Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH AGAMA ISLAM

MANAJEMEN PENGELOLAAN HARTA DALAM KELUARGA

Disusun Oleh:

KELOMPOK 4

KELAS: E S1 FARMASI

RAHMA (B1D12245)
SETI SARLINA (D1B122246)
HAPSA SOUWAKIL (D1B122241)
FHANI AISAH LOKOBAL (D1B122248)

UNIVERSITAS MEGAREZKY

MAKASSAR

2022

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang


masihmemberikan kita kesehatan, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
makalah ini Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan
besar kita, NabiMuhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua
jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah
terbesar bagiseluruh alam semesta.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah. Saya
juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Teman – teman
serta Dosen yang sudah membantu yang sudah memberikan kepercayaan kepada
saya untuk menyelesaikan tugas ini.

Penulis juga berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi


pembaca. Saya pun menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya mengharapkan
adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan kami buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Makassar, Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ............................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang ....................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................2
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3

A. Nafkah Dalam Keluarga ........................................................................ 3


B. Manajemen Finansial Keluarga ..............................................................4
C. Pembelanjaan Dan Pola Konsumsi Islami ..............................................9

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Harta dalam Islam merupakan amanah dan hak milik seseorang.


Kewenangan untuk menggunakannya terkait erat dengan adanya kemampuan
(kompetensi) dan kepantasan (integritas) dalam mengelola aset atau dalam istilah
prinsip kehati-hatian perbankan (prudential principle). Prinsip Islam mengajarkan
bahwa “Sebaik-baik harta yang shalih (baik) adalah dikelola oleh orang yang
berkepribadian shalih (amanah dan profesional).”

Hak bekerja dalam arti kebebasan berusaha, berdagang, memproduksi


barang maupun jasa untuk mencari rezki Allah secara halal merupakan hak setiap
manusia tanpa diskriminasi antara laki dan perempuan. Bila kita tahu bahwa kaum
wanita diberikan oleh Allah hak milik dan kebebasan untuk memiliki, maka sudah
semestinya mereka juga memiliki hak untuk berusaha dan mencari rezki.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji seseorang yang


mengkonsumsi hasil usahanya sendiri dengan sabdanya: “Tidaklah seseorang
mengkonsumsi makanan lebih baik dari mengkonsumsi makanan yang diperoleh
dari hasil kerja sendiri, sebab nabi Allah, Daud, memakan makanan dari hasil
kerjanya.” (HR. Bukhari). “Semoga Allah merahmati seseorang yang mencari
penghasilan secara baik, membelanjakan harta secara hemat dan menyisihkan
tabungan sebagai persediaan di saat kekurangan dan kebutuhannya.” (HR.
Muttafaq ‘Alaih).

Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki setiap muslim untuk


dapat mengelola usaha dan berusaha secara baik, mengelola dan memenej harta
secara ekonomis, efisien dan proporsional serta memiliki semangat dan kebiasaan
menabung untuk masa depan dan persediaan kebutuhan mendatang. Prinsip ini
sebenarnya menjadi dasar ibadah kepada Allah agar dapat diterima (mabrur)
karena saran, niat dan caranya baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

1
bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik-baik
saja.” (HR. Muslim).

Kesadaran akuntabilitas (ma’uliyah) dalam bidang keuangan itu yang


mencakup aspek manajemen pendapatan dan pengeluaran timbul karena
keyakinan adanya kepastian audit dan pengawasan dari Allah subhanahu wa ta’ala
seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kedua telapak kaki seorang
hamba tidak akan beranjak dari tempat kebangkitannya di hari kiamat sebelum ia
ditanya tentang empat hal, di antaranya tentang hartanya; dari mana dia
memperoleh dan bagaimana ia membelanjakan.” (HR. Tirmidzi).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Nafkah Dalam Keluarga?
2. Manajemen finansial Keluarga?
3. Pembelanjaan dan konsep pembelian Islami?

C. TUJUAN

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Nafkah dalam keluarga

Secara prinsip, fitrah kewajiban memberikan nafkah merupakan tanggung


jawab suami sehingga wajib bekerja dengan baik melalui usaha yang halal dan
wanita sebagai kaum istri bertanggung jawab mengelola dan merawat aset

keluarga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah


pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka…” (QS. An-Nisa:34).

