Anda di halaman 1dari 29

PERBANDINGAN MANAJEMEN

INDONESIA DAN AMERIKA

OLEH : KELOMPOK 4

I Gusti Bagus Diva Adhiyatma Wijaya (1707532053)


I Gusti Agung Putu Nadya Aundria Paramita (1707532119)
Kadek Erma Damayanti (1707532135)
Kadek Karya Dwi Jayanti (1707532136)
Made Evelyn Nadhea Kezia (1707532140)

KELAS A1

PRODI S1 AKUNTANSI NON REGULER


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan limpahan rahmatnyalah maka Penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Manajemen dengan tepat waktu. Berikut ini Penulis mempersembahkan sebuah makalah
dengan judul “Peerbandingan Manajemen Indonesia Dan Amerika”, yang menurut Penulis dapat
memberikan manfaat yang besar bagi Pembaca untuk mempelajari Manajemen.
Melalui kata pengantar ini Penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon
permakluman bilamana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang penulis buat kurang
tepat atau menyinggung perasaan Pembaca. Dengan ini Penulis mempersembahkan makalah ini
dengan penuh rasa terima kasih .
Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Denpasar, 29 April 2018

Kelompok 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 1
DAFTAR ISI........................................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 3
1.3 Tujuan ................................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengambilan Keputusan Kelompok ................................................................... 4
2.2 Kebaikan dan Kelemahan Keputusan Kelompok .............................................. 4
2.3 Berbagai Gaya Dalam Pengambilan Keputusan ................................................ 8
2.4 Metode Kuantitatif Dalam Pengambilan Keputusan ........................................ 9
2.5 Gaya Kepemimpinan Dalam Suatu Perusahaan……………………………….
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………... ………….6
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 7
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut pengertian dasarnya studi perbandingan mempunyai arti yaitu
menganalisa atau mencari kesamaan-kesamaan maupun perbedaan-
perbedaan.sehingga dengan demikian dapat memberikan pengertian dan
pemahaman terhadap berbagai macam system dari berbagai negara yang ada di
kawasn dunia. Selain dari beberapa hal tersebut dengan studi perbandingan ini
akan lebih mudah untuk menganalisa dan meyimpulkan kelebihan dan
kekurangan system manajemen di negara Indonesia dan negara Amerika.
Melihat sekilas mengenai negara Indonesia. Negara Indonesia atau
sering disingkat dengan RI merupakan negara yang sedang berkembang, baik
dalam bidang teknologinya maupun dari bidang manajemen nya. Negara yang
diapit oleh dua benua ini yaitu benua Asia dan benua Australia ini terdiri atas
34 provinsi ini memiliki system pemerintahannya yaitu dalam bentuk Republik
dengan kekuasaan eksekutifnya adalah presiden sebagai kepala negaranya.
Sedangkan negara Amerika Serikat atau sering disingkat dengan USA
merupakan negara republic yang terdiri atas 50 negara bagian dengan
kekuasaan eksekutifnya adalah presiden sebagai kepala negaranya.
Mengawali suatu dinamika menimbulkan suatu pemikiran dan
penalaran mengenai perlunya menganalisis lebih jauh mengenai suatu
perbandingan pemerintahan antara kedua negara tersebut sehingga kita dapat
menganalisis kelebihan dan kekurang negara tersebut dengan teori yang ada.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud manajemen itu?
2. Apa saja pengaruh budaya terhadap manajemen Indonesia dan Amerika?
3. Bagaimana tipe organisasi di Negara Indonesia dan Amerika?
4. Bagaimana bentuk motivasi yang diberikan pemimpin kepada karyawan nya di Negara
Indonesia dan Amerika?
5. Bagaimana gaya kepemimpinan suatu perusahaan di Negara Indonesia dan Amerika?
1.3 Tujuan
1. Agar dapat mengetahui pengertian tentang manajemen
2. Dapat mengetahui pengaruh budaya terhadap manajemen Indonesia dan Amerika
3. Agar kita mengetahui tipe organisasi yang ada di Negara Indonesia dan Amerika
4. Dapat mengetahui bentuk motivasi apa yang dberikan oleh pemimpin kepada karyawan di
Negara Indonesia dan Amerika
5. Kita dapat mengetahui gaya kepemimpinan yang digunakan oleh Negara Indonesia dan
Amerika
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan fungsi dari manajemen

Manajemen itu sendiri berasal dari kata manage. Kata manage berasal dari bahasa
Italia, yaitu maneggiare, di mana kata ini berasal dari bahasa latin, yakni manus yang
berarti hand (tangan). Kata manage dalam bahsaa Perancis berarti house-keeping (rumah
tangga). Dalam kamus Webster’s New Collegiate Dictionary, kata management
diberikan penjelasan sebagai : the act or art of managing, conduct, direction, and
controll.
Di sisi lain banyak ahli manajemen memberi batasan tentang manajemen, yaitu
diantaranya Terry (1972), Robins (1991), Bartol dan Martin (1994) dan Stoner, dkk
(1995).
1. Terry (1972 : 4) menyatakan bahwa manajemen adalah sesuatu proses khas
yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan tenaga manusia dan
sumberdya lainnya.
2. Robbins (1991 : 5) memberi pengertian manajemen sebagai suatu proses
kegiatan untuk mencapai sesuatu secara efisien melalui orang lain. Proses
kegiatan tersebut terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan
pengawasan.
3. Bartol dan Martin (1994 : 6) menyatakan bahwa manajemen adalah suatu
proses mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan memanfaatkan empat fungsi
utama, yakni perencanaan. Pengorganisasian, memimpin dan pengawasan.
4. Stoner, dkk (1995 : 7) yang menyatakan bahwa manajemen adalah proses
merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan pekerjaan
anggota organisasi dan menggunakan semua sumberdaya organisasi untuk
mencapai sasaran organisasi yang sudah ditetapkan.

