LUDWIG’S ANGINA
Kelompok : 7
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah guna memenuhi tutorial DS 2 case 6.
Dan juga kami berterima kasih kepada dosen pembimbing selama kegiatan belajar
mengajar berlangsung.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca dalam rangka
menambah wawasan dan pengetahuan kita mengenai kasus ini. Kami menyadari bahwa
pada makalah ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan kami buat
selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat salah kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan yang lebih baik.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
2.8.1 Gambaran Radiografi Pada Kasus (Panoramik) ....................................... 39
2.8.2 Gambaran Radiografi Abses Periapikal ................................................... 41
2.8.3 Gambaran CT-Scan Ludwig’s Angina ..................................................... 41
2.9 Anestesi Lokal ................................................................................................. 43
2.10 Anestesi Blok ................................................................................................... 44
2.10.1 Persiapan Pre-anestesi .............................................................................. 44
2.10.2 Anamnesis ................................................................................................ 45
2.10.3 Pemeriksaan Fisik ..................................................................................... 45
2.10.4 Pemeriksaan Lab....................................................................................... 45
2.10.5 Anestesi Blok Mandibula ......................................................................... 46
2.11 Ekstraksi Gigi .................................................................................................. 50
2.11.1 Definisi ..................................................................................................... 50
2.11.2 Indikasi ..................................................................................................... 50
2.11.3 Kontraindikasi .......................................................................................... 51
2.11.4 Persiapan ................................................................................................... 51
2.11.5 Hal yang Harus Diperhatikan ................................................................... 55
2.11.6 Metode ...................................................................................................... 56
2.11.7 Tindakan Pasca Ekstraksi Gigi ................................................................. 56
2.11.8 Instruksi Pasca Ekstraksi Gigi .................................................................. 57
2.11.9 Komplikasi ............................................................................................... 57
2.12 Teknik Anestesi Lokal Lain ............................................................................. 59
BAB III PEMBAHASAN .............................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... vii
iv
DAFTAR GAMBAR
v
Gambar 2. 30 Special instrument for removal of roots .................................................. 53
Gambar 2. 31 Alat-alat ekstraksi gigi ............................................................................. 53
Gambar 2. 32 Alat-alat anestesi dan ekstraksi gigi ........................................................ 54
Gambar 2. 33 Alat-alat bedah dan ekstraksi gigi............................................................ 55
Gambar 2. 34 Gambar Teknik Halstead ......................................................................... 59
vi
BAB I
ANALISIS KASUS
1
DENTAL SCIENCE 2
Tutorial I Bagian 2
Pemeriksaan Fisik:
Tekanan darah 140/90 mmHg
Denyut nadi 80 x/menit
Frekuensi pernafasan 20 x/menit
Suhu 38,8˚C
Pemeriksaan Ekstra Oral:
Pembengkakan difus, indurated, kemerahan (hiperemis) di region submandibular
kiri dan kanan yang terasa sakit pada palpasi.
Palpasi tidak tampak adanya fluktuasi.
Trismus ± 1 jari.
Pemeriksaan Intra Oral:
OH buruk
Pemeriksaan Radiografi Panoramik:
2
DENTAL SCIENCE 2
Tutorial II
Dokter gigi ahli bedah yang sedang bertugas menerangkan kepada anda bahwa
pembengkakan sudah melibatkan spasia submandibular, sublingual, dan submental secara
bilateral. Berdasarkan data ini pasien didiagnosis Ludwig’s angina yang disebabkan oleh
infeksi gigi 46. Dokter gigi menganjurkan kepada pasien untuk rawat inap selama
beberapa hari. Selama di rumah sakit pasien mendapatkan infus glukosa 5% dan NaCl
serat diberikan antibiotik, dan analgesik-anti-inflamasi secara intravena.
Dokter gigi ahli bedah mulut berencana membuat insisi ekstra oral dan memasang drain
untuk proses drainase selama 24-48 jam, tindakan selanjutnya dokter gigi ahli bedah
mulut akan mencabut gigi penyebab dengan menggunakan metoda atau teknik anastesi
blok rahang bawah dan setelah pencabutan tersebut pasien diberikan antibiotik dan
analgesik kembali.
3
DENTAL SCIENCE 2
Tutorial III
Beberapa hari setelah dirawat dan dilakukan tindakan, kondisi pasien membaik, tanda-
tanda vital normal. Pasien dapat membuka mulut secara normal dan merasa senang karena
diijinkan pulang ke rumah.
4
1.2 Tabel 7 Jumps
Terminology Problem Identification Hypothesis Mechanism More Info I Don’t Know Learning Issues
1. Indurated 1. Pembengkakan di 1. Infeksi yang Gigi geraham Pemeriksaan 1. Apa saja 1. Bagaimana patologi
2. Hiperemis sudut rahang bawah berasal dari gigi bawah berlubang fisik: faktor lain yang terjadinya infeksi
3. Fluktuasi kiri dan kanan yang 2. Pembengkakan besar - Tekanan darah menyebabkan odontogenik?
4. Trismus meluas sampai dagu yang meluas 140/90 mmHg pembengkakan? 2. Apa yang dimaksud
5. Spasia sejak 3 hari yang lalu. sampai dagu Pembengkakan di - Denyut nadi 80 2. Apa saja dengan abses?
2. Pembengkakan sudut rahang bawah x/menit teknik anestesi Bagaimana terjadinya
terasa sakit dan disertai kiri dan kanan - Frekuensi lokal lain untuk abses periapikal?
demam pernapasan 20 pencabutan 3. Apa saja macam-
3. Sulit membuka Pembengkakan x/menit gigi? macam penyakit
mulut. terasa sakit dan - Suhu 38,8˚C 3. Apakah periodontal? Radang
4. Beberapa hari disrtai demam serta Pemeriksaan teknik gusi/gingivitis,
sebelumnya, gigi sulit membuka ekstra oral: pencabutan RA Periodontitis, abses
geraham bawah sakit mulut - Pembengkakan sama dengan periodontal,
berdenyut karena difus, indurated, RB? perikoronitis
berlubang besar. Pembengkakan kemerahan 4. Apa saja 4. Apa yang dimaksud
5. Sempat berobat ke yang meluas sampai (hiperemis) di radiografi lain dengan fascia?
puskesmas. dagu reion yang dapat
submandibular
5
P.U
kiri dan kanan dilakukan pada 5. Apa yang dimaksud
P.EO
P.IO
yang terasa sakit kasus ini? dengan spasia dan
P. Lab
Darah pada palpasi macam-macamnya?