Dengan demikian, posisi kepala rumah tangga bagi suami paralel dengan
konsekuensi memberi nafkah dan komitmen perawatan keluarganya secara lazim.
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara proporsional telah
mendudukkan posisi masing-masing bagi suami istri dalam sabdanya: “Setiap
kalian adalah pengayom dan setiap pengayom akan dimintai pertanggungjawaban
atas apa yang harus diayominya. Suami adalah pengayom bagi keluarganya dan
bertanggung jawab atas anggota keluarga yang diayominya. Istri adalah
pengayom bagi rumah tangga rumah suaminya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya…” (HR. Bukhari)

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan putrinya,


Fatimah dengan Ali radhiyallahu ‘anhuma beliau berwasiat kepada menantunya:
“Engkau berkewajiban bekerja dan berusaha sedangkan ia berkewajiban
mengurus (memenej) rumah tangga.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Jadi, sharing suami-istri dalam aspek keuangan keluarga adalah dalam


bentuk tanggung jawab suami untuk mencari nafkah halal dan tanggung jawab
istri untuk mengurus, mengelola, merawat dan memenej keuangan rumah tangga.

3
Meskipun demikian, bukan berarti suami tidak boleh memberikan bantuan
dalam pengelolaan aset dan keuangan rumah tangganya bila istri kurang mampu
atau memerlukan bantuan. Dan juga sebaliknya tidak ada larangan Syariah bagi
istri untuk membantu suami terlebih ketika kurang mampu dalam memenuhi
kebutuhan keluarga dengan cara yang halal dan baik serta tidak membahayakan
keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga selama

suami mengizinkan, bahkan hal itu akan bernilai kebajikan bagi sang istri.
Bukankah Khadijah radhiyallahu ‘anha. ikut andil dalam membantu mencukupi
kebutuhan keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. sebagai bentuk ukhuwah
dan tolong menolong dalam kebajikan. (QS.Al-Maidah:2)

Prinsip keadilan Islam menjamin bagi kaum wanita hak untuk mencari
karunia Allah (rezki) sesuai kodrat tabiatnya dan ketentuan syariat dengan niat
mencukupi diri dan keluarga untuk beribadah kepada Allah secara khusyu’.
Meskipun demikian, istri harus memiliki keyakinan bahwa tugas utama dalam
keluarganya adalah mengatur urusan rumah tangga dan mengelola keuangan
keluarga bukan mencari nafkah. Para Ahli tafsir (Mufassirin) menyimpulkan dari
surat An-Nisa: 32 : “bagi para lelaki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan
dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…”,
prinsip dasar hak dan kebebasan wanita untuk berusaha mencari rezki. Sejarah
Islam di masa Nabi telah membuktikan adanya sosial kaum wanita dalam
peperangan, praktek pengobatan dan pengurusan logistik. Di samping itu mereka
juga terlibat dalam aktivitas perniagaan dan membantu suami dalam pertanian.

B. Manajemen Finansial Keluarga

Manajemen keuangan keluarga islami harus dilandasi prinsip keyakinan


bahwa penentu dan pemberi rezki adalah Allah dengan usaha yang diniati untuk
memenuhi kebutuhan keluarga agar dapat beribadah dengan khusyu’ sehingga
memiliki komitmen dan prioritas penghasilan halal yang membawa berkah dan
menghindari penghasilan haram yang membawa petaka. Rasulullah bersabda:

4
“Barang siapa berusaha dari yang haram kemudian menyedekahkannya, maka ia
tidak mempunyai pahala dan dosa tetap di atasnya.”

Dalam riwayat lain disebutkan: “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-
Nya, tidaklah seorang hamba memperoleh penghasilan dari yang haram kemudian
membelanjakannya itu akan mendapat berkah. Jika ia bersedekah, maka
sedekahnya tidak akan diterima. Tidaklah ia menyisihkan dari penghasilan
haramnya itu kecuali akan menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah
tidak akan menghapus kejelekan dengan kejelekan, tetapi menghapus kejelekan
itu dengan kebaikan sebab kejelekan tak dapat dihapus dengan kejelekan pula.”
(HR. Ahmad)

Dan sabdanya: “Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan
bertambah kecuali neraka lebih pantas baginya.” (HR. Tirmidzi).