Dari empat pendapat para ahli tersebut, ada empat batasan tentang manajemen
yang bisa ditarik yang merupakan ide pokok yang sangat penting untuk diperhatikan,
yaitu :

1. Identitas manajemen adalah suatu proses


Identitas manajemen sebagai suatu proses dikatakan oleh Pariasta Westra
(1981 : 264) sebagai rangkaian perbuatan manusia yang mengandung
sesuatu maksud tertentu yang memang dikehendaki oleh orang yang
melakukan kegiatan tersebut. Sedangkan Siagian (dalam Gorda, 1999 :
78) menyatakan bahwa proses berarti suatu kegiatan yang terus menerus
dilaksanakan. Dengan demikian, pengertian proses yang dikemukakan
oleh dua hali tersebut di atas memberikan informasi bahwa kegiatan
mencapai tujuan organisasi tidak dapat dilakukan dengan satu kegiatan
saja seperti membalikkan tangan, melainkan suatu kegiatan secara
bertahap dan berkelanjutan serta secara sadar dilaksanakan. Hal ini berarti
proses tersebut dilakukan dengan penuh perhitungan dengan
memperhatikan kemampuan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi.
2. fungsi-fungsi fundamental manajemen
Mengenai fungsi-fungsi fundamental manajemen, tampaknya hampir
seluruh ahli sepakat intinya ada empat, yaitu planning, organizing,
actuating dan controlling. Pada umumnya organisasi di Indonesia
mengalami keterbatasan dalam bidang sumber daya, sementara di sisi lain
tujuan yang ingin dicapai harus bisa dilakukan secara baik.
3. arah proses manajemen
Proses manajemen itu sendiri diarahkan kepada usaha-usaha anggota
organisasi untuk meningkatkan produktivitasnya melalui pemanfaatan
secara efektif dan efisien sumber daya yang tersedia. Produktivitas adalah
perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input). Keluaran
bisa terdiri barang atau jasa. Sedangkan masukan terdiri dari sumber daya
manusia (human resorces), dan modal (capital), peralatan-peralatan
(materials), dan sumber daya lainnya. Efisiensi adalah kemampuan untuk
meminimalkan penggunaan sumber daya (masukan), sedangkan
efektivitas adalah kemampuan untuk menentukan tujuan yang memadai.
4. unsur-unsur manajemen
Unsur-unsur manajemen, pada umumnya terdiri dari 6 (enam) yang
dikenal dengan the six M’S, yaitu Men, Money, Materials, Machines,
Methods and Markets. Diantara seluruh unsur tersebut, men (manusia)
adalah unsur yang paling penting di dalam proses manajemen, sebab
manajemen itu ada karena adanya dua orang atau lebih yang bekerja sama
dalam mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Hal ini berarti
manusia merumuskan tujuan, manusia yang menyusun organisasi sebagai
wadah pencapaian tujuan, manusia pula yang bekerja untuk mencapai
tujuan dan sekaligus manusia pula yang mengendalikan serta menikmati
hasil-hasil yang dicapai.

Fungsi dari manajemen

Menurut pendekatan dari sudut pandang fungsi, seorang manajer menjalankan fungsi-
fungsi atau aktivitas-aktivitas tertentu dalam rangka mengelola pekerjaan orang lain secara
efisien dan efektif. Apakah fungsi-fungsi tersebut? Henri Fayol mengatakan bahwa setiaap
manajer menjalankan empat buah fungsi dalam manajemen diantaranya: fungsi perencanaan
(planning), fungsi penataan (organizing), fungsi kepemimpinan (leading), dan fungsi
pengedalian (controlling).

a. Fungsi perencanaan (planning) adalah fungsi dimana kita menetapkan strategi dan
mengembangkan rencana kerja untuk mengelola aktivitas-aktivitas. Perencanaan harus
aktif, dinamis, berkesinambungan, dan kreatif agar manajemen tidak hanya akan bereaksi
terhadap lingkungannya, tetapi lebih menjadi peserta aktif dalam dunia usaha.
b. Fungsi penataan (organizing) adalah fungsi manajemen yang melibatkan tindakan-
tindakan penataaan dan pengaturan berbagai aktivitas kerja secara terstruktur demi
mencapai sasaran organisasi.
c. Fungsi kepemimpinan (leading) adalah fungsi manajemen yang melibatkan interaksi
dengan orang-orang lain untuk mencapai sasaran organisasi. Manajer dengan gaya
kepemimpinan ini lebih memperhatikan pelaksanakan pekerjaan daripada pengembangan
dan pertumbuhan karyawan.
d. Fungsi pengendalian (controlling) adalah sebuah fungsi manajemen yang melibatkan
tindakan-tindakan pengawasan, penilaian, dan koreksi terhadap kinerja dan hasil
pekerjaan. Pengendalian yang efektif memastikan kegiatan telah dilakukan dengan cara
yang menghasilkan pencapaian tujuan. Keefektifan pengendalian ditentukan oleh
bagaimana pengendalian itu dapat membantu karyawan dan manajer mencapai tujuan
mereka.

2.2 Pengaruh budaya terhadap manajemen

A. Secara Umum
Mengapa budaya berperan sangat penting khususnya di bidang organisasi dan
manajemen? Hal ini seperti yang dikatakan oleh Budhi Paramita (hal10, 1988):
Organisasi pada hakekatnya merupakan kebudayaan pada tingkat mikro yang bekerja
dalam lingkungan). budaya nasional makro. Kedua satuan kebudayaan dapat saling
mempengaruhi, rendahnya hasil kerja dan kerja sama dalam suatu organisasi, bisnis
sebagian besar disebabkan oleh adanya kurang keserasian antara budaya ditempat kerja
dengan sifat pekerjaan dan/atau dengan teknologi yang dipergunakan yang berasal dari
kebudayaan bangsa lain yang berbeda dengan kebudayan bangsa Indonesia.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai yang diperoleh dan


dimiliki individu. Bahkan dapat dinyatakan bahwa pengaruh kebudayaan terhadap
seseorang dimulai sejak individu itu lahir kedunia secara sadar atau pun tidak
dipengaruhi oleh lingkungannya yang mengajarkannya nilai-nilai secara terus menerus
yang merupakan bagian yang integral dari suatu sistem kemasyarakatan. Nilai-nilai yang
dimiliki oleh seseorang acap kali sering dipilih untuk menghadapi situasi tertentu.
Demikian halnya dengan seorang Manajer pada suatu organisasi dalam setiap mengambil
keputusan selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimilikinya, bersifat partisipatifkah ia
atau otoriter?, dan sebagainya.

Manajer seperti diketahui adalah kemampuan seseorang dalam mengurusi rumah


tangga perusahaan. Seperti yang dinyatakan oleh Astrid S. Susanto (hal 65) bahwa:
Kegiatan Manajer sebagai kegiatan yang mencakup kegiatan mengorganisasi, mengatur,
mengawasi (controlling) merencanakan dan mengarahkan, staffing dan juga koordinasi.
Dimana pada kegiatan ekonomi kegiatan Manajer berkaitan erat dengan kegiatan
pengolahan sumber-sumber biaya dan komoditi untuk mengatasi persaingan.

Definisi diatas menunjukkan bahwa seseorang yang menjadi organisasi tempat dia
berada. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan tata cara kerja atau nilai pribadi yang
dihayati individu. Nilai pribadi seseorang apakah dapat diadaptasikan dengan tujuan
perusahaan sangat tergantung bagaimana mensosialisasikan nilai-nilai perusahaan sesuai
dengan individu sebagai pekerja.

Seperti yang dikatakan oleh Prof. Umar Nimran bahwa nilai-nilai, anggapan,
falsafah, ideologi, harapan, sikap, dan norma-norma yang dimiliki bersama dan mengikat
suatu masyarakat dalam organisasi yang disebut budaya organisasi (budaya perusahaan).

