Anda di halaman 1dari 28

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

A.1 Tinjauan Historis Lumbal Spinal Stenosis

Antoine Portal dari Perancis tahun 1803 memperkirakan nyeri punggung

dan tungkai disebabkan oleh adanya jepitan tulang pada syaraf. Tahun 1911

Bailey dan Casamajor menulis bahwa gejala yang muncul pada nervus spinalis

disebabkan oleh eksostosis facet joint sehingga terjadi kompresi kanalis spinalis

dan cauda equina dan merekomendasikan laminektomi. Van Gelderen

memperkirakan hipertrofi ligamentum flavum menyebabkan spinal stenosis.

Beliau menjelaskan melalui 2 pasien yang menunjukkan tanda – tanda kompresi

pada lumbar nerve root saat berjalan yang kemudian menghilang dengan istirahat

dan kemudian dilakukan laminektomi. Verbiest menjelaskan sindrom klinis

lumbar stenosis pada 7 pasien dengan nyeri radikuler bilateral dengan gangguan

motorik dan sensorik pada tungkai yang diperberat dengan berdiri dan berjalan.

Kirkaldy-Willlis et al tahun 1978 meneliti patologi dan pathogenesis spondylosis

dan stenosis lumbal dan menjelaskan konsep three-joint complex yang terdiri dari

dua facet joint dan diskus intervertebralis (Botwin dan Gruber, 2003).

A .2 Anatomi Klinis Dan Biomekanika Vertebra Lumbalis

Dalam memahami spinal stenosis, mutlak untuk mengetahui anatomi

tulang belakang lumbal. Batas anterior kanalis spinalis dibentuk oleh corpus

commit
vertebrae, discus, dan ligamentum to user posterior. Batas lateral oleh
longitudinal

7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pedikel, ligamentum flavum bagian lateral dan foramen intervertebrale. Batas

posterior oleh facet joint, lamina dan ligamentum flavum. Bentuk foramen

vertebrale yang menyusun kanalis spinalis dapat berupa sirkuler, oval maupun

trefoil (seperti daun semanggi) (Gambar 2.1) (Herkowitz et al, 2011).

Gambar 2.1. Tiga bentuk foramen vertebrale. (Dikutip dari : Herkowitz et al 2011)

Nukleus pulposus normal bersifat gelatin dan berbatas tegas dengan

annulus fibrosus. Seiring waktu kandungan kolagen meningkat dan demarkasi

antara nucleus dan annulus menjadi kabur. Konsentrasi khondroitin sulfat

menurun dan rasio keratin sulfat terhadap khondroitin sulfat meningkat. Karena

keratin sulfat kurang hidrofilik, diskus mengalami dehidrasi. Perubahan jenis

kolagen juga mempengaruhi diskus. Annulus mengandung kolagen tipe II 60%

dan tipe I 40%, sedangkan sebagian besar diskus mengandung kolagen tipe II.

Kandungan air kolagen tipe I lebih rendah dibanding tipe II, sehingga dengan

meningkatnya kolagen tipe I karena usia, hidrasi diskus menjadi berkurang.

Nucleus pulposus normal mengandung air 85% sedangkan annulus 78%4.

Kandungan air diskus degeneratif menurun sampai 70%, sehingga kemampuannya

menahan beban mekanis berkurang, ditambah terjadi perbedaan distribusi beban

pada diskus yang degeneratif (Gambar 2.2) (Papadakis et al, 2011).


commit to user

8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2.2. Distribusi beban pada diskus yang normal (gambar kiri) dan diskus
degeneratif (gambar kanan). (Dikutip dari : Papadakis et al 2011)

Teori Kirkaldy-Willis menganggap tulang belakang sebagai tripod

(three-joint complex), dimana kaskade degeneratif dimulai dengan robekan

sirkumferensial annulus yang memberat secara radial. Perubahan biokimiawi

diskus menyebabkan degenerasi lebih jauh dan disc height loss. Perubahan

struktur dan disc height loss memicu bulging diskus dan ligamentum longitudinal

posterior, sehingga kanalis spinalis menyempit. Memendeknya diskus juga

memicu buckling ligamentum flavum dan settling dari facet joint. Facet joint

rusak membentuk osteofit, menyebabkan impingement pada thecal sac dalam

kanalis spinalis atau nerve root dalam foramen intervertebrale. Hipertrofi jaringan

lunak bertanggung jawab pada + 40% spinal stenosis, dimana pada ekstensi

ligamentum tersebut melipat ke sentral memperburuk stenosis. Perubahan

struktur, gerakan dan biomekanik tersebut memicu siklus degenerasi (Botwin dan

Gruber, 2003; Herkowitz et al, 2011; Frymoyer et al, 2004).

Facet joint merupakan struktur berkapsul dengan permukaan tulang

rawan rata menciptakan gerakan gliding halus. Facet joint lumbal mengarah 90°

pada bidang sagital dan 45° ke anterior pada bidang koronal (Gambar 2.3).

commit to user

9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Semakin mengarah ke sagital semakin mudah terjadi spondylolisthesis degeneratif

yang memperberat terjadinya stenosis (Herkowitz et al, 2011).

