Anda di halaman 1dari 15

Nilai :

LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNIK EMERGING THERMAL DAN NON THERMAL
(Microwave Heating)

Oleh :

Nama : Sekar Widyaningrum


NPM : 240110160092
Hari, Tanggal Praktikum : Senin, 1 April 2019
Waktu : 09.30-11.30 WIB
Co.Ass : Sita Halimatus Sa'diyah

LABORATORIUM PASCA PANEN DAN TEKNOLOGI PROSES


DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Termal


Proses termal adalah metode pengawetan pangan penting dalam industri
pangan dan telah menjadi landasan pada proses pengolahan pangan di indistri
selama berabad-abad. Perhitungan proses termal yang termasuk didalamnya
adalah waktu dan suhu proses dihitung untuk mencapai pada tingkat inaktivasi
mikroba (letal) yang dilakukan secara hati-hati untuk menjamin keamanan
kesehatan publik (Bigelow et al., 1920, Ball,1928, Stumbo, 1973, Pham, 1987,
Teixera, 1992, Holdsworth, 1997 dalam Sandeep, 2011). Proses termal yang
berlebihan harus dihindari karena proses termal memiliki efek yang merugikan
pada kualitas (faktor dan nutrisi dan sensori) pangan (Sandeep, 2011).
Ada tiga model utama perpindahan panas yang berkontribusi pada proses
perpindahan panas dalam porsi yang berbeda-beda yakni konduksi, konveksi dan
radiasi. Konduksi adalah perpindahan panas dari gerakan molekul pada benda
berwujud padat. Konveksi adalah perpindahan panas melalui aliran fluida yang
terjadi karena perbedaan densitas dan efek daya apung pada produk dalam wujud
fulida. Radiasi adalah perpindahan panas melalui energy elektromagnetik antara
dua benda yang memiliki suhu yang berbeda (Holdsworth dan Simpson, 2016).
Untuk menetapkan proses termal pada pangan dapat dilakukan dengan
menghitung nilai D dan nilai Z sebagai ukutan inaktivasi mikroba pada pangan
spesifik dan pada temperature spesifik (Nelson, 2010).

2.2 Efek Proses Termal


1. Aktivitas Mikroba
Proses termal digunakan terutama untuk menghilangkan atau menurunkan
sejumlah mikroba sampai batas yang dapat diterima dan menghasilkan
kondisi yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan
pembusuk.

2. Aktivitas Enzim
Beberapa enzim (peroksidase, lipoksigenasi, dan pektinesterase) jika tidak
diinaktivasi menyebabkan perubahan mutu produk pangan selama
penyimpanan. Ketidakcukupan panas untuk inaktivasi enzim dapat
menyebabkan masih terdapat residu aktivitas enzim.

3. Nilai Nutrisi
Pada proses blansing, kehilangan zat gizi dapat mencapai 40% untuk
mineral dan vitamin (terutama vitamin c), 35% gula, 20% protein, dan asam
amino. Selain nutrisi, senyawa toksik juga mengalami penurunan baik
karena larut dalam air pemblansing maupun inaktif karena panas.

4. Sifat Organoleptik
Pada proses termal terjadi perubahan sifat organoleptik produk, seperti
denaturasi protein, pelelehan, dan restrukturisasi lemak, serta gelatinisasi
pati yang kesemua itu dapat menyebabkan perubahan tekstur dan cita rasa
produk. Perubahan lainnya yang terjadi seperti warna dan flavor yang juga
berperan terhadap sifat organoleptik produk.

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Proses Termal


Pencapaian kecukupan proses panas dapat dipengaruhi oleh banyak faktor.
Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses termal tersebut
harus dikontrol dan dikendalikan dengan baik. Setiap produk memiliki proses
pemanasan dan sterilisasi yang berbeda-beda, sehingga penanganan setiap bahan
juga berbeda-beda. Bahan yang dikalengkan perlu diperhatikan nilai pH bahan,
metode pengemasan, viskositas bahan, bentuk/ukuran bahan, aktivitas air, persen
padatan, rasio padatan/cairan, perubahan formula, ukuran partikel, syrup strength,
jenis pengawet yang ditambahkan, dan sebagainya. Ketika bahan diproses di
dalam retort perlu diperhatikan jenis retort yang digunakan, jenis media pemanas,
posisi wadah di dalam retort, tumpukan wadah, pengaturan kaleng, kemungkinan
terjadinya nesting, dan sebagainya. Terdapat faktor- faktor kritis yang dapat
mempengaruhi proses pemanasan dan sterilisasi, yaitu : (Kusnandar, 2013)
1. Nilai pH
Salah satu karakteristik produk pangan yang penting yang menentukan
apakah proses termal harus sterilisasi atau pasteurisasi adalah tingkat
keasaman yang dinyatakan dengan nilai pH. Karena bakteri pembentuk
spora umumnya tidak tumbuh pada pH. Untuk produk pangan yang
diasamkan, maka prosedur pengasaman menjadi sangat penting, dimana
harus menjamin pH keseimbangan dari bahan harus di bawah pH.
2. Viskositas
Viskositas berhubungan dengan cepat atau lambatnya laju pindah panas
pada bahan yang dipanaskan yang mempengaruhi efektifitas proses panas.
Pada viskositas rendah (cair) pindah panas berlangsung secara konveksi
yaitu merupakan sirkulasi dari molekul-molekul panas sehingga hasil
transfer panas menjadi lebih efektif. Sedangkan pada viskositas tinggi
(padat), transfer panas berlangsung secara konduksi, yaitu transfer panas
yang mengakibatkan terjadinya tubrukan antara yang panas dan yang dingin
sehingga efektifitas pindah panas menjadi berkurang. Kemudahan pindah
panas pada bahan cair dinyatakan dengan koefisien pindah panas konveksi
(h), sedangkan untuk bahan pangan padat dinyatakan dengan koefisien
pindah panas konduksi (k).

3. Jenis medium pemanas


Pada umumnya menggunakan uap (steam) dengan teknik pemanasan secara
langsung (direct heating). Teknik pemanasan dengan menggunakan uap
(steam) secara langsung ini dapat dibedakan atas dua macam, yaitu : (i)
steam injection, yang dilakukan dengan menyuntikkan uap secara langsung
kedalam ruangan (chamber) yang berisi bahan pangan, dan (ii) steam
infusion, adalah teknik pemanasan dimana bahan pangan disemprotkan
kedalam ruangan yang berisi uap panas. Selain itu, terdapat pula teknik
pemanasan tidak langsung (indirect heating) yang biasanya dilakukan
dengan menggunakan berbagai macam alat pemindah panas antara lain PHE
(Plate Heat Exchanger), tubular HE dan scraped swept surface HE. Jenis
alat pemindah panas ini umumnya digunakan dalam proses pemanasan
sistem kontinyu.

4. Jenis dan ukuran kaleng


Jenis kemasan yang digunakan akan mempengaruhi kecepatan perambatan
panas ke dalam bahan. Misalnya, wadah/kemasan yang terbuat dari bahan
yang tipis seperti retort pouch dan stand up pouch, transfer panasnya lebih
cepat dibandingkan dengan kemasan/wadah yang terbuat dari kaleng dengan
volume bahan yang sama. Untuk kaleng yang berdiameter lebih besar,
efektifitas transfer panas lebih rendah dibandingkan kaleng dengan ukuran
diameter yang lebih kecil, karena penetrasi panas lebih cepat.

2.4 Thermal Death Time


Pada industri pemrosesan makanan, makanan memerlukan perlakuan untuk
membunuh mikroorganisme pathogen pada makanan namun tidak merusak nutrisi
yang terdapat pada makanan. Thermal Death Time digunakan untuk mengetahui
lama waktu yang dibutuhkan untuk membunuh bakteri pada suhu perlakuan
tertentu. Nilai waktu ini diperoleh dengan cara menjaga mikroorganisme pada
temperatur konstan dan menentukan nilai waktu yang dibutuhkan untuk
membunuh semua mikroorganisme pada suhu yang telah ditentukan tersebut
(Garg, 2010). Thermal Death Time (TDT) dikembangkan untuk pengalengan
makanan dan telah ditemukan penggunaannya pada kosmetik dan farmasi.
Thermal Death Time (TDT) dapat ditentukan dengan dua metode yaitu grafik dan
rumus matematika (Sinha, 2016).

2.5 Spoilage Probability


Saat mempertimbangkan produk makanan yang stabil di rak, kami dapat
merancang pelestariannya proses untuk menghilangkan pembusukan selain
memastikan mikroba keamanan. Probabilitas pembusukan digunakan untuk
memperkirakan jumlah wadah rusak dalam batch total produk olahan. Rumus
1 𝑁
untuk spoilage probability adalah 𝑟 = 10𝐹0⁄𝐷 . Rasio di sisi kiri persamaan mewakili

jumlah total wadah yang diproses (r) dan menghasilkan satu wadah dengan
pembusukan. Rumus dapat digunakan untuk memperkirakan kematian termal
waktu yang diperlukan untuk mencapai probabilitas kerusakan yang dinyatakan,
berdasarkan pengetahuan tentang populasi awal dan waktu pengurangan desimal
(D) untuk populasi mikroba. Perlu dicatat bahwa pembusukan ekspresi
probabilitas mengasumsikan bahwa kurva survivor untuk mikroorganisme
pembusukan mengikuti model orde pertama. (Singh, 2009)
BAB III
METODOLOGI PENGAMATAN DAN PENGUKURAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah
1. Microwave, sebagai alat pemanas;
2. Termometer digital, sebagai mengukur suhu bahan praktikum sebelum dan
sesudah mengalami proses heating dalam microwave;
3. Termokopel, sebagai alat ukur suhu;
4. Wadah plastik, sebagai tempat untuk menyimpan bahan; dan
5. Stopwatch, sebagai alat untuk menghitung waktu lamanya proses
pemanasan yang berlangsung dalam microwave.

3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah
1. Agar-agar dingin; dan
2. Air.

3.2 Prosedur Percobaan


3.2.1 Heating dengan bahan agar-agar.
1. Menyiapkan agar-agar yang akan digunakan;
2. Memeberikan keterangan nomor dengan menggunakan label pada wadah
plastik yang terdapat agar-agar di dalamnya sesuai dengan keterangan posisi
pada modul praktikum seperti pada gambar :

2 5 3

4
3. Mengukur suhu awal yaitu suhu sebelum dimasukkan dalam microwave
yang diukur dari atas, tengah, dan bawah bahan praktikum dengan lima
posisi yaitu 1, 2, 3, 4, dan 5;
4. Memasukkan agar-agar ke dalam microwave selama 1 menit pada power
input 100%;
5. Mengukur suhu akhir yaitu setelah dimasukkan microwave dengan lima
posisi yang berbeda yang diukur dari, tengah, dan bawah;
6. Membuat grafik perbandingan antara 5 posisi yang diukur seebagai sumbu x
dengan suhu setelah dimasukkan dalam microwave sembagai sumbu y; dan
7. Mencatat hasil percobaan.

3.2.2 Heating dengan air.


1. Menyiapkan bahan yang akan digunakan;
2. Memasukkan air ke dalam wadah plastik yang berbeda setelah
menimbangnya dalam massa 100 gram, 200 gram, 300 gram, 400 gram, dan
500 gram;
3. Mengukur suhu pada kelima wadah yang telah diisi air sebelum dimasukkan
microwave dengan menggunakan termometer digital;
4. Memasukkan air tersebut ke dalam microwave selama 3 menit dengan
mengatur varasi presentase power input 50% setara dengan 40 W, 70%
setara dengan 630 W, dan 100% setara dengan 900 W;
5. Setelah dipanaskan dalam microwave, kemudian mengukur suhu akhir
setelah dimasukkan dalam microwave dengan menggunakan termometer
digital; dan
6. Mencatat hasil percobaan.
BAB IV
HASIL PERCOBAAN

4.1 Tabel
Tabel 1. Hasil Pengukuran Suhu pada Agar-Agar
Power
Suhu sebelum Suhu setelah
Input
Posisi dipanaskan/Ti dipanaskan/Te
100%
(0C) (0C)
(W)
1 26.5 33.9
2 25.6 36.5
Atas 3 24.4 38.4
4 25.4 36.6
5 24.2 37.5
1 26.2 35.6
2 25.9 35.2
Tengah 3 24.5 37.8
4 24.7 36.8
5 24.4 40.7
1 26.1 35.3
2 26 35.1
Bawah 3 24.6 36.3
4 24.7 34.5
5 24.6 36.4

Tabel 2. Hasil Pengukuran Suhu pada Air


Power
Wt Output Efisiensi
Power Input Ti Te
(g) (J/s = (%)
Watt)
100% = 900 W 100 25.8 84.7 136.7789 15.197654
200 25.3 73.1 222.0044 24.667160
300 25.8 59.7 236.1700 26.241111
400 25.9 54.8 268.4489 29.827654
500 26.5 54.6 326.2722 36.252469
70% = 630 W 100 25 82 132.3667 21.010582
200 25.4 70.4 209.0000 33.174603
300 24.6 55.1 212.4833 33.727513
400 25.8 47.4 200.6400 31.847619
500 25.7 44.3 215.9667 34.280423
50% = 450 W 100 27.3 74 108.4478 24.099506
200 26.2 52 119.8267 26.628148
300 25.7 47.4 151.1767 33.594815
400 24.9 46.3 198.7822 44.173827
500 25.3 39.6 166.0389 36.897531

4.2 Perhitungan
4.2.1 Power Output
𝑚 × 𝐶𝑝 × (𝑇𝑐 − 𝑇𝑖 )
𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 =
𝑡

 Power Input 100%


𝐽
100×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(84,7−25,8)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 136,7788 𝑊
180 𝑠
𝐽
200×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(73,1−25,3)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 222,0044 𝑊
180 𝑠
𝐽
300×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(59,7−25,8)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 236,17 𝑊
180 𝑠
𝐽
400×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(54,8−25,9)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 268,448 𝑊
180 𝑠
𝐽
500×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(54,6−26,5)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 326,2722 𝑊
180 𝑠

 Power Input 70%


𝐽
100×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(82−25)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 132,3667 𝑊
180 𝑠
𝐽
200×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(70,4−25,4)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 209 𝑊
180 𝑠
𝐽
300×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(55,1−24,6)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 212,4833 𝑊
180 𝑠
𝐽
400×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(47,4−25,8)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 200,64 𝑊
180 𝑠
𝐽
500×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(44,3−25,7)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 215,9666 𝑊
180 𝑠

 Power Input 50%


𝐽
100×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(74−27,3)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 108,4477 𝑊
180 𝑠
𝐽
200×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(52,26,2)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 119,826 𝑊
180 𝑠
𝐽
300×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(47,4−25,7)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = =
180 𝑠

151,1766 𝑊
𝐽
400×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(46,3−24,9)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 200,64 𝑊
180 𝑠
𝐽
500×10−3 𝑘𝑔×4,18×103 ⁄𝑘𝑔×(39,6−25,3)
 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 = = 166,038 𝑊
180 𝑠

4.2.2 Efisiensi
𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 = × 100%
𝑝𝑜𝑤𝑒𝑟 𝐼𝑛𝑝𝑢𝑡

 Power Input 100%


136,7788 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 100 𝑔𝑟 = 900 𝑊
× 100% = 15,19%
222,0044 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 200 𝑔𝑟 = 900 𝑊
× 100% = 24,66%
236,17 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 300 𝑔𝑟 = 900 𝑊
× 100% = 26,24%
200,64 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 400 𝑔𝑟 = × 100% = 29,82%
900 𝑊
326,2722 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 500 𝑔𝑟 = 900 𝑊
× 100% = 36,25%

 Power Input 70%


132,3667 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 100 𝑔𝑟 = 630 𝑊
× 100% = 21,01%
209 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 200 𝑔𝑟 = 630 𝑊
× 100% = 33,17%
212,4833 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 300 𝑔𝑟 = 630 𝑊
× 100% = 33,72%
268,448 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 400 𝑔𝑟 = 630 𝑊
× 100% = 31,84%
326,2722 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 500 𝑔𝑟 = 630 𝑊
× 100% = 34,28%

 Power Input 50%


108,4477 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 100 𝑔𝑟 = 450 𝑊
× 100% = 24,09%
119,826 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 200 𝑔𝑟 = 450 𝑊
× 100% = 26,628%
151,1766 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 300 𝑔𝑟 = 450 𝑊
× 100% = 33,59%
200,64 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 400 𝑔𝑟 = 450 𝑊
× 100% = 44,58%
166,038 𝑊
 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 500 𝑔𝑟 = 450 𝑊
× 100% = 36,89%
4.2.3 Grafik
Grafik 1. Grafik Hubungan Antara Posisi dan Suhu Akhir Agar-Agar

Posisi danSuhu Akhir Agar


45
40
35
30
Suhu 0C

25
Atas
20
15 Tengah
10 Bawah
5
0
0 1 2 3 4 5 6
Posisi

Grafik 2. Grafik Hubungan Antara Massa Air dengan Nilai Efisiensi

Massa Air dengan Nilai Efisiensi


50.000000
45.000000
40.000000
35.000000
Efisiensi (%)

30.000000
25.000000 100%
20.000000 70%
15.000000
10.000000 50%
5.000000
0.000000
100 200 300 400 500
Massa Air (gr)

Grafik 3. Grafik Hubungan Antara Power Input dan Massa Air


BAB V
PEMBAHASAN

Proses termal merupakan metode pengawetan bahan pangan yang


menghitung waktu dan suhu proses untuk mencapai tingkat inaktivasi kesehatan
publik. Apabila proses termal dilakukan secara berlebihan, akan memberikan efek
yang merugikan pada kualitas bahan pangan. Proses termal digunakan untuk
menghilangkan atau menurunkan sejumlah mikroba sampai kondisi yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan pembusuk. Pada proses termal
terjadi perubahan sifat organoleptik produk, seperti denaturasi protein, pelelehan,
dan restrukturisasi lemak, serta gelatinisasi pati yang kesemua itu dapat
menyebabkan perubahan tekstur dan cita rasa produk.
Setiap produk memiliki proses pemanasan dan sterilisasi yang berbeda-
beda, sehingga penanganan setiap bahan juga berbeda-beda. Bahan yang
dikalengkan perlu diperhatikan nilai pH bahan, metode pengemasan, viskositas
bahan, bentuk/ukuran bahan, aktivitas air, persen padatan, rasio padatan/cairan,
perubahan formula, ukuran partikel, syrup strength, jenis pengawet yang
ditambahkan, dan sebagainya. Ketika bahan diproses di dalam retort perlu
diperhatikan jenis retort yang digunakan, jenis media pemanas, posisi wadah di
dalam retort, tumpukan wadah, pengaturan kaleng, kemungkinan terjadinya
nesting, dan sebagainya.
Responsi kali ini menghitung perbandingan berapa banyak container rusak
dari banyaknya container yang di produksi. Jika F semakin tinggi maka
probabilitasnya akan semakin besar, seperti dapat dilihat pada nomor satu dan dua
dengan perbedaan F berturut-turut 50 dan 65. Nomor satu menghasilkan r sebesar
316.227.766 dan nomor dua menghasilkan r sebesar 1,7783 × 1012. Jika D semakin
tinggi maka probabilitasnya semakin kecil, seperti dapat dilihat pada nomor satu
dan tiga dengan perbedaan D berturut-turut adalah 4 menit dan 6 menit. Nomor
satu menghasilkan r sebesar 316.227.766 dan nomor tiga menghasilkan r sebesar
21.544,3469.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Garg, Neelima., et al. 2010. Laboratory Manual of Food Microbiology. New


Delhi: I.K International Publishing House Pvt. Ltd.
Holdsworth, S. D. dan R. Simpson. 2016. Thermal Processing of Packaged
Foods. Springer. New York.
Kusnandar, F, P. Hariyadi, dan N. Wulandari. 2013. Parameter Kecukupan
Proses Termal. Semarang : Universitas Muhammadiyah.
Nelson, P. E. 2010. Principle of Aseptic Processing and Packaging. Purdue
University Press. Indiana.
Sandeep, K. P. 2011. Thermal Processing of Foods Control and Automotion.
Blackwell Publishing Ltd. Iowa.
Singh, R. Paul dan Dennis R. Heldman. 2009. Introduction to Food Engineering
Fourth Edition. Food ans Science Technology, Intetrnational Series.
Sinha, Dr. Shishir. 2016. Thermal Death Time. Indian Institute of Technology :
Dept. of Chemical Engineering.

Anda mungkin juga menyukai