Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

KESELAMATAN PASIEN DAN


KESELAMATAN KESEHATAN KERJA
DALAM KEPERAWATAN

KELOMPOK 3 :

ABDUL ZAKIR ARSYAD (NH0118002)


ANDI ASMAUL HUSNA (NH0118007)
DIAN ANUGRAH WATI (NH0118013)
DOLFINA YUBEL ASNAT SINONAFIN (NH0118014)
FRANSISKA SISILIA TANSALA (NH0118023)
GILDA DESTY CHRISTIN PONTO (NH0118025)
HERLAN (NH0118029)
INDAH SARNITA (NH0118033)
JUSITA KRISTELINA (NH0118038)
KHUSNUL KHATIMAH (NH0118039)
MIFTAHUL JANNAH (NH0118047)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas limpahan Rahmat-NYA
sehingga kami dapat menyelesaikan penusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini

Makassar, 10 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………………………………....i
Kata Pengantar………………………………………………………………………...ii
Daftar Isi............................................................................................................................ iii
Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………….1
1.3 Tujuan………………………………………………………………………..2
1.4 Manfaat………………………………………………………………………2
Bab 2 Pembahasan
2.1 Konsep dan Prinsip Keselamatan Pasien …………….………………………
2.1.1 Konsep Keselamatan Pasien…………………………….……………
2.1.2 Prinsip Keselamatan Pasien………………………………………….
2.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Dan Manusia Pada Keselamatan Pasien...…....
2.2.1 Pengaruh Faktor Lingkungan Pada Keselamatan Pasien…..………….
2.2.2 Pengaruh Faktor Manusia Pada Keselamatan Pasien …………..……..
2.3 Cara Untuk Meningkatkan Keselamatan Pasien Dengan Menggunakan
Metode Peningkatan Kualitas…………………………………………………...
2.4 EBP Untuk Peningkatan Keselamatan Pasien……………………………….
Bab 3 Penutup
3.1Kesimpulan…………………………………………………………………
3.2 Saran………………………………………………………………………..
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keselamatan pasien merupakan prinsip dasar dari pelayanan kesehatan yang
memandang bahwa keselamatan merupakan hak bagi setiap pasien dalam
menerima pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2006). Insiden keselamatan pasien
yang selanjutnya disebut insiden adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan
kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cidera yang dapat
dicegah pada pasien terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian
Nyaris Cidera (KNC), Kejadian Tidak Cidera (KTC), Kejadian PotensialCidera
(KPC) dan Sentinel (Qomariah, 2015).

Gerakan (Patient Safety) keselamatan pasien telah menjadi spirit dalam


pelayanan rumah sakit seluruh dunia tidak hanya rumah sakit di negara maju
yang menerapkan keselamatan pasien untuk menjamin mutu pelayanan, tetapi
juga rumah sakit di negara berkembang seperti di Indonesia.(Juniarti &
Mudayana, 2018)

Di Indonesia, penerapan keselamatan pasien sudah menjadi sebuah wacana sejak


tahun 2001, dan kemudian tertulis dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 129
Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Peraturan terbaru
mengenai keselamatan pasien di rumah sakit adalah Peraturan Menteri Kesehatan
No. 1691 Tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien. Tidak hanya pelayanan
kesehatan di rumah sakit, masyarakat di Indonesia juga memperoleh pelayanan
kesehatan primer di pusat kesehatan masyarakat. Keselamatan pasien untuk
puskesmas tidak sedinamis di rumah sakit. Secara eksplisit, keselamatan pasien
mulai muncul di Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 Tahun 2014, yaitu bahwa
puskesmas harus memperhatikan keselamatan tenaga kesehatan dalam bekerja,
keselamatan pasien, dan keselamatan pengunjung (Kirana & Nurmalasari, 2017).
1.2. Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui apa itu Keselamatan Pasien & Keselamatan
Kesehatan Kerja dalam Keperawatan.

1.2. 2 Tujuan Khusus


 Untuk mengetahui prinsip dan konsep keselamatan pasien.
 Untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan dan manusia pada
keselamatan pasien.
 Untuk mengetahui cara untuk meningkatkan keselamatan pasien
dengan menggunakan metode peningkatan kualitas.
 Untuk mengetahui EBP untuk meningkatkan keselamatan pasien.

1.3 Manfaat

Sebagai khazanah ilmu pengetahuan, Meningkatkan motivasi belajar bagi


mahasiswa dan Menambahkan pola berfikir kritis dan instruktif bagi mahasiswa.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Konsep dan Prinsip Keselamatan Pasien


2.1.1 Konsep Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien merupakan isu global yang paling penting saat ini
dimana sekarang banyak dilaporkan tuntutan pasien atas medical error yang
terjadi pada pasien. Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem
dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi
asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden
dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil . Di dalam keselamatan pasien terdapat
istilah insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden yaitu
setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri
dari Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC),
Kejadian Tidak Cedera (KTC) dan Kejadian Potensial Cedera
(KPC).(Juniarti & Mudayana, 2018)

Keselamatan pasien juga terangkum dalam lima isu penting yang terkait di
rumah sakit yaitu keselamatan pasien, keselamatan pekerja atau petugas
kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa
berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas. Keselamatan
lingkungan yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan
keselamatan bisnis rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup
rumah sakit. Keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk
dilaksanakan terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan. (Juniarti &
Mudayana, 2018)

2.1.2 Prinsip Keselamatan Pasien


Dalam keselamatan pasien terdapat 5 prinsip, yaitu :
2.1.2.1 Prinsip I : Provide Leadership, Meliputi :
2.1.2.1.1Menjadikan Keselamatan Pasien Sebagai Tujuan Utama
atau Prioritas
Keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk
dilaksanakan terkait dengan isu mutu dan citra
perumahsakitan. Gerakan (Patient Safety) keselamatan
pasien telah menjadi spirit dalam pelayanan rumah sakit
seluruh dunia tidak hanya rumah sakit di negara maju yang
menerapkan keselamatan pasien untuk menjamin mutu
pelayanan, tetapi juga rumah sakit di negara berkembang
seperti di Indonesia. Kementerian Kesehatan
Republik.(Juniarti & Mudayana, 2018)

Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri


Kesehatan No. 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien
di Rumah Sakit. Peraturan ini menjadi tonggak utama
operasionalisasi keselamatan pasien di rumah sakit seluruh
Indonesia. Banyak rumah sakit di Indonesia yang telah
berupaya membangun dan mengembangkan keselamatan
pasien, namun upaya tersebut dilaksanakan berdasarkan
pemahaman manajemen terhadap keselamatan pasien.
Peraturan menteri ini memberikan panduan bagi
manajemen rumah sakit agar dapat menjalankan spirit
keselamatan pasien secara utuh. Keselamatan Pasien
adalah suatu.(Juniarti & Mudayana, 2018)

sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi


assesment risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko
pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar
dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi
untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil.(Juniarti & Mudayana,
2018)

2.1.2.1.2Menjadikan Keselamatan Pasien Sebagai Tanggung Jawab


Bersama
Seorang psikologis asal Inggris bernama James Reason
mengembangkan model timbulnya kecelakaan yang bisa
terjadi di organisasi apapun dan manapun .Model nya
diberi nama A mental model of safety systems atau the
health care error proliferation model atau the swiss cheese
model.model ini dikembangkan sesudah penyelidikan pada
berbagai kecelakaan seperti kecelakaan
penerbangan,nuklir,yang semuanya berakhir pada
kesimpulan bahwa sangatlah sulit untuk menunjuk atau
menuding hanya satu orang untuk bertanggung jawab pada
kecelakaan yang terjadi.Model reason kemudian diadopsi
menjadi salah satu konsep bila membahas tentang
keselamatan pada pasien.(Wibowo, 2017)
2.1.2.1.3 Menunjukan Atau Menugaskan Seseorang Yang
Bertanggung Jawab Untuk Program Keselamatan
Fasilitas pelayanan kesehatan menjamin keselamatan
pasien dalam kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. Standar
tentang peran kepemimpinan dalam meningkatkan
keselamatan pasien bahwa di Rumah Sakit Umum Daerah
Provinsi Nusa tenggara Barat sudah melakukan dengan
baik sesuai dengan Peraturan Menteri kesehatan Nomor 11
Tahun 2017. Dimulai dari rumah sakit telah melaksanakan
standarnya yang meliputi adanya tim antar disiplin untuk
mengelola program keselamatan pasien yaitu tim komite
keselamatan pasien di rumah sakit. Hal menjamin
keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan dan
menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit
pelayanan.(Juniarti & Mudayana, 2018)

