Anda di halaman 1dari 16

TAFSIR IBNU KATSIR

Makalah disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah


Ulumul Quran

Oleh:

SALMAN MUNTHE
NIM: 93314050529

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Amiur Nuruddin, M.A.

PROGRAM DOKTOR EKONOMI SYARI`AH


PROGRAM PASCASARJANA
UIN SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
A. Biografi Penulis dan latar belakang aliran Tafsir Ibn Katsir
Penulis kitab tafsir ini adalah Imamul Jalil Al-Hafiz Imadud Din, Abul Fida Isma’il
ibnu Amr ibnu Katsir ibnu Dhau’ ibnu Katsir ibnu Zar’i Al-Bashri Ad-Dimasyqi, al-Qurasyi,
asy-Syafi’i. Ibnu Katsir dilahirkan di Basrah (Syam) pada tahun 700 Hijriyah, dan meninggal
dunia pada usia 74 tahun di bulan Sya’ban tahun 774 Hijriyah. Ayahnya berasal dari Bashra,
bernama Abu Hafsh Umar ibnu Katsir. Ia adalah salah seorang alim di kotanya, imam dan
khatib di kampungnya. Ayahnya wafat ketika Ibnu Katsir berumur tiga tahun. Selanjutnya
kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengasuh Ibnu Katsir kecil, dan
membawanya ke Basrah, Damaskus. Pada saat itu, beliau berguru pada ulama-ulama besar di
Damaskus1.
Ibnu Katsir menuju ke Damaskus untuk mencari ilmu, ia belajar kitab-kitab fiqh,
hadis, tafsir, sejarah dan bahasa, hingga ia dapat menguasai banyak ilmu2. Ibnu Katsir selesai
menghafalkan al-Qur’an genap di usia sebelas tahun. Kemudian belajar tafsir dari pembesar
ulama, Ibnu Taimiyah3. Beliau berguru dengan lebih dari dua puluh ulama besar Syam
antaranya:
1. Al-Hafiz Abu al-Hajjaj al-Mizzi: Yusuf bin Abdul Rahman bin Yusuf bin Abdul
Malik (wafat tahun 742 H) yang merupakan alim dalam ilmu sejarah, hadis, dan
biografi. Beliau adalah pengarang kitab Tahdhib al-kamal fi Asma’ al-Rijal’. Gurunya
kagum dengan beliau sehingga menihkahkan Ibnu Katsir dengan anak perempuannya
Zainab.
2. Ibnu Taymiyyah (wafat tahun 728 H) Al-Mizzi sangat menyayangi Ibnu Taymiyyah
sehingga beliau dimakamkan bersebelahan kubur Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Katsir
mewasiatkan supaya beliau dikebumikan bersebelahan kedua gurunya ini. Setelah
mengutip ilmu yang banyak, Ibnu Katsir menjadi orang alim yang terkenal. Beliau
mengajar tafsir di Masjid Umawi di Damsyik dan menjadi guru di Madrasah Umm al-
Salih dan Dar al-Hadis dan tempat-tempat pengajian yang lain sehingga beliau
meninggal dunia4.

1
. Solah Abdul Fatah Al-Kholidi, Ta’rifu Addarisin Bimanahijil Mufasirin (Cet. V; Damaskus : Dar Alqolam,
2012 M / 1433 H), h 381.
2
. Muhammad Az-Zuhaily, Ibnu Katsir : Al-Hafidz al-mufassir, h 74
3
. Solah Abdul Fatah Al-Khalidi, Ta’rifu Addarisin Bimanahijil Mufasirin (Cet. V; Damaskus : Dar Alqolam,
2012 M / 1433 H), h 387.
4
Solah Abdul Fatah Al-Khalidi, Ta’rifu Addarisin Bimanahijil Mufasirin (Cet. V; Damaskus : Dar Alqolam,
2012 M / 1433 H), h 382

