Disamping itu, manakala kita telah mengikuti dan mentaati Rasul Saw, Allah Swt akan
mencintai kita yang membuat kita begitu mudah mendapatkan ampunan dari Allah
manakala kita melakukan kesalahan, Allah berfirman yang artinya: Katakanlah: “jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kamu dan
mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 3:31)
Oleh karena itu, dengan izin Allah Swt, Rasulullah Saw diutus memang untuk ditaati, Allah
Swt berfirman yang artinya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk
ditaati dengan izin Allah (QS 4:64).
Manakala manusia telah menunjukkan akhlaknya yang mulia kepada Rasul dengan
mentaatinya, maka ketaatan itu berarti telah disamakan dengan ketaatan kepada Allah Swt.
Dengan demikian, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi seperti dua sisi mata uang
yang tidak boleh dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Allah berfirman yang artinya:
Barangsiapa mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka (QS 4:80).
Adapun, bila kita bershalawat kepada Nabi hal itu justeru akan membawa keberuntungan
bagi kita sendiri, hal ini disabdakan oleh Rasul Saw:
Barangsiapa bershalawat untukku satu kali, maka dengan shalawatnya itu Allah akan
bershalawat kepadanya sepuluh kali (HR. Ahmad).
Selain itu, Rasul Saw juga mengingatkan umatnya agar waspada terhadap bid’ah dengan
segala bahayanya, beliau bersabda: Sesungguhnya, siapa yang hidup sesudahku, akan
terjadi banyak pertentangan. Oleh karena itu,. Kamu semua agar berpegang teguh kepada
sunnahku dan sunnah para penggantiku. Berpegang teguhlah kepada petunjuk-petunjuk
tersebut dan waspadalah kamu kepada sesuatu yang baru, karena setiap yang baru itu
bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka (HR. Ahmad, Abu
Daud, Ibnu Majah, Hakim, Baihaki dan Tirmidzi). Dengan demikian, menghidupkan
sunnah Rasul menjadi sesuatu yang amat penting sehingga begitu ditekankan oleh
Rasulullah Saw.
Sikap keteraturan yang ditampakkan oleh Allah SWT dalam mengelola alam semesta serta
keteraturan yang harus dimunculkan ketika beribadah harus terimplementasi dalam kehidupan
berkeluarga. Seorang kepala keluarga berkewajiban mengatur dan mengelola sistem yang akan
diberlakukan di dalam keluarganya tersebut. Sistem yang dibangun tersebut seyogyanya
mengakomodasi kepentingan-kepentingan anggota keluarganya secara keseluruhan, dan sebagai
konsekwensinya seluruh anggota harus mempunyai komitmen untuk tidak keluar dari peraturan
yang disepakati, sehingga dengan demikian diharapkan terjadi keharmonisan di antara anggota
keluarga tersebut.
Beberapa sikap yang harus dimunculkan oleh setiap anggota keluarga tersebut diantaranya:
1. Tanggung jawab
Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa keluarga – sebagaimana halnya bangsa –
tidak dapat hidup tenang dan bahagia tanpa suatu peraturan, kendali dan disiplin yang
tinggi. Kepincangan dalam menerapkan peraturan mengakibatkan kepincangan kehidupan.
Memimpin rumah tangga adalah sebuah tanggung jawab, demikian juga memimpin
bangsa. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan
dituntut pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Tanggung jawab itu pun idealnya harus ditunjang dengan kemampuan di berbagai bidang
termasuk kemampuan leadership (kepemimpinan), dan disadari ataupun tidak, sikap
bertanggung jawab ini akan menjadi contoh atau tauladan bagi anggota keluarga yang lain,
karena sikap bertanggung jawab ini tidak hanya dibutuhkan oleh sang pemimpin tapi juga
harus menjadi karakter setiap anggota keluarga, bahkan seluruh anggota masyarakat dan
bangsa.
2. Kerjasama
Dalam konteks yang lebih besar, kepemimpinan suatu bangsa misalnya tidak mungkin
mencapai sukses apabila langkah-langkah pemimpin daerah tidak searah dengan
kepemimpinan pusat. Kepemimpinan di setiap daerah itu sendiri pun tidak akan berjalan
mulus jika bertentangan dengan kepemimpinan atau langkah-langkah keluarga, dan dalam
lingkup yang lebih sederhana, kepemimpinan keluarga pun tentu tidak akan berdaya jika
tidak ditunjang kerjasama dari seluruh anggota keluarga itu sendiri, dengan demikian
keharmonisan serta keteraturan dalam sebuah keluarga akan sukses jika didukung oleh
semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Hal tersebut lahir dari rasa cinta terhadap anak dan tanggung jawab terhadap generasi
selanjutnya. Dalam al-Qur’an anak disebut sebagai “buah hati yang menyejukkan”, serta
“Hiasan kehidupan dunia”. Bagaimana mungkin mereka menjadi “buah hati” dan “hiasan
hidup” jika beban yang dipikul orang tuanya melebihi kemampuannya? Bukankah kita
dianjurkan untuk berdoa: “Ya Tuhan kami, janganlah bebani kami apa yang tak sanggup
kami pikul.
4. Disiplin
Keteraturan-keteraturan seperti yang telah diungkapkan sebelumnya pada aspek ibadah,
ternyata berkorelasi dengan sikap kedisiplinan. Keteraturan waktu shalat misalnya,
membutuhkan sikap kedisiplinan bagi yang menjalankannya, tanpa kedisiplinan,
kebermaknaan shalat menjadi berkurang, bahkan bisa jadi hilang. Begitupun ibadah-ibadah
yang lain.
Dalam kehidupan berkeluarga, sikap kedisiplinan ini begitu penting. Untuk mendapatkan
kesejahteraan, seorang kepala keluarga perlu memiliki sikap disiplin dalam mengatur
waktu untuk bekerja, ibadah dan istirahat, demikian juga seorang anak, untuk menggapai
cita-citanya dia harus rela mendisiplinkan diri dan waktunya untuk belajar, bermain, ibadah
dan istirahat. Tanpa kedisiplinan, keteraturan hidup susah tercapai.
5. Kasih saying
Di antara perasaan-perasaan mulia yang ditanamkan Allah di dalam keluarga adalah
perasaan kasih sayang. Seorang ayah rela bekerja keras mencari nafkah tentu karena kasih
sayang terhadap anak dan istrinya, seorang ibu tanpa mengeluh dan tak kenal lelah
mengandung anaknya selama sembilan bulan, inipun dilandasi cinta dan kasih sayang
kepada sang jabang bayi, bahkan setelah sang anak lahir, dia pun rela mengorbankan diri
dan waktunya untuk membesarkan anaknya tersebut, serta masih banyak lagi contoh
keajaiban dari kekuatan besar yang dinamakan cinta yang merupakan anugrah dari Allah
SWT.
Sejatinya, kekuatan besar tersebut melandasi seluruh aspek kehidupan berkeluarga, karena
dengan cinta sesuatu yang berat akan terasa mudah. Dan sebaliknya, jika seseorang hatinya
kosong dari cinta atau maka orang tersebut akan cenderung bersifat keras dan kasar, dan
pada akhirnya bisa berakibat tidak baik bagi kelangsungan hidup berkeluarga, seperti
timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan lain sebagainya.