Adanya budaya perusahaan ini bertujuan untuk menciptakan rasa memiliki jati
diri dari para pekerja, sehingga ada keterkaitan pribadi dan perusahaan, membantu
perusahaan, memotivasi kerja para karyawan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.
Suatu perusahaan memiliki budaya kerja yang sangat erat kaitannya dengan budaya
masyarakat ataupun budaya bangsa dimana organisasi itu berada.

Budaya bangsa (National culture) intinya adalah merupakan nilai-nilai yang


dianut suatu negara ataupun bangsa tertentu. Setiap negara memiliki budaya
masingmasing. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa budaya antara suatu bangsa
dengan yang lain berbeda. Hal ini dapat dilihat perbedaan antara budaya bangsa
Indonesia dengan budaya Amerika, yang memiliki perbedaan-perbedaan antara lain:

Anak-anak bangsa Amerika mulai dari kecil telah diajarkan nilai individu.
Sedangkan anak-anak bangsa Indonesia diajarkan tentang arti kerja gotong royong dan
manfaatnya nilai-nilai bekerjasama. Pendidikan bagi siswa di Amerika mengajarkan
tentang bagaimana cara berfikir, menganalisis dan bertanya. Sedangkan siswa di
Indonesia lebih diarahkan dalam menerima setiap masukan dari gurunya. Sehingga
adanya perbedaan budaya kedua bangsa ini terlihat juga mengakibatkan perbedaan
prilaku pekerja anggota suatu organisasi dari sebuah perusahaan sangat berkaitan erat
dengan setiap kepentingan diri dan diantara kedua bangsa. Adapun pekerja Amerika
terlihat lebih kompetitif dan memfokuskan ke pada kepentingan pribadi daripada pekerja
Indonesia.

B. Pengaruh budaya Amerika terhadap manajemen Amerika

Setidaknya terdapat 3 alasan untuk dengan singkat memfokuskan diri pada


budaya amerika dan gaya manajemen. Pertama, adalah penting bagi para pembaca
amerika untuk mengetahui elemen-elemen budaya yang memengaruhi berbagai
keputusan dan perilaku. Kesadaran diri seperti itu akan membantu par pembaca amerika
beradaptasi dalam bekerjasama dengan rekan yang berada dalam budaya lain. Kedua,
bagi para pembaca yang baru mengenal budaya amerika, memahami rekan-rekan bisnis
anda yang berasal dari amerika serikat dengan lebih baik hmerupakan hal yang
bermanfaat. Pasar AS merupakan pasar ekspor terbesar di dunia. Dan, semoga saja,
pengetahuan ini akan membantu semua orang untuk menjadi lebih sabar ketika
melakukan bisnis di luar perbatasan. Ketiga, sejak akhir tahun 1990-an, budaaya bisnis
amerika telah di ekspor ke seluruh dunia, seperti halnya pada tahun 1980-an ketika
praktik-praktik manajemen jepang dicontoh hamper di smeua tempat. Prkatik-praktik
manajemen yang dikembangkan di lingkungan AS tidak akan sesuai dan bermanfaat di
semua tempat. Hal itu sangat jelas. Jadi, memahami pola dasar Amerika akan membantu
semua orang untuk membuat keputusan tentang penerapan, penggunaan, atau penolakan
prkatik-praktik Amerika. Tentu saja, nasihat dari Peter Drucker akan sering digunakan :
“orang-orang yang berbeda harus diatur secara berbeda.”

Terdapat banyak pandangan yang berlainan sehubungan dengan pemikiran paling


penting yang menjadi dasar dari konsep budaya AS yang normative. Pandangan-
pandangan yang paling sering muncul dalam diskusi tentang evaluasi lintas budaya
dinyatakan sebagai berikut:

1. Sudut pandang “pemilik nasib”


2. Perusahaan bebas sebagai sarana aksi social
3. Seleksi personel dan penghargaan yang berdasarkan pada jasa
4. Keputusan-keputusan yang berdasarkan pada analisis objektif
5. Berbagai dalam pembuatan keputusan
6. Pencarian kemajuan yang tak ada habisnya
7. Kompetisi yang menghasilkan efisiensi

Filosofi “pemilik nasib” merupakan dasar dari pemikiran manajemen AS.


Singkatnya, orang bisa memengaruhi masa depan secara substantial; mereka memegang
kendali atas nasib mereka sendiri. Sudut pandang ini juga mencerminkan sikap yang
memberi orang kendali atas nasib mereka, walaupun keberuntungan mungkin
memengaruhi masa depan, pertimbangan, ketekunan, kerja keras, komitmen untuk
memenuhi berbagai pengharapan, dan penggunaan waktu yang efektif.

Di amerika serikat, pendekatan pada perencanaa, pengendalian, pengawasan,


komitmen, motivasi, penjadwalan, dan batas waktu dipengaruhi oleh konsep bahwa
settiap individu bisa mengendalikan masa depan mereka. Dari hal tersebut dapat kita lihat
bahwa Amerika Serikat mendapat nilai paling tinggi dalam skala individualism Hofstede.

Penerimaan pikiran bahwa perusahaan bebas merupakan suatu sarana untuk aksi
social merupakan konsep dasar dari korporasi AS. Sebuah korporasi diakui sebagai salah
satu entitas yang memiliki peraturan dan kontinuitas keberadaan, dan merupakan sebuah
institusi social yang vital dan terpisah. Pengakuan ini bisa menimbulkan rasa kewajiban
yang besar untuk melayani perusahaan. Tentu saja, perusahaan tersebut mungkin lebih
diutamakan daripada keluarga, teman-teman atau aktivitas-aktivitas yang mungkin
mengurangi apa yang terbaik bagi perusahaan. Ini sangat kontras dengan pendirian yang
dimiliki oleh orang-orang meksiko, yang sangat yakin bahwa hubungan personal lebih
penting dalam kehidupan sehari-hari, bila dibandingkan dengan pekerjaan dan
perusahaan, dan orang cina, yang menganggap penting kumpulan pemegang saham yang
lebih luas.

Yang konsisten dengan pandangan bahwa setiap individu mengendalikan nasib


mereka sendiri adalah keyakinan bahwa seleksi personel dan penghargaan harus
diberikan berdasarkan pada jasa. Seleksi, promosi, motivasi, atau pemecatan personel
oleh manajer-manajer AS menekankan keharusan untuk memilih orang-orang yang
paling berkualifikasi dalam pekerjaannya, memelihara mereka selama kinerja mereka
memenuhi standar pengharapan dan meneruskan peluang untuk mobilitas ke atas selama
standar-standar tersebut dipenuhi. Dalam budaya lain dimana persahabatan atau ikatan
keluarga mungkin lebih penting daripada vitalitas perusahaan, kriteria untuk seleksi,
organisasi, dan motivasi sangat berbeda dengan kriteria yang ada di perusahaan-
perusahaan AS.

