Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Allah SWT mewajibkan zakat kepada individu yang mampu dengan tujuan
mengetahui seberapa besar cinta hamba kepada Penciptanya dari pada dengan hartanya. Di
antara nikmat Allah yang di anugrahkan kepada hambanya ialah di hamparkannya bumi yang
dapat dimanfaatkan untuk menanam tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan. Allah menjadikan
tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan tersebut sebagai sumber rezeki dan kehidupan bagi
manusia serta kekuatan tubuhnya, sehingga sebagian ahli ekonomi di Barat menyerukan satu-
satunya wajib pajak pada hasil pertanian, tidak pada yang lain karena mereka menganggap ia
merupakan sumber utama bagi kehidupan manusia.

Zakat hasil pertanian ini berbeda dengan zakat harta lainnya. Pada zakat pertanian ini
tidak disyaratkan terpenuhinya satu tahun (haul), melainkan hanya disyaratkan setelah panen,
sebab ia merupakan hasil bumi atau hasil pengolahan bumi.1

Zakat merupakan salah satu kewajiban yang disyariatkan Allah SWT kepada umat
islam, sebagai salah satu perbuatan ibadah setara dengan shalat, puasa, dan ibadah haji. Akan
tetapi, zakat tergolong ibadah maliah, yaitu ibadah melalui harta kekayaan dan bukan ibadah
badaniah yang pelaksanaannya dengan fisik. Hal inilah yang membedakan zakat dengan
ibadah lainnya, seperti ibadah shalat, puasa, dan haji, yang manfaatnya hanya terkena kepada
individu tersebut, melainkan bermanfaat pula bagi orang lain.

Salah satu jenis zakat mal adalah zakat pertanian, yaitu zakat yang dikeluarkan dari
hasil pertanian berupa tumbuh-tumbuhan, atau tanaman yang bernilai ekonomis seperti biji-
bijian, umbi-umbian, sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan dll. Pada
kesempatan kali ini pemakalah akan mencoba membahas apa defenisi Zakat Pertanian, dalil
hukum, syarat wajib, kadar dan sasaran disertai contoh kasusnya.

1
Abdul Aziz Muhammad Azzam . Fiqh Ibadah.( Jakarta: Amzah.2009 ) hlm 365

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Defenisi Zakat Pertanian


2. Apa Dalil Hukum Zakat Pertanian
3. Apa Syarat Wajib Zakat Pertanian
4. Apa Kadar dan Sasaran Zakat Pertanian
5. Apa Contoh Kasus Zakat Pertanian

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Defenisi Zakat Pertanian


2. Untuk mengetahui Dalil Hukum Zakat Pertanian
3. Untuk mengetahui Syarat Wajib Zakat Pertanian
4. Untuk Mengetahui Kadar dan Sasaran Zakat Pertanian
5. Untuk Mengetahui Contoh Kasus Zakat Pertanian

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diambil dalam penulisan makalah ini antara lain adalah:

1. Memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Zakat.


2. Dapat dijadikan referensi bagi penulis dalam menulis sebuah karya ilmiah.
3. Bagi mahasiswa dapat dijadikan acuan dalam pembuatan tugas akhir, skripsi ataupun
tesis.
4. Menambah pengetahuan untuk bahan perbandingan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Zakat Pertanian

Zakat pertanian adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil pertanian berupa tumbuh-
tumbuhan, atau tanaman yang bernilai ekonomis seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-
mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan, dll yang merupakan makanan pokok
dan dapat disimpan. Kriteria/syarat dari zakat pertanian yaitu:

1. Menjadi makanan pokok manusia pada kondisi normal mereka.


2. Memungkinkan untuk disimpan dan tidak mudah rusak atau membusuk.
3. Dapat ditanam oleh manusia.

Adapun alasan adanya syarat makanan pokok ialah makanan pokok merupakan
sesuatu yang vital, yang apabila tanpa makanan tersebut, kehidupan tidak akan dapat
berlangsung. Selain itu, makan pokok adalah tumbuhan yang paling mulia dan dapat
membuat badan manusia berdiri tegak serta mampu bergerak.2
2.2 Dalil Hukum Zakat Pertanian

