalisasi nyeri saat melakukan tindakan invasif, yaitu
dengan menggunakan analgesia dan anesthesia ketika diperlukan.
2
Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diprlukan satu
kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam %) pada
kisaran dosis tersebut (dalam log dosis), dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu
tersebut disebut dosis terapi median atau dosis efektif median (=ED50) . Dosis letal median
(=LD50) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah
dosis toksik 50%.
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik
pada seorang pasien. Oleh karena itu:
Indeks terapi TD1 adalah lebih
= tepat,
ED99
Dan untuk obat TD1
ideal : 1
ED99
Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena
letaknya dibagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar.
Banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana dosis obat tertentu akan mempengaruhi
pasien. Karena tidak semua pasien memiliki ukuran berat, usia, dan seks yang sama, akan lebih
bijaksana jika mempertimbangkan bagaimana faktor-faktor yang mungkin akan mempengaruhi
seberapa banyak obat yang harus diterima seseorang dan efek obat yang akan terjadi pada
pasien. Rekomendasi yang sering digunakan untuk pengobatan dengan dosis dewasa, seperti
yang ditemukan dalam referensi standar, didasarkan pada asumsi bahwa pasien adalah "normal"
dewasa. Seperti "normal" (atau rata-rata) dewasa dikatakan 5 kaki 9 inci (173 cm) tinggi dan
berat 154 lbs (70 kilogram). Namun, banyak orang yang tidak cocok dengan kategori ini. Oleh
karena itu, faktor-faktor berikut harus dipertimbangkan ketika pasien menerima obat yaitu berat
badan, luas permukaan tubuh, usia, kelamin, faktor genetik, kondisi fisik pasien, kondisi
psikologi pasien, toleransi, waktu pemberian, interaksi obat, dan rute pemberian obat
(Heiserman, 2001).
Rute pemberian obat merupakan faktor yang sangat penting dalam pencapaian efek dari
suatu obat. Rute pemberian obat berpengaruh pada onset of action dan duration of action suatu
obat. Rute pemberian obat dibagi dua yaitu: intravaskular dan ekstravaskular.
Untuk melakukan suatu suntikan, jarum harus tajam dan ukurannya sesuai. Ukuran jarum
yang sesuai dan volum yang maksimum untuk berbagai cara pemberian dapat dilihat pada Tabel
1.
3
Tabel 1. Cara pemberian obat terhadap hewan dan ukuran jarum suntik
Hewan Jarum Suntik i.v. i.p. s.c. i.m. per oral
Obat dapat diberikan kepada pasien dengan menggunakan berbagai metode. Beberapa
obat hanya efektif jika diberikan dalam bentuk sediaan tertentu. Obat lain diberikan dalam
bentuk dapat meningkatkan atau menurunkan efeknya atau melokalisir efek obat.
1. Oral. Kebanyakan obat tersedia saat ini dapat diberikan melalui mulut (oral). Obat
dapatdiberikan secara oral dalam bentuk tablet, kapsul, bubuk, larutan, atau suspensi.
Obat yang diberikan melalui rute oral biasanya digunakan untuk mendapatkan efek
sistemik. Obat-obat ini harus melalui saluran pencernaan dan biasanya mengalami first
pass metabolism.
2. Parenteral. Istilah parenteral secara harfiah berarti untuk menghindari usus
(saluranpencernaan). Dengan demikian, parenteral adalah obat injeksi yang masuk ke
tubuh secara langsung dan tidak diharuskan untuk diserap di saluran pencernaan
sebelum obat tersebut berefek. Pemberian rute parenteral biasanya memiliki onset of
action yang lebih cepat dibandingkan rute lain dari pemberiannya. Produk parenteral
harus steril (bebas dari mikroba hidup). Rute parenteral memiliki kelemahan: sakit,
tidak nyaman, dan obat yang sudah disuntikkan tidak dapat diambil kembali.
a. Intravena. Penyuntikan obat secara langsung ke dalam vena pasien merupakan
rutepemberian yang paling cepat. Jenis rute pemberian ini merupakan rute
parenteral yang paling cepat memberikan onset of action.
b. Subkutan (Sub-Q/SC). Rute pemberian ini melibatkan suntikanobatdi bawah kulit
kedalam lapisan lemak, tetapi tidak ke dalam otot. Penyerapan obat ini cepat.
Insulin biasanya diberikan secara subkutan.
4
c. Intraperitonial. Walaupun metode ini jarang digunakan secara klinis, cara ini
selaludigunakan untuk memberikan obat pada hewan kecil. Dinding otot di
peritoneum (dibawah abdomen) sangat tipis dan usus banyak memiliki pembuluh
darah vaskuler. Ini berarti suntikan pada bagian tersebut akan menyebabkan sedikit
kesakitan, akan tetapi obat mudah diserap ke dalam sistem peredaran darah.
Tambahan lagi obat yang bersifat iritan dan bervolume besar dapat disuntikkan
dibanding dengan cara-cara pemberian lainnya.
5
IV. Metode Skrining
Dosis merupakan jumlah tertentu dari obat yang dapat digunakan untuk mencapai efek
terapi. Dosis dibagi 5 jenis yaitu dosis minimum, lazim, maksimum, toksik dan letal. Untuk
menyatakan toksisitas akut suatu obat, umumnya dipakai ukuran LD50 (medium lethal dose
50) yaitu suatu dosis yang dapat membunuh 50% dari sekelompok binatang percobaan.
Demikian juga sebagai ukuran dosis efektif (dosis terapi) yang umum digunakan sebagai
ukuran ialah ED 50 (median effective dose), yaitu dosis yang memberikan efek tertentu pada
50% dari sekelompok binatang percobaan. LD50 ditentukan dengan memberikan obat dalam
dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok binatang percobaan. Setiap binatang
diberikan dosis tunggal. Setelah jangka waktu tertentu (misalnya 24 jam) sebagian biantang
percobaan ada yang mati, dan persentase ini diterakan dalam grafik yang menyatakan
hubungan dosis (pada absis) dan persentase binatang yang mati (pada ordinat). Dalam studi
farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut :
TD50 LD50
6
Subkutan
Untuk menyuntik tikus secara subkutan letakkan hewan tersebut diatas meja.
Kemudian letakkan telapak tangan kiri perlahan di belakangnya dan pegang kulit
ditengkuknya dengan ibu jari dan telunjuk. Dengan tangan kanan memegang jarum suntik,
cucukkan jarum dalam lipatan kulit dengan cepat. Ujung jarum semestinya bebas bergerak
diantara kulit dan otot. Jika panjang jarum yang digunakan itu sesuai, maka jarum tidak akan
tercucuk terlalu dalam. Gerak-gerakkan jarum dengan jari telunjuk dan ibu jari untuk
menentukan posisi jarum pada tempat yang tepat, kemudian suntiklah. Tarik jarum dengan
tangan kiri, urut bagian yang disuntik tadi.
Oral
Larutan obat dapat diberikan secara oral dengan jarum oral yang khas (kateter untuk
kelinci). Untuk tikus dan mencit, hewan tersebut dipegang dengan sempurna dan jarum oral
dimasukkan dalam mulut berdekatan dengan bagian atas langit-langit mulut (palate). jarum
ditolak perlahan-lahan ke esopagus dan bukan dipaksa masuk. Setelah masuk kedalam mulut
(kira-kira dua inci ke bawah) hewan itu akan menunjukkan keadaan seperti tercekik. Jarum
oral dapat disesuaikan besarnya dengan hewan tertentu.
Intraperitoneal
Untuk menyuntik tikus secara IP, peganglah kulit leher hewan tersebut dengan jari
telunjuk dan ibu jari. Pegangan yang sempurna akan meregangkan kulit diabdomennya.
Suntik di bagian kuadran bawah abdomen dengan satu tusukan dengan cepat dan jangan ragu-
ragu. Dorong jarum ke bagian dimana jarum tidak menembus hati, buah pinggang, spleen atau
kandung kemih, selanjutnya ditekan perlahan-lahan.
Intravena
Cara penyuntikan IV berbeda dari satu spesies ke spesies lainnya. Pada mencit
suntikan intravena dilakukan pada penbuluh darah ekor. Oleh karena pembuluh darah ekor
mencit mudah diketahui, sehingga suntikan intravena dapat dilakukan dengan mudah.
Keempat-empat pembuluh darah ekor terletak bilateral, ventral dan dorsal serta dapat
dikembangkan (vasodilatasi) dengan menyentuhkan suhu tertentu pada bahagian ekor
(misalnya dengan meletakkan ekor mencit kedalam air hangat suhu 45-50oC), dan
penggunaan alkohol atau dengan menekan ujung ekornya untuk mempermudah penyuntikan.
