PENGERTIAN
Alergi obat merupakan reaksi simpang obat yang tidak diinginkan akibat adanya
interaksi antara agen farmakologi dan sistem imun manusia. Terdapat empat jenis
reaksi imunologi menurut Gel! dan Coombs, yaitu hipersensitivitas tipe 1 (reaksi dengan
IgE), tipe 2 (reaksi sitotoksik), tipe 3 (reaksi kompleks imun) dan tipe 4 (reaksi imun
selular). 1
Manifestasi alergi obat tersering adalah di kulit, yang terbanyak yaitu berupa ruam
makulopapular. Selain di kulit, alergi obat dapat bermanifestasi pada organ lain, seperti
hati, paru, ginjal, dan darah. Reaksi alergi obat dapat terjadi cepat a tau lam bat, dapat
terjadi setelah 30 menit pemberian obat hingga beberapa minggu. 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat obat-obatan yang sedang dipakai pasien, riwayat obat-obatan mas a lampau,
lama pemakaian dan reaksi yang pernah timbul, lama waktu yang diperlukan mulai
dari pemakaian obat hingga timbulnya gejala, gejala hilang setelah pemakaian obat
dihentikan dan timbul kembali bila diberikan kembali, riwayat pemakaian antibiotik
topikal jangka lama, keluhan yang dialami pasien dapat timbul segera ataupun beberapa
hari setelah pemakaian obat (pasien dapat mengeluh pingsan, sesak, batuk, pruritus,
demam, nyeri sendi, mual) 1· 3-4
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, hipotensi, limfadenopati, ronki, mengi, urtikaria, angioedema,
eritema, makulopapular, eritema multiforme, bengkak dan kemerahan pada sendP· 4·5
DIAGNOSIS BANDING 4
• Sindrom karsinoid • Penyakit graft-versus-host
D • Gigitan serangga • Penyakit Kawasaki
• Mastositosis • Psoriasis
• Asma • Infeksi virus
• Alergi makanan • Infeksi Streptococcus
• Keracunan makanan
• Alergi lateks
• Infeksi
TATALAKSANA
Non Farmakologis 1
Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai.
Farmakologis
• Terapi tergantung dari manifestasi dan mekanisme terjadinya alergi obat.
Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala
ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. 1 Pada kasus yang berat,
kortikosteroid sistemik dapat mempercepat penyembuhan. 4
• Pada kelainan kulit yang be rat seperti pad a SSJ, pasien harus menjalani perawatan.
Pasien memerlukan asupan nutrisi dan cairan yang adekuat. Perawatan kulit juga
memerlukan waktu yang cukup lama, mulai dari hitungan hari hingga minggu. Hal
lain yang harus diperhatikan adalah terjadinya infeksi sekunder yang membuat
pasien perlu diberikan antibiotika. 1
• Tata laksana anafilaksis dapat dibaca pada bagian anafilaksis.
• Pada kasus urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya
sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih be rat seperti vaskulitis, penyakit
serum, kelainan darah, hepatitis, atau nefritis interstisial biasanya memerlukan
Alergi Obat
Ya
1
Merujuk pada reaksi obat----.. Tidak
1
Kecurigaan terhadap
1
Cari Etiologi lain
hipersensitivitas terhadap
obaUreaksi imunologi
Ya I Tidak 1
J l Evaluasi dan terapi
etiologi tersebut
Mekanisme imunologis: Mekanisme non imun:
- Diperantarai lgE - Efek samping obat
- Sitotoksik - Toksisitas obat
- Kompleks imun - lnteraksi antar obat
- Reaksi tipe lambat - Overdosis obat
- Mekanisme imun lain - Pseudoalergi
- ldiosinkrasi
- lntoleransi
1
Evaluasi
Manajemen:
- Modifikasi dosis
dengan melakukan - Substitusi obat
Ya I Tidak
J l
Apakah tes memiliki
'I' "'o
Diagnosis alergi
nilai kemaknaan tinggi
ob•t Tidak I Ya
Berikan obat
dengan
J observasi
Manajemen:
- Desensitisasi atau uji bertahap sebelum obat diberikan
- Reaksi anafilaksis diberikan terapi emergensi
- Hindari pemakaian obat
- Pemberian profilaksis sebelum pemakaian obat
- Waspada pad a penggunaan obat di masa mendatang
- Edukasi pasien
KOMPLIKASI
Anafilaksis, anemia imbas obat, serum sickness, kematian 3·5 · 6
PROGNOSIS
Alergi obat akan membaik dengan penghentian obat penyebab dan tatalaksana
~
yang tepat. Apabila penghentian pemberian obat yang menjadi penyebab alergi segera
dilakukan, maka prognosis akan semakin baik. 3· 5
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam,
Bagian Kulit dan Kelamin
• RS non pendidikan : Departemen Kulit dan Kelamin
REFERENSI
1. Djauzi S, Sundaru H, Mahdi D, Sukmana N. Alergi obat. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B. Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'" ed. Jakarta: Pusat lnformasi dan
Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI. 2009 p. 387-91.
2. Baratawidjaja KG. Rengganis I. Alergi Dasar edisi ke-1. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit
Dalam. 2009. h. 457-95.
