Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI AKIBAT PATOLOGIS


SISTEM PERNAPASAN DAN KARDIOVASKULER
PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Keperawatan Medikal Bedah II yang dibimbing oleh
Ns. Syaifuddin Kurnianto, M.Kep

Oleh:
NAMA NIM
Faizah Shofiya Ningrum 172303101051
Wahyu Ari SAndi 1723031010
Rizky bagas putra 172303101041
Ana Rifatul Hanifah 172303101032

PRODI D3 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
KONSEP PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK

(PPOK)

A. Definisi
PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan
obstruksi jalan napas yang membatasi aliran udara, menghambat ventilasi. Penyakit paru
obstruksi kronik merupakan nama yang diberikan untuk gangguan ketika dua penyakit paru
terjadi pada waktu bersamaan : bronkitis kronis dan emfisema. Asma kronis yang
dikombinasikan dengan emfisema atau brokitis juga dapat menyebabkan PPOK (Hurst, 2011).
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran
nafas yang bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel
atau gas racun yang berbahaya (GOLD, 2010) dalam (Saiman, 2014).

B. Etiologi
Faktor-faktor penyebab terjadinya PPOK (Oemiati, 2013) yaitu:
a. Pajanan dari partikel antara lain:
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang.
Perokok aktif dapat mengurangi hipersekresi mucus dan obstruksi jalan nafas kronik. Di
laporkan ada hubungan antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEPI) dengan
jumlah, jenis dan namanya merokok. Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom
PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas gas
berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan resiko terhadap janin dan
mempengaruhi pertumbuhan paru-parunya.
2. Polusi indoor.
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap
bahan bakar kayu dan asap, bahan bakar minyak diperkirakan member konstribusi sampai 35%
terjadinya PPOK. Manusia banyak menghabiiskan waktunya pada lingkungan rumah (indoor)
seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, maal, dan kendaraan. Polutan indoor
yang penting antara lain SO², NO² dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan
pemanasan, zat organic yang mudah menguap dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan
dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta perokok pasif. WHO melaporkan bahwa polusi
indoor bertanggung jawab terhadap kematian kematian dari 1,6 juta orang setiap tahunnya
karena PPOK. Pada studi kasus control yang dilakukan di Bogota, Columbia, pembakaran kayu
yang dihubungkan dengan risiko tinggi PPOK.
3. Polusi outdoor
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada volume ekspirasi paks detik pertama (VEP).
Inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap
pembakaran/pabrik/tambang. Beberapa penelitian menemukan bahwa pajanan kronik di kota
dan polusi udara menurunkan laju fungsi pertumbuhan paru-paru dan anak-anak.
4. Polusi ditempat kerja
Polusi dari tempat kerj misalnya debu-debu organic (debu sayuran dan bakteri atau racun-
racun dari jamur) industry tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industry (pertambangan,
industri besi dan baja, industry kayu, pembangunan gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta,
sebagainya diperkirakan mencapai 19%.
b. Genetic (defisiensi Alpha 1-antitrypsin): factor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1-
3% pada pasien PPOK.
c. Riwayat infeksi saluran nafas berulang
Infeksi saluran nafas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan,
hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran nafas akut adalah suatu penyakit terbanyak di
derita anak-anak. Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anank-anak dapat pula member
kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.

C. Klasifikasi
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI / Perkumpulan Dokter Paru Indonesia) tahun
2005, dalam (Oemiati, 2013) maka PPOK dikelompokkan ke dalam:
1. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum
dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu. Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya
menunjukkan VEP¹ ≥ 80% prediksi (normal) dan VEP¹ / KVP < 70%.
2. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan atau produksi
sputum dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya
menunjukkan VEP¹ ≥ 70% dan VEP¹ / KVP < 80% prediksi.
3. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad tiga atau empat dengan
gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi kor pulmonum atau
gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan VEP¹ / KVP <70%, VEP¹ <30%
dengan gagal nafas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah
debgan kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipoksemia dengan hiperkapnia.
D. Patofisiologi
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan
oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan
vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan
struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan
peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat
penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit
(Khairani, 2013).
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang.
Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas
mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam
penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan
kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi
sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8
dan leukotrien B4, tumuor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan
reactive oxygen species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan
protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding
alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya
limfosit CD 8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal
terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. (Khairani, 2013). Penurunan fungsi paru
terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran nafas. Kerusakan struktur berupa destruksi
alveoli yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh
leukosit dan polusi juga asap rokok (Khairani, 2013).
Genetik: Defisiensi
antitrypsin alfa-1 Merokok

Penurunan Mengandung zat – Mengandung


netralisasi zat berbahaya radikal bebas
Faktor lingkungan
elastase

Induksi aktivasi Peningkatan


Polusi udara
makrofag dan leukosit stress oksidatif

Peningkatan Pelepasan faktor Peningkatan


pelepasan kemotaktik pelepasan oksidan Peningkatan
apoptosis
elastase neutrofil
dan nekrosis dari sel
yang terpapar

Peningkatan jumlah neutrofil


Cedera Sel didaerah yang terpapar
Cedera Sel

Respon Inflamasi

Hipersekresi mukus Lisis dinding alveoli Fibrosa paru

Bronkitis Kerusakan alveolar Obstruksi paru

Penumpukan lender Kolaps saluran napas PPOK Nyeri Kronis


dan sekresi berlebihan kecil saat ekspirasi

Kompensasi tubuh dengan


Emfisema peningkatan RR
Merang Obstruk
sang si Gangguan
refleks jalan pertukaran O2
batuk napas dan Ketidakefektifan
CO2 dari dan Pola
Ketidakefektifan ke paru Napas
Bersihan Jalan
Napas Sesak napas Timbul reflek batuk
Penurunan asupan O2

Hipoksemia
Penurunan
nafsu makan Tidur tidak efektif
Gangguan
Pertukaran Gas
Pe↓ perfusi O Pola
Ganggua
Tidur 2 ke jaringan
Pola Tidur
Mengantuk, lesu
Penurunan
Intoleran Aktivitas berat badan

Gambar 2.1 Patofisiologi PPOK (Muttaqin, 2009 dalam Rahayu, 2016)


E. Manifestasi Klinis
Terdapat 2 dua manifestasi klinis pada PPOK (Putra & Artika 2015) yaitu :
1. Blue bloater
Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal pernafasan. Ketika ini terjadi,
sianosis, perubahan warna kebiruan pada bibir yang disebabkan oleh kekurangan oksigen dalam
darah, bisa terjadi. Kelebihan karbon dioksida dalam darah dapat menyebabkan sakit kepala ,
mengantuk atau kedutan (asterixis).
2. Pink puffer
Gambaran khas yang tampak yaitu kulit kemerahan, pasien kurus, dan pernafasan pursed-
lips breating.
Tanda dan gejala penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah sebagai berikut (Douglas,
2004) dalam (Dianasari, 2014) :
1. Kelemahan badan
2. Batuk
3. Sesak napas
4. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
5. Mengi atau wheze
6. Ekspirasi yang memanjang
7. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut
8. Penggunaan otot bantu pernapasan
9. Suara napas melemah
10. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
11. Edema kaki, asites dan jari tabuh.
F. Pemeriksaan penunjang
Menurut (A.Wisman, 2015) beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah:
1. Foto polos dada
didapatkan kesan sesuai gambaran TB paru dengan emfisematus lung, kedua sudut
kostofrenikus tumpul suspek penebalan pleura / efusi pleura.

Contoh gambar efusi pleura

2. CT scan dada menunjukkan kesan emfisema bulosa dengan bronkiektasis dan infiltrat
minimal sugestif TB, tidak tampak massa / nodul di kedua paru, arteri pulmonalis kanan dan
kiri melebar, infiltrat minimal di basal paru kiri, dan efusi pleura kiri minimal.
3. Tes spirometri
Merupakan tes fungsi paru yang mengukur persentase dan derajat beratnya obstruksi aliran
udara. PPOK didiagnosis bila dari hasil spirometri didapatkan okstruksi aliran udara yang
tidak sepenuhnya reversibel.

Contoh gambar hasil pemeriksaan spirometri

4. Pemeriksaan Radiologi Thoraks Foto (AP dan lateral)


Menunjukan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan bendungan area paru. Pada
emfisema paru didapatkan diagfragma dengan letak yang rendah dan mendatar. ruang udara
retosternal > (foto lateral), jantung tampak bergantung, memanjang dan menyempit.
5. Pemeriksaan laboratorium
Yang penting dalam diagnosis dan tatalaksana PPOK adalah pemeriksaan gas darah, yang
dapat digunakan untuk menilai gagal nafas kronik stabil atau gagal nafas akut pada gagal
nafas kronik.
6. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dengan pewarnaan gram dan kultur serta resistensi diperlukan untuk
menentukan pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat bila pencetus eksaserbasi PPOK
pada pasien adalah adanya infeksi non spesifik.
7. Pemeriksaan EKG
Pada pemeriksaan EKG pada pasien PPOK dapat dijumpai P pulmonal ataupun tanda-tanda
hipertrofi fentrikel kanan yang menandakan adanya komplikasi ke jantung.
1. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan farmakologis
Terapi farmakologis digunakan untuk mencegah dan mengendalikan gejala,
memperbaiki status kesehatan, dan memperbaiki toleransi latihan fisik. Obat-obatan antara
lain bronkodilator, β2 agonis untuk relaksasi otot halus, antikolinergik untuk menurunkan
kontraksi saluran nafas dan produksi mukus. Steroid digunakan untuk menurunkan
pembengkakan, dan mukolitik bekerja untuk menurunkan viskositas sekresi (Bergman &
Hawk, 2010) dalam (Fasitasari, 2013).
Teradapat tiga kelas medikamentosa yang paling sering digunakan pada serangan
eksaserbasi akut PPOK yaitu bronkodilator, kortikosteroid dan antibiotik (Beta A. Wisman,
2015):
a. Bronkodilator kerja cepat dengan atau tanpa antikolinergik kerja pendek
direkomendasikan untuk terapi eksaserbasi.
b. Kortikosteroid inhalasi (budesonide) ditambah dengan beta-2 agonist kerja panjang
(formoterol) dan antikolinergenik kerja panjang (tritopium).
c. Antibiotik diberikan pada pasien PPOK jika terdapat dua dari tiga gejala kardial yaitu
sesak nafas, terdapat produksi sputum, dan sputum berwarna purulen. Antibiotik
direkomendasikan untuk diberikan selama 5-10 hari.

2. Penatalaksanaan non farmakologis


Terapi medis PPOK meliputi perubahan gaya hidup, termasuk menghentikan
kebiasaan merokok, menghindari asap dan polutan udara lain, olahraga yang sesuai, dan
nutrisi yang baik. Strategi terapi berdasarkan asesmen derajat penyakit dan respons terhadap
berbagai terapi (Bergman & Hawk, 2010) dalam (Fasitasari, 2013).

2. Prognosis
Prognosis penyakit ini bervariasi. Bila pasien tidak berhenti merokok, penurunan fungsi
paru akan lebih cepat daripada bila pasien berhenti merokok. Terapi oksigen jangka panjang
merupakan satu satunya terapi yang terbukti memperbaiki angka harapan hidup. (Safitri, 2009)

3. Komplikasi
Komplikasi kardiovaskular tersering yang terdapat pada PPOK adalah aritmia jantung dalam
hal ini adalah fibrilasi atrium. Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari fibrilasi atrium adalah
tromboemboli sistemik (Silmi Kaffah, 2015).
Menurut (Oemiati, 2013) masalah lain yang dapat terjadi pada pasien PPOK diantaranya
adalah:
1. Penyakit kardiovaskuler, yang diakibatkan oleh proses inflamasi sistemik.
2. Penyakit jantung, merupakan salah satu organ yang sangat dipengaruhi oleh progresitas
PPOK.
3. Hipertensi pulmoner pada PPOK, terjadi akibat efek langsung asap rokok terhadap pembuluh
darah intrapulmoner.
4. Osteoporosis, yang terjadi pada pasien PPOK disebabkan faktor seperti malnutrisi yang
menetap, merokok, penggunnaan steroid dan inflamasi sistemik.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas pasien
PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan atau usia diatas 40 tahun (PDPI, 2011). Hal
ini bisa dihubungkan bahwa terdapat penurunan fungsi respirasi pada usia 40 tahun. PPOK
ini sering menyerang laki-laki dari pada perempuan , hal ini dikarenakan adanya faktor
merokok dan tempat pekerjaan yang mengandung banyak polusi udara (Yulianawati, 2013).
Akan tetapi , dengan meningkatnya jumlah perokok perampuan , prevalensi PPOK pada
perempuan meningkat (Harrisoon, 2015)
2. Keluhan Utama
Keluhan yang sering dikeluhkan pada orang yang mengalami PPOK adalah sesak , batuk
kering atau dengan dahak yang produktif , nyeri dada , kesulitan bernafas , demam ,
terjadinya kelemahan (Wahid, A., & Suprapto, I, 2013)
3. Riwayat kesehatan sekarang
Dikembangkan dari keluhan utama , yaitu pasien biasanya mengeluh sesak napas ketika
melakukan aktivitas dan berkurang saat istirahat , tetapi pada keadaan parah sesak tidak
berkurang meskipun pada kondisi istirahat. Pasien juga akan mengatakan bahwa sesaknya
disertai batuk , baik kering maupun adanya dahak yang produktif dan pasien akan
mengalami kelelahan dengan cepat (Wahid, A., & Suprapto, I, 2013)
4. Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat penyakit yang diderita pasien yang berhubungan daengan penyakit saat ini atau
penyakit yang mungkin dapat dipengaruhi atau memengaruhi penyakit yang diderita pasien
saat ini (Wahid, A., & Suprapto, I, 2013). Riwayat penyakit dahulu merupakan faktor
pencetus timbulnya PPOK, seperti : Infeksi saluran nafas , adanya riwayat alergi , lama
penggunaan obat-obatan sebelumnya misalnya bronkodilator atau mukolitik, riwayat asma
maupun ada faktor keturunan terhadap alergi (Wahid, A., & Suprapto, I, 2013).
5. Riwayat Kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga dihubungkan dengan kemungkinan adanya penyakit keturunan ,
kecenderungan alergi dalam satu keluarga , penyakit yang menular akibat kontak langsung
antara anggota keluarga (Wahid, A., & Suprapto, I, 2013).
6. Pola fungsi kesehatan
Pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada pasien dengan PPOK menurut (Wahid, A., &
Suprapto, I, 2013) adalah :
a. Pola nutrisi dan metabolik
Gejala : Mual dan muntag ,nafsu makan menurun , ketidakmampuan untuk makan ,
penurunan atau peningkatan berat badan.
Tanda :Turgor kulit >2 detik , edema dependen , berkeringat.
b. Aktivitas / istirahat
Gejala : Keletihan, kelelahan, malaise , ketidakmampuan sehari-hari ,ketidakmampuan
untuk tidur , dispnea pada saat istirahat atau aktivitas
Tanda : Keletihan , gelisah , insomnia , kelemahan umum / kehilangan , massa otot
c. Sirkulasi
Gejala : Pembengkakan pada ekstermitas bawah
Tanda : Peningkatan tekanan darah, peningktan frekuensi jantung / takikardi berat ,
distensi vena leher , edema dependent , bunyi jantung redup , warna kulit / membran
mukosa normal / cyanosis , pucat , dapat menunjukkan anemia
d. Integritas ego
Gejala : peningkatan faktor resiko dan perubahan pola hidup
Tanda : Ansietas , ketakutan , peka rangsangan
e. Hygiene
Gejala : Penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hygiene
Tanda : kebersihan buruk dan bau badan
f. Pernapasan
Gejala : Batuk menetap dengan atau produksi sputum selama minimum 3 bulan berturut-
turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun , episode batuk hilang timbul.
Tanda : Pernapasan bisa cepat , menggunakan otot bantu pernapasan ,bentuk dada barrel
chest atau normo chest , gerakan diafragma minimal , bunyi napas ronchi, perkusi
hipersonan pada area paru. Warna pucat dengan sianosis bibir dan kaku , abu-abu
keseluruhan.
g. Keamanan
Gejala : riwayat reaksi alergi terhadap zat / faktor lingkungan , adanya / berulangnya
infeksi.
h. Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
i. Interaksi sosial
Gejala : hubungan ketergantungan , kegagalan dukungan terhadap pasien / orang
terdekat , ketidakmampuan membaik karena penyakit lama.
Tanda : Ketidakmampuan mempertahankan suara karena distress pernafasan ,
keterbatasan mobilitas fisik , kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
7. Pemeriksaaan fisik
Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK menurut (Wahid, A., &
Suprapto, I, 2013) adalah sebagai berikut:
1. Pernapasan.
a. Inspeksi.
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pcmafasan serta penggunaan otot
bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibat udara yang tertangkap) atau bisa juga
normo chest, penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan
abnormal tidak fektif dan penggunaan otot-otot bantu nafas (sternocleidomastoideus).
Pada lahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehatr-
hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen
disenai demam mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pemafasan.
b. Palpasi.
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
c. Perkusi.
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor sedangkan diafrgama
menurun.
d. Auskultasi.
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai tingkat beratnya
obstruklif pada bronkiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah
(hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap
lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk
untuk mengikat tali sepatu. mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersorial).
Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkiolus
tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkan. Pasien rentang terhadap
reaksi inflamasi dan infaesi akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi terjadi ,
pasien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi.
2. Kardiovaskuler
a. Persyarafan
Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi penyakit yang
serius.
b. Perkemihan
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhanpada sistem
perkemihan. Namun perawat perlu memonitor adanya oliguria yang merupakan salah
satu tanda awal dari syok.
c. Pencernaan
Pasien biasanya mual , nyeri lambung dan menyebabkan pasien tidak nafsu makan.
Kadang disertai penurunan berat badan.
d. Tulang, otot , dan integumen
Karena penggunaan otot bantu napas yang lama pasien terlihat keletihan , sering
didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan pemenuhan ADL(Activity Dey Living)
e. Psikososisal
Pasien biasanya cemas dengan adanya keadaan sakitnya.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Definisi (Ketidakefeklifan Bersihan Jalan Nafas)
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi saluran nafas guna
mempertahankan jalan nafas yang bersih (Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R., 2015).
2. Batasan Karakteristik
Batasan kamkleristik yang dapal ditemukan pada ketidakefektifan bersihan jalan napas
menurut (Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R., 2015). adalah sebagai berikut:
a. Subjektif: Dispnea.
b. Objektif: Suara nafas tambahan (misalnya, crackle, ronki. dan mengi) perubahan pada
irama dan fmkuensi pernapasan, batuk tidak ada atau batuk tidak efektif, sianosis,
kesulitan untuk bicara, penurunan suara napas, ortopnea, gelisah, sputum berlebihan,
mata terbelalak.
3. Faktor yang Berhubungan
Faktor yang berhubungan dengan teljadinya ketidakefektifan bersihan jalan napas menurut
(Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R., 2015). adalah sebagai berikut:
a. Lingkungan: Merokok. menghirup asap rokok, dan perokok pasif.
b. Obsuuksi Jalan Nafas: Spasme jalan nafas, retensi sekret, mukus berlebih, adanya jalan
nafas buatan, terdapat benda asing di jalan nafas, sekret di bronki, dan eksudat di alveoli.
c. Fsiologis: Disfungsi neuromuskular, hiperplasia dinding bronkial, PPOK (Penyakit Paru
Obstruktif Kronis),Infeksi, Asma.,Jalan nafas alergik (trauma).
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

