Anda di halaman 1dari 68

DIKTAT

HYGIENE DAN SANITASI KAWASAN WISATA

Sang Gede Purnama, SKM, MSc

Program Studi Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga karya
tulis ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih
atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.

Dan harapan saya semoga buku ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi karya
tulis agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak
kekurangan dalam karya tulis ini. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan buku ini.

Hormat saya

Penulis

2
Daftar isi

BAB 1. Kejadian diare pada wisatawan …………………………………………………….4


BAB 2. Sanitasi Kawasan Wisata…………………………………………………………..11
BAB 3. Higiene pedagang makanan………………………………………………………..19
BAB 4. Cemaran mikrobiologi makanan ………………………………………………….40
BAB 5. Kualitas air minum ……………………………………………………………….47
BAB 6. Cemaran industry tahu pada lingkungan …………………………………………59

3
BAB 1.
KEJADIAN DIARE PADA WISATAWAN

1.1 Latar Belakang

Jumlah orang yang melakukan wisata mancanegara meningkat setiap tahunnya.


Menurut statistik dari World Tourism Organization, wisatawan mancanegara pada tahun 2008
mencapai 922 juta. Wisatamancanegara diperkirakan mencapai 1 miliar pada tahun 2010 dan
1,6 miliar pada tahun 2020. Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Bali (2009) pada tahun
2005-2009, wisatawan yang datang secara langsung ke Indonesia dan bali berjumlah 6,323 juta
dan 2,229 juta pada tahun 2009. Secara tradisional, kesehatan wisata bertujuan untuk
membantu wisatawan terhidar dari penyakit terkait wisata yang bisa diperoleh di daerah tujuan
wisata (luar negeri). Perlu diingat bahwa para pelancong akan terpajan dan berada pada kondisi
dan situasi lingkungan dan faktor risiko kesehatan yang tidak biasa mereka hadapi pada
lingkungan asalnya.
Wisata ke mancanegara dapat menyebabkan berbagai resiko kesehatan, tergantung dari
ciri wisatawan maupun tipe perjalanannya. Secara tiba-tiba wisatawan terpapar langsung
dengan perubahan ketinggian, kelembaban, suhu, dan mikroba yang sering menyebabkan
masalah kesehatan terjadi. Resiko kesehatan juga biasanya dapat terjadi jika pada daerah
tersebut mutu akomodasinya buruk dalam hal kualitas kebersihan dan sanitasi, layanan medis
yang kurang memadai, dan kurangnya penyediaan air bersih. Pada lain hal, kecelakaan lalu
lintas juga cukup sering menimpa wisatawan. Dari jutaan orang yang melakukan perjalanan
dari dunia Industri ke Negara-negara berkembang setiap tahun, sekitar 20% dan 50% akan
mengalami setidaknya satu episode diare sehingga traveler’s diarrhea menjadi penyakit medis
yang paling umum menimpa wisatawan. Meskipun penyakit ini dikatakan ringan, namun diare
dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan dan kesulitan ketika kita berada di luar negeri
(Sarayar & Liwang, 2012).
Traveler’s diarrhea (TD) merupakan diare yang dialami oleh wisatawan akibat terpapar
patogen didaerah tujuannya. Tempat tujuan merupakan faktor risiko paling menonjol dalam
berkembangnya kasus traveler’s diarrhea. Daerah yang berisiko tinggi diantaranya negara-
negara berkembang di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan sebagian Timur Tengah. Di daerah-
daerah tersebut telah dilaporkan memiliki angka serangan berkisar 20%-75%. Wilayah dengan
4
resiko menengah termasuk Cina, Eropa Selatan, Israel, Afrika Selatan, Rusia, dan beberapa
pulau Karibia (khususnya Haiti dan Republik Dominika) serangan dengan kisaran 8%-20%
tercatat pada pelancong ke daerah ini. Kanada, Amerika Serikat, Australia, New Zealand,
Jepang, Eropa Utara, dan sedikit pulau-pulau di Karibia memiliki faktor resiko rendah, yaitu
berkisar <5%. Dan Indonesia termasuk di negara dengan tingkat serangan diare turis yang
tinggi (Sarayar & Liwang, 2012). Penyebab terjadinya diare yang berasal dari makanan dan
minuman yang tercemar akibat kuman. Selain itu, musim juga turut berperan dengan angka
kejaidan diare. Penelitian yang telah dilakukan di daerah yang memiliki empat musim
mendapatkan serangan paling sering ditemukan pada bulan-bulan di musim panas dan musim
hujan.
Menurut laporan UNWTO (World Tourism Organization) di tahun 2008 jumlah
wisatawan international adalah 846 juta. Bali salah satu tujuan wisata dengan kunjungan
wisatawan setiap tahunnya lebih dari 1juta wisatawan asing. Dalam perjalanan wisata,
wisatawan dapat terpapar oleh berbagai patogen dan risiko. Dilaporkan sekitar 20%-70% orang
yang melakukan perjalanan wisata mengalami masalah kesehtan. Secara keseluruhan pada
perjalanan wisata internasional didapatkan 1%-5% wisatwan membutuhkan perhatian medis,
0,01%-0,1% membutuhkan evakuasi medis darurat dan 1 diantara 100.000 wisatwan
meninggal dunia. Walaupun bukan penyebab utama, penyakit infeksi akut memberi andil
terjadinya kematian pada seseorang yang melakukan perjalanan wisata.
Selain istilah Traveler’s Diarrhea, sebutan lain pada penyakit diare ini yaitu bali belly,
menurut situs doktersehat.com, dikatakan bahwa Bali belly merupakan istilah yang sudah
umum di kalangan wisatawan internasional karena kerap menyerang para turis terutama
mancanegara . Penyakit ini erat kaitannya dengan kebersihan makanan yang dijual serta
kesadaran turis terhadap kebersihan.hal ini disadari karena banyaknya penjaja makanan yang
melayani konsumen dengan tangan dan kurang memerhatikan kebersihan. Namun hal ini bukan
hanya berfokus pada kesalahan pedagang, tetapi Konsumen juga harus selalu mencuci tangan
dengan sabun setelah beraktivitas di toilet dan memegang uang.
Belum begitu disadarinya kehadiran risiko kesehatan pada daerah-daerah wisata dan
transit atau berada pada jalur sibuk perjalanan hendaknya dapat ditindaklanjuti dengan serius
dalam bentuk upaya peringatan, pencegahan dan kewaspadaan dini yang terintegrasi. Tingkat
resiko yang bersifat global hendaknya menjadi perhatian para ahli medis, profesi kesehatan
masyarakat, serta kepada para penyedia pelayanan jasa wisata, usaha penerbangan dan
trasportasi air. Sehingga dapat menjadi suatu perhatian yang pada akhirnya akan membentuk
suatu sikap antisipasi menyeluruh dan terpadu.

5
A. Permasalahan pada Lingkungan dan Kesehatan
Pariwisata Bali sangatlah terkenal. Bali memiliki segudang pesona yang selalu dapat
memikat hati para wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan internasional.
Kunjungan mereka memberikan manfaat devisa yang sangat besar untuk negara. Salah satu
yang tetap menjadi idola para wisatawan yaitu berbagai kuliner khas Bali yang selalu menjadi
incaran para wisatawan. Rumah makan yang menyediakan masakan khas Bali selalu ramai
untuk dikunjungi hingga pasar-pasar tradisional pun tak luput dari daftar kunjungan para
wisatawan ini.
Banyak masalah kesehatan yang mengincar para wisatawan ini. Seperti yang dijabarkan
dalam jurnal kesehatan yang dilakukan oleh Gandamayu., dkk (2015) didapat hasil banyak
alasan wisatawan melakukan kunjungan ke unit pelayanan kesehatan. Salah satu yang tertinggi
yaitu pada diagnosis medis sistem pencernaan ditemukan dari 26 sampel, masalah kesehatan
wisatawan asing berdasarkan diagnosis medis sistem pencernaan yang terbanyak adalah diare
12 (46.1%).
Diare terjadi akibatkan oleh konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi
bakteri, virus, atau parasit. Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
diare. Apabila lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan
perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat
menimbulkan kejadian penyakit diare.
Penelitian yang dilakukan oleh Hakim dan Khan (2014), ditemukan bahwa angka
kejadian diare pada masyarakat di kota Menado tahun 2010 sebesar 1,24%. Angka tersebut
mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 1,62%. Dari penelitian ini didapatkan hasil
yaitu resiko kejadian diare oleh masyarakat lokal yang dapat menginfeksi wisatawan sebesar
1,24% tahun 2010 yang disebabkan karena masih rendahnya standart kebersihan makanan di
kota Menado.
Penelitian yang dilakukan oleh Purnama., dkk (2017) yang melakukan penelitian
mengenai Kualitas Mikrobiologis dan Higiene Pedagang Lawar di Kawasan Pariwisata
Kabupaten Gianyar, Bali ditemukan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap kualitas lawar
merah (babi) secara mikrobiologis, hasil pemeriksaan uji EMBA dari total 44 sampel yang
diteliti, ditemukan 32 sampel (72,7%) masakan lawar babi mengandung bakteri E.coli dan tidak
memenuhi syarat kualitas pangan. Hal ini terjadi dikarenakan bahan baku lawar ini merupakan
daging mentah sehingga sangat rentan untuk terjadinya kontaminasi. Selain itu dengan sistem
pengolahan masakan yang kurang baik akan menyebabkan kontaminasi makanan oleh E.coli
sehingga dapat menimbulkan kejadian diare akut pada pelanggan ataupun wisatawan.
Selain itu, dari penelitian yang dilakukan oleh Sundari, dkk (2014) didapat hasil jika
cemaran makanan oleh mikroorganisme penyebab diare didapat dari higienitas perorangan dari
6
tangan penjamah makanan sehingga dapat mempengaruhi kualitas makanan. Penelitian ini
dilakukan dengan teknik observasional dengan metode cross sectional dengan meneliti rumah
makan seafood di pantai Kedonganan, Kuta. Yang diobservasi yaitu praktik cuci tangan dan
melakukan identifikasi keberadaan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli pada
tangan penjamah makanan. Dari penelitian didapatkan hasil 68,3% praktik cuci tangan pada
penjamah makanan berhubungan dengan variabel pengetahuan, fasilitas cuci tangan, dukungan
dari pemilik atau pengelola restoran, tokoh masyarakat, dan dinas kesehatan atau puskesmas.
Dari hasil penelitian menunjukkan terdapat 15% tangan penjamah makanan mengandung
bakteri Staphylococcus aureus dan 25% mengandung Escherichia coli. Hal ini menunjukkan
bahwa ancaman terjadinya kejadian diare akut pada wisatawan cukup besar.
Penelitian lainnya yang dilaksanakan di Kota Padang oleh Kusuma, dkk (2015) mengenai
Identifikasi Bakteri Coliform pada Air Kobokan di Rumah Makan Kelurahan Andalas
Kecamatan Padang Timur ditemukan pada uji klinik air kobokan atau air cuci tangan pada 12
rumah makan, ditemukan bahwa 11 rumah makan dengan air kobokannya yang berasal dari
PDAM memiliki indeks MPN yang tinggi yaitu >2400 per 100 ml air dan mengandung bakteri
E.coli, Klebsiella, Enterobacter dan Pseudo-monas, serta hanya 1 sampel yaitu no. 8 pada air
PDAM yang menunjukkan nilai indeks MPN yang rendah dan memenuhi syarat bakteriologis
dengan nilai indeks MPN 9. Nilai MPN ini jauh melebihi dari standar yang ditetapkan
pemerintah yaitu Peraturan Menteri Kesehatan no 416 Tahun 1990 tentang persyaratan kualitas
air bersih adalah tidak boleh mengandung bakteri golongan coliform lebih dari 50/100 cc air.
Penelitian juga dilakukan pada air kobokan rumah makan yang bersumber dari sumur bor dan
didapatkan hasil air kobokan dari semua rumah makan tersebut juga mengandung bakteri
golongan coliform lebih dari 50/100 cc air.
Bakteri Coliform sendiri merupakan suatu flora normal dalam usus besar manusia dan
hewan berdarah panas lainnya, tidak berbahaya namun ada beberapa strain yang patogen pada
manusia dan hewan. Adanya bakteri Coliform dalam air dan makanan menunjukkan bahwa air
dan makanan tersebut telah terkontaminasi oleh tinja yang bersifat patogen di dalam usus,
sehingga tidak layak dikonsumsi oleh manusia (Sopacua. Dkk., 2013).

B. Upaya Pengendaliannya
Keberadaan E.coli dan bakteri umumnya normal berada di feses manusia dan hewan.
Keberadaannya dapat menandakan telah terjadi kontaminasi tinja pada air dan memungkinkan
terdapat bakteri patogen lain di dalam air. Seiring dengan berkembangnya penduduk,
ketersediaan akan air bersih semakin berkurang mengakibatkan berkurangnya kemampuan
tanah untuk menyerap air menjadi tidak sempurna sehingga bakteri Coliform dapat
mengkontaminasi sumber air (Bambang dkk., 2014). Penyebab lain air bersih menjadi
7
terkontaminasi dengan Coliform adalah dari sumber air yang berdekatan dengan lingkungan
yang tidak bersih seperti dekat dengan tempat pembuangan limbah maupun tempat
pembuangan sampah (Sutrisno. 2007).
Upaya pengendalian untuk mencegah kasus diare pada wisatawan ini adalah dengan
meningkatkan higiene dan higiensanitasi. Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat untuk
mencegah timbulnya penyakit, membuat kondisi sehat serta terjamin pemeliharaan
kesehatannya (Purnawijayanti, 2006). Higiensanitasi meliputi melindungi, memelihara, dan
mempertinggi derajat kesehatan manusia (individu dan masyarakat), sehingga faktor
lingkungan yang tidak menguntungkan tersebut, tidak sampai menimbulkan gangguan
kesehatan. Sanitasi merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi lingkungan hidup sehat
yang menyenangkan dan menguntungkan masyarakat (Pitojo. 2013).
Faktor yang mempengaruhi higiensanitasi air minum, makanan, air kobokan/cucian
pada para pedagang makanan adalah pada sumber air yang digunakan, wadah penampung air,
serta tempat berdagang.

1. Sumber Air
Sumber air yang digunakan para pedagang pada umumnya berasal dari air yang
sudah tercemar logam berat dan bahan kimia beracun, serta dekat dengan
pembuangan limbah rumah tangga (septic tank, pembuangan toilet). Hal ini
menyebabkan sumber air menjadi terkontaminasi dan menyebabkan gangguan
kesehatan pada saluran pencernaan seperti diare (Sutrisno, 2007). Sumber air ini
biasa digunakan untuk mencuci tangan serta bahan baku pembuatan makanan dan
minuman sehingga dengan kondisi air yang yang sudah tercemar tersebut dapat
meningkatkan resiko terkontaminasi bakteri Coliform.
2. Wadah Penampung Air
Wadah yang digunakan untuk menampung sumber air biasanya jarang dilakukan
pembersihan serta tidak ditutup dengan rapat sehingga peralatan untuk memasak
serta air untuk bahan baku masakan terkontaminasi dengan debu (Natalia dkk.,
2014).
3. Tempat Berdagang
Tempat berdagang adalah fasilitas yang digunakan oleh pedagang untuk aktivitas
jual beli dan pembuatan makanan/minuman. Tempat berdagang harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut: tersedia air bersih, tersedia tempat pembuangan
sampah, dan fasilitas untuk mencuci peralatan masak dan tangan. Lokasi dari
tempat berdagang yang dekat dengan tempat pembuangan sampah serta kurangnya

8
air bersih itulah yang menyebabkan kontaminasi bakteri Coliform tinggi (Ningsih,
2014).
Setelah mengetahui penyebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi traveler’s
diarrhea, maka idealnya dilakukan penanggulangan sebagai berikut:
1. Pengadaan alat Chlorine Diffuser oleh Dinkes setempat di Bali. Chlorine diffuser
digunakan untuk meningkatkan kualitas air dengan cara memfilternya.
2. Sosialisasi mengenai higiene dan higiensanitasi pada pedagang makanan serta
masyarakat luas.

3. Menindaklajuti laporan pengaduan dari warga khususnya para wisatawan mengenai


indikasi wabah penyakit diare serta pencemaran air di lingkungan sekitar.

4. Mengirimkan tim survey dari pemerintah untuk memeriksa sampel di sumber air
yang digunakan warga serta memeriksa sampel makanan yang dijual di
restoran/daerah wisata kuliner untuk diuji di laboratorium.

5. Melakukan pengawasan pada sumber air yang digunakan untuk air minum dengan
cara observasi, inspeksi sanitasi, pengambilan sampel, pengawasan dan perawatan
terhadap jaringan perpipaan air, serta pemeriksaan korositas dalam air.

Oleh karena itu diharapkan peran aktif dari pemerintah dan warga untuk selalu
membudayakan hidup sehat agar berkurangnya angka kasus traveler’s diarrhea di Bali.
Dengan berkurangnya angka traveler’s diarrhea, maka diharapkan akan terjadi peningkatan
signifikan dari wisatawan asing untuk mengunjungi Bali tanpa khawatir akan terserang diare
ketika melakukan perjalanan wisata di Bali.

