Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

KONJUNGTIVITIS VIRAL

Oleh:

MUHAMMAD DIMAS SATRIO


NPM. 19360064

Pembimbing :
dr. Helmi Muchtar, Sp.M

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RS. PERTAMINA BINTANG AMIN
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2019
BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI PASIEN
Nama : Tn. Fatrialis Akbar
Umur : 18 Th
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Rajabasa Indah
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum Menikah
MRS : 13 Agustus 2019
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis pada hari jum’at, 13 Agustus 2019 Pukul 13.45.
 Keluhan Utama : Mata kanan dan kiri terasa merah sejak 3

minggu yang lalu.


 Keluhan Tambahan : Pasien merasa mata kiri dan kanan berair,

terdapat secret pada pagi hari, sedikit gatal, seperti ada pasir

yang mengganjal dan ada pembesaran kelenjar preaurikular.


 Riwayat penyakit : Tn. F datang ke poliklinik mata RSPBA

pada tanggal 13 agustus 2019 dengan keluhan mata kanan dan

kiri merah, pasien merasa seperti ada pasir yang mengganjal,

mata kanan dan kiri terasa gatal dan sering mengeluarkan air

mata atau kotoran berwarna bening.


 Pengobatan yang pernah didapat : Pasien berobat kepuskes lalu

diberikan obat tetes namun tidak ada perubahan.


 Penyakit lain yang pernah diderita : -
 Riwayat penyakit keluarga : Ibu Tn. F juga mengalami keluhan

yang sama sejak 4 minggu lalu.


III. STATUS GENERALIS
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Status Gizi : Baik
 Tanda Vital :

1. TD : 130/80 mmHg 2. Nadi : 80x/menit


3. Suhu : - 4. RR : 20x/menit
 Thorax : DBN.
 Abdomen : DBN.
 KGB : Pembesaran kelenjar preaurikular

IV. STATUS OFTALMOLOGI

OD Pemeriksaan Mata OS
6/6 Visus 6/6
- Koreksi -
- Tekanan Intra Okular -
Bergerak Ke Segala Bergerak Ke Segala
Pergerakan Bola Mata
Arah Arah
Hiperemis (-), Hiperemis (-),
Palpebra Superior
Edema (+) Edema (+)
Hiperemis (-), Hiperemis (-),
Palpebra Inferior
Edema (+) Edema (+)
Lakrimasi (-) Aparatus Lakrimalis Lakrimasi (-)
Hiperemis (+), Hiperemis (+),
Konj. Tarsalis
Kemosis (+) Kemosis (+)
Injeksi Injeksi
Konj. Bulbi
Konjungtiva (+) Konjungtiva (+)
Hiperemis (+) Konj. Fornics Hiperemis (+)
Jernih Kornea Jernih
Putih Sklera Putih
Normal, Hipopion Normal, Hipopion
Camera Oculi Anterior
(-), Hifema (-) (-), Hifema (-)
Refleks Cahaya (+) Pupil Refleks Cahaya (+)
Normal Iris Normal
Jernih Lensa Jernih
Gambar 1. Gambaran mata pasien.

V. DIAGNOSIS BANDING
- Konjungtivitis Bakteri
- Konjungtivitis Alergi
- Konjungtivitis
VI. DIAGNOSIS KERJA
Konjungtivits Virus ODS
VII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa :
- Flamergi ed (Naphazoline HCI 0,25 mg dan Pheniramine

Maleate 3 mg) ᶴ 6dd gtt I ods.


- Levocin (levofloxacin) ᶴ 4dd gtt I ods.
- Methylprednisolon 2mg ᶴ 3dd I
- Hervis ᶴ 5dd1

Non Medika Mentosa:


- Rajin Mencuci Tangan
- Menghindari penggunaan lensa kontak
- Kompres air dingin untuk mengurangi keluhan gatal

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Etiologi

Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva. Istilah ini mengacu pada

peradangan yang tidak spesifik dengan penyebab yang beragam. Virus merupakan

agen infeksi yang umum ditemukan selain konjungtivitis bakterial, alergi, dan lan-

lain.3
Berbagai jenis virus diketahui dapat menjadi agen penyebab

konjungtivitis. Adenoviral merupakan etiologi tersering dari konjungtivitis virus.