Hewan mula-mula dimasukkan dalam prangkap tikus menyerupai tabung yang kedua
ujungnya terbuka. Pada kedua ujung ditutup dengan gabus yang tengahnya berlubang. Ujung
ekor yang keluar dari gabus dipegang dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri dan
7
suntikan dilakukan dengan tangan kanan. Adalah lebih baik jika bisa memberikan cahaya
pada ekor, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan penglihatan pembuluh darah dengan jelas,
juga bertujuan untuk memanaskan ekor tikus. Apabila menyuntik dan terasa tidak ada
hambatan, pada tempat penyuntikan ini menunjukkan jarum telah masuk dengan benar
kedalam pembuluh darah dan plunger dapat ditekan dengan mudah. Jika jarum tidak masuk
dengan tepat pada pembuluh darah, suntikan itu akan memberikan kawasan pucat diujung
jarum. Adalah lebih baik menggunakan sebatang jarum yang halus (Gauge 27,1/2 inci) dan
suntikan dimulai pada ujung ekor supaya beberapa percobaan dapat dilakukan.
V. Luminal (Fenobarbital)
Farmakologi molekuler reseptor asam gamma amino butirat (GABA) terikat pada
saluran kanal klorida yang merupakan salah satu mesin renspons obat dalam tubuh yang
paling handal. Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa yang meniru
kerja GABA. Fenobarnital merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam
pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan
ambang rangsang. Efek utama barbiturate ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat
dicapai mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anesthesia, koma sampai dengan
kematian. Efek hipnotik fenobarbital dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis
hipnotik (Ganiswara et al, 2007).
8
VII. Metode Percobaan
7.1 Alat
Timbangan elektrik, oral sonde mencit, Spuit 1 ml, stopwatch, alat suntik 1 ml, beaker glass
25 ml, erlenmeyer 10 ml
7.2 Bahan
Akuades, Luminal-Na konsentrasi 0,75%
DAFTAR PUSTAKA
Ridwan, E. (2013): Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon Med
Assoc, Volum: 63, Nomor: 3.
Heiserman, D.L. (2011) : Factors Which Influence Drug Dosage Effects. USA : SweetHaven
Publishing Services.
10
DATA LAPORAN PERCOBAAN
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Grup :
Responser :
Asisten Pengawas :
secara i.p
11
Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat
No RESPON
PERLAKUAN
10 20 30 40 50 60 70 80 90
1 Mencit 1
2 Mencit 2
3 Mencit 3
4 Mencit 4
5 Mencit 5
6 Mencit 6
Keterangan :
1.1. Normal
1.2. Garuk-Garuk (reaktif)
1.3. Gerak lambat
1.4. Tidur
i.p = intra peritoneal
12
VIII. Pembahasan
13
14
DAFTAR PUSTAKA
Ridwan, E. (2013): Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon Med
Assoc, Volum: 63, Nomor: 3.
Heiserman, D.L. (2011) : Factors Which Influence Drug Dosage Effects. USA : SweetHaven
Publishing Services.
( ________________ ) ( ______________________ )
15
GRAFIK PERCOBAAN
RUTE PEMBERIAN OBAT, DOSIS, RESPON DAN INDEKS TERAPI,
PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT
16
BAB 2. AKTIVITAS ANALGETIK OBAT/SEDIAAN UJI
II. Pendahuluan
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan
(ancaman) kerusakan jaringan. Rasa nyeri pada umumnya merupakan suatu gejala yang
berfungsi sebagai isyarat bahaya adanya gangguan di jaringan seperti peradangan, infeksi
jasad renik atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimia atau
fisika (kalor, listrik) dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan dimana rangsangan tersebut
menyebabkan terjadinya pelepasan zat-zat kimia (misalnya, bradikinin, prostaglandin, ATP,
proton) yang menstimulasi reseptor nyeri.
Analgetik adalah zat-zat yang mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgetik dibagi dalam 2 (dua)
kelompok besar, yaitu analgetik perifer (non narkotik) dan analgetia narkotik. Analgetik
perifer (non narkotik) yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak
17
bekerja secara sentral. Sementara analgetik narkotik khusus digunakan untuk menghilangkan
rasa nyeri yang hebat, seperti pada patah tulang (fracture) dan kanker.
Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat diatasi dengan beberapa cara, yaitu :
a. Analgetik perifer, yang merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor perifer
b. Analgetik sentral (narkotik), yang memblokir pusat nyeri saraf di susunan saraf pusat
(SSP) dengan anastesi umum
c. Antidepresif trisiklis, yang digunakan pada nyeri kanker dan saraf
d. Antiepileptik, yang meningkatkan jumlah neurotransmitter di ruang sinaps pada nyeri
Persepsi sakit adalah suatu keadaan yang sukar untuk diberi defenisi atau diukur.
Keadaan tersebut merupakan fenomena subjektif, dengan demikian tidak dapat diketahui
bagaimana gambaran hewan percobaan yang mengalami rasa nyeri. Sebagian besar teknik
melibatkan penggunaan uji nosiseptif dimana stimulus nyeri, secara mekanis maupun elektris
digunakan untuk menghasilkan rasa sakit.
Metode yang biasa dilakukan ialah metode plat panas Janssen dan Jageneu (1975).
Pada metode ini hewan diletakkan dengan perlahan ke atas plat panas yang bersuhu tetap 55 0
C. Waktu respon (biasanya 4-10 detik untuk keadaan normal dihitung sebagai jarak waktu
mula-mula hewan itu meletakkan kakinya di atas plat dan waktu dicatat apabila hewan itu
mulai menjilati kakinya atau melompat untuk mengelakkan diri dari panas). Hewan yang
tidak menunjukkan respon dalam jangka waktu 30 detik tidak digunakan dalam percobaan.
Metode lain adalah dengan menggunakan senyawa kimia seperti asam asetat 3%.
Asam asetat ini sebagai stimulus untuk rasa nyeri yang ditimbulkan. Rasa nyeri dari
pemberian asam asetat ini dapat dilihat dari geliat yang ada dari pengamatan terhadap mencit
(hewan). Geliat ini dihitung dimulai jika mencit meregangkan kakinya ke belakang dan
menekan perutnya ke bawah. Geliat ini dihitung 1, dan seterusnya. Sehingga akhir waktu
yang ditentukan akan didapat jumlah geliat dari hewan secara total pada waktu tertentu.
Dalam percobaan, digunakan 3 metode dalam menggambarkan persepsi rasa sakit,
yaitu metode asam asetat sebagai stimulus nyeri perifer, metode plat panas, dan metode panas
menggunakan infra red (IR) sebagai stimulus nyeri sentral.
3.2 Bahan-bahan
Aquadest, asam asetat 3%, antalgin 2%, morfin SO4 0,1%
18
3.3 Hewan Uji
Mencit
V. Prosedur
Metode Asam
Asetat
1. Hewan ditimbang dan ditandai
2. Dihitung dosis dengan pemberian:
- Mencit 1: Kontrol NaCl 0,9% dosis 1% BB (i.p)
- Mencit 2: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 10 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 3: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 15 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 4: Antalgin [ ] 2% dosis 300 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 5: Antalgin [ ] 2% dosis 400 mg/kg BB (i.p)
3. Setelah 30 menit masing-masing mencit disuntikkan asam asetat 2% dengan dosis
1% BB secara i.p.
4. Diamati dan dihitung jumlah geliat selang 10 menit sampai 90 menit
5. Dibuat grafik jumlah geliat vs waktu
6. Dianalisis data secara statistik
19
Metode Plat Panas
1. Hewan ditimbang dan ditandai
2. Dihitung dosis dengan pemberian :
- Mencit 1: Kontrol NaCl 0,9% dosis 1% BB (i.p)
- Mencit 2: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 10 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 3: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 15 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 4: Antalgin [ ] 2% dosis 300 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 5: Antalgin [ ] 2% dosis 400 mg/kg BB (i.p)
3. Diletakkan hewan ke atas plat panas bersuhu 550 C
4. Diamati dan dihitung waktu saat hewan mulai menjilati kakinya selang 10 menit
sampai 90 menit
5. Dibuat grafik lama respon vs waktu
6. Dianalisis data secara statistik
20
DAFTAR PUSTAKA
VI. Grafik
Grafik Jumlah geliat vs Waktu
Jumlah geliat
Waktu (menit)
21
DATA LAPORAN PERCOBAAN
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Grup :
Responser :
Asisten Pengawas :
22
No PERLAKUAN PERLAKUAN RESPON (detik)
I II 10 20 30 40 50 60 70 80 90
1 Mencit 1 Diletakkan
Kontrol (NaCl didalam kotak,
0,9% dosis Kemudian arah
1% BB) kan panas IR
2 Mencit 2 tepat ditelapak
(Morfin 15 kaki mencit.
mg/kg BB)
3 Mencit 3
(Antalgin 400
mg/kg BB)
23
VI. PEMBAHASAN
24
25
DAFTAR PUSTAKA
Medan,________________
NILAI :
Asisten, Praktikan
( ________________ ) ( ______________________ )
26
GRAFIK PERCOBAAN
ANALGETIK
27
BAB 3. AKTIVITAS ANTIPIRETIK OBAT/SEDIAAN UJI
II. Pendahuluan
Demam atau naiknya suhu tubuh pada umumnya terjadi karena adanya infeksi. Toksin
yang dihasilkan oleh mikroorganisme akan mengganggu sistem pengaturan panas tubuh di
hipotalamus. Selain dapat dipengaruhi oleh toksin dari mikroorganisme, sistem pengaturan
panas tubuh dapat pula dipengaruhi oleh zat-zat lain yang bersifat toksik yang masuk ke
dalam tubuh. Pada suhu di atas 37⁰ C limfosit dan makrofag menjadi lebih aktif, dan apabila
suhu melampaui 40-41⁰ C dapat terjadi situasi kritis yang bisa menjadi fatal dikarenakan tidak
dapat dikendalikan lagi oleh tubuh.