2.1.2.1.4 Menyediakan Sumber Daya Manusia Dan Dana Untuk


Analisis Error Dan Redesign System
Hal ini sesuai dengan Depkes yang menyatakan bahwa
dalam langkah menuju keselamatan pasien salah satunya
yaitu memasukkan keselamatan pasien dalam semua
program latihan staf . Program pendidikan dan pelatihan
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap staf
untuk menjalankan tugasnya. Dengan program pendidikan
dan pelatihan tersebut di harapkan staf dapat bekerja sesuai
dengan keahliannya sehingga dapat meningkatkan
pelayanan. Rumah sakit harus melaksanakan program
pendidikan dan pelatihan bagi staf sesuai dengan
kebutuhan staf dalam bidangnya masing-masing.
Pendidikan dan pelatihan dapat membantu staf untuk
mengembangkan karir dan membantu mengembangkan
tanggung jawab serta meningkatkan kompetensi dirinya.
Beberapa Staf di Rumah Sakit Umum Daerah provinsi
Nusa Tenggara Barat mengetahui kriteria dari standar
komunikasi yang terkait dengan anggaran untuk
merencanakan dan mendesain proses manajemen.
Anggaran juga berhubungan dengan manajemen untuk
mengidentifikasi masalah keselamatan pasien.(Juniarti &
Mudayana, 2018)

2.1.2.1.5 Mengembangkan Mekanisme Yang Efektif Untuk


Mengidentifikasi “Unsafe” Dokter
2.1.2.2 Prinsip II : Membuat Standar Keselamatan Pasien
2.1.2.2.1 Hak Pasien
Standarnya adalahPasien & keluarganya mempunyai
hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana &
hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD
(Kejadian Tidak Diharapkan) (Marseno, 2011).
Kriterianya adalah
 Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan
 Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat
rencana pelayanan
 Dokter penanggung jawab pelayanan wajib
memberikan penjelasan yang jelas dan benar
kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien
termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Marseno,
2011).

2.1.2.2.2 Mendidik Pasien Dan Keluarga

Standarnya adalahRS harus mendidik pasien &


keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab
pasien dalam asuhan pasien (Marseno, 2011).

Kriterianya adalah Keselamatan dalam pemberian


pelayanan dapat ditingkatkan dgn keterlibatan pasien
adalah partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di
RS harus ada system dan mekanisme mendidik pasien &
keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab
pasien dalam asuhan pasien.Dengan pendidikan tersebut
diharapkan pasien & keluarga dapat (Marseno, 2011) :

 Memberikan info yg benar, jelas, lengkap dan jujur


 Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
 Mengajukan pertanyaan untuk hal yg tdk dimengerti
 Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
 Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS
 Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang
rasa
 Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati

2.1.2.2.3 Keselamatan Pasien Dan Kesinambungan Pelayanan


Standarnya adalahRS menjamin kesinambungan
pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan
antar unit pelayanan (Marseno, 2011).

Kriterianya adalah (Marseno, 2011):

 koordinasi pelayanan secara menyeluruh


 koordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien
dan kelayakan sumber daya
 koordinasi pelayanan mencakup peningkatan
komunikasi
 komunikasi dan transfer informasi antar profesi
kesehatan

2.1.2.2.4 Penggunaan Metode-Metode Peningkatan Kinerja Untuk


Melakukan Evaluasi Dan Program Peningkatan
Keselamatan Pasien

Standarnya adalahRS harus mendesign proses baru atau


memperbaiki proses yg ada, memonitor & mengevaluasi
kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara
intensif KTD, & melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja serta KP (Marseno, 2011).

Kriterianya adalah (Marseno, 2011) :

 Setiap rumah sakit harus melakukan proses


perancangan (design) yang baik, sesuai dengan
”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah
Sakit”.
 Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan
data kinerja
 Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
 Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data
dan informasi hasil analisis

2.1.2.2.5 Mendidik Staf Tentang Keselamatan Pasien

Standarnya adalah (Marseno, 2011).

 RS memiliki proses pendidikan, pelatihan &


orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan
jabatan dengan KP secara jelas.
 RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan & memelihara
kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien.

Kriterianya adalah (Marseno, 2011).

 memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru


yang memuat topik keselamatan pasien
 mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam
setiap kegiatan inservice training dan memberi
pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
 menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama
kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan
interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani
pasien.
2.1.2.2.6 Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien.

Standarnya adalah (Marseno, 2011).

 RS merencanakan & mendesain proses manajemen


informasi KP untuk memenuhi kebutuhan informasi
internal & eksternal.
 Transmisi data & informasi harus tepat waktu &
akurat.

Kriterianya adalah (Marseno, 2011).

 disediakan anggaran untuk merencanakan dan


mendesain proses manajemen untuk memperoleh data
dan informasi tentang hal-hal terkait dengan
keselamatan pasien.
 Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala
komunikasi untuk merevisi manajemen informasi
yang ada

2.1.2.3 Prinsip III : Mengembangkan Tim Yang Efektif


Kompetensi dan kemampuan teamwork harusfdipertimbangkan
untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Kompetensi dan
kemampuan dapat dikembangkan dengan pelatihan. Bukti-bukti
ilmiah memperlihatkan bahwa kerjasama tim dapat
meningkatkan mutu dan keselamatan pasien. Penelitian yang
dilakukan oleh Profesor Benyamin P., kepala bagian kebidanan
dan kandungan di Beth Israel Deaconness Medical Center
mengatakan klaim malpraktik menurun 50% dalam 3 tahun
terakhir setelah tim di unitnya mendapatkan pelatihan
bekerjasama secara tim (Ismainar, Dahesihdewi, & Dwiprahasto,
2012).

Dalam penelitian Gardner, et al., (2008), yang melakukan


interview pada 50 orang perawat di New Zealand, mengatakan
bahwa kompetensi dan kemampuan harus dipertimbangkan
dalam memahami peran kompleks dari praktisi perawat. Dimensi
kemampuan perlu dipertimbangkan dalam pendidikan dan
evaluasi praktisi seorang perawat. Pada penelitian ini,
merekomendasikan bahwa kompetensi dan kemampuan perawat
harus dikembangkan, dilatih dan dievaluasi (Ismainar et al.,
2012).

Penelitian lain di RS Bethesda Yokyakarta, penelitian ini


bertujuan menyusun leadership competency. Ada 8 kompetensi
kepemimpinan yang dikembangkan menurut Harvard University
(2008). Perilaku 3 level manajerial, dari 131 informan tersebut
hasilnya teridentifikasi masih banyak informan memiliki
kompetensi berada di level 1-3. Hal ini mengisyaratkan agar
kompetensi kepemimpinan di RS Bethesda ini masih pada level
bawah dan harus terus dikembangkan melalui pelatihan-
pelatihan (Ismainar et al., 2012).