Beberapa subtipe dari konjungtivitis adenovirus antara lain demam

faringokonjungtiva serta keratokonjungtivitis epidemika. Infeksi mata primer oleh

karena herpes simplex sering ditemukan pada anak-anak dan biasanya

menimbulkan konjungtivitis folikuler. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh HSV

tipe I walaupun HSV tipe II dapat pula menyebabkan konjungtivitis terutama pada

neonatus.
Penyebab lain yang lebih jarang antara lain infeksi virus varicella-zoster

(VZV), pikornavirus (enterovirus 70, coxsakie A24), poxvirus (molluskum

kontagiosum, vaccinia), serta Human Immunodeficiency Virus (HIV). Infeksi oleh

pikornavirus menyebabkan konjungtivitis hemoragika akut yang secara klinis

mirip dengan infeksi oleh adenovirus namun lebih parah dan hemoragik.

Molluscum kontagiosum dapat menyebabkan konjungtivitis kronis yang terjadi

akibat shedding partikel virus dari lesi ke dalam sakus konjungtiva. Infeksi oleh

virus Vaccinia saat ini sudah jarang ditemukan seiring dengan menurunnya

insiden infeksi smallpox. Infeksi HIV pada pasien AIDS pada umumnya

menyebabkan abnormalitas pada segmen posterior, namun infeksi pada segmen

anterior juga pernah dilaporkan. Konjungtivitis yang terjadi pada pasien AIDS

cenderung lebih berat dan lama daripada individu lain yang immunokompeten.
Konjungtivitis juga kadang dapat ditemukan pada periode terinfeksi virus sistemik

seperti virus influenza, Epstein-Barr virus, paramyxovirus (measles, mumps,

Newcastle) atau Rubella.1,3

2.2 Patofisiologi

Konjungtiva merupakan jaringan ikat longgar yang menutupi permukaan mata

(konjungtiva bulbi), kemudian melipat untuk membentuk bagian dalam palpebra

(konjungtiva palpebra). Konjungtiva melekat erat dengan sklera pada bagian

limbus, dimana konjungtiva berhubungan dengan kornea. Glandula lakrima

aksesori (Kraus dan Wolfring) serta sel Goblet yang terdapat pada konjungtiva

bertanggung jawab untuk mempertahankan lubrikasi mata. Seperti halnya

membrane mukosa lain, agen infeksi dapat melekat dan mengalahkan mekanisme

pertahanan normal dan menimbulkan gejala kinis seperti mata merah, iritasi serta

fotofobia. Pada umumnya konjungtivitis merupakan proses yang dapat

menyembuh dengan sendirinya, namun pada beberapa kasus dapat menimbulkan

infeksi dan komplikasi yang berat tergantung daya tahan tubuh dan virulensi virus

tersebut.3

2.3 Gejala dan Tanda Klinis

Konjungtivitis folikuler virus akut dapat muncul sebagai gejala yang ringan dan

sembuh sendiri hingga gejala berat yang menimbulkan kecacatan.


a. Demam faringokonjungtival
Tipe ini biasanya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang-kadang tipe

4 dan 7. Demam faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3 - 400C, sakit

tenggorokan, dan konjungtivitis pada satu atau dua mata. Folikel sering

mencolok pada kedua konjungtiva, dan pada mukosa faring. Penyakit ini
dapat terjadi bilateral atau unilateral. Mata merah dan berair mata sering

terjadi, dapat disertai keratitis superficial sementara ataupun sedikit

kekeruhan di daerah subepitel. Limfadenopati preaurikuler yang muncul tidak

disertai nyeri tekan. Sindrom yang ditemukan pada pasien mungkin tidak

lengkap, hanya terdiri atas satu atau dua gejala utama (demam, faringitis, dan

konjungtivitis).1,2
b. Keratokonjungtivitis epidemika:
Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus subgroup D tipe

8, 19, 29, dan 37. Konjungtivitis yang timbul umumnya bilateral. Awitan

sering pada satu mata kemudian menyebar ke mata yang lain. Mata pertama

biasanya lebih parah. Gejala awal berupa nyeri sedang dan berair mata,

diikuti dalam 5-14 hari kemudian dengan fotofobia, keratitis epitel, dan

kekeruhan subepitel bulat. Fase akut ditandai dengan edema palpebra,

kemosis, dan hiperemia konjungtiva. Dalam 24 jam sering muncul folikel dan

perdarahan konjungtiva. Kadang-kadang dapat terbentuk pseudomembran

ataupun membran sejati yang dapat meninggalkan parut datar ataupun

symblepharon. Konjungtivitis berlangsung selama 3-4 minggu. Kekeruhan

epitel terjadi di pusat kornea, menetap berbulan-bulan namun menyembuh

tanpa disertai parut.1,2


c. Konjungtivitis virus herpes simpleks (HSV)
Konjungtivitis HSV umumnya terjadi ada anak-anak dan merupakan keadaan

luar biasa yang ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, disertai

sekret mukoid, dan fotofobia. Konjungtivitis dapat muncul sebagai infeksi

primer HSV atau pada episode kambuh herpes mata. Sering disertai keratitis

herpes simpleks, dengan kornea menampakkan lesi-lesi eptelial tersendiri

yang umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus epithelial yang
bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitis yang terjadi mumnya folikuler

namun dapat juga pseudomembranosa. Vesikel herpes kadang-kadang muncul

di palpebra dan tepian palebra, disertai edema berat pada palpebra. Nodus

preaurikuler yang nyeri tekan adalah gejala yang khas untuk konjungtivitis

HSV.1,2
d. Konjungtivitis hemoragika akut
Konjungtivitis hemoragika akut disebabkan oleh enterovirus tipe 70 dan

kadang-kadang oleh virus coxsakie tpe A24. Yang khas pada konjungtivitis

tipe ini adalah masa inkubasi yang pendek (sekitar 8-48 jam) dan berlangsung

singkat (5-7 hari). Gejala dan tandanya adalah rasa sakit, fotofobia, sensasi

benda asing, banyak mengeluarkan air mata, edema palpebra, dan perdarahan

subkonjungtiva. Kadang-kadang dapat timul kemosis. Perdarahan

subkonjungtiva yang terjadi umumnya difus, namun dapat diawali oleh

bintik-bintik perdarahan. Perdarahan berawal dari konjungtiva bulbi superior

menyebar ke bawah. Pada sebagian besar kasus, didapatkan limfadenopati

preaurikular, folikel konjungtiva, dan keratitis epithelia. Pada beberapa kasus

dapat terjadi uveitis anterior dengan gejala demam, malaise, dan mialgia.

Transmisi terjadi melalui kontak erat dari orang ke orang melalui media sprei,

alat-alat optic yang terkontaminasi, dan air.1,2

Konjungtivitis virus menahun meliputi:

a. Blefarokonjungtivitis Mulloskum Kontagiosum


Molluscum kontagiosum ditandai dengan adanya reaksi radang dengan

infiltrasi mononuclear dengan lesi berbentuk bulat, berombak, berwarna

putih-mutiara, dengan daerah pusat yang non radang. Nodul molluscum pada

tepian atau kulit palpebra dan alis mata apat menimbulkan konjungtivitis
folikuler menahun unilateral, keratitis superior, dan pannus superior, dan

mungkin menyerupai trachoma.1


b. Blefarokonjungtivitis varicella-zoster
Blefarokonjungtivitis varicella-zoster ditandai dengan hiperemia dan

konjungtivitis infiltratif yang disertai erupsi vesikuler sepanjang penyebaran

dermatom nervus trigeminus cabang oftalmika. Konjungtivitis yang terjadi

umumnya bersifat papiler, namun dapat pula membentuk folikel,

pseudomembran, dan vesikel temporer yang kemudian berulserasi. Pada awal

perjalanan penyakit dapat ditemukan pembesaran kelenjar preaurikula yang

nyeri tekan. Selanjutnya dapat terbentuk parut palpebra, entropion, dan bulu

mata salah arah. Lesi palpebra dari varicella dapat terbentuk di bagian tepi

ataupun di dalam palpebra sendiri dan seringkali meninggalkan parut. Sering

timbul konjungtivitis eksudatif ringan, tetapi lesi konjungtiva yang jelas

(kecuali pada limbus) sangat jarang terjadi. Lesi di limbus menyerupai

phlyctenula dan dapat melalui tahap-tahap vesikel, papula, dan ulkus. Kornea

di dekatnya mengalami infiltrasi dan bertambah pembuluh darahnya.1


c. Keratokonjungtivitis morbili.
Enantema khas morbili seringkali mandahului erupsi kulit. Pada tahap awal

konjungtiva nampak seperti kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti

pembengkakan lipatan semilunar (tanda Meyer). Beberapa hari sebelum

erupsi kulit timbul konjungtivitis eksudatif dengan sekret mukopurulen.

Bersamaaan dengan munculnya erupsi kulit akan timbul bercak-bercak

koplik pada konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus. Keratitis

epithelial dapat terjadi pada anak-anak dan orang tua.1

2.3 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Anamnesis yang teliti mengenai keluhan pasien dan riwayat terdahulu sangat

penting dalam menegakkan diagnosis konjungtivitis virus. Pada penyakit ini,

pasien akan mengeluhkan gejala-gala yang berkaitan dengan proses infeksi

(bengkak, merah, nyeri) dan beberapa hari kemudian akan muncul infiltrasi di

bagian subepitel. Infiltrasi subepitel akan muncul sebagai keputihan di daerah

kornea yang bisa menurunkan visus pasien untuk sementara waktu. Sebagian dari

pasien akan mengalami pembengkakan di daerah kelenjar getah bening di bagian

depan telinga (preaurikula). Dokter bisa menggunakan biomicroscopic slit lamp

untuk melakukan pemeriksaan bagian depan mata. Kadang-kadang, pasien

mengalami pseudo-membrane pada jaringan di bagian bawah kelopak mata pada

konjungtiva.2

Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan untuk konjungtivitis viral adalah

kultur dengan pemeriksaan sitologi konjungtiva yang dilakukan pada infeksi yang

menahun dan sering mengalami kekambuhan, pada reaksi konjungtiva yang

atipikal, serta terjadi kegagalan respon terhadap pengobatan yang diberikan

sebelumnya. Pengecatan giemsa juga dapat dilakukan. Pada konjungtivitis virus

ditemukan sel mononuklear dan limfosit. Inokulasi merupakan teknik

pemeriksaan dengan memaparkan organism penyebab kepada tubuh manusia

untuk memproduksi kekebalan terhadap penyakit itu. Deteksi terhadap antigen

virus dan klamidia dapat dipertimbangkan. Polymerase chain reaction (PCR)

merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengisolasi virus dan dilakukan

pada fase akut.2

1. Konjungtivitis viral akut


a. Demam faringokonjungtiva
Diagnosis demam faringokonjungtivitis dapat ditegakkan dari tanda klinis

maupun laboratorium. Virus penyebab demam faringokonjungtiva ini

dapat dibiakkan dalam sel HeLa dan di identifikasi dengan uji netralisasi.

Dengan berkembangnya penyakit virus ini dapat di diagnosis secara

serologis melalui peningkatan titer antibodi penetral virus. Namun,

diagnosis klinis merupakan diagnosis yang paling mudah dan praktis. Pada

kerokan konjungtiva didapatkan sel mononuklear dan tidak ada bakteri

yang tumbuh pada biakan.


b. Keratokonjuntivitis epidemika
Virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan dapat diidentifikasi dengan

uji netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang

mononuklear primer. Bila terbentuk pseudomembran, juga tampak

neutrofil yang banyak.


c. Konjungtivitis herpetik
Pada konjungtivitis virus herpes simplek, jika konjungtivitisnya folikuler,

reaksi radangnya terutama akibat kemotaksis nekrosis. Inklusi intranuklear

(karena adanya marginasi kromatin) tampak dalam sel-sel konjungtiva dan

kornea dengan fiksasi Bouin dan pilasan papanicolaou, tetapi tidak tampak

dalam pulasan giemsa. Temuan sel-sel epitel raksasa multinukleus

memiliki nilai diagnostik. Pada konjungtivitis Varisella-Zooster, diagnosis

biasanya ditegakkan dengan ditemukan sel raksasa pada pewarnaan

giemsa, kultur virus, dan sel inklusi intranuklear.


d. Konjungtivitis New castle
Diagnosis dari konjungtivitis ini adalah dari anamnesis dan juga gambaran

klinisnya.
e. Konjungtivitis hemoragik epidemik akut
Diagnosis utama adalah dari gambaran klinisnya.
2. Konjungtivitis Viral Kronis

a. Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum


Bioposi menunjukkan inklusi sitoplasma iosinofilik yang memenuhi

sitoplasma sel yang rusak, mendesak inti ke satu sisi.

b. Blefarokonjungtivitis varicella zooster

Pada zooster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebranya

mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear, kerokan

dari konjungtiva pada varicella dan dari vesikel konjungtiva pada zooster

dapat mengandung sel raksasa dan monosit

c. Blefarokonjungtivitis campak

Kerokan konjungtiva menunjukkan rekasi sel mononuclear, kecuali jika

ada pseudomembran atau infeksi sekunder. Sediaan terpulas giemsa

menampilkan sel-sel raksasa

Sementara itu konjungtivitis virus harus dibedakan dengan konjungtivitis

yang lain dan penyakit mata merah lainnya terkait dengan penatalaksanaannya.

Secara klinis bedasarkan keluhan subyektif dan obyektif perbedaan konjungtivitis

virus dengan konjungtivitis yang lain serta diagnosis mata merah dapat dilihat

pada tabel dibawah ini.


Tabel 1. Diagnosis Banding Penyakit Mata Merah Berdasarkan Keluhan Subjektif dan Obyektif.2

Gejala Glaukoma Uveitis Keratitis K Bakteri K. virus K. alergi

subyektif akut akut

dan

obyektif
Penurunan +++ +/++ +++ - - -

Visus
Nyeri ++/+++ ++ ++ - - -
Fotofobia + +++ +++ - - -
Halo ++ - - - - -
Eksudat - - -/++ +++ ++ +
Gatal - - - - - ++
Demam - - - - -/++ -
Injeksi + ++ +++ - - -

siliar
Injeksi ++ ++ ++ +++ ++ +

konjungtiva
Kekeruhan +++ - +/++ - -/+ -

kornea
Kelainan Midriasis Miosis Normal/ N N N

pupil nonrekatif iregular miosis


Kedalaman Dangkal N N N N N

COA
Tekanan Tinggi Rendah N N N N

intraokular
Sekret - + + ++/+++ ++ +
Kelenjar - - - - + -

preaurikular

2.4 Komplikasi

Komplikasi dari konjungtivitis viral, antara lain3:

 Infeksi pada kornea (keratitis) dan apabila tidak ditangani bisa menjadi

ulkus kornea

2.5 Penatalaksanaan

Konjungtivitis viral biasanya bersifat suportif dan merupakan terapi simptomatis,

belum ada bukti yang menunjukkan keefektifan penggunaan antiviral. Umumnya


mata bisa dibuat lebih nyaman dengan pemberian cairan pelembab. Kompres

dingin pada mata 3 – 4 x / hari juga dikatakan dapat membantu kesembuhan

pasien. Penggunaan kortikosteroid untuk penatalaksanaan konjungtivitis viral

harus dihindari karena dapat memperburuk infeksi.

Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi dan gejala dari konjungtivitis virus

dapat diuraikan sebagai berikut :


1. Konjungtivitis viral akut1,2

a. Demam faringokonjungtiva

Pengobatan untuk demam faringokonjungtiva hanya bersifat suportif

karena dapat sembuh sendiri diberi kompres, astrigen, lubrikasi,

sedangkan pada kasus yang berat dapat diberikan antibiotik dengan

steroid lokal. Pengobatan biasanya simptomatis dan pemberian

antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.

b. Keratokonjungtivitis epidemika

Hingga saat ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan

mengurangi beberapa gejala. Selama konjungtivitis akut, penggunaan

kortikosteroid dapat memperpanjang keterlibatan kornea lebih lanjut

sehingga harus dihindari. Anti bakteri harus diberikan jika terjadi

superinfeksi bakteri.

c. Konjungtivitis herpetik

Untuk konjungtivitis herpes simpleks yang terjadi pada anakdiatas satu

tahun atau pada orang dewasa yang umumnya sembuh sendiri dan

mungkin tidak perlu terapi. Namun, antivirus topikal atau sistemik

harus doberikan untuk mencegah terkena kornea. Jika terjadi ulkus


kornea, harus dilakukan debridement korneadengan mengusap ulkus

menggunakan kain steril dengan hati-hati, oenetesan obat anti virus, dan

penutupan mata selama 24 jam. Antivirus topikal sendiri harus

diberikan 7-10 hari. Misalnya trikloridin setiap 2 jam sewaktu bangun.

Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan karena bias

memperburuk infeksi herpes simpleks dan mengubah penyakit dari

suatu proses singkat yang sembuh sendiri menjadi infeksi berat yang

berkepanjangan. Pada konjungtivitis varicella zooster pengobatan dapat

dilakukan dengan pemberian kompres dingin. Pada saat acyclovir 400

mg/hari selama 5 hari merupakan pengobatan umum. Walaupun diduga

steroid dapat mengurangi penyulit akan tetapi dapat mengakibatkan

penyebaran sistemik. Pada 2 minggu pertama dapat diberikan analgetik

untuk menghilangkan rasa sakit. Pada kelainan peermukaan dapat

diberikan salep terasilin. Steroid tetes deksametason 0,1% diberikan

bila terdapat episkleritis, skleritis dan iritis.

d. Konjungtivitis new castle

Pengobatan yang khas hingga saat ini tidak ada dan dapat diberikan

antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder disertai obat-obat

simtomatik.

e. Konjungtivitis hemorhagik epidemik akut

Penyakit ini dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya

simtomatik. Pengobatan antibiotika spekturm luas, sulfacetamide dapat

digunkan untuk mencegah infeksi sekunder. Penyembuhan dapat terjadi

dalam 5-7 hari.


2. Konjungtivitis viral kronik1
a. Konjungtivitis Molluscum Contagiosum

Eksisi, insisi sederhana pada nodul yang memungkinkan darah tepi

yang memasukinya atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitis.

Pada kondisi ini eksisi nodul juga menyembuhkan konjungtivitisnya.

b. Blefarokonjungtivitis varicella zoster

Pada kondisi ini diberikan acyclovir oral dosis tinggi (800mg/oral 5x

selama 10 hari)

c. Keratokonjungtivitis campak
Tidak ada terapi yang spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang

dilakukan, kecuali ada infeksi sekunder.

Konjungtivitis viral merupakan penyakit infeksi yang angka penularannya

cukup tinggi, sehingga pencegahan adalah hal yang sangat penting. Penularan

juga bisa terjadi di fasilitas kesehatan bahkan ke tenaga kesehatan yang

memeriksa pasien. Langkah – langkah pencegahan yang perlu diperhatikan adalah

mencuci tangan dengan bersih, tidak menyentuh mata dengan tangan kosong,

serta tidak menggunakan peralatan yang akan digunakan untuk pemeriksaan

pasien lain. Dalam penularan ke lingkungan sekitar, pasien sebaiknya disarankan

untuk menghindari kontak dengan orang lain seperti di lingkungan kerja / sekolah

dalam 1 – 2 minggu, juga menghindari pemakaian handuk bersama.2

2.6 Prognosis

Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh

spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi apabila tidak

ditangani dengan baik.