Berdasarkan konsep-konsep di atas maka dikembangkan cara-cara untuk melakukan
percobaan uji efektivitas antipiretik dari suatu obat. Dinitrofenol pada mulanya digunakan
sebagai senyawa pembentuk panas dan obat untuk menurunkan berat badan. Ternyata
dinitrofenol diketahui sangat toksik dan dapat menyebabkan katarak.
Antipiretik adalah senyawa yang dapat menurunkan suhu tubuh dalam keadaan
demam, salah satu contohnya adalah parasetamol. Antipiretik digunakan secara ekstensif
dalam mengontrol pyrexia yang disebabkan oleh beberapa penyakit viral, malaria,
malignancy, kerusakan jaringan, inflamasi dan tingkat penyakit lain. Untuk mengevaluasi
antipiretik dalam mengatasi demam makan dilakukan percobaan hewan dengan menggunakan
injeksi jamur Brewer atau lipopolisakarida-lipipolisakarida.
28
III. Metode Percobaan
3.1 Alat
Termometer rectal,timbangan hewan,alat pencatat waktu, spuit (1 ml dan 5 ml), dan oral
sonde
3.2 Bahan-bahan
Larutan NaOH 0,1 N, CMC Na, Parasetamol, Alkohol 70%, Vaseline, 2,4 Dinitrofenol (DNF)
29
IV. Pembuatan Larutan Obat
4.1 Injeksi 2,4-dinitrofenol 0,5%
Cara Pembuatan
Sebanyak 500 mg 2,4-dinitrofenol ditimbang, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml,
kemudian ditambahkan larutah NaOH 0,1 N sedikit demi sedikit sampai larut. Aquadest
ditambahkan sampai garis tanda, cek pH = 6, dicukupkan dengan aquadest sampai 100 ml.
Disaring, 5 tetes pertama dibuang dan tetesan selanjutnya ditampung.
V. PROSEDUR KERJA
1. Hewan ditimbang dan diberi tanda.
2. Diukur suhu rata – rata 3 ekor tikus dengan termometer m elalui rektal dengan selang
waktu 5 menit sebanyak 3 kali, lalu dirata – ratakan.
3. Dihitung dosis 2,4 dinitrofenol 0,5% dosis 5 mg/KgBB, diberikan secara i.m.
4. Diukur kenaikan suhu tubuh tikus dengan selang waktu 5 menit sampai 20 menit.
5. Dihitung dosis dan diberikan:
a. Tikus I : suspensi CMC Na 0,5% dosis 1% BB secara oral.
b. Tikus II : suspensi parasetamol 10% dosis 400 mg/kgBB secara oral.
c. Tikus III : obat X % dosis 400 mg/KgBB secara oral.
6. Diukur perubahan suhu yang terjadi dengan selang waktu 5 menit sampai 50 menit.
7. Dibuat grafik suhu vs waktu.
30
VI. Grafik
Keterangan :
a. Setiap garis dari grafik berbeda warna (untuk setiap hewan)
b. Skala grafik harus disesuaikan
DAFTAR PUSTAKA
………(2006). UGO BASILE BIOLOGICAL RESEARCH APPARATUS. p. 9.
Basto, J.K.(2004). Analgesic and anti-inflammatory activity of a crude root extract
of Pfaffia glomerata (Spreng) Pedersen. Journal of Ethnopharmacology 96 (2005). pp. 87–91.
Burn J.H, Finney D.J, Goodwin L.G. (1950). Chapter XIV: Antipyretics and analgesic, In:
Biological Standarization. Oxford University Press. London. New York. pp. 312-9.
Neal, M.J.(2002). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.
hal. 64-5.
Parmar, N.S and Prakash, S. (2006). Screening methods in Pharmacology. Alpha Science
International Ltd. Oxford, U.K. pp. 211-238.
Tjay, H.T and Rahardja, K. (2008). Obat-obat penting khasiat, penggunaan, dan efek-efek
sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Halaman 310-319.
31
DATA LAPORAN PERCOBAAN
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Grup :
Responser :
Asisten Pengawas :
10
15
Rata-Rata
2. Tikus 2 (Parasetamol) 5
10
15
Rata-Rata
3. Tikus 3 (Obat X) 5
10
15
Rata-Rata
32
B. Suhu Setelah pemberian DNF
Waktu Suhu
No. Keterangan
(menit) (⁰C)
10
15
20
2. Tikus 2 (Parasetamol) 5
10
15
20
3. Tikus 3 (Obat X) 5
10
15
20
33
C. Suhu Setelah Pemberian Obat
Waktu Suhu
No. Keterangan
(menit) (⁰C)
10
15
20
25
30
35
40
45
50
2. Tikus 2 (Parasetamol) 5
10
20
25
30
35
40
34
45
50
3. Tikus 3 (Obat X) 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
35
VI. PEMBAHASAN
36
37
DAFTAR PUSTAKA
Burn J.H, Finney D.J, Goodwin L.G. (1950). Chapter XIV: Antipyretics and analgesic,
In: Biological Standarization. Oxford University Press. London. New York. pp.
312-9.
Parmar, N.S and Prakash, S. (2006). Screening methods in Pharmacology. Alpha Science
International Ltd. Oxford, U.K. pp. 211-238.
Tjay, H.T and Rahardja, K. (2008). Obat-obat penting khasiat, penggunaan, dan efek-
efek sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Halaman 310-
319.
Medan,_____________
NILAI :
Asisten Praktikan
(________________) (___________________)
38
GRAFIK PERCOBAAN
ANTIPIRETIK
39
BAB 4. AKTIVITAS ANTIINFLAMASI OBAT/SEDIAAN UJI
II. Pendahuluan
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, dan zat-zat mikrobiologik. Inflamasi
adalah usaha untuk menginaktivasi atau merusak mikroorganisme yang menyerang,
menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika penyembuhan
lengkap, proses peradangan biasanya reda. Inflamasi dicetus oleh pelepasan mediator
kimiawi, (seperti prostaglandin, histamin dan leukotrien) dan migrasi sel (yang dicetus oleh
sitokin pro-inflamasi) (Mycek et al. 1997). Proses inflamasi dikenal dengan lima tanda utama:
panas (color), kemerahan (rubor), sakit (dolor), bengkak (tumor), dan kehilangan fungsi (loss
of function) (Eales 2003).
Berdasarkan lama terjadinya, inflamasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
inflamasi akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut adalah reaksi pertahanan paling awal dari
jaringan tubuh terhadap agen perusak, dan berkahir setelah beberapa jam atau hari. Penyebab
inflamasi akut diantaranya adalah mikroba, reaksi hipersensitifitas, zat kimia, trauma fisik dan
kerusakan jaringan. Sel-sel imun yang berperan dalam reaksi ini diantaranya adalah neutrofil,
eosinofil dan mastosit (Shell 1987). Sedangkan inflamasi kronis adalah reaksi inflamasi tubuh
yang terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama. Inflamasi kronis melibatkan banyak jenis
sel imunitas, seperti sel fagosit mononuklear serta sel T limfosit (Stephenson 2004).
Prostgalandin adalah mediator kimia utama yang terlibat dalam proses inflamasi,
disamping mediator kimia lainnya, dan menjadi target kerja obat-obat antiinflamasi. Asam
arakidonat adalah prekursor utama prostaglanding. Asam arakidonat dilepaskan dari jaringan
fosfolipid oleh kerja phospholipase A2 dan asil hidrolase lainnya. Selanjutnya, dibiosintesis
lagi dengan bantuan siklooksigenase (COX) menjadi eikosanoid. Terdapat dua isomer utama
dari COX yang berperan dalam biosintesis prostaglandin, COX1 dan COX2. COX1 bersifat
ada dimana-mana, sedangkan yang kedua diinduksi dalam respon terhadap rangsangan
inflamasi. Prostaglandin dan metabolitnya yang dihasilkan secara endogen dalam jaringan
bekerja sebagai tanda lokal yang menyesuaikan respons tipe sel spesifik (Mycek et al. 1997).
