Makalah disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Menjelang Ajal
dan Paliatif.
Dosen pengampu: Ns. Sang Ayu Made Adyani. S.Kep., M.Kep, Sp.Kep Kom.
Disusun oleh:
Putri Widyawati 1710711091
Mutiara Zahira Fajri 1710711107
Kiki Audilah 1710711109
Risma Dianty Kusuma Putri 1710711125
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga akhirnya kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Perawatan Jenazah Berdasarkan
Agama Kong Hu Chu” tepat pada waktu.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif yang diampu oleh Ibu Ns. Sang Ayu
Made Adyani. S.Kep., M.Kep, Sp.Kep Kom. Dengan dibuatnya makalah ini kami
berharap dapat bermanfaat dan membantu para pembaca tentang perawatan jenazah
pada pasien yang menganut agama Kong Hu Chu.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kematian (death) merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi, dan
tekanan darah, serta hilangnya respon terhadap stimulus eksternal, ditandai dengan
terhentinya aktivitas listrik otak, atau dapat juga dikatakan terhentinya fungsi
jantung dan paru secara menetap atau terhentinya kerja otak secara
menetap. Kematian bagi kalangan Tionghoa dalam hal ini orang Tionghoa tradisi
masih sangat tabu untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian
merupakan sumber “malapetaka” atau “sial”. Itulah sebabnya perlu ditangani
dengan ritual keagamaan yang benar sehingga kelak mereka tidak diganggu oleh
roh yang meninggal itu. Pada perawatan jenazah menurut agama Konghuchu
perlengkapan-perlengkapan dalam perkabungan sepreti, pakaian jenazah maupun
yang berkabung atau melayat, peti mati yang ukuran besar dan berat dengan ukiran
kuno, tempat dupa (Hio Lo) benda ini mempunyai dua buah kuping,sedangakan
pada bagian depannya terukir sebuah kata Hi (bahagia), lilin menurut kepercayaan
mereka tetesan air lilin ini tidak boleh kena tubuh kita, karena akan membawa sial
seumur hidup, Foto Almarhum diletakkan di depan peti mati yang kemudian setelah
pemakaman dibawa pulang oleh putra sulung untuk di sembah, Tata-cara
Pemakaman orang Tionghoa sebenarnya dengan mengubur.
1
BAB 2
PEMBAHASAN
Pengkajian masalah ini antara lain adanya tanda klinis saat menghadapi
kematian (sekarat), seperti perlu dikaji adanya hilangnya tonus otot, relaksasi
wajah, kesulitan untuk berbicara, kesulitan menelan, penurunan aktivitas
gastrointestinal, melemahnya tanda sirkulasi, melemahnya sensasi, terjadinya
sianosis pada ekstremitas, kulit teraba dingin, terdapat perubahan tanda vital seperti
nadi melambat dan melemah, penurunan tekanan darah, pernapasan tidak teratur
melalui mulut, adanya kegagalan sensori seperti pandangan kabur dan menurunnya
tingkat kecerdasan. Pasien yang mendekati kematian ditandai dengan dilatasi pupil,
tidak mampu bergerak, refleks hilang, nadi naik kemudian turun, respirasi cheyne
stokes (napas terdengar kasar), dan tekanan darah menurun. Kematian ditandai
2
dengan terhentinya pernapasan, nadi, dan tekanan darah, hilangnya respons
terhadap stimulus eksternal, hilangnya pergerakan otot, dan terhentinya aktivitas
otak.
3
Kematian adalah bagian dari setiap orang dan makluk ciptaan Tuhan, yang
tidak mungkin dihindari. Ia begitu menyengat nyawa, tidak memandang ras,
ekonomi, usia, jabatan, dan Agama. Alkitab secara “konsisten” mengaitkan
kematian itu dengan dosa atau maut. (bnd Kej. 2:17; Maz 90:7-11; Rm 5:12; 6:23;
1 Kor 15:21 dan Yak 1:1-5).
Manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja (Ibr 9:27), walaupun
sering kita mendengar orang mengatakan ada yang mati dan hidup lagi, biasanya
itu yang disebut dengan mati suri. Sebenarnya kematian itu tidak sesuai dengan
kodrat manusia, hal ini disebabkan oleh pemberontakkannya kepada Allah. Bruce
Milne, menambahkan bahwa ini merupakan salah satu bentuk hukuman ilahi.
Namun menurut firman Tuhan , walaupun kematian itu tak terelakkan, bukan
merupakan akhir dari segala sesuatu. Itu sebabnya pada masa manusia itu diberi
kesempatan untuk hidup, haruslah mempergunakan kesempatan itu dengan sebaik-
baiknya.
Kematian bagi kalangan Tionghoa dalam hal ini orang Tionghoa tradisi
masih sangat tabu untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian
merupakan sumber “malapetaka” atau “sial”. Itulah sebabnya perlu ditangani
dengan ritual keagamaan yang benar sehingga kelak mereka tidak diganggu oleh
roh yang meninggal itu.
1) Hubungan Anak dan Orangtua
Tradisi Tionghoa sangat menuntut agar anak-anaknya senantiasa
menghormati orangtua. Tradisi ini sebenarnya wajar dilakukan
jikalau orangtua yang dimaksud masih hidup. Yang menjadi tidak wajar
adalah tatkala orang tersebut sudah matipun harus dihormati dan diangap
sekan-akan masih hidup. Parrinder menjelaskan bahwa, yang dimaksud
dengan menghormati orangtua yang sudah mati adalah dengan cara
menjalankan kewajiban memberikan mereka korban dan makanan. Atau ada
juga yang mengirimkan mereka rumah, pakaian, uang, mobil, computer
(laptop) dan sebaginya.
4
Penghormatan terhadap orangtua disebut Hao (Hshiao) yang bagi
mereka harus disertai sikap hormat pada orang-orang yang lebih tua sebagai
pernyataan kasih. Sikap hormat ini berlangsung setiap hari kepada mereka
yang masih hidup dan setelah meninggal dilakukan dengan cara yang
berbeda. Oleh sebab itu seorang anak sangat dipentingkan oleh keluarga
orang Tionghoa, terutama anak laki-laki. Bagi mereka anak bukan hanya
untuk melanjutkan marga (She) dan membawa berkat (Hokky) , tetapi yang
terutama untuk mengganti sang ayah merawat abu leluhur.
Menurut Nio Joe Lan, ada dua macam pendapat tentang pemujaan
terhadap arwah leluhur:
1) Arwah manusia itu hidup terus, dengan memujanya maka
diharapkan arwah leluhur itu akan melindungi keturunannya dari
malapetaka.
2) Pemujaan terhadap arwah leluhur semata-mata hanya merupakan
peringatan terhadap leluhur, yakni mereka yang telah memberi
hidup pada generasi masa kini. Jadi dengan kata lain, memelihara
“meja abu” tersebut hanya untuk mengenang orangtua yang sudah
meninggal.
Seorang anak laki-laki yang tidak mengurus “abu leluhur”, disebut Put
Hao (tidak berbakti), bahkan yang lebih dahsyat lagi keluarga yang tidak
memiliki anak laki-laki juga digolongkan sebagai Put Hao. Itu sebabnya
ada kelurga yang terpaksa mengadopsi anak laki guna memenuhi syarat ini,
bahkan yang lebih celaka konsep ortodox mereka, seorang suami diijinkan
menikah lagi demi untuk mendapat anak laki-laki.
5
tahun untuk Bumi, satu tahun untuk udara dan satu tahun untuk laut), oleh
sebab itu orang tersebut harus disembah terutama oleh mereka yang lebih
muda, termasuk anak cucu.
Penyembahan dilakukan di kubur, selain itu dapat juga dilakukan di
rumah dengan cara memanggil roh arwah tersebut di depan altar ( Hio Lo)-
nya. Biasanya Hio Lo ini dipasang di rumah putra sulung, kecuali atas
persetujuan keluarga maka boleh ditempatkan di rumah anak yang lain.
Jaman ini tersedia fasilitas khusus untuk meletakkan abu leluhur, dan ada
orang-orang volunteer yang bersedia mengurusnya. Untuk mengetahui
apakah roh yang dipanggil itu sudah hadir atau belum maka diadakan Puak
Poi yakni dengan melemparkan dua keping uang logam. Apabila jatuhnya
berlainan sisi sebanyak tiga kali berturut-turut, itu berarti roh arwah yang
dipanggil sudah hadir.
Menurut kepercayaan mereka, orang yang mati secara tragis
misalnya, tabrakan,bunuh diri, dan dibunuh, rohnya akan gentayangan;
karena belum tiba saatnya dipanggil masuk dunia orang mati. Nama mereka
belum tercantum di dalam kerajaan maut (Im Kan) yang dikuasai raja Giam
Lo (Ong = raja). Roh gentayangan inilah yang biasanya disembah mereka
pada hai Cui Ko, yakni bulan ke tujuh tanggal lima belas.
3) Tempat Persemayaman
Pada jaman dulu, mengurus jenazah orang mati selalu menjadi tugas
keluarga. Saat itu banyak orang yang matinya di rumah bukan di rumah
sakit. Anggota keluarga memandikan dan menyiapkan tubuh itu sebelum
dimakamkan, tukang kayu setempat membuat peti mati, pesuruh gereja
menggali lubang; sedangkan upacara diadakan di gereja atau di rumah.
Dengan dihadiri sanak famili dan kerabat-kerabat, tubuh (Jenazah)
dibaringkan dipekuburan milik gereja atau halaman rumah.
Menurut tradisi Tionghoa, jikalau seseorang meninggal, maka
mayatnya harus disemayamkan bebrapa hari sambil mengadakan upacara-
upacara sembahyang dan pada malam hari mayatnya harus tetap dijaga,
sebab menurut kepercayaan mereka apabila mayat tersebut dilangkahi
kucing maka mayat itu bisa bangkit berdiri. Pada saat inilah sanak keluarga
6
mengadakan penyembahan kepada roh orang yang meninggal sebagai suatu
penghormatan (Hao).
Tempat persemayaman jenazah biasanya dilakukan di rumah,
namaun sekarang orang lebih senang memakai rumah sosial, di Surabaya
misalnya Yayasan Sosial Adi Jasa dan sebagainya. Sebenarnya bagi orang
Tionghoa tradisi, menyemayamkan orang mati di rumah sendiri itu lebih
baik, hal ini jugga untuk menunjukkan Hao mereka, namun karena pada
masa sekarang karena masalah keamanan, rumah yang tidak memadai,
parkir, membuat orang-orang memakai rumah sosial.
Pakaian Berkabung
Orang yang berkabung (istilahnya Hao Lam) mengenakan pakaian serba
putih, topi putih yang terbuat dari kain blacu. Mereka yang lebih kental tradisinya
lagi memakai pakaian serba hiam. Selain itu juga dipasang Ha di lengan baju kiri
tanda berkabung. Tujuan mereka memakai pakaian berkabung adalah untuk
meringankan penderitaan orang yanag meninggal, semakin kental tradisi itu
dijalankan maka semakin ringan penderitaannya. Sedangkan dampaknya bagi yang
7
berkabung, mereka akan mendapat pengaruh baik atau Hokky , semakin lama masa
berkabung, maka semakin banyak pengaruh baiknya.
B. Peti Mati
Peti mati yang dipakai orang Tionghoa tradisi kelihatannya menyeramkan,
sebab selain ukurannya besar, berat ditambah lagi banyak ukir-ukiran
kuno. Merupakan kebanggan tersendiri, apabila sanak keluarga mampu membeli
sendiri peti mati, sebab ada kepercayaan mereka siapa yang yang membeli, dialah
yang akan mendapat banyak rezeki. Bagi mereka peti mati merupakan sarana untuk
menghantar orang mati ke dalam kuburnya, oleh sebab itu semua barang-barang
kesayangan almarhum supaya dimasukkan juga ke dalamnya. Pembelian peti mati
yang mahal juga merupakan salah satu bukti Hao nya anak-anak, dan ada kebiasaan
peti tersebut tidak boleh ditawar harganya.
C. Tempat Dupa
Tempat dupa (Hio Lo), merupakan sebuah bokor kecil yang fungsinya
sebagai tancapan dupa. Benda ini mempunyai dua buah kuping, sedangakan pada
bagian depannya terukir sebuah kata Hi (bahagia). Lazimnya Hio Lo itu terbuat dari
timah, namun sekarang ini tidak jarang kita lihat Hio Lo yang terbuat dari tanah
liat. Hio Lo itu diisi abu dapur yang kemudian dipercayai sebagai abu leluhur dan
harus dipelihara sampai generasi turun-temurun. Dupa (Hio) merupakan alat
sembahyang yang dibakar dan mengeluarkan bau-bau harum. Makna yang
terkandung dalam pembakaran dupa ialah menemukan jalan suci. Dalam konteks
kematian seperti ini Hio menyatakan bahwa yang bersangkutan hadir dalam acara
perkabungan. Melalui Hio ini akan terjalin komunikasi antara hidup dan yang mati.
D. Lilin
Lilin merupakan tanda duka-cita, tetapi juga merupakan tanda bahwa para
pelayat tidak membawa sial. Menurut kepercayaan mereka tetesan air lilin ini tidak
boleh kena tubuh kita, karena akan membawa sial seumur hidup.
