Anda di halaman 1dari 32

ANALISIS PERKEMBANGAN TEORI BELAJAR DAN PENERAPANNYA DALAM

PEMBELAJARAN BIOLOGI

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Desain dan Strategi
Pembelajaran Biologi yang dibina oleh Bapak Dr. Ibrohim, M.Si.

Oleh:
Dewi Fitria Cahyani (220341813944)
Muhamad Arjuna Salim (220341800771)

Kelompok 3/Offering A 2022

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN BIOLOGI
September 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga makalah yang berjudul “Analisis Perkembangan Teori Belajar dan Penerapannya
dalam Pembelajaran Biologi” dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas pada mata kuliah Etika Keilmuan yang dibina oleh Bapak Dr. Ibrohim,
M.Si.
Selanjutnya penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ibrohim, M.Si. selaku
dosen mata kuliah yang telah membimbing penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Offering A 2022 atas dukungannya
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
dengan kelapangan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
penulisan makalah ini.

Malang, September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2

1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3

2.1 Definisi dan Perkembangan Teori Belajar .................................................................. 3

2.1.1 Definisi Belajar ......................................................................................................... 3

2.1.2 Definisi Teori Belajar ............................................................................................... 4

2.2 Teori Belajar Behavioristik ......................................................................................... 4

2.2.1 Konsep Teori Belajar Behavioristik.......................................................................... 4

2.2.2 Tokoh Teori Belajar Behavioristik ........................................................................... 5

2.2.3 Kelebihan Teori Belajar Behavioristik ..................................................................... 8

2.2.4 Kelemahan Teori Belajar Behavioristik.................................................................... 9

2.3 Teori Belajar Kognitif ................................................................................................. 9

2.3.1 Konsep Teori Belajar Kognitif.................................................................................. 9

2.3.2 Tokoh Teori Belajar Kognitif ................................................................................. 10

2.3.3 Kelebihan Teori Belajar Kognitif ........................................................................... 15

2.3.4 Kelemahan Teori Belajar Kognitif.......................................................................... 15

2.4 Teori Belajar Konstruktivistik................................................................................... 15

2.4.1 Konsep Teori Belajar Konstruktivistik ................................................................... 15

2.4.2 Proses Mengkonstruksi Pengetahuan ...................................................................... 16

2.4.3 Konstruksi Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky (1896-1934) .............................. 16

2.5 Teori Belajar Humanistik .......................................................................................... 18

iii
2.5.1 Konsep Teori Belajar Humanistik .......................................................................... 18

2.5.2 Tokoh Teori Belajar Humanistik ............................................................................ 18

2.5.3 Kelebihan Teori Belajar Humanistik ...................................................................... 19

2.5.4 Kekurangan Teori Belajar Humanistik ................................................................... 19

2.6 Teori Belajar Konektivistik ....................................................................................... 19

2.6.1 Konsep Teori Belajar Konektivistik ....................................................................... 19

2.6.2 Tokoh Teori Belajar Konektivistik ......................................................................... 21

2.6 3 Kelebihan Teori Belajar Konektivistik ................................................................... 22

2.6 4 Kekurangan Teori Belajar Konektivistik ................................................................ 22

2.7 Teori Belajar Untuk Pembelajaran Biologi ............................................................... 23

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 25

3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 25

3.2 Saran .......................................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 28

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Teori adalah model atau kerangka pikiran yang menjelaskan telah terbuktinya
suatu kebenaran. Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan
menguasai suatu kejadian tertentu. Sering sekali, teori dipandang sebagai suatu model
atas kenyataan. Teori juga merupakan seperangkat azas-azas yang tertentu tentang
kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata.
Belajar merupakan perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau
potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat. Belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap
telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Stimulus
merupakan apa saja yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respons berupa
reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Teori belajar merupakan suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara
pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode
pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Ada beberapa
jenis teori belajar yaitu: Muhammad Saw, Burrhus Frederick Skinner, Jean Piaget,
Taksonomi Bloom, Jonh Dewey, Vygotsky, dan Robert M. Gagne.
Teori belajar berguna untuk memudahkan seorang guru dalam proses belajar
menngajar agar membuat siswa lebih memahami pelajaran sehingga pelajaran itu
lebih bermakna dan teori belajar juga merupakan cara yang dilakukan peserta didik
dan guru dalam memperoleh maupun menyampaikan ilmu pengetahuan melalui
proses belajar atau mengajar. Setiap manusia wajib untuk belajar agar menjadi
manusia yang memiliki derajat tertingggi dibandingkan makhluk lainnya, itu sebab
timbulnya perbedaan antara manusia dengan hewan.
Teori belajar juga sangat bermanfaat karena dengan teori belajar, guru juga
lebih mengetahui bagaimana siswanya termasuk bagaimana perilaku (sikap),
pengetahuan, dan keterampilan siswanya dalam belajar. Sehingga dengan demikian
guru dapat mengevaluasi kesaahan-kesalahan yang terdapat dalam tingkat
pemahaman siswa.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang ada di dalam latar belakang, maka rumusan masalah
dapat disusun sebagai berikut.
1. Bagaimana definisi dan perkembangan teori belajar?
2. Apa itu teori belajar behavioristik?
3. Apa itu teori belajar kognitivistik?
4. Apa itu teori belajar konstruktivistik?
5. Apa itu teori belajar humanistik?
6. Apa itu teori belajar konektivistik?
7. Bagaimana teori belajar untuk pembelajaran biologi?
1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian yang ada di dalam rumusan masalah, penulis mengambil
tujuan sebagai berikut.
1. Menjelaskan definisi dan perkembangan teori belajar.
2. Menjelaskan teori belajar behavioristik.
3. Menjelaskan teori belajar kognitivistik.
4. Menjelaskan teori belajar konstruktivistik.
5. Menjelaskan teori belajar humanistik.
6. Menjelaskan teori belajar konektivistik.
7. Menjelaskan teori belajar untuk pembelajaran biologi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Perkembangan Teori Belajar


