Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

AGAMA ISLAM
SISTEM EKONOMI DAN ADMINISTRASI ISLAM
Dosen Pengampu
Drs. M. Syamsul Arifin, M.Ag

KELOMPOK 5 :
Salwa Fadhilah Pusansah (195070300111014)
Indita Azzahra (195070301111011)
Wida Masruchah (195070301111004)
Erlika Sindy Febiola (195070300111012)
Fitria Rizki Nur Azizah (195070301111018)
Muhammad Zainul Huda (195070307111009)
Ameliana Febiyolanda Irianto (`9507030011019)

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Melihat realitas di dalam praktik ekonomi akuntansi masyarakat di
Indonesia, hampir seluruh kegiatannya merupakan hasil adaptasi dari Negara barat.
Hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan, standart, dan praktik akuntansi di
lingkungan bisnis saat ini. Ketika akuntansi sudah didominasi oleh sudut pandang
Barat, maka karakter akuntansi pasti kapitalistik, sekuler, egois, dan anti-altruistik.
Ketika akuntansi memiliki kepentingan ekonomi politik MNC’s (Multy National
Company’s) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang diajarkan
dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi pada kepentingan
neoliberalisme ekonomi pula.
Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah memang manusia tidak memiliki
sistem akuntansi yang sesuai dengan realitas manusia? Apakah masyarakat
Indonesia tidak dapat mengakomodasi akuntansi dengan tetap melakukan
penyesuaian sesuai realitas masyarakat Indonesia? Lebih jauh lagi sesuai realitas
masyarakat Indonesia yang religius? Sesuai dengan religiusitas masyarakat
Indonesia yang didominasi 85% penduduk muslim?
Dalam islam bukan ilmu agama saja yang dibicarakan, tetapi juga ekonomi,
politik, sosial budaya, bahkan ilmu akuntansi dan administrasi juga dibicarakan
dalam literature al-qur’an dan as-sunnah. Ajaran agama memang harus dilaksanakan
dalam segala aspek dan bidang kehidupan. Dalam pelaksanaannya, ajaran agama
harus dicari relevansinya sehingga dapat mewarnai tata kehidupan budaya, politik,
dan sosial-ekonomi umat. Dengan demikian, agama tidak melulu berada dalam
tataran normatif dan syariah saja. Karena islam adalah agama amal. Sehingga
penafsirannya pun harus beranjak dari normatif menuju teoritis keiluan yang faktual.
Dalam masyarakat islam, terdapat sistem nilai yang melandasi setiap
aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun koletif. Hal ini tidak ditemukan dalam
kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini,
menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.
Secara umum, tujuan akuntasi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis dengan
wawasan humanis, emansipatoris, transcendental, dan teologis. Dengan akuntasi
syariah, realitas sosial yang dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan
kepada hukum Allah SWT.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penghormatan terhadap Hak dan Kepemilikan Serta Sikap Positif terhadap
Penggunaan Harta
Hak milik adalah kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi
orang lain dari harta terasebut dan memungkinkan pemiliknya bebas melakukan
tasharruf kecuali ada halangan syar'i. Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai
berikut ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui cara-
cara yang dibenarkan oleh syar'i. Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah
orang lain, selain pemilik harta benda tidak berhak memanfaatkan atau
menggunakannya untuk keperluan apapun kecuali si pemilik telah memberikan
ijin, yang mana telah di jelaskan dalam hadits yang artinya :
“ Dari Rafi' bin Kharij RA berkata; Rasulullah brsabda; Barang siapa menanam
tanaman dilahan seorang kaum tanpa seizinnya, maka ia tidak berhak mendapatkan
hasil tanamannya sedikitpun dan walaupun ia telah mengeluarkan modal
mengelolanya.” (HR.Abu Dawud).
Rasulullah SAW sangat menghormati kepemilikan harta seperti pada hadits :
‫َّللاِ أ َ َرأَيْتَ ِإ ْن َجا َء َر ُج ٌل‬ ُ ‫ فَقَا َل يَا َر‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
‫سو َل ه‬ ‫سو ِل ه‬ ُ ‫َع ْن أَبِى ه َُري َْرةَ قَا َل َجا َء َر ُج ٌل إِلَى َر‬
« ‫ قَا َل أَ َرأَيْتَ إِ ْن قَتَلَنِى َقا َل‬.» ُ‫ قَا َل أ َ َرأَيْتَ إِ ْن قَاتَلَنِى قَا َل « قَا ِت ْله‬.» َ‫ي ُِريدُ أ َ ْخذَ َما ِلى قَا َل « فَالَ ت ُ ْع ِط ِه َمالَك‬
(‫)ر َواهُ ُم ْس ِل ٌم‬ ِ ‫ قَا َل أَ َرأَيْتَ إِ ْن قَت َْلتُهُ قَا َل « ه َُو فِى النه‬.» ٌ ‫ش ِهيد‬
َ » ‫ار‬ َ َ‫فَأ َ ْنت‬
Artinya: Dari Abu Hurairah RA berkata: ada seorang laki-laki menghadap
Rasulullah SAW, ia berkata : ya Rasulullah bagaimana pendapat kamu jika ada
seorang laki-laki yang ingin merampas hartaku?, Rasulullah menjawab: jangan
kau berikan hartamu, ia berkata: bagaimana pendapat kamu jikalau ia ingin
membunuhku?, Rasulullah bersabda: bunuhlah dia, ia bekata: bagaimana
pendapatmu jika dia telah membunuhku ?, Rasulullah bersabda; kamu mati
syahid, ia berkata; bagaimana pendapatmu jikalau aku berhasil membunuhnya?,
ia masuk neraka)HR Muslim).