Zakat hasil-hasil pertanian ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Dalil yang
dapat diambil dari Al-Qur’an antara lain firman Allah :

    


  
  
 
  
    
   
     
   


2
El-Madani, Fiqih Zakat Lengkap, (Jogjakarta: Diva Press, 2013), hlm 81

3
Artinya : Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan
tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah
haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. Al-An’am (6) :141)

Firman Allah lainnya :

  


   
   
    
  
   
   
    

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-
baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan
dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. Al-
Baqarah(2) : 267)

Adapun dalil dari sunnah di antaranya adalah hadis yang di riwayatkan dari Ibnu
Umar dari Nabi beliau bersabda :

(zakat penghasilan) dalam segala hal yang diairi (hujan dari) langit dan mata air, atau
rawa-rawa adalah sepuluh persen (Sepersepuluh), sedangkan yang disiram (dengan
menggunakan unta dan sejenisnya), maka (zakatnya) adalah lima persen (seperduapuluh).

Berdasarkan dalil di atas, para ahli fiqh mewajibkan penunaian zakat hasil pertanian,
namun mereka lebih lanjut berbeda pandangan mengenai jenis hasil pertanian yang wajib
dikeluarkan zakatnya dan yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya.3

2.3 Syarat Wajib Zakat Pertanian

3
Op.Cit hlm 265 - 267

4
Pertama, hasil pertanian tersebut ditanam oleh manusia. Jika hasil pertanian itu
tumbuh sendiri karena perantaraan air atau udara maka tidak wajib dizakati. Oleh karna itu,
tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat pada segala sesuatu yang tumbuh dengan sendiri
nya di lembah lembah padang pasir/pegunungan, atau yang terbawa oleh air dan udara dari
negeri musuh dan tumbuh di tanah yang halal, misal nya kurma yang tumbuh di padang pasir.
Begitu juga buah-buah perkebunan dan kurma desa yang diwakafkan pada masjid dan kaum
fakir-miskin. Menurut pendapat yang shahih, hasil-hasil tanaman ini tidk wajib dikeluarkan
zakatnya karna ia tidak memiliki pemilik definitif. Seandainya ada yang memilikinya secara
definitif,dalam artian ia memang tumbuh di tanah wakaf namun ditanam oleh seseorang dan
benihnya berasal dari si penanam tersebut maka hasilnya wajib dikeluarkan zakatnya (jika
memang memenuhi syarat orang lain).

Kedua, hasil pertanian tersebut merupakan jenis makanan pokok manusia yang dapat
disimpan dan jika disimpan tidak rusak.

Ketiga, sudah mencapai nishab. Dalam hal ini, nishab masing-masing jenis hasil
pertanian dihitung sendiri-sendiri, bukan gabungan dari jenis yang satu dengan jenis yang
lainnya , misanya gandum dengan gandum barley. Beda halnya dengan varietas lain, sebab ia
masih satu jenis. Pemilik boleh mengeluarkan zakat dari masing-masing vaietas tersebut
sesuai bagiannya, namun jauh lebih baik jika zakatnya di keluarkan dari jenis lainnya.4

Hasil Pertanian yang Wajib Zakat

Pada uraian terdahulu sudah dijelaskan, bahwa hasil pertanian dikenakan zakat,
apabila telah memenuhi syarat. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai jenis
hasil bumi yang dikenakan zakat. Penjelasannya sebagai berikut:

1. Ibnu Umar dan Sebagian Ulama Salaf

Ibnu Umar dan sebagian ulama salaf berpendapat, bahwa zakat hanya wajib atas empat jenis
tanaman saja, yaitu hintah (gandum), syair (sejenis gandum), kurma, dan anggur.