Tim yang efektif mensyaratkan setiap anggota tim memiliki


kemauan atau motivasi dan bertanggungjawab untuk
menciptakan lingkungan kerja yang kondusif. Motivasi
merupakan sesuatu yang memberi energi dan mengarahkan
perilaku untuk secara gigih mencapai tujuan. Bangunlah
kebersamaan dan loyalitas yang kuat antar anggota tim kerja.
Kebersamaan dan loyalitas dapat diartikan sebagai kedekatan
dan rasa kepemilikan terhadap setiap anggota tim kerja atau
terhadap tim kerja itu sendiri. Kebersamaan akan sangat
bermanfaat dalam teamwork (Ismainar et al., 2012).
2.1.2.4 Prinsip IV : Antisipasi Untuk Kejadianyang Tidak Terduga
2.1.2.4.1 Pendekatan Proaktif
Untuk membangun suatu hubungan diperlukan adanya
komunikasi, tanpa komunikasi pesan yang disampaikan
tidak efektif. Menurut Zen komunikasi sangat penting
dalam proses keperawatan, perawat menggunakan
komunikasi verbal maupun tertulis pada setiap langkah
proses keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
tergantung pada komunikasi yang efektif antara perawat
dan pasien. Pasien harus merasa nyaman agar dapat
menimbulkan keinginan atau motivasi untuk
berkomunikasi sehingga terjadi interaksi yang efektif dan
pasien dapat mengambil keputusan untuk rencana
keperawatan (Qomariah, 2015).

Pada kenyataannya Komunikasi antara perawat dan


pasien dengan insiden keselamatan pasien masih
didapatkan komunikasi perawat yang kurang dan
komunikasi yang cukup sehingga berdampak kepada
Insiden keselamatan Pasien. Seharusnya perawat harus
proaktif dalam mengetahui perkembangan kesehatan
pasien. Tidak hanya datang memberikan obat tanpa
menanyakan nama atau identitas pasien dan setelah itu
pergi, tetapi harus aktif membangun komunikasi yang
baik sehingga mencegah terjadi insiden keselamatan
pasien.

2.1.2.4.2 Menyediakan antidotum dan menjaga keamanan obat


Antidotum adalah penawar racun atau penetralisir racun
pada tubuh akibat paparan zat kimia, dan mengendapkan
racun yang masuk ke dalam tubuh.Antidotum digunakan
juga untuk mereka yang terkena overdosis akibat
pengaruh obat (Rahmiyati, Abdilah, Susilowati, &
Anggaraini, 2018)

Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai


(High-Alert). Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-
alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan
terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat
yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak
diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang
terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa
dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun
Alike/LASA). Obat-obatan yang sering disebutkan dalam
isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit
konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida
2 meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium
klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat
=50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila
perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit
pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak
diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau
pada keadaan gawat darurat (Sumangkut et al., 2017).

Penyedian obat penawar racun (antidotum) dan menjaga


keamanan obat sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi
kejadian yang tidak terduga pada pasien untuk mencegah
terjadi insiden keselamatan pasien.

2.1.2.4.3 Training Simulasi

Perawat merupakan sumber daya manusia yang terlibat


langsung dalam menjalankan kegiatan rumah sakit.
Peningkatan kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan
perawat dapat dilakukan melalui program pelatihan dan
pengembangan. Pelatihan lebih berorientasi pada
peningkatan kemampuan untuk melakukan pekerjaan
yang spesifik, dan pengembangan lebih ditekankan untuk
melakukan pekerjaan pada masa yang akan datang
(Qomariah, 2015).

pelatihan memiliki manfaat, yaitu berupa tanggung jawab


dan prestasi yang lebih dapat diinternalisasi,
meningkatnya pengetahuan, keterampilan, sikap serta
membantu menghilangkan rasa takut dalam menghadapi
tugas baru. Lebih lanjut manfaat yang akan dirasakan dari
pelatihan yaitu dapat terbentuk sikap lebih positif
terhadap orientasi yang akan dicapai dan sikap moral
yang lebih baik Jika dihubungkan dengan upaya untuk
membangun budaya keselamatan maka kemanfaatan ini
akan berkembang menjadi investasi yang bernilai positif
meningkatkan peran perawat dalam membangun budaya
keselamatan (Yulia & Hamid, 2012).

Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh


dapat memberikan semangat baru dalam bekerja.
Program pelatihan dan pengembangan bertujuan untuk
mengurangi ketidaktahuan dan meningkatkan
kemampuan perawatdalam efektivitas kerja untuk
mencapai sasaran yang telah ditentukan.

2.1.2.5 Prinsip V : Menciptakan Atmosfer “Learning”


Menciptakan atmosfer learning yaitu, mewujudkan suasana
belajar, dimana perawat memberikan edukasi kepada pasien
tentang penting keselamatannya. Sebagai perawat selain
merawat pasien kita juga mengemban tugas sebagai guru pasien,
dimana perawat membantu pasien mempertinggi pengetahuan
dalam upaya meningkatkan kesehatan, menangani masalah
kesehatan, dan juga menjaga keselamatan dirinya sesuai dengan
dan tindakan spesifik yang dilakukan untuk pasien, keluarga dan
tim kesehatan lainnya baik secara spontan (saat berinteraksi)
maupun formal (persiapan). sehingga pasien dapat merasa aman
dan nyaman dalam menjalani perawatan kesehatannya (Kirana &
Nurmalasari, 2017).

2.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Dan Manusia Pada Keselamatann Pasien

Rumah sakit sebagai salah satu institusi pelayanan kesehatan memiliki fungsi
penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga dituntut untuk
selalu meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan. Dalam hal ini semua pihak
di dalam rumah sakit saling terkait satu sama lain, mulai dari yayasan pemilik,
direksi, para dokter, perawat, dan profesional lainnya serta staf pada umumnya.
Kualitas rumah sakit tidak hanya terlihat dari bangunan megah, dokter-dokter
berpengalaman, obat-obatan yang lengkap, dan peralatan medis yang serba
canggih. Rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik dan
lebih terbuka pada masyarakat. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap mutu
pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan (352410111-Pengaruh-Faktor-
Lingkungan-Dan-Manusia-Pada-Keselamatan-Pasien, n.d.)

2.2.1 Pengaruh Faktor Lingkungan Pada Keselamatan Pasien

2.2.1.1 Ruang Tamu


Karena ruang tamu menempati teras depan, maka pada saat hujan
ruangan akan menjadi basah. Hal ini memudahkan pasien untuk
terjatuh / terpeleset7. Kedudukan perawat yang berjarak 14.5 meter
dari ruang tamu menyebabkan lambatnya antisipasi terhadap
kemungkinan pasien jatuh/terpeleset.Dibutuhkan lantai yang mudah
dibersihkan, tidak licin, cepat kering ketika basah oleh air hujan, kedap
air dan tidak lembab. Dinding rendah yang sudah ada membantu agar
air hujan tidak banyak yang masuk ke teras. Sebaiknya membuat lagi
penutup (dinding) rendah (kirakira 0.60 meter dari lantai) untuk
mencegah air hujan tidak langsung tampias ke lantai. Dinding rendah
ini berfungsi pula sebagai tempat duduk bila hari tidak hujan.
Kedudukan perawat diusahakan lebih dekat ke ruang tamu. (Saraswati
& Haryangsah,2010)

2.2.1.2 Ruang Makan


Kondisi ruangan pada siang hari cukup baik dengan pencahayaan alam
dari bukaan-bukaan yang lebar. Sedangkan pada malam hari secara
psikologis mengakibatkan ketegangan bagi pasien karena kondisi
ruang yang tertutup, langit-langit tinggi 4.2 meter, pencahayaan buatan
yang kurang terang (tidak sebanding dengan luas ruangan). Hal ini
mengakibatkan pasien menjadi agresif, berkelahi dengan pasien lain
dengan menggunakan meja, kursi, bahkan peralatan makan.
Kedudukan ruang makan yang menjadi jalur sirkulasi dari berbagai
ruang di bangsal itu menjadikan terjadinya interaksi antar pasien, yang
kemungkinan bisa terjadi keributan bila ruangan agak gelap.
Kedudukan perawat berada di tengah ruang makan, sehingga lebih
memudahkan pengawasan.Penerangan buatan pada malam hari bisa
lebih banyak atau lebih terang, agar pasien tidak merasa tegang. Pintu
pada ruang makan sebaiknya designnya tidak berkesan menutup /
mengisolasi pasien. Pengaturan meja kursi makan dibuat tidak
menghalangi sirkulasi, karena bila pasien saling bersenggolan bisa
sajamenimbulkan kejadian yang tidak diinginkan. Bisa diusahakan
pula bahwa meja kursi makan dipinggirkan merapat dinding bila tidak
ada aktivitas makan. Meja kursi makan maupun peralatan makan agar
dari bahan plastik yang liat dan tidak ada sisi-sisinya yang tajam.
(Saraswati & Haryangsah, 2010).

