Anda di halaman 1dari 45

MANAJEMEN

“Perbandingan Manajemen Indonesia dengan Amerika Serikat”

Oleh: Kelompok 6

Raden Fernando Wijaya Kushendarto (1707532002)

Dewa Gde Yudhi Astawa (1707532011)

I Ketut Dedy Saputera (1707532037)

I Made Dwi Adnyana Putra (1707532042)

Ni Luh Putu Sri Rahayu Dewi (1707532047)

Ni Luh Putu Diah Kesumawati (1707532060)

PROGRAM S1 AKUNTANSI NON REGULER

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas berkat
dam rahmat-Nya lah saya diberi kesehatan dan kesempatan dalam menyelesaikan paper
manajemen ini.

Paper ini sangat penting karena dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam
pengetahuan tentang pengorganisasian. Oleh karena itu di harapkan agar orang yang
membacanya dapat memahami dan menjadi bahan materi. Kemudian tidak lupa juga kami
ucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing mata kuliah Manajemen Ni Nyoman Rsi
Respati, S.E., M.M. karena bimbingan dari beliaulah kami dapat menyelesaikan paper ini
dengan sedemikian rupa. Akhir kata kami berharap agar paper ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Denpasar, 27 April 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................ 2
BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

2.1 Definisi dari manajemen ................................................................................ 3


2.2 Fungsi dari manajemen .................................................................................. 5
2.3 Perbandingan perkembangan manajemen perusahaan Indonesia dan Amerika 6
2.4 Perbandingan budaya dalam manajemen perusahaan Indonesia dan Amerika 17
2.5 Perbandingan etos kerja perusahaan Indonesia dan Amerika ........................ 24
2.6 Perbandingan etika bisnis perusahaan Indonesia dan Amerika...................... 27
2.7 Perbandingan pemberian motivasi perusahaan Indonesia dan Amerika ........ 29
2.8 Perbandingan kepemimpinan perusahaan Indonesia dan Amerika ................ 30
BAB 3 PENUTUP .......................................................................................................... 39

3.1 Kesimpulan..................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 41

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fungsi dari membandingkan dua objek adalah agar mengetahui apakah diantara
keduanya terdapat persamaan dan perbedaan, jika memang ada, bagaimana dan seperti
apa. Pada makalah ini dibahas mengenai perbandingan manajemen perusahaan Indonesia
dan Amerika Serikat. Manajemen di setiap perusahaan diberbagai negara memiliki
perbedaan dan keunikan tersendiri tentang mengatur perusahaan agar dapat mencapai
tujuannya.
Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber
daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Manajemen sangat penting bagi suatu perusahaan untuk mencapai tujuan, untuk menjaga
keseimbangan diantara tujuan-tujuan yang saling bertentangan, untuk mencapai efisiensi
dan efektivitas.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana perbandingan perkembangan manajemen perusahaan Indonesia dan
Amerika Serikat ?
1.2.2 Bagaimana perbandingan budaya dalam manajemen Indonesia dan Amerika
Serikat ?
1.2.3 Bagaimana perbandingan etos kerja perusahaan Indonesia dan Amerika
Serikat ?
1.2.4 Bagaimana perbandingan etika bisnis perusahaan Indonesia dan Amerika
Serikat ?
1.2.5 Bagaimana perbandingan pemberian motivasi perusahaan di Indonesia dan
Amerika Serikat ?
1.2.6 Bagaimana perbandingan kepemimpinan perusahaan Indonesia dan Amerika
Serikat ?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui perbandingan perkembangan manajemen perusahaan
Indonesia dan Amerika Serikat
1.3.2 Untuk memahami perbandingan budaya dalam manajemen Indonesia dan
Amerika Serikat
1.3.3 Untuk mengetahui perbandingan etos kerja perusahaan Indonesia dan Amerika
Serikat
1.3.4 Untuk mengetahui perbandingan etika bisnis perusahaan Indonesia dan
Amerika Serikat
1.3.5 Untuk mengetahui perbandingan pemberian motivasi perusahaan Indonesia dan
Amerika Serikat
1.3.6 Untuk memahami perbandingan kepemimpinan perusahaan Indonesia dan
Amerika Serikat

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI DARI MANAJEMEN


Manajemen itu sendiri berasal dari kata manage. Kata manage berasal dari bahasa
Italia, yaitu maneggiare, di mana kata ini berasal dari bahasa latin, yakni manus yang
berarti hand (tangan). Kata manage dalam bahsaa Perancis berarti house-keeping
(rumah tangga). Dalam kamus Webster’s New Collegiate Dictionary,kata management
diberikan penjelasan sebagai : the act or art of managing, conduct, direction, and
controll.
Di sisi lain banyak ahli manajemen memberi batasan tentang manajemen, yaitu
diantaranya Terry (1972), Robins (1991), Bartol dan Martin (1994) dan Stoner, dkk
(1995).
1. Terry (1972 : 4) menyatakan bahwa manajemen adalah sesuatu proses khas yang
terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
pengawasan yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dengan menggunakan tenaga manusia dan sumberdya lainnya.
2. Robbins (1991 : 5) memberi pengertian manajemen sebagai suatu proses kegiatan
untuk mencapai sesuatu secara efisien melalui orang lain. Proses kegiatan tersebut
terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan pengawasan.
3. Bartol dan Martin (1994 : 6) menyatakan bahwa manajemen adalah suatu proses
mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan memanfaatkan empat fungsi utama,
yakni perencanaan. Pengorganisasian, memimpin dan pengawasan.
4. Stoner, dkk (1995 : 7) yang menyatakan bahwa manajemen adalah proses
merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan pekerjaan
anggota organisasi dan menggunakan semua sumberdaya organisasi untuk
mencapai sasaran organisasi yang sudah ditetapkan.

Dari empat pendapat para ahli tersebut, ada empat batasan tentang manajemen yang
bisa ditarik yang merupakan ide pokok yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu:

3
1. Identitas Manajemen Adalah Suatu Proses
Identitas manajemen sebagai suatu proses dikatakan oleh Pariasta Westra
(1981 : 264) sebagai rangkaian perbuatan manusia yang mengandung sesuatu
maksud tertentu yang memang dikehendaki oleh orang yang melakukan kegiatan
tersebut. Sedangkan Siagian (dalam Gorda, 1999 : 78) menyatakan bahwa proses
berarti suatu kegiatan yang terus menerus dilaksanakan. Dengan demikian,
pengertian proses yang dikemukakan oleh dua hali tersebut di atas memberikan
informasi bahwa kegiatan mencapai tujuan organisasi tidak dapat dilakukan dengan
satu kegiatan saja seperti membalikkan tangan, melainkan suatu kegiatan secara
bertahap dan berkelanjutan serta secara sadar dilaksanakan. Hal ini berarti proses
tersebut dilakukan dengan penuh perhitungan dengan memperhatikan kemampuan
sumber daya yang dimiliki oleh organisasi.

2. Fungsi-Fungsi Fundamental Manajemen


Mengenai fungsi-fungsi fundamental manajemen, tampaknya hampir
seluruh ahli sepakat intinya ada empat, yaitu planning, organizing, actuating dan
controlling. Pada umumnya organisasi di Indonesia mengalami keterbatasan dalam
bidang sumber daya, sementara di sisi lain tujuan yang ingin dicapai harus bisa
dilakukan secara baik.

3. Arah Proses Manajemen


Proses manajemen itu sendiri diarahkan kepada usaha-usaha anggota
organisasi untuk meningkatkan produktivitasnya melalui pemanfaatan secara
efektif dan efisien sumber daya yang tersedia. Produktivitas adalah perbandingan
antara keluaran (output) dengan masukan (input). Keluaran bisa terdiri barang atau
jasa. Sedangkan masukan terdiri dari sumber daya manusia (human resorces), dan
modal (capital), peralatan-peralatan (materials), dan sumber daya lainnya. Efisiensi
adalah kemampuan untuk meminimalkan penggunaan sumber daya (masukan),
sedangkan efektivitas adalah kemampuan untuk menentukan tujuan yang memadai.

4. Unsur-Unsur Manajemen
Unsur-unsur manajemen, pada umumnya terdiri dari 6 (enam) yang dikenal
dengan the six M’S, yaitu Men, Money, Materials, Machines, Methods and
Markets. Diantara seluruh unsur tersebut, men (manusia) adalah unsur yang paling
4
penting di dalam proses manajemen, sebab manajemen itu ada karena adanya dua
orang atau lebih yang bekerja sama dalam mencapai tujuan yang telah disepakati
bersama. Hal ini berarti manusia merumuskan tujuan, manusia yang menyusun
organisasi sebagai wadah pencapaian tujuan, manusia pula yang bekerja untuk
mencapai tujuan dan sekaligus manusia pula yang mengendalikan serta menikmati
hasil-hasil yang dicapai.

2.2 FUNGSI DARI MANAJEMEN

Menurut pendekatan dari sudut pandang fungsi, seorang manajer menjalankan


fungsi-fungsi atau aktivitas-aktivitas tertentu dalam rangka mengelola pekerjaan orang
lain secara efisien dan efektif.Henri Fayol mengatakan bahwa setiaap manajer
menjalankan empat buah fungsi dalam manajemen diantaranya: fungsi perencanaan
(planning), fungsi penataan (organizing), fungsi kepemimpinan (leading), dan fungsi
pengedalian (controlling).

a. Fungsi perencanaan (planning) adalah fungsi menetapkan strategi dan


mengembangkan rencana kerja untuk mengelola aktivitas-aktivitas. Perencanaan
harus aktif, dinamis, berkesinambungan, dan kreatif agar manajemen tidak hanya
akan bereaksi terhadap lingkungannya, tetapi lebih menjadi peserta aktif dalam
dunia usaha.
b. Fungsi penataan (organizing) adalah fungsi manajemen yang melibatkan
tindakan-tindakan penataaan dan pengaturan berbagai aktivitas kerja secara
terstruktur demi mencapai sasaran organisasi.
c. Fungsi kepemimpinan (leading) adalah fungsi manajemen yang melibatkan
interaksi dengan orang-orang lain untuk mencapai sasaran organisasi. Manajer
dengan gaya kepemimpinan ini lebih memperhatikan pelaksanakan pekerjaan
daripada pengembangan dan pertumbuhan karyawan.
d. Fungsi pengendalian (controlling) adalah sebuah fungsi manajemen yang
melibatkan tindakan-tindakan pengawasan, penilaian, dan koreksi terhadap kinerja
dan hasil pekerjaan. Pengendalian yang efektif memastikan kegiatan telah
dilakukan dengan cara yang menghasilkan pencapaian tujuan. Keefektifan
pengendalian ditentukan oleh bagaimana pengendalian itu dapat membantu
karyawan dan manajer mencapai tujuan mereka.