Gambar 2.3. Perubahan anatomi dan susunan facet joint pada berbagai segmen tulang
belakang. (Dikutip dari : Herkowitz et al 2011)

Kanalis spinalis lumbal normalnya terisi nerve root, jaringan lemak dan

jaringan ikat longgar yang dapat beradaptasi dengan gerakan. Hipertrofi facet joint

menyebabkan kompresi posterior elemen neural (Gambar 2.4). Kompresi anterior

muncul dari osteofit endplate atau herniasi diskus (Herkowitz et al, 2011).

commit to user

10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2.4. Potongan sagital menunjukkan diskus yang dehidrasi (D), sklerosis end
plate (S), osteofit (O), hipertrofi dan buckling ligamentum flavum (LF) dan nerve root
dalam foramen intervertebrale (NR) yang tertekan. (Dikutip dari : Herkowitz et al 2011)

Kompresi cauda equina dapat disebabkan bulging atau protrusi diskus di

anterior atau hipertrofi dan bulging ligamentum flavum dengan hipertrofi facet

joint di posterior (Gambar 2.5). Hipertrofi ligamentum flavum diketahui terkait

dengan perubahan degeneratif karena usia atau karena stress mekanis akibat

instabilitas (Botwin dan Gruber, 2003).

Gambar 2.5. Gambar MRI T2-weighted potongan sagital menunjukkan stenosis


multilevel akibat bulging disc dan hipertrofi ligamentum flavum (panah).
(Dikutip dari : Botwin and Gruber 2003)

Menurut Wong dimensi kanalis spinalis lumbalis relatif konstan dari L1

sampai L5 (Tabel 2.1) (Wong dancommit


Transfeldt, 2007).
to user

11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 2.1. Dimensi kanalis spinalis lumbalis pada setinggi pertengahan pedikel (Wong

dan Transfeldt, 2007).

Vertebra lumbalis rentan perubahan dinamik. Schonstrom et al

menggunakan dynamic myelography menemukan adanya aliran bebas kontras

pada pasien dengan posisi berdiri dalam fleksi, tetapi saat ekstensi terjadi

obstruksi parsial berat (Schonstrom et al, 1989). Willen et al juga meneliti efek

dinamik kompresi aksial ditambah ekstensi pada vertebrae lumbalis pada 84

pasien menggunakan CT myelography dan MRI, dan menemukan pada 66 pasien

terjadi penurunan luas permukaan dural sac selama kompresi aksial dan ekstensi

sebesar 30% dibanding pada posisi fleksi, dan 29 diantaranya dinyatakan

mengalami stenosis absolut (Willen et al, 1997).

A.3 Klasifikasi Lumbal Spinal Stenosis

Secara anatomis stenosis dapat diklasifikasikan sebagai stenosis sentral,

recessus lateralis dan foraminal berdasarkan lokasi kompresi neural (Gambar 2.6).

Lumbal spinal stenosis juga diklasifikasikan berdasarkan etiologi yaitu

kongenital, didapat atau kombinasi. Stenosis kongenital terdapat sebagai varian

normal pada populasi dan merupakan bagian dari kondisi tertentu seperti
commit to user
dwarfisme. Pada kondisi tersebut pasien memiliki pedikel pendek, sehingga
12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

perubahan degeneratif sedikit cukup menyebabkan kompresi neural. Sehingga

stenosis kongenital menjadi simtomatik pada usia lebih muda. Stenosis didapat

bisa diakibatkan oleh proses degeneratif, trauma, neoplasma, infeksi dan

sebagainya (Tabel 2.2) (Herkowitz et al, 2011).

Gambar 2.6. CT scan menunjukkan lokasi stenosis di sentral (A), recessus lateralis (B)
dan foraminal (C). (Dikutip dari : Herkowitz et al 2011)

Tabel 2.2. Klasifikasi lumbal spinal stenosis. (Herkowitz et al 2011)

commit to user

13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurut Verbiest, stenosis juga dibagi menjadi relatif dan absolut

berdasarkan diameter anterior-posterior kanalis spinalis lumbalis. Spinal stenosis

relatif yaitu bila diameternya 10 – 12 mm, dan stenosis absolut bila diameter <10

mm) (Siebert et al, 2009). Hamanishi et al berpendapat bahwa stenosis lebih baik

diukur sebagai suatu luas permukaan dibanding diameter. Luas kurang dari 100

mm2 dikelompokkan sebagai spinal stenosis relatif, dan kurang dari 65 mm2

menunjukkan stenosis absolut (Hamanishi et al, 1994).

A.4 Patofisiologi Lumbal Spinal Stenosis

Stenosis memberat seiring usia walaupun tidak selalu menimbulkan

gejala. Karena perbedaan kompensasi, dua individu dengan stenosis yang sama

bisa tidak memunculkan gejala yang sama. Kecepatan perubahan tersebut terjadi

tampaknya juga penting. Penderita dapat menjadi simtomatik dengan kompresi

yang derajatnya lebih ringan jika terjadi dengan cepat. Ini menjelaskan mengapa

pada pasien dengan stenosis dapat menjadi simtomatik hanya dengan herniasi

diskus akut yang ringan (Herkowitz et al, 2011).

Patofisiologi pada nerve root dapat dibagi menjadi dua kategori utama,

yaitu terjadinya nyeri dan disfungsi saraf akibat deformasi mekanikal dan efek

biokimiawi (Frymoyer et al, 2004) :

A.4.1 Deformasi Mekanikal

Nerve root relatif terlindung dari trauma eksternal karena tertutup oleh

tulang vertebra. Tetapi, nerve root tidak memiliki jumlah dan organisasi

selubung jaringan konektif protektif seperti nervus perifer (Gambar 2.7),

sehingga sangat sensitif terhadap deformasi mekanis (Frymoyer et al, 2004).


commit to user

14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2.7. Perbedaan nerve root dan nervus perifer secara mikroskopik. Akson nerve
root terletak di ruang endoneurial dan ditutup cairan cerebrospinal dan dural sleeve.
Akson dari nervus perifer terletak di fasikulus endoneurium tertutup oleh perineurium
yang tertutup oleh epineurium (jaringan ikat longgar). (Dikutip dari : Fr ymoyer et al
2004 )

Olmarker et al tahun 1996 dan Rydevik et al tahun 1998 meneliti efek

kompresi cauda equina secara bertahap pada hewan coba. Cauda equina

dikompresi oleh balon translusen yang difiksasi pada tulang belakang (Gambar

2.8) ((Herkowitz et al, 2011).