2.1.1 Definisi Belajar
Belajar adalah suatu proses dan belajar hampir selalu mendapat tempat yang
luas dalam berbagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan upaya kependidikan.
Konsep dasar belajar merupakan kegiatan berproses dalam memakai unsur yang
sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Hal
ini berarti bahwa berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan itu amat
bergantung pada proses belajar yang dijalani siswa baik pada saat dia berada di
sekolah atau berada di lingkungan rumah atau di lingkungan keluarganya sendiri.
Menurut Gagne (Dahar, 2011) belajar merupakan suatu proses dimana suatu
organisme berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman. Ada penekanan
bahwa belajar itu menyangkut perubahan dalam suatu organisme. Perubahan yang
terjadi di sini adalah perubahan perilaku dalam proses belajar. Nasution
mendefinisikan belajar sebagai perubahan kelakuan, pengalaman, dan latihan. Jadi,
belajar membawa suatu perubahan pada diri individu yang belajar. Perubahan tidak
hanya mengenai sejumlah pengalaman, pengetahuan, melainkan juga membentuk
kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, minat, dan penyesuaian diri. Menurut
Ahmad Thonthowi, belajar merupakan perubahan tingkah laku karena latihan dan
pengalamab. Dari beberapa perspektif pengertian belajar, adalah suatu aktivitas
mental (psikis) yang menghasilkan perubahan yang bersifat relatif konstan.
Hakikat belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang yang telah
mengalami belajar akan berubah tingkah lakunya, tetapi tidak semua perubahan
perilaku berasal dari hasil belajar. Ada beberapa ciri atau prinsip dalam belajar
menurut Paul Suparno yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Belajar mencari makna. Makna diciptakan siswa dari apa yang mereka lihat,
dengar, rasakan, dan alami.
2. Konstruksi makna adalah proses yang terus menerus.
3. Belajar bukanlah kegiatan pengumpulan fakt, tetapi merupakan pengembangan
pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil
pengembangan tetapi perkembangan itu sendiri.

3
4. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik
dengan lingkungannya.
5. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si subjek belajar,
tujuan, motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang telah
dipelajari.

2.1.2 Definisi Teori Belajar


Teori merupakan kumpulan prinsip-prinsip yang disusun secara sistematis.
Prinsip tersebut berusaha menjelaskan hubungan-hubungan antara fenomena-
fenomena yang ada. Setiap teori akan mengembangkan konsep-konsep yang
digunakan sebagai simbol fenomena tertentu. Secara umum, teori adalah sebuah
sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan di antara konsep-
konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena.
Perkembangan teori belajar yang sudah ada memberikan jalan bagi era
reformasi anak-anak dan perlu mempersiapkan dalam memasuki era demokratisasi
melalui pendidikan, suatu era yang ditandai dengan keragaman perilaku, dengan cara
terlibat dan mengalami secara langsung proses demokrasi ketika mereka sedang
berada di latar belajar (sekolah). Teori belajar diperlukan agar guru memiliki
kedewasaan dan kewibawaan dalam hal mengajar, mempelajari siswanya,
menggunakan prinsip-prinsip psikologi maupun dalam hal menilai cara mengajarnya
sendiri.

2.2 Teori Belajar Behavioristik


2.2.1 Konsep Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik seringkali dikenal sebagai teori belajar perilaku,
karena analisis yang dilakukan pada perilaku yang tampak, dapat diukur, dilukiskan
dan diramalkan. Belajar merupakan perubahan perilaku manusia yang disebabkan
karena pengaruh lingkungannya. Behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana
perilaku individu yang belajar dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan, artinya
lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Teori ini memandang individu sebagai
makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungannya (Schunk & Cox,
1986). Pengalaman dan pemeliharaan akan pengalaman tersebut akan membentuk
perilaku individu yang belajar.

4
Behavioristik memandang bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adanya interaksi antar stimulus dan respon (Robert, 2014).
Sehingga, dapat dipahami bahwa belajar merupakan bentuk dari suatu perubahan
yang dialami peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan
cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Peserta didik
dianggap telah melakukan belajar jika dapat menunjukkan perubahan tingkah
lakunya. Contohnya, peserta didik dapat dikatakan bisa membaca jika ia mampu
menunjukkan kemampuan membacanya dengan baik.
Teori behavioristik berangkat dari aliran psikologi behaviorisme yang
menyimpulkan perilaku manusia itu bisa dibentuk menjadi baik atau buruk oleh
lingkungan. Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson,
Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Pada dasarnya para penganut aliran
behavioristik setuju dengan pengertian belajar di atas, meskipun ada beberapa
perbedaan pendapat yang tidak signifikan di antara mereka.
2.2.2 Tokoh Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar ini dikemukakan oleh beberapa tokoh behaviorisme
diantaranya: Ivan Pavlov, Thorndike, dan Skinner.
1. Ivan Pavlov (Classical Conditioning)
Teori classical conditioning berawal dari usaha Ivan Pavlov dalam
mempelajari bagaimana suatu makhluk hidup. Secara umum, dalam psikologi,
teori belajar makhluk hidup selalu dihubungkan dengan stimulus-respons (S-R).
Teori-teori tingkah laku turut menjelaskan respons makhluk hidup dengan cara
menghubungkan apa yang dialami atau menjadi stimulus respons tertentu yang
didapat dari lingkungan tertentu. Proses hubungan yang terus-menerus antara
respons yang muncul dan rangsangan yang diberikan inilah yang kemudian
didefinisikan sebagai suatu proses belajar.
Pada dasarnya, teori ini menjelaskan bahwa bentuk paling sederhana
dalam suatu proses belajar adalah pengkondisian. Pavlov menggunakan anjing
sebagai subjek eksperimen yang ia lakukan, dengan mengukur seksresi perut saat
anjing merespons bubuk makanan yang ia berikan. Pavlov melihat bahwa hanya
dengan melihat makanan, telah menyebabkan anjingnya mengeluarkan air liur.
Air liur juga dikeluarkan oleh anjing ketika mendengar suatu langkah kaki
peneliti.

5
Gambar 1. Percobaan Pavlov Menggunakan Anjing Sebagai Eksperimen
Menurut teori conditioning, belajar adalah suatu proses perubhan yang
terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan
reaksi (response). Untuk menjadikan seseorang itu belajar, kita harus memberikan
syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning
yakni adanya latihan-latihan yang continue (terus-menerus). Hal utama dalam
teori ini adalah hal belajar yang terjadi secara otomatis.
2. Thorndike (1974-1949)
Menurut Thorndike, belajar didasarkan oleh adanya asosiasi (bond) antara
kesan panca indra (sense impresion) dengan impuls untuk bertindak (impulse to
action). Dalam eksperimennya, Thorndike memasukkan konsep baru di dalam
belajar yaitu dorongan (motivation), hadiah (reward), dan hukuman (punishment).
Percobaan yang dilakukan oleh Thorndike yakni kepada seekor kucing
yang ditempatkan dalam kotak puzzle. Kucing mencari jalan keluar dengan cara
mencoba-coba. Menurutnya, binatang dan manusia tidak selalu memecahkan
masalah dengan cara memikirkan caranya dengan algoritmik, tetapi banyak yang
memecahkan masalah dengan cara mencoba-coba (trial and error). Hasil
penelitiannya melahirkan apa yang disebut dengan law of effect (hukum akibat),
yaitu jka suatu respon dari suatu stimulus diikuti dengan kepuasan, maka respon
tersebut cenderung diulang. Sebaliknya jika suatu respon diikuti oleh hal yang
tidak menyenangkan, maka respon tersebut tidak dilakukan lagi. Jadi konsekuensi
memegang peranan penting akan munculnya suatu respon.
Eksperimen yang telah dilakukan oleh Thornike memberikan hasil bahwa
agar tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan
untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-
percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors). Bentuk paling dasar dari