5
2.3 PERBANDINGAN PERKEMBANGAN MANAJEMEN INDONESIA DAN
AMERIKA SERIKAT

Perkembangan Manajemen Indonesia

Di Indonesia banyak orang mengira, bahwa manajemen adalah suatu hal yang
baru dipraktekkan dan timbul di abad ke 18 atu 19. Kenyataan membuktikan bahwa
manajemen adanya sudah lama sejak ada kehidupan pergaulan manusia itu sendiri.
Telah lahir sejak dahulu sewaktu manusia mulai berkelompok, bekerja sama
mempertahankan hidupnya. Sebagaimana menurut Wiriadihardja (1987:74) bahwa
sejarah peralihan manajemen menempuh enam tahapan, yakni:
a. Manajemen otoliter
b. Manajemen ilmiah (1900-1920)
c. Manajemen Manajemen berdasarkan pada hubungan manusia (1920-1960)
d. Manajemen berorientasi pada hasil (1960-1970)
e. Manajemen berdasarkan tanggung jawab sosial (1970-1980)
f. Manajemen untuk kepentingan umat manusia.
Konsep dari manajemen di Indonesia adalah secara kuat dipengaruhi oleh
ilmuwan-ilmuwan Belanda yang mengajar pada universitas-universitas di Indonesia.
Manajemen pada masa ini dianggap sebagai suatu bagian dari Ekonomi bisnis
yang fokus utamanya adalah pada teori-teori nilai dan harga, biaya, dan teori-teori
dalam administrasi dan sistim kontrol yang berhubungan dengan organisasi bisnis..
Pemikiran dan penulisan umum selama periode ini diteliti untuk spesifik
karakteristik Indonesia. Beberapa penulis merujuk pada "Gotonq Royong" sebagai gaya
manajemen Indonesia. Gotong royong menunjukkan solidaritas kelompok dalam
masyarakat tradisional. Meskipun secara kuat menolak konsep barat, para sarjana tidak
secara buta menerima sistem manajemen sosialisme. Alternatif yang lebih disukai
mereka adalah mencari sebuah sistem manajemen yang relevan dengan kondisi budaya
dari negara tersebut. Periode ini adalah periode reformasi sosial dan politik yang
terkenal sebagai Orde, Baru. Pada masa ini beberapa usaha dibuat untuk mempercepat
perkembangan dari negara yang telah dirusak selama Orde Lama (sebelum 1965).
Rehabilitas dan stabilitas ekonomi adalah kata kunci dari pemerintah Orde
Baru. Selama periode ini dihasilkan usaha-usaha untuk menyelesaikan

6
permasalahanpermasalahan manajerial yang dihadapi oleh Perusahaan Perdagangan
Negara. Denationalisasi penting untuk memberikan kesempatan bagi perusahaan-
perusahaan asing Jurnal Teknologi dan Manajemen Informatika. Merdeka Malang
untuk investasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan lokal dihadapkan dengan
persaingan keras dari perusahaan asing yang menanamkan investasinya di Indonesia.
Sehingga perkembangan dari teknik-teknik manajemen modern secara pasti
dibutuhkan sehingga para organisasi-organisasi bisnis tersebut dapat dikelola secara
efektif dan efisien. Selama periode ini para sarjana Indonesia sekali lagi dihadapkan
terhadap konsep manajemen Amerika dan Eropa Utara, teori-teori dan asumsi-
asumsinya. 1970-1997 Perubahan-perubahan pada awal tahun 1970 mempunyai sebuah
pengaruh penting dalam pertumbuhan dari manajemen di Indonesia. Kebutuhan untuk
pendekatan-pendekatan baru dalam manajemen adalah dicirikan oleh munculnya
perusahaan-perusahaan konsultan manajemen. Dekade ini juga dicirikan oleh
perubahan-perubahan yang secara mendadak di dunia internasional. Selama periode ini,
universitas negeri sebagaimana pula universitas swasta, mulai menghasilkan tenaga
kerja manusia untuk bisnis dan industri. Universitas Indonesia mendirikan Lembaga
Manajemen Fakultas Ekonomi Ul (LMFEUI) dan lalu diikuti oleh universitas negeri
lainnya yang memberikan kursus-kursus dalam manajemen.
Selama periode ini juga dianjurkan penulisan kasus dalam permasalahan-
permasalahan manajerial Indonesia. Hal ini bukanlah suatu usaha yang mudah untuk
menulis kasus-kasus selama tidak ada perusahaan yang dapat menerima ide tersebut.
Akan tetapi sejak tahun 1975 para perusahaan dianggap berperilaku lebih terbuka sejak
mereka sangat menyadari keuntungan dari studi kasus-kasus. Mereka juga secara
berangsur-angsur sadar pentingnya akurasi pernbahasan informasi dalam pengambilan
keputusan.
Pendekatan statistik menjadi lebih populer sebagai salah satu alat untuk
pengambilan keputusan. 1997 - 1998 Proses yang berkepanjangan dari krisis Indonesia
atau tidak kunjungnya titik balik selama ini disebabkan oleh proses pergantian
pemerintahan yang kurang lancar. Kalau momentum kedatangan IMF digunakan
sebagai patokan dimulainya penanganan krisis secara menyeluruh, maka Indonesia
memang mengalami proses yang tersendat-sendat. Semuanya merupakan momentum
yang sebenarnya dapat menjadi titik balik. Akan tetapi titik balik ini tidak timbul karena
tidak ada penggantian pemerintahan. Juni 1998 dan seterusnya ada penggantian

7
pemerintahan, akan tetapi penggantian tersebut oleh pasar dianggap semu, karena
Habibie dipandang sebagai penerus Suharto.
Disisi lain krisis indonesia menyebabkan meningkatnya pengangguran dan
kemiskinan. Selain itu ambruknya ekonomi ini juga meningkatkan kerentanan sejumlah
besar orang Indonesia,terutama penduduk kota besar yang tergantung pada sektor
industri. Tanpa pekerjaan yang mapan, banyak orang yang tak mampu untuk memenuhi
kebutuhan pokok hidup, dan mereka juga tak bisa mengandalkan negara untuk
menyediakan jaminan sosial. 1999 - 2004 Proses terjadinya krisis di Indonesia tidak
semuanya berdampak negatif, akan tetapi proses tersebut memberikan aspek positif
diantaranya adalah bahwa krisis ini melahirkan perubahan politik. Dimana penggantian
pemerintahan dari Habibie ke Gus Dur Oktober 1999 merupakan pergantian
pemerintahan yang lebih mendasar yang menumbuhkan suatu titik balik. Sayangnya
permulaan bagus Oktober 1999 ini kemudian disia-siakan. Kesempatan adanya titik
balik tidak dimanfaatkan dengan konsolidasi pelaksanaan program secara serius dan
konsisten, sehingga proses pemulihan juga tidak berlangsung. Dalam sejumlah program
stabilisasi dan reformasi ekonomi-keuangan dengan bantuan IMF seperti tertuang
dalam letters of intent (LOI, yang sampai September 2000 telah berjumlah 16, berkali-
kali perkonomian nasional nampak seperti diambang perbaikan. Akan tetapi harapan
ini berkali-kali dikecewakan oleh perkembangan yang kemudian terjadi. Hasil yang
mengecewakan ini pada dasarnya disebabkan oleh kurangnya konsistensi pelaksanaan
program yang telah menjadi kesepakaan pemerintah dengan lembaga multilateral ini.
Tentu hal ini masih dapat diperbandingkan dengan alternatif lain, yaitu melaksanakan
program pemulihan dan pembangunan tanpa IMF. Apakah itu merupakan alternatif
yang terbuka? Jurnal Teknologi dan Manajemen Informatika.
Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa titik balik tidak secara otomatis
menumbuhkan pemulihan ekonomi, apalagi proses pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam krisis yang dialami berbagai negara Asia, dua aspek sangat dominan yang
dianggap menimbulkan krisis adalah lemahnya sektor perbankan dan besarnya
pinjaman dalam valas perusahaan swasta yang tidak sustainable. Setelah 21 bulan
pemerintahan Gus Dur, maka terjadi pergantian pemerintahan. Tentu ada semacam
penyesalan, kalau memang akhirnya memilih Megawati, mengapa tidak dilakukan dua
puluh satu bulan yang lalu saja? Tetapi itu sudah merupakan sejarah. Pada masa
pemerintahan Megawati-Hamzah Haz. Meskipun ada suatu euphoria baru dengan
penggantian Gus Dur, antusiasme terhadap pergantian pemerintahan ini tidak sehebat
8
apa yang nampak pada pergantian pemerintahan Oktober 1999 2004 - Sekarang Pada
masa ini adalah merupakan masa dimana dimulainya tatanan sistem perpolitikan
indonesia yang makin demokratis, hal ini dapat dilihat dari sistem pemilihan presiden
dan wakil presiden secara langsung yang diikuti dengan pemilihan lembaga legislatif
yang merupakan perwakilan rakyat di parlemen. Hal ini tentunya memberikan
kepercayaan tersendiri bagi masyarakat akan sistim demokrasi yang dijalankan, dimana
selama ini dirasakan hanya sebagai slogan yang dikenal dengan asas Pemilu yakni
LUBER (Langsung, umum, bebas, dan rahasia) juga menjawab persoalan krisis
kepemimpinan yang selama ini melanda bangsa indonesia. Dengan bergulirnya
reformasi disegala bidang terutama bidang pemerintah juga membawa dampak yang
baik akan bangsa indonesia dimata dunia. Kepercayaan dunia akan indonesia tersebut
menciptakan iklim investasi yang kondusif. Untuk investasi Penanaman Modal Asing
(PMA) sendiri pada tahun 2004 yang disetujui pemerintah berdasarkan lokasi sampai
dengan 30 April 2004 senilai 2.300,4 juta $ US. 6.
Budaya Dalam Organisasi Astrid S. Susanto (dalam Marbun, 1980 : 70-72),
menyatakan dalam kehidupan organisasi di Indonesia, instansi masih dilihat sebagai
lanjutan kehidupan solidaritas organisasinya, sehingga terbentuklah suasana organisasi
(organization climate) dan budaya organisasi (organization culture).

Kelemahan Manajemen Indonesia


a. Sifat budaya tradisional seperti solider organik, hierarkis, rukun dan musyawarah.
Hal ini bisa dilihat pada suasana santai, akrab dan suasana seperti di rumah, yang
dibawa ke tempat kerja.
b. Kebiasaan ngobrol (istilah jaman sekarangnya disebut ngerumpi) dan bekerja yang
santai waktu jam kerja menunjukkan adanya nilai keakraban sosial yang masih
dianggap lebih penting daripada sikap lugas (zakelijk) waktu kerja.
c. Bila memungkinkan, semua sukaduka (terutama duka) kehidupan pribadi
diharapkan akan dapat dipecahkan oleh atasan.
d. Masyarakat Indonesia secara tradisional dicirikan oleh konsep musyawarah,
mufakat dan gotong royong, dengan orientasi hirarki yang kuat. "Ikut pemimpin"
atau bapakism adalah sebuah ekspresi yang sangat dikenal untuk perilaku ini sejak
orang mendapatkan kebutuhan untuk menghormati orang yang lebih tua dan status
yang lebih tinggi karena mereka dipertimbangkan untuk punya aturan dari "ayah "
dalam suatu organisasi.
9
e. Bapakisme adalah didasari kepada pertimbangan: umur, kelas, dan loyalitas kepada
atasan. Dalam organisasi, loyalitas adalah lebih penting daripada konsep barat.
Untuk orang dalam organisasi, kerja adalah tidak sernata-mata berarti pencapaian
tujuan, tetapi juga membentuk dan menyusun. suatu keserasian.
f. Hal ini adalah aturan dari "bapak manajer" untuk menjaga keserasian ini, dimana
akumulasi semua kekuasaan. Berikut ini adalah Profil Manajer Indonesia menurut
hasil temuan Danandjaja (Dalam Sulistya:2002) : a
g. Bagi para Manajer, perusahaan adalah wujud lain dari pemilik, yang patut dihormati
dan dituruti segala kehendaknya dengan taat. Ucapan “terserah bagaimana maunya
perusahaan”! sangat mudah diucapkan oleh Manajer di Indonesia, terutama kalau
sedang frustasi. Karena tidak ada ikatan lain kecuali sebagai wadah tempat ia
memperoleh kesempatan kerja, jaminan dan keamanan, maka para Manajer tersebut
akan cenderung untuk keluar dari perusahaannya begitu saja kalau hal-hal tersebut
tidak dipenuhi.
h. Bagi para Manajer, pemilik adalah orang yang sampai batas tertentu dapat
memberikan kesempatan memperoleh apa yang dibutuhkannya. Sesuai dengan
orientasi vertikalnya, para Manajer akan menghormati pemilik, dan malah sering
menganggapnya orang tua yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral
untuk memelihara anak buah dan menjamin keberhasilannya.

Keunggulan Manajemen Indonesia.

Manajemen gaya Indonesia atau manajemen di Indonesia”. Kesamaan arti ini


didasari pada landasan pemikiran bahwa di Indonesia tidak memiliki pola manajemen
yang unik. Manajemen KKR (KKR = Kerjasama, Kekeluargaan Religius) merupakan
“kegiatan sistematis dalam merencanakan, mengorganisir, memimpin dan
mengarahkan, serta mengendalikan manusia atau pekerja dengan melibatkan nilai-nilai
kerjasama, kekeluargaan dan religius agar mau bekerja atau mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, dengan produktif. Kerjasama merupakan ciri budaya asli bangsa Indonesia,
kerjasama sepadan dengan kata “gotong royong (Jawa)”, gugur gunung, Mapalus
(Manado)” dan banyak istilah lainnya di Indonesia. Kerjasama merupakan wujud
bahwa manusia Indonesia adalah mahluk sosial yang tidak mungkin hidup tampa
bantuan orang lain. Falsafah ini juga memberikan makna bahwa kerjasama dapat
menghasilkan output yang maksimal karena ada sinergi. Orang dapat berkerja sama

10
apabila ada saling percaya, untuk itu bangsa Indonesia harus sadar bahwa penerimaan
terhadap orang lain sangat penting. Tanpa saling percaya maka tidak ada kerjasama.
Kerjasama bukan semata-mata “bekerja bersama” tetapi lebih merupakan “ spirit of
life ”. Kerjasama dengan dilandasai saling percaya akan menimbulkan rasa memiliki
dan tanggungjawab kerja yang tinggi. Tangungjawab kerja yang tinggi akan membuat
seseorang untuk bekerja dengan keras, rela berkorban, berdasarkan mutu sehingga hasil
kerjanya merupakan hasil kerja tim yang semakin hari semakin baik (konsep inti
produktivitas dan produktivitas merupakan tujuan akhir manajemen). Kekeluargaan
merupakan landasan ekonomi dan fasafat hidup orang Indonesia. Keluarga sangat
dihormati oleh anggota keluarga, maka jangan heran kalau sistem paternalistik menjadi
landasan utama dalam berbisnis dan berpengaruh pada pola manajemen. Rasa
kekeluargaan akan menimbulkan rasa memiliki dan rela berkorban untuk kemakmuran
masa depan. Dan ini merupakan syarat utama bagi terciptanya produktivitas. Sifat
kekeluargaan akan berpengaruh pada pola manajemen. Seorang manajer akan
memandang karyawan sebagai “elemen penting” bagi perusahaan. Oleh karenanya
manajemen akan memberikan jaminan kemakmuran lewat kompensasi pada karyawan
dan karyawan akan memberikan seluruh kemampuannya bagi perusahaan. Kerjasama,
kekeluargaan dan religius Jurnal Fokus Bisnis, Volume 13, No 01, bulan Juli 2014 73
merupakan hal unik bagi bangsa Indonesia dan ini merupakan gaya dan keunggulan
manajemen Indonesia dibandingkan dengan negara-negara yang lain.