9
DAFTAR PUSTAKA

Bambang, A.G dkk. 2014. Analisis Cemaran Bakteri Coliform dan Identifikasi Escherichia
Coli Pada Air Isi Ulang Dari Depot di Kota Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi. Manado:
Universitas Sam Ratulangi.
Dinas Pariwisata Bali, 2009. Statistik Pariwisata Bali. Bali: s.n.
Gandamayu., dkk. 2016. Gambaran Masalah Kesehatan Wisatawan Asing Ang Berkunjung
Ke Pusat Pelayanan Kesehatan 2015: Jurnal Ners LENTERA, Vol. 4, No. 2, September
2016.
Hakim. A.R., dan Khan. A., .2014. Problematika Penyakit Pribumi Bagi Para Wisatawan
Asing Di Kota Manado. Jurnal Intisari Sains Medis. VOL.1 NO.1, JANUARI-APRIL,
HAL.24-28.
Kusuma, dkk., 2015. Identifikasi Bakteri Coliform pada Air Kobokan di Rumah Makan
Kelurahan Andalas Kecamatan Padang Timur. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(3).
Natalia LA, dkk. 2014. Kajian Kualitas Bakteriologis Air Minum Isi Ulang di Kabupaten Blora.
UNNES Journal of Life Science. 2014: 3.
Ningsih, Riyan. 2014. Penyuluhan Hygiene Sanitasi Makanan Dan Minuman, Serta Kualitas
Makanan yang Dijajakan Pedagang di Lingkungan SDN Kota Samarinda. Jurnal
Kesehatan Masyarakat UNNES Volume 10 Nomor 1 Juli 2014: 64-72.
Particia, t.thn. 2018. Waspada Penyakit Bali Belly. [Online] Available at:
http://www.doktersehat.com access at 9 march 2018.
Pitojo S, Zumiati. 2013. Cara Pembuatan dan Variasi Mengolah Makanan Terbuat dari
Cincau. Tangerang: Agromedia Pustaka.
Purnama., dkk. 2017. Kualitas Mikrobiologis dan Higiene Pedagang Lawar di Kawasan
Pariwisata Kabupaten Gianyar, Bali. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia: 16 (2) 2017,
56-62.
Purnawijayanti, Hiasinta A. 2006. Sanitasi, Higiene, dan Keselamatan Kerja dalam
Pengolahan Makanan. Yogyakarta: Kanisius.
Sarayar, A. M. & Liwang, F., 2012. Pencegahan Dan Penatalaksanaan Terkini Penyakit
Travelers Diarrhea. In: Intisari Sains Medis. Indonesia: s.n., pp. 36-40.
Sopacua, dkk. 2013. Kandungan Coliform dan Klorin Es Batu di Yogyakarta. Jurnal Ilmiah
Biologi: 1-9.
Sundari., dkk. 2014. Hubungan Faktor Predisposisi, Pemungkin, dan Pengat Dengan Praktek
Cuci Tangan Serta Keberadaan Mikroorganisme Pada Penjamah Makanan Di Pantai
Kedonganan. Jurnal Skala Husada Volume 11 Nomor 1 April 2014 : 67-73.
Sutrisno, TC. 2007. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Rineka Cipta.
WHO, 2008. Internatioanl Travel and Health , s.l.: s.n.

10
BAB 2.
SANITASI KAWASAN WISATA

2.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekagaraman hayati yang
sangat tinggi yang berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di daratan, udara
maupun di perairan.Semua potensi tersebut mempunyai peranan yang sangat penting bagi
pengembangan kepariwisataan, khususnya wisata alam.
Sasaran tersebut di atas dapat tercapai melalui pengelolaan dan pengusahaan yang
benar dan terkoordinasi, baik lintas sektoral maupun swasta yang berkaitan dengan
pengembangan kegiatan pariwisata berkelanjutan, misalnya kepariwisataan, pemerintah
daerah, lingkungan hidup, dan lembaga swadaya masyarakat.Dalam pengembangan
kegiatan pariwisata berkelanjutan terdapat dampak positif dan dampak negatif, baik dalam
masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan alami.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik secara kumulatif, pada bulan Januari hingga
November 2017, kunjungan wisatawan asing ke Indonesia mencapai 12,68 juta wisatawan.
Angka tersebut naik sebesar 29,84% dibanding dengan jumlah kunjungan di periode yang
sama pada tahun 2016.
Bali merupakan salah satu daerah tujuan wisata utama di Indonesia. Pengembangan
pariwisata di Bali telah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik dari kualitas maupun
kuantitas. Hal ini terlihat dari data dariDinas Pariwisata pada tahun 2017, total wisatawan
asing yang langsung mengunjungi balidari negaranya (data berdasarkan wisatawan asing
yang datang dari 20 negara) mencapai5.697.739 wisatawan, angka ini lebih tinggi sekitar
15,62% dibanding dengan tahun 2016 yang berjumlah 4.927.937 wisatawan.Destinasi
wisata yang sering dikunjungi oleh wisatawan di Bali antara lain Kuta, Tanah Lot, Ubud,
Pantai Pandawa, Ulundanu, Lovina, Nusa Dua, Sanur, dan Sangeh.
Besarnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali tentunya harus diimbangi juga
dengan adanya perhatian yang besar kepada aspek-aspek pariwisata, salah satunya adalah
aspek kesehatan. Aspek kesehatan ini tentunya tidak lepas dari keadaan lingkungan, baik
lingkungan yang ada di tempat wisata maupun tempat tinggal para wisatawan selama
tinggal di Bali.Kesehatan lingkungan menjadi penting untuk diperhatikan agar tidak
menimbulkan munculnya suatu penyakit.Perhatian harus diarahkan kepada pemenuhan
fasilitas sanitasi di tempat wisata, sanitasi makanan, hingga pengelolaan limbah.

11
Sayangnya Indonesia sendiri masih menempati urutan ke 112 dari 178 negara dalam hal
sumber air bersih dan sanitasi berdasarkan Enviromental Performance Index pada tahun
2014.
Pada kenyataannya juga, faktor kesehatan lingkungandi tempat wisata masih sering
terabaikan sehingga masih sering terjadi adanya laporan kejadian penyakit yang dialami
oleh para wisatawan. Trisdayanti (2015) mengatakan bahwa masih terdapat laporan
kejadian luar biasa (KLB) terkait dengan makanan yang dialami oleh wisatawan asing
maupun lokal. Salah satu penyebabnya adalah adanya bateri E.coli yang terdapat pada
makanan yang dikonsumsi oleh para wisatawan. Selain itu, masih adanya fasilitas sanitasi
yang kurang memadai di tempat-tepat wisata, baik dari sisi ketersediaan maupun
kebersihannya. Untuk itu, perlu adanya upaya-upaya yang harus dilakukan agar dapat
meningkatkan kesehatan lingkungan, khususnya di tempat-tempat wisata.

12
2.2 permasalahan Pada Lingkungan Kesehatan di Tempat Wisata
Fanjari (1993) mendefinisikan sanitasi lingkungan adalah usaha menciptakan
lingkungan yang sehat dan bebas dari penyakit. Berdasarkan Khasiko (2002), sanitasi
lingkungan adalah cara menyehatkan lingkungan hidup manusia terutama lingkungan fisik,
yaitu tanah, air dan udara. Berdasarkan kedua definisi tersebut maka sanitasi lingkungan
bisa juga diartikan sebagai usaha untuk menghilangkan faktor lingkungan yang dapat
menimbulkan penyakit atau paling tidak mengurangi faktor lingkungan tersebut.
Resiko terkena penyakit menjadi perhatian yang wajib bagi wisatawan yang
melakukan perjalanan wisata. Walaupun kejadian penyakit yang diderita wisatawan bisa
dicegah atau ditangani dengan tindakan sederhana, namun resiko terkena penyakit selama
berwisata mampu membatasi atau bahkan menghambat perjalanan wisata tersebut.
Penelitian yang dilakukan di Cuzco, Peru, Amerika Selatan 2009 menunjukkan informasi
mengenai kejadian penyakit yang dialami wisatawan asing selama berwisata. Jenis
penyakit yang paling banyak dilaporkan adalah diare, altitude sickness, infeksi saluran
pernafasan atas, sunburn, demam, kecelakaan lalu lintas dan penyakit menular seksual
(Cabada et.al., 2009).
Berdasarkan International Travel and Health, 2003 dinyatakan bahwa resiko yang
mungkin akan memapar para pelancong ialah daerah tujuan, lamanya perjalanan, perilaku
dan sanitasi makanan. Sedangangkan berdasarkan hasil studi yang pernah dilakukan oleh
Gandamayu et.al. (2015), dari 181 wisatawan asing yang memeriksakan diri ke Rumah
Sakit Bali Royal Denpasar sebanyak 46,1 % wisatawan asing mengalami penyakit sistem
pencernaan (diare). Diare dapat disebabkan oleh konsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi bakteri, virus, atau parasit. Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor
penyebab diare, lingkungan yang tidak sehat disertai dengan perilaku yang tidak sehat pula
akan memicu munculnya penyakit diare.
Diare yang terjadi pada wisatawan asing sering disebut dengan bali belly. Bali belly
merupakan istilah yang sudah umum di kalangan wisatawan internasional karena kerap
menyerang para turis terutama mancanegara. Penyakit ini banyak disinggung para traveler
di berbagai tulisan mereka untuk para turis yang akan menginjakkan kaki di Pulau Dewata.
Bali belly erat kaitannya dengan kebersihan makanan yang dijual serta kesadaran turis
terhadap kebersihan. Di pulau Bali sendiri banyak penjaja makanan yang melayani
konsumen dengan tangan, sayangnya banyak dari penjual makanan tersebut kurang
memperhatikan kebersihan. Tangan yang kurang terjaga kebersihannya akan menjadi
media penularan kuman yang sempurna. Kuman-kuman ini akan menyebar ke makanan
yang disajikan kepada pelanggan, hal ini akan mengganggu kesehatan pencernaan yang
sering kita sebut dengan diare.
13
Salah satu destinasi wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan adalah daerah
Kuta. Trisdayanti (2015) melakukan penelitian untuk melihat adanya gen virulensi E.coli
pada makanan lawar yang dijual di daerah Kuta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
total 43 warung yang menjual lawar di daerah Kuta Utara sebanyak 44,2% lawar memiliki
jumlah koloni bakteri > 106 CFU/gr. Sebanyak 46,5% sample lawar terdeteksi positif E.coli
dan 20% dari total yang terkontaminasi E.coli menunjukkan gambaran band dengan ukuran
mirip Shiga Like Toxin Type.Hygiene penjual yang kurang baik lebih beresiko terhadap
keberadaan E.Coli, hygiene kurang baik yang ditemukan pada pedagang lawar seperti tidak
mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun, tidak menggunakan alat/sendok pada saat
mencicipi lawar maupun mengambil bahan, pengolahan tidak menggunakan sarung tangan
sekali pakai, dan peralatan tidak disimpan pada tempat tertutup.
Penelitian oleh Purnama, et al (2017), menemukan hasil pemeriksaan lawar pada
44 sampel lawar di Kawasan Pariwisata Kabupaten Gianyar Bali sebanyak 72,7 %
terkontaminasi E. Coli, hal ini disebabkan karena bahan baku lawar terbuat dari daging
mentah yang rentan terkontaminasi bakteri jika tidak dilakukan pengolahan yang baik.
Adanya E. Coli pada makanan tidak hanya disebabkan oleh pengolahan makanan yang
tidak baik, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh sanitasi yang tidak baik seperti sampah
berserakan di lantai, kebersihan ruang makan, keberadaan serangga di area jualan, dan
adanya binatang pengganggu di area pengolahan makanan (Renata, 2013). Keberadaan
E.Coli pada makanan sering menjadi penyebab diare yang serius.
Selain E. Coli yang ditemukan pada makanan, penyakit diare dapat diakibatkan oleh
pengolahan limbah yang kurang baik. Limbah merupakan hasil buangan yang berbentuk
cair, gas, dan padat. Dalam air limbah terdapat bahan kimia yang sulit untuk dihilangkan
dan sangat berbahaya. Bahan kimia tersebut dapat memberikan kehidupan bagi kuman-
kuman penyebab penyakit disentri, tipus, kolera dan sebagainya. Air limbah tersebut harus
diolah agar tidak mencemari dan membahayakan kesehatan lingkungan. Hotel-hotel
ataupun restoran yang ada di Bali ada yang mengolah limbahnya sendiri dengan sistem
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), ada yang menggunakan sistem septic tank, dan
ada yang membuang langsung limbahnya ke sungai atau pantai. Hasil pengamatan dan
pengukuran yang dilakukan oleh Wijaya (2016) di kawasan wisata bali tentang pengolahan
limbah, ditemukan bahwa air hasil pengelolaan limbah-limbah yang berasal dari beberapa
hotel di Bali masih belum memenuhi beberapa parameter baku mutu kualitas air kelas II
khususnya BOD dan COD. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa kandungan E.coli
danColiform masih jauh diatas ambang baku mutu kualitas air kelas II.
Berdasarkan hasil kuesioner yang dibuat oleh Elyazar, et al. (2007) dan disebarkan
kepada para pihak hotel, masyarakat dan pihak perdagangan dan jasa menemukan bahwa
14
aktivitas hotel, restoran, pemukiman dan nelayan di daerah Kuta berpotensi menghasilkan
limbah terbesar. Limbah tersebutbersumber dari mandi dan cuci, limbah berupa kotoran
yang berasal dari BAB/K dan bahan kimia. Bahan kimia terbanyak yang digunakan antara
lain sabun, deterjen, sampo, cat, plitur dan tiner. Elyazar, et al. (2007) juga menemukan
bahwa komposisi sampah yang dihasilkan dari hotel dan restoran terdiri dari sampah
organik 50% non organik 41,41% dan limbah lainnya (B3) 8,59%. Sampah pemukiman
terdiri dari organik 50%, non organik 41,28% dan lainnya 8,72%, sedangkan perdagangan
dan jasa menghasilkan limbah non organik 96% dan limbah lainnya 4%. Untuk industri
menghasilkan sampah industri sebagai brikut organik 2,13%, non organik 95,74% dan
lainnya 2,13%, nelayan organik 22,22% dan non organik 77,78%. Berdasarkan data
tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar sampah dan llimbah yang dihasilkan
bersifat non organik yang tentunya membutuhkan pengelolaan yang tepat karena sulit
terurai dan berpotensi mencemari lingkungan.Berdasarkan hasil perhitungan indeks
pencemaran air laut di Pantai Kuta Tahun 2006, tingkat pencemaran masing-masing lokasi
pengambilan sampel tergolong tercemar sedang, yang berkisar antara 6,46 s/d 6,77
(Elyazar, et al. 2007).

2.3 Upaya Pengendalian


Pemerintah provinsi dan kabupaten dengan pemasukan yang besar dari sektor
pariwisata sebaiknya mengalokasikan dana dan mendukung kegiatan untuk menciptakan
industri pariwisata yang sehat. Kegiatan dapat berupa pengawasan, pengelolaan maupun
pembangunan infarstruktur untuk mendukung kesehatan lingkungan pariwisata.
Usaha untuk menghilangkan faktor lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit
antara lain adalah menyediakan fasilitas sanitasi yang memadai, khususnya di tempat
wisata. Para wisatawan yang mengunjungi tempat-tempat wisata, baik tempat wisata alam
maupun tempat wisata lainnya harus disediakan fasilitas sanitasi yang baik, seperti toilet
umum maupun tempat cuci tangan. Selain penyediaan, perawatan terhadap fasilitas tersebut
juga harus diperhatikan. Pengamatan penulis terhadap beberapa tempat wisata yang ada di
Bali, menunjukkan bahwa toilet yang ada tidak terawat dan terjaga kebersihannya sehingga
hal tersebut justru dapat menjadi sumber penyakit. Toilet juga di beberapa tempat justru
tidak menyediakan air bersih.
Pemerintah diharapkan memperhatikan pengelolaan limbah yang dilakukan oleh
industri pariwisata seperti hotel. Selain melakukan pengawasan secara berkala, pemerintah
juga diharapkan dapat membuat standar pengelolaan limbah yang tepat seperti penambahan
unit pengelolaan tambahan untuk meningkatkan kualitas air limbah. Pengelolaan air limbah
15
tahap lanjut dapat berupa kolam retensi, seperti kolam aerobik, kolam anerobik, kolam
fakultatif, kolah maturasi atau kolam aerasi.
Perlu dilakukan kegiatan pengawasan keamanan pangan yang lebih ketat dari
pemerintah karena selama ini pengawasan kemanan pangan belum sesuai dengan standar.
Kegiatan dapat berupa pemeriksaan berkala warung makanan dengan bekerja sama dengan
industri, pendidikan maupun swasta untuk meningkatkan ketepatan maupun cakupan hasil
pengawasan makanan. Pemerintah juga dapat melibatkan puskesmas untuk melakukan
penyuluhan dan pelatihan penerapan hygiene sanitasi bagi para penjual dan pengolah
makanan di tempat-tempat wisata.
Selain dari pemerintah, upaya untuk menjaga agar sanitasi pangan tetap baik dapat
dilakukan oleh pemilik warung makan sendiri dengan cara mencuci tangan dengan air
mengalir dan sabun saat mengolah dan menyajikan makanan, menggunakan alat/sendok
pada saat mencicipi makanan maupun mengambil bahan, menggunakan sarung tangan
sekali pakai saat mengolah makanan dan menyimpan peralatan makan pada tempat
tertutup.
Para wisatawan pun juga diharapkan dapat melindungi dirinya sendiri dari berbagai
penyakit yang dapat mengancam dirinya di kawasan wisata seperti selalu mencuci tangan
dengan air mengalir dan sabun sebelum dan setelah makan, setelah dari kamar mandi,
setelah memegang fasilitas umum, setelah memegang uang dan setelah melakukan kontak
dengan orang lain ataupun dengan binatang karena penyebaran kuman atau bakteri paling
cepat melalui tangan yang tidak bersih.
Usaha lain yang dapat dilakukan adalah menjalankan Program Nasional Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat (STBM). STBM ini memiliki lima pilar, yaitu penghapusan
buang air besar di tempat terbuka, mencuci tangan dengan sabun, pengolahan air rumah
tangga, pengelolaan sampah padat dan pengelolaan limbah cair (UNICEF, 2012). Melalui
STBM ini diharapkan dapat menjadi tindakan preventif yang efektif jika didukung oleh
pemerintah maupun pihak swasta sehingga masyarakat memiliki kesadaran dan mau
melakukan kelima pilar tersebut.

