Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

LAPORAN KASUS INDIVIDU

Oleh:
Dinda Alfatan Sheila Zahra
H1A 014 018

Pembimbing Fakultas:
dr. Rika Hastuti Setyorini, M.Kes, FISPH, FISCM
dr. Deasy Irawati, M.Sc, PhD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
UPT BLUD PUSKESMAS KEDIRI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Masa balita adalah masa yang membutuhkan perhatian lebih dari


orang tua. Perhatian harus diberikan pada pertumbuhan dan perkembangan
balita, status gizi sampai pada kebutuhan akan imunisasi. Dewasa ini orang
tua dan tenaga kesehatan sangat fokus terhadap kondisi balita (Marimbi,
2010). Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok usia
yang rentan terhadap gizi dan kesehatan. Pada masa ini daya tahan tubuh
anak masih belum kuat, sehingga mudah terkena penyakit infeksi. Selain itu,
anak juga sering mempunyai kebiasaan makan yang buruk yaitu anak sering
tidak mau makan atau nafsu makan menurun, sehingga menyebabkan
status gizinya menurun dan tumbuh kembang anak terganggu (Soetjiningsih,
1998; Pudjiadi, 2005).

Masa balita ini perkembangan kemampuan bahasa, kreativitas,


kesadaran sosial dan emosional berjalan sangat cepat dan merupakan
landasan perkembangan berikutnya. Perkembangan moral serta dasardasar
kepribadian juga dibentuk pada masa ini. Pada perkembangan anak
terdapat masa kritis, dimana diperlukan rangsangan yang berguna agar
potensi berkembang sehingga perlu mendapat perhatian dari orang tua.
Perkembangan psiko-sosial sangat dipengaruhi lingkungan dan interaksi
antara anak dengan orang tuanya atau orang dewasa lainnya.
Perkembangan anak akan optimal bila interaksi sosial diusahakan sesuai
kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembangannya, bahkan sejak bayi
masih di dalam kandungan. Pada lingkungan yang tidak mendukung akan
menghambat perkembangan anak (Soetjiningsih, 1998).

Perkembangan dan pertumbuhan balita dapat diamati secara cermat


dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS) balita. Kartu menuju sehat
tahun 2004 berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan,
bukan menilai status gizi. Berbeda dengan KMS yang diedarkan
Departemen Kesehatan RI sebelum tahun 2000, garis merah pada KMS
versi tahun 2000 bukan merupakan pertanda gizi buruk, melainkan garis
kewaspadaan terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada balita.
KMS bukan sekedar alat petugas kesehatan, tetapi juga sebagai media
komunikasi dan pendidikan para ibu (Arisman 2004). KMS juga berisi
pesanpesan penyuluhan tentang penanggulangan diare, makanan anak,
pemberian vitamin A dan imunisasi (Pudjiadi, 2005).

Status gizi anak balita merupakan hal penting yang harus diketahui
oleh orang tua. Kekurangan gizi dapat mempengaruhi perkembangan otak
anak. Data Survei Konsumsi Rumah Tangga (SKRT) tentang status gizi
balita tahun 2007 memperlihatkan empat juta balita Indonesia kekurangan
gizi, tujuh ratus ribu diantaranya mengalami gizi buruk. Ditinjau dari tinggi
badan, sebanyak 25,8% anak balita Indonesia pendek. Ukuran tubuh yang
pendek merupakan salah satu tanda kurang gizi yang berkepanjangan
(Marimbi, 2010). Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007
menunjukkan bahwa sebanyak 74,5% (sekitar 15 juta) balita pernah
ditimbang minimal satu kali selama 6 bulan terakhir, 60,9% diantaranya
ditimbang lebih dari 4 kali. Sebanyak 65% (sekitar 12 juta) balita memiliki
KMS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama Pasien : An. Jena
Umur : 1 tahun 9 bulan
Tanggal Lahir : 29 November 2017
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Sasak
Alamat : Gersik, Kediri

Identitas Orang Tua

Keterangan Ayah Ibu


Nama Tn. T Ny. RA
Usia 27 tahun 26 tahun
Pekerjaan Buruh Lepas Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir SMA SMA