1
Ibnu Katsir belajar Fiqh dari Burhanudin Ibrahim bin abdurahman Al-Firazi, yang
terkenal dengan Ibnu Firqah ( meninggal 729 H). Ibnu Katsir belajar hadis dari Isa bin
Multim, Ahmad bin abi Talib, (Ibnu As-Shahnah), ( meninggal 730 H), Ibnu Hajar (
meninggal 730 H), dan periwayat hadis dari Syam ( Sekarang Syria dan sekitarnya)
baharudin Qosim bin Mujzaffar bin Asakir ( meninggal 723 H), dan Ibnu Shirzi, Ishaq bin
Yahya Al-Ammudi, yang terkenal juga dengan sebutan Affifudin, Syakh Zahiriyah yang
meninggal pada 725 H, dan Muhammad bin Zarrad atau Jamaludin Yusuf bin Zaki Al-Mizzi
yang meninggal pada 724 H beliau mengambil manfaat dari ilmunya dan juga menikahi
putrinya. Beliau juga belajar dari Syakhul islam taqiyudin ahmad bin Abdul Halim bin
Abdusalam bin Taimiyah yang meninggal pada 728 H. beliau juga belajar dari dari Imam
hafidz dan sejarawan Syamsudin muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qoymaz Adz
Zahabi yang meninggal pada 748 H. juga Abu Musa Al-qarafi, Abu Fath Ad-Dabusi dan Ali
bin Umar As-Suwani dan kepada ulama lain yang memberikan izin kepada beliau untuk
mengambil manfaat dari ilmunya. Beliau belajar kepada mereka di mesir.
Di dalam buku Al-Mu’jam Al- Mukhtas, Al-Hafidz Adh-Dhaliabi menulis Ibnu Katsir
adalah seorang Imam yang A’lim dalam ilmu fiqh, A’lim dalam ilmu hadis, terkenal dan
a’lim dalam ilmu tafsir yang telah menulis beberapa kitab yang bermanfaat. Selain itu, di
dalam Ad-Durar Al-Khidmah, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata: Ibnu Katsir ahli
dalam ilmu hadis baik matan maupun rawi-nya. Dia punya kemampuan menghafal yang
sangat bagus. Kitabnya sangat populer ketika dia masih hidup dan banyak manusia
mengambil manfaat darinya setelah dia meninggal. Juga di dalam kitab Al-Manhal As-safi
sejarawan terkenal Abul Mahasin, Jamaludin yusuf bin Syaifudin ( Ibnu Taghri Bardi )
berkata :
Dia adalah seorang syakh, Imam, A’lim, Imadudin abul fida, dia belajar serius dan
aktif dalam mengumpulkan ilmu dan menulis. Dia sangat cerdas dalam Ilmu fiqh, tafsir dan
hadis. Dia mengumpulkan Ilmu, menulis kitab, berfikir, meriwayatkan hadis dan menulisnya.
Dia punya pengetahuan yang luas dalam Ilmu hadis, tafsir, fiqh, bahasa arab dan yang lainya.
Dia memberi fatwa dan ilmu sampai dia meninggal. Semoga Allah SWT memberikan rahmat
padanya. Dia dikenal karena kecepatan dan keluasan ilmunya sebagai seorang yang A’lim
dalam sejarah, hadis, dan tafsir.
Murid-murid Ibnu Katsir, Ibnu Hajji adalah salah satu murid Ibnu katsir dan dia
menuturkan :
Beliau adalah penghafal hadis terbaik. Beliau juga paling mengetahui mengenai
perawi dan keaslian hadis. Teman-teman dan gurunya mengakui kemampuanya ini. Setiap
2
kali saya bertemu dengannya, saya selalu mendapatkan manfaat darinya. Juga Ibnu Imad Al-
Hambali berkata dalam kitabnya “ Shadrat Ah-Dhahab” : Beliau adalah hafidz yang mashur,
Imadudin, yang ingatanya sangat cerdas, sedikit sekali lupa, pemahamanya cukup dan
mempunyai pengetahuan yang baik dalam bahasa arab. Ibnu habib juga berkata tentang Ibnu
katsir: beliau mendengar Ilmu, mengumpulkannya dan menulis beberapa kitab. Beliau
memberikan kenyamanan dalam hati dalam fatwa-fatwanya dan hadis yang di riwayatkanya.
Dan memberikan bayak manfaat bagi orang lain. Tulisan yang berisi fatwa-fatwanya dikirim
ke berbagai propinsi dalam kekuasaan islam. Beliau terkenal denga ketepatan dan keluasan
ilmunya. Adapun Kitab-kitab Ibnu katsir:
1. Salah satu kitab yang paling terkenal yang ditulis oleh Ibnu katsir yaitu Tafsir Al-
Quranil Adzim. Yang merupakan tafsir terbaik yang telah dicetak beberapa kali dan
beberapa ulama telah mencoba meringkasnya.
2. Koleksi sejarah yang disebut Al-Bidayah, yang diterbitkan dalam 14 jilid dengan
nama Al-Bidayah wa Nihayah. Berisi sejarah dari nabi-nabi dan umat-umat terdahulu
sirah rasullulah dan sejarah islam sampai masa beliau hidup. Beliau juga
menambahkan kitab al-fitan mengenai Tanda-tanda Kiamat.
3. At-takmil fi Ma’rifat Ats- Tsiqot wad du’afa wal Majdhil yang merupakan gabungan
dari kitab kedua syakhnya yaitu Syakh Al-Mizzi dan Adz- Zahabi; Al-Kidmal dan
Mizan Al – Fiddl. Beliau menambahkan beberapa hal dalam bab Jarh dan ta’dil.
4. Al- Hadi wa Sunan fi Ahadits Al- Musnad wa Sunan yang disebut juga jami’ Al-
Musnad. Dalam buku ini Ibnu katsir menggabungkan riwayar dari Imam Ahmad bin
hambal, Al-Bazzar, Abu Ya’la Al-Maswili. Ibnu Abi Shaybah dan dari enam
kumpulan Hadits : dua sahih ( Bukhari dan Muslim) dan empat sunan ( abu dawud, at-
tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah). Beliau membagi bukunya ini berdasarkan bab-
bab fiqh.
5. Tabaqot As-Shafiyah yang berisi manakib dari imam Ash-Shafi.
6. Ibnu katsir menulis referensi hadis dari Adillatutanbih dari fiqh As-shafi
7. Ibnu katsir membuat syarah sahih Bukhari tapi beliau tidak sempat menyelesaikanya
8. Beliau mulai menulis banyak jilid dari hukum-hukum tapi baru selesai sampai bab
pelaksanaan haji.
9. Beliau meringkas Al-Madkhol al-Baihaqi, namun banyak dari buku-bukunya tidak di
terbitkan.
10. beliau meringkas ulumul hadis dari abu amr bin Shalah dan disebut Mukhtasor Ulum
al- hadis. Syakh Ahmad Sakir, seorang muhadis dari mesir menerbitkan buku ini
3
dengan ditambahkan komentar di dalamnya dan diberi judul Al Ba’th Al-Hathfih fi
Sharh Mukhtasar ‘Ulumul hadis.
11. As-Sirah An-Nabawiyah, yang didalamya termasuk Al-Bidayah, kedua buku ini telah
diterbitkan.
12. bahasan mengenai Jihad yang disebut Al- Ijtihad fi Talabil Jihad, yang telah dicetak
beberapa kali.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata: “Ibnu Katsir kehilangan penglihatannya
sebelum hidupnya berakhir. Beliau meninggal di Damascus pada 774 H. ia dikuburkan di
pemakaman shufiyah Damaskus, disisi makam guru yang dicintai dan dihormatinya yaitu
ibnu taimiyah5” Semoga Allah SWT memberikan rahmat kepada Beliau dan menjadikanya
sebagai salah satu penduduk surga.

B. Metode Tafsir Ibn Katsir


Tafsir karya monumental Ibnu Katsir itu ada pendapat yang mengatakan bahwa dari
segi metodologi ia menganut sistem tradisional, yakni sistematika tertib mushaf dengan
merampungkan penafsiran seluruh ayat dari surah fatihah hingga akhir surah annas.
Dikatakan bahwa dalam operasionalisasinya, Ibnu Katsir menempuh cara pengelompokkan
ayat-ayat berbeda, namun tetap dalam konteks yang sama. Metode demikian juga ditempuh
beberapa mufassir di abad 20-an seperti Rasyid Ridha, Al-Maraghi, Al-Qasimi.
Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi (al-
laun wa ittajah) tafsir bi al-ma’tsur /tafsir bi al-riwayah, karena dalam tafsir ini sangat
dominan memakai riwayat/hadis, pendapat sahabat dan tabi’in.
Adapun metode (manhaj) yang ditempuh Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Quran
dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Kategori ini dikarenakan
pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat secara analitis menurut urutan mushaf al-Quran.
Meski demikian metode penafsiran kitab ini pun dapat dikatakan semi tematik (maudhu’i)
karena ketika menafsirkan ayat ia mengelompokan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks
pembicaraan ke dalam satu tempat, baik satu atau beberapa ayat kemudian ia menampilkan
ayat-ayat lainnya terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu.
Metode tersebut, ia aplikasikan dengan metode-metode penafsiran yang dianggapanya
paling baik (ahsan turuq al-tafsir). Langkah-langkah dalam penafsirannya secara garis besar
ada tiga; Pertama, menyebutkan ayat ditafsirkannya, kemudian menafsirkannya dengan

5
www., surya ningsih .worpress.com. Desember 2008.