E. Foto Almarhum
8
Foto Almarhum diletakkan di depan peti mati yang kemudian setelah
pemakaman dibawa pulang oleh putra sulung untuk di sembah. Foto juga dipakai
sebagai iklan di Surat Kabar, supaya sanak famili, handai-taulan mengetahui beliau
ini sudah meninggal. Sering terjadi percekcokkan hanya karena nama seseorang
famili lupa dicantumkan, oleh sebab itu memerlukan ketelitian.
9
Pemberangkatan jenazah ke tempat pemakaman dimulai dengan
sembahyang. Kali ini semua sanak famili mempersembahkan korban berupa
daging, buah-buahan atau kue-kue, yang setelah selesai acaranya boleh
dibawa pulang untuk dimakan bersama, supaya mendapat berkat dan
rezeki. Pada saat yang sama menantu laki mengadakan ritualnya dengan
mempersembahakan “Leng Ceng”
Bagi mereka yang masih memegang ketat tradisi, untuk
menunjukkan rasa cinta anak pada orang tua, maka mereka diharuskan
telanjang kaki berjalan samapi persimpangan jalan barulah boleh masuk ke
mobil jenazah yang mengantar sampai ke kubur. Namun belakangan ini
tradisi seperti ini jarang dilakukan, sebab selain udara yang panas juga
mengganggu lalu-lintas jalan.
Selain itu juga diadakan pemecahan guci, semangka dan sebagainya,
semua ini tujuannya supaya mendapatkan berkat.
10
anak sulung membawa Hio Lo sambil dupanya tetap dinyalahkan dan anak
yang lain memegang foto almarhum.
Dalam sepanjang perjalanan itu, anak-anak almarhum harus
memberi komandao, misalnya tatkala meliwati jembatan. Komando ini
diucapkanm serentak kepada roh yang mereka bawa melalui Hio Lo, supaya
roh tersebut tidak tersesat pulang ke rumah. Hio Lo inilah yang kemudian
diletakkan di rumah anak sulung supaya disembah oleh semua sanak
keluarga.
Para pelayat yang yang sudah tiba di rumah duka atau rumah
almarhum, biasanya disediakan air bunga untuk cuci wajah dan disediakan
makanan ala kadarnya.
Pada dasarnya melalui uraian ini dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa
kematian bagi orang Tionghoa tradisi merupakan sesuatu yang tabu, mengerikan
dan penuh misteri. Mereka percaya ada kehidupan setelah kematian, namun sayang
semuanya penuh ketidak-berdayaan dan penderitaan, sehingga orang-orang yang
meninggal justru memerlukan pertolongan dari sanak keluarga, misalnya dalam
memenuhi kebutuhan makanan,pakaian, rumah serta uang. Herannya dalam ritual
yang lain, sanak keluarga menganggap bahwa orang yang mati itu sudah menjadi
dewa, sehingga mereka datang kepada arwah tersebut untuk mohon berkat (rejeki).
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kematian suatu keadaan alamiah yang setiap individu pasti akan
mengalaminya. Secara umum, setiap manusia berkembang dari bayi, anak-anak,
remaja, dewasa, lansia dan akhirnya mati.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatannya, perawat harus mengetahui
konsep kematian berdasarkan agama pasien. Perawat memiliki peranan dalam
perawatan jenazah. Perawatan yang dilakukan terhadap jenazah berbeda sesuai
dengan agama pasien. Dalam agama Khonghucu adalah dengan dimasukkannya
jenazah ke peti bersama barang-barang kesukaan jenazah dan uang kertas
sembahyang.
Dalam melakukan perawatan jenazah, perawat harus mengetahui penyebab
kematian pasien, apakah karena penyakit menular atau tidak. Jika, pasien tersebut
meninggal karena penyakit menular, maka perawat harus menggunakan alat
pelindung diri saat melakukan perawatan jenazah.
12
DAFTAR PUSTAKA
Potter & Perry. Buku Ajar Fundamental keperawatan volume 1. Edisi 4. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran
Kozier dkk. Fundamental of nursing concepts, process and practice. Edisi 7.
http://www.spocjournal.com/religi/687-rakernas-rohaniwan-2016-tata-laksana-
upacara-duka-agama-khonghucu.html
https://www.academia.edu/30814246/Asuhan_Keperawatan_Klien_Terminal
Mawardi, marmiati. 2010. Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu Dalam
Perspektif Psikologis
13