3.2 Heteroanamnesis

Keluhan utama:
Berat badan tidak naik

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke posyandu dengan keluhan berat badan tidak kunjung bertambah
dan cenderung turun sejak 3 bulan yang lalu. Ibu pasien mengeluhkan bahwa
anaknya sulit makan walaupun sudah diberikan berbagai macam makanan.
Keluhan sakit selama tiga bulan terakhir disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Sebelumnya pasien juga sering dikeluhkan tidak nafsu makan dan sulit makan.
Jika makan pasien lebih sering mengemut di dalam mulutnya. Sejak awal lahir,
saat posyandu pasien ditimbang, berat badannya sudah berada di dalam zona
kuning dan sulit untuk bertambah. Saat ini grafik berat badan pasien berada di
garis merah.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Di dalam keluarga tidak ada yang memiliki penyakit tuberculosis maupun HIV.
Ayah pasien memiliki keturunan kencing manis dan darah tinggi. Kakak pasien
memiliki riwayat lahir BBLR dan saat kecil juga memiliki masalah yang sama
dengan pasien.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan Ibu:
Ibu mengandung dengan lingkar lengan atas 23,7 cm. ibu tidak mengalami KEK
dan rutin melakukan ANC. Namun saat dilakukan pemeriksaan darah, ibu
didapatkan hasil HBsAg positif. Persalinan dilakukan secara normal di RS Patut
Patuh Patju Gerung.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Riwayat Makan
Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap diterima oleh pasien.
Riwayat Ekonomi, Sosial dan Lingkungan:
Keluarga pasien merupakan kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Ayah pasien bekerja sebagai buruh lepas dengan penghasilan yang tidak menentu
sekitar Rp 500.000-1.000.000,00 dalam sebulan dan ibunya hanya sebagai ibu
rumah tangga. Pasien tinggal bersama ayah, ibu, dan satu kakak perempuan.
Pasien tinggal di rumah yang memiliki dua kamar tidur dan dengan jarak antar
rumah sekitar 3-5 meter. Keluarga pasien memiliki satu buah kendang ayam di
bagian depan rumah. Ayah pasien merupakan perokok. Dalam satu hari, ayah
pasien dapat menghabiskan tiga sampai empat batang rokok.
3.3 Genogram
Genogram Keluarga

58 th 50 th 56 th

46 th 36 th 29 th

Keterangan:

6 th 1 th 7 bln : Laki-Laki

: Perempuan

: Laki-laki meninggal

: Pasien

: Cerai

: Tinggal dalam satu rumah


3.4 Pemeriksaan Fisik
Keadaaan umum : Baik
Frek. Nadi : 118x/ menit
Frek. Nafas : 28x/ menit
Suhu aksila : 36,7º C
Saturasi Oksigen : 99%
Berat Badan : 7.3 kg
Panjang Badan : 73 cm
Lingkar Lengan Atas : 11.4 cm
Status Gizi
BB/U : <-3 SD
PB/U : <-3 SD
BB/PB : -2 SD – (-3) SD
Status General
Kepala : normochepali
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+ isokor, cowong (-)
Telinga : hiperemis (-), edema (-), sekret (-), bagian dalam Tde
Hidung : nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : hiperemis (-)
Mukosa bibir : pucat (-), sianosis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-)
Thorax
o Inspeksi
 Bentuk dan ukuran dada normal
o Palpasi : tde
o Perkusi : tde
o Auskultasi
 Cor : S1 tunggal S2 split tak konstan
 Pulmo : vesikuler (+/+), rhonki (­/­), wheezing (­/­)
Abdomen :
o Inspeksi : distensi (-)
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Palpasi : tde
o Perkusi : tde
Ekstremitas:
o Ekstremitas atas : Akral hangat: +/+, Deformitas: (-), Edema: (-/-)
Sianosis : (-)
o Ekstremitas bawah : Akral hangat : +/+, Deformitas : (-), Edema: (-/-)
Sianosis : (-)
Inguinal-genital-anus: tde

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
3.6 Diagnosis
Gizi kurang
Stunting
3.7 Penatalaksanaan
Terapi gizi kurang pasien:
- Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
KIE
- Memantau peningkatan berat badan melalui KMS
- Memberikan contoh menu makanan yang dapat diberikan pada anak dari
buku KIA
- Menganjurkan untuk tetap memberikan PMT yang didapat dari puskesmas
- Menganjurkan untuk merubah metode pemberian makan pada anak
3.8 Prognosis pasien
− Ad vitam : dubia
− Ad functionam : dubia
− Ad sanationam : dubia
BAB IV

PENELUSURAN (HOME VISITE)

4.1. Tujuan
Mengetahui faktor penyebab terjadinya gizi buruk pada pasien, baik faktor
internal maupun eksternal.

4.2. Metodologi
Metodologi yang dipakai meliputi wawancara dan pengamatan langsung
terhadap lingkungan tempat tinggal pasien.