6
belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning”
dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu, teori ini belajar
yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar
koneksionisme atau teori asosiasi (Slavin, 2000).
Menurut Thorndike (Bell, Gredler, 1991) dalam eksperimennya yang
melalui proses trial and error, terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon
mengikuti hukum-hukum sebagai berikut.
a. Hukum kesiapan (law off readiness), yaitu semakin siap siswa memperoleh sesutu
perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan
menimbulkan kepuasan, sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Dari hukum
tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar akan lebih efektif apabila siswa
memiliki kesiapan untuk belajar, baik kesiapan dari aspek kematangan mental
maupun kesiapan karena pemberian motivasi yang diberikan oleh gurunya
b. Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku
diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat, dan
sebaliknya akan menjadi lemah jika tidak digunakan.
Dari hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembelajaran
dibutuhkan adanya latihan untuk memperkuat hubungan antara stimulus dan
respon, oleh karena itu pemberian ulangan/tes yang diberikan oleh guru
merupakan implementasi dari hukum tersebut
c. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung
diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya
tidak memuaskan. Dari hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian
hadiah adalah tindakan yang menyenangkan siswa, sehingga siswa cenderung mau
melakukan lagi perbuatan yang menyebabkan dia mendapatkan hadiah tersebut.
Sebaliknya pemberian hukuman adalah tindakan yang tidak menyenangkan siswa,
sehingga siswa cenderung tidak mengulang atau menghentikan perbuatan yang
menyebabkan dia mendapatkan hukuman.
Kemudian Thorndike merivisi hukum belajar antara lain yaitu: 1) hukum
latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan, latihan saja tidak cukup
untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun
hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah 2) hukum akibat direvisi yang
berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan
hukuman tidak berakibat apa-apa, 3) syarat utama terjadinya hubungan stimulus

7
respon bukan kedekatan, tetapi adanya kesesuaian antara stimulus dan respon, 4)
akibat suatu perbuatan dapat menular (spread of effect) baik pada bidang lain
maupun pada siswa lain.
3. Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)
Skinner merupakan tokoh behavioristik yang paling banyak
diperbincangkan, konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar
mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun
dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif.
Operant conditioning adalah teori ternama dari B. F Skinner. Teori ini
mmeiliki komponen rangsangan atau stimulus, respon, dan konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya akan memunculkan prilaku
(Slavin, 2000). Stimuli bertindang sebagai pemancing rspon, sedangkan
konsekuensi dapat bersifat positif atau negatif. Namun keduanya bersifat saing
memperkuat (reinforcement).
Reinforcement atau penguatan bisa digunakan untuk menguatkan atau
melemahkan hubungan antara stimulus dan respon. Penguatan positif (positive
reinforcement) bisa diberikan dalam bentuk pujian, dukungan, atau hadiah dengan
tujuan untuk menguatkan hubungan antara S-R. Sebaliknya penguatan negatif
(negative reinforcement) bertujuan untuk melemahkan hubungan antara S-R yang
bisa diberikan dalam bentuk pengurangan bahkan sampai penghilangan stimulus
menyenangkan yang pada awalnya diterima oleh siswa.
Beberapa prinsip belajar Skinner adalah:
a. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa. Jika salah dibetulkan,
dan jika salah diberi penguat
b. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar
c. Materi pelajaran digunakan sistem modul
d. Pembelajaran lebih mementingkan aktivitas mandiri
e. Pembelajaran menggunakan shaping

2.2.3 Kelebihan Teori Belajar Behavioristik


Berdasarkan beberapa kajian dari tokoh-tokoh teori behavioristik, maka
dapat diambil beberapa kelebihan dari teori ini.

8
1. Guru lebih banyak memberikan ceramah, tetapi harus diikuti contoh-contoh
baik dilakukan sendiri maupun melalui stimulasi.
2. Cocok diterapkan untuk melatih siswa yang masih membutuhkan dominansi
peran orang dewasa, dan siswa yang memiliki sifat dependen, siswa yang suka
mengulangi, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan
secara langsung.
3. Cocok untuk pemerolehan kemampuan/perilaku yang membutuhkan praktik
dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas,
kelenturan, refleks, daya tahan, dan sebagainya.

2.2.4 Kelemahan Teori Belajar Behavioristik


Berdasarkan beberapa kajian dari tokoh-tokoh teori behavioristik, maka
dapat diambil beberapa kelemahan dari teori ini.
1. Pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered learning) bersifat
mekanistik, dan hanya berorientasi pada produk/output/hasil yang dapat
diamati dan diukur.
2. Jika teori ini diaplikasikan dengan frekuensi yang lama, akan mengakibatkan
terjadinya pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa, karena
guru bersifat otorter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih
menentukan apa yang harus dipelajari peserta didik.
3. Siswa dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan guru.
4. Pemberian hukuman (punishment) yang digunakan untuk menertibkan siswa.

2.3 Teori Belajar Kognitif


2.3.1 Konsep Teori Belajar Kognitif
Aliran kognitivisme mulai muncul pada tahun 60-an sebagai respon
ketidakpuasan terhadap konsep belajar yang diajukan oleh tokoh-tokoh behaviorisme.
Kognitivisme memunculkan paradigma baru, bahwa siswa tidak lagi dipandang
sebagai objek dalam belajar atau seseorang yang pasif dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Tetapi siswa adalah makhluk yang berpikir dan aktif untuk memahami
lingkungan. Teori belajar kognitif menekankan perhatian kepada aktivitas pemikiran
(kognisi) pada pembelajaran. Selain mempertimbangkan aktivitas kognitif berupa
pemrosesan informasi, teori ini juga mempertimbangkan tahapan perkembangan
kemampuan berpikir peserta didik.

