Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................i


KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah..................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan ....................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 3
2.1 Pengertian Teori Belajar.............................................................................................. 3
2.2 Pengertian Teori Belajar Behavioristik ....................................................................... 3
2.3 Ciri-Ciri Teori Belajar Behavioristik .......................................................................... 4
2.4 Tokoh-Tokoh Beraliran Behavioristik ........................................................................ 4
2.4.1 Teori Belajar Menurut Thorndike............................................................................ 4
2.4.2 Teori Belajar Menurut Watson ................................................................................ 8
2.4.3 Teori Belajar Menurut Ivan Pavlov ......................................................................... 9
2.4.4 Teori Belajar Menurut Clark Hull ......................................................................... 10
2.4.5 Teori Belajar menurut Edwin Guthrie ................................................................... 12
2.4.6 Teori Belajar menurut Skinner .............................................................................. 12
2.5 Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran.................................................... 14
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 15
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 15
3.2 Saran .......................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 17

iii
1

1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Siswa berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, baik dari segi
kemampuan /intelegensi, suku/ras, agama, kehidupan ekonomi dan sosial.
Perbedaan ini tidak seharusnya menjadi jurang perkembangan siswa di sekolah,
namun sebaliknya perbedaan ini menjadikan pembelajaran disekolah menjadi
lebih menarik, wlaupun membutuhkan penanganan khusus dari guru baik secara
klasikal, maupun individual. Dimana guru diharapkan mampu menciptakan
kondisi lingkungan belajar yang kondusif, yang memungkinkan siswa untuk bisa
mengembangkan seluruh kemampuan/potensi yang ada dalam dirinya.

Masalah lain yang dihadapi guru saat ini adalah rendahnya minat belajar
siswa dan cara belajar siswa yang tidak serius, sehingga berdampak pada
rendahnya hasil belajar siswa yang terlihat dari hasil ulangan harian dan ulangan
semester siswa. Dalam kelas yang terdiri atas siswa yang heterogen, ada siswa
yang berkemampuan tinggi namun hasil belajarnya rendah. Hal ini salah satunya
disebabkan oleh lingkungan disekitar yang tidak mendukung potensi siswa
tersebut. Dan sebaliknya ada siswa dengan kemampuan sedang, namun
mendapatkan nilai hasil belajar yang baik, karena motivasi belajar yang tinggi.
Dan anak yang berkemampuan rendah, memiliki nilai hasil belajar yang kurang
baik. Berbagai perbedaan ini harus bisa disikapi guru dengan baik, sehingga
perbedaan kemampuan ini tidak menjadi jurang kegagalan pendidikan di sekolah.

Berdasarkan fenomena dan masalah–masalah ini, seorang pendidik


professional seharusnya memiliki pengetahuan lebih tentang berbagai cara yang
dapat membantu siswa dalam belajar. Sesuai dengan perannnya sebagai fasilitator,
seharusnya pendidik professional mengetahui dan memfasilitasi cara yang
mempermudah siswa untuk belajar, salah satunya dengan memanfaatkan teori
belajar. Dengan mengetahui teori belajar diharapkan dapat membantu guru untuk
mengembangkan potensi siswa, dan memberikan cara-cara yang tepat untuk
mengatasi perbedaan / keanekaragaman kemampuan, sifat dan perilaku siswa
dalam proses belajar ataupun dalam proes pembelajaran.

1.2 Perumusan Masalah


 Apa pengertian dari belajar secara umum ?
 Apa yang dimaksud belajar menurutt teori behavioristik ?
 Apa saja ciri-ciri teori belajar behavioristik ?
 Jelaskan pendapat dan sebutkan tokoh-tokoh behavioristik ?
 Apa saja aplikasi teori Behavioristik dalam Pembelajaran ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk menambah ilmu
pengetahuan. Untuk mengetahui teori-teori behavioristik, baik pengertian,
maupun sampai tokoh-tokoh behavioristik. Dan dari penulisan ini diharapkan
menjadi bekal kita calon guru untuk bisa menyesuaikan teori yang cocok
digunakan dalam pembelajaran dikelas, supaya nantinya pembelajaaran dikelas
menjadi lebih menarik.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan makalah ini, mahasiswa atau calon guru menjadi
bertambah ilmu pengetahuan. Menambah ilmu pengetahuan tentang teori belajar,
khususnya teori behavioristik. Menjadikan mahasiswa atau calon guru menjadi
bisa menggunakan teori apa saja yang perlu digunakan dalam pembelajaran,
sehingga pembelajaran dikelas menjadi lebih menarik. Dan diharapkan juaga
nantinya bisa dan mampu mencetak generasi terbaik.