Gambar 2.8. Gambar skematis model kompresi nerve root eksperimental. Cauda equina
(A) dikompresi dengan balon (B) yang difiksasi ke tulang belakang oleh dua L-shaped
pin (C) dan Plexiglas plate (D). (Dikutip dari : Herkowitz et al 2011)

Melalui model ini dimungkinkan untuk mengobservasi aliran darah

dan diameter pembuluh darah intrinsik cauda equina melalui vital microscope
commit to user

15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan meneliti aliran dalam pembuluh darah intrinsik nerve root pada berbagai

tekanan. Tekanan dinaikkan 5 mmHg setiap 20 detik. Tekanan oklusi arteriole

rata-rata ditemukan sedikit dibawah tekanan sistolik. Aliran darah kapiler

secara langsung tergantung pada aliran darah pada venulae didekatnya.

Tekanan 5 – 10 mmHg cukup untuk membuat oklusi venulae. Sehingga aliran

darah kapiler dapat terganggu oleh stasis retrograde. Efek dekompresi bertahap

juga diteliti setelah kompresi akut. Restorasi aliran darah secara penuh tidak

terjadi sampai kompresi diturunkan dari 5 sampai 0 mmHg. Disimpulkan

gangguan vaskuler akan terjadi bahkan pada tekanan rendah (Herkowitz et al,

2011). Kompresi juga memicu peningkatan permeabilitas vaskuler, sehingga

terbentuk edema intraneural. Edema meningkatkan tekanan cairan endoneurial,

mengganggu aliran darah kapiler endoneurial, sehingga nutrisi nerve root

terganggu. Edema menetap untuk waktu yang lebih lama dari waktu kompresi

itu sendiri. Terjadinya edema intraneural selanjutnya akan berakhir menjadi

fibrosis intraneural (Frymoyer et al, 2004).

Spinal stenosis multipel memiliki efek lebih nyata dibanding satu

level. Pada hewan coba tekanan 10 mmHg pada dua balon kompresi memicu

penurunan amplitudo impuls saraf sebesar 60% selama 2 jam, sedangkan

tekanan 50 mmHg pada satu balon tidak menunjukkan penurunan. Spinal nerve

root tidak memiliki arteri nutrisi setempat dari struktur sekitarnya. Bila ada dua

level kompresi maka nutrisi daerah diantaranya terganggu, penelitian

menunjukkan penurunan total aliran darah sebesar 64% pada segmen yang

tidak terkompresi bila terjadi kompresi 10 mmHg di dua tempat. Juga


commit to user

16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ditemukan peningkatan P-substance pada nerve root dan dorsal root ganglion

yang terkompresi. P-substance merupakan neurotransmitter yang berkaitan

dengan transmisi nyeri. Onset kompresi sulit untuk diprediksi karena variasi

dalam praktek klinis yang sangat besar. Kompresi onset cepat (seperti pada

trauma atau herniasi diskus) sebesar 600 mmHg dalam 1 detik cukup untuk

memicu gangguan konduksi saraf selama 2 jam.Salah satu aspek penting secara

klinis adalah kompresi mungkin tidak stabil tetapi bervariasi akibat perubahan

postur dan gerakan. Bila jaringan saraf terkompresi terjadi pergerakan gradual

dari sisi kompresi menuju sisi yang tidak terkompresi. Jika tekanannya terjadi

dalam onset yang sangat lambat (misal pada spinal stenosis), terjadi adaptasi

jaringan saraf pada tempat yang tertekan (Frymoyer et al, 2004). Takahashi

et al meneliti efek postur terhadap tekanan epidural 10 pasien dengan spinal

stenosis L4-L5. Ekstensi lumbal signifikan meningkatkan tekanan epidural

(116.5±38.4 mmHg) dibanding saat berdiri (66.9±27.5 mmHg) dan saat fleksi

30°(27.3±19.7 mmHg). Efek klinis yang signifikan adalah hilangnya rasa nyeri

saat fleksi (Creighton et al, 2006).

A.4.2 Efek Biologis dan Biokimiawi

Adanya skiatika dengan distribusi nyeri dan disfungsi saraf yang khas

tanpa bukti adanya material diskus yang mengalami herniasi secara radiologis

dan saat pembedahan menunjukkan bahwa komponen mekanis bukan satu –

satunya faktor nyeri skiatika. Olmarker et al tahun 1993 menempatkan

autologous nucleus pulposus di ruang epidural hewan coba tanpa membuat

deformasi mekanis, menyebabkan perubahan signifikan struktur dan fungsi


commit to user

17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

nerve root disertai penurunan nerve conduction velocity (NCV) dan perubahan

mikroskopis (Gambar 2.9) (Frymoyer et al, 2004).