9
Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori belajar
kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut
aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara
stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu belajar dengan teori kognitif melibatkan
proses berpikir yang sangat kompleks (Nugroho, 2015: 290). Model belajar kognitif
mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta
pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar
merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat
sebagai tingkah laku yang nampak.
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam
belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme,
belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus
menerus sepanjang hayatnya. Kognisi adalah suatu perabot dalam benak kita yang
merupakan “pusat” penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat
berbagai masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik
simpulan dan sebagainya (Nugroho, 2015: 291).
Teori kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal
siswa yang sedang belajar, yang melibatkan aspek ingatan, pengolahan informasi,
emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Prinsip umum teori belajar kognitif
antara lain:
1. Lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
2. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang
situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya
3. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat
terlihat sebagai tingkah laku yang nampak
4. Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa aktif amat dipentingkan
5. Perbedaan individu siswa perlu diperhatikan, karena sangat mempengaruhi
keberhasilan siswa belajar

2.3.2 Tokoh Teori Belajar Kognitif


Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam
rumusan-rumusan seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J.

10
Piaget dan pemahaman konsep oleh Bruner. Berikut akan diuraikan lebih rinci
beberapa pandangan mereka.
1. Teori Perkembangan Jean Piaget (1896-1980)
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik,
yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem
saraf. Dengan semakin bertambahnya umur seseorang, maka makin kompleks
susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu
berkembang menuju kedewasaan, ia akan mengalami adaptasi biologis dengan
lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di
dalam struktur kognitifnya.
Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat
didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa perbedaan usia anak
akan mempengaruhi perbedaan daya pikir atau kekuatan mentalnya secara
kualitatif.
Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-
tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat
hirarkis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak
dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Piaget membagi
tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu:
a. Tahap Sensorimotor (umur 0-2 tahun)
Pertumbuhan kemampuan anak yang tampak dari kegiatan motorik dan
persepsinya yang sederhana. Ciri pokok perkembangannya berdasarkan
tindakan, dan dilakukan langkah demi langkah. Perilaku bayi pada tahap ini
semata-mata berbasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8
bulan, bayi memiliki pengetahuan object permanence, yaitu walaupun sebuah
onjek pada suatu saat tidak terlihat di depan matanya, tidak berarti objek
tersebut tidak ada. Sebelum usia 8 bulan, bayi pada umumnya beranggapan
bahwa benda yang tidak mereka lihat berarti tidak ada. Pada tahap ini bayi
memaknai dunianya berdasarkan pengamatannya atas gerakan/aktivitas yang
dilakukan oleh orang-orang sekelilingnya.
b. Tahap pre-operasional (umul 2-7/8 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan
simbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif.
Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu praoperasional dan intuitif.

11
1) Pre-operational (umur 2-4 tahun). Pada tahap ini anak telah mampu
menggunakan bahasa dalam mengembangkan konsepnya, walaupun masih
sangat sederhana, sehingga sering terjadi kesalahan dalam memahami
objek.
2) Pre-operational (umur 4-7/8 tahun). Pada tahap ini, anak telah dapat
memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstraks.
Dalam menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata.
Oleh sebab itu, pada usia ini anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya
secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman yang
luas.
c. Tahap operasional konkrit (umur 7/8-11/12 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai
menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya
reversible dan kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan
tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkrit. Operation adalah
suatu tipe tindakan untuk memanipulasi objek atau gambaran yang ada di
dalam dirinya. Karenanya kegiatan ini memerlukan proses transformasi
informasi ke dalam dirinya sehingga tindakannya lebih efektif. Anak sudah
tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena anak sudah dapat
berpikir dengan menggunakan model “kemungkinan” dalam melakukan
kegiatan tertentu.
d. Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun)
Pada tahap ini kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir
abstrak. Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang
mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau dihadapkan
pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangann ini mampu
memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang
mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analitis
dan logis. Pada mulanya Piaget beranggapan bahwa pada usia sekitar 15 tahun
hampir semua remaja akan mencapai pada tahap operasional formal ini.
Namun kenyataan membuktikan bahwa banyak siswa SMA bahkan sebagian
orang dewasa sekalipun tidak memiliki kemampuan berpikir dalam tingkat ini
Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang
akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya. Guru seharusnya

12
memahami tahap-tahap perkembangan kognitif para muridnya agar dalam
merancang dan melaksanakan proses pembelajarannya sesuai dengan tahap-tahap
tersebut. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan tidak sesuai dengan
kemampuan dan karakteristik siswa tidak akan bermakna bagi siswa
2. Pemahaman Konsep Oleh Jerome Bruner (1915-2016)
Jerome Bruner adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya
dalam studi perkembangan fungsi kognitif. Dia menandai perkembangan kognitif
manusia sebagai berikut:
a. Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam
menanggapi suatu rangsangan.
b. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan
informasi secara realis.
c. Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada
diri sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa
yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan
dengan kepercayaan pada diri sendiri.
d. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan
anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.
e. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat
komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada
diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu
konsep kepada orang lain.
f. Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan
beberapa alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat
memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi.

Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh


kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free
discovery learning, dia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan
baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh
yang dijumpai dalam kehidupannya.
Jika Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat berpengaruh
terhadap perkembangan bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan bahwa

13
perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif
seseorang.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga
tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic,
dan symbolic.
a. Enactive: seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk
memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya
b. Iconic: seseorang memahami objek-obyek atau dunianya melalui gambar-
gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tamsil) dan perbandingan
(komparasi).
c. Symbolic: seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasangagasan
abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan
logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol
bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan
menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses
berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu, tidak
berarti seseorang tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik.
Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti
masih diperlukannya sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar

Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan


dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap
perkembangan orang tersebut. Gagasannya mengenai kurikulum spiral (a spiral
curriculum) sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro,
menunjukkan cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan materi
secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama
dalam cakupan yang lebih rinci. Pendekatan penataan materi dari umum ke rinci
yang dikemukakannya dalam model kurikulum spiral merupakan bentuk
penyesuaian antara materi yang dipelajari dengan tahap perkembangan kognitif
orang yang belajar.