Keyakinan yang teramat kuat di Amerika Serikat bahwa keputusan bisnis


didasarkan pada analisis objektif, dan bahwa para manajer berusaha keras untuk menjadi
ilmiah memiliki pengaruh yang sangat besar pada sikap manajer AS terhadap objektivitas
dalam pembuatan keputusan dan akurasi data. Meskipun pertimbangan dan intuisi
merupakan kriteria yang penting untuk membuat keputusan, sebagian besar manajer AS
yakin bahwa berbagai keputusan harus didukung dan berdasarkan pada informasi yang
akurat dan relevan. Oleh karena itu, dalam bisnis AS, perhatian yang besar diberikan
pada pengumpulan dan aliran informasi yang bebas ke semua tingkat dalam organisasi,
dan pada keterusterangan ungkapan dalam evaluasi opini dan keputusan bisnis. Dalam
budaya yang lain, dukungan yang factual dan rasional pada berbagai keputusan tidak
sama pentingnya dengan yang ada pada budaya Amerika; akurasi data dan bahkan
laporan data yang lengkap bukan merupakan prasyarat utama. Selain itu, data yang ada
acap kali hanya diberikan untuk orang-orang tertentu saja. Keterusterangan ungkapan dan
keterbukaan dalam menghadapi karakteristik data dari bisnis-bisnis AS tidak bisa
diterapkan dangan mudah dalam beberapa budaya.
C. Pengaruh budaya Indonesia terhadap manajemen Indonesia

Setelah membahas masalah manajemen, budaya, nilai dan sikap secara umum
maka dibahas masalah manajemen Indonesia, Apakah manajemen Indonesia sama
dengan manajemen gaya Jepang atau Amerika?

Tidaklah mudah membahas manajemen khususnya manajemen Indonesia, sebab


perlu melalui dengan penemuan konsep kebudayaan. Dengan demikian kita perlu
membahas dan menelaah bagaimana konsep budaya Indonesia. Pertama sekali yang
perlu disadari bahwa bangsa indonesia memiliki budaya yang beraneka ragam yang
sering dlsebut dengan "Bhinneka Tunggal Ika". Adanya berbagai perbedaan budaya
atau sistem nilai diantara sesama masyarakat Indonesia sudah tentu akibatkan
perbedaan reaksi terhadap unsur-unsur manajemen.

Bila kita tinjau nilai-nilai luhur bangsa Indonesia termuat secara mengkristal
dalam Pancasila. Walaupun demikian kita tidak dapat menyebutkannya sebagai
manajemen Pancasila karena Pancasila adalah pedoman dan penghayatan seseorang
sebagai warga Indonesia sedangkan cakupan manajemen sangat erat kaitannya dengan
gaya nimpinan seorang manajer, pengambilan keputusan, hubungan antar manusia dan
lainya. Untuk itu dalam menyusun konsep manajemen Indonesia, Pancasila perlu kan
lebih rinci dalam nilai dan aturan-aturan yang lebih khusus bagi masing-masing
kegiatan, ataupun profesi yang dapat diaplikasikan oleh para Manajer Indonesia
sehingga merupakan pedoman bertindak dalam pekerjaan manajemen.

Manajemen Indonesia dalam perkembangannya akan mempengaruhi


perkembangan ekonomi dan masyarakat Indonesia yang diharapkan menjadi bangsa
mandiri yang bisa melepaskan diri dari berbagai kesulitan hidup yang menerpa bangsa
ini sejak tahun 1997 akhir.

Dalam upaya mengembangkan sistem manajemen yang cocok di Indonesia


telah dilakukan berbagai seminar, diskusi bahkan penelitian di berbagai perguruan
tinggi di Indonesia. Salah satu penelitian dilakukan oleh Dr. Andrean A. Damandjaja
dalam upaya identifikasi sistem manajemen pada masyarakat Indonesia yaitu mengenai
pola sistem nilai manajer di Indonesia menyatakan :

Para manajer beranggapan bahwa tempat mereka bekerja cukup penting, yang
berorientasi pada hubungan vertikal yaitu pemilik harus dihormati, berpendidikan
cukup tinggi, memiliki kesetiaan bersyarat (perhitungan) tergantung dari kepuasan yang
diberikan perusahaan, rekan kerja merupakan bagian dari pekerjaan, tidak menganggap
bawahannya aset yang harus dijaga sedangkan untuk luar organisasi para manajer tidak
merasa perlu terlalu memperhatikan pihak konsumen, masyarakat, sedangkan
pemerintah sangat perlu diperhatikan sebagai salah satu faktor penentu perubahan suatu
organisasi.

Bila dilihat dari gambaran diatas, profil manajer di Indonesia kurang


memperhatikan kepentingan lingkungannya dan masih sangat mementingkan diri atau
individunya. Sangatlah pesimis Indonesia dapat bangkit dengan perekonomiannya bila
para manajer di Indonesia tidak rnengubah sikap dan sistem nilainya ke arah yang
berorientasi sosial.

2.3 Tipe Organisasi

A. Tipe Organisasi di Amerika


Adapun Tipe Amerika menunjukkan:
1. Para karyawan selalu bekerja berpindah-pindah pekerjaan.
Bagi orang Amerika untuk mencari kesempatan, kemajuan, dan perubahan karir dengan
cara berpindah di antara majikan dan organisasi merupakan hal yang biasa.
2. Dalam pengambilan keputusan selalu bersifat pribadi.
Umumnya orang Amerika cenderung rnempercayai pertimbangan individual dan lebih
suka membuat keputusan Sendiri.
3. Mempunyai tanggung jawab individual.
Para pekerja Amerika lebih suka berinisiatif secara pribadi dan memikul tanggung
jawabnya sebagai individu bukan kelompok.
4. Kemajuan yang cepat
Keberhasilan para karyawan diukur dengan cepat dimana para karyawan secara
ekonomi dan sosial mendapatkan kemajuan yang cepat, dengan suatu kelebihan.
5. Spesialisasi dalam karier
Pada organisasi di Amerika didasarkan pada spesialisasi keterampilan dan tenaga kerja;
Karyawan menciptakan intensitas dalam perilaku karir dan mengikuti jalur karier yang
khusus.
6. Mekanisme pengendalian yang eksplisit
Organisasi di Amerika memiliki standar dan pengendalian yang eksplisit dalam
pekerjaan dan penilaian sehingga para karyawan menginginkan mekanisme
pengedalian yang eksplisit serta petunjuk-petunjuk kerja.
7. Perhentian yang terpusat pada karyawan (Focused Concern for Employees).
Perusahaan-perusahaan Amerika cenderung hanya memandang peran karyawan pada
pekerjaan mereka dan, memberikan sedikit perhatian secara menyeluruh seperti
keluarga, masalah-masalah sosial, kesehatan pribadi, dan kesejahteraan umum.
B. Tipe Organisasi di Indonesia
Meskipun diakui bahwa unsur-unsur manajemen bersifat universal secara umum,
namun dalam prakteknya saat pengimplementasikan dalam suatu aktivitas, mau tidak
mau perilakunya dalam organisasi pasti dipengaruhi oleh budaya yang dianut oleh
anggota yang ada di dalamnya. Termasuk juga hal ini berlaku bagi pranata/organisasi
yang ada di Indonesia, terlebih lagi seperti yang dikatakan oleh Astrid S. Susanto yang
menyatakan perlu disadari bahwa manusia Indonesia dalam latar belakang budayanya
tidaklah sama, hal mana telah melahirkan semboyan Bhineka Tunggal Ika (Astrid S.
Susanto dalam Marbun, 1980 : 70-71). Astid S. Susanto menyatakan lebih lanjut
bahwa gambaran awal ciri-ciri kebudayaan manusia Indonesia yang dapat digunakan
sebagai pangkal tolak pemahaman suasana dan kebudayaan organisasi Indonesia perlu
mencakup pengamatannya sendiri bahwa :
a) Manusia Indonesia masih bersifat manusia dalam pengorganisasian organis
daripada dalam pengorganisasian mekanis (Emille Durkheim). Dengan
sendirinya sikap demikian adalah baik dan tentu bentuk idealnya adalah
suatu campuran dari keduanya.
b) Manusia Indonesia menunjukkan keinginan untuk bertahan dalam
lingkungan solidaritas organis daripada solidaritas mekanis.
c) Walaupun pada satu pihak, suatu organisasi/instansi memang merupakan
unit ekonomi di mana orang mencari nafkah dan perbaikan nasibnya,
langkah tersebut dilaksanakannya karena mereka terpaksa.

