Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM

PASCA PANEN TANAMAN PERTANIAN (AGH 440)


DEGREENING DAN CHILLING INJURY

Oleh:
Kelompok 3
Faizal Adi Nugroho (A24160100)
Oryza Winda (A24160101)
Morinta Arobina Br Sembiring (A24160103)
Ratna Kartika Putri (A24160114)
Dimas Agung Pangestu (A24160123)
Yoan Kargy Hakim (A24160133)

Asisten:
Ika Nurmalita A24150178
Siti Dewi Rindiyani A24150154

Dosen
Juang Gema Kartika, S.P., M.Si.

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
IPB UNIVERSITY
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produk hortikultura adalah produk hasil pertanian yang apabila selesai


dipanen tidak ditangani dengan baik akan segera rusak. Perubahan pasca panen
produk hortikultura awalnya menguntungkan karena terjadi perubahan warna, rasa,
dan aroma. Akan tetapi, jika perubahan ini terus berlanjut serta tidak dikendalikan
maka pada akhirnya akan merugikan. Hal ini disebabkan oleh bahan yang akan
membusuk sehingga tidak dapat dimanfaatkan. Hortikultura yang tidak dapat
dimanfaatkan ini diistilahkan sebagai losses dengan persentase sebesar 25-40% di
Indonesia (Muhtadi, 1995).
Penanganan selama panen dan sesudah panen yang kurang baik akan
mempercepat kerusakan produk hortikultura. Contoh penanganan yang buruk yaitu
adanya luka memar, goresan, atau juga adanya mikroba yang tumbuh. Proses
penanganan pascapanen yang dapat dilakukan guna menghambat proses perusakan
atau pembusukan produk hortikultura antara lain melalui pengawetan, pendinginan,
penyimpanan terkontrol, dan pemberian zat pengatur tumbuh. Penanganan
pascapanen juga harus dilakukan secara hati-hati karena sifat produk hortikultura
yang mudah rusak.
Pada praktikum dilakukan pengaturan suhu dan penggunaan zat pengatur
tumbuh yang tepat untuk meminimalisir terjadinya kerusakan pada produk
hortikultura. Apabila pelaksanaan kedua perlakuan tersebut tidak tepat maka akan
berdampak terhadap kerusakan dan penurunan kualitas produk. Contohnya adalah
degreening dan chilling injury. Degreening adalah proses perombakan pigmen
hijau klorofil pada lapisan kulit buah secara kimiawi. Proses ini dapat dilakukan
dengan pengaplikasian gas etilen atau asetilen. Chilling injury merupakan
kerusakan akibat lingkungan pada suhu lingkungan yang rendah. Produk
hortikultura yang mengalami chilling injury akan menurunkan kadar kekerasan,
aroma, dan umur simpannya. Pengetahuan dan pemahaman teknologi pascapanen
tersebut menjadi penting untuk dipelajari.

Tujuan

Praktikum ini bertujuan meningkatkan kemampuan teknis mahasiswa dalam


mengetahui serta mengenali gejala degreening dan chilling injury pada beberapa
produk hortikultura.
METODE

Waktu dan Tempat


Praktikum dilaksanakan pada hari Selasa, 27 Agustus 2019 pukul 10.00-
13.00 WIB di Laboratorium Pasca Panen Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah buah pisang, mentimum,
terung, buncis, label, kertas, larutan ethepon dan aquades. Alat yang digunakan
dalam praktikum adalah bak dan keranjang plastik, pipet, timbangan dan lemari
pendingin.

Metode Kerja
Degreening
Langkah awal yang dilakukan dalam praktikum degreening adalah
menyiapkan aquades dan larutan ethepon masing-masing sebanyak 1 liter ke dalam
bak plastik. Ethepon dilarutkan dalam aquades dengan konsentrasi 20 ppm. Buah
pisang yang telah tersedia dimasukkan kedalam aquades atau larutan ethepon
hingga seluruh permukaan pisang terbasahi oleh larutan. Buah pisang yang telah
direndam beberapa saat, kemudian dikeringanginkan dan ditimbang. Buah pisang
diamati dan diberi tanda apabila terdapat memar pada kulit pisang yang telah ada
sejak sebelum perlakuan perendaman. Buah pisang siap untuk disimpan dan diamati
pada hari ke-3 dan hari ke-7 setelah perlakuan untuk mengamati perubahan yang
terjadi.

Chilling Injury
Praktikum chilling injury menggunakan mentimun, terung dan buncis yang
masih bagus dan tidak cacat. Bahan-bahan yang telah tersedia diberikan perlakuan
dibungkus menggunakan koran dan tanpa pembungkus serta sisakan masing-
masing 1 buah untuk pengamatan pada hari ke-0. Bahan-bahan yang telah
dibungkus koran kemudian disimpan dalam lemari pendingin (suhu 3-50C).
Pengamatan terhadap bahan yang disimpan dalam lemari pendingin dilakukan pada
4 dan 7 hari setelah simpan untuk mengamati adanya chilling injury pada buah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Degreening
Tabel 1. Pengamatan fisik degreening buah pisang
Perlakuan
Ciri-Ciri
Ethepon+Aquades Aquades
Perubahan warna Lebih hitam/gelap Kuning kehitaman
Aroma wangi wangi
Rasa Lebih manis manis
kekerasan lebih lunak lunak
Tabel 2. Perubahan bobot pisang
Bobot Pisang (KG)
Perlakuan
H0 H3 H7
Ethepon+Aquades 0,376 0,332 0,287
Aquades 0,393 0,348 0,303

Chiling Injury
Tabel 3. Pengaruh Chilling Injury perlakuan kontrol
Komoditas Ciri-ciri Kontrol
H0 H3 H7
Warna Hijau segar Hijau agak Hijau kekuningan
kusam
Rongga Tidak ada Ada Ada
dalam
buah
Buncis
Kulit buah Tidak ada Tidak ada Tidak ada kerutan
kerutan kerutan
Bercak di Tidak ada Tidak ada Tidak ada
permukaan
kulit
Warna Ungu Ungu Ungu kusam
kusam
Rongga Tidak ada Tidak ada Ada
dalam
buah
Terong Kulit buah Tidak ada Ada Ada
kerutan
Tekstur Keras Lunak Lunak
buah
Tangkai Hijau Hijau agak Hijau agak kusam
buah kusam
Warna Putih dengan Putih Putih dengan ujung
ujung hijau dengan hijau
ujung hijau
Rongga Tidak ada Tidak ada Tidak ada
dalam
Timun
buah
Kulit buah Tidak ada Tidak ada Tidak ada kerutan
kerutan kerutan
Tekstur Keras Keras Keras
buah
Tabel 4. Pengaruh Chilling Injury perlakuan suhu rendah tanpa dibungkus
Komoditas Ciri-ciri Suhu dingin tanpa dibungkus
H0 H3 H7
Warna Hijau Hijau Hijau
Rongga Tidak ada Tidak ada Tidak ada
dalam
buah
Buncis Kulit buah Tidak ada Ada kerutan Ada kerutan
kerutan
Bercak di Tidak ada Ada Ada
permukaan
kulit
Warna Ungu Ungu Ungu
Rongga Tidak ada Tidak ada Tidak ada
dalam
buah
Kulit buah Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Terong
kerutan
Tekstur Keras Keras Keras
buah
Tangkai Hijau Hijau Coklat
buah kecoklatan
Warna Putih dengan Putih Putih dengan ujung
ujung hijau dengan hijau
ujung hijau
Rongga Tidak ada Tidak ada Tidak ada
dalam
Timun
buah
Kulit buah Tidak ada Ada kerutan Ada kerutan
kerutan
Tekstur Keras Lunak (++) Lunak (++)
buah

Tabel 5. Pengaruh Chilling Injury perlakuan pembungkusan pada suhu rendah


Komoditas Ciri-ciri Suhu dingin dibungkus
H0 H3 H7
Warna Hijau Hijau Hijau
Rongga Tidak ada Tidak ada Tidak ada
dalam
buah
Buncis Kulit buah Tidak ada Ada kerutan Ada kerutan
kerutan
Bercak di Tidak ada Ada Ada
permukaan
kulit
Terong Warna Ungu Ungu Ungu
Rongga Tidak ada Tidak ada Tidak ada
dalam
buah
Kulit buah Tidak ada Tidak ada Tidak ada
kerutan
Tekstur Keras Keras Keras
buah
Tangkai Hijau Hijau Coklat
buah kecoklatan
Warna Putih dengan Putih Putih dengan ujung
ujung hijau dengan hijau
ujung hijau
Rongga Tidak ada Tidak ada Tidak ada
dalam
Timun
buah
Kulit buah Tidak ada Ada kerutan Ada kerutan
kerutan
Tekstur Keras Lunak (+) Lunak (+)
buah