40
III. Metode Skrining
Secara in vivo model hewan inflamasi digunakan dalam penentuan aktivitas senyawa
atau bahan obat sebagai antiinflamasi. Model hewan inflamasi dapat diperoleh dengan cara
penyuntikan secara intraplantar hewan uji (tikus atau mencit) dengan penginduksi seperti:
karagenan, antigen asing dan asam arakidonat, yang dapat mencetus proses inflamasi
(ditandai dengan pembengkakan pada telapak kaki hewan inflamasi) (Blank et al. 2004).
Bahan penginduksi inflamasi ini mencetus mekanisme inflamasi yang kompleks, melibatkan
banyak mekanisme, meliputi pelepasan mediator-mediator biokimia, seperti: prostaglandin,
histamin, bradikini, sitokin pro inflamasi, serta peningkatan migrasi sel-sel leukosit ke tempat
terjadnya inflamasi (Chiang et al. 2005). Selanjutnya model hewan inflamasi, ditritmen
dengan sediaan uji atau senyawa obat dengan dosis yang telah ditentukan. Aktivitas
antiinflamasi dapat ditentukan dengan cara mengukur bengkak pada telapak kaki hewan uji
dalam interval waktu tertentu, dengan menggunakan alat pletismometer. Berkurangnya
bengkak pada telapak kaki hewan uji menandakan adanya aktivitas antiinflamasi.
2. Antiinflamasi Steroid
Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim phospholipase A2, yang
bertanggung jawab dalam pelepasan asam arakidonat (prekursor prostaglandin) dari membran
sel. Contoh dari golongan obat ini adalah: prednison (Mycek et al. 1997).
41
V. Metode Percobaan
5.1 Alat
Spuit,oral sonde, pletismometer manual atau digital
5.2 Bahan
Larutan karagenan 1% dalam aquadest (dibuat sehari sebelum percobaan), CMC Na, suspensi
obat deksametason 0,0015% dosis 0,045 mg/kgBB
5.3 Hewan Uji
Tikus
5.4 Prosedur
1. Tikus dipuasakan (tetap diberi air minum) sejak ± 18 jam sebelum percobaan
2. Tikus ditimbang, lalu diberikan tanda pada sendi kaki belakang sebelah kiri untuk setiap
tikus.
3. Volume kaki tikus diukur dengan cara mencelupkan kaki yang telah ditandai sampai batas
tanda yang telah diberikan ke alat pletismometer, lalu dilihat tinggi cairan pada alat (jika
menggunakan pletismometer manual) atau nilai yang tertera di layar (jika menggunakan
pletismometer digital). Nilai ini dinyatakan sebagai volume awal (V0).
4. Tikus diberikan suspensi obat deksametason 0,0015% dosis 0,045 mg/kgBB, suspensi obat
X 360 mg/kgBB dan suspensi CMC Na untuk tikus kontrol secara oral.
5. Pada menit ke-30 setelah pemberian obat, disuntikkan larutan karagenan 1% dengan
volume 0,05 ml ke telapak kaki belakang kiri setiap tikus.
6. 30 menit kemudian, volume kaki yang telah disuntik karagenan diukur dan dicatat.
Pengukuran dilakukan selama 3 jam dengan interval 30 menit sekali.
7. Catat hasil pengamatan dalam tabel, lalu untuk setiap tikus, hitung persentase radang dan
persentase inhibisi radang yang terjadi untuk setiap titik waktu (30 menit, 60 menit, 90
menit dan seterusnya) dengan menggunakan rumus:
42
Untuk Persentase Inhibisi Radang (%IR) :
(% R Kontrol - % R Obat)
%IR = × 100%
%R Kontrol
8. Berdasarkan data yang diperoleh, gambarkanlah grafik persentase radang dan persentase
inhibisi radang yang tergantung pada waktu.
43
VI. Hasil
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Grup :
Responser :
Asisten Pengawas :
T = 40
No. Keterangan Berat Vo T = 20 menit menit
Vt %R % IR Vt %R % IR
1 Tikus kontrol
2 Tikus obat A
3 Tikus obat B
T = 80
No. Keterangan Berat Vo T = 60 menit menit
Vt %R % IR Vt %R % IR
1 Tikus kontrol
2 Tikus obat A
3 Tikus obat B
T=3
No. Keterangan Berat Vo T =2.5 jam jam
Vt %R % IR Vt %R % IR
1 Tikus control
2 Tikus obat A
3 Tikus obat B
44
VII. Pembahasan
45
46
DAFTAR PUSTAKA
Blank, M.D., Dmitrieva, M., Franzotti, E.M., Antoniolli, A.M., Andrade, M.R. dan
Marchioro, M. 2004. Anti-inflammatory and analgesic activity of Peperomia
pellucida (L.) HBK (Piperaceae). Journal of Ethnopharmacology 91 (2004)
215–218.
Chiang, N., Arita, M. dan Serhan, C.H. 2005. Anti-inflammatory circuitry: Lipoxin,
aspirin-triggered lipoxins and their receptor ALX. Prostaglandins, Leukotrienes
and Essential Fatty Acids 73: 163–177.
Eales, L,J. 2003. Immunology for Life Scientist. Second edition. London: Jhon Wiley &
Sons.
Katzung, B. G., 1992, Basic and Clinical Pharmacology, 5th Ed. New York: Prectice
HallInternational inc.
Mycek, J.M., Harvey, R.A., Champe, P.C dan Fisher, B.D. 1997. Lippincott’s Illustrated
Reviews: Pharmacology. Philadelphia: Lippincotts-Raven Publisher.
Shell, S. 1987. Immunology immunopathology and immunity. Fourth edition. New York:
Elsevier Science Publishing Company.
Stephenson. T.J. 2004. Inflammation. Dlm. Underwood. General and Systemic Pathology.
Fourth edition. Toronto: Elsevier Limited.
47
Medan,______________
NILAI : Asisten Praktikan
(________________) (______________________)
48
GRAFIK PERCOBAAN
ANTIINFLAMASI
49
BAB 5. AKTIVITAS ANTIDIABETES OBAT
II. Pendahuluan
Diabetes melitus adalah sekumpulan gejala akibat gangguan metabolisme lemak,
karbohidrat dan protein karena defisiensi insulin, baik karena kurangnya sekresi insulin,
kurangnya aktifitas insulin maupun keduanya.
Pelepasan insulin dirangsang oleh sejumlah besar zat endogen dan eksogen. Glukosa
merupakan salah satu zat eksogen yang menjadi penentu utama fungsi sel-β dalam
mensintesis maupun melepaskan insulin. Glukosa yang berada di aliran darah akan memasuki
sel-β melalui transpor terfasilitasi yang diperantarai oleh GLUT2. Selanjutnya glukosa
mengalami proses metabolisme, pada akhirnya menyebabkan terbukanya saluran kalsium
voltage-gated. Peningkatan kalsium intraselular menstimulasi eksositosis granula diikuti
pelepasan insulin dan komponen lainnya ke sirkulasi (Lawrence, 2005).
Insulin kemudian berikatan dengan reseptornya di permukaan sel pada jaringan target.
Adapun jaringan target yang penting untuk pengaturan homeostasis glukosa adalah hati, otot
dan lemak. Selain itu, insulin juga bekerja pada sel darah, sel otak dan sel gonad. Interaksi
antara insulin dan reseptor menghasilkan sinyal yang ditransmisikan ke dalam sel untuk
mengaktifasi berbagai jalur anabolik dan menghambat proses katabolik. Kerja anabolik
insulin ini mencakup transpor glukosa, sintesis glikogen, lipid dan protein. Transpor glukosa
ke dalam sel otot rangka dan adiposa diperantarai oleh GLUT4. Insulin juga meningkatkan
pemasukan glukosa ke dalam sel hati. Glukosa dalam sel selanjutnya dapat dimetabolisme
dengan berbagai cara. Dalam otot rangka dan hati, glukosa disimpan dalam bentuk glikogen
(glikogenesis) untuk dapat dipakai kembali (glikogenolisis). Di dalam sel lemak, glukosa
dimetabolisme menjadi asetil koA yang kemudian digunakan untuk mensintesis asam lemak.
Pengesteran asam lemak dengan gliserol menghasilkan trigliserida yang merupakan bentuk
penyimpanan energi.
50
III. Metode Skrining
Model hewan diabetes melitus digunakan untuk memvalidasi beraneka tumbuhan
obat yang diduga mempunyai potensi sebagai antidiabetes. Secara in vivo, model hewan
diabetes melitus dapat diperoleh dengan induksi secara farmakologi, pembedahan maupun
rekayasa genetika. Sebagai hewan uji, dapat digunakan hewan pengerat (rodensia) maupun
bukan pengerat (non rodensia), namun sebahagian besar penelitian dilakukan pada hewan
pengerat seperti tikus dan mencit. Hewan bukan pengerat yang juga sering digunakan adalah
kelinci, dan diklaim sebagai model hewan yang lebih baik (Frode dan Medeiros, 2008;
Kelompok Kerja Ilmiah Phyto Medica, 1993, Rees dan Alcolado, 2005).