14
Demikian juga model pemahaman konsep dari Bruner (dalam Degeng,
1989), menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep
merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses
berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi
mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-
peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu. Dalam
pemahaman konsep, konsep-konsep sudah ada sebelumnya. Sedangkan dalam
pembentukan konsep adalah sebaliknya, yaitu tindakan untuk membentuk
kategori-kategori baru. Jadi merupakan tindakan penemuan konsep.
2.3.3 Kelebihan Teori Belajar Kognitif
Pada dasarnya konsep pembelajaran kognitif mempunyai kelebihan, sebagai
berikut:
1. Siswa sebagai subyek belajar menjadi faktor yang paling utama. Siswa dituntut
untuk belajar dengan mandiri secara aktif.
2. Mengutamakan pembelajaran dengan interaksi sosial untuk menambah khasanah
perkembangan kognitif siswa dan menghindari kognitif yang bersifat egosentris.
3. Menerapkan apa yang dimiliki oleh siswa, agar siswa mempunyai pengalaman
dalam mengeksplorasi kognitifnya lebih dalam. Ridak melulu menggunakan
bahasa verbal dalam berkomunikasi.
4. Pembelajaran dilakukan dari pengenalan umum ke khusus (Ausubel) dan
sebaliknya dari khusus ke umum atau dari konkrit ke abstrak (Piaget).

2.3.4 Kelemahan Teori Belajar Kognitif


Teori kognitif sering mendapatkan kritik karena lebih dekat kepada psikologi
daripada teori belajar sehingga aplikasinya dalam pembelajaran tidak mudah. Selain
itu, teori ini tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendididikan, sulit dipraktikkan
khususnya di tingkat lanjut, dan beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami
dan pemahamannya masih belum tuntas.

2.4 Teori Belajar Konstruktivistik


2.4.1 Konsep Teori Belajar Konstruktivistik
Teori belajar konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan
kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan
kemampuan menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan orang

15
lain, sehingga teori ini memberikan keaktifan terhadap seseorang untuk belajar
menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan, atau teknologi dan hal lain yang
diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Teori pembelajaran konstruktivisme berpendapat bahwa orang menghasilkan
pengetahuan dan membentuk makna berdasarkan pengalaman mereka. Dalam
konstruktivisme, pembelajaran direpresentasikan sebagai proses konstruktif di mana
siswa membangun ilustrasi internal pengetahuan, interpretasi pengalaman pribadi.
Pengajaran konstruktivisme didasarkan pada pembelajaran yang terjadi melalui
keterlibatan aktif siswa dalam konstruksi makna dan pengetahuan.
Teori pembelajaran konstruktivisme adalah sebuah teori pendidikan yang
mengedepankan peningkatan perkembangan logika dan konseptual pembelajar.
Seorang konstruktivis percaya bahwa belajar hanya terjadi ketika ada pemrosesan
informasi secara aktif sehingga mereka meminta pembelajar untuk membuat motif
mereka sendiri dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan motif tersebut.
2.4.2 Proses Mengkonstruksi Pengetahuan
Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan indranya. Melalui
interaksinya dengan obyek dan lingkungan, misalnya dengan melihat, mendengar,
menjamah, membau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu yang
dihasilkan dari proses pembentukan. Semakin banyak seseorang berinteraksi dengan
obyek dan lingkungannya, maka pengetahuan dan pemahamannya akan obyek dan
lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu:
1. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman
2. Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan
perbedaan
3. Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya.

2.4.3 Konstruksi Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky (1896-1934)


Teori belajar kokonstruktivistik merupakan teori belajar yang dipelopori oleh
Lev Vygotsky. Teori belajar ko-kontruktinvistik atau yang sering disebut sebagai teori
belajar sosiokultur merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada
bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona

16
keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Development (ZPD) atau Zona
Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya
membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang
dihadapinya.
Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa
intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini
juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui
interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang
terjadi dalam diri sendiri).
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan
terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Yuliani (2005: 44) Secara
spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut Vygotsky adalah:
1. Membantu memecahkan masalah Alat berfikir mampu membuat seseorang untuk
memecahkan masalahnya. Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu
menentukan keputusan yang diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan
permasalahan hidupnya
2. Memudahkan dalam melakukan tindakan Vygotsky berpendapat bahwa alat
berfikirlah yang mampu membuat seseorang mampu memilih tindakan atau
perbuatan yang seefektif dan seefisien mungkin untuk mencapai tujuan.
3. Memperluas kemampuan Melalui alat berpikir setiap individu mampu
memperluas wawasan berpikir dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan
menemukan pengetahuan yang ada di sekitarnya.
4. Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya. Semakin banyak stimulus
yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens menggunakan alat
berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitasnya.

Inti dari teori belajar kokonstruktivistik ini adalah penggunaan alat berfikir
seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya.
Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan
yang dimiliki oleh setiap individu

17
2.5 Teori Belajar Humanistik
2.5.1 Konsep Teori Belajar Humanistik
Psikologi humanistik lahir untuk menjawab berbagai pertanyaan
tentangkesadaran, pikiran, kebebasan dan kemauan, martabat manusia, kemampuan
untuk berkembang, dan kepastian refleksi diri. Teori humanistik lebih
mengedepankan sisi humanis manusia dan tidak menuntut jangka waktu bagi
pebelajar mencapai pemahaman yang diinginkan. Teori lebih menekankan pada
isi/materi yang harus dipelajari dari pada proses agar membentuk manusia seutuhnya.
Proses belajar dilakukan agar pebelajar mendapatkan makna sesungguhnya dari
belajar. Setiap pebelajar memiliki kecepatan belajar yang berbeda-beda sehingga
keberhasilan belajar akan tercapai jika pebelajar dapat memahami diri dan
lingkungannya (Husamah, dkk., 2018).
Teori humanistik memandang kegiatan belajar merupakan kegiatan yang
melibatkan potensi psikis yang besifat kognitif, afektif dan konatif. Teori humanistik
merupakan konsep belajar yang lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian
manusia. Teori humanistik berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan
menenmukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan
tersebut.
2.5.2 Tokoh Teori Belajar Humanistik
Humanistik dipelopori oleh Carl Rogers dan Abraham Maslow. Menurut
Rogers, semua manusia lahir membawa dorongan untuk meraih sepenuhnya apayang
di inginkan dan berprilaku dalam cara konsisten menurut diri mereka sendiri. Rogers,
seorang psikoterapis mengembangkan person-centered-theraphy. Pendekatan ini tidak
bersifat menilai ataupun tidak memberi arahan yang membantu klien mengkarifikasi
dirinya tentang siapa dirinya sebagai suatu upaya memfasilitasi proses memperbaiki
kondisinya. Hampir pada saat yang bersamaan, Maslow mengemukakan teorinya
bahwa semua orang memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhannya yang bersifat
hierarkhis.
Rogers terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran
fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis, dan terapis. Ide dan konsep teorinya
banyak didiapatkan dalam pengalamannya yang terpautiknya yang bnayakdipengaruhi
oleh teori kebutuhan (needs) yang diperkenalkan Abraham H. Maslow. Menurut
kebutuhan teori Maslow di dalam diri seseorang terdapat kebutuhan hidup yang

18
berjenjang, dari kebutuhan yang paling rendah tetapi mendasar sampai jenjang yang
paling tinggi. Setiap individu mempunyai keinginan mengaktualisasi diri, yang oleh
Rogers disebut dengan dorongan untuk menjadi dirinya sendiri (to becoming a
person). Maka dari itu proses belajar harus memungkinkan sisiwa mengaktualisasi
dirinya.
2.5.3 Kelebihan Teori Belajar Humanistik
Berikut ini kelebihan dari teori belajar humanistik yang mampu membawa
manfaat bagi setiap individunya.
1. Meningkatkan minat belajar individu
2. Membantu membentuk kepribadian, perubahan sikap kearah yang positif dan hati
nurani.
3. Membantu meningkatkan kreativitas setiap orang.
4. Membentuk pola pikir yang cerdas dan luas, serta sikap yang baik.
5. Mampu menghadirkan sebuah pengalaman yang baru dan menarik pada setiap
individu.
6. Mengembangkan individu dan membantu mereka mencapai aktualisasi diri.

2.5.4 Kekurangan Teori Belajar Humanistik


Akan tetapi teori ini juga memiliki beberapa kekurangan yang mungkin akan
tidak tepat apabila diterapkan pada beberapa anak.
1. Teori humanistik ini dapat memunculkan perilaku individualis.
2. Apabila tidak ada kesungguhan dari murid untuk belajar maka proses belajar pun
bisa dianggap gagal.
3. Tenaga pengajar sebagai fasilitator menjadi minim peranan.
4. Pendekatan belajar humanistik ini tidak dapat digunakan untuk metode
pembelajaran praktis.
5. Akan munculnya perbedaan yang signifikan terhadap murid satu dengan yang
lainnya sehingga timbul kesenjangan.

2.6 Teori Belajar Konektivistik


2.6.1 Konsep Teori Belajar Konektivistik
Sistem pendidikan secara dinamis berubah-ubah seiring dengan perkembangan
zaman sehingga diperlukan pendekatan pembelajaran serta teori belajar yang tepat.
Salah satu tori belajar yang terhitung cukup baru adalah teori belajar konektivisme.

19
Siemens (2005) menyatakan kecenderungan dalam belajar zaman sekarang ini,
yaitu:
1. Banyak pebelajar yang mempelajari berbagai hal yang berbeda, yang bahkan
mungkin bidang yang tidak berhubungan sama sekali.
2. Belajar secara informal merupakan aspek pengalaman belajar. Pendidikan formal
tidak lagi menjadi wahana belajar yang utama. Belajar sekarang ini terjadi melalui
berbagai cara; melalui praktek di masyarakat, jaringan kerja personal, dan melalui
penyelesaian pekerjaan dalam kaitannya dengan tugas.
3. Belajar merupakan proses kontinu, berlangsung seumur hidup. Belajar dan bekerja
tidak lagi terpisah.
4. teknologi dan alat-alat yang kita gunakan telah merubah dan membentuk pola
pikir kita.
5. Baik organisasi maupun individu adalah organisme pebelajar.

Teori konektivisme adalah teori belajar yang menjelaskan bagaimana proses


pembelajaran memungkinkan orang dapat berinteraksi, berbagi, berdialog, dan
berpikir bersama dalam sebuah koneksi atau jaringan. Teori ini dikembangkan oleh
George Siemens pada 2005 dan diyakini sebagai teori pembelajaran yang cocok
digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar abad ke-21. Teori konektivisme
diperkenalkan sebagai teori belajar sesuai dengan prinsip bahwa pengetahuan ada di
dunia daripada kepala individu, dan mengusulkan pendekatan serupa dengan teori
aktivitas Vygotsky yang menganggap pengetahuan ada dalam aplikasi; itu juga
mengandung kemiripan dengan teori pembelajaran sosial yang mengusulkan bahwa
orang belajar melalui interaksi. Masethe dkk., (2017) menjelaskan bawah,
konektivisme didefinisikan sebagai konsolidasi konstruktivisme, kognitivisme, dan
behaviorisme yang dijabarkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Segitiga untuk Teori Pembelajaran Konektivisme

20
Belajar (didefinisikan sebagai pengetahuan yang dapat ditindak) dapat terletak
di luar diri kita (dalam organisasi atau suatu database), terfokus pada hubungan
serangkaian informasi yang khusus, dan hubungan tersebut memungkinkan kita
belajar lebih banyak dan lebih penting dari pada keadaan yang kita tahu sekarang.
Konektivisme diarahkan oleh pemahaman bahwa keputusan didasarkan pada
perubahan yang cepat. Informasi baru diperoleh secara kontinu, yang penting adalah
kemampuan untuk menentukan antara informasi yang penting dan tidak penting.
Yang juga penting adalah kemampuan mengetahui kapan informasi berganti (baru).
Prinsip-prinsip konektivisme sebagaimana yang diungkapkan Siemens (2005)
adalah:
1. Keragaman pendapat dipandang sebagai sumber informasi pengetahuan dan
pembelajaran
2. Belajar adalah suatu proses menghubungkan (connecting) informasi dari berbagai
sumber dan konteks.
3. Pembelajaran dapat terjadi di suatu komunitas, jaringan atau basis data dengan
dukungan teknologi.
4. Kemampuan untuk mengetahui lebih banyak merupakan hal yang lebih penting
dari pada apa yang diketahui sekarang.
5. Membina dan menjaga hubungan-hubungan (connections) diperlukan untuk
memfasilitasi belajar berkelanjutan.
6. Kemampuan untuk melihat hubungan antara bidang-bidang, ide-ide, dan konsep
merupakan inti keterampilan.
7. Terserapnya pengetahuan yang akurat terkini adalah tujuan dari semua
embelajaran konektivitas.
8. Pengambilan keputusan itu sendiri seperti pemilihan informasi yang harus
dipelajari merupakan proses pembelajaran.
9. Orang ingin mempelajari ketrampilan yang sebenarnya.
10. Pembelajaran dapat terjadi dalam sejumlah cara dan di sejumlah lokasi (online,
kelas, rumah, mall, dll)