4
bahasa yang mudah dan ringkas. Jika memungkinkan, ia menjelaskan ayat tersebut dengan
ayat yang lain, kemudian memperbandingkannya hingga makna dan maksudnya jelas. Kedua,
mengemukakan berbagai hadis atau riwayat yang marfu’ yang berhubungan dengan ayat
yang sedang ditafsirkan. Ia pun sering menjelaskan antara hadis atau riwayat yang dapat
dijadikan argumentasi (hujah) dan yang tidak, tanpa mengabaikan pendapat para sahabat,
tabi’in dan para ulama salaf. Ketiga, mengemukakan berbagai pendapat mufasir atau ulama
sebelumnya. Dalam hal ini, ia terkadang menentukan pendapat yang paling kuat di antara
para ulama yang dikutipnya, atau mengemukakan pendapatnya sendiri dan terkadang ia
sendiri tidak berpendapat. Secara lebih rinci tahap-tahap tersebut akan diuraikan di bawah
ini:
1. Menafsirkan dengan al-Qur’an (ayat-ayat lainnya)
Ketika membaca tafsir ini para pembaca akan sangat sering mendapatkan ayat-ayat al-
Qur’an lainnya yang terkait dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Sebab banyak didapati
kondisi umum dalam ayat tertentu kemudian dijelaskan detail oleh ayat lain. Ayat-ayat itu
adalah yang menurutnya dapat menopang penjelasan dan maksud ayat-ayat yang sedang
ditafsirkan atau ayat-ayat yang mengandung persesuaian arti. Contoh Tafsir al-Qur’an
dengan al-Qur’an adalah:
Ketika Ibnu Katsir manafsirkan tentang isti’azah dan menjelaskan hukum-hukumnya,
demikian ia menghadirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan urusan orang mukmin tentang
perlindungan dari setan. Kalam Allah dalam al-Qur’an :

َّ ‫غ فَا ْست َ ِع ْذ ِب‬


َ ُ‫اَللِ ِإنَّه‬
‫س ِمي ٌع َع ِلي ٌم‬ ٌ ‫ان ن َْز‬
ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫َو ِإ َّما َي ْنزَ َغنَّ َك ِمنَ ال‬
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah.” (Q.S.
al-A’raf: 200 )6

‫ين‬
ِ ‫اط‬ َّ ‫ت ال‬
ِ ‫ش َي‬ ُ َ‫ب أ‬
ِ ‫عوذ ُ ِب َك ِم ْن َه َمزَ ا‬ ِ ِّ ‫َوقُ ْل َر‬
“Dan Katakanlah: Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan
syetan.” (Q.S. al-Mukminun: 97 )7

‫س ِمي ُع ْال َع ِلي ُم‬ َّ ‫غ فَا ْست َ ِع ْذ ِب‬


َّ ‫اَللِ ِإنَّهُ ُه َو ال‬ ٌ ‫ان ن َْز‬
ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫َو ِإ َّما َي ْنزَ َغنَّ َك ِمنَ ال‬
“Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, Maka mohonlah perlindungan
kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Q.S
Fushilat : 36 )8

6
Alqur`an dan Terjemahan; Yayasan Penyelanggara Penerjemah Alqur`an /Penafsir Alqur`an Revisi
Terjemahan Oleh Lajnah Pentashih Mushaf Alqur`an Departmen Agama Republik Indonesia
7
ibid

5
Inilah tiga ayat yang tidak ada pertentangan di dalam maknanya, yang saling
menjelaskan, ayat yang satu dengan yang lainnya, dan di dalam ayat ini menjelaskan
bahwasanya Allah menyuruh berbuat baik kepada manusia, dan Allah subhanahu wa
ta’ala memerintahkan untuk berlindung dari kejahatan syaitan.

2. Menafsirkan Alquran dengan hadis


Metode atau langkah ini ia pakai ketika penjelasan dari ayat lain tidak ditemukan, atau
jika ayat lain ada, penyajian hadis dimaksudkan untuk melengkapi penjelasan. Hal ini
merupakan ciri khas tafsir Ibnu Katsir. Dalam tafsir ini, secara kuantitas banyak sekali
dikutip hadis-hadis yang dianggap terkait atau dapat menjelaskan maksud ayat yang sedang
ditafsirkan. Dalam konteks ini, jika menemukan banyak riwayat/hadis baik yang senada
maupun tidak ia seringkali menampilkannya meskipun memakan tempat yang cukup banyak.
Demikian juga secara kualitas, ia pun sering mengemukakan kritik atau penilaian terhadap
hadis-hadis yang dikutipnya, meskipun tidak semuanya. Misalnya dengan menyatakan bahwa
hadis tertentu sanadnya da’if, da’if jiddan, dan sebagainya. Kenyataan ini dapat dipahami
karena Ibnu Katsir adalah seorang pakar hadis.
Ibnu katsir dalam menafsirkan satu ayat memasukkan satu hadis, dua hadis dan juga tiga
hadis sekaligus, kadang-kadang menyebutkan lebih banyak dari itu, dan kadang-kadang juga
dalam menafsirkan satu ayat ia memasukkan banyak hadis yang mencapai lebih dari 10 hadis.
Contoh tafsir al-Qur’an dengan sunnah adalah:

