Anda di halaman 1dari 1

Kerajaan Bima: Dari Hindu ke Islam

Sebelum abad ke-17 Masehi, di Sumbawa (kini termasuk wilayah NTB) masih berdiri
sejumlah kerajaan Hindu, termasuk Kerajaan Bima. Peter Truhart dalam Regents of
Nations, Part 3: Asia-Pacific and Oceania (2003) memperkirakan, Kerajaan Bima fase
Hindu mulai berdiri pada awal abad ke-13. Wilayah kekuasaannya mencakup
Sumbawa, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai, Komodo, dan lainnya.

Pengaruh Islam di Bima datang dari Sulawesi Selatan, tepatnya dari Kesultanan Gowa-
Tallo dengan pusatnya di Makassar. Kehadiran Gowa-Tallo di Bima bermula dari
persaingan dengan VOC yang telah menguasai sebagian besar jalur perdagangan di
kawasan perairan Nusa Tenggara.

Seperti diungkap Didik Pradjoko dan kawan-kawan dalam Atlas Pelabuhan-Pelabuhan


Bersejarah di Indonesia (2013), Kesultanan Gowa-Tallo pun mengirim ekspedisi untuk
menyaingi Belanda. Sebagian kerajaan di kepulauan tersebut akhirnya ditaklukkan,
termasuk wilayah Kerajaan Bima yang saat itu belum menganut Islam (hlm. 231).

Tahun 1620, Kerajaan Bima resmi menjadi kesultanan, dipimpin oleh raja dengan
menyandang gelar sultan. Islam pun menjadi agama resmi. Raja Islam pertama di Bima
adalah Ruma-ta Ma Bata Wadu yang kemudian bergelar Sultan Abdul Kahir I.

Islam membuat relasi antara Bima dan Gowa-Tallo kian mesra, termasuk lewat ikatan
perkawinan. Abdul Kahir I pun demikian. Dikutip dari Tawalinuddin Haris dan kawan-
kawan dalam Kerajaan Tradisional di Indonesia: Bima (1997), Abdul Kahir I menikahi
Daeng Sikontu, adik ipar Sultan Alauddin (1593-1639), penguasa Gowa-Tallo. Sultan
Alauddin adalah Raja Gowa-Tallo pertama yang memeluk agama Islam (hlm. 55).

Baca juga: Perdebatan dan Ragam Versi Masuknya Islam ke Nusantara

Jamaluddin merupakan cicit Abdul Kahir I. Ia adalah pemimpin Bima yang ke-4 setelah
menjadi kerajaan Islam. M. Hilir Ismail dalam Kebangkitan Islam di Dana Mbojo (1988)
menyebut, Jamaluddin mengawini Fatimah Karaeng Tanatan, anak perempuan
Karaeng Bisei, salah satu putra Sultan Hasanuddin. Artinya, Fatimah adalah cucu raja
yang berjuluk Ayam Jantan dari Timur itu.

Antara Kesultanan Bima dengan trah Hasanuddin sendiri sebelumnya telah terjalin
ikatan. Kakek Jamaluddin yakni Abil Khair Siradjuddin (Sultan Bima ke-2, memerintah
1640-1682) menikahi Karaeng Bonto Je’ne yang merupakan adik kandung Hasanuddin.
Dari perkawinan ini lahirlah Nuruddin, Sultan Bima ke-3 (1682-1687), yang tidak lain
adalah ayahanda Jamaluddin.

Anda mungkin juga menyukai