Seorang wanita shalihah akan selalu memberi saran kepada suaminya


ketika hendak mencari rezki, “Takutlah kamu dari usaha yang haram sebab kami
masih mampu bersabar di atas kelaparan, tetapi tidak mampu bersabar di atas api
neraka.” Demikian pula sebaliknya suami akan berwasiat kepada istrinya untuk
menjaga amanah Allah dalam mengurus harta yang dikaruniakan-Nya, agar
dibelanjakan secara benar tanpa boros, kikir maupun haram. Firman Allah yang
memuji hamba-Nya yang baik: “..Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan:67)

Dalam mencari pendapatan, Islam tidak memperkenankan seseorang untuk


ngoyo dalam pengertian berusaha di luar kemampuannya dan terlalu terobsesi
sehingga mengorbankan atau menelantarkan hak-hak yang lain baik kepada Allah,
diri maupun keluarga seperti pendidikan dan perhatian kepada anak dan keluarga.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya bagi dirimu,
keluargamu dan tubuhmu ada hak atasmu yang harus engkau penuhi, maka
berikanlah masing-masing pemilik hak itu haknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

5
Allah telah menegaskan bahwa bekerja itu hendaknya sesuai dengan batas-batas
kemampuan manusia.(QS.Al-Baqarah:286). Namun bila kebutuhan sangat banyak
atau pasak lebih besar daripada tiang maka dibutuhkan kerjasama yang baik dan
saling membantu antara suami istri dalam memperbesar pendapatan keluarga dan
melakukan efisiensi dan penghematan sehingga tiang penyangga lebih besar dari
pada pasak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu
bebani mereka dengan apa-apa yang mereka tidak sanggup memikulnya. Dan
apabila kamu harus membebani mereka di luar kemampuan, maka bantulah
mereka.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam manajemen keuangan keluarga juga tidak dapat dilepaskan dari


optimalisasi potensi keluarga termasuk anak-anak untuk menghasilkan rezki
Allah. Islam senantiasa memperhatikan masalah pertumbuhan anak dengan
anjuran agar anak-anak dilatih mandiri dan berpenghasilan sejak usia remaja di
samping berhemat agar pertumbuhan ekonomi keluarga muslim dapat berjalan
lancar yang merupakan makna realisasi keberkahan secara kuantitas maka Islam
melarang orang tua untuk memanjakan anak-anak sehingga tumbuh menjadi
benalu, tidak mandiri dan bergantung kepada orang lain. Firman Allah Swt. di
awal (QS. An-Nisa [4]:6) mengisyaratkan bahwa kita wajib mendidik dan
membiasakan anak-anak untuk cakap mengurus, mengelola dan mengembangkan
harta, sehingga mereka dapat hidup mandiri yang nantinya akan menjadi kepala
rumah tangga bagi laki-laki dan pengurus keuangan keluarga bagi perempuan, di
samping anak terlatih untuk bekerja, meringankan beban dan membantu orang
tua.

Banyak orang beranggapan bahwa manajemen keuangan keluarga


merupakan salah satu bidang yang rumit. Manajemen keuangan keluarga memang
membutuhkan pengetahuan dan kearifan dalam menjalankannya. Persoalan
manajemen keuangan keluarga ini harusnya menjadi prioritas keluarga karena
banyak sekali masalah timbul karena kurang bijaknya manajer keuangan keluarga
dalam mengelola dan mengatur keuangannya. Sebagai seorang manajer keuangan
keluarga, ada beberapa aspek yang perlu ditangani, yaitu:

6
1. Membuat dan meninjau secara perisodik prioritas keuangan keluarga.
2. Mengelola pendapatan yang terbatas secara bijak.
3. Menghitung kebutuhan proteksi serta menginvestasikan dana dalam
bentuk investasi yang sesuai.
4. Menentukan sebuah rencana pensiun.
5. Mempersiapkan dana pendidikan untuk anak-anak.
6. Belanja dengan bijak.
7. Mengajarkan anak-anak mengenai keuangan.

Ini merupakan hal-hal dasar yang sebaiknya dipikirkan dan direncanakan


oleh keluarga melalui seorang manajer keuangan keluarga, bisa ibu atau bapak
atau keduanya.

