105
Abstract
After the amendment of the 1945 Constitution, a phenomenon of distinct and special autonomy surfaced,
based on Article 18B the 1945 Constitution. This study will determine how the values of Pancasila are
manifested to the norm of law that regulates special autonomy, such as Law Number 21 of 2001 regarding
Special Autonomy for Papua Province. From this research, it is concluded that values of Pancasila has
not be manifested perfectly in Law Number 21 of 2001 because the political situation in the formulation
of this law was pragmatic, where the understanding of special autonomy was not based on deliberation
among options of values in line with the nation’s ideology, but it was only a tool to solve immediate state
problem. However, Law Number 21 of 2001 regarding Special Autonomy for Papua Province has reflected
nationalism principle, a principle to maintain Unitary State Republic of Indonesia.
Keywords: Pancasila, Unitary State Republic of Indonesia, special autonomy.
Intisari
Pasca amandemen UUD 1945, muncul fenomena otonomi khusus yang didasarkan pada Pasal 18B UUD
1945. Penelitian ini membahas bagaimana nilai-nilai Pancasila dimanifestasikan dalam undang-undang
yang mengatur tentang otonomi khusus, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa nilai-Nilai Pancasila belum termanifestasikan
secara sempurna ke dalam dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 karena undang-undang tersebut disusun
dalam suasana politik hukum yang pragmatis, sehingga pemaknaan otonomi khusus bukan didasarkan
pada musyawarah yang melibatkan pilihan-pilihan nilai yang selaras dengan ideologi bangsa, namun
hanya merupakan suatu tambal sulam untuk menyelesaikan masalah kenegaraan yang mendesak. Namun
bagaimanapun, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua bagaimanapun
telah mencerminkan asas kebangsaan, yaitu asas yang tetap menjaga prinsip NKRI.
Kata Kunci: Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, otonomi khusus.
Pokok Muatan
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................................................... 106
B. Metode Penelitian .............................................................................................................................. 107
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan ...................................................................................................... 107
D. Kesimpulan ........................................................................................................................................ 114
*
Hibah Penelitian Mahasiswa Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Tahun 2014.
106 JURNAL PENELITIAN HUKUM Volume 2, Nomor 2, Juli 2015, Halaman 105-115
1
Soekarno, 2013, Pancasila Dasar Negara: Kursus Pancasila oleh Presiden Soekarno, Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, hlm. 15.
2
Ibid., hlm. 54 .
3
Hartono, 1992, Pancasila Dilihat dari Segi Historis, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 93.
Pradhani dan Sukiratnasari, Manifestasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Undang-Undang Nomor 21... 107
Dengan menyadari bahwa fenomena otonomi Pancasila dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang
khusus adalah fenomena baru pasca amandemen Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, maka perlu
UUD 1945, tentunya menarik untuk mengetahui dipahami kesatuan nilai-nilai Pancasila sebagai
bagaimana nilai-nilai Pancasila dimanifestasikan tolok ukur manifestasi dalam UU Nomor 21 Tahun
dalam norma undang-undang yang mengatur tentang 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua;
otonomi khusus tersebut. Itulah mengapa perlu nilai- nilai filosofis Pancasila dalam UU Nomor 21
untuk diketahui manifestasi nilai-nilai Pancasila Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Papua dengan nilai-nilai filosofis Pancasila; dan
Khusus Bagi Provinsi Papua. Berdasarkan uraian kesesuaian norma-norma dalam UU Nomor 21
di atas, rumusan masalah pokok dari penelitian ini Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
adalah bagaimana manifestasi nilai-nilai Pancasila Papua dengan nilai-nilai filosofis Pancasila.
dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Dardji Darmodiharjo menempatkan
Khusus Bagi Provinsi Papua. Pancasila sebagai sumber hukum dengan
menggambarkan gagasan dari Hans Kelsen tentang
B. Metode Penelitian Groundnorm atau norma dasar sebagai sumber
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis dari segala sumber hukum Indonesia.4 Penempatan
normatif karena data dalam penelitian merupakan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
data sekunder yang dikumpulkan dari studi Pustaka. hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu UUD 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai
persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian. Data dasar filosofis bangsa dan Negara sehingga materi
dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh
metode kualitatif melalui pendekatan perundang- bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
undangan disajikan secara deskriptif dengan cara dalam Pancasila.5
memaparkan hasil temuan dan analisis terhadap Untuk dapat membuktikan bahwa Pancasila
temuan tersebut. adalah landasan hukum nasional, maka sila-sila
Hambatan dalam penelitian ini adalah dalam Pancasila harus dipandang sebagai suatu
kesulitan untuk membangun konstruksi berfikir sistem nilai karena pada hakikatnya Pancasila
Pancasila sebagai sistem nilai yang bersifat merupakan satu kesatuan nilai sebagai berikut:6
filosofis. Kemudian mengkonstruksikan sistem a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
mengandung nilai bahwa segala hal
hukum yang sesuai dengan sistem tersebut
yang berkaitan dengan pelaksanaan dan
supaya dapat menjawab apakah ideologi yang penyelenggaraan negara bahkan moral
dimanifestasikan dalam sistem hukum sudah dapat negara, moral penyelenggara negara,
menjadi cara untuk mencapai tujuan bernegara. politik negara, pemerintahan negara,
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, hukum dan peraturan perundang-
undangan negara, kebebasan dan hak
Peneliti banyak berkonsultasi dengan Pembimbing, asasi warga negara harus dijiwai nilai-
dan berdiskusi dengan pihak-pihak yang dapat nilai Ketuhanan Yang Maha Esa;
memperkaya penelitian ini serta merenung untuk b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan
memahami makna dari sistem nilai Pancasila. Beradab adalah perwujudan nilai
kemanusiaan sebagai makhluk yang
berbudaya, bermoral dan beragama,
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan serta adil dalam hubungan diri sendiri,
Untuk menjawab manifestasi nilai-nilai sesama dan lingkungannya;
4
Anthon Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta,
hlm. 294.
5
Derita Prapti Rahayu, 2014, Budaya Hukum Pancasila, Thafa Media, Yogyakarta, hlm. 71.
6
Kaelan, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, hlm. 79-84.
108 JURNAL PENELITIAN HUKUM Volume 2, Nomor 2, Juli 2015, Halaman 105-115
di Tanah Papua. Di samping itu juga ingin manifestasi nilai-nilai Pancasila karena keadilan
dibentuk Komnas HAM Provinsi Papua yang adil dan beradab harus berdasarkan Ketuhanan
yang mempunyai kemungkinan menyelidik,
yang Maha Esa dalam bingkai persatuan melalui
menyidik, dan mengajukan pelanggar HAM
ke Pengadilan HAM. musyawarah untuk mencapai mufakat dan dalam
Menurut pengalaman, apabila tidak rangka mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh
mempunyai kewenangan untuk menyidik, rakyat Indonesia. Latar belakang pengaturan HAM
maka seringkali permasalahan HAM tidak dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
terselesaikan. Itulah mengapa ada keinginan Khusus Bagi Provinsi Papua adalah pengalaman
keras rakyat Papua agar Komnas HAM
buruk masyarakat Papua terhadap pelanggaran
mempunyai kewenangan untuk menyidik.