2
3

2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Teori Belajar
Teori belajar merupakan gabungan prinsip yang saling berhubungan dan
berupa penjelasan atas sejumlah fakta serta penemuan yang berkaitan dengan
peristiwa belajar. Penggunaan teori belajar dengan langkah-langkah
pengembangan yang benar dan pemilihan materi pelajaran serta penggunaan unsur
desain pesan yang baik dapat memberikan kemudahan kepada siswa dalam
memahami sesuatu yang dipelajari. Proses belajar pada hakikatnya adalah
kegiatan mental yang tidak tampak. Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam
diri seseorang yang sedang belajar tidak dapat disaksikan dengan jelas, tetapi
dapat dilihat dari gejala-gejala perubahan perilaku (Nahar, 2016).
2.2 Pengertian Teori Belajar Behavioristik
Menurut teori belajar behavioristik, belajar merupakan perubahan tingkah
laku hasil interaksi antara stimulus dan respon, yaitu proses manusia untuk
memberikan respon tertentu berdasarkan stimulus yang datang dari luar
(Winataputra, 2008). Teori belajar behavioristik melihat belajar merupakan
perubahan tingkah laku. Seseorang telah dianggap belajar apabila mampu
menunjukkan perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui
pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus, dan keluaran atau output
yang berupa respon. Teori belajar behavioristik menekankan kajiannya pada
pembentukan tingkah laku yang berdasarkan hubungan antara stimulus dengan
respon yang bisa diamati dan tidak menghubungkan dengan kesadaran maupun
konstruksimental. Teori belajar behavioristik berlawanan dengan teori kognitif
yang mengemukakan bahwa proses belajar merupakan proses mental yang tidak
diamati secara kasat mata.
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang mempelajari tingkah laku
manusia. Menurut Desmita (2009) teori belajar behavioristik merupakan teori
belajar memahami tingkah laku manusia yang menggunakan pendekatan objektif,
mekanistik, dan materialistik, sehingga perubahan tingkah laku pada diri
seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengkondisian. Dengan kata lain,
mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui pengujian dan
pengamatan atas tingkah laku yang terlihat, bukan dengan mengamati kegiatan
bagian-bagian dalam tubuh. Teori ini mengutamakan pengamatan, sebab
pengamatan merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut (Nahar, 2016).
2.3 Ciri-Ciri Teori Belajar Behavioristik
Menurut Ahmadi (2003) yang dikutip oleh Nahar (2016), teori belajar
behavioristik mempunyai ciri-ciri :
a. Aliran ini mempelajari perbuatan manusia bukan dari kesadarannya,
melainkan mengamati perbuatan dan tingkah laku yang berdasarkan
kenyataan. Pengalaman-pengalaman batin di kesampingkan serta gerak-
gerak pada badan yang dipelajari. Oleh sebab itu, behaviorisme adalah
ilmu jiwa tanpa jiwa.
b. Segala perbuatan dikembalikan kepada refleks. Behaviorisme mencari
unsur-unsur yang paling sederhana yakni perbuatan-perbuatan bukan
kesadaran yang dinamakan refleks. Refleks adalah reaksi yang tidak
disadari terhadap suatu pengarang. Manusia dianggap sesuatu yang
kompleks refleks atau suatu mesin.
c. Behaviorisme berpendapat bahwa pada waktu dilahirkan semua orang
adalah sama. Menurut behaviorisme pendidikan adalah maha kuasa,
manusia hanya makhluk yang berkembang karena kebiasaan-kebiasaan,
dan pendidikan dapat mempengaruhi reflek keinginan hati.
2.4 Tokoh-Tokoh Beraliran Behavioristik
2.4.1 Teori Belajar Menurut Thorndike
Teori connectionism ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L.Thorndike
(1874-1949). Menurut Thorndike, seluruh kegiatan belajar adalah didasarkan pada
jaringan asosiasi atau hubungan (bonds) yang dibentuk antara stimulus dan
respon. Karena itu, teori ini disebut juga S-R bond theory atau S-R psychology of
learning. Asumsinya bahwa otak siswa dapat menyerap dan menyimpan jejak-
jejak mental aspek individual dari sebuah situasi. Bila aspek-aspek tersebut
dirasakan, mereka mengaktifkan jejak mental yang berhubungan. Jejak mental