Hal mana berarti menerima nilai organisasi atau kepentingan instansi/organisasi


sebagai kepentingan sendiri adalah sangat jarang. Dalam berhubungan dengan manusia
lainnya, manusia Indonesia selalu berpijak dari penilaian kedudukan sosialnya terhadap
lawan hubungannya, apakah sejajar, lebih tinggi atau lebih rendah. Bagi manusia
Indonesia, kesamaan atau ketidaksamaan kedudukan sosial sama wajarnya. Berperilaku
seolah-olah tidak ada perbedaan kedudukan sosial malah tidak wajar. Masyarakat ditata
menurut dimensi horizontal dan vertikal : ada yang berkedudukan sama, ada yang lebih
yunior, ada yang perlu dituakan. Pada umumnya yang dituakan harus bersifat mengasuh
dan melindungi. (Franz Magnis Suseno, 1985 : 60-63). Sifat “solider organik”, dengan
berbagai konotasinya seperti keakraban, keselamatan, kebersamaan dan sebagainya
terpadu dengan sifat “hirarki’ dengan konotasinya perlindungan, kesetiaan,
penghormatan dan sebagainya dalam suatu pranata atau lembaga yang disebut
“kekeluargaan”. Karena sifat “kekeluargaan”nya , manusia Indonesia dengan merasa
sangat wajar menyapa lawan bicaranya sekelompok organik dengan sebutan-sebutan
yang berasal dari sebuah keluarga seperti Bapak, Ibu, Saudara secara penuh dalam
suatu acara resmi (Joedono, 1987). Sikap kebudayaan tradisional yang meresapi
pergaulan hidup manusia Indonesia adalah kecenderungan untuk berusaha
mempertahankan kesepakatan, kedamaian, keadaan saling membantu, dan saling
menerima satu sama lain dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, diantara
tetangga, di tempat kerja, di dalam masyarakat dan sebagainya. Setiap orang wajib
menghindari setiap sikap dan perbuatan yang dapat menimbulkan perasaan tidak enak,
ketegangan, keresahan, pertikaian terbuka, yang di dalam masyarakat Jawa disebut
dengan “rukun”. (Frans Magnis Suseno, 1985 ; 39). Ciri kebudayaan manusia
Indonesia lainnya yang sangat banya berpengaruh dalam kehidupan berorganisasi
adalah bermusyawarah menuju mufakat, dan memutuskan segala sesuatu atas dasar
konsensus diantara seluruh kelompok organik, sekurang-kurangnya diantara kelompok
seangkatan pengalaman (peer group). Namun demikian, dewasa ini masyarakat
Indonesia sudah tidak lagi berada pada tatanan masyarakat tradisional seluruhnya,
disebabkan dengan terbuka lebarnya arus informasi yang berakibat dengan
menggejalanya sikap mendunia (globalisasi), di mana semuanya itu berpengaruh
terhadap perilaku kehidupan masyarakat yang merupakan campuran antara nilai-nilai
tradisional dan modern.

Astrid S. Susanto (dalam Marbun, 1980 : 70-72), menyatakan dalam kehidupan


organisasi di Indonesia, instansi masih dilihat sebagai lanjutan kehidupan solidaritas
organisasinya, sehingga terbentuklah suasana organisasi (organization climate) dan
budaya organisasi (organization culture) khas Indonesia yang sedikit banyak masih
ditandai oleh sifat budaya tradisional seperti solider organik, hierarkis, rukun dan
musyawarah. Hal ini bisa dilihat pada suasana santai, akrab dan suasana seperti di
rumah, yang dibawa ke tempat kerja. Kebiasaan ngobrol (istilah jaman sekarangnya
disebut ngerumpi) dan bekerja yang santai waktu jam kerja menunjukkan adanya nilai
keakraban sosial yang masih dianggap lebih penting daripada sikap lugas (zakelijk)
waktu kerja. Bila memungkinkan, semua suka-duka (terutama duka) kehidupan pribadi
diharapkan akan dapat dipecahkan oleh atasan. Namun demikian, menurut Danandjaja
(1986 : 85) gambaran seperti itu tidak lagi merupakan gambaran yang lengkap. Wong
cilik termasuk karyawan pada level bawah, sudah mulai merasuk dalam tata nilai
manusia Indonesia. Dampaknya tidak hanya para profesional dan manajer muda yang
tumbuh pragmatis dan akusentris, akan tetapi telah tumbuh pula “manajer yang
autokratik dan berpikir jangka pendek”. Danandjaja dalam penelitiannya menemukan
bahwa manajer Indonesia lebih mementingkan keuntungan jangka pendek; walaupun
mengerti manfaatnya, tidak menganggap realistik investasi jangka panjang; meskipun
berakibat di bebas tugaskannya sekelompok karyawan, cenderung menjual saja salah
satu pabrik lama, demi pengadaan dana untuk membangun pabrik bari; membatasi
penyediaan dana untuk program latihan hanya pada mereka yang memang masih dapat
dikembangkan lebih lanjut; dan hanya mau mengeluarkan dana terbatas, nila perlu
sekecil mungkin untuk fasilitas di tempat kerja seperti kafetaria dan kamar kecil.
Manajer seperti tersebut di atas, kata Danandjaja (1986 : 104) lebih suka pada suasana
yang menyenangkan, lebih suka orang yang sangat populer tapi kurang kreatif daripada
yang kreatif tetapi kurang populer, tidak suka konflik walaupun itu berarti kemajuan,
dan lebih memberikan wewenang pada anak buah yang hanya terbatas pada
pelaksanaan tugas.

