Oleh:
Dinda Alfatan Sheila Zahra
H1A 014 018
Pembimbing Fakultas:
dr. Rika Hastuti Setyorini, M.Kes, FISPH, FISCM
dr. Deasy Irawati, M.Sc, PhD
PENDAHULUAN
Status gizi anak balita merupakan hal penting yang harus diketahui
oleh orang tua. Kekurangan gizi dapat mempengaruhi perkembangan otak
anak. Data Survei Konsumsi Rumah Tangga (SKRT) tentang status gizi
balita tahun 2007 memperlihatkan empat juta balita Indonesia kekurangan
gizi, tujuh ratus ribu diantaranya mengalami gizi buruk. Ditinjau dari tinggi
badan, sebanyak 25,8% anak balita Indonesia pendek. Ukuran tubuh yang
pendek merupakan salah satu tanda kurang gizi yang berkepanjangan
(Marimbi, 2010). Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007
menunjukkan bahwa sebanyak 74,5% (sekitar 15 juta) balita pernah
ditimbang minimal satu kali selama 6 bulan terakhir, 60,9% diantaranya
ditimbang lebih dari 4 kali. Sebanyak 65% (sekitar 12 juta) balita memiliki
KMS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Heteroanamnesis
Keluhan utama:
Berat badan tidak naik
58 th 50 th 56 th
46 th 36 th 29 th
Keterangan:
6 th 1 th 7 bln : Laki-Laki
: Perempuan
: Laki-laki meninggal
: Pasien
: Cerai
4.1. Tujuan
Mengetahui faktor penyebab terjadinya gizi buruk pada pasien, baik faktor
internal maupun eksternal.
4.2. Metodologi
Metodologi yang dipakai meliputi wawancara dan pengamatan langsung
terhadap lingkungan tempat tinggal pasien.
BIOLOGIS
LINGKUNGAN
PERILAKU
Pemberian menu
makanan yang tidak
variative dan terbatas
Kurangnya
pengetahuan terhadap GIZI KURANG
kegunaan KMS
PELAYANAN KESEHATAN
Puskesmas mudah diakses
Program penanggulangan gizi
kurang
Ketersediaan JKN
BAB V
PEMBAHASAN
2. Faktor Perilaku
Perilaku dalam keluarga yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
pneumonia yaitu ayah pasien yang merokok di dalam rumah, pembakaran
sampah di dekat rumah dan kurangnya pengetahuan orang tua terkait faktor
risiko terjadinya pneumonia.
Kebiasaan ayah merokok di dalam rumah menyebabkan anak menjadi
sering terpapar asap. Asap rokok mengandung zat berbahaya yang dapat
menyebabkan kerusakan epitel bersilia, menurunkan klirens mukosiliar serta
menekan aktifitas fagosit dan efek bakterisida sehingga mengganggu sistem
pertahanan paru, menyebabkan mudah terjadi infeksi pada paru. Begitu pula
dengan kebiasaan membakar sampah di dekat rumah menyebabkan asap dari
pembakaran dapat masuk ke dalam rumah menjadi polusi udara sehingga
meningkatkan risiko terjadinya pneumonia. Terdapatnya kedua kebiasaan
tersebut dalam keluarga pasien, menunjukkan bahwa pengetahuan orang tua
pasien terkait faktor risiko pneumonia masih rendah.
3. Faktor Lingkungan
Keluarga pasien merupakan keluarga dengan sosial ekonomi
menengah kebawah. Kondisi sosial dan ekonomi rendah pada keluarga pasien
menyebabkan kedua orang tua pasien kesulitan untuk menciptakan dan
menyediakan lingkungan rumah yang bersih dan memadai untuk dihuni.
Kondisi rumah dengan lantai dari semen kasar, tembok batako tanpa plamir
dan atap tanpa plafon. Kondisi rumah seperti ini, jika musim kemarau maka
kondisi dalam rumah sangat berdebu sehingga mengganggu pernapasan setiap
penghuni dalam rumah lebih khususnya balita dan jika musim penghujan
maka kondisi dalam rumah sangat lembab. Selain itu ayah pasien juga
meletakkan kandang burung di teras, di ruang keluarga dan di dapur. Kandang
burung tersebut tidak ditutup sehingga kotoran burung dapat keluar sehingga
dapat menjadi polusi.
6.1 Kesimpulan
Balita usia 1 tahun 9 bulan dengan keluhan sesak napas yang diawali batuk
pipek disertai demam. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi
pernapasan >40x/menit, retraksi subcostal minimal, terdapat suara tambahan
wheezing dan rhonki. Berdasarkan MTBS 2015 pasien didiagnosis pneumonia.
Derajat kesehatan individu dipengaruhi oleh empat faktor yaitu faktor
lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik), perilaku (gaya hidup), pelayanan
kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya), dan genetika (keturunan). Pada
pasien, faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada pasien
yaitu faktor perilaku berupa yaitu ayah pasien yang merokok di dalam rumah, dan
pembakaran sampah di dekat rumah yang merupakan faktor risiko terjadinya
pneumonia. Faktor lainnya yang juga berpengaruh yaitu faktor lingkungan.
Kondisi rumah dengan lantai dari semen kasar, tembok batako tanpa plamir dan
atap tanpa plafon yang dapat memicu terjadinya pneumonia.
6.2 Saran
1. Bagi Pelayanan Kesehatan
Pemberian edukasi dan penyuluhan oleh pemegang program pengendalian
ISPA ataupun dari bagian Promosi Kesehatan Puskesmas kepada masyarakat
agar lebih memahami faktor resiko, bahaya dan pencegahan pneumonia.
2. Bagi Pasien dan Keluarga
Keluarga pasien dianjurkan untuk lebih memerhatikan lingkungan dengan
menghindari faktor risiko pneumonia berulang dengan mengubah perilaku
yang tidak sehat.
Ikut serta dalan program JKN yang diadakan pemerintah.
Melakukan konsultasi kepada dokter terkait pemberian imunisasi campak
pada pasien
DAFTAR PUSTAKA