4.3. Hasil Penelusuran


Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Status ekonomi pasien
termasuk dalam kategori miskin. Sumber penghasilan keluarga didapatkan dari
ayah pasien yang bekerja sebagai buruh dengan penghasilan kurang lebih Rp
500.000-750.000 per bulan dan ibu yang tidak bekerja. Kakak pasien berjumlah
satu orang dan berusia 7 tahun.
Pasien tinggal bersama kedua orang tua pasien. Rumah pasien saat ini
merupakan rumah pribadi keluarga pasien yang terdiri atas 2 kamar tidur, 1 ruang
tamu, dapur, dan kamar mandi. Rumah pasien berukuran ± 6 x 7 meter. Jarak
rumah pasien dengan rumah paman pasien sangat berdempetan, sementara jarak
rumah pasien dengan rumah tetangga sekitar 2-4 meter. Rumah pasien memiliki
cukup banyak jendela (4 jendela di ruang keluarga, 4 jendela di ruang tamu, 1
jendela di kamar tidur utama, dan satu jendela di kamar tidur tambahan), 1
ventilasi udara terdapat di kamar mandi dan 1 di dapur pasien. Lantai rumah
pasien seluruhnya terbuat dari semen yang sudah di plester. Dinding rumah
terbuat dari batako yang sudah di plamir dan dicat, langit-langit rumah terbuat
dari anyaman bamboo, serta atap rumah terbuat dari genteng tanah liat.
Kamar mandi keluarga pasien merupakan bangunan terpisah dari
bangunan utama bersamaan dengan dapur keluarga pasien. Antara bangunan
utama dan kamar mandi serta dapur, dipisahkan oleh Lorong dengan lebar sekitar
70 cm, beralas semen yang sudah diplester. Keluarga pasien memiliki satu kamar
mandi yang di dalamnya juga terdapat tempat penampungan air. Kloset yang
digunakan merupakan kloset jongkok. Sumber air yang digunakan untuk
memasak, mandi dan mencuci berasal dari air PDAM, sementara untuk minum
dengan menggunakan air PDAM yang telah dimasak.
Sampah dikumpulkan di depan rumah di dalam sebuah wadah dan diambil
oleh petugas kebersihan setiap 2 hari sekali. Ayah pasien memelihara ayam
dengan kendang yang terletak tepat di sebelah rumah dengan jarak sekitar satu
meter dari teras tempat biasa ayah pasien dan pasien duduk di teras. Berdasarkan
pengamatan secara keseluruhan, rumah dan lingkungan keluarga pasien
memerlukan perbaikan di beberapa tempat dan upaya untuk tetap menjaga
kebersihan lingkungan
Denah Rumah Pasien
Kerangka Masalah Pasien

BIOLOGIS

LINGKUNGAN
PERILAKU
 Pemberian menu
makanan yang tidak
variative dan terbatas
 Kurangnya
pengetahuan terhadap GIZI KURANG
kegunaan KMS

PELAYANAN KESEHATAN

 Puskesmas mudah diakses
 Program penanggulangan gizi 

kurang
 Ketersediaan JKN
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Aspek Klinis


Pasien datang ke Posyandu di Desa Gersik, Kediri dan dilakukan
penimbangan berat badan pada pasien. Keluhan dari orang tua pasien, pasien
sudah tiga bulan mengalami penurunan nafsu makan dan menjadi susah makan.
Berat badan pasien selama 5 bulan terakhir cenderung turun dan sudah berada di
garis merah.
Berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum baik, frekuensi
nadi 118x/ menit, frekuensi nafas 28x/ menit, suhu aksila 36,7º C, BB 7.3 kg, PB
73 cm, status gizi kurus berdasarkan berat badan per usia. Status gizi berdasarkan
panjang badan per usia sudah masuk kepada kategori stunting.
Pasien dapat diklasifikasikan menjadi kategori sangat kurus tanpa
komplikasi berdasarkan MTBS 2015. Hal ini didasarkan pada BB/PB pasien yang
berada pada -2SD s/d -3SD dan lingkar lengan atas <11.5 cm.
Pemberian terapi pada pasien diberikan berdasarkan ketentuan pemberian
PMT Pemulihan

