Anda di halaman 1dari 56

FORMULASI SEDIAAN EMULSI

LINA WINARTI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
DEFINISI
• FI IV: Sistem 2 fasa yang salah satu cairannya
terdispersi dalam cairan yang lain dalam bentuk
tetesan kecil.
• Emulsi adalah sistem yang secara termodinamik
tidak stabil terdiri atas 2 fase cair yang tidak
campur, salah satu fase terdispersi sebagai globul
pada fase likuid yang lain distabilisasi oleh
komponen ketiga yang disebut emulsifying agent.
• Diameter partikel fase terdispersi berkisar dari 0.1
hingga 100μm.
KEUNTUNGAN
• Pemakaian oral biasanya M/A bertujuan:
– Menutup rasa yang kurang enak
– Lebih mudah diabsorpsi
– Ketersediaan hayati lebih baik karena dalam bentuk terlarut
• Memperbaiki penampilan sediaan (homogen)
• Meningkatkan stabilitas obat yang mudah terhidrolisa
dalam air
• Pemakaian pada kulit sebagai obat luar (M/A atau A/M)
– Memberi efek lembut (emolient)
– Mudah tercuci air (M/A)
– Absorbsi perkutan dapat ditambah dengan mengurangi
ukuran fasa dalam
TIPE EMULSI
• Simple emulsion
– Oil in water (O/W)
– Water in Oil (W/O)
• Multiple emulsion
– Oil in water in oil (O/W/O)
– Water in oil in water (W/O/W)
Penentuan Tipe Emulsi
1. Dilution test
2. Dye solubility test
3. Conductivity test
4. CoCL2 filter test
5. Fluorescence test
6. Uji Kertas Saring
DILUTION TEST
Dye solubility test
Conductivity test
CoCL2 filter test
• Filter paper yang diimpregnasi dengan CoCl2 dalam kondisi
kering berwarna biru akan berubah menjadi pink saat emulsi
o/w ditambahkkan.
Fluorescence test
• Minyak akan berfluorosensi ketika terpapar sinar UV
• Emulsi tipe W/O yang terpapar sinar UV dibawah mikroskop,
seluruh area akan berfluorosensi, jika terlihat fluorosensi
berbentuk spot, maka tipe emulsi O/W.
• Kelemahan tidak semua minyak fluorosens dibawah lampu UV
EMULSI STABIL
• Tidak ada perubahan yang signifikan pada ukuran
partikel dan distribusi ukuran partikel globul fasa
dalam selama life time produk.
• Distribusi globul yang teremulsi homogen.
• Memiliki aliran tiksotropik (mudah mengalir namun
tetap viskus)
• Tidak terjadi koalesen fasa internal, creaming,
perubahan warna, penampilan, bau, dan sifat fisik
lainnya.
MACAM-MACAM BENTUK
KETIDAKSTABILAN EMULSI

• Flokulasi
• Creaming atau
sedimentasi
• Aggregasi atau
coalescence
• Phase inversion
FLOKULASI
• Partikel saling bergabung menjadi agregat yang lebih besar namun
masih bisa didispersikan kembali.
• Flokulasi merupakan prekursor coalescence.
• Perbedaan dengan coalescence interfacial film dalam globul masih
utuh.
CREAMING
• Emulsi mengalami creaming jika minyak atau lemak bergerak ke
permukaan namun masih dalam bentuk globul yang akan
mengalami redistribusi dalam medium melalui penggojokan. Hal ini
diakibatkan perbedaan densitas antara 2 fase.
• Laju creaming tergantung pada parameter dalam hukum Stokes:

Jika ρ < L = creaming


Jika ρ > L = sedimentasi
TEKNIK UNTUK MENCEGAH CREAMING

• Reduksi ukuran partikel (2-5μ:gerak Brown)


• Peningkatan viskositas
– Meningkatkan konsentrasi fasa terdispersi
– Menambah emulgator
– Menambah thickening agent atau viscosity
improver
Aggregation, Coalescence, Breaking
• Aggregation : Partikel terdispersi mendekat satu sama lain namun
tidak bergabung.
• Coalescence merupakan proses dimana globul menyatu dengan
gloul lain membentuk globul yang lebih besar.
• Breaking terjadi akibat hilangnya film yang mengelilingi globul
sehingga terjadi pemisahan fase terdispersi dari fasa kontinyu.
• Faktor utama yang mencegah coalescence adalah kekuatan mekanik
film antar muka.
PHASE INVERSION/PEMBALIKAN FASA
• Emulsi mengalami phase inversion jika berubah tipe
dari o/w menjadi w/o atau sebaliknya. Penyebab:
– Penambahan bahan yang mengubah kelarutan emulgator
– Perubahan rasio volume fase (fase terdispersi > 74%)
– Perubahan temperatur
– Prosedur pencampuran yang tidak sesuai
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
STABILITAS EMULSI

• Ukuran partikel
• Perbedaan bobot jenis kedua fasa
• Viskositas fasa kontinyu
• Muatan partikel
• Efektifitas dan jumlah emulgator yang digunakan
• Suhu penyimpanan (emulgator rusak)
• Penguapan atau pengenceran selama penyimpanan
• Adanya kontaminasi dan pertumbuhan mikroorganisme yang
menghasilkan produk yang merusak emulsi.
FORMULA
• Sebelum menyusun formula:
– Sifat fisika-kimia zat berkhasiat
– Tujuan penggunaan (obat luar atau dalam)
– Tipe emulsi (M/A atau A/M)
– Konsistensi emulsi
• Komposisi umum formula emulsi:
– Zat aktif
– Pembawa (minyak dan air)
– Emulgator
– Zat pengawet
– Bahan pembantu sesuai kebutuhan: antioksidan, pemanis,
pewangi, pewarna, dapar, anti cap-locking, anti busa, dll
• Formula emulsi oral/internal:
– Zat aktif
– Pembawa (air dan minyak)
– Emulgator
– Pengawet
– Bahan pembantu:antioksidan, pemanis, flavor, pewarna
• Formula emulsi topikal/eksternal:
– Zat aktif
– Pembawa (air dan minyak)
– Emulgator
– Pengawet
– Bahan pembantu:antioksidan, emolient, pewangi, pewarna
• Formula emulsi parenteral:
– Zat aktif
– Pembawa (air dan minyak)
– Emulgator
– Pengawet
– Antioksidan
YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PENAMBAHAN
BAHAN PEMBANTU
• Elektrolit: dapat menurunkan potensial zeta sehingga
emulsi tidak stabil.
• Zat bersifat asam: dapat menyebabkan emulsi pecah.
• Penambahan bahan yang merubah emulgator
sehingga terjadi inversi fasa (CaCl2 pada emulsi M/A
emulgator Na stearat).
• Emulgator : emulgator yang tidak sesuai berpengaruh
pada stabilitas emulsi.
• Pengawet : mencegah pertumbuhan mikroba pada
fase air yang dapat menyebabkan kerusakan
emulgator.
EMULGATOR
• Persyaratan:
– Dapat tercampurkan dengan bahan formulasi yang lain
– Tidak mengganggu stabilitas atau efikasi zat terapetik
– Stabil
– Tidak toksik
– Tidak berbau, berasa dan berwarna lemah
• Dasar pemilihan:
– Toksisitas yang mungkin timbul
– OTT kimia
– Harga
– Tipe emulsi yang diinginkan
– Stabilitas (shelf life yang diinginkan)
– Tujuan penggunaan/rute pemberian
EMULGATOR
Berdasar mekanisme kerjanya:
• Surface active agent (surfaktan): menurunkan tegangan muka,
membentuk film lentur, membentuk electrical double layer (barier
elektrik).
– Surfaktan anionik (Na-lauril sulfat)
– Surfaktan kationik (Amonium kuartener)
– Surfaktan amfoterik (lesitin)
– Surfaktan non ionik (Tween, Span, Brij, Mirj)
• Hidrokoloid (membentuk lapisan kaku yang viskoelastik pada permukaan
minyak-air, ex: CMC, tragakan, gom arab, gelatin, alginat)
• Zat padat halus yang terdispersi (ukuran partikel<<fase dispers dan
memiliki sifat pembasahan pada permukaan 2 cairan, ex:bentonit,
veegum, Mg trisilikat, Mg, Al, Ca hidroksida)
EMULGATOR
• Berdasar sumbernya:
– Bahan alam : gom arab, tragakan, na alginat, amilum, karagen, pektin
dan agar
– Semisintetik : metil selulosa, Na-CMC
– Sintetik : cetyl alkohol, carbowax (PEG), lesitin
SURFAKTAN ANIONIK
• Sebaiknya tidak digunakan untuk pemakaian internal karena rasanya
yang tidak enak dan mengiritasi mukosa
– Asam lemak (asam stearat): digunakan setelah netralisasi sebagian dengan
basa organik/inorganik
– Logam alkali dan sabun amonium (natrium stearat), bagus untuk emulsi
M/A, tidak stabil pada pH >10
– Sabun amin, menghasilkan emulsi M/A (pH sekitar 8), tahan perubahan pH
dan ion Ca
– Alkil sulfat (SLS, sodium cetostearil sulfat, trietanol amin lauril sulfat,
menghasilkan pH sekitar 7, dipakai sebagai pembasah, membutuhkan
emulgator sekunder, sedikit terpengaruh pH, cenderung terhidrolisis
sehingga perlu kontrol pH
– Alkil fosfat
– Akil sulfonat (docusate sodium), digunakan sebagai pembasah, akan
menghasilkan emulsi M/A jika dikombinasi dengan emulgator sekunder
– Karbomer baik untuk emulsi M/A penggunaan internal atau eksternal tapi
sebaliknya dikombinasi dengan emulgator sekunder
SURFAKTAN KATIONIK
• Contoh : ammonium kuartener:cetrimide,
benzalkonium klorida, domiphen bromide
– Digunakan dalam pembuatan emulsi M/A (pH 3-7)
untuk penggunaan eksternal
– Kompatibel dengan anion inorganik divalen
– Inkompatibel dengan anion inorganik dengan
valensi > 2 dan dengan anion organik rantai
panjang
SURFAKTAN NON IONIK
• Bisa untuk emulsi A/M atau M/A tergantung HLB
• Dapat untuk pemakaian internal/eksternal
• Resisten terhadap elektrolit, kompatibel dengan surfaktan lain,
stabil pada pH 4-9, tdk terlalu iritan
• Apabila jumlah berlebih mengikat pengawet dengan gugus fenol
dan asam karboksilat
SURFAKTAN NON-IONIK
a. Ester alkohol polihidrik
 Glikol ester (propile glikol (PG) monostearat, PG alginat, PG diacetat
 Gliserol ester (gliseril monostearat)
b. Macrogol ester (polioksil 8 stearat, polioksil 40 stearat, polioksil 50 stearat), biasa
dikombinasi dengan cetostearil alkohol sebagai stabilisator emulsi yang
meggunakan makrogol
c. Sorbitan ester (Span), predominan lipofilik menghasilkan emulsi A/M, sering
dikombinasi dengan polisorbat untuk menstabilisasi sistem A/M atau M/A
d. Polisorbat (Tween), menghasilkan emulsi M/A dengan stabilisasi yang baik dan
tidak terpengaruh pH
e. Macrogol eter (cetomacrogol 1000 polioksil 20 cetostearil eter), menghasilkan
emulsi stabil, tahan asam dan basa, sering dikombinasi dengan alkohol rantai
panjang
f. Alkohol rantai panjang (cetostearil alkohol, etil alkohol, stearil alkohol), merupakan
emulgator A/M lemah, fungsi utama menstabilisasi sistem emulsi M/A
g. Poloxamer
h. Polivinil alkohol
SURFAKTAN AMFOLITIK
• Tidak untuk emulgator, berfungsi sebagai bakterisidal dalam
detergen ataupun sampo yang tidak iritan ke mata
EMULGATOR ALAM
• Lebih bekerja sebagai peningkat viskositas daripada surfaktan,
keterbatasan (kontaminasi mikroba)
1. Polisakarida (Gom)
• Tragakan, akasia, agar, starch, pektin
– Baik untuk internal. Akasia stabil pada viskositas tidak terlalu tinggi, dikombinasi dengan
tragakan atau agar. Emulsi tragakan kurang stabil dan memiliki tekstur kasar daripada akasia.
Agar merupakan emulgator yang lemah namun dapat menghasilkan mucilago kental jika
dikombinasi akasia 1%. Starch merupakan emulgator lemah menstabilkan emulsi dengan
membentuk fase dengan kekentalan tinggi. Pektin memiliki sifat sama dengan starch.
• Karagenan
– Lebih efektif sebagai peningkat viskositas daripada emulgator primer. Karagenan dengan
konsentrasi 1% digunakan sebagai pengental dan stabilisator emulsi tetapi akan terpresipitasi
pada pH<5 jika ada logam berat
• HPC, metilselulosa, carmellose, digunakan sebagai emulgator dan peningkat viskositas
2. Material steroid (lanolin alkohol, wool fat, wool alkohol,
beeswax, sodium glycocholate, sodium taurocholate)
• Wool fat dan wool alkohol
digunakan untuk emulsi topikal. Akan
mengabsorbsi air dalam emulsi A/M dengan
minyak/lemak lain.
• Minyak mineral dan lanolin alkohol (campuran untuk
emulgator menghasilkan emulsi A/M tapi bisa juga
sebagai stabilisator emulsi M/A.
• Kolesterol, bersama asam empedu dan substansi
pankreatik akan mengemulsikan lemak
3. Gliserid (monogliserid, digliserid)
• Digunakan sebagai emulgator
4. Fosfolipid
• Bekerja aktif pada permukaan, memiliki aktivitas
antioksidan, mudah rusak jika pada emulsi tidak terdapat
pengawet
5. Protein (gelatin, kasein)
• Memiliki keterbatasan sebagai emulgator. Gelatin A
digunakan untuk emulsi dengan pH 3, gelatin tipe B
diguanakn untuk emulsi pH >8
6. Saponin
• Memiliki keterbatasan iritan dan hemolitik
PERHITUNGAN HLB
KLASIFIKASI FUNGSI SURFAKTAN BERDASAR NILAI HLB

HLB PENGGUNAAN
1-3 Anti busa
3-8 Emulgator emulsi air dalam minyak
7-9 Zat pembasah (wetting agent)
8-16 Emulgator emulsi minyak dalam air
13-16 Detergen
16-19 Solubilizing agent (meningkatkan kelarutan obat)
HLB CAMPURAN
PERBANDINGAN SURFAKTAN PADA
SUATU NILAI HLB
HLB OPTIMUM UNTUK MENGEMULSIKAN MINYAK
HLB OPTIMUM CAMPURAN MINYAK
PENGAWET
• Diperlukan karena:
– Fase air merupakan media tumbuh mikroorganisme
– Semua tipe emulsi memerlukan pengawet karena
fase air memungkinkan pertumbuhan mikroba
– Penggunaan emulgator alam mudah terurai oleh
mikroorganisme
– Kontaminasi selama proses produksi dari udara,
peralatan, personel
– Menghindari perubahan warna, bau, reologi
– Bakteri dapat menguraikan emulgator anionik dan
nonionik
PENGAWET
• Persyaratan:
– Larut dalam kedua fasa terutama fasa air
– Tercampur dengan komponen lain dalam sediaan
– Efektif dalam konsentrasi rendah, stabil pada rentang suhu
dan pH yang luas
– Tidak toksis/merangsang/iritasi
– Tidak menimbulkan rasa, warna, bau yang tidak enak
– Tidak terionisasi agar dapat berpenetrasi ke dalam membran
bakteri
– Tidak terikat komponen lain, karena yang efektif yang bebas
• Pemilihan tergantung:
– Rute, dosis, frekuensi pemberian
– Sifat fisika kimia pengawet, zat aktif, dan bahan tambahan lain
PENGAWET
• Asam organik
– Asam benzoat, digunakan pada pH 5, konsentrasi 0.1%
– Asam sorbat, digunakan pada pH 6.5, dapat mengiritasi kulit dan kurang
efektif, konsentrasi 0.1-0.2%, digunakan pada sediaan menggunakan surfaktan
non ionik
• Ester dari asam p-hidroksi benzoat
– Stabil, inert, tidak toksik, tidak berasa, efektif pada pH 7-9, terdispersi pada
kedua fasa, konsentrasi 0.1-0.2%. Contoh: metil paraben, etil paraben, propil
paraben, butil paraben dan garam-garam natriumnya. Kombinasi pengawet
dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas terhadap mikroba (metil
paraben:propil paraben=2:1 (0.06%:0.03%))
PENGAWET
• Senyawa amonium kuartener
– Konsentrasi 0.002-0.01%. Contoh: benzalkonium klorida, setilpirinium
klorida
• Senyawa merkuri organik
– Konsentrasi 0.004-0.01%
• Pengawet lainnya
– Fenol 0.5% dan klorokresol 0.1%
ANTIOKSIDAN
• Digunakan untuk:
– Mencegah reaksi oksidasi bahan berkhasiat
– Oksidasi fasa minyak yang dapat menimbulkan ketengikan (0.01-0.1%)
• Syarat antioksidan:
– Dapat segera terdispersi dalam sediaan
– Non toksik, non irritan
– Efektif pada konsentrasi rendah dibawah kondisi penyimpanan dan penggunaan
yang diharapkan
– Larut dalam medium dan stabil
– Antioksidan untuk penggunaan oral sebaiknya tidak berbau dan tidak berasa
– Contoh: BHT, BHA, tokoferol/vit E, dodesil galat, alkil galat, natrium metabisulfit.
– Logam berat pengkatalis oksidasi diikat oleh sequestering agent (asam sitrat, asam
tartrat)
FLAVOR/PEMANIS
• Untuk menutup rasa yang kurang enak, ditambahkan pada fasa
luar setelah sediaan jadi. Contoh: sorbitol dan vanilin (pemanis fasa
air)
PEMBUATAN EMULSI
Skala kecil
Menggunakan mortir dan stamper (efisiensi terbatas). Untuk mengatasi
digunakan elektric mixers.
Skala besar
Menggunakan mechanical stirrer untuk memproduksi emulsi yang stabil
(Mixer, blender, colloid mill, homogenizer, ultrasound).

Mechanical stirrer Colloid mill Homogenizer


METODE PREPARASI EMULSI
A- Trituration Method
1- Dry Gum Method
Dalam metode ini minyak (4 bagian) digerus dengan gum (1 bagian)
dengan sedikit air (2 bagian) untuk membentuk emulsi primer.
Penggerusan dilanjutkan hingga terdengar suara “clicking” dan krim
berwarna putih terbentuk. Setelah emulsi primer terbentuk sisa air
ditambahkan perlahan untuk membentuk emulsi final. Bahan aktif,
preservatif, flavor, color dilarutkan dan ditambahkan sebagai larutan
dalam emulsi primer. Bahan larut minyak dalam jumlah kecil
dicampurkan secara langsung dalam emulsi primer. Alkohol yang
mereduksi stabilitas emulsi ditambahkan terakhir setelah emulsi
terbentuk untuk menghindari breaking.
2- Wet Gum Method
Gum dan air digerus untuk membentuk mucilago, minyak
ditambahkan perlahan sedikit demi sedikit sambil terus digerus
untuk membentuk emulsi primer. Setelah emulsi primer terbentuk
sisa air ditambahkan untuk menghasilkan emulsi final.
B- Bottle Method
1. Metode ini digunakan untuk menyiapkan emulsi yang mengandung
komponen volatil dan komponen minyak yang kurang viskus. Metode
dry gum dan wet gum juga dapat digunakan.
2. Minyak volatil memiliki viskositas yang rendah dibanding fixed oil
sehingga dibutuhkan gum dengan jumlah yang lebih banyak untuk
emulsifikasi.
3. Dalam metode ini minyak dikocok dengan gum, setelah teremulsi air
ditambahkan sekaligus dan botol dikocok lagi hingga terbentuk
emulsi primer.
PERMASALAHAN PADA TEKNIK PEMBUATAN
• Pemanasan
– Pada saat akan dicampur fasa minyak dan fasa air pada suhu yang
sama (60-700C)
– Peningkatan suhu menyebabkan inversi fasa karena berkurangnya
kelarutan surfaktan akibat putusnya ikatan hidrogen.
– Kenaikan suhu yang lebih tinggi lagi mengakibatkan pemisahan
antara fasa minyak, surfaktan, air.
• Waktu dan kecepatan pengadukan
– Pengadukan untuk memecah fasa internal menjadi globul, jika
terlalu lama dan kecepatan tinggi akan menimbulkan turbulensi
sehingga ukuran globul tidak rata, selain itu tumbukan antar globul
meningkat (lapisan monolayer rusak, globul menyatu)
PERMASALAHAN PADA TEKNIK PEMBUATAN

• Peralatan mekanik yang digunakan


– Mortir menghasilkan globul diameter besar, stirer menghasilkan globul kecil namun
banyak udara terperangkap yang menyebabkan penampakan emulsi kurang baik,
menyebabkan reaksi oksidasi akibat oksigen terperangkap, dan oksigen
terperangkap mengakibatkan tumbuhnya bakteri. Pembentukan busa dapat dicegah
dg pengadukan pada vakum atau penambahan antibusa (silikon dan alkohol rantai
panjang).
• Viskositas
– Meningkatnya medium pendispersi meningkatkan viskositas sediaan
KEGAGALAN EMULSI
• Pemilihan emulgator kurang tepat
• Emulgator rusak karena cahaya, oksigen, elektrolit, suhu
• Proses pengerjaan tidak tepat
• Apabila emulgator peka suhu, suhu menyebabkan pemisahan fasa
• Adanya elektrolit dalam jumlah tidak tepat
• Perbandingan volume fasa tidak tepat
• Ukuran globul tidak seragam, globul kecil mengisi ruang antara globul besar
• Penyimpanan tidak sesuai
• Ketengikan minyak
• Terjadi thickening atau sedimentasi akibat pengembangan emulgator tidak
maksimal
HITUNG PROPORSI 2 HLB
Surfactant mixing ratio (weight percent)
HLB Tween® Tween® Tween® Tween® 80/Span® Kremofor® EL Kremofor EL
20/Span® 20 20/Span® 80 80/Span® 20 80 40/Span® 20 40/Span® 80

11

12

13

14

15

TWEEN 20 HLB :16.7


SPAN 20 HLB :8.6
SPAN 80 HLB :4.3
TWEEN 80 HLB :15
KREMOFOR EL 40 :13.5
• Apakah yang dimaksud mikroemulsi,
nanoemulsi, SNEDDS ?
MIKROEMULSI, NANOEMULSI, SNEDDS

Anda mungkin juga menyukai