Dalam penegakan HAM, perlindungan HAM yang terjadi pada masa intergrasi Papua ke
terhadap perempuan diatur secara khusus dalam wilayah NKRI, maka HAM tersebut tidak
karena hak-hak perempuan selama ini kurang mencerminkan nilai-nilai perikemanusiaan yang
diperhatikan. adil dan beradab karena tidak ada maksud bahwa
Sebab musabab terjadinya pelanggaran dalam pengaturan HAM tersebut ada harapan untuk
HAM adalah adanya persepsi yang berbeda
menciptakan manusia Indonesia yang seutuhnya.
tentang integrasi Papua ke dalam Republik
ini pada tahun 1969, sehingga rakyat Papua Penghormatan terhadap HAM masyarakat
mengatakan bahwa masalah ini belum Indonesia disini haruslah dimaknai sebagai
selesai, sementara sebagaimana kita ketahui HAM yang Pancasilais, yaitu HAM yang mampu
hal itu sudah selesai. Kemudian timbul untuk mencapai hakikat manusia Indonesia yang
usulan supaya dibentuk Komnas HAM untuk
mengklarifikasi sejarah agar dapat diberikan seutuhnya. Menurut Sudjito, manusia Indonesia
pengertian bahwa masalah ini sudah selesai yang seutuhnya adalah sebagai berikut:
dan sebetulnya inilah yang terjadi. Pada dimensi sosialnya, setiap manusia
Kalau memang benar ada pelanggaran hanya dapat hidup dan mempunyai arti
HAM, hendaknya dicarikan jalan secara diantara manusia lainnya apabila bersatu
damai yang ada di dalam bingkai Republik dan diterima di dalam masyarakatnya.
Indonesia. Dengan dicantumkannya masalah Dalam dimensi filsafati dapat dirumuskan
ini, sebetulnya ada keinginan rekonsiliasi, bahwa sikap hidup manusia Indonesia wajib
sehingga kalau memang terjadi akan didasarkan pada Pancasila yang maknanya (a)
diselesaikan secara damai dan diharapkan kepentingan pribadinya tak dapat dilepaskan
ada rekonsiliasi antara Pemerintah dan dari kewajibannya terhadap masyarakat
masyarakat, sehingga kemungkinan- dan kepentingan masyarakat hendaknya
kemungkinan terjadi pelanggaran HAM seimbang dengan kepentingan pribadinya;
dapat dicegah sedini mungkin. (b) kepentingan pribadi akan terintegrasikan
Tidak perlu takut apabila hasil Komnas sebagai kepentingan sosial ketika manusia
HAM itu sebab kita semua yakin bahwa kita mulai melaksanakan kewajiban sosialnya
semua telah terjadi dengan prosedur yang sebagai anggota masyarakat; dan (c) semua
telah disetujui oleh PBB dan itu keyakinan sikap dan perilaku manusia itu dituntun
kami, oleh karena itu juga maka kita berikan oleh Ketuhanan yang Maha Esa, oleh rasa
peluang agar dapat dimengerti oleh Saudara- perikemanusiaan yang adil dan beradab, oleh
Saudara lainnya.7 kesadaran untuk memperkokoh persatuan
Indonesia, untuk menjunjung tinggi sikap
Meskipun HAM diatur dalam UU Nomor kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi kebijaksanaan dan untuk mewujudkan
Provinsi Papua, tidak serta merta mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.8
7
Sekretarian Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undangtentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 314-315.
8
Sudjito, et al.., 2013, Jati Diri Manusia Indonesia dalam Perspektif Pembentukan Karakter Bangsa, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hlm. 78-79.
110 JURNAL PENELITIAN HUKUM Volume 2, Nomor 2, Juli 2015, Halaman 105-115
Selain tentang HAM dan aparat penegak harus tetap mempertahankan dan menghargai
hukum, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi kesetaraan serta keragaman kehidupan sosial
Khusus Bagi Provinsi Papua juga mengatur tentang budaya masyarakat Papua; dan kesadaran bahwa
Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dalam penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu
Bab XI. Pemerintah Provinsi Papua, baik sebagai rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian
kepala daerah maupun sebagai wakil Pemerintah, dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki
wajib mengakui, menghormati, melindungi, keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan
memberdayakan dan mengembangkan hak-hak bahasa sendiri.
masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan Tujuan dari RUU Otonomi Khusus Bagi
peraturan hukum yang berlaku, termasuk meliputi Provinsi Papua sebagaimana disampaikan dalam
pembinaan dan pengembangan yang bertujuan Rapat Dengar Pendapat yang Ketiga merupakan
meningkatkan taraf hidup baik lahiriah maupun manifestasi nilai Persatuan Indonesia ke dalam asas
batiniah warga masyarakat hukum adat.9 kebangsaan yang mencerminkan semangat untuk
Hak-hak masyarakat adat meliputi menjaga prinsip NKRI. Selain itu, Bab III UU
hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak
10
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
perorangan para warga masyarakat hukum adat Bagi Provinsi Papua mengatur tentang Pembagian
yang bersangkutan yang dilaksanakan sepanjang Daerah. Penggunaan istilah “pembagian” bukanlah
menurut kenyataannya masih ada, dilakukan suatu istilah yang kebetulan. Istilah pembagian
oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang menunjukkan bahwa negara kita adalah negara
bersangkutan menurut ketentuan hukum adat kesatuan dimana kedaulatan berada di tangan pusat
setempat, dengan menghormati penguasaan tanah dan hal ini konsisten dengan kesepakatan untuk
bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan.12
sah menurut tata cara dan berdasarkan peraturan Sayangnya, Pasal 3 UU Nomor 21 Tahun
perundang-undangan.11 Jaminan perlindungan 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
hak-hak masyarakat hukum adat merupakan menyatakan bahwa (1) Provinsi Papua terdiri atas
manifestasi terhadap asas bhineka tunggal ika Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-
karena jaminan perlindungan tersebut diberikan masing sebagai Daerah Otonom; (2) Daerah
dengan memperhatikan dan mempertimbangkan Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik;
keragaman integrasi bangsa dalam wadah NKRI dan (3) Distrik terdiri atas sejumlah kampung
9
Lihat Pasal 43 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151).
10
Hak ulayat adalah hak bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat
tertentu, bukan perseorangan, dan juga bukan penguasa adat, meskipun banyak di antara mereka yang menjabat secara turun temurun. Penguasa
adat adalah pelaksana hak ulayat yang bertindak sebagai petugas masyarakat hukum adatnya dalam mengelola hak ulayat di wilayahnya. Hak
ulayat diatur oleh hukum adat tertentu dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kenyataannya dewasa ini keberadaan hak ulayat
berbagai masyarakat hukum adat tersebut beragam, sehubungan dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat hukum adatnya sendiri
baik karena pengaruh intern maupun lingkungannya. Hak ulayat diakui oleh hukum tanah nasional, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, tetapi hak ulayat yang sudah tidak ada tidak akan dihidupkan kembali. Sehubungan dengan itu, demi adanya kepastian mengenai masih
adanya hak ulayat di lingkungan masyarakat adat tertentu, yang dibuktikan oleh: (1) masih adanya sekelompok warga masyarakat yang merasa
terikat oleh tatanan hukum adat tertentu sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum yang merupakan suatu masyarakat hukum adat;
(2) masih adanya suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hukum dan penghidupan sehari-hari para warga masyarakat hukum
adat tersebut; dan (3) masih adanya penguasa adat yang melaksanakan ketentuan hukum hak ulayatnya. Pengakuan, penghormatan dan
perlindungan dalam ayat ini mencakup pula pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap pihak-pihak yang telah memperoleh hak
atas tanah bekas hak ulayat secara sah menurut tata cara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan karenanya tidak dapat digugat
kembali oleh ahli warisnya demi kepastian hukum. Penjelasan Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4151).
11
Lihat Pasal 43 ayat (2) dan (3) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151).
12
MPR RI, 2003, Panduan dalam Memasyaratkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, hlm.
102.
Pradhani dan Sukiratnasari, Manifestasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Undang-Undang Nomor 21... 111
atau yang disebut dengan nama lain. Penggunaan MRP akan berfungsi sebagai suatu wadah efektif
istilah “terdiri atas” tidak mencerminkan substansi dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak
kesatuan, melainkan menunjukkan substansi penduduk asli Papua, sehingga mereka tidak lagi
federalisme karena istilah tersebut menunjukkan menjadi pemain pinggiran dalam penyelenggaraan
letak kedaulatan berada di tangan negara-negara pemerintahan dan pembangunan di tanah mereka
bagian (satuan daerah yang lebih rendah dalam sendiri, tetapi justru pelaku-pelaku sentral.14
konteks ini).13 Berdasarkan hal tersebut, pembentukan MRP
Pengaturan tentang musyawarah untuk bukan berdasarkan pada nilai Pancasila, tetapi
mencapai mufakat dalam suatu masyarakat berdasarkan kepentingan pragmatis supaya suatu
hukum adat sebagaimana telah dijelaskan di masyarakat menjadi pemain sentral karena selama
atas, mencerminkan asas kekeluargaan yang ini terpinggirkan.
mengedepankan musyawarah untuk mencapai Oleh karena UU ini dibentuk untuk
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Akan menyelesaikan hal-hal mendesak, maka nilai yang
tetapi Pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) diidealkan dan tujuan yang ingin dicapai tidak
yang keanggotaannya terdiri atas wakil-wakil adat, tercermin dalam norma-norma UU Nomor 21
wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total Papua, misalnya terkait pendidikan, kesehatan, dan
anggota MRP serta salah satu kewajibannya adalah keuangan. Dalam bidang keuangan, otonomi khusus
untuk mempertahankan dan memelihara keutuhan sebatas dimaknai sebagai tambahan penerimaan
NKRI dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua dana dalam rangka otonomi khusus.
belum mencerminkan demokrasi permusyawaratan. Dalam bidang pendidikan, telah disampaikan
Munculnya MRP ini adalah sebagai tesis bahwa rata-rata pendidikan masyarakat Papua
dari hipotesis bahwa DPR sudah menunjukkan 5 (lima) tahun. Solusinya adalah dialokasikan
derajat keterwakilan dari semua elemen bangsa. sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
Dalam DPR, suara mayoritas diterima tidak sebagai penerimaan Dana Perimbangan bagian Provinsi
sebatas prasyarat minimum dari demokrasi sebagai Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi
tercermin dalam komposisi DPR. Itulah mengapa Khusus dialokasikan untuk biaya pendidikan.15
kemudian MRP muncul supaya ada optimalisasi Namun kemudian, dalam mengembangkan dan
partisipasi dan persetujuan yang luas dari segala menyelenggarakan pendidikan, Pemerintah
kekuatan secara inklusi yang dicapai melalui Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
persuasi, kompromi dan konsensus secara bermutu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
dengan mentalitas kolektif sebagaimana tujuan kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya
Hatta. masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat
Sayangnya, pembentukan MRP tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
berdasarkan bimbingan hikmat kebijaksanaan yang untuk mengembangkan dan menyelenggarakan
kemudian diharapkan mampu membuat kekuatan pendidikan yang bermutu di Provinsi Papua.16
manapun akan merasa ikut memiliki, loyal, dan Di sini ada pengalihan Kewajiban Pemerintah
bertanggung-jawab atas segala keputusan politik. untuk menyelenggarakan pendidikan kepada pihak
Kami (masyarakat) berharap bahwa kelembagaan swasta untuk menyediakan hak pendidikan bagi
13
Ibid., hlm. 103.
14
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Op.cit., hlm. 1289.
15
Lihat Pasal 36 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151).
16
Lihat Pasal 56 ayat (4) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151).
112 JURNAL PENELITIAN HUKUM Volume 2, Nomor 2, Juli 2015, Halaman 105-115
warga negaranya. Padahal sebagaimana dikatakan Papua karena permasalahan kesenjangan ekonomi,
Notonagoro, pendidikan merupakan satu unsur rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya
pokok yang pemenuhannya perlu dijamin oleh kualitas kesehatan di Provinsi Papua hanya sebatas
Negara supaya tidak perlu menderita dan dapat dimaknai dan diselesaikan dengan pemberian dana
menjadi warga negara yang cerdas untuk dapat yang lebih tanpa melihat ada tidaknya manifestasi
menunaikan tugas dan haknya terhadap negara nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan
denga sebaik-baiknya, bukan merupakan suatu bernegara yang kemudian mengakibatkan adanya
urusan yang dibuka lebar-lebar pengembangan dan kesenjangan dalam bidang ekonomi, pendidikan,
penyelenggaraannya pada pihak non-negara. dan kesehatan di Provinsi Papua.
Di bidang kesehatan, angka harapan hidup Sebagimana telah disebutkan bahwa satu
orang Papua 48 (empat puluh delapan), untuk pertimbangan pembentukan UU ini adalah, antara
memperbaiki kualitas kesehatan dan gizi, sekurang- lain, tentang kesenjangan, hak untuk menikmati
kurangnya 15% (lima belas persen) penerimaan pembangunan secara wajar, dan belum optimalnya
Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam,
Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus maka ada pengaturan dalam Pasal 39 UU Nomor
dialokasikan untuk kesehatan dan perbaikan gizi. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Pemenuhan hak kesehatan warga negara adalah Provinsi Papua tentang pengolahan lanjutan dalam
kewajiban dari Pemerintah untuk menjamin rangka pemanfaatan sumber daya alam. Meskipun
pemeliharaan kesehatan setiap warga negaranya usahanya dilakukan dengan tetap menghormati
supaya tidak perlu menderita dan dapat menjadi hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan
warga negara yang cerdas untuk dapat menunaikan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-
tugas dan haknya terhadap negara denga sebaik- prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan
baiknya. yang berkelanjutan, namun prinsip pengelolaannya
Namun norma dalam Pasal 59 ayat (1) adalah pengelolaan yang sehat, efisien, dan
UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi kompetitif. Prinsip kompetitif bukan suatu prinsip
Khusus Bagi Provinsi Papua tidak menunjukkan yang mencerminkan nilai Pancasila karena Pancasila
adalah satu kesatuan standar pelayanan kesehatan adalah suatu nilai yang komunalistik religius dan
secara nasional karena Pemerintah Provinsi mengedepankan semangat gotong royong, bukan
berkewajiban menetapkan standar mutu dan semangat kompetisi. Prinsip kompetisi ini juga
memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk. tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat
Selain itu, pemenuhan hak kesehatan masyarakat adat yang kekeluargaan dan mengedepankan gotong
yang awalnya merupakan kewajiban Pemerintah royong, bukan kompetisi.
diserahkan kepada pihak non-negara melalui Amanat penderitaan rakyat Indonesia untuk
pemberian peranan sebesar-besarnya kepada mewujudkan tata kehidupan dan pengelolaan
lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, kehidupan berdasarkan sila Keadilan Bagi seluruh
dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.17 Rakyat Indonesia tercermin dalam asas keadilan.
Dari penjelasan di atas, jelaslah terlihat Norma-norma dalam UU Nomor 21 Tahun 2001
bahwa tidak ada manifestasi nilai-nilai Pancasila tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua tidak
baik dalam bidang keuangan, pendidikan, maupun mencerminkan asas keadilan sebagai manifestasi
kesehatan yang diatur dalam UU Nomor 21 Tahun dari nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Indonesia karena asas keadilan dalam UU ini
17
Lihat Pasal 59 ayat (4) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151).
Pradhani dan Sukiratnasari, Manifestasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Undang-Undang Nomor 21... 113
dimaknai secara transaksional melalui penerimaan bagi Provinsi Papua ini bukan hanya permasalahan
khusus dalam rangka otonomi khusus, Dana wilayah terkait isu disintegrasi, namun permasalahan
Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/ yang harus dilihat secara utuh dengan seluruh
Kota dalam rangka Otonomi Khusus, atau Provinsi faktor pendukungnya. Bahwa dalam pembahasan
Papua dapat menerima bantuan luar negeri. otonomi khusus ini, ada permasalahan hak dan
Keadilan yang dilakukan secara transaksional kewajiban dan juga ada permasalahan keberagaman
bukan merupakan keadilan dalam makna Keadilan bangsa yang harus dibingkai dalam suatu kerangka
Sosial bagi seluruh Bangsa Indonesia sebagaimana persatuan. Bahwa dalam menyikapi keberagaman
dimuat dalam sila keempat Pancasila. Keadilan ini, Negara memiliki kewajiban untuk memberikan
berdasarkan Pancasila adalah keadilan yang perngakuan dan perlindungan bagi keberagaman
berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat, atau kebhinekaan dari seluruh elemen bangsa dan
dalam bingkai Persatuan Indonesia, dengan Negara Indonesia. Oleh sebab itu, Kebhinekaan dari
memperhatikan martabat kemanusiaan, dan elemen bangsa dan Negara Indonesia tidak boleh
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Keadilan dimaknai secara pragmatis.
dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Pragmatisme ini terlihat dari perdebatan
Khusus Bagi Provinsi Papua bukan merupakan dalam pembuatan UU ini yang tidak paradigmatis
keadilan versi Pancasila karena situasi politik karena tidak melibatkan pilihan-pilihan nilai
pembentukan UU ini adalah situasi politik hukum maupun norma yang selaras dengan ideologi
yang pragmatis. Dalam situasi politik hukum yang bangsa. Dalam pembahasan keuangan, tidak ada
pragmatis, perubahan hukum dilakukan secara pertimbangan hubungan antara nilai-nilai Pancasila,
tambal sulam untuk hal-hal yang bersifat mendesak, otonomi khusus, dan keuangan karena dinyatakan
semata-mata agar tidak terjadi kekosongan hukum sebagai berikut:
atau agar supaya tidak merugikan kepentingan Dalam rangka pelaksanaan otonomi
nasional. khusus di Provinsi Papua, maka dengan
Situasi politik hukum yang pragmatis dalam mempertimbangkan kestabilan sistem
perekonomian nasional, yang pada saat yang
proses pembuatan UU Nomor 21 Tahun 2001
sama juga harus memperhatikan aspirasi
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua masyarakat untuk percepatan pembangunan
terlihat dari identifikasi masalah-masalah yang yang sangat penting untuk bidang kesehatan,
terburu-buru untuk melakukan langkah taktis dan pendidikan, dan infrastruktur, serta
kemudian membuat suatu tafsir baru. Padahal, perhitungan riil kemampuan pendanaan,
maka dirumuskanlah kebijakan-kebijakan
makna dari otonomi, khususnya otonomi khusus,
tersebut dalam suatu angka nominal, yang
adalah dalam koridor kebangsaan. Dalam koridor presentasinya telah disepakai oleh Panitia
suatu kebijakan yang telah dimusyawarahkan oleh Khusus (Pansus) dan Pemerintah.18
semua elemen bangsa untuk bermufakat dalam
Dalam proses penyusunan UU ini tidak ada
persatuan dan mencapai kesejahteraan yang dalam
penelitian yang dapat menjelaskan makna filosofis,
hal ini bukan hanya melibatkan tim asistensi atau
normatif, dan sosiologis dari otonomi khusus ataupun
para professional, tetapi juga dengan warga Negara
proses konsultasi publik yang melibatkan wilayah-
atau perwakilan warga Negara yang ada di daerah-
wilayah atau masyarakat lain selain yang berada di
daerah lain, dari Sabang sampai Merauke (misalnya
wilayah Papua. Hal ini tentunya mencederai nilai
seluruh kepala daerah provinsi, kabupaten/kota atau
musyawarah dalam bingkai persatuan dalam rangka
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
perwujudan kesejahteraan karena permasalahan
Permasalahan pemberian otonomi khusus
otonomi ini bukan hanya masalah regional Papua
18
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Op.cit., hlm. 1291.
114 JURNAL PENELITIAN HUKUM Volume 2, Nomor 2, Juli 2015, Halaman 105-115
atau sebatas hubungan antara Pemerintah Pusat dan secara sempurna ke dalam dalam UU Nomor
Pemerintah Daerah, namun permasalahan seluruh 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
bangsa dan tumpah darah Indonesia atas kondisi Provinsi Papua karena UU tersebut disusun dalam
kesenjangan yang terjadi di Papua. suasana kebatinan politik hukum yang pragmatis.
Meskipun nilai-nilai Pancasila belum Meskipun nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya
sepenuhnya termanifestasikan dalam UU Nomor 21 termanifestasikan dalam UU Nomor 21 Tahun
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Papua karena situasi politik hukum pembentukan karena situasi politik hukum pembentukan UU
UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua bersifat pragmatis dan juga Bagi Provinsi Papua, UU ini telah terbukti mampu
karena pemaknaaan Pancasila bukan sila persila, mempertahankan integrasi atau kesatuan bangsa dan
melainkan sebagai satu kesatuan nilai; UU ini telah Negara Indonesia. Dengan demikian, UU Nomor 21
terbukti mampu mempertahankan integrasi atau Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
kesatuan bangsa dan Negara Indonesia. Dengan Papua bagaimanapun telah mencerminkan asas
demikian, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang kebangsaan, yaitu asas yang tetap menjaga prinsip
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua bagaimanapun NKRI.
telah mencerminkan asas kebangsaan, yaitu asas Supaya setiap aspek penyelenggaraan negara
yang tetap menjaga prinsip NKRI. Selain asas dan semua sikap dan tingkah laku berbangsa dan
kebangsaan, asas bhineka tunggal ika juga tercermin bernegara sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila
dalam norma-norma UU Nomor 21 Tahun 2001 disarankan kepada penyelenggara negara, untuk
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dapat membuat peraturan perundang-undangan
antara lain dalam pengaturan terhadap kewajiban dalam situasi politik hukum yang melibatkan nilai-
Pemerintah Provinsi dalam melindungi, membina, nilai maupun norma-norma yang selaras dengan
dan mengembangkan kebudayaan asli Papua19 dan Pancasila dan menjalankan hukum dengan hati
perlindungan hak kekayaan intelektual orang asli nurani dan semangat Pancasila dan kepada Warga
Papua20 yang memilki keunikan sosiokultur. Negara Indonesia supaya terus menggali nilai-nilai
Pancasila demikian juga dengan norma-norma
D. Kesimpulan yanga dalam kehidupan yang sejalan dengan
Dari penelitian ini, disimpulkan bahwa Pancasila dan bersikap Pancasilais.
nilai-nilai Pancasila belum termanifestasikan
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Prapti Rahayu, Derita, 2014, Budaya Hukum
Hartono, 1992, Pancasila Dilihat dari Segi Historis, Pancasila, Thafa Media, Yogyakarta.
Rineka Cipta, Jakarta. Sekretarian Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat
Kaelan, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Republik Indonesia, 2002, Proses
Yogyakarta. Pembahasan Rancangan Undang-
MPR RI, 2003, Panduan dalam Memasyaratkan Undangtentang Otonomi Khusus Bagi
UUD Negara Republik Indonesia Tahun Provinsi Papua, Sekretariat Jenderal Dewan
1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta. Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
19
Lihat Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151).
20
Lihat Pasal 44 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151).
Pradhani dan Sukiratnasari, Manifestasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Undang-Undang Nomor 21... 115