2.6.2 Tokoh Teori Belajar Konektivistik


Tokoh dari teori belajar konektivisme adalah George Siemens. George
Siemens adalah profesor psikologi ekspatriat Kanada di University of Texas di
Arlington dan profesor dan direktur Pusat Perubahan dan Kompleksitas dalam

21
Pembelajaran di University of South Australia. George Siemens memperoleh gelar
PhD dalam bidang psikologi di University of Aberdeen pada tahun 2011 di bawah
pengawasan Frank Rennie, Martin Weller, dan Robin Mason. Tesisnya
mengembangkan Sensemaking Wayfinding Information Model (SWIM) untuk
memahami perilaku individu dalam jejaring sosial. George Siemens menulis teori
belajar konektivisme dalam artikel yang berjudul “Connectivism: A Learning Theory
for the Digital Age” pada tahun 2005.
2.6 3 Kelebihan Teori Belajar Konektivistik
Kelebihan dari teori konektivisme adalah implementasinya di era digitalisasi
pendidikan pada masa ini. Aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran konektivisme
ialah membangun koneksi dan jaringan belajar online atau personal learning network.
Selain itu dalam prosesnya, siswa dapat menemukan informasi yang dibutuhkan
secara mandiri, memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kolaborasi
dan diskusi dengan anggota lain di dalam koneksi atau jaringan belajar online,
memanfaatkan siswa yang sudah akrab dengan online learning tools seperti
penggunaan web dan media sosial untuk mendesain metode pembelajaran, dan masih
banyak lagi.
2.6 4 Kekurangan Teori Belajar Konektivistik
Dalam teori konektivitas, pembelajaran dianggap sebagai proses di mana,
peran pertukaran informasi informal, diorganisasikan ke dalam jaringan dan didukung
dengan alat elektronik. Terdapat kelemahan yang dirasakan pada teori pembelajaran
konektivisme yaitu adopsi teori yang lebih lambat di kalangan pendidik.
Konektivisme, sebagai teori yang muncul, masih tanpa literatur penelitian empiris
yang substansial. Sehingga memberikan kredibilitas teori yang kurang. Menggunakan
teori mengasumsikan bahwa individu telah memiliki akses ke teknologi komputer
digital dan Internet tidak terjadi di tingkat global. Kesenjangan digital memengaruhi
akses dasar ke sumber daya e-learning serta tidak memungkinkan pengembangan
keterampilan yang diperlukan untuk menggunakan sumber daya tersebut secara
efektif. Meskipun pada saat ini teknologi mulai mudah untuk diakses, namun bagi
banyak orang di negara berkembang, teknologi masih berada di luar jangkauan
mereka (Darrow, 2009).

22
2.7 Teori Belajar Untuk Pembelajaran Biologi
Pembelajaran biologi pada penerapannya menggunakan penedekatan saintifik.
Metode saintifik sangat relevan dengan teori belajar Bruner, Piaget, dan Vygotsky.
Teori belajar menurut Bruner (Discovery learning) dalam teori kognitivisik, banyak
memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, cara memperoleh,
menyimpan, dan mentransformasi pengetahuan. Menurut Buruner ada 4 hal pokok
yang berkaitan dengan Discovery learning: (1) individu hanya belajar dan
mengembangkan pikirannya apabila ia menggunakan pikirannya. (2) dengan
melakukan proses kognitif dalam proses penemuan, siswa akan memperoleh sensasi
dankepuasan intelektual. (3) seseorang dapat mempelajari teknik-teknik dalam
melakukan penemuan dan (4) dengan melakukan penemuan, retensi ingatan siswa
akan menguat. Dari 4 hal pokok tersebut bersesuaian dengan proses kognitif yang
diperlukan dalam pembelajaran berbasis kreativitas dengan pendekatan saintifik.
Teori belajar Piaget dalam teori konstruktivisme menyatakan bahwa
pembelajaran bermakna terjadi bila siswa dapat bereaksi secara mental dalam bentuk
asimilasi dan akomodasi terhadap informasi atau stimulus yang ada di sekitarnya. Bila
hal tersebut tidak terjadi, guru dan siswa akan terlibat dalam belajar semu (pseudo-
learning) dan informasi yang dipelajari cenderung mudah dilupakan. Proses kognitif
yang dibutuhkan dalam rangka mengkonstruksi konsep, hukum, atau prinsip dalam
skema seseorang melalui tahapan mengamati, merumuskan masalah, merumuskan
hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan menarik kesimpulan (Carin &
Sund, 1975). Dari Piaget juga didukung dengan teori belajar Vygotsky bahwa
pembelajaran terjadi apabila siswa bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang
belum dipelajari, tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan
kemampuan (Proximal development zone) melalui bimbingan orang dewasa atau
teman sebaya yang lebih kompeten.
Selain dengan teori diatas, pembelajaran biologi dalam kurikulum saat juga
menerapkan teori belajar humanistik serta sosio-kultural. Dalam teori humanistik
berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang
mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal tersebut dapat diartikan
bahwa teori ini berfokus pada proses individu dalam belajar, hal ini sesuai dengan
kurikulum merdeka belajar yang diterapkan dalam pembelajaran biologi. Selain itu
juga implementasi Kurikulum Merdeka pada pembelajaran biologi saat ini
memsukkan muatan lokal berdasarkan karakteristik dan kearifan lokal di daerahnya.

23
Hal ini juga bentuk implementasi daripada teori revolusi sosio-kultural dalam teori
konstruktivisme. Teori revolusi sosio-kultural sendiri sejatinya merupakan suatu
konsep yang menempatkan budaya (kultur) menjadi bagian tak terpisahkan dalam
proses pembelajaran (Husamah, dkk., 2018).
Multimedia pembelajaran telah digunakan sebagai sarana pembelajaran yang
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan
pembelajaran digital. Dewasa ini pemanfaatan teknologi pembelajaran yang berbasis
multimedia terus meningkat, hasil-hasil penelitian membuktikan hal tersebut,
termasuk pembelajaran untuk bidang ilmu biologi (Riani., dkk 2021). Implementasi
teknologi dalam pembelajaran untuk bidang ilmu biologi merupakan bentuk dari
adaptasi teori konektivisme. Melalui LMS dan e-module yang sekarang cukup sering
dikembangkan oleh mahasiswa, merupakan salah satu bentuk penerapan dari teori
tersebut. Kegiatan pembelajaran biologi melalui LMS dengan proses-proses
pembelajaran yang memungkinkan pebelajar dapat berinteraksi, berbagi, berdialog,
dan berpikir bersama dalam jaringan situs tersebut.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perkembangan teori belajar yang sudah ada memberikan jalan bagi era
reformasi anak-anak dan perlu mempersiapkan dalam memasuki era demokratisasi
melalui pendidikan, suatu era yang ditandai dengan keragaman perilaku, dengan cara
terlibat dan mengalami secara langsung proses demokrasi ketika mereka sedang
berada di latar belajar (sekolah). Teori belajar diperlukan agar guru memiliki
kedewasaan dan kewibawaan dalam hal mengajar, mempelajari siswanya,
menggunakan prinsip-prinsip psikologi maupun dalam hal menilai cara mengajarnya
sendiri.
Teori belajar behavioristik memiliki pandangan bahwa semua yang dilakukan
siswa termasuk apa yang ditanggapi, dipikirkan, atau dirasakan dianggap sebagai
perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa suatu perilaku tertentu dapat digambarkan
secara ilmiah tanpa melihat peristiwa yang melatar belakangi atau menyebabkannya.
Behaviorisme memiliki anggapan bahwa semua yang dilakukan siswa merupakan
sesuatu yang dapat diamati dan diukur. Teori ini tidak menjelaskan perubahan yang
disebabkan oleh faktor internal yang terjadi di dalam diri peserta didik. Teori ini
hanya membahas perubahan perilaku yang dapat dilihat dengan indra dan semua yang
dapat diamati.
Pengertian belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi
pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat
diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan yang
telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan
berjalan baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur
kognitif yang telah dimiliki seseorang. Teori belajar kognitif menurut Piaget, kegiatan
belajar terjadi sesuai dengan pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur
seseorang. Sedangkan Bruner mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan oleh
cara seseorang mengatur pesan atau informasi, bukan ditentukan oleh umur. Proses
belajar akan terjadi melalui tahap-tahap enaktif, ikonik, dan simbolik.
Teori belajar konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan
kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan

25
kemampuan menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan orang
lain, sehingga teori ini memberikan keaktifan terhadap seseorang untuk belajar
menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan, atau teknologi dan hal lain yang
diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Teori humanistik memandang kegiatan belajar merupakan kegiatan yang
melibatkan potensi psikis yang besifat kognitif, afektif dan konatif. Teori humanistik
merupakan konsep belajar yang lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian
manusia. Teori humanistik berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan
menenmukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan
tersebut.
Teori konektivisme adalah teori belajar yang menjelaskan bagaimana proses
pembelajaran memungkinkan orang dapat berinteraksi, berbagi, berdialog, dan
berpikir bersama dalam sebuah koneksi atau jaringan. Teori ini dikembangkan oleh
George Siemens pada 2005 dan diyakini sebagai teori pembelajaran yang cocok
digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar abad ke-21. Teori konektivisme
diperkenalkan sebagai teori belajar sesuai dengan prinsip bahwa pengetahuan ada di
dunia daripada kepala individu, dan mengusulkan pendekatan serupa dengan teori
aktivitas Vygotsky yang menganggap pengetahuan ada dalam aplikasi; itu juga
mengandung kemiripan dengan teori pembelajaran sosial yang mengusulkan bahwa
orang belajar melalui interaksi
Pembelajaran biologi pada penerapannya menggunakan penedekatan saintifik.
Metode saintifik sangat relevan dengan teori belajar Bruner, Piaget, dan Vygotsky.
Teori belajar menurut Bruner (Discovery learning) dalam teori kognitivisik, banyak
memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, cara memperoleh,
menyimpan, dan mentransformasi pengetahuan.
Teori belajar Piaget dalam teori konstruktivisme menyatakan bahwa
pembelajaran bermakna terjadi bila siswa dapat bereaksi secara mental dalam bentuk
asimilasi dan akomodasi terhadap informasi atau stimulus yang ada di sekitarnya. Bila
hal tersebut tidak terjadi, guru dan siswa akan terlibat dalam belajar semu (pseudo-
learning) dan informasi yang dipelajari cenderung mudah dilupakan. Proses kognitif
yang dibutuhkan dalam rangka mengkonstruksi konsep, hukum, atau prinsip dalam
skema seseorang melalui tahapan mengamati, merumuskan masalah, merumuskan
hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan menarik kesimpulan (Carin &
Sund, 1975). Dari Piaget juga didukung dengan teori belajar Vygotsky bahwa

26
pembelajaran terjadi apabila siswa bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang
belum dipelajari, tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan
kemampuan (Proximal development zone) melalui bimbingan orang dewasa atau
teman sebaya yang lebih kompeten.

3.2 Saran
Penyusun berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan banyak manfaat
bagi pembaca. Mohon dimaklumi jika dalam makalah kami masih banyak terdapat
kekeliruan, baik bahasa maupun pemahaman. Penyusun berharap kritik dan saran dari
pembaca dapat membantu perbaikan dari makalah penyusun untuk menjadi yang lebih baik
dari sebelumnya.

27
DAFTAR PUSTAKA

Dahar, R. W. (2011). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.


Darrow, Suzanne. 2009. Connectivism Learning Theory: Instructional Tools for College
Courses. A Thesis Submitted in Partial Fulfillment for a Master‟s Degree in
Education. Western Connecticut State University.
Husamah, Pantiwati, yuni., Restian, Arina., Sumarsono, Puji. 2018. Belajar dan
Pembelajaran. Malang. Universitas Muhammadiyah Malang.
Masethe, Mosima, Anna., Hlaudi, Daniel, Masethe., Solomon, Adeyemi, Odunaike,
Member., IAENG. 2017. Scoping Review of Learning Theories in the 21st Century.
Proceedings of the World Congress on Engineering and Computer Science 2017 Vol
I. San Francisco, USA
Riani, Sri., Rosyid R. Al Hakim, dan Dhuta Sukmarani. 2021. Pemanfaatan teknologi
pembelajaran berbasis multimedia untuk pembelajaran biologi: mini-review.
Conference: Prosiding Seminar Nasional Biologi VI. 172-176.
Schunk, D. H., & Cox, P. D. (1986). Strategy Training and Attributional Feedback With
Learning Disabled Students. Journal of Educational Psychology, 78(3), 201–209.
https://doi.org/10.1037/0022-0663.78.3.201
Siemen, George. (2005). Connectivisme: A learning theory for digital age. International
journal of Instructional Technology and Distance Learning. 2(1):1-9.
Slavin, R. E. (2000). Educational Psychology: Theory and Practice. New Jersey: Pearson.
Robert, A. (2014). Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

28

Anda mungkin juga menyukai