Anda di halaman 1dari 16

TEKNIK SAMPLING, PENGAWETAN DAN IDENTIFIKASI FITOPLANKTON

2.1. Definisi Plankton

Plankton didefinisikan semua jasad hidup nabati (tumbuhan) dan hewani (hewan) yang hidup
bebas di perairan dengan kemampuan gerak terbatas sehingga sebagian besar gerakannya secara
pasif mengikuti pergerakan arus air (Newell and Newell. 1963). Menurut Asriyana et al (2012),
plankton berbeda dengan nekton yang dapat berenang cukup kuat sehingga dapat melawan gerakan
massa air. Plankton juga memiliki perbedaan dengan bentos yang terdiri dari organisme yang
hidup di dasar perairan.

Sedangkan menurut Romimohtarto et al. (2001), plankton adalah biota yang hidup di mintakat
pelagik dan mengapung, menghanyut atau berenang sangat lemah, artinya mereka tak dapat
melawan arus. Plankton ini terdiri dari fitoplankton (phytoplankton) atau tumbuh-tumbuhan/
plankton nabati dan zooplankton atau plankton hewan. Di dalam kelompok fitoplankton terutama
adalah diatom, dinoflagellata, coccolithophore, cyanophyceae dan chlorophyceae. Sedangkan ke
dalam kelompok plankton hewan dimasukkan jutaan zooplankton mulai dari Filum Protozoa
sampai Filum Chordata.

2.2. Pengelompokkan Plankton

a) Berdasarkan Ukuran

Berdasarkan ukurannya, Arinardi et al. (1997) menggolongkan plankton ke dalam beberapa


kelompok. Walaupun pembagian ini secara artifitial, akan tetapi penting dalam penelitian jaringan
pakan komunitas plankton dan dalam melakukan pengambilan sampel plankton. Berdasarkan
ukuran, plankton terbagi atas plankton non-net dan plankton net. Plankton non net adalah
plankton yang diambil dengan botol air (Nansen atau niskin botol) , sedangkan plankton net
merupakan plankton yang tertangkap oleh jaring Pengelompokkan plankton berdasarkan
ukurannya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pengelompokkan Plankton Berdasarkan Ukuran

Kelompok Ukuran Biota Utama

A. Plankton non-net*)

1. Ultra nanopalnkton 2 µm Bakteria

2. Nanoplankton 2-20 µm Fungi, Flagellata dan diatom kecil

3. Micropalnkton 20-200 µm Sebagian besar fitoplankton,


foraminifera, cilliata, rotifera dan
nauplius copepoda

B. Plankton net *)

1. Mesoplankton 0,20-200 mm Cladocera, copepoda dan larvaceae

2. Macroplankton 2-20 mm Pteropoda, copepoda, euphausiid dan


chaetognatha

3. Mikronekton 20-200 mm Cephalopoda, euphausiid, sargestid


dan myctophid

4. Megaloplankton 20-200 mm Scyphozoa dan Thaliacea

Sumber: Omori and Ikeda (1984) dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) (1997).

Perbedaan antara mikronekton dan megaloplankton bukan didasarkan atas ukurannya


melainkan pada struktur tubuhnya. Mikronekton merupakan biota bertulang belakang atau rangka
luar (eksoskeleton) seperti ikan dan crustacea, sedangkan megaloplankton mmepunyai tubuh lunak
dan kenyal seperti salpa dan ubur-ubur.

Sedangkan menurut Wiadnyana dan Wagey (2004) dalam Asriyana et al (2012), plankton
dibedakan menjadi :
1. Megaplankton : hewan berukuran besar dengan kemampuan gerak

terbatas, misalnya ubur-ubur.

2. Makroplankton : plankton yang dapat dilihat degan mata telanjang

(1 mm – 10 mm).