Perkembangan Manajemen Amerika Serikat

Gagasan mengenai munculnya Manajemen Amerika lahir dari Dorongan Kuat


F.W. Taylor (1856 – 1915) pada akhir abad ke – 19 sampai awal abad 20. Pemikiran
awal Taylor terangsang oleh sejumlah pendahulunya, terutama oleh Henry R. Towne
insinyur sekaligus industrialis di Amerika.
Pandangan Taylor sangat dipengaruhi oleh etika Protestan pada waktu itu. Ia
menekankan nilai kerja keras, rasionalitas, ekonomi, individualisme, dan pandangan
bahwa setiap orang mempunyai peranan dalam masyarakat. Taylor tidak
mengembangkan teori manajemen yang luar dan umum. Ia berorientasi pragmatis
dengan penekanan empiris, rekayasa (engineering), dan mekanistis, yang terutama
berfokus pada peningkatan efisiensi pekerja. Dalam tulisan-tulisan awalnya ia
menunjukan idenya sebagai “manajemen tugas (test management)”.

11
Ide-ide Taylor berasal dari pengalaman kerjanya sendiri di perusahaan Baja
Midvale, perusahaan baja Bethlehem, dan sebagai konsultan di banyak perusahaan
industry. Pada awal karirnya, ia tertarik untuk memperbaiki efisiensi dan metode kerja
dan suatu cara terbaik untuk melaksanakan masing-masing tugas. Dengan jalan ini
dapat dicapai peningkatan produktivitas yang menguntungkan baik majikan maupun
pegawai. “dengan memaksimumkan efisiensi produksi masing-masing pekerja, maka
manajemen ilmiah juga memaksimumkan penghasilan para pekerja dan majikan. Jadi,
semua konflik antara modal dan buruh dapat dipecahkan dengan manajemen.
Bila ditelusuri lebih dalam, gagasan teori manajemen Amerika sebenarnya sudah lama
diperdebatkan oleh para ahli. Namun kebanyakan para pakar manajemen berpendapat
bahwa manajemen Amerika adalah Universal.
Sampai saat ini Manajemen Amerika telah mendominasi pemikiran manajemen
seluruh dunia. Para pakar manajemen, konsultan dan manajer mengkhotbahkan dan
mengajarkan Teori Manajemen Amerika tanpa pernah memikirkan lagi dan
mempertanyakan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam teori dan konsep
manajemen. Sampai saat ini (abad XXI), dominasi Amerika sangat kuat dalam berbagai
aspek kehidupan seperti ekonomi, teknologi, politik dan bahkan hiburan khususnya
film, serta aspek-aspek lain. Demikian pula dalam pendidikan khususnya pendidikan
manajemen atau bisnis, sehingga wajarlah bila muncul kepercayaan bahwa apa yang
baik di Amerika akan baik juga di tempat lain, dan praktek manajemen bisnis yang
efektif di Amerika akan dapat efektif pula di tempat lain. Pandangan ini sangat mungkin
di sebabkan oleh begitu luasnya penyebaran informasi, perkembangan il mu dan
praktek manajemen bisnis Amerika melalui buku, majalah, dan jurnal-jurnal ilmiah.

Selintas Perkembangan Pandangan Keuniversalan Teori Manajemen Amerika

Bila ditelusuri lebih dalam, gagasan keuniversalan teori manajemen Amerika


sebenarnya sudah lama di perdebatkan oleh para ahli. Namun kebanyakan pakar
manajemen Amerika berpendapat bahwa manajemen Amerika adalah universal. Hal ini
antara lain berasal dari buku Principles of Scientific Management, karya F.W.Taylor
(1911), kepopuleran buku tersebut mendorong para praktisi dan para ahli manajemen
"memasarkan" gagasan dari buku tersebut. Kemudian banyak buku manajemen ditulis
(terutama pakar manajemen dari Amerika) seperti Davis R.C. (The Foundamentals of
Top Management, 1951), Terry,G.R.(Principles of Management, 1953), Koontz, H &
O'Donnell,C. (Principles of Managenzent,1955,Global Management, 2001), maupun

12
buku-buku semacam itu yang diterbitkan pada akhir-akhir ini yang ditulis oleh para
pakar manajemen berkebangsaan Amerika. Buku-buku tersebut dengan edisi-edisi
yang terus diperbaiki dan diajarkan hampir di sekolah-sekolah bisnis di seluruh dunia.

Sedangkan tulisan yang lebih bernuansa ilmiah yang mendukung gagasan


keuniversalan teori manajemen antara lain ditulis oleh Harold Koonzt (1963). Koonzt
mengajukan pendapat bahwa harus dibedakan antara manajemen sebagai ilmu (science)
dan seni. praktek (art). Bila perbedaan telah dibuat antara management philosophy
(science yang mengandung konsep, prinsip, dan teori) dan management art (practice)
yang merupakan aplikasi dari management science, maka dengan jelas dapat diketahui
bahwa aplikasi management science tersebut akan berbeda-beda dari satu tempat ke
tempat lain. Suatu penyesuaian perlu di lakukan untuk mepraktekkan teknik-teknik
manajemen. Akan tetapi pada dasarnya management science (concept, principles dan
theory) adalah universal dan dapat ditransfer ke mana saja.

Selain itu banyak hasil riset diterbitkan yang mendukung gagasan tentang
keuniversalan management Amerika paddtahun 1950-an. Dan 1960-an. Misalnya yang
sangat terkenal adalah karya Clark Kerr, Frederick H. Rabison, John T. Dunlop and
Charles A. Myers (1963). Pada intinya berdasarkan riset yang telah mereka lakukan
selama bertahun-tahun di beberapa puluh negara, termasuk negara bukan barat,
perkembangan industrialisasi negara-negara di dunia mengarah pada adanya satu
kesamaan. Masyarakat industri akan menjadi semakin mempunyai karakteristik yang
relatif sama antara masyarakat satu sama dengan yang lain. Mereka manamakan dengan
logika industrialisasi (the logic of industrialism). Adapun yang dimaksud logika
industrialisasi adalah sebagai berikut:

Dalam masyarakat industri akan banyak menggunakan teknologi,


banyakinvestasi untuk pabrik, maupun mesin-mesin yang membutuhkan dana yang
besar. Dalam masyarakat industry membutuhkan tenaga kerja yang terampil (skilled).
Karena IPTEK berkembang terus, maka diperlukan ketrampilan baru dan pekerjaan
baru akan menggantipekerjaan yang lama. Dan ini menuntut sistem pendidikan agar
secara fungsional berorientasi pada perkembangan industri. Industrialisasi berkaitan
dengan organisasi besar. Dalam masyarakat industri akan berkembang organisasi-
organisai yang besar dalam masyarakat. Dalam masyarakat industri akan berkembang

13
"konsensus" yang menghubungkan antara individu dan kelompok dan menjadi besar
bersama. Misalnya tenaga kerja dituntut bekerja keras, disiplin dan bersaing.

Keempat pakar ekonomi (bisnis) tersebut berpendapat bahwa karena semua


masyarakat modern harus mengikuti logika industrialisasi, perbedaan praktek
manajemen dari negara satu ke negara lain dapat dijelaskan berdasarkan tingkat
perkembangan (kemajuan) ekonominya. Dengan demikian, teknologi dan
industrialisasi akan mendorong dan cenderung menciptakan budaya yang universal
dalam praktek manajemen bisnis. Oleh karena itu, manajer yang beroperasi di negara
yang tingkat kemajuan ekonominya stingkat (sama) akan mempunyai cara berfikir dan
berprilaku yang sama (Clack Kerr, etal.. 1963).

Dalam masyarakat industri banyak berkembang perusahaan (bisnis) dan


organisasi. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan manajemen agar dapat mengelola
perusahaan dengan baik (efektif dan efisien). Dengan demikian. akan semakin
banyakorang belajar ilmu manajemen baik lewat sekolah formal maupun nonformal
(kursus-kursus yang diselenggarakan oleh para konsultan manajemen). Para manajer
akan mempraktekkan ilmu manajemen yang telah mereka pelajari untuk mengelola
perusahaan (organisasi).

Faktor-faktor Pendorong Pandangan Keuniversalan Teori Manajemen Amerika

Paling tidak ada tiga kepercayaan yang mendasari mitos keuniversalan


managemen.Pertama bahwa dengan semakinberkembangnya IPTEK, persaingan
bisnis, meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, semakin mudah dan luasnya
penyebaran informasi, maka karakteristik masyarakat menjadi semakin sama
(homogen). Globalisasi mengarah (menuju) ke standarisasi. Sepertinya memang
banyak bukti yang dapat mendukung kepercayaan ini. Dewasa ini semakin banyak
orang di Indonesia menggunakan komputer, telepon, mobil, dan tehnologi lainya.
Tingkat pendidikan tenaga kerja juga semakin tinggi dibandingkan dengan dua puluh
tahun yang lalu. Semakin banyak macam hiburan, makanan, minuman, pakaian yang
dikonsumsi oleh masyarakat. Gaya hidup orang kaya di Indonesia (hampir) sama
dengan gaya hidup orang Amerika, Australia, atau Eropa. Kedua, sekolah-sekolah
bisnis menghasilkan para pimpinan organisasi (manager, direktur, dan sejenisnya) dan
14
ahli-ahli manajemen (dosen, konsultan, trainer dan semacamnya). Mereka mempelajari
ilmu (teori-teori) manajemendari sekolah-sekolah bisnis di negara-negara barat, atau
paling tidak mereka mesti membaca artikel di jurnal, buku, majalah, paper dan lain-lain
yang dipublikasikan oleh sekolah-sekolah bisnis terkenal di negara barat. Praktek
manajemen McDonald, meluas ke seluruh dunia. Maka praktek manajemen yang
bersifat lokal dan kedaerahan yang menyimpang dari prinsip-prinsip manajemen
modern harus ditinggalkan. Pandangan ini disebut Universalis (convergence).

Argumentasi Ketidak-universalan Teori Manajemen Amerika.

Sejumlah pakar manajemen sejak tahun 1960-an, berbeda pendapat mengenai


keuniversalan teori manajemen, khususnya teori manajemen Amerika, namun agaknya
kelompok yang berpendapat teori manajemen universal yang lebih kuat dan lebih
dominan. Akan tetapi perkembangan teori manajemen berlangsung terus, berbagai riset
dilakukan di berbagai negara, demikian pula perdebatan mengenai keuniversalan teori
manajemen, khususnya manajemen Amerika. Namun demikian, sejak diterbitkannya
buku: Culture's Consequences: International Differences in Work Related Values,
karya Geert Hofstede (1980), dan beberapa artikel yang ditulis olehnya di berbagai
jurnal dan majalah, maka sepertinya gagasan bahwa teori manajemen tidak universal
mendapatkan pendukung yang amat kuat. Buku ini berasal dari riset yang yang
dilakukan di 50 negara, dengan responden sebanyak 116.000 karyawan managerial.
Selanjutnya riset tersebut diperluas meliputi 60 negara yang mencakup balk negara
barat maupun negara timur, dengan responden 160.000 karyawan managerial.