4
tersebut pada gilirannya berkaitan secara kolektif dengan respons-respona khusus.
Bila asosiasi tersebut terbentuk utuh, setiap waktu bila seorang siswa dihadapkan
pada suatu situasi maka ia pasti akan menunjukkan respon tertentu.
Selain itu, teori ini juga disebut trial and error learning. Hal ini karena
hubungan yang terbentuk antara stimulus dan respon tersebut timbul terutama
melalui trial and error, yaitu suatu upaya mencoba berbagai respons untuk
mencapai stimulus meski berkali-kali mengalami kegagalan. Proses ini kemudian
oleh Thorndike juga disebut sebagai connectionism, atau learning by selecting and
connecting.
Dalam eksperimennya, Thorndike menggunakan berbagai jenis hewan
percobaan, di antaranya kucing. Pertama-tama, kucing diletakkan di dalam
sangkar berjeruji (yang disebut puzzle box) yang dilengkapi dengan peralatan
seperti tuas pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang mehubungkan tuas dan
gerendel. Peralatan tersebut dipasang sedemikian rupa sehingga memungkinkan
kucing tersebut untuk dapat membuka sangkar dan menjangkau makanan yang
terletak di depan sangkar, dengan suatu usaha. Mula-mula kucing mengeong,
mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun berkali-kali usaha itu gagal.
Kucing itu terus berusaha dan berusaha sehingga akhirnya berhasil, pintu sangkar
terbuka dan kucing dapat mencapai makanan (Khodijah, 2014).
Dari hasil penelitiannya, Thorndike menyimpulkan bahwa respons untuk
keluar kandang secara bertahap diasosiasikan dengan suatu situasi yang
menampilkan stimulus dalam suatu proses coba-coba (trial and error). Respon
yang benar secara bertahap diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba,
sementara respon yang tidak benar melemah atau menghilang. Teori
Connectinism Thorndike ini juga dikenal dengan nama “Instrumental
Conditioning”, karena respons tertentu akan dipilih sebagai instrument dalam
memperoleh “reward” atau hasil yang memuaskan (Winataputra, 2008).
Thorndike juga membuat rumusan hukum belajar. Tiga hukum belajar mayor
dikemukakan oleh Thorndike adalah: law of readiness, law of exercise, dan law of
effect :

5
a. Hukum kesiapan (Law of Readiness)
Kesiapan seseorang dalam melakukan sesuatu hal
mempengaruhi hasil akhirnya. Menurut hukum kesiapan hubungan
antara stimulus dan respons mudah terbentuk kalau ada persiapan
pada diri seseorang. Siswa akan mudah mempelajari perkalian
kalau ia sudah menguasai tentang penjumlahan. Anak usia satu
tahun akan mudah belajar berjalan kalau otot-otot kakinya telah
kuat untuk menahan berat badannya. Secara rinci hukum kesiapan
itu meliputi :
1. Jika seseorang telah siap merespons atau bertindak, maka
tindakan atau respons yang dilakukan akan memberi kepuasan, dan
akan mengakibatkan orang tersebut tidak melakukan tindakan-
tindakan lain.
2. Jika seseorang memiliki kesiapan untuk merespons, tetapi
kemudian tidak dilakukan, maka hal itu dapat menakibatkan
ketidakpuasan, dan akibatnya orang tersebut akan melakukan
tindakan-tindakan.
3. Jika seseorang belum mempunyai kesiapan merespons, maka
respons yang diberikan akan mengakibatkan ketidakpuasan
(Abimanyu, 2009).