‫ ِ ََّللِ َمىا فِىي‬:‫سىلَّ َم‬ َ ‫ُِ َعلَيْى ِه َو‬ َّ َّ‫لىل‬ َ ِِ َّ ‫سىو ِل‬ ُ ‫ت َع َلى َر‬ ْ ‫ َل َّما نَزَ َل‬:‫ َقا َل‬،َ ‫َع ْن أ َ ِبي ُه َري َْرة‬
َّ ‫ض َو ِإ ْن ت ُ ْبدُوا َما فِي أ َ ْنفُ ِس ُك ْم أ َ ْو ت ُ ْخفُوهُ يُ َحا ِس ْب ُك ْم ِبى ِه‬
‫ُِ فَيَ ْْ ِف ُىر‬ ِ ‫األر‬ ْ ‫ت َو َما فِي‬ ِ ‫س َم َاوا‬
َّ ‫ال‬
‫ب‬
ِ ‫لى َحا‬ ْ َ ‫ىك َعلَى أ‬ َ ‫ِير ا ْقىتَدَّ ذَ ِل‬ ْ ‫ُِ َعلَى ُشى ِِّل ق‬
ٌ ‫َىي ٌ قَىد‬ َّ ‫ىن يَشَىا ُ َو‬ ْ ‫ب َم‬ُ ِّ‫ىن يَشَىا ُ َويُعَى ِذ‬
ْ ‫ِل َم‬
‫ ْىم َ َى ْىوا‬،‫سىلَّ َم‬َ ‫ُِ َعلَيْى ِه َو‬ َّ َّ‫لىل‬
َ ِِ ُ ‫ فَىوَت َ ْوا َر‬،‫سىلَّ َم‬
َّ ‫سىو َل‬ َ ‫ُِ َعلَيْى ِه َو‬ َّ َّ‫لىل‬ َ ِِ َّ ‫سىو ِل‬ُ ‫َر‬
ِّ ِ ‫ُ َىَة ُ َو‬
ُ ‫الُى َيا‬ َّ ‫ ال‬:‫ ُش ِلِّ ْفنَىا ِمىنَ ْاأل َ ْع َمىا ِل َمىا نُطيىص‬،ِِ
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ َيا َر‬:‫ َوقَالُوا‬،‫ب‬ ِ ‫الر َش‬
ُّ َ‫َعل‬
ُِ َّ َّ‫لىل‬ َ ِِ َّ ‫سىو ُل‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬.‫ َوقَ ْد أ ُ ْن ِز َل َعلَي َْك َه ِذ ِه ْاْليَةُ َو ََل نُ ِطيقُ َها‬،ُ‫ُدَقَة‬ َّ ‫َو ْال ِج َهادُ َوال‬
‫ُ ْينَا؟ بَ ْل‬ َ :‫سلَّ َم "أَت ُ ِريدُونَ أ َ ْن تَقُولُوا َش َما قَا َل أ َ ْه ُل ْال ِكتَابَي ِْن ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم‬
َ ‫س ِم ْعنَا َو َع‬ َ ‫َعلَ ْي ِه َو‬
."‫ير‬
ُ ُِ ‫غ ْف َران ََك َربَّنَا َو ِإلَي َْك ْال َم‬ َ َ ‫س ِم ْعنَا َوأ‬
ُ ،‫ط ْعنَا‬ َ :‫قُولُوا‬

8
ibid

6
3. Menafsirkan dengan pendapat sahabat dan tabi’in
Selanjutnya jika tidak didapati tafsir baik dalam al-Qur’an dan hadis, kondisi ini
menuntutnya untuk merujuk kepada referensi sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui
karena menyaksikan langsung kondisi dan latar belakang penurunan ayat. Di samping
pemahaman, keilmuan dan amal saleh mereka. Diantara pendapat para sahabat yang sangat
sering ia kutip adalah pendapat Ibnu Abbas dan Qatadah. Referensi tabi’in kemudian
alternatif selanjutnya ketika tidak ditemukan tafsir dalam al-Quran, hadis dan referensi
sahabat. Namun, pendapat tabi’in dijadikan hujah bila pendapat tersebut telah menjadi
kesepakatan di antara mereka, jika tidak maka ia tidak mengambilnya sebagai hujah.
Tafsir Ibnu Katsir memasukkan perkataan sahabat di dalam kitab tafsirnya seperti:
perkataan al-Khulafa’ al-Rasyidin, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Abu Ibn Ka’ab, Abdullah Ibn
Umar, Abdullah Ibn ‘Amr, Abu Hurairah, Abu Darda’, Mu’az ibn Jabal dan lain-lain
(Rhodiyallohu ‘anhum).
Untuk perkataan ulama tafsir dari tabi’in, seperti: Mujahid, Atha’ Ibn Abiy Rabah,
‘Akramah, Thawas al-Yamaniy, Abu Aliyah, Zaid ibn Aslam. Anaknya Abdurrahman, Sa’id
ibn Musayyab, Muhammad ibn Ka’ab al-Qarzhiy, Sa’id ibn Jubair, Hasan al-Bashriy, Masruq
ibn al-Ajda’, Abu Wa’il, Muqatil ibn Hayyan, Muqatil ibn Sulaiman al-Balakhiy, Rabi’ ibn
Anas, dan lain-lain.
Contoh tafsir al-Qur’an dengan perkataan sahabat dan tabi’in:

)10( َ‫اب أ َ ِلي ٌم ِب َما َشانُوا يَ ْك ِذبُون‬ ٌ َ‫ضا َولَ ُه ْم َعذ‬ ً ‫ُِ َم َر‬ ٌ ‫فِي قُلُو ِب ِه ْم َم َر‬
َّ ‫ض فَزَ ادَ ُه ُم‬
‫ي‬ ِِّ ِ‫ع ْن ُم َّرة َ ْال َه ْمدَان‬
َ ‫ َو‬،‫َّاس‬ ٌ ‫ َع ِن اب ِْن َعب‬،ٌ‫لا ِلح‬ َ ‫ َع ْن أَبِي َمالِكٌ َو َع ْن أَبِي‬،‫ي‬ ُّ ‫قَا َل ال‬
ُّ ِّ‫س ِد‬
:‫سلَّ َم ِفي َه ِذ ِه ْاْل َي ِة‬ َ ‫ُِ َعلَ ْي ِه َو‬َّ َّ‫لل‬َ ‫ي‬ ِِّ ‫ب النَّ ِب‬
ِ ‫ل َحا‬ ٌ ‫ َو َع ْن أُن‬،ٌ‫َع ِن اب ِْن َم ْسعُود‬
ْ َ ‫َاس ِم ْن أ‬
.‫ق ًّكا‬
َ :‫ضا قَا َل‬ ٌ ‫فِي قُلُو ِب ِه ْم َم َر‬
َّ ‫ فَزَ ادَ ُه ُم‬،‫ ق ٌَّك‬:‫ض قَا َل‬
ً ‫ُِ َم َر‬
4. Menafsirkan dengan pendapat para ulama
Disamping menggunakan ayat-ayat yang terkait hadis Nabi dan para sahabat dan
tabi’in, Ibnu Katsir pun seringkali mengutip berbagai pendapat ulama atau mufasir
sebelumnya ketika menafsirkan ayat. Berbagai pendapat yang dikutip menyangkut berbagai
aspek seperti kebahasaan, teologi, hukum, kisah/sejarah. Namun, dari sekian banyak
pendapat ulama yang dikutip, yang paling sering adalah pendapat Ibn Jarir al- Thabari. Ia
sangat banyak mengutip riwayat-riwayat dari periwayatan al- Thabari lengkap dengan
sanadnya. Ia pun sering mengkritik atau menilai kualitas hadis yang dikutipnya itu. Dengan
demikian, secara subtansial Ibnu Katsir telah melakukan perbandingan penafsiran.
7
5. Menafsirkan dengan pendapat sendiri
Langkah ini biasanya ditempuh setelah ia melakukan keempat langkah di atas. Dengan
menempuh langkah-langkah tersebut dan menganalisis serta membandingkan berbagai data
atau penafsiran, ia sering kali mengemukakan pendapatnya sendiri pada berbagai akhir
penafsiran ayat. Namun perlu diketahui bahwa langkah ini tidak semuanya dapat diterapkan
pada semua ayat. Adapun untuk membedakan antara pendapatnya sendiri dengan pendapat
ulama-ulama lainnya dapat diketahui dari pernyataan: “menurut pendapatku” (qultu).
Berbagai sikap penafsiran Ibnu Katsir
1. Sikap terhadap Israiliyat
Riwayat-riwayat Israiliyat oleh Ibnu Katsir ada yang dipakai ada yang tidak. Sebagai
contoh, ketika ia menafsirkan QS. al-Baqarah: 67 yang menceritakan perintah Tuhan kepada
bani Israil untuk menyembelih seekor sapi betina. Dalam menafsirkan ayat ini, ia mengutip
dua riwayat Israiliyat, namun sekaligus mengemukakan sikapnya yang tidak membenarkan
dan juga tidak menolak riwayat tersebut kecuali jika sejalan dengan kebenaran yakni syariat
islam. Demikian juga terhadap riwayat-riwayat israiliyat yang dinilainya tidak dapat dicerna
oleh akal sehat ia terkadang meriwayatkannya disertai peringatan. Bahkan meskipun
meriwayatkannya ia pun terkadang membantahnya dengan keras. Ada kalanya ia sama sekali
tidak mengambil riwayat.

2. Tentang penafsiran ayat-ayat hukum


Sebagai orang ahli hukum dalam Islam, ketika menafsirkan ayat-ayat yang bernuansa
hukum, Ibnu Katsir memberikan penjelasan yang relatif lebih luas, apalagi ketika
menafsirkan ayat-ayat yang dipahami secara berbeda dikalangan para ulama. Dalam hal ini,
ia kerap kali menyajikan diskusi dengan mengemukakan argumentasi masing-masing,
termasuk pendapatnya sendiri. Dari penafsiran-penafsirannya dalam masalah fiqih ini terlihat
bahwa ia adalah seorang yang moderet dan toleran.

3. Tentang naskh (penghapusan)


Dalam masalah ini, Ibnu Katsir termasuk yang berpendapat bahwa naskh dalam al-
Qur’an itu ada. Menurutnya, naskh ialah penghapusan hukum atau ketentuan yang terdahulu
dengan hukum yang terdapat dalam ayat yang muncul lebih belakangan. Adanya
penghapusan ini merupakan kehendak Allah sesuai kebutuhan demi kemaslahatan,
sebagaimana al-Qur’an banyak yang me-naskh ajaran-ajaran sebelumnya. Contohnya ialah
8
penghapusan hukum pernikahan antara saudara kandung sebagaimana yang dilakukan oleh
putra-putri Nabi Adam, dan penghapusan penyembelihan Ibrahim atas putranya yakni Ismail,
dan sebagainya.
4. Tentang muhkam dan mutasyabih
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam hal ini ia mengikuti pendapat Muhammad
Ibn Ishaq Ibn Yasar, yang berpendapat bahwa ayat-ayat al-Quran yang muhkam merupakan
argumentasi Tuhan, kesucian hamba, dan untuk mengatasi perselisihan yang batil. Pada ayat-
ayat tersebut, tidak ada perubahan dan pemalsuan Sedangkan pada ayat-ayat yang
mutasyabihat tidak ada perubahan dan pentakwilan. Allah hendak menguji hamba-hambanya
melalui ayat ini sebagaimana dalam hal halal dan haram; apakah dengannya akan berpaling
kepada yang batil dan berpaling dari kebenaran (yang haq).

5. Tentang ayat-ayat tasybih (antropomorfis)


Dalam mengartikan ayat-ayat semacam ini ia mengikuti pendapat ulama salaf al-salih,
yang berpendapat tidak ada penyerupaan (tasybih) perbuatan Allah dengan hamba-hamba-
Nya. Ia memilih ”membiarkan” atau tidak mengartikan lafaz-lafaz tasybih dalam al-Qur’an
seperti kursi, arasy, dan istawa yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam menafsirkan ayat-ayat
semacam ini ia menjelaskan dengan mengutip pendapat sejumlah ulama. ia juga mengutip
hadis-hadis, namun menurut penelitiannya hadis-hadis tersebut kualitasnya lemah.
Ringkasnya dalam masalah ini sikapnya lebih berhati-hati.

6. Tentang ayat-ayat yang dipahami secara berbeda-beda


Pada dasarnya pada banyak ayat, khususnya menyangkut pembahasan hukum atau
fiqih, perbedaan penafsiran dapat saja, bahkan seringkali terjadi. Namun disini ingin
ditegaskan kembali bahwa kontroversi dan terkadang kontradiksi penafsiran di kalangan para
ulama itu, oleh Ibnu Katsir biasanya dideskripsikan, didiskusikan dan di analisis secara rinci.

C. Aspek-aspek ekonomi yang ada di Tafsir Ibnu Katsir ( beri satu kasus kemudian
jelaskan)
Qs. Albaqarah Ayat 261-264 Cara-cara Penggunaan Harta dan Hukum-Hukumnya
Menafkahkan Harta di Jalan Allah Qs.Al Baqarah ayat 261

َّ ‫ف َو‬
‫ُِ َحبَّ ٌة‬ َ ُ‫س ِبي ِل فِي أ َ ْم َوالَ ُه ْم يُ ْن ِفقُونَ الَّذِينَ َم َ ُل ِل َم ْن ي‬
ُ ‫ضا ِع‬ َ ِِ ْ َ ‫أ َ ْنبَت‬
َّ ‫ت َحبَّ ٌة َش َم َ ِل‬
َّ ‫س ْب َع َوا ِسع َع ِليم َو‬
ُ ‫ُِ يَشَا‬ َ ‫سنَابِ َل‬ ُ ُ‫ِمائَة‬
َ ‫س ْنبُلَ ٌة ُش ِِّل فِي‬
9
Ayat 261,“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah
adalah serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada setiap butir seratus
biji. Allah (terus-menerus) melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Tafsir Qs.Al Baqarah ayat 261: Ayat ini
turun menyangkut kedermawanan Utsman Ibn ’Affan dan Abdurrahman Ibn ’Auf ra. yang
datang membawa harta mereka untuk membiayai perang Tabuk. Ayat ini turun menyangkut
mereka, bukan berarti bahwa ia bukan janji Allah terhadap setiap orang yang menafkahkan
hartanya dengan tulus. Ayat ini berpesan kepada yang berpunya agar tidak merasa berat
membantu, karena apa yang dinafkahkan akan tumbuh berkembang dengan berlipat ganda
(Tafsir Al-Mishbah, vol 1, h.567). Dengan perumpamaan yang mengagumkan itu,
sebagaimana dipahami dari kata ‫( َم َ ُل‬matsal) ayat ini mendorong manusia untuk berinfak.
Bukankah jika ia menanam sebutir di tanah, tidak lama kemudian ia akan mendapatkan benih
tumbuh berkembang sehingga menjadi tumbuhan yang menumbuhkan buah yang sangat
banyak? Kalau tanah yang diciptakan Allah memberikan sebanyak itu, apakah engkau, hai
manusia, ragu menanamkan hartamu di jalan Allah? Apakah keyakinanmu kepada tanah,
melebihi keyakinanmu kepada Sang Pencipta tanah? (Tafsir Al-Mishbah,vol 1,h.567) Ayat
ini menyebut angka tujuh yang tidak harus dipahami dalam arti angka di atas enam dan
dibawah delapan. Angka itu berarti banyak. Bahkan pelipatgandaan itu tidak hanya tujuh
ratus kali, tetapi lebih dari itu, karena Allah (terus-menerus) melipat gandakan bagi siapa
yang Dia kehendaki, selaras dengan keikhlasannya beramal.
(Tafsir Ibnu Katsir,h.438)9. Jangan menduga bahwa Allah tidak mampu memberi
sebanyak mungkin. Bagaimana mungkin Dia tidak mampu, bukankah Allah Maha Luas
anugerah-Nya. Jangan juga menduga, Dia tidak tahu siapa yang bernafkah dengan tulus di
jalan yang diridhai-Nya. (Tafsir Al Mishbah,vol 1,h.567). Yakinlah bahwa Dia Maha
Mengetahui,siapa yang berhak menerima karunia-Nya dan siapa yang tidak. (Tafsir Ibnu
Katsir,h.438) Qs.Al Baqarah ayat 262

‫س ِبي ِل‬
َ ِِ َّ ‫َما يُتْ ِبعُونَ َل ْ ُ َّم‬
ٌ ‫فِي أ َ ْم َوالَ ُه ْم يُ ْن ِفقُونَ الَّذِينَ خ َْو‬
‫ف َوَل َر ِبِّ ِه ْم ِع ْندَ أ َ ْ ُر ُه ْم لَ ُه ْم أَذًى َوَل َمنًّا أ َ ْنفَقُوا‬
‫يَ ْحزَ نُونَ هُ ْم َوَل َعلَ ْي ِه ْم‬
9
. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta : Gema Insani
Press, 1999 Shihab,M. Quraish, Tafsir Al Mishbah, Volume 1, Jakarta : Lentera Hati, 2002

10
Ayat 262,“Orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah, kemudian mereka
tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan
tidak pula mengganggu (menyakiti perasaan), bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka.
Tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Tafsir Qs.Al
Baqarah ayat 262: Ayat ini menjelaskan tentang sebab keberhasilan mereka yang
menginfakkan harta mereka di jalan Allah. Pelipatgandaan yang disebut pada ayat lalu
diperoleh mereka yang menghindari sebab kegagalan ini. Kata mann yang di atas
diterjemahkan dengan menyebut-nyebut pemberian, terambil dari kata minnah, yaitu nikmat.
Mann adalah menyebut-nyebut nikmat kepada yang diberi serta membanggakannya. Kata ini
pada mulanya berarti memotong atau mengurangi. Dalam konteks ayat ini, menyebut-nyebut
pemberian dinamai demikian karena ganjaran pemberian itu -dengan menyebut-nyebut-
menjadi berkurang atau terpotong, dan hubungan baik yang tadinya terjalin dengan
pemberian itu, terpotong hingga tidak bersambung lagi. Adapun kata ‫( أَذًى‬adza), bermakna
gangguan. Sebenarnya menyebut-nyebut nikmat-pun merupakan gangguan, tetapi kalau kata
mann adalah menyebut-nyebutnya di hadapan orang yang diberi, maka kata adza adalah
menyebut-nyebutnya kepada orang lain, sehingga yang diberi merasa malu. Di sisi lain
penggunaan kata ‫ْ ُ َّم‬ (tsumma/kemudian) sebelum menyebut dua keburukan itu,
mengisyaratkan bahwa yang dituntut adalah tidak melakukan kedua keburukan itu, bukan
hanya pada saat pemberian, tetapi juga di kemudian hari setelah masa yang berkepanjangan
berlalu dari masa pemberian. Memang ada orang yang pada saat memberi, memberikan
secara tulus, bahkan mungkin rahasia, tetapi beberapa lama kemudian dia menceritakan
pemberiannya kepada orang lain, yang mengakibatkan yang diberi merasa malu atau
tersinggung perasaannya. (Tafsir Al-Mishbah,vol 1,h.568-569) Ayat Bagi mereka pahala
mereka di sisi Tuhan mereka, yakni pahala yang mereka peroleh adalah pelipatgandaan yang
disebut pada ayat yang lalu. Dengan demikian pelipatgandaan itu tidak diperoleh tanpa
menghindari kedua keburukan tersebut, dan tentu saja sebelum itu adalah ketulusan dan
penggunaannya di jalan Allah (Tafsir Al-Mishbah,vol 1,h.569). Bahkan sedekah menjadi
batal karena diikuti dengan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan yang menerimanya.
Jadi pahala sedekah tidak akan terpenuhi karena kesalahan tersebut. (Tafsir Ibnu
Katsir,h.440) Makna tidak ada kekhawatiran atas mereka adalah sehingga yang menafkahkan
hartanya secara tulus tidak akan merasa takut kekurangan materi di masa depan, dan tidak
pula mereka bersedih hati akibat pemberian yang diberikannya, yang mungkin terbersit dalam
benaknya bahwa itu banyak atau bukan pada tempatnya. Kata tidak ada kekhawatiran atau

11
keresahan menyangkut masa depan, dapat juga mencakup janji anugerah rezeki yang
berbentuk pasif. (Tafsir Al-Mishbah,vol 1,h.569-570) Qs.Al Baqarah ayat 263

‫ي‬
ٌّ ‫غ ِن‬ َ ‫ُِ أَذًى َيتْ َبعُ َها‬
ٌ ‫لدَقَ ٌة ِم ْن َخي ٌْر َو َم ْْ ِف َرة ٌ َم ْع ُر‬
َ ‫وف قَ ْو ٌل َح ِلي ٌم‬ َّ ‫َو‬
Ayat 263,“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi
dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha
Penyantun”. Tafsir Qs.Al Baqarah ayat 263: Ayat di atas menekankan pentingnya ucapan
yang menyenangkan dan pemaafan. Perkataan yang baik adalah ucapan yang tidak menyakiti
hati peminta/penerima. Perkataan yang baik itu lebih baik, walau tanpa memberi sesuatu,
daripada memberi dengan menyakitkan hati yang diberi. Demikian juga memberi maaf
kepada peminta-minta yang tidak jarang menyakitkan hati pemberi, apalagi kalau si peminta-
minta mendesak atau merengek, juga lebih baik daripada memberi disertai dengan menyakiti
hati. Karena memberi dengan menyakiti hati adalah aktivitas yang menggabungkan kebaikan
dengan keburukan, plus dengan minus.

Qs.Al Baqarah ayat 264

َّ ‫لدَقَاتِ ُك ْم تُب ِْطلُوا َلآ َمنُوا الَّذِينَ أَيُّ َها يَا َو ْاليَ ْو ِ ِب‬
ِ َّ‫اَللِ يُؤْ ِم ُن َوَل الن‬
‫اس‬ َ ‫َواألذَى ِب ْال َم ِِّن‬
َّ ‫اْلخ ِر‬
‫َلُِ َو‬ ِ ُ‫ان َش َم َ ِل فَ َم َلُه‬ٌ ‫ل ْف َو‬ َ ‫اب َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ِرئَا َ َمالَهُ يُ ْن ِف ُص َشالَّذِي ابِ ٌل َو‬
ٌ ‫لابَهُ فَو َ ت ُ َر‬
‫ل ْلدًا فَت َ َر َشهُ ْال َكا ِف ِرينَ ْالقَ ْو َ َي ْهدِي‬
َ ‫ق ْي ٌ َع َل نَ ُرو َي ْق ِد َل‬ َ ‫َش‬
َ ‫سبُوا ِم َّما‬
Ayat 264,
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan Hari
Kemudian. Maka keadaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah/berdebu). Mereka
tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. Tafsir Qs.Al Baqarah ayat 264: Ayat ini dimulai
dengan panggilan mesra Ilahi, Wahai orang-orang yang beriman, disusul dengan larangan,
jangan membatalkan, yakni ganjaran sedekah kamu. Kata ganjaran tidak disebutkan dalam
ayat ini untuk mengisyaratkan, bahwa sebenarnya bukan hanya ganjaran atau hasil dari
sedekah itu yang hilang, tetapi juga sedekah yang memberikan modal pun hilang tidak
berbekas, keduanya hilang lenyap. Allah bermaksud melipatgandakannya namun kamu
12
sendiri yang melakukan sesuatu yang mengakibatkannya hilang lenyap, karena kamu
menyebut-nyebutnya dan mengganggu perasaan si penerima.
Sungguh tercela sifat mereka. (Tafsir Al-Mishbah,vol 1,h.571-572) Dua kelakuan
buruk di atas dipersamakan dengan dua hal buruk yaitu pamrih dan tidak beriman. Orang
yang pamrih melakukan sesuatu dengan tujuan mendapat pujian manusia tidak wajar
mendapat ganjaran dari Allah. Yang tampak oleh manusia bahwa dia bersedekah karena
Allah, padahal dia bermaksud meraih pujian orang melalui sedekahnya, serta tujuan-tujuan
duniawi lainnya, dengan memutuskan perhatiannya dari interaksi dengan Allah dan dari
tujuan meraih keridhaan-Nya (Tafsir Ibnu Katsir,h.440). Kelakukannya itu menunjukkan ia
tidak percaya kepada Allah tidak juga hari Kemudian. Bersedekah dengan pamrih (riya’)
diibaratkan seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan
lebat. Seandainya dia bukan batu licin seandainya batu retak, berlubang, atau berpori-pori,
bisa jadi tanah yang tersisa, jadi ada sisa-sisa yang tidak keluar akibat hujan, tetapi dia batu
licin yang halus, licin, dan dengan sedikit air saja sudah dapat membersihkannya apalagi
kalau hujan lebat, maka ia menjadi bersih, tidak meninggalkan sedikit tanah atau debu pun.
Dan dengan demikian, mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan,
yakni tidak mendapat sesuatu apapun dari sedekah mereka itu, dan memang Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir, di antaranya mereka yang mengkufuri
nikmat-Nya dan tidak mensyukuri-Nya. (Tafsir Al-Mishbah,vol 1,h.572-573)

D. Penutup
Keseluruhan kandungan Qs. Al Baqarah ayat 261-264 adalah menjelaskan tentang
keutamaan bersedekah dan apa hal-hal apa yang dapat menghilangkan pahalanya. Ayat 261
menjelaskan tentang perumpamaan atas orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
(infak/sedekah) dengan ikhlas adalah seperti serupa dengan butir benih yang menumbuhkan
tujuh butir, pada setiap butir seratus biji. Allah (terus-menerus) melipat gandakan bagi siapa
yang Dia kehendaki. Sedangkan dalam ayat 262 dilanjutkan tentang penjelasan Allah bahwa
mereka yang bersedekah dengan tidak menyebut-nyebut kembali apa yang diberikannya
tersebut dan tidak menyakiti hati si penerima, maka pahala akan mereka peroleh. Sebaliknya
di ayat 263 jika memang belum bisa bersedekah, maka perkataan yang baik dan pemberian
maaf kepada si penerima adalah lebih baik daripada sedekah diiringi sesuatu yang
menyakitkan hati si penerima. Kemudian di ayat 264 Allah mempertegas bahwa dengan
menyebut-nyebut apa yang telah disedekahkan dan menyakiti hati si penerima berarti sia-sia
sajalah sedekah yang dikeluarkannya itu. Pahala keberkahan atas sedekahnya itu hilang sama
13
sekali bagaikan tanah di atas batu licin yang kemudian ditimpa hujan lebat, tiada bekas yang
tersisa sama sekali.
Analia Ekonomi Kandungan ayat dalam Al Quran salah satunya adalah tentang
perumpamaan. Dalam Qs. Al Baqarah ayat 261-264 menjelaskan tentang perumpamaan yang
disebutkan oleh Allah tentang keutamaan menginfakkan hartanya (bagi mereka yang
berpunya) di jalan Allah maka akan dilipatgandakan pahala pada mereka yang ikhlas
melaksanakannya. Disambung dengan ayat bahwa pada saat berinfak janganlah diiringi
dengan menyebut-nyebut pemberian tersebut yang akan menyakiti hati si penerima. Bahkan
jika tidak ingin atau belum bisa berinfak, maka perkataan yang baik dan pemberian maaf itu
lebih baik daripada memberi namun menyakiti hati si penerima. Dan terakhir disebutkan
bahwa pemberian dengan menyebut-nyebut apa yang diberikan tersebut adalah sia-sia belaka,
tidak ada pahala dan kebaikan apapun yang diperoleh si pemberi jika ia melakukan hal itu.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak contoh nyata tentang keengganan bagi mereka yang
berpunya untuk menafkahkan hartanya di jalan Allah dalam hal ini baik dalam bentuk infak,
sedekah, ataupun zakat. Mereka merasa sayang untuk mengeluarkan harta tersebut karena
takut akan mengurangi jumlah harta yang mereka miliki. Kalaupun mereka ingin bersedekah,
mereka ingin banyak orang tahu tentang perilaku sedekahnya itu. Bahkan ada yang ingin
mengabadikan momen bersedekahnya itu baik dengan foto ataupun video. Bahkan ada yang
lucu dan konyol, yaitu ada yang ingin bersedekah atau berinfak untuk pembangunan masjid
misalnya, tetapi sedekahnya itu dalam rangka untuk mencari simpati masyarakat dalam
kaitannya dengan pencalonan dirinya sebagai kepala atau wakil kepala daerah misalnya. Dan
jika setelah masa pemilihan dia gagal, mereka mengambil kembali barang-barang yang telah
diinfakkannya tadi. Hal itu terbukti bahwa tujuan atas infak yang dikeluarkannya tersebut
bukanlah untuk Allah, namun hanya untuk kepentingan pribadinya. Kadangkala apa yang kita
keluarkan dengan tujuan infak akan menjadi sia-sia belaka karena perilaku kita sendiri.
Padahal jika kita benar-benar memahami dan menerapkan apa yang telah diterangkan Allah
dalam ayatnya tersebut, maka kesia-siaan tersebut dapat dihindari dan kita termasuk orang-
orang yang beruntung. Namun di tengah kompetisi dalam memenuhi kebutuhan hidup yang
semakin sulit, manusia terkadang lupa akan hakikat dari infak yang seharusnya
dikeluarkannya. Ada yang mungkin terpaksa karena sistem yang telah mengikat mereka,
misalnya jika mereka seorang pegawai baik swasta atupun negeri, maka secara otomatis gaji
di tiap bulannya akan dipotong untuk dana ZIS, ada yang menganggap bahwa jika dia sudah
keluarkan pajak, maka tidak wajib baginya untuk infak artinya dia beranggapan bahwa pajak
adalah pengganti infak, ada yang bahkan sama sekali tidak pernah berinfak kecuali jika saat
14
di jalan ia bertemu dengan peminta-minta yang tidak bisa dia hindari, bahkan saat memberi
dia akan mencari uang receh yang paling kecil nominalnya, namun di antara mereka itu juga
tidak sedikit mereka yang dengan secara sadar mengeluarkan infak atas tiap penghasilan yang
mereka terima dan itu adalah yang paling baik di antara contoh-contoh sebelumnya. Jika kita
benar-benar memahami dan menyadari ayat tersebut, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi
kita untuk tidak berinfak. Dan pastinya dengan tidak melakukan perbuatan yang dapat
merusak pahala keberkahan dari infak kita tersebut. Namun terkadang karena kesibukan yang
luar biasa dalam mencari dunianya, manusia sudah jarang yang peduli untuk memahami
kandungan Al Quran yang merupakan petunjuk hidup manusia yang sebenar-benarnya.
Jangankan untuk memahami isi kandungannya, untuk membaca Al Quran saja bisa dihitung
kuantitasnya. Mungkin saja mereka memiliki Al Quran, namun hanya untuk pajangan di
lemari saja, na’udzubillah.

DAFTAR PUSTAKA

Alqur`an dan Terjemahan; Yayasan Penyelanggara Penerjemah Alqur`an /Penafsir Alqur`an


Revisi Terjemahan Oleh Lajnah Pentashih Mushaf Alqur`an Departmen Agama
Republik Indonesia.

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta :
Gema Insani Press, 1999 Shihab,M. Quraish, Tafsir Al Mishbah, Volume 1, Jakarta :
Lentera Hati, 2002.

Muhammad Az-Zuhaily, Ibnu Katsir : Al-Hafidz al-mufassir, h 74.

Solah Abdul Fatah Al-Kholidi, Ta’rifu Addarisin Bimanahijil Mufasirin (Cet. V; Damaskus :
Dar Alqolam, 2012 M / 1433 H), h 381-387,-

www., surya ningsih .worpress.com. Desember 2008.

15

Anda mungkin juga menyukai