Buku tersebut mempunyai pengaruh yang luar biasa luas. Selain itu, muncul
pula banyak tulisan (artikel) diberbagai majalah dan jurnal yang mendukung gagasan
tersebut. Mikael Sondergaad (1994) melaporkan basil risetnya bahwa selama tahun
1980 – 1993, buku Geert Hofstede tersebut telah dikaji ulang dalam jurnal-jurnal ilmiah
internasional sebanyak 36 kali. Di samping itu telah dikutip dan disebut (citation and
quotation) dalam artikel jurnal-jurnal ilmiah internasional sebanyak 1036 kali, dan
kerangka kerja atau konsep yang dikembangkan Hofstede dalam buku tersebut telah
direplikasi sebanyak 61 kali.

15
Untuk memahami perbedaan antar bangsa, Hofstede menggunakan kerangka
berfikir yang dinamakan dengan dimensi budaya nasional. Budaya nasional
didefinisikan sebagai nilai-nilai, kepercayaan dan asumsi yang dipelajari sejak masa
anak-anak, dan terus menerus diajarkan dan di lestari kan sehingga membedakan antara
satu kelompok dengan kelompok lain (Beck and Moore1995, Hofstede,1991). Menurut
Hofstede (1980,1991), ada empat dimensi budaya nasional sebagai berikut:

Power distance (jarak kekuasaan), yaitu sejauh mana orang percaya bahwa
kekuasaan dan stastus didistribusikan secara tidakmerata dan menerima kekuasaan
yang tidak merata itu sebagai secara yang tepat untuk mengorganisasikan sistem sosial.
Uncertainty avoidance (penghindaran ketidakpastian) yaitu sejauhmana orang merasa
terancam dengan keadaan yang tidak tentu (tidak pasti) atau tidak diketahui.

Budaya nasional merupakan pedoman dasar bagi karyawan untuk memahami


pekerjaan, dan pendekatan untuk melaksanakan pekerjaaan serta harapan karyawan
untuk diperlakukan. Budaya nasional memiliki arti bahwa suatu cara bertindak tertentu
lebih disukai karena di nggap cocok dengan nilai-nilai budaya, daripada yang lain. Bila
praktek manajemen tidak sesuai dengan budaya nasional yang telah dipercaya dan anut,
karyawan akan merasa tidak enak, tidak puas, tidak berkomitmen dan tidak menyukai.
Karyawan akan merasa tidak suka atau terganggu bi I a di mi nta oleh manajemen untuk
bertindak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budayanya. Menurut Hofstede (1980,
1991). karena tingkat individualisme orang Amerika serikat tinggi, maka penekanan
pada prestasi dan tanggung jawab individu karyawan dalam perusahaan adalah
dianggap baik, karena sesuai dengan nilai budanya. Sedangkan di Cina, karena tingkat
kolektifitasnya tinggi, maka prestasi dan tanggung jawab kelompok dianggap baik,
karena hal ini sesuai dengan nilai budaya di Cina. Perusahaan-perusahaan yang
berlokasi di negara yang termasuk high power distance (jarak kekuasaan tinggi) seperti
di negara-negara Asia Timur, cenderung lebih menggunakan sistem sentralisasi dan
sedikit partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan. Atasan (manajer) yang
mendorong atau meminta partisipasi bawahan akan cenderung dinilai kurang cakap
(incompetent) dan kurang percaya diri. Sebaliknya, partisipasi dan keterlibatan
karyawan akan cenderung tinggi di perusahaan-perusahaan yang ada di negara-negara
dengan low power distance seperti Amerika, Jerman, Australia dan Belanda.

16
Dalam organisasi, uncertainty avoidance (penghindaran ketidakpastian)
diwujudkan dalam kejelasan rencana, prosedur, kebijakan dan sistem. Berpedoman
pada kejelasan prosedur, rencana dan sistem akan membantu karyawan mengurangi
ketidakpastian dan ketidaknyamanan dalam menghadapi setuasi yang tidak diketahui.
Perusahaan-perusahaan Perancis biasanya lebih hirarkhis dan Iebih banyak peraturan
yang eksplisit daripada perusahaan-perusahaan Amerika. Apa yang dapat berjalan
dengan baik di Perancis, Negara dengan high uncertainty avoidance, tidak dapat
berjalan dengan baik di Amerika, Negara dengan low uncertainty avoidance. Peraturan
sebagai mekanisme kontrol dan integrasi lebih manjur (efektif) di Perancis daripada di
Amerika.

Keunggulan Manajemen Amerika Serikat.


Dikenal sebagai negara paling demokratis di dunia, sebagian besar perusahaan
memberikan jalan bagi manajemen dan pekerja untuk bernegosiasi sebelum dilakukan
perjanjian. Kebijakan untuk langsung berhubungan dengan top management tersedia
dan terbuka, namun terbatas. Kendati demikian, dapat dikatakan bahwa Amerika sudah
menerapkan manajemen partisipatif. Keunggulan manajemen negara ini yaitu
sosialitas, efesien dan efektivitas dan profitabilitas Jurnal Fokus Bisnis, Volume 13, No
01, bulan Juli 2014 72 dalam menjalankan organisasinya. Disamping itu juga negara
ini menggunakan Sistem ekonomi Kapitalis Kolektif yaitu kepentingan buruh
diutamakan.

2.4 PERBANDINGAN BUDAYA DALAM MANAJEMEN DI INDONESIA DAN


AMERIKA SERIKAT

Faktor Budaya dalam Manajemen di Indonesia

Astrid S. Susanto (dalam Marbun, 1980 : 70-72), menyatakan dalam kehidupan


organisasi di Indonesia, instansi masih dilihat sebagai lanjutan kehidupan solidaritas
organisasinya, sehingga terbentuklah suasana organisasi (organization climate) dan
budaya organisasi (organization culture) khas Indonesia yang sedikit banyak masih
ditandai oleh sifat budaya tradisional seperti solider organik, hierarkis, rukun dan
musyawarah. Hal ini bisa dilihat pada suasana santai, akrab dan suasana seperti di
rumah, yang dibawa ke tempat kerja. Kebiasaan ngobrol (istilah jaman sekarangnya
17
disebut ngerumpi) dan bekerja yang santai waktu jam kerja menunjukkan adanya nilai
keakraban sosial yang masih dianggap lebih penting daripada sikap lugas (zakelijk)
waktu kerja. Bila memungkinkan, semua suka-duka (terutama duka) kehidupan pribadi
diharapkan akan dapat dipecahkan oleh atasan.

Namun demikian, menurut Danandjaja (1986 : 85) gambaran seperti itu tidak
lagi merupakan gambaran yang lengkap. Wong cilik termasuk karyawan pada level
bawah, sudah mulai merasuk dalam tata nilai manusia Indonesia. Dampaknya tidak
hanya para profesional dan manajer muda yang tumbuh pragmatis dan akusentris, akan
tetapi telah tumbuh pula “manajer yang autokratik dan berpikir jangka pendek”.

Danandjaja dalam penelitiannya menemukan bahwa manajer Indonesia lebih


mementingkan keuntungan jangka pendek; walaupun mengerti manfaatnya, tidak
menganggap realistik investasi jangka panjang; meskipun berakibat di bebas
tugaskannya sekelompok karyawan, cenderung menjual saja salah satu pabrik lama,
demi pengadaan dana untuk membangun pabrik bari; membatasi penyediaan dana
untuk program latihan hanya pada mereka yang memang masih dapat dikembangkan
lebih lanjut; dan hanya mau mengeluarkan dana terbatas, nila perlu sekecil mungkin
untuk fasilitas di tempat kerja seperti kafetaria dan kamar kecil.

Manajer seperti tersebut di atas, kata Danandjaja (1986 : 104) lebih suka pada
suasana yang menyenangkan, lebih suka orang yang sangat populer tapi kurang kreatif
daripada yang kreatif tetapi kurang populer, tidak suka konflik walaupun itu berarti
kemajuan, dan lebih memberikan wewenang pada anak buah yang hanya terbatas pada
pelaksanaan tugas.

Hal hampir senada dikemukakan pula oleh Budi Paramita (1992 : 10) yang
mengatakan gaya manajerial di Indonesia bersifat antara lain, paternalistik dan
otokritik. Suatu jenis pengendalian yang bersifat langsung dan pribadi dengan
wewenang dipusatkan pada pucuk pimpinan. Ini sesuai dengan dalih yang muncul dari
gambaran di atas, yang menunjukkan bahwa suatu pengendalian hierarkis yang ketat
dalam suatu organisasi merupakan cara paling efektif dalam masyarakat yang bersifat
otoriter.

18
Berikut ini adalah Profil Manajer Indonesia menurut hasil temuan Danandjaja
(1986 : 150) :

1. Bagi para Manajer, perusahaan adalah wujud lain dari pemilik, yang patut
dihormati dan dituruti segala kehendaknya dengan taat. Ucapan “terserah
bagaimana maunya perusahaan”! sangat mudah diucapkan oleh Manajer di
Indonesia, terutama kalau sedang frustasi. Karena tidak ada ikatan lain kecuali
sebagai wadah tempat ia memperoleh kesempatan kerja, jaminan dan keamanan,
maka para Manajer tersebut akan cenderung untuk keluar dari perusahaannya
begitu saja kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi.
2. Bagi para Manajer, pemilik adalah orang yang sampai batas tertentu dapat
memberikan kesempatan memperoleh apa yang dibutuhkannya. Sesuai dengan
orientasi vertikalnya, para Manajer akan menghormati pemilik, dan malah sering
menganggapnya sebagai orang tua yang mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab moral untuk memelihara anak buah dan menjamin keberhasilannya.

Profil Manajer seperti tersebut di atas, sejalan dengan temuan Astrid S. Susanto
(dalam Marbun, 1980 :73-74) bahwa pegawai, dalam hal ini Manajer professional
mengharapkan adanya solidaritas organik di dalam perusahaannya yang diidentikkan
dengan pemilik. Harapan tersebut sedemikian besarnya sehingga ia akan merasa sangat
kecewa dan sering merasa sakit hati bila apa yang diharapkan dari pemilik tidak
terpenuhi. Sejauh pemilik perusahaan dapat memuaskan kebutuhan kebutuhannya, ia
akan bekerja dengan setia. Akan tetapi bila kepuasan itu tidak lagi dapat dicapai, maka
ia akan pergi. Hal ini sering tidak dapat dimengerti oleh pemilik, yang kebanyakan
masih menganggap bahwa bawahannya yang diberi pekerjaan dan upah itu, dianggap
bahwa bawahannya yang diberi pekerjaan dan upah itu, harus tahu diri dan tidak
menghianatinya (Danandjaja,1986 : 151).

Danandjaja juga mengemukakan bahwa kecuali jika rekan kerja Manajer adalah
sahabat karib yang mempunyai hubungan lebih daripada sekedar rekan kerja biasa,
tidak ada piiran dibenaknya bahwa sesama rekan kerja adalah orang-orang yang berbagi
nasib dan hari depan, yang ikut menentukan dan menanggung hidup perusahaan dan
kebahagiaan hidup semuanya.

19
Dikatakannya bahwa hal tersebut pertanda bahwa nilai-nilai seperti gotong
royong dan sebagainya tidak lagi diikuti : sistem nilai yang berperan pada para Manajer
lebih menunjukkan individualisme dan konsentrasi pada keberhasilan pribadi. Hal
tersebut tampaknya benar. Namun masih benar juga bahwa para Manajer merasa sangat
kecewa, malah sakit hati, jika apa yang dilihatnya sebagai kewajiban dan tanggung
jawab moral atasan/pemilik untuk memelihara anak buah dan menjamin
keberhasilannya tidak terwujud, dan bahwa atasan/pemilik merasa dikhianati jika
bawahan keluar dari perusahaan. Perasaan-perasaan demikian justru menunjukkan
bahwa orang secara emosional masih terikat pada hal tersebut, dan oleh karena itu
masih tetap menginginkan terwujudnya solidaritas organik.

Pengaruh budaya Amerika terhadap manajemen Amerika

Terdapat banyak pandangan yang berlainan sehubungan dengan pemikiran


paling penting yang menjadi dasar dari konsep budaya AS yang normative. Pandangan-
pandangan yang paling sering muncul dalam diskusi tentang evaluasi lintas budaya
dinyatakan sebagai berikut:
1. Sudut pandang “pemilik nasib”
2. Perusahaan bebas sebagai sarana aksi social
3. Seleksi personel dan penghargaan yang berdasarkan pada jasa
4. Keputusan-keputusan yang berdasarkan pada analisis objektif
5. Berbagai dalam pembuatan keputusan
6. Pencarian kemajuan yang tak ada habisnya
7. Kompetisi yang menghasilkan efisiensi

Filosofi “pemilik nasib” merupakan dasar dari pemikiran manajemen AS.