BAB 4

PEMBAHASAN

Keluhan penderita yaitu mata kanan kemerahan disertai rasa nyeri, keluar kotoran

serta cairan berwarna bening ,kelopak mata kanan bagian atas sedikit bengkak,
dan terasa gatal. Kemerahan pada mata merupakan tanda dari berbagai penyakit

mata, sehingga untuk membedakannya perlu dilihat gejala lainnya. Pada pasien

ini terdapat kotoran berwarna bening yang keluar terus menerus, hal ini mengarah

ke penyakit konjungtivitis. Keluarnya kotoran dari mata disebabkan adanya

peradangan pada bagian konjungtiva dari mata, dimana pada konjungtiva terdapat

banyak kelenjar. Infeksi konjungtiva menyebabkan terjadi hipersekresi dari

kelenjar tersebut. Untuk penyebab dari infeksi tersebut, pada pasien ini lebih

mengarah ke konjungtivitis viral dilihat dari warna kotoran yang bening. Pada

konjungtivitis bakteri, sekret biasanya berwarna kuning, kental dan biasa keluar

dalam jumlah besar sehingga mata agak sulit dibuka. Sedangkan konjungtivitis

alergi, biasanya pasien memiliki riwayat atopi atau alergi pada keluarga, serta ada

pajanan terhadap alergen sebelum muncul gejala.

Beberapa penyebab mata merah seperti keratitis, uveitis, dan glaukoma

akut bisa dibedakan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada keratitis, pasien

biasanya mengeluhkan mata silau, mata kabur, nyeri serta sulit untuk membuka

mata. Gejala tersebut tidak terdapat pada pasien ini. Selain itu dari pemeriksaan

fisik, biasanya terlihat infiltrat pada kornea, peri corneal vascular injection

(PCVI), edema kornea dan bisa tampak ulkus pada kornea pasien. Sedangkan

pada uveitis, pasien juga bisa mengeluhkan nyeri pada mata, mata merah, dan dari

pemeriksaan fisik bisa tampak miosis dan hipopion. Dan pada glaukoma, pasien

mengeluhkan nyeri hebat pada mata disertai mual muntah, dan penurunan

penglihatan. Dari pemeriksaan fisik, tampak bilik mata depan dangkal serta

tekanan bola mata yang meningkat.


Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita ini memenuhi kriteria

diagnosis konjungtivitis yang disebabkan oleh viral. Pada konjungtivitis

didapatkan hiperemia pada daerah konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbi.

Selain itu terdapat pula edema minimal pada palpebra serta conjunctival vascular

injection (CVI) pada konjungtiva bulbi. Tanda – tanda tersebut menunjukkan

konjungtivitis. Sedangkan untuk perbedaan jenis penyebab, dapat dilihat dari

gejala dan tanda seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pada konjungtivitis

alergi, bisa ditemukan cobblestone appearance pada konjungtiva palpebra serta

trantas dots pada daerah perilimbus.

Usulan pemeriksaan yang dilakukan adalah pengecatan giemsa, KOH,

kultur. Hal ini dilakukan untuk lebih memastikan penyebab dari konjungtivitis

tersebut sehingga dapat membantu pemilihan terapi yang adekuat.

Prognosis pada penderita ini baik, didukung oleh kepustakaan yang

mengatakan bahwa kebanyakan kasus konjungtivitis viral dapat sembuh sendiri

tanpa diberikan terapi. Komplikasi dari penyakit ini juga tidak sering terjadi.

Namun perlu diperhatikan pencegahan agar tidak menular kepada orang lain

mengingat angka penularannya cukup tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

1. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In: Riordan-Eva P,


Whitcher JP (editors). Vaughan & Asburry’s General Opthalmology. 16 th
edition. McGraw-Hill Companies. USA: 2004. p108-112
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2005. p128-131
3. Susila, Niti et al. Standar Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Mata FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. 2009.
4. Budhiastra, P et al. Pedoman Diagnosis dan terapi penyakit Mata RSUP
Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar. 2009.

Anda mungkin juga menyukai