2.2.1.3 Ruang Tidur Pasien Tenang


Pasien tenang umumnya lebih kooperatif, namun kemungkinan
melarikan diri tetap terjadi melalui jendela (jendela tidak berteralis)
ataupun langit-langit. Melalui langit-langit dengan cara menjungkirkan
tempat tidur sehingga bisa dipakai memanjat untuk mencapai langit-
langit. Kondisi ruang yang tertutup dan tinggi serta penyinaran buatan
yang kurang merata pada malam hari menimbulkan suasana tegang
bagi pasien. Siang hari tidak demikian karena jendelajendela yang
lebar memasukkan banyak cahaya alam dari luar. Pengawasan dari
tempat perawat kurang jelas terlihat secara langsung. Diusahakan
warna dinding memakai warna yang berkesan “teduh” atau “dingin”,
untuk meredam emosi. Warna dinding diusahakan pula berbeda antara
bagian bawah sampai setinggi 3.0 meter dari lantai (warna muda)
dengan bagian selanjutnya sampai batas langit-langit (warna tua), agar
dinding berkesan rendah. Pencahayaan buatan diusahakan lebih
banyak, merata, dan lebih terang pada malam hari. Pintu dibuat lebih
kuat dan dikunci dari luar pada malam hari agar pasien tidak bisa
melarikan diri. Demikian pula jendela, sudah dilakukan diberi kunci
atau gerendel tambahan yang dikuncikan dari luar pada malam hari.
Tempat tidur pasien agar dibuat “permanen” pada kedudukannya
sehingga tidak bisa dijungkirkan oleh pasien. Kedudukan perawat
diusahakan bisa melihat aktivitas di ruang itu, baik siang maupun
malam hari. (Saraswati & Haryangsah, 2010).

2.2.1.4 Km/wc pasien


Pengawasan dari ruang perawat kurang jelas untuk mengantisipasi bila
pasien melarikan diri melalui langit-langit karena rendahnya ketinggi-
an ruang (hanya 3,0 meter). Pasien melarikan diri melalui langit-langit
dengan berpijak pada bak mandi atau teralis. Letak ruang ini yang
berada agak jauh di belakang menyulitkan perawat untuk mengawasi
pasien. Pasien juga kadang menelantarkan diri atau bersikap jorok /
kotor di ruang ini, namun tidak bisa dilihat oleh perawat. Sehingga
kemungkinan jatuh atau terpeleset menjadi besar.(Saraswati &
Haryangsah, 1985)

Hanya ada bovenlicht berteralis yang terletak hanya 2,5 meter dari
lantai memudahkan pasien menggunakannya sebagai alat penggantung
untuk bunuh diri. Langit-langit dibuat lebih kuat agar tidak mudah
dijebol dari bawah untuk melarikan diri. Atau langit-langit ditinggikan
bila mungkin. Tidak mungkin untuk mengawasi pasien bila sedang
berada di ruang ini. Teralis dibuat dengan design yang rapat atau lebih
kuat, atau tidak ada teralis sama sekali. Lantai dibuat dengan
kemiringan yang memudahkan air mengalir cepat. Sebaiknya bahan
lantai tidak licin bila kondisi basah, dan mudah dibersihkan. Tidak
mungkin melakukan pengawasan langsung bila pasien sedang berada
di ruang ini.(Saraswati & Haryangsah, 1985)

2.2.1.5 Ruang-Ruang Pendukung

gudang, bila pasien tiba-tiba menerobos masuk ruang ini, bisa dipakai
untuk melarikan diri melalui langit-langit. Ruang gudang juga hanya
mempunyai bovenlicht berteralis. Pintu ruang agar kuat dan selalu
terkunci.Dibuat design pintu yang tidak menarik, sehingga pasien
tidak tergoda untuk masuk ke ruang itu.(Saraswati & Haryangsah,
1985)

2.2.2 Pengaruh Faktor Manusia Pada Keselamatan Pasien

Human factor memeriksa hubungan antara manusia dan sistem dan


bagaimana mereka berinteraksi dengan berfokus pada peningkatan
efisiensi, kreativitas, produktivitas dan kepuasan pekerjaan, dengan tujuan
meminimalkan kesalahan. Kegagalan menerapkan prinsip Human factor
merupakan aspek kunci kejadian paling buruk dalam perawatan
kesehatan.Karena itu, semua petugas kesehatan harus memiliki pemahaman
dasar tentang prinsip-prinsip faktor manusia. Petugas kesehatan yang tidak
mengerti dasar-dasar faktor manusia diibaratkan seperti petugas
pengendalian infeksi tapi tidak mengetahui tentang mikrobiologi.(Kampar,
Sc, & Phil, 2015)
2.2.2.1 Pengetahuan yang Diperlukan
Istilah human factor atau ergonomik umumnya digunakan
mendeskripsikan interaksi antara tiga aspek saling berhubungan:
individu di tempat kerja, tugas yang dibebankan untuk individu
tersebut, dan tempat kerjanya. Human factor merupakan ilmu yang
menggunakan banyak disiplin misalnya anatomi, fisiologi, fisika,
dan biomekanik untuk mengetahui bagaimana orang bertindak di
bawah kondisi-kondisi yang berbeda. Human factor didefinisikan
sebagai studi yang mencakup semua faktor yang membuatnya lebih
mudah untuk melakukan pekerjaan dengan cara yang benar.
2.2.2.1.1 Definisi yang lain dari human factor adalah studi dari
hubungan saling terkait antara manusia, instrumen, dan
alat yang mereka gunakan di tempat kerjanya, maupun
di lingkungan dimana mereka bekerja.
2.2.2.1.2 Aplikasi human factor sangatlah relefan dengan patient
safety yangtertanam dalam disiplin human factor, yang
merupakan ilmu dasar dari keselamatan. Human factor
bisa menunjukkan kepada kita bagaimana meyakinkan
orang lain jika kita melakukan praktik berdasarkan
keselamatan, berkomunikasi baik dengan tim, dan
menyerah terimakan tanggungjawab kepada profesi
tenaga kesehatan lain.
2.2.2.1.3 Banyak pelayanan kesehatan yang tergantung pada
manusia yaitu dokter dan perawat yang menyediakan
pelayanan. Orang yang ahli pada human factor meyakini
bahwa kesalahan bisa dikurangi dengan memfokuskan
pada pemberi pelayanan kesehatan dan mempelajari
bagaimana mereka saling berinteraksi dan bagaimana
hubungan mereka dengan lingkungannya.
2.2.2.1.4 Prinsip human factor bisa diadaptasi pada berbagai
lingkungan, Pada tatanan pelayanan kesehatan misalnya
mengobservasi penyebab yang mendasari dari efek
samping yang berhubungan dengan miskomunikasi dan
tindakan tenaga kesehatan ataupun pasien didalam
sistem. Banyak yang berpikir jika kesulitan komunikasi
antara tim tenaga kesehatan terjadinya berdasarkan fakta
dari masing-masing tenaga memiliki sejumlah tugas
yang harus dilakukan pada satu waktu.
2.2.2.1.5 Ilmu human factor menunjukkan bahwa yang paling
penting bukan jumlah tugasnya namun sifat tugasnya
yang sedang dilakukan. Dokter mungkin menceritakan
kepada mahasiswanya langkah sederhana dari operasi
saat dokter tersebut melakukan operasi namun jika
kasusnya tergolong sulit, dokter bedah tersebut tidak
dapat melakukannya karena membutuhkan konsentrasi
yang lebih. Pemahaman dari human factor dan ketaatan
terhadap prinsip human factor saat ini menjadi dasar
penting untuk mendisiplinkan patient safety.
2.2.2.1.6 Manusia juga mudah mengalami distraksi yang mana
merupakan kekuatan maupun kelemahan. Distraksi
membantu kita memperhatikan saat sesuatu yang tidak
biasa sedang terjadi. Kita juga sangat baik menyadari
dan merespon situasi secara cepat dan beradaptasi
terhadap situasi maupun informasi baru. Namun,
distraksi ini memungkinkan kita kepada error, karena
distraksi membuat kita kekurangan perhatian pada aspek
yang paling penting terkait tugas atau situasi. Sebagai
contoh adalah mahasiswa keperawatan mengambil darah
dari pasien. Saat mahasiswa sedang proses
membersihkan setelah pengambilan darah, pasien
disebelah meminta bantuan. Mahasiswa tersebut
berhenti terhadap tindakan yang dilakukan dan
melakukan bantuan dan melupakan melabel tabung
darah. Atau perawat yang melakukan medikasi dari
order telepon dan mengalami interupsi dari kolega yang
bertanya disampingnya, perawat mungkin akan salah
mendengar, atau gagal mengecheck medikasi atau dosis
sebagai dampak dari adanya distraksi. (352410111-
Pengaruh-Faktor-Lingkungan-Dan-Manusia-Pada-
Keselamatan-Pasien, n.d.)