Gambar 2.9. (A) nerve root terpapar lemak selama 7 hari, tidak ada perubahan. (B) nerve
root yang terpapar autologous nucleus pulposus selama 7 hari, terjadi degenerasi aksonal
dan perubahan arsitektur ruang endoneurial. (Dikutip dari : Frymoyer et al, 2004 )

Dengan miroskop elektron tampak vakuolisasi sel Schwann dan

disintegrasi incisura Schmidt-Lanterman. Incisura Schmidt-Lanterman

merupakan tempat pertukaran ion normal antara akson dan jaringan sekitar,

sehingga terjadi gangguan konduksi impuls. Penempatan autologous nucleus

pulposus dalam 2 jam memicu edema intraneural yang membuat penurunan

aliran darah intraneural. Perubahan histologis nerve root terjadi setelah 3 jam,

dan penurunan NCV terjadi mulai 3-24 jam (Frymoyer et al, 2004).

Dari penelitian tersebut diketahui bahwa nukleus pulposus sendiri

memiliki sifat mencederai melalui reaksi inflamasi epidural. Penelitian

menggunakan anti inflamasi kuat (methylprednisolon iv) yang diberikan pada

waktu yang berbeda – beda setelah penempatan nukleus pulposus

menunjukkan bahwa penurunan NCV dapat dihambat jika methylprednisolon

diberikan dalam 24 jam sejak aplikasi. Jika methylprednisolon diberikan dalam

commit
48 jam efeknya tidak terlalu nyata to user
tetapi secara signifikan lebih baik daripada

18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

jika tidak diberikan sama sekali. Ini menunjukkan bahwa efek negatif tidak

terjadi secara langsung tetapi berkembang dalam 24 jam pertama setelah

paparan nukleus. Olmarker et al juga membuktikan bahwa nukleus pulposus

dapat memicu respons leukotaktik jaringan sekitar, dimana dengan paparan

nukleus pulposus jumlah leukosit meningkat 250% dibanding pada paparan

lemak. Penelitian serupa oleh Takino et al menunjukkan akumulasi sel T-

helper dan T-suppressor setelah 2 minggu (Frymoyer et al, 2004).

Karena nukleus pulposus merupakan jaringan avaskuler yang

“tersembunyi” dari sirkulasi sistemik, maka keluarnya nukleus menyebakan

reaksi autoimun pada antigen nukleus sehingga terbentuk substansi bioaktif

yang mencederai nervus. Tumor necrosis factor (TNF) merupakan regulator

sitokin proinflammatorik, memiliki efek biologis spesifik dan bekerja sinergis

dengan sitokin lain seperti IL-1B dan IL-6. Segera setelah cedera nervus, TNF

dilepaskan sel Schwann dan sel endoneurial lain seperti sel endotel, fibroblas

dan sel mast, termasuk kondrosit dan sel – sel discus. Peningkatan TNF

menyebabkan makrofag menuju tempat cedera sehingga terjadi konsentrasi

masif dari sitokin proinflamatorik. TNF juga dikenal neurotoksik, memicu

perubahan perilaku nyeri, dan menyebabkan aktivitas nervus ektopik hewan

coba. TNF terlindung dalam proteksi membran dan aktif setelah dirusak enzim

matrix metalloproteinase (MMP-9 dan MMP-2) yang aktif segera setelah

cedera nervus. TNF juga merangsang aktivasi endothelial adhesion molecules

(yaitu ICAM and VCAM) sehingga meningkatkan perlekatan sel – sel imun ke

dinding pembuluh darah (Gambar 2.10) (Herkowitz et al, 2011).


commit to user

19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2.10. Gambar skematis mekanisme kerja tumor necrosis factor (TNF). (A) TNF
dari sel discus yang herniasi memasuki kapiler endoneurial dan mengaktivasi molekul
adhesi. (B) leukosit di sirkulasi menempel ke pembuluh darah (1) dan keluar dari kapiler
menuju akson yang permeabilitas vaskulernya meningkat (2). TNF merangsang
akumulasi trombosit membentuk thrombus intravaskuler (3). (C) pelepasan TNF oleh
leukosit pada akson memicu cedera myelin, akumulasi Na-channel dan allodynia pada
dorsal root ganglion dan pada level spinal cord. Trombus dan edema meningkatkan
permeabilitas sehingga menghambat nutrisi nerve root, menyebabkan nyeri dan nerve
dysfunction. (Dikutip dari : Herkowitz et al 2011)

Pemeriksaan morfologi dan imunohistokimiawi membuktikan

ligamentum flavum mengalami fibrosis dan khondrometaplasia seiring usia,

dimana terjadi proliferasi fibrocartilage (collagen tipe II), ossifikasi, dan deposisi

kristal kalsium. Penelitian oleh Park et al mendukung bahwa ekspresi TGF-B1

oleh fibroblas berkaitan dengan munculnya hipertrofi ligamentum flavum. Normal

ketebalan ligamentum flavum < 4 mm, sedangkan pada kondisi stenosis akan

menjadi 7 – 8 mm (Botwin dan Gruber, 2003).

Pada lumbar spinal stenosis terjadi jepitan nerve root, meninges,

pembuluh darah intraspinal dan cauda equina. Seperti dijelaskan di atas kompresi
commit to user
nerve root merangsang reaksi inflamasi setempat. Dua mekanisme vaskuler
20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

interdependen berperan dalam terjadinya neurogenic claudication yaitu penurunan

aliran darah arteri dan kongesti vena dengan defisiensi perfusi sekunder (Gambar

2.11) (Herkowitz et al, 2011). Compressive radiculopathy juga menyebabkan

disregulasi otonom dan mengganggu sirkulasi tungkai. Secara fungsional lumbal

spinal stenosis terdiagnosis hanya jika stenosis muncul pada postur tertentu

(contoh saat berdiri dibanding saat duduk) (Siebert et al, 2009).

Gambar 2.11. Proses yang terlibat pada neurogenic claudication.


(Dikutip dari Herkowitz et al 2011)

A.5 Gejala Klinis Lumbal Spinal Stenosis

Pasien lumbal spinal stenosis paling sering datang dengan keluhan nyeri

tungkai. Nyeri tersebut muncul baik dalam bentuk neurogenic claudication

maupun radikuler. Pasien dengan neurogenic claudication mengeluh perasaan

nyeri, berat, mati rasa, kram, panas ataupun kelemahan. Gejala secara khas

muncul mulai dari punggung atau pantat dan secara bilateral menjalan turun ke

bawah lutut. Satu ekstremitas mungkin terasa lebih buruk dari sisi sebelahnya,

tetapi kedua tungkai sering terkena. Gejala biasanya tidak mengikuti pola

commit
dermatomal dan berkaitan dengan to user
aktivitas. Abnormalitas sensasi secara khas

21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

memburuk dengan ekstensi lumbal selama berjalan atau berdiri untuk waktu lama.

Beberapa melaporkan perburukan kelemahan jika dipaksakan tetap berjalan.

Berjalan menurun lebih sulit karena vertebrae lumbalis dalam posisi ekstensi.

Perbaikan gejala akan muncul dengan fleksi lumbal dengan membungkuk, duduk

atau berbaring. Sehingga bisa dimengerti mengapa pada pasien – pasien tersebut

secara khas bertumpu dan membungkuk pada troli belanja (shopping cart sign)

dan lebih mudah saat mengendarai sepeda, jalan menanjak atau duduk menyetir

mobil (Rittenberg dan Ross, 2003).

A.6 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pasien yang datang dengan tanda dan gejala lumbal

spinal stenosis dimulai dengan observasi. Cara berjalan dan posisi berdiri sering

kifotik, tapi mungkin didapatkan kurva lordotik lumbal berubah lurus atau

terbalik. Range of motion tulang belakang harus dinilai pada bidang sagital,

transversal dan koronal. Munculnya nyeri paha dengan lumbar ekstensi selama 30

detik erat kaitannya dengan lumbal spinal stenosis. Ekstensi lumbal ditambah

rotasi (Kemp’s test) memunculkan nyeri punggung atau tungkai ipsilateral karena

terjadi penyempitan dinamis foramen intervertebrale. Menemukan gerakan yang

nyaman menyediakan informasi berharga saat fisioterapi atau memulai latihan

pada posisi bebas nyeri. Pemeriksaan sensorik harus menilai light touch, pinprick

dan vibrasi. Kelemahan motorik paling sering mengenai miotom L5 (Macrae dan

Wright, 1969). Amundsen et al melaporkan kelemahan motorik terjadi pada 23%

dan defisit sensorik pada 51% lumbal spinal stenosis (Backstrom et al, 2011).

commit to user

22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Straight leg raise test didapatkan positif pada 10 – 23 % pasien,

diperkirakan karena hilangnya ekstensibilitas pada satu sisi nervus menghasilkan

peningkatan tensile load bila nervus perifer atau nerve root diregangkan, sehingga

terjadi disfungsi mekanis (Macrae dan Wright, 1969).

Schober menjelaskan teknik memeriksa fleksi thoracolumbal dengan

mengukur panjang distraksi kulit (cm) antara T1 sampai S1 dari posisi netral ke

fleksi. Modified Schober test menurut Macrae dan Wright lebih sering digunakan.

Pada posisi berdiri dibuat titik pada level L5 kemudian pemeriksa membuat titik 5

cm dibawah dan 10 cm diatas titik awal. Pasien membungkuk penuh tanpa

menekuk lutut, sehingga jarak antara kedua jari pemeriksa meningkat. Bila

peningkatan jaraknya kurang dari 5 cm menunjukkan fleksi punggung bawah

terbatas (Macrae dan Wright, 1969).

A.7 Uji Provokasi Pada Lumbal Spinal Stenosis

Di dunia kedokteran indikator keluaran klinis suatu terapi masih

memiliki banyak kelemahan. Kriteria evaluasi pasien dengan keluhan nyeri

punggung bersifat subyektif dan bervariasi sehingga muncul ketidakpastian dalam

hal kriteria diagnostik, indikasi dan hasil pembedahan. Saat ini telah banyak

indikator keluaran yang digunakan pada pasien – pasien tersebut seperti gejala,

temuan pada pemeriksaan neurologis dan musculoskeletal, hasil pemeriksaan

pencitraan, pemeriksaan psikologis, status pekerjaan, status kecacatan dan cost-

effectiveness dari suatu terapi. Masing – masing memiliki keterbatasan dalam hal

kemampuannya menilai status dasar pasien dan respon terapi. Penelitian mengenai

keluaran yang ada saat ini terganggu karena banyak yang hanya berfokus pada
commit to user

23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

proses terapi dan tolok ukur keberhasilan berdasar suatu teknik, dibanding

mengukur status fungsional dan kualitas hidup pasien. Baru – baru ini muncul tren

yang menjadikan status fungsional sebagai kunci indikator keluaran untuk pasien

dengan nyeri punggung. Untuk meningkatkan proses evaluasi dikembangkan

berbagai macam sistem skoring yang berorientasi pada fungsi dan gejala yang

diderita pasien, dengan instrumen berupa kuesioner dan uji fungsional pra dan

pasca operasi. Salah satu uji yang telah diperkenalkan adalah uji provokasi dengan

treadmill dan sepeda statis (bicycle). Uji tersebut pada lumbal spinal stenosis

terbukti aman, mudah dilakukan, tidak mahal dan dapat dikuantifikasi (Deen et al,

2000).