Singkatnya, orang bisa memengaruhi masa depan secara substantial; mereka
memegang kendali atas nasib mereka sendiri. Sudut pandang ini juga mencerminkan
sikap yang memberi orang kendali atas nasib mereka, walaupun keberuntungan
mungkin memengaruhi masa depan, pertimbangan, ketekunan, kerja keras, komitmen
untuk memenuhi berbagai pengharapan, dan penggunaan waktu yang efektif.

Di amerika serikat, pendekatan pada perencanaa, pengendalian, pengawasan,


komitmen, motivasi, penjadwalan, dan batas waktu dipengaruhi oleh konsep bahwa

20
settiap individu bisa mengendalikan masa depan mereka. Dari hal tersebut dapat kita
lihat bahwa Amerika Serikat mendapat nilai paling tinggi dalam skala individualism
Hofstede.

Penerimaan pikiran bahwa perusahaan bebas merupakan suatu sarana untuk aksi
social merupakan konsep dasar dari korporasi AS. Sebuah korporasi diakui sebagai
salah satu entitas yang memiliki peraturan dan kontinuitas keberadaan, dan merupakan
sebuah institusi social yang vital dan terpisah. Pengakuan ini bisa menimbulkan rasa
kewajiban yang besar untuk melayani perusahaan. Tentu saja, perusahaan tersebut
mungkin lebih diutamakan daripada keluarga, teman-teman atau aktivitas-aktivitas
yang mungkin mengurangi apa yang terbaik bagi perusahaan. Ini sangat kontras dengan
pendirian yang dimiliki oleh orang-orang meksiko, yang sangat yakin bahwa hubungan
personal lebih penting dalam kehidupan sehari-hari, bila dibandingkan dengan
pekerjaan dan perusahaan, dan orang cina, yang menganggap penting kumpulan
pemegang saham yang lebih luas.

Yang konsisten dengan pandangan bahwa setiap individu mengendalikan nasib


mereka sendiri adalah keyakinan bahwa seleksi personel dan penghargaan harus
diberikan berdasarkan pada jasa. Seleksi, promosi, motivasi, atau pemecatan personel
oleh manajer-manajer AS menekankan keharusan untuk memilih orang-orang yang
paling berkualifikasi dalam pekerjaannya, memelihara mereka selama kinerja mereka
memenuhi standar pengharapan dan meneruskan peluang untuk mobilitas ke atas
selama standar-standar tersebut dipenuhi. Dalam budaya lain dimana persahabatan atau
ikatan keluarga mungkin lebih penting daripada vitalitas perusahaan, kriteria untuk
seleksi, organisasi, dan motivasi sangat berbeda dengan kriteria yang ada di
perusahaan-perusahaan AS.

Keyakinan yang teramat kuat di Amerika Serikat bahwa keputusan bisnis


didasarkan pada analisis objektif, dan bahwa para manajer berusaha keras untuk
menjadi ilmiah memiliki pengaruh yang sangat besar pada sikap manajer AS terhadap
objektivitas dalam pembuatan keputusan dan akurasi data. Meskipun pertimbangan dan
intuisi merupakan kriteria yang penting untuk membuat keputusan, sebagian besar
manajer AS yakin bahwa berbagai keputusan harus didukung dan berdasarkan pada
informasi yang akurat dan relevan. Oleh karena itu, dalam bisnis AS, perhatian yang
besar diberikan pada pengumpulan dan aliran informasi yang bebas ke semua tingkat

21
dalam organisasi, dan pada keterusterangan ungkapan dalam evaluasi opini dan
keputusan bisnis. Dalam budaya yang lain, dukungan yang factual dan rasional pada
berbagai keputusan tidak sama pentingnya dengan yang ada pada budaya Amerika;
akurasi data dan bahkan laporan data yang lengkap bukan merupakan prasyarat utama.
Selain itu, data yang ada acap kali hanya diberikan untuk orang-orang tertentu saja.
Keterusterangan ungkapan dan keterbukaan dalam menghadapi karakteristik data dari
bisnis-bisnis AS tidak bisa diterapkan dangan mudah dalam beberapa budaya.

Berdasarkan riset yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, S. A Siddiq


(1989), menyatakan bahwa dengan menggunakan paradigma Marxist (bertentangan
kelas) maupun kapitalis (logika industrialisasi) amat sukar untuk memahami hubungan
industrial di negara-negara dunia ketiga. Bahkan untuk memahami dan mengkaji suatu
bidang studi saja, misalnya bidang studi hubungan industrial, para ahli (pakar) di bidang
studi tersebut, dengan menggunakan paradigma yang berbeda maka pemahaman dan
kesimpulannya pun berbeda pula (Adam, R. J, 1983).

Dengan semakin banyaknya dan meningkatnya operasi bisnis lintas negara dan
budaya, maka sebagian ahli manajemen mulai mempertanyakan juga keuiversalan teori
yang dikembangkan oleh para ahli manajemen (organisasi) dari Amerika, maupun teori
dan praktek manajemen lainnya. Dalam dunia akademik muncullah jurnal-jurnal yang
membahas masalah-masalah seperti Management International Review, International
Studies of Management and Organization, Journal of International Business Studies,
International Journal of Management, dan masih banyak lagi yang lain. Melalui
publikasi hasil-hasil riset pada jurnal-jurnal tersebut dapatlah dipahami bahwa teori dan
praktek manajemen bisnis (organisasi) sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara
lain budaya nasional maupun paradigma yang mendasarinya.
Memahami budaya dari negara dimana suatu operasi bisnis dilakukan sangatlah
penting dan membuat para manajer bisa bekerja secara lebih efektif. Sayangnya, ketika
ditempatkan pada suatu budaya yang tidak familiar dengan mereka, sebagian besar
manajer cenderung tidak memiliki pengetahuan (kesadaran) secara kultural. Sehingga
mereka seringkali keliru untuk menginterpretasikan apa yang terjadi. Hal ini akan
sangat terasa sekali ketika seorang manajer ditugaskan di satu negara dengan pola
budaya yang jauh berbeda dengan pola budaya mereka. Di Amerika sendiri para
eksekutif lebih mengarahkan dirinya sendiri dengan kerja keras, rasa percaya tinggi,

22
sehingga dalam bisnis selalu ambisius, kompetitif dan ulet. Dari budaya yang ada yaitu
cenderung “etnosentris” mereka cenderung tegas, agresif, berorientasi tujuan dan
tindakan, bersemangat, optimis, terbiasa bekerja keras.

Berikut adalah gaya manajemen dalam perusahaan tipe Amerika menunjukkan:


1. Para karyawan selalu bekerja berpindah-pindah pekerjaan
Bagi orang Amerika untuk mencari kesempatan, kemajuan, dan perubahan karir
dengan cara berpindah di antara majikan dan organisasi merupakan hal yang biasa.
2. Dalam pengambilan keputusan selalu bersifat pribadi
Malang Umumnya orang Amerika cenderung rnempercayai pertimbangan
individual dan lebih suka membuat keputusan Sendiri.
3. Mempunyai tanggung jawab individual
Para pekerja Amerika lebih suka berinisiatif secara pribadi dan memikul
tanggung jawabnya sebagai individu bukan kelompok.
4. Kemajuan yang cepat
Keberhasilan para karyawan diukur dengan cepat dimana para karyawan secara
ekonomi dan sosial mendapatkan kemajuan yang cepat, dengan suatu kelebihan
5. Spesialisasi dalam karier
Pada organisasi di Amerika didasarkan pada spesialisasi keterampilan dan
tenaga kerja; karyawan menciptakan intensitas dalam perilaku karir dan mengikuti
jalur karier yang khusus.
6. Mekanisme pengendalian yang eksplisit
Organisasi di Amerika memiliki standar dan pengendalian yang eksplisit dalam
pekerjaan dan penilaian sehingga para karyawan menginginkan mekanisme
pengedalian yang eksplisit serta petunjuk-petunjuk kerja. Perhentian yang terpusat
pada karyawan (Focused Concern for Employees). Perusahaan-perusahaan
Amerika cenderung hanya memandang peran karyawan pada pekerjaan mereka
dan, memberikan sedikit perhatian secara menyeluruh seperti keluarga, masalah-
masalah sosial, kesehatan pribadi, dan kesejahteraan umum

23
2.5 PERBANDINGAN ETOS KERJA DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT

Etos Kerja di Amerika Serikat


Orang Amerika bekerja sangat struktural. Pemimpinnya menyukai hal yang
terorganisasi dengan baik dan mempunyai rencana yang baik. Pemimpin selalu
membuat panduan mengenai hal-hal apa saja yang dilakukan sebelum, saat dan
sesudah sebuah pekerjaan/proyek. Pemimpin juga menyiapkan seluruh template yang
diperlukan dari awal hingga akhir proses. Setiap karyawan harus mengikuti panduan
tersebut sehingga setiap karyawan akan melalui proses yang sama. Hal ini juga
memudahkan setiap karyawan dalam melakukan pekerjaannya serta dapat lebih
terlihat kemajuan di setiap tahapan sebuah proyek. Disamping itu, akan lebih mudah
bagi karyawan lain untuk melanjutkannya proyek tersebut apabila yang bersangkutan
berhalangan karena semuanya teratur sesuai panduan yang ada serta terdokumentasi.
Pemimpin di Amerika juga sangat team-work oriented. Apabila mereka
memiliki proyek, mereka akan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dan tim
yang mungkin terlibat dalam proyek tersebut. Mereka akan duduk bersama
mendiskusikan bagaimana mereka akan mengeksekusi proyek tersebut dan juga
menentukan time frame-nya. Pada saat proyek tersebut berjalan mereka akan
mengevaluasi kemajuan yang telahmereka buat di setiap tahapannya.
Dapat dilihat ciri khas orang Amerika cenderung practical personal. Mereka
bukan tipe analisis. Mereka tidak banyak menghabiskan waktu untuk menganalisa
sesuatu tetapi cenderung untuk segera mempraktekkannya dan membuat berbagai
rencana/tindakan antisipasi apabila yang terjadi tidak sesuai dengan yang
diharapkan/direncanakan.
Ciri khas lain dari karakter orang Amerika adalah pemimpin selalu berusaha
membuat tim kerjanya bisa menggunakan waktu dengan efektif karena buat mereka
waktu adalah sesuatu yang berharga. Mereka sangat disiplin dan selalu membuat
perencanaan untuk semua kegiatannya.
Kepemimpinan Amerika yang demokratis membuat mereka terbiasa
menghargai setiap pendapat bawahannya. Hal ini membuat para karyawan menjadi
sangat ekspresif dan aktif dalam menyampaikan ide dan opininya dan sebaliknya para
pemimpinnya juga sangat terbuka dengan ide dan opini karyawannya dan lebih mudah
menerima perbedaan. Ketika mereka memiliki sesuatu yang ingin disampaikan atau

24
rasakan mereka akan menyatakannya secara langsung (straight to the point). Bagi
mereka lebih baik berterus terang diawal sekalipun untuk hal yang
Terburuk, agar mereka dapat memikirkan tindakan antisipasinya atau mencari
alternatif rencana lainnya.

Etos Kerja Di Indonesia


Dalam pemahaman tentang produktifitas dan produktif disitu terkandung aspek
sistem nilai. Manusia produktif menilai produktivitas dan produktif adalah
berdasarkan sikap mental. “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin; hari esok
harus lebih baik dari hari ini“. Jadi kalau seseorang bekerja, dia akan selalu
berorientasi pada faktor produktivitas kerja di atas atau minimal sama dengan standar
kerja dari waktu ke waktu. Bekerja produktif sudah sebagai panggilan jiwa dan kental
dengan amanah. Dengan kata lain sikap tersebut sudah terinternalisasi. Tanpa
diinstruksikan dia akan mampu untuk bertindak produktif. Itulah yang disebut dengan
budaya kerja positif (produktif). Sementara itu budaya bekerja produktif mengandung
komponen-komponen : (1) pemahaman substansi dasar tentang bekerja. (2) sikap
terhadap karyawan. (3) perilaku ketika bekerja. (4) etos kerja. (5) sikap terhadap
waktu. Pertanyaannya apakah semua kita (sebagai bangsa Indonesia) sudah berbudaya
kerja produktif ?