3. Shinkai K, Stern R, Wintroub B. Cutaneous drug reactions. In: Fauci A, Kasper D. Longo D, Braunwald
E. Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18"' ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2012 p. 432-9.
4. Riedl M, Casillas A. Adverse drug reactions: types and treatment options. Am Fam Physician 2003;
68(9):1781-91.
5. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011; 7(Suppl1 ):S10
6. Greenberger PA. Drug allergy. J Allergy Clin lmmunol2006; 117(2 Suppi):S464-70
ASMA BRONKIAL
PENGERTIAN
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemen selular. lnflamasi kronik ini terkait dengan hiperreaktivitas
saluran napas, pembatasan aliran udara, gejala respiratorik dan perjalanan penyakit
yang kronis. Episode ini biasanya terkait dengan obstruksi aliran udara dalam paru
yang reversibel baik secara spontan ataupun dengan pengobatan.l-3
Asma disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang
berpengaruh adalah riwayat keluarga dan atopi. Obesitas juga terkait dengan
peningkatan prevalensi asma. Beberapa pemicu serangan asma antara lain alergen,
infeksi virus pada saluran napas atas, olahraga dan hiperventilasi, udara dingin, polusi
udara (asap rokok, gas iritan), obat-obatan seperti penyekat beta dan aspirin, serta
stres. 2
Pada asma, terdapat inflamasi mukosa saluran napas dari trakea sampai bronkiolus
terminal, nam un predominan pad a bronkus. Sel-sel inflamasi yang terlibat pad a asma
antara lain sel mast, eosinofil, limfosit T, sel dendritik, makrofag, dan netrofil. Sel-sel
struktural saluran napas yang terlibat an tara lain sel epitel, sel otot polos, sel endotel,
fibroblas dan miofibroblas, serta sel saraf. Penyempitan saluran nafas terutama terjadi
akibat kontraksi otot polos saluran napas, edema saluran napas, penebalan saluran
napas akibat remodeling, serta hipersekresi mukus. 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Asma dapat didiagnosis dari gejala yang dialami dan riwayat penyakit pasien.
Anamnesis 1•3
Episode berulang sesak napas, mengi, batuk, dan rasa be rat di dada, terutama saat
malam dan dini hari. Riwayat munculnya gejala setelah terpapar alergen a tau terkena
udara dingin atau setelah olahraga. Gejala membaik dengan obat asma. Riwayat asma
pada keluarga dan penyakit atopi dapat membantu diagnosis.
l. PPrhlmnrrht'ft'< l!n\tt.::li.l\~-~!nlk Penyoklt Daram lndonesla
Pemeriksaan Penunjang 1· 3
Spirometri (terutama pengukuran VEP1 [volume ekspirasi paksa dalam 1 detik]
• dan KVP [kapasitas vital paksa]) serta pengukuran APE (arus puncak ekspirasi) adalah
pemeriksaan yang penting.
• Spirometri: peningkatan VEP1 <::12% dan 200cc setelah pemberian bronkodilator
menandakan reversibilitas penyempitan jalan napas yang sesuai dengan
asma. Sebagian besar pasien asma tidak menunjukkan reversibilitas pada tiap
pemeriksaan sehingga dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan ulang.
• Pengukuran APE Idealnya dibandingkan dengan nilai terbaik APE pasien sendiri
sebelumnya, dengan menggunakan alat peak flow meter sendiri. Peningkatan
60 Ljmenit (atau <::20% dari APE prebronkodilator) setelah pemberian inhalasi
bronkodilator atau variasi diurnal APE lebih dari 20% (lebih dari 10% dengan
pemeriksaan dua kali sehari) mendukung diagnosis asma.
Pemeriksaan IgE serum total dan IgE spesifik terhadap alergen hirup
[radioallergosorbent test (RAST)] dapat dilakukan pada beberapa pasien. Foto toraks
dan uji tusuk kulit (skin prick testjSPT) dapat membantu walaupun tidak menegakkan
diagnosis asma. Selain itu, dapat pula dilakukan uji bronkodilator atas indikasi, tes
provokasi bronkus atas indikasi, dan analisis gas darah atas indikasi.
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom hiperventilasi dan serangan panik, obstruksi saluran napas atas dan
terhirupnya benda asing, disfungsi pita suara, penyakit paru obstruktifkronik (PPOK),
penyakit pan! parenkim difus, gaga! jantung
TAT ALAKSANA
Nonfarmakologis 2
Menghindari paparan terhadap alergen dan penggunaan obat yang menjadi pemicu
asma, penurunan berat badan pada pasien yang obese.
Farmakologis
Tahap-tahap tatalaksana untuk mencapai kontroJ3:
1. Obat penghilang sesak sesuai kebutuhan
Menggunakan agonis-(32 inhalasi kerja cepat. Alternatifnya adalah antikolinergik
inhalasi, agonis-j32 oral kerja singkat dan teofilin kerja singkat.
2. Obat penghilang sesak ditambah satu obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kortikosteroid
inhalasi dosis rendah (budesonid 200-400 11g atau ekivalennya). Alternatif obat
pengendali adalah leukotriene modifier teofilin lepas-lambat, kromolin.