2.2.2.2 Hubungan Antara Faktor Manusia Dengan Keselamatan Pasien


Penting bagi semua petugas layanan kesehatan untuk
memperhatikansituasi yang meningkatkan kemungkinan kesalahan
bagi manusia dalam situasi apapun. Khususnya penting untuk bagi
mahasiswa kedokteran dan staf junior yang kurang
berpengalaman. Dua faktor dengan dampak paling banyak adalah
kelelahan dan stres. Ada bukti ilmiah kuat yang menghubungkan
kelelahan dan penurunan kinerja sehingga menjadikannya faktor
risiko dalam keselamatan pasien.(Manajemen, Rumah, Indonesia,
& Cikini, 2019).

2.3 Cara Untuk Meningkatkan Keselamatan Pasien


Kualitas pelayanan merupakan faktor yang sangat penting dan telah menjadi isu
sentral di era ini. Salah satu bentuk pelayanan di bidang jasa adalah pelayanan
kesehatan. Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang
dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat
kepuasan rata-rata penduduk, serta yang penyelenggaranya sesuai dengan standar
kode etik profesi yang telah ditetapkan (AzrulAzwar,1996).

Keselamatan pasien menjadi sebuah prioritas utama dalam pelayanan kesehatan


dan merupakan langkah yang baik untuk meningkatkan kualitas serta mutu
pelayanan rumah sakit. rumah sakit (RS) merupakan suatu intansi yang menjadi
salah satu fasilitas kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat. Pasien sebagai
pengguna pelayanan kesehatan berhak memperoleh keamanan dan keselamatan
dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit (Undang- Undang tentang
Kesehatan dan Rumah sakit).Dalam peningkatan kualitas pelayanan salah
satunya yang dapat dilakukan dengan meningkatkan keselamatan pasien.
Keselamatan pasien merupakan salah satu kendali mutu pelayanan yang harus
diperhatikan salah satunya adalah melaksanakan program keselamatan
pasien.(Pidada & Darma, 2018)

Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan staf mengenai pekerjaannya


dipengaruhi oleh banyak faktor yang ada dalam suatu organisasiyang didukung
oleh kebijakan untuk memungkinkan staf memiliki kemampuan dan tanggung
jawab sesuai tuntutan perubahan pada era globalisasi yang disertai dengan
persaingan di berbagai bidang pengetahuan yang menunjang keterampilan perlu
diberikan agar staf dapat melakukan tugasnya berdasarkan teori-teori yang dapat
dipertanggungjawabkan (Yulia, Hamid, & Mutikasari, 2012).

PeningkatanPemahaman Perawat Pelaksana Dalam Penerapan Keselamatan


Pasien Melalui Pelatihan Keselamatan Pasien adalah setelah dilakukannya
pelatihan keselamatan pasien terhadap perawat pelaksana sehingga peningkatan
pemahaman perawat pelaksana terhadap penerapan keselamatan pasien yang
dipengaruhi perubahan kognitif selama proses pelatihan. (Pidada & Darma,
2018)

Peningkatan pengetahuan merupakan dampak yang diharapkan dari pelatihan


mutu dan keselamatan pasien. Pelatihan merupakan salah satu sarana menambah
kebutuhan akan pengetahuan baru dan untuk meningkatkan kinerja individu dan
kinerja system. Dukungan yang adekuat dalam bentuk pelatihan professional dan
pengembangan pengetahuan merupakan salah satu upaya untuk menciptakan
lingkungan kerja yang positif bagi perawat agar asuhan yang aman dapat
diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh pelatihan
keselamatan pasien terhadap pemahaman perawat pelaksana dalam penerapan
keselamatan pasien(Yulia et al., 2012).

Peran penting yang mengakibatkan keterbatasan institusi pelayanan untuk


mengelola pelayanan yang berorientasi pada keselamatan pasien. Hal ini berarti
keterbatasan pengetahuan merupakan kunci yang perlu dipertimbangkan demi
keamanan asuhan yang diberikan oleh tenaga kesehatan termasuk perawat karena
pelatihan memiliki manfaat yang sangat penting yaitu berupa tanggung jawab
dan prestasi yang lebih dapat diinternalisasi, meningkatnya pengetahuan,
keterampilan, sikap serta membantu menghilangkan rasa takut dalam
menghadapi tugas yang baru.(Yulia et al., 2012)

2.4. EBP Untuk Peningkatan Keselamatan Pasien

2.4.1 Konsep EBP

EBP merupakan salah satu perkembangan yang penting pada dekade ini
untuk membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran, keperawatan, sosial,
psikologi, public health, konseling dan profesi kesehatan dan sosial
lainnya.
Menurut (Goode & Piedalue, 1999) : Praktik klinis berdasarkan bukti
melibatkan temuan pengetahuan dari penelitian, review atau tinjauan kritis.
EBP didefinisikan sebagai intervensi dalam perawatan kesehatan yang
berdasarkan pada fakta terbaik yang didapatkan. EBP merupakan proses
yang panjang, adanya fakta dan produk hasil yang membutuhkan evaluasi
berdasarkan hasil penerapan pada praktek lapangan.(Agus Putradana,
2015)

EBP merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah untuk pengambilan


keputusan dalam organisasi pelayanan kesehatan yang terintegrasi di
dalamnya adalah ilmu pengetahuan atau teori yang ada dengan pengalaman
dan bukti-bukti nyata yang baik (pasien dan praktisi). EBP dapat
dipengaruh oleh faktor internal dan external serta memaksa untuk berpikir
kritis dalam penerapan pelayanan secara bijaksana terhadadap pelayanan
pasien individu, kelompok atau system. Clinical Based
Evidence atau Evidence Based Practice (EBP) adalah tindakan yang teliti
dan bertanggung jawab dengan menggunakan bukti (berbasis bukti) yang
berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk menuntun
pengambilan keputusan dalam proses perawatan. EBP merupakan salah
satu perkembangan yang penting pada dekade ini untuk membantu sebuah
profesi, termasuk kedokteran, keperawatan, sosial, psikologi, public health,
konseling dan profesi kesehatan dan sosial lainnya. (Agus Putradana, 2015)
2.4.2 Model Pendekatan EBP
2.4.2.1 Model Settler
Merupakan seperangkat perlengkapan/media penelitian untuk
meningkatkan penerapan Evidence based. 5 langkah dalam Model
Settler(Agus Putradana, 2015):
Fase 1 : Persiapan
Fase 2 : Validasi
Fase 3 : Perbandingan evaluasi dan pengambilan keputusan
Fase 4 : Translasi dan aplikasi
Fase 5 : Evaluasi