P.Radio
grafi - Palpasi tidak 6. Apa saja infeksi yang
tampak adanya terjadi pada spasia
Ludwig’s Angina fluktuasi fascia?
- Trismus ± 1 7. Apa pemeriksaan
Perawatan: jari penunjang radiografi
Insisi dan drainase Pemeriksaan yang dilakukan pada
Anestesi dan intra oral: kasus? Dan bagaimana
ekstraksi - OH buruk gambarannya?
Obat antibiotik dan Pemeriksaan 8. Jelaskan tentang
analgesik radiografi teknik anestesi yang
panoramik dilakukan pada kasus
ini?
9. Jelaskan tentang
teknik pencabutan yang
dilakukan pada kasus
ini?
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
bawah dapat menyebabkan edema yang hanya terbatas pada bagian distal
dari kaki yang terkena. Peningkatan umum tekanan vena, dengan edema
sistemik yang dihasilkan, paling sering terjadi pada gagal jantung kongestif.
Beberapa faktor meningkatkan tekanan hidrostatik vena pada pasien dengan
gagal jantung kongestif. Penurunan curah jantung menyebabkan hipoperfusi
ginjal, memicu renin-angiotensin-aldosteron dan menginduksi retensi
natrium dan air (hiperaldosteronisme sekunder). Pada pasien dengan fungsi
jantung normal, adaptasi ini meningkatkan pengisian jantung dan curah
jantung, sehingga meningkatkan perfusi ginjal. Namun, gagal jantung
sering tidak dapat meningkatkan curah jantungnya sebagai respons terhadap
peningkatan kompensasi volume darah. Sebaliknya, retensi cairan,
peningkatan tekanan hidrostatik vena, dan edema yang memburuk terjadi
kemudian. Kecuali keluaran jantung dipulihkan atau retensi air ginjal
berkurang (misalnya, oleh pembatasan garam atau pengobatan dengan
diuretik atau antagonis aldosterone) spiral ke bawah ini terus berlanjut.
Karena hiperaldosteronisme sekunder adalah ciri umum dari edema umum,
pembatasan garam, diuretik, dan antagonis aldosteron juga bernilai dalam
pengelolaan edema umum yang dihasilkan dari penyebab lain. (Robbins,
2013)
4. Berkurangnya tekanan osmotik
Dalam keadaan normal albumin menyumbang hampir setengah dari total
protein plasma. Oleh karena itu kondisi di mana albumin hilang baik dari
sirkulasi atau disintesis dalam jumlah yang tidak memadai adalah penyebab
umum berkurangnya tekanan osmotik plasma. Pada sindrom nefrotik,
kapiler glomerulus yang rusak menjadi bocor, menyebabkan hilangnya
albumin (dan protein plasma lainnya) dalam urin dan perkembangan edema
umum. Penurunan sintesis albumin terjadi pada pengaturan penyakit hati
berat (misalnya, sirosis) dan kekurangan gizi protein. Terlepas dari
penyebabnya, kadar albumin yang rendah mengarah secara bertahap ke
edema, mengurangi volume intravaskular, hipoperfusi ginjal, dan
hiperaldosteronisme sekunder. Sayangnya, peningkatan retensi garam dan
8
air oleh ginjal tidak hanya gagal memperbaiki defisit volume plasma tetapi
juga memperburuk edema, karena defek utama - protein serum rendah -
tetap ada. (Robbins, 2013)
5. Sodium dan Retensi Air
Retensi garam yang berlebihan (dan air yang terkait dengan wajib) dapat
menyebabkan edema dengan meningkatkan tekanan hidrostatik (karena
ekspansi volume intravaskular) dan mengurangi tekanan osmotik plasma.
Retensi garam dan air yang berlebihan terlihat pada berbagai macam
penyakit yang membahayakan fungsi ginjal, termasuk glomerulonefritis
pasca-streptokokus dan gagal ginjal akut. (Robbins, 2013).
9
Gambar 2. 1 Penyebab dan jalur terbentuknya edema
10
2.2 Abses Periapikal
Abses merupakan salah satu bentuk infeksi odontogenik. Abses bisa
diakibatkan karena nekrosis pulpa ataupun perawatan endodontik yang kurang baik.
Spesies umum yang diisolasi adalah Prevotella, Porphyromonas dan
Fusobacterium spp., dan streptokokus anaerobik; anaerob fakultatif adalah
kelompok terbesar kedua, mis. Streptococcus milleri. Ada bukti bahwa beberapa
bakteri anaerobik, terutama Porphyromonas gingivalis dan Fusobacterium spp.,
lebih mungkin menyebabkan infeksi parah dibandingkan spesies lain, dan interaksi
mikroba sinergis memainkan peran penting dalam keparahan abses dentoalveolar.
(Samaranayake, 2012)
Tanda-tanda dan gejala klinis bergantung pada:
• tempat infeksi
• tingkat dan modus penyebaran
• virulensi organisme penyebab
• efisiensi pertahanan tuan rumah.
Gambaran klinis mungkin termasuk gigi yang tidak dapat hidup dengan atau
tanpa lesi karies, restorasi besar, bukti trauma, pembengkakan, nyeri, kemerahan,
trismus, pembesaran kelenjar getah bening lokal, pembentukan sinus, peningkatan
suhu dan malaise. Dua gejala terakhir adalah akibat langsung dari peningkatan
kadar sitokin inflamasi sistemik seperti interleukin dan faktor nekrosis tumor
sebagai respons terhadap produk bakteri seperti lipopolisakarida (yaitu endotoksin)
(samaranayake, 2012)
Patogenesis abses periapikal diawali dengan terjadinya nekrosis pulpa.
Lingkungan pulpa yang telah nekrosis sangat baik untuk berkembangnya bakteri.
Bakteri dan produk-produknya akan berdifusi ke jaringan periapikal dan akan
terjadi lesi periapikal. Abses dapat terjadi langsung ataupun setelah jaringan
granulasi dan kista periapikal terbentuk.
Treatment abses untuk setiap individu tertentu akan bervariasi. Prinsip-
prinsip utama mencakup (samaranayake, 2012):
1. menguras nanah
2. menghilangkan sumber infeksi
11
3. meresepkan antibiotik - mungkin tidak diperlukan untuk sebagian besar
abses lokal, meskipun mungkin diperlukan:
- ketika drainase tidak dapat ditentukan dengan segera
- jika abses telah menyebar ke jaringan lunak superfisial
- ketika pasien demam.