Keuntungan uji treadmill yaitu secara langsung menilai neurogenic

claudication yang merupakan gejala utama pasien mencari penanganan medis.

Prosedur ini memiliki validitas dalam hal mengukur apa yang harus diukur, yaitu

kapasitas fungsional pasien dengan neurogenic claudication karena lumbal spinal

stenosis. Hasilnya secara umum berkaitan dengan pemeriksaan lain yang juga

mengukur tingkat berat penyakit seperti derajat stenosis pada pemeriksaan

pencitraan. Sehingga uji treadmill merupakan tolok ukur yang praktis, terfokus,

reproducible, dan valid (Deen et al, 2000; Yukawa et al, 2002).

Deen et al melakukan penelitian prospektif pada 28 pasien dengan

stenosis lumbal dengan uji treadmill. Semua pasien menjalani uji kedua atau

“retest”. Antara kedua tes tidak dilakukan intervensi apapun dan hasilnya uji

treadmill memiliki reproduksibilitas baik dengan variasi sangat kecil, dimana pada

tes ini tidak terjadi “learning phenomenon” yang berupa peningkatan kemampuan
commit to user

24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pasien menjalani uji kedua karena proses adaptasi dan keterbiasaan. Dengan uji

ini didapatkan keyakinan secara klinis bahwa bila terjadi perbaikan setelah terapi

merupakan dampak langsung dari terapi yang memperbaiki status fungsional

pasien (Deen et al, 2000). Barz et al menyatakan uji treadmill merupakan uji yang

valid dengan nilai prediktif tinggi tanpa adanya “learning phenomenon” (Barz et

al,2008).

Dalam melakukan uji treadmill pada aplikasi klinis muncul beberapa isu

antara lain kecepatan dan besarnya sudut inklinasi alat termasuk efeknya terhadap

lordosis lumbal. Berbagai protokol memiliki kesamaan dimana neurogenic

claudication dimunculkan lebih baik melalui ambulasi dengan kecepatan pelan

dan konstan. Peningkatan kecepatan meningkatkan fungsi kardiovaskuler

melebihi performa neuromuskuloskeletal sehingga pasien harus menghentikan uji

sebelum mereka mengeluh nyeri khas klaudikasio yang membuat uji ini menjadi

tidak efektif. Kecepatan jalan yang dianjurkan untuk uji treadmill bervariasi dari

1,5 sampai 5 km/jam (Oguz et al, 2007).

Eun-Su Moon et al tahun 2005 membandingkan akurasi diagnostik dan

nilai prediktif uji treadmill dengan MRI, myelo-CT atau myelografi pada 35

pasien. Mereka mengukur diameter AP terpendek dari dural sac dan dural cross-

sectional area (DCSA) menggunakan MRI dan myelo-CT pada level patologis.

Kemudian mencatat walking capacity melalui time to first symptom (TF) dan total

ambulation time (TAT) selama ambulasi dengan treadmill. Rata – rata DCSA

yang diukur melalui CT adalah 58,3 mm 2 dan melalui MRI 47,6 mm2. Semua

parameter radiologis seperti diameter AP dan DCSA tidak berkorelasi dengan TF


commit to user

25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan TAT. Disimpulkan tidak ada korelasi statistik signifikan antara kapasitas

berjalan pasien dengan beratnya stenosis yang diukur melalui myelografi, myelo-

CT dan MRI (Moon et al, 2005).

Fritz et al melakukan two-staged treadmill test dengan berjalan pada

posisi ekstensi (datar) dan fleksi (naik 15°). Gejala muncul lebih awal pada posisi

ekstensi sedangkan jarak berjalan meningkat dengan fleksi. Mereka juga

menunjukkan bahwa baik pasien stenotik maupun non stenotik berjalan pada

posisi fleksi spinal, dengan rata – rata 8 derajat bila berjalan pada alat treadmill

yang menanjak 15 derajat (Fritz et al, 1997).

Oguz et al membuktikan bahwa pembebanan lebih memberatkan gejala

dibanding postur pada lumbal spinal stenosis pada pemeriksaan menggunakan

treadmill. Pada penelitian tersebut pada pasien yang dilakukan pengurangan berat

badan sebesar 20% melalui alat traksi mampu berjalan pada alat treadmill lebih

lama dibanding bila dilakukan penambahan beban 10 kg. Lumbal traksi membuat

distraksi vertebra, pelebaran foramen intervertebrale, penurunan kongesti vena

dan peningkatan axoplasmic flow (Oguz et al, 2007). Menurut Joffe et al pada

pasien dengan lumbal stenosis pengurangan berat badan yang dianjurkan untuk

rehabilitasi adalah 13 – 25%, sehingga pada penelitian tersebut menggunakan rata

– rata 20% untuk mengurangi berat badan. Penggunaan beban 10 kg didasarkan

bahwa itu adalah beban maksimal rata – rata yang masih mampu ditoleransi

pasien saat sesi latihan. Disimpulkan pembebanan aksial akan menurunkan

sedangkan pengurangan beban akan meningkatkan kapasitas berjalan (Oguz et al,

2007). Tenhula et al melakukan penelitian dan menyimpulkan terdapat korelasi


commit to user

26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kuat (88%) antara hasil uji treadmill dan gejala neurogenic claudication (Tenhula

et al, 2000).