16
DAFTAR PUSTAKA

Adiakurnia, Muhammad Irzal. “10 Tempat Wisata di Bali yang Banyak Dikunjungi Turis”. 14
Januari 2018.https://travel.kompas.com/read/2018/01/14/211000427/10-tempat-
wisata-di-bali-yang-banyak-dikunjungi-turis.
Badan Pusat Statistik. “Jumlah Kunjungan Wisman ke Indonesia November 2017 mencapai
1,06 Juta Kunjungan”. 01 Februari
2018.https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/01/02/1408/ jumlah-kunjungan-
wisman-ke-indonesia-november-2017-mencapai-1-06-juta-kun jungan-.html.
Cabada, M.M., Maldonado, F., Mozo, K., Seas, C. & Gotuzzo, E. 2009. Self-reported health
problems among travelers visiting Cuzco: a Peruvian Airport survey. Travel medicine
and infectious disease, 7, 25-29
Elyazar, Nita. 2007. Dampak Aktivitas Masyarakat Terhadap Tingkat Pencemaran Air Lautdi
Pantai Kuta Kabupaten Badung Serta Upaya Pelestarian Lingkungan: BAPEDAL
Kabupaten Badung. Program Magister Ilmu Lingkungan ECOTROPHIC. VOLUME 2
Fanjari. 1993. Nilai Kesehatan. Jakarta: Bumi Aksara
Gandamayu, I.B.M., Agustini, N.L.P.I.B., Kusuma, M.D.S. 2016. Gambaran Masalah
Kesehatan Wisatawan Asing yang Berkunjung Ke Pusat Pelayanan Kesehatan 2015:
Jurnal Ners Lentera. Vol 4:2. P. 184
Kashiko. 2002. Kamus Lengkap Biologi. Surabaya: Kashiko
Okshealthenv. “Kesehatan Wisata”. 05 Agustus 2011.https://okshealthenv.wordpress.com/
2011/08/05/kesehatan-wisata/
Pemerintah Provinsi Bali. “Dinas Pariwisata Pemerintahan Provinsi Bali”. 19 Maret 2018.
http://www.disparda.baliprov.go.id/id/Statistik4.
Purnama, S., Purnama, H., Subrata, M. 2017. Kualitas Mikrobiologis dan Higiene Pedagang
Lawar di Kawasan Pariwisata Kabupaten Gianyar Bali: Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia. Vol 16:2. P. 60
Renata. Eschericia coli in seafood: a brief overview. Advances in bioscience and technology.
2013; 4: 450-454

Trisdayanti, Sawitri, Sujaya. 2015. Higiene sanitasi dan potensi keberadaan gen virulensi E.
Coli pada lawar di Kuta: Tantangan pariwisata dan kesehatan pangan di Bali. Public
Health and preventive medicine archive . Vol 3:2
Unicef indonesia. 2012.Ringkasan Kajian Air Bersih, Sanitasi, dan Kebersihan
17
Wijaya. 2016. Critical Review Pengolahan Limbah di Kawasan Wisata Bali: Institut Teknologi
Sepuluh November Surabaya
Yale University. “Environmental Performance
Index”.2014.http://archive.epi.yale.edu/epi/coun try-profile/indonesia

18
BAB 3.
HIGIENE PEDAGANG MAKANAN

3.1 Latar belakang

Higiene merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari kesehatan. Higiene erat

hubungannya dengan perorangan, makanan dan minuman karena merupakan syarat untuk

mencapai derajat kesehatan. Hygiene sanitasi makanan merupakan salah satu dari ruang

lingkup kesehatan lingkungan. Ruang lingkup tersebut meliputi: vector penyakit, hygiene

sanitasi makanan, penyediaan air minum, pengolahan air limbah, pembuangan tinja,

pencemaran udara, pengolahan sampah padat serta perumahan dan lingkungan pemukiman

(WHO, 1975). Oleh karena itu penyakit bawaan makanan secara khusus merupakan masalah

kesehatan lingkungan karena terdapat makanan atau pangan sebagai media transmisi penyakit.

Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia untuk dapat melangsungkan

kehidupan selain sandang dan pangan. Makanan selain mengandung nilai gizi juga merupakan

media untuk dapat berkembang biaknya mikroba atau kuman terutama makanan yang mudah

membusuk yaitu makanan yang banyak mengandung kadar air serta nilai protein yang

tinggi.(Wawoh et al., 2017)

Bahan makanan sangat dibutuhkan bagi tubuh manusia karena digunakan untuk sumber

energi dan membangun jaringan tubuh manusia. Bahan makanan yang di konsumsi harus

bergizi dan tidak tercemar oleh bahan yang dapat menyebabkan keracunan pangan. Salah satu

bahan yang dapat menyebabkan keracunan adalah mikroorganisme seperti bakteri Coliform.

Apabila pangan yang dikonsumsi tidak higiene dan sehat maka makanan tersebut dapat

menimbulkan 2 penyakit yaitu infeksi (mengkonsumsi makanan atau minuman yang

mengandung mikroorganisme patogen hidup) dan intoksikasi (mengkonsumsi makanan atau

minuman yang mengandung senyawa beracun). Penyakit yang di tularkan melalui makanan

19
dapat menyababkan penyakit yang ringan hingga mengakibatkan kematian (Coliform &

Daging, 2016)

Salah satu kegiatan untuk meningkatkan layanan yang bermutu tinggi dan menghindari

risiko dari gangguan kesehatan adalah dengan cara melakukan tindakan higiene dan sanitasi

yang baik untuk makanan minuman. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi

penyelenggaraan higiene dan sanitasi makanan dan minuman meliputi: faktor tempat atau

bangunan, faktor makanannya sendiri, faktor manusia, dan faktor peralatan. Melakukan upaya

higiene dan sanitasi terhadap makanan minuman yang baik dapat meningkatkan tersedianya

makanan yang berkualitas, baik dan aman, serta mewujudkan perilaku kerja yang sehat dan

benar serta menurunkan kejadian risiko penularan penyakit atau kesehatan. Salah satu

penyebab penularan penyakit pada saat pengolahan makanan dan minuman yang tidak baik

adalah infeksi nosokomial. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi nosokomial akibat makanan

dan minuman antara lain adalah penyakit diare (Sakit & Daerah, n.d.).

Kenyamanan dan keamanan menjadi kondisi yang sangat penting dalam industri

pariwisata. Aspek tersebut pada dua dekade terakhir telah menjadi isu yang semakin besar dan

mempunyai dampak yang sangat besar terhadap keberlangsungan aktivitas perjalanan dan

pariwisata. Ancaman kenyamanan dan keamanan wisatawan dapat dipengaruhi dan disebabkan

oleh beragam faktor, seperti aksi teroris, konflik lokal, bencana alam, perilaku sosial masyarakat

dan penyakit menular sehingga hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya rasa aman bagi

wisatawan. Kenyamanan dan keamanan bagi wisatawan merupakan salah satu faktor yang

menentukan keputusan untuk melakukan suatu perjalanan ke suatu destinasi pariwisata. Pesatnya

pertumbuhan industri pariwisata di Indonesia merupakan tantangan yang cukup kompleks dalam

memberikan rasa nyaman dan rasa aman (comfort and safety) bagi wisatawan. Pada kenyataannya

dalam suatu destinasi wisata, banyak wisatawan tidak mendapatkan rasa aman yang disebabkan

oleh sikap dan perilaku tuan rumah atau host (pedagang asongan, pelayanan parkir, penawaran jasa

20
pijat (massage) yang terlalu agresif, dan yang lainnya. Kasus seperti ini sering terjadi di kawasan

pariwisata yang sedang berkembang (Khalik, 2014)

Makanan sebagai salah satu bagian dari Sapta Pesona Wisata mempunyai peran yang

besar selama wisatawan berada di obyek wisata. Maka perlu perhatian khusus untuk

pengelolaan makanan yang sehat dan aman untuk dikonsumsi manusia, khususnya wisatawan

di daerah obyek wisata tersebut. Pemerintah Daerah pada umumnya masih kesulitan dana dan

tenaga untuk dapat memberikan pembinaan dan pengawasan untuk peningkatan sanitasi

pengelolaan makanan di daerahnya termasuk juga daerah wisatanya. Demikian juga dengan

pemerintah daerah Bali masih dirasakan kendala kurangnya dana dan tenaga untuk hal tersebut.

Dengan demikian sangat diperlukan kerja sama berbagai pihak terkait untuk melaksanakannya

(Supraptini & Djarismawati, 2003).

3.2 Permasalahan lingkungan dan kesehatan


Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan kualitas hiegene pedagang

makanan tradisional khususnya daerah-daerah wisata seperti yang ada di Bali masih belum

baik. Sedangkan, hiegene pedagang makanan ini sangat berpengaruh kepada kualitas makanan

yang akan dijual. Apabila kualitas makanan tidak baik dan tercemar oleh mikroorganisme

patogen maka akan mengancam kesehatan bagi konsumen terutama bagi para wisatawan yang

ingin mencoba-coba makanan tradisional Bali.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ida Bagus Maha Gandamayu, dkk. (2016),

masalah kesehatan wisatawan asing berdasarkan diagnosis medis sistem pencernaan yang

terbanyak adalah diare 12 (46.1%) dari 26 sampel wisatawan asing yang berkunjung ke pusat

pelayanan kesehatan, layanan rawat jalan di rumah sakit Bali Royal Denpasar. Penyebab diare

terjadi akibat konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri, virus, atau

parasit. Faktor Lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab diare, apabila lingkungan

tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang

21
tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian

penyakit diare. (Gandamayu, I.B.M, dkk., 2016).

Oleh karena itu, hiegene pedagang makanan sangat penting agar mampu meningkatkan

kualitas makanan di daerah wisata. Adapun beberapa penelitian yang menunjukkan hiegene

pedagang makanan di Bali sebagai berikut.

Menurut Sujaya dkk 2009 para pedagang kaki lima yang menjajakan makanan umumnya

tidak memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, khususnya dalam hal hygiene dan sanitasi

pengolahan makanan. Pengetahuan pedagang makanan kaki lima tentang hygiene dan sanitasi

pengolahan makanan akan sangat mempengaruhi kualitas makanan yang disajikan kepada

masyarakat konsumen. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Program Studi Ilmuv kesehatan

Masyarakat dan BPOM Bali, masih menunjukkan bahwa pada beberapa jenis makanan olahan

tradisional yang dijual oleh pedagang kaki lima di Denpasar ditemukan kandungan bakteri

golongan coliform dan E.Coli dalam jumlah yang melebihi baku mutu yang ditetapkan.

Keberadaan bakteri coliform ini menunjukkan bahwa terdapat cross contamination dari sumber

pencemar yang terjadi selama proses pengolahan makanan. Walaupun masyarakat Denpasar

mungkin memiliki toleransi yang cukup besar terhadap bakteri golongan coliform, namun jalur

kontaminasi tersebut yang harus dihentikan. Jika cross contamination terus berlangsung, maka

pada suatu saat ketika sumber pencemar mengandung bakteri pathogen lain yang dapat berakibat

lebih fatal, terdapat kemungkinan lebih besar untuk terjadi kejadian sakit akibat pathogen

tersebut.(Sujaya, Dwipayanti, Sutiari, Wulandari, & Adhi, 2009).

Nasi jinggo juga merupakan salah satu makanan yang digemari oleh wisatawan saat di Bali

(Tribun Bali, 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ni Luh Payastiti Yunita, dkk.

(2010) terhadap 23 sampel pedagang nasi jinggo menunjukkan hanya 21,7% sampel yang

memenuhi standar ALT dengan rata-rata 2,3 x 107 CFU/gram sampel, hanya 8,7% yang memenuhi

standar Coliform total dengan rata-rata 1,4 x 105 MPN/100 gram sampel dan 52,2% sampel yang

22
memenuhi standar kualitas keberadaan cemaran E. coli dengan rata-rata 2,6 x 102 MPN/100 gram

sampel. Tidak banyaknya yang memenuhi standar kriteria keamanan ini maka perlu adanya upaya

untuk meningkatkan keamanan dan kualitas nasi jinggo agar aman untuk konsumsi masyarakat

terutama wisatawan mancanegara ini. (Yunita, N.L.P, dkk, 2010)

Selain nasi jinggo, makanan tradisional Lawar Bali juga tidak hanya disukai oleh

masyarakat lokal, tetapi juga oleh wisatawan mancanegara. Dalam mempersiapkan makanan

khas tradisional harusnya dapat memenuhi keamanan pangan sehingga mampu bersaing di

pasar global. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sang Gede Purnama, dkk. (2017)

bahwa kualitas mikrobiologi lawar di Kabupaten Gianyar masih kurang baik. Adapun faktor

yang berpengaruh yakni hiegene penjamah makanan, fasilitas sanitasi dan kebersihan

lingkungan. Serta proses pengolahan lawar yang tidak bersih mempengaruhi kualitas lawar

tersebut. (Purnama, S.G. dkk, 2017)

Berdasarkan beberpa penelitian tersebut hiegene pedagang makanan tradisional Bali

sangat penting dalam menjaga kualitas dan keamanan makanan tradisional bagi wisatawan

mancanegara maupun domestik. Oleh karena itu, upaya pengendalian sangat diperlukan agar

dapat meningkatkan kualitas makanan tradisional di Bali sehingga para wisatawan aman untuk

berwisata kuliner di Bali.

23
UPAYA PEGENDALIAN

3.1 Upaya Pengandalian


Usaha menghindari pencemaran makanan serta bahaya keracunan makanan berpegang pada
prinsip-prinsip berikut (Prabu, P., 2008):

1. Menggunakan makanan yang bebas tercemar.


2. Proses pengolahan makanan yang baik dan cepat.
3. Menghindari pencemaran dari pekerja dan lingkungan.
4. Praktik sanitasi yang baik selama penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan
penyajian makanan.
5. Membasmi penggunaan bahan tambahan kimia makanan.

Higiene pada proses pengolahaan makanan dapat dilakukan upaya pengendalian

sebagai berikut (Rakhmawati.N & Hadi.W, 2015 ):

A. Higiene personal

Dalam higiene personal ini yang menjadi sasaran adalah :


1. Tidak menderita penyakit mudah menular misal: batuk, pilek, influenza, diare,
penyait perut sejenisnya.
2. Menutup luka (pada luka terbuka/ bisul/ luka lainnya)
3. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku dan pakaian. Rambut dipotong rapi.
Untuk laki-laki tidak boleh berambut panjang. Untuk perempuan apabila
panjang diikat rapi. Agar tidak menganggu pada saat bekerja, dan tidak jatuh
pada makanan. Rambut harus dikeramas rutin untuk mencegah timbulnya
kotoran. Hindari kebiasaan menyentuh rambut selama bekerja. Juru masak
harus memakai topi atau tutup kepalaselama bekerja di dapur.
4. Memakai celemek dan tutup kepala.
5. Mencuci tangan setiapkali hendak menangani makanan.
6. Menjamah makanan harus dengan memakai alat perlengkapan atau dengan
alas tangan.

24
7. Jangan menyentuh hidung atau memasukkan jari tangan kelubang hidung
selama bekerja di dapur. Jangan bersin pada sembarang tempat lebih-lebih
didekat makanan atau peralatan pengolahan makanan.

8. Jangan merokok pada saat bekerja. Jangan mengusap-usap mulut atau bibir

pada saat bekerja. Bersihkan gigi dan mulut secara teratur untuk menjaga

kesehatan mulut dan gigi, dan mencegah bakteri berkembang biak, dan

menghilangkan bau mulut.

9. Jangan menyentuh telinga atau memasukkan jari ke telinga selama bekerja di

dapur. Bersihkan telinga secara rutin untuk menjaga kesehatan telinga.

10. Tangan adalah anggota tubuh yang sering menyentuh makanan dalam

pengolahan makanan, dengan demikian tangan memegang peranan penting

sebagai perantara dalam perpindahan bakteri dari suatu tempat ke makanan.

Maka kebersihan dan kesehatannya perlu dijaga dengan baik. Kuku dipotong

pendek, dan bersih. Biasakan mencuci tangan dengan sabun sebelum memulai.

B. Higiene makanan Dalam higiene makanan ini, yang menjadi sasaran meliputi :

1. Menyortir bahan makanan sebelum disimpan


2. Membuang makanan yang basi atau tidak layak makan.
3. Menyimpan makanan dengan stainless container bertutup.
4. Menyimpan makanan secara terpisah-pisah agar tidak terkontaminasi dengan
bahan makanan lain.
5. Menyimpan makanan sesuai dengan prosedur dari masing-masing makanan itu.
6. Memasak makanan dengan cepat, dan tepat, dan tidak terlalu lama jaraknya
saat diberikan kepada tamu.

C. Higiene Peralatan Dalam higiene peralatan ini, yang menjadi sasaran meliputi :

1. Peralatan yang digunakan dalam keadaan bersih


2. Kondisi fisik masih baik, tidak berkarat, tidak bocor.

25
3. Simpan makanan menurut jenis dan ukurannya.
4. Kembalikan peralatan pada tempatnya setelah digunakan.
5. Simpan pealatan dalam keadaan bersih dan kering
Hal yang perlu di terapkan untuk mengendalikan pencemarn makanan sesuai dengan

Peraturan Menteri Kesehatan RI th.2011 antara lain sebagai berikut :

A. Bangunan
1. Lokasi

Lokasi jasaboga tidak berdekatan dengan sumber pencemaran seperti tempat

sampah umum, WC umum, pabrik cat dan sumber pencemaran lainnya.

a. Halaman

1. Terpampang papan nama perusahaan dan nomor Izin Usaha serta nomor Sertifikat

Laik Higiene Sanitasi.

2. Halaman bersih, tidak bersemak, tidak banyak lalat dan tersedia tempat sampah yang

bersih dan bertutup, tidak terdapat tumpukan barangbarang yang dapat menjadi sarang

tikus.

3. Pembuangan air limbah (air limbah dapur dan kamar mandi) tidak menimbulkan

sarang serangga, jalan masuknya tikus dan dipelihara kebersihannya.

4. Pembuangan air hujan lancar, tidak terdapat genangan air

b. Konstruksi

Konstruksi bangunan untuk kegiatan jasaboga harus kokoh dan aman. Konstruksi

selain kuat juga selalu dalam keadaan bersih secara fisik dan bebas dari barang-barang

sisa atau bekas yang ditempatkan sembarangan.

c. Lantai

26
Kedap air, rata, tidak retak, tidak licin, kemiringan/kelandaian cukup dan

mudah dibersihkan.

d. Dinding

Permukaan dinding sebelah dalam rata, tidak lembab, mudah dibersihkan dan

berwarna terang. Permukaan dinding yang selalu kena percikan air, dilapisi bahan kedap

air setinggi 2 (dua) meter dari lantai dengan permukaan halus, tidak menahan debu dan

berwarna terang. Sudut dinding dengan lantai berbentuk lengkung (conus) agar mudah

dibersihkan dan tidak menyimpan debu/kotoran.

2. Langit-langit

a. Bidang langit-langit harus menutupi seluruh atap bangunan, terbuat dari bahan yang
permukaannya rata, mudah dibersihkan, tidak menyerap air dan berwarna terang.
b. Tinggi langit-langit minimal 2,4 meter di atas lantai.
3. Pintu dan jendela
a. Pintu ruang tempat pengolahan makanan dibuat membuka ke arah luar dan dapat menutup
sendiri (self closing), dilengkapi peralatan anti serangga/lalat seperti kassa, tirai, pintu
rangkap dan lain-lain.

b. Pintu dan jendela ruang tempat pengolahan makanan dilengkapi peralatan anti

serangga/lalat seperti kassa, tirai, pintu rangkap dan lain-lain yang dapat dibuka dan

dipasang untuk dibersihkan.

27
4. Pencahayaan

a. Intensitas pencahayaan harus cukup untuk dapat melakukan pemeriksaan dan


pembersihan serta melakukan pekerjaan-pekerjaan secara efektif.
b. Setiap ruang tempat pengolahan makanan dan tempat cuci tangan intensitas
pencahayaan sedikitnya 20 foot candle/fc (200 lux) pada titik 90 cm dari lantai.
c. Semua pencahayaan tidak boleh menimbulkan silau dan distribusinya sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan bayangan.
d. Cahaya terang dapat diketahui dengan alat ukur lux meter (foot candle meter)
1) Mengukur 10 fc dengan lux meter pada posisi 1x yaitu pada angka 100, atau pada posisi

10x pada angka 10. Catatan : 1 skala lux = 10, berarti 1 foot candle = 10 lux.

2) Untuk perkiraan kasar dapat digunakan angka hitungan sebagai berikut :

 1 watt menghasilkan 1 candle cahaya atau


 1 watt menghasilkan 1 foot candle pada jarak 1 kaki (30 cm) atau
 1 watt menghasilkan 1/3 foot candle pada jarak 1 meter atau
 1 watt menghasilkan 1/3 x ½ = 1/6 foot candle pada jarak 2 meter atau
 1 watt menghasilkan 1/3 x 1/3 = 1/9 foot candle pada jarak 3 meter.
 lampu 40 watt menghasilkan 40/6 atau 6,8 foot candle pada jarak 2 meter atau 40/9 =
4,5 foot candle pada jarak 3 meter.
5. Ventilasi/penghawaan/lubang angin
a. Bangunan atau ruangan tempat pengolahan makanan harus dilengkapi dengan

ventilasi sehingga terjadi sirkulasi/peredaran udara.

b. Luas ventilasi 20% dari luas lantai, untuk :

1. Mencegah udara dalam ruangan panas atau menjaga kenyamanan dalam ruangan.
2. Mencegah terjadinya kondensasi/pendinginan uap air atau lemak dan menetes pada
lantai, dinding dan langit-langit.
3. Membuang bau, asap dan pencemaran lain dari ruangan.

6. Ruang pengolahan makanan

a. Luas tempat pengolahan makanan harus sesuai dengan jumlah karyawan


yang bekerja dan peralatan yang ada di ruang pengolahan.
28
b. Luas lantai dapur yang bebas dari peralatan minimal dua meter persegi (2m 2) untuk

setiap orang pekerja.

Contoh : Luas ruang dapur (dengan peralatan kerja) 4 m x 5 m = 20 m2.

Jumlah karyawan yang bekerja di dapur 6 orang, maka tiap pekerja mendapat

luas ruangan 20/6 = 3,3 m2, berarti luas ini memenuhi syarat (luas 2 m2 untuk pekerja

dan luas 1,3 m2 perkiraan untuk keberadaan peralatan ) Luas ruangan dapur dengan

peralatan 3 m x 4 m = 12 m2. Jumlah karyawan di dapur 6 orang, maka tiap karyawan

mendapat luas ruangan 12/6 = 2 m2, luas ini tidak memenuhi syarat karena dihitung

dengan keberadaan peralatan di dapur.

c. Ruang pengolahan makanan tidak boleh berhubungan langsung dengan toilet/jamban,


peturasan dan kamar mandi.

c. Peralatan di ruang pengolahan makanan minimal harus ada meja kerja, lemari/

tempat penyimpanan bahan dan makanan jadi yang terlindung dari gangguan serangga,

tikus dan hewan lainnya.

B. Fasilitas Sanitasi
1. Tempat cuci tangan
a. Tersedia tempat cuci tangan yang terpisah dari tempat cuci peralatan maupun bahan

makanan dilengkapi dengan air mengalir dan sabun, saluran pembuangan tertutup, bak

penampungan air dan alat pengering.

b. Tempat cuci tangan diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau dan dekat dengan

tempat bekerja.

c. Jumlah tempat cuci tangan disesuaikan dengan jumlah karyawan dengan perbandingan

sebagai berikut : Jumlah karyawan 1 - 10 orang : 1 buah tempat cuci tangan. 11 - 20

29
orang : 2 buah tempat cuci tangan. Setiap ada penambahan karyawan sampai dengan 10

orang, ada penambahan 1 (satu) buah tempat cuci tangan.

2. Air bersih

a. Air bersih harus tersedia cukup untuk seluruh kegiatan penyelenggaraan jasaboga.

b. Kualitas air bersih harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

3. Jamban dan peturasan (urinoir)

a. Jasaboga harus mempunyai jamban dan peturasan yang memenuhi syarathigiene

sanitasi.

b. Jumlah jamban harus cukup, dengan perbandingan sebagai berikut :

1. Jumlah karyawan : 1 - 10 orang : 1 buah, 11 - 25 orang : 2 buah, 26 - 50 orang : 3

buah

Setiap ada penambahan karyawan sampai dengan 25 orang,

ada penambahan 1 (satu) buah jamban.

2. Jumlah peturasan harus cukup, dengan perbandingan sebagai berikut :

Jumlah karyawan : 1 - 30 orang : 1 buah, 31 - 60 orang : 2 buah

Setiap ada penambahan karyawan sampai dengan 30 orang, ada penambahan 1

(satu) buah peturasan.

4. Kamar mandi

a. Jasa boga harus mempunyai fasilitas kamar mandi yang dilengkapi dengan air mengalir
dan saluran pembuangan air limbah yang memenuhi persyaratan kesehatan.
b. Jumlah kamar mandi harus mencukupi kebutuhan, paling sedikit tersedia : Jumlah
karyawan : 1 - 30 orang : 1 buah
Setiap ada penambahan karyawan sampai dengan 20 orang, ada penambahan
1 (satu) buah kamar mandi.
30
5. Tempat sampah

a. Tempat sampah harus terpisah antara sampah basah (organik) dan sampah kering (an
organik).

b. Tempat sampah harus bertutup, tersedia dalam jumlah yang cukup dan diletakkan

sedekat mungkin dengan sumber produksi sampah, namun dapat menghindari

kemungkinan tercemarnya makanan oleh sampah.

C. Peralatan

Tempat pencucian peralatan dan bahan makanan (PERMENKES RI, 2011):

a. Tersedia tempat pencucian peralatan, jika memungkinkan terpisah dari tempat

pencucian bahan pangan.

b. Pencucian peralatan harus menggunakan bahan pembersih/deterjen.

c. Pencucian bahan makanan yang tidak dimasak atau dimakan mentah harus dicuci

dengan menggunakan larutan Kalium Permanganat (KMnO4) dengan konsentrasi

0,02% selama 2 menit atau larutan kaporit dengan konsentrasi 70% selama 2 menit

atau dicelupkan ke dalam air mendidih (suhu 80°C - 100°C) selama 1 – 5 detik.

d. Peralatan dan bahan makanan yang telah dibersihkan disimpan dalam tempat yang

terlindung dari pencemaran serangga, tikus dan hewan lainnya.

D. Ketenagaan

Tenaga/karyawan pengolah makanan:

1. Memiliki sertifikat kursus higiene sanitasi makanan.


2. Berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

31
3. Tidak mengidap penyakit menular seperti tipus, kolera, TBC, hepatitis dan lain-lain
atau pembawa kuman (carrier).
4. Setiap karyawan harus memiliki buku pemeriksaan kesehatan yang berlaku.
5. Semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dari
kontak langsung dengan tubuh.
6. Perlindungan kontak langsung dengan makanan dilakukan dengan menggunakan alat :
a. Sarung tangan plastik sekali pakai (disposal)
b. Penjepit makanan
c. Sendok garpu
7. Untuk melindungi pencemaran terhadap makanan menggunakan :
a. Celemek/apron
b. Tutup rambut
c. Sepatu kedap air
8. Perilaku selama bekerja/mengelola makanan:
a. Tidak merokok
b. Tidak makan atau mengunyah
c. Tidak memakai perhiasan, kecuali cincin kawin yang tidak berhias (polos)
d. Tidak menggunakan peralatan dan fasilitas yang bukan untuk keperluannya
e. Selalu mencuci tangan sebelum bekerja, setelah bekerja dan setelah keluar dari
toilet/jamban
f. Selalu memakai pakaian kerja dan pakaian pelindung dengan benar
g. Selalu memakai pakaian kerja yang bersih yang tidak dipakai di luar tempat jasaboga h.
Tidak banyak berbicara dan selalu menutup mulut pada saat batuk atau bersin
dengan menjauhi makanan atau keluar dari ruangan

i. Tidak menyisir rambut di dekat makanan yang akan dan telah diolah

E. Makanan

Makanan yang dikonsumsi harus higienis, sehat dan aman yaitu bebas dari cemaran

fisik, kimia dan bakteri (PERMENKES RI, 2011).

1. Cemaran fisik seperti pecahan kaca, kerikil, potongan lidi, rambut, isi staples, dan

sebagainya. Dengan penglihatan secara seksama atau secara kasat mata.


32
2. Cemaran kimia seperti Timah Hitam, Arsenicum, Cadmium, Seng, Tembaga, Pestisida

dan sebagainya. Melalui pemeriksaan laboratorium dan hasil pemeriksaan negatif

3. Cemaran bakteri seperti Eschericia coli (E.coli) dan sebagainya. Melalui pemeriksaan

laboratorium dan hasil pemeriksaan menunjukkan angka kuman E.coli 0 (nol)

F. Pemeriksaan Higiene Sanitasi

Pemeriksaan higiene sanitasi dilakukan untuk menilai kelaikan persyaratan teknis fisik

yaitu bangunan, peralatan dan ketenagaan serta persyaratan makanan dari cemaran kimia dan

bakteriologis. Nilai pemeriksaan ini dituangkan di dalam berita acara kelaikan fisik dan

berita acara pemeriksaan sampel/specimen (PERMENKES RI, 2011).

1. Pemeriksaan fisik
a. Golongan A1, minimal nilai 65 maksimal 70, atau 65 – 70%
b. Golongan A2, minimal nilai 70 maksimal 74, atau 70 – 74%
c. Golongan A3, minimal nilai 74 maksimal 83, atau 74 – 83%
d. Golongan B, minimal nilai 83 maksimal 92, atau 83 – 92%
e. Golongan C, minimal nilai 92 maksimal 100,atau rangking 92 –100%
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Cemaran kimia pada makanan negatif
b. Angka kuman E.coli pada makanan 0/gr contoh makanan
c. Angka kuman pada peralatan makan 0 (nol)
d. Tidak diperoleh adanya carrier (pembawa kuman patogen) pada penjamah makanan
yang diperiksa (usap dubur/rectal swab)

Cara Pengolahan Makanan Yang Baik

Pengelolaan makanan pada jasaboga harus menerapkan prinsip higiene sanitasi


makanan mulai dari pemilihan bahan makanan sampai dengan penyajian makanan. Khusus
untuk pengolahan makanan harus memperhatikan kaidah cara pengolahan makanan yang baik.

33
Prinsip Higiene Sanitasi Makanan

1. Pemilihan Bahan Makanan

a. Bahan makanan mentah (segar) yaitu makanan yang perlu pengolahan sebelum
dihidangkan seperti :

1. Daging, susu, telor, ikan/udang, buah dan sayuran harus dalam keadaan baik, segar
dan tidak rusak atau berubah bentuk, warna dan rasa, serta sebaiknya berasal dari
tempat resmi yang diawasi.

2. Jenis tepung dan biji-bijian harus dalam keadaan baik, tidak berubah warna, tidak
bernoda dan tidak berjamur.

3. Makanan fermentasi yaitu makanan yang diolah dengan bantuan mikroba


seperti ragi atau cendawan, harus dalam keadaan baik, tercium aroma fermentasi,
tidak berubah warna, aroma, rasa serta tidak bernoda dan tidak berjamur.

b. Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang dipakai harus memenuhi persyaratan sesuai
peraturan yang berlaku.

b. Makanan olahan pabrik yaitu makanan yang dapat langsung dimakan tetapi
digunakan untuk proses pengolahan makanan lebih lanjut yaitu :

1. Makanan dikemas

a). Mempunyai label dan merk


b). Terdaftar dan mempunyai nomor
c). Kemasan tidak rusak/pecah atau kembung
d). Belum kadaluwarsa
e). Kemasan digunakan hanya untuk satu kali penggunaan

2. Makanan tidak ikemas


a). Baru dan segar
b). Tidak basi, busuk, rusak atau berjamur
c). Tidak mengandung bahan berbahaya
2. Penyimpanan bahan makanan

34
Tempat penyimpanan bahan makanan harus terhindar dari kemungkinan
kontaminasi baik oleh bakteri, serangga, tikus dan hewan lainnya maupun bahan
berbahaya.

Upaya dari sektor pelayanan kesehatan

Hal yang dapat menjadi upaya penunjang untuk meningkatkan jumlah tempat
pengolahan makanan (TPM) yang memenuhi syarat sesuai yang dipaparkan dinas kesehatan
pada profil kesehatan provinsi bali, 2016 diantaranya dengan memberikan dukungan aspek
legal untuk operasionalisasi pembinaan dan pengawasan TPM dan tempat pengolahan pangan
(TPP), meningkatkan jejaring kemitraan, meningkatka kapasitas SDM, menyediakan sarana
prasarana seperti media KIE tentang higiene sanitasi pangan dan alat deteksi cepat system
kewaspadaan dini KLB keracunan pangan, manyediakan pengelolaan data dan informasi yang up
to deat dan real time dengan e-monev Hegiene Sanitasi Pangan (HSP), mengembangkan
daerah intervensi kabupaten/kota yang berkomitmen untuk pelaksanaan pembinaan dan
pengendalian TPM terstandar, dan memfasilitasi tugas perbantuan sentra pangan jajanan di
kabupaten/kota (Dinkes Bali, 2017).

Prinsip HACCP

HACCP (Hazard Analysis & Critical Control Point) merupakan metode atau sertifikasi
terstruktur yang dikenal secara internasional yang bisa membantu organisasi dalam industri
makanan dan mnuman untuk mengidentifikasi risiko keamanan pangan, mencegah bahaya

dalam keamanan pangan, dan menyampaikan kesesuaian hukum. Dalam aplikasinya HACCP

mengacu pada beberapa prinsip utama, yaitu (Daulay. S.S, 2015) :

Prinsip I: mengidentifikasi potensi bahaya yang berhubungan dengan produksi pangan pada

semua tahapan, mulai dari usaha tani, penanganan, pengolahan dipabrik dan

35
distribusi sampai kepada titik produk panga dikonsumsi. Penilaian kemungkinan

terjadinya bahaya dan menentukan tindakan pencegahan untuk pengendaliannya.

Prinsip 2: menentukan titik atau tahap operasional yang dapat dikendalikan untuk

menghilangkan bahaya atau mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya tersebut

(CCP:critical control point). CCP berarti setiap tahapan di dalam produksi pangan dan

atau pabrik yang meliputi sejak diterimanya bahan bakunya dan atau diproduksi,

panen, diangkut, formulasi, diolah, disimpan dan lain sebagainya.

Prinsip 3: Menetapkan batas kritis yang harus dicapai untuk menjamin bahwa CCP berada

dalam kendali.

Prinsip 4: Menetapkan sistem pemantauan pengendalian (monitoring) dari CCP dengan cara

pengujian dan pengamatan.

Prinsip 5: Menetapkan tindakan perbaikan yang dilaksanakan jika hasil pemantauan

menunjukkan bahwa CCP tertentu tidak terkendali.

Prinsip 6: Menetapkan prosedur ferivikasi yang mencakup dari pengujian tambahan dan

prosedur penyesuaian yang menyatakan bahwa sistem HACCP berjalan efektif.

Prinsip 7: Mengembangkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan pencatatan yang tepat

untuk prinsip-prinsip ini dan penerapannya.

36
DAFTAR PUSTAKA

Coliform, B., & Daging, P. (2016). Dwi Septiasari, Arum Siwiendrayanti, 6(2), 80–90.

Gandamayu, I.B.M, Agustini, N.L.P.I.B, dan Kususma, M.D.S. (2016). Gambaran Masalah

Kesehatan Wisatawan Asing Yang Berkunjung Ke Pusat Pelayanan

Kesehatan 2015. Jurnal Ners LENTERA, Vol. 4, No. 2, September 2016. Khalik, W. (2014).

Kajian kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan

pariwisata kuta lombok. Jumpa, 1, 23–42.

37
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/Menkes/Per/Vi/2011 Tentang

Higiene Sanitasi Jasaboga.

Prabu, P. (2008). Hiegene dan Sanitasi Makanan. Post : Desember 27, 2008

https://putraprabu.wordpress.com/2008/12/27/higiene-dan-sanitasi-makanan/ . Accesed : 15

Maret 2018.

Purnama, S.G., Purnama, H., dan Subrata, I.M. (2017). Kualitas Mikrobiologis dan Higiene

Pedagang Lawar di Kawasan Pariwisata Kabupaten Gianyar, Bali. Jurnal Kesehatan

Lingkungan Indonesia 16 (2), 2017, 56 – 62.

Rakhmawati, N., dan Hadi, W. (2015). Peranan Higiene Dan Sanitasi Dalam Proses

Pengolahan Makanan Di Hotel Brongto Yogyakarta. Jurnal Khasanah Ilmu Vol. VI No. 1

Maret 2015.

Sakit, R., & Daerah, J. (n.d.). Di Instalasi Gizi, 160–167.

Sujaya, I. N., Dwipayanti, N. M. U., Sutiari, N. K., Wulandari, L. L., & Adhi, N. K. T. (2009).

Pembinaan Pedagang Makanan Kaki Lima untuk Meningkatkan Higiene dan Sanitasi

Pengolahan dan Penyediaan Makanan di desa Penatih, Denpasar Timur. PS.IKM Universitas

Udayana, 8. Retrieved from http://ojs.unud.ac.idabstrak/sujaya 090102010.pdf

38
Supraptini, & Djarismawati. (2003). Sanitasi Makanan Di Daerah Wisata Bali. Ekologi

Kesehatan.

Tribun Bali. (2014). Denpasar Festival 2014 : Wisatawan Mancanegara Terpikat

Kuliner Nasi Jinggo. Selasa, 30 September 2014.

http://bali.tribunnews.com/2014/12/30/wisatawan-mancanegara-terpikat-

kuliner-nasi-jinggo. Accessed : 16 Maret 2018.

Wawoh, G. V., Joseph, W. B. S., Umboh, J. M. L., Kesehatan, F., Universitas, M., &

Ratulangi, S. (2017). Makanan Tentang Higiene Dan Sanitasi Makanan Jajanan

Di Pasar Kuliner Kota Tomohon Tahun 2017. Jurnal KESMAS Vol 6 No 3.

Yunita, N.L.P, dan Dwipayanti, N.M.U. (2010). Kualitas Mikrobiologi Nasi Jinggo

Berdasarkan Angka Lempeng Total, Coliform Total Dan Kandungan

Escherichia coli. Jurnal Biologi XIV (1) : 15 – 19. ISSN : 1410 5292

39
BAB 4.
CEMARAN MIKROBIOLOGI MAKANAN

4.1 Latar Belakang


Sektor pariwisata merupakan suatu potensi dan andalan perekonomian bagi suatu negara,
terlebih negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki luas wilayah dan daya tarik
keindahan yang cukup besar. Keberagaman negara Indonesia baik suku, budaya dan keindahan
alamnya di mata dunia menjadi daya tarik bagi wisatawan manacanegar dan wisatwan domestik
dalam mencari tempat wisata yang menarik. Pariwisata Indonesia merupakan salah satu prospek
yang sangat cerah dan menjanjikan dengan peluangan yang sangat besar dalam pengembangan
industry-industri pariwisata Indonesia. Salah satu industri pariwisata yang menjanjikan adalah
wisata kuliner. Karena Tidak hanya penginapan yang dibutuhkan oleh wisatawan, namun juga
tempat makan. Tempat makan baik dari kelas bintang lima seperti restaurant, rumah makan hingga
warung kaki lima juga menjadi sasaran para wisatawan tergantung dari selara dan budget yang
dimiliki (Kemenpar 2016)
Menurut Undang-Undang Pangan No. 18 tahun 2012 menyatakan bahwa setiap orang yang
terlibat dalam rantai pangan wajib mengendalikan risiko bahaya pada pangan, baik yang berasal
dari bahan, peralatan, sarana produksi, maupun dari perseorangan agar terjamin keamanan pangan.
Peyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran
pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi dan menjamin keamanan pangan dan/atau
keselamatan manusia. Salah satunya pangan yang beredar tidak boleh mengandung atau melebihi
batas maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan dalam standar.
Standar cemaran mikrobiologi merupakan kriteria keamanan mikrobiologi pangan, ukuran
manajemen risiko yang menunjukkan keberterimaan suatu pangan atau kinerja proses atau sistem
keamanan pangan yang merupakan hasil dari pengambilan sampel dan pengujian mikroba, toksin
atau metabolitnya atau penanda yang berhubungan dengan patogenisitas atau sifat lainnya pada
titik tertentu dalam suatu rantai pangan. Meskipun pengujian pangan tidak dapat menjamin mutu
dan kemanan pangan, pengujian dapat meningkatkan keyakinan akan keamanan, pangan terutama

40
apabila GMP dan HACCP telah diaplikasi. Akan tetapi, mikroba umumnya tidak terdistribusi
secara homogen dalam pangan, sehingga pengambilan sampel yang tidak acak atau terlalu kecil
dapat mengakibatkan kesalahan positif maupun negative (Codex, 2012).
Kriteria mikrobiologi harus memenuhi kaidah yang mencakup jenis pangan, proses atau
sistem pengawasan keamanan pangan dimana kriteria mikrobiologi ditetapkan; titik dalam rantai
pangan tempat kriteria diaplikasikan; mikroba dan alas an penetapannya; batas maksimum
mikroba (m dan M) atau batas maksimum lainnya (batas risiko); rencana sampling yang
menjelaskan jumlah sampel yang akan diambil (n), ukuran unit sampel analisis atau yang
diperlukan dan jumlah keberterimaan (c); tindakan yang harus diambil jika tidak memenuhi
kriteria; serta metode analisis (Codex, 2012).
Standar cemaran mikroba pada pangan olahan di Indonesia termuat dalam Peraturan
Kepala Badan POM Nomor 16 Tahun 2016 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran
Mikroba dan Kimia Dalam Makanan dan Standar Nasional Indonesia (SNI) komoditas pangan.
Pangan Olahan yang diproduksi, diimpor dan diedarkan di wilayah Indonesia harus memenuhi
persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan. Persyaratan keamanan Pangan Olahan harus
dipenuhi untuk mencegah Pangan Olahan dari kemungkinan adanya bahaya mikroba. Kriteria
Mikrobiologi meliputi: jenis Pangan Olahan; jenis mikroba rencana sampling; dan metode analisis.
Cemaran mikrobiologi yang dimaksud adalah Angka Lempeng Total, Angka Paling Mungkin
Escherichia coli, Salmonella, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus (Codex, 2012)
Lebih dari 50,000 kasus keracunan pangan di USA pertahunnya disebabkan oleh
Salmonella sp. Kasus keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini biasanya terjadi jika manusia
menelan pangan yang mengandung Salmonella sp dalam jumlah signifikan. Jumlah Salmonella sp
yang dapat menyebabkan Salmonellosis yaitu mentah, dll. Pangan yang biasanya tercemar
Salmonella sp antara lain daging mentah dan produk olahannya, unggas, telor, susu dan produk
susu, ikan, udang, kaki kodok, ragi, kelapa, salad dressing dan saus, cake mixes, toping dan pangan
penutup berisi krim, gelatin kering, selai kacang, kakao, dan coklat. Bakteri ini dapat bertahan
dalam jangka waktu yang lama didalam pangan. Terdapat dua bentuk keracunan pangan akibat
stafilokokus yaitu stafiloenterotoksikosis dan stafiloenterotoksemia. Kondisi tersebut disebabkan
oleh enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa strain S. aureus. Enterotoksin S. aureus
menyebabkan keracunan pangan dalam waktu singkat dengan gejala kram dan muntah yang hebat.
Selain itu, mikroba ini juga mengeluarkan leukosidin, suatu toksin yang merusak sel darah putih

41
dan mempercepat pembentukan nanah pada luka dan jerawat. S. aureus ditemukan sebagai
penyebab beberapa penyakit seperti pneumonia, meningitis, melepuh, arthritis dan osteomyelitis
(infeksi tulang kronis) (Codex, 2012).
B. cereus dapat menyebabkan dua tipe penyakit, yaitu diare dan muntah. Gejala penyakit
diare yang ditimbulkan mirip dengan yang disebabkan oleh Clostridium perfringens; yaitu buang
air besar encer, perut kejang-kejang dan sakit 6 jam -15 jam setelah mengkonsumsi pangan yang
tercemar; disertai mual, namun jarang terjadi muntah. Sedangkan gejala penyakit muntah,
biasanya ditandai oleh mual terjadi 0,5 jam - 6 jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar,
dan biasanya berlangsung kurang dari 24 jam; kadang-kadang disertai dengan kejang perut dan
diare. Beberapa strain B. subtilis dan B. licheniformis juga dapat menyebabkan muntah karena
dapat memproduksi toksin yang stabil terhadap panas seperti yang juga dihasilkan oleh B. cereus.
Dosis infeksi B. cereus adalah > 105 /g (Codex, 2012).
Seiring perubahan gaya hidup manusia yang semakin sibuk serta perkembangan industri
pariwisata yang terus meningkat, gaya hidup dan perkembangan industri pariwisata serta jasa boga
membuat banyak orang yang mencari makanan di luar rumah guna menghemat biaya,waktu dan
tenaga, seperti mencari makan di restoran, kapal pesiar, jasa boga (katering), tempat wisata, kaki
lima, dan sebagainya. Bagi sebagian orang makan di tempat seperti itu adalah suatu hal yang
menghemat serta juga tempat refreshing, tetapi banyak orang mengabaikan aspek kebersihan yang
terdapat di tempat tempat makan tersebut. Oleh sebab itu tulisan ini dibuat untuk membahas
kejadian cemaran mikrobiologi pada makanan terkait kasus keracunan makanan.

42
4.2 Kebijakan Terkait Cemaran Mikrobiologi Pada Pangan
Standar cemaran mikroba pada pangan olahan di Indonesia termuat dalam Peraturan
Kepala Badan POM Nomor 16 Tahun 2016 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran
Mikroba dan Kimia Dalam Makanan dan Standar Nasional Indonesia (SNI) komoditas pangan.
Pangan Olahan yang diproduksi, diimpor dan diedarkan di wilayah Indonesia harus memenuhi
persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan. Persyaratan keamanan Pangan Olahan harus
dipenuhi untuk mencegah Pangan Olahan dari kemungkinan adanya bahaya mikroba. Kriteria
Mikrobiologi meliputi: jenis Pangan Olahan; jenis mikroba rencana sampling; dan metode analisis.
Cemaran mikrobiologi yang dimaksud adalah Angka Lempeng Total, Angka Paling Mungkin
Escherichia coli, Salmonella, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus.
Angka Lempeng Total (ALT) secara umum tidak terkait dengan bahaya keamanan pangan
namun kadang bermanfaat untuk menunjukkan kualitas, masa simpan/waktu paruh, kontaminasi
dan status higienis pada saat proses produksi. ALT untuk produk pangan dalam kaleng dinyatakan
dalam ALT aerob dan ALT anaerob. ALT anaerob dimaksudkan untuk menunjukkan kontaminasi
pasca proses pengalengan. Sedangkan Strain patogen E.coli dapat menyebabkan kasus diare berat
pada semua kelompok usia melalui endotoksin yang dihasilkannya. E. coli juga dapat
menyebabkan infeksi saluran urin dan juga penyakit lain seperti pneumonia, meningitis dan
traveler’s diarrhea. Meskipun infeksi E.coli dapat diobati dengan antibiotika namun dapat
menyebabkan pasien syok bahkan mengarah pada kematian karena toksin yang dihasilkan lebih
banyak pada saat bakteri mati (BPOM RI, 2016).
Selama kurun waktu 4 tahun pelaksanaan Peraturan Kepala Badan POM No.
HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia Dalam
Makanan, beberapa kendala dihadapi dalam implementasinya. Kendala tersebut diantaranya
adanya kriteria yang tidak dapat diaplikasikan karena terlalu ketat, ketidaktersediaan metode uji
dan adanya ketidakharmonisan antara kriteria mikrobiologi dengan SNI. Adanya berbagai kendala
di atas mengindikasikan perlunya penelaahan terhadap peraturan dan standar cemaran mikroba
pada pangan yang diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah dalam proses
perumusan atau revisi agar menghasilkan standar cemaran mikroba yang lebih baik dan dapat
diaplikasikan oleh semua pihak berdasarkan prinsip-prinsip penetapan kriteria mikrobiologi
pangan dan analisis ilmiah khususnya lingkup aspek pathogen emergensi yang relevan,
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan baru. Kriteria yang tidak ketat dilakukan terhadap

43
standar cemaran mikrobiologi pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada makanan
(BPOM, 2009)

4.3 Kondisi Kejadian Keracunan Makanan


Menurut hasil pemetaan kasus keracunan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM), Bali masuk lima besar kasus keracunan yang terjadi di Indonesia selama 2010-
2015. Padahal Bali merupakan daya tarik utama bagi wisman yang berkunjung ke Indonesia.
Kenyataan tersebut merefleksikan sistem keamanan pangan di Indonesia belum sepenuhnya
terjaga. Untuk menjamin keamanan makanan, pemerintah perlu lebih gencar dan ketat mengawasi
setiap tahap pengadaannya.
Dalam sektor pariwisata telah berkembang konsep wisata kuliner dengan salah satu
tawarannya adalah makanan tradisional (khas daerah). Makanan-minuman yang sehat, sesuai
selera, tampilan dan kemasan menarik/unik, bisa menjadi suvenir alternatif bagi turis. Namun
masalahnya, penyediaan makanan khas daerah melibatkan produsen lokal tingkat industri rumah
tangga yang belum semuanya mempunyai standar produksi dan pada umumnya makanan
tradisional diolah menggunakan tangan dan alat-alat yang tradisional dengan lingkungan yang
memungkinkan kontak mikrobiologi yang tinggi.
Sebuah survei yang dilakukan tahun 2009 terhadap 1.504 industri rumah tangga pangan
(IRTP) di 18 provinsi menunjukkan bahwa hanya 24,14 persen IRTP yang mampu menerapkan
cara produksi pangan dengan baik. Sementara itu, 51,06 persen masih memerlukan pendampingan.
Pada umumnya, kesan seseorang terhadap suatu hal berawal dari kontak mata, telinga, penciuman,
indera perasa. Untuk makanan-minuman, perlu diperhatikan juga akibatnya terhadap tubuh.
Kenangan buruk tentang suatu hal dapat membuat orang kapok, tidak ingin mengulang. Selain
akomodasi, restoran dan sejenisnya merupakan sektor usaha yang berkaitan langsung dengan
kepariwisataan.
Jumlah kasus keracunan makanan di Indonesia mengalami peningkatan dari 2016 sebesar
106 kejadian menjadi 142 kejadian di 2017, kasus keracunan pangan menempati porsi 25 persen
dari total kejadian penyakit sejak 2015-2016. Risiko ini bisa diminimalkan dengan upaya
pengawasan pangan di sektor komersil dan rumah tangga (Suara, 2018). Kasus keracunan
makanan terbaru di Provinsi Bali terjadi pada Perayaan Nyepi di Banjar Mudita, Desa Sukawati
pada Sabtu (17/3/18). Pasalnya 98 warga setempat mengalami keracunan massal, dan sampai

44
Minggu sore (18/3/18) pasien masih menjalani perawatan di RSUD Sanjiwani setelah menyantap
nasi bungkus dan mengalami diare. Disinggung mengenai penetapan status KLB (Kejadian Luar
Biasa) dalam keracunan massal memang sudah menjadi penetapan Pemerintah kabupaten
Gianyar, setelah dilakukan rapat koordinasi antar intansi pemerintah. Penetapan KLB itu
dilakukan, mengingat jumlah korban dalam kejadian ini meningkat dari awalnya 98 orang menjadi
104 orang (Tribun Bali, 2018).
Selain keracunan ditingkat pangan rumah tangga, keracunan juga sangat mungkin terjadi
seperti pangan direstaurant maupun rumah makan, yang secara tidak langsung mempengaruhi
sektor pariwiata. Pemenuhan kebutuhan konsumsi bagi para wisatawan, melibatkan banyak pihak
dan pelaku usaha. Mengingat pentingnya peran penyedia pangan dalam kepariwisataan dan sifat
sensitif dari kepariwisataan terhadap isu negatif, maka pengawasan terhadap penyediaan atau
produksi makanan-minuman perlu lebih intensif dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. (2009). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum
Cemaran Mikroba dan Kimia Dalam Makanan. Jakarta: Badan POM RI
BPOM. (2012). Pedoman Kriteria Cemaran Pada Pangan Makanan Siap Saji Dan Pangan Industry
Rumahan. Jakarta : BPOM RI.
BPOM. (2016). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
16 Tahun 2016 Tentang Kriteria Mikrobiologi Dalam Pangan Olahan. Jakarta : BPOM RI
Codex Alimentarius Commission. (2012). Principles for The Establishment and Application of
Microbiological Criteria for Foods, CAC/GL 21-1997. Rome: CAC
Depkes RI. (2012). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
Jakarta : Presiden RI
Kementerian Pariwisata RI. (2016). Pembangunan Destinasi Pariwisata Priorias 2016-2019.
Jakarta : Kementerian Pariwisata RI

45
Tribun Bali. (2018). Seratusan Warga Banjae Mudita Dirawat Saat Nyepi. Diakses Tanggal 19
maret 2018, dari http://www.tribunnews.com/regional/2018/03/19/seratusan-warga-banjar-
mudita-dirawat-saat-nyepi-diduga-keracunan-nasi-bungkus?page= .
Suara. (2018). Jumlah Kasus Keracunan Makanan Meningkat. Diakses Tanggal 19 maret 2018
dari https://www.suara.com/news/2018/01/24/192811/tercatat-142-kasus-keracunan-makanan-di-
indonesia-sepanjang-2017

46
BAB 5.
KUALITAS AIR MINUM

5.1 Latar belakang

Air merupakan materi penting dalam kehidupan. Semua makhluk hidup


membutuhkan air. Bagi manusia, kebutuhan akan air adalah mutlak karena 70% zat
pembentuk tubuh manusia terdiri dari air. Kebutuhan air untuk keperluan sehari-hari
berbeda untuk setiap tempat dan setiap tingkatan kehidupan. Biasanya semakin tinggi taraf
kehidupan, semakin meningkat pula jumlah kebutuhan air (Apriliana E., M.R. Ramadhian,
M. Gapila, 2014). Diantara kegunaan kegunaan air tersebut yang sangat penting adalah
kebutuhan untuk minum termasuk untuk memasak (Tombeng R.B., B. Polii, S. Sinolungan,
2013).
Kebutuhan masyarakat akan air minum yang terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk, tidak diimbangi dengan ketersediaan air bersih yang ada. Salah
satu penyebabnya adalah terjadinya pencemaran air tanah sehingga tidak lagi aman untuk
dijadikan bahan baku untuk air minum (Marpaung, M.D.O dan B.D. Marsono, 2013).
Menurut Slamet (2004) dalam buku Kesehatan Lingkungan, air dalam tubuh
manusia berkisar antara 50 – 70% dari seluruh berat badan. Pentingnya air bagi kesehatan
dapat dilihat dari jumlah air yang ada di dalam organ, seperti 80% dari darah terdiri atas
air, 25% dari tulang, 75% dari urat syaraf, 80% dari ginjal, 70% dari hati, dan 75% dari
otot adalah air. Kehilangan air untuk 15% dari berat badan dapat mengakibatkan kematian
yang diakibatkan oleh dehidrasi. Karenanya orang dewasa perlu minum minimal sebanyak
1,5 – 2 liter sehari untuk keseimbangan dalam tubuh dan membantu proses metabolisme.
Kebutuhan air minum di banyak negara di dunia tidak sama satu sama lain. Warga di negara
maju lebih banyak memerlukan air minum daripada di negara berkembang. Di negara maju
semua keperluan air dipenuhi dengan air minum, sedangkan di negara berkembang air
minum khusus hanya dipergunakan untuk makan dan minum saja, karena untuk keperluan
mencuci dan keperluan lainnya cukup dipenuhi oleh air bersih biasa. Di negara maju, air
yang dibutuhkan adalah lebih kurang 500 liter seorang tiap hari (lt/or/hr) sedangkan di

47
Indonesia (kota besar) sebanyak 200-400 lt/or/hr dan di daerah pedesaan hanya 60 lt/or/hr
(Departeman Kesehatan, 2006).
Air bersih dan sanitasi yang baik merupakan elemen penting yang menunjang
kesehatan manusia. Namun sayangnya pemenuhan akan kebutuhan tersebut belum
sepenuhnya berjalan dengan baik di beberapa belahan dunia. Menurut temuan terbaru
WHO, lebih dari 1,1 milyar orang pada wilayah pedesaan dan perkotaan kini kekurangan
akses terhadap air minum dari sumber yang berkembang dan 2,6 milyar orang tidak
memiliki akses terhadap sanitasi dasar. Dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi diantaranya nampak pada anak-anak
sebagai kelompok usia rentan. WHO memperkirakan pada tahun 2005, sebanyak 1,6 juta
balita (rata-rata 4500 setiap tahun) meninggal akibat air yang tidak aman dan kurangnya
higienitas.
Air minum yang aman bagi kesehatan adalah air minum yang memenuhi
persyaratan secara fisik, mikrobiologis, kimia, dan radioaktif. Secara fisik, air minum yang
sehat adalah tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna serta memiliki total zat padat
terlarut, kekeruhan, dan suhu sesuai ambang batas yang ditetapkan. Secara mikrobiologis,
air minum yang sehat harus bebas dari bakteri E.Coli dan total bakteri koliform. Secara
kimiawi, zat kimia yang terkandung dalam air minum seperti besi, aluminium, klor, arsen,
dan lainnya harus di bawah ambang batas yang ditentukan. Secara Radioaktif, kadar gross
alpha activity tidak boleh melebihi 0,1 becquerel per liter (Bq/l) dan kadar gross beta
activity tidak boleh melebihi 1 Bq/l. (Depkes, 2017)
Pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat saat ini sangat bervariasi. Di kota
besar, dalam hal pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat juga mengkonsumsi Air
Minum Dalam Kemasan (AMDK) karena praktis dan dianggap lebih higienis. AMDK
diproduksi oleh industri melalui proses otomatis dan disertai dengan pengujian kualitas
sebelum diedarkan kemasyarakat. Beberapa tahun terakhir ini masyarakat merasa bahwa
AMDK semakin mahal sehingga muncul alternatif lain yaitu Air Minum Isi Ulang (AMIU)
yang diproduksi oleh Depot Air Minum Isi Ulang (DAMIU) (Joenaidi, 2004).
DAMIU adalah badan usaha yang mengelola air minum untuk keperluan
masyarakat dalam bentuk curah dan tidak dikemas. Ditinjau dari harganya, AMIU lebih
murah dari AMDK, bahkan ada yang memberikan harga hingga seperempat dari harga

48
AMDK. AMIU menjadi salah satu jawaban pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat
Indonesia yang murah dan praktis. Hal ini yang menjadi alasan mengapa masyarakat
memilih AMIU untuk dikonsumsi. Namun dari segi kualitasnya, masyarakat masih
meragukan karena belum ada informasi yang jelas dari segi proses maupun peraturan
tentang peredaran dan pengawasannya (Suprihatin B dan R. Adriyani, 2008).
Bisnis air minum isi ulang merupakan fenomena yang tidak dapat dihilangkan.
Pengaturan berupa standar produk dan prosesnya sangat diperlukan dalam mengawasi
pelaksanaanya. Depot air minum isi ulang sampai saat ini masih ada yang belum
memenuhi standarisasi baku untuk memprosesan air minum. Sulistyawati, 2003).
Dampak positif adanya depot air minum adalah, menyediakan air yang kualitasnya
aman dan sehat bagi pemakainya, individu maupun masyarakat, menyediakan air yang
memenuhi kuantitas menyediakan air secara kontinyu, mudah dan murah untuk menunjang
hygiene perorangan maupun rumah tangga. Disisi lain perkembangan depot air minum isi
ulang berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan konsumen, bila tidak
adanya regulasi yang efektif . Jika tidak dikendalikan dengan maksimal depot air minum
berpotensi menimbulkan kerugian bagi kesehatan misalnya keracunan zat kimia persisten
maupun penyebaran penyakit melalui air atau water borne disease (Ramakrishnaiah, 2009;
Trevett, 2005; Tommy, 2007; Luuk, 2008)
Di Provinsi Bali secara umum persentase rumah tangga yang memiliki akses air
minum layak sebesar 89,1% dengan rentang 77,6% sampai dengan 97%. Kabupaten
dengan persentase rumah tangga yang memiliki akses air minum layak tertinggi yaitu
Jembrana sebesar 97%. Sedangkan kabupaten dengan persentase rumah tangga yang
memiliki akses air minum layak terendah dan capaian <80% yaitu Kota Denpasar sebesar
77,6%.(Depkes, 2017)

I. PERMASALAHAN PADA LINGKUNGAN DAN KESEHATAN


1. Masalah pelik yang harus dihadapi dalam masalah mengolah air adalah karena semakin
meningkat dan tingginya pencemaran yang memasuki badan air. Pencemaran tersebut
dapat berasal dari rumah tangga maupun kegiatan pabrik, industry dan pertanian
2. adanya kecenderungan meningkatnya penggunaan air kemasan dan isi ulang sebagai
sumber air minum terutama di kota-kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi,

49
sementara itu air kemasan dan isi ulang tersebut tidak termasuk sebagai sumber air minum
layak.
3. Rendahnya mutu pengawasan adalah banyaknya Depot Air Minum Isi Ulang yang tidak
memenuhi syarat kesehatan seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri kesehatan
4. Dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi
diantaranya nampak pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan.

II. UPAYA PENGENDALIAN


A. Kualitas Air Bersih dan Air Minum
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 mengelompokkan kualitas air menjadi
beberapa golongan menurut peruntukannya. Nilai kualitas air ditunjukkan berdasarkan
masing-masing golongan. Adapun penggolongan air menurut peruntukannya adalah sebagai
berikut.
1. Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung, tanpa
pengolahan terlebih dahulu.
2. Golongan B, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air yang dapat digunakan sebagai air
baku air minum.
3. Golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan.
4. Golongan D yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, usaha di
perkotaan, industri, dan pembangkit listrik tenaga air.

Syarat-Syarat Air Minum Menurut Sutrisno (2007), dari segi kualitas air minum harus
memenuhi:
1. Syarat Fisik
a. Air tidak boleh berbau
Air minum yang berbau selain tidak estetis juga tidak akan disukai oleh masyarakat.
Bau air dapat memberi petunjuk akan kualitas air. Misalnya, bau amis dapat
disebabkan oleh tumbuhnya Algae.
b. Air tidak boleh berasa
Air minum biasanya tidak memberi rasa/tawar. Air yang tidak tawar dapat
menunjukkan kehadiran berbagai zat yang dapat membahayakan kesehatan. Rasa

50
logam/amis, rasa pahit, asin, dan sebagainya. Efeknya tergantung pada penyebab
timbulnya bau tersebut.
c. Air tidak boleh berwarna
Air minum sebaiknya tidak berwarna untuk alasan estetis dan untuk mencegah
keracunan dari berbagai zat kimia maupun mikroorganisme yang berwarna.
d. Kekeruhan
Kekeruhan air disebabkan oleh zat padat yang tersuspensi, baik yang bersifat
anorganik maupun organik. Zat anorganik, biasanya berasal dari lapukan tanaman
dan hewan. Buangan industri juga dapat menyebabkan kekeruhan. Zat organik dapat
menjadi makanan bakteri, sehingga mendukung perkembang biakannya.
e. Suhu air hendaknya di bawah sela udara (sejuk ± 250C)
Suhu air hendaknya di bawah sela udara agar Tidak pelarutan kimia yang ada pada
saluran/pipa yang dapat membahayakan kesehatan, Menghambat reaksi-reaksi
biokimia didalam saluran/pipa, Mikroorganisme patogen tidak mudah berkembang
biak, Bila diminum air dapat menghilangkan dahaga.
f. Jumlah zat padat terlarut (TDS)
TDS biasanya terdiri dari zat organik, garam anorganik dan gas terlarut. Bila TDS
bertambah maka kesadahan juga akan naik pula.
2. Syarat Kimia
Air minum tidak boleh mengandung racun, zat-zat mineral atau zat-zat kimia tertentu
dalam jumlah melampui batas yang telah ditentukan.
3. Syarat Bakteriologi.
Air minum tidak boleh mengandung bakteri-bakteri penyakit (patogen) dan tidak boleh
mengandung bakteri-bakteri golongan Coli melebihi batas-batas yang telah ditentukan
yaitu 0 Coli/100 ml air. Bakteri golongan Coli ini berasal dari usus besar (feaces) dan
tanah. Bakteri patogen yang mungkin ada dalam air antara lain adalah:
a) Bakteri typshum
b) Vibrio colereae
c) Bakteri dysentriae
d) Entamoeba histolyhes
e) Bakteri enteritis (penyakit perut)

51
Pengolahan Air Bersih
Di daerah - daerah yang belum mendapatkan pelayanan air bersih tersebut, penduduk
biasanya menggunakan air sumur galian, air sungai yang kadang- kadang bahkan sering kali air
yang digunakan kurang memenuhi standart air minum yang sehat. Bahkan untuk daerah yang
sangat buruk kualitas air tanah maupun air sungainya, penduduk hanya menggunakan air hujan
untuk memenuhi kebutuhan akan air minum. Oleh karena itu di daerah - daerah seperti ini,
persentase penderita penyakit yang disebabkan akibat penggunaan air minum yang kurang bersih
atau kurang memenuhi syarat kesehatan masih sangat tinggi.
Dalam rangka penyediaan air minum yang bersih dan sehat bagi masyarakat pedesaan yang
mana kualitas air tanahnya buruk serta belum mendapatkan pelayanan air minum dari PAM, perlu
memasyarakatkan alat pengolah air Minum sederhana yang murah dan dapat dibuat oleh
masyarakat dengan menggunakan bahan yang ada dipasaran setempat.
Salah satu alat pengolah air minum sederhana tersebut adalah alat pengolah air minum yang
merupakan paket terdiri dari Tong (Tangki), Pengaduk, Pompa aerasi dan saringan dari pasir atau
disingat Model TP2AS. Alat ini dirancang untuk keperluan rumah tangga sedemikian rupa
sehingga cara pembuatan dan cara pengoperasiannya mudah serta biayanya murah. Cara
pengolahannya dengan menggunakan bahan kimia yaitu hanya dengan tawas dan kapur (gamping).
Alat Pengolah Air Minum model TP2AS ini sangat cocok digunakan untuk pengolahan air
minum yang air bakunya mengandung zat besi dan mangan dan zat organik, dengan biaya yang
sangat murah.
Tahapan proses pengolahan terdiri dari beberapa tahap yaitu :
1. Netralisasi dengan pemberian kapur/gamping.
2. Aerasi dengan pemompaan udara.
3. Koagulasi dengan pemberian tawas.
4. Pengendapan.
5. Penyaringan.