2. Malik dan Syafi’i

Imam Malik dan Syafi’i berpendapat, bahwa jenis tanaman yang wajib zakat adalah makanan
pokok sehari-hari anggota masyarakat, seperti beras, jagung, sagu. Selain dari makanan yang

4
Ibid hlm 370

5
pokok itu, tidak dikenakan zakatnya. Oleh Syafi’i dikatakan juga, bahwa kurma dan anggur
wajib dikeluarkan zakatnya.

3. Imam Ahmad

Imam Ahmad berpendapat, bahwa biji-bijian yang kering dan dapat ditimbang (ditakar),
seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau dikenakan zakatnya. Begitu juga
seperti buah kurma dan anggur dikeluarkan zakatnya. Tetapi buah-buahan dan sayur tidak
wajib zakatnya.
Pendapat Imam Ahmad, sejalan juga dengan Abu Yusuf dan Muhammad (murid dan sahabat
Imam Hanafi).

4. Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa semua hasil bumi yang bertujuan untuk mendapatkan
penghasilan, diwajibkan mengeluarkan zakatnya, walaupun bukan menjadi makanan pokok.
Abu Hanifah tidak membedakan, tanaman yang tidak bisa dikeringkan dan tahan lama, atau
tidak sama, seperti sayur mayur, mentimun labu dan lain-lain.
Sebagai landasan yang dipergunakan Abu Hanifah adalah ayat 267 surat al-Baqarah
sebagaimana telah dikemukakan di atas. Beliau berpegang kepada keumuman bunyi ayat
tersebut sedangkan orang yang tidak memasukkan sayur-mayur beralasan, bahwa ayat yang
bersifat umum itu, ditakhsiskan dengan hadis Rasulullah.
Di samping ayat 267 surat al-Baqarah, beliau perkuat dengan ayat 141 surat al-An’am yang
sudah disebutkan terdahulu. Abu Hanifah juga berpedoman kepada sabda Rasulullah yang
artinya:
“Yang diairi air hujan, zakatnya 10% dan yang disirami, zakatnya 5% tanpa membedakan
jenis tanamannya, dan apakah makanan pokok atau bukan, semuanya sama.”5

2.4 Kadar dan Sasaran Zakat Pertanian

5
M. Ali Hasan, Zakat dan Infak, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm 53 - 54

6
Hasil pertanian tidak wajib dikeluarkan zakatnya sebelum mencapai nishab, yaitu
5 wasaq adalah 60 Sha’, sedangkan 1 Sha’ setara 4 mud, 1 mud setara 0,6 kg. Jadi 1 wasaq
lebih kurang 144 kg. Jadi, kadar nishab hasil pertanian adalah 5 wasaq x 144 kg = 720 kg.

Inilah ketentuan nishab wajib zakat hasil pertanian. Kadar nishab ini sebenarnya tidak
banyak mengurangi hasil panen. Namun banyak manusia sekarang yang kikir untuk
mengeluarkan zakat, karena kebodohan dan ketamakannya sehingga Allah mencabut
keberkahan dari harta mereka.

Dengan demikian jelaslah bahwa harta yang kurang dari ukuran nishab tersebut tidak
wajib zakat. Namun, harus diperhatikan bahwa jenis biji-bijian, sebagian ada yang berat,
misalnya padi (beras), ada pula yang ringan seperti gandum. Apabila kita mengambil ukuran
berat sebagai ukuran standarnya, maka akan ada perbedaan pada takaran. Oleh karena itu,
dalam hal ini kita harus mempertimbangkan takaran. 6

2.5 Contoh Kasus

Untuk volume zakat pertanian dan perkebunan ditentukan dengan sistem pengairan yang
diterapkan untuk pertanian maupun perkebunan tersebut, sebagai berikut:

1. Apabila lahan yang irigasinya ditentukan dengan curah hujan, sungai-sungai, mata air,
atau lainnya (lahan tadah hujan) yang diperoleh tanpa mengalami kesulitan, maka
persentase zakatnya 10% (1/10) dari hasil pertanian.
2. Adapun zakat yang irigasinya menggunakan alat yang beragam (bendungan irigasi),
maka persentase zakatnya adalah 5% (1/20), karena kewajiban petani/tanggungan
untuk biaya pengairan dapat mempengaruhi tingkat nilai kekayaan dari aset yang
berkembang.
3. Apabila pengairan pada setengah periode lahan melalui curah hujan dan setengah
periode lainnya melalui irigasi, maka persentase zakatnya 7,5% dari hasil pertanian.