2.4.2.2 Model IOWA Model of Evidence Based Practice to Promote Quality


Care
Model EBP IOWA dikembangkan oleh Marita G. Titler, PhD, RN,
FAAN, Model IOWA diawali dari pemicu/masalah. Pemicu/masalah
ini sebagai focus ataupun focus masalah. Jika masalah mengenai
prioritas dari suatu organisasi, tim segera dibentuk. Tim terdiri dari
stakeholders, klinisian, staf perawat, dan tenaga kesehatan lain yang
dirasakan penting untuk dilibatkan dalam EBP. Langkah selanjutkan
adalah mensistesis EBP. Perubahan terjadi dan dilakukan jika
terdapat cukup bukti yang mendukung untuk terjadinya perubahan
.kemudian dilakukan evaluasi dan diikuti dengan diseminasi (Jones
& Bartlett, 2004; Bernadette Mazurek Melnyk, 2011).(Agus
Putradana, 2015)

2.4.2.3 Model Konseptual Rosswurm & Larrabee


Model ini disebut juga dengan model Evidence Based Practice
Change yang terdiri dari 6 langkah yaitu :
Tahap 1 :mengkaji kebutuhan untuk perubahan praktis
Tahap 2 : tentukkan evidence terbaik
Tahap 3 : kritikal analisis evidence
Tahap 4 : design perubahan dalam praktek
Tahap 5 : implementasi dan evaluasi perunbahan
Tahap 6 : integrasikan dan maintain perubahan dalam praktek.
Model ini menjelaskan bahwa penerapan Evidence Based Nursing ke
lahan paktek harus memperhatikan latar belakang teori yang ada,
kevalidan dan kereliabilitasan metode yang digunakan, serta
penggunaan nomenklatur yang standar.(Agus Putradana, 2015)

2.4.2.4 Proses Evidence Based Practice


Dalam praktik keperawatan yang mendasari praktiknya sesuai dengan
ilmu pengetahuan, ada empat pilar dan juga sekaligus proses yang
membantu perawat untuk mencapai praktik yang terstandard.Pertama
adalah EBP; kedua adalah pemanfaatan penelitian; ketiga adalah
penelitian dan yang terakhir adalah peningkatan kinerja.(Dolfina
Sinonafin, 2019)
Sama halnya dengan orang yang ingin berperang, dalam praktik
keperawatanpun harus memiliki strategi untuk meningkatkan
keselamatan pasien, mengingat objek kajian kita adalah manusiadan
bukan mesin yang jika salah bisa di perbaiki dengan cara di lakukan
ulang percobaan untuk emenmukan jalan keluar, oleh karena itu
sebelum penerapan penanggulangan yang kita lakukan kepada pasien
haruslah di dahulukan penelitian yang menjamin pengobatan yang
akan kita terapkan pada pasien pasti berhasil. Maka di bakukanlah 5
proses atau langkah dalam menerapkan EBP untuk meningkatkan
keselamatan pasien, seperti di bawah ini:(Dolfina Sinonafin, 2019)
(Sumber : Vynna, 2018)

Merumuskan pertanyaan klinis yang dapat dijawab


Contoh :
Clinical Question: Bagaimanakah efektifitas pemeriksaan
kardiotokograpi untukmendeteksi kesejahteraan janin dalam proses
persalinan?
2.4.2.4.1 Menemukan bukti terbaik
o Formulasi PICO(Vynna, 2018)
Patient Infant, neonatal
Intervention Carditocography
Comparator Intermitten auscultation
Outcome Assessment of fetal wellbeing

o Frase Penelusuran
Search Terms
Patient/Population (Infant* OR Neonatal*)
Problem
Intervention (Cardiotocography*)

Comparator (Intermitten auscultation*)

Outcome (Assessment of fetal wellbeing*)


(Vynna, 2018)
o Frase Penelusuran Akhir
(Infant* OR Neonatal*) AND (Cardiotocography*) AND
(Intermitten auscultation*) AND (Assessment of fetal
wellbeing*)(Vynna, 2018)
o Hasil Penelusuran Jurnal
Search Pharase PUBMED
Infant 987981
(Infant*) 1048764
(Infant* OR Neonatal*) 1125994
(Infant* OR Neonatal*) AND (Cardiotocography*) 1019
(Infant* OR Neonatal*) AND (Cardiotocography*) AND 16
(Intermitten auscultation*)
(Infant* OR Neonatal*) AND (Cardiotocography*) AND 1
(Intermitten auscultation*) AND (Assessment of fetal
wellbeing*)
(Vynna, 2018)

Hasil Penelusuran Jurnal


Contoh:
Judul Artikel: Admission cardiotocography: a randomised controlled
trial. Lawrence Impey, Margaret Reynolds, Kathryn MacQuillan,
Simon Gates, John Murphy, Orla Sheil.(Vynna, 2018)
2.4.2.4.2 Menilai bukti secara kritis (mengetahui seberapa bagus
bukti tersebut dan apa artinya)
Contoh :

Apakahhasildaripenelitianuji diagnosis ini valid?(Vynna, 2018)

Apakah ada perbandingan dengan · Iya alat screening pemantauan janin


baku emas yang dilakukan secara selama proses persalinan tersebut
independen dan tersamar? dibanding kan oleh gold standarnya
yaitu auskultasi secara intermitten
denyut jantung janin.

Apakah alat diagnosis diuji · Penelitian ini dilakukan di ruang


akurasinya dalam spektrum pasien bersalin rumah sakit bersalin nasional
yang merta (seperti terjadi dalam di Dublin, irlandia.
praktek rutin?) · Pada jurnal dijelaskan bahwa
responden yang akan diteliti yaitu ibu
hamil tunggal dengan usia kehamilan
kurang dari 42 minggu, tidak ada
kelainan janin dan komplikasi
kehamilan, suhu tubuh ibu kurang dari
37,5o C saat masuk dan bersedia
menjadi responden. Dalam penelitian
ini 2 orang perawat memantau keadaan
ibu secara atif. Pasien yang
menggunakan cardiotokograpi dan
auskultasi intermitten dikelola dengan
perbandingan 1:1, tugas itu dibuat
diruang bersalin, disegel, buram dan
amplop diberi urutan nomor.
Awalnya pengacakan secara berurutan
adalah dari komersial package10 dan
menggunakan ukuran blok tetap 100.
Itu berubah setelah 2621 pasien telah
direkrut dan digeneralisasikan oleh unit
perinatologi dengan ukuran block acak
100-250.Peserta yang direkrut oleh
bidan bersedia berpartisipasi, dibuka
amplop dan dialokasikan.

Apakah uji yang dipakai sebagai Tidak, pada penelitian ini jika salah
baku emas dilakukan dengan satu kondisi seperti perlambatan
mengabaikan hasil dari pemeriksaan denyut jantung janin atau takikardia
lain yang sedang diuji akurasinya? pada auskultasi dan ciaran ketuban
bercampur mekonium, suhu ibu
>38oC, persalinan lebih dari 8 jam
maka digunakan EFM.