1. Mengidentifikasi dan menetapkan prioritas keuanga


2. Memikirkan dan mengembangkan sebuah rencana pencapaian.
3. Mengembangkan prosedur pelaksanaan perencanaan.
4. Tujuan dan Langkah-Langkah Manjemen Keuangan Keluarga

Adapun tujuan pengelolaan uang dalam keluarga, yaitu:

Dapat membantu memanfaatkan uang yang jumlahnya terbatas menjadi optimal.

Pengelolaan keuangan dapat membantu menetapkan penggunaan sumber daya


yang terbatas untuk kebutuhan anggota keluarga dan dibicarakan di antara
anggota keluarga.

Pengelolaan keuangan dapat mengukur seberapa besar pengeluaran untuk


kebutuhan tiap bulannya dan disesuaikan dengan jumlah penerimaan.

Pengelolaan keuangan dapat membantu untuk membatasi pengeluaran yang tidak


penting dalam kehidupan keluarga.

Adapun yang menjadi langkah-langkah manajemen keuangan keluarga, yaitu:

1. Perencanaan dengan langkah-langkah:


2. Membuat daftar kebutuhan keluarga.

7
3. Menentukan harga dan biaya setiap kebutuhan.
4. Menghitung jumlah penghasilan.
5. Keseimbangan penghasilan dan pengeluaran.
6. Membuat pembukuan rumah tangga.
7. Pelaksanaan dilakukan dengan kontrol penggunaan uang dan penyesuaian
penggunaan uang.
8. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah rencana yang telah dibuat
dapat dilaksanakan.
9. Manajemen Keuangan Keluarga Islami

Harta dalam Islam merupakan amanah dan hak milik seseorang.


Kewenangan untuk menggunakannya terkait erat dengan adanya kemampuan
(kompetensi) dan kepantasan (integritas) dalam mengelola aset atau dalam istilah
prinsip kehati-hatian perbankan (prudential principle). Prinsip Islam mengajarkan
bahwa “sebaik-baik harta yang shalih (baik) adalah dikelola oleh orang yang
berkepribadian shalih (amanah dan profesional).

Hak bekerja dalam arti kebebasan berusaha, berdagang, maupun


memproduksi barang maupun jasa untuk mencari rezeki Allah secara halal
merupakan hak setiap manusia tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki setiap muslim untuk dapat
mengelola usaha dan berusaha secara baik, mengelola dan memanajemen harta
secara ekonomis, efesien dan proporsional serta memiliki semangat dan kebiasaan
menabung untuk masa depan.

Manajemen keuangan keluarga Islami harus dilandasi prinsip keyakinan


bahwa penentu dan pemberi rezeki adalah Allah SWT. dengan usaha yang diniati
untuk memenuhi kebutuhan keluarga agar dapat beribadah dengan khusyu
sehingga memiliki komitmen dan prioritas penghasilan halal yang membawa
berkah dan menghindari penghasilan haram yang membawa petaka.

Syariat Islam mengajarkan beberapa aturan yang mengatur pembelanjaan


keluarga muslim, diantaranya secara garis besar adalah:

8
1. Komitmen pembelanjaan dan pemenuhan kebutuhan dana adalah
kewajiban suami.
2. Kewajiban menafkahi orang tua yang membutuhkan.
3. Istri boleh membantu keuangan suami.
4. Istri bertanggung jawab mengatur keuangan rumah tangga.
5. Istri berkewajiban untuk hemat dan ekonomis.
6. Seimbang antara pendapatan dan pengeluaran.

C. Pembelanjaan Dan Pola Konsumsi Islami

Pengeluaran atau pembelanjaan adalah mengelola harta yang halal untuk


mendapatkan manfaat material ataupun spiritual sehingga membantu para anggota
keluarga dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini terdapat beberapa jenis
pembelanjaan yang bermanfaat bagi generasi yang akan datang, dan pembelanjaan
dengan jalan baik (amal shaleh) untuk mendapatkan pahala di akhirat, seperti
zakat dan sedekah.

Syariat Islam mengajarkan beberapa aturan yang mengatur pembelanjaan


keluarga muslim, di antaranya secara garis besar adalah:

1. Komitmen pembelanjaan dan pemenuhan kebutuhan dana adalah


kewajiban suami.

Suami bertanggung jawab mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya


sesuai dengan kebutuhan dan batas-batas kemampuannya. Allah berfirman:
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta
yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq [65]:7)

9
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “barang siapa yang
menafkahkan hartanya untuk istri, anak dan penghuni rumah tangganya, maka
ia telah bersedekah.” (HR. Thabrani).

Hadits ini mengisyaratkan bahwa pemenuhan kebutuhan dana atau


pembelanjaan untuk anggota keluarga itu akan berubah dari bentuk
pengeluaran yang bersifat material (nafkah) menjadi pengeluaran yang bersifat
spiritual ibadah (infaq) yang membawa pahala dari Allah. Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda dalam Haji Wada’: Ayomilah kaum wanita (para
istri) karena Allah, sebab mereka adalah mitra penolong bagimu. Kamu telah
memperistri mereka dengan amanah Allah dan kemaluan mereka menjadi
halal bagimu dengan kalimat Allah. Kamu berhak melarang mereka untuk
membiarkan orang yang engkau benci memasuki kediamanmu. Mereka berhak
atasmu untuk dipenuhi kebutuhan nafkah dan pakaian secara lazim.”

Menjawab pertanyaan seorang sahabat tentang kewajiban suami terhadap


istrinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia memberinya
makan ketika dia makan dan memberinya pakaian ketika ia berpakaian, serta
janganlah dia meninggalkannya kecuali sekadar pisah ranjang dalam rumah. Ia
tidak boleh memukul wajahnya dan menjelek-jelekkannya.” Hindun binti
Utbah, istri Abu Sufyan pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan bercerita bahwa Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit, “ia
tidak pernah memberiku dan anak-anakku nafkah secara cukup. Oleh karena
itu aku pernah mencuri harta miliknya tanpa sepengetahuannya.” Lalu rasul
bersabda: “Ambillah dari hartanya dengan ma’ruf (baik-baik) sebatas apa yang
dapat mencukupimu dan anakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang sahabat bercerita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bahwa dia mempunyai uang satu dinar. Rasulullah bersabda: “Bersedekahlah
dengannya untuk dirimu, kemudian sahabat itu bertanya, ‘bagaimana jika aku
mempunyai sesuatu yang lain?’ rasul menjawab, ‘bersedekahlah dengannya
untuk istrimu.’ Kemudian ia bertanya lagi, ‘dan bagaimana jika aku

10
mempunyai sesuatu yang lain?’ Rasul menjawab, ‘bersedekahlah dengannya
untuk pelayanmu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

2. Kewajiban menafkahi orang tua yang membutuhkan.

Di antara kewajiban anak adalah memberi nafkah kepada orang tuanya


yang sudah lanjut usia (jompo) sebagai salah satu bentuk berbuat baik kepada
orang tua, seperti diisyaratkan Al-Qur’an: “Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra:23). Rasul bersabda:
“Kedua orang tua itu boleh makan dari harta anaknya secara ma’ruf (baik) dan
anak tidak boleh memakan harta kedua orang tuanya tanpa seizin mereka.”
(HR. Dailami).

Menurut Ibnu Taimiyah, seorang anak yang kaya wajib menafkahi bapak,
ibu dan saudara-saudaranya yang masih kecil. Jika anak itu tidak
melaksanakan kewajibannya, berarti ia durhaka terhadap orang tuanya dan
berarti telah memutuskan hubungan kekerabatan. Selain itu, suami dan istri
harus percaya bahwa memberi nafkah kepada kedua orang tua adalah suatu
kewajiban seperti halnya membayar utang kedua orang tua yang bersifat
mengikat dan bukan sekadar sukarela. Hal itu tidak sama dengan memberikan
sedekah kepada kerabat yang membutuhkan yang sifatnya kebajikan.

3. Istri Boleh Membantu Keuangan Suami.

Jika seorang suami tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya


karena fakir, istri boleh membantu suaminya dengan cara bekerja atau
berdagang. Hal itu merupakan salah satu bentuk ta’awun ‘ala birri wat taqwa
(saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) yang dianjurkan
Islam. Selain itu, istri pun boleh memberikan zakat hartanya kepada suaminya
yang fakir atau memberi pinjaman kepada suami apabila suami tidak termasuk
fakir yang berhak menerima zakat.

11
4. Istri Bertanggung Jawab Mengatur Keuangan Rumah Tangga

Telah dijelaskan bahwa suami wajib berusaha dan bekerja dari harta yang
halal dan istri bertanggung jawab mengatur belanja dan konsumsi keluarga
dalam koridor mewujudkan lima tujuan syariat Islam, yaitu dalam rangka
memelihara agama, akal, kehormatan, jiwa dan harta. Sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Istri adalah pengayom bagi rumah tangga
suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang
diayominya…” (HR. Bukhari). “Bila seorang istri menyedekahkan makanan
rumah tanpa efek yang merusak kebutuhan keluarga, maka dia mendapat
pahala dari amalnya. Demikian pula suami mendapatkan pahala dari hasil
usahanya, demikian pula pelayan mendapatkan bagian pahala tanpa
mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Tahbrani).

5. Istri berkewajiban untuk hemat dan ekonomis.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan jatuh


miskin orang yang berhemat”. (HR. Ahmad). Selain itu ia harus realistis
menerima apa yang dimilikinya (qana’ah). Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezki cukup
dan menerima apa yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

6. Seimbang Antara Pendapatan dan Pengeluaran yang Bermanfaat.

Istri tidak boleh membebani suami dengan beban kebutuhan dana di luar
kemampuannya. Ia harus dapat mengatur pengeluaran rumah tangganya
seefisien mungkin menurut skala prioritas sesuai dengan penghasilan dan
pendapatan suami, tidak boros dan konsumtif. (QS. Al-Baqarah:236, 286)

Abu bakar pernah berkata: “Aku membenci penghuni rumah tangga yang
membelanjakan atau menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari
saja.”

Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik .


Islam juga menganjurkan agar hasil usahanya dikeluarkan untuk tujuan yang

12
baik dan bermanfaat. Keluarga muslim dalam mengelola pembelanjaan, harus
berprinsip pada pola konsumsi islami yaitu berorientasi kepada kebutuhan
(need) di samping manfaat (utility) sehingga hanya akan belanja apa yang
dibutuhkan dan hanya akan membutuhkan apa yang bermanfaat. (QS. Al-
Baqarah:172, Al-Maidah:4, Al-A’raf:32). Dalam berumah tangga, suami-istri
hendaknya memiliki konsep bahwa pembelanjaan hartanya akan berpahala
jika dilakukan untuk hal-hal yang baik dan sesuai dengan perintah agama.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya tidaklah kamu
menafkahkan suatu nafkah dengan ikhlas karena Allah kecuali kamu
mendapat pahala darinya.” (Muttafaq ‘Alaih).

7. Skala Prioritas Pengeluaran (Perlu/Needs Vs Ingin/Wants)

Islam mengajarkan agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih


mengutamakan pembelian kebutuhan-kebutuhan pokok sehingga sesuai
dengan tujuan syariat. Ada tiga jenis kebutuhan rumah tangga, yaitu:

a Kebutuhan primer, yaitu nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang


diperkirakan dapat mewujudkan lima tujuan syariat (memelihara jiwa,
akal, agama, keturunan dan kehormatan). Kebutuhan ini meliputi
kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman,
pengetahuan dan pernikahan.
b Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan untuk memudahkan hidup agar jauh
dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan
primer terpenuhi. Kebutuhan ini pun masih berhubungan dengan lima
tujuan syariat.
c kebutuhan pelengkap, yaitu kebutuhan yang dapat menambah kebaikan
dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini
bergantung pada kebutuhan primer dan sekunder dan semuanya berkaitan
dengan tujuan syariat.

13
Prioritas konsumsi dan pembelanjaan ini juga terkait dengan prioritas
hak-hak yaitu hak terhadap diri (keluarga), Allah (agama), orang lain. Orang
lain juga diukur menurut kedekatan nasab dan rahim, yang paling utama
adalah orang tua kemudian saudara. (QS.Al-Anfal:75) Aplikasi aturan-aturan
di atas menuntut peran ibu rumah tangga untuk memperhitungkan
pengeluaran rumah tangga secara bulanan berdasarkan tiga kebutuhan di atas,
dengan tetap menyesuaikannya dengan pendapatan, sehingga rumah tangga
muslim terhindar dari masalah-masalah perekonomian yang ditimbulkan atau
sikap boros untuk hal yang bukan primer.

Islam mengharamkan pengeluaran yang berlebih-lebihan dan bermewah-


mewahan karena dapat mengundang kerusakan dan kebinasaan. Allah
berfirman: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (suatu
mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu,
maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami),
kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra’:16).

Selain itu, bergaya hidup mewah merupakan salah satu sifat orang-orang
yang kufur terhadap nikmat Allah. Firman-Nya: “Pemuka-pemuka yang kafir
di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak)
dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia…” (QS.
Al-Mu’minun:33). Nabi juga sangat membenci gaya hidup mewah: “Makan,
minum dan berpakaianlah sesukamu, sebab yang membuat kamu berbuat
kesalahan itu dua perkara: bergaya hidup mewah dan berprasangka buruk.”
(HR. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas).

8. Bersikap Pertengahan dalam Pembelanjaan.

Islam mengajarkan sikap pertengahan dalam segala hal termasuk dalam


manajemen pembelanjaan, yaitu tidak berlebihan dan tidak pula kikir atau
terlalu ketat. Sikap berlebihan adalah sikap hidup yang dapat merusak jiwa,
harta dan masyarakat, sementara kikir adalah sikap hidup yang dapat

14
menimbun, memonopoli dan menganggurkan harta. Kedua pola ekstrim dalam
konsumsi itu memiliki mendekati sifat mubadzir. Firman Allah:

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak


berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqon :67) “Dan janganlah
kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS.
Al-Isra:29) “dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan
dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (QS. Al-Isra’: 26-27)
Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah akan memberikan rahmat
kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakan dengan
pertengahan dan dapat menyisihkan kelebihan untuk menjaga pada hari ia
miskin dan membutuhkannya.” (HR. Ahmad). “Tidak akan miskin orang yang
bersikap pertengahan dalam pengeluaran.” (HR. Ahmad).

Jika pembelanjaan kita telah sesuai dengan aturan-aturan Islam, Allah


akan memajukan usaha kita serta melipatgandakan pahala dan berkah-Nya.
Bahkan Allah akan memberikan kelebihan hasil usaha agar kita dapat
menyimpan dan menabungnya untuk menjaga datangnya hal-hal yang tidak
terduga atau untuk menjaga kelangsungan hidup generasi yang akan datang.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan dan Saran

Memanege keuangan keluarga berarti mengelola semua pendapatan atau


penerimaan baik penerimaan rutin (continue) maupun penerimaan insedentil
(intermeten) dan pengeluaran rutin (continue) dan pengeluaran insedentil
( intermeten).

Kesinambungan kehidupan keluarga menuju keharmonisan menjadi suatu


keniscayaan bagi terwujudnya keluarga sakinah. Di antara faktor penting yang
menjadi penunjang adalah pemahaman keluarga terhadap manajemen keuangan
yang tepat. Masih cukup banyak kondisi keluarga yang rentan gejolak yang
diakibatkan ekonomi rumah tangga.

Dengan adanya pemahaman yang baik tentang laporan keuangan keluarga,


didukung oleh perencanaan yang baik, pembagian tugas dengan pasangan dan
usaha mensiasati pengeluaran ekstra maka rumah tangga dapat melalui masalah-
masalah keuangan keluarga dengan solusi yang benar. Hal terpenting adalah
saling keterbukaan serta menjalani kehidupan keluarga dengan tanggung jawab
bersama

16
DAFTAR PUSTAKA

Rodhiyah, “Manajemen Keuangan Keluarga Guna Menuju Keluarga Sejahtera,”


FORUM: Majalah Pengembangan Ilmu Sosial, vol. 40, no. 1. pp. 28–33,
2012.

https://pengusahamuslim.com/3631-mengelola-keuangan-rumah-tangga-yang-
1850.html

https://www.syariahpedia.com/2017/10/manajemen-pengelolaan-harta-
keluarga.html

17

Anda mungkin juga menyukai