Budaya kerja produktif di Indonesia, belum merata. Bekerja masih dianggap


sebagai sesuatu yang rutin. Bahkan di sebagian karyawan, bisa jadi bekerja dianggap
sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang yang malas. Pemahaman karyawan
tentang budaya kerja positif masih lemah. Budaya organisasi atau budaya perusahaan
masih belum banyak dijumpai. Hal ini jugalah yang agaknya kurang mendukung
terciptanya budaya produktivitas kerja. Perusahaan belum mengganggap sikap
produktif sebagai suatu sistem nilai. Seolah-olah karyawan tidak memiliki sistem nilai
apa yang harus dipegang dan dilaksanakan. Karena itu tidak jarang perusahaan yang
mengabaikan kesejahteraan karyawan termasuk upah minimumnya. Ditambah dengan
rata-rata pendidikan karyawan yang relatif masih rendah maka produktivitas pun
rendah. Karena itu tidak heran produktivitas kerja di Indonesia termasuk yang terendah
dibanding dengan negara-negara lain di Asia. Mengapa bisa seperti itu ?

25
Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana.
Produktivitas kerja merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya. Bentuk
output dapat berupa barang dan jasa. Sementara input berupa jumlah waktu kerja,
kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat upah dan gaji, teknologi yang dipakai dsan
sebagainya. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh faktor input yang
digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja di Indonesia relatif rendah karena
memang rendahnya faktor-faktor kualitas fisik, tingkat pendidikan, etos kerja, dan
tingkat upah dari karyawan. Hal ini ditunjukkan pula oleh angka indeks pembangunan
manusia di Indonesia (gizi, pendidikan, kesehatan) yang relatif lebih rendah dibanding
di negara-negara tetangga.

Seharusnya faktor-faktor tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar para


karyawan mampu mencapai produktivitas yang standar. Pendidikan dan pelatihan
perlu terus dikembangkan disamping penyediaan akses teknologi. Kompetensi
(pengetahuan, sikap dan ketrampilan) karyawan menjadi tuntutan pasar kerja yang
semakin mendesak. Dengan kata lain suasana proses pembelajaran plus dukungan
kesejahteraan karyawan perlu terus dikembangkan.

Etos kerja orang Indonesia adalah :

1. Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati.

2. Enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam.

3. Berjiwa feodal, gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati


dan lebih mementingkan status daripada prestasi.

4. Percaya takhyul, gemar hal keramat, mistis dan gaib.

5. Berwatak lemah, kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan


gampang terintimidasi. Dari kesemuanya, hanya ada satu yang positif,
yaitu

6. Artistik; dekat dengan alam. Dengan melihat keadaan saat ini, ini
merupakan kenyataan pahit, yang memang tidak bisa kita pungkiri, dan
memang begitu adanya.

26
Namun lanjutnya, dari 240 juta jiwa rakyat Indonesia, tidak semua memiliki
etos kerja yang buruk seperti tersebut di atas. Masih ada organisasi yang peduli dan
mau mengubah etos kerja yang disematkan ke bangsa Indonesia saat ini. Kita harapkan
etos kerja yang diterapkan tersebut bisa diimplementasikan dalam kerja nyata dan akan
lebih baik lagi jika hal positif tersebut menyebar kepada semua Organisasi kerja di
seluruh Indonesia.

Lebih jauh lagi, bangsa Indonesia adalah negara yang kaya dan merupakan
bangsa yang besar. Indonesia dikarunia sumber daya alam yang melimpah ruah dan
jumlah penduduk yang besar. Dan itu merupakan modal untuk mewujudkan
masyarakat yang makmur dan sejahtera. Namun pada kenyataannya hingga saat ini
rakyat miskin semakin bertambah banyak, pengangguran semakin meningkat, dan
banyak anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah.

Salah satu faktor rendahnya etos kerja yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu
negatifnya keteladanan yang ditunjukkan oleh para pemimpinnya. Mereka merupakan
model bagi masyarakat yang bukan hanya memiliki kekuasaan formal, namun juga
kekuasaan nonformal yang justru sering disalahgunakan.

2.6 PERBANDINGAN ETIKA BISNIS DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT

Etika Bisnis di Amerika


Inovasi adalah sebuah karya individu. Sikap kapitalisme sangat berkembang.
Sebagai misal, ketika seorang pekerja dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar
di perusahaan lain, walaupun lebih mapan dan lebih lama bekerja di perusahaan asal,
maka tentu saja yang diutamakan adalah materi, mencari keuntungan yang sebanyak-
banyaknya. Dengan cara apapun. Ibaratnya seekor tikus. Maka akan mencari
bongkahan keju yang lebih besar. Berlomba-lomba untuk memperkenyang diri sendiri
dahulu. Prinsip kepemimpinan ditekankan di paradigma barat atau Amerika. Budaya
feodal (perbedaan harkat dan martabat antara petinggi dan bawahan) sudah menjadi
barang yang wajar.

Dalam bukunya “The Starbucks Experience”, Joseph A. Michelli (seorang


konsultan dan peneliti di bidang manajemen) mencoba mengungkapkan rahasia
suksesnya kedai kopi Starbucks. Ada lima hal yang menjadikan perusahaan Amerika

27
itu meraup sukses, bahkan sampai di Indonesia. Prinsip pertama yakni “Lakukan
dengan cara anda”. Prinsip kedua yakni “Semuanya penting”. Prinsip ketiga “ Kejutan
dan kenikmatan”. Prinsip yang keempat adalah “terbuka terhadap kritik”. Sedangkan
yang terakhir adalah “Leave your mark”. Terlihat bahwa paradigma bisnis Amerika
sangat menghargai pelanggan dan mencoba memanjakan serta memenuhi semua
keinginan pelanggan. Howard Schultz adalah orang di belangan suksesnya Starbucks.

Contoh lain adalah di pabrik lampu GE (General Electric). Pabrik yang bercikal
bakal dari Thomas Alpha Edison. Diungkapkan Rothschild (2008), bahwa kunci sukses
GE menerapkan LATIN (Leadership, Adaptability, Talent, Influence and Network).
Ada empat tahap kemajuan suksesnya GE sampai saat ini.

Etika Bisnis di Indonesia

Menurut Drs. H. Burhanudin Salam: “Etika adalah cabang filsafat yang


berbicara mengenai nilai norma dan moral yang menentukan perilaku manusia dalam
hidupnya.” 2.2 Prinsip-prinsip Pelaku Bisnis Dalam etika bisnis berlaku prinsip-prinsip
yang seharusnya dipatuhi oleh para pelaku bisnis. Prinsip dimaksud adalah : 1. Prinsip
Otonomi, yaitu kemampuan mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan
kesadaran tentang apa yang baik untuk dilakukan dan bertanggung perusahaan agar
tetap dipercaya dan merupakan perusahaan terbaik. jawab secara moral atas keputusan
yang diambil. 2. Prinsip Kejujuran, bisnis tidak akan bertahan lama apabila tidak
berlandaskan kejujuran karena kejujuran merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis
(missal, kejujuran dalam pelaksanaan kontrak, kejujuran terhadap konsumen, kejujuran
dalam hubungan kerja dan lain-lain). 3. Prinsip Keadilan, bahwa tiap orang dalam
berbisnis harus mendapat perlakuan yang sesuai dengan haknya masing-masing, artinya
tidak ada yang boleh dirugikan haknya. 4. Prinsip Saling Mengutungkan, agar semua
pihak berusaha untuk saling menguntungkan, demikian pula untuk berbisnis yang
kompetitif. 5. Prinsip Integritas Moral, prinsip ini merupakan dasar dalam berbisnis
dimana para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha bisnis mereka harus menjaga nama
baik 2.2 IMPLEMENTASI ETIKA BISNIS DI INDONESIA Etika merupakan suatu
konseptual yang tercipta di tengah masyarakat di mana berisi tentang nilai-nilai
mengenai benar atau buruknya suatu perbuatan. Etika tidak dapat dipisahkan dengan
kita, pasalnya etika diajarkan dari kita masih kecil (dalam arti anak- anak) hingga
dewasa dan proses pembelajarannya pun terus berlanjut hingga ajal menjemput. Etika

28
teripta dan terbentuk serta bersumber dari perpaduan antara wawasan agama,
lingkungan pergaulan, keluarga, budaya, jenjang pendidikan, figur idola, dsb Etika
adalah dogma yang diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya tapi
tidak menutup kemungkinan terbentuk atau terciptanya peraturan tak tertulis ini(etika)
dapat berubah bahkan rusak karena generasinya sendiri selain dalam bermasyarakat kita
harus mempunyai etika dalam bisnis pun demikian. Kenapa bisnis harus ada etika
dalam prakteknya. Karena etika bagaikan pondasi atau basic dari semua perbuatan dan
niat. pada dasarnya bisnis mempunyai arti luhur yakni menyediakan barang maupun
jasa unuk memenuhi kebetuhan hidup. Kemudian diembel-embeli dengan tujuan untuk
mendapat profit atau keuntungan. Dalam menyediakan barang atau jasa seorang
pembisnis harus bersikap sesuai dengan etika dalam masyarakat, salah satunya adalah
tidak berbuat kecurangan.

2.7 PERRBANDINGAN PEMBERIAN MOTIVASI DI INDONESIA DAN


AMERIKA SERIKAT.

Cara memberikan motivasi kepada karyawan di negara Indonesia

Dalam memberikan motivasi di negara Indonesia menggunakan dua cara yaitu


motivasi berupa materi dan motivasi berupa non materi. Motivasi berupa materi dapat
di berikan berupa kenaikan gaji kepada para karyawan. Motivasi ini mudah untuk
dilihat dan untuk di kuantifikasi karena motivasi ini dapat dirasakan secara langsung
oleh para karyawan. Sedangkan pemberian motivasi secara non materi adalah pembrian
motivasi berupa kenaikan pangkat/jabatan, pujian, dan bisa juga dengan cara senioritas.
Cara senioritas menjadi cara pemberian motivasi yang paling sering digunakan dalam
suatu perusahaan di Indonesia karena dengan motivasi ini dapat membentuk para
talenta muda yang ingin mbertumbuh cepat sesuai dengan minat dan kebutuhan
perusahaan. Alhasil, cara memotivasi karyawan paling sahih tak lain dengan
mempraktikan manajemen kinerja tanpa syarat.

Cara memberikan motivasi kepada karyawan di negara Amerika


Pada perusahaan di negara amerika mereka memberikan motivasi bukan dengan
menggunakan kenaikan gaji akan tetapi melakukan pendekatan terhadap para
karyawan dengan cara memberikan suatu benefit atau keuntungan kepada karyawan

29
seperti memberikan setiap karyawan tiga YDOs (Your Days Off) atau hari libur anda
tiap tahunnya tanpa pertanyaan dari perusahaan. Dengan hal seperti ini mendorong
para karyawan untuk melakukan yang terbaik baik di dalam maupun diluar jam kerja.

Kelemahan dari pemberian motivasi ini adalah jika pada saat perusahaan
mengalami situasi krodit/tidak terkendali dan ada karyawan yang ingin mengambil
YDOs itu akan berdampak negatif pada perusahaaan, dan membuat kredibilitas
perusahaan menurun dikarenakan kualitas dari karyawannya tidak baik.

2.8 PERBANDINGAN KEPEMIMPINAN PERUSAHAAN INDONESIA DAN


AMERIKA SERIKAT

Gaya kepemimpinan di dalam suatu perusahaan

Definisi dari kepemimpinan

Menurut Ariani (2003:95) kepemimpinan merupakan proses pemberian


pengaruh yang tidak memaksa. Pengertian kepemimpinan yang dikutip oleh Paul
Hersey and Blanchart (1977:83-84) dalam bukunya “Management Organization
Behavior” adalah sebagai berikut:

1. Leadership is the activity of influencing exercised to strive willingly for group


objectives (George P. Terry).
2. Leadership as interpersonal influence exercised in situation an dericted, through
the communication process, toward the attainment of a specialized goal the goals
(Robert T, Irving R. Wischler, Fred Nassarik).
3. Leadership is influencing people to follow in the achievement of a common goal
(Harold Koonte and Cyril O’Donnell).

Wahjosumidjo (1987:11) menjelaskan bahwa butir-butir pengertian dari


berbagai kepemimpinan pada hakikatnya di beri makna:

1. Kepemimpinan adalah suatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang
berupa sifat-sifat tertentu seperti: kepribadian (personality), kemampuan (ability),
dan kesanggupan (capability).

30
2. Kepemimpinan adalah rangkaian kegiatan (activity) pemimpin yang tidak dapat
dipisahkan dengan kedudukan serta gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri.
3. Kepemimpinan adalah sebagai proses antar hubungan atau interaksi antara
pemimpin, pengikut dan situasi.

Fungsi-fungsi dari kepemimpinan

Agar kelompok atau organisasi berjalan dengan efektif, makan seorang


pemimpin harus melaksanakan dua fungsi utama yaitu sebagai berikut:

1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas (task related) atau pemecahan masalah
Fungsi ini mencakup pada penetapan struktur tugas, pemberian saran
penyelesaian, informasi dan pendapat.

2. Fungsi yang berhubungan dengan pemeliharaan kelompok atau social


Fungsi ini mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok atau
organisasi berjalan lebih baik atau efektif, persetujuan dengan kelompok lain,
penengahan perbedaan pendapat, dan sebagainya.

KEPEMIMPINAN INDONESIA
Ki Hajar Dewantara, seorang pendiri sistem pendidikan di Indonesia
merumuskan karakteristik gaya kepernimpinan di Indonesia adalah sebagai berikut:
Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang
kemudian ditetapkan sebagai asas-asas kepemimpinan pancasila sebagaimana tertuang
sebagai dasar dalam pelaksanaan pembinaan ABRI (sekarang TNI) dan kekaryaan
yang ditetapkan dalam Keputusan Menutama Hankam No. Kep/B/177/1996 (dalam
Wiriadihardja, 1987: 96) yang mengandung sifat, watak dan perangai sebagai berikut:
1. Taqwa, yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan taat kepada-Nya.
2. Ing Ngarsa Sung Tulada, yaitu memberi suri teladan kepada bawahannya.
3. Ing Madya Mangun Karsa, Yaitu ikut bergiat serta menggugah semangat
ditengah-tengah bawahannya.
4. Tut Wuri Handayani, yaitu mempengaruhi dan memberi dorongan dari belakang
kepada bawahannya.

31
5. Waspada Purba Wisesa, yaitu selalu waspada, mengawasi serta sanggup dan
berani memberi koreksi kepada bawahannya.

Manajemen sebagai suatu disiplin ilmu tidak pernah dipelajari oleh Ki Hajar
Dewantara, tetapi apa yang telah dijelaskan diatas adalah memberikan hal yang
penting untuk kita semua untuk mempunyai pandangan sebagai gaya manajemen
Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Bapak Ki Hajar Dewantara selain
dikenal sebagai seorang pendiri sistem pendidikan di Indonesia juga dapat dikatakan
sebagai Bapak Manajemen.

Gaya kepemimpinan pada perusahaan di Indonesia berfokus pada 3 hal yaitu :

1. Penghargaan kepada karyawan


2. Memotivasi karyawan
3. Melatih karyawan

Gaya kepemimpinan di Indonesia mengikuti system two-tier board dimana


dewan komisaris yang mewakili pemegang saham dipisahkan dengan dewan direksi
yaitu manajemen yang mengelola perusahaan.

KEPEMIMPINAN AMERIKA SERIKAT

Di Amerika perusahaan berbentuk korporasi dengan modal yang besar dan


jumlah karyawannya pada umumnya lebih dari pada 100 orang. Gaya
kepemimpinannya menuju kepada system otonomi atau dengan kata lain, struktur
organisasinya menuju kepada desentralisasi. Jenis kepemimpinan perusahaan di
negara amerika diberi istilah Unitary Board. Menurut Jhon H. Jackson dan Vernon A
(1989) system perusahaan amerika didasarkan atas pemilihan kekayaan swasta dan
karakteristik system bisnis amerika bersifat spesialisasi, saling bergantung dan operasi
berskala besar.

Dewasa ini kepemimpinan organisasi bisnis adalah inti dari pembangunan


ekonomi di kawasan Asia termasuk Indonesia. Terdapat dua gaya kepemimpinan yang
dominan, yaitu gaya kepemimpinan ala Amerika (barat) dan gaya kepemimpinan ala

32
Asia (timur). Dari keduanya terdapat kesamaan dan perbedaan penting. Politik dan
kontrol keluarga lebih sering terjadi pada gaya praktek bisnis Asia ketimbang di
Amerika Serikat. Para CEO di Amerika Serikat cenderung lebih menyukai
menggunakan salah satu dari lima gaya kepemimpinan yang sering kita bahas dalam
kolom-kolom sebelumnya, yakni : direktif, partisipatif, pemberdayaan, karismatik,
dan bahkan selebritis. Pertanyaannya disini adalah, gaya kepemimpinan bisnis
manakah yang dianggap memiliki kemungkinan paling sukses di masa depan?
Perkembangan ekonomi yang cepat di Asia dalam beberapa dekade terakhir ini adalah
salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah. Perkembangan ini berlanjut sampai
hari ini dan diantisipasi akan terus berlanjut dengan pesat, kecuali jika Asia tergelincir
oleh kemungkinan konflik internasional. Perbedaan gaya kepemimpinan muncul dari
perbedaan antar budaya dan tahap perkembangan organisasi bisnis. Pada dasarnya
organisasi menuntut peran lebih dari sekedar kepemimpinan semata. Dan hal tersebut
belum umum dibahas dalam literatur dan diskusi bisnis, yakni membedakan antara
kepemimpinan, manajemen, dan administrasi. Ketiga aspek tersebut sebenarnya
sangat berbeda, dimana masing-masing aspek sangat berharga dan memiliki tempat
tersendiri. Secara singkat, kepemimpinan adalah tentang visi dan misi masa depan dan
kemampuan untuk membangkitkan energi orang lain untuk mencapai visi dan misi
tersebut. Sementara manajemen adalah tentang bagaimana memperoleh hasil (result)
dengan melakukan upaya-upaya secara efektif dan efisien sehingga keuntungan
finansial atau surplus dapat diraih. Adapun administrasi adalah tentang aturan dan
prosedur serta bagaimana hal tersebut dipatuhi atau tidak. Pemahaman terhadap
perbedaan ini sangat penting sebagai landasan komunikasi yang jelas tentang
bagaimana organisasi dijalankan – yang jika pembedaan ini tidak dibuat – kita semua
tentu akan menjadi bingung.

Sebagaimana tadi telah disinggung, bahwa menjalankan organisasi secara


efektif dan efisien akan meliputi tigal hal utama, yakni:

1. Aktivitas kepemimpinan: yaitu berkaitan erat dengan merumuskan visi, misi


dan membangkitkan energi para pekerja
2. Aktivitas manajemen: yaitu berkaitan erat dengan produktivitas dan hasil
(result)

33
3. Aktivitas administrasi: yaitu berkaitan erat dengan pembuatan aturan dan
prosedur

Sesuai dengan tema bahasan tadi, bahwa fokus kita saat ini akan lebih menyoroti
masalah kepemimpinan: yaitu bagaimana seorang eksekutif menetapkan arah dan
energi organisasi untuk mencapai tujuan. Dewasa ini teknik manajerial ala Amerika
Serikat tengah menyebar luas dengan cepat melalui imitasi, adopsi, dan pendidikan
MBA atau Magister Manajemen. Begitu juga teknik administrasi telah dipraktekkan
secara umum di seluruh dunia pada dekade yang lalu. Dengan demikian perbedaan
yang tersisa dewasa ini adalah diseputar tentang gaya kepemimpinan. Perbedaan gaya
kepemimpinan lebih dilatar-belakangi oleh faktor perbedaan budaya, terutama
berkaitan dengan masalah regenerasi estafeta kepemimpinan. Yang sering terjadi di
negara-negara Asia adalah bagaimana estafeta tersebut dapat berlangsung mulus
terhadap para sanak keluarga atau ‘putra-mahkota’. Sebetulnya hal demikian juga
terjadi pada organisasi bisnis berskala besar di Amerika Serikat, yakni terbentuknya
dinasti bisnis keluarga, namun hal tersebut lebih umum terjadi pada organisasi-
organisasi bisnis di kawasan Asia. Yang umum di Amerika Serikat adalah organisasi
bisnis yang dijalankan oleh para manajer profesional yang digantikan oleh para
manajer profesional lainnya, baik sebagai akibat dari pemberhentian atau pergantian
oleh dewan direksi.

Dewasa ini, organisasi bisnis yang lebih maju memiliki program canggih untuk
mengembangkan rotasi suksesi eksekutifnya di internal organisasi, dan memilih CEO
berikutnya dari sumber internal tersebut. Para CEO ini didorong agar lebih unggul
dalam lingkungan yang kompetitif untuk menjadi pemenang, dan mereka bersikeras
bahwa uang tidak begitu penting lagi bagi mereka ketimbang pencapaian profesional.
Jika suksesi di organisasi bisnis Asia biasanya diteruskan kepada pihak anggota
keluarga atau ‘putra-mahkota’, namun pada organisasi bisnis berskala besar, seperti
General Electric misalnya, mereka telah berhasil mengembangkan mesin bakat untuk
pergantian CEO nya. Pada tingkat yang lebih signifikan, berbagai organisasi bisnis di
Amerika Serikat telah lulus melampaui fase kepemimpinan keluarga dari para pendiri
mereka dan beralih pada filosofi manajemen profesional yang modal kerjanya
diperoleh dari pasar modal dan tidak diambil dari kekayaan keluarga lagi. Tentu saja
kita belum begitu yakin bahwa organisasi bisnis berskala besar di Asia akan mengikuti

34
jejak evolusi organisasi bisnis di Amerika Serikat. Faktor koneksi politik merupakan
faktor yang sangat penting bagi para pemimpin bisnis di kawasan Asia, baik negara
tersebut menganut faham demokrasi atau tidak, yang jelas hal tersebut merupakan
karakteristik umum dari para eksekutif puncak di kawasan Asia bahwa koneksi
tersebut memegang peranan penting bagi kelangsungan bisnis mereka. Tentu saja,
pengecualian masih tetap ada di kalangan para eksekutif Amerika Serikat, bahwa
jalinan politik yang mendalam masih dianggap penting sebagai pintu masuk
kesuksesan bisnis di Amerika Serikat, namun kasusnya tidak sebanyak seperti di
kawasan Asia.

Dengan demikian, berbagai gaya kepemimpinan lebih bervariasi di Amerika


Serikat ketimbang dikawasan Asia. Setidaknya terdapat lima gaya kepemimpinan
yang umum dikembangkan di Amerika Serikat, yakni: gaya direktif, gaya partisipatif,
gaya pemberdayaan, gaya karismatik, dan gaya selebritis (superstar). Gaya
kepemimpinan dari satu sampai empat lebih menggambarkan bagaimana hubungan
antara atasan dan bawahan di dalam suatu organisasi bisnis, sementara jenis gaya
kepemimpinan yang terakhir (selebritis) lebih ditujukan bagi para stakeholders di luar
organisasi bisnis. Kepemimpinan gaya direktif cukup terkenal di Amerika Serikat,
meskipun frekuensinya menurun pada dekade belakangan ini. Gaya kepemimpinan
inipun sangat umum dalam praktek kepemimpinan di Asia yang menerapkan pola
hubungan kerja arahan dan perintah. Adapun gaya kepemimpinan partisipatif lebih
melibatkan kerja sama setara yang erat dengan pimpinan dan sesama pekerja , dan hal
ini berlaku lebih umum di kawasan Eropa. Gaya kepemimpinan pemberdayaan atau
pendelegasian (pemberian otonomi) mungkin relatif baru, yang menekankan
pendelegasian wewenang dan tanggung jawab terhadap bawahan. Pada organisasi
bisnis berskala besar Amerika Serikat yang beroperasi dengan banyak divisi, sebagian
besar menggunakan gaya kepemimpinan yang otonom seperti demikian. Bahkan
beberapa pemimpin bisnis muda di kawasan Asia dewasa ini cenderung mendukung
gaya tersebut. Inti dari gaya kepemimpinan pemberdayaan adalah mengembangkan
kemampuan untuk memberikan energi pada setiap orang dalam organisasi bisnis.
Sebagaimana diungkapkan oleh Jack Welch, "boleh jadi anda seorang manajer yang
hebat, akan tetapi jika anda tidak bisa memberi kekuatan pada orang lain, sebagai
pemimpin anda tidak memiliki nilai apapun bagi General Electric".

35
Dengan demikian gaya energizing adalah inti dari kepemimpinan baru di
Amerika Serikat. Berbeda dengan gaya kepemimpinan karismatik, dimana kepatuhan
para pengikut disebabkan oleh tentang adanya gambaran “siapa dia” , dan bukanlah
karena kemampuan manajerial yang baik atau bahkan keberhasilan bisnis, dan juga
bukan oleh karena praktek gaya kepemimpinan sebagaimana dijelaskan diatas, baik
partisipatif, kemitraan, atau pun pemberdayaan. Tentu saja adanya faktor magnet atau
daya pikat manusia sangat berbeda dalam setiap budaya, dan hal ini tidak selalu
berlandaskan argumen rasional, dan dalam hal ini sulit mencari argumen mengapa
seorang pemimpin begitu dipuja dalam suatu masyarakat, bangsa atau negara tertentu,
baik dalam artian positif maupun dalam artian negatif. Apa yang dianggap pemimpin
karismatik di Amerika Serikat mungkin akan dipersepsi menjadi sesuatu hal yang
sangat berbeda bagi orang-orang pada masyarakat di belahan dunia lainnya. Berbeda
halnya dengan gaya kepemimpinan selebritis, gaya kepemimpinan ini ditampilkan
untuk menunjukkan pencitraan ke luar organisasi sehingga berdampak terhadap orang
lain, baik terhadap para pelanggan maupun para investor. CEO seperti ini tak ubahnya
seperti bintang superstar yang disorot oleh media bagaikan bintang layar perak.

Mereka biasanya membutuhkan penampilan yang baik dan menarik, bergaya


dramatik, dan memiliki kemampuan untuk menangani publisitas media secara efektif.
Kebutuhan akan tipe CEO ini sempat menjadi tren di Amerika Serikat, misalnya untuk
me make-up organisasi bisnis ketika mengalami kemerosotan akibat skandal pelaporan
keuangan, sehingga dengan direkrutnya CEO selebriti akan terjadi suatu pemulihan
yang diharapkan. Dengan kata lain, para eksekutif papan atas akan mencari eksekutif
superstar guna merevitalisasi organisasi, dengan mencari identitas kepribadian baru
organisasi dengan menoleh keluar organisasi bisnisnya.

Dakui atau tidak, negara kawasan Asia masih diganggu oleh korupsi resmi yang
berpengaruh jauh ke dalam dunia bisnis. Korupsi di Amerika Serikat mungkin telah
jauh berkurang, akan tetapi cukup banyak penipuan pelaporan keuangan. Tentu saja,
keduanya sangat berbahaya bagi keberhasilan ekonomi dalam suatu negara. Korupsi
seperti yang telah melanda Indonesia misalnya, telah menghancurkan entitas politik
nasional . Meskipun para politisi berjanji untuk menghilangkannya , akan tetapi dalam
prakteknya mereka tidak mampu atau bahkan tidak mau melakukannya secara
sungguh-sungguh. Terdapat berbagai pelajaran penting tentang jenis dan gaya

36
kepemimpinan bisnis yang bersumber dari berbagai wilayah di dunia yang signifikan.
Amerika Serikat mungkin telah berpengalaman lama dalam menerapkan
kepemimpinan bisnis profesional, sehingga menciptakan model peran kepemimpinan
yang dikenal dengan CEO organisasi sbisni. Cina dikenal dengan bisnis keluarganya
dimana peran kepala keluarga menjadi sentral. Di Prancis dengan model jenderal
militer-nya . Dan di Jepang tentang bagaimana pembangun konsensus. Begitu pula
model pembangunan koalisi seperti yang terjadi di Jerman.

Berdasarkan hasil pengamatan yang seksama, terdapat sembilan kualitas kunci


dalam diri seorang pemimpin yang sukses, tentunya tanpa mengenyampingkan faktor
budaya, yakni: gairah, ketegasan, keyakinan, integritas, adaptasi, ketangguhan
emosional, resonansi emosional, pengenalan diri dan kerendahan hati. Kepemimpinan
dengan gairah emosional mungkin lebih umum terjadi di Amerika Serikat ketimbang
di negara lain. Ketegasan merupakan ciri umum pada para eksekutif yang efektif di
hampir semua negara. Akan tetapi, para eksekutif di Eropa dan Jepang adalah yang
paling berorientasi pada konsensus , sementara para top eksekutif Cina dan Amerika
Serikat mungkin lebih menyukai membuat keputusan pribadi dengan mengandalkan
pada akuntabilitas mereka sendiri. Keyakinan merupakan ciri umum bagi semua top
eksekutif di seluruh manca negara. Sementara integritas merupakan karakteristik yang
kompleks dan sangat ditentukan oleh budaya nasional. Katakanlah apa yang dianggap
jujur dalam satu budaya masyarakat, bangsa atau negara tertentu, maka akan dipersepsi
berbeda oleh budaya di tempat lain, begitu juga sebaliknya sehingga nilai kejujuran ini
menjadi bersifat sangat relatif dan lentur. Adaptasi adalah karakteristik yang biasa
dijalankan oleh kepemimpinan Amerika Serikat pada umumnya. Namun hal tersebut
kurang umum dan kurang dihargai di kawasan Asia dan Eropa. Sementara dewasa ini
adaptasi sangat dibutuhkan di mana-mana dengan laju yang cepat. Meskipun tidak
semua ditunjukkan secara eksplisit, faktor ketangguhan emosional adalah hal umum
yang dilakukan oleh hampir semua eksekutif puncak disemua belahan dunia.
Resonansi emosional, adalah kemampuan untuk memahami dan menularkan motivasi
terhadap orang lain secara efektif , dan hal ini menjadi penting dan disadari di Amerika
Serikat dan Eropa pada saat ini. Di negara Asia yang standar hidupnya telah membaik,
faktor tersebut juga telah menjadi hal penting. Para manajer profesional akan dituntut
mengembangkan ketrampilan kepemimpinan yang lebih besar, dan para CEO harus
bersaing untuk mendapatkan bakat manajerial yang mumpuni. Pengenalan diri adalah

37
kebajikan yang penting pada kepemimpinan di Asia – hal ini kurang umum pada
kepemimpinan di Amerika Serikat - namun merupakan salah satu kekuatan eksekutif
di kawasan Asia. Kerendahan hati adalah sifat yang sangat jarang ditunjukkan oleh
para CEO di Amerika Serikat, namun hal ini sering ditemukan pada para eksekutif di
Asia.

Gaya kepemimpinan saat ini berada diambang antara kepemimpinan Asia dan
Amerika Serikat. NR Narayana Murthy dari Infosys dan Stan Shih dari Acer, keduanya
dari India, adalah contoh yang baik. Mereka telah berhasil mengadopsi gaya
kepemimpinan hampir seluruhnya dari Amerika Serikat (barat) dan telah berhasil
dipraktekkan di Asia. Adanya perbedaan gaya kepemimpinan mencerminkan tahap
perkembangan ekonomi dan bisnis di Asia. Sebagian organisasi bisnis di Asia giat
mencari akses ke pasar modal pada pelbagai belahan dunia, dan mereka pun mencoba
bergerak ke arah pendekatan manajemen profesional yang mirip dengan yang sekarang
digunakan di Amerika Serikat. Sebagian organisasi bisnis di Asiapun mulai
bergantung pada tenaga profesional dari segala bidang keahlian, dan memberikan
berbagai pelayanan profesional telah dirasakan sangat penting dalam ekonomi Asia,
begitu pula mereka mulai tetarik untuk mengurangi gaya kepemimpinan otokratik ke
arah yang lebih partisipatif dan bahkan menggunakan pendelegasian dan
pemberdayaan kepemimpinan yang semakin mengemuka. Agaknya gaya
kepemimpinan di kawasan Asia pun pada akhirnya akan lebih menyerupai gaya
kepemimpinan ala barat. Akan tetapi faktor perbedaan budaya, ekonomi dan
geopolitik yang signifikan diantara negara-negara Asia dan Amerika Serikat (barat)
akan tatap mewarnai suasana persaingan yang semakin tajam dan akan terus tumbuh.
Kekuatan ekonomi akan mempertahankan fitur kekhasan (identitas) nasional masing-
masing negara. Konvergensi dalam gaya kepemimpinan tidak menjamin adanya
kesefahaman atau bahkan perdamaian yang kekal. Setiap negara harus terus bekerja
untuk kemajuan ekonomi, bisnis dan perdamaian, dan hal tersebut tidak akan datang
secara otomatis.

38
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1. Di Indonesia manajemen sudah ada sejak ada kehidupan pergaulan manusia itu
sendiri sewaktu manusia memulai berkelompok, bekerja sama mempertahankan
hidupnya. Sedangkan di Amerika manajemen lahir dari dorongan kuat F.W.
Taylor pada akhir abad ke 19 sampai awal abad ke 20, ia menekankan nilai kerja
keras, rasionalitas, ekonomi, individualisme dan pandangan bahwa setiap orang
memiliki peranan di masyarakat.
2. Budaya organisasi khas Indonesia masih ditandai oleh sifat tradisional seperti
solider organik, rukun dan musyawarah, hal ini dapat dilihat dari suasana santai,
akrab, dan suasana seperti dirumah yang dibawa ketempat kerja. Sedangkan
budaya di Amerika menggunakan sudut pandang “ pemilik nasib” atau mereka
sendiri yang menentukan atau mengendalikan nasib mereka sendiri.
3. Orang Amerika bekerja sangat struktual, mampu bekerja dengan terorganisasi
yang baik dan rencana yang baik, pemimpin selalu mebuat panduan apa saja yang
dilakukan sebelum, saat dan sesudah sebuah proyek, selain itu pemimpin di
Amerika sangat team-work oriented. Sedangkan di Indonesia bekerja secara
produktif, seperti contoh “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin”.
4. Di Amerika sikap kapitalisme sangat berkembang, mereka selalu mencari cara
agar memiliki materi yang banyak, mencari keuntungan sebanyak - banyaknya
dengan cara apapun, karena hal itu membuat karyawan banyak yang tidak setia
dengan perusahaannya. Sedangkan di Indonesia harus memiliki kemampuan
dalam mengambil keputusan, kejujuran, keadilan, saling menguntungkan, dan
intergritas moral.
5. Di Indonesia ada 2 cara untuk memberikan motivasi, yaitu dengan motivasi
berupa materi dengan cara menaikkan gaji karyawan, dan motivasi non materi
dengan cara menaikkan pangkat atau jabatan karyawan. Sedangkan di Amerika
memberikan motivasi dengan cara memberikan hari libur tiap tahunnya tanpa
pertanyaan atau gangguan dari perusahaan.
6. Kepemimpinan di Indonesia mengandung sifat yang beriman kepada Tuhan Yang
Maha Esa, memberi contoh teladan kepada karyawan, dan selalu waspada

39
mengawasi serta sanggup memberi saran dan mengkoreksi kepada karyawan.
Sedangkan di Amerika memiliki sifat direktif, partisipatif, pemberdayaan,
karismatik bahkan selebritis.

40
DAFTAR PUSTAKA

Robbins, Stephen P. 2009. Buku Manajemen Jilid 1 Edisi 10. Jakarta: Erlangga

Robbins, Stephen P. 2010. Buku Manajemen Jilid 2 Edisi 10. Jakarta: Erlangga

Purboadji, Aristo. Demokrasi kuat, Mimpi buruk Koruptor. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Handoko, T. Hani. 1984. Manajemen Edisi 2. Yogyakarta: BPFE

Dalimunthe, Ritha. 2003. Manajemen Indonesia. Tugas Akhir. Tidak Diterbitkan. Jurusan
Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatra Utara: Medan

Herujito, Yayat .M. 2001. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Grasindo.

Agung, A.M. Lilik. 2015. CEO WISDOM : Strategi 25 pemimpin Asli Indonesia dalam
Membesarkan Organisasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian 2.
Jakarta: IMTIMA.

Cateora, R. Philip dan L. Jhon Graham. 2007. International Marketing Pemasaran


Internasional. Jakarta: Salemba Empat.

Soekarso dan Iskandar Putong. 2015. Kepemimpinan: Kajian teoritis dan Praktis Volume 1
dari kepemimpinan edisi 1. Jakarta:Buku&Artikel Karya Iskandar Putong.

http://www.fe.unpad.ac.id/id/arsip-fakultas-ekonomi-unpad/opini/239258-penerapan-etika-
bisnis-di-indonesia.

Rini, Endang Sulistya. 2002. Manajemen Indonesia: Perpaduan Manajemen Barat Dan Timur
Serta Budaya Tradisional. Tugas Akhir. Tidak Diterbitkan. Jurusan Manajemen Fakultas
Ekonomi Universitas Sumatra Utara: Medan

http://www.fe.unpad.ac.id/id/arsip-fakultas-ekonomi-unpad/opini/239144-gaya-
kepemimpinan-asia-dan-amerika

Michelli, Joseph A. “The Starbucks Experience”. Jakarta : Erlangga. 2007.

Rotschild, William E. ”Rahasia Sukses GE”. Jakarta : Salemba Empat. 2008

41
Mas’ud, Fuad. 2004. Jurnal Studi Manajemen dan Organisasi: Mitos Keuniversalan Teori
Manajeman Amerika Volume.1. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Perpustakaan Ekstensi Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro: Semarang

42

Anda mungkin juga menyukai