Disusun Oleh:
KELOMPOK 4
KELAS: E S1 FARMASI
RAHMA (B1D12245)
SETI SARLINA (D1B122246)
HAPSA SOUWAKIL (D1B122241)
FHANI AISAH LOKOBAL (D1B122248)
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2022
i
KATA PENGANTAR
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah. Saya
juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Teman – teman
serta Dosen yang sudah membantu yang sudah memberikan kepercayaan kepada
saya untuk menyelesaikan tugas ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL ............................................................................................................ i
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik-baik
saja.” (HR. Muslim).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Nafkah Dalam Keluarga?
2. Manajemen finansial Keluarga?
3. Pembelanjaan dan konsep pembelian Islami?
C. TUJUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dengan demikian, posisi kepala rumah tangga bagi suami paralel dengan
konsekuensi memberi nafkah dan komitmen perawatan keluarganya secara lazim.
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara proporsional telah
mendudukkan posisi masing-masing bagi suami istri dalam sabdanya: “Setiap
kalian adalah pengayom dan setiap pengayom akan dimintai pertanggungjawaban
atas apa yang harus diayominya. Suami adalah pengayom bagi keluarganya dan
bertanggung jawab atas anggota keluarga yang diayominya. Istri adalah
pengayom bagi rumah tangga rumah suaminya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya…” (HR. Bukhari)
3
Meskipun demikian, bukan berarti suami tidak boleh memberikan bantuan
dalam pengelolaan aset dan keuangan rumah tangganya bila istri kurang mampu
atau memerlukan bantuan. Dan juga sebaliknya tidak ada larangan Syariah bagi
istri untuk membantu suami terlebih ketika kurang mampu dalam memenuhi
kebutuhan keluarga dengan cara yang halal dan baik serta tidak membahayakan
keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga selama
suami mengizinkan, bahkan hal itu akan bernilai kebajikan bagi sang istri.
Bukankah Khadijah radhiyallahu ‘anha. ikut andil dalam membantu mencukupi
kebutuhan keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. sebagai bentuk ukhuwah
dan tolong menolong dalam kebajikan. (QS.Al-Maidah:2)
Prinsip keadilan Islam menjamin bagi kaum wanita hak untuk mencari
karunia Allah (rezki) sesuai kodrat tabiatnya dan ketentuan syariat dengan niat
mencukupi diri dan keluarga untuk beribadah kepada Allah secara khusyu’.
Meskipun demikian, istri harus memiliki keyakinan bahwa tugas utama dalam
keluarganya adalah mengatur urusan rumah tangga dan mengelola keuangan
keluarga bukan mencari nafkah. Para Ahli tafsir (Mufassirin) menyimpulkan dari
surat An-Nisa: 32 : “bagi para lelaki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan
dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…”,
prinsip dasar hak dan kebebasan wanita untuk berusaha mencari rezki. Sejarah
Islam di masa Nabi telah membuktikan adanya sosial kaum wanita dalam
peperangan, praktek pengobatan dan pengurusan logistik. Di samping itu mereka
juga terlibat dalam aktivitas perniagaan dan membantu suami dalam pertanian.
4
“Barang siapa berusaha dari yang haram kemudian menyedekahkannya, maka ia
tidak mempunyai pahala dan dosa tetap di atasnya.”
Dalam riwayat lain disebutkan: “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-
Nya, tidaklah seorang hamba memperoleh penghasilan dari yang haram kemudian
membelanjakannya itu akan mendapat berkah. Jika ia bersedekah, maka
sedekahnya tidak akan diterima. Tidaklah ia menyisihkan dari penghasilan
haramnya itu kecuali akan menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah
tidak akan menghapus kejelekan dengan kejelekan, tetapi menghapus kejelekan
itu dengan kebaikan sebab kejelekan tak dapat dihapus dengan kejelekan pula.”
(HR. Ahmad)
Dan sabdanya: “Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan
bertambah kecuali neraka lebih pantas baginya.” (HR. Tirmidzi).
5
Allah telah menegaskan bahwa bekerja itu hendaknya sesuai dengan batas-batas
kemampuan manusia.(QS.Al-Baqarah:286). Namun bila kebutuhan sangat banyak
atau pasak lebih besar daripada tiang maka dibutuhkan kerjasama yang baik dan
saling membantu antara suami istri dalam memperbesar pendapatan keluarga dan
melakukan efisiensi dan penghematan sehingga tiang penyangga lebih besar dari
pada pasak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu
bebani mereka dengan apa-apa yang mereka tidak sanggup memikulnya. Dan
apabila kamu harus membebani mereka di luar kemampuan, maka bantulah
mereka.” (HR. Ibnu Majah).
6
1. Membuat dan meninjau secara perisodik prioritas keuangan keluarga.
2. Mengelola pendapatan yang terbatas secara bijak.
3. Menghitung kebutuhan proteksi serta menginvestasikan dana dalam
bentuk investasi yang sesuai.
4. Menentukan sebuah rencana pensiun.
5. Mempersiapkan dana pendidikan untuk anak-anak.
6. Belanja dengan bijak.
7. Mengajarkan anak-anak mengenai keuangan.
7
3. Menentukan harga dan biaya setiap kebutuhan.
4. Menghitung jumlah penghasilan.
5. Keseimbangan penghasilan dan pengeluaran.
6. Membuat pembukuan rumah tangga.
7. Pelaksanaan dilakukan dengan kontrol penggunaan uang dan penyesuaian
penggunaan uang.
8. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah rencana yang telah dibuat
dapat dilaksanakan.
9. Manajemen Keuangan Keluarga Islami
8
1. Komitmen pembelanjaan dan pemenuhan kebutuhan dana adalah
kewajiban suami.
2. Kewajiban menafkahi orang tua yang membutuhkan.
3. Istri boleh membantu keuangan suami.
4. Istri bertanggung jawab mengatur keuangan rumah tangga.
5. Istri berkewajiban untuk hemat dan ekonomis.
6. Seimbang antara pendapatan dan pengeluaran.
9
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “barang siapa yang
menafkahkan hartanya untuk istri, anak dan penghuni rumah tangganya, maka
ia telah bersedekah.” (HR. Thabrani).
10
mempunyai sesuatu yang lain?’ Rasul menjawab, ‘bersedekahlah dengannya
untuk pelayanmu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Menurut Ibnu Taimiyah, seorang anak yang kaya wajib menafkahi bapak,
ibu dan saudara-saudaranya yang masih kecil. Jika anak itu tidak
melaksanakan kewajibannya, berarti ia durhaka terhadap orang tuanya dan
berarti telah memutuskan hubungan kekerabatan. Selain itu, suami dan istri
harus percaya bahwa memberi nafkah kepada kedua orang tua adalah suatu
kewajiban seperti halnya membayar utang kedua orang tua yang bersifat
mengikat dan bukan sekadar sukarela. Hal itu tidak sama dengan memberikan
sedekah kepada kerabat yang membutuhkan yang sifatnya kebajikan.
11
4. Istri Bertanggung Jawab Mengatur Keuangan Rumah Tangga
Telah dijelaskan bahwa suami wajib berusaha dan bekerja dari harta yang
halal dan istri bertanggung jawab mengatur belanja dan konsumsi keluarga
dalam koridor mewujudkan lima tujuan syariat Islam, yaitu dalam rangka
memelihara agama, akal, kehormatan, jiwa dan harta. Sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Istri adalah pengayom bagi rumah tangga
suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang
diayominya…” (HR. Bukhari). “Bila seorang istri menyedekahkan makanan
rumah tanpa efek yang merusak kebutuhan keluarga, maka dia mendapat
pahala dari amalnya. Demikian pula suami mendapatkan pahala dari hasil
usahanya, demikian pula pelayan mendapatkan bagian pahala tanpa
mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Tahbrani).
Istri tidak boleh membebani suami dengan beban kebutuhan dana di luar
kemampuannya. Ia harus dapat mengatur pengeluaran rumah tangganya
seefisien mungkin menurut skala prioritas sesuai dengan penghasilan dan
pendapatan suami, tidak boros dan konsumtif. (QS. Al-Baqarah:236, 286)
Abu bakar pernah berkata: “Aku membenci penghuni rumah tangga yang
membelanjakan atau menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari
saja.”
12
baik dan bermanfaat. Keluarga muslim dalam mengelola pembelanjaan, harus
berprinsip pada pola konsumsi islami yaitu berorientasi kepada kebutuhan
(need) di samping manfaat (utility) sehingga hanya akan belanja apa yang
dibutuhkan dan hanya akan membutuhkan apa yang bermanfaat. (QS. Al-
Baqarah:172, Al-Maidah:4, Al-A’raf:32). Dalam berumah tangga, suami-istri
hendaknya memiliki konsep bahwa pembelanjaan hartanya akan berpahala
jika dilakukan untuk hal-hal yang baik dan sesuai dengan perintah agama.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya tidaklah kamu
menafkahkan suatu nafkah dengan ikhlas karena Allah kecuali kamu
mendapat pahala darinya.” (Muttafaq ‘Alaih).
13
Prioritas konsumsi dan pembelanjaan ini juga terkait dengan prioritas
hak-hak yaitu hak terhadap diri (keluarga), Allah (agama), orang lain. Orang
lain juga diukur menurut kedekatan nasab dan rahim, yang paling utama
adalah orang tua kemudian saudara. (QS.Al-Anfal:75) Aplikasi aturan-aturan
di atas menuntut peran ibu rumah tangga untuk memperhitungkan
pengeluaran rumah tangga secara bulanan berdasarkan tiga kebutuhan di atas,
dengan tetap menyesuaikannya dengan pendapatan, sehingga rumah tangga
muslim terhindar dari masalah-masalah perekonomian yang ditimbulkan atau
sikap boros untuk hal yang bukan primer.
Selain itu, bergaya hidup mewah merupakan salah satu sifat orang-orang
yang kufur terhadap nikmat Allah. Firman-Nya: “Pemuka-pemuka yang kafir
di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak)
dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia…” (QS.
Al-Mu’minun:33). Nabi juga sangat membenci gaya hidup mewah: “Makan,
minum dan berpakaianlah sesukamu, sebab yang membuat kamu berbuat
kesalahan itu dua perkara: bergaya hidup mewah dan berprasangka buruk.”
(HR. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas).
14
menimbun, memonopoli dan menganggurkan harta. Kedua pola ekstrim dalam
konsumsi itu memiliki mendekati sifat mubadzir. Firman Allah:
15
BAB III
PENUTUP
16
DAFTAR PUSTAKA
https://pengusahamuslim.com/3631-mengelola-keuangan-rumah-tangga-yang-
1850.html
https://www.syariahpedia.com/2017/10/manajemen-pengelolaan-harta-
keluarga.html
17