6
b. Hukum latihan (Law of exercise)
Jika respon terhadap stimulus diulang-ulang maka akan
memperkuat hubungan keduanya. Perilaku sebagai hasil belajar
terbentuk karena adanya hubungan antara stimulus dan respon.
Hubungan tersebut diperkuat atau diperlemah oleh tingkat
intensitas dan durasi pengulangan hubungan atau latihan. Jika tidak
terjadi latihan selama beberapa waktu, hubungan akan melemah.
Sebaliknya, hubungan akan bertambah kuat kalau ada latihan.
Implikasinya dalam proses pembelajaran, guru perlu memberikan
kesempatan latihan sebanyak mungkin pada siswa, sehingga
mencapai hasil yang diharapkan. Setelah tahun 1930, Thorndike
merevisi hukum ini. Latihan saja tidaklah cukup, latihan hanya
akan membawa hasil bila diikuti atau disertai oleh hadiah (reward)
atau hukuman (punishment) (Khodijah, 2014).
c. Hukum efek (Law of effect)
Jika sebuah respon menghasilkan efek yang
menyenangkan,hubungan antara stimulus dan respon akan
semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang
dihasilkan respon, semakin lemah pula hubungan stimulus
respons tersebut, kemudian pada akhirnya respons tersebut tidak
dimunculkan lagi. Implikasinya dalam proses pembelajaran, guru
perlu memberikan hadiah bagi perilaku positif yang ditunjukkan
oleh siswa, sebaliknya terhadap perilaku negative perlu diberikan
hukuman. Setelah tahun 1930, Thorndike juga merevisi hukum
ini. Menurutnya dalam keadaan dimana aksi simetris mungkin
dilakukan, hadiah lebih kuat pengaruhnya dari pada hukuman.
Meski Thorndike telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyusun
teorinya, namun kelemahan-kelemahan teori ini tetap ada. Di antaranya, teori ini
tidak membahas bagaimana sisiwa mengatur diri mereka dalam belajar, akan
tetapi lebih pada bagaimana guru mengatur belajar siswa. Selain itu, Thorndike
percaya bahwa pembentukkan ikatan asosiatif melalui pengulangan reward

7
merupakan bagian dari kelengkapan alami manusia sebagaimana hewan. Meski
demikian, saat ini masih banyak guru yang dalam mengajar masih bersandar pada
prinsip-prinsip Thorndike (Khodijah, 2014).
2.4.2 Teori Belajar Menurut Watson
John B. Watson (1878-1958) bukanlah ahli yang pertama yang melalukan
kajian terhadap perilaku manusia dalam proses belajar, namun Watson lah yang
melakukan penyimpulan atas teori Classical Conditioning dari Pavlov dan teori
Connectionism dari Thorndike. Teori Behaviorism atau teori perilaku dari Watson
sangat dipengaruhi oleh teori Pavlov maupun Thorndike yang menjadi landasan
utamanya.
Menurut Watson, stimulus dan respon yang menjadi konsep dasar dalam teori
perilaku pada umumnya, haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati
(observable). Dengan demikian, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental
yang mungkin terjadi dalam belajar, karena dianggap terlalu kompleks untuk
diketahui. Watson menyatakan bahwa semua perubahan mental yang terjadi
dalam benak siswa adalah penting, namun hal itu tidak dapat menjelaskan apakah
perubahan tersebut terjadi karena proses belajar atau proses pematangan semata.
Hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati (observable) maka perubahan
yang bakal terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar dapat diramalkan.
Interaksi antara stimulus dan respon terhadap berbagai situasi-proses
pengkondisian, menurut Watson merupakan proses pengembangan kepribadian
seseorang. Pernyataan Watson tersebut dilandaskan kepada penelitian yang
dilakukannya terhadap sejumlah bayi. Watson mengemukakan bahwa pada
dasarnya bayi yang baru dilahirkan hanya memiliki tiga jenis respon emosional,
yaitu takut, marah, dan sayang. Kehidupan emosi manusia dewasa yang sangat
kompleks, menurut Watson, merupakan hasil pengkondisian dari tiga jenis respon
emosional dasar tersebut tetap dapat diukur sehingga, sekali lagi hasil proses
belajar diramalkan. Dalam hal interaksi antara stimulus dan respon, Watson
menggunakan teori Classical Conditioning Pavlov yang dilengkapi dengan
komponen penguatan dari Thorndike. Namun dalam hal perampatan hasil proses
pengkondoisian tiga emosi dasar bayi terhadap orang dewasa, Watson lebih