Akankah kemungkinan sakit setelah Iya, bila janin terdiagnosa gawat janin
pemeriksaan mempengaruhi setelah pemeriksaan maka
manajemen dan pertolongan anda mempengaruhi manajemen dan
kepada pasien? (Dapatkah hal ini pertolongan pada ibu bersalin.
menggerakkan anda dari nilai Melakukan kolaborasi dengan dokter
ambang pemeriksaan dan terapi? spesialis kandungan dan spesialis anak
Apakah pasien anda merupakan untuk penanganan lebih lanjut.
berkeinginan menjadi partner dalam
melakukan pemeriksaan ini?

Akankah konsekuensi-konsekuensi Efek dari gawat janin tidak hanya


pemeriksaan menolong pasien anda? dialami bayi pada saat lahir, tetapi juga
berpengaruh pada perkembangan
bayi.Dengan melakukan deteksi gawat
janin secara rutin akan membantu
pasien2 yang mengalami kelainan pada
masa persalinan.

(Vynna, 2018)
2.4.2.4.3 Mengaplikasikan Bukti
Contoh:
Apakah hasil yang valid dari penelitian uji diagnosis ini
penting?
Hitungan anda (Vynna, 2018) :

Target penyakit: gawat janin


Total
Postif Negative

Positif a b a+b=
Cardiotocography
Negatif c d c+d=

a+b+c+
Total a + c =46 b + d = 104
d =4298

(Vynna, 2018)
Sensitivitas (SN) = a/(a+c) =
Spesifisitas (SP) = d/(b+d) =
Positive Predictive Value(Nilairamalpositif) = a/(a+b) =
Negative Predictive Value(Nilairamalnegatif) = d/(c+d) =
Pre testProbability(Kemungkinansakitsebelumdiperiksa (prevalensi) =
(a+c)/(a+b+c+d) =
RR= 0,90;95% CI, 0,75-1,08
ARR=1-RR
1-0,90= 0,1 (10%;95 CI, 0,75-1,08)
NNT= 1/ARR=1/0,1=10(Vynna, 2018)

Apakah anda dapat menerapkan bukti ilmiah yang valid dan penting
dari penelitian uji diagnosis dalam merawat pasien anda?

Apakah alat diagnosis ini tersedia, Alat diagnosis ini sudah banyak
dapat diadakan, tepat, teliti di tempat digunakan di pelayanan kesehatan
anda bekerja? khususnya di rumah sakit karena
mudah dan murah.

Dapatkah anda membuat estimasi Sebelum dilakukan pemeriksaan kita


kemungkinnan sakit sebelum bisa membuat estimasi kemungkinan
dilakukan pemeriksaan (dari data- gawat janin Dengan cara sederhana,
data praktek sehari-hari, dari pemantauan dilakukan melalui analisa
pengalaman pribadii, dari laporan keluhan ibu (anamnesis), pemantauan
atau dari spekulasi klinis)? gerak harian janin dengan kartu gerak
janin, pengukuran tinggi fundus uteri
dalam sentimeter, pemantauan denyut
jantung
janin (DJJ) dan analisa penyakit pada
ibu.

(Vynna, 2018)
2.4.2.4.4 Mengevaluasi efektivitas dan efisiensi dalam melaksanakan
langkah-langkah 1-4 dan mencari cara untuk meningkatkan
mereka berdua untuk waktu berikutnya.(Vynna, 2018)
o PICO
Contoh :
PICO percobaan cardiotokograpi cocok dengan
pertanyaan klinis kita yaitu bagaimanakah efektifitas
pemeriksaan kardiotokograpi untuk mendeteksi
kesejahteraan janin dalam proses persalinan.(Vynna,
2018)
o Validitas Internal
o Rekrutmen
Contoh :Pada percobaan cardiotokograpi, subjek
direkrut dari awal secara sukarela. Kriteria
inklusi/eksklusi menunjukkan bahwa perekrutan
subjek mewakili populasi yang jelas (ibu hamil
tunggal dengan usia kehamilan kurang dari 42
minggu, tidak ada kelainan janin dan komplikasi
kehamilan, suhu tubuh ibu kurang dari 37,5o C saat
masuk dan bersedia menjadi responden). Ini termasuk
penelitian yang besar karena jumlah responden
sebanyak 8580 wanita(Admission CTG= 4298, Usual
care=4282). Jumlah subjek cukup menyediakan
sampel yang mewakili.(Vynna, 2018)
o Alokasi
Penempatan kelompok secara acak tetapi metode
yang dipakai (amplop tertutup) bukan metode paling
efektif untuk menghilangkan bias penempatan. subjek
tahu di mana kelompoknya berada.
Contoh :Baik karena bias penempatan ((ibu hamil
tunggal dengan usia kehamilan kurang dari 42
minggu, tidak ada kelainan janin dan komplikasi
kehamilan, suhu tubuh ibu kurang dari 37,5o C saat
masuk dan bersedia menjadi responden). Terdapat
perbedaan signifikan secara statistik pada
peningkatan operasi SC antara 2 kelompok.(Vynna,
2018)
o Maintenance
Sekali subjek ditempatkan ke kelompok, maka
semua subjek diatur secara sama, outcome yang
relevan diukur menggunakan metodelogi yang
sama untuk kedua kelompok tersebut, akan tetapi
banyak yang hilang pada saat follow up I(Vynna,
2018).
o Measurement
 Blinding / penyamaran – bidan yang
melakukan pemeriksaan dengan menggunakan
gold standar mengetahui keadaan pasien
sebelumnya.
 Objectivity /objektivitas – pengukuran outcome
tergantung interprestasi dari alat
cardiotocography dan auskultasi intermitten
 Overall / keseluruhan (Validitas internal) :
percobaan dilakukan dengan baik
 Overall/keseluruhan (Validitas internal)
Percobaan dilaksanakan dengan baik tapi
memiliki kelemahan metodologi yang bisa
berdampak pada outcomes.(Vynna, 2018)
Hasil
Contoh :Hasil menunjukkan perbedaan besar
antara kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol, tidak signifikan secara statistik (karena
CI melewati angka 1
ARR=1 – RR
1-0,90= 0,1 (10%;95 CI, 0,75-1,08)
NNT= 1/ARR=1/0,1=10(Vynna, 2018).
Kesimpulan
Contoh :Hasil penelitian menunjukkan
cardiotocography memiliki dua peran potensial.
Pertama, mungkin bertindak sebagai stress test
untuk janin yang mungkin menjadi hipoksia
dalam proses persalinan. Kedua, mungkin
mendeteksi dan pelayanan yang cepat dari
beberapa janin yang sudah kronis
hypoxic.Sementara itu angka NNT cukup besar
(10), sekarang tinggal seberapa penting
keputusan klinis sehubungan dengan
konsekuensinya.
o Level Evidance Based Diagnostic
Accuracy(Vynna, 2018)

Contoh Judul Metode Level


: Admission randomised controlled trial
II B
cardiotocography:
(Vynna, 2018)

2.4.2.5 Penerapan Evidence Based Practice


2.4.2.5.1 Mengakui status atau arah praktek dan yakin bahwa
pemberian perawatan berdasarkan fakta terbaik akan
meningkatkan hasil perawatan klien.
2.4.2.5.2 Implementasi hanya akan sukses bila perawat
menggunakan dan mendukung “pemberian perawatan
berdasarkan fakta”.
2.4.2.5.3 Evaluasi penampilan klinik senantiasa dilakukan perawat
dalam penggunaan EBP.
2.4.2.5.4 Praktek berdasarkan fakta berperan penting dalam
perawatan kesehatan.
2.4.2.5.5 Praktek berdasarkan hasil temuan riset akan meningkatkan
kualitas praktek, penggunaan biaya yang efektif pada
pelayanan kesehatan.
2.4.2.5.6 Penggunaan EBP meningkatkan profesionalisme dan
diikuti dengan evaluasi yang berkelanjutan.
2.4.2.5.7 Perawat membutuhkan peran dari fakta untuk
meningkatkan intuisi, observasi pada klien dan bagaimana
respon terhadap intervensi yang diberikan. Dalam tindakan
diharapkan perawat memperhatikan etnik, sex, usia, kultur
dan status kesehatan.(Agus, 2016)

