Introduction Maritim Law
Introduction Maritim Law
By.
IRWANSYAH
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Dengan demikian tahun 1969 akhir pembuatan perjanjian-perjanjian internasional yang
diatur oleh hukum kebiasaan internasional.
4. Pengertian :
a. Conventie atau convention.
Conventie atau Convention istilah dalam bahasa inggris yang sudah umum digunakan
dalam bahasa Indonesia yaitu untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional
multilateral, baik yang diprakarsai oleh negara-negara maupun oleh lembaga-
lembaga atau organisasi internasional.
Umumnya Conventie atau Convention ( konvensi ) digunakan untuk perjanjian-
perjanjian internasional multilateral yang mengatur tentang masalah yang besar dan
penting dan dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang
dapat berlaku secara luas baik dalam ruang lingkup regional maupun umum.
Contoh :
- Safety Of Life at sea convention 1974, amandemen 1978 ( SOLAS)
3
- Convention Marine Pollution Prevention 1973, amandemen1978.
- Standard of Traning Certifications and Watchkeping of Seafarers Convention
1978 (STCW), amandemen tahun 1995.
- United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS), 1982.
4
negara perlu diperhatikan, demikian juga jika ia berada di luar negaranya sendiri
apabila sedang menjalani keperluannya di luar negeri.
Empat tahun sebelum IMO diberlakukan secara internasional yakni pada tahun
1954 Marine Pollution Convention sudah mulai diberlakukan tetapi baru pada tahun 1959
secara resmi diadministrasikan dan disebarluaskan oleh International Maritime
Organization (IMO) yang pada saat itu berkedudukan di London-Inggeris. Sidang paripurna
IMO disebut Assembly melakukan pertemuan tahunan satu kali dalam selang waktu dua
tahun dan biasanya diadakan pada bulan September atau Oktober. Pertemuan tahunan yang
diadakan yang disebut Council, anggotanya terdiri dari 32 negara yang dipilih oleh sidang
Assembly dan bertindak sebagai badan pelaksana harian kegiatan IMO.
IMO adalah Badan Organisasi yang menangani masalah teknis dan sebagian besar
kegiatannya dilaksanakan oleh beberapa Komite yang terdiri dari:
The Marine Safety Committee (MSC)
Merupakan komite yang paling senior dan khusus menangani pekerjaan yang
berhubungan dengan masalah keselamatan dan teknik. Memiliki beberapa Sub komite
sesuai tugas masing-masing.
5
The Marine Environment Protection Committee (MEPC)
Dibentuk oleh IMO Assembly pada tahun 1973 dengan tugas mengkoordinir kegiatan
pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang asalnya dari kapal.
Sub komite dari Bulk Chemicals merupakan juga sub komite dari MEPC kalau
menyangkut masalah pencemaran.
The Technical Co-Operation Committee
Tugasnya mengkoordinir bantuan teknik dari IMO di bidang maritim terutama untuk
negara berkembang. Komite teknik ini merupakan komite pertama dalam organisasi PBB
yang diakui sebagai bagian dari konvensi. Badan ini dibentuk tahun 1975 dan merupakan
agen pertama PBB yang membentuk technical cooperation dalam bentuk struktur
organisasi. Tujuannya adalah menyediakan program bantuan untuk setiap negara terutama
negara berkembang untuk meratifikasi dan kemudian melaksanakan peraturan yang
dikeluarkan oleh IMO.
Sekretariat IMO
Sekretariat IMO dipimpin oleh Secretary General yang dibantu oleh ± 300 tenaga dari
berbagai negara termasuk para penterjemah ke dalam 6 bahasa yang diakui dapat digunakan
berkomunikasi dalam sidang komite, yakni bahasa Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, Arab,
China dan 3 bahasa teknis.
6
2. International Convention For The Prevention Of Pollution From Ships, 1973 As
Modified By The Protocol Of 1978 Relating There To (Marpol 73/78).
MARPOL Convention 73/78), menangani aspek lingkungan perairan khusus untuk
pencegahan pencemaran yang asalnya dari kapal, alat apung lainnya dan usaha
penanggulangannya. Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden
Nomor 46 Tahun 1986.
Maritime Labour Convention, 2006 menjadi pilar ke-4 ( keempat ) melengkapi 3 (tiga)
pilar yang dihasilkan IMO sebelumnya yaitu Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention
1974, International Convention For The Prevention Of Pollution From Ships, 1973, dan
Standard of Training Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW Convention
1978.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), melalui Konferensi tentang Hukum Laut III
berhasil mewujudkan United Nations Convertion on Law of Sea ditandatangani oleh 117
(seratus tujuh belas) negara perserta, termasuk indonesia, dan 2 satuan bukan negara di
Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 desenber 1982.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut tersebut merupakan:
1. kondifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut yang sudah ada, misalnya
kebebasan-kebebasan di laut lepas (hight seas) dan hak lintas damai di laut teritorial
(teritorial waters);
2. pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai lebar laut
teretorial menjadi maksimum 12 mil laut dan kriteria landas kontinen (continental shelf).
Dalam konvensi ini ditetapkan bahwa dasar kriteria penetapan adalah kelanjutan alamiah
wilayah daratan suatu Negara hingga pinggiran luas tepian kontinennya atau kriteria
jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar laut teritorial jika
pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut;
3. perkembangan rejim rejim hukum baru, seperti asas negara kepulauan, Zona Ekonomi
Ekslusif dan penambangan di dasar laut internasional.
Perwujudan dari United Nations Convertion on Law of Sea ( Hukum laut PBB )
tersebut, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memperoleh pengaturan resmi dari
7
masyarakat internasional sebagai negara kepulauan yang ditetapkan dalam pasal 46
konvensi The United Nation Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982. Negara
kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan
kepulauan dan dapat mencangkup pulau-pulau tersebut sedemikian eratnya sehingga
gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan suatu
kesatuan geografis, politik dan ekonomi atau secara historis telah dianggap sebagai satu
kesatuan daerah Pemerintah.
Untuk kepentingan nasional, Republik Indonesia telah meratifikasi The United Nation
Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982 dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 1985. Ditetapkannya The United Nation Convention On The Law Of The Sea, tiap
negara anggota ( Flag State ) mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan konvensi
internasional bagi kapal-kapal yang mengibarkan benderanya, agar kapal dapat berlayar
dengan aman dan mengikuti peraturan yang ditetapkan UNCLOS tentang hak dan
kewenangan suatu negara atas kawasan laut (yuridiksi negara), antara lain:
8
tersebut disahkan, pengesahan dapat dilakukan melalui (ratification/accession/-
acceptance/approval ).
Sebagai tanggung jawab negara anggota (Flage Sate), maka untuk menjamin
kelaiklautan kapal yang beroperasi di Indonesia, Biro Klasifikasi Indoneia mendapatkan
otorisasi dari Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara lain untuk
melaksanakan pemeriksaan dan sertifikasi di bidang statutoria (Semua produk dari IMO
adalah peraturan statutory, peraturan statutory adalah peraturan yang mengatur tentang
standarisi aktifitas pelayaran supaya hal-hal yang merugikan dapat diminimalisir. Peraturan
statutory hanya berlaku pada kapal-kapal yang mempunyai flag state dimana flag state
tersebut telah meratifikasi ke IMO ).
BKI sebagai Surveyor secara profesional melaksanakan survei dan pengujian sesuai
dengan persyaratan Rules & Regulation BKI. Jika memenuhi persyaratan, maka BKI akan
menerbitkan sertifikat dan laporan survei. Selanjutnya pemohon tersebut menggunakan
Sertifikat dan Laporan Survei yang diterbitkan BKI dijadikan dasar atau referensi bagi
stakeholder lainnya, yaitu:
1. Syahbandar sebagai dasar salah satu unsur kelaikan kapal dan ijin berlayar/clearance di
pelabuhan.
9
2. Asuransi/institusi perbankan sebagai dasar dasar penentuan premi asuransi/klaim
asuransi dan persetujuan kredit bagi lembaga keuangan.
BKI memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan penangguhan (suspend) atau
mencabut (withdrawn) status klasifikasi sebuah kapal berdasarkan referensi persyaratan
klasifikasi. Kapal mungkin akan kehilangan status klasifikasinya untuk sementara atau
secara permanen. Demikian juga, kapal yang tidak melaksanakan survei periodik tepat
waktu sesuai dengan peraturan klasifikasi, maka Perusahaan sebagai Badan Klasifikasi
akan menangguhkan (suspend) status klasifikasinya secara otomatis. Perusahaan
sepenuhnya berperan sebagai badan sertifikasi dan bukan sebagai law enforcer.
Perusahaan melakukan survei dan sertifikasi karena ada permintaan dari stakeholder dan
Perusahaan tidak dapat melakukan penahanan kapal (detained). Fungsi Law
Enforcement sepenuhnya menjadi otoritas Pemerintah, dalam hal ini adalah Syahbandar
atau Port State Control Officer (PSCO).
10