8
menggunakan tiga dalil belajar dan konsep perampatan hasil belajar dari
Thorndike (Winataputra, 2008).
2.4.3 Teori Belajar Menurut Ivan Pavlov
Menurut Nahar yang dikutip dari Desmita (2005), Paradigma kondisioning
klasik merupakan karya besar Ivan P. Pavlov (1849-1936), ilmuan Rusia yang
mengembangkan teori perilaku melalui percobaan tentang anjing dan air liurnya.
Proses yang ditemukan oleh Pavlov, karena perangsang yang asli dan netral atau
rangsangan biasanya secara berulang-ulang dipasangkan dengan unsur penguat
yang menyebabkan suatu reaksi. Perangsang netral disebut perangsang bersyarat
atau terkondisionir, yang disingkat dengan CS (conditioned stimulus). Penguatnya
adalah perangsang tidak bersyarat atau US (unconditioned stimulus). Reaksi alami
atau reaksi yang tidak dipelajari disebut reaksi bersyarat atau CR (conditioned
response). Pavlov mengaplikasikan istilah-istilah tersebut sebagai suatu penguat.
Maksudnya setiap agen seperti makanan, yang mengurangi sebagaian dari suatu
kebutuhan. Dengan demikian dari mulut anjing akan keluar air liur (UR) sebagai
reaksi terhadap makanan (US). Apabila suatu rangsangan netral, seperti sebuah
bel atau genta (CS) dibunyikan bersamaan dengan waktu penyajian maka
peristiwa ini akan memunculkan air liur (CR).
Melalui paradigma kondisioning klasiknya, Pavlov memperlihatkan anjing
dapat dilatih mengeluarkan air liur bukan terhadap rangsang semula (makanan),
melainkan terhadap rangsang bunyi. Hal ini terjadi pada waktu memperlihatkan
makanan kepada anjing sebagai rangsang yang menimbulkan air liur, dilanjutkan
dengan membunyikan lonceng atau bel berkali-kali, akhirnya anjing akan
mengeluarkan air liur apabila mendengar bunyi lonceng atau bel, walaupun
makanan tidak diperlihatkan atau diberikan. Disini terlihat bahwa rangsang
makanan telah berpindah ke rangsang bunyi untuk memperlihatkan jawaban yang
sama, yakni pengeluaran air liur. Paradigma kondisioning klasik ini menjadi
paradigma bermacam-macam pembentukan tingkah laku yang merupakan
rangkaian dari satu kepada yang lain. Kondisoning klasik ini berhubungan pula
dengan susunan syaraf tak sadar serta otot-ototnya. Dengan demikian emosional
merupakan sesuatu yang terbentuk melalui kondisioning klasik.

9
Menurut Zulhammi (2015) yang dikutip oleh Nahar, teori belajar
pengkondisian klasik merujuk pada sejumlah prosedur pelatihan karena satu
stimulus dan rangsangan muncul untuk menggantikan stimulus lainnya dalam
mengembangkan suatu respon. Prosedur ini disebut klasik karena prioritas
historisnya seperti dikembangkan Pavlov. Kata clasical yang mengawali nama
teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap
paling dahulu dibidang conditioning (upaya pengkondisian) dan untuk
membedakannya dari teori conditioning lainnya. Perasaan
orang belajar bersifat pasif karena untuk mengadakan respon perlu adanya
suatu stimulus tertentu, sedangkan mengenai penguat menurut pavlov bahwa
stimulus yang tidak terkontrol (unconditioned stimulus) mempunyai hubungan
dengan penguatan. Stimulus itu yang menyebabkan adanya pengulangan tingkah
laku dan berfungsi sebagai penguat.
Dari hasil percobaan yang dilakukan Pavlov, maka menghasilkan hukum
belajar. Hukum belajar yang dikemukakan Pavlov:
a. Law of respondant conditioning, atau hukum pembiasaan yang dituntut.
Jika dua macam stimulus dihadirkan secara serentak (dengan salah satunya
berfungsi sebagai reinforcer) maka refleks dan stimulus lainnya akan
meningkat.
b. Law of respondant extinction, atau hukum pemusnahan yang dituntut. Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui respondant conditioning itu
didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya
akan menurun (Sumani, 2011).
2.4.4 Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark L. Hull (1884-1952) sangat mengagumi teori Refleks terkondisi dari
Pavlov. Teori Hull dikenal sangat “behavioristic” dan mekanistik. Konsep utama
dari teori Hull adalah kebiasaan, yang disimpulkan dari berbagai penelitian
tentang kebiasaan dan respon terkondisi yang dilakukan Hull melalui percobaan
terhadap binatang. Perilaku yang kompleks, menurut Hull, diasumsikan berasal
dari belajar terhadap bentuk-bentuk perilaku yang sederhana. Dalam upaya
mematangkan teorinya, Hull juga menggunakan dalil sebab-akibat dari Thorndike
lalu menggabungkannya dengan hasil temuannya.