Walaupun harta adalah hak milik kita akan tetapi ada sikap positif
dalam penggunaannya yaitu :
Harta yang Allah berikan adalah sebagai karunia dan berkah yang besar untuk
manusia. Karunia tersebut sengaja diberikan kepada manusia untuk modal hidup,
bekerja, dan beribadah sebanyak-banyaknya kepada Allah. Ukuran kesuksesan di
sisi Allah bukanlah pada besarnya harta yang manusia miliki. Ukuran sukses di sisi
Allah adalah pada bagaimana manusia mampu memberikan dan memanfaatkan apa
yang dimilikinya (termasuk harta) untuk tujuan akhirat, yaitu pahala yang
sebanyak-banyaknya Alangkah beruntung dan bersyukurnya jika manusia memiliki
harta yang banyak dan dengan harta tersebut ia mampu memberikan manfaat yang
besar untuk ummat, untuk manusia lainnnya. Dari hal tersebut, akan muncul
kebaikan-kebaikan lain. Membantu orang yang kesusahan, memberikan bantuan
pada fakir miskin, mengeluarkan orang dari cobaan yang berat dengan hartanya
tentunya adalah pahala tersendiri, wakaf dalam islam, apalagi jika hal tersebut
dilakukan ikhlas kepada Allah semata. Lebih bermakna lagi jika harta tersebut bisa
menjadi amal jariah, yang mampu menyelamatkan-nya karena pahala yang terus
mengalir hingga waktu penghisaban tiba.
Tidak selamanya harta senantiasa membawa keberkahan, jika dicari
dari jalan-jalan yang keliru. Jika hal seperti itu dilakukan maka harta bisa saja
menjadi musibah bukan lagi keberkahan. Jika musibah datang, maka harus sabar,
ikhlas, mengevaluasi diri, dan banyak bertaubat. Cara menghadapi musibah dalam
islam adalah dengan cara tersebut, bukan mengutuk keadaan atau menyalahkan
orang lain atas musibah yang terjadi.
Sikap positif Penggunaan Harta menurut Al-Quran
Dalam Al-Quran dijelaskan beberapa kali tentang bagaimana prinsip-prinsip untuk
menggunakan harta menurut Islam. Islam berada di keseimbangan antara
menggunakan harta menurut islam.
Melaksanakan Infaq dan Zakat
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa. “ (QS Al-Baqarah (2) : 177)
Dalam islam Allah memerintahkan untuk melaksanakan infaq dan
zakat, sebagaimana yang Allah perintahkan di dalam ayat di atas. Melaksanakan
infaq dan zakat dalam islam, bukan serta merta sebagai bentuk perbuatan yang
harus dibanggakan. Infaq dan zakat adalah kewajiban karena harta yang kita cari
bukan milik manusia. Harta yang Allah berikan adalah nikmat dan karunia bagi
manusia. Infaq dan zakat adalah menyerahkan nikmat dan karunia tersebut untuk
diberikan kepada manusia lain yang membutuhkan atau digunakan untuk berjuang
di jalan Allah dan orang yang termasuk. Syarat lainnya atau penerima zakat.
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara
yang demikian.” (QS Al-Furqoan (25) : 67)
Dalam islam tidak ada aturan untuk berinfaq dan zakat dengan
menyerahkan seluruh apa yang dimiliki hingga tidak bisa memenuhi kebutuhan
pribadi. Meskipun begitu, tentunya memenuhi kebutuhan pribadi tidak berarti
dilakukan berlebihan, dengan membuang-buang harta yang dimiliki untuk sesuatu
yang tidak bermanfaat baik di dunia dan akhirat. Rasulullah dan Para Sahabat di
zaman dulu senantiasa bersemangat untuk menafkahkan hartanya di jalan Allah
tanpa memikirkan terlalu besar atau tidak yang diberikan. Walaupun mereka
berasal dari kaum bangsawan, kaya, dan memiliki harta yang lebih, mereka
senantiasa hidup sederhanan dan memberikan sebanyak-banyaknya untuk jalan
perjuangan islam.
Tidak Berlaku Kikir
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan
kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka
bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan
Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. QS Ali-Imran (3) : 180
Dalam prinsip penggunaan harta, Allah melarang umat islam untuk
memiliki sifat kikir atau bakhil. Bakhir atau kikir itu artinya menyembunyikan
harta untuk diberikan di jalan kebaikan, tidak mau untuk menafkahkan hartanya
selain untuk kepentingan dirinya sendiri. Sifat kikir atau bakhil ini sangat dibenci
Allah bahkan diberikan siksaan di akhirat pada mereka dan termasuk pada
golongan syetan. Sifat bakhil atau kikir ini juga merupakan ciri ciri orang yang
tidak iklas beribadah kepada ALLAH. Tidak ada artinya memelihara sifat kikir
apalagi untuk dinafkahkan dalam jalan yang baik, menolong ummat yang
kesusahan, dan berbagai program untuk kemajuan islam. Kikir terhadap hal-hal
tersebut, apalagi bagi mereka yang memiliki harta berlimpah dan lebih, menjadi
dosa tentunya. Ada hak umat islam di dalamnya. Sejatinya hal tersebut bukanlah
harta miliknya sendiri.
Hal ini sebagaimana disampaikan dalam QS Al Isra : 26, bahwa Allah melarang
untuk memboroskan harta dan diperintahkan untuk memberikannya kepada orang-
orang yang ber hak.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. QS Al-Isra (17) : 26
Tidak Bermegah-Megahan
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan
janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu
mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan
melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya
dengan ‘ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 1-8).
Bermegah-megahan artinya menafkahkan atau membelanjakan harta
secara berlebihan. Tujuan dari bermegah-megahan bukan lagi untuk memenuhi
kebutuhan hidup di dunia, sebagaimana perintah Allah dalam menafkahkan harta.
Bermegah-megahan sudah melewati batas untuk memenuhi kebutuhan, namun
sudah masuk pada pencarian pengakuan orang lain, memamerkan hartanya. Efek
dari bermegah-megahan salah satunya adalah adanya ketimpangan sosial, adanya
krisis sosial karena ketidakadilan sosial ekonomi tidak tercipta di masyarakat,
terutama masyarakat yang masih banyak kemiskinan.
Memakai perhiasan dalam islam bukanlah suatu yang dilarang. Jika
memakai perhiasan sudah berniat untuk sombong, menunjukkan kebangggan diri
dan juga sudah berlebihan/bermegah-megahan, maka kita harus berhati-hati akan
hal tersebut. Jangan-jangan yang kita cintai bukan lagi harta yang bernilai pahala,
tapi kita sudah menjadikan harta sebagai segala-galanya, salah satunya dengan
memakai perhiasan. Untuk itu, dosa dari bermegah-megahan Allah ingatkan dalam
QS Attkatsur. Bermegah-megahan dapat melalaikan kita dari Allah karena lebih
banyak fokus pada kecintaan hidup di dunia bukan pada ibadah pada Allah.
Larangan Harta Riba
Riba adalah sesuatu yang sangat dibenci Allah. Pengertian
Riba adalah penambahan-penambahan yang dibebankan kepada orang yang
meminjam harta seseorang akibat dari pengunduran janji pembayaran daripada
batas waktu yang telah ditetapkan. Menurut Ibnu Katsir, menolong seseorang
dengan tujuan mendapat keuntungan bahkan sampai mencekik dan menghisap
darah (mengeruk dan memanfaatkan sehabis-habisnya) orang yang ditolong juga
disebut sebagai riba. Cara menghindari riba salah satunya adalah senantiasa
mengetahui perjanjian, dampak dari akad ekonomi, dan juga menghitung secara
detail harta yang dipinjam atau dihutang. Selain itu, mengingat siksa akhirat salah
satunya bisa menghindarkan diri dari riba. Bahaya riba tentunya sangat banyak
mulai dari dunia yang tidak akan mendapatkan keberkahan harta, mencekik
ekonomi orang lain, dan siksaan neraka di akhirat. Orang-orang penegak riba akan
mendapatkan balasan Allah di akhirat, sebagaimana diwahyukan di ayat berikut.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS Al
Baqarah : 275)
Mengingat pertanggungjawaban kelak di akhirat cukuplah berat, untuk
itu kita harus pandai-pandai mengelola harta, menafkahkannya di jalan Allah
secara maksimal. Allah tidak menilai dari seberapa harta yang kita miliki, namun
dari seberapa besar dan optimal yang sudah kita berikan untuk kebaikan-kebaikan.
Agar hati tenang dalam islam, kita diperintahkan untuk senantiasa mengingat
(berdzikir) kepada Allah atas segala apa yang kita miliki, hilang, atau kita
usahakan agar keberkahan selalu datang.
2.2 Ragam Transakasi di Era Modern
2.2.1 Dasar Transaksi
Dasar kebolehan syariat jual beli adalah Al-Qur'an, hadits dan ijma'. Di
dalam kitab Kifâyatul Akhyar, Syekh Taqiyuddin Al Husny menjelaskan pengertian
jual beli menurut Islam, yakni sebagai berikut: ‫البيع في اللغة إعطاء شيء في مقابلة شيء وفي‬
‫الشرع مقابلة مال بمال قابلين‬
‫للتصرف بإيجاب وقبول على الوجه المأذون فيه‬
Artinya: “Jual beli secara bahasa adalah bermakna memberikan suatu barang untuk
ditukar dengan barang lain (barter). Jual beli menurut syara’ bermakna pertukaran harta
dengan harta untuk keperluan tasharruf/pengelolaan yang disertai dengan lafadh ijab
dan qabul menurut tata aturan yang diidzinkan (sah).” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar
bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatul Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya:
Al-Hidayah, 1993: 1/239) .
Dengan mencermati pengertian jual beli menurut syara’ ini, maka bisa
diketahui terdapat tiga rukun jual beli. Imam Al-Rafi’i menyebut ketiganya tidak
sebagai rukun. Beliau lebih suka menyebutnya sebagai syarat sahnya jual beli, antara
lain:
 Ada dua orang yang saling bertransaksi (muta‘âqidain), yang terdiri atas penjual dan
pembeli
 Adanya shighat/lafadh yang menunjukkan pernyataan jual beli, antara lain lafadh
ijab dan lafadh qabul.
 Barang yang ditransaksikan (ma’qud ‘alaih). Unsur dari al-ma’qud ‘alaih ini terdiri
‘harga’ (thaman) dan “barang yang dihargai” (muthman). \
2.2.2 Asas-asas Transaksi Ekonomi dalam Islam
Transaksi ekonomi adalah pejanjian atau akad dalam bidang ekonomi.
Dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang
diterapkan syara’, yaitu:
 Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan
transaksi, kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara’.
 Pihak-pihak yang bertransaksi harus memenuhi kewajiban yang telah
disepakati dan tidak boleh saling mengkhianati.
 Islam mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan
ikhlas karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan,
kecurangan, dan penyelewengan. Hadis Nabi SAW menyebutkan: “Nabi
Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung unsure
penipuan.” (H.R. Muslim)
 Adat kebiasaan atau ‘urf yang tidak menyimpang dari syara’, boleh
digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi.
2.2.3 Penerapan Transaksi Ekonomi Dalam Islam
A. Jual Beli
Jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni
pihak yang menyerahkan/ menjual barang) dan pembeli (pihak yang membayar/
membeli barang yang dijual). Jual beli sebagai sarana tolong menolong sesama
manusia, di dalam Islam mempunyai dasar hukum dari Al-Qur’an dan Hadist.
Seperti dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa, 4: 29. Mengacu kepada ayat Al-
Qur’an dan Hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi
tertentu, hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah, haram, dan makruh.
B. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli
yang harus dipenuhi agar jual belinya dihukumi sah menurut syara’. Syarat
bagi orang yang melaksanakan akad jual beli :
1) Berakal
2) Balig
3) Berhak mengunakan hartanya.
Sigat atau ucapan ijab dan Kabul Ulama fikih sepakat, bahwa unsur
utamA dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena
kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui
ucapan ijab (dari pihak penjual) dan Kabul (dari pihak pembeli.
Syarat barang yang diperjualbelikan :
1) Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang halal. Barang haram tidak
sah diperjualbelikan.
2) Barang itu ada manfaatnya.
3) Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat
lain.
4) Barang itu merupakan milik si penjual atau di bawah kekuasaannya.
5) Barang itu hendaklah di ketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan
jelas, baik zatnya, bentuk dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.
Syarat bagi nilai tukar barang yang dijual :
1) Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2) Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli,
walaupun secara hukum, misalnya menggunakan cek atau kartu kredit.
3) Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-Muqayadah, maka nilai
tukarnya tidak boleh dengan barang haram.
C. Khiyar
Khiyar ialah hak memilih bagi penjual dan pembeli untuk meneruskan jual-
belinya atau membatalkan karena adanya suatu hal. Hukum Islam
membolehkan hak khiyar agar tidak terjadi penyesalan bagi penjual maupun
pembeli. Adapun khiyar itu bermacam-macam, yaitu :
 Khiyar majelis ialah khiyar yang berlangsung selama penjual dan
pembeli masih berada di tempat jual beli.
 Khiyar syarat ialah khiyar yang dijadikan sebagai syarat pada waktu
akad jual beli. Khiyar syarat dibolehkan dengan ketentuan tidak boleh
lebih dari tiga hari tiga malam semenjak akad
 Khiyar ‘aib (khiyar cacat) maksudnya pembeli mempunyai hak pilih,
untuk mengurungkan akad jual belinya karena terdapat cacat pada
barang yang dibelinya.
D. Macam-macam Jual Beli
Jual beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain :
1) Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi
rukun-rukun dan syaratnya.
2) Jual beli yang terlarang dan tidak sah (batil) yaitu jual beli yang salah
satu atau seluruh rukunnya atau jual beli itu pada dasr dan sifatnya tidak
disyariatkan. Contoh :
 Jual beli sesuatu yang termasuk najis
 Jual beli air mani hewan ternak
 Jual beli yang mengandung unsur kecurangan dan penipuan.
3) Jual beli yang sah tapi terlarang (fasid), terjadi karena sebab-sebab
berikut:
 Merugikan si penjual
 Mempersulit peredaran barang
 Merugikan kepentingan umum
2.2.4 Simpan Pinjam
Rukun dan syarat pinjam meminjam menurut hukum Islam adalah sebagai
berikut :
 Yang berpiutang dan yang berutang, syaratnya sudah balig dan berakal sehat.
Yang berpiutang, tidak boleh meminta pembayaran melebihi pokok piutang.
Sedangkan peminjam tidak boleh melebihi atau menunda-nunda pembayaran
utangnya.
 Barang (uang) yang diutangkan atau dipinjamkan adalah milik sah dari yang
meminjamkan. Pengembalian utang atau pinjaman tidak boleh kurang
nilainya, bahkan sunah bagi yang berutang mengembalikan lebih dari pokok
hutangnya.
2.2.5 Ijarah
a. Pengertian
Ijarah berasal dari bahasa Arab yang artinya upah, sewa, jasa, atau imbalan.
Definisi ijarah menurut ulama mazhab Syafi’I adalah transaksi tertentu
terhadap suatu manfaat yang dituju, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan
dengan imbalan tertentu.
b. Macam-macam Ijarah
1) Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa-menyewa. Apabila manfaat
itu termasuk manfaat yang dibolehkan syarat untuk dipergunakan, maka
ulama fikih sepakat boleh dijadikan objek sewa-menyewa.
2) Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan.
c. Rukun dan Syarat Ijarah
Syarat-syarat akad (transaksi) Ijarah adalah sebagai berikut :
1) Kedua orang yang bertransaksi sudah balig dan berakal sehat.
2) Kedua pihak bertransaksi dengan kerelaan, artinya tidak terpaksa atau
dipaksa.
3) Barang yang akan disewakan diketahui kondisi dan manfaatnya oleh
penyewa.
4) Objek ijarah bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan
tidak bercacat.
5) Objek ijarah merupakan sesuatu yang dihalalkan syara’.
6) Hal yang disewakan tidak termkasuk suatu kewajiban bagi penyewa.
7) Objek ijarah adalah sesuatu yang bisa disewakan.
8) Upah/ sewa dalam transaksi ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang
bernilai harta.
Rukun-rukun ijarah menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut :
1) Orang yang berakal
2) Sewa/ imbalan
3) Manfaat
4) Sigat atau ijab Kabul
d. Berakhirnya Akad Ijarah
Karena ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang tersebut tidak
bisa dimanfaatkan, maka hal-hal yang dapat menyebabkan berakhirnya
akad ijarah adalah sebagai berikut :
1) Objek ijarah hilang atau musnah.
2) Habisnya tanggang waktu yang disepakati dalam akad/ taransaksi ijarah.
2.3 Sistem Ekonomi Islam dan Problematika Implementasinya
Ekonomi Islam adalah sebuah madzhab ekonomi yang terjelma di
dalamnya bagaimana cara Islam mengatur kehidupan perekonomian, dengan suatu
paradigma yang terdiri dari nila-nilai moral Islam dan nilai-nilai ilmu ekonomi,
atau nilai-nilai sejarah yang ada hubungannya dengan masalah-masalah siasat
perekonomian maupun yang ada hubungannya dengan uraian sejarah masyarakat
manusia (al-Shadr, 1968).
Pada dasarnya, sistem ekonomi islam dibentuk bersumberkan pada
islam itu sendiri. Pertama, Al-Qur’an, firman (kalam) Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai petunjuk bagi kehidupan dan perilaku
manusia. Kedua, Sunnah, yaitu pemahaman dan aplikasi Nabi terhadap Al-Qur’an.
Sistem ekonomi islam dibentuk dari dua macam metodologi. Pertama, metode
deduksi, dikembangkan oleh para ahli hukum islam atau Fuqaha dan diaplikasikan
pada ekonomi islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip, sistem islam, dan
kerangka hukumnya dengan berlandaskan sumber-sumber islam (Al-Qur’an dan
Sunnah). Kedua, metode pemikiran retrospektif, banyak digunakan oleh para
penulis muslim kontemporer yang merasakan tekanan kemiskinan dan
keterbelakangan di dunia islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan
terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat muslim dengan kembali kepada Al-
Qur’an dan Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan persoalan tersebut
dan mengujinya dengan memperhatikan petunjuk Tuhan.
Sistem ekonomi islam memiliki tujuan utama yaitu mendorong
kesejahteraan umat manusia, yang terletak pada perlindungan terhadap agama
mereka (dīn), diri (nafs), akal, keturunan (nasl), dan harta benda (māl).Sehingga
dapat dirumuskan tujuan dari ekonomi Islam sebagai berikut :
- Kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar pemikiran:
QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, al-Maidah ayat 87-88, al- Jumu’ah ayat 10)
- Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan
dan persaudaraan yang universal (dasar pemikiran : QS. al- Hujurāt ayat 13, al-
Maidah ayat 8, al-Shu’arā’ ayat 183)
- Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (dasar
pemikiran : QS. Al-An’am ayat 165, an-Nahl ayat 71, al-Zukhruf ayat 32)
- Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (dasar
pemikiran : QS. al-Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22)
Sejarah telah menunjukkan bahwa sistem ekonomi Islam sangat efektif
untuk memulihkan berbagai jenis masalah sosial ekonomi, karena
diimplementasikan sesuai Al-Qur’an dan Hadis. Jika ekonomi Islam
diimplementasikan dengan baik dan benar, banyak masalah sosial ekonomi yang
dapat diantisipasi. Sistem ekonomi Islam ini dapat dijadikan sarana untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, pada kenyataannya
penerapan sistem ekonomi Islam ini masih belum terlaksana karena beberapa hal.
Adapun kendala dan tantangan dalam penerapan sistem ekonomi Islam sebagai
berikut :
- Masih minimnya pakar ekonomi Islam berkualitas yang menguasai ilmu-ilmu
ekonomi modern dan ilmu-ilmu syariah secara integratif
- Ujian atas kredibilitas sistem ekonomi dan keuangannya
- Perangkat peraturan, hukum, dan kebijakan, baik dalam skala nasional dan
internasional masih belum memadai
- Masih terbatasnya perguruan tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam dan
minimnya lembaga training dan consulting dalam bidang ini
- Kurangnya pemahaman dan pengetahuan pemerintah mengenai ilmu ekonomi
Islam
2.4 Etos Kerja dan Kemandirian Hidup
Kata-kata etos pada awalnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti
watak atau karakter, selanjutnya dalam kamus Bahasa Indonesia Etos bermakna
pandangan hidup yang khas dari suatu golongan, kerja bermakna aktifitas untuk
melakukan sesuatu. Sedangkan etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri
khusus dan keyakinan seseorang atau kelompo masyarakat tertentu. Etos kerja
berkembang menjadi etika kerja, inilah yang membedakan kerja ala Barat dengan
kerja yang bernilai ibadah. Dalil tentang etos kerja dinyatakan Nabi SAW dalam
hadis dari Miqdam r.a yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, Nasa’i dan
perawi hadist lainnya, bahwa Nabi SAW bersabda :

َ‫ َوا َ َّن النَّ ِبى هللا دَ ُاود‬,ِ‫ع َم ٍل ِبيَ ِده‬ َ ‫ط َخي ًْرا ِم ْن ا َ ْن يَأ ْ ُك َل ِم ْن‬
ٌ َ‫طعَا َما ق‬
َ ٌ ‫َما ا َ َك َل ا َ َحد‬
‫سال َكانَيَأ ْ َك ُل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه‬
َّ ‫علَ ْي ِه ال‬
َ
“Tidaklah seseorang makan sesuap makanan lebih baik daripada ia makan dari
hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud a.s adalah makan
dari hasil kerja tangannya sendiri.” (H.R. Al-Bukhary)
Berikut ini adalah kualitas etika kerja yang perlu dihayati.
1) Al-Shalah (Halal, Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang halal yaitu
baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu
memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu
maupun kelompok. Hal ini sesuai dengan kandungan hadits yang ketiga.
2) Al-Itqan (Kemantapan atau Perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca:
Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88).
Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan,
yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan
pengetahuan dan skill yang optimal. Konsep itqan memberikan penilaian lebih
terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada
output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).
3) Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu
sebagai berikut:
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan. Dengan
makna pertma ini, maka pengertian ihsan sama dengann ‘itqan’. Pesan yang
dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap
dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua, ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas
pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang
terusmenerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu,
dan sumber daya lainnya. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku
ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain.
4) Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Quran meletakkan kualitas mujahadah dalam
bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan
agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-
Maidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69). Mujahadah dalam
maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama dalah “istifragh ma
fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam
merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai
mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT
telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui
hukum ‘taskhir’ , yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk
manusia (Ibrahim: 32-33).
5) Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Quran dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas
amal shalih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan
Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah ‘fastabiqul khairat’
(maka, berlomba-lombalah kamu seklalia dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108).
Begitu pula perintah pada surat Al Imran 133-135 yang berarti “Bersegeralah
kamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui
kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan
bersegera bertaubat kepada Allah”.
6) Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya
terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai
karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya
dengan amal shalih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak
boleh disia-siakan. Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil
islam”: waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-
siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap
orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah
rangkaian dari waktu.
7) Amanah dan Jujur
Orang yang amanah pasti akan mendapatkan rizki dan kesejahteraan dalam
hidupnya. Sebaliknya, khianat, culas dan korup akan melahirkan
kefakiran.Dalam sebuah hadits, riwayat Imam ad-Dailamiy, Rasulullah SAW
bersabda yang artinya “Sifat amanah itu menarik (mendatangkan) rizki, dan
sifat khianat itu akan menarik (melahirkan) kefakiran” (HR. Ad-Dailamiy).
Islam sejak belasan abad yang lalu telah menggugah dan mengajarkan
umatnya untuk bersungguh-sungguh dan disiplin dalam bekerja. Disiplin dengan
semangat dan etos kerja yang tinggi akan menghantarkan bangsa ini menjadi
bangsa yang cerdas, berakhlak dan mempunyai ketangguhan semangat pantang
menyerah dan menjadi bangsa yang bermartabat. Dalam perpektif agama,
menuntut ilmu dan bekerja keras adalah bagian dari ibadah. Karena itu dalam
pendidikan agama, semangat dan etos kerja menjadi prioritas yang harus
ditanamkan. Tentu saja tidak lepas dari nilai luhur lainnya, yang berkaitan dengan
semangat kemandirian, harga diri, dan mampu berhadapan dengan tantangan
zaman.
Oleh karena itu, agar dapat sukses dalam kegiatan ekonomi dan sejalan
dengan tuntunan syariat, maka di samping harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan di dunia usaha yang dijalaninya, seseorang juga harus memahami
berbagai filosofi, prinsip-prinsip dan berbagai aturan syariat terkait dengan
kegiatan perekonomian. Kemandirian dan kecukupan ekonomi memiliki makna
yang penting bagi kaum
muslimin antara lain karena:
1. Dengan kondisi ekonomi yang baik mereka dapat memelihara imannya sendiri
dan keluarganya dengan lebih baik dan menjauhkannya dari perangkap
kekafiran seperti dinyatakan oleh Nabi “Hampir-hampir kemiskinan (faqr) itu
akan menjerumuskan ke dalam kekafiran (kufur)”.
2. Dengan ekonomi yang baik mereka dapat menjalankan aktivitas ibadah dengan
lebih tenang, khusyuk, dan merasa memiliki harga diri dalam komuitasnya.
Pengalaman dalam hidup bermasyarakat menunjukkan bahwa kemiskinan
tidak hanya menimbulkan penderitaan, kesulitan dan kesengsaraan hidup tetapi
juga menyebabkan hilangnya kehormatan dan harga diri di dalam pergaulan
sosial.
3. Kekuatan ekonomi sangat diperlukan untuk menunjang pelaksanaaan berbagai
bentuk kegiatan ibadah dan kebajikan, seperti haji, zakat, sedekah, dakwah,
menyediakan pendidikan bagi anak-anak terlantar, membantu fakir miskin dll.
4. Kemampuan ekonomi amat diperlukan dalam proses regenerasi umat agar
penerus generasi umat ini tumbuh lebih berkualitas dari pada generasi
sebelumnya seperti
5. untuk biaya/pendidikan, kesehatan, perbaikan gizi, serta bekal hidup lain yang
mereka perlukan di kemudian hari.
2.5 Optimalisasi Zakat, Infaq, Waqaf (Tinjauan Manajemen)
Zakat menurut bahasa (lughah), mempunyai arti subur, tambah besar,
berkembang, ṭhaharah (kesucian), barakah (keberkahan) dan tazkiyah
(pensucian).17 Pengertin zakat menurut syara’ yaitu pemberian sesuatu yang wajib
diberikan dari sekumpulan harta tertentu, menurut sifat-sifat dan ukuran tertentu
kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya. Zakat sesungguhnya
merupakan pengeluaran sejumlah harta orang tertentu yang menjadi hak orang lain.
Infak berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu
(harta) untuk kepentingan sesuatu. Infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta
atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran
Islam. Infak juga dapat berarti mendermakan atau memberikan rezeki (karunia
Allah SWT) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas
dan karena Allah semata. Sedangkan perintah infak sendiri mengandung dua
dimensi yaitu infak diwajibkan secara bersama-sama, dan infak sunnah yang suka
rela. Jika zakat ada nisabnya, infak tidak mengenal nisab. Infak dikeluarkan oleh
setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, baik
ia sedang lapang atau sempit. Baik orang tua atau anak yatim dan sebagainya (Al-
Baqarah: 215).
Menurut Kompilasi Hukum Islam, pengertian wakaf merupakan
perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-
lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
ajaran islam
Adapun tujuan dari zakat adalah untuk mensucikan harta kita, infak
atau sedekah agar tidak mencintai harta kita dan melemahkan kecintaan kita pada
harta kita, wakaf melepaskan kepemilikan, melepaskan ego kita terhadap aset kita
yang kita perjuangkan bertahun-tahun
Ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk mengoptimalisasi peran zakat
yang pertama memperbesar akumulasi nilai zakat, kedua penguatan SDM amil dan
ketiga sosialisasi obyek zakat. Optimalisasi pengelolaan zakat tidak terlepas dari
peran serta berbagai pihak baik pemerintah, LSM, mapun masjid yang kegiatannya
bertumpu dalam suatu manajemen dan strukturisasi bernama Dewan Kemakmuran
Masjid (DKM). Pemerintah, LSM terkait, dan DKM harus berkolaborasi dan bahu
membahu untuk terus mengkampanyekan zakat kepada masyarakat dan bersinergi
dalam hal pendayagunaan zakat kepada mustahik agar kebermanfaatan zakat dapat
dirasakan oleh umat.
Zakat yang dikelola secara benar dapat memutus mata rantai masalah
sosial yang terjadi pada masyarakat. Sebagai lembaga amil zakat, sudah semestinya
saling bersinergi dan berkolaborasi untuk mewujudkan pengelolaan zakat yang
profesional dan proporsional sehingga mampu melakukan optimalisasi baik dalam
hal penghimpunan, pendayagunaan, maupun pelaporan.
Sekarang ini perkembangan keuangan islam memberikan sesuatu
harapan dan peluang yang membuka perluasan untuk dapat meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan atau sering kita dengar dengan Islamic social finance, atau
perkembangan ekonomi keuangan syariah yang menjadi perkembangan penting
yang diurus negara dan pemerintah. Zakat suatu alternatif atau solusi untuk
mengalirkan harta untuk distribusi pendapatan dan menyelamatkan yang lemah
atau golongan yang memiliki modal yang terbatas dan akses keuangan yang
rendah, tapi mereka berhak memiliki hidup yang layak dan bahagia hidup di
negaranya dan membangun kesejahteraan negara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan perekonomian diatur dalam islam
dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita sesungguhnya bukan milik
manusia, melainkan hanya titipan Allah SWT, sehingga sebaiknya dimanfaatkan
dengan tepat demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan
kembali kepada Allah SWT untuk dipertanggung jawabkan.
Transaksi ekonomi yang biasa terjadi sehari-hari seperti jual beli
maupun utang piutang jauh lebih terarah bila menggunakan sistem ekonomi
islam. Kerjasama ekonomi dalam islam melahirkan kesejahteraan bagi pihak-
pihak yang terlibat. Jaminan masyarakat terjaga dalam sistem ekonomi islam
maka akan cukup membantu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
3.2 Saran

Sebaiknya masyarakat maupun lembaga-lembaga ekonomi di


Indonesia lebih mengenal dan mulai menerapkan sistem ekonomi islam. Karena
selain sebagai perwujudan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, dilihat
dari konsepnya yang berkeadilan sistem ini bisa mensejahterakan semua pihak
yang terlibat.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Abdul Manan. (1995). Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Terjemahan M.
Nastangin. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.

Muslich. (2007). Bisnis Syariah Perspektif Mu'amalah dan Manajemen. Yogyakarta: UPP
STIM YKPN.

Adiwarman karim, Ir, SE, M.A. Ekonomi Mikro Islami. IIIT Indonesia. 2002.

Rahayu, N. (2017). Optimilisasi Pendayagunaan Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) Dalam
Pemberdayaan Ekonomi Mustahiq Melalui Program Usaha Ternak Kambing Di Lazis
Qaryah Thayyibah Purwokerto

Muntoha. Etos Kerja dalam Perspektif As-Sunnah. Jurnal Madaniyah. 2016; 2 (11):281-316.
Open Society Foundation (OSF). Ekonomi Islam: Konsep dan Implementasi. 2015
Maharani, Dewi. 2018. Ekonomi Islam : Solusi Terhadap Masalah Sosial-Ekonomi. Jurnal
Agama dan Pendidikan Islam. 20-34.

Anda mungkin juga menyukai