Antibiotik standar meliputi:
• phenoxymethylpenicillin (penicillin V) atau short-course, amoxicillin
dosis tinggi
• pada pasien penicillin-hipersensitif: eritromisin atau metronidazol (karena
sebagian besar infeksi disebabkan oleh anaerob yang ketat).
12
2.3 Infeksi Odontogenik
Infeksi odontogenik merupakan Istilah yang meliputi segala bentuk
penyakit infeksi gigi. Infeksi ini dapat berkisar dari abses periapikal, infeksi
superfisial, dan infeksi di leher. Namun, abses periapikal yang paling banyak terjadi
diantara infeksi odontogenik lainnya. Apabila ketiga infeksi odontogenik tersebut
tidak diobati, maka infeksi dapat menyebar keruang fasia dan akan terjadi
komplikasi tambahan.
Perjalanan infeksi odontogenik diawali dengan
Pulpitis reversible pulpitis irreversible nekrosis pulpa periodontitis
apikalis akut periodontitis apikalis kronis abses periapikal akut abses
periapikal kronis granuloma.
2.4.1 Gingivitis
Gingivitis adalah peradangan pada gingiva yang melibatkan plak
yang menumpuk di margin gingiva karena kebersihan mulut yang kurang
baik. Gingivitis menyebabkan sedikit nyeri pada tahap awal, gusi tampak
merah, daripada yang seharusnya tampak muda dan sehat, dan terasa lunak.
Karena akumulasi plak, gusi dapat mudah berdarah, terutama saat menyikat
gigi atau makan.Terjadinya peningkatan kedalaman sulkus gingiva karena
pembengkakkan gusi, tetapi gingivitis tidak menyebabkan terjadinya
kehilangan perlekatan, kerusakan tulang alveolar, dan infeksi bernanah
orofacial. Gigi yang sejajar, tepi kasar dari tambalan, dan gigi palsu tidak
13
pas, meningkatkan resiko gingivitis karena peningkatan retensi plak.
Kehamilan, tahap dalam siklus menstruasi, penggunaan pil KB, masa
pubertas dan diabetes melitus merupakan faktor predisoposisi untuk kondisi
ini. Beberapa obat - obatan seperti fenitonin, siklosporin dan calcium
channel blockers (agen antihipertensi) dapat menyebabkan pertumbuhan
berlebih dari jaringan gingiva, yang dapat mengganggu pemeliharaan
kebersihan mulut yang baik. Dalam kasus leukimia, gingiva juga dapat
membesar dengan infiltrasi leukimia. Gingivitis dapat dicegah dengan
menjaga kebersihan mulut yang baik oleh pasien sendiri atau dengan
perawatan professional seperti scaling dan root planning, dan
memungkinkan juga untuk dilakukan pembedahan.
14
Gambar 2. 4 Gingivitis karena OH yang sangat buruk
2.4.2 Periodontitis
Periodontitis adalah bentuk parah dari penyakit periodontal dimana
peradangan gingiva meluas lebih dalam ke struktur pendukung gigi. Seperti
gingivitis, periodontitis terutama melibatkan plak gigi dan kalkulus, tetapi
faktor lain juga dapat dikaitkan dengan etiologinya. Faktor resiko meliputi
usia, faktor keturunan, riwayat periodontitis sebelumnya, jenis kelamin,
kebiasan, kebersihan mulut yang buruk, perawatan gigi, margin yang tidak
memadai pada mahkota dan restorasi gigi, keberadaan bakteri tertentu
termasuk Actinomycetemcommitans Aggregatibacter, Porphyromonas
Gingivalis, dan Tannerella Forsyithensism, ras, stress, diabetes, penyakit
sistemik tertentu, dan merokok. Berbeda dengan gingivitis, ciri khas dari
periodontitis adalah terjadinya kehilangan perlekatan dan kerusakan tulang
alveolar. Gejala umumnya adalah perdarahan, nyeri gusi, nyeri saat
mengunyah, bau tak sedap, dan resesi gingiva. Akibat dari kehilangan
perlekatan atau kerusakan dari tulang alveolar dapat menyebabkan gigi
menjadi goyang dan dapat bergeser. Periodontitis di klasifikasikan menjadi
periodontitis kronis dan periodontitis agresif (juvenile periodontitis).
Periodontitis kronis ditandai dengan perkembangan penyakit yang lambat
dan dalam jangka waktu yang lama. Periodontitis kronis paling sering
15
terjadi pada orang dewasa diatas 35 tahun., namun dapat juga terjadi pada
remaja. Bakteri yang terlibat dalam periodontitis kronis adalah
Actinomycetemcommitans Aggregatibacter, Porphyromonas Gingivalis,
dan Tannerella Forsyithensism. Selain itu, jenis bakteri lain seperti
Campylobacter rectus, Eubacterium nodatum, Fusobacterican nucleatum,
Pervotella intermedia, micro Peptostreptococcus, dan spirochetes juga
dapat dikaitkan sebagai penyebab. Periodontitis agresif berbeda dengan
periodontitis kronis. Periodontitis agresif ditandai dengan kehilangan
perlekatan dan kerusakan tulang alveolar yang cepat dan sering terjadi pada
orang dibawah 35 tahun. Penyakit sistemik yang mempengaruhi kekebalan
tubuh, respon inflamasi, dan onset perkembangan segala bentuk penyakit
periodontal. Penyakit tersebut termasuk gangguan hematologic
(neutropenia, leukimia, dll), kelainan genetic (down syndrome,
agranulositosis genetic inflantile, cohen’s syndrome, dll), dan gangguan
metabolic (jantung coroner, diabetes melitus, dll)
Abses periodontal adalah infeksi bernanah yang terlokalisir pada
poket periodontal sering terjadi akibat eksaserbasi akut, poket yang terlalu
dalam, dan periodontitis yang tidak dirawat. Gejala dari abses periodontal
adalah rasa sakit, edema, merah, mengkilap. Sebuah gangguan homeostasis
mikroba, penghancuran penghalang epitel dapat mengakibatkan proliferasi
bakteri yang berada di saku periodontal dengan generasi lesi supuratif.
Diagnosis periodontitis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan gigi dan gusi,
pengukuran kedalaman poket, dan pemeriksaan radiografi.