3. Mikroplankton : plankton dengan ukuran 0,075 mm sampai <1 mm.

4. Nanoplankton : plankton dengan ukuran 5 µm sampai < 0,075 mm.

5. Ultraplankton : plankton terkecil dengan ukuran di bawah 5 µm.

b) Berdasarkan Habitat

Berdasarkan habitat atau tempat hidupnya, Omori and Ikeda (1984) membagi plankton menjadi
plankton bahari atau haliplankton dan plankton air tawar atau limnoplankton :

1. Plankton bahari (Haliplankton)

a. Plankton oseanik : plankton yang hidup di luar paparan benua.

b. Plankton neritik : plankton yang hidup di atas paparan benua (mulut

sungai, perairan pantai dan perairan lepas pantai).

c. Plankton air payau : plankton yang hidup di perairan salinitas rendah

(0,5-30,0 ‰).

2. Plankton air tawar (Limnoplankton)

Limnoplankton termasuk semua plankton yang hidup di perairan dengan salinitas kurang dari
0,5 ‰.

c) Berdasarkan Daur Hidup


Berdasarkan daur hidupnya plankton dibedakan menjadi plankton tetap dan plankton
sementara.

1. Plankton tetap (Holoplankton)

Di dalam kelompok ini, seluruh daur hidup biota dilalui sebagai plankton. Artinya, jika larva
tersebut berasal dari induknya yang planktonik, maka apabila larva tersebut bermetamorfosis
menjadi hewan muda dan kemudian menjadi hewan dewasa, ia akan tetap hidup sebagai plankton.
Dengan kata lain, holoplankton merupakan biota laut yang hidup sebagai plankton dari lahir
sampai mati.

2. Plankton sementara (Meroplankton)

Kehidupan plankton dari kelompok ini hanya terjadi pada awalnya yaitu pada stadia telur dan
larva/juwana , karena setelah dewasa mereka akan menetap di dasar laut sebagai bentos atau
berenang bebas sebagai nekton. Contoh dari kelompok ini ialah berbagai jenis ikan (nekton), cumi
dan kerang-kerangan (Romimohtarto dan Sri Juwana. 2001).

2.3. Fitoplankton

Fitoplankton merupakan nama umum untuk plankton tumbuhan atau plankton nabati yang terdiri
dari beberapa kelas yaitu, Cyanophyceae, Rhodophyceae, Bacillariphyceae, Cryptophyceae,
Dynophyceae, Crysophyceae, Haptophyceae, Raphidiophyceae, Xanthophyceae,
Eustigmatophyceae, Euglenophyceae, Prasinophyceae dan Chlorophyceae. Dari ketiga belas kelas
fitoplankton tersebut, dalam komunitas fitoplankton di laut hanya empat kelas di antaranya
merupakan kelas terpenting yaitu Bacillariophyceae, Dynophyceae, Haptophyceae dan
Cryptophyceae.

Diatom (Bacillariophyceae) dan Dinoflagellata (Dinophyceae) merupakan anggota utama


fitoplankton dan terdapat di seluruh perairan laut, baik perairan pantai maupun perairan oseanik.
Sementara Coccolithophor (Haptophyceae) lebih sering hidup di perairan oseanik, Cryptophyceae
di perairan pantai dan Chlorophyceae sering melimpah di perairan tropis (Arinardi et al. 1997).

a. Diatom (Kelas Bacillariophyceae)

Ganggang ini disebut juga golden-brown algae karena kandungan pigmen warna kuning lebih
banyak daripada pigmen warna hijau seinga perairan yang padat diatomnya akan terlihat agak
coklat muda. Diatom merupakan anggota fitoplankton paling dominan di laut, terutama di laut
terbuka dan ukurannya berkisar 0,01-1,00 mm. Bentuk diatom dapat berupa sel tunggal atau
rangkaian sel panjang. Setiap sel dilindungi oleh silika dan menyerupai kotak.

Perkembangbiakan dilakukan dengan pembelahan sel sederhana (binary cell division). Beberapa
jenis diatom yang hidup di pantai dapat membentuk spora. Pembentuka spora ini dilakukan apabila
kondisi lingkungan tidak menguntungkan bagi kehidupannya. Kecepatan pembelahan sel diatom
tergantung kepada kondisi lingkungan dan jenis diatomnya. Sel diatom di perairan tropis dapat
lebih cepat melakukan pembelahan. Umur diatom sendiri tidak diketahui secara pasti, namun
diatom akan mati karena beberapa hal seperti perubahan musim, dimakan herbivor (misalnya
zooplankton), kekurangan zat hara atau tenggelam ke bawah lapisan air yang tidak tertembus
cahaya matahari.