Hal hampir senada dikemukakan pula oleh Budi Paramita (1992 : 10) yang
mengatakan gaya manajerial di Indonesia bersifat antara lain, paternalistik dan
otokritik. Suatu jenis pengendalian yang bersifat langsung dan pribadi dengan
wewenang dipusatkan pada pucuk pimpinan. Ini sesuai dengan dalih yang muncul dari
gambaran di atas, yang menunjukkan bahwa suatu pengendalian hierarkis yang ketat
dalam suatu organisasi merupakan cara paling efektif dalam masyarakat yang bersifat
otoriter. Berikut ini adalah Profil Manajer Indonesia menurut hasil temuan Danandjaja
(1986 : 150) : 1. Bagi para Manajer, perusahaan adalah wujud lain dari pemilik, yang
patut dihormati dan dituruti segala kehendaknya dengan taat. Ucapan “terserah
bagaimana maunya perusahaan”! sangat mudah diucapkan oleh Manajer di Indonesia,
terutama kalau sedang frustasi. Karena tidak ada ikatan lain kecuali sebagai wadah
tempat ia memperoleh kesempatan kerja, jaminan dan keamanan, maka para Manajer
tersebut akan cenderung untuk keluar dari perusahaannya begitu saja kalau hal-hal
tersebut tidak dipenuhi. 2. Bagi para Manajer, pemilik adalah orang yang sampai batas
tertentu dapat memberikan kesempatan memperoleh apa yang dibutuhkannya. Sesuai
dengan orientasi vertikalnya, para Manajer akan menghormati pemilik, dan malah
sering menganggapnya sebagai orang tua yang mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab moral untuk memelihara anak buah dan menjamin keberhasilannya. Profil
Manajer seperti tersebut di atas, sejalan dengan temuan Astrid S. Susanto (dalam
Marbun, 1980 :73-74) bahwa pegawai, dalam hal ini Manajer profesional
mengharapkan adanya solidaritas organik di dalam perusahaannya yang diidentikkan
dengan pemilik. Harapan tersebut sedemikian besarnya sehingga ia akan merasa sangat
kecewa dan sering merasa sakit hati bila apa yang diharapkan dari pemilik tidak
terpenuhi. Sejauh pemilik perusahaan dapat memuaskan kebutuhankebutuhannya, ia
akan bekerja dengan setia. Akan tetapi bila kepuasan itu tidak lagi dapat dicapai, maka
ia akan pergi. Hal ini sering tidak dapat dimengerti oleh pemilik, yang kebanyakan
masih menganggap bahwa bawahannya yang diberi pekerjaan dan upah itu, dianggap
bahwa bawahannya yang diberi pekerjaan dan upah itu, harus tahu diri dan tidak
menghianatinya (Danandjaja,1986 : 151). Danandjaja juga mengemukakan bahwa
kecuali jika rekan kerja Manajer adalah sahabat karib yang mempunyai hubungan lebih
daripada sekedar rekan kerja biasa, tidak ada piiran dibenaknya bahwa sesama rekan
kerja adalah orang-orang yang berbagi nasib dan hari depan, yang ikut menentukan dan
menanggung hidup perusahaan dan kebahagiaan hidup semuanya. Dikatakannya
bahwa hal tersebut pertanda bahwa nilai-nilai seperti gotongroyong dan sebagainya
tidak lagi diikuti : sistem nilai yang berperan pada para Manajer lebih menunjukkan
individualisme dan konsentrasi pada keberhasilan pribadi. Hal tersebut tampaknya
benar. Namun masih benar juga bahwa para Manajer merasa sangat kecewa, malah
sakit hati, jika apa yang dilihatnya sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral
atasan/pemilik untuk memelihara anak buah dan menjamin keberhasilannya tidak
terwujud, dan bahwa atasan/pemilik merasa dikhianati jika bawahan keluar dari
perusahaan. Perasaan-perasaan demikian justru menunjukkan bahwa orang secara
emosional masih terikat pada hal tersebut, dan oleh karena itu masih tetap
menginginkan terwujudnya solidaritas organik. Charles hendy (dalam Budi Paramita,
1992 : 11) mengemukakan adanya 4 macam budaya organisasi, yakni budaya
organisasi berdasarkan kekuasaan, peran, tugas dan orang. Gambaran singkat masing-
masing jenis budaya organisasi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Budaya Berdasarkan Kekuasaan Budaya yang seperti ini paling banyak terdapat di
Indonesia. Strukturnya bisa digambarkan seperti jaring laba-labanya berada di pusat.
Pusat kekuasaan tidak harus selalu merupakan seseorang individu sebagai penguasa
tunggal, melainkan dapat juga terdiri dari sekelompok kecil manusia yang memegang
kekuasaan organisasi. Pada umumnya organisasi seperti ini merupakan suatu organisasi
politis, mengingat keputusan organisasi lebih merupakan hasil imbangan kekuatan yang
ada daripada atas dasar prosedur atau tindakan yang wajar dan masuk akal. Kekuatan
organisasi semacam ini terletak pada kecepatan pada tindakan dan lebih tanggap dalam
menghadapi ancaman dan perubahanperubahan. Bagi karyawan yang berorientasi
politis, senang berkuasa, suka mengambil atau mencari resiko dan kurang
mementingkan keamanan, organisasi semacam ini merupakan lingkungan kerja yang
paling menawan hati. Pengendalian kekuatan dan arah kegiatan dilakukan atas dasar
pengendalian dana dan sumber dana.

2. Budaya Atas Dasar Peran Budaya peran sebetulnya adalah budaya birokrasi.
Menurut Weber (dalam Gerth dan Wright, 1958 : Bab 8), organisasi yang berdasarkan
birokrasi yang benar umumnya lebih sempurna dibandingkan organisasi bentuk lain,
dikarenakan memiliki ketepatan da kecepatan bertindak serta mengurangi biaya bahan
maupun biaya pegawai. Sebagian dari penalarannya mengenai efektivitas birokrasi
adalah disiplin yang superior dan adanya pengendalian atas tingkat peran. Semua
pekerjaan dilakukan secara teratur, sistematis dan rutin. Organisasi peran sangat efisien
dan efektif dalam lingkungan yang stabil, atau bilamana lingkungannya dapat
dikendalikan dengan jalan monopoli misalnya. Organisasi jenis ini khususnya berguna
bagi organisasi yang lebih memerlukan skala ekonomi besar dibandingkan fleksibilitas,
atau dalam hal keahlian teknis dan spesialisasi yang mendalam lebih penting daripada
pengembangan dan biaya produksi. Kelemahannya adalah kurangnya kepakaan
terhadap perubahan lingkungan dan lambatnya melakukan penyesuaian yang
diperlukan. Bagi karyawan yang menyukai kepastian, dan jaminan hidup bekerja dalam
organisasi, peran memberikan ketenangan besar. Sebaliknya bagi mereka yang ingin
mengendalikan pekerjaannya sendiri atau menginginkan kekuasaan, organisasi
semacam ini sangat mengecewakan baginya.

