Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN

RSJ ARIF ZAINUDDIN SURAKARTA


STASE KEPERAWATAN JIWA

SEMESTER II

KRISTIAN ADI N
I4B018100

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI NERS
PURWOKERTO
2019
RISIKO PERILAKU KEKERASAN

1. Pengertian Perilaku Kekerasan


Perilaku kekerasan menurut Kusumawati dan Hartono (2011) adalah suatu keadaan
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan aduh, gelisah yang tidak
terkontrol. Perilaku kekerasan merupakan respon terhadap stressor yang dihadapi seseorang
yang ditunjukan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang
lain secara fisik maupun psikologis (Yosep, 2010). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri, lingkungan
termasuk orang lain dan barang-barang.

2. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan perilaku kekerasan adalah:
1) Teori Biologis
a) Neurologic Faktor
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter, dendrit,
akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan
dan pesan-pesan yang mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif (Mukripah
Damaiyanti, 2012). Lobus frontalis memegang peranan penting sebagai penengah
antara perilaku yang berarti dan pemikiran rasional, yang merupakan bagian otak
dimana terdapat interaksi antara rasional dan emosi. Kerusakan pada lobus frontal
dapat menyebabkan tindakan agresif yang berlebihan (Nuraenah, 2012).
b) Genetic Faktor
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi perilaku
agresif. Menurut riset kazu murakami (2007) dalam gen manusia terdapat dorman
(potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika terstimulasi oleh faktor
eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotype XYY, pada umumnya dimiliki
oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum
akibat perilaku agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012).

c) Cycardian Rhytm
Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut penelitian pada jam sibuk
seperti menjellang masuk kerja dan menjelang berakhirnya kerja ataupun pada jam
tertentu akan menstimulasi orang untuk lebih mudah bersikap agresif (Mukripah
Damaiyanti, 2012).
d) Faktor Biokimia
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak contohnya epineprin,
norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan dalam penyampaian
informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh. Apabila ada stimulus dari luar
tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantarkan melalui
impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent.
Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta penurunan serotonin dan
GABA (Gamma Aminobutyric Acid) pada cerebrospinal vertebra dapat menjadi
faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif ( Mukripah Damaiyanti, 2012).
e) Brain Area Disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, siindrom otak, tumor otak,
trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012).
2) Teori Psikogis
a) Teori Psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang
seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia
0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air
susu yang cukupcenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah
dewasasebagai komponen adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang yang rendah. Perilaku agresif dan tindakan
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri perilaku tindak kekerasan (Mukripah
Damaiyanti, 2012).
b) Imitation, modelling and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang
mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media
atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam
suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menonton tayangan pemukulan
pada boneka dengan reward positif (semakin keras pukulannya akan diberi coklat).
Anak lain diberikan tontonan yang sama dengan tayangan mengasihi dan mencium
boneka tersebut dengan reward yang sama (yang baik mendapat hadiah). Setelah
anak –anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak berperilaku
sesuai dengan tontnan yang pernah dilihatnya (Mukripah Damaiyanti, 2012).
c) Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan
terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima kekecewaan dan
mengamati bagaimana respon ibu saat marah ( Mukripah Damaiyanti, 2012).

3. Rentang Respon Marah

Tabel Perbandingan perilaku pasif, asertif, dan agresif


Karakteristik Pasif Asertif Amuk
Nada bicara - Negatif - Positif - Berlebihan
- Menghina diri - Menghargai diri sendiri - Menghina orang lain
- Dapatkah saya - Saya dapat/akan - Anda selalu/tidak
lakukan? lakukan pernah?
- Dapatkah ia lakukan?
Nada suara - Diam - Diatur - Tinggi
- Lemah - Menuntut
- Merengek
Sikap tubuh - Melorot - Tegak - Tegang
- Menundukan kepala - Relak - Bersandar ke depan
Personal - Orang lain dapat - Menjaga jarak yang - Memiliki teritorial
Space masuk pada teritorial menyenangkan orang lain
pribadinya - Mempertahankan hak
tempat/teritorial
Gerakan - Minimal - Memperlihatkan - Mengancam,
- Lemah gerakan yang sesuai ekspansi gerakan
- Resah
Kontak mata - Sedikit/tidak ada - Sekali-sekali - Melotot
(intermiten) sesuai
dengan kebutuhan
interaksi

4. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala perilaku kekerasan menurut Direja (2011) sebagai berikut :
a. Fisik
Mata melotot, pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wjah merah dan
tegang, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kasar, bicara dengan nada keras, kasar, dan
ketus.
c. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dn jarang mengeluarkan kata-kata
bernada sarkasme.
f. Spiritual
Merasa dirinya berkuasa, merasa dirinya benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan
kreativitas terhambat.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, ejekan, dan sindiran.
h. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.

Yosep (2010) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai
berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung
perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

5. Proses Terjadinya Amuk


Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan
perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (Keliat, 2006). Amuk adalah respons
marah terhadap adanya stres, rasa cemas, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa, dan
ketidakberdayaan. Respons marah dapat diekspresikan secara internal atau eksternal. Secara
internal dapat berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara
eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif. Respons marah dapat diungkapkan
melalui tiga cara yaitu (1) mengungkapkan secara verbal, (2) menekan, dan (3) menantang.
Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-kata
yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan
pada individu. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan
menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk.
6. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme orang lain. Mekanisme koping klien sehingga
dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam
mengekspresikan marahnya. Yosep (2011) Mekanisme koping yang umum di gunakan
adalah mekanisme pertahanan ego seperti :
a. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat unutk
suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti
meremas remas adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti, 2012)
b. Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik, misalnya
seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya(Mukhripah Damaiyanti, 2012).
c. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam sadar.
Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya.
Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa
membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan.
Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya
(Mukhripah Damaiyanti, 2012).
d. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih lebihkan
sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai rintangan misalnya
sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan memperlakukan orang tersebut
dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti, 2012).
e. Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek yang tidak begitu
berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu ,misalnya: timmy
berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena
menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan
temanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012).

7. Penatalaksanaan
a. Medis
Menurut Yosep ( 2007 ) obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien dengan marah atau
perilaku kekerasan adalah :
1) Antianxiety dan sedative hipnotics
Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut. Benzodiazepine seperti
Lorazepam dan Clonazepam, sering digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk
menenangkan perlawanan klien. Tapi obat ini tidak direkomendasikan untuk
penggunaan dalam waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan
ketergantungan, juga bisa memperburuk simptom depresi.
2) Buspirone obat antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan yang
berkaitan dengan kecemasan dan depresi.
3) Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku
agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline danTrazodone,
menghilangkan agresifitas yang berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan
mental organik.
4) Lithium
efektif untuk agresif karena manik.
5) Antipsychotic dipergunakan untuk perawatan perilaku kekerasan
b. Keperawatan
Menurut Yosep ( 2007 ) perawat dapat mengimplementasikan berbagai cara untuk
mencegah dan mengelola perilaku agresif melaui rentang intervensi keperawatan.

Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa


a. Strategi preventif
1) Kesadaran diri
Perawat harus terus menerus meningkatkan kesadaran dirinya dan melakukan
supervisi dengan memisahkan antara masalah pribadi dan masalah klien.
2) Pendidikan klien
Pendidikan yang diberikan mengenai cara berkomunikasi dan cara
mengekspresikan marah yang tepat.
3) Latihan asertif
Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki meliputi :
- Berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang.
- Mengatakan tidak untuk sesuatu yang tidak beralasan.
- Sanggup melakukan komplain.
- Mengekspresikan penghargaan dengan tepat.
b. Strategi antisipatif
1) Komunikasi
Strategi berkomunikasi dengan klien perilaku agresif :bersikap tenang, bicara
lembut, bicara tidak dengan cara mengahakimi, bicara netral dan dengan cara
konkrit, tunjukkan rasa hormat, hindari intensitas kontak mata langsung,
demonstrasikan cara mengontrol situasi, fasilitasi pembicaraan klien dan
dengarkan klien, jangan terburu-buru menginterpretasikan dan jangan buat janji
yang tidak bisa ditepati.
2) Perubahan lingkungan
Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas seperti : membaca, grup
program yang dapat mengurangi perilaku klien yang tidak sesuai dan
meningkatkan adaptasi sosialnya.
3) Tindakan perilaku
Pada dasarnya membuat kontrak dengan klien mengenai perilaku yang dapat
diterina dan tidak dapat diterima serta konsekuensi yang didapat bila kontrak
dilanggar.
c. Strategi pengurungan
1) Managemen krisis
2) Seclusion merupakan tindakan keperawatan yang terakhir dengan menempatkan
klien dalam suatu ruangan dimana klien tidak dapat keluar atas kemauannya sendiri
dan dipisahkan dengan pasien lain.
3) Restrains adalah pengekangan fisik dengan menggunakan alat manual untuk
membatasi gerakan fisik pasien menggunakan manset, sprei pengekang
- Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus
diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, main catur
dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak
berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya.
Terapi ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program kegiatannya
(Prabowo, 2014).
- Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung
pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga agar dapat
melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga,
menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada
masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan dapat
mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke
perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga
dapat ditingkatkan secara optimal (Prabowo, 2014).
- Terapi somatik
Menurut depkes RI (2000) menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang diberikan
kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang mal
adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada
kondisi fisik pasien,terapi adalah perilaku pasien (Prabowo, 2014).
- Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi
kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik
melalui elektroda yang menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya
dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Prabowo, 2014).
8. Pohon Masalah
Risiko mencederai diri sendiri, orang
lain, dan lingkungan

Risiko perilaku kekerasan

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

Isolasi sosial

(sumber : Keliat, 2006)


9. Diagnosa Keperawatan
a. Perilaku Kekerasan
b. Resiko Perilaku Kekerasan
c. Harga diri rendah.

Daftar Pustaka
Damaiyanti, M & Iskandar, 2012, Asuhan Keperawatan Jiwa, PT. Refika Aditama, Bandung.
Direja., dan Ade, H. S, 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Nuha Medica, Yogyakarta.
Keliat, B.A, 2006, Modal Praktik Keperawatan Profesional Jiwa, EGC, Jakarta.
Kusumawati, F., dan Hartono Y., 2010, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Salemba Medika,
Jakarta.
Mukhripah, D., 2008, Asuhan Keperawatan Jiwa, Refika Aditama, Bandung.prabowo, E.,
2014, Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa, Nuha Medika, Jakarta.
Yosep, Igus., 2010, Keperawatan Jiwa Edisi Revisi, Refika Adiutama, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai