MONOGRAF ALDEHIDA
Oleh:
KELOMPOK VIII
KELAS B
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada tuhan yang maha esa atas
segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkonstribusi memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................iii
DAFTAR TABEL......................................................................................vii
BAB 1 PENDAHULUAN
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Contoh Reaksi Oksidasi Alkohol Primer Menggunakan Piridin Chloro
Cromat (Pcc).............................................................................................7
iii
Gambar 4.2 Struktur Metil Salisilat............................................................................39
Gambar 4.3 Vanilin.....................................................................................................40
iv
Gambar 4.22 Pengaruh Penambahan Mol Formaldehida Terhadap Nilai Berat Jenis
Perekat Lrf..............................................................................................82
Gambar 4.23 Pengaruh Penambahan Mol Formaldehida Terhadap Viskosita Perekat
Lrf...........................................................................................................83
Gambar 4.24 Pengaruh Penambahan Mol Formaldehida Terhadap Nilai Sisa
Penguapan Perekat Lrf............................................................................83
Gambar 4.25 Grafik Ft-Ir Perekat Lrf.........................................................................84
Gambar 4.26 Struktur Senyawa –Senyawa Bibenzil Alami.......................................88
Gambar 4.27 Skema Sintesis Senyawa Bibenzil Alami.............................................89
Gambar 4.28 Elemen Volum Dalam Butir Urea.......................................................103
Gambar 4.35 Pengaruh Waktu Pembuatan Resin Terhadap Kadar Minyak Dan
Efisiensi Resin Pada Hasil Bawah...........................................................120
v
Gambar 4.40 mekanisme diklorokarbena dan penyerangan diklorokarbena pada
anion fenoksi................................................................................................163
Gambar 4.43 reaksi hidrolisi kloroform oleh ion hidroksil (OH -)...........................165
Gambar 4.45 kromatogram lapis tipis (tlc) Hasil reaksi semi-sintetis vanili
Melalui reaksi reimer-teiman...................................................................169
gambar 4.46 struktur senyawa n o-vanili 6 dan vanili 2...........................................169
Gambar 4.47 efektifitas pemblokkiran posisi orto dari gugus fenoksi oleh a.etanol
b.metanol..................................................................................................172
Gambar 4.48 gambaran perbedaan posisi masuknya elektrofil pada posisi orto
dan para......................................................................................................173
vi
DAFTAR TABEL
Bercabang....................................................................................................6
Tabel 4.1 Hasil Uji Aktifitas Antibakteri Senyawa Calkon Terhadap Bakteri E.
Coli (Gram -) Dan B. Subtillis (Gram +)...............................................................59
Tabel 4.2 Persyaratan Mutu Fenol Formaldehida Cair Untuk Perekat Kayu
Lapis.......................................................................................................76
Tabel 4.3 Hasil Uji Kenampakan Perekat Lrf........................................................79
Tabel 4.4 Pencirian Gugus-Gugus Fungsi Perekat Lrf..........................................83
Tabel4.5. Hasil Ekstraksi Kulit Kayu Oinus Merkusii Jungh Et De Vvriese
Dengan Pelarut Air.....................................................................................95
Tabel 4.6 Hasil Analisa Sifat Fisik-Mekanik Papan
Serat............................................................................................................96
Tabel4.7 Mengetahui Pengaruh Penambahan Tanin Fornaldehida Terhadap Sifat
Fisik Da Mekanik Papan Serat...................................................................97
Tabel 4.9 Nilai Parameterproses Hasil Simulasi Pada Berbagai Suhu Reaksi
(Ph=4, Ukuran Butir = 14 Mesh,R=1:1,2)...............................................105
Tabel 4.10 Nilai Parameter Proses Hasil Simulasi Pada Variasi Ukuran Butir
(T=15oc,Ph=4,R=1:1,2)............................................................................108
Tabel 4.11 Nilai Parameter Proses Hasil Simulasi Dan Data Pada Variasi Ph
(T=15oc,Ukuran Butir = 14 Mesh,R=1:1,2).............................................108
Tabel 4.12 Diameter Rata-Rata Mikrokapsul Pada Variasi Waktu Pembuatan
Resin Uf...................................................................................................115
vii
Tabel 4.13 impor akrolein Indonesia..................................................................120
viii
BAB I
DEFINISI ALDEHID
Pada tahun 1828 Wohler menemukan bahwa urea, suatu senyawa organik,
yangsebelumnya ditemukan dalam urin manusia, dapat disintesis dari senyawa
anorganik,ammonium sianat. Hal ini makin melemahkan teori vitalitas.Karbon ini
menempati bagian utama dalam studi ilmu kimia karena karbon adalahatom yang
unik karena karbon dapat terikat secara kovalen dengan atom karbon lain
danterhadap unsur-unsur lain dengan berbagai macam cara. Senyawa-senyawa
karbon jugabervariasi yaitu dari senyawa yang paling sederhana yaitu metana
(CH4), sampai denganasam nukleat yang menjadi pengemban kode
genetik.Dalam kimia organik selain unsurkarbon (C), unsur-unsur yang sering kali
ada adalah hidrogen (H), oksigen (O), dan unsurhalogen (Cl, Br, I), Nitrogen (N),
S dan P. walaupun senyawa organik terbentuk dari sejumlahkecil unsur akan
tetapi keberadaan senyawa organik sangat berlimpah. Sekarang ini kitahidup di
jaman karbon karena setiap hari kita dikelilingi oleh senyawa-senyawa karbon,
1
derethomolog adalah CH4, CH3CH3, CH3CH2CH3 dan seterusnya, atau
CH3OH, CH3CH2OH,CH3CH2CH2OH dan seterusnya.
2. Aldehid dengan 3-12 atom karbon berwujud cair pada suhu kamar dengan
bau sedap.
3. Aldehid dengan atom karbon lebih dari 12 berwujud padat pada suhu
kamar.
2
SIFAT KIMIA ALDEHID
1. Oksidasi
2. Reduksi
Reduksi aldehid oleh seng dan asam klorida akan menghasilkan alkohol
primer.
3. Kondensasi Aldol
3
BAB II
TATA NAMA
a) Tentukan rantai utama (rantai dengan jumlah atom karbon paling panjang
yang terdapat gugus karbonil.Contoh :
4
b) Tentukan substituen yang terikat pada rantai utama.Contoh :
e) Awalan di-, tri-, sek-, ters-, tidak perlu diperhatikan dalam penentuan
urutan abjad sedangkan awalan yang tidak dipisahkan dengan tanda hubung
(antara lain : iso-, dan neo-) diperhatikan dalam penentuan urutan
abjad.Contoh :
5
2.2 Tata nama Trivial
Berikut ini daftar nama trivial beberapa aldehida yang tidak bercabang:
Tabel 2.2 Rumus Struktur Dan Nama Trivial Aldehid Tidak Bercabang
6
BAB III
REAKSI
Rumus umum:
Contoh:
etanol asetaldehid
7
Jika yang digunakan sebagai alkohol primer adalah etanol, maka
akan dihasilkan aldehid etanal, CH3CHO. Persamaan lengkap untuk
reaksi ini cukup rumit, dan anda perlu memahami tentang persamaan
setengah-reaksi untuk bisa menuliskannya. Persamaan setengah reaksi
dapa dituliskan sebagai berikut.
8
Alkil Halida
O
O
H2/Pd-BaSO4
R C
R C
H
Cl
Contoh:
Aril Halida
O O
LiAlH[OC(CH3)3]3
Ar C C
Cl H
Aldehida
Contoh:
O O
H2/Pd-BaSO4
CH2 C CH2 C
Cl
H
Fenil asetaldehida
9
Adanya Hidrogen berlebih berakibat pada pembentuan alkohol
primer
Rumus umum :
Co2(CO)3 R – CH2 – CH2 – CHO
/
R – CH = CH2 + CO + H2 R – CH – CH3
0
125 C CHO
20 atm
Contoh:
Co2(CO)3
CH3 – CH = CH2 + CO + H2 CH3 – CH2 = CH2 – CHO
propena butanal
Contoh:
10
Mekanisme reaksi ozonolisis dapat terjadi dalam dua tahap. Pada
tahap pertama, alkena bereasi dengan ozon membentuk intermediet
molozonida (ozon primer)nyang kemudian mengalami pemutusan
cincin membentuk karbonil oksida. Pada tahap kedua, terjadi
pembentukan ozonida. Ozonida tersebut kemudian bereaksi dengan
dimetil sulfida menghasilkan dua senyawa karbonil (aldehid atau
keton). Peran dimetil sulfida dalam reaksi ozonolisis adalah sebagai
reduktor yang dapat mereduksi ozonida menjadi dimetil sulfoksida
(DMSO).
11
3.1.5 Oksidasi metil benzene
Cl2/Panas H2O
Ar CH3 ArCHCl2
Ar CHO
CrO3/Ac2O
Ar CH3 ArCH(OOCCH3)2
H2O
Contoh:
O
Cl2 H2O
Br CH3 Br CHCl2 Br C
Panas CaCO3
H
P brom toluena
12
butoksialuminium hidrida pada suhu -78oC, akan terbentuk senyawa
aldehida. Perhatikan gambar berikut ini.
- Dari glikol
Reaksi umum:
Pb(OOC-CH3)4
R CH CH R’ RCHO + R’CHO +
atau HIO4
OH OH
Contoh:
-
- Dari Alkena
Reaksi umum:
13
O3 O H2 / Pt R -
CHO
R – CH = CHR’ R – CH HCR’ R’ –
CHO
O–O +
H2 O
Contoh:
O3 O H2/Pt CH3–
CHO
CH3 – CH = CH – CH3 CH3 – CH HC – CH3
CH3–CHO
O–O + H2
Cl
R C N + HCl R C NH
Cl
14
Sintesis aldehida Bouveault merupakan reaksi kimia yang mengubah
alkil halida primer menjadi aldehida dengan tambahan satu karbon.
Mekanisme reaksi
O O
HCl + CO H C C + HCl
AlCl3/CuCl2
Cl H
Formil Klorida
15
Reaksi umum:
16
Gambar 3.5 Reaksi reduksi ester oleh DIBAH
Reaksi umum:
Reaksi umum:
17
3.2 Reaksi Senyawa
18
Nukleofil yang bermuataan listrik negatif biasanya lebih reaktif dari
nukleofil yang bermuatan netral.
HOH (air)
ROH (alkohol)
NH3 (amonia)
RNH2 (amina)
19
4. Adisi hidrazina
5. Adisi alkohol
6. Reaksi Wittig
7. Reaksi Cannizzaro
8. Adisi turunan amonia
9. Adisi Grignard dan Hidrida (Pembentukan Alkohol)
10. Adisi tiol
Rumus umum :
O OH
║ H+
R – C – H + H2O R – C – OH
1. Berkatalis asam
20
2. Berkatalis basa
O OR
║ CN-
R – C – H + HCN RCH – CN
21
Senyawa aldehida dapat bereaksi dengan HCN menghasilkan
senyawa sianohidrin. Contohnya benzaldehida bereaksi dengan
HCN menghasilkan mendelotrinil (88%).
22
sekunder yang diadisi, produknya adalah suatu enamina, R2N-
CR=CR2. Kedua produk ini kelihatan berbeda, karena salah satu
produk menghasilkan ikatan rangkap C=C, dan produk yang lain
menghasilkan ikatan rangkap C=N. namun demikian, keduanya
merupakan reaksi adisi nukleofilikdi mana produk antaranya
merupakan tetrahedral yang kemudian aan mengeluarkan satu
molekul air dengan memebentuk ikatan rangkap baru dari C=Nu
atau C=C. Tahapan mekanisme reaksi adisi dapat dilihat seperti di
bawah ini. Serangan nukleofilik pada aldehida oleh pasangan
elektron suatu amina akan menghasilkan intermediet tetrahedral
dipolar, kemudian proton dari nitrogen akan berpindah ke atom
oksigen menghasilkan produk senyawa netral karbinoamina.
23
1) Mekanisme amina pimer (10) membentuk imina
24
4) Adisi nukleofilik hidrazina (reaksi Wloff-Kishner)
Rumus umum :
25
5) Adisi nukleofilik alkohol (pembenukan asetal)
Rumus umum :
O OR OR
+ +
║ ROH ROH
R–C–H R–C–H R – C – H + H2 O
H H
OH OR
26
Pada adisi alkohol pada gugus karbonil, pertama akan
menghasilkan hidroksi eter atau dikenal dengan nama hemiasetal
(halfasetal). Ini analog dengan pembentukan gem-diol pada adisi
aldehida dengan air. Selanjutnya, hemiasetal akan bereaksi dengan
alkohol menghasilkan produk asetal. Seluruh tahapan reaksi
pembentukan asetal berlansung secara reversible. Asetal sangat
bermanfaat karena biasa digunakan sebagai pelindung gugus
aldehida dalam reaksi sintesis senyawa organik.
27
6) Reaksi Wittig
Aldehida dapat diubah menjadi alkana melalui reaksi Wittig.
Dalam reaksi ini pereaksinya adalah ylide fosforus,
R2C¯P+(C6H5)3 atau biasa disebut dengan fosforan. Adisi ini
membentuk intermediet dipolar yang disebut betaina. Intermediet
ini tidak dapat diisolasi dan segera terdisosiasi menjadi alkena dan
trifenilfosfin oksida. Akibatnya, terjadi penggantian dari gugus
karbonil dengan senyawa organic yang awalnya terikat pada fosfat.
28
Tahapan Reaksi Wittig :
2. Pembentukan Ylida
3. Pembentukan Alkena
7) Reaksi Canizzaro
29
Suatu senyawa aldehida yang tidak memiliki hidrogen-α, jika
berada pada suasana basa, akan mengalami reaksi oksidasi-reduksi
sendiri dengan menghasilkan campuran alkohol dan garam dari
asam karboksilatnya. Reaksi ini dikenal dengan nama reaksi
Canizzaro.
30
8) Adisi turunan amonia
Senyawa turunan amonia dapat diadisi pada gugus karbonil
membentuk senyawa yang sangat penting untuk mengidentifikasi
senyawa aldehida. Produk yang diperoleh mengandung ikatan
rangkap dau antara nitrogen dan karbon, yang didapat dari
eliminasi molekul air. Beberapa pereaksi dan produk yang
dihasilkan ditunjukkan dalam reaksi berikut:
31
Adisi ion hidrida dari LiAlH4 dan NaBH4, dan air atau asam
menghasilkan suatu alkohol.
32
Pemutusan Alanin pada metabolisme tubuh manusia
33
3.2.2 Reaksi Oksidasi
34
Berikut adalah beberapa bentuk reaksi oksidasi aldehid.
35
mengalami self-addition (adisi mandiri) membentuk 3-hidroksi butanal.
Ondensasi aldol terbagi atas dua macam, yaitu kondensasi diri dan
kondensasi silang.
Kondensasi Diri
Kondensasi Silang
Berkatalis basa
Tahap 1
Tahap 2
36
Tahap 3
Reaksi aldl jika diteruskan pada suhu yang relative tinggi, akan
berlanjut menjadi reaksi dehidrasi. Selanjutnya akan terbentuk produk
akhir berupa senyawa α, β-aldehida atau keton yang tidak jenuh. Reaksi
aldol yang berlangsung sampai terjadi dehidrasi tersebut dinamakan
reaksi aldo-kondensasi (karena terjadi pelepasan molekul kecil seperti
air, metanol, etanol, atau ammonia). Apabila dua senyawa aldehida atau
ketonnya masing-masing berbeda atau terdiri dari campuran antara
senyawa aldehida dan keton yang berbeda, maka akan terjadi reaksi
cross-aldol, dan jika berlanjut dapat menyebabkan reaksi cross-aldol
kondensasi.
37
Dehidrasi aldol
38
BAB IV
SENYAWA KOMERSIAL
39
Gambar 4.1 Eugenol
40
C.Buah Vanilla planivolia (vanili)
Tanaman ini termasuk famili archicaceae dan mengandung vanilin 2-3%.
Vanilin (4-hidroksi-3-metoksi benzaldehid) merupakan senyawa aldehid aromatik.
Tumbuhan ini merupakan sumber vanilin alami. Vanilin sintesis dapat disediakan
antara lain dari eugenol, anitol, kurkumin, dan lignin dari kayu atau jerami.
Namun mendapatkan vanili dari hasil isolasi buah vanila secara komersial lebih
menguntungkan, sehingga menanam pohon vanila lebih menguntungkan untuk
memproduksi vanili.Vanili adalah turunan benzaldehid dan dapat langsung
digunakan untuk sintesis flavonoid (Ismiyarto,1998). Kalimantan Barat sampai
sekarang belum dikenal sebagai penghasil vanili. Namun di masa mendatang perlu
dipertimbangkan untuk budidaya tanaman vanili di Kal-Bar. Sangat mungkin
diwilayah Kal-Bar yang luas ada wilayah yang cocok untuk tanaman vanili.
41
menjadi turunan benzaldehid, asam benzoat turunan asetofenon, epoksida dan
Iain-Iain sesuai senyawa organik yang akan dibuat.
42
Gambar4.5 Struktur Anisaldehid
F.Kunyit (Curcuma domistica)
Kunyit atau kunir sangat terkenal di Indonesia. Di samping digunakan
untuk campuran masakan, kunyit juga digunakan sebagai campuran jamu untuk
meperlancar air susu ibu yang baru melahirkan, kosmetik untuk menambah
kecantikan kulit wanita (lulur) dan banyak lagi yang lainnya. Kunyit
mengandung kurkumin cukup tinggi. Kurkumin selain pada kunyit terdapat pula
pada empon-empon yang lain (temu lawak, temu ireng, dan Iain-Iain). Kurkumin
dapat didegradasi menjadi feruloil metana dan asam ferulat. Dari kedua senyawa
ini dapat diturunkan senyawa benzaldehid sebagai bahan dasar sintesis flavonoid,
alkaloid dan Iain-Iain.
F. Lignin
Lignin adalah senyawa polimer aromatik yang terdapat pada kayu atau
jerami. Di daiam kayu, lignin membentuk senyawa koordinasi dengan selulosa
yang berfungsi untuk menguatkan kayu. Karena itu, lignin juga didapatkan pada
limbah pabrik kertas yang menggunakan bahan dasar kayu atau jerami.
Kandungan lignin di dalam kayu dari limbah pabrik kertas cukup besar, antara 20-
30%. Hasil degradasi lignin dapat menghasilkan vanilin dan turunan asam
benzoat. Mengingat jumlah lignin pada alam cukup besa£ÿm$ka lignin dapat
diperhitungkan sebagai sumber benzaldehid dan turunan asam benzoat (Lamsuri,
1996). Kalimantan Barat mempunyai perusahaan penggergajian kayu sangat
banyak dan merwpakan andalan sumber pendapat Kal-Bar. Oleh karena itu limbah
serbuk gergaji industri kayu sangat melimpah, sehingga penelitian tentang lignin
dari serbuk gergaji menjadi sangat potensial dan sangat bermanfaat.
43
4.2 Produk Yang Mengandung Aldehid
A.Formalin
Formaldehid merupakan bahan yang sering digunakan dalam industri
kimia sehingga produksi formaldehid berkembang pesat sejak sekade pertama
abad 20. Perkembangan ini salah satunya karena formaldehid dapat dibuat dengan
proses yang relatif sederhana dan dengan biaya yang relatif murah.
Sifat–sifat yang membuat formaldehid bernilai disebabkan oleh reaktifitas
kimianya yang tinggi, warna, kestabilan dan kemurniannya. Sebagian besar
formaldehid digunakan dalam industri adhesive sintesis, diantaranya adalah
sebagai bahan baku utama untuk produksi adhesive yang digunakan untuk
plywood.
2. Proses Reaksi
Udara, steam dan metanol gas bercampur rata di mix gas pada suhu 140 oC
lalu masuk ke reaktor (RE) dengan melewati mix gas filter (MGF) untuk menjaga
agar tidak ada tetes-tetes cairan (kondensat) masuk ke reaktor.
44
Pada saat start operation, temperatur katalis dinaikkan oleh heater sebagai
pemanas awal sampai suhu 400–450°C, setelah itu heater dimatikan sehingga
suhu katalis naik dengan sendirinya sampai suhu operasi yang diinginkan karena
adanya reaksi eksoterm. Di dalam reaktor terjadi reaksi pembuatan gas
formaldehid dengan bantuan katalis perak pada suhu operasi 650–700°C. Reaksi
yang terjadi sebagai berikut:
1. Reaksi oksidasimetanol
CH3OH + ½ O2 ——–> CH2O + H2O -37 kcal/mol
2.Dehidrogenasi metanol
CH3OH ———> CH2O + H2 +21 kcal/mol
Gas formaldehide yang terbentuk kemudian di-spray dengan larutan crude
formalin 44% dengan temperature 80 oC untuk menurunkan suhu gas formaldehid
sampai dibawah 250 oC. Spray crude formalin ini juga dapat menyebabkan
terjadinya reaksi samping yaitu terbentuknya paraform dan asam format (formic
acid). Reaksi samping yang terjadi di dalam reaktor yaitu:
1. Reaksi pembentukan paraform (methylen glycol)
CH2O + H2O ———> HOCH2OH (methylen glycol)
atau polymer dapat ditulis :
n CH2O + H2O ———-> HO(CH2O)n H
2. Reaksi pembentukan asam format (formic acid)
2 CH2O + H2O ———-> HCOOH + CH3OH
(asam format) (methanol)
3. Proses Absorbsi
Gas formaldehide dari reaktor (RE) dialirkan ke bagian bawah packed
tower . Gas ini dikontakkan dengan larutan formalin 44% suhu 40 oC yang
dialirkan dari atas menara dengan bantuan distributor cairan agar larutan formalin
yang digunakan tersebar secara merata didalam packed tower dan membasahi
seluruh permukaan raschig ring sehingga penyerapan maksimal.
45
Hasil penyerapan di packed tower berupa formalin cair masuk ke control
tank (CT). Sisa gas yang belum terserap di packed tower masuk ke dalam bubble
cap tower yang akan diserap oleh pure water dari atas menara. Sisa dari
penyerapan itu yang masih lolos nantinyadibakardi flare stack yang sebelumnya
melewatidemister.Hasil penyerapan dari bubble cap tower masuk ke control tank
(CT)..
4.Proses pendinginan
Larutan crude formalin pada control tank (CT) temperaturnya ±
80°C,karena temperaturnya masih relatif tinggi maka didinginkan lagi dengan
dilewatkan cooler (CO). Cooler yang digunakan yaitu frame and plate dengan
temperatur keluar 40°C. Selain itu agar formalin yang terbentuk sempurna, setelah
melewati cooler larutan tersebut masuk ke crudeformalin filter (CF) baru masuk
ke crude formalin tank . Kadar formalin di crude formalin tank (T-03) sekitar 43-
44%.
5.Proses pengenceran
Untuk memperoleh formalin dengan kondisi standar yang digunakan oleh
PT. PAI yaitu formalin dengan kadar 37,3% maka formalin dari crude formalin
tank diencerkan dengan menggunakan pure water di mixing tank . Setelah
terbentuk larutan formalin 37,3% disimpan dalam tangki penyimpanan.
46
rasio mol PCC 1: 2. Produk oksidasi diekstraksi dengan dietil eter dan diuapkan,
menghasilkan 71,3% produk oksidasi dengan indeks bias 1,57. Data FT-IR
menunjukkan penyerapan kuat karbonil (C = O) pada bilangan gelombang 1724,2
cm-1 dan penyerapan CH aldehid pada 2723,3 cm-1, diperkuat oleh data GC-MS
pada tR = 20,797 menit yang menunjukkan ion molekuler pada m / e = 194 dan
puncak pangkal pada m / e = 151 yang mewakili struktur 3- (3,4-dimetoksifenil) -
propanal.
Minyak cengkeh mengandung komponen utama yaitu eugenol (80%-
90%) dan kariofilena (Anwar, 1994). Saat ini usaha pemanfaatan eugenol mulai
banyak dilakukan. Dua senyawa turunan eugenol yang banyak dimanfaatkan
adalah metileugenol dan metilisoeugenol. Metileugenol dapat dibuat dari reaksi
metilasi senyawa eugenol dan dapat digunakan sebagai sex attractant dalam
jumlah sedikit (Shorey, 1994). Metileugenol memiliki gugus allil yang dapat
diubah menjadi gugus alkohol. Fathoni (2005) telah berhasil mensintesis senyawa
3-(3,4-dimetoksifenil)-propanol dari metileugenol melalui reaksi hidroborasi
dengan pelarut dietil eter dan menghasilkan rendemen sebesar 81,29%, senyawa
alkohol yang diperoleh dapat dioksidasi lebih lanjut menjadi senyawa 3-(3,4
dimetoksifenil)-propanal, merupakan senyawa antara dalam sintesis antibiotik C-
9154. Keberhasilan untuk menghasilkan senyawa aldehid dari alkohol sangat
bergantung pada oksidator yang digunakan, bila oksidator yang digunakan terlalu
kuat maka oksidasi akan berjalan terus sampai terbentuk asam karboksilat (Smith,
1994). Oksidator-oksidator yang dapat digunakan untuk mengoksidasi alkohol
menjadi aldehid adalah reagen Jones dan reagen Collins, tetapi penggunaan
reagen Jones pada proses oksidasi ini akan sangat rawan karena sifatnya yang
asam sehingga dapat mengoksidasi aldehid menjadi asam karboksilat dalam
kondisi oksidator berlebih (Sastrohamidjojo dan Pranowo, 2001; Wade, 1987).
Sedangkan reagen Collins memiliki sifat yang higroskopis dan membutuhkan
jumlah oksidator yang banyak sehingga kurang efisien dari segi proses. Oksidator
lain yang juga dapat digunakan dalam reaksi oksidasi senyawa alkohol menjadi
aldehid adalah Piridinium Klorokromat (PCC) karena tidak menyebabkan
terjadinya oksidasi lebih lanjut membentuk asam karboksilat (Morrison, 1987).
47
Keunggulan lain dari oksidator PCC adalah hasil yang memuaskan baik secara
kualitas maupun kuantitas, prosedur sintesis yang mudah serta sifat PCC
cenderung stabil (Servi, 2002).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi reaksi oksidasi adalah kondisi
reaksi, perbandingan mol reaktan dan oksidator, serta waktu dan suhu reaksi.
Rowlands (2002) menjelaskan dalam reaksi oksidasi alkohol dengan PCC sebagai
oksidator memerlukan kondisi reaksi bebas air karena dapat menyebabkan
terjadinya oksidasi berlanjut menjadi asam karboksilat, sehingga pelarut yang
biasa digunakan adalah pelarut organik. Terkait dengan perbandingan mol,
Busroni (2000) telah melakukan reaksi oksidasi alkohol sekunder menggunakan
oksidator PCC dengan perbandingan mol 2:1 (PCC : alkohol) dan diperoleh
senyawa keton dengan rendemen mencapai 75,92 %. Suhu dan waktu reaksi juga
mempengaruhi jumlah produk yang dihasilkan dengan memperpanjang waktu
reaksi dan mengatur suhu reaksi maka produk yang dihasilkan semakin bagus.
48
Cr=O akan terputus menjadi ikatan tunggal dan nukleofil Cl- akan menyerang
atom Cr yang bermuatan parsial positif. Tahap selanjutnya adalah penambahan
piridin pada suhu reaksi 0ºC, suhu reaksi dibuat rendah karena reaksi yang
melibatkan senyawa krom dengan piridin adalah reaksi eksotermik. Untuk
mekanisme reaksi yang terjadi pasangan elektron bebas pada piridin bertindak
sebagai nukleofil dan akan menyerang atom hidrogen pada senyawa kromat
membentuk garam piridinium klorokromat (PCC). Produk dari sintesis ini adalah
padatan berwarna jingga dengan rendemen sebesar 85 % dan titik leleh 160 0C–
163 0C. Secara keseluruhan reaksi yang terjadi adalah:
CrO3 + HCl + C5H5N C5H6N+ CrO3Cl-
2. Oksidasi 3-(3,4-dimetoksifenil)-propanal
Ke dalam labu leher tiga dimasukkan 4,74 gram PCC (0,022 mol) dalam
29 mL diklorometan dan 2 mL senyawa 3-(3,4-dimetoksifenil)-propanol(0,011
mol) dalam 11 mL diklorometan, direfluks selama 3 jam dengan suhu reaksi 30 ºC
dan akan terbentuk pasta hitam. Selanjutnya larutan hasil didekantir. Pasta hitam
yang terjadi diekstrak dengan dietil eter 3x20 mL. Semua filtrat dicampur dan
dimasukkan Na2SO4 anhidrat, disaring dan dievaporasi, kemudian diukur indeks
bias larutan. Untuk mengetahui hasil oksidasi dilakukan analisis dengan
Spektrofotometer FT-IR dan GC-MS.
49
Pada reaksi oksidasi senyawa 3- (3,4-dimetoksifenil)-propanol dengan
oksidator Piridinium Klorokromat kondisi reaksi oksidasi harus bebas air, apabila
terdapat air maka aldehid yang dihasilkan akan teroksidasi lebih lanjut
membentuk produk samping suatu senyawa asam karboksilat. Reaksi oksidasi
senyawa 3- (3,4-dimetoksifenil)-propanol berlangsung melalui pembentukan
senyawa antara ester kromat. Reaksi yang terjadi adalah atom Cr akan diserang
oleh nukleofil yang berasal dari gugus –OH pada 3-(3,4- dimetoksifenil)-propanol
dan gugus Cl akan lepas sehingga membentuk suatu senyawa kromat ester.
Produk antara yang terjadi selanjutnya mengalami reaksi subtitusi intramolekuler
menghasilkan larutan aldehid dan garam krom (IV) yang telah tereduksi
membentuk pasta hitam yang mengendap didasar labu.
Senyawa hasil reaksi oksidasi 3-(3,4- dimetoksifenil)- propanol memiliki
rendemen sebesar 71,3% dengan indeks bias sebesar 1,57, secara lengkap
mekanisme reaksi yang terjadi sebagai berikut:
50
Gambar 4.8 Spektra FTIR Senyawa 3-(3,4-Dimetoksifenil)-Propanol
3. 3-(3,4-dimetoksifenil)-propanol
Berdasarkan kedua spektra FT-IR tersebut, telah terjadi konversi dari
gugus alkohol menjadi aldehid, hal ini ditunjukkan dengan munculnya serapan
pada bilangan gelombang 1724,2 cm-1 yang menunjukkan gugus karbonil C=O
diperkuat dengan munculnya puncak pada bilangan gelombang 2723,3 cm-1 yang
51
merupakan serapan khas dari gugus C-H aldehid pada spektra FT-IR hasil
oksidasi dan serapan-serapan tersebut tidak muncul pada spektra FT-IR senyawa
3-(3,4-dimetoksifenil)-propanol. Serapan lain yang terdapat pada spektra hasil
oksidasi adalah serapan pada bilangan gelombang 1515,9 cm-1 yang
menunjukkan serapan dari gugus aromatik, diperkuat dengan adanya serapan pada
bilangan gelombang 810 cm-1 yang menunjukkan adanya substitusi pada gugus
aromatik tersebut. Serapan pada 2931,6 cm-1 menunjukkan vibrasi Csp3-H.
Serapan pada 1330,9 cm-1 menunjukkan adanya gugus metil dan gugus metilen
ditunjukkan pada serapan 1419,5 cm-1. Gugus metoksi (-OCH3) ditunjukkan oleh
serapan rentangan C-O yang terjadi pada bilangan gelombang 1234,2 cm-1.
Berdasarkan spektra FTIR yang didapat, diketahui bahwa senyawa hasil oksidasi
senyawa 3-(3,4-dimetoksifenil)-propanol diperkirakan memiliki gugus aldehid,
metoksi dan cincin aromatis. Kemudian untuk mengetahui struktur dari senyawa
hasil oksidasi dilakukan analisis dengan menggunakan instrument GC-MS. Alat
GC-MS dioperasikan pada suhu kolom 60-280 0C dengan kenaikan temperatur 10
0C /menit, gas pem-bawa helium, fase diam RTX-5 dengan panjang 30 m dan
menggunakan detektor FID bersuhu 280 0C.
52
Gambar 4.11Spektrogram Senyawa 3-(3,4- dimetoksifenil)-propanal
Dari hasil analisis GC-MS dapat terlihat untuk puncak kromatogram
nomor 3 dengan waktu retensi 20,797 menit adalah puncak senyawa 3-(3,4-
dimetoksifenil)- propanal dengan m/e = 194 dan memiliki kelimpahan sebesar
64,5 %, sedangkan senyawa 3-(3,4-dimetoksifenil)-propanol yang belum bereaksi
ditunjukkan pada puncak nomor 7 dengan m/e =196 dan kelimpahan sebesar =
2,3% (tR= 22,1 menit). 2,3% (tR= 22,1 menit).
53
Dari pola fragmentasi tersebut, didapatkan puncak dasar pada m/e = 151
dan mengalami stabilisasi struktur karena adanya resonansi gugus fenil sebagai
berikut:
54
pergeseran kimia (δ) 7,99 ppm. Uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa
senyawa 3-methoxy-4-hydroxychalcone berpotensi sebagai antibakteri melawan
bakteri E. coli dan B. subtilis.
Calkon merupakan salah satu kelompok senyawa flavanoid yang
keberadaannya di alam sangat terbatas (Eryanti et al., 2010). Beberapa senyawa
calkon yang berhasil diisolasi menunjukkan aktivitas biologis yang sangat
bermanfaat, antara lain sebagai antitumor, antiinflamasi, antimikroba dan tabir
surya (Achanta et al., 2006; Kim et al., 2007; Kim et al., 2008; Prasad et al.,
2008). Begitu pula Jasril et al., (2012) berhasil mensintesis senyawa
bromocalkonpiridin dan menunjukkan aktivitasnya sebagai antibakteri. Sintesis
senyawa calkon umumnya dilakukan melalui reaksi kondensasi aldol silang atau
lebih khusus reaksi kondensasi Claisen-Schmidt (Palleros, 2004) yaitu reaksi
antara suatu aldehid aromatik dengan suatu keton dalam kondisi asam maupun
basa. Dwi (2014), telah mensintesis senyawa 3-metoksi-4-hidroksicalkon melalui
reaksi kondensasi aldol menggunakan pelarut etanol dengan bahan dasar vanilin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen produk diperoleh sebesar 74,26 %
tetapi membutuhkan waktu reaksi yang cukup lama yaitu selama 6 jam.
Pada peelitian ini, sintesis senyawa 3-metoksi-4-hidroksicalkon dilakukan
dengan metode solvent-free/teknik grinding (penumbukan) yang merupakan salah
satu metode yang sesuai dengan prinsip kimia hijau (green chemistry). Beberapa
penelitian sebelumnya telah mencoba menerapkan metode sintesis ini melalui
reaksi kondensasi Claisen-Schmidt bebas pelarut atau dikenal dengan teknik
grinding. Teknik ini dilakukan dengan menggerus bahan di dalam mortal dan
tanpa menggunakan pelarut (Faridz, 2009). Keunggulan dari metode ini adalah
dapat meminimalisir limbah dan mengurangi penggunaan pelarut (Fitri, 2013),
hasil yang didapatkan lebih banyak (Susanti et al., 2012) dan waktu reaksi yang
digunakan lebih singkat pada suhu kamar (Jia et al., 2013).
Dilihat dari struktur senyawanya, senyawa 3-metoksi-4-hidroksicalkon
memiliki gugus aktif yaitu gugus C=C dan C=O yang dapat saling berkonjugasi
dengan cincin aromatik. Hal ini memungkinkan senyawa calkon tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai antibakteri.
55
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu vanilin, asetofenon,
NaOH, etanol, HCl dan kloroform. Semua bahan dengan kualitas analytical grade
kecuali akuades. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peralatan gelas
laboratorium, satu set peralatan rekristalisasi, satu set alat rotary evaporator,
neraca analitik (OHAUS), hot Prabawati et al., ALCHEMY Jurnal Penelitian
Kimia, Vol. 13 (2017), No. 1 , Hal. 95 - 102 97 plate (CIMAREX), kertas saring,
statif, mortar, penggerus, melting point, spektrofotometer inframerah (Shimadzu
FTIR-8201 PC) dan spektrometri 1H-NMR (JEOL JNM ECA300).
56
suhu 37 ˚C selama 24 jam untuk mengetahui nilai Konsentrasi Hambat Minimum
(KHM) dan 48 jam untuk nilai Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM).
Selanjutnya, diamati terbentuk atau tidak zona bening pada sekitar kertas cakram
(Capuccino and Suherman, 2011).
Senyawa 3-metoksi-4-hidroksicalkon disintesis menggunakan bahan dasar
asetofenon, vanilin dan NaOH dengan perbandingan mol masing-masing adalah
1:2:4. Proses reaksi dengan teknik grinding ini sangat sederhana dan berlangsung
cukup cepat karena saat penggerusan dalam waktu kurang lebih 15 menit, produk
reaksi berwarna orange segera terbentuk. Produk reaksi senyawa 3-metoksi-4-
hidroksicalkon diperoleh sebagai suatu padatan dengan titik leleh 58 - 59 ˚C
Mekanisme reaksi diawali dengan terbentuknya ion enolat dari reaksi antara
asetofenon dengan NaOH yang bertindak sebagai nukleofil. Ion enolat kemudian
menyerang gugus karbonil dari vanilin, produk kondensasi aldol terbentuk setelah
mengalami dehidrasi. Mekanisme reaksi secara lengkap sebagaimana terlihat pada
gambar1.
57
2831,5 cm-1 merupakan serapan dari gugus Csp2-H yang menunjukkan adanya
gugus tak jenuh yang diperkuat oleh pita pada serapan 1581,63 cm-1 yang
menunjukkan adanya gugus aromatis.
Pita tajam pada daerah 1658,78 cm-1 merupakan serapan dari C=O
karbonil, yang diperkuat adanya serapan lemah pada 2746,63 cm-1 akibat
rentangan C-H aldehida. Terbentuknya senyawa 3-metoksi-4-hidroksicalkon
sebagai produk reaksi hidrasi calkon ini diperkuat dengan munculnya pita pada
daerah 1496,76 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus etilen.
Sementara itu spektrum 1H-NMR terlihat pada Gambar 3.11 Terlihat
serapan pada daerah geseran kimia (δ) 7,75 ppm dan δ 7,99 ppm yang berasal dari
proton alkena (–CH=CH-) dengan integrasi setara dengan dua atom hidrogen.
Pergeseran kimia dari δH 6,74-7,56 ppm merupakan sinyal dari proton (-CH=CH-
) aromatik. Sementara serapan gugus -OH muncul pada pergeseran kimia δ 9,88
ppm dan serapan dari gugus metoksi (-OCH3) muncul pergeseran kimia δ 3,99
ppm dengan kenampakan singlet.
58
Gambar 4.15 Spektrum Ftir Senyawa 3-Metoksi-4-Hidroksicalkon
TABEL 4.1 Hasil uji Aktifitas Antibakteri Senyawa Calkon terhadap Bakteri E.
Coli (Gram -) dan B. Subtillis (Gram +).
59
Gambar 4.17 Perlakuan terhadap (A) Bakteri E. Coli. dan (B) Bakteri B.
Subtillis.
Senyawa calkon hasil sintesis menunjukkan aktivitas terhadap bakteri E.
coli (Gram negatif), dan S. aureus (Gram positif) yang ditandai dengan adanya
zona bening pada media agar. Hal ini berarti senyawa 3-metoksi-4-hidroksicalkon
dapat menghambat atau membunuh bakteri. Diameter zona hambat yang
dihasilkan oleh senyawa calkon terhadap bakteri Gram negatif berkisar antara 9 -
12 mm dan terhadap bakteri Gram positif berkisar antara 8,5 - 14 mm. Menurut
Saxena and Gomber (2008), diameter zona bening atau zona hambat >20 berarti
memiliki aktivitas kuat, diameter hambat 16 - 20 mm memiliki aktivitas sedang,
diameter hambat 10 - 15 mm memiliki aktivitas lemah, dan diameter hambat <10
mm memiliki aktivitas sangat lemah. Prabawati et al., ALCHEMY Jurnal
60
Penelitian Kimia, Vol. 13 (2017), No. 1 , Hal. 95 - 102 101 Dari Tabel 1 terlihat
bahwa senyawa 3-metoksi-4-hidroksicalkon memiliki aktifitas untuk menghambat
pertumbuhan kedua bakteri. Hasil uji antibakteri menunjukkan bahwa senyawa 3-
metoksi-4-hidroksicalkon memiliki aktivitas terhadap bakteri yang tergolong
lemah. Setelah diinkubasi selama 24 jam, terbentuk zona bening pada semua
konsentrasi senyawa calkon tersebut. Hal ini berarti nilai KHM dari senyawa 3-
metoksi-4-hidroksicalkon yaitu 1 % v/v. Hasil inkubasi selama 48 jam untuk
mengetahui daya bunuh senyawa calkon terhadap kedua bakteri menunjukkan
bahwa senyawa 3-metoksi-4-hidroksicalkon memiliki daya bunuh terhadap
bakteri Gram positif yaitu B. subtillis namun tidak terhadap bakteri Gram negatif
yaitu E. coli karena setelah inkubasi 48 jam zona bening yang terbentuk sudah
mulai ditumbuhi bakteri. Dengan demikian nilai KBM untuk bakteri B.subtillis
yaitu 1 % v/v. Gambar 4a dan 4b menunjukkan zona hambat senyawa 3-metoksi-
4-hidroksicalkon terhadap bakteri E. coli dan B. subtillis.
Senyawa 3-metoksi-4-hidroksicalkon memiliki gugus keton α, β tak
jenuh yaitu gugus etilen keto (-CO-CH=CH-) yang bertindak sebagai antibakteri,
hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lahtchev et al., 2008, yang menyatakan
bahwa senyawa calkon dapat bertindak sebagai antibakteri dikarenakan adanya
gugus keton α, β tak jenuh.
61
C.Oksidasi Etanol Menjadi Asetaldehida Menggunakan Katalis Molibdenum
Oksida Berpenyangga Al2O3, Tio2, Dan Sio2
62
penting dalam reaksi, karena pemakaian katalis yang aktif dan selektif dapat
menjadikan suatu proses lebih ekonomis dan lebih kompetitif.
Usaha-usaha untuk mendapatkan proses dan mencari katalis dalam
pembuatan asetaldehida terus dilakukan oleh para peneliti di dunia. Proses
konvensional ditempuh lewat jalur petrokimia. Tetapi, pada keadaan normal
konversi yang diperoleh relatif rendah dan perolehan produknya juga rendah.
Katalis yang digunakan adalah perak yang harganya relatif mahal serta konversi
dan selektivitasnya juga masih rendah. Proses ini secara komersial kurang
menguntungkan karena banyak membutuhkan biaya dalam proses pemisahan
reaktan (Filho & Domingues, 1992).
Rute lain untuk memproduksi asetaldehida telah diusulkan oleh beberapa
peneliti dengan menggunakan etanol sebagai umpan. Diperkirakan proses ini
dapat menjadi suatu prosedur yang lebih baik daripada proses konvensional,
terutama dalam hal harga yang relatif murah jika didapatkan metodologi yang
cerdik (kondisi operasi, katalis, dan medium pereaksi).
Zhang dkk., 1995, mengusulkan suatu proses alternatif untuk
menghasilkan asetaldehida melalui reaksi oksidasi etanol dengan udara. Proses ini
menggunakan katalis berbasis MoO3 dalam rentang temperatur 180–240oC dan
tekanan atmosfir. Dewasa ini penelitian mulai banyak perhatian untuk
mendapatkan katalis. Zhang mengisyaratkan bahwa katalis MoO3 akan lebih
selektif jika dipadukan dengan penyangga. Penggunaan penyangga dapat
memperbesar distribusi luas permukaan fasa aktif sehingga kontak antara reaktan
dengan fasa aktif katalis semakin sempurna.
Husin dkk (2002) telah melakukan studi pembuatan katalis MoO3 yang
digabung dengan Fe2O3. Uji kinerja katalis dalam reaksi oksidasi etanol menjadi
asetaldehida telah dilakukan oleh Mairiza dan Husin, (2002). Hasil penelitian itu
menunjukkan hasil yang menjanjikan, yaitu konversi sekitar 60% dan selektivitas
asetaldehida sekitar 70%.
Sebelumnya Viswanath (1982) dan Filho (1992) telah menggunakan
katalis F2(MoO4)3 (besi molibdenum oksida) untuk reaksi tersebut. Viswanath
membuat katalis besi molibdenum oksida dari larutan besi nitrat dan amonium
63
heptamolibdat, sedangkan Filho menggunakan katalis F2(MoO4)3 komersial
(Viswanath,1982 dan Filho,1992). Katalis besi molibdate baik dalam bentuk
kompleks (F2(MoO4)3) maupun oksida (MoO3) sebenarnya secara komersial saat
ini digunakan dalam sintesa formaldehida (Piccoli dan Luis, 1992). Hasil
penelitian itu menunjukkan bahwa katalis berbasis MoO3 ternyata juga cocok
untuk reaksi oksidasi etanol menjadi asetaldehida. Berdasarkan fakta tersebut
maka penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penyangga Al2O3,
TiO2, dan SiO2 pada MoO3 terhadap kinerja dalam oksidasi etanol menjadi
asealdehida.
Benvenutti dan Gushikem (1998), melakukan percobaan dengan
menggunakan katalis Fe(III) yang didispersikan pada penyangga Sb2O5 dan SiO2
dalam oksidasi etanol menjadi asetahdehida. Ternyata katalis Fe(III) terdispersi
dengan baik pada penyangga membentuk senyawa FeSbO4 dan Fe/Sb/SiO2.
Benvenutti, dan Gushikem, (1998) juga melaporkan bahwa penggunaan katalis ini
menunjukkan efisiensi yang tinggi.
Asetaldehida pertama kali dikembangkan secara besar-besaran dalam
industri asetilen, melalui reaksi hidrasi sebagai berikut (Kirk & Othmer, 1994):
Katalis yang digunak an adalah raksa yang terlarut dalam asam sulfat
pada tekanan operasi sekitar 15 psi. Proses ini dianggap tidak ekonomis karena
harga asetilen yang terlalu mahal. Cara lain pembuatan asetaldehida yaitu melalui
oksidasi butana dengan oksigen atau udara. Reaksi dilangsungkan pada fasa gas
dengan menggunakan katalis keramik pada temperatur ± 40 oC (Kirk & Othmer,
1994).
64
Etanol juga dapat diubah menjadi asetaldehida melalui reaksi
dehidrogenasi fasa gas dengan menggunakan katalis tembaga yang diaktivasi oleh
kromium. Reaksi biasanya dilangsungkan pada 260 – 290 oC dan tekanan
atmosferik.
Oksidasi etanol menggunakan katalis perak atau tembaga dilangsungkan pada fasa
gas dengan suhu 300 – 575 oC dan tekanan atmosfer. Reaksinya yaitu
(Kirk&Othmer,1994):
65
Salah satu faktor peryebab terjadinya reaksi samping adalah temperatur.
Temperatur yang terlalu panas dapat menyebabkan deaktivasi katalis sehingga
katalis tidak selektif lagi terhadap reaksi utama. Selain itu temperatur yang tinggi
dapat menyebabkan asetaldehida mengalami dekomposisi atau oksidasi lanjut.
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa produk utama reaksi adalah asetaldehida
dan air. Produk reaksi lain yang biasa diperoleh pada oksidasi etanol adalah asam
asetat, gas karbon dioksida, karbon monoksida dan etil eter. Bahkan pada kondisi
reaksi yang tidak menguntungkan bisa juga diperoleh ester (etil asetat) dan
hidrokarbon jenuh (etilen).
1. Preparasi Katalis
Katalis disiapkan dengan metode impregnasi yaitu: dengan cara
mendepositkan garam (NH4)6Mo7O24.4H2O (ammonium heptamolibdat) pada
masing-masing penyangga Al2O3, TiO2, dan SiO2. Garam
(NH4)6Mo7O24.4H2O dengan kandungan MoO3 of 25% dan 50% : penyangga,
dilarutkan dalam air kemudian diaduk selama 1 jam. Kemudian dicampur Al2O3
selama 2 jam. Campuran dikeringkan pada suhu 110oC selama 4 jam. Selanjutnya
66
kristal dikalsinasi pada suhu 400oC selama 6 jam dengan dialiri udara. Kemudian
dikarakterisasi dengan alat XRD untuk identifikasi fasa kristal yang terbentuk.
Identifikasai fasa kristal dari katalis ditentukan dengan alat x-Ray diffractometer
(XRD) di Laboratorium XRD Jurusan Kimia UGM. Grafik XRD yang diperoleh
memiliki nilai 2θ dari 10-70o dengan ukuran scanning step 0,02o. Hasil
karakterisasi dengan XRD katalis MoO3/Al2O3 dan MoO3/TiO2 disajikan pada
Gambar 2.
Dari spektrum XRD (Gambar 2) tampak bahwa komponen katalis terdiri
dari senyawa MoO3, Al2O3 dan TiO2 dengan komponen terbanyak kristal MoO3.
Tiga puncak utama karakteristik MoO3 terdapat pada 2θ = 25,79; 2θ = 27,42; dan
2θ= 39,0 derajat. Tiga puncak utama karakteristik Al2O3 terdapat pada 2 =
25,69; 2θ = 39,24; dan 2θ = 46,31 derajat. Sedangkan tiga puncak utama
karakteristik TiO2 terdapat pada 2θ= 25,39; 2θ= 48,13; dan 37,88 derajat.
Beberapa puncak karakteristik MoO3 terlihat menumpuk dengan Al2O3 dan
TiO2.
67
Gambar 4.19. Difraktogram XRD katalis MoO3/Al2O3, MoO3/TiO2 dan
MoO3/SiO2
Dari difraktogram juga terlihat bahwa kenaikan kadar Mo pada preparasi katalis
menghasilkan intensitas puncak MoO3 semakin tinggi. Intensitas yang semakin
tinggi ini menunjukkan jumlah kristal MoO3 yang terbentuk lebih banyak. Dari
spektrum xrd dapat disimpulkan bahwa pembuatan katalis berhasil dengan baik,
karena senyawa-senyawa
68
sebanyak 0,5 gram sebagai unggun tetap. Reaktor dipanaskan sampai suhu
konstan. Campuran udara dan etanol diumpankan ke dalam reaktor dengan rasio
udara:etanol 19,7; waktu tinggal 14.76 (gkat.jam)/(molEtOH), temperatur 150,
175, 200, 225, 250, 275, dan 300oC; dan tekanan atmosfir. Produk didinginkan
dalam kondensor sehingga diperoleh produk cair. Skema rangkaian alat dapat
dilihat pada Gambar 1.
Pengujian kinerja katalis dilakukan terhadap reaksi oksidasi etanol
menjadi asetaldehida. Reaksi dilangsungkan pada 150-300oC dan tekanan
atmosfir. Kinerja katalis secara kuantitatif ditinjau dari aktivitas katalis, diwakili
oleh konversi, selektivitas, dan yield.
Katalis dibedakan dalam dua katagori yaitu: kadar Mo rendah
(25%Mo/Al2O3, 25%Mo/TiO2, dan 25%Mo/SiO2) dan kadar Mo tinggi
(50%Mo/Al2O3, 50%Mo/TiO2, dan 50%Mo/SiO2).
Gambar 3 merupakan hubungan temperatur reaksi terhadap konversi,
selektivitas dan yield untuk katalis 25%Mo/Al2O3, 25%Mo/TiO2, dan
25%Mo/SiO2. Gambar 3.3 merupakan hubungan temperatur reaksi terhadap
konversi, selektivitas dan yield untuk katalis 50%Mo/Al2O3, 50%Mo/TiO2, dan
50%Mo/SiO2, serta MoO3 tanpa penyangga. Penggunaan ke tiga jenis penyangga
(Al2O3, TiO2, dan SiO2) tanpa MoO3 dalam reaksi, tidak menghasilkan produk
asetaldehida sama sekali.
Selama reaksi berlangsung tampak bahwa asetaldehida merupakan produk
utama yang terbentuk meskipun produk samping tidak diidentifikasi. MoO3 tanpa
penyangga memiliki konversi yang lebih rendah dibandingkan dengan
penggunaan katalis berpenyangga. Konversi kedua jenis katalis (Mo rendah dan
Mo tinggi) untuk penggunaan ketiga penyangga menunjukkan kecenderungan
yang hampir sama yaitu: TiO2 > Al2O3 > SiO2.
Hasil keluaran reaktor dianalisis menggunakan Gas Chromatograph GC-
8A buatan Shimadzu untuk mendeteksi dan menentukan fraksi mol produk.
Analisis ini menggunakan detektor jenis TCD (Thermal Conductivity Detector)
dengan kolom porapak Q 80/100 mesh. Analisis produk dilakukan pada
temperatur kolom 100oC dan temperatur injektor 130oC.
69
Gambar4.19 Konversi, selektivitas, dan yield untuk oksidasi etanol pada berbagai
temperatur menggunakan katalis 25% MoO3 berpenyangga Al2O3, TiO2, dan
70
SiO2
Gambar 4.20 Konversi, selektivitas, dan yield untuk oksidasi etanol pada
berbagaitemperatur menggunakan katalis 50% MoO3 berpenyangga Al2O3,
TiO2, SiO2 dan MoO3 murni
71
dan Al2O3 murni, tidak menghasilkan formaldehida sama sekali. Kemungkinan
produk yang dihasilkan adalah dimetil eter (Hungcun dan Israel, 1995).
Selektivitas dari semua jenis katalis MoO3 sangat dipengaruhi oleh Mo
yang diisi pada penyangga. Penggunaan katalis 25%MoO3 pada penyangga TiO2
dan SiO2 memiliki selektivitas ke asetaldehida lebih tinggi dari katalis yang diisi
50% Mo. Penggunaan katalis MoO3/Al2O3 terlihat memiliki selektivitas yang
hampir sama baik yang diisi Mo rendah maupun tinggi.
Selektifitas asetaldehida tertinggi dihasilkan pada penggunaan katalis 25%
Mo/SiO2, berkisar 82-96%. Akan tetapi, penggunaan katalis 50%MoO3 pada
penyangga TiO2 dan SiO2 terlihat selektivitas ke asetaldehida lebih stabil hingga
suhu 300oC. Yield asetaldehida yang tinggi dihasilkan pada penggunaan katalis
Mo/TiO2, reaksi dilangsungkan pada suhu antara 250- 300 oC sekitar 51%.
Kenaikan suhu menyebabkan meningkatnya konversi metanol. Peningkatan
konversi karena pada suhu yang lebih tinggi menghasilkan energi yang lebih besar
sehingga dapat mempercepat reaksi. Kenaikan konversi ini sesuai dengan hukum
Arrhenius yang menyatakan bahwa semakin tinggi temperatur maka laju reaksi
semakin tinggi (Froment, 1990). Konversi etanol tertinggi diperoleh pada
penggunaan penyangga TiO2 mencapai 83% pada suhu reaksi 300oC. Akan
tetapi, dengan kenaikan suhu cenderung menurunkan selektivitas. Penurunan
selektivitas ini disebabkan karena pada suhu tinggi energi yang diberikan lebih
banyak sehingga orientasi tumbukan antar reaktan menjadi lebih sempuna. Hal ini
menyebabkan terjadi reaksi lanjut membetuk produk samping. Reaksi oksidasi
etanol sangat eksotermis sehingga pada suhu yang lebih tinggi sangat mudah
terjadi oksidasi total membentuk produk samping. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Zang dkk,(1995), bahwa semakin tinggi suhu reaksi, kemungkinan COx
yang akan terbentuk karena oksidasi lanjut semakin tinggi. Penurunan selektivitas
juga dapat disebabkan oleh deaktivasi katalis pada suhu yang lebih tinggi. Hal ini
dilaporkan oleh Husin dkk, (2002), bahwa MoO3 pada suhu yang lebih tinggi
akan mudah tersublimasi sehingga fasa aktif semakin berkurang atau rusak.
72
2. Penentuan Konversi, Selektivitas, dan Yield
Konversi (X) adalah perbandingan mol reaktan yang bereaksi dengan mol
reaktan yang masuk. Selektivitas (S) adalah perbandingan mol produk yang
terbentuk dengan mol reaktan yang bereaksi. Sedangkan yield (Y) adalah
perbandingan mol produk yang terbentuk dengan mol reaktan yang masuk.
Konversi, selektivitas, dan yield ditentukan dengan menggunakan persamaan-
persamaan berikut:
73
pembuatan perekat. Pembuatan perekat lignin resorsinol formaldehid ini
dilakukan dengan perbedaan perbandingan mol NaLS : resorsinol : formaldehida
yaitu 1:1:1; 1:1:2; dan 1:1:3. Hasil yang didapatkan dari uji kenampakan perekat
memiliki warna coklat kehitaman. pH dari setiap perbandingan yaitu
perbandingan 1:1:1 nilainya 11,2, perbandingan 1:1:2 nilainya 11,4 dan
perbandingan 1:1:3 nilainya 12,0. Berat jenis perekat perbandingan 1:1:1 yaitu
1,2857, perbandingan 1:1:2 1,2119, dan perbandingan 1:1:3 nilai berat jenisnya
1,3097. Viskositas dari perbandingan 1:1:1 nilainya 108,83 cps, perbandingan
1:1:2 nilainya 94,31 cPs dan perbandingan 1:1:3 nilainya 129,92 cPs. Sisa
penguapan pada perbandingan 1:1:1 sebesar 50,77%, perbandingan 1:1:2 sebesar
42,35% dan perbandingan1:1:3 sebesar 41,01%. Hasil yang didapat dibandingkan
dengan standar fenol formaldehida yaitu SNI 06-4567-1998 fenol formaldehid
cair dan dihasilkan bahwa perbandingan 1:1:3 merupakan perbandingan yang
terbaik dibanding dengan perbandingan lainnya.
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah dari pabrik kelapa
sawit yang pemanfaatnya masih terbatas sebagai pupuk organik yang memiliki
nilai tambah yang rendah. Pada tahun 2010 produksi buah sawit mencapai
21.958.120 ton dan pada tahun 2011 produksi tersebut mencapai 22.508.011 ton.
Setiap produksi kelapa sawit menghasilkan limbah berupa tandan kosong sawit
23%, cangkang 8%, serat 12%, dan limbah cair 66%. Limbah TKKS pada tahun
2010 mencapai 5.050.367,6 ton dan pada tahun 2011 mencapai 5.176.842,53 ton.
Dengan jumlah limbah tandan kosong yang terus meningkat, jika tidak
dimanfaatkan secara optimal maka dapat berakibat buruk bagi lingkungan [9].
Pemanfaatan limbah kelapa sawit yang umum dilakukan saat ini
diantaranya adalah penggunaan TKKS sebagai mulsa di kebun, akan tetapi biaya
transportasi yang dikeluarkan per unit nutrisi cukup tinggi dan dapat
menimbulkan ledakan populasi hama kumbang yang mematikan tanaman kelapa
sawit. Pemanfaatan lain dari TKKS adalah penggunaannya dalam pembuatan
pupuk organik. TKKS dalam pemanfaatannya dapat dibakar dengan incenerator
sehingga abunya dapat digunakan sebagai pupuk kalium. Namun usaha
74
pembakaran TKKS tersebut ternyata tidak efektif dan dilarang oleh pemerintah
karena dapat menimbulkan pencemaran udara [4].
Perekat sintetik merupakan perekat yang berbahan baku hasil olahan
minyak bumi. Kelemahan perekat sintetis adalah ketersediaan sumber bahan baku
perekat yang semakin berkurang dan timbulnya emisi formaldehida dari produk
material hasil perekatan terhadap lingkungan. Perekat berbahan formaldehida itu
sendiri diperoleh sebagai hasil olahan minyak bumi yang tidak dapat pulih.
Sementara itu minyak bumi merupakan sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui dan persediaannya sewaktu-waktu akan habis. Maka perlu adanya
bahan pengganti dalam pembuatan perekat.
Penelitian dan pengembangan mengenai perekat terus dilakukan untuk
mengeksplorasi perekat alami baru yang kualitasnya tinggi dan dampak negatif
terhadap lingkungan yang rendah.
Lignin adalah senyawa organik polimer yang banyak dan penting dalam
dunia tumbuhan selain selulosa. Struktur lignin sangat beraneka ragam tergantung
dari jenis tanamannya. Lignin merupakan komponen terbesar yang terdapat dalam
larutan lindi hitam. Secara umum polimer lignin disusun oleh unit-unit fenil
propana yaitu p-kumaril alkohol, koniferil alkohol, dan sinapil alkohol.
Natrium lignosulfonat (NaLS) dapat disintesis dari lignin dengan reaksi
sulfonasi. Reaksi sulfonasi merupakan reaksi yang melibatkan pemasukan gugus
sulfonat ke dalam lignin. Proses sulfonasi pada lignin bertujuan untuk mengubah
sifat hidrofilitas dari lignin yang tidak larut dalam air dengan memasukkan gugus
sulfonat yang lebih polar dari gugus hidroksil, sehingga akan meningkatkan sifat
hidrofilitasnya dan menjadikan lignosulfonat
75
Tabel 4.2 Persyaratan Mutu Fenol Formaldehida Cair Untuk Perekat Kayu Lapis
76
1. Pembuatan Serbuk TKKS Bebas Ekstraktif
Pembuatan serbuk TKKS bebas ekstraktif dilakukan dengan cara TKKS
digiling, diayak untuk mengambil serbuknya yang lolos ayakan 50 mesh sebagai
bahan baku. TKKS yang telah melewati ayakan dikeringkan dioven pada suhu 60
0C selama 16 jam. TKKS kering diekstraksi dengan menggunakan heksana :
etanol 96 % (2:1, v/v) selama 6 jam pada soxlet apparatus. Dikeringkan dalam
oven pada suhu 60 oC selama 16 jam. Diekstraksi dengan etanol 96 % selama 4
jam. Diekstraksi dengan air mendidih selama 2 jam.
2. Isolasi Lignin
Isolasi lignin dilakukan pada serbuk TKKS bebas pengotor, 300 gr
ditimbang dan dimasukkan kedalam digester dengan penambahan larutan
pemasak 10:1 v/b, dimana komposisi larutan pemasak adalah etanol 96 % : air
(1:1). Pada digester ditambahkan katalis natrium Hidroksida (NaOH) 10%.
Campuran kemudian dimasak pada digester hingga mencapai suhu 170 oC
kemudian dipertahankan selama 1 jam pada suhu tersebut. Lindi hitam (lignin
terlarut) kemudian disaring dengan kain. Lindi hitam kemudian ditambahkan
asam sulfat 15 % sampai pH 2, kemudian didiamkan selama 8 jam. Kemudian
disaring dengan kertas saring. Endapan hasil saringan dimasukkan dalam beaker
glass. Endapan dilarutkan dengan Natrium Hidroksida (NaOH) 1 N 100 ml.
Kemudian disaring dengan kertas saring. Endapan dicuci dengan asam sulfat
(H2SO4) 10 %, v/v. Endapan disaring dengan kertas saring. Endapan kemudian
dicuci dengan aquades.
Endapan kemudian disaring dengan kertas saring. Endapan kemudian dikeringkan
dalam oven pada suhu 60 oC selama 16 jam.
77
tersebut diaduk pengaduk agar campuran bereaksi sempurna. Campuran
selanjutnya direfluks pada suhu 106 0C sambil dilakukan pengadukan dengan alat
pengaduk agar campuran reaksi sempurna, pemanas listrik selama 4 jam.
78
TABEL 4.3 Hasil Uji Kenampakan Perekat LRF
Dari tabel 2. hasil uji kenampakan perekat LRF yang didapat berbentuk
cairan dan memiliki coklat kehitaman serta bebas dari pengotor. Sedangkan pada
standar mutu perekat fenol formaldehida pada SNI 06-4567-1998, bentuk perekat
adalah cairan dan kenampakannya merah kehitaman dan bebas dari pengotor.
Warna perekat LRF yang didapat berbeda dengan SNI fenol formaldehida hal ini
dikarenakan perbedaan dari lignin yang dihasilkan.
Menurut Pizzi dalam Harisyah Manurung (2009), warna yang dihasilkan
diduga berasal dari perpaduan lignin isolat dengan resorsinol, yang merupakan
senyawa fenolik mengandung 1 gugus hidroksi tambahan pada inti aromatik
membentuk posisi meta [5].
79
setiap perbandingan yaitu perbandingan 1:1:1 nilainya 11,2, perbandingan
1:1:2 nilainya 11,4 dan perbandingan 1:1:3 nilainya 12,0. Nilai pH ini tidak
berpengaruh pada perbandingan jumlah formaldehida pada pembuatan perekat
LRF. Ini juga dapat diketahui dari perlakukan yang dilakukan bahwa pH akhir
dari pembuatan perekat LRF adalah pada pH 11. Berdasarkan data ini nilai pH
perekat LRF yang dihasilkan sesuai dengan SNI 06-4567-1998 yang
mensyaratkan nilai pH sebesar 10,0-13,0.
Dan Menurut Medynda, sifat basa yang terdapat pada perekat ini sebabkan
karena adanya penambahan NaOH 50% ke dalam larutan perekat. Sifat basa
diperlukan untuk kesesuaian perekat dan kayu dan agar tidak merusak struktur
kayu yang direkat [6].
Menurut Adi Santoso (2003), pH resin merupakan targer akhir reaksi
kondensasi yang disengaja dikondisikan basa, namun diupayakan tanpa
menimbulkan pengaruh negatif terhadap kayu (pH 8-11) dengan tujuan
memperlambat reaksi polimerisasi sehingga resin cair stabil dalam waktu relatir
lama selama penyimpanan [1].
80
Berdasarrkan data di atas nilai berat jenis untuk setiap perbandingan lebih besar
dari standar yang diacu. Pada SNI 06-4567-1998 mensyaratkan nilai berat jenis
sebesar 1,165 – 1,200. Maka nilai berat jenis perekat LRF yang dihasilkan tidak
memenuhi standar. Namun nilai ini masih mendekati dari standar tersebut.
Berat jenis perekat dipengaruhi oleh komponen-komponen penyusun
perekat tersebut, sesuai dengan Setiawan dalam Medynda ddk (2012), berat jenis
perekat menunjukkan berat jenis masing-masing komponen penyusun perekat
tersebut, semakin banyak komponen perekat yang berat jenisnya tinggi maka berat
jenis perekat ini juga akan semakin tinggi [6].
7. Viskositas
Dari gambar 3. dapat dilihat bahwa nilai viskositas dari perekat LRF
pada perbandingan 1:1:1, perbandingan 1:1:2 dan perbandingan 1:1:3 adalah
108,83 cps, 94,31 cps dan 134,63 cps. Dari hasil pengujian nilai viskositas dari
perekat yang dihasilkan maka penambahan mol formaldehida mempengaruhi nilai
viskositas perekat LRF.
81
mengadakan penetrasi dan pembasahan. Dengan demikian maka kualitas
perekatan akan meningkat sampai pada batas keenceran tertentu, karena perekat
yang terlalu encer justru akan menurunkan nilai keteguhan rekat. Sebaliknya,
semakin tinggi kekentalan, maka kemampuan untuk membasahi dan berpenetrasi
ke dalam permukaan yang direkat akan semakin sulit [6].
82
Gambar 4.25 Grafik FT-IR Perekat LRF
Tabel 4.4 Pencirian Gugus-Gugus Fungsi Perekat LRF
Dari gambar 5. dan table 3. dapat dilihat bahwa frekuensi 3.327 cm-1
mengindikasikan adanya gugus OH. Untuk mengindifikasikan ikatan C=C pada
alkena muncul frekuensi 1.680-1.600 cm-1, untuk cincin aromatik 1.600-1.475
cm-1 [7]. Pada gambar 6. muncul frekuensi 1.466 cm-1 yang menunjukkan
adanya ikatan C=C. Hal ini sesuai dengan Bhunia et al. (1998) dalam Risfaheri et
al. (2005) yang menyatakan pita absorpsi C=C muncul pada frekuensi 1.625-
1.430 cm-1.
83
Menurut Risfaheri et al. (2005) [24] gugus C-H muncul pada frekuensi
1.465-1.370 cm-1, dari gambar di atas dapat lihat frekuensi 1.402-1.466 cm-1
menunjukkan adanya gugus C-H dari metilena. Frekuensi pada 1.091
menunjukkan adanya gugus C-O dari eter dan senyawa fenolik pada frekuensi
1.144-936 cm-1. Berdasarkan Risfaheri et al. (2005) [7] frekuensi 1.300-
1.000cm-1 menandai adanya gugus C-O dari eter dan senyawa fenolik (1.260-
1.000cm-1).
Berdasarkan pada grafik pengukuran FT-IR pada perekat LRF dapat
dilihat gugus-gugus pada perekat LRF memiliki kesamaan dengan gugus-gugus
pada perekat Fenol Formaldehida. Gugus-gugus penyusunnya yaitu gugus O-H,
C=C aromatik, C-H metilena, C-O dan gugus senyawa fenolik
E. Sintesis Senyawa Bibenzil Dari Bahan Awal Vanilin Melalui Reaksi Wittig
Dan Hidrogenasi Katalitik
84
dilakukan reaksi substitusi dengan PBr3 dalam CH2Cl2, maka akan diperoleh
senyawa vanilil bromida. Vanilil bromida apabila direaksikan dengan
trifenilfosfina akan diperoleh garam fosfonium, dimana garam fosfonium ini bila
direaksikan dengan basa kuat seperti n-butil litium, natrium amida, atau natrium
hidrida akan diperoleh senyawa fosfonium ilida. Karbon negatif pada ilida
selanjutnya dapat menyerang gugus karbonil senyawa vanilin. Produk adisi antara
ilida dengan vanilin adalah suatu betaina. Betaina kemudian mengalami siklisasi
dan eliminasi trifenilfosfina, dan akan diperoleh senyawa stilbena tersubstitusi.
Apabilasenyawa stilbena tersubstitusi dikenai reaksi hidrogenasi katalitik, maka
akan diperoleh senyawa bibenzil.
Senyawa bibenzil (dihidrostilbena) merupakan produk bahan alam yang
penting dan menarik perhatian, hal ini disebabkan oleh aktivitas biologis yang
dimiliki. Sejumlah senyawa bibenzil dilaporkan memiliki aktivitas antimitotik,
antileukimia, dan sedang dilakukan penelitian penggunaan senyawa bibenzil
sebagai agen sitotoksik pada sel kanker (Wang, dkk.,2004 : 467)
Keberadaan senyawa bibenzil di alam dalam jumlah terbatas, hanya
ditemukan dalam spesies tumbuhan yang relatif sukar diperoleh. Usaha-usaha
untuk memperoleh senyawa bibenzil dan turunannya melalui sintesis telah
dikembangkan. Sintesis yang telah banyak dilakukan adalah melalui reaksi
hidrogenasi stilbena dan turunannya dengan persamaan reaksisebagai berikut:
Senyawa stilbena dapat diperoleh dari reaksi olefinasi Wittig. Pada tahun
1954.George Wittig mengemukakan sintesis umum senyawa alkena dari senyawa
karbonil denganmenggunakan fosfonium ilida
(Fessenden, 1992 :27).
85
Vanilin merupakan senyawa yang terkandung pada tanaman vanili (Vanili
planifolia).Vanilin dapat diperoleh dari tanaman vanili yang diekstrak dengan
pelarut etanol atau darikayu lunak yang dioksidasi dengan nitrobenzena dalam
alkali (Sjostrom, 1998 : 94).
Secara sintetik vanilin dapat dibuat dari guaiakol, safrol,
protokatekhuat aldehida, glukosida koniferin, dan eugenol. Vanilin juga dapat
diperoleh dari degradasi oksidatif lignin dalam suasanan basa dan diperoleh hasil
21-23% Theresia (1999) juga telah berhasil mensintesis vanilin dari degradasi
kurkumin yang diperoleh dari ekstrak kunyit. Secara komersial vanilin banyak
tersedia di pasaran. Vanilin secara luas digunakan sebagai flavouring agent pada
industri pangan. Di bidang pengawetan pangan, vanilin dipakai sebagai
antimikroba dan antioksidan. Vanilin berpotensi sebagai antioksidan karena
mempunyai struktur sebagai fenol tersubstitusi. Rumus struktur vanilin
digambarkan sebagai berikut:
1. Senyawa Bibenzil
Wang, dkk. (2004 : 467) telah berhasil mensintesis senyawa-senyawa bibenzil
alami seperti terlihat pada Gambar 4.20.
86
Gambar 4.26 Struktur Senyawa –Senyawa Bibenzil Alami
87
Gambar 4.27 Skema Sintesis Senyawa Bibenzil Alami
2. Reaksi Wittig
Pada tahun 1954, George Wittig mengemukakan sintesis umum senyawa
alkena darisenyawa karbonil dengan menggunakan fosfonium ilida. Sintesis ini
disebut reaksi Wittig (Fessenden, 1992 : 27).
88
Reaksi Wittig dapat dilakukan terhadap aldehida dan keton, baik yang
berstrukturalifatik, alisiklik, dan aromatik (termasuk diaril keton), mengandung
ikatan rangkap dua atautiga, mempunyai gugus fungsi seperti OH, OR, NR2,,
nitro, haloaromatik, dan juga gugusgugusester.Fosfonium ilida dapat mengandung
ikatan rangkap dua atau tiga, dan juga gugus-gugus
fungsional tertentu. Ilida sederhana (R’ = hidrogen dan alkil) mempunyai sifat
sangatreaktif, sehingga dapat bereaksi dengan oksigen, air, alkohol, senyawa
karbonil, dan ester,sehingga untuk memperoleh hasil sesuai yang diinginkan maka
reaksinya harus dilakukan pada kondisi dimana zat-zat tersebut tidak ada (March,
1985 : 865)
Mekanisme reaksi Wittig melibatkan serangan nukleofilik gugus karbonil
oleh karbon negatif dari ilida (Fessenden, 1992 : 28).
Produk adisi antara ilida dengan aldehida atau keton adalah suatu betaina (suatu
molekul yang memiliki muatan-muatan berlawanan yang tidak berdekatan).
Betaina kemudian mengalami siklinasi dan eliminasi trifenilfosfina untuk
membentuk alkena.
89
3. Sintesis Senyawa Bibenzil dengan Bahan Awal Vanilin.
Senyawa bibenzil dapat diperoleh dari reaksi hidrogenasi katalitik senyawa
stilbena.Senyawa stilbena tersusun atas 2 cincin benzena yang dihubungkan satu
sama lain oleh gugus C=C olefinik (alkena). Senyawa alkena dapat disintesis
melalui reaksi Wittig menggunakan senyawa karbonil dengan menggunakan
fosfonium ilida.
Vanilin mengandung gugus fungsi aldehida sehingga dapat dikenai reaksi Wittig.
Fosfonium ilida dapat dibuat melalui reaksi substitusi nukleofilik (SN2) suatu
alkil halida dengan fosfina tersier. Dalam sintesis senyawa stilbena maka alkil
halida yang dapat digunakan adalah alkil halida benzilik. Vanilin juga dapat
diubah menjadi senyawa alkil halida benzilik dengan rute reaksi sebagai berikut:
90
Karbon negatif pada ilida selanjutnya dapat menyerang gugus karbonil senyawa
vanilin. Produk adisi antara ilida dengan aldehida adalah suatu betaina. Betaina
kemudian mengalami siklisasi dan eliminasi trifenilfosfina membentuk alkena,
dalam hal ini akan dihasilkan senyawa stilbena tersubstitusi.
91
Senyawa bibenzil dapat diperoleh dari reaksi hidrogenasi senyawa stilbena.
Vanilin yang relatif mudah diperoleh, baik secara isolasi maupun sintesis dapat
dipakai sebagai bahan awal dalam sintesis senyawa stilbena, yang selanjutnya bila
dihidrogenasi katalitik akan menghasilkan senyawa bibenzil. Mengingat manfaat
senyawa bibenzil yang memiliki aktivitas biologis, dan ketersediaannya di alam
terbatas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mensintesis senyawa
bibenzil dengan bahan awal yang mudah diperoleh, murah, dan dengan metode
yang mudah dilakukan di laboratorium.Tanin merupakan senyawa fenol yang
terdapat dialam, diklasifikasikan menjadi dua golongan,yaitu tanin
terhidrolisis(hidrolyzable-tanin) dan tanin kental (condensed tannin).sekitar 90 %
total produksi tanin komersial dunia yang digunakan sebagai bahan baku perekat
dan resin sintetis, berasal dari asal golongan terakhir ini (Pizzi,1983).
Selanjutnya pizzi (1983), mengatakan tanin kental tersebar luas di alam,
terutama pada kayu dan kulit pohon.. kandungan tanin kental yang terdapat pada
kulit kayu beberapa jenis pohon pinus berkisar antara 6-25% (fengel,1984).
Menurut Wirapraja (dalam Zihisimal,1969),tanin kental bereaksi sangat baik
dengan formaldehida dalam suasana asam maupun basa membentuk tanin
formaldehida. Tanin formaldehida ini dapat digunakan sebagai bahan sizing
yang cukup baik dalam pembuatan papan serat. Bahan sizing ini akan mengurangi
daya serap air dan fungsi untuk memperbaiki ikatan antara serat.
Tanin dan lignin dapat membentuk ikatan kimia secara kondensasi atau
adisi, sehingga memperkuat anyaman dan ikatan antara serat serta menutup
rongga yang akan menurunkan daya serap air (silitonga,suminar & roliadi,1974)
penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh bahan sizing tanin
formaldehida dari kulit kayu pinus merkusii jungh et de vriese., terhadap kadar air
,kerapatan, tebal dan ketahanan tarik sejajar permukaan papan serat.
92
Kulit kayu dan kayu pinus merkusii jungh. Et de vriese., yang digunakan
dalam penelitian ini berasal dari sumatera utara. Kulit kayu pinus sebagai ekstrak
dan kayu sebagai bahan baku pulp.
1. Ekstrak Tanin
kulit kayu pinus yang sudah bersih dipotong kecil –kecil lalu
dikeringkan dibawah sinar matahhari. Setelah kering digiling menjadi serbuk dan
disaring dengan saringan berukuran 40 mesh . serbuk babakan diekstrak dengan
tiga bagian air pada suhu sekitar 65ₒ c . setelah itu larutan dipisahkan dari bagian
serbuk dengan cara penyaringan menggunakan saringan kain. Larutan diuapkan
pada suhu 65ₒ c. Sampai terbentuk cairan kental I.
Ampas babakan diekstrak ulang dengan kondisi dan cara kerja
penyaringan diatas, sampai terbentuk cairan tanin kental II. Cairan tanin kental I
dan II dicampur dan dilanjutkan penguapannya dengan oven pada suhu sama.
Hasil ekstraksi ditimbang sampai mencapai bobot yang tetap. Kadar zat ekstraktif
dihitung dengan rumus berikut:
93
dimana : a=jumlah mL KMnO4 0.1 N contoh
b= jumlah mL KMnO4 0,1 N blanko
f.p= faktor pengenceran
3.pembuatan sizing tanin-formaldehida
perekat tanin dipersiapkan berdasarkan formula brandts tanpa
menambahkan tepung kayu. Sebanyak 100 gram ekstrak tanin dimasukkan
kedalam gelas piala kemudian ditambhkan 2,5 mL NaOH 5N, 0,5 gram fenol dan
8,6 gram air,selanjutnya dipanaskan pada suhu 60-70ₒ C,sambil diaduk hingga
terbentuk larutan tanin. Dari larutan tanin ini ditimbang sebanyak 100 gram pada
gelas piala dan ditambahkan 2,8 para formaldehida yang mengandung 95 persen
CH2O dan diaduk sampai rata sehingga terbentuk perekat tanin.
94
5. Pengujian Sifat Fisik-Mekanik Papan Serat
pengujian sifat fisik-mekanik papan serat dilakukan berdasrkan ASTM D.
1037-64. Sifat fisik yang di uji meliputi kadar air, keraptan, tebal, daya serap air
dan pengembangan tebal, sifat mekanik yang diuji hanya sifat ketahanan tarik
sejajar permukaan papan serat.
6. Rancangan Penelitian
penelitian inu menggunakn rancangan acak lengkap dengan faktor
tunggal, yaitu penambahn sizing taninn-formaldehida dengan taraf 0, 3, 6, 9 dan
12%. Masing-masing taraf diulang 3 kali.selanjutnyya untuk mengetahui
perbedaan masing-masing taraf perlakuan dianalisis dengan BNJ.
7. Pembahasan
hasil ekstraksi kulit kayu pinus merkusii jungh et de vriese dengan
menggunakan pelarut aor dapat dilihat pada Tabel.1 berikut.
Tanin kental yang dihasilkan dari ekstraksi kulit kayu pinnus berkisar
aantara 0,75 -1,49% dengan nilai rata-rata 1,13%. Ekstrak tanin dipengaruhi oleh
suhu ekstraksi dan ukuran partikel bahan. Suhu yang tinggi menyebabkan tanin
terhidrolisis menjadi asam polyphenol yang tidak larut dalm air. Sedangkan
partikel bahan yang tterlalu halus akan menarik kembali bahan yang telah larut
95
dan partikel ini sulit dipisahkan dari larutan. Akibatnya bahan yang tidak larut
dalm air bertambah tinnggi sehingga mengurangi rendeme tanin yang diihasilkan.
Hasil analisis fisik-mekanik papan serat dengan berbaigai perlakuan dapat
dilihat pada tabel 2. Dari tabel tersebut ditunjukkan bahwa penambahan tanin-
formaldehida menghasilkan nilai kadar air,kerapatan dan tebal papan serat yang
bervariasi,sedangkan nilai daya serap air dan pengembangan tebal menurunnamun
kethahbab tarik sejajar permukaan meningkat.
Tabel 4.6 Hasil analisa sifat fisik-mekanik papan serat
96
TABEL4.7 mengetahui pengaruh penambahan tanin fornaldehida terhadap sifat
fisik dan mekanik papan serat
97
TABEL 4.8 Hasil uji BNJ
98
di dalam erlenmeyer selama 2 jam dan contoh diambil setiap 20 menit untuk
dianalisis asetaldehid sisa dengan metode sodium sulfit dan ukuran butiran diukur
dengan mikroskop optik dan menggunakan software image pro. Variabel yang
dipelajari adalah suhu reaksi (5-15°C), ukuran butir urea (14, 18, dan 25 mesh),
dan pH (2, 3, 4). Konstanta kecepatan reaksi dan koefisien difusivitas ditentukan
dengan optimasi antara model dengan data penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan ukuran
butir, semakin tinggi konversi yang dihasilkan. Semakin rendah pH (semakin
asam) memberikan konversi yang semakin tinggi akan tetapi butiran hasil sedikit
mengembang dan lengket. Model kinetika reaksi yang diajukan sesuai dengan
data pengamatan. Reaksi adisi berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan
reaksi kondensasi. Kondisi reaksi yang cukup baik terjadi pada suhu reaksi 15°C,
pH 4, ukuran butir 14 mesh dan waktu 120 menit dengan konversi sebesar
63,38%. Pada kondisi ini, produk polimer yang dihasilkan lebih keras
dibandingkan dengan kondisi yang lainnya.
99
Urea merupakan pupuk yang paling banyak digunakan di bidang pertanian
karena urea memiliki kandungan nitrogen yang tinggi, murah dan pH netral.
Namun, urea memiliki sifat yang kurang menguntungkan yaitu higroskopis dan
mudah larut dalam air sehingga jika digunakan di lahan dengan air yang mengalir,
penggunaan urea tabur menjadi sangat boros dan menyebabkan pencemaran
lingkungan.
Enkapsulasi adalah salah satu metode yang dapat diterapkan untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan urea (Thompson dan Kelch, 1993). Pada
proses enkapsulasi, dinding kapsul akan terbentuk di permukaan partikel urea
yang disebut polimerisasi insitu (Brown dkk, 2003). Urea dilapisi dengan urea-
asetaldehid membentuk kapsul, yang dapat memperlambat kelarutannya dalam air
dan pelepasan urea terjadi secara terkontrol kontinyu pada lingkungan sekitar
(Chen dkk, 2001).
Asetaldehid dipilih karena bahan ini memiliki tingkat toksisitas yang lebih
rendah daripada formaldehid. Reaksi polimerisasi urea-asetaldehid terdiri dari dua
langkah, yaitu reaksi adisi dan reaksi kondensasi (Sandler dan Karro, 1994), yang
ditunjukkan pada persamaan 1 dan 2.
Reaksi adisi urea dengan asetaldehid searah, yang berlangsung dengan bantuan
katalisator asam ataupun basa, sedangkan pada tahap kondensasi, reaksinya bolak-
balik (Fessenden dan Fessenden, 1981). Urea memungkinkan melepaskan sampai
100
empat protonnya membentuk tetrametilol urea, tetapi mono dan dimetilolurea
yang lebih banyak terbentuk. Tri dan tetrametilolurea terbentuk pada kondisi yang
sangat ekstrim, yaitu sangat alkali, suhu tinggi dan perbandingan aldehid terhadap
urea di atas tiga (Saunders, 1976).
Pada reaksi urea dengan asetaldehid, mekanisme reaksinya dianggap sebagai
berikut: asetaldehid mendifusi ke dalam padatan urea, dan bereaksi di dalam
padatan urea. Urea yang digunakan adalah urea granular yang umumnya
berbentuk butiran bulat, maka diasumsikan urea berbentuk bola. Dalam
penyusunan persamaan kinetika reaksi, diambil asumsi bahwa kecepatan reaksi
dianggap tidak terpengaruh oleh panjang rantai hasil polimer dan volume
campuran tidak berubah selama reaksi (Gambar 1).
Persamaan kinetika reaksi dapat diuraikan dari persamaan reaksi (3) dan (4), yang
dituliskan sebagai berikut.
Neraca massa asetaldehid dalam elemen volum :
101
Berdasarkan neraca massa katalis asam (ion H+) pada elemen volum, diperoleh :
Jumlah total Asetaldehid (A) yang masuk ke butir urea pada waktu t adalah:
Setiap saat, jumlah asetaldehid dalam butir urea (yang belum bereaksi):
Data konversi yang didapatkan dari hasil analisis digunakan untuk menghitung
konversi dan menyelesaikan perhitungan persamaan (5), (6), (7) dan (8).
Selanjutnya dengan mencoba k1, k2, k3, DA dan DH+ akan didapat konversi
102
hitung. Nilai k1, k2, k3, DA dan DH+ diperoleh dengan mencari SSE minimum
antara konversi data dan konversi hitung mengikuti persamaan berikut:
Bahan baku berupa urea berwujud butir dengan ukuran 14 mesh, 18 mesh dan 25
mesh (butir-butir urea yang telah lolos ayakan ini diambil beberapa sampelnya
untuk diukur diameternya menggunakan mikroskop optikal dengan software
image pro), asetaldehid dengan kemurnian 63,8 % diperoleh dari PT. Indo
Acidatama.
Alat yang digunakan adalahErlenmeyer yang dilengkapi dengan termometer dan
bak pendingin sirkulasi, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
103
Gambar 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu reaksi, konversi reaksi
semakin tinggi. Pada temperatur 5° dan 10°C, hasil simulasi dan penelitian
menunjukkan angka konversi yang cukup dekat, berbeda pada temperatur 15°C
yang memiliki nilai yang sangat tinggi dibandingkan kedua temperatur tersebut
(Gambar 3). Hal ini disebabkan pada suhu 15°C polimer yang terbentuk lebih
banyak dibandingkan pada suhu 5° dan 10°C sehingga produk yang dihasilkan
cenderung lebih keras.
Menurut Fessenden dan Fessenden (1981) molekul yang bergerak di dalam
larutan memiliki sejumlah tertentu energi potensial dalam ikatan-ikatan mereka
dan sejumlah energi kinetik dalam gerakan mereka. Melalui pemanasan atau
kenaikan suhu, molekul memperoleh tambahan energi kinetik, lebih sering terjadi
tumbukan dan lebih bertenaga, dan mengubah energi kinetik menjadi energi
potensial.
Agar bereaksi, molekul-molekul yang bertumbukan itu harus mengandung cukup
energi potensial untuk mencapai keadaan transisi pada saat bertumbukan dan
terjadi pematahan ikatan. Energi yang harus dimiliki molekul untuk melewati
keadaan transisi ini merupakan energi aktivasi, sehingga semakin besar energi
potensial yang dimiliki molekul akibat pemanasan atau kenaikan suhu, semakin
mudah molekul melewati keadaan transisi dan reaksi yang terjadi semakin cepat.
Nilai koefisien difusivitas asetaldehid dan hidrogen pada suhu 5-15°C disajikan
pada Tabel 1. Koefisien difusivitas meningkat dengan meningkatnya suhu.
Kenaikan ini disebabkan oleh suhu makin meningkat, maka pergerakan molekul-
molekul semakin cepat yang mengakibatkan molekul lebih cepat bertumbukan
satu sama lain sehingga difusi (pembauran) yang terjadi semakin baik. Dilihat dari
nilai k1 dan DA, hal ini menandakan bahwa reaksi adisi berlangsung sangat cepat
dengan difusivitas yang sangat lambat pada suhu rendah sehingga monoetilol
yang terbentuk semakin banyak dan reaksi kondensasi (nilai k2) berlangsung
sangat lambat yang mengakibatkan konversi lebih kecil (polimer belum banyak
terbentuk) dibandingkan pada suhu 15°C.
104
TABEL 4.9 Nilai Parameterproses Hasil Simulasi Pada Berbagai Suhu
Reaksi (pH=4, ukuran butir = 14 mesh,R=1:1,2)
Nilai k1, k2, dan k3 dinyatakan dalam bentuk persamaan Arrhenius sebagai
berikut.
Nilai E yang dihasilkan pada k1, k2, dan k3 adalah -455, 1570, dan 2150
mL.atm/mmol. Nilai E pada k1 (reaksi adisi) relatif lebih rendah bila
dibandingkan dengan nilai tenaga pengaktif pada k2 dan k3 (reaksi kondensasi).
Jika dibandingkan dengan tenaga pengaktif yang sebesar 10000 cal/mol atau
413,223 mL. atm/mmol (Rochmadi dan Hasokowati, 2004), tenaga pengaktif pada
reaksi adisi jauh lebih kecil, gejala ini menunjukkan bahwa transfer massa ikut
berpengaruh dalam reaksi adisi.
105
ini berhubungan dengan luas bidang kontak per satuan volume urea dengan
asetaldehid. Ukuran partikel yang semakin kecil mempunyai luas kontak antara
urea dan asetaldehid yang semakin besar sehingga jumlah asetaldehid yang
bereaksi lebih banyak, produk etilol urea dan polimer lebih banyak terbentuk.
Tetapi semakin banyak polimer yang terbentuk dipermukaan butir, difusivitas
asetaldehid masuk ke butiran terlihat menurun (terhambat) sehingga konversinya
rendah pada akhir reaksi (100-120 menit).
Tabel 2 menunjukkan koefisien difusivitas (DA dan DH+) semakin besar dengan
besarnya ukuran partikel urea. Hal ini disebabkan karena belum banyak polimer
yang terbentuk sehingga tidak menghambat difusivitas asetaldehid dan ion
hidrogen ke permukaan butir. Dari Tabel 2 juga ditunjukkan k1 lebih besar dari k2
sehingga dapat dikatakan bahwa reaksi adisi berlangsung lebih cepat dari reaksi
kondensasi, sehingga polimer yang dihasilkan cenderung lengket dan memiliki
berat molekul yang rendah.
3. Pengaruh pH
106
tidak terlalu terpengaruh dengan turunnya pH. Hal ini dapat dilihat dari nilai
koefisien difusivitas ion hidrogen yang cenderung stabil.
Persamaan empiris untuk menggambarkan hubungan konstanta k1, k2 dan k3
(mL/(mmol.menit)) dengan pH disajikan sebagai berikut.
k1 = 45,422 e-0,471.pH mL/(mmol.menit) (17)
k2 = 0,737 e-0,737.pH mL/(mmol.menit) (18)
k3 = 0,017 e-0,170.pH mL/(mmol.menit) (19)
Gambar 4.30 Hubungan Konversi Dengan Waktu Reaksi Pada Pelbagai Suhu
Gambar 4.31 Hubungan Konversi Dengan Waktu Pada Pelbagai Ukuran Butiran
Urea
107
Gambar 4.32 Hubungan Konversi Dan Waktu Pada Pelbagai Ph
Tabel 4.10 nilai parameter proses hasil simulasi pada variasi ukuran butir
(T=15OC,Ph=4,R=1:1,2)
Tabel 4.11 Nilai Parameter Proses Hasil Simulasi Dan Data Pada Variasi Ph
(T=15oc,Ukuran Butir = 14 Mesh,R=1:1,2)
Dari besarnya nilai k1, k2, dan k3 terlihat bahwa ketiga konstanta tersebut
dipengaruhi oleh pH. Semakin asam larutan, maka reaksi adisi (k1) dan reaksi
kondensasi (k2 dan k3) berlangsung semakin baik.
108
G .Pembuatan Mikrokapsul Dari Urea-Formaldehid :
Pengaruh Waktu Dan Perbandingan Reaktan Pada Pembuatan Resin Terhadap
Proses Mikroenkapsulasi
109
Sebagai respon positif atas meningkatnya kebutuhan masyarakat akan
produk-produk yang berkualitas dengan inovasi tinggi, kini pengembangan
teknologi microencapsulation telah merambah banyak bidang. Teknologi
pengkapsulan bahan aktif dalam kapasitas minimum berukuran mikron ini sudah
banyak digunakan pada berbagai bidang, misalnya farmasi, industri makanan,
kertas, tinta, perfumery, dan pertanian. Contoh penggunaan teknologi
pengkapsulan bahan aktif dalam industri makanan adalah mikroenkapsulasi
minyak ikan. Minyak ikan sangat mudah teroksidasi karena banyaknya ikatan
rangkap pada gugus rantai asam lemaknya. Hal ini berarti bahwa harus diberikan
perhatian yang lebih apabila minyak ikan ditambahkan pada produk makanan
karena jika tidak akan menyebabkan timbulnya bau atau rasa yang tidak enak dan
senyawa-senyawa hasil oksidasi yang berpengaruh buruk bagi kesehatan.
Mikroenkapsulasi terhadap minyak ikan akan menghilangkan kendala-kendala
tersebut yang memungkinkan para produsen makanan memasukkan minyak ikan
untuk peningkatan nilai tambah produk tanpa adanya perubahan penampakan dan
usia simpan produk.
Penelitian tentang mikrokapsul sudah banyak dilakukan. Pembuatan
mikrokapsul dari urea-formaldehid dengan proses in situ polymerization oleh
Brown dkk. (2003) menunjukkan bahwa morfologi permukaan luar mikrokapsul
dipengaruhi oleh pH reaksi. Penelitian tentang yang sama juga dilakukan oleh
Kage, dkk. (2002). Pengamatan mereka menunjukkan bahwa jumlah core
material, waktu enkapsulasi dan temperatur reaksi memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap ketebalan dinding mikrokapsul. Salaün dan Vroman (2008)
menganalisis sifat termal mikrokapsul yang dibuat dari melamin-formaldehid.
Penelitian ini menunjukkan bahwa sifat termofisis mikrokapsul dipengaruhi oleh
kondisi reaksi. Sun dan Zhang (2002) membandingkan kekuatan mekanik dinding
mikrokapsul dengan resin yang berbeda antara lain melamin–formaldehid, urea–
formaldehid dan gelatin-gum arab dengan teknik micromanipulation.
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh variasi waktu dan
perbandingan reaktan pada pembuatan resin terhadap proses mikroenkapsulasi
110
dengan dinding mikrokapsul dibuat dari resin urea-formaldehid. Tulisan ini hanya
menyajikan sebagian hasil penelitian proses mikroenkapsulasi minyak nabati
dengan resin urea-formaldehid.
Proses mikroenkapsulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
polimerisasi langsung di permukaan mikrokapsul (interfacial polymerization),
atau in situ polymerization. Sebelum proses polimerisasi di permukaan dilakukan,
minyak nabati diemulsikan terlebih dulu dalam larutan resin urea-formaldehid.
Resin urea-formaldehid (UF) merupakan senyawa hasil reaksi antara gugus amina
(-NH2) dengan gugus formaldehid (CH2O). Reaksinya terdiri dari dua langkah,
yaitu reaksi adisi dan reaksi kondensasi. Reaksi adisi terjadi sebagai berikut.
(1)
Reaksi kondensasi merupakan kelanjutan dari reaksi adisi, yaitu:
(2)
Gugus –OH dari metilol bereaksi dengan -H dari -NH2 atau –NH- urea
dan menghasilkan H2O. Reaksi ini berlangsung terus, sehingga membentuk rantai
yang panjang, bahkan beberapa posisi menjadi rantai cabang. Reaksi ini yang
membentuk polimer urea-formaldehid, dengan ikatan antar urea dihubungkan oleh
gugus metilen (-CH2-). Makin besar ukuran polimer atau panjang rantai yang
terbentuk, polimer ini makin sukar larut dalam air. Adanya ikatan rantai cabang
(network) karena reaksi crosslink membuat polimer yang terjadi semakin keras.
Reaksi kondensasi ini dipengaruhi oleh tingkat keasaman larutan. Pada kondisi
asam (pH <7), kecepatan reaksi sebanding dengan konsentrasi ion hidrogen, tetapi
pada kondisi basa, reaksi kondensasi berjalan lambat.
Dalam penelitian ini, resin urea-formaldehid (UF) yang digunakan masih
berbentuk prepolimer, yaitu resin urea-formaldehid yang masih larut dalam air.
111
Pada proses pembuatan resin prepolimer ini dilakukan penambahan larutan NaOH
sehingga akan menciptakan suasana basa dengan pH 8,0-8,3 agar resinnya hanya
mengandung metilol urea (hasil reaksi adisi), dengan sedikit mengandung polimer
hasil reaksi kondensasi (Schildnecht, 1956). Makin besar ukuran polimer atau
panjang rantai yang terbentuk, polimer ini makin sukar larut dalam air.
Pembuatan mikrokapsul dimulai dengan pembentukan emulsi minyak di dalam
larutan resin UF. Dengan menggunakan homogenizer, minyak akan terdispersi
dalam larutan urea-formaldehid dalam bentuk gelembung atau butiran minyak.
Diameter gelembung tergantung dari sifat-sifat fisis minyak dan urea-formaldehid
terutama viskositas dan rapat massa. Secara prinsip, diameter emulsi (= diameter
mikrokapsul) dipengaruhi oleh (Zlokarnik, 2002):
(3)
112
Resin UF dibuat dari urea murni sebanyak 60 gram dicampur dengan 100 mL
formaldehid 37% yang telah dinetralkan, direaksikan di dalam labu leher tiga pada
suhu 70°C dengan putaran pengaduk pelan. Larutan NaOH 0,1 N digunakan untuk
menciptakan suasana basa hingga pH larutan menjadi sekitar 8. Reaksi dijalankan
selama 1 jam dengan putaran pengaduk lebih cepat dan suhu tetap dipertahankan
sekitar 70°C. Setelah selesai, larutan resin prepolimer urea-formaldehid
diencerkan dengan aquadest sampai menjadi 250 mL, didinginkan dan disimpan
pada suhu kamar.
Larutan resin urea-formaldehid dicampur dengan minyak sawit pada
perbandingan tertentu, lalu diaduk dengan homogenizer selama 30 menit, dan
suhu 50°C. Setelah itu, homogenizer diganti dengan pengaduk mekanik yang
berbentuk spiral, pada kecepatan sekitar 100 rpm. Emulsi yang terbentuk ditetesi
larutan asam sitrat 10%, untuk menurunkan pH larutan (pH=3), dengan tetap
menjaga suhu reaksinya. Pada saat ini terjadi reaksi polimerisasi dan crosslinking.
Reaksi dijalankan selama 3 jam. Setelah reaksi selesai, hasil suspensi mikrokapsul
didinginkan dengan es kemudian ditambahkan aquadest secukupnya untuk
melarutkan resin yang tidak menjadi coating. Hasil padatan (mikrokapsul)
dipisahkan dengan penyaringan, lalu dikeringkan dengan oven pada suhu rendah
(50oC) diikuti dengan pendinginan dalam eksikator hampa. Hasil mikrokapsul
ditimbang, dan ditentukan kadar minyaknya. Sampel hasil mikrokapsul ditumbuk
sampai halus, lalu ditambah dengan N-heksana untuk melarutkan minyaknya.
Setelah itu, padatan sisa disaring dan dikeringkan pada suhu 100°C, lalu
ditimbang. Selisih antara berat mikrokapsul awal dengan berat padatan sisa
merupakan berat minyak di dalam mikrokapsul.
Preparat untuk mengukur diameter mikrokapsul dibuat dengan melapiskan pasta
mikrokapsul ke permukaan gelas slide mikroskop. Dengan mikroskop optik yang
dilengkapi kamera digital, preparat dilihat dan diambil gambarnya dengan
perbesaran. Gambar mikrokapsul ini dilihat dengan software Image Pro Plus,
dimana sekitar 100 butir mikrokapsul dapat diukur diameternya.
2. Hasil pembahasan
113
Pada proses finishing, hasil suspensi mikrokapsul didinginkan dengan es
kemudian ditambahkan aquadest secukupnya untuk melarutkan resin yang tidak
menjadi coating. Dengan penambahan aquadest ini akan terbentuk dua lapisan
suspensi padatan yaitu lapisan atas (terapung di dekat permukaan) yang
dinamakan hasil atas dan lapisan bawah (mengendap di dasar) yang dinamakan
hasil bawah. Hasil atas merupakan mikrokapsul dengan rapat massa <1g/cm3
sedangkan hasil bawah merupakan mikrokapsul dengan rapat massa > 1g/cm3.
Dari hasil pengamatan dengan mikoskop, hasil atas merupakan mikrokapsul
berbentuk bola dengan permukaan yang relatif halus, sedangkan mikrokapsul
yang mengendap sebagai hasil bawah berupa mikrokapsul berbentuk bola dan
padatan mikrokapsul yang bentuknya tidak teratur. Padatan mikropartikel ini
adalah polimer UF yang mengendap, umumnya menempel di permukaan
mikrokapsul (Brown dkk., 2003).
Pada eksperimen ini variabel yang divariasikan adalah waktu polimerisasi
dan perbandingan reaktan pada pembuatan resin untuk mengetahui pengaruhnya
terhadap proses mikroenkapsulasi.
114
Gambar 4.33 Pengaruh Waktu Pembuatan Resin Terhadap Hasil Mikro Kapsul
Hasil pengukuran diameter mikrokapsul dengan software Image Pro Plus, dimana
sekitar 100 butir mikrokapsul dapat diukur diameternya disajikan dalam Tabel 1
sebagai berikut.
115
dijelaskan seperti pada bagian Pendahuluan di atas. Semakin lama waktu
pembuatan resin, maka reaksi (1) dan (2) akan berlangsung terus sehingga rantai
polimer yang terbentuk akan semakin panjang. Makin besar ukuran polimer atau
panjang rantai yang terbentuk, polimer ini makin sukar larut dalam air dan adanya
ikatan rantai cabang (network) karena reaksi crosslink membuat polimer yang
terjadi semakin keras. Hal ini menyebabkan proses coating menjadi tidak
sempurna.
Sedangkan efisiensi resin (fraksi resin yang menjadi coating terhadap berat awal
resin) dapat dianalisis menggunakan persamaan sebagai berikut.
116
Seperti yang terlihat dalam Gambar 3, semakin lama waktu pembuatan resin maka
kadar minyak rata-rata dalam hasil mikroenkapsulasi maupun efisiensi resin
cenderung mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan semakin lama waktu
pembuatan resin maka resin UF yang dihasilkan semakin matang sehingga
semakin banyak resin yang menjadi coating dan semakin banyak pula butiran
minyak yang terenkapsulasi.
Gambar 4.35 Pengaruh Waktu Pembuatan Resin Terhadap Kadar Minyak Dan
Efisiensi Resin Pada Hasil Bawah
117
reaktan UF = 1 : 3,6 (mol/mol). Hasil mikrokapsul pada perbandingan reaktan UF
= 1 : 2,4 sampai 1 : 1,8 (mol/mol) berupa mikrokapsul yang lengket satu dengan
yang lain dan bentuk mikrokapsulnya tak beraturan sehingga diameter
mikrokapsulnya tidak diamati. Selain itu terlihat pula bahwa mikrokapsul yang
terbentuk semakin sedikit dengan semakin besarnya perbandingan reaktan UF.
Pengukuran tegangan muka larutan resin UF menunjukkan bahwa tegangan muka
naik dengan naiknya konsentrasi resin UF sehingga semakin sedikit mikrokapsul
yang terbentuk.
118
Gambar 4.37 Distribusi Diameter Rata-Rata Mikrokapsul Pada Perbandingan UF
= 1:3,6 (Mol/Mol)
119
1.Akrolein
1.1 Pengenalan akrolein
Akrolein (2-propenal / C3H4O / CH2=CHCHO)) adalah senyawa aldehid
tidak jenuh yang paling sederhana. Akrolein adalah senyawa yang sangat beracun,
mudah terbakar, dapat menimbulkan air mata. Pada temperatur kamar, akrolein
berfase cair dengan volatilitas dan sifat mudah terbakar mirip dengan aceton,
tetapi tidak sebagaimana aseton, akrolein sedikit larut dalam air. Akrolein telah
diproduksi secara komersial sejak 1938. Pada tahun 1995 kapasitas poduksi total
akrolein di seluruh dunia kira-kira 113.000 ton/tahun.
120
Tabel 4.13 impor akrolein Indonesia
y = 209.578 x + 10.691
Dengan : y = jumlah impor akrolein (kg/tahun)
x = tahun ke-
121
akrolein kurang lebih sebesar 2.944.783 kg/tahun atau bila dibulatkan menjadi
3.000 ton/tahun. Adapun pendirian pabrik akrolein lebih berorientasi ekspor ke
negara-negara Asia, terutama Asia Tenggara.
Kebutuhan dunia terhadap akrolein dapat dijadikan parameter
untukmemperkirakan prospek ekspor akrolein. Kebutuhan akrolein dunia dapat
dihitung berdasarkan kapasitas pabrik yang membutuhkan akrolein sebagai bahan
baku. Karena akrolein bukan satu-satunya bahan baku yang bisa digunakan, maka
diasumsikan hanya 10 % dari kapasitas dunia yang menggunakan akrolein sebagai
bahan baku industrinya.
.
Tabel 4.14 kebutuhan akrolein dunia pertahun
122
Tabel 4.15 Data produksi akrolein dunia
123
Kapasitas sebesar ini ditetapkan dengan harapan :
1. Dapat memenuhi kebutuhan akrolein dalam negeri
2. Dapat membuka kesempatan berdirinya pabrik-pabrik lain yang menggunakan
akrolein sebagai bahan bakunya.
3. Akrolein dapat menjadi komoditas ekspor bagi Indonesia
Proses ini dikembangkan sejak tahun 1942, katalis yang digunakan pada
proses kondensasi yaitu campuran alumina, litium fosfat atau silika, dan silika gel.
Secara garis besar, tahapan proses kondensasi dapat dijelaskan sebagai berikut :
a Formalin 30 % dan asetaldehid berlebihan diuapkan dan dipanaskan
sampai suhu 300 – 320 oC, umpan ini kemudian dimasukkan ke dalam
reaktor katalitik.
b Hasil kondensasi keluar reaktor didinginkan dengan alat penukar panas
kemudian dipisahkan dalam menara distilasi, adapun reaktan yang tidak
bereaksi di-recycle masuk kembali ke dalam reaktor.
Dari proses ini diperoleh yield 65 % berdasar formaldehid dan 75 %
berdasar asetaldehid. Dengan fresh catalyst, konversi dari proses
kondensasi mencapai 60 %, namun setelah 6 hari waktu operasi,
konversinya akan menurun menjadi 40 % akibat akumulasi karbon pada
katalis dalam reaktor. Untuk mengatasi masalah ini, setiap hari pabrik
harus shut down untuk meregenasi katalis. Regenerasi katalis dilakukan
dengan membakar katalis dalam reactor dengan udara dan steam. Udara
dan steam disemburkan secara berlawanan dengan arus umpan.
Pembakaran dilakuan pada suhu 400 oC, di luar suhu tersebut akan terjadi
pembakaran tidak sempurna. Hasil samping dari proses kondensasi adalah
124
terbentuknya akrotonaldehid akibat reaksi kondensasi dimerasetaldehid
berdasar persamaan reaksi :
2. Proses Shell
Proses ini dikenal juga dengan proses Clark and Shult yang dikembangkan
oleh Battele Institute. Inti dari proses ini adalah oksidasi propilen dalam reaktor
katalitik. Katalis yang umum digunakan adalah CuO. Secara garis besar proses
Shell dapat dijelaskan sebagai berikut :
a Propilen dan udara dipanaskan dalam heater atau furnace hingga
suhunya mencapai 350 oC.
b Keluaran heater / furnace diumpankan dalam reaktor katalitik. Reaksi yang
terjadi adalah :
125
Pada proses ini digunakan reaktor multitube fixed bed reactor dengan kondisi
operasi sebagai berikut :
126
· Bahan yang digunakan dalam proses kondensasi harganya relative Mahal
· Pada proses kondensasi, harus sering dilakukan shut down untukmeregenerasi
katalis. Hal ini tentu tidak efisien jika dipandang daribiaya operasi.
2. Proses Shell konversinya kecil (sekitar 15 %) sehingga keuntungan
yangdiperoleh tidak sebanding dengan biaya operasi yang dikeluarkan.
3. Proses ketiga memiliki beberapa kelebihan antara lain :
· Bahan baku relatif murah dan dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri
· Konversi dan yield reaksi cukup tinggi. Konversi reaksi sebesar 98,7 %, sedang
yield akrolein sebesar 74,65 %. Diharapkan dengan konversi dan yield yang besar,
keuntungan yang diperoleh bisa maksimal.
127
· Volume kritis : 181,0 mL / gmol
· Liquid density : 0,612 gr / mL
b. Sifat Kimia
Macam-macam reaksi kimia yang terjadi pada propilen antara lain :
· Hidrasi
Propilen dengan adanya katalis H2SO4 akan bereaksi membentuk isopropil
alkohol. Reaksi yang terjadi adalah :
· Disoproporsinasi
Disoproporsinasi propilen pada suhu 450 oC dan tekanan 17 atm akan
menghasilkan etilen dan butilen. Reaksi dengan katalis tungsten :
· Oksidasi katalitik
Oksidasi katalitik propilen dengan adanya katalis PdCl2 menghasilkan
aseton.
2. C3H8 ( Propana )
Merupakan impuritas pada propilen
Berat molekul ( BM ) : 44,09 gr/grmol
Titik didih : - 42,04 0C
Densitas : 0,585 gr /cm3
Temperatur kritis : 96,8 0C
Tekanan kritis : 42,5 atm
128
Volume kritis : 202,9 cm3/gmol
Fase : gas ( 30 0C, 1 atm )
B.Produk
1. Akrolein (C3H4O)
Akrolein (2 propenal) adalah unsaturated aldehid yang sederhana,
merupakansenyawa tidak berwarna, mudah menguap, beracun, dan memiliki
reaktivitas
kimia yang tinggi. Selain itu akrolein memiliki bau yang kuat.
a. Sifat Fisis
· Boiling point : 52,69 oC
· Melting point : - 89,95 oC
· Relative density : 0,8427 g20/20
· Refractive index : 1,4013 nD
· Vapor pressure (20oC) : 29,2 KPa
· Viscosity (20oC) : 0,35 Mps
· Suhu kritis : 233 oC
· Tekanan kritis : 5,07 MPa
· Volume kritis : 189 mL / gmol
b. Sifat kimia
Akrolein adalah senyawa kimia yang reaktif karena
senyawanyamerupakan gabungan vinil dan aldehid. Karakteristik reaksinya
menyerupaibaik senyawa tak jenuh maupun aldehid. Ikatan rangkap 2 dari
karbondengan atom karbon maupun karbonil group akan
menaikkanreaktivitasnya. Kecenderungan polimerisasi sangat besar apalagi pada
suhuyang tinggi. Macam-macam reaksi yang terjadi pada akrolein.
· Reaksi Oksidasi
Oksidasi katalitik dari akrolein dengan oksigen ditambah dengan
steamakan menghasilkan asam akrilat. Komposisi dari umpan adalahperbadingan
molar 1 : 10 : 5. Suhu reaksi anatar 350 – 450 0C. Prosesini dapat dikombinasikan
dengan oksidasi fase gas ropilen denganudara atau oksigen. Akrolein dapat juga
129
dioksidasi pada fase cairdengan oksigen, dengan katalis perak. Hidrogen
peroksida dalamselenium dioksida / selenium adalah katalis yang dapat
memberikanhasil yang tinggi dalam proses oksidasi akrilaldehid menjadi
asamakrilat pada fase cair. Karena sulitnya pemisahan asam dengan cairanreaksi,
maka proses fase cair ini jarang digunakan.
· Reaksi Epoksidasi
Jika akrolein dioksidasi dengan diluen H2O2 pada suasana alkali(alkaline med)
dengan pH 8 - 8,5 dimana pengontrolnya dengan larutan NaOH, akan
menghasilkan glisidaldehid (akrilaldehid oksida).
Reaksinya adalah sebagai berikut :
130
· Tekanan kritis : 56,6 Bar
· Volume kritis : 208 mL / gmol
b. Sifat Kimia
· Reaksi asam akrilat dengan amonia, amin primer atau sekunder akanmembentuk
amida. Tetapi akrilamid lebih baik dibuat dengan hidrolisis akrilonitril dengan
alkohol
· Halogen, hidrogen halida, dan hidrogen sianida bila direaksikan denganasaam
akrilat akan membentuk 2,3-dihalopropionat, 3-halopropionat,dan 3-
sianopropionat.
· Di tangki penyimpanan pada suhu yang cukup tinggi, asam akrilat
akanmengalami dimerisasi menjadi asam 3-akriloksipropionat, C6H8O4
· Kebanyakan asam akrilat digunakan untuk membuat metil, etil, ataubutil ester
dengan proses esterifikasi langsung dengan alkohol dankatalis asam sulfat
C.Bahan Pendukung
1. Katalis Senyawa Metal Oksida
Rumus Molekul : Mo12Bi15Ni2Co3Fe0,4Na0,2B0,2K0,08Si18
Berat Molekul : 5116,68 gr/grmol
Bentuk : bola
Diameter : 3 mm
Bulk density : 225 kg/m3
Porositas (e) : 0.39
Umur : 3 - 4 tahun
(US Patent no 4,837,360)
2. Hidroquinon
Merupakan senyawa yang secara fisis berbentuk kristal putih, ditambahkan
dalam produk akrolein untuk mencegah terjadinya polimerisasi selama
penyimpanan.
a. Sifat Fisis
131
· Rumus Molekul : C6H4(OH)2
· Berat Molekul : 110,11 gr/grmol
· Boiling point : 287 oC
· Melting point : 173 oC
· Flash point : 165 oC
· Relative density : 1.332 g15/15
· Vapor pressure (25oC) : 2,4.10-3 Pa
· Kelarutan terhadap air : 70 gr /L pada 25oC
· Kelarutan terhadap senyawa organik
- Etil alkohol : 50 gr/100 gr solvent
- Aseton : 20 gr/100 gr solvent
- Etil asetat : 22 gr/100 gr solvent
b. Sifat Kimia
· Hidroquinon dapat dioksidasi oleh beberapa oksidan seperti asamnitrat, halogen,
persulfat, dan garam logam. Dapat juga dioksidasi olehoksigen dalam larutan
basa. Dalam media cair, hidroquinon bereaksidengan oksigen secara auto-oksidasi
yang dipengaruhi oleh pH. Padalarutan asam, reaksi berjalan sangat lambat. Untuk
mempercepat reaksibisa digunakan katalis tembaga.
· Hidroquinon dapat bereaksi redoks secara reversibel dengan berbagaicara dan
pasangan redoks. Setap pasangan redoks memiliki potensionalelektrokimia yang
tergantung derajat protonasi dan reduksi elektron.
· Hidroquinon adalah reduktor yang memiliki potensial reduksi (Eo) =+286 mV
untuk pasangan redoks benzoquinon / hidroquinon pada 25oC dan pH netral.
132
reaksibiasanya berlangsung sangat lambat dan sulit dikontrol. Untuk
meningkatkankecepatan reaksi, suhu harus ditingkatkan atau dengan penambahan
katalis. Padafase cair, katalis hendaknya dapat tersuspensikan secara merata dalam
cairan sehingga memungkinkan terjadi kontak yang merata.
Beberapa contoh proses di industri yang melibatkan reaksi oksidasi
fasecair, diantaranya :
· Oksidasi asetaldehid membentuk asam asetat, berlangsung pada suhu 100
oC, tekanan atmosfer.
· Oksidasi etanol membentuk asam asetat, yang melibatkan mikroorganisme
Mycoderma aceti.
· Oksidasi hidrokarbon alifatik dan turunannya.
· Oksidasi sikloheksan menjadi asam adipat.
· Oksidasi cumen menjadi cumen hidroperoksida.
Pada fase uap, reaktan yang akan dioksidasi juga berwujud uap. Hanya
zattertentu saja yang bisa teroksidasi pada fase uap. Pada oksidasi fase
uapdigunakan oksidator oksigen dari udara pada suhu yang tinggi. Reaktan yang
teroksidasi hendaknya memiliki tekanan yang tinggi pada suhu reaksiberlangsung,
hal ini untuk menjamin terjadinya pencampuran reaktan denganoksigen dan
supaya gas dapat mengalir melewati katalis.
133
danmenggunakan katalis senyawa kompleks metal oksida dalam reaktor fixed
bedmultitube.
B. Spesifikasi Produk
a. Akrolein
· Rumus Molekul : C3H4O
· Berat molekul : 56,064 gr/grmol
· Boiling point : 52,84 ˚C
134
· Kenampakan : cairan tak berwarna (pada suhu kamar)
· Kemurnian : 97,02 % berat
· Impuritas
- Air : 2,78 %
- Hidroquinon : 0,2 %
C. Konsep Proses
a. Dasar Reaksi
Pada proses ini terjadi oksidasi fase uap propilen menggunakanoksigen
yang diambil dari udara bebas. Karena reaksi bersifat eksotermis, perlu
ditambahkan steam untuk menekan terbentuknya gas yang mudahterbakar. Katalis
yang digunakan adalah senyawa kompleks metal oksida,yakni campuran
molibdenum, bismut, nikel, kobalt, besi, natrium, boron,kalium, dan silika.
Oksidasi propilen berjalan menurut reaksi sebagaiberikut:
135
· Dari akrolein yang terbentuk, 15,44 % habis bereaksi membentuk asamakrilat
(reaksi 3) ; 8,93 % terbakar sempurna (reaksi 2)
Dan akan dihasilkan akrolein dengan kemurnian 97,1 %
b. Mekanisme Reaksi
Reaksi oksidasi propilen membentuk akrolein berjalan berdasar mekasnisme
reaksi sebagai berikut :
1. Perpindahan reaktan dari fase gas ke antarmuka gas-padat.
2. Adsorbsi reaktan pada permukaan katalis.
3. Aktivasi dari reaktan yang teradsorbsi.
4. Reaksi antara molekul yang teradsorbsi.
5. Deaktivasi produk yang dihasilkan pada permukaan katalis.
6. Desorbsi molekul produk pada permukaan katalis.
7. Difusi produk dari permukaan pori-pori katalis ke permukaan katalis.
Atau :
136
Persamaan (2.3) dipakai untuk lebih besar 350 danpersamaan (2.2)
berlaku untuk bilangan Reynold yang lebih kecil.Pada persamaan (2.2) dan (2.3)
berlaku :
D = Difusivitas molekuler
PI = Faktor tekanan film (analog dengan tekanan parsial inert gas rata rata pada
difusi tunggal dalam gas yang stagnan)
137
reaksi yang terjadi adalahreaksi antarmuka antara gas dan padatan dimana gas
mendifusi dandiadsorbsi dulu pada permukaan padatan supaya bisa terjadi
reaksi.Karena reaksi bersifat eksotermis, bila suhu dinaikkan, kecepatanreaksi
akan meningkat.
5. Deaktivasi produk yang dihasilkan pada permukaan katalis.
Produk yang telah dihasilkan dari permukaan katalis akanmenurunkan
energi aktivasi dan melepas situs aktifnya. Agar produkterlepas dari situs aktifnya
maka diperlukan suhu yang tinggi. Suhutinggi juga diperlukan untuk
mempercepat deaktivasi produk dipermukaan katalis.
6. Desorbsi molekul produk pada permukaan katalis.
Pada tahap ini terjadi reaksi desorbsi, dimana akrolein menjadiakrolein
bebas, asam akrilat menjadi asam akrilat bebas, karbondioksida menjadi karbon
dioksida bebas, dan air menjadi air bebas.Kondisi pada desorbsi berlawanan
dengan kondisi proses adsorbsi.Suhu tinggi dipakai pada proses desorbsi,
berdasarkan persamaanChapman :
Persamaan ini merupakan fungsi suhu dan tekanan, yaitu jika suhutinggi maka
difusivitas tinggi sehingga tekanan yang dibutuhkanrendah.
7. Difusi produk dari permukaan pori-pori katalis ke permukaan katalis.
Pada reaksi pembentukan akrolein, peristiwa ini terjadi karena porikatalis
cukup besar sehingga terjadi langkah difusi produk ke luar pori.Pada reaksi
pembentukan akrolein dalam reaktor fixed bed multitube, prosesdikontrol oleh
reaksi dalam permukaan pori katalis. Difusivitas radial diabaikankarena
perbandingan tinggi dan diameter tube sangat besar (H/IDT >>).Difusivitas aksial
juga dabat diabaikan karena perubahan konsentrasi menurutfungsi jarak juga
sangat kecil
c. Kondisi Operasi
138
Batasan kondisi operasi yang diijinkan untuk memproduksi akroleindari oksidasi
propilen adalah :
· Suhu reaktor : 270 – 350 oC
· Tekanan reaktor : 1,2175 – 4 cm2kg(gauge) = 2 – 4,87 atm (absolut)
· Komposisi umpan masuk reaktor :
- Propilen : 5 – 15 %
- Udara : 55 – 85 %
- Steam : 0 – 40 %
· Katalis yang digunakan : Mo12Bi15Ni2Co3Fe0,4Na0,2B0,2K0,08Si18
· Fase reaksi : gas
Pada pra rancangan ini, digunakan kondisi operasi sebagai berikut :
· Suhu reaktor : 300 oC
· Tekanan reaktor : 203 kPa = 2,0035 atm
· Komposisi umpan masuk reaktor :
- Propilen : 8 %
- Udara : 67 %
- Steam : 25 %
· Katalis yang digunakan : Mo12Bi15Ni2Co3Fe0,4Na0,2B0,2K0,08Si18
· Fase reaksi : gas
d. Sifat Reaksi
(i). Tinjauan kinetika reaksi
Reaksi utama yang terjadi adalah :
139
Karena DH nilainya negatif, maka reaksi berjalan secara eksotermis, artinya tiap 1
grmol propilen yang bereaksi dibebaskan panas sebesar 369,2 kJ.
140
Tabel 4.16 Data-Data Persamaan Kecepatan Reaksi
141
Tabel 4.17 Data Energi Bebas Gibbs pada Suhu 25 OC
Perubahan harga entalpi (DHo) juga dihitung pada suhu kamar 298
KDiketahui data energi pembentukan pada suhu 25 oC untuk masing-
masingkomponen sebagai berikut :
142
Tabel 4.18 Data Energi Pembentukan pada Suhu 25 oC
143
Dari persamaan reaksi :
Dapat dihitung :
144
Pada suhu 298 K, persamaan (2.8) menjadi :
-343.189,4 kJ/kmol =
145
Pada suhu reaksi = 300 oC = 573 K
e.Reaksi Samping
146
Pada proses pembuatan akrolein akan dihasilkan asam akrilat sebagai produk
samping. Adapun reaksi yang terjadi adalah :
Reaksi utama :
Reaksi samping :
Adapun cara yang ditempuh untuk mengendalikan reaksi agar reaksi utama
berlangsung dengan harga konversi yang besar adalah sebagai berikut:
D.Langkah proses
Secara garis besar, proses pembuatan akrolein dari oksidasi propilen dapat
dikelompokkan menjadi tiga tahapan, yaitu :
Bahan baku yang dimaksud adalah propilen, udara, dan steam. Adapun
penyiapan masing-masing bahan baku tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Penyiapan Propilen
147
Propilen (C3H6) cair dari tangki penyimpanan (T-01) pada fase gas pada suhu
30 oC dan tekanan 10 atm diekspansikan oleh ekspander I (E-01) sehingga
tekanannya turun menjadi 2,5 atm dan suhunya -8,81 oC. Pada suhu ini,
propilen masih berfase gas (titik didih propilen = -47,57 oC). Karena reaktan
lain (udara dan steam) bersuhu tinggi, maka untuk menghindari kerusakan
alat, suhu propilen dinaikkan menjadi 80 oC dengan heat exchanger I (HE-01)
yang menggunakan pemanas produk keluaran reaktor (R-01)
b. Penyiapan Udara
Udara diambil dari udara bebas pada suhu kamar dan tekanan 1 atm. Pertama
kali udara dilewatkan air filter untuk menyerap debu yang terikut, lalu
dilewatkan tumpukan silika gel untuk menyerap uap air. Udara dikompresi
menggunakan blower I (BL-01) sampai tekanan 2,2 atm dan suhunya 106,56
oC.
c. Penyiapan Steam
Steam dalam proses ini berguna sebagai diluen bagi campuran propilen-udara
yang bersifat eksplosif dan mudah terbakar. Untuk itu diperlukan diluen steam
untuk membuat komposisi – udara – steam berada di luar daerah eksplosifnya.
Batasan komposisi yang diijinkan adalah :
- Propilen : 5 – 15 %
- Udara : 55 – 85 %
- Steam : 0 – 40 %
Rasio komposisi ini diatur oleh ratio controller yang berhubungan dengan
masing-masing flow controller di jalur aliran bahan baku.Penyediaan steam ini
dilakukan oleh unit utilitas dengan kondisi suhu 347 oF dan tekanan 130 psi.
Steam dari unit utilitas kemudian diekspansi dengan ekspander II (E-02)
hingga tekanan 2,2 atm dan suhu 111,6 oC Ketiga arus bahan baku ini
kemudian dicampur hingga diperoleh suhu yang seragam (102,95 oC) dan
tekanan 2,2 atm. Arus campuran ini kemudian dipanaskan lebih lanjut dalam
furnace (F-01) sampai suhu operasi reactor (300 oC) dan selanjutnya
diumpankan masuk ke dalam reaktor (R-01).
148
2. Unit Reaksi
Propilen dioksidasi dengan udara dalam reaktor (R-01) untuk menghasilkan
akrolein dengan konversi 98,7 % dan selektivitas terhadap akrolein 75,63 %.
Produk samping yang dihasilkan adalah asam akrilat, karbon dioksida, dan air.
Reaktor yang digunakan adalah jenis multitubularfixed bed non isotermal non
adiabatis. Tube (pipa reaksi) berisi katalis senyawa kompleks metal oksida,
yakni campuran molibdenum, bismut, nikel, kobalt, besi, natrium, boron,
kalium, dan silika. Reaktan diumpankan dari puncak reaktor dan keluar di
bagian bawahnya. Sifat reaksi adalah eksotermis, untuk itu diperlukan
pendingin untuk menjaga suhu reaksi relative konstan. Pendingin yang
digunakan adalah aroclor yang dialirkan dalam shell reaktor. Profil suhu di
dalam reaktor adalah 300 oC pada puncak reaktor dan pada bagian bawah
reaktor suhunya 324 oC. Aliran pendingin adalah searah (co-current) dengan
arus umpan reaktor. Aroclor keluar reaktor kemudian didinginkan dengan heat
exchanger, HE-02 dan HE-03, secara bertahap agar dapat dipergunakan
kembali. Reaktor beroperasi pada tekanan 2 atm dengan
pressure drop yang relatif kecil
149
diumpankan menuju kondensor parsial (CD-01 dan CD-02) untuk mencairkan
akrolein dan air. Keluaran kondensor lalu dipisahkan dalam separator (S-01)
dimana akrolein dan air akan dipisahkan pada hasil bawah, sedang gas-gas
lain yang tidak terkondensasi, keluar dari puncak separator. Non-
condensablegas ini dialirkan ke incenerator untuk dibakar dan dibuang
melalui stack. Hasil bawah absorber yang mengandung akrolein, asam akrilat,
dan air selanjutnya dicampur dengan air-akrolein dari hasil bawah separator
(S-01) dalam mixer I (M-01). Keluaran mixer I (M-01) suhunya 100,64 oC
yang merupakan suhu cair jenuh. Arus ini kemudian diumpankan ke menara
distilasi I (MD-01). Pada Menara Distilasi I (MD-01), seluruh asam akrilat
dan sebagian besar air dipisahkan pada bagian bawah menara, sedangkan
akrolein dan sedikit air keluar pada bagian atas menara. Karena fraksi asam
akrilat pada bagian bawah menara sangat kecil, pemungutan asam akrilat
justru tidak ekonomis. Untuk itu, hasil bawah menara distilasi I (MD-01)
langsung dialirkan ke unit pengolahan limbah.
Hasil atas menara distilasi I (MD-01) yang mengandung akrolein dan air
dialirkan ke menara distilasi II (MD-02) untuk memurnikan akrolein hingga
diperoleh spesifikasi pasar. Pada menara distilasi II (MD-02), akrolein dan
sedikit air dipisahkan pada hasil atas, sedangkan sebagian besar air berada
dihasil bawah yang kemudian dialirkan ke unit pengolahan air limbah. Hasil
atas menara distilasi II (MD-02) didinginkan suhunya dalam heat exchanger
IV (HE-04) sampai 33 oC dan dialirkan ke mixer II (M-02) untuk dicampur
dengan hidroquinon. Hidroquinon sebanyak 0,2 % berat berfungsi sebagai
inhibitor, untuk mencegah terjadinya polimerisasi akrolein saat
penyimpanan.Selanjutnya keluaran dari Mixer II (M-02) dialirkan ke tangki
penyimpanan produk (T-02)
150
5. Butiraldehida
151
Bahan baku yang dibutuhkan untuk membuat butiraldehid seperti propilen
dapat didatangkan dari PT.Pertamina UP VI di Balongan, Indramayu dan PT.
Chandra Asri di Cilegon Serang sedangkan Syngas (CO dan H2) dapat diperoleh
dari PT. Pupuk Kujang di Cikampek dan PT. Pertamina UP VI Balongan,
Indramayu.
152
netralisasi, dan fraksinasi (pertumbuhan), oksidasi, hidrolisis, netralisasi, dan
fraksinasi.
Proses yang dipilih adalah proses hidroformilasi shell NaX-zeolit satu
tahap. Dipilihnya proses tersebut adalah dengan pertimbangan kondisi operasi
suhu dan tekanan lebih rendah (bila menggunakan katalis NaX-zeolit) dibanding
dengan mengunakan Cobalt –termodifikasi- phosphine katalis Rhodium. Dengan
penggunaan katalis
NaX-zeolit, pelarut inert tidak dibutuhkan lagi sehingga mempermudah
pengambilan produk.Selain itu umur katalis NaXzeolit dalam bentuk padat lebih
panjang umurnya dibandingkan dengan katalis dalam bentuk larutan.
Pertimbangan sumber bahan NaX-zeolit sering digunakan dan tersebar
dimana-mana sehingga harganya lebih murah daripada katalis yang lain. Selain itu
juga proses hidroformilasi shell NaX-zeolit pengoperasiannya lebih mudah dan
menghasilkan produk yang lebih baik dan lebih banyak daripada proses lainnya.
153
Kegunaan n-butiraldehida:
1. Plastiezier
Plastiezier digunakan dalam plastik tertentu untuk menambah
fleksibilitas dan untuk memudahkan dalam proses pengolahan plastik
selanjutnya.
2. Sebagai bahan baku polivinil butiral (vinyl butyral resin) yang digunakan
sebagai lapisan batas untuk savety glass.
3. Kondensasi butiraldehid dengan phenol dan HCl atau NaOH serta formaldehid
membentuk resin yang digunakan sebagai molding power.
4. Sebagai bahan baku butiamina yang digunakan sebagai zat warna, bahan
insektisida, sebagai akselerator karet dan zat floatasi.
5. Sebagai bahan baku 2-etil-1-hexanol yang merupakan solvent defoaming,
dispersing dan wetting agent.
6. Surface coating Agent
Dapat digunakan sebagai solvent untuk tinta printing.
154
5.4 Sifat Fisika dan Sifat Kimia Bahan Baku dan Produk
A. Bahan Baku
1. Propilen
a. Sifat Fisis Propilen
Fase : cair jenuh
Berat molekul : 42,0804 kg/kmol
Titik beku : -185 oC
Titik didih pada 748 mmHg : - 48oC
Suhu Kritis : 91,4oC
Tekanan Kritis : 45,6 atm
Densitas cair pada 223 K : 0,612 g/cc
Entalpi pembentukan standar : 62,72 kj/mol
Indeks bias : 1,3567
Kelarutan pada 20oC, 1 atm, ml gas/100 ml pelarut
Air : 44,6
Etanol : 1250
Asam asetat : 524,5
b. Sifat Kimia Propilen
Sifat kimia yang khas dari propilen adalah satu ikatan rangkap dan atom
hidrogen pada rumus bangun propilen seperti tampak padagambar :
155
hidrogen asiklis ikatan rangkap yang ada pada propilen terdiri dari satu ikatan
sigma ( σ) yang terbentuk dari
overlappingdua orbital sp2 dan satu ikatan phi (π) yang terbentuk diatas
dan dibawah ruang antar dua karbon dengan sisi dua orbital p ikatan phi (π)
bertanggung jawab untuk beberapa reaksi dengan senyawa ini. Ikatan π
berperan sebagai sumber elektron untuk reaksi elektrofilik.
Contoh sederhana adalah reaksi adisi dan hidrogen atau suatu halogen:
2. Khlorinasi
Alkil klorida dapat dibuat dengan cara khlorinasi dan non katalitik
terhadap propilen fase gas pada suhu 500oC dalam reaktor adiabatik. Prinsip
reaksi ini terdiri dari substitusi sebuah atom khlorinasi terhadap atom hidrogen
pada propilen.Reaksi :
3. Oksidasi
Propilen dapat dioksidasi menjadi akrolein dengan adanya katalis CuO.
Umpan masuk reaktor dengan komposisi 20% volume propilen, 20% volume
udara dan 60% volume steam dengan waktu kontak satu detik. Pengambilan
produk akrolein adalah dengan quenchserubbing effluent reaktor
menggunakan campuran air dan propilen.
2. Hidrogen
a. Sifat Fisis
Fase (suhu dan tekanan lingkungan ) : gas
156
Berat molekul : 2,0158 kg/kmol
Titik didih 1 atm : - 252,7 oC
Titik Leleh : -239,9oC
Suhu Kritis : 239,9 oC
Tekanan Kritis : 12,8 atm
Densitas Kritis : 0,031 g/ml
Viskositas : 0,013 cp
Spesifik panas : 19,7 g/mol oK
b. Sifat Kimia
1. Reaksi hidrogen dan halogen membentuk asam hidrohalogenida
3. Karbon Monoksida
a. Sifat Fisis
Fasa (suhu dan tekanan lingkungan) : gas
Berat Molekul : 28,01 kg /kmol
Titik didih 1atm : -192 oC
Titik leleh 1 atm : -207 oC
157
Densitas gas 21 o F, 1 atm : 1,1613 kg/m3
Densitas liquid pada -191,54oC : 221,0622 kg/m3
Spesifikasi gravity gas 21oC, 1 atm : 0,9676
Suhu kritis : 140,22 oC
Tekanan kritis : 34,53 atm
Densitas kritis : 300,9782 kg/m3
Panas laten penguapan : 29,889 J/kg
Panas laten peleburan : 29,889 J/kg
Panas Pembentukan : -110.530.000 J/kmol
Specific jeat gas 15,56oC, 1 atm
cp : 1,0413 kJ/kg K
cp : 0,7394 kj/kgK
Kelarutan dalam air, 32oC : 0,035
b. Sifat Kimia
1. Reaksi karbon monoksida dengan hidrogen membentuk metanol.
4. NaX-zeolit
a. Sifat Fisis
Fasa (suhu dan tekanan lingkungan) : padat
158
Bentuk : bulat
Warna : putih
Bulk density : 3,054 g/cm3
Bed porosity : 0,325 cm
Diameter : 0,425 cm
B. PRODUK
1. i-butiraldehid
a. Sifat fisis
Fasa : cair
Penampakan : tidak berwarna
Berat Molekul : 72,1062 kg /kmol
Titik didih 1 atm : - 65,9 oC
Titik leleh 1 atm : - 65,9 oC
Specific gravity pada 20 oC : 0,7938
Viskositas pada 20 oC : 0,43 cp
Kemurnian : 97,12 %
Densitas pada 25 oC : 0,80978 (g/cm3)
Kelarutan dalam air pada 25 oC : 7,7 % berat
ΔHv pada 124 oC : 100,0 kal/g
ΔHf (liquid) pada 25 oC : -79,61 kcal/mol
2. n-butiraldehid
a. Sifat fisis
Fasa : cair
Penampakan : tidak berwarna
Berat Molekul : 72,1062 kg /kmol
Titik didih pada 760 mmHg/1atm : 74,8 oC
Titik leleh 1 atm : -96,4 oC
Specific gravity pada 20 oC : 0,7938
Viskositas pada 20 oC : 0,43 cp
Kemurnian : 97,65 %
159
Densitas pada 25 oC : 0,802 (g/cm3)
Kelarutan dalam air pada 25 oC : 7,7 % berat
ΔHv pada 124 oC : 542,947 kal/g
ΔHf (liquid) pada 25 oC : -49,44 kcal/mol
160
Reaksi pertama adalah reaksi antara olefin (propilen) dengan H2 danCO,
disertai katalis NaX-zeolit akan menghasilkan aldehid, yang mempunyai atom C
satu lebih banyak dibanding hidrokarbon pada umpan. Reaksi ini berlangsung
eksotermis dan searah dengan kondisi tekanan 200-300 atm dan suhu 150-200 oC.
Pada proses pembentukan butiraldehid yang lain digunakan katalis carbonyl
cobalt sedangkan pada proses yang baru lebih banyak digunakan katalis NaX-
zeolit, cobalt-termodifikasiphosphine dan katalis Rhodium yang membutuhkan
kondisi operasi suhu yang tinggi.
161
1900-an telah disintesis secara besar-besaran dari bahan dasar yang murah dan
tersedia dalam jumlah yang banyak disepanjang tahun, yaitu lignosulfat, yang
merupakanlimbah dari pabrik kertas atau pulp [1]. Selain itu, vanili juga disintesis
dari resin guaikum [1].Beberapa metoda sintesis vanili dari guaiakol 1 sebagai
bahan dasarnya, antara lain melalui reaksi Reimer- Tiemann, sintesis Gattermann,
reaksi penataan ulang Fries, dan modifikasi reaksi Sandmeyer [2]. Beberapa
metoda sintesis vanili dari guaiakol 1 sebagai bahan dasarnya, antara lain melalui
reaksi Reimer-Tiemann, sintesis Gattermann, reaksi penataan ulang Fries, dan
modifikasi reaksi Sandmeyer [2]. Reaksi Reimer-Tiemann merupakan suatu reaksi
substitusi elektrofilik (SE) pada karbanion fenoksi dalam suasana alkalis, dengan
diklorokarbena sebagai elektrofilnya (E+). Substitusi tersebut biasanya terjadipada
posisi orto terhadap gugus fenol, sedangkan rendemen (hasil) senyawa aldehida
yang didapatkanbiasanya kurang dari 15% (Gambar 1). Diduga, penyebab
rendemen/ hasil reaksi tersebut sangat rendah adalah, bahwa sebagian besar
substrat awalnya tidak bereaksi [3,4,5,6]. Reaksi Reimer-Tiemann merupakan
reaksi pembentukan gugus aldehida pada inti aromatik melalui penyerangan
elektrofil (E+) diklorokarbena 4, terhadap inti aromatik (misalnya anion fenoksi),
dan selanjutnya diikuti reaksi hidrolisis gugus diklorometil yang terbentuk 5,
menjadi senyawa orto dan atau para hidroksi benzaldehida [7]. Rasio antara
produk orto dan para hidroksi benzaldehida tersebut sangat dipengaruhi oleh
penggunaan haloform, ion hidroksida (OH-) yang digunakan, dan penggunaan
alkohol sebagai ko-pelarut [5]. Mekanisme pembentukan diklorokarbena dan
penyerangan diklorokarbena pada anion fenoksi dapat dilihat pada Gambar 2.
Pada reaksi Reimer-Tiemann dikenal dua tipe reaksi, yaitu reaksi yang normal dan
reaksi abnormal [2]. Reaksi Reimer-Tiemann yang berjalan secara normal adalah
apabila produk reaksi yang terbentuk berupa senyawa turunan aldehida aromatik,
sedangkan reaksi Reimer-Tiemann yang berjalan secara abnormal, yaitu apabila
produk reaksi yang terbentuk adalah suatu senyawa sikloheksadiena atau terjadi
perbesaran cincin senyawa lingkar (lihat Gambar 3) Seperti yang telah disebutkan
di atas, rendemen atau hasil reaksi Reimer-Tiemann secara konvensional kurang
dari 15%, karena sebagian besar substratnya tidak bereaksi. Kemungkinan lain
162
adalah terbentuknya produk-produk reaksi samping (by-products), antara lain
terbentuknya resin, seperti ditampilkan pada Gambar 4 [3,4,5,6]. Selain itu,
menurut Hine [8], anion triklorometil dan spesi diklorokarbena terbentuk pada
reaksi Reimer- Tiemann dari adduk kloroform (CHCl3)),
sedangkandiklorokarbena yang terbentuk dari anion triklorometil,merupakan
tahap penentu kecepatan reaksi Reimer-Tiemann. Oleh karena itu, hidrolisis
kloroform oleh ion hidroksil (OH-) haruslah merupakan suatu reaksi
kesetimbangan: Terbentuknya diklorokarbena serta kemungkinan kelanjutan
reaksinya dapat digambarkan melalui mekanisme reaksinya, dapat dilihat
padaGambar6.
163
1. Metode Penelitian
164
Gambar 4.42 beberapa produk samping pada reaksi reimer-tieman
Prosedur umum reaksi semi-sintesis vanili dari guaiakol melalui reaksi Reimer-
Tiemann adalah sebagai berikut:
165
15 menit, hingga terbentuk larutan yang jernih (terbentuk larutan garam kalium
guaiakolat). Ke dalam labu leher tiga yandilengkapi dengan termometer,
pendingin balik Liebig dan labu penetes, ditempatkan 90 mL larutan alkoholis
KOH 2,0 N dan 20 mL kloroform (170,0 mmol). Larutan garam kalium
guaiakolat ditempatkan pada labu penetes, kemudian ke dalam labu reaksi leher
tiga, dialirkan gas nitrogen (N2), untuk membuat kondisi atmosfer nitrogen di
dalam labu reaksi. Campuran reaksi di dalam labu reaksi diaduk dengan batang
pengaduk magnet, dan suhu reaksi dijaga agar tetap berada dalam kisaran 55-
60oC. Selanjutnya larutan garam kalium guaiakolat diteteskan dari labu penetes
secara perlahan-lahan selama 1 jam. Setelah penetesan larutan garam kalium
guaiakolat selesai dilakukan, campuran reaksi tetap diaduk dan dipanaskan pada
suhu 55-60oC selama 4 jam. Setelah reaksi berakhir, campuran reaksi didinginkan
hingga mencapai suhu ruang dan diasamkan dengan HCl 3,0 N hingga pH 4 dan
reaksi hidrolisis dilakukan selama 1,5 jam. Setelah proses hidrolisis selesai,
selanjutnya dilakukan distilasi uap hingga diperoleh distilat yang jernih (sekitar
150-200 mL). Distilat yang diperoleh, diekstraksi dengan kloroform, kumpulan
fase organiknya dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat, disaring, dan pelarutnya
diuapkan pada evaporator putar bertekanan udara rendah, hingga diperoleh
kembali substrat awalnya (guaiakol) yang tidak bereaksi. Terhadap residu dari
distilasi uap, dilakukan ekstraksi dengan kloroform, dan fase organik yang didapat
dari ekstraksi tersebut sekali lagi dicuci dengan air, dikeringkan dengan Na2SO4
anhidrat, disaring, dan pelarutnya diuapkan pada evaporator putar bertekanan
udara rendah, hingga diperoleh larutan pekat. Larutan pekat tersebut diencerkan
dengan sesedikit mungkin pelarut n-heksana hangat, disaring dan dibiarkan pada
suhu ruang sehingga terbentuk kristal vanili. Kristal vanili yang terbentuk
disaring, dibilas dengan n-heksana dan dikeringkan di dalam
desikator.
166
Ke dalam labu bulat reaksi leher tiga yang berisi larutan 16,0 mmol guaiakol di
dalam 50 mL kloroform dan 0,1 g katalis transfer fase 18-crown ether-6,
dimasukkan 100 mL larutan alkoholis KOH 2N. Suasana atmosfer di dalam ruang
reaksi dibuat dalam kondisi atmosfer nitrogen (N2), dengan cara mengalirkan
untuk beberapa saat gas nitrogen ke dalam labu reaksi. Selanjutnya larutan diaduk
dengan batang pengaduk magnet, dan kecepatan pengadukannya diatur minimal
1000 rpm (putaran/menit), sedangkan suhu reaksi dijaga agar tetap dalam kisaran
40-45OC atau 55-60OC selama 4 jam. Proses penyelesaian reaksi dan isolasi
produk reaksi, sama dengan prosedur pelaksanaan reaksi Reimer-Tiemann yang
dilakukan tanpa menggunakan katalis.
167
3. bila di dalam campuran reaksi ditambahkan etanol sebagai ko-pelarut, maka
akan dihasilkan produk reaksi berupa vanili 2 saja Data spektroskopi dari o-vanili
6 dan vanili 2 dapat dilihat pada Tabel 1. Dari data tersebut tampak jelas pengaruh
alkohol sebagai ko-pelarut terhadap produk reaksi yang dihasilkan pada reaksi
Reimer-Tiemann. Apabila reaksi Reimer-Tiemann dilakukan tanpa penambahan
alkohol sebagai ko-pelarut, maka hanya akan dihasilkan o-vanili 6 sebagai produk
utamanya. Hal itu disebabkan posisi orto memang lebih kaya elektron daripada
posisi para. Selanjutnya, bila metanol ditambahkan sebagai kopelarut,
keterangan:
o-vanili 6 dan vanili 2, karena rantai alkil dari metanol kurang efektif
untuk memblokir posisi orto. Bila etanol ditambahkan sebagai ko-pelarut, maka
produk utama reaksi hanya akan berupa vanili 2, karena pemblokiran gugus alkil
dari etanol terhadap posisi orto sangat efektif.
168
pengarah masuknya elektrofil ke dalam inti benzena pada posisi orto dan atau
para (ortho-para dirigent). Akan tetapi, kekuatan pengarah posisi orto dan para
dari gugus hidroksil (OH) dan metoksil (OCH3) tersebut berbeda. Gugus hidroksil
berperan lebih kuat sebagai pengarah orto-para dari pada gugus metoksil, terlebih
lagi apabila gugus hidroksil tersebut sudah berubah menjadi bentuk anion oksonya
(anion fenolat atau anion fenoksi). Dipandang dari sudut kerapatan elektron,
posisi orto mempunyai kerapatan elektron yang lebih tinggi daripada posisi para.
Akan tetapi apabila posisi orto maka akan dihasilkan campuran produk reaksi
Gambar 4.45 kromatogram lapis tipis (tlc) Hasil reaksi semi-sintetis vanili
Melalui reaksi reimer-teiman
169
dapat diblokir dengan baik, maka proses substitusi hanya akan dapat berlangsung
pada posisi para. Pada penelitian ini, sama sekali tidak diisolasi produk reaksi
berupa isovanili 7. Hal itu menandakan bahwa gugus metoksil (OCH3) sebagai
gugus pengarah ortopara sama sekali tidak berfungsi. Karbena adalah suatu
spesies atom karbon yang bermuatan listrik netral, sedangkan diklorokarbena
sebenarnya juga termasuk dalam golongan karbena. Akan tetapi, oleh karena
keelektronegatifan unsur klor (Cl) di dalam diklorokarbena tersebut cukup tinggi,
maka akan mengubah karakter diklorokarbena, dari spesie atom karbon yang
bermuatan listrik netral menjadi atom karbon yang bermuatan listrik relatif positif.
Dengan demikian diklorokarbena akan berubah sifatnya dari bentuk
karbena menjadi elektrofil (E+). Tabel 2 memperlihatkan pengaruh alkohol
sebagai kopelarut terhadap rendemen vanili, data tersebut sangat
sesuai dengan tinjauan teori, mengapa hal tersebut dapat terjadi (Gambar 9).
Dalam hal ini memang tidak diungkapkan, bahwa apabila metanol ditambahkan
sebagai ko-pelarut, maka produk reaksi yang sebenarnya adalah campuran dari o-
vanili 6 dan vanili 2.
170
15% [3, 4; 5, 6]. Dengan makin meningkatnya jumlah etanol sampai batas
tertentu, maka rendemen vanili juga akan meningkat. Penyebabnya adalah
efektivitas pemblokiran posisi orto semakin baik, dan selain itu juga akan
menurunkan kemungkinan kontak diklorokarbena dengan air. Akan tetapi, bila
jumlah etanol yang ditambahkan lebih banyak dari 60%, maka kelarutan KOH
menjadi berkurang, sehingga konsentrasi OH- yang harus tersedia juga berkurang,
dan proses pembentukan diklorokarbena juga menjadi menurun, sehingga
rendemen/hasil vanili yang diperoleh juga menjadi berkurang.
171
Tabel 4.21 pengaruh alkohol sebagai ko-pelarut terhadap rendemen/hasil vanili
Gambar 4.47 efektifitas pemblokkiran posisi orto dari gugus fenoksi oleh a.etanol
b.metanol
Tabel 4.22 pengaruh kadar etanol sebagai ko-pelarut terhap rendemen/hasil vanili
172
Tabel 4.23 pengaruh suhu reaksi terhadap hasil redemen vanili dengan katalis
Gambar 4.48 gambaran perbedaan posisi masuknya elektrofil pada posisi orto
dan para
173
K.Vanilin dari Limbah Daun Cengkeh
Salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah minyak daun cengkeh yaitu
dengan memproduksi senyawa isolate dari minyak daun cengkeh yaitu eugenol
atau senyawa turunannya antara lain iso-eugenol dan vanillin. Harga produk-
produk tersebut jauh lebih mahal daripada minyak daun cengkeh. Sebagai
gambaran, harga eugenol di pasar internasional pada tahun 1997 sekitar US$ 7,80
per kg (Uhe, 1997) dan pada saat yang sama harga minyak daun cengkeh US$
4,75 per kg.
Dengan demikian, terjadi pertambahan nilai hamper mendekati
60%.Eugenol banyak digunakan dalam industri makanan untuk aroma dan
pengawet, dalam industri farmasi untuk pengobatan gigi.Kebutuhan eugenol
untuk farmasi sebagai sediaan untuk pengobatan gigi masih tergantung pada
produk impor sedangkan yang berasal dari dalam negeri semakin jarang
ditemukan.Minyak daun cengkeh banyak digunakan dalam industri farmasi,
parfum, kosmetik dan industri flavor makanan dan minuman.Peluang usaha
minyak daun cengkeh di Indonesia cukup besar, terutama di daerah-daerah sentra
produksi cengkeh. Laporan penelitian dari Balittro (2005) mengungkapkan, Pulau
Jawa memiliki pertanaman cengkeh dengan luas areal mencapai ± 50.000 ha,
diperkirakan memiliki potensi daun cengkeh gugur ± 305 ton per hari atau setara
dengan 4,4 ton minyak daun cengkeh per hari. Perhitungan ini didasarkan pada
berat daun jatuh setiap pohon 0,5 kg per minggu, umur tanaman lebih dari 10
tahun, dengan rendemen minyak daun cengkeh 2%, populasi tanaman 100 pohon
per hektar (polikultur) dan rata-rata penutupan kanopi 60%, akan menjadi peluang
usaha yang menguntungkan. Indonesia telah berhasil memproduksi eugenol, tetapi
harga crude eugenol asal Indonesia di pasar internasional lebih rendah dari Negara
produsen lainnya, yaitu rata-rata US 5,15per kg (Uhe, 2005).
Rendahnya harga eugenol asal Indonesia kemungkinan disebabkan
mutunya (warna,indeks bias, kemurnian) yang kurang baik.Produk eugenol hasil
isolasi dari minyak daun cengkeh dapat ditingkatkan mutunya melalui
174
penggunaan bahan baku/minyak daun cengkeh yang baik dan pemurnian eugenol
dengan metode desrilasi vakum.
Teknologi Proses
Sampai saat ini sejumlah teknologi sintesis vanillin masih terus dikembangkan.
Sintesis vanillin dapat dilakukan dengan cara oksidasi isoeugenol yang bahan
bakunya berasal dari limbah daun cengkeh. Prosedur standar yang biasa
digunakan dalam sintesis vanillin adalah jalur oksidasi dengan nitrobenzene,
selain itu dapat juga dilakukan dengan cara oksidasi dengan menggunakan
oksidator H2O2 dan katalis methyltrioxorhenium (MTO) (Herrmann, et.al., 2000).
Dibandingkan metode nitrobenze, metode ini menggunakan suhu reaksi
yang lebihrendah dan waktu rekasi yang lebih singkat.Masalah utamanya yaitu
mahalnya harga katalis MTO. Selain dari minyak daun cengkeh, vanili juga dapat
disintesis dari lignin melalui proses biologis menggunakan beberapa jenis bakteri
seperti Bacillius sp. Dan Pseudomonas sp. (Furukawa et al. 2003). Namun
demikian, penggunaan metode biologis ini diharapkan pada sejumlah masalah
ketersediaan bahan baku, biaya pengolahan produk samping dan isu lingkungan
(Fridge,2004).
Dalam perkembangan terakhir, sintesis vanillin dilakukan dengan
menggunakan gelombang mikro. Metode ini relative mudah dilaksanakan, tidak
memerlukan suhu reaksi tinggi, waktu relative singkat dan effisiensi hasil yang
cukup
tinggi (Suwarso et al,2005). Balai Besar penelitian Pasca Panen Pertanian telah
mencoba sintesis vanillin dari minyak daun cengkeh dengan metode nitribenzen
menggunakan cara konvensional dan gelombang mikro, diperoleh rendemen
18,58% dan 7,42% dengan kemurnian sekitar 99,16%. Hasilnya kemudian
dikarakteristik dan dibandingkan dengan vanillin komersial. Untuk bentuk, warna
dan aroma, vanilin komersial mempunyai bentuk kristal jarum warna putih dengan
aroma khas vanilin, sedangkan hasil penelitian menghasilkan kristal amorf
berwarna merah kekuningan.
Untuk densitas, titik lebur dan kelarutan mempunyai karakteristik yang sama
dengan
175
vanilin komersial. Untuk meningkatkan mutu, sebaliknya dilakukan proses
kristalisasiulang sampai diperoleh kristal putih bersih yang menyerupai dengan
vanilin komersial.
Potensi Indonesia akan minyak daun cengkeh sebagi sumber eugenol cikip
besar. Sebagaigambaran, Pulau Jawa yang merupakan salah satu sentra produksi
cengkeh di Indonesiamemiliki potensi produk minyak daun cengkeh sebesar 4,4
ton per hari. Denganberfluktasinya harga buanga cengkeh kering (produk utama)
pada kisaran (Rp 25.000-30.000 per kg) yang belum menuntungkan petani
(Balittro,2005), maka usaha produksiisolasi eugenol dan sintesis vanilin dari
minyak daun cengkeh (gugur) dapat menjadiproduk alternatif yang dapat
menigkatkan pendapatan petani.
176
Keputusan Kepala Bappeda Kabupaten Batang Nomor : 050/164/2010 tertanggal
05 Mei 2010 Tentang Pembentukan Kelompok Kerja Klaster Forum
Pengembangan Ekonomi Kerakyatan dan Peningkatan Sumberdaya
(FORPEKDA) Kabupaten Batang (Profil Kluster Minyak Atsiri Kab. Batang,
2011).Jumlah penyuling minyak sekitar 30 buah, dengan produk saat ini adalah
minyak daun cengkeh, minyak batang cengkeh dan minyak nilam. Permasalahan
yang dihadapi oleh industri /UKM adalah spesifikasi produk seperti warna minyak
cengkahcoklat kehitaman, kadar eugenol masih dibawah standar SNI.
Permasalahan yang lainadalah sebagaian besarpenggunaan minyak eugenol adalah
untuk bahan pangan diantara untuk pengawet karena mempunyai kemampuan
sebagai anti bakteri atau jamur (Oyedemi dkk, 2009; Chami dkk, 2004; Carrasco
dkk, 2012) baik sebagai eugenol maupun turunannya. Sebagian besar yang
digunakan adalah sebagai senyawa turunannya seperti metil eugenol, iso
eugenol.Turunan eugenol bersifat aman bagi manusia karena merupakan senyawa
ester.
Permasalahan yang ada sampai saat ini Indonesia masih mengimpor
produk turunan dari eugenol, sehinggaketergantungan terhadap produk impor
sangat tinggi.
MINYAK CENGKEH
Minyak cengkeh merupakan minyak atsiri yang diperoleh dari tanaman
cengkeh (Eugenia caryophyllataThunb).Minyak atsiri ini dapat diperoleh dari
bunga, gagang, dan daun tanaman cengkeh.Kualitas minyaknyadievaluasi dari
kandungan fenol, terutama eugenol. Kandungan eugenol dalam minyak bunga,
gagang dan dauncengkeh sangat dipengaruhi oleh keadaan bahan baku, metode
penyulingan minyak dan pengambilan eugenoldari minyak. Kadar eugenol dalam
minyak cengkeh dipengaruhi oleh asal minyaknya.Kadar terbanyak dankualitas
yang baik dapat dihasilkan oleh minyak yang diperoleh dari bunga dan gagang
cengkeh.Kualitasminyak daun cengkeh hanya sedikit lebih rendah dibandingkan
dengan minyak bunga atau gagang cengkeh.
Minyak daun cengkeh berupa cairan berwarna kuning pucat sesaat setelah
disuling dan mudah berubah warna menjadi coklat atau ungu bila terkena logam
177
besi sehingga minyak ini lebih baik dikemas dalam botol kaca, drum aluminium
atau drum timah putih.
178
(2010) melakukan recovery ion logam Cr3+, Cd2+, dan Cu2+ dengan tiazoetil
metil eugenoksi asetat. Senyawa ini berfungsi sebagai senyawa pembawa
(carrier) dengan teknik membran cair curah
BLM (Bulk Liquid Membrane). Hasil penelitian adalah limbah krom dapat
direduksi pada pH 1 dan massa eugenoksiasetat 0,7 gram sebesar 68,60 %.
Polieugenol
Polieugenol merupakan polimer adisi dari eugenol yang masih baru dan
jarang disintesis.Sintesis polieugenol telah dilakukan oleh Ngadiwiyana (1996)
dari eugenol menggunakan katalis asam sulfat pekat tanpa media. Rendemen
polieugenol yang dihasilkan dengan metode tersebut adalah 73,20 %. Handayani
(2000) adalah mensintesis polieugenol dengan katalis asam sulfat dengan
perbandingan mol eugenol murni dan katalis asam sulfat 1:2, 1:4, dan 1:8. Hasil
yang diperoleh adalah polieugenol terbentuk sempurna pada perbandingan 1:2.
Pada perbandingan 1:4 polieugenol belum sempurna, sedangkan pada
perbandingan 1:8 polieugenol belum
terbentuk. Sayangnya rendemen yang dihasilkan dari dua penelitian tersebut
belum signifikan dan waktu yang digunakan masih sangat lama, sehingga tidak
efisien.Penelitian yang dilakukan oleh Suirta dkk, (2012) yaitu membuat
polieugenol dengan katalis asam nitrat pekat dengan media NaCl.Perbandingan
konsentrasi (mol) asam nitrat dengan eugenol yang digunakan adalah 4:1.
a. Tahap inisiasi
b. Tahap propagasi
c. Tahap terminasi
Polimerisasi 2-metil propana tidak terjadi bila pelarut yang digunakan
adalah pelarut tidak polar (Cowd,1982). Ion karbonium yang terbentuk bereaksi
dengan ion lawannya, memberikan rantai yang serupa dengan rantai adisi
elektrofilik senyawa asam pada senyawa berikatan rangkap, seperti halnya
hidrogen pada alkena.Jika reaksi tersebut dilakukan pada pelarut polar,
polimerisasi segera terjadi.Hal ini karena ion karbonium menjadi mantap akibat
solvasi, dan ion lawan dalam keadaan berjauhan untuk menghasilkan
polimer.Selain itu,media pendukung seperti air dapat membantu mentransfer
179
panas reaksi dan mengurangi viskositas sistem reaksi karena kapasitas panas dan
viskositasnya yang tinggi.Polieugenol dapat dimanfaatkan sebagai carrier dalam
metode pemisahan logam dengan menggunakanteknik Bulky Liquid Membrane
(BLM). Logam-logam yang akan dipisahkan dengan polieugenol sebagaisenyawa
pembawa adalah Cr3+, Cu2+, dan Cd2+ (Nindya, 2005).
Metil eugenol dan metil isoeugenol.
Eugenol dapat dikonversi menjadi metil isoeugenol dengan metode dua
tahap dua wadah yaitu proseskonversi eugenol menjadi metil eugenol sebagai
tahap pertama, kemudian setelah dipisahkan metil eugenoldikonversi menjadi
metil isoeugenol sebagai tahap kedua. Tahap pertama dapat dilakukan dengan
mereaksikaneugenol dan dimetil sulfat dalam larutan natrium hidroksida, atau
dengan mereaksikan minyak cengkeh denganlarutan natrium hidroksida 10%,
diikuti dengan penambahan dimetil sulfat.Reaksi isomerisasi sebagai tahapkedua
dapat dilakukan dengan mereaksikan metil eugenol dengan kalium
tersierbutoksida dalam pelarut dimetilsulfoksida pada suhu kamar dilanjutkan
dengan penambahan air.Metil isoeugenol juga dapat diperoleh
denganmereaksikan metil eugenol secara langsung dengan kalium tersierbutoksida
atau kalium hidroksida padat(Anwar, 1994).
Suwarso dkk, (2005) melaporkan bahwa isomerisasi eugenol menjadi
isoeugenol dapat dilakukandengan mereaksikan eugenol dengan larutan kalium
hidroksida 10% menggunakan iradiasi gelombang mikroselama 1–3 menit,
sedangkan Kishore dan Kannan (2002, 2004) melakukan reaksi isomerisasi
eugenol menjadiisoeugenol menggunakan iradiasi gelombang mikro dengan
MgAl hidrotalsit sebagai katalis basa padat.Rudyanto & Hartanti, (2006)
melakukan sintesis metil isoeugenol dengan lebih efisien, yakni melalui reaksi
satutahap dengan iradiasi gelombang mikro dan diperoleh kesimpulan bahwa
syarat untuk terjadinya dua reaksi
dalam satu tahap tersebut ialah adanya kombinasi basa kuat KOH atau NaOH dan
katalis transfer fasatetrabutilamonium bromida.
Salah satu senyawa obat penting yang berkhasiat sebagai stimulan jantung
ialah α-metilnoradrenalin. Di Industri farmasi, senyawa ini dibuat dari 1-(3,4-
180
dimetoksifenil)-1,2-epoksipropana atau dari 2-bromo-1-(3,4-dimetoksifenil)
propanol (Payne, 1961). Karena senyawa epoksida tersebut dapat dibuat dari metil
isoeugenolmelalui reaksi epoksidasi (Anwar, 1994), dan senyawa halohidrin dapat
dibuat dari epoksida (Inokuchi, 1992),maka metil isoeugenol merupakan senyawa
yang penting dalam sintesis stimulan jantung tersebut.Shelly dkk,(2010)
menggunakan metil eugenol (turunan eugenol) untuk meningkatkan fertilitas pada
serangga (lalat buah)dan hasilnya cukup menjanjikan.Sadeghian dkk (2009) telah
melakukan sintesis turunan eugenol dan dilakukanuji aktifitas untuk menghambat
enzim 15-lipogenase. Enzim ini banyak terlibat dalam beberapa penyakit seperti
asma, kanker dan paru-paru. Hasil sintesis dan uji aktifitas menunjukkan bahwa
senyawa tersebut mampu untukmenghambat kinerja dari enzim 15-lipogenase.
Vanilin
Vanilin (4-hidroksi-3-metoksi benzaldehida) merupakan padatan kristal
berwarna putih atau sedikitberwarna kuning, biasanya berbentuk jarum dan
mempunyai bau (aroma) yang khas. Vanilin adalah senyawayang dapat
diturunkan dari eugenol. Sintesis vanilin dapat dilakukan dengan cara oksidasi
isoeugenol. Prosedurstandar yang biasa digunakan dalam sintesis vanillin adalah
jalur oksidasi dengan nitrobenzene yang dilarutkandalam DMSO pada suhu 130
oC dan waktu reaksi 3 jam dengan cara konvensional (Sastrohamidjojo,
1981).Vanilin secara alami berasal dari ekstraksi buah Vanilla planifolia, tanaman
merambat yang berasal dari Mexico,Honduras dan Guatemala.Tanaman ini
dimasukkan ke banyak negara tropis dan di Indonesia banyak diusahakandi Pulau
Jawa dan Bali (Sari, 2003). Kadar vanilin yang ada dalam buah vanila tergantung
tempat tumbuhnya,misalnya di Mexico 1,5 % dan di Pulau Jawa 2,7 %
(Kurniawan, 2005).Prinsip pembuatan vanilin dari eugenol adalah reaksi
isomerisasi yang disusul dengan reaksi oksidasi.
Untuk tahap oksidasi, dipergunakan nitrobenzena. Selanjutnya garam kalium
vanilat yang terbentukdiasamkan dengan HCl. Memproduksi vanilin dari eugenol
dalam skala besar yang direaksikandengan KOH, nitrobenzene dan air di dalam
autoklaf pada suhu 170 – 190 oC dan tekanan 8 atm menghasilkanrendemen 3,6
%.
181
Sari (2003), menyatakan bahwa vanilin dengan hasil sedikit diperoleh dari
hasil oksidasieugenol asetat dengan kalium permanganat.Selain itu vanilin juga
dapat diperoleh dari isoeugenol dengan zatzatpengoksidasilainnya, seperti
oksigen, ozon dan merkuri oksida dalam larutan alkalis.Boult et al., (1970), juga
menyatakan metode lain yang digunakan untuk proses oksidasi eugenolmenjadi
vanilin adalah penggunaan nitrobenzene atau homolognya yang lebih tinggi
dengan adanya fenol,azobenzene, natrium meta-nitrobenzenasulfonat dengan soda
kaustik dan anilin menghasilkanrendemen dankemurnian yang tinggi. Pada
sintesis vanilin digunakan pelarut dimetil sulfoksida (DMSO). Hal ini
dikarenakanmasalah yang dihadapi dalam penggunaan metode ini adalah kesulitan
bahan baku dan mahalnya harga untuk
mendapatkan azobenzene dan natrium meta-nitrobenzenasulfonat serta
penggunaan anilin yang sangatberbahaya.