16
Gambar 2. 5 Abses Periodontal
17
2.4.3 Pericoronitis
Pericoronitis adalah peradangan pada gigi molar ketiga karena
bentuk anatomis yang tidak sesuai dan biasanya terjadi dengan wisdom
teeth mandibula yg blm sepenuhnya muncul dan dapat memerangkap
cairan, sisa makanan, dan bakteri. Gejala dari pericoronitis adalah
eritematosa, lembut, pembengkakkan sessile dari gingiva dan retromolar
pad. Pericoronitis akut terasa sakit yang dapat menyebar ke leher,
tenggorokan, telonga dan lantai mulut, dan karena molar ketiga dekat
dengan otot pengunyahan seperti Pterigoid Medialis sehingga dapat
mempengaruhi otot pengunyahan ( menyebabkan trismus). Treatment yang
dapat dilakukan adalah dengan terapi antibiotic sistemik, ekstraksi setelah
peradangan gigi mereda, dan juga dapat dilakukan pembedahan.
Gambar 2. 7 Pericoronitis
2.5 Fascia
Fascia adalah suatu balutan jaringan pengikat yang mengelilingi struktur,
yang membentuk fascia bervariasi dari jaringan areolar longgar hingga jaringan ikat
fibrosa padat. Fascia ini juga tempat jalurnya pembuluh darah dan saraf. Susunan
fascia menentukan pola penyebaran infeksi. Fascia dapat dibagi menjadi dua tipe :
18
1) Fascia Superficial
Campuran antara jaringan areolar longgar dan jaringan adiposa yang
meyatukan dermis kulit dengan deep fascia di bawahnya.
2) Deep Fascia
Superficial layer (anterior)
Pretracheal fascia (middle layer)
Prevertebral fascia (posterior deep layer)
Gambar 2. 8 Fascia
2.6 Spasium
Diantara lapisan padat deep fascia terdapat jaringan ikat longgar yang
membentuk spasium. Spasium merupakan ruangan potensial yang dibatasi,
ditutupi, atau dilapisi oleh lapisan jaringan ikat (ruang potensial diantara lapisan/
layer pada fascia) yang dapat dilewati oleh darah, pus, eksudat purulen, dan udara
(gas).
Spasium ini tidak tampak pada orang yang sehat namun menjadi berisi
ketika orang sedang mengalami infeksi. Ada yang berisi struktur neurovascular
disebut kompartmen dan ada pula yang berisi loose areolar connective tissue
disebut cleft.
19
Gambar 2. 9 Spasium wajah yang terlibat dalam infeksi odontogenik
20
Gambar 2. 10 Batas-batas spasia sublingual
b. Etiologi
Infeksi dari gigi anterior bawah
Fraktur symphyseal atau parasymphyseal yang terinfeksi
Perluasan infeksi spasia submandibular
Supurasi di kelenjar getah bening submental
c. Kandugan
Spasia sublingual mengandung :
Glandula sublingual
Ductus submandibular
Nervus lingual
Vena arteri sublingual
21
Gambar 2. 11 Kandungan spasia sublingual
d. Gambaran Klinis
Gambaran klinis awal dari infeksi spasium sublingual
adalah edema dari dasar mulut disertai nyeri yang lembut tetapi
mengakibatkan sedikit atau tidak adanya pembengkakan ekstra
oral. Edema meningkat dengan cepat menyebabkan elevasi dan
tonjolan lidah.
Tanda ini dapat menginduksi edema laring di kemudian
hari karena spasium sublingual akan meluas sampai ke tulang
hyoid. Tanda peringatan awal edema laring adalah keluhan sesak
napas dalam posisi terlentang dan pasien lebih memilih untuk tetap
dalam posisi duduk.
22
Gambar 2. 12 Gambaran klinis infeksi spasia sublingual
e. Treatment
Insisi di dekat lingual cortical plate, lateral terhadap
sublingual plica, sebagai lingual nerve. Struktur penting lainnya
terletak di tengah plika adalah saluran Wharton, arteri dan vena
sublingual. Tang sinus kemudian dimasukkan dan dibuka untuk
mengambil nanah.
23
Jika secara ekstraoral, kita lakukan insisi submandibular,
tang sinus dimasukkan untuk menembus otot mylohyoid, yang
nantinya akan mencapai bagian dasar spasium sublingual.
24
otot mylohyoid. Hal ini mungkin juga merupakan hasil dari penyebaran
infeksi dari ruang sublingual atau submental.
Gejala klinis dari infeksi menunjukkan pembengkakan sedang di
area submandibular, yang menyebar, menciptakan edema yang lebih besar
yang indurated dan kemerahan pada kulit diatasnya, juga sudut mandibula
menghilang. Pasien dapat merasakan nyeri selama palpasi dan trismus
sedang karena keterlibatan otot pterygoid media.
25
oleh otot digastricus anterior. Spacia submental berisi vena jugularis
anterior dan nodus limfatik submental.
26
Gambar 2. 18 Infeksi Spasia submental
27
Penyebab lain dari angina Ludwig yaitu sialadenitis, abses
peritonsil, fraktur mandibula terbuka, kista duktus tiroglossal yang
terinfeksi, epiglotitis, injeksi intravena obat ke leher, bronkoskopi yang
menyebabkan trauma, intubasi endotrakea, laserasi oral, tindik lidah, infeksi
saluran nafas bagian atas, dan trauma pada dasar mulut.
c. Patogenesis
Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis
pulpa karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam
merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah
bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang
spongiosa sampai tulang cortical. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan
menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung
dari daya tahan jaringan tubuh.
Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat
(perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh limfe
(limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara
perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang
berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran infeksi pada
rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses
gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial.
Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses subingual,
abses submen-tal, abses submandibular, abses submaseter, dan angina
ludwig. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea
mylohyoidea (tempat melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di aspek
dalam mandibula, sehingga jika molar kedua dan ketiga terinfeksi dan
membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang submandibula dan
dapat meluas ke ruang parafaringal.
Selain infeksi gigi abses ini juga dapat disebabkan pericoronitis,
yaitu suatu infeksi gusi yang disebabkan erupsi molar ketiga yang tidak
sempurna. Infeksi bakteri yang paling sering oleh streptococcus atau
28
staphylococcus. Sejak semakin erkembangnya antibiotik, angina ludwig
menjadi penyakit yang jarang.
Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan
yang keras dari fasia servikal profunda dengan m. digastricus anterior dan
tulang hyoid. Edema dagu dapat terbentuk dengan jelas. Infeksi pada ruang
sub-maksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula
menyusuri sepanjang duktus submaksilar Whartoni dan mengikuti struktur
kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga meluas ke bawah
sepanjang m. hyoglossus menuju ruang-ruang fasia leher.
d. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah:
- Sumbatan jalan napas
- Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum
- Sepsis
e. Gejala Klinis
Pasien dengan angina Ludwig biasanya memiliki riwayat ekstraksi
gigi sebelumnya atau hygiene oral yang buruk dan nyeri pada gigi. Gejala
klinis yang ditemukan konsisten dengan sepsis yaitu demam, takipnea, dan
takikardi. Pasien bisa gelisah, agitasi, dan konfusi.
Gejala lainnya yaitu adanya pembengkakan yang nyeri pada dasar
mulut dan bagian anterior leher, demam, disfagia, odinofagia, drooling,
trismus, nyeri pada gigi, dan fetid breath. Suara serak, stridor, distress
pernafasan, penurunan air movement, sianosis, dan “sniffing”
positionStridor, kesulitan mengeluarkan secret, kecemasan, sianosis, dan
posisi duduk merupakan tanda akhir dari adanya obstruksi jalan nafas yang
lama dan merupakan indikasi untuk dipasang alat bantu pernafasan. Pasien
dapat mengalami disfonia yang disebabkan oleh edema pada struktur
vokalis. Gejala klinis ini harus diwaspadai oleh klinisi akan adanya
gangguan berat pada jalan nafas.
29
2.7.5 Infeksi Spasia Bukal
• Menempati ruang subkutan antara kulit wajah dan otot bucinator
• Spasia bukal berisi bantalan lemak bukal, duktus parotid, dan arteri wajah
• Sumber abses bukal : keterlibatan premolar dan molar RA dan RB
• Keterlibatan spasia bukal pada infeksi ditandai dengan pembengkakan di
lengkung zygomatic dan batas inferior mandibular
• Infeksi dapat meluas ke spasia periorbital dan mastikator
• Drainasi dengan cara insisi
30
• Ditandai dengan adanya pembengkakan pada anterior wajah dan sekitar
mata
• Infeksi tahap lanjutan dapat menyebar sampai pada orbita
• Drainase :
• Intraoral pada vestibulum labialis maksila
• Ekstraoral dapat menyebabkan scarring jaringan
31
• Pada infeksi kronis akan tampak trismus, disfagia, ketidakseimbangan
cairan, dan penurunan level nutrisi pasien
• Drainase : Pembedahan intraoral tidak dapat dilakukan, jadi harus
melalui insisi kutan pada region submandibular sampai jaringan ikat
dalam hingga ke kavitas abses
32
• Peradangan otot pterygoideus medial dapat menyebabkan trismus yang
signifikan
• Peradangan dapat menyebar pada spasia faring lateral
33
a. Anatomi
34
b. Patofisiologi dan Etiologi
Biasanya asal penyebab dari gigi, tonsil, adenoid, kelenjar parotis,
kelenjar limfe
Penyebab penyebaran: odontogenik (pericoronitis atau ekstraksi gigi)
Awal terjadi pada pterigomandibular spasia lalu menyebar
Abses peritonsil yang menyebar
Infeksi telinga bagian tengah (mastoiditis)
c. Manifestasi
1. Anterior ccompartments:
Trismus
Indurasi dan pembengkakan pada rahang
Demam
Pharyngeal Bulging
2. Posterior compartments
Pembengkakan retrofaringeal dan deviasi pilar tonsil posterior
Horner’s syndrome karena keterlibatan N kranial IX-XII
Pembengkakan faring bagian lateral posterior dan parotid spasia
Thrombosis vena jugular interna disertai sepsis.
d. Manajemen
Insisi dan drainase
Maintenace airways
Terapi antibiotik dan agen penyebab dihilangkan
e. Komplikasi
Thrombosis vena jugularis internal
Erosi arteri karotid
Defek neurologis
35
Gambar 2. 24 (A) Insisi mukosa intraoral; (B) Kelly Clamp
a. Anatomi
Retropharyngeal spasia dan lateral pharyngeal spasia mengandung nodus
getah bening yang terdapat cincin Waldeyer. Ketika nodus ini membusuk,
36
infeksi spasia fascia dapat terjadi. Infeksi pada spasia-spasia ini dapat berakibat
fatal karena kemampuan mereka untuk menyerang saluran udara secara
langsung dan menyebabkan adanya potensi keterlibatan danger space. Lapisan
dalam fascia melapisi otot-otot vertebra dan paravertebral. Lapisan dalam ini
selanjutnya dibagi lagi menjadi lapisan prevertebral dan alar.
Lapisan prevertebral terletak dari anterior ke kolumna vertebra, dari dasar
tengkorak ke tulang ekor.
Lapisan alar dari lapisan dalam deep fascia serviks terletak di antara
posterior hingga lapisan tengah dan faring menyatu dengan prosesus
transversus. Fascia ini memanjang dari pangkal tengkorak hingga
mediastinum posterior.
Abses retropharyngeal adalah abses pada jaringan ikat longgar spasia
posterior ke dinding faring dan anterior ke lapisan tengah fascia yang
mendalam; atau antara lapisan tengah deep fascia yang dalam dan lapisan alar
fasia atau antara lapisan alar dan prevertebral deep fascia layer yang mendalam.
Ini memanjang dari pangkal tengkorak ke mediastinum. Karena sifat
interkoneksi dari lapisan fascia profunda, abses retropharyngeal dapat
berhubungsn dengan spasia faring lateral, ruang pretracheal dan mediastinum.
37
b. Patofisiologi dan Etiologi
Insidensi abses retropharyngeal terbesar terjadi pada kelompok umur 3
hingga 4 tahun. Meskipun insidensinya rendah, abses retropharyngeal jarang
terjadi pada orang dewasa. Ini biasanya terjadi karena:
Otologic
Infeksi faring atau nasofaring yang menyebar ke ruang retropharyngeal
Infeksi saluran pernapasan atas
Infeksi odontogenik
Osteomielitis serviks
Benda asing
Trauma regional
Disebarkan oleh limfatik
Spasia parotid, submandibular dan masticator berhubungan dengan
spasia faring lateral. Infeksi yang berasal dari salah satu ruang ini pada
akhirnya dapat menyebar dan memengaruhi region spasia retropharyngeal
melalui spasia faring lateralis.