2.4.2.6Hambatan Dalam Penerapan EBP


2.4.2.6.1 Berkaitan dengan penggunaan waktu.
2.4.2.6.2 Akses terhadap jurnal dan artikel.
2.4.2.6.3 Keterampilan untuk mencari.
2.4.2.6.4 Keterampilan dalam melakukan kritik riset.
2.4.2.6.5 Kurang paham atau kurang mengerti.
2.4.2.6.6 Kurangnya kemampuan penguasaan bahasa untuk
penggunaan hasil-hasil riset.
2.4.2.6.7 Salah pengertian tentang proses.
2.4.2.6.8 Kualitas dari fakta yang ditemukan.
2.4.2.6.9 Pentingnya pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana untuk
menggunakan literatur hasil penemuan untuk intervensi
praktek yang terbaik untuk diterapkan pada klien.
2.4.2.6.10 Program S2 akan berpartisipasi untuk pengembangan model
praktek terbaik dengan penggunaan metode analisis
ilmiah.(Sino, 2013)
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keselamatan pasien merupakan prinsip dasar dari pelayanan kesehatan yang
memandang bahwa keselamatan merupakan hak bagi setiap pasien dalam
menerima pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2006). Kualitas pelayanan
merupakan faktor yang sangat penting dan telah menjadi isu sentral di era ini.
Salah satu bentuk pelayanan di bidang jasa adalah pelayanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat
memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat
kepuasan rata-rata penduduk, serta yang penyelenggaranya sesuai dengan standar
kode etik profesi yang telah ditetapkan (AzrulAzwar,1996).

Selain keselamatan pasien, rumah sakit juga mempunyai prinsip-prinsip yang


diterapkan, yaitu menjadikan pasien sebagai tujuan utama atau prioritas,
menjadikan keselamatan pasien senagai tanggung jawab bersama, menyediakan
sumber daya manusia dan dana untuk analisis eror dan redesign system,
keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan, mendidik staf tentang
keselamatan pasien, mengembangkan tim yang efektif, training simulasi dan juga
untuk mengantisipasi kejadian yang tak terduga.

3.2 Saran
Pemahaman mahasiswa keperawatan terhadap keselamatan pasien diharapkan
dapat dijadikan sebagai tujuan utama atau prioritas perawat. Sehingga
keselamatan pasien itu dapat menjadi budaya keselamatan karena budaya
keselamatan pasien merupakan faktor penting untuk memahami upaya untuk
memajukan perawatan pasien yang aman.
DAFTAR PUSTAKA

352410111-Pengaruh-Faktor-Lingkungan-Dan-Manusia-Pada-Keselamatan-Pasien.
(n.d.).

Agus Putradana. (2015). Konsep Evidence Based Practice. Konsep Epidence Based
Practice, 1(Kup 606), 17.

Ismainar, H., Dahesihdewi, A., & Dwiprahasto, I. (2012). Efektivitas Kepemimpinan


dan Komunikasi Tim Keselamatan Pasien di RSI Ibnu Sina Pekanbaru Riau
Leadership and Communication Effectiveness on Patient Safety Teamwork Ibnu
Sina Islamic Hospital Pekanbaru Riau. Jurnal Kesehatan Komunitas, 2(1), 2–8.
https://doi.org/https://doi.org/10.25311/jkk.Vol2.Iss1.34

Juniarti, N. H., & Mudayana, A. A. (2018). Penerapan Standar Keselamatan Pasien


Di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal
Kesehatan Poltekkes Ternate, 11(2), 93–108.

Kampar, B. K., Sc, M., & Phil, M. (2015). Dewi Transiska. Tentang, Pengaruh Li
ngkungan Kerja dan ….2(1), 1–15.

Kirana, G. R., & Nurmalasari, I. (2017). Pentingnya Standarisasi Prosedur


Keselamatan Pasien di Puskesmas X Kabupaten Kediri. Jurnal Kesehatan, 2(1),
22–28.
https://doi.org/http://journal.um.ac.id/index.php/preventia/article/view/10176/48
58

Manajemen, J., Rumah, A., Indonesia, S., & Cikini, R. S. P. G. I. (2019). Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Perawat Dalam Melaksanakan
Keselamatan Pasien Terkait Pemberian Obat Di Ruang Perawatan RS PGI
Cikini Tahun 2018 Bangun K , Dewi S ., Kusumanto H . Universitas Respati
Indonesia. 3(1), 22–33.
Marseno, R. (2011). Patient Safety. Jurnal Keperawatan, 1(1), 10–27.

Pidada, I. A. D. U., & Darma, G. S. (2018). Kerja Sama Tim Perawat Dalam
Meningkatkan Keselamatan Pasien Berbasis Tri Hita Karana. Jurnal Manajemen
Dan Bisnis, 15(2), 139–150.

Qomariah, S. N. (2015). Hubungan faktor komunikasi dengan insiden keselamatan


pasien. Journals of Ners Community, 06, 166–174. Retrieved from
http://journal.unigres.ac.id/index.php/JNC/article/view/48/47

Rahmiyati, A. l, Abdilah, A. D., Susilowati, & Anggaraini, D. (2018). Cost Benefit


Analysis ( CBA ) Program Pemberian Makanan Tambahan ( PMT ) Susu Pada
Karyawan di PT . Trisula Textile Industries Tbk Cimahi Tahun 2018. Jurnal
Ekonomi Kesehatan Indonesia, 3(1), 125–134.
https://doi.org/10.7454/eki.v3i1.2740

Saraswati, T., & Haryangsah, R. (1985). PENGARUH TATA RUANG BANGSAL


RUMAH SAKIT JIWA. 111–119.

Sumangkut, N. S. I., Kristanto, E., Pongoh, J., Pascasarjana, D., Sam, U., & Manado,
R. (2017). Evaluasi Penatalaksanaan Sasaran Keselamatan Pasien Di Rumah
Sakit GMIM Kalooran Amurang. Jurnal Keperawatan, 10(2), 56–73.
https://doi.org/http://www.ejournalhealth.com/index.php/CH/article/viewFile/18
1/175

Wibowo, A. (2017). Review Sistematik: Elemen-Elemen Utama dalam Membangun


Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Jurnal Administrasi Rumah Sakit
Indonesia, 3(3), 231–238.

Yulia, S., & Hamid, A. Y. S. (2012). DALAM PENERAPAN KESELAMATAN


PASIEN. Jurnal Keperawatan Indonesia, 15(3), 185–192. Retrieved from
file:///C:/Users/WIN 10/Downloads/26-51-2-PB.pdf
Yulia, S., Hamid, A. Y. S., & Mutikasari. (2012). Peningkatan Pemahaman Perawat
Pelaksana dalam Penerapan Keselamatan Pasien Melalui Pelatihan Keselamatan
Pasien. Jurnal Keperawatan Indonesia, 15(3), 185–192.

Agus Putradana. (2015). Konsep Evidence Based Practice. Konsep Epidence Based
Practice, 1(Kup 606), 17. Retrieved from https://journal-ebp-untuk-
meningkatkan-keselamatan-pasien
Agus, P. (2016). Konsep evidence based practice. Konsep Evidence Based Practice,
1(Kup 606), 1–17. https://doi.org/15628741
Dolfina Sinonafin. (2019). Evidence Based Practice.
Sino, V. (2013). Teori Evidance Based Practice. Teori Evidance Based Practice, 7,
16–87. https://doi.org/8765425678
Vynna, S. (2018). Evidene Based Practice. Evidene Based Practice, 10, 1–4.
https://doi.org/3123396675

Anda mungkin juga menyukai