Yukawa et al menyimpulkan hasil uji treadmill konsisten dengan

diagnosis lumbal spinal stenosis dan neurogenic claudication pada 95% pasien

dengan status pra operasi. Pada kondisi pra operasi 95% pasien memiliki hasil

positif (provokasi gejala) pada uji treadmill dan 44% hasil positif pada uji bicycle.

Pada pasien tersebut 76% memiliki sentral stenosis melalui pencitraan, 41%

memiliki luas permukaan dural sac <100 mm2 pada paling sedikit satu level dan

12% memiliki luas <100 mm2 pada paling sedikit dua level. Luas dinilai dengan

MRI atau CT myelografi (Yukawa et al, 2002).

A.8 Pemeriksaan Penunjang

A.8.1 Foto Roentgen Polos

Uji diagnostik sering dimulai dengan foto polos. Selain foto AP dan

lateral, kadang diperlukan foto dinamik. Sebagian besar pasien stenosis adalah

lanjut usia sehingga tampak perubahan spondilosis pada foto. Perhatian khusus

ditujukan jika ada skoliosis dan spondylolisthesis degeneratif. Jika didapatkan

skoliosis diperlukan film long cassette untuk menilai panjangnya deformitas

baik pada bidang koronal dan sagital. Penyempitan foramen intervertebrale dan

kanalis spinalis, beratnya proses degenerasi, ossifikasi struktur ligamen,

ankylosis vertebrae, erosi disc space, atau adanya gambaran abnormal dari

struktur tulang harus dinilai. Harus diingat bahwa perubahan degeneratif berat

dapat terlihat pada pasien asimtomatik (Herkowitz et al, 2011).

commit to user

27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

A.8.2 Computed Tomography dengan atau tanpa Myelography

CT scan merupakan modalitas yang jelek untuk analisis patologi

jaringan lunak. Sensitivitas CT scan dalam mendeteksi spinal stenosis sangat

bervariasi dari 70-100%. Manfaat diagnostik CT scan ditingkatkan dengan

menambah myelografi. Cara invasif dan resiko radiasi membuat modalitas ini

kurang terpilih. Meskipun begitu pada pasien yang tidak dapat menjalani MRI,

memiliki skoliosis berat, atau menjalani instrumentasi spinal sebelumnya

cocok untuk modalitas ini (Herkowitz et al, 2011).

A.8.3 MRI

MRI merupakan modalitas diagnostik terpilih pada pasien dengan

stenosis, karena non invasif, non radiatif dan menyediakan gambaran baik pada

bidang aksial, koronal dan sagital. MRI juga menyediakan gambaran detil

anatomi tulang dan jaringan lunak (Gambar 2.12) (Herkowitz et al, 2011).

Gambar 2.12. Nomenklatur anatomik dari MRI potongan aksial pada level L5-S1.
(Dikutip dari : Herkowitz et al 2011).
commit to user

28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Steurer et al tahun 2011 melakukan systematic literature review dari

publikasi melalui Medline, Embase and Cochrane yang melihat jurnal dengan

publikasi kriteria radiologis baik MRI maupun CT myelography pada lumbal

spinal stenosis dan menyimpulkan beberapa tolok ukur yang sering digunakan

untuk menentukan adanya stenosis, diantaranya adalah diameter anterior –

posterior (AP) dari foramen vertebrale yang diukur dengan mengukur diameter

osseus dari foramen vertebrale pada potongan sagital (dalam mm) pada setiap

level yang dianggap stenosis (Gambar 2.13). Jika ukuran diameter tersebut

kurang 10 mm maka dianggap terdapat stenosis (Steurer et al, 2011).

Gambar 2.13. Potongan sagital vertebra lumbalis melalui titik tengah. Panah hitam
menunjukkan diameter AP foramen vertebrale. (Dikutip dari : Steurer et al 2011)

Diameter transversal diukur dengan mengukur diameter osseus dari

kanalis spinalis pada potongan aksial (dalam mm) pada setiap level yang

dianggap stenosis (Gambar 2.14). Jika ukurannya kurang dari 16 mm maka

dianggap terjadi stenosis.

commit to user

29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2.14. Gambaran vertebra lumbalis potongan aksial pada level L4. Panah putih
menunjukkan diameter transversal dari foramen vertebrale. (Dikutip dari : Steurer et al
2011)

Luas permukaan lintang (cross sectional area) diukur dengan

mengukur luas permukaan dural sac secara langsung dalam foramen vertebrale

(dalam mm2) pada setiap level yang dianggap stenosis (Gambar 2.15). Disebut

stenosis relatif jika ukurannya kurang dari 100 mm2 dan stenosis absolut jika

kurang dari 65 mm (Steurer et al, 2011).

Gambar 2.15. Potongan aksial vertebra lumbalis setinggi L1. Cross sectional area dari
foramen vertebrale ditunjukkan oleh daerah yang diarsir putih.
(Dikutip dari : Steurer et al 2011)

A.8.4 EMG, NCSs Dan SSEPs

Electromyography (EMG), nerve conduction studies (NCSs), dan

somatosensory evoked potentials (SSEPs) bukan pemeriksaan rutin pada spinal


commit to user
stenosis. EMG mencari efek fungsi nervus melalui pencatatan aktivitas elektrik
30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

otot saat istirahat dan dengan stimulasi, menilai disfungsi lower motor neuron

dan tidak mengevaluasi disfungsi sensorik. NCS mengukur kecepatan impuls

dan berguna membedakan perubahan akibat neuropathy vs radiculopathy.