5.2. Aspek Ilmu Kesehatan Masyarakat


Teori klasik H.L. Blum menyebutkan bahwa derajat kesehatan seseorang
ditentukan oleh empat pilar, yaitu lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik),
perilaku (gaya hidup), pelayanan kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya), dan
genetika (keturunan). Faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh yang besar
terhadap munculnya suatu penyakit dan kesehatan. Analisa munculnya penyakit
pneumonia pada pasien berdasarkan keempat faktor tersebut meliputi:
1. Faktor Genetik dan Biologis
Faktor genetik/biologis pada pasien yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya pneumonia yaitu usia (1 tahun 9 bulan) pasien dan riwayat lahir
dengan berat badan rendah (BBLR). Anak-anak yang berusia 0-2 tahun lebih
rentan terhadap penyakit pneumonia karena imunitas yang belum sempurna.
Begitu pula pada BBLR pembentukan imunitas belum sempurna serta pada
BBLR perkembangan dan maturasi organ tubuh saat lahir belum sempurna
sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutaan pneumonia dan
infeksi saluran pernapasan lainnya.

2. Faktor Perilaku
Perilaku dalam keluarga yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
pneumonia yaitu ayah pasien yang merokok di dalam rumah, pembakaran
sampah di dekat rumah dan kurangnya pengetahuan orang tua terkait faktor
risiko terjadinya pneumonia.
Kebiasaan ayah merokok di dalam rumah menyebabkan anak menjadi
sering terpapar asap. Asap rokok mengandung zat berbahaya yang dapat
menyebabkan kerusakan epitel bersilia, menurunkan klirens mukosiliar serta
menekan aktifitas fagosit dan efek bakterisida sehingga mengganggu sistem
pertahanan paru, menyebabkan mudah terjadi infeksi pada paru. Begitu pula
dengan kebiasaan membakar sampah di dekat rumah menyebabkan asap dari
pembakaran dapat masuk ke dalam rumah menjadi polusi udara sehingga
meningkatkan risiko terjadinya pneumonia. Terdapatnya kedua kebiasaan
tersebut dalam keluarga pasien, menunjukkan bahwa pengetahuan orang tua
pasien terkait faktor risiko pneumonia masih rendah.

3. Faktor Lingkungan
Keluarga pasien merupakan keluarga dengan sosial ekonomi
menengah kebawah. Kondisi sosial dan ekonomi rendah pada keluarga pasien
menyebabkan kedua orang tua pasien kesulitan untuk menciptakan dan
menyediakan lingkungan rumah yang bersih dan memadai untuk dihuni.
Kondisi rumah dengan lantai dari semen kasar, tembok batako tanpa plamir
dan atap tanpa plafon. Kondisi rumah seperti ini, jika musim kemarau maka
kondisi dalam rumah sangat berdebu sehingga mengganggu pernapasan setiap
penghuni dalam rumah lebih khususnya balita dan jika musim penghujan
maka kondisi dalam rumah sangat lembab. Selain itu ayah pasien juga
meletakkan kandang burung di teras, di ruang keluarga dan di dapur. Kandang
burung tersebut tidak ditutup sehingga kotoran burung dapat keluar sehingga
dapat menjadi polusi.

4. Faktor Pelayanan Kesehatan


Program   Imunisasi   PCV:  Di wilayah kerja Puskesmas Gunungsari,
imunisasi PCV diberikan secara gratis.
Puskesmas Mudah diakses: Lokasi Puskesmas Gunungsari yang cukup
strategis dan mudah diakses dari rumah pasien, sehingga memudahkan pasien
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ketika muncul keluhan.
Program Perkesmas (Perawatan Kesehatan Masyarakat) pasien dengan
ISPA: Pasien yang terdiagnosis pneumonia atau pneumonia berat, terutama
yang terjadi berulang, dilakukan kunjungan rumah. Kunjungan dilakukan
sebanyak 3 kali dengan jarak kunjungan pertama ke kunjungan kedua 2 hari
dan jarak kunjungan kedua dengan ketiga 3 hari. Kunjungan ini dilakukan
untuk mengetahui faktor risiko terjadinya pneumonia di lingkungan tempat
tinggal pasien.
Ketersediaan JKN: Pasien oleh kedua orang tuanya belum didaftarkan
keanggotaan sebagai penerima JKN. Kondisi sosial ekonomi keluarga
menengah ke bawah dengan adanya JKN akan membantu pasien dalam
mengakses pelayanan kesehatan dalam hal biaya, sehingga ketika sakit pasien
mendapatkan terapi dan lama terapi yang sesuai.