B. Penggunaan Air Minum Isi Ulang

52
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/MENKES/PER/IV/ 2010 tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum, air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa
proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Pada
Permenkes tersebut juga disebutkan bahwa penyelenggara air minum wajib menjamin air minum
yang diproduksinya aman bagi kesehatan. Dalam hal ini penyelenggara air minum diantaranya
adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), koperasi, badan
usaha swasta, usaha perorangan, kelompok masyarakat dan/atau individual yang
menyelenggarakan penyediaan air minum. (Dinkes Bali, 2017)
Pemilihan AMIU sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan air minum menjadi resiko yang
dapat membahayakan kesehatan jika kualitas AMIU masih diragukan apalagi jika konsumen tidak
memperhatikan keamanan dan kehigienisannya. Kualitas AMIU akhir-akhir ini semakin menurun
dengan permasalahan secara umum antara lain peralatan Depot Air Minum (DAM) tidak
dilengkapi alat sterilisasi, mempunyai daya bunuh rendah terhadap bakteri, atau pengusaha belum
mengetahui ; kualitas air baku yang digunakan, jenis peralatan DAM yang baik dan cara
pemeliharaannnya serta penanganan air hasil olahan (Nuria M.C., A.Rosyid, Sumantri, 2009).
Keberadaan Coliform/Escherichia coli dalam AMIU dapat disebabkan karena beberapa
faktor seperti pencemaran pada sumber air baku yang digunakan, proses pengolahan air baku
(filtrasi dan desinfeksi) yang kurang sempurna dan pengemasan serta pencucian gallon penampung
air minum isi ulang (Radji, M., Heria, O., dan Herman, S., 2008)
Sumber air baku yang digunakan DAMIU untuk diolah menjadi AMIU berasal dari mata
air yang diangkut oleh mobil tangki dan sumur bor. Sumber air baku yang berasal dari mata air
mungkin tercemar bakteri Coliform pada saat pengangkutan dari lokasi sumber air menuju depot.
Jauhnya sumber air baku beresiko menyebabkan terjadinya pencemaran terutama pada saat
pengisian air baku kedalam mobil tangki pengangkut atau pada saat pemindahan air baku dari
mobil tangki ke dalam tandon penampungan air di DAMIU.
Selain itu, penyimpanan air baku yang terlalu lama (lebih dari tiga hari) dapat berpengaruh
terhadap kualitasnya, yaitu dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme. Sumber air baku yang
berasal dari air sumur bor dapat pula tercemar bakteri Coliform apabila sumur bor yang digunakan
tidak memenuhi syarat-syarat sumur yang sehat. Pencemaran pada proses pengolahan air baku
menjadi air minum dapat terjadi apabila proses pengolahannya kurang sempurna.

53
Metode sterilisasi yang digunakan oleh DAMIU adalah penyinaran dengan ultraviolet dan
ozonisasi. Sterilisasi dengan penyinaran ultraviolet tidak efektif untuk membunuh mikroorganisme
yang mengkontaminasi apabila tidak memenuhi persyaratan seperti intensitas cahaya yang tidak
tepat, kecepatan air yang tidak sesuai, serta lampu UV yang digunakan terus menerus tanpa diganti.
Pada metode sterilisasi dengan ozonisasi, efektivitasnya tergantung pada temperatur yang
digunakan. Proses pengemasan dan pencucian galon penampung AMIU yang tidak tepat juga
dapat mempengaruhi kualitas air minum tersebut. Seharusnya karyawan yang bekerja di depot-
depot tersebut menggunakan alat pelindung diri berupa masker, sarung tangan, atau baju khusus,
untuk menghindari kontaminasi pada proses pengemasan air minum isi ulang. Pencucian gallon
seharusnya dilakukan dengan cara galon dimasukkan kedalam lemari pencuci yang dilengkapi
sistem ozonisasi. Galon ditelungkupkan pada permukaan lubang dispenser, kemudian dari bawah
menyembur air yang telah disuling dengan sinar ultraviolet dan sistem ozon. Setelah bersih, galon
dimasukkan kedalam lemari pengisian yang telah dilengkapi alat pembersih bakteri. (Radji, M.,
Heria, O., dan Herman, S., 2008)
Perlu adanya pelatihan atau sertifikasi untuk operator DAMIU, izin mendirikan usaha
DAMIU yang mengisyaratkan pemeriksaan kualitas air baku dan air hasil produksi. Melihat
pentingnya sanitasi DAMIU sebagai jaminan kualitas air hasil produksi perlu adanya peraturan
daerah yang mewajibkan higiene sanitasi menjadi salah satu syarat dalam mendirikan usaha
DAMIU dan pengawasan dari dinas terkait dalam menjaga agar DAMIU tetap menjaga higiene
sanitasinya agar selalu memenuhi persyaratan yang ada (Navis Muhammad, 2013)

C. Pengawasan Air Minum Isi Ulang


Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492/MENKES/PER/IV/2010 dimana setiap
komponen yang diperkenankan berada di dalamnya harus sesuai dengan persyaratan kesehatan air
minum yang meliputi persyaratan fisika, kimia dan biologi (Wandrivel R., N. Suharti, Y.
Lestari,2012).
Standar Nasional Indonesia (SNI) mensyaratkan tidak adanya coliform dalam 100 ml air
minum. Akan tetapi United States Enviromental Protection Agency (USEPA) lebih longgar
persyaratan uji coliform-nya mengingat coliform belum tentu menunjukkan adanya kontaminasi
feses manusia, apalagi adanya patogen. (Widiyanti Manik, Ristiati Putu, 2004)

54
Air yang harus diminum adalah air yang sehat yang harus memenuhi persyaratan
Bakteriologi,kimia radioaktif dan fisik berdasarkan KepMenKes RI No:907/MenKes/SK/VII/2002
tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum, dimana untuk nilai Most probable
Number (MPN) yaitu 0 / 100 ml contoh air yang dianalisis (Sunarti, 2015).
Pemeriksaan MPN dilakukan untuk pemeriksaan kualitas air minum, air bersih, air badan,
air pemandian umum, air kolam renang dan pemeriksaan angka kuman pada air PDAM. Menurut
Sunarti (2015) Dalam metode MPN untuk air minum ada dua tahap pemeriksaan yaitu :
a. Tes Pendahuluan (Presumtive Test)
Pemeriksaan pada tes pendahuluan dengan menginokulasi pada media Lactose Borth
dilihat ada tidaknya pembentukan gas dalam tabung durham setelah di inkubasi selama 24 –
48 jam pada suhu 35oC – 37oC. Bila terdapat pembentukan gas tabung durham maka tes air
minum menurut KepMenKes RI No. : 907/MenKes/SK/VII/2002. bila setelah 48 jam tidak
terbentuk gas, hasil dinyatakan negatif dan tidak perlu melakukan penegasan.
b. Tes Penegasan (Confirmatif Test)
Pemeriksaan pada tes penegasan dengan penanaman pada media Brillian Green
Lactosa Bileborth (BGLB), dilihat ada tidaknya pembentukan gas dalam tabung durham
setelah diinkubasi selama 48 jam. Bila terbentuk gas dalam tabung durham maka tes
dinyatakan positif.
Menurut Hamdiyati (2010), untuk melihat kualitas air dengan indikator coliform, maka
perlu dilakukan uji kualitatif dan kuantitatif bakteri coliform melalui 3 tahapan yaitu uji Penduga
(presumptive test), uji Penetap (Confirmed Test), uji Pelengkap (Completed test).

D. Dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan air yang layak untuk diminum
Dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi
diantaranya nampak pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan. WHO memperkirakan pada
tahun 2005, sebanyak 1,6 juta balita (rata-rata 4500 setiap tahun) meninggal akibat air yang tidak
aman dan kurangnya higienitas. Anak-anak secara khusus berisiko terhadap penyakit bersumber
air seperti diare, dan penyakit akibat parasit. Kurangnya sanitasi juga meningkatkan risiko KLB
kolera, tifoid, dan disentri (Kemenkes, 2007)
Keberadaan Mikroba pada air yang merugikan dan dapat menyebabkan penyalit
a. Salmonella penyebab penyakit tifus/paratifus, Shigella penyebab penyakit disentribasiler,

55
Vibrio penyebab penyakit kolera, Entamoeba penyebab disentriamuba.
b. Di dalam air juga ditemukan mikroba penghasil toksin seperti : Clostridium yang hidup
anaerobik, yang hidup aerobik misalnya : Pseudomonas,Salmonella, Staphyloccus, serta
beberapa jenis mikroalgae seperti Anabaena dan Microcystis
c. Sering didapatkan warna air bila disimpan cepat berubah, padahal air tersebut berasal dari
air pompa, missal di daerah permukiman baru yang tadinya persawahan. Ini disebabkan oleh
adanya bakteri besi missal Crenothrix yang mempunyai kemampuan untuk mengoksidasi
senyawa ferro menjadi ferri.
d. Di permukiman baru yang asalnya persawahan, kalau air pompa disimpan menjadi berbau
(bau busuk). Ini disebabkan oleh adanya bakteri belerang misal Thiobacillus yang
mempunyai kemampuan mereduksi senyawa sulfat menjadi H2S.
e. Badan dan warna air dapat berubah menjadi berwarna hijau, biru-hijau atau warna-warna
lain yang sesuai dengan warna yang dimiliki oleh mikroalgae. Bahkan suatu proses yang
sering terjadi pada danau atau kolam yang besar yang seluruh permukaan airnya ditumbuhi
oleh algae yang sangat banyak dinamakan blooming. Biasanya jenis mikroalgae yang
berperan didalamnya adalah Anabaena flosaquae dan Microcystis aerugynosa.

Begitu banyaknya mikroorganisme yang bisa ditemukan pada air, sudah menjadi kewajiban
kita untuk menjaga kesehatan dengan memilih air minum yang layak untuk diminum.

IV DAFTAR PUSTAKA
Apriliana E., M.R. Ramadhian, M. Gapila. 2014. Bakteriological Quality Of Refill
Drinking Water At Refill Drinking Water Depotts In Bandar Lampung. Jurnal edokteran, 4(7):
142-146.
Hamdiyati, Y. 2010. Mikrobiologi Lingkungan (Mikrobiologi Tanah dan Mikrobiologi
Air). Tersedia: Http:// File. Upi. Edu/ Direktori/ Fpmipa/ Jur._ Pend._ Biologi/ 2010/
196611031991012 Yanti_ Hamdiyanti/ Mikrobiologi_ Air. Pdf&Sa= U&Ved. Diakses pada hari
Minggu 18 Maret 2018 Pukul 11.00 Wita

56
Kemenkes.2017.Kekurangan akses terhadap air minum dan sanitasi dasar.,
http://www.depkes.go.id/article/print/875/kekurangan-akses-terhadap-air-minum-dan-sanitasi-
dasar.html. Diakses minggu 18 maret 2017 pada pukul 10.20 Wita

Marpaung, M.D.O dan B.D. Marsono. 2013. Uji Kualitas Air Minum Isi Ulang di
KabupatenSukolilo Surabaya Ditinjau dari Perilaku dan Pemeliharaan Alat. Jurnal Teknik
Pomits,2(2) : D166-D170.
Navis Muhammad.2013. Hygiene Sanitasi dan Julah Colifirm air Minum.Pusat Layanan
Kesehatan Unnes, Semarang, Indonesia
Nuria M.C., A. Rosyid, Sumantri. 2009. Uji Kandungan Bakteri Escherichia coli pada Air
Minum Isi Ulang dari Depot Air Minum Isi Ulang di Kabupaten Rembang. Jurnal Ilmuilmu
Pertanian. 5(1) : 27-35.
Radji, M., Heria, O., dan Herman, S. 2008. Pemeriksaan Air Minum Isi Ulang di Beberapa
Depo Air Minuum Isi Ulang di Daerah Lenteng Agung dan Srengseng Sawah Jakarta Selatan.
Majalah Ilmu Kefarmasian, 5(2) : 101-109.
Ramakrishnaiah, C R. 2009. Assessment of Water Quality Index for the Groundwater in
Tumkur Taluk, Karnataka State, India. E-Journal of Chemistry, 6(2): 523-530 Sulistyawati.2003.
Studi Kulaitas Bakteriologis Air Minum Isi Ulang Tingkat Produsen Di Kota Semarang. FK
UNDIP Skripsi.
Sunarti, R N. 2015. Uji Kualitas Air Sumur Dengan Menggunakan Metode MPN (Most
Probable Numbers). Bioilmi Vol. 1 No. 1. Website : http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.
php/Alilmi/article/download/58. diakses pada minggu 18 maret 2018 Pukul 09.42 WITA.

Suprihatin B dan R. Adriyani. 2008. Higiene Sanitasi Depot Air Minum Isi Ulang di
Kecamatan Tanjung Redep Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Jurnal Kesehatan Lingkungan,
4(2) : 81-88.
Tombeng R.B., B. Polii, S. Sinolungan. 2013. Analisis Kualitatif Kandungan Escherichia
coli dan Coliform Pada 3 Depot Air Minum Isi Ulang di Kota Manado. Manado : Universitas Sam
Ratulangi
Wandrivel R., N. Suharti, Y. Lestari. 2012. Kualitas Air Minum Yang Diproduksi Depott
Air Minum Isi Ulang di Kecamatn Bungus Padang Berdasarkan Persyaratan Mikrobiologi. Jurnal
Kesehatan Andalas, 1(3) : 129-133.
57
Widiyanti Manik, Ristiati Putu, 2004. analisis kualitatif bakteri koliform pada depo air
minum isi ulang di kota singaraja bali. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No 1, April 2004 : 64 - 73

58
BAB 6.
CEMARAN INDUSTRI TAHU PADA LINGKUNGAN

A. Latar Belakang
Perkembangan industrI dewasa ini telah memberikan sumbangan besar terhadap
perekonomian Indonesia. Di lain pihak hal tersebut juga memberi dampak pada lingkungan
akibat buangan industry maupun eksploitasi sumber daya yang semakin intensif dalam
pengembangan industry. Lebih lanjut dinyatakan harus ada transformasi kerangka
kontekstual dalam pengelolaan industry, yakni keyakinan bahwa: operasi industry secara
keseluruhan harus menjamin sistem lingkungan alam berfungsi sebagaimana mestinya
dalam batasan ekosistem local hingga biosfer. Efisiensi bahan dan energi dalam
pemanfaatan, pemrosesan, dan daur ulang, akan menghasilkan keunggulan kompetitif dan
manfaat ekonomi (Hambali 2003). Berdasarkan hal di atas pengembangan industry harus
dibarengi upaya pengelolaan lingkungan dalam bentuk penanganan limbah yang dilepaskan.
Hal tersebut disertai dengan kegiatan penilaian terhadap resiko lingkungan akibat kegiatan
maupun hasil buangan industri untuk mendapatkan tingkat resiko dan bahaya dari kegiatan
industry tersebut
Tahu merupakan salah satu jenis makanan sumber protein dengan bahan dasar
kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyrakat. Sebagian besar produk tahu dihasilkan
oleh sentra pembuatan tahu yang didominasi oleh usaha-usaha skala kecil dengan modal
yang yang terbatas. Dalam usaha ini sumber daya manusia yang terlibat pada umumnya
bertaraf pendidikan yang relatif rendah, serta belum banyak yang melakukan pengolahan
limbah atau memanfaatkan limbahnya dengan baik.
Meningkatnya produksi yang terjadi pada sentra pembuatan tahu akan membuat
pencemaran yang dihasilkan bertambah, emisi yang dihasilkan adalah sampingan dari proses
pembuatan tahu. Terciumnya bau hasil proses pembuatan tahu menunjukkan sistem
pengolahan limbah yang kurang sempurna. Oleh karena itu diperlukan evaluasi
terhadap pabrik tahu yang digunakan sehingga dapat dilakukan perbaikan terhadap

59
pengolahan limbah pabrik tahu agar masyarakat yang berada sekitar lingkungan pabrik tahu
tidak merasakan dampaknya dari pencemaran limbah tahu tersebut.
Pabrik tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah, baik limbah padat
maupun cair. Limbah padat dihasilkan dari proses penyaringan dan penggumpalan, limbah
ini kebanyakan oleh pengrajin dijual dan diolah menjadi tempe gembus, kerupuk ampas tahu,
pakan ternak, dan diolah menjadi tepung ampas tahu yang akan dijadikan bahan dasar
pembuatan roti kering dan cake. Sedangkan limbah cairnya dihasilkan dari proses pencucian,
perebusan, pengepresan dan pencetakan tahu, oleh karena itu limbah cair yang dihasilkan
sangat tinggi. Limbah cair tahu dengan karakteristik mengandung bahan organik tinggi dan
kadar BOD, COD yang cukup tinggi pula, jika langsung dibuang ke saluran air, jelas sekali
akan menurunkan daya dukung lingkungan. Sehingga industri tahu memerlukan suatu
pengolahan limbah yang bertujuan untuk mengurangi pencemaran lingkungan yang ada.
Pengolahan limbah yang sudah ada tersebut, tentunya harus dikelola dengan baik dan
dipelihara secara rutin. Ini juga memerlukan perhatian dari berbagai pihak terkait terutama
pemerintah dan pemilik pabrik tahu. Hal ini penting agar proses pengolahan limbah tetap
berjalan dengan baik dan memberikan hasil yang optimal. Dari berbagai teknologi
pengolahan limbah yang sudah ada, maka akan dilakukan kajian untuk mengetahui teknologi
pengolahan limbah tahu yang efektif dan efisien beserta kelebihan dan kekurangannya dan
dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik tersebut.

60
A. Dampak yang ditimbulkan dari limbah pabrik tahu terhadap lingkungan

Pelaksanaan pengendalian dampak lingkungan hidup dilakukan dengan didasarkan pada


perencanaan perilindungan dan pengelolaan lingkungan yang mencakup rencana
perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang perlu diatur lebih lanjut di dalam peraturan
pemerintah (PP) dan Peraturan Daerah (Perda) untuk menjamin efektifitas
implementasinya.

Ada beberapa hal penting yang perlu disoroti menyangkut pengendalian dampak
lingkungan. Pencemaran limbah tahu merupakan salah satu penyebab kerusakan
lingkungan hidup dan dapat menyebabkan penyakit kepada manusia.

Pabrik tahu selalu melakukan apapun untuk mendapatkan keuntungan yang besar
untuk kepentingan diri mereka sendiri. Tahu merupakan makanan ringan dan mudah untuk
didapatkan yang mengadung banyak nutrisi seperti, protein, lemak, karbohidrat, dll, yang
bagus untuk kesehatan manusia, namun mempunyai dampak buruk jika kita tidak
mengelolahnya dengan baik dan benar.
Menimbulkan banyak pencemaran diantaranya Pencemaran air adalah pencemaran
yang disebabkan oleh masuknya partikel-partikel ke dalam air sehingga mempengaruhi pH
normal pada air. Penyebab-penyebab pencemaran air di sekitar pabrik tahu tersebut antara
lain: Limbah dari bekas air pencucian bahan baku pembuatan tahu, limbah cair dari proses
pengolahan bahan baku ( kedelai, dll), Limbah padat berupa ampas dari pengolahn tahu.
Dampak yang ditimbulkan oleh adanya pencemaran air di sekitar pabrik tersebut antara
lain : yang pertama keadaan aliran air sawah menjadi kotor, sehingga akan mempengaruhi
sawah yang dilalui oleh air pembuangan limbah tersebut padinya kurang baik, tidak
tumbuh subur dan hasil panenya menurun. Yang kedua menimbulkan bau yang tidak sedap
sehingga mengganggu masyarakat yang tinggal di sekitarnya pabrik tahu tersebut, yang
ketiga mencemari lingkungan masyarakat sekitar pabrik tersebut.
Selain pencemaran air ada juga terjadi pencemaran udara. Penyebab-penyebab
pencemaran udara dari pabrik tahu tersebut antara lain : yang pertama asap dari pengolahan
tahu. Yang kedua asap dari kayu bakar. Akibat-akibat yang muncul dari pencemaran udara,

61
antara lain : terganggunya system pernapasan, dinding-dinding pabrik berubah warna
menjadi hitam akibat asap kayu bakar.
Pembuangan limbah industri tahu di tanah dapat menimbulkan sebagai berikut:
Penyebab-penyebab dari terjadinya pencemaran tanah limbah padat tahu banyak yang
dibuang di tempat tersebut dan dibiarkan begitu saja.Banyak warga yang tidak peduli
dengan kebersihan di lingkuangn tersebut.Akibat-akibat dari pencemaran tanah, antara lain
:.Timbul bau yang tidak sedap dari limbah tahu tersebut.
B. Solusi untuk mengurangi dampak dari pencemaran limbah pabrik tahu.
Yaitu dengan mengelola limbah cair yang di hasilkan dari limbah tahu. Dengan metode
pengolahan yang dikembangkan ada 3 jenis metode pengolahan, yaitu secara fisika, kimia
maupun biologis.
1. Cara Fisika
Merupakan metode pemisahan sebagian dari beban pencemaran khususnya
padatan tersuspensi atau koloid dari limbah cair dengan memanfaatkan gaya-gaya
fisika. Dalam pengolahan limbah cair industri tahu secara fisika, proses yang dapat
digunakan antara lain adalah filtrasi dan pengendapan (sedimentasi). Filtrasi
(penyaringan) menggunakan media penyaring terutama untuk menjernihkan dan
memisahkan partikel-partikel kasar dan padatan tersuspensi dari limbah cair. Dalam
sedimentasi, flok-flok padatan dipisahkan dari aliran dengan memanfaatkan gaya
graviatasi.
2. Cara Kimia
Merupakan metode penghilangan atau konsevari senyawa-senyawa polutan
dalam limbah cair dengan penambahan bahan-bahan kimia atau reaksi kimia
lainnya. Beberapa proses yang dapat diterapkan dalam pengolahan limbah cair
industri tahu diantaranya termasuk koagulasi-flokulasi dan netralisasi.
Proses netralisasi biasanya diterapkan dengan cara penambahan asam atau basa
guna menetralisir ion-ion terlarut dalam limbah cair sehingga memudahkan proses
pengolahan selanjutnya.
Dalam proses koagulasi-flokulasi, partikel-partikel koloid hidrofobik cenderung
menyerap ion-ion bermuatan negatif dalam limbah cair melalui sifat adsorpsi koloid
tersebut, sehingga partikel tersebut menjadi bermuatan negatif. Koloid bermuatan

62
negatif ini menarik ion-ion bermuatan berlawanan dan membentuk lapisan kokoh
(lapisan stern) mengelilingi partikel inti. Selanjutnya lapisan kokoh stern yang
bermuatan positif menarik ion-ion negatif lainnya dari dalam larutan membentuk
lapisan kedua (lapisan difus). Kedua lapisan tersebut bersama-sama menyelimuti
partikel-partikel koloid dan membuatnya menjadi stabil. Partikel-partikel koloid
dalam keadaan stabil cenderung tidak mau bergabung satu sama lainnya
membentuk flok-flok berukuran lebih besar, sehingga tidak dapat dihilangkan
degan proses sedimentasi ataupun filtrasi. Kogulan yang bisa digunakan antara lain
polielektrolit, alumunium, kapur dan garam-garam besi. Masalah dalam
pengolahan limbah secara kimiawi adalah banyaknya endapan lumpur yang
dihasilkan, sehingga menimbulkan penanganan yang lebih lanjut.
Selain kedua metode tersebut diatas, metode gabunan fisika-kimia mencakup
flokulasi yang dikombinasikan dengan sedimentasi juga telah dicoba degunakan
dalam skala laboratorium. Namun, penerapan metode fisika, kimia atau gabungan
keduanya dalam skala riil hasilnya kurang memuaskan khususnya di Indonesia. Hal
ini dikarenakan beberapa faktor antara lain: metode pengolahan fisika-kimia terlalu
kompleks, kebutuhan bahan kimia cukup tinggi, serta lumpur berupa endapan
sebagai hasil dari sedimentasi menjadi masalah penanganan lebih lanjut.
3. Cara Biologi
Cara biologi ini dapat menurunkan kadar zat organik terlarut dengan
memanfaatkan mikroorganisme atau penumbuh air. Pada dasarnya cara biologi
adalah pemusatan molekul kompleks menjadi molekul sederhana. Proses ini sangan
peka terhadap faktor suhu, pH, oksigen terlarut (DO) dan zat-zat inhibitor terutama
zat-zat beracun. Mikroorganisme yang digunakan untuk pengolahan limbah adalah
bakteri, algae atau protozoa. Sedangakan tumbuhan air yang dapat digunakan
termasuk gulma air (aquatic weeds).
Metode biologis lainnya yang juga telah dicoba diterapkan dalam penanganan
limbah cair industri tahu yaitu menggunakan proses lumpur aktif (activated sludge)
untuk mendegradasi kandungan organik dalam bahan limbah cair tahu dan susu
kedelai. Hasil yang dicapai dilaporkan secara teknis cukup memuaskan, dimana
diperoleh penurunan BOD terlarut, nitrogen dan fosfor berturut-turut sebersar 95%,

63
67% dan 57%. Akan tetapi melihat tingkat pengetahuan para pengrajin tahu
khususnya di Indonesia yang relatif minim dalam hal penanganan limbah dan
faktor-faktor teknis lainnya, seperti biaya investasi dan operasi cukup tinggi, luas
lahan yang diperlukan cukup besar, serta pengendalian proses yang relatif
kompleks. Sehingga, penerapan metode ini khususnya di Indonesia kurang berdaya
guna. Hal ini dapat dilihat bahwa banyak diantara pengrajin tahu membuang
limbahnya ke perairan tanpa melalui pengelolahan terlebih dahulu

C. Pemanfaatan Limbah Pabrik Tahu terhadap manusia

Dalam proses pembuatan tahu menghasilkan dua jenis limbah, yaitu limbah padat
dan limbah cair. Limbah padat atau yang sering kita sebut ampas tahu dapat diolah kembali
menjadi tempe gembus, oncom atau dapat pula dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti
ayam, bebek, sapi, kambing dan sebagainya.
Pengolahan limbah yang berwujud zat cair biasanya melalui berbagai proses di
antaranya, limbah cair yang dihasilkan akan ditampung didalam dua septictank, septictank
yang berukuran lebih besar daripada septictank yang satunya. Kemudian disalurkan ke
sebuah drum besar yang ditanam di dalam tanah, setelah air terkumpul akan keluar dengan
sendirinya dan limbah yang lain akan mengendap yang kemudian akan dibuang langsung
ke lingkungan dengan meninggalkan bau busuk. Sedangkan air yang keluar dari drum akan
ditampung lagi di penampungan seperti kolam kecil yang nantinya akan menghasilkan
endapan yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan berupa air yang dibuang langsung ke
sungai tanpa dengan bahaya yang cukup besar.
Limbah pabrik tahu yang berupa cair dapat dimanfaatkan sebagai pembuatan bio-
gas. Bio-gas sendiri adalah gas pembusukan bahan organik oleh bakteri dalam kondisi
anaerob. Gas bio tersebut campuran dari berbagai gas antara lain: CH4 (54-70%), CO2(27-
45%), O2(1-4%), N2(0,5-3%), CO(1%) dan H2S. Campuran gas ini mudah terbakar bila
kandungan CH4 (Methana) melebihi 50%. Air limbah industri tahu ini mempunyai
kandungan Methana (CH4) lebih dari 50% sehingga sangat memungkinkan untuk bahan
sumber energi gas Bio-gas. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, Kontruksi fixed Domed
Digester (Digester Permanen). Digester permanen bahannya dari pasangan batu bata,
pasangan batu kali, atau beton dengan ruangan penyimpanan gas di atasnya. Digester

64
ruangan gasnya sudah tetap sehingga bila produksi gasnya lebih akan terbuang keluar
melalui lubang pengeluaran. Saat tekanan gas tinggi maka slurry akan terdorong ke bak
pelimpahan selanjutnya akan meluap keluar melalui lubang pengeluaran secara otomatis
dan mengalir ke bak an aerobic sistem. Bila gas digunakan maka tekanan akan berkurang
dan slurry masuk kembali ke digester. Digester permanen ini pembangunannya harus teliti
karena bila terjadi salah membangunnya atau tidak hati-hati misalnya sampai terjadi lubang
sebesar jarum berarti digester tersebut bocor. Berikut ini adalah proses terjadinya gas bio,
setelah pembangunan selesai, air limbah tahu dimasukkan ke dalam digester. Pengisian ini
hingga penuh melimpah ke dasar bak pelimpahan. Kemudian tutup digester dipasang
dengan tanah liat sebagai sealnya dan diatasnya diisi dengan air hingga penuh. Air limbah
terus dimasukkan. Pada kondisi anaerob, maka bakteri akan menguraikan bahan organik
yang mengandung protein, lemak suhu antara 150C-350C, suhu optimal antara 320C-
350C,dan setelah ± 30 hari akan dihasilkan bio gas.
Bio gas sangat bermanfaat bagi alat kebutuhan rumah tangga/kebutuhan sehari-hari,
misalnya sebagai bahan bakar kompor (untuk memasak), lampu, penghangat
ruangan/gasolec, suplai bahan bakar mesin diesel, untuk pengelasan (memotong besi), dan
lain-lain. Sedangkan manfaat bagi lingkungan adalah dengan proses fermentasi oleh
bakteri anaerob (Bakteri Methan) tingkat pengurangan pencemaran lingkungan dengan
parameter BOD dan COD akan berkurang sampai dengan 98% dan air limbah telah
memenuhi standard baku mutu pemerintah sehingga layak di buang ke sungai. Bio gas
secara tidak langsung juga bermanfaat dalam penghematan energi yang berasal dari alam,
khususnya sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (minyak bumi) sehingga
sumber daya alam tersebut akan lebih hemat dalam penggunaannya dalam jangka waktu
yang lebih lama.
Penanganan limbah tahu dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang dapat
menghasilkan tahu yang lebih baik dan sedikit menghasilkan limbah, dengan penerapan
produksi bersih. Produksi bersih merupakan upaya penanganan pencemaran secara
preventif. Produksi Bersih didefinisikan sebagai: Strategi pengelolaan lingkungan yang
bersifat preventif, terpadu dan diterapkan secara terus-menerus pada setiap kegiatan mulai
dari hulu ke hilir yang terkait dengan proses produksi, produk dan jasa untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan sumberdaya alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan

65
mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya sehingga dapat meminimisasi kerusakan
lingkungan.
Pemanfaatkan limbah padat ampas tahu sebagai pakan ternak. Keberadaan ampas
tahu di tanah air cukup melimpah, murah dan mudah didapat. Produk sampingan pabrik
tahu ini apabila telah mengalami fermentasi dapat meningkatkan kualitas pakan dan
memacu pertumbuhan ayam pedaging. Produk sampingan pabrik ampas tahu ini telah
digunakan sebagai pakan sapi, kambing bahkan ayam. Namun karena kandungan air dan
serat kasarnya yang tinggi, maka penggunaannya menjadi terbatas dan belum memberikan
hasil yang baik. Guna mengatasi tingginya kadar air dan serat kasar pada ampas tahu maka
dilakukan fermentasi. Fakta menunjukkan bahwa penggunaan ampas tahu sebagai pakan
ternak ini menunjukkan pertumbuhan yang positif pada ternak.
Mendaur ulang ampas tahu ini menjadi kecap ampas tahu, oncom, pupuk cair, dan
bahan bakar biogas. Limbah cair pembuatan tahu bisa disulap menjadi pupuk organik cair
yang kaya manfaat. Selain harganya murah hasil pertaniannya juga bisa lebih baik. Sebagai
pengganti pupuk urea, pupuk cair dari limbah tahu sangat dibutuhkan tanaman.
Jika ditinjau dari segi ekonomi dan penggunaan energi, pemanfaatan limbah pabrik
pembuatan tahu ini dapat memberikan keuntungan yang cukup banyak. Bio gas sangat
bermanfaat dalam berbagai hal seperti sebagai bahan bakar kompor (untuk memasak),
lampu, penghangat ruangan/gasolec, suplai bahan bakar mesin diesel, untuk pengelasan
(memotong besi), dan lain-lain. Dan secara tidak langsung bio gas berperan dalam
penghematan sumber energi yang ada di bumi ini.
Pemanfaatan Limbah pabrik tahu yang dihasilkan dari pabrik tahu berupa kulit
kedelai, ampas dan air tahu masih dapat dimanfaatkan menjadi produk-produk yang
bermanfaat. Pada proses pengolahan tahu akan dihasilkan limbah berupa ampas tahu yang
apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan bau tidak sedap. Ampas tahu masih
mengandung zat gizi yang tinggi yaitu protein (26.6%), lemak (18.3%), karbohidrat
(41.3%), fosfor (0.29%), kalsium (0.19%), besi (0.04%), dan air (0.09%). Oleh karena itu
masih memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar atau campuran pada proses
pengolahan pada produk tertentu.
Pada zaman dahulu ditemukan cara pemanfaatan limbah cair tahu menjadi nata de
soya yang jika dilakukan bersama-sama oleh pengusaha tahu dapat mengurangi

66
pencemaran sungai akibat pembuangan limbah cair tahu di sekitar pabrik. Ampas tahu juga
dapat diolah menjadi produk makanan, salah satu alternatifnya adalah dibuat abon ampas
tahu.
Abon merupakan salah satu bentuk diversifikasi makanan berbahan baku ampas
tahu. Abon adalah produk hasil olahan denan menggunakan teknik pengeringan untuk
menghilangkan air yang terdapat dalam bahan sehingga produk menjadi renyah.
Pembuatan abon adalah salah satu cara dalam berbagai macam teknik yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan nilai ekonomi ampas tahu. Produk yang dihasilkan ini diharapkan
memiliki kandunan gizi yang tinggi dengan umur simpanan yang lama, karena berbentuk
kering. Dengan cara pengolahan yang baik, abon dapat disimpan berbulan-bulan tanpa
mengalami banyak penurunan mutu.

DAFTAR PUSTAKA

Ansori, Putra. 2012. Pemanfaatan Limbah Pabrik Tahu.


Erwin Muhamad,2008. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan
Lingkungan Hidup, Bandung:PT Refika Aditama.
Fajri, Ramadhan, 2014. Dampak limbah tahu terhadap lingkungan.
Hambali, 2003. Analisis Resiko Lingkungan (Studi Kasus Limbah Pabrik CPO PT Kresna Duta
Agroindo Kabupaten Me-rangin, Jambi). Program Pascasarjana,Program Studi Magister Teknik
Lingkung-an ITS, Surabaya.

Suharta Ign, 2011. Limbah Kimia Dalam Pencemaran Udara Dan Air, Bandung: CVAndi.

Tresna, Sastrawijaya. 2011. Penanggulan dampak limbah pabrik tahu.

Wardhana Wisnu, 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta : Andi.

67
68

Anda mungkin juga menyukai