SSEPs mengukur transmisi elektrik dari stimulasi sensorik mulai dari nervus

perifer terus melalui spinal cord dan otak (Herkowitz et al, 2011).

A.9 Diagnosis Diferensial

Neurogenic claudication merupakan ciri khas lumbal spinal stenosis.

Adanya kelemahan motorik berat yang tiba-tiba dan disfungsi bowel dan bladder

harus dipertimbangkan etiologi lain dari cord compression. Meskipun telah

banyak dicoba membuat metode validasi tunggal yang konsisten dalam

mendiagnosis spinal stenosis, tidak satupun uji atau algoritme yang tersedia saat

ini yang akurat mendiagnosis semua pasien dengan spinal stenosis simtomatik.

Diagnosis diferensial spinal stenosis meliputi vascular claudication, lumbar

spondylosis, arthritis ekstremitas bawah, cord compression syndrome, gangguan

neurologis, neuropati perifer, infeksi, tumor, dan lesi pleksus lumbosakral.

Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh yang membantu

menyingkirkan penyebab lain yang menyerupai lumbal spinal stenosis (Chen dan

Spivak, 2003).

commit to user

31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Teori

Hipertrofi Bulging disc Iskemia kronis


facet joint Disc dysfunction
Edema sel neuronal
Degenerative Pembentukan
spondylolisthesis Osteofit
Reaksi inflamasi

Kelemahan otot Hipertrofi ligamen


paralumbal Ligament laxity

Perubahan Biokimiawi :
Peningkatan mediator inflamasi
Perubahan Mekanis : (TNF, IL-1B, IL-6, MMPs,
Penyempitan Lumbar Dural Cross- ICAM dan VCAM)
Sectional Area

Lumbal spinal stenosis


degeneratif Variable perancu :
kondisi psikologis, tingkat
pendidikan, riwayat pekerjaan,
kondisi kebugaran fisik, perbedaan
Uji Provokasi tingkat aktivitas sehari-hari

Berjalan (postur lumbal ekstensi) pada Berjalan (postur lumbal ekstensi) pada
uji treadmill tanpa pembebanan uji treadmill dengan pembebanan aksial

Efek Mekanis : buckling ligamentum flavum, Peningkatan Efek Mekanis : buckling ligamentum
ligamentum longitudinal posterior, dan discus ke flavum, ligamentum longitudinal posterior, dan
arah canalis spinalis, kongesti vena, penurunan discus ke arah canalis spinalis, kongesti vena,
axoplasmic flow, penurunan tekanan arteri penurunan axoplasmic flow, penurunan tekanan arteri

Nyeri muncul lebih lambat Lumbar Dural Cross-Sectional


Jarak tempuh jalan lebih besar
Area semakin menyempit

Nyeri muncul lebih cepat


Jarak tempuh jalan berkurang

Keterangan : variabel yang diteliti, variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.16. Kerangka Teori

commit to user

32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pada populasi lanjut usia terjadi proses degenerasi vertebra lumbal akibat

perubahan mekanis dan biokimiawi. Hipertrofi facet joint, disfungsi diskus,

degeneratif spondylolisthesis, pembentukan osteofit, hipertrofi ligamen dan

kelemahan otot paralumbal sebagai stabilisator vertebra lumbal menyebabkan

perubahan mekanis, sedangkan iskemia kronis, edema sel – sel neuronal dan

reaksi inflamasi menyebabkan perubahan biokimiawi. Perubahan degeneratif

tersebut bermanifestasi sebagai lumbal spinal stenosis degeneratif dengan gejala

klinis nyeri neurogenic claudication yang berhubungan dengan postur tulang

belakang ekstensi. Pada posisi tersebut terjadi perberatan stenosis canalis lumbalis

yang sudah terjadi. Saat berjalan (posisi lumbal ekstensi) terjadi efek mekanis

berupa buckling dari ligamentum flavum, ligamentum longitudinal posterior, dan

discus ke arah canalis spinalis, kongesti vena vaskuler, penurunan axoplasmic

flow, dan penurunan tekanan arteriole pembuluh darah yang mensuplai sel

neuronal. Efek biokimiawi berupa peningkatan mediator inflamasi (seperti TNF,

IL-1B, IL-6, MMPs, ICAM dan VCAM) akan menimbulkan edema jaringan.

Akibat dari proses tersebut adalah terjadinya penyempitan pada lumbar dural

cross-sectional area yang secara klinis bermanifestasi sebagai nyeri neurogenic

claudication. Pasien dengan lumbal spinal stenosis mengalami nyeri punggung

dan atau nyeri tungkai radikuler saat berjalan sehingga cenderung membungkuk

(lumbal fleksi) untuk mengurangi rasa nyeri. Seiring memberatnya stenosis akan

terjadi keterbatasan jarak tempuh berjalan. Gejala – gejala tersebut akan

bertambah berat bila pasien menerima pembebanan sesuai sumbu aksial tubuh

(Gambar 2.16).
commit to user

33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah :

1. Ada pengaruh uji provokasi terhadap onset nyeri pada pasien dengan

lumbal spinal stenosis degeneratif.

2. Ada pengaruh uji provokasi terhadap jarak berjalan pada pasien dengan

lumbal spinal stenosis degeneratif.

commit to user

34

Anda mungkin juga menyukai