Organisme yang diidentifikasi pada infeksi spasia retropharyngeal
memiliki etiologi spesifik. Infeksi odontogenik atau oropharyngeal sering
terdapat kombinasi bakteri gram positif dan gram negative atau anaerobik dan
aerobik, terutama spesies Bacteroides fragilis atau Streptococcus. Hasil dari
sinusitis, otitis media dan mastoiditis paling sering menunjukkan adanya
bakteri anaerob dari berbagai campuran. Staphylococcus aureus, Coccidioides
immitis dan Mycobacterium tuberculosis paling sering terlibat dalam abses
retropharyngeal sekunder untuk osteomielitis vertebralis.
c. Manifestasi
Tanda dan gejala abses retropharyngeal meliputi:
Demam
Sialorrhea
Leher kaku
Sakit tenggorokan
38
Disfagia
Stridoer
Leukositosis
Sesekali terjadi eritema pada leher lateral dan pembengkakan.
d. Perawatan
Maintenance airways (electrive thraceostomy, fiberoptic intubation,
dan nasotracheal intubation)
Terapi antibiotik agresif pada masa initial
Insisi pada dinding anterior faring
Drainase material purulen dan darah untuk membuka aspirasi dan
respirasi.
Insisi transkutaneous pada bagian anterior hingga otot
sternokleidomastoid
39
Hasil radiografi didapat pada gigi 46:
– mahkota : radiolusen dari oklusal hingga kamar pulpa
– akar : jumlah 2, bentuk divergen
– lamina dura dan membran periodontal: menghilang pada 1/3 akar
mesial dan distal
– furkasi : DBN
– puncak tulang alveolar : DBN
– periapikal : radiolusen diffuse dengan batas tidak jelas dan tidak
tegas
Interpretasi :
– Area 1 : GIGI GELIGI
a. Agenesi gigi 38 dan 48
b. Persistensi -
c. Impaksi gigi 18 dan 28 kelas II ( Pell n Gregory-ruang antar distal
m2 dan ramus kurang bagi mesiodistal m3)dengan posisi C
( dibawah servikal gigi M2), dengan angulasi vertikal
d. Mahkota : pada gigi 46 terdapat radiolusen pada oklusal sampai
kamar pulpa
e. Kondisi alveolar dan furkasi DBN
f. Kondisi periapikal : pada gigi 46 terdapat radiolusen difus dengan
batas tidak jelas dan tidak tegas.
– Area 2 : MAKSILA SINUS NASAL = DBN
– Area 3 : MANDIBULA= radiolusen difus pada periapical gigi 46
– Area 4 : TMJ
Bentuksimetris antara kiri dan kanan
Bentuk kepala condylus membulat
DBN
– Area 5 : OS VERTEBRAE DAN RAMUS MANDIBULA = DBN
– Kesan radiografis :
– Agenesi gigi 38 dan 48, impaksi gigi 18 dan 28, radiolusen pada
mahkota gigi 46, radiolusen difus pada periapikal gigi 46
40
– Suspect radiografis : agenesi gigi 38 dan 48, impaksi gigi 18 dan 28
periapikal abses gigi 46
41
Gambar 2. 28 Axial CT scan showing involvement of the temporal space with infection.
42
Gambar 2. 29 Gambaran CT-Scan Ludwig’s Angina
43
Syarat Anastesi Lokal
• Tidak mengiritasi
• Tidak merusak jaringan saraf secara permanen
• Efektif dengan pemberian secara injeksi atau penggunaan setempat pada
membran mukosa dan memiliki toksisitas sistemik yang rendah
• Mula kerja bahan anestetikum lokal harus sesingkat mungkin
• Masa kerja harus cukup lama sehingga operator memiliki waktu yang cukup untuk
melakukan tindakan operasi
• Zat anestesi lokal juga harus larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil,
• Tahan pemanasan bila disterilkan tanpa mengalami perubahan.
Tipe Anastesi Lokal
• Surface Anasthesia
• Infiltrasi
• Nerve Block
• Spinal Anathesia
• Epidural Anasthesia
44
• Menentukan tindakan anestesi
2.10.2 Anamnesis
• Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya.
• Riwayat penyakit sistemik
• Pemakaian obat tertentu
• Riwayat diet
• Kebiasaan-kebiasaan pasien
• Riwayat penyakit keluarga
45
Renal function test
Pemeriksaan foto toraks
Pemeriksaan pelengkap atas indikasi seperti gula darah 2 jam post prandial,
pemeriksaan EKG untuk pasien > 40 tahun
Pada operasi besar dan mungkin bermasalah periksa pula kadar albumin,
globulin, elektrolit darah, CT scan, faal paru, dan faal hemostasis.
46
Pada Teknik modifikasi Fisher kita menambahkan satu posisi lagi sebelum
jarum dicabut sehingga tidak diperlukan penusukan ulang yang menambah beban
sakit pada pasen.
47
sudut telinga kewajah sehingga arah spuit bergeser ke gigi P pada sisi yang
berlawanan, posisi tersebut dapat berubah dari M sampai I bergantung
pada derajat divergensi ramus mandibula dari telingan ke sisi wajah.
11. Jarum ditusukkan perlahan-lahan sampai berkontak dengan tulang
leher kondilus, sampai kedalamam kira-kira 25 mm. Jika jarum belum
berkontak dengan tulang, maka jarum ditarik kembali per-lahan2 dan
arahnya diulangi sampai berkontak dengan tulang. Anestetikum tidak
boleh dikeluarkan jika jarum tidak kontak dengan tulang.
12. Jarum ditarik 1 mm, kemudian aspirasi, jika negatif depositkan
anestetikum sebanyak 1,8 – 2 ml perlahan-lahan.
13. Spuit ditarik dan pasien tetap membuka mulut selama 1 – 2 menit
14. Setelah 3 – 5 menit pasen akan merasa baal dan perawatan boleh
dilakukan.
48
7. Jarum suntik diletakkan sejajar dengan bidang oklusal maksila, jarum
diinsersikan posterior dan sedikit lateral dari mucogingival junction molar
kedua dan ketiga maksila.
8. Arahkan ujung jarum menjauhi ramus mandibula dan jarum
dibelokkan mendekati ramus dan jarum akan tetap didekat N. Alveolaris
inferior.
9. Kedalaman jarum sekitar 25 mm diukur dari tuberositas maksila.
10. Aspirasi, bila negatif depositkan anestetikum sebanyak 1,5 – 1,8 ml
secara perlahan-lahan. Setelah selesai , spuit tarik kembali. Kelumpuhan
saraf motoris akan terjadi lebih cepat daripada saraf sensoris. Pasien
dengan trismus mulai meningkat kemampuannya untuk membuka mulut.
C. Teknik Fisher:
Prosedur:
1. Posisi pasien duduk dengan setengah terlentang. Aplikasikan
antiseptic didaerah trigonum retromolar.
2. Jari telunjuk diletakkan dibelakang gigi terakhir mandibula, geser
kelateral untuk meraba linea oblique eksterna.
3. Telunjuk digeser kemedian untuk mencari linea oblique interna, ujung
lengkung kuku berada di linea oblique interna dan permukaansamping jari
berada dibidang oklusal gigi rahang bawah.
Posisi I: Jarum diinsersikan dipertengahan lengkung kuku , dari sisi
rahang yang tidak dianestesi yaitu regio premolar.
Posisi II: Spuit digeser kesisi yang akan dianestesi, sejajar dengan bidang
oklusal dan jarum ditusukkan sedalam 5 mm, lakukan aspirasi bila negatif
keluarkan anestetikum sebanyak 0,5 ml untuk menganestesi N. Lingualis.
Posisi III: Spuit digeser kearah posisi I tapi tidak penuh lalu jarum
ditusukkan sambal menyelusuri tulang sedalam kira-kira 10-15 mm.
Aspirasi dan bila negative keluarkan anestetikum sebanyak 1 ml untuk
menganestesi N. Alveolaris inferior. Setelah selesai spuit ditarik kembali.
Teknik modifikasi Fisher:
49
Setelah kita melakukan posisi III, pada waktu menarik kembali spuit
sebelum jarum lepas dari mukosa tepat setelah melewati linea oblique
interna ,jarum digeser kelateral (kedaerah trigonum retromolar ), aspirasi dan
keluarkan anestetikum sebanyak 0,5 ml untuk menganestesi N. Bukalis.
Kemudian Spuit ditarik keluar.
Kesimpulan:
Untuk melakukan anestesi blok rahang bawah dapat dilakukan dengan
memilih salah satu teknik yaitu teknik Gow-gates, Akinosi atau teknik Fisher.
Apabila kita memilih teknik Fisher dan N. bukalis perlu dianestesi maka
modifikasi teknik Fisher dapat digunakan.
2.11.2 Indikasi
Indikasi gigi yang perlu ekstraksi:
1. Gigi dengan karies besar dan tidak dapat di rawat secara
konservasi/endodontik.
50
2. Gigi goyang/mobility.
3. Gigi yang merupakan kausa infeksi dari jaringan sekitar.
4. Gigi yang dianggap sebagai fokus infeksi.
5. Untuk keperluan orthodontic.
6. Untuk keperluan protetik.
7. Gigi dengan granuloma yang besar lebih 1/3 panjang akar.
8. Gigi supernumerary.
9. Gigi yang supraklusi.
10. Gigi yang tidak dapat di rawat lagi secara orthodontik.
11. Gigi dengan fraktur akar.
12. Gigi yang impaksi.
13. Gigi yg terletak pd grs fraktur.
14. Gigi yang menyebabkan trauma pada jaringan sekitarnya
15. Alasan sosial, pendidikan, ekonomi
2.11.3 Kontraindikasi
Kontra indikasi lokal ekstraksi gigi
1. Infeksi akut dari gingival, perikoronal, periapikal, infeksi supuratif lain
spt abses dan osteomyelitis.
2. Infeksi sinus maksilaris akut
3. Daerah sekitar gigi terdapat massa tumor yg menunjukkan tanda-tanda
keganasan
Kontra Indikasi sistemik ekstraksi gigi
1. Bila tampak gangguan psikis.
2. Keadaan fisik penderita lemah/sangat lemah
3. Kurang tidur
4. Sedang menstruasi/kehamilan
2.11.4 Persiapan
Alat-alat ekstraksi:
1) Tang ekstraksi (dental forceps)
51
Berfungsi untuk menggerakkan gigi sehingga terlepas dari ligamen
periodontalnya, serta memperlebar soket tulang secara langsung. Tang
memiliki 3 bagian yaitu, paruh (beak), leher atau engsel (hinge), dan
pegangan (hamdle).
Maxilarry forceps
Pada tang untuk rahang atas, biasanya paruh dan pegangannya
tampak seperti garis lurus.
Mandibular forceps
Tamg ini memiliki ciri berupa paruh 45-60 derajat terhadap
pegangannya. Tang biasanya berbentuk huruf C atau L.
2) Elevator
Elevator lurus (bein)
Untuk mengeluarkan gigi dan akar pada rahang atas atau rahang
bawah. Sedangkanh pada elevator lurus yang pada ujungnya
terdapat sedikit curved, berfungsi untuk mengeluarkan gigi
posterior rahang atas.
Elevator cross bar (cryer) – T-shaped
Berfungsi untuk mengeluarkan akar yang tersisa pada rahang
bawah, serta untuk ekstraksi gigi molar ketiga pada rahang bawah.
Angled seldin elevators
Merupakan variasi dari elevator cross bar yang berfungsi untuk
mengeluarkan akar pada gigi molar.
Elevator angular
Berfungsi untuk mengeluarkan akar molar pada kedua rahang dan
ekstraksi gigi molar ketiga rahang atas yang mengalami impaksi.
Straight & Curved Chompret Elevators
Sharp-tipped angled elevator
52
Gambar 2. 30 Special instrument for removal of roots
53
Local anesthesia syringe, needle, and ampule
Desmotomes
Retractor/mouth mirror
Extraction forceps
Surgical/anatomic forceps
Elevators
Sterile gauze
Periapical currete
Suction tip
Towel clamp
Needle holder
54
Bone file
Periapical currete
Bone burs
Hemostat
Retractors
Needle holder
Surgical forceps & anatomic forceps
Scissors
Towel clamps
Disposable plastic syringe
Suction tip
Straight handpiece
Bowl of saline solution
Sutures
Sterile gauze
55
Akses yang cukup ke daerah gigi yang akan dicabut
Kontrol kekuatan untuk meluksasi dan mengeluarkan gigi dari
soketnya
b. Teknik fiksasi gigi
Penggunaan tangan kiri untuk menahan lidah, pipi, dan bibir agar tidak
menghalangi lapang pandang & masuknya alat, serta menahan jar. lunak
disekitarnya agar tidak terkena alat. Dapat pula untuk menopang
mandibula saat ekstraksi gigi RB.
2.11.6 Metode
Pada dasarnya hanya dua metode pencabutan gigi, yaitu:
a) Pencabutan dengan tang (forceps extraction), dan terdiri dari pencabutan
gigi atau akar dengan menggunakan tang atau elevator atau kedua-duanya.
Metode ini lebih baik disebut sebagai pencabutan intra-alveolar
b) Memisahkan gigi atau akar dari perlekatannya dengan tulang. Pemisahan
dilakukan dengan mengambil tulang penyangga akar gigi itu yang
kemudian dikeluarkan dengan menggunakan elevator dan atau tang.
Teknik ini sering disebut trans-alveolar. Metode ini digunakan untuk
kasus akar sisa atau gigi yang dipertimbangkan sulit untuk diekstraksi.
56
Palpasi area tulang alveolar, ada/tidaknya fraktur tulang alveolar
(bila ada, tulang dipotong dengan knabel tang dan dihaluskan
dengan bone file)
Tindakan pemijatan pada soket gigi untuk mengembalikan posisi
jaringan lunak dan menghentikan perdarahan
3. Bila perlu dapat dilakukan penjahitan
2.11.9 Komplikasi
Komplikasi adalah segala kejadian merugikan dan tidak direncanakan,
yang terjadi diluar harapan pada tindakan operasi yang normal (Dimitroulis,
1997). Komplikasi ekstraksi gigi dapat timbul dan disebabkan oleh satu atau
kombinasi berbagai faktor berikut ini (Dimitroulis, 1997).
1. Kondisi pasien
Terutama pada pasien dengan kompromis medis yang menyebabkan
peningkatan resiko komplikasi seperti perdarahan yang berkepanjangan
atau penyembuhan luka yang lama. Juga pada keadaan lokal seperti gigi
atau tulang yang rapuh serta anatomi yang abnormal.
2. Kemampuan dokter
57
Resiko komplikasi tergantung kepada tingkat keahlian, keterampilan dan
pengalaman dokter gigi serta jenis perlakuan perawatan terhadap pasien.
3. Kondisi anatomi daerah sekitarnya
Resiko komplikasi bergantung pula kepada kompleksnya prosedur,
anatomi lokal pada daerah operasi seperti lapang pandang, serta dekat
tidaknya dengan struktur yang vital seperti saraf, pembuluh darah yang
besar, dan lain-lain.
Komplikasi ekstraksi gigi dapat dibagi berdasarkan waktu terjadinya operasi
(Dimitroulis, 1997) meliputi:
1. Komplikasi intra operasi
Komplikasi intraoperasi merupakan komplikasi yang terjadi selama dokter
melakukan tindakan, beberapa komplikasi yang sering terjadi antara lain
fraktur mahkota atau akar gigi, trauma pada jaringan lunak (laserasi),
fraktur tulang alveolar dan tuberositas maksila, fraktur mandibula,
perdarahan primer (intraoperasi), fistula oroantral, dislokasi sendi temporo
mandibula, emfisema, trauma pada saraf, sinkop, dan syok anafilaktik.
2. Komplikasi pasca operasi
Kompilkasi pascaoperasi merupakan komplikasi yang timbul setelah
tindakan selesai dilakukan hingga beberapa minggu kemudian.
Komplikasi yang sering timbul antara lain dry socket, perdarahan sekunder
(pascaoperasi), infeksi, penyembuhan yang lambat, nekrosis jaringan
lunak, pembengkakan dan trismus, dan sakit yang menetap.
Tindakan atau respon dokter gigi terhadap adanya komplikasi
1. Ketahui permasalahan dengan segera, dan ubah rencana perawatan
sebelum komplikasi terjadi. Misalnya gigi tidak dapat diangkat dengan
tang karena risiko fraktur mahkota, maka dipertimbangkan pendekatan
bedah.
2. Rencanakan kemungkinan yang akan terjadi sebelumnya, seperti pada
setiap masalah yang timbul, harus dibuat respon yang cepat dan efektif
untuk mencegah komplikasi yang akan lebih sulit ditangani di kemudian
hari. Contoh: segera kembalikan gigi dan fragmen tuberositas yang fraktur
58
ketempat semula untuk mencegah timbulnya fistula oroantral di kemudian
hari.
3. Mempersiapkan akses untuk meminta opini spesialis atau merujuk dengan
segera.
59
Ketika long buccal nerve masih belum teranastesi menggunakan metode yang
digunakan (contohnya teknik Halstead), maka perlu dilakukan anastesi terpisah untuk
long buccal nerve. Dengan cara menginfiltrasi anastesi lokal pada bagian bukal zona
regional block. Regional block bisa didapatkan dengan mendeposisi 0,5 ml anastesi
lokal pada coronoid notch. Biasanya dilakukan pada intraoral, tetapi dapat pula
dilakukan pada ekstraoral.
4. Extraoral approach to the mandibular nerve
Teknik menganastesi mandibular nerve dengan cara ekstraoral. Yaitu dengan
penetrasi awal jarum suntik 90o terhadap permukaan kulit pada bagian paling cekung
zygomatic arch sampai jarum berkontak dengan tulang pterygoid lateral. Tandai
sedalam apa jarum masuk untuk menentukan kedalaman tahap injeksi akhir. Tarik
jarum sampai menyisakan ujungnya saja lalu penetrasi 60o kearah sagittal plane dan
melewati bagian belakang pterygoid plate. Posisi final untuk mendeposisi anastesi
lokal 4 mm kurang dari penetrasi awal, jadi jarum masuk lebih pendek dari penetrasi
awal.
60
BAB III
PEMBAHASAN
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa Tuan Ludi menderita Ludwig’s angina
yang melibatkan spasia submandibular, sublingual, dan submental secara bilateral. Pasien
disuruh rawat inap selama beberapa hari dan ditangani oleh spesialis Bedah Mulut.
Selama di rumah sakit pasien mendapatkan infus glukosa 5% dan NaCl serta diberikan
antibiotik, dan analgesik-anti-inflamasi secara intravena.
Perawatan yang diterima pasien berupa insisi ekstra oral dan drainase, yang
dilanjutkan dengan pencabutan gigi menggunakan metoda atau teknik anestesi blok
rahang bawah. Setelah pencabutan pasien diberikan antibiotik dan analgesik kembali.
Beberapa hari setelah dirawat dan dilakukan tindakan, kondisi pasien membaik,
tanda-tanda vital normal. Pasien dapat membuka mulut secara normal dan merasa senang
karena diijinkan pulang ke rumah.
61
DAFTAR PUSTAKA
vii