3. Budaya Atas Dasar Tugas Budaya ini berusaha mengumpulkan sumber daya manusia
yang tepat untuk dapat melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya sebab orientasinya
terhadap penyelesaian pekerjaan/tugas. Organisasinya dapat digambarkan sebagai suatu
matriks antar fungsi atau keahlian dengan pekerjaan. Pengaruhnya bersumber pada
kekuatan keahlian dan bukan pada kedudukan atau atas dasar kekuatan pribadi
seseorang. Budaya atas dasar tugas ini merupakan budaya tim atau budaya gotong-
royong dikarenakan demi keberhasilan tugas harus dapat mengatasi konflik yang dapat
timbul disebabkan perbedaan kepentingan pribadi, perbedaan status dan cara kerja.
Ada keunggulan positif budaya ini, yaitu peka atau lentur terhadap perubahan
lingkungan, dan sangat berguna bilamana organisasi menghadapi pasar yang sangat
bersaing, terutama jika produk yang dihasilkan bersiklus pendek. Namun ada juga segi
negatifnya, yaitu pengendaliannya agak sukar dan mudah bergeser menjadi budaya
peran atau kuasa. Pengendalian hanya dapat dilakukan

4. Budaya Berdasar Orangnya Mengingat organisasi diciptakan biasanya hanya untuk


melayani anggotanya, seperti kelompok sosial, pagayuban, dan juga organisasi
informal, maka budaya jenis ini didasarkan atas pribadi-pribadi dan umumnya jarang
digunakan untuk tujuan ekonomis. Organisasinya praktis, tidak berstruktur dan seolah
merupakan sekumpulan manusia saja yang hanya mempunyai tujuan bersama, serta
kurang mementingkan tujuan masing-masing. Jenjang kewenangan dan alat
pengendalian sukar tumbuh dalam budaya seperti ini, kecuali saling mufakat
sebelumnya. Unsur pemersatu yang diperankan oleh seseorang dalam kedudukan lebih
tinggi tidaklah ada, kalaupun ada sesuatu kekuasaan, itu hanya bersumber pada
pengaruh kepribadian seseorang. Umumnya budaya organisasi seperti ini tidak bersifat
langgeng.

Dari paparan tersebut, kelihatannya Charles handy menekankan bahwa pencapaian


tugas menurut sifatnya harus didukung oleh kebudayaan yang serasi, dan ini berarti
harus sesuai dengan budaya masyarakatnya. Pendapat ini sama dengan Peter F.
Drucker (1977 : 7), yang mengatakan manajemen menyandang fungsi sosial.
Manajemen tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau bagian dari masyarakat yang
dilayaninya, sehingga tak terlepas dari kaitan budaya yang disandang oleh masyarakat
yang dilayaninya. Budaya itu bahkan tampil sebagai terpadu dalam keseluruhan
manajemen tersebut. Demikian juga tampaknya senada dengan pendapat Astrid S.
Susanto yang menyatakan bawha meskipun diakui bahwa unsur-unsur manajemen
bersifat universal secara umum, namun dalam prakteknya saat mengimplementasikan
dalam suatu aktivitas, mau tidak mau perilakunya dalam organisasi pasti dipengaruhi
oleh budaya yang dianut oleh anggota yang ada di dalamnya. Terlebih lagi dengan
bangsa Indonesia yang begitu banyak memiliki suku dengan budanya masingmasing,
hingga melahirkan apa yang dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika, yang secara
langsung maupun tak langsung mempengaruhi organisasi dan manajemen yang ada.
(Astrid S. Susanto dalam Marbun, 1980 : 70-71).

2.4 Bentuk motivasi yang di berikan oleh pemimpin kepada para karyawannya

Motivasi adalah Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong
keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan (T. Hani
Handoko 2003:252).

Tujuan dari Motivasi


Tujuan motivasi menurut Malayu S.P. Hasibuan (2005:146) adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan.
b. Meningkatkan produktivitas kerja karyawan.
c. Mempertahankan kestabilan karyawan perusahaan.
d. Meningkatkan kedisiplinan karyawan.
e. Mengefektifkan pengadaan karyawan.
f. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik.
g. Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi karyawan.
h. Meningkatkan kesejahteraan karyawan.
i. Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya.
j. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku

A. Cara memberikan motivasi kepada karyawan di negara Amerika

Pada perusahaan di negara amerika mereka memberikan motivasi bukan dengan


menggunakan kenaikan gaji akan tetapi melakukan pendekatan terhadap para karyawan dengan
cara memberikan suatu benefit atau keuntungan kepada karyawan seperti memberikan setiap
karyawan tiga YDOs (Your Days Off) atau hari libur anda tiap tahunnya tanpa pertanyaan dari
perusahaan. Dengan hal seperti ini mendorong para karyawan untuk melakukan yang terbaik
baik di dalam maupun diluar jam kerja.

Kelemahan dari pemberian motivasi ini adalah jika pada saat perusahaan mengalami
situasi krodit/tidak terkendali dan ada karyawan yang ingin mengambil YDOs itu akan
berdampak negatif pada perusahaaan, dan membuat kredibilitas perusahaan menurun
dikarenakan kualitas dari karyawannya tidak baik.

B. Cara memberikan motivasi kepada karyawan di negara Indonesia

Dalam memberikan motivasi di negara Indonesia menggunakan du acara yaitu motivasi


berupa materi dan motivasi berupa non materi. Motivasi berupa materi dapat di berikan berupa
kenaikan gaji kepada para karyawan. Motivasi ini mudah untuk dilihat dan untuk di kuantifikasi
karena motivasi ini dapat dirasakan secara langsung oleh para karyawan. Sedangkan pemberian
motivasi secara non materi adalah pembrian motivasi berupa kenaikan pangkat/jabatan, pujian,
dan bisa juga dengan cara senioritas. Cara senioritas menjadi cara pemberian motivasi yang
paling sering digunakan dalam suatu perusahaan di Indonesia karena dengan motivasi ini dapat
membentuk para talenta muda yang ingin mbertumbuh cepat sesuai dengan minat dan kebutuhan
perusahaan. Alhasil, cara memotivasi karyawan paling sahih tak lain dengan mempraktikan
manajemen kinerja tanpa syarat.