3. Obat penghilang sesak ditambah satu atau dua obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan agonis-(32 inhalasi kerja-
panjang (LABA). Alternatifpengendali adalah kortikosteroid inhalasi dosis sedang
(budesonide 400-800 11g a tau ekivalennya) a tau kombinasi kortikosteroid inhalasi
dosis rendah dengan leukotriene modifier a tau kombinasi kortikosteroid inhalasi
dosis rendah dengan teofilin lepas-lambat.
4. Obat penghilang sesak ditambah dua atau lebih obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis sedangjtinggi (budesonide 800-1600 ~tg atau
ekivalennya) dengan LABA. Alternatifpengendali adalah kombinasi kortikosteroid
inhalasi dosis sedang/tinggi dengan !eukotriene modifier atau kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis sedangjtinggi dengan teofilin lepas-lambat.
5. Obat penghilang sesak ditambah pilihan pengendali tambahan
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali tahap 4 ditambah
kortikosteroid oral. Alternatifnya adalah ditambah terapi anti-lgE
Panduan Praldik Klinis
Perhtfr1punor._Ookter Spe$-lalis: Pe'nYokit Oolam lndoriesio
t I
I
ditu runkan I ditingkatkan
Respiratory arrest
Ringan Sedang Berat
imminent
Mengi Sedang Keras Biasanya keras Tidak ada
Frekuensi nadi per < 100 100-120 > 120 Bradikardi
men it
Pulsus paradoksus Tidakada Dapatada Sering ada Tidak ada
< 10mmHg 10-25mmHg > 25 mmHg menunjukkan
adanya
kelelahan otot
pernapasan
APE setelah >80% 60-80% <60%
bronkodilator inisial
I % prediksi atau %
nilai terbaik pribadi
Pa02 Normal > 60mmHg < 60mmHg
Kemungkinan
dan atau sianosis
PaC02 <45 mmHg <45 mmHg >45mmHg
Kemungkinan
gaga! napas
Sa02 >95% 91-95% <90%
KOMPLIKASI
Penyakit paru obstruktifkronik (PPOK), gaga! jan tung. Pada keadaan eksaserbasi
akut dapat terjadi gaga! napas dan pneumotoraks.
PROGNOSIS
Keadaan yang berkaitan dengan prognosis yang kurang baik antara lain asma
tidak terkontrol secara klinis, eksaserbasi sering terjadi dalam satu tahun terakhir,
menjalani perawatan kritis karena asma, VEP1 yang rendah, paparan terhadap asap
rokok, pengobatan dosis tinggi. 2
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICU/Medical High Care
• RS non pendidikan : ICU
Asma Bronkial
REFERENSI
1. Sundoru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Simadibrata M, Setiati
S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: lnternaPublishing, 2009. H. 404-14
2. Barnes PJ. Asthma. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J,
penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies, 2012.
h. 2102-15
3. Global initiative for asthma. Global strategy for asthma management and prevention. 2011
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY
SYNDROME (AIDS)
D PENGERTIAN
AIDS adalah infeksi yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus yang
menyebabkan suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh
yang meliputi infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik,
hingga stadium lanjut).1.2
Stadium AIDS menurut WHO yaitu: 2
• Stadium 1: asimtomatik, limfadenopati generalisata
• Stadium 2
Berat badan turun kurang dari 10%
Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur
kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Infeksi saluran napas atas rekuren
• Stadium 3
Berat badan turun lebih dari 10%
Diare yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan) kurang dari 1 bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leucoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
• Stadium 4
HIVwasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis carinii
Toksoplasmosis serebral
Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari 1 bulan
Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
(misalnya retinitis CMV)
[~!~!!!!s!t!~!!~·Kiinis
1
0Acquired.lmmunodeficiencySyncfrorne (AIDS}
DIAGNOSIS 1· 4
Anamnesis
• Kemungkinan sumber infeksi HIV
• Gejala dan keluhan pasien saat ini, termasuk untuk mencari adanya infeksi
oportunistik, an tara lain demam, batuk, sakit kepala, diare
• Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk
infeksi oportunistik
• Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan
kontak dengan TB sebelumnya
• Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
• Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
• Riwayat penggunaan terapi anti retroviral (Anti Retroviral Therapy (ART)) termasuk
riwayat regimen untuk PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission)
sebelumnya
• Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
• Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
• Kebiasaan merokok
• Riwayat alergi
• Riwayat vaksinasi
• Riwayat penggunaan NAPZA suntik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan, tanda-tanda yang
mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang
Panduan Praltik·Kiinis
Perhtmpunaf1 Qokter Spesiof!S penyakit Do!a~·n lndonesig
terdapat pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari
faktor risiko penularan HIV dan AIDS seperti needle track pada pengguna NAPZA
suntik, dan tanda-tanda !MS.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan penyaring: enzyme immunoassay (EIA) atau rapid tests (aglutinasi,
immunoblot) dengan tiga metode yang berbeda
• Pemeriksaan konfirmasi: metode Western Blot (WB) bila diperlukan
• Pemeriksaan Darah lainnya
D DPL dengan hitung jenis
Total lymphocye count (TLC) atau hitung limfosit total: [o/o limfosit x jumlah
Leukosit] (dengan catatan jumlah leukosit dalam batas normal)
Hitung CD4 absolut
Pemeriksaan HIV RNA viral load dengan polymerase chain reaction
DIAGNOSIS BANDINGu
Penyakit imunodefisiensi primer
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Pemeriksaan Lanjutan 1· 4
• Serologi Hepatitis B dan Hepatitis C
• Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunistik
L Tuberkulosis
a. Pemeriksaan BTA sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) dan atau foto toraks
b. Diagnosis definitif dengan kultur BTA, tetapi hal ini membutuhkan waktu
yang lama
2. Diare: pemeriksaan analisis feses
3. Infeksi otak: ensefalitits toksoplasma, meningoensefalitis tuberkulosis, atau
kriptokokkus. Diagnosis dan tata laksana bekerja sama dengan Departemen
Neurologi.
TATALAKSANA 1-4
• Konseling
• Suportif
• Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik
• Profilaksis kotrimoksasol:
• Profilaksis kotrimoksasol diberikan sebagai pencegahan terhadap pneumonia
Pneumocystis jirovecii dan infeksi toxoplasmosis pada pasien dengan CD4 kurang
dari 200 seljmm 3· Profilaksis primer menggunakan kotrimoksasol double strength
(OS) 1 tabletjhari.
• Terapi antiretroviral (ART) dengan pemantauan efek sam ping dan adherens minum
obat. Pada tabel 1 dapat dilihat indikasi untuk memulai ART. Pada tabel 2 dapat
dilihat rekomendasi regimen lini pertama ART pada target populasi yang belum
pernah terapi ARV. Dosis ART dapat dilihat pada tabel 3.
D 5. Efavirenz (EFV) NNRTI 600mg 33- < 40 kg: 400 mg sekali sehari
Dosis maksimal:
:?: 40 kg: 600 mg sekali sehari
6. Sfavudin (d4T) NRTI Tablet: 30 mg 30 mg/dosis, 2x/hari
7. Abacavir (ABC) NRTI Tablet: 300 mg 300 mg/dosis, 2x/hari,
8. Tenofovir NRTI Tablet: 300 mg Diberikan setiap 24 jam
disoproxil fumaraf lnteraksi obat dengan didanosine
(TDF) (ddl), tidak lagi dipadukan
dengan ddl
9. Tenofovir + NRTI Tablet: 200 mg/ 300 1 tablet/dosis, 1x/hari
Emtricitabin mg
Lini kedua
l. Lopinavir/ritonavir Inhibitor Tablet tahan suhu 400 mg/100 mg setiap 12jam-
(LPV/r) protease panas, 200mg untuk pasien naive
lopinavir + 50 mg
ritonavir
2. TDF NRTI Tablet: 300 mg Diberikan setiap 24 jam
lnteraksi obat dengan ddl, tidak
lagi dipadukan dengan ddl
keterangan:
NRTI=nuc/eoside reverse transcriptase inhibitor
NNRTI=nonnuc/eoside reverse transcriptose inhibitor
~ Pada ODHA yang mengalami resistensi pada lini pertama maka kombinasi obat
yang digunakan adalah :
Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC
atau FTC) sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua. Apabila pada lini pertama
menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada regimen lini
kedua.
Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Tabel 3. Rekomendasi regimen lini pertama pada target populasi yang belum pernah terapi ARVH
Target Populasi Rekomendasi Catatan
Dewasa dan ZDV atau TDF + 3TC • Pilih regimen yang bisa diberikan untuk mayoritas
Remaja atau FTC + EFV atau ODHA
NVP • Gunakan fixed dose combination
• Kombinasi awol yang digunakan bagi pasien HIV
dengan hasillab normal adalah ZDV+3TC (Duviral )+
NVP (Neviral)
Perempuan ZDV + 3TC + EFV atau • Tidak boleh menggunakan EFV pada trimester
Hamil NVP pertama
• TDF bisa merupakan pilihan
Koinfeksi HIV/TB ZDV atau TDF + 3TC • Mulailah terapi ARV dalam 8 minggu pertama setelah
atau FTC + EFV memulai terapi TB.
• Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan
Koinfeksi HIVI TDF + 3TC atau FTC + • Pertimbangkan screening HBsAg sebelum memulai
HBV EFVatau NVP terapi ARV
• Diperlukan penggunaan 2 terapi ARV yang memiliki
aktivitas anti-HBV
Keterangan: ZDV: zidovudine; TDF=tenofovir; 3TC: lamivudine: FTC: emtricitabine; EFV: efavirenz: NVP: nevirapine.
Bila pasien memiliki Hb<9 maka regimen yang digunakan adalah TDF+3TC. Jika TDF belum tersedia, d4T (stavudine)+3TC selama
6-12 bulan kemudian regimen diganti menjadi AZT +3TC otau TDF+3TC
Bila terdapat indikasi memulai ART, dilakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai
dengan ART yang diberikan untuk mengetahui ada tidaknya kontraindikasi.
• ZDV : pemeriksaan kadar hemoglobin
• NVP : pemeriksaan SGPT
• TD : pemeriksaan fungsi ginjal (kreatinin darah)
• LPV /r : pemeriksaan profillipid dan kadar gula darah puasa
• Bagi perempuan usia subur yang akan mendapat efavirenz dilakukan tes kehamilan
sebelum mendapat ARV.
Tabel4. Rekomendasi pemeriksaan laboratorium untuk memonitor terapi ARV (modifikasi Depkes)3
Tes yang
Tahap Terapi ARV Tes yang Dianjurkan
Direkomendasikan
Pad a saat diagnosis HIV CD4 HbsAg
Sebelum memulai ARV CD4
Pada saat memulai ARV CD4 • Hb untuk ZDV
• Kreatinin Klirens untuk TDF
• SGPT untuk NVP
Pada saat menjalani ARV CD4 • Hb untuk ZDV
• Kreatinin Klirens untuk TDF
• SGPT untuk NVP
Pada saat kegagalan klinls (tabel 5) CD4 Viral load
Pada saat kegagalan imunologis Viral load
(tabel5)
Tes yang
Tahap Terapi ARV Tes yang Dianjurkan
Direkomendaslkan
Wanifa yang menjalani PMTCT Viral load enam
dengan NVP dosis tunggal dengan bulan setelah
lanjutan dalam 12 bulan memulai terapi ARV
• Lamivudin
(jarang), lipoatroft
• Toksisitas rendah
• Asidosis laktat dengan steatosis
hepatitis (jarang)
Abacavir • Reaksi hipersensitif (dapat fatal) ZDVatauTDF
• Demam, ruam, kelelahan, mual,
muntah, tidak nafsu makan
• Gangguan pernafasan (sakit
tenggorokan, batuk)
• Asidosis laktat dengansfeatosis
hepatitis (jarang)
uired lm,munodeficiency Syndrome (AIDS)
Pemberian CD4
Vaksin lndikasi Booster Keterangan
awal (sel/mm3 )
HPV r 3 dosis tidakada berapapun
lnfiuenza R 1 dosis tiap tahun berapapun
Japanese rS 3-4 dosis 3tahun berapapun
encephalitis
MMR RS 1-2 dosis tidak ada >200 2 dosis jika /gG
measles negatif
Meningokok rS 1 dosis 5 tahun berapapun
Pneumokok R 1 dosis 5-10 tahun berapapun
Rabies RS 3 dosis 1 tahun pertama, berapapun
3-5 tahun
berikutnya
Tetanus-difteri R 1-5 dosis 10tahun berapapun
Tifoid RS 1 dosis 2-3 tahun berapapun
& Varisela RS/CS 2 dosis tidak ada >200
Yellow fever cs 1 dosis 100 tahun >200 kontraindikasi
jika usia >60
tahun
R = rekomendasi; RS =rekomendasi pada orang tertentu; CS = dipertimbangkan pada orang tertentu
KOMPLIKASI
Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV, dan manifestasi HIV pada organ lain. 1-4
PROGNOSIS
Pemberian terapi ARV kepada orang dengan HIV I AIDS (ODHA) dapat menurunkan
penyebaran virus Human Immunodefficiency Virus (HIV) hingga 92%. 1 -4
REFERENSI
1_ Fauci AS, Lane HC Human Immunodeficiency Virus: AIDS and related disorders. In: Fauci A.
Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw-
Hill; 2009: 1138-1204
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
2. HIV. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Jakarta: lnterna Publishing; 2009.p. 2130-32.
3. Departemen Kesehatan Rl. Toto Laksana HIV /AIDS. 2012
4. World Health Organization. Antiretroviral therapy for hiv infection in adults and adolescent. 2010
revision. [Update 2010; cited 2011 Mar 11] Available from http://www.who.int
5. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infections in Infants:
Guidelines on care, treatment and support for women living with HIV 1AIDS and their children in
resource-constrained settings. World Health Organization. Switzerland. 2004
6. Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Adult Immunization Schedule. United
States. 2012. Diunduh dari http:/ /www.cdc.gov/vaccines/recs/schedules/downloads/adult/
adult-schedule.pdf pada tanggal 2 Mei 2012.
RENJATAN ANAFILAKSIS
PENGERTIAN
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang beronset cepat, sistemik, dan
mengancam nyawa. Jika reaksi terse but he bat dapat menimbulkan syokyang disebut
syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Untuk
itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik
Insidens syok anafilaktik 40-60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40
persen akibat zat kontras radiografi, dan 10-20 persen akibat pemberian obat
penisilin. Belum ada data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok
anafilaktik di Indonesia. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari
10 juta masyarakat pertahun. Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari 500
kematian akibat reaksi anafilaksis.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Menegakkan diagnosis penyakit alergi diawali dengan anamnesis yang teliti.
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai
dengan tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat berupa syok
anafilaktik, gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi.
Kedua gangguan terse but dapat timbul bersamaan a tau berurutan yang kronologisnya
~ sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya, makin
cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.
Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja
yang kemudian segera diikuti dengan sesak napas.
Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada
reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidakmematikan namun gejala ini amatpenting
untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya
gejala yang lebih be rat berupa gangguan nap as dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu
setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinan
timbulnya gejala yang lebih berat. Manifestasi dari gangguan gastrointestinal berupa
perut kram, mual, muntah sampai diare yang juga dapat merupakan gejala prodromal
untuk timbulnya gejala gangguan napas dan sirkulasi.
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya anafilaksis antara lain usia, jenis kelamin, rute pajanan,
maupun riwayat a to pi. Anafilaksis lebih sering terjadi pad a wan ita dewasa ( 60%) yang
umumnya terjadi pada usia kurang dari 39 tahun. Pada anak-anak usia di bawah 15
tahun, anafilaksis lebih sering terjadi pada laki-laki. Rute pajanan paraenteral biasanya
menimbulkan reaksi yang lebih berat dibanding oral.
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema laring
dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik.
Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda
prodromal pada kulit berupa urtikaria dan eritema.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hi tung eosinofil darah tepi dapat normal a tau meningkat,
demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit kulit (skin prick testjSPT) untuk mencari
faktor pencetus yang disebabkan oleh alergen hirup dan makanan dapat dilakukan
setelah pasiennya sehat.
Penegakan Diagnostis
Diagnosis Klinis
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy Organization telah
membuat beberapa kriteria di mana reaksi anafilaktik dinyatakan sangat mungkin
bila (Simons et al. 2011):
1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang melibatkan kulit, jaringan
mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria generalisata, pruritus dengan kemerahan,
pembengkakan bibir /lidahjuvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda berikut ini:
a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme, strido1~
penurunan arus puncak ekspirasi/ APE, hipoksemia)
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ
target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, sinkop, inkontinensia).
PanduanPraktik Klinis
Pefhimpvrwn DokterSpesla!is: Penyaldf Datam Indonesia
3. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera (beberapa menit hingga
beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin (likely allergen), yaitu:
a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit
b. Gangguan respirasi
c. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ
target
d. Gejala gastrointestinal yang persisten (misal: nyeri kram abdomen, muntah)
5. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa me nit a tau jam) setelah terpapar
alergen yang telah diketahui (known allergen), sesuai kriteria berikut:
a. Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau
terjadi penurunan >30% dari tekanan darah sistolik semula
b. Dewasa : Tekanan darah sistolik <90 mmHg atau terjadi penurunan
c. >30% dari tekanan darah sistolik semula.
DIAGNOSIS BANDING
1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis
a. Serangan asma akut
b. Sinkop
c. Gangguan cemasjserangan panik
d. Urtikaria akut generalisata
e. Aspirasi benda asing
f. Kelainan kardiovaskuler akut (infark miokard, emboli paru)
g. Kelainan neurologis akut (kejang, strok)
2. Sindrom flush
a. Peri-menopause
b. Sindrom karsinoid
c. Epilepsi otonomik
~ d. Karsinoma tiroid meduler
3. Sindrom pasca-prandial
a. Scombroidosis, yaitu keracunan histamin dari ikan, misalnya tuna, yang
disimpan pada suhu tinggi.
b. Sindrom alergi makanan berpolen, umumnya buah a tau sayuryang mengandung
protein tanaman yang telah bereaksi silang dengan alergen di udara
c. Monosodium glutamat atau Chinese restaurant syndrome
d. Sulfit
e. Keracunan makanan
Renjatan Anafilaksis
TATALAKSANA
1. Posisi trendelenburg a tau berbaring dengan kedua tungkai diangkat ( diganjal
dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah
ikut meningkat.
2. Pemberian Oksigen 3-5 liter jmenit harus dilakukan, pada keadaan yang amat
ekstrim tindakan t29
3. rakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
4. Pemasangan infus, Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama
guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak
tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti.
Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali
optimal dan stabil.
5. Adrenalin 0,3-0,5 ml dari larutan 1:1000 diberikan secara intramuskuler yang
dapat diulangi 5-10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama
kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang
efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1-0,2 ml adrenalin dilarutkan
dalam spuit 10 ml dengan NaCI fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian
subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lam bat bahkan
mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak
terjadi.
6. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme bel urn
hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan
selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg Iagi melalui drips infus bila
dianggap perlu.
7. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua
obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan
setelah gejala klinik mulai membaikguna mencegah komplikasi selanjutnya berupa
serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah
difenhidramin HCI 5-20 mg IV dan untuk go Iongan kortikosteroid dapat digunakan
deksametason 5-10 mg IV atau hidrokortison 100-250 mg IV.
8. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac
arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai
dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti
jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang
praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus
dan cairannya juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan
tindakan secepatnya.
9. Penatalaksanaan reaksi anafilaksis
Renjatan Anafiloksis
~ • ELEVASI!
CARl BANTU AN ! EPINEFRIN!
Hubungi 118 (ambulans) - Segera injeksikan Epinefrin IM pad a f--- Telentangkan pasien dengan fungkai
atau RS terdekat mid-anterolateral paha. bawah dielevasi. Posisi pemulihan bila
Dosis 0.01 mglkgBB (sediaan ampul terjadi dis ires atau pasien muntah.
I mglml); maksimal pad a dewasa 0,5 JANGAN BIARKAN PASIEN DUDUK
mg. maksimal pada anak 0.3 mg. ATAU BERDIRI!
OBSERVASI!