Dengan demikian, syariat islam memberi batasan volume zakat untuk hasil pertanian
dan perkebunan berkisar antara 5%-10% menurut cara pengairannya dengan maksud
memberikan penyesuaian dan kemudahan bagi umat.
Untuk persentase zakat, ada ada pendapat yang menghubungkan antara potongan
biaya pengelolaan dengan persentase zakat:

6
Abdul Aziz Muhammad Azzam . Fiqh Ibadah.( Jakarta: Amzah.2009 ) hlm 372

7
1. Jika hasil biaya produksi menjadi pengurang dari hasil panen pertanian atau
perkebunan, maka sumber aset wajib zakatnya mengikuti persentase zakat lahan tadah
hujan yaitu sebesar 10%
2. Apabila biaya pengelolaan tidak menjadi faktor pengurang hasil panen, maka
persentase zakatnya disamakan dengan lahan irigasi yaitu sebesar 5%.7

Jadi, zakat yang dikeluarkan adalah:


1/10 x 750 = 75 kg atau 1/20 x 750 = 37,5 kg
1/10 x 930 = 93 liter atau 1/20 x 930 = 46,5 liter
Contoh:
Cengkeh dikeluarkan zakatnya 1/20 (5%) karena memerlukan biaya perawatan. Dengan
harga Rp 4.000/kg.

Jadi, 1/20 x 750 = 37,5 kg


37,5 kg x Rp 4.000 = Rp 140.000,-

7
M. Arief Mufraini, Akutansi dan Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 89 - 90

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
dari penjelasan dia atas dapat kita simpulkan Zakat pertanian berlaku pada bahan
pangan yang dapat disimpan dalam waktu yang lama, baik itu dari jenis biji-bijian dan buah-
buahan yang dapat bertahan lama. Contoh biji-bijian adalah biji gandum, beras, dan
sejenisnya. Contoh buah-buahan adalah kurma, anggur kering (kismis), kacang-kacangan,
dan sejenisnya.
Dalam hal haul dan nishab, ada perbedaan antara zakat pertanian dengan zakat harta.
Pada zakat pertanian, tidak dikenal adanya perhitungan haul (tahun). Jika suda sampai waktu
panen dan mencapai nisabnya, maka langsung kita bayarkan zakatnya.

Adapun besarnya nishab minimal yang harus terpenuhi adalah lima wasaq. Jika satu
wasaq setara dengan 60 sha’ dan satu sha’ adalah 2,5 kg, maka 5 wasaq adalah setara dengan
750 kg. Inilah besaran nishab atau batas minimal yang harus terpenuhi sehingga bisa terkena
zakat. Perhitungan baru berlaku setelah hasil panen dibersihkan dan telah kering agar bisa
didapatkan berat yang asli.

3.2 Saran

Dari beberapa penjelasan di atas tentang penulisan Zakat Pertanian tidak terlepas dari
kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat dan penyusunan penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh para pembaca dalam
khususnya pembimbing mata kuliah Fiqh Zakat, oleh karena itu penulis makalah ini
mengharap kepada para pembaca mahasiswa dan dosen pembimbing mata kuliah ini terdapat
kritik dan saran yang sifatnya konstruktif dalam terselesainya makalah yang selanjutnya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam. 2009. Fiqh Ibadah. Jakarta : Amzah

El-Madani. 2013. Fiqih Zakat Lengkap. Jogjakarta : Diva Press

M. Ali Hasan. 2005. Zakat dan Infak. Jakarta : Kencana

M. Arief Mufraini. 2006. Akutansi dan Manajemen Zakat . Jakarta: Kencana

10

Anda mungkin juga menyukai