Induksi secara farmakologi yang paling sering digunakan adalah dengan menggunakan
glukosa (uji toleransi glukosa), streptozotosin dan aloksan. Streptozotosin lebih dijadikan
pilihan dibandingkan aloksan karena diabetes melitus yang ditimbulkan lebih stabil dan
permanen (Frode dan Medeiros, 2008). Aloksan adalah analog glukosa yang bersifat toksik.
Bila diberikan pada hewan uji, ia akan terakumulasi secara selektif pada sel β pankreas dan
menghasilkan radikal bebas. Pembentukan radikal bebas pada reaksi redoks inilah yang
menyebabkan aloksan bersifat toksik karena merusak sel β dan menyebabkan terganggunya
produksi insulin (Lenzen, 2008).
51
IV. Obat Antidiabetes
Terapi diabetes melitus dapat dilakukan secara non farmakologi, farmakologi maupun
kombinasi keduanya. Secara non farmakologi adalah dengan diet rendah karbohidrat dan
berolah raga yang cukup. Secara farmakologi adalah dengan pemberian obat-obatan baik
insulin maupun non insulin.
Obat-obat berikut ini termasuk ke dalam obat-obat non insulin yang sering digunakan
oleh penderita diabetes mellitus.
b. Kelompok Antihiperglikemia
Antihiperglikemia adalah obat yang mampu menurunkan kadar glukosa darah
dan kecil kemungkinan untuk menyebabkan hipoglikemia. Kelompok obat ini berbeda
mekanisme kerjanya dengan kelompok hipoglikemia oral. Ada 3 golongan yang termasuk
kelompok ini yaitu biguanida, tiazolidinedion dan penghambat α-glukosidase (Lawrence,
2005).
52
V. Metode Percobaan
5.1 Alat
Spuit dengan oral sonde, glucotest, restrainer mencit.
5.2 Bahan
Glukosa monohidrat, CMC-Na, glibenklamid, strip test, ekstrak tumbuhan.
5.3 Hewan Uji
Mencit usia 2-3 bulan.
5.4 Prosedur
1. Mencit dipuasakan (tidak makan tapi tetap minum) selama 1 hari.
2. Kemudian berat badan ditimbang dan diukur kadar glukosa darah awal.
3. Selanjutnya mencit dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
I : Kelompok kontrol, diberikan CMC Na 0,5% dosis 1% BB.
II : Kelompok uji, diberikan ekstrak tumbuhan
III : Kelompok pembanding, diberikan glibenklamid 0,01% 0,45 mg/kgBB
4. Setelah 30 menit, diberikan larutan glukosa 3 g/kg bb per oral
5. Diukur kadar gula darah mencit pada menit ke 30, 60, 90 dan 120 setelah loading glukosa.
6. Analisis secara statistik kadar glukosa darah antara kelompok uji dengan pembanding dan
kelompok uji dengan kontrol.
53
VI.Hasil
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Grup :
Responser :
Asisten Pengawas :
Kontrol 1
(CMC Na)
2
Rata-rata
Uji 1
Rata-rata
54
Pembanding 1
(Glibenklamid)
2
Rata- Rata
55
VII. Pembahasan
56
57
DAFTAR PUSTAKA
Federiuk, I.F., Casey, H.M., Quinn, M.J., Wood, M.D. dan Ward, WK. (2004) : Induction of Type-1
Diabetes Mellitus in Laboratory Rats by Use of Alloxan: Route of Administration, Pitfalls,
and Insulin Treatment, Comparative Medicine,(54), 252-257.
Frode, T.S., dan Medeiros, Y.S. (2008) : Animal Models to Test Drugs With Potential Antidiabetic
Activity, Journal of Ethnopharmacology, 115 (2), 173-183.
Katsumata, K., Katsumata Jr, K., Katsumata, Y. (1992) : Protective Effect of Diltiazem Hydrochloride
on the Occurrence of Alloxan or Streptozotocin Induced Diabetes in Rats, Hormone
andMetabolic Research,(24), 508-510.
Katzung, B, G. (1998) : Hormon Pankreas & Obat-Obat Antidiabetes, Farmakologi Dasar dan Klinik.
Edisi VI. Alih Bahasa : Staf Dosen Farmakologi FK Universitas Sriwijaya. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Kelompok Kerja Ilmiah Phyto Medica. (1993) : Pedoman Pengujian dan Pengembangan
Fitofarmaka,Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik.
YayasanPengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medica, Jakarta, 15, 37.
Lawrence, Jr, J. C. 2005. Insulin and Drugs Used in The Therapy of Diabetes Mellitus, 473 dalam
Minneman, K.P. dan Wecker, L., Eds, Consulting Editor Larner, J, dan Brody, T. M.,
Brody’s Human Pharmacology Molecular to Clinical, edisi keempat.
Lenzen, Tiedge, M., Jorns, A., Munday, R. (1996) : Alloxan Derivatives As a Tool for the Elucidation
of the Mechanism of the Diabetogenic Action of Alloxan, 113-122, dalam Shafrir, E., Eds,
Lessons from Animal Diabetes, Birkhauser, Boston.
Rees, D. A., dan Alcolado, J.C. (2005) : Animal Models of Diabetes Mellitus, Diabetic Medicine,
(22), 359-370.
58
Medan,_______________
NILAI :
Asisten Praktikan
(________________) (______________________)
59
GRAFIK PERCOBAAN
AKTIVITAS HIPOGLIKEMIK
60
BAB 6. AKTIVITAS DIURETIKA OBAT
II. Pendahuluan
Diuretik adalah obat yang bekerja pada ginjal untuk meningkatkan ekskresi air dan
elektrolit. Fungsi diuretik utamanya adalah untuk mengatasi udem, yaitu memobilisasi cairan
yang berarti merubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel
kembali menjadi normal. Disamping untuk menangani udem, diuretik juga efektif pada
gangguan lainnya seperti hipertensi, diabetes insipidus, hiponatremia, nefrolitiasis,
hiperkalsemia, dan glaukoma. Meskipun semua diuretik secara umum meningkatkan elektrolit
dan ekskresi air untuk menurukan volume cairan ekstraselular, namun mekanisme kerjanya
berbeda.
Mekanisme kerja : turunan xantin merupakan diuretika lemah sampai sedang. Senyawa
ini bekerja dengan meninggikan pasokan darah ginjal terutama pada daerah medula ginjal.
Pada saat bersamaan tahanan vasa afferen akan berkurang jauh lebih banyak dari vasa efferen,
sehingga laju filtrasi glomerulus lebih besar. Turunan xantin mungkin merupakan satu-
satunya diuretika yang meninggikan GFR dan kerjanya paling tidak sebagian disebabkan oleh
peningkatan pembentukan urin primer. Pasokan darah yang lebih besar pada medula ginjal
akan menyebabkan diuresis yang lebih banyak. Pada penggunaan yang terus-menerus
kerjanya akan berkurang dan dalam banyak hal kerjanya tidak mencukupi, maka turunan
xantin jarang digunakan lagi sebagai diuretika.
Osmodiuretika: mannitol, sorbitol, gliserin, urea, isosorbid
Mekanisme kerja : senyawa ini inert secara farmakologi, setelah difiltrasi di glomerulus
tidak mengalami reabsorbsi di tubulus. Sesuai dengan tekanan osmotiknya, senyawa ini
akan menahan air di lumen tubulus, sedangkan natrium akan direabsorbsi. Namun
natrium yang direabsorbsi akan menjadi lebih sedikit karena terjadi perbedaan
konsentrasi natrium yang cepat yaitu konsentrasi natrium di lumen lebih kecil
dibandingkan di dalam sel, sehingga lebih banyak natrium yang tertahan. Dengan
61
demikian akan meningkatkan diuresis. Ekskresi elektrolit hanya ditingkatkan sedikit saja
oleh senyawa ini. Tempat kerja utamanya adalah loop of Henle.
Penghambat enzim karbonik anhidrase : asetazolamid , diklorfenamid, metazolamid
Mekanisme kerja : obat ini terutama bekerja pada tubulus proksimal, tempat kerja lainnya
adalah pada tubulus pengumpul (collecting duct) dengan cara menghambat enzim
karbonik anhidrase, sehingga memperkecil reabsorbsi tubulus dari ion natrium, karena
jumlah ion H+ yang masuk ke lumen lebih sedikit. Akibatnya adalah terjadi peningkatan
ekskresi ion natrium, kalium dan hidrogen karbonat melalui ginjal dan disertai ekskresi
air. Kehilangan basa akan menyebabkan terjadinya asidosis dalam darah. Dengan ini
kerja inhibitor karboanhidratase akan berkurang dengan cepat.
Diuretika tiazida (Inhibitor Na+dan Cl-Symport)
Turunan dihidrobenzotiazidin : Hidroklorotiazida, triklormetiazida, butizida, politiazida,
bendroflumetiazida
Diuretika Sulfonamida Analogi Tiazida : Mefrusida, klopamida, klortalidon, xipamida
Mekanisme kerja : obat ini menghambat symport Na+ - Cl- sehingga menghambat
reabsorbsi natrium dan klorida pada tubulus distal (tempat kerja utama) dan tubulus
proksimal (bekerja lemah pada enzim karbonik anhidrase). Symport ini diatur oleh
aldosteron.
Diuretika loop of Henle (Inhibitors Of Na+–K+–2Cl–Symport)
Diuretika loop of Henle Tipe Furosemida : furosemida, bumetanida, piretanida
Kelompok diuretika loop of Henle lainnya : asam etakrinat, etozolin, muzolimin
Mekanisme kerja : semua diuretika loop of Henle bekerja pada cabang menaik yang tebal
dari loop of Henle. Merupakan diuretika yang bekerja kuat (diuretika plafon tinggi).
Obat ini dari tepi lumen (cepat dan bolak-balik) menghambat pembawa Na+/K+/2Cl- dan
dengan cara ini mengahambat absorbsi ion natrium, ion kalium dan ion klorida pada loop
of Henle tebal menaik. Untuk dapat bekerja di daerah lumen, obat ini dari aliran darah
harus masuk ke cairan tubulus. Transpor terjadi melalui sekresi aktif tubulus proksimal.
Ini yang menjelaskan mengapa pada insufisiensi ginjal yang proses sekresinya
dipengaruhi, diperlukan dosis yang lebih tinggi dan saat mulai kerja juga lebih lambat.
Diuretika penahan kalium
Antagonis aldosteron : spironolakton, kanrenon (metabolit aktifnya), kalium kanrenoat,
eplerenon
Mekanisme kerja : spironolakton (atau kanrenon) memblok secara kompetitif ikatan
aldosteron pada reseptor sitoplasma di tubulus distal akhir dan dalam tubulus
penampung. Dengan demikian aldosteron tidak dapat masuk ke inti sel berikatan dengan
reseptornya dan tidak dapat menghasilkan protein yang berfungsi untuk membuka
62
saluran natrium dalam membran sel lumen. Akibatnya absorbsi akan berkurang dan pada
saat bersamaan ekskresi kalium akan berkurang.
Turunan Sikloamidin : triamteren, amilorid
Mekanisme kerja : blokade saluran natrium dalam tubulus distal akhir dan dalam tubulus
penampung. Selain itu diduga bekerja pada saluran kalium (karena sekresi K + ke lumen
berhubungan dengan masuknya Na+) atau pada pembawa untuk pertukaran natrium-
proton.
III. Metode Percobaan
3.1 Alat
Kandang metabolisme, spuit dan oral sonde, gelas ukur, vial
3.2 Bahan
Furosemid, ekstrak, CMC, akuades
3.3 Hewan Uji
Tikus galur Wistar usia 4 bulan, berat 180-220 gram
3.4 Prosedur Percobaan
1. Tikus dipuasakan 1 malam.
2. Ditimbang dan dibagi menjadi 3 kelompok:
I: Kontrol, diberikan CMC 0,5%
II : Uji, diberikan ekstrak
III: Pembanding, diberikan furosemid 3,6 mg/kg bb
3. Diberi loading NaCl 3 mL/kg BB.
4. Dibiarkan selama 4 jam dan ditampung urinenya untuk diukur volumenya.
5. Dianalisis data secara statistic.
63
DAFTAR PUSTAKA
Brody, T.M. dan Larner, J. 2005. Brody’s Human Pharmacology Molecular to Clinical.
Fourth Edition. Hal : 163.
Katzung, B.G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Hal : 245.
64
DATA LAPORAN PERCOBAAN
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Group :
Responser :
Asisten Pengawas :
Volume Volume urine (mL)
Berat badan
Kelompok Tikus aquadest 120 180 240
(g) 60 menit
(mL) menit menit Menit
Kontrol 1
(CMC)
2
Rata-rata
Uji 1
Rata-rata
Rata- rata
UJI
65
Pembanding 1
(Furosemid)
2
Rata- rata
66
VII. PEMBAHASAN
67
68
DAFTAR PUSTAKA
Brody, T.M. dan Larner, J. 2005. Brody’s Human Pharmacology Molecular to Clinical. Fourth
Edition. Hal : 163.
Katzung, B.G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Hal : 245.
Medan, _______________
NILAI :
Asisten, Praktikan
(________________) (______________________)
69
GRAFIK PERCOBAAN
AKTIVITAS DIURETIKA
70
BAB 7. AKTIVITAS OBAT TERHADAP SISTEM SARAF PUSAT
II. PENDAHULUAN
Obat-obatan yang bekerja untuk sistem saraf pusat (SSP) merupakan salah satu yang
pertama ditemukan manusia primitif dan masih digunakan secara luas sebagai zat farmakologi
sampai sekarang. Beberapa golongan obat ini bersifat adiktif dan menyebabkan disfungsi berat
baik bagi pribadi, sosial maupun ekonomi, maka perlu memberi batasan dalam penggunaan
dan penyediaannya.
Cara kerja berbagai obat pada SSP tidak selalu dapat dijelaskan. Karena penyebab
penyakit-penyakit yang dapat disembuhkannya (seperti skizofren, ansietas) belum seluruhnya
dapat diketahui sehingga selama ini obat tersebut bersifat deskriptif.
Pertama, jelas semua obat SSP bekerja pada reseptor khusus yang mengatur transmisi
sinaps. Beberapa obat seperti anestetik umum dan alkohol dapat bekerja secara nonspesifik
pada membran (meskipun pengecualian ini tidak sepenuhnya diterima) tetapi kerja tanpa
melalui reseptor ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang mencolok pada transmisi
sinaps.
Kedua, obat-obatan merupakan alat paling pentng untuk mempelajari aspek fisiologi
SSP mulai dari terjadinya bangkitan sampai pada penyimpanan memori jangka panjang,
Ketiga, kerja obat dengan manfaat klinik yang nyata telah membawa hipotesa yang sangat
menguntungkan mengenai mekanisme penyakit. Misalnya, informasi tentang obat antipsikotik
pada reseptor memberikan dasar hipotesa tentang patologi skizofren. Kajian beberapa efek
agonis dan antagonis reseptor asam gamma-aminobutirat (GABA) memberikan konsep baru
tentang penyakit-penyakit termasuk ansietas dan epilepsi.
71
dan Saluja, 2005). Diazepam dapat merupakan relaksan otot yang bekerja sentral dan
berpengaruh selektif terhadap refleks polisinaptik disumsum tulang belakang, maka diazepam
dapat digunakan untuk mengatasi kejangan yang diakibatkan striknin.
IV. METODE PERCOBAAN
4.1 Alat
Spuit dengan oral sonde,restrainer mencit, stopwatch
4.2 Bahan
Isoniazid, diazepam, NaCl 0,9%, air suling, CMC Na 0,5%.
4.3 Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah mencit usia 2-3 bulan
4.4 Prosedur
a. Hewan ditimbang, dicatat dan ditandai pada ekornya
b. Dihitung dosis dengan pemberian:
- Mencit 1 : Kontrol aquadest dosis 1%/BB (i.p)
- Mencit 2 : Diazepam [ ] 0,5 % dosis 20 mg/kgBB (i.p)
- Mencit 3 : Diazepam [ ] 0,5 % dosis 25 mg/kgBB (i.p)
3. Diamati gejala yang terjadi pada mencit
4. Setelah 1 jam masing-masing mencit disuntikkan Isoniazid 2% dosis 400 mg/kgBB
secara intraperitoneal, lalu diamati onset konvulsi (awal mula kejang), durasi proteksi
selama 2 jam dan jumlah kematian selama 2 jam.
5. Dibuat grafik respon vs waktu
V. GRAFIK
NB :
i. Setiap garis dari grafik berbeda warna (untuk setiap hewan)
ii. Skala grafik harus disesuaikan.
72
DATA LAPORAN PERCOBAAN
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Group :
Responser :
Asisten Pengawas :
2 Diazepam dosis
20mg/KgBB
3 Diazepam dosis
25mg/KgBB
Diazepam Isoniazid
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Mencit 1
Mencit 2
Mencit 3
Diazepam Isoniazid
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Mencit 1
Mencit 2
Mencit 3
73
VI. PEMBAHASAN
74
75
DAFTAR PUSTAKA
Medan, ________________
NILAI :
Asisten Praktikan
(________________) (______________________)
76
77
GRAFIK PERCOBAAN
EFEK OBAT TERHADAP SUSUNAN SARAF PUSAT
78
BAB 8. AKTIVITAS OBAT TERHADAP SISTEM SARAF PERIFER
II. Pendahuluan
Obat Kolinergik singkatnya disebut kolinergik juga disebut sebagai parasimpatomimetik,
berarti obat yang bekerja menyerupai perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada
syaraf yang secara anatomis termasuk syaraf simpatis yang transmitornya asetilkolin maka
istilah obat kolinergik lebih tepat daripada istilah parasimpatomimetik. Obat Kolinergik
dibagi dalam tiga golongan :
1. Setilkolin : dalam golongan ini termasuk asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol
2. Antikolinesterase : termasuk di dalamnya eserin (fisostigmin), prostigmin
neostigmin), diisopropil-flurofosfat (DFP), dan insektisid golongan organofosfat.
3. Alkaloid tumbuhan yaitu muskarin, pilokarpin, dan asetilkolin.
Obat adrenergik juga disebut sebagai simpatomimetik yang sifatnya menyerupai efek
yang ditimbulkan oleh susunan saraf simpatis (Gan, 2007).
Respon suatu organ otonom terhadap perangsangan saraf adrenergik bergantung pada
jenis reseptor adrenergik yang dimiliki organ tersebut serta jenis organ itu sendiri. Misalnya
mata, otot radial iris mata mempunyai reseptor α1, maka perangsangan saraf adrenergik akan
menyebabkan kontraksi (midriasis), otot siliaris mata mempunyai reseptor β2, maka
perangsangan saraf adrenergiknya relaksasi untuk melihat jauh (lemah) (Gan,2007). Mata
adalah contoh suatu organ dengan berbagai fungsi sistem saraf otonom, yang dikontrol
berbagai reseptor otonom. Kolinomimetik muskarinik menyebabkan kontraksi otot konstriktor
pupil sirkular dan otot siliaris.
III. Metode
3.1 Alat – alat
Timbangan hewan (kelinci), botol tetes, stopwatch, flashlight (senter), Jangka Sorong,
LUV (kaca pembesar).
3.2 Bahan – bahan
Pilokarpin 1%, Atropin 1%
79
3.3 Hewan
Kelinci berat 1,5 – 2 kg
3.4 Prosedur percobaan
a. Diukur diameter mata normal kanan dan kiri kelinci serta refleksnya terhadap cahaya
sebanyak 3 kali dengan selang waktu 5 menit.
b. Diberi tetes mata pilokarpin sebanyak 2 tetes pada mata kanan dan kiri.
c. Diamati diameter pupil kedua mata kelinci serta refleksnya terhadap cahaya selama
30 menit selang waktu 5 menit.
d. Setelah 30 menit diberi tetes mata atropin sebanyak 2 tetes pada kedua mata.
e. Diamati diameter pupil kedua mata kelinci serta refleksnya terhadap cahaya selama
30 menit selang waktu 5 menit.
f. Dibuat grafik diameter pupil vs waktu
IV. Grafik
Diameter (mm)
Waktu (menit)
80
V. Hasil
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Grup :
Responser :
Asisten Pengawas :
A. Kelinci Kontrol
Waktu Mata Kiri Mata Kanan
No Perlakuan
(Menit) D (mm) Refleks D (mm) Refleks
1 Normal 5
10
15
Rata-rata
2 Pilokarpin 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
B. Kelinci dengan Pemberian Obat
2 Pilokarpin 5
10
15
81
Waktu Mata Kiri Mata Kanan
No Perlakuan
(Menit)
D (mm) Refleks D (mm) Refleks
20
25
30
3 Atropin Sulfat 35
40
45
50
55
60
KETERANGAN
+ = Lambat
++ = Cepat
_ = Tidak ada reaksi
82
VI. Pembahasan
83
84
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara, S. (2007). Obat Otonom. Dalam Farmakologi dan Terapi ed.5. editor : Sulistia Ganiswara.
Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Halaman 29-47.
Medan,______________
NILAI :
Asisten Praktikan
(________________) (______________________)
85
GRAFIK PERCOBAAN
EFEK OBAT TERHADAP SISTEM SARAF SIMPATIS DAN PARASIMPATIS
86
BAB 9. AKTIVITAS OBAT/SEDIAAN UJI TERHADAP SISTEM
PENCERNAAN
II. Pendahuluan
Diare berasal dari kata dia: melewati; rheein: mengalir, secara umum didefinisikan
sebagai peningkatan frekuensi dari buang air besar dan bentuk tinja yang tidak normal atau
cair (Navaneethan dan Ralph, 2011). Dapat juga dikatakan sebagai peningkatan abnormal
liquiditas, frekuensi (>3/hari), berat feses (> 200g per hari).
Kandungan cairan penentu utama volume dan konsistensi feses umumnya adalah 70-
85%. Kandungan bersih cairan feses menggambarkan keseimbangan input dan output lumen.
Input lumen terdiri ingesti serta sekresi air dan elektrolit sedangkan output lumen adalah
absorpsi sepanjang saluran cerna. Adanya ketidakseimbangan input dan output lumen ini akan
menginduksi terjadinya diare. Keseimbangan ini dijaga oleh saluran cerna dengan cara
mengekstraksi air, mineral, dan nutrien dari isi lumen, serta menyisakan sejumlah cairan
tertentu yang sesuai untuk memudahkan pengeluaran zat sampah melalui proses defekasi.
Pada keadaan normal, kapasitas absorpsi total usus halus 16L dan kolon 4-5 L. Mekanisme
Neurohumoral, patogen, obat-obatan dapat merubahnya baik absorpi maupun sekresi, juga
perubahan motilitas (Sunoto dan Wiharta, 1987).
Pada keadaan normal makanan yang terdapat di dalam lambung dicerna menjadi bubur
kimus kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh enzim-enzim
pencernaan. Setelah zat-zat gizi diresorpsi oleh vili ke dalam darah, sisa kimus yang terdiri
dari 90% air dan sisa makanan yang sukar dicerna diteruskan ke usus besar (colon).
Selanjutnya bakteri flora normal akan mencerna lagi sisa (serat) tersebut, sehingga sebagian
dari padanya dapat diserap selama perjalanan melalui usus besar. Air juga diresorpsi kembali
sehingga lambat laun isi usus menjadi lebih padat dan dikeluarkan dari tubuh menjadi tinja.
Namun pada diare terjadi peningkatan peristaltik usus sehingga pelintasan kimus sangat
dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat meninggalkan tinja. Selain itu
terjadinya penumpukan cairan di usus akibat terganggunya resorpsi air dan atau terjadinya
hipersekresi (Tjay dan Rahardja, 2007).
87
Diare dapat disebabkan oleh infeksi bakteri dan virus, obat, makanan, pemanis buatan,
kafein dan alkohol serta pada kondisi Premenstrual Syndrome. Berdasarkan patofisiologinya
diare dibagi atas diare osmotik, diare sekretorik, diare eksudatif, dan motility. Diare yang terus
menerus perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan dehidrasi, hilangnya nutrient, dan
asidosis metabolik akibat keluarnya HCO3- (Sherwood, 2011).
V. Metode
5.1 Alat-alat
Spuit dengan oral sonde, restrainer tikus, alat bedah, alat ukur panjang.
88
5.2 Bahan-bahan
Oleum ricini, Loperamid, norit 5% sebagai marker, suspensi CMC 0,5%.
5.3 Hewan percobaan
Tikus
5.4 Prosedur percobaan
1. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
I : Kelompok kontrol, diberikan suspensi Norit 5% sebanyak 1 ml
II : diberikan Oleum Ricini sebanyak 2 ml dan suspensi Norit 5% sebanyak 1 ml
III : diberi ekstrak tumbuhan
IV : diberi suspensi Loperamid 0,05% dosis 1,4 mg/kg BB
2. Setelah 60 menit, diberikan Oleum Ricini sebanyak 2 ml.
3. Pada menit ke-120 semua hewan diberikan suspensi Norit 5% sebanyak 1 ml.
4. Pada menit ke-180 semua hewan dikorbankan secara dislokasi leher. Usus dikeluarkan
secara hati-hati. Diukur panjang usus yang dilalui marker norit mulai dari pilorus sampai
ujung akhir (berwarna hitam) dan panjang seluruh usus dari pilorus sampai katup ileosekal
dari masing-masing hewan.
5. Hitung persen lintas yang dilalui oleh marker norit terhadap panjang usus seluruhnya.
6. Analisis secara statistik persen lintas antara kelompok uji dengan pembanding dan
kelompok uji dengan kontrol.
89
VI. Hasil
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Grup :
Responser :
Asisten Pengawas :
Suspensi Norit 1
Rata-rata
Oleum Ricini + 1
Suspensi Norit
2
Rata-rata
1
Ekstrak
Tumbuhan 2
Rata-rata
90
1
Loperamid
2
Rata-rata
91
VII. Pembahasan
92
93
DAFTAR PUSTAKA
[KKIPM] Kelompok Kerja ilmiah Phyto Medica (1993): Penapisan Farmakologi Pengujian Fitokimia
dan Pengujian Klinik. Jakarta: Yayasan Pengembahan Obat Bahan Alam Phytomedica. Hal.