Ulangi Epinefrin 5- 15 menif kemudian
bila belum ada perbaikan
MONITOR!
Nilai dan eatat TANDA VITAL STATUS MENTAL. dan OKSIGENASI setiap 5- 15 menit sesuai kondisi pasien.
Observasi I - 3 x 24 jam a tau rujuk ke RS terdekat.
Untuk kasus ringan. observosi cukup dilakukon selomo 6 jam
TERAPI TAMBAHAN
Kortikosteroid untuk semuo kasus berat. berulang. dan posien dengan asma
o Methyl prednisolone 125- 250 mg IV
Dexamethasone 20 mg IV
o Hydrocortisone I 00 500 mg IV pelan
lnhalasi short acting {32-agonist pada bronkospasme berat
Vasopressor IV
Anfihistamin IV
Bila keadaan stabil. dapat mulai diberikan kortikosteroid dan antihistamin PO
selama 3 x 24 jam
Kriteria Rujukan
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan tidak
terdapat perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.
KOMPLIKASI
Kerusakan otak, koma, kematian.
PROGNOSIS
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan
pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad bonam.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Simons FER, et.al. 2012 Update: World Allergy Organization Guidelines for the assessment and
management of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin lmmunol 20 12; 12:389-99
2. Simons FER, et.al. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and Management
of Anaphylaxis. WAO Journal 2011; 4:13-37
3. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Reaksi Anafilaksis dan Anafilaktoid. Dalam: Alergi Dasar. Jakarta:
lnterna Publishing. 2009. Hal. 67-94 ..
URTIKARIA
PENGERTIAN
Urtikaria adalah suatu kelainan yang terbatas pada superfisial dermis berupa
ben to! (wheal) yang terasa gatal, berbatas jelas, dikelilingi daerah eritematous, tampak
kepucatan di bagian tengahnya, bersifat sementara, gejala puncaknya selama 3-6 jam
dan menghilang dalam 24 jam, lesi lama berangsur hilang sejalan dengan munculnya lesi
baru, serta dapat terjadi di mana pun pada permukaan kulit di seluruh tubuh, terutama
ekstremitas dan wajah. Episode urtikaria yang berlangsung kurang dari 6 minggu disebut
urtikaria akut, sedangkan yang menetap lebih dari 6 minggu disebut urtikaria kronik.l-4
2
Klasifikasi
1. lgE-dependent: Sensitifitas terhadap alergen seperti tungau debu rumah, serbuk
sari, makanan, obat, jamur udara, bulu binatang peliharaan, venom Hymenoptera)
2. Fisik: dermografisme, dingin, cahaya, kolinergik, getaran, berhubungan dengan
olahraga
3. Autoimun
4. Perantaraan bradikinin
a. Angioedema herediter, defisiensi inhibitor Cl: null (tipe 1) dan disfungsional
(tipe 2)
b. Angioedema didapat: defisiensi inhibitor Cl: anti idiotipe dan anti-Cl inhibitor
c. Angiotensin-converting enzyme(ACE) inhibitor
5. Perantaraan komplemen
a. Vaskulitis nekrotikans
b. Serum-sickness
c. Reaksi produk darah
6. Non imunologis
a. Zat pelepas langsung sel mast ( opiat, antibiotik, kurare, D-tubocurarin, media
radiokontras)
b. Zat pengubah metabolisme as am arakidonat (aspirin, NSAID, azo-dyes, benzoat)
7. Idiopatik
PENDEKATAN DIAGNOSIS
16
Anamnesis -
• Onset dan lamanya keluhan, apakah sudah pernah berulang a tau baru pertama kali
• Faktor pencetus; misalnya zat farmakologis (seperti antibiotik, analgetik,
antikonvulsan, cairan infus, imunisasi), makanan tertentu, bahan pengawet, bahan
kimia (contact urticaria), rangsang tekanan (pressure urticaria) atau rangsang
fisik (physical urticaria) seperti paparan dingin, air (aquagenic urticaria), cahaya
(solar urticaria), dan trauma ringan.
• Faktor yang memperberat: seperti stres, temperatur panas, alkohol.
• Riwayat infeksi terutama karena virus (infeksi saluran napas atas, hepatitis, rubela)
Pemeriksaan Penunjang 1- 6
• Pemeriksaan dasar: darah perifer lengkap, urin lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal
• Tes Alergi
• lgE Atopi
DIAGNOSIS BANDING
Mastositosis (urtikaria pigmentosa), mastositosis sistemik, vaskulitis kulit
(cutaneous vasculitis), Episodic Angioedema Associated with Eosinophilia (EAAE),
angioedema herediter, urtikaria papular, dermatitis atopik, eritema ultiformis,
23
pemfigoid bulosa.t ·
TAT ALAKSANA
• Paliatif, edukasi untuk mengurangi gejala, menghindari pencetus
" Urtikaria akut akan sembuh sendiri dan memberikan respons yang baik dengan
pemberian antihistamin generasi pertama. 5
Urtikaria
• Medikamentosa: 1
Lini 1: Antihistamin generasi pertama (klorfeniramin, hidroksizin, difenhidramin),
antihistamin generasi kedua (setirizin, loratadin), antagonis HZ (simetidin,
ranitidin) per oral
Lini 2 : Kortikosteroid per oral jangka panjang, pada beberapa kasus yang berat,
kalau perlu dilakukan biopsi bila dicurigai adanya vaskulitis untuk klasifikasi
histopatologis. Bila disertai angioedema yang berat, injeksi adrenalin
intramuskular dapat diberikan.
KOMPLIKASI
• Sumbatan jalan napas akibat angioedema akut pada faring atau laring
• Gangguan tidur dan aktivitas sehari-hari
PROGNOSIS
Belum ada data pasti mengenai kasus urtikaria, tapi diperkirakan 15-23% individu
pernah mengalami urtikaria, dan sebagian besar menjadi kronik dan sering kambuh.
Pada 25 % kasus urtikaria seringkali disertai angioedema. Diperkirakan wanita dua
kali lebih sering mengidap urtikaria dari pada laki-laki. 4
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Kulit dan Kelamin, Unit Perawatan Intensif
• RS nonpendidikan : Bagian Kulit dan Kelamin, Unit Perawatan Intensif
REFERENSI
1. Baskoro A Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. Urtikaria dan Angioedema. Dalam: Setiati S, Alwi
I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, eds. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Edisi VI
Jilid I. Jakarta: lnterna Publishing; 2014. h495-503.
2. Sundaru Heru. Urtikaria. Dalam :Setiati Siti, et al editor. Lima Puluh Masalah Kesehatan Di Bidang
llmu Penyakit Dalam. jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI;
2008. h. 245-50
3. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Urtikaria dan Angioedema dalam Alergi Dasar edisi ke-1. Jakarta:
Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam;2009. Hal95-123.
4. Bernstein JA, et.al. The diagnosis and management of acute and chronic urticaria: 2014 update.
J Allergy Clin lmmunol. 2014;133(5):1270-7.
Panduan Praktik Klinis
Perhi[Ylpunaft Dokter Spesia!!s Penyakit Dalom rn.dqnesio
5. Mtynek A et al. How to assess disease activity in patients with chronic urticaria? Allergy.
2008;63( 6) :777-80.http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/ 18445192
6. Mathias SD,etal. Evaluating the minimally important difference of the urticaria activity score
another measures of disease activity in patients with chronic idiopathic urticaria. Ann Allergy
Asthma lmmunol1 08 (2012) 20-24.http: I /marcus-maurer.info/ fileadmin/documents/ publications/
original/ 121_ Mathias _et _a I Evaluating _UAS_CIU_AAAI_20 12.pdf
t
VAKSINASI PADA ORANG DEWASA
PENGERTIAN
Imunisasi adalah induksi yang bertujuan untuk membentuk suatu imunitas dengan
berbagai cara, baik secara aktif maupun pas if. Sebagai contoh imunisasi pas if adalah
pemberian imunoglobulin, sedangkan vaksinasi merupakan imunisasi aktif dengan
cara pemberian vaksin. 1
JENIS VAKSIN
2
Tabell. Jenis-jenis vaksin'
Tipe Vaksin Contoh
Virus yang dilemahkan {live attenuated virus) Polio sabin, measles, mumps, rubela,
varicella, yellow fever
Bakteri yang dilemahkan {live attenuated BCG*, TY21 a (vaksin oral tifoid)
bacterium)
Virus yang telah dimatikan (killed whole virus) Polio salk, influenza, hepatitis A
Sel bakteri yang dimatikan (killed whole cell Pertusis, kolera, antraks
bacterium)
Toxoid Difteri, tetanus
Molecular vaccine: protein Acellular pertusis, subunit influenza, Hepatitis B,
HPV**
Molecular vaccine: carbohydrate Haemophilus influenza type B (Hib), Vi tifoid,
meningokok, pneumokok
Molecular vaccine: carbohydrate-protein Hib, meningokok, pneumokok
conjugate
Combination vaccine Difteri, pertusis, tetanus (DPT); measles-
mumps-rubella (MMR); DPT-Hib
Keterangan:
'BCG =Bacillus Calmette-Guerin, vaksin antituberkulosis
"HPV = Human Papilloma Virus
Beberapa vaksin dapat diberikan secara bersamaan pada satu waktu. Bila dua atau
lebih vaksin hid up diberikan secara terpisah, maka sebaiknya pemberian pertama dan
kedua berjarak lebih daripada 28 hari. Apabila pemberian vaksin hid up (MMR, MMRV,
varicella zoster, yellow fever) dilakukan kurang daripada 28 hari, maka pemberian
vaksin hidup kedua perlu diulang untuk mencegah menurunnya efektivitas vaksin
13-valent (PCV-13)
1 dosis "'0
Pneumokokal polisakarida Q
(PPSV23) 1 atau 2 dosis (pengulangan diberikan setelah 5 tahun) j 1 dosis
Q..
Meningitis Meningokokal Wajib untukjemaah haji dan umrah (1 dosis untuk 2 tahun) Q
Hepatitis A 2 dosis (bulan ke-0, & 6-12)
0
Hepatitis B
3 dosis (bulan ke-0, 1 & 6) a
:J
Hepatitis A & B (kombinasi) 3 dosis (bulan ke-0, 