10
Pada dasarnya dalam teorinya Hull menyatakan bahwa interaksi antara
stimulus dan respon tidaklah sederhana sebagaimana adanya. Menurut Hull, ada
proses lain dalam diri seseorang (atau organisme) yang mempengaruhi interaksi
antara stimulus dan respon proses tersebut disebut oleh Hull sebagai variabel
“intervening” (yang berpengaruh).
Hull memeberi contoh rasa haus sebagai salah satu “intervening variabel”.
Menurut Hull, situasinya adalah binatang diberi makan yang asin, atau tidak
diberi minum untuk sekian lama situasi ini merupakan “input variabel”. Rasa
haus timbul akibat dari situasi tersebut kemudian, untuk mengatasi rasa haus,
binatang akan melakukan bermacam-macam aksi, seperti mengais, mencari-cari
air, dan lain-lain, bahkan binatang akan melakukan hal-hal lain apa saja untuk
memperoleh air (sebagai imbalan atas air yang diperolehnya).
Hull percaya bahwa dalam asosiasi antara stimulus terhadap respon ada faktor
kebiasaan sebagai “intervening variabel”. Intensitas kebiasaan tersebut
menentukan intensitas asosiasi yang terjadi. Proses belajar menurut Hull
merupakan upaya menumbuhkan kebiasaan melalui serangkaian percobaan.
Untuk dapat memperoleh kebiasaan diperlukan adanya penguatan dalam proses
pecobaan. Namun, Hull juga menyatakan bahwa penguatan bukan satu-satunya
faktor yang menentukan dalam pengembangan kebiasaan, karena pengembangan
kebiasaan lebih utama dipengaruhi oleh banyaknya percobaan yang dilakukan. Di
samping itu, proses belajar juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain (non-
learning factors) yang berinteraksi langsung terhadap reaksi potensial yang
timbul.
Pada akhirnya, Hull mengembangkan teorinya menjadi suatu teori yang
sangat kuantitatif. Hull mencoba mengukur intensitas respon dalam bentuk nilai
kuantitatif, dan mencoba menentukan nilai numeric yang tepat untuk membuat
persamaan tentang hubungan antara “intervening variabel” terhadap variabel
bebas maupun variabel terikat. Upaya kuantifikasi ini dilakukan Hull dalam
rangka memprediksi secara kuantitatif hasil-hasil dari percobaan-percobaan
terhadap perilaku. Dengan kata lain, respon dan kebiasan dapat diperidiksi secara

11
kuantitatif dan tepat melalui rumus-rumus tentang interaksi berbagai faktor yang
mempengaruhinya.
Walaupun banyak kritik terhadap teori Systematic Behavior dari Hull, namun
tak dapat disangkal bahwa teori Hull merupakan karya dan pencapaian terbesar
pada masanya. Teori Hull sangat lengkap, menyeluruh, dan detail sehingga
dengan mudah terlihat kelebihan dan kekurangannya. Teori Hull juga mempunyai
banyak pengikut yang antara lain adalah murid-muridnya, yang telah
mengembangkan teori Hull sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang paling
berpengaruh dalam dunia psikologi belajar sejak tahun 1940-an. (Winataputra,
2008).
2.4.5 Teori Belajar menurut Edwin Guthrie
Hukum belajar yang dihasilkan oleh Guthrie adalah law og contiguity atau
hukum hubungan. Gabungan stimulus yang disertai dengan gerakan, pada waktu
timbul kembali akan cenderung diikuti gerakan yang sama. Guthrie juga
menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan
mengubah situasi stimulus sedangkan pada saat yang sama tidak ada respon lain
yang dapat terjadi. Penguat hanya sekedar melindungi hasil belajar yan baru agar
tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon baru.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara. Oleh karena itu
kegiatan belajar perlu sesering mungkit diberi stimulus, agar hubungan antara S-R
bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie sedikit berbeda dengan ahli yang lain,
melihat faktor hukuman, menurutnya hukuman memegang peran penting dalam
proses belajar apabila diberikan disaat yang tepat akan mampu mengubah tingkah
laku seseorang (Sumani, 2011).
2.4.6 Teori Belajar menurut Skinner
Skinner dalam Slavin 1994, seperti halnya Thorndike memusatkan pada
hubungan antara tingkah laku dan konsekuensinya. Misalnya jika tingkah laku
seseorang diikuti oleh konsekuensi yang menyenangkan maka orang itu akan
mengulangi tingkah laku itu sesering mungkin. Penggunaan konsekuensi yang
menyenangkan (ganjaran) dan yang tidak menyenangkan (hukuman) untuk
mengubah tingkah laku dinamakan Operant Conditioning. Jadi konsekuensi yang

12
digunakan untuk mengontrol terjadinya tingkah laku. Konsekuensi adalah kondisi
yang mengikuti tingkah laku dan mempengaruhi frekuensi tingkah laku yang akan
datang (Abimanyu, 2009).
Sanjaya (2006) mengemukakan pendapat Skinner bahwa untuk membentuk
tingkah laku tertentu perlu diurutkan atau dipecah-pecah menjadi bagian-bagian
atau atau komonen-komponen tingkah laku yang spesifik. Selanjutnya setiap
tingkah laku yang dilakukan dengan baik diberi penguatan supaya tingkah laku itu
terus diulang-ulang dan agar termotivasi untuk mencapai tingkah laku puncak
yang diharapkan. Sebagai ilustrasi, misalnya kita ingin membentuk kebiasaan agar
anak suka membaca buku. Agar terbentuk kebiasaan itu, maka perilaku membaca
dapat dipecah menjadi beberapa bagian :
a. Melihat-lihat sampul buku
b. Membuka-buka buku
c. Memperhatikan gambar-gambar yang ada
d. Membaca isi buku
Setiap bagian perilaku yang telah direspon dengan baik oleh anak diberi
hadiah (penguatan) yang dapat menimbulkan rasa senang. Akibatnya anak akan
terus mengulang perilaku tersebut dan melanjutkan pada bagian perilaku
selanjutnya. Sanjaya (2006) mengemukakan bahwa teori Operant Conditioning
dari Skinner ini sangat besar pengaruhnya dalam teknologi pengajaran.
Pendekatan baru dalam pengajaran seperti berprograma, pengajaran dengan
bantuan komputer, mengajar dengan menggunakan mesin, pengajaran modul
semuanya dikembangkan dari teori Skinner (Abimanyu, 2009:).
Skinner (Slavin, 1994, Eggen dan Kauchak, 1997) menyatakan bahwa
perubahan tingkah laku tergantung pada konsekuensinya yang segera.
Konsekuensi yang menyenangkan menguatkan tingkah laku, sedangkan
konsekuensi yang tidak menyenangkan melemahkan tingkah laku itu. Contohnya,
jika siswa senang membaca buku mereka akan membaca buku lebih sering lagi.
Sebaliknya jika ia menemui cerita yang membosankan atau tak bisa memusatkan
perhatian, ia akan membaca kurang sering dan akan memilih kegiatan lain sebagai
gantinya. Konsekuensi yang menyenangkan biasanya dinamakan penguatan,

13
sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan dinamakan hukuman.
(Abimanyu, 2009).
Hukum belajar yang dihasilkan oleh penelitian adalah:
1. Law of operant conditioning, jika timbulnya perilaku diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2. Law of operant extinction, jika timbulnya perilaku operant yang telah
diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan akan menghilang.
(Sumani. 2011: 64).
2.5 Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Konsep stimulus diterapkan dalam proses pembelajaran dalam bentuk tujuan,
ruang lingkup, dan relevansi pembelajaran, dan dalam bentuk penyajian materi.
Sementara itu, konsep respon diterapkan dalam bentuk jawaban siswa terhadap
soal-soal tes dan atau ujian setelah materi disajikan, atau hasil karya siswa setelah
prosedur pembuatan karya disampaikan. Proses pengkondisian atau interaksi
antara stimulus dan respon diterapkan dalam bentuk pemunculan stimulus yang
bervariasi, baik stimulus tunggal, ganda, maupun kombinasi stimulus. Misalnya
penyajian materi melalui uraian (ceramah) dan contoh, diskusi, penemuan
kembali, kerja laboraturium, permainan dengan menggunakan media tunggal
maupun beragam media (papan tulis, OHT, video, computer, dan lain-lain).
Dalam proses pengondisian, berlaku tiga dalil tentang belajar, yaitu dalil
sebab-akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan dalil kesiapan (Thorndike). Jika
respons siswa terhadap stimulus yang diberikan guru (materi, contoh, gambar, dan
lain-lain) menghasilkan rasa yang menyenangkan (dipuji, diminta membantu
teman, nilai bagus, jawaban benar, dan lain-lain)maka siswa cenderung untuk
mengulang melakukan hal yang sama. Namun, jika respons siswa terhadap
stimulus yang diberikan menghasilkan rasa tida senang bagi siswa (nilai jelek,
dimarahi, ditertawakan, dan lain--lain) maka siswa cenderung untuk tidak
mengulang kelakuan yang sama. Di samping itu, respon yang benar akan semakin
banyak dimunculkan jika siswa memperoleh latihan yang berulang-ulang. Dengan
demikiann, dalam setiap proses pembelajaran, latihan menjadi komponen utama
yang harus dirancang dan dilaksanakann(Winataputra, 2008).

14
15

3 BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

a. Teori belajar merupakan gabungan prinsip yang saling berhubungan


dan berupa penjelasan atas sejumlah fakta serta penemuan yang
berkaitan dengan peristiwa belajar.

b. Teori belajar behavioristik melihat belajar merupakan perubahan


tingkah laku.

c. Teori belajar behavioristik merupakan teori belajar memahami tingkah


laku manusia yang menggunakan pendekatan objektif, mekanistik, dan
materialistik, sehingga perubahan tingkah laku pada diri seseorang
dapat dilakukan melalui upaya pengkondisian.

d. Tokoh-Tokoh Beraliran Behavioristik


1. Edward L.Thorndike, dengan teorinya disebut connectionism, atau
learning by selecting and connecting. Teorinya terbagi menjadi tiga
hukum : kesiapan, latiham dan efek.
2. John B. Watson, dengan teorinya disebut teori perilaku.
3. Ivan Pavlov, dengan teorinya disebut paradigma kondisioning klasik.
Teori ini terbagi menajdi dua hukum : hukum pembiasaan dan
pemusnahan.
4. Clark L. Hull, dengan teorinya disebut behavioristic dan mekanistik.
5. Edwin Guthrie menghasilkan hukum belajar yang yang dikenal
dengan sebutan law og contiguity atau hukum hubungan.
6. Skinner, teori yang dikenal dengan sebutan Operant Conditioning.
Menyatakan bahwa perubahan tingkah laku tergantung pada
konsekuensinya yang segera.
c. Konsep stimulus diterapkan dalam proses pembelajaran
dalam bentuk tujuan, ruang lingkup, dan relevansi
pembelajaran, dan dalam bentuk penyajian materi.
Sementara itu, konsep respon diterapkan dalam bentuk
jawaban siswa terhadap soal-soal tes dan atau ujian setelah
materi disajikan.
3.2 Saran
Sebelum membuat suatu makalah, lebih baik cari terlebih dahulu referensi.
Dimengerti dahulu, karena itu akan mempermudah dalam penyusunan suatu
makalah. Kemudian, dalam menyusun suatu makalah, perhatikan juga tanda baca,
supaya tidak racuh ketika orang lain membaca atau memahaminya.

16
17

DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu, Soli, dkk. 2009. STRATEGI PEMBELAJARAN 3 SKS. Jakarta:


Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi departemen Pendidikan Nasional.
Khodijah, Nyayu. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Nahar, N. I. (2016). Penerapan Teori Belajar Behaviorisrik dalam Proses
Pembelajaran . Nusantara ( Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial ), 1. Diambil
kembali dari Kabupaten Agam Sumatera Barat.
Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: PT. Remaja
Rosdakarya.
Winaputra, Udin S, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Universitas terbuka.

Anda mungkin juga menyukai