5.3 Program Terkait Pneumonia di Puskesmas Gunungsari


Program yang terkait dengan kasus pneumonia di Puskesmas Gunung Sari
yaitu Program Pengendalian ISPA melalui metode MTBS dan Perkesmas. Selain
itu terdapat juga program Imunisasi PCV untuk balita di wilayah kerja puskesmas
Gunungsari.
Melalui metode MTBS dilakukan penemuan pasien ISPA (termasuk
pneumonia) yang datang berobat ke Poli Anak Puskesmas Gunungsari dan
diberikan pengobatan. Penegakan diagnosis didasarkan kepada kriteria balita
dengan keluhan batuk atau sukar bernapas pada MTBS 2015. Begitu pula dengan
pengobatan yang diberikan pada pasien disesuaikan dengan MTBS 2015. Program
Perkesmas di Puskesmas Gunungsari termasuk pasien dengan pneumonia. Tujuan
dari Perkesmas yaitu menjadikan keluarga mandiri untuk hidup sehat. Pada
program ini dilakukan kunjungan ke rumah pasien untuk mengetahui faktor risiko
terjadinya pneumonia terutama pneumonia berulang dalam keluarga.
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Balita usia 1 tahun 9 bulan dengan keluhan sesak napas yang diawali batuk
pipek disertai demam. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi
pernapasan >40x/menit, retraksi subcostal minimal, terdapat suara tambahan
wheezing dan rhonki. Berdasarkan MTBS 2015 pasien didiagnosis pneumonia.
Derajat kesehatan individu dipengaruhi oleh empat faktor yaitu faktor
lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik), perilaku (gaya hidup), pelayanan
kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya), dan genetika (keturunan). Pada
pasien, faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada pasien
yaitu faktor perilaku berupa yaitu ayah pasien yang merokok di dalam rumah, dan
pembakaran sampah di dekat rumah yang merupakan faktor risiko terjadinya
pneumonia. Faktor lainnya yang juga berpengaruh yaitu faktor lingkungan.
Kondisi rumah dengan lantai dari semen kasar, tembok batako tanpa plamir dan
atap tanpa plafon yang dapat memicu terjadinya pneumonia.

6.2 Saran
1. Bagi Pelayanan Kesehatan
Pemberian edukasi dan penyuluhan oleh pemegang program pengendalian
ISPA ataupun dari bagian Promosi Kesehatan Puskesmas kepada masyarakat
agar lebih memahami faktor resiko, bahaya dan pencegahan pneumonia.
2. Bagi Pasien dan Keluarga
 Keluarga pasien dianjurkan untuk lebih memerhatikan lingkungan dengan
menghindari faktor risiko pneumonia berulang dengan mengubah perilaku
yang tidak sehat.
 Ikut serta dalan program JKN yang diadakan pemerintah.
 Melakukan konsultasi kepada dokter terkait pemberian imunisasi campak
pada pasien
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia


Tahun 2017. [PDF] Jakarta: 2018. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-tahun-2017.pdf Accessed July 17, 2019.
2. Choiriyah, S., & Anggraini, DNN. Evaluasi Input Sistem Surveilans
Penemuan Penderita Pneumonia Balita di Puskesmas. Unnes Journal of
Public Health, 4(4), 136-145, 2015.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut. [PDF] 2011. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Available from:
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph/article/download/9689/6181
Accessed July 17, 2019.
4. UNICEF. Pneumonia. [Online] New York: 2018. Available from:
https://data.unicef.org/topic/child-health/pneumonia/#more--1520 Accessed
July 27, 2019.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2018. [PDF] Jakarta: 2019. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2018.pdf Accessed
July 17, 2019.
6. UPT BLUD Puskesmas Gunung Sari. Laporan Bulanan Program
Pengendalian ISPA Puskesmas Gunung Sari. Lombok Barat: 2019.
7. Suparmi, Maisya, IB., dkk. Pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) pada Puskesmas di Regional Timur Indonesia. Media Litbangkes,
28(4), 271-278, 2018.
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis IDAI Jilid 1.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010.
10. Robert M, et al. Nelson Textbook of Pediatrics ed 18. London: Elsevier Health
Sciences, 2007.
11. World Health Organization. Epidemiology and Etiology of Childhood
Pneumonia. [PDF]. 2016. Available from:
https://www.who.int/bulletin/volumes/86/5/07-048769-table-Ta.html Accessed
July 17, 2019.
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Bagan Manajemen
Terpadu Balita Sakit. [PDF] Jakarta: 2019. Available from:
https://puskespemda.net/download/mtbs-2015-manajemen-terpadu-balita-
sakit/ Accessed July 20, 2019.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai