Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

AKUNTANSI SYARIAH

SISTEM KEUANGAN SYARIAH

DOSEN PENGAMPUH

ZULIANA ROVIQOH, M.E.I.

OLEH

ANGGRIAN WIJANARKO B1061171004

HIKMAH DINA MUSLIMAH B1061171015

HESTI RAMADANTI B1061171035

ADELIA PRISILIA B1061171047

EKONOMI ISLAM

ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2018
KATA PENGANTAR

Puji sukur penulis haturkan kepada Tuhan Allah SWT, atas limpahan berkah,
rahmat serta hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan
tepat waktu. Tugas ini membahas tentang “Sistem Keuangan Syariah” guna tugas
mingguan, matakuliah “Akuntansi Syariah.”

Terima kasih, atas arahan dan bantuan Ibu Zuliana Roviqoh, M.E.I. selaku
dosen pembimbing mata kuliah “Akuntansi Syariah” dan semua pihak yang telah
membantu penulis menyelesaikan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat
dijadikan sebagai bahan pembelajaran yang berguna dan makalah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua. Semoga apa yang Anda berikan mendapat balasan dari
Tuhan Yang Maha Esa, Aamiin.

Pontianak, 07 September 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................1

A. LATAR BELAKANG.......................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................1

C. TUJUAN............................................................................................................1

BAB II. PEMBAHASAN.......................................................................................2

A. KONSEP MEMELIHARA KEKAYAAN......................................................2

B. AKAD/KONTRAK/TRANSAKSI...................................................................7

C. TRANSAKSI-TRANSAKSI YANG DILARANG.......................................10

D. PRINSIP SISTEM KEUANGAN SYARIAH...............................................19

BAB III. PENUTUP.............................................................................................22

A. KESIMPULAN................................................................................................22

B. SARAN.............................................................................................................22

C. MANFAAT/IBRAH........................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sistem keuangan syariah merupakan bagian dari konsep yang lebih luas
tentang ekonomi islam, yang tujuannya sebagaimana dianjurkan oleh para ulama
adalah memperkenalkan sistem nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan
ekonomi. Karena dasar etika ini maka keuangan dan perbankan Islam bagi
kebanyakan muslim adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial.

Kemampuan lembaga keuangan Islam dalam menarik para investor bukan


hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga itu menghasilkan
keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-
sungguh memperhatikan restriksi-restriksi agais yang digariskan oleh Islam.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana konsep memelihara kekayaan dalam Islam?


2. Apa saja jenis-jenis akad/kontrak/transaksi!?
3. Apa saja transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam?
4. Bagaimana prinsip sistem keuangan syariah?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk memenuhi dan melengkapi tugas Akuntansi Syariah
2. Untuk memberikan informasi kepada mahasiswa mengenai materi sistem
keuangan syariah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP MEMELIHARA HARTA KEKAYAAN

Memelihara harta bertujuan agar harta yang dimiliki oleh manusia diperoleh
dan digunakan sesuai dengan syariah sehingga harta yang dimiliki halal dan
sesuai dengan keinginan pemilik mutlak dari harta kekayaan tersebut yaitu Allah
SWT.
1. Anjuran Bekerja atau Berniaga
Islam menganjurkan manusia untuk bekerja atau berniaga, dan
menghindari kegiatan meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia
memerlukan harta kekayaan. Manusia memerlukan harta kekayaan sebagai alat
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk untuk memenuhi
sebagian perintah Allah seperti infak, zakat, pergi haji, perang (jihad), dan
sebagainya.

”... Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi:
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.” (QS 62:10)

Harta yang paling baik, menurut Rasulullah SAW, adalah yang


diperoleh dari perniagaan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis-hadis
berikut ini.

Ketika Rasulullah ditanya oleh Rafi bin Khudaij: Dari Malik bin Anas r.a
“Wahai Rasulullah, pekerjan apakah yang Paling baik?” Rasulullah menjawab
“Pekerjaan orang dengan tangannya sendiri dan jual beli yang mabrur”. (HR.
Ahmad dan Al Bazzar At Thabrani dari Ibnu Umar)

“Sesungguhnya Allah suka kalau Dia melihat hamba-Nya berusaha mencari


barang dengan cara yang halal.” (HR. Ath Thabrani dan Ad-Dailami)

“Orang yang Meminta-minta padahal dia tidak begitu membutuhkan sama


halnya dengan orang yang memungut bara api.” (HR. Muslim)

2. Konsep Kepemilikan

Harta yang baik harus memiliki dua kriteria, yaitu diperoleh dengan
cara yang sah dan benar (legal and fair), serta digunakan dengan dan untuk hal
yang baik-baik dijalan Allah SWT. Allah SWT adalah pemilik mutlak segala
sesuatu yang ada didunia ini (QS 57:2), sedangkan manusia adalah wakil
(khalifah) Allah dimuka bumi ini yang diberi kekuasaan untuk mengelolanya.

2
Sudah seharusnya, sebagai pihak yang diberi amanah (titipan),
pengelolaan harta titipan tersebut disesuaikan dengan keinginan dari pemilik
mutlak atas harta kekayaan yaitu Allah SWT. Untuk itu, Allah telah
menetapkan ketentuan syariah sebagai pedoman bagi manusia dalam
memperoleh dan membelanjakan/menggunakan harta kekayaan tersebut, dan di
hari akhir nanti manusia akan diminta pertanggungjawabannya.

Jadi, menurut islam, kepemilikan harta kekayaan pada manusia


terbatas kepada kepemilikan kemanfaatannya selama masih hidup di dunia, dan
bukan kepemilikan secar mutlak. Saat dia meninggal, kepemilikan tersebut
berakhir dan harus didistribusikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan
syariah.

3. Perolehan Harta

Memperoleh harta adalah aktivitas ekonomi yang masuk dalam kategori


ibadah muamalah (mengatur hubungan manusia dengan manusia). Kaidah fikih
dari muamalah adalah semua halal dan boleh dilakukan kecuali yang
diharamkan/dilarang dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Kaidah fikih ini berlandaskan pada firman Allah dan Hadis berikut ini.

“Dialah (Allah) yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu...”(QS
2:29)

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada dilangit dan apa yang ada di
bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-
orang yang berfikir.”(QS 45:13)

“Yang halal ialah apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, dan yang
haram ialah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, sedang apa yang
didiamkan oleh-Nya bearti dimaafkan (diperkenankan) untukmu.”(HR. At-
Tirmidzi & Ibnu Majah)

Dari pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dasar


muamalah adalah boleh, karena tidak mungkin Allah menciptakan segala
sesuatu dan menundukkannya bagi manusia kalau akhirnya semua itu
diharamkan atau dilarang. Oleh karena itu, ruang lingkup (bidang) yang
dihalalkan jauh lebih luas dari yang dilarang pada hakikatnya adalah untuk
kebaikan umat manusia itu sendiri.

Harta dikatakan halal dan baik apabila niatnya benar, tujuannya benar dan cara
atau sarana untuk memperolehnya juga benar, sesuai dengan rambu-rambu
yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan as-sunnah.

3
Misalnya, uang untuk mendirikan rumah yatim piatu yang diperoleh dari
mencuri adalah harta haram. Walaupun tujuannya benar, yaitu untuk
membantu yatim piatu, namun cara memperolehnya salah (haram), sehingga
tidak dibolehkan oleh syariah. Contoh lain adalah membeli (menadah) barang
curian. Jual belinya halal. Namun, karena objeknya tidak halal maka transaksi
ini pun tidak diperbolehkan oleh syariah. Jadi walaupun harta digunakan untuk
kebaikan namun apabila diperoleh dengan cara yang tidak baik tetap tidak
bernilai di sisi Allah.

“Barang siapa mengumpulkan harta dari jalan haram, lalu dia


menyedekahkannya, maka dia tidak mendapatkan pahala, bahkan
mendapatkan dosa.”(HR Huzaimah dan Ibnu Hiban disahkan oleh Imam
Hakim)

Islam tidak memisahkan ekonomi dengan agama (lihat bab 1), sehingga
manusia tetap harus merujuk kepada ketentuan syariah dalam beraktivitas
ekonomi, termasuk dalam memperoleh harta kekayaan .

Konsekuensinya, manusia dalam bekerja, berbisnis, atau pun berinvestasi


dalam rangka mencari rezeki (harta) harus memilih bidang yang halal
walaupun dari sudut pandang (ukuran) keduniaan memberikan keuntungan
yang lebih sedikit dibandingkan dengan bidang yang haram.

“Katakanlah (Muhammad), “Tidak sama yang buruk dan yang baik meskipun
banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah
wahai orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung.”(QS 5:100)

Perhitungan untung atau rugi harus berorientasi jangka panjang, yaitu


mempertimbangkan perhitungan untuk kepentingan akhirat, karena kehidupan
di dunia hanya sementara dan kehidupan yang kekal adalah kehidupan akhirat.
Kita akan diminta pertanggungjawaban atas semua yang kita lakukan pada
hari dimana tidak seorang pun atau apa pun juga dapat menolong kita.

“Pada hari itu mereka semuanya dibangkitkan Allah, lalu diberitakan-Nya


kepda mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah menghitungnya (semua
amal perbuatan itu), meskipun mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha
Menyaksikan segala sesuatu.”(QS 58:6)

4. Penggunaan dan Pendistribusian Harta

Islam mengatur disetiap aspek kehidupan ekonomi penuh dengan pertimbangan


moral, sebagaimana firman Allah berikut ini.

4
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan
Allah kepada dirimu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi. Sungguh
Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”(QS 28:77)

Dari ayat di atas dapat kita simpulkan, dalam penggunaan harta,


manusia tidak boleh mengabaikan kebutuhannya di dunia, namun di sisi lain
juga harus cerdas dalam menggunakan hartanya untuk mencari pahala akhirat.

Ketentuan syariat berkaitan dengan penggunaan harta, antara lain:

a. Tidak boros dan tidak kikir

“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Sungguh,
Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.(QS 7:31)

“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan


jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu
menjadi tercela dan menyesal.”(QS 17:29)

Di sisi kita dapat melihat bahwa Allah SWT sebagai sang pencipta
mengajarkan kepada kepada kita sesuatu konsep hidup “perlengkapan” yang
luar biasa, untuk hidup dalam batas-batas kewajaran, tidak boros/berlebih-
lebihan dan tidak kikir.

b. Memberi infak dan shadaqah


Membelanjakan harta dengan tujuan untuk mencari ridha Allah
dengan berbuat kebajikan. Misalnya, untuk mendirikan tempat peribadatan,
rumah yatim piatu, menolong kaum kerabat, memberi pinjaman tanpa
imbalan, atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun yang diperlukan
oleh mereka yang membutuhkan.

“Ingatlah, kamu adalah ornag-orang yang diajak untuk mengnfakkan


(hartamu) dijalan Allah,. Lalu di antara kamu ada orang yang kikir, dan
barang siapa yang kikir maka sesungguhnya dia kikir kepada dirinya
sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya, dan kamulah yang membutuhkan
(karunia-Nya). Dan jika kamu berpaling (dari jalan yang benar,. Dia akan
menggantikan (kamu) dengan kaumyang lain, dan mereka tidak akan
(durhaka) seperti kamu.”(QS 47:38)

5
“Perumpamaan orang yang menginfak hartanya di jalan Allah seperti
sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada
seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang dia kehendaki, Dan
Allah berjanji barang siapa melakukan kebajikan akan dilipatgandakan
pahalanya dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.”(QS 2:261)

Allah SWT mendorong manusia agar peduli kepada orang lain yang
lebih mebutuhkan sehingga akan tercipta saling tolong-menolong antar
sesama. Sesungguhnya, uang yang diinfakkan adalah rezki yang nyata bagi
manusia karena ada imbalan yang dilipatgandakan Allah (di dunia dan di
akhirat), serta akan menjadi penolong di hari akhir nnti pada saat di mana
tidak ada sesuatu pun yang dapat menolong kita, sebagaimana bunyi hadis
berikut.

“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya,


kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah (infak dan shadaqah), ilmu yang
bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan.”(HR.Muslim)

c. Membayar zakat sesuai ketentuan

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan


mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya dan kamu itu
(menumbuhkan) ketentranman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.”(QS 9:103)

Setiap manusia beriman yang memiliki harta melampaui ukuran


tertentu, diwajibkan untuk mengeluarkan sebagian hartanya (zakat) untuk
orang yang tidak mampu, sehingga dapat tercipta keadilan sosial, rasa kasih
sayang, dan rasa tolong-menolong.

d. Memberi pinjaman tanpa bunga (qardhud hasan)


Memberikan pinjaman kepada sesama muslim yang mebutuhkan, dengan
tidak menambah jumlah yang harus dikembalikan (bunga/riba). Bentuk
pinjaman seperti ini, bertujuan untuk mempermudah pihak yang menerima
pinjaman, tidak memberatkan sehingga dapat menggunakan modal
pinjaman tersebut untuk hal-hal yang produktif dan halal.

e. Meringankan kesulitan orang yang berutang

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang
waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan,
itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”(QS 2:280)

65
B. AKAD/KONTRAK/TRANSAKSI

Akad dalam bahas Arab al-‘aqd, jamaknya al-‘uqud, berarti ikatan atau
mengikat (al-rabth). Menurut terminologi hukum Islam, akad adalah pertalian
antara penyerahan (ijab) dan penerimaan (qabul) yang dibenarkan oleh syariah,
yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. (Ghutron Mas’adi, 2002).

Menurut Abdul Razak Al-Sanhuri dalam Nadhariyatul ‘aqdi, akad adalah


kesepakatan dua belah pihak atau lebih yang menimbulkan kewajiban hukum
yaitu konsekuensi hak dan kewajiban, yang mengikat pihak-pihak yang terkait
langsung maupun tidak langsung dalam kesepakatan tersebut. (Ghufron Mas’adi,
2002).

Akad yang sudah terjadi (disepakati) harus dipenuhi dan tidak boleh
diingkari. “Wahai orang-orang beriman penuhilah janji (akad)mu....” (QS. 5:11)

1. Jenis Akad

Akad dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fikih muamalat
membagi lagi akad menjadi dua bagian, yaitu:

a. Akad Tabarru’ (Gratuitous Contaract)

Yaitu perjanjian yang merupakan transaksi yang tidak ditujukan


untuk memperoleh laba (transaksi nirlaba). Tujuan dari transaksi ini adalah
tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari
kata birr dalam bahasa Arab yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’,
pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan
apa pun kepada pihak lainnya karena ia hanya mengharapkan imbalan dari
Allah SWT dan bukan dari manusia. Namun, tidak mengapa bila pihak
yang berbuat kebaikan tersebut meminta sekedar menutupi biaya yang
ditanggung atau dikeluarkan untuk dapat melakukan akad tabarru’
tersebut, sepanjang tidak mengambil laba dari akadtabarru’ itu.

Ada 3 (tiga) bentuk akad tabarru’, yaitu:

1) Meminjamkan Uang

Tidak boleh melebihkan pembayaran atas pinjaman yang kita


berikan, karena setiap kelebihan tanpa ‘iwad adalah riba. Ada minimal
3 jenis pinjaman yaitu sebagai berikut:

 Qardh, merupakan pinjaman yang diberikan tanpa mensyaratkan apa


pun, selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu
tertentu.

7
 Rahn, merupakan pinjaman yang mensyaratkan suatu jaminan dalam
bentuk atau jumlah tertentu
 Hiwalah adalah bentuk pinjaman dengan cara mengambil alih piutang
dari pihak lain

2) Meminjamkan Jasa

Meminjamkan jasa berupa keahlian dan keteran\mpilan


merupakan akad tabarru’. Ada minimal 3 jenis pinjaman, yaitu sebagai
berikut:

 Wakalah merupakan pinjaman berupa kemampuan kita saat ini untuk


melakukan sesuatu atas nama orang lain.
 Wadi’ah merupakan bentuk turunan akad wakalah, di mana pada akad
ini telah dirinci/ didetailkan tentang jenis pemeliharaan dan penitipan.
Sehingga selama pemberian jasa tersebut kita juga bertindak sebagai
wakil dari pemilik barang.
 Kafalah: Juga merupakan bentuk turunan akad wakalah, di mana pada
akad ini terjadi atas wakalah bersyarat (contingent wakalah).

3) Memberikan Sesuatu

Dalam akad ini, pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain.


Ada minimal 3 bentuk akad ini, yaitu:

 Waqaf, merupakan pemberian dan penggunaan pemberian yang


dilakukan tersebut untuk kepentingan umum dan agama, serta
pemberian itu tidak dapat dipindahtangankan.
 Hibah/shadaqah, merupakan pemberian sesuatu secara sukarela
kepada orang lain.

8
Akad tabarru' tidak bisa dipindahkan menjadi akad tijarah, dan tidak
juga bisa digunakan untuk memperoleh laba. Karena sifatnya yang khas
seperti itu.

b. Akad Tijarah (Compensational Contract)

Yaitu akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Dari sisi


kepastian hasil yang diperoleh, akad ini dapat dibagi 2 (dua), yaitu sebagai
berikut:

1) Natural Uncertainty Contract, merupakan kontrak yang diturunkan dari


teori pencampuran, di mana pihak yang bertransaksi saling
mencampurkan aset yang mereka miliki menjadi satu, kemudian
menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Oleh
sebab itu, kontrak jenis ini tidak memberikan imbal hasil yang pasti, baik
nilai imbal hasil (amount) maupun waktu (timing), contoh yang termasuk
dalam kontrak ini adalah musyarakah termasuk di dalamnya mudharabah,
muzaraah, musaqah, dan mukharabah.

2) Natural Centairty Contract, merupakan kontrak yang diturunkan dari


teori pertukaran, di mana kedua belah pihak saling mempertukarkan aset
yang dimilikinya, sehingga objek pertukarannya (baik barang maupun
jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti tentang jumlah
(quantity), mutu (guality), harga (price), dan waktu penyerahan (time
delivery). Dalam kondisi ini secara tidak langsung kontrak jenis ini akan
memberikan imbal hasil yang tetap dan pasti karena sudah diketahui
ketika akad. Contoh akad ini adalah akad jual beli (baik penjualan tunai,
penjualan tunai, penjualan tangguh, salam dan istishna') maupun akad
sewa (ijarah maupun IMBT).

9
2. Rukun dan Syarat Akad

Rukun dan syarat sahnya suatu akad ada 3 (tiga), yaitu sebagai
berikut.

a. Pelaku yaitu para pihak yang melakukan akad (penjual dan pembeli,
penyewa dan yang menyewakan, karyawan dan majikan, shahibul maal dan
mudharib, mitra dengan mitra dalam musyarakah, dan lain sebagainya).
Untuk pihak yang melakukan akad harus memenuhi syarat yaitu: merdeka,
mukalaf dan orang yang sehat akalnya.

b. Objek akad merupakan sebuah konsekuensi yang harus ada dengan


dilakukannya suatu transaksi tertentu. Objek jual beli adalah barang
dagangan, objek mudharabah danmusyarakah adalah modal dan kerja, objek
sewa-menyewa adalah manfaat atas barang yang disewakan dan seterusnya.

c. Ijab kabul merupakan kesepakatan dari para pelaku dan menunjukkan


mereka saling rida. Tidak sah suatu transaksi apabila ada salah satu pihak
yang terpaksa melakukannya (OS 4: 29), dan oleh karenanya akad dapat
menjadi batal. Dengan demikian bila terdapat penipuan (tadlis), paksaan
(ikhrah) atau terjadi ketidaksesuaian objek akad karena kesemuanya ini
dapat menimbulkan ketidakrelaan salah satu pihak maka akad dapat menjadi
batal walaupun ijab kabul tela dilaksanakan.

C. TRANSAKSI YANG DILARANG

Hukum asal dalam muamalah adalah semuanya diperbolehkan kecuali ada


ketentuan syariah ynag melarangnya. Laranganini dikarenakan beberapa sebab
antara lain dapat membantu berbuat maksiat/melakukan hal yang dilarang Allah,
adanya unsur penipuan, adanya unsur menzolimi pahik yang bertransaksi dan
sebagainya. Dasar hukum yang dipakai dalammelakukan transaksi bisnis (Q.S
4.29)

“hai orang-orang yang beriman, jangan kamu memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil (tidak benar) kecualai dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di anata kamu. Dan janganlah membunuh dirimu.
Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu.”

Jadi transaksi bisnis harus didasarkan kepada prinsip kerelaan antara kedua
belah pihak , dan tidak bathil yaitu tidak ada menzalimi dan dizalimi, sehingga
jika ingin memperoleh hasil harus mau mengeluarkan biaya, dan jika ingin untung
harus mau menanggungrisiko .

10
Hal yang termasuk dilarang dalam transaksi yang dilarang yaitu:

1. Semua aktivitas bisnis terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah
2. riba
3. Penipuan
4. Perjudian
5. Gharar
6. Ikhtikar
7. Monopoli
8. Bai’an Najsy
9. Suap
10. Tha’alluq
11. Bai al inah
12. Talaqqi al-rukban

1. Aktivitas Bisnis Terkait dengan Barang dan Jasa yang Diharamkan


Allah

Aktivitas investasi dan perdagangan atau semua transaksi yang


melibatkan barang dan jasa yang diharamkan Allah seperti babi, khamar atau
minuman yang memabukkan, narkoba dan sebagainya. Sebagaimana dalam
(Q.S An-nahl :115)

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah daging


babi, (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah barang
siapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak pula
melampaui batas, maka sungguh Allah maha pengampun, Maha Penyayang.
(Q.S An-nahl :115)

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan memperdagangkan


khamar/minuman keras, bangkai babi, dan patung (HR.Bukhori Muslim)

Sesunggauh Allah apabila mengharamkan sesuatu juga mengaramkan


harganya” (HR.Ahmad dan Abu Dawud)

Walaupun ada kesepakatan dan rela sama rela pelaku transaksi,


namun jika atas objek transakasi tidak dapat diambil manfaat darunya karena
dilarang oleh Allah maka akad tersebut dikatakan tidak sah. Dengan tidak
terpenuhinya barang yang dilarang Allah sebagai objek berarti semua
aktivitas bisnis yang terkait dengan barang yang dilarang Allah adalah haram
karena tidak memenuhi rukun sahnya suatu akad.

11
2. Riba

Riba berasal dari bahasa arab yang berarti (Al-Ziyadah) tambahan ,


( An-Nuwuw) berkembang, (Al-Irtifa’) meningkat, (Al-‘uluw).

Setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu penyeimbang atau


pengganti (i’wad) yang dibenarkan syariah adalah riba. Hal yang dimaksud
transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersil
yang melegtimasi adanya penambahan secara adil, seperti jual beli, sewa-
menyewa, atau bagi hasil proyek, dimana dalam transaksi tersebut ada faktor
penyeimbang nya berupa ikhtiar/usaha, risiko dan biaya.

Menurut ijmak konsensus para ahli fikih tanpa terkecuali, bunga


tergolong riba karena riba memiliki persamaan makna dan kepentingan
dengan bunga. Lembaga islam internasional maupun nasional telah
memutuskan sejak tahun 1965 bahwan bunga bank atau sejenisnya adalah
sama dengan riba dan haram secara syariah. Bahkan MUI (Majelis Ulama
Indonesia) telah mengeluarkan fatwa bahwa bunga yang dikenakan dalam
trensaksi pinjaman atau utang piutang , baik yang dilakukan oleh lembaga
keuangan, individu maupun lainnya hukumnya adalah haram.

Larangan riba dalam Al-Qur’an dilakukan melalui 4 tahap yaitu

a. Tahap 1 (Q.S AR-RUM :39)

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).”

Dalam ayat yang diturunkanpada periode mekkah ini, manusia


diberikan peringatan bahwa pada hakikatnya riba tidak menambah
kebaikkan di sisi Allah, belum berupa larangan yang keras.

b. Tahap 2 (Q.S AN-NISA :161)

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka


telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”

Ayat ini memberi pelajaran kepada kita mengenai perjalanan hidup


orang yahudi yang melanggar larangan Allah berupa riba kemudian diberi
siksa yang pedih masih terbatas pada riba yang berlipat ganda.

12
c. Tahap 3 (Q.S Ali-Imran :130)

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan


berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

d. Tahap 4 (Al-Baqarah : 278-280)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan


sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Al-
Baqarah 2:278)

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka


umukanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka kamu berhak atas pokok hartamu; kamu
tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak (pula) dizalimi (dirugikan).
(Al-Baqarah 2:279)

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah
2:280)

Ayat tersebut adalah ayat terakhir dalam tahap riba yaitu ketetapan
yang ditetapkan dengan tegas dan jelas bahwa semua prektik riba itu
dilarng (haram), tidak perduli dengan besar kecilnyatambahan yang
diberikan karena Allah hanya membolehkan pengembalian sebesar
pokoknya saja. Bagi yang memungut riba, ada ancaman yang sangat keras
yaitu Allah dan Rasul-Nya akan memeranginya.

Karena bahaya riba begitu besar sampai sampai ada suatu hadis
yang diriwayatkan AL-Hakim dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah
bersabda:

“riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan) yang paling rendah


(dosanya) sama dengan melakukan zina kepada ibunya.

Riba tidak sebatas pada orang yang memakannya saja seperti


dalam sebuah hadis

Jabir berkata: “bahwa Rasullullah SAW mengutuk orang yang terlibat


dengan riba.orang yang membayarrnya, dan orang yang mencatatnya dan
dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda “mereka semua itu sama.”
(HR.MUSLIM)

13
Bedasarkan ayat tersebut Allah melaknat semua pihak yang terlibat
dalam akad riba, melaknat orang yang mengambil dan memberi utang
dengan riba, penulis yang mencatatnya dan saksi saksinya. Konsekuensi
atas orang yang terlibat dalam riba adalah termasuk dosa besar.

1) Jenis Riba
 Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah adalah riba yang muncul karena utaag piutang, riba Nasi’ah
dapat terjadi dalam segala jenis transaksi kredit atau utang-piutang dimana
satu pihak harus membayar lebih besar dari pokok pinjamannya.
 Riba Fadhl
Riba Fadhl adalah riba yang muncul karena transaksi pertukaran atau
barter. Riba Fadhl bisa terjadi apabila ada kelebihan/penambahan pada
salah satu dari barang ribawi/barang sejenis yang pertukarkan baik
pertukaran dilakukan dari tangan ke tangan atau kredit.

2) Pengaruh riba pada kehidupan manusia


Imam Razi mencoba menjelaskan alasan mengapa bunga dalam
islam dilarang antara lain sebagai berikut:
 Riba merupakan transaksi yang tidak adil dan mengakibatkan peminjaman
jatuh miskin karena sieksploitasi karena riba mengambil harta orang lain
tanpa imbalan. Seperti orang yang menjual senilai rupiah tetapi mendapat
bayaran dua rupiah, berarti dia mendapatkan tambahan satu rupiah tanpa
ada pengorbanan. Sedangkan harta seseorang merupakan hak miliknya
yang harus dihormati/dihargai sebagaimana dalam hadist
“ kehormatan harta seseorang seperti kehormatan darahnya”. (HR Abu
Numan dalam Al Hilyah)
 Riba akan menghalagi orang untuk melakukan usaha karena pemilik dapat
menambah hartanya dengan transaksi riba baik secara tunai maupun
berjangka.
 Riba akan menyebabkan terputusnya hubung baik antar masyarakat dalam
bidang pinjam meminjam. Jika riba diharamkan, setiap orang akan merasa
rela meminjamkan uang satu rupiah dan mendapat pengembalian satu
rupiah. Sedangakan jika riba dihalalkan orang yang memiliki kebutuhan
mendesak akan mendapatkan uang satu rupiah dan mengebalikan sebesar
dua rupiah. Hal ini akan menyebabkan hilangnya rasa belas kasiahan,
kebaikan dan kebajikan
 Pada umumnya orang aan memberikan pinjaman adalah orang kaya,
sedang yang meminjamnya adalah orang miskin. Pendpat yang
membolehkan riba berarti memberi jalan bagi orang kaya untuk menerima
tambahan harta dari orang miskin yang lemah. Sehingga orang kaya
bertambah kaya dan orang miskin bertambah miskin. Padahal hal tersebut

14
tidak diperbolehkan menurut kasih sayang dari Allah yang maha
penyayang.
3) Perbedaan Riba dan Jual Beli

No JUAL BELI RIBA


1 Dihalalkan Allah SWT Diharamkan Allah SWT
2 Harus ada pertukaran barang atau Tidak ada pertukaran barang da
manfaat yang diberikan sehingga keuntungan/manfaat hanya
ada keuntungan/manfaat yang diperoleh oleh penjual
diperoleh pembeli dan penjual
3 Karena ada yang ditukarkan, harus Tidak ada beban yang ditangggung
ada beban yang ditanggung oleh oleh penjual
penjual
4 Memiliki resiko uuntung rugi, Tidak memiliki resiko sehingga
sehingga diperlukan kerjausaha, tidak diperlukan kerja/usaha,
kesungguhan dan keahlian kesungguhan dan keahlian

3. Penipuan
Penipuan terjadi apabila salah satu pihak mengetahui informasi yang
diketahui pihak lain dan dapat terjadi dalam empat hal yakni kuantitas,
kualitas, harga, dan waktu penyerahan.
Penipuan dalam kualitas misalnya dengan mencampur adukkan
barang baik denga yang buruk atau barang yang dijual memiliki cacat yang
disembunyikan. Penipuan dalam kuantitas misalnya mengurangi timbangan.
Penipuan dalam harga misalnya menjual barang dengan harga yag terlalu
tinggi pada orang yang tidak mengetahui harga wajar barang tersebut.
Penipuan dalam waktu misalnya seorang penyedia jasa menyanggupi
penyelesaian pesanan pada waktu tertentu, sementara dia sangat adar bahwa
dengan sumber daya dan kendala yang dimilikinya tidak mungkin dapat
menyelesaikannya pada waktu yang dijanjikan. 

Adapun dasar hukum tentang larangan penipuan (tadlis) terhadap bertransaksi


adalah sebagai berikut:
Al-Baqarah ayat 42
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan
janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.”  

Al-A’raf:85
Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yang saudara mereka,
Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang

15
nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan
janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi
sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika
betul-betul kamu orang-orang yang beriman". 

An-Nahl:105
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang
yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang
pendusta.”  

Empat jenis penipuan tersebut dapat membatalkan akad transaksi,


karena tidak terpenuhinya prinsip rela sam rela. Para pihak yang bertransaksi
tidak memiliki informasi yang sama. Barulah di kemudian hai, ketika
memperoleh informasi yang lengkap, pihak yang menyadari dirinya tertipu,
tidak akan rela dengan keadaan tersebut.

4. Perjudian
Berjudi/maisir dalam bahasa arab arti harfiahnya adalah memperoleh
sesuatu atau mendapat keuntungan dengan sangat mudah tanpa kerja keras.
Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua belah pihak
atau lebih, dimana mereka menyerahkan uang/harta kekayaan lainya,
kemudia mengadakan permainan tertentu, baik dengan kartu, adu
ketangkasan, kuis sms, tebak skor bola, atau media lainnya. Pihak yang
menang berhak atas hadiah yang dananya dikumpulkan dari kontribusi para
peertanya. Sebaliknya bila dalam undian kalah maka uangnya harus direlakan
untuk diambil oleh yang menang.
“wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi
berkurban (untuk berhala) dan mengundi nasip dengan anak panah, adalah
perbuata keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuata-
perbuatan itu agar kamu beruntung. (Q.S Al-maidah :90)
Semua bentuk perjudian itu dilarang dengan nama apapun misalnya
lotre, kuis sms, taruhan maupun bentuk spekulasi lainnya.

5. Transaksi yang Mengandung Ketidakpastian (Gharar)


Syariah melarang transaksi yang mengandung ketidakpastian (gharar).
Ghara terjadi ketika terdapat informasi yang tidak lengkap, sehingga ada
ketidakpastian antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Ketidakjelasan ini
dapat menimbulkan pertikaian antara para pihak dan ada pihak yang
dirugikan. Ketidakjelasan dapat terjadi dalam lima hal yaitu
a. Ketidakjelasan dalam kuantitas misalanya jual beli buah ketika masih
dalam bentuk buah yang belum siap panen

16
b. Ketidakjelasan dalam kualitas misalnya membeli kuda yang masih dalam
rahim induknya
c. Ketidakpastian dalam harga misalnya saya menjual baju dengan harga Rp
100.000 kalau ayar tunai tetapi kalau bayarnya satu bulan lagi maka
harganya Rp.120.000
d. Ketidakpastian dalam waktu misalnya menjual cincin berlian yang hilang
dengan harga Rp.1.000.000 dan penyerahannya nanti setelah cincin
berlian ditemukan
e. Ketidakpastian dalam akad terjadi jika satu transaksi diwadahi oleh dua
akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakjelasan mengenai akad mana yang
harus digunakan atau diberlakukan. Hal ini terjadi apabila ada dua akad
yang dapat memenuhi ketiga faktor berikut yaitu objek akad yang sama
karna ada ketidakjelasan akad mana yang berlaku, akad beli atau akad
sewa

6. Penimbunan Barang/ihtikar
Penimbunan adlah membeli susuatu yang dibutuhkan masyarakat,
kemudian menyimpannya, sehingga barang tersebut berkurang di pasaran dan
mengakibatkan peningkatan harga. Penimbunan seperti ini dilarang karena
dapat merugikan orang lain dengankelangkaannya/sulit didapat dan harganya
yang tinggi. Dengan kata lain penimbunnan mendapatkan keuntungan besar
dia atas penderitaan ornag lain.

7. Monopoli
Alasan larangan monopoli sama dengan larangan penimbunan barang
(ihtikar). Monopoli biasanya dilakukan dengan membuat penghalang masuk,
untuk menghambat produsen atau penjual masuk ke pasar agar ia menjadi
pemain tunggal di pasar dan mendapat menghasilkan keuntungan yang tinggi.

8. Rekayasa Permintaan (Bai’an Najsy)


An-Najsy termasuk dalam kategori penipuan (tadlis), karena merekayasa
permintaan di mana satu pihak berpura-pura mengajukan penawaran dengan
harga yang tinggi, agar calon pembeli tertarik dan membeli barang tersebut
dengan harga tinggi.
“janganlah kamu sekalian melakukan penawaran barang tanpa maksud untuk
membeli.” (HR.Tirmidzi).

9. Suap
Suap dilarang karena dapat merusak sistem yang ada di dalam
masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial dan persamaan
perlakuan. Pihak yang membayar suap pasti akan diuntungkan dibandingkan
yang tidak membayar.

17
“...dan janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim...” (QS
2:188)

“Rasulullah SAW melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang


menerima penyuapan.” (HR. Ahmad, Thabrani, Al-Bazar dan Al-Hakim)
“Setiap orang yang memberi rekomendasi seseorang kemudian dia menerima
hadiah dari orag itu, maka itu dianggap riba.” (HR. Ibnu Daud)
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap
yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad)

10. Penjual Bersyarat (Ta’alluq)


Ta’alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan di mana
berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua, sehingga dapat
mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (sesuatu yang harus ada dalam
akad) yaitu objek akad. Misalkan A bersedia menjual barang X ke B asalkan
B kembali menjual barang tersebut kepada A; atau A bersedia menerima
pesanan B asalkan C dapat memenuhi pesanan A.

11. Pembelian Kembali oleh Penjual dari Pihak Pembeli (Bai’al Inah)
Misalnya A menjual secara tunai pada B kemudian A membeli
kembali barang yang sama dari B secara kredit. Dari contoh ini, kita lihat ada
dua pihak yang seolah-olah melakukan jual beli, namun tujuannya bukan
untuk mendapatkan barang melainkan A mengharapkan untuk mendapatkan
uang tunai sedangkan B mengharapkan kelebihan pembayaran.

12. Jual Beli dengan Cara Talaqqi Al-Rukban

Jual beli dengan cara mencegat atau menjumpai pihak penghasil atau
pembawa barang perniagaan dan membelinya, di mana pihak penjual tidak
mengetahui harga pasar atas barang dagangan yang dibawanya sementara
pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang berlipat dengan
memanfaatkan ketidaktahuan mereka. Cara ini tidak diperbolehkan secara
syariah sesuai dengan sabda Rasulullah:

“Janganlah kamu mencegat kafilah/rombongan yang membawa dagangan di


jalan, siapa yang melakukan itu dan membeli darinya, maka jika pemilik
barang tersebut tiba di pasar ( mengetahui harga), ia boleh berkhiar.” (HR.
Muslim)

Disini larangan tidak membuat transaksi menjadi tidak sah, karena


bisa menjadi sah apabila ada hak khiar al-ghabn atau hak opsi / memilih
untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi dari pihak penjual setelah
mengetahui harga pasar.

18
D. PRINSIP SISTEM KEUANGAN SYARIAH

Praktik sistem keuangan syariah yang telah dilakukan sejak zaman


kejayaan islam. Namun seiring dengan melemahnya sistem khalifah, pada akhir
abad ke-19, Dinasti Ottoman memperkenalkan sistem perbankan barat kepada
dunia barat. Hal ini mendapat kritikan dari para ahli fikih bahwa sistem tersebut
menyalahi aturan syariah mengenai riba, dan berujung kepada keutuhan
kekhalifahan Islam 1924. Perkembangan selanjutnya, pada akhir 1970-an
mulailah berdiri bank yang mengadopsi sistem syariah, kemudian berkembang
pesat dan saat ini banyak negara telah melakukan kegiatan perdagangan dan
bisnis. Bahkan Inggris telah memosisikan diri sebagai “gateway” untuk keuangan
Islam di dunia. Perbankan besar seperti: Citicorp dan HSBC telah membuka diri
untuk mengadopsi sistem syariah tersebut.

Sistem keuangan syariah bukan hanya berbicara mengenai larangan riba yang
juga telah dilarang pada agama samawi seperti agama Yahudi dan Kristen. Sistem
ini juga mengatur menganai larangan tindakan penipuan, pelarangan tindaka
spekulasi, larangan suap, larangan transaksi yang melibatkan brang haram,
larangan menimbun barang (ihtikar), dan larangan monopoli.

Konsep sistem keuangan syariah diawali dengan pengembangan konsep


ekonomi Islam. Pengembangan konsep ekonomi Islam dimulai pada tahun 1970-
an dengan membicarakan isu-isu ekonomi makro. Pihak yang terlibat dalam
diskusi tersebut adalah para ekonom dan juga para ahli fikih. Mereka yakin bahwa
konsep ekonomi Islam harus didukung oleh sistem yang lebih bersifat praktis
yaitu sistem keuangan syariah dengan mencari suatu sistem yang dapat
menghindari riba bagi muslim. Usulan yang muncul pertama kali dalah sistem
kerja sama untuk membagi laba rugi yang diperoleh dari kegiatan usaha.

Filosofi sistem keuangan syariah “bebas bunga” (larangan riba) tidak hanya
melihat reaksi antara faktor produksi dan perilaku ekonomi seperti yang dikenal
pada sistem keuangan konvensional, melainkan juga harus menyeimbangan
berbagai umur etika, moral, sosial dan dimensi keagamaan untuk meningkatkan
pemerataan dan keadilan menuju masyarakat yang sejahtera secara menyeluruh.

Melihat sistem kerja sama bagi hasil maka akan ada pembagian risiko. Risiko
yang timbul dalam aktivitas keuangan tidak hanya ditanggung penerima modal
atau pengusaha saja, namun juga akan diterima oleh pemberi modal. Pemberi
modal maupun penerima modal harus saling berbagi risiko secara adil dan
proposional sesuai dengan kesepakatan bersama. Dalam sistem keuangan syariah
pemberi dana lebih dikenal dengan investor daripada kreditur, oleh karena itu
pemberi modal juga harus menanggung risiko yang biasanya dengan modal yang
ditambahkan. Sebagai investor, pemberi modal dan tidak hanya memberikan
pinjaman saja lalu menerima pengembalian pinjamn dari aktivas perdagangan.

19
Akan tetapi, antara investor dan pengusaha secara bersama-sama bertanggung
jawab atas kelancaran aktivitas perdangangan untuk mencapai tingkat
pengembangan pengembalian yang optimal.

Berikut ini adalah prinsip sistem keuangan Islam sebagaimana diatur diatur
melalui Al-Quran dan As-Sunah.

1. Pelarangan Riba. Riba (dalam bahasa Arab) didefinisikan sebagai “kelebihan”


atau sesuatu akibat penjualan ataupun pinjaman. Riba/Ribit (bahasa Yahudi)
telah dilarang tanpa adanya perbedaan pendapat diantara para ahli fikih. Riba
merupakan pelanggaran atas sistem keadilan sosial, persamaan dan hak atas
barang. Oleh karena sistem riba ini hanya menguntungkan para pemberi
pinjaman /pemilik harta, sedangkan pengusaha tidak diperlakukan sama.
Padahal “untung” itu baru diketahui setelah berlalunya waktu bukan hasil
penetapan dimuka.
2. Pembagian Risiko. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pelanggaran yang
menetapkan hasil bagi pemberi modal dimuka. Sedangkan melalui pembagian
risiko maka pembagian hasil akan dilakukan di belakang yang besarannya
tergantung dari hasil yang diperoleh. Hal ini juga membuat kedua belah pihak
akan saling membantu untuk bersama-sama memperoleh laba, selain lebih
mencerminkan keadilan.
3. Menganggap Uang sebagai Modal Potensial. Dalam masyarakat industri dan
perdagangan yang sedang berkembang sekarang ini (konvensional), fungsi
uang tidak hanya sebagai alat tukar saja, tetapi juga sebagai komoditas (hajat
hidup yang bersifat terbatas) dan sebagai modal potensial. Dalam fungsinya
sebagai komoditas, uang dipandang dalam kedudukan yang sama dengan
barang yang dijadikan sebagai objek transaksi untuk mendapatkan keuntungan
(laba). Sedangdalam fungsinya sebgai fungsi nyata (capital), uang dapat
menghasilkan sesuatu (bersifat produktif) baik menghasilkan barang maupun
jasa. Oleh sebab itu, sistem keuangan Islam memandang uang boleh dianggap
sebagai modal kalau digunakan bersamaan dengan sumber daya yang lain
untuk memperoleh laba.

“Money in Islam is not capital, capital is private goods, but money is


public goods. Capital stock concept, money is flow concept. Money is
not commodity. Money itself give no utility. The fuctionof money give
utility.” (Karim, 2003)

4. Larangan Melakukan Kegiatan Spekulatif. Hal ini sama dengan pelarangan


untuk transaksi yang memilki tingkat ketidakpastian yang tinggi, judi dan
transaksi yang memilki risiko sangat besar.
5. Kesucian Kontrak. Oleh karena Islam menilai perjanjian sebagi suatu yang
tinggi nilainya sehingga seluruh kewajiban dan pengungkapannya ysng terkait

20
dengan kontrak harus dilakukan. Hal ini akan mengurangi risiko atas informasi
yang asimetri dan timbulnya moral hazard.
6. Aktivitas Usaha Harus Sesuai Syariah. Seluruh kegiatan usaha tersebut harus
merupakan kegiatan yang yag diperbolehkan menurut syariah. Dengan
demikian, usaha seperti minuman keras , jadi, peternakan babi yang haram juga
tuidak boleh dilakukan.
Jadi, prinsip keuangan syariah mengacu kepada prinsip rela sama ela
(antaraddin minkum), tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi (la
tazhlimuna wa la tuzhlamun), hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi al
dhaman), dan untung muncul bersama risiko (al ghunmu bi al ghurmi).

21
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Islam menganjurkan manusia untuk bekerja atau berniaga dan menghindari


kegiatan meminta-minta dalam mencari kekayaan. Manusia membutuhkan harta
kekayaan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk
untuk memenuhi perintah Allah SWT.

B. SARAN
Sistem keuangan syariah diharapkan mampu menjadi alternatif terbaik dalam
mencapai kesejahteraan masyarakat. Penghapusan bunga dalam sistem keuangan
syariah memiliki dampak yang sangat signifikan, karena bukan hanya prinsip
investasi langsung saja yang harus bebas dari bunga, namun investasi tak
langsung juga demikian.

C. IBRAH/ MANFAAT

1. Kita dapat mengetahui konsep memelihara kekayaan dalam Islam


2. Kita dapat mengetahui jenis-jenis akad/transaksi
3. Kita dapat mengetahui transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam
4. Kita dapat mengetahui prinsip sistem keuangan syariah

22
DAFTAR PUSTAKA
Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2015. Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 4. Jakarta:
Salemba Empat.

23

Anda mungkin juga menyukai