2.5 Gaya kepemimpinan di dalam suatu perusahaan

Definisi dari kepemimpinan

Menurut Ariani (2003:95) kepemimpinan merupakan proses pemberian pengaruh yang tidak
memaksa. Pengertian kepemimpinan yang dikutip oleh Paul Hersey and Blanchart (1977:83-84)
dalam bukunya “Management Organization Behavior” adalah sebagai berikut:

1. Leadership is the activity of influencing exercised to strive willingly for group


objectives (George P. Terry).
2. Leadership as interpersonal influence exercised in situation an dericted, through the
communication process, toward the attainment of a specialized goal the goals (Robert
T, Irving R. Wischler, Fred Nassarik).
3. Leadership is influencing people to follow in the achievement of a common goal
(Harold Koonte and Cyril O’Donnell).
Wahjosumidjo (1987:11) menjelaskan bahwa butir-butir pengertian dari berbagai kepemimpinan
pada hakikatnya di beri makna:

1. Kepemimpinan adalah suatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang berupa
sifat-sifat tertentu seperti: kepribadian (personality), kemampuan (ability), dan
kesanggupan (capability).
2. Kepemimpinan adalah rangkaian kegiatan (activity) pemimpin yang tidak dapat
dipisahkan dengan kedudukan serta gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri.
3. Kepemimpinan adalah sebagai proses antar hubungan atau interaksi antara pemimpin,
pengikut dan situasi.

Fungsi-fungsi dari kepemimpinan

Agar kelompok atau organisasi berjalan dengan efektif, makan seorang pemimpin harus
melaksanakan dua fungsi utama yaitu sebagai berikut:

1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas (task related) atau pemecahan masalah
Fungsi ini mencakup pada penetapan struktur tugas, pemberian saran penyelesaian,
informasi dan pendapat.

2. Fungsi yang berhubungan dengan pemeliharaan kelompok atau social


Fungsi ini mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok atau organisasi
berjalan lebih baik atau efektif, persetujuan dengan kelompok lain, penengahan
perbedaan pendapat, dan sebagainya.

A. Gaya kepemimpinan di perusahaan amerika

Di Amerika perusahaan berbentuk korporasi dengan modal yang besar dan jumlah
karyawannya pada umumnya lebih dari pada 100 orang. Gaya kepemimpinannya menuju
kepada system otonomi atau dengan kata lain, struktur organisasinya menuju kepada
desentralisasi. Jenis kepemimpinan perusahaan di negara amerika diberi istilah Unitary Board.
Menurut Jhon H. Jackson dan Vernon A (1989) system perusahaan amerika didasarkan atas
pemilihan kekayaan swasta dan karakteristik system bisnis amerika bersifat spesialisasi, saling
bergantung dan operasi berskala besar.

B.Gaya kepemimpinan di perusahaan Indonesia

Gaya kepemimpinan pada perusahaan di Indonesia berfokus pada 3 hal yaitu


1. Penghargaan kepada karyawan
2. Memotivasi karyawan
3. Melatih karyawan

Gaya kepemimpinan di Indonesia mengikuti system two-tier board dimana dewan komisaris
yang mewakili pemegang saham dipisahkan dengan dewan direksi yaitu manajemen yang
mengelola perusahaan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Setelah memaparkan berbagai pengertian, definisi, hasil temuan penelitian
dan pendapat-pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum
manajemen adalah proses pencapaian tujuan melalui dan bersama orang lain. Agar
pencapaian tujuan dapat dilakukan secara efektif dan efisien, perlu ada koordinasi
dari semua orang yang ada di dalamnya. Manajemen dalam usaha koordinasinya
harus memperhatikan 3 unsur, yakni unsur teknis dan unsur manusia, serta
hubungan diantara kedua unsur tersebut. Dari unsur-unsur tersebut, faktor budaya
lebih banyak mempengaruhi unsur manusia daripada unsur teknisnya. Dikarenakan
kedua unsur saling berkaitan, maka manajemen secara keseluruhan tidak akan pernah
bebas dari pengaruh budaya. Manajemen Indonesia yang banyak mengadopsi manajemen
barat (Amerika dan Eropa Barat) dan timur (Jepang dan Cina), tampaknya tidak luput dari
pengaruh faktor budaya tradisional yang ada di tengah-tengah masyarakat. Apalagi belum
ditemukannya secara pas bentuk manajemen Indonesia, menjadikan manajemen yang
dijalankan selama ini mencampurkan berbagai macam bentuk atau gaya yang ada, serta
ditambah dengan faktor budaya di mana organisasi tersebut berada.
Namun dari berbagai hasil temuan para peneliti dan dari berbagai tulisan
yang ada. Manajemen Indonesia secara umum bercirikan diantaranya adalah :
1. Bersifat budaya tradisional seperti solider organik, hierarkis, rukun dan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam mengembalikan keputusan
(Astrid S. Susanto, 1980).
2. Bersifat pragmatis, akusentris dan dalam beberapa tahun terakhir bersifat
otokritik dan berpikir jangka pendek (Danandjaja, 1986).
3. Bersifat rutin, formalistik, kurang tersentralisasi, kurang berkomunikasi tugas,
umumnya lebih dikoordinasi melalui rencana daripada saling menyesuaikan,
namun tidak selurhnya birokratis serta bersifat paternalistik dan otokritik
(Budi Paramita, 1992).
Daftar Pustaka

Herujito, Yayat .M. 2001. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Grasindo.

Purboadji, Aristo. Demokrasi kuat, Mimpi buruk Koruptor. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Agung, A.M. Lilik. 2015. CEO WISDOM : Strategi 25 pemimpin Asli Indonesia dalam
Membesarkan Organisasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian 2.
Jakarta: IMTIMA.

Cateora, R. Philip dan L. Jhon Graham. 2007. International Marketing Pemasaran


Internasional. Jakarta: Salemba Empat.

Soekarso dan Iskandar Putong. 2015. Kepemimpinan: Kajian teoritis dan Praktis Volume 1
dari kepemimpinan edisi 1. Jakarta: Buku&Artikel Karya Iskandar Putong.

Handoko, T. Hani. 1984. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE

Robbins, Stephen P. 2009. Buku Manajemen Jilid 1 Edisi 10. Jakarta: Erlangga

________________. 2010. Buku Manajemen Jilid 2 Edisi 10. Jakarta: Erlangga

Mas’ud, Fuad. 2004. Jurnal Studi Manajemen dan Organisasi: Mitos Keuniversalan Teori
Manajeman Amerika Volume.1. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Perpustakaan Ekstensi Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro: Semarang

Dalimunthe, Ritha. 2003. Manajemen Indonesia. Tugas Akhir. Tidak Diterbitkan. Jurusan
Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatra Utara: Medan

Rini, Endang Sulistya. 2002. Manajemen Indonesia: Perpaduan Manajemen Barat Dan Timur
Serta Budaya Tradisional. Tugas Akhir. Tidak Diterbitkan. Jurusan Manajemen Fakultas
Ekonomi Universitas Sumatra Utara: Medan

Anda mungkin juga menyukai