Metode sintesis vanilin menggunakan pemanasan gelombang mikro telah
dilakukan Kurniawan (2005).Sintesis ini dilakukan oleh dilakukan dengan 2
tahap, yaitu isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol dan oksidasiisoeugenol
menjadi vanilin pada tingkat daya 680 Watt dengan lama reaksi 2 menit
menghasilkan rendemenvanilin sebesar 86,1 %. Metode ini relatif mudah
dilaksanakan.Pemakaian gelombang mikro untuk aktivasireaksi telah diketahui
dapat mempercepat laju reaksi dalam waktu yang jauh lebih singkat sehingga
efisiensidapat diperoleh.Sedangkan, dalam penelitian Cicadesi, (2007)
menggunakan oksidator nitrobenzene denganDMSO sebagai pelarut dan
penggunaan pemanasan gelombang mikro (microwave) untuk menghasilkan
vanillin.
Sintetik dari isoeugenol minyak cengkeh.Hasil terbaiknya adalah
perlakuan pada tingkat daya 800 Watt denganlama reaksi 4 menit. Perlakuan
tersebut menghasilkan produk vanilin dengan kemurnian 99,6 %,
rendementerbesar 8,98 %, densitas 0,609, titik leleh 63,20 oC dan kelarutan dalam
alkohol 70 % dengan perbandingan 1:2.Vanilin merupakan bahan serbaguna yang
banyak digunakan sebagai flavor (82 %) oleh industri makananproduk wewangian
(5 %) (Tidco, 2005). Vanilin dapat dipakai sebagai bahan baku pembuatan obat,
182
antara lainL-dopa yaitu suatu asam amino untuk pengobatan penyakit Parkinson
dan keracunan mangan.
Sintesis polivinil
Sintesis polivinil asetat berbasis pelarut metanol telah dilakukan dengan
variasi rasio pelarut metanol-air 1:1, 1:2, 1:3, 1:4 dan 2:3. Sintesis tersebut
terstabilkan oleh suatu disponil yang mengandung kombinasi antara surfaktan
anionik dan non-ionik, serta polivinil alkohol yang berperan sebagai agen
pengemulsi.Polimerisasi vinil asetat diinisiasi oleh radikal bebas dari gugus
persulfat.Sintesis PVAc masing-masing variasi rasio pelarut dikarakterisasi
menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared), TMA (Thermomechanical
Analysis), Tensile Strength dan uji viskositas rotasional.Hasil FTIR menunjukkan
gugus fungsi yang tepat sebagai senyawa penyusun polivinil asetat.Hasil TMA
menunjukkan data koefisien muai panas yang rendah pada produk PVAc dengan
rasio pelarut metanol-air 1:4, sehingga ukuran/dimensi polimer tersebut lebih
rapat dan kekuatan ikat silangnya juga lebih tinggi.Hasil uji Tensile Strength
menunjukkan produk PVAc dengan rasio pelarut metanol-air 1:3 memiliki nilai
distonia muskularijuga dipakai untuk sintesis trimethapriim, suatu
chemoterapeutikum untuk penanggulangan infeksi saluran.
183
tersebut dimodifikasi dengan pelarut bukan air yang terbukti memiliki sifat lebih
baik dari polivinil asetat berbasis pelarut air [1].
Polivinil asetat tersusun dari unit perulangan monomer vinil asetat melalui proses
polimerisasi emulsi [2]. Polivinil asetat memiliki gugus asetat yang bersifat polar
akibat adanya ikatan hidrogen.Polimer ini umumnya digunakan sebagai bahan
penstabil emulsi, dan pembentuk film. Selain itu, juga sebagai bahan perekat dan
pengikat pada cat berbahan dasar air atau emulsi, sebagai pengikat pada kertas,
kayu, kaca, logam, dan porselen, serta perekat pada resin [3].Sintesis polivinil
asetat dimodifikasi dengan pelarut metanol. Metanol berperan dalam reaksi
alkoholisis pada polimerisasi vinil asetat [4].Polimer ini terstabilkan oleh suatu
surfaktan, yaitu suatu zat yang aktif pada permukaan larutan aqueous.Molekul
surfaktan bersifat amfilik yaitu memiliki dua sifat yang bertolak belakang yakni
hidrofilik dan hidrofobik.Kedua sifat tersebut menyebabkan surfaktan berperan
mengadsorb kuat pada antarmuka air-udara, sehingga mengurangi energi
permukaan pada substansi larutannya [5]. Sintesis poivinil asetat menggunakan
agen pengemulsi atau koloid pelindung yaitu polivinil alkohol yang berperan
mencegah terjadinya aglomerasi pada proses pembentukan polimer. Koloid
pelindung pada polivinil asetat umumnya bersifat polar dan merupakan polimer
non-ionik. Koloid pelindung akan menghasilkan efek kestabilan dan
mempengaruhi viskositas dalam produk polimer [6]. Produk polivinil asetat
berbasis pelarut metanol dikarakterisasi menggunakan FTIR (Fourier Transform
Infrared) untuk mengetahui susunan gugus fungsi polivinil asetat, TMA
(Thermomechanical Analysis) untuk mengidentifikasi sifat termal polimer, uji
Tensile Strength untuk menganalisis sifat mekanik polimer dan uji viskositas
rotasional untuk mengetahui kekentalan produk polimer. Pada penelitian ini akan
digunakan emulsifier untuk memperbaiki kinerja atau peran metanol. Kombinasi
surfaktan anionik dan non-ionik, yakni suatu Disponil, diduga gugus hidroksi dan
muatan negatifnya dapat mengalami ikatan hidrogen yang kuat dengan metanol
dan diduga satu-satunya pengemulsi yang tepat untuk jenis polimerisasi emulsi.
Penggabungan beberapa bahan tersebut merupakan inovasi baru untuk sintesis
184
polivinil asetat berbasis pelarut bukan air untuk aplikasi bahan perekat plat baja
dengan styrofoam.
Proses polimerisasi dilakukan dengan metode semi batch di dalam reaktor
yang telah dilengkapi peralatan pendukung khusus untuk polimerisasi. Seluruh
bahan ditimbang sesuai komposisi bahan yang telah ditentukan (dilampirkan).
Sintesis ini menggunakan pelarut metanol-air dengan masing-masing variasi
antara lain 1:1, 1:2, 1:3, 1:4 dan 2:3. Sintesis dimulai dengan memasukkan air
demineralisasi dan metanol, lalu disemprotkan N2 selama 2 menit.Kemudian
larutan dipanaskan hingga mencapai temperatur < 90°C, lalu dimasukkan padatan
PVA dan mulai dilakukan pengadukan. Larutan SBK, APS dan surfaktan
dimasukkan dalam reaktor. Kemudian dimasukkan tetes demi tetes 10 %
campuran VAM dengan surfaktan yang ada pada syringe, bersamaan dengan
dimasukkannya 2/3 bagian larutan APS yang ada pada syringe lain. Ditunggu
hingga mengalami polimerisasi yang ditandai dengan timbulnya gelembung-
gelembung atau busa berwarna putih yang bergerak naik. Kemudian selang
beberapa lama gelembung atau busa tersebut akan turun. Selanjutnya ditambahkan
tetes demi tetes larutan APS dan campuran VAM dengan surfaktan, dengan
perbandingan 1:8 tetes hingga habis.Setelah habis, temperatur diturunkan secara
bertahap hingga mencapai suhu ruang.Kemudian ditambahkan DBP dan AM
sesuai komposisi, dan dihentikan pengadukan.
185
karena mudah larut dalam air.Larutan buffer seringkali ditambahkan ke dalam
reaksi polimerisasi emulsi untuk menstabilkan pH karena hidrolisis vinil asetat
bersifat sensitive terhadap pH, selain itu inisiator juga terdekomposisi pada pH
tertentu.Chain transfer agent juga ditambahkan untuk mengontrol berat molekul
dari polivinil asetat yang dihasilkan.Proses polimerisasi emulsi dapat dilakukan
dengan cara memasukkan semua bahan yang dibutuhkan ke reaktor, kemudian
memanaskan sistem, dan mengaduk campuran sampai reaksi selesai terjadi. Pada
saat reaksi berlangsung, temperatur 60-80oC dimana reaksi dikontrol dengan
menggunakan sistem pendingin.Penambahan monomer dilakukan secara kontinyu
ke dalam reaktor selama 4-5 jam waktu reaksi untuk menghasilkan polivinil asetat
dalam partikel yang lebih kecil dan dispersi yang lebih stabil.Konversi dalam
polimerisasi ini terjadi hingga 70-80% (Kominami,1966).
(1)
(2.1)
Atau
(2.2)
186
Gambar 2.1. Pembentukan Polivinil Alkohol dari VAM (Cecelia K. Haweel,
and Saad H. Ammar).
187
Gambar 2.2.reaksi Hidrolisis pembentukan Polivinil Alkohol
Polivinil asetat ditambahkan 8-10% mol NaOH per mol polivinil asetat
(20%berat air), Methanol untuk mengurangi konsentrasi NaOH ke bawah 10%
dengan temperatur hidrolisis 40-45oC dan waktu reaksi 20-90 menit. Kemudian
dikeringkan dalam ruang hampa oven semalam di 60-70 oC.Pada skala industri,
metode esterifikasi lebih disukai daripada metode hidrolisis karena distribusi
gugus fungsional alkohol pada rantai produk PVA lebih teratur sehingga molekul
polimer lebih stabil.Oleh karena itu produk Polivinil Alkohol yang dihasilkan
memiliki derajat hidrolisis yang rendah (35%). Selain itu, reaksi hidrolisis jarang
digunakan untuk memproduksi PVA karena laju reaksinya lebih lambat
dibandingkan dengan proses transesterifikasi. (Markley. 1994).
3.2. Reaksi Alkoholis/Transesterifikasi
Proses transesterfikasi adalah proses dimana sejumlah kecil asam atau basa
ditambahkan sebagai katalis untuk mengubah ester. Reaksi transesterifikasi
antarapoli(vinil asetat) dengan basa alkohol menghasilkan poli(vinil alkohol) dan
aldehid terjadi menurut persamaan pada gambar 2.4.
188
Katalis yang umum digunakan pada reaksi di atas adalah NaOH maupun
KOHataupun jenis katalis lainnya baik katalis asam atau basa.Derajat hidrolisis
dapat diatur dengan penyesuaian waktu reaksi, konsentrasi katalis, dan suhu
reaksi.Suhu pada reaksi alkoholis berkisar antara 55oC-85oC dengan waktu reaksi
20-90 menit. Umumnya produk PVA adalah kopolimer dari poli(vinil alkohol)
dan poli(vinil asetat) dengan kandungan poli(vinil asetat) berkisar antara 0-30%.
Produk PVA biasanya dikelompokkan berdasarkan derajat hidrolisisnya, yaitu
perbandingan antara gugus alkohol (OH) terhadap jumlah gugus fungsional secara
keseluruhan.PVA yang terhidrolisis sempurna artinya tidak lagi memiliki
gugusasetat (OCOCH3) pada rantainya.
B. Pemilihan Proses
1. Berdasarkan Bahan Baku
Dari bahan baku yang tertera dalam tabel 2.1., bahan baku yang digunakan
dalamperancangan pabrik polivinil alkohol adalah Polivinil asetat dengan
pertimbangan sebagai berikut :
a. Lebih ekonomis. Dimana harga vinil asetat monomer $ 1/kg, sedangkan harga
polivinil asetat $ 0,5/kg.
b. kemudahan proses yang berlangsung, jika menggunakan Vinil Asetat
akanmemakan waktu lebih banyak dalam mempolimerisasikannya menjadi
polivinil asetat.
2. Berdasarkan Katalis
Pemilihan katalis sangat bergantung pada kondisi proses dan viskositas
produk.Dalam perancangan pabrik polivinil alkohol ini menggunakan katalis
asamdengan pertimbangan :
a. Tidak sensitif terhadap air, karena dalam proses pembuatan polivinil alkohol
menggunakan air
b. Tidak menaikkan angka viskositas
3. Berdasarkan Reaksi dan Kondisi Proses
189
Dari kedua proses pada tabel 2.1., yang akan digunakan dalam
perancanganpabrik polivinil alkohol adalah proses alkoholis dengan pertimbangan
:
a. Waktu reaksi yang lebih singkat karena suhu reaksi lebih tinggi
b. Konversi polivinil alkohol yang dihasilkan pada proses alkoholis lebih tinggi
dibandingkan proses hidrolisis.
C. Uraian Singkat Proses Pembuatan Polivinil Alkohol
Proses yang digunakan adalah proses kontinyu, dimana bahan baku
polivinilasetat dengan methanol diumpankan bersama dengan katalis asam sulfat
menuju reaktor. Reaktor dioperasikan pada suhu 700C pada tekanan atmosferis.
Produk keluaran reaktor dilakukan proses pemisahan sisa reaksi methanol dan
produk samping metal asetat. Dimana produk polivinil alkohol diumpankan ke
dryer untuk proses pengeringan. Dan produk samping metal asetat dipisahkan
melalui menara destilasi. Secara garis besar proses pembuatan polivinil alkohol
dari polivinil asetat dan metanol dibagi menjadi 3 tahap, yaitu :
1. Tahap persiapan bahan baku
2. Tahap reaksi di dalam reaktor
3. Tahap pemurnian produk
190
sebesar 70oC. Pada awal operasi diumpankan H2SO4 dari tangki pada kondisi
fase cair sebagai katalis dengan suhu lingkungan menuju reaktor (R-01).
2. Tahap Reaksi di dalam Reaktor
Reaktor difungsikan untuk mereaksikan metanol dan polivinil asetat
menjadipolivinil alkohol dengan menggunakan katalis asam sulfat. Reaksi
dilakukan dalam RATB dengan orde 2 yang berlangsung pada fase cair-cair,
kondisi operasi isothermal, suhu 70oC, tekanan 1 atm, dengan sifat reaksi
eksotermis, irreversible.Sehingga untuk menjaga suhu reaksi dialirkan air
pendingin dalam koil. Reaksi pembentukan polivinil alkohol adalah
Produk keluaran reaktor dialirkan dengan pompa (P-04) dan pompa (P-05)
menuju unit pemurnian produk.
3. Tahap Pemurnian Produk
Produk keluaran reaktor yang menguap yaitu metil asetat dan metanol di
bawahsuhu 70oC dialirkan ke Menara destilasi (MD-01). Menara Destilasi
berfungsi untuk memisahkan metanol dan metil asetat yang menjadi uap selama
proses dalam reaktor kemudian di kondensasi ddalam condensor (CD-03). Suhu
menara destilasi adalah 58 0C .Metil asetat merupakan produk atas menara
destilasi dan produk bawah adalah mentanol.Kemudian metil asetat dikondensasi
dalam condensor (CD-01) ditampung dalam accumulator (AC-01) dan disimpan
dalam tangki produk samping. Sedangkan metanol diumpankan dengan pompa (P-
07) untuk di recycle menuju reaktor. Produk reaktor berupa slurry dicentrifuge
(CF- 01).Centrifuge berfungsi untuk memisahkan produk padatan dengan sisa
reaksi dan pelarut, dimana filtrat akan dialirkan dengan pompa (P-06) menuju
191
vaporizer (VP-02) sedangkan produk padatan diangkut dengan screw conveyor
(SC-03) dan diumpankan menuju rotary dryer (RD-01).
Rotary dyer berfungsi untuk mengeringkan produk polivinil alkohol
dengan media pengering udara, udara diperoleh dari lingkungan, dilewatkan filter
(F-01),untuk menyaring kotoran yang terikut dan dialirkan dengan blower (BL-
01). Dari blower kemudian dilewatkan heat exchanger (HE-04) yang berfungsi
untuk menaikkan suhu udara sampai 150oC dan digunakan sebagai media
pengering pada rotary dyer.Di dalam rotary dyer (RD-01) akan terjadi proses
kontak antara padatan basah dengan udara, maka akan terjadi proses humidifikasi,
yang menyebabkan kandungan cairan teruapkan dan padatan basah menjadi
kering. Produk rotary dyer diumpankan ke Rotary Cooler (RC-01) untuk
menurunkan suhu produk kemudian diangkut dengan screw conveyor (SC-01)
menuju pengantongan produk.Filtrat akan dialirkan dengan pompa (P-06) menuju
vaporizer (VP-02), air akan menguap karena suhu dalam vaporizer adal 100 0C
dan menjadi limbah kemudian asam sulfat beserta polivinit asetat di recycle ke
reaktor.
192
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi, I., Davis, T. J., Yun, D. M., Herrera, J. E. (2014) Partial oxidation of
ethanol to acetaldehyde over surface-modified single-walled carbon
nano-tubes, Applied Catalyst, A: General, 469, 8 - 17.
Adi Santoso, Komposisi Resin dan Kadar Adiktif dalam Perekat Lignin
Resorsinol Formaldehida pada Kayu Lamina Kempas, Jurnal
Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor, Vol. 16 No. 2,
Bogor, 2003.
Antoniadou, M., Vaiano, V., Sannino, D., Lianos, P. (2013) Photocatalytic oxida-
tion of ethanol using undoped and Ru-doped titania: Acetaldehyde,
hydrogen or electricity generation, Chemical Engineering Journal, 224,
144 - 148.
Bearse, A.E. and Morrin, R.D., 1947, ―Production of Esters‖, US Patent No.
2.415.000
Bernutti, E.V., and Gushikem, Y. 1998, Comparative Study on Catalityc Study
Oxidation of Ethanol to Acetaldehyde Using Fe (III) Dispersed on Sb2O5,
Journal of Brazilian Society, vol 9, no. 5, p. 469-472
Brown, E.N., Kessler, M.R., Sottos, N.R., dan White, S.R., (2003), ―In situ
poly(urea-formaldehyde) microencapsulation of Dicyclopentadiene‖, J
Microencapsul, 6, hal. 719-730.
Brown, G.G. and Foust, A.S., 1950, ―Unit Operations‖, John Wiley and Sons,
Inc., New York
Brownell, L.E. and Young, E.H., 1959, ―Process Equipment Design – Vessel
Design‖, 1st ed., Wiley Eastern Limited, New Delhi
193
Debecker, D. P., Stoyanove, M., Rodemerck, U., Leonard, A., Su, BL.,
Gaigneaux, E. M. (2011) Genesis of active and inactive species during the
preparation of MoO3/SiO2-Al2O3 metathesis catalyst via wet
impregnation, Catalys Today, 169, 60 - 68.
Evans Jr., F.L., 1970, ―Equipment Design Handbook‖, Gulf Publishing, Houston,
Texas
Filho, R. M. and Domingues, 1992, Multitubular Reactor for Obtention of
Acetaldehyde by Oxidation of Ethyl alcohol, Chemical Engeneering
Science, vol 47 no. 9.
Firda Aulya Syamani, Peningkatan Kualitas Papan Komposit Sisaal (Agave
Sisalana Perr.) Dengan Perlakuan Mekanis, Tesis, Sekolah Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2009.
Froment, G.F and K.B. Bischoff, 1990, Chemical Reactor Analysis and Design,
2nd Edition, John Wiley and Sons, New York.
Harisyah Manurung, Pemanfaatan Lignin dari Lindi Hitam Sebagai Bahan Baku
Perekat Lignin Resorsinol Formaldehida (LRF), Skripsi Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2009.
194
Heradewi, Isolasi Lignin dari Lindi Hitam Proses Pemasakan Organosolv Serat
Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), Skripsi Institut Pertanian
Bogor, Bogor, 2007.
Husin, H., Hasfita, F. (2006) Studi oksidasi etanol menjadi asetaldehida meng-
gunakan katalis molibdenum oksida berpenyangga Al2O3, TiO2, dan
SiO2, Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, 5 (1), 8 - 16.
Kage, H., Kawahara, H., Hamada, N., dan Ogura, H., (2002), ―Effects of core
material, operating temperature and time on microencapsulation by in
situ polymerization method‖, Advanced Powder Technol., 13, hal. 377–
394.
Mairiza dan Husin, H., Oksidasi Etanol menggunakan Katalis Besi Molibdenum
Oksida, Laporan Penelitian, Teknik Kimia Unsyiah.
195
Marcelila Medynda, Pengembangan Perekat Likuida Dari Limbah Kulit Buah
Kakao (Theobroma Cacao L.), Skripsi, Program Sarjana Fakultas
Kehutanan USU, Medan, 2012.
Perry, R.H. and Green, D.W., 1984, ―Perry’s Chemical Engineer’s Handbook‖,
6thed., McGraw-Hill Book Company, Singapore
Peters, M.S. and Timmerhaus, K.D., 1981, ―Plant Design and Economics for
Chemical Engineers‖, 3rd ed., McGraw-Hill International Book Company,
Singapore
Piccoli, Ricardo Luis, 1992, Kinetic Study of Methanol Selective Oxidation to
Formaldehyde on Iron Molybdate Catalyst, Research Report,
Laboratorium voor Petrochemische Techniek, Fakulteit der Toegepaste
Wetenschapen, Universiteit Gent.
Rase, H.F., 1977, ―Chemical Reactor Design for Process Plant‖, vol. 1, Wiley-
Interscience Publication, New York
Redina, A. E., Greish, A. A., Mishin, I. V., Kapustin, G. I., Tkachenko, O. P.,
Kirichenko, O. P., Kustov, M. L. (2015) Selective oxidation of ethanol to
acetaldehyde over Au-Cu catalysts prepared by a redox method, Catalyst
Today, 241, 246 - 254.
Risfaheri, et al., Optimasi Komposisi Kardanol dari Minyak Kulit Mete Sebagai
Subtitusi Fenol Dalam Formulasi Perekat Fenol Formaldehida,
Jurnal Pascapanen 2(1) 2005: 24-33.
Salaün, F., dan Vroman, I., (2008), ―Influence of core materials on thermal
properties of melamine– formaldehyde microcapsules‖, Eur Polym J, 44,
hal. 849–860.
Schildnecht, C.E., (1956), ―Polymer Process‖, Vol.10, John Willey and Sons, Inc.,
New York, pp. 295-319.
Smith, J.M. and Van Ness, H.C., 1975, ―Introduction to Chemical Engineering
Thermodynamics‖, 3rd ed., Mc Graw-Hill Kogakusha, Ltd., Tokyo
196
Sun , G., dan Zhang, Z., (2002), ―Mechanical strength of microcapsules made of
different wall materials‖, Int J Pharm, 242, hal.307–311.
Takei, T., Iguchi, N., Haruta, M. (2011) Synthesis of acetaldehyde, acetic acid,
and others by the dehydrogenation and oxidation of ethanol, Catalysis
Surveys from Asia, 15, 80-88.
Tang, C., Zhai, Z., Li, X., Sun, L., Wei, B. (2015) Sustainable production of
acetaldehyde from lactic acid over the magnesium aluminate spine,
Journal of The Taiwan Institute of Chemical Engineers, xxx, x - xx.
Tito Sucipto, Karakterisasi Partikel Dan Likuida Tandan Kosong Sawit, Tesis,
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor, 2009.
Wang, S., Zhang, Y., Chen, T., Wang, G. (2015) Preparation and catalytic
property of MoO3/SiO2 for dispropor-tionation of methyl phenyl
carbonate, Journal of Molecular Catalysis: A Chemical, 398, 248 - 254.
Yuliani, Kualitas Papan Partikel Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq) Menggunakan Perekat Likuida dengan penambahan Resorsinol,
Skripsi Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2012.
Zhang, H., Yao, G., Wang, L., Su, Y., Yang, W., Lin, Y. (2015) 3D Pt/MoO3 nano-
catalysts fabricated for effective electrocatalytic oxidation of alcohol,
Applied surface science, 365, 294 - 300.
197
Zhang W., Desikant, A., and Oyama, S.T, 1995, Effec of Support in Ethanol
Oxidation on Molybdenum Oxide, Journal of Physical Chemistry, 99,
no. 39, p 14468- 14476.
198
PROFIL PENULIS
199
200