Tabel 6. Bobot komoditas perlakuan chilling injury


Bobot Suhu Dingin Tanpa Bungkus (kg)
Komoditas
H3 H7
Buncis 0,026 0,018
Terong 0,089 0,072
Timun 0,181 0,125

PEMBAHASAN

Penanganan pasca panen tidak hanya untuk memperpanjang daya simpan


namun juga untuk mempercepat proses pematangan buah secara efektif. Salah satu
cara mempercepat pematangan buah adalah dengan menggunakan ethepon.
Ethepon adalah bahan kimia berbahan aktif etilen yang biasa digunakan untuk
mempercepat proses pematangan dengan melepaskan etilen dalam kondisi
netral/basa. Menurut Ginting et al. (2015) zat tumbuh etilen bersifat gas dan mudah
menguap sehingga banyak dijual dalm bentuk ethepon.

Pemberian zat ethepon pada buah pisang memiliki ciri fisik yang berbeda
dengan yang tidak diberi ethepon. Pemberian zat ethepon mengakibatkan
perubahan warna kulit buah. kulit buah yang mengandung klorofil akan mengalami
degradasi sehingga terjadi perubahann kulit dari warna hijau menjadi kuning.
Perubahan ini disebabkan terurainya klorofil dan munculnya karotenoid (Hakim et
al. 2012). Berdasarkan tabel 1 maka buah yang diberi perlakuan ethepon memiliki
warna lebih gelap dibandingkan dengan buah yang tidak diberi ethepon. Warna
buah akan semakin menghitam dan membusuk jika disimpan semakin lama.
Pemberian ethepon juga mempengaruhi rasa manis buah. Ethepon memberikan
pengaruh positif terhadap peningkatan total gula pisang. Hal ini karena cepatnya
pematangan yang dipicu oleh meningkatnya etilen dalam buah sehingga ketika
kematangn meningkat, kandungan total gula akan meningkat karena pati terurai
menjadi glukosa dan fruktosa (Mohapatra et al. 2010). Pemberian ethepon juga
berpengaruh terhadap aroma yang keluar dari buah pisang. Buah yang diberi
ethepon memiliki aroma yang lebih wangi. Menurut Murtadha et al. (2012)
pemberian ethepon menyebabkan peningkatan nilai aroma pisang, dimana
peningkatan nilai aroma pada buah pisang dengan semakin meningkatnya
kematangan buah disebabkan karena meningkatnya komponen volatil selama
pemasakan, dan ini terjadi hingga kulit buah mengalami pencoklatan. Buah yang di
beri ethepon memiliki tingkat kekerasan yang berkurang atau lebih lunak
dibandingkan dengan buah yang tidak diberi ethepon. Menurut Pantastico (1993)
Selama proses pematangan terjadi pelunakan daging buah yang disebabkan oleh
pembongkaran protopektin yang tidak larut menjadi asam pekat dan pektin yang
bersifat larut. Proses perombakan ini dikatalis oleh enzim-enzim metil esterase,
poligalakturonase, selulase, dan hemiselulase yang terdapat pada buah pisang.
Selain itu meningkatnya kadar air akibat proses pematangan menyebabkan tekstur
pisang melunak
Perubahan bobot buah pisang dengan perlakuan pemberian zat ethepon dan
tanpa zat ethepon menunjukkan perubahan yang signifikan selama disimpan di suhu
ruang. Perubahan susut buah dengan perlakuan zat ethepon lebih besar
dibandingkan dengan susut buah tanpa pemberian zat ethepon. Hal ini dibuktikan
dengan bobot akhir pisang dengan perlakuan ethepon sebesar 0,287 kg sedangkan
bobot akhir pisang tanpa pemberian ethepon sebesar 0,303 kg.
0.5
Bobot Pisang (Kg)

0.4
0.3
0.2
0.1
0
H0 H3 H7
Hari ke-
Ethepon Aquades

Gambar 1. Grafik bobot buah pisang selama pengamatan

Menurut Ridhyanty et al. (2015) pemberian ethepon dapat meningkatkan


aktivitas respirasi dan transpirasi pada saat pematangan buah dimana air buah akan
menguap dan tanpa ada pasokan baru yang menyebabkan susut bobot pada buah
pisang. Menurut winarno (2002) Ethepon dalam air terurai menjadi etilen sehingga
mempercepat kematangan atau memicu tejadinya kematangan lebih awal dari
keadaan normal dengan mempercepat fase klimakterik dan mendorong peningkatan
laju respirasi. Pada kondisi ini terjadi perombakan hemiselulosa dan selulosa
menjadi zat pati sehingga berat kulit berkurang dan kandungan air pada kulit pisang
juga berkurang karena proses transpirasi. Perombakan dan pemindahan komposisi
kimia ini menyebabkan peningkatan susut buah pada pisang.
Produk hortikultura setelah dipanen (pasca panen) akan mengalami
penurunan mutu atau kualitasnya yang tidak tahan simpan lama dibandingkan
dengan produk pertanian yang lain. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu
diketahuai terlebih dahulu tentang mecam-macam penyebab kerusakan pada
produk hortikultura. Salah satu kerusakan yang umum terjadi pada produk
hortikultura adalah chilling injury. Menurut Purwanto et al. (2012) permasalahan
yang sering dihadapi untuk mempertahankan kualitas produk pertanian dengan
cara pendinginan adalah kepekaan produk pertanian terhadap perlakuan suhu
rendah sangat bervariasi
Perlakuan suhu rendah pada buncis yang tidak dibungkus tidak menunjukan
perubahan warna selama 7 hari pengamatan. Hal sama sama juga terjadi pada
buncis pada kontrol dan perlakuan suhu rendah dibungkus tidak terjadi perubahan
warna. Perubahan struktur kulit buncis perlakuan suhu rendah dibungkus maupun
tidak dibungkus terbentuk kerutan pada hari ketiga sedangkan pada perlakuan
kontrol tidak terjadi kerutan pada kulit buncis. Bercak dipermukaan kulit buncis
muncul pada hari ketiga pada perlakuan suhu rendah dikemas maupun tidak
dikemas. Buncis perlakuan kontrol tidak terjadi bercak dipermukaan kulit.
Perubahan bobot buncis pada perlakuan suhu rendah mengalami penyusutan. Pada
pengamatan hari ketiga bobot buncis adalah 0,026 g menjadi 0,018 g pada hari
ketujuh. Menurut Salveit dan Morris (1990) penyimpanan pada suhu rendah dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan dingin (chilling injury) yang berakibat pada
kerusakan produk secara fisiologi baik secara eksternal maupun internal sehingga
dapat menurunkan kualitas produk.
Terong yang diberi perlakuan suhu rendah tidak terjadi perubahan warna
sedangkan terong perlakuan kontrol terjadi perubahan warna kulit menjadi ungu
kusam pada hari perngamatan ketiga dan menjadi lebih kusam pada permangatan
hari ketujuh. Rongga dalam buah terbentuk pada terong perlakuan kontrol pada hari
ketujuh sedangkan terong perlakuan suhu rendah tidak terbentuk rongga dalam
buah. Kerutan kulit buah terjadi pada terong perlakuan kontrol pada pengamatan
hari ketiga. Terong perlakuan suhu rendah yang dikemas maupun tidak dikemas
tidak terjadi kerutan pada kulit buah. Tekstur buah terong perlakuan suhu rendah
yang dikemas maupun yang tidak dikemas tetap keras sampai pengamatan hari
ketujuh. Tekstur buah terong perlakuan kontrol menjadi lunak pada pengamatan
hari ketiga. Perubahan warna tangkai buah terong pada perlakuan suhu rendah
dikemas oleh kertas maupun yang tidak dikemas terjadi perubahan warna dari hijau
menjadi hijau kecoklatan pada hari ketiga pengamatan dan menjadi coklat pada hari
pengamatan ketujuh. Tangkai buah terong pada perlakuan kontrol disuhu ruangan
berubah warna menjadi hijau agak kusam muncul pada pengamatan hari ketiga.
Perubahan bobot timun pada perlakuan suhu rendah mengalami penyusuatan. Pada
pengamatan hari ketiga bobot terong adalah 0,089 g menjadi 0,072 g pada hari
ketujuh. Seperti yang telah diketahui bahwa penyimpanan buah dan sayur pada
suhu dingin setelah pemanenan merupakan langkah efektif untuk mempertahankan
mutu dan nilai nutrisi. Namun kebanyakan buah dan sayur yang berasal dari daerah
tropis seperti terong sangat sensitif terhadap suhu penyimpanan dingin. Boyer dan
Mc Kinney (2013) menyarankan terong disimpan pada suhu 10-15 oC dengan
kelembaban 90-95%
Warna kulit mentimun pada seluruh perlakuan tidak terjadi perubahan yaitu
tetap berwarna putih dengan ujung hijau. Rongga dalam buah timun juga tidak
terbentuk pada seluruh perlakuan. Kerutan pada kulit buah timun terbentuk pada
hari ketiga pengamatan pada timun perlakuan suhu rendah yang dikemas maupun
tidak dikemas sedangkan pada perlakuan kontrol tidak terjadi kerutan pada kulit
timun sampai hari ketujuh pengamatan. Tekstur buah timun pada perlakuan kontrol
suhu ruangan tetap keras sampai pengamatan hari ketujuh. Timun perlakuan suhu
rendah yang tidak dikemas menunjukan tekstur yang lunak pada pengamatan hari
ketiga. Pada pengamatan hari ketujuh tekstur buah yang lebih lunak. Timun
perlakuan suhu rendah yang dikemas dengan kertas menunjukan perubahan tekstur
buah menjadi lunak pada hari ketiga pengamatan. Perubahan bobot timun pada
perlakuan suhu rendah mengalami penyusuatan. Pada pengamatan hari ketiga bobot
timun adalah 0,181 g menjadi 0,125 g pada hari ketujuh. Menurut Darsana et al.
2003 penyimpanan pada suhu rendah mampu mempertahankan kualitas dan
memperpanjang masa hasil pertanian, karena dapat menurunkan proses respirasi,
memperkecil transpirasi dan menghambat perkembangan mikroba. Suhu rendah
mampu menghambat susut berat, mempertahankan kadar air dan vitamin C serta
memperpanjang umur simpan mentimun jepang.

KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Boyer R, McKinney J. 2013. Food storage guidelines for consumers. Virginia Tech.
1-12.
Darsana, L, Wartoyo dan T. Wahyuti. 2003. Pengaruh saat panen dan suhu
penyimpanan terhadap umur simpan dan kualitas mentimun Jepang.
(Cucumis sativus L.). Agrosains 5 (1)
Ginting, R.R., S., S. Heddy. 2015. Efikasi zat pengatur tumbuh etefon untuk
mempercepat pemasakan buah melon (Cucumis melo L.). Jurnal
Produksi Tanaman. 3(3): 189-194.
Hakim, M.A., A.K.O. Hug, M.A. Alam, A. Khatib, B.K. Saha, K.M.F. Haque,
I.S.M. Zaidul. 2012. Role of health hazardous ethephone in nutritive
values of selected pineapple, banana and tomato. Journal ofn food
Agriculture and Environment.10(2): 247-251.
Mohapatra, D. Mishra, S. Sutar, N. 2010. Banana and its by-product utilisation: an
overview. Journal of Scientific & Industrial Research. 69(5): 323-329.
Muhtadi, D., B. Anjarsari. 1995. Meningkatkan nilai tambah komoditas sayuran.
Prosiding Seminar Nasional Komoditas Sayuran. Bogor 1995.
Murthada, A., E. Julianti, I. Suhadi. 2012. Pengaruh jenis pemacu pematangan
terhadap mutu pisang barangan (Musa Paradisiaca L.). J. Rekayasa
Pangan dan Pert. 1(1): 47-56.
Pantastico, E.R., B. 1993. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan, dan Pemanfaatan
Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran Tropika dan Subtropika.
Yogyakarta. UGM Press. ID
Purwanto, Y.A., S. Osheita, Y. Kawagoe. 2012. Indikasi kerusakan dingin pada
mentimun jepang (cucumis sativus L.) berdasarkan perubahan ion
leakage dan ph. J. Keteknikan Pertanian. 26(1): 33-37.
Ridhyanty, S.P., E. Julianty, L.M. Lubis. 2015. Pengaruh pemberian ethepon
sebagai bahan perangsang pematangan terhadap mutu buah pisang
barangan (Musa paradisiaca L.). J.Rekayasa Pangan dan Pert. 3(1): 1-
13.
Salveit, M.E. L.L. Morris. 1990. Overview of chilling injury of horticulture crops.
CRC Press, Boca Raton, FL. Pp. 33-15.
Winarno, F.G. 2002. Fisiologi lepads Panen produk Hortikultura. Bogor. M.Brio
Press. ID

Anda mungkin juga menyukai