19-20.
Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Penerjemah: Brahm, U. P. Jakarta:
Penerbit EGC. Hal. 582.
Sunoto dan Wiharta, A.S. (1987): Obat-obat Antidiare, Majalah Farmakologi Indonesia & Terapi, (4).
Tjay, T.H. dan Rahardja, K. (2002). Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek
Sampingnya. Edisi Kelima. Cetakan 2. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo
Gramedia.
Medan,______________
NILAI :
Asisten, Praktikan
(________________) (______________________)
94
GRAFIK PERCOBAAN
EFEK OBAT TERHADAP SISTEM PENCERNAAN
95
BAB X. AKTIVITAS OBAT/SEDIAAN UJI
TERHADAP SISTEM IMUN
II. Pendahuluan
Sel mastosit adalah sel yang inflamasi yang terdapat pada jaringan, berasal dari
proliferasi dan diferesiasi sel hematopoeitik sum-sum tulang. Sel ini berperan dalam merespon
signal imunitas alami (innate immunity) dan juga imunitas dapat (adaptive immunity) dengan
melepaskan mediator inflamasi, dengan reaksi yang cepat (immediate) ataupun reaksi yang
bertahap (delay). Sel mastosit banyak dijumpai, terutama di dalam aliran darah atau di dalam
jaringan-jaringan tubuh (Stone et al. 2009). Mediator utama yang dilepaskan oleh sel mastosit
dalam merespon adanya agen-agen asing berbahaya yang masuk ke dalam tubuh adalah
histamin. Disamping berfungsi dalam proteksi dari serangan agen berbahaya yang masuk,
histamin juga mempunyai efek lain, seperti pada kontraksi otot halus, pad sel-sel endotel, serta
pada ujung saraf. Sel mastosit manusia mengandung lebih kurang 2 sampai 5 pg histamin per
sel (Prusin & Metclafe, 2003). Alergen spesifik sel T helper memainkan peranan yang penting
dalam reaksi patogenesis hipersensitifitas Sel Th mengaktifkan reaksi kompleks imun (IgE-sel
mast) yang mencetus rilisnya mediator poten dan meningkatkan penarikan sel-sel inflamasi
(Nauta et al. 2008).
Anafilaksis adalah reaksi alergi merugukan yang terjadi secara cepat dan sistematik,
mempengaruhi satu atau lebih organ tubuh. Reaksi anafilaksis dapat terjadi setelah paparan
makanan yang mengandung protein, obat-obatan, racun serangga serta benda yang bersifat
alergen (Boyce et al. 2009). Reaksi anafilaksis dicetusoleh cross-linking antara Ig-E dan
agregasi reseptor FcR1 pada permukaan sel mastosit dan basofil (Simons & Sampson, 2008).
Pada saat masuknya antigen, akan terjadi reaksi pengaktifan sel mastosit (melalui fragmen Ig-E
yang menempel pada permukaan sel mastosit) sehingga terjadi rilis histamin yang ada di dalam
sel mastosit (Kemp & Lokey, 2002). Jumlah histamin yang dirilis dalam respon ini sangat
banyak sehingga tidak mampu dimetabolisme oleh enzim histaminase, kelebihan histamin ini
akan menyebabkan gangguan fasiologis pada jaringan dan organ tubuh, seperti
bronkokontriksi, dilatasi pembuluh darah, udema (pembengkakan pada kulit) kontraksi pada
saluran pencernaan (Leung & Ledford, 2009).
96
III. Metode Skrining
Banyak metode yang bisa digunakan untuk mengetahui aktivitas anti-alergi suatu
senyawa atau bahan obat. Secara in vivo, model hewan yang tersensitisasi antigen yang berasal
dari protein asing maupun antibodi, dapat digunakan sebagai hewan percobaan dapat
digunakan sebagai model hewan. Penyuntikan antigen protein asing ke dalam tubuh hewan
secara subkutan/intradermal akan merangsang reaksi anafilaksis kutan aktif, penyuntikan
larutan evans blue setelah sensitisasi (7 sampai 14 hari) akan memunculkan bentolan yang
berwarna biru pada daerah sensitisasi tersebut (Arimura etal. 1990). Penyuntikan antibodi ke
tubuh hewan secara subkutan/intradermal akan mencetus reaksi anafilaksis kutan pasif, setelah
masa laten (24 sampai 72 jam), penyuntikan berulang antibodi dengan evans blue
menyebabkan munculnya bentolan biru pada daerah sensitisasi (Park et al. 2005). Rilis
histamin dari sel mastosit juga dapat ditentukan dengan metode stabilitas sel mastosit secara in
vitro, kemampuan suatu senyawa atau bahan obat dalam menghambat degranulasi mastosit
dapat diamati secara mikroskopik (Guphta et al. 1995). Kadar histamin yang dihasilkan juga
dapat ditentukan dengan metode spektrofluorometri (Shore et al. 1959). Namun, pengujian
secara in vitro jarang dilakukan dalam skala praktikum, sebab proses dan preparasi bahan-
bahan serta sample sel dan histamin yang relatif rumit.
98
VI. Hasil
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Grup :
Responser :
Asisten Pengawas :
Waktu Pengamatan
1 CMC 0,5 %
2 Sediaan Uji
3 CTM
99
VII. Pembahasan
100
101
DAFTAR PUSTAKA
Arimura, A., Nagata, M., Watanabe, A., Nakamura, K., Takeuchi, M. dan Harada, M. 1990.
Production of active and passive anaphylactic shock in the WBB6F1 mouse, a mast cell-
deficient strain. Cellular and Molecular Life Sciences. 46(7), 739-742.
Boyce, J.A., Fred Finkelman., William T. Shearer dan Donata Vercelli. 2003. Mechanisms of mast
cell signaling in anaphylaxis. American Academy of Allergy, Asthma & Immunology. 639-646.
Gupta, P.P., Srimal, R.C., Srivastava, M., Singh, K.L., Tandon, J.S., 1995. Anti-allergic activity of
Arbortristosides, from Nyctanthes arbortristis. International Journal of Pharmacognosy 33, 70–
72.
Handayani, D., Aldi, Y dan Zurmiati. 2008. Uji Aktivitas Penghambatan Degranulasi Mastosit yang
Tersensitisasi terhadap ekstrak Metanol Spon Laut Acathodendrilla SP.Jurnal Sains dan
Teknologi Farmasi. Vol. 13, No. 1, 2008, halaman 1-7.
Kemp SF, Lockey RF. 2002. Anaphylaxis: a review of causes and mechanisms. J Allergy ClinImmunol.
110:341-8.
Leung, D dan Ledford, D. 2009. Anaphylaxis: Recent advances in assessment and treatment.
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology. 625-636.
Nauta, AJ., Engels, F., Knippels, NM., Garssen, J., Nijkamp, FP dan Redegeld, FA. 2008. Review:
Mechanisms of allergy and asthma. European Journal of Pharmacology 585: 354–360
Nugroho, A.E., Yuniarti, N., Istyastono, E.P, Supardjan dan Hakim, L. 2007. Penghambatan reaksi
anafilaksis kutaneus aktif oleh Kalium Gamavuton-0 (K-GVT-0). Majalah Farmasi Indonesia.
18(2), 63 – 70.
Park, S.W., Park, E.K. dan Kim, D.H. 2005. Passive Cutaneous Anaphylaxis-Inhibitory Activity of
Flavanones from Citrus unshiu and Poncirus trifoliata. Planta Medica. 71(1): 24-27.
Prussin dan Metclafe, MD. 2003. IgE, mast cells, basophils, and Eosinophils. The American Academyof
Allergy, Asthma & Immunology. 73-80.
Shore, P.A., Burkhalter, A., Cohn Jr., V.H., 1959. A method for the fluorometric assay of histamine in
tissues. Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics 127, 182–186.
Simons FER dan Sampson HA. 2008. Anaphylaxis epidemic: fact or fiction? J Allergy Clin Immunol.
122:1166-8.
Stone, MD., Calman Prussi., dan Metcalfe, MD. 2009. IgE, mast cells, basophils, and eosinophils.
TheAmerican Academy of Allergy, Asthma & Immunology. 73-80.
Venkatesh, P., Mukherje, P., Kumar, S., Nema, N.M., Bandyophaday, P., Fukui, H dan Mizughuci, H.
2009. Mast cell stabilization and antihistaminic potentials of Curculigo orchioides rhizomes.
Journal of Ethnopharmacology 126: 434–436.
102
Medan,______________
NILAI :
Asisten, Praktikan
(________________) (______________________)
103
GRAFIK PERCOBAAN
EFEK OBAT TERHADAP SISTEM KEKEBALAN TUBUH (IMUNITAS)
104