Diatom merupakan produsen primer terbanyak dan terdapat di semua bagian lautan, tetapi teramat
melimpah di daerah permukaan massa air. Jenis diatom yang umum dijumpai di perairan lepas
pantai Indonesia antara lain adalah Chaetoceros sp, Rhizosolenia sp, Thalassiothrix sp
dan Bacteriastrum sp. Sedangkan di perairan pantai atau mulat sungai biasanya banyak
terdapat Skeletonema sp. dan kadang-kadang Coscinodiscus sp. Diduga
kelimpahan Skeletonema ini dikarenakan ia dapat memanfaatkan kadar zat hara lebih cepat
daripada diatom lainnya (Romimohtarto dan Sri Juwana. 2001).

b. Dinoflagellata (Kelas Dinophyceae)

Plankton ini cukup unik karena mempunyai sifat tumbuhan dan sifat hewan. Dikatakan tumbuhan,
karena Dinoflagellata menyerap zat hara dan membentuk makanannya sendiri. Sebaliknya
dimasukkan ke dalam golongan hewan yaitu Protozoa (hewan bersel tunggal) karena dapat
memangsa biota lainnya. Dinoflagellata umumnya berwarna coklat muda dan mempunyai dua
bulu cambuk (flagel) yang dapat digunakan untuk bergerak. Dinoflagellata memperbanyak diri
dengan pembelahan biasa.

Genus Dinoflagellata yang umum dijumpai di laut, antara


lain Noctiluca, Ceratium, Peridinium dan Dinophysis. Ledakan populasi jenis-jenis Dinoflagellata
tertentu (seperti Pyrodinium, Gymnodinium dan Gonyaulax) dapat menyebabkan red tide yaitu
peristiwa munculnya populasi fitoplankton secara tiba-tiba sehingga air berwarna merah atau
coklat-merah dan mengeluarkan zat beracun (Arinardi et al. 1997).

c. Coccolithophor (Haptophyceae)

Ganggang ini bersel tunggal dan ukurannya termasuk dalam kisaran nanoplankton (0,005-0,075
mm). Di perairan tropis, fitoplankton ini sering didapatkan dalam jumlah besar sehingga
peranannya dianggap penting. Ada pula jenis Coccolithophor yang bercambuk tetapi sukar
diawetkan dan dipelajari secara taksonomis. Salah satu contoh dari kelompok ini ialah Phaecyctis
pouchetii yang mempunyai sebaran luas tetapi jumlah yang besar biasanya ditemukan di perairan
dingin. Jenis fitoplankton ini dapat mengeluarkan racun asam akrilik (Acrylic acid) (Arinardi et
al. 1997).

d. Ganggang hijau-biru (Blue-green algae, Kelas Cyanophyceae)

Ganggang hijau-biru ini umumnya terdapat di perairan pantai dan perairan payau. Salah satu jenis
yang dapat hidup di perairan miskin akan zat hara adalah Trichodesmium. Ganggang ini bersel
tunggal dengan ukuran hanya 0,001 mm, tersebar luas dan cukup banyak serta diduga merupakan
makanan zooplankton kecil. Selnya lunak dan kaya akan pigmen pikoeretrin sehingga berwarna
kemerahan. Gerombolan Trichodesmium umum dijumpai di Laut Jawa dan Samudera Hindia,
terkadang hanyut beberapa kilometer sejajar pantai (Romimohtarto dan Sri Juwana. 2001).

e. Ganggang hijau (Green-coloured algae, Kelas Chlorophyceae)

Ganggang ini berwarna hijau biasa atau hijau cerah, sering terlihat blooming di estuari atau
perairan tertutup tetapi sangat sedikit di laut terbuka. Jenisnya da yang berflagel dan ada pula yang
tidak. Umumnya berukuran nano atau ultraplankton (kurang dari 0,005 mm), pembelahan
dilakukan seperti biasa. Salah satu contoh ganggang ini adalah Chlorella (diameter 0,005 mm).
Ganggang ini biasanya melimpah di perairan yang relatif tenang seperti danau dan tambak.

Jika terjadi ledakan populasi, air akan berlendir, kotor atau membentuk suatu lapisan di permukaan
air. Kematian dan pembusukan ganggang hijau ini dapat menyebabkan kondisi perairan semakin
buruk. Chlorella sp. dapat mengeluarkan zat kimia yang menghambat pertumbuhan fitoplankton
jenis lain sehingga hanya Chlorella yang tetap sumbuh dengan subur (Arinardi et al. 1997).
2.4.Sampling Plankton

Menurut Mustafa (2000) sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika
tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan diteliti. Agar hasil
penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya dalam artian masih bisa
mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan sampelnya harus dilakukan secara seksama.
Cara pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik sampling atau teknik pengambilan sampel.

Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik
populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang
seharusnya diukur. Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan yaitu akurasi dan presisi.
Akurasi atau ketepatan merupakan tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sampel.
Dengan kata lain, semakin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, maka semakin akurat
sampel tersebut. Sedangkan presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi peneliti dengan
karakteristik populasi.

Dalam mempelajari palnkton, tidak akan terlepas dari sampling plankton di lapangan. Teknik atau
pencuplikan plankton dari perairan yang paling mudah umumnya dapat dilakukan dengan
menyaring sejumlah massa air dengan jaring halus. Bergantung pada tujuannya Wardhana (1997)
menyatakan bahwa sampling plankton dapat dilakukan secara kualitatif atau kuantitatif.

1. Sampling Plankton Secara Kualitatif

Pencuplikan plankton secara kualitatif di perairan dapat dilakukan dengan menarik jala plankton
baik secara horizontal maupun vertikal. Pada perairan yang banyak terdapat tumbuhan air
pencuplikan plankton dapat dilakukan dengan jala plankton bertangkai. Disamping jala plankton,
ikan planktivor sering merupakan pengumpul plankton yang sangat baik. Ikan tersebut dapat
mengumpulkan berbagai jenis plankton yang kadang-kadang tidak tertangkap jala. Untuk
menghindari agar plankton yang dimakan tidak dicerna lebih lanjut, ikan yang diperoleh harus
segera dibunuh.

2. Sampling Plankton Secara Kuantitatif


Pada umumnya pengumpulan plankton secara kuantitatif dapat dilakukan dengan botol, jaring,
atau pompa. Cara sampling seperti ini umumnya dilakukan untuk mengetahui kepadatan plankton
per satuan volume dengan pasti.

a. Botol

Alat pengukuran plankton yang sering digunakan antara lain adalah botol Nansen atau Kemmerer,
Van Dorn dan botol biasa. Botol gelas bermulut lebar dan bertutup gelas dipasang pada tali dan
diturunkan sampai kedalaman yang ditentukan dan air dibiarkan masuk ke dalamnya. Untuk
mengumpulkan plankton secara vertikal pada kedalaman tertentu dapat digunanakan botol
Kemmerer atau Nensen. Botol dikaitkan dengan tali dan diturunkan sampai kedalaman yang
diinginkan. Pemberat (mesenger) kemudian diturunkan sehingga melepaskan kait tutup yang
terbuat dari karet. Air yang tertampung dalam botol kemudian disaring dengan jala plankton
(Wardhana. 1997).

Cara pengumpulan plankton seperti ini memiliki kekurangan karena plankton motil dapat
menghindar masuk ke dalam botol. Sedangkan kelebihan alat ini antara lain ialah volume air dan
kedalaman pengambilan sampel dapat diketahui dengan tepat.

b. Pompa

Pompa yang cocok untuk mencuplik fitoplankton umumnya yang menggunakan gerakan memutar.
Air dari kedalam tertentu dipompa melalui pipa yang telah diberi tanda. Pada ujung pipa perlu
diberi pemberat agar tetap tegak lurus. Corong dipasangkan pada saluran masuk pipa untuk
mencegah plankton motil menghindar. Garis tengah pipa perlu diseuaikan dengan daya hisap
pompa. Air keluaran dari pompa disaring dengan jala plankton yang dibiarkan sebagian terendam
dalam air untuk menjegah rusaknya plankton (Wardhana. 1997).

Kelebihan pengambilan dengan pompa adalah sama seperti pengambilan dengan botol
yaitu volume air dan kedalaman pengambilan sampel dapat diketahui dengan tepat. Sedangkan
kekurangannya adalah terbatasnya kedalaman yang dapat diambil karena kemampuan daya hisap
pompa dan kemungkinan rusaknya plankton ketika melalui pompa.
c. Jaring

Asriyana et al (2012) menyatakan bahwa jaring plankton mula-mula diperkenalkan oleh Yohannes
Miller (1846) yang dikenal dengan nama “jaring plankton tarik”. Banyak alat yang telah diciptakan
untuk koleksi plankton, tetapi yang banyak digunakan adalah alat berbentuk jaring. Penggunaan
jaring ini selain sangat praktis juga sampel yang diperoleh cukup banyak. Jaring plankton
umumnya berbentuk kerucut dengan berbagai ukuran tetapi biasanya panjang jaring sekitar 4-5
kali garis tengah mulutnya. Bahan jaring dibuat dari kain yang digunakan untuk menyaring
berbagai ukuran butir (bolting silk cloth) atau nilon. Bolting silk terbuat dari benang sutera halus
yang mata jaringnya dirancang untuk tidak mudah berubah.

Jaring berfungsi untuk menyaring air serta plankton yang berada di dalamnya. Oleh karena
plankton yang tertangkap sangat tergantung pada ukuran mata jaring maka ukuran mata jaring
yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis atau ukuran plankton yang akan diamati. Untuk
perairan dangkal di daerah tropis, Wickstead (1965) menganjurkan untuk menggunakan mata
jaring dengan ukuran 30-50 µm untuk fitoplankton dan zooplankton kecil. Apabila digunakan mata
jaring kecil maka jaring harus ditarik lebih lambat agar air tersaring dapat keluar dengan
lancar (Arinardi et al. 1997).

Dalam keadaan tertentu, ada pula peneliti yang mengambil plankton dengan cara menciduk dengan
ember atau gayung. Pengambilan sampel plankton dengan cara ini tidak dianjurkan karena
terlampau bias. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Arinardi et al (1997) bahwa plankton tidak
tersebar merata baik secara horizontal maupun vertikal dan plankton juga dapat melakukan migrasi
harian. Di bagian akhir ujung jaring terdapat alat untuk menampung plankton yang terkumpul.
Alat penampung ini biasanya berbentuk tabung yang mudah dilepas dari jaring. Pada prinsipnya,
tabung penampung harus memenuhi dua syarat yaitu, pertama dapat dengan cepat dan mudah
dioperasikan di laut dan kedua tidak menampung air terlalu banyak. Tabung penampung plankton
yang diciptakan oleh Z. Nakai (Jepang) cukup baik untuk sampel berukuran sedang.

Dalam penelitian plankton untuk analisis kuantitatif (kelimpahan), diperlukan data tentang volume
air yang tersaring melalui jaring sehingga plankton dapat dinyatakan dalam sel atau ekor per m3 air
tersaring. Untuk keperluan ini digunakan alat pencatat masuknya air ke dalam jaring yang dikenal
sebagai flowmeter (Asriyana et al. 2012).

Selain alat-alat tersebut, Wardhana (1997) menyatakan bahwa Continous plankton recorder (CPR)
juga merupakan salah satu alat pengumpul plankton yang ditarik dengan kapal. Di dalam alat CPR
terdapat dua gulungan jala dengan mesh 270μm. Selama ditarik kapal, sampel plankton akan
tertampung pada jala dan digulung sedemikian rupa dalam satu tangki berisi larutan formalin.
Plankton yang terkumpul kemudian diangkat untuk di cacah dilaboratorium.

Cara sampling yang digunakan juga tergantung pada tujuan yang diinginkan. Arinardi (1997)
mengelompokkan metode sampling atas :

a. Horizontal

Dengan cara ini plankton diambil secara mendatar (horizontal) di permukaan air atau di lapisan
bawah air yang diinginkan. Jaring ditarik untuk jarak atau waktu tertentu dengan kecepatan tetap.
Dari pengambilan cara ini akan didapatkan jumlah plankton cukup banyak walau hanya pada
lapisan tertentu.

b. Vertikal

Jaring diturunkan pada kedalaman yang diinginkan dengan pemberat di bawahnya (biasanya 10
kg untuk diameter mulut jaring 0,45 m). Setelah itu, jaring ditarik dengan kecepatan konstan.
Untuk jaring halus biasanya ditarik dengan kecepatan 0,5 m/detik dan untuk jaring yang agak kasar
adalah 1,0 m/detik. Sudut antara kawat jaring dan garis vertikal sebaiknya dicatat untuk
menentukan kedalaman pengambilan.

c. Miring (Oblique)

Dalam cara ini, sebuah pemberat diikat diujung kawat dan jaring dipasang pada jarak tertentu dari
ujung kawat. Kawat ini diturunkan secara perlahan ketika kapal bergerak dengan lambat (sekitar
2 knot). Besar sudut kawat dengan garis vertikal (sekitar 45o) tetap dipertahankan sampai kawat
terulur pada panjang yang diinginkan (biasanya pada kedalaman 200-300 m). Dengan besar sudut
tetap sama, kawat dengan jaringnya ditarik ke atas kapal.
Masih banyak alat dan cara yang digunakan dalam sampling plankton tergantung kepada tujuan
pengambilan sampel plankton tersebut. Ada pula usaha-usaha untuk menyeragamkan penggunaan
alat dan metode pengambilan plankton sehingga hasil yang diperoleh dapat segera dibandingkan.
Salah satu usaha itu adalah penggunaan jaring NORPAC (North Pacific Net) yang dihasilkan
oleh The North Pasific Oceanographic Conference yang di selenggarakan di Honolulu (Amerika
Serikat) dalam bulan Februari 1956. Spesifikasi jaring ini adalah diameter mulutnya 0,45 m,
panjang 1,80 m, lebar mata jaring 0,33 mm dan jaring yang berbentuk kerucut. Pada waktu
sampling, di tengah mulut jaring dipasang alat pencatat volume air yang masuk (flowmeter) dan
pengambilan sampel dilakukan secara vertikal atau miring dengan kecepatan 1,0 m/detik dari
kedalaman 150 meter (Arinardi et al. 1997).

2.5. Pengawetan Sampel Plankton

Setelah plankton dikeluarkan dari tabung penampung (bucket) sebaiknya segera diawetkan di
dalam botol yang mulutnya cukup luas. Bahan pengawet bukan untuk penelitian khusus biasanya
digunakan cairan formalin 4 % sedangkan untuk penelitian khusus, sampel didinginkan antara -10
sampai -25oC agar metabolisme tubuhnya tidak bekerja (Arinardi et al. 1997).

Menurut Wardhana (1997) penggunaan formalin sebagai larutan fiksatif atau pengawet harus
melalui pengenceran dengan perbandingan 1:5. Formalin yang akan digunakan harus tersimpan
dalam botol gelas atau polythene. Hindari penggunakaan formalin yang tersimpan dalam botol
kaleng karena mengandung besi yang akan mengotori sampel plankton. Sebelum digunakan,
formalin harus ditambahkan borax (kalsium karbonat atau sodium karbonat) untuk menetralkan
asam yang ada di dalamnya. Asam akan melarutkan kapur atau rangka pada kebanyakan
zooplankton. Untuk penyimpanan dalam jangka panjang sebaiknya sampel plankton diawetkan
dalam larutan formalin 5% dalam air suling. Sampel disimpan dalam botol yang tertutup rapat.

Pemanfaatan formalin untuk mengawetkan fitoplankton perlu ditambahkan 5 tetes terusi (CuSO4)
agar fitoplankton tetap berwarna hijau. Sampel nanoplankton paling baik difiksasi dan diawetkan
dalam lugol iodin yang ditambah dengan asam asetat. Asam asetat akan mengawetkan flagelum
dan silia. Ke dalam 100 ml sampel air yang mengandung nanoplankton tambahkan 2-3 tetes larutan
lugol iodin. Nanoplankton akan tenggelam karena meyerap iodin. Tutup botol rapat-rapat dan
simpan dalam ruang gelap. Larutan lugol iodin dibuat dengan melarutkan 200 gr kalium iodida p.a
dan 10 gr iodin dalam 200 ml akuades. Pada saat iodin larut sempurna, tambahkan 20 ml asam
asetat glasial. Simpanlah larutan ini dalam botol gelas berwarna gelap (Wardhana. 1997).

Untuk menghindari kekeliruan sampel satu dengan sampel lainnya, Arinardi et al (1997)
menyatakan bahwa dipermukaan luar botol harus ditempelkan label bertuliskan nomor stasiun,
tanggal dan waktu pengambilan, posisi stasiun, metode pengambilan, kedalaman pengambilan,
nama kapal dan data lain yang dianggap perlu.

2.6. Identifikasi dan Analisis Fitoplankton

Identifikasi adalah pemberian tanda-tanda pada golongan hewan, tumbuhan ataupun hal lainnya.
Bergantung pada tujuannya, umumnya analisis plankton yang mudah dilakukan adalah
pengukuran biomassa (berat kering, berat basa, atau volume plankton) dan pencacahan plankter.
Masing-masing cara tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pengukuran biomassa
bertujuan untuk mengetahui banyaknya plankton secara kuantitatif tanpa mengidentifikasi. Ini
merupakan cara yang praktis dan sederhana namun kurang teliti karena sering terbawa materi lain
di luar plankton.

Pengukuran volume plankton kurang memberikan informasi yang tepat, oleh karena rongga antara
plankton sering ikut terukur. Pencacahan plankton dengan cara menghitung jumlah plankter per
satuan volume akan merupakan informasi yang lebih teliti, karena dapat memberikan gambaran
yang lebih pasti mengenai kepadatan plankton di suatu tempat. Kepadatan plankton dapat
digunakan untuk mengetahui penyebaran atau distribusi plankton dalam suatu area. Perlu
ditekankan di sini bahwa setiap organisme berukuran besar yang secara nyata bukan merupakan
bagian dari plankton harus disingkirkan sebelum pengukuran apapun dilakukan (Wardhana. 1997).

Satu sampel plankton dapat terdiri atas ribuan bahkan jutaan sel atau individu plankton. Oleh
karena itu mencacah seluruh sampel akan membutuhkan waktu yang lama. Untuk mempermudah
umumnya dilakukan mengencerkan sampel yang diperoleh dan diambil sebagian kecil sampel.
Tata cara pencacahan seperti ini disebut metoda subsampel. Cara pencacahan dengan metoda
subsampel pada dasarnya dilakukan dengan mencuplik sebagian kecil (sub sampel) sampel
plankton dan dicacah di bawah mikroskop. Besar kecilnya volume subsampel akan sangat
bergantung pada alat yang tersedia serta kepekatan sampel. Terdapat beberapa cara pencacahan
plankton dengan metoda subsampel (Wardhana. 1997).

1. Cara Pertama

Pengambilan subsampel dilakukan dengan cara menuangkan sampel plankton ke dalam gelas piala
bervolume 250 ml. Untuk memudahkan perhitungan, volume

sampel dapat diencerkan menjadi 100 - 200 ml (bergantung pada kepekatan sampel) dengan cara
menambah atau mengurangi larutan pengawetnya. Sampel diaduk hingga homogen dan dalam
waktu yang bersamaan diambil subsampelnya dengan mempergunakan pipet stempel bervolume
0,1 ml (untuk fitoplankanton) atau 2,5 ml (untuk zooplankton).

Sub sampel dituangkan ke dalam talam pencacah sambil membilas toraks pipet dengan air. Talam
pencacah yang sering digunakan adalah Sedgwick-Rafter Counting Cell untuk fitoplankton dan
Bogorov atau yang sejenis untuk zooplankton. Plankton dicacah sekaligus diidentifikasi di bawah
mikroskop dengan perbesaran sampai 25-200 kali bergantung pada ukuran plankter. Pencacahan
dilakukan dengan cara menghitung seluruh plankter yang tampak pada talam pencacah (Arinardi et
al. 1997).

2. Cara Kedua

Pencacahan plankton pada Sedgwick-Rafter Counting Cell juga dapat dilakukan dengan cara lain.
Isi penuh Sedgwick-Rafter Counting Cell dengan sampel plankton dan tutup dengan kover gelas
secara baik sehingga tidak ada rongga udara di dalamnya. Letakan Sedgwick-Rafter Counting
Cell berisi sampel plankton tersebut di bawah mikrokop yang lensa okulernya dilengkapi dengan
mikrometer okuler Whipple. Cacah jumlah plankton dari 10 lapangan pandang secara teratur dan
berurutan. Apabila terdapat plankter yang terletak pada garis batas okuler mikrometer Whipple di
sebelah atas dan di sebelah kiri harus dimasukkan ke dalam perhitungan sedang pada garis batas
bawah dan sebelah kanan tidak. Hal ini bukanlah suatu yang mutlak, yang penting dilakukan secara
konsisten (Arinardi et al. 1997).
3. Cara Ketiga

Metoda subsampel juga dapat dilakukan dengan mengambil sebesar 0,04 ml sampel yang telah
diaduk homogen dengan pipet ukur 1 ml. Subsampel diletakan atau diteteskan pada objek gelas
dan ditutup dengan kover gelas berukuran 18x18

mm. Diasumsikan bahwa kover gelas berukuran 18 x 18 mm dapat persis menutup 0,04 ml
subsampel. Setelah diletakkan di bawah mikroskop, diambil secara acak 20 pandangan yang
meliputi seluruh permukaan kover gelas. Pada tiap pandangan dihitung semua jenis plankton yang
terlihat. Sebelumnya diameter dari pandangan harus ditentukan terlebih dahulu dengan
mikrometer okuler.

Cara tersebut sangat tidak praktis dan kemungkinan timbul kesalahan dalam perkiraan kepadatan
jumlah plankter sangat besar, walapun pencacahan plankton tidak dilakukan hanya pada 20
lapangan pandang tetapi pada seluruh permukaan kover gelas. Berdasarkan ketiga cara pencacahan
plankton tersebut di atas, yang terpenting harus diketahui secara pasti adalah berapa volume air
yang berhasil tersaring oleh plankton net (dalam liter atau meter kubik), berapa volume sampel
yang tertampung dalam botol plankton net (dalam mililiter), berapa banyak volume subsampel
yang diambil (dalam mililiter) dan apabila dilakukan pengenceran terhadap sampel plankton, ini
juga harus diperhitungkan (Arinardi et al. 1997).

DAFTAR PUSTAKA

Arinaridi O.H, Sutomo A.B, Yusuf S.A, Trimaningsih, Elly A, Riyono S.H. 1997. Kisaran
Kelimpahan Dan Komposisi Plankton Predominan Di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta
: LIPI. hlm 19-56
Aryawati Riris. 2007. Kelimpahan Dan Sebaran Fitoplankton Di Perairan Berau Kalimantan
Timur : 81 hlm. http://repository.ipb.ac.id. [19 Mei 2012]

Asriyana Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan. Jakarta : Penerbit PT Bumi Aksara. hlm 1-8

Ewinasis. 2012. Studi Indeks Keanekaragaman (Diversitas) Plankton : 2-


3. http://repository.ipb.ac.id. [19 Mei 2012]

Lindsey Rebecca and Michon Scott. 1999. What are


Phytoplankton. http://earthobservatory.nasa.gov.[19 Mei 2013]

Mustafa Hasan. 2000. Teknik Sampling. http:// home.unpar.ac.id. [14 April 2013]

Newell G.E. and R.C. Newell. 1977. Marine Plankton. Edisi ke-5. London : Hutchinson
Educational.

Omori M and T. Ikeda. 1984. Methods in Marine Zooplankton Ecology. Jhon Wiley and Sons,
Toronto. Canada : 332 hlm

Romimohtarto Kasijan dan Sri Juwana. 2001. Biologi Laut. Jakarta : Penerbit Djambatan. hlm 36-
39

Wardhana Wisnu. 1997. Teknik Sampling, Pengawetan dan Analisis Plankton. [Jurnal] Jakarta :
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. 12 halaman
Wiadnyana Ngurah N dan Wagey. 2004. Impacts of The Occurence of Red Tide Species to The
Fisheries in Indonesia. Jurnal Berkala Perikanan Terubuk. hlm 17-33

Anda mungkin juga menyukai