Intervensi yang dilakukan pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas menurut (Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R., 2015) adalah
:

MASALAH KEPERAWATAN : KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS

DIAGNOSA KEPERAWATAN KRITERIA HASIL RENCANA TINDAKAN


(NANDA) (NOC) (NIC)
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Setelah diberikan intervensi keperawatan a. Pengkajian
Napas b.d………………………….. dalam waktu……………….pasien mampu
1. Kaji keefektifan pemberian oksigen
menunjukkan kriteria hasil berikut :
dan terapi lain.
Definis : 1. Menunjukkan pembersihan jalan napas
Ketidakmampuan untuk membersihkan yang efektif yang dibuktikan oleh 2. Kaji keefektifan obat resep.
sekret atau obstruksi saluran nafas guna Pencegahan Aspirasi ; Status
3. Kaji keefektifan kecenderungan pada
mempertahankan jalan nafas yang pernapasan ; Kepatenan jalan napas
gas darah arter, jika tersedia.
bersih dan status pernapasan : Ventilasi tidak
terganggu 4. Kaji frekuensi, kedalaman, dan upaya
Batasan Karakteristik:
2. Menunjukkan status pernapasan : pemapasan.
Data Subjektif: Dispnea. Kepatenan Jalan Napas , yang
5. Kaji faktor yang berhubungan, seperti
Data Objektif: Suara nafas tambahan dibuktikan oleh indikator gangguan
nyeri, batuk tidak efektif, mukus
(misalnya, crackle, ronki. dan mengi) sebagai berikut :
perubahan pada irama dan fmkuensi a. Kemudahan bernapas kental, dan keletihan.
pernapasan, batuk tidak ada atau batuk b. Frekuensi dan Irama pernapasan
6. Auskultasi bagian dada anterior dan
tidak efektif, sianosis, kesulitan untuk normal
posterior untuk mengetahui penurunan
bicara, penurunan suara napas, c. Pergerakan Sputum keluar dari
atau ketiadaan ventilasi dan adanya
ortopnea, gelisah, sputum berlebihan, jalan napas Pergerakan sumbatan
suara napas tambahan.
mata terbelalak. keluar dari jalan napas
3. Pasien akan : 7. Pengisapan Jalan Napas.
Faktor yang Berhubungan :
a. Batuk efektif
b. Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga.
a. Lingkungan: Merokok. b. Mengeluarkan sekret secra efektif
menghirup asap rokok, dan c. Mempunyai jalan napas yang paten 8. Jelaskan penggunaan yang benar
perokok pasif. d. Pada pemeriksaan auskultasi , peralatan pendukung (misalnya,
b. Obsuuksi Jalan Nafas: Spasme memiliki suara napas yang jernih oksigen masin pengisapan, spirometer,
jalan nafas, retensi sekret, e. Mempunyai irama dan frekuensi inhaler,dan intermirtten positive
mukus berlebih, adanya jalan pernapasan dalam rentang normal pressure breathing).
nafas buatan, terdapat benda
f. Mempunyai fungsi paru dalam
9. Informasikan kepada pasien dan
asing di jalan nafas, sekret di batas normal
keluarga tentang larangan merokok di
bronki, dan eksudat di alveoli.
g. Mampu mendeskripsikan rencana
dalam ruang perawatan: beri
c. Fsiologis: Disfungsi
untuk perawatan di rumah
penyuluhan tentang pentingnya
neuromuskular, hiperplasia
berhenti merokok.
dinding bronkial, PPOK
(Penyakit Paru Obstruktif 10. Instruksikan kepada pasien tentang
Kronis),Infeksi, Asma.,Jalan batuk dan teknik napas dalam untuk
nafas alergik (trauma). memudahkan pengeluaran sekret.

11. Ajarkan pasien untuk


membebat/mengganjal luka insisi
padu batuk.

12. Ajarkan pasien dan keluaran tentang


makna perubahan pada sputum, seperti
warna, karakter, jumlah, dan bau

13. Penyimpan Jalan anas: Instruksikan


kepada pasien dan/ntnu kelufgp
tentang cara pcngisapnn jalan napas.
juka perlu.

c. Aktivitas Kolaboratif:

14. Rundingkan dengan ahli tetapi


pernapasan, ika perlu.

15. Konsultasikan dengan dokter tentang


kebutuhan untuk perkusi atau
peralatan pendukung.

16. Berikan udara/oksigen yang telah


dihumidiflkasi (dilembabkan) sesuai
dengan kebijakan institusi.

17. Lakukan atau bantu dalam terapi


aerosol,nebulizer ultrasonic, dan
perawatan paru lainnya sesuai dengan
kebijakan dan protokol institusi.

18. Beri tahu dokter tentang hasil gas


darah yang abnormal.

d. Aktivitas Lain:

19. Anjurkan aktivitas fisik untuk


memfasilitasi pengeluaran sekret.

20. Anjurkan penggunaan spirometer


insentif.

21. Jika pasien tidak mampu ambulasi,


pindahkan pasien dari satu sisi tempat
tidur ke sisi tempat tidur yang lain
sekurangnya setiap dua jam sekali.

22. lnformasikan kepada pasien sebelum


memulai prosedur, untuk menurunkan
kecemasan dan meningkatkan kontrol
diri.

23. Berikan pasien dukungan emosi


(misalnya, meyakinkan pasien bahwa
batuk tidak akan menyebabkan
robekan atau “kerusakan" jahitan)

24. Atur posisi pasien yang


memungkinkan untuk pengembangan
maksimal rongga dada (misalnya,
bagian kepala tempat tidur di
tinggikan 45° kecuali ada
kontraindikasi.

25. Pertahankan keadekuatan hidrasi


untuk mengencerkan sekret.

26. Singkirkan atau tangani faktor


penyebab, seperti nyeri, keletihan, dan
sekret yang kental.
D. IMPLEMENTASI
Pada tahap implementasi,perawat akan melakukan implementasi keperawatan sesuai
dengan intervensi yang telah disusun. Sesuai dengan hasil penelitian (Nugroho, T,
2011)tentang pengaruh batuk efektif terhadap pengeluaran sekret pada pasien dengan
ketidakefektifan bersihan jalan napas, didapatkan hasil bahwa pasien setelah perlakuan
batuk efektif. maka sesak berkurang, suara napas tambahan berkurang, serta pasien dapat
mengeluarkan sputum dan pasien merasa lebih lega dan rileks. Tindakan batuk efektif
terbukti efektif dan dapat memberikan perubahan pada pengeluaran dahak seseorang.
karena dengan batuk efektif pasien bisa mengeluarkan dahak dengan maksimal dan
banyak serta dapat membersihkan saluran pernapasan yang sebelumnya terhalang oleh
dahak. Kondisi responden saat sebelum dan sesudah perlakuan batuk efektif mengalami
perbedaan. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa penatalaksanaan nonfannakologis
tindakan batuk efektif dapat membuat bersihan jalan nafas seseorang menjadi lebih baik.
E. EVALUASI
Hal yang dievaluasi nantinya yaitu status pernapasan yang terdiri dari (Wilkinson, J.
M., & Ahern, N. R., 2015). adalah :
a. Jalan napas pasien paten
b. Sekret dapat dikeluarkan secara efektif
c. Suara napas tambahan berkurang atau bunyi napas bersih
d. Frekuensi pernapasan 16-24x/ menit
e. Pasien dapat melakukan batuk efektif
f. SpO2 > 95%
DAFTAR PUSTAKA

Beta A. Wisman, R. M. (2015). Tatalaksana Penyakit Paru Obstruktif Kronik GOLD D:


Sebuah Laporan Kasus. Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana Penyakit Paru
Obstruktif Kronik GOLD D: Sebuah Laporan Kasus , 2, 180-190.

Deni yasmara, d. (2015-2017). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta.

Dianasari, N. (2014). PEMBERIAN TINDAKAN BATUK EFEKTIF


TERHADAPPENGELUARAN DAHAK PADA ASUHAN Tn. W DENGAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI IGD RSUD DR.SOEDIRAN
MANGUN SUMARSO WONOGIRI. 1-48.

Fasitasari, M. (2013). Terapi Gizi pada Lanjut Usia dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Nutrion Therapy in Elderly with Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) , 5, 50-61.

Harrisoon. (2015). Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC.

Khotimah, S. (2013). LATIHAN ENDURANCE MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP


LEBIH BAIK DARI PADA LATIHAN PERNAFASAN PADA PASIEN PPOK DI
BP4 YOGYAKARTA. ENDURANCE EXERCISE IMPROVES QUALITY OF LIFE
BETTER THAN BREATHING EXERCISE FOR PATIENT WITH COPD IN BP4
YOGYAKARTA , 1, 20-32.

Nugroho, T. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah Dan Paenyakit Dalam. .
Yogyakarta: Nuha Medika.

Oemiati, R. (2013). Kajian Epidomiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).


EPIDEMIOLOGIC STUDY OF CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE
(COPD) , 23, 82-88.

Rahayu , I. S. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Tn.U Dengan Gangguan Sistem


Pernapasan: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Di Ruang Kenanga RSUD
Ciamis. Naskah Publikasi , 1-47.

Safitri, A. (2009). At a glace medicine. Jakarta: EGC.


Saiman. (2014). Efek Paparan Partikel Terhadap Kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Ideal Nursing Journal , 1, 2087-2879.

Silmi Kaffah, d. (2015). Atrial Fibrillation in Chronic Obtruktive Pulmonary Disease. Jurnal
Kardiologi Indonesia , 36, 94-110.

Stephen, B. a. (2008). Diagnosis of Chronic Pulmonary Disease. American Familiy Physician


, 87-92.

Wahid, A., & Suprapto, I. (2013). Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan Pada
Gangguan Sistem Respirasi . Jakarta: TIM.

WHO. (2008). The Top Ten Causes of Death.

Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2015). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9.
Jakarta: EGC.

Yulianawati. (2013). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan


Pada Pasien Lansia Dengan PPOK Yang Mengalami Masalah Ansietas Di Ruang
Gayatri RS. dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor . Jurnal Universitas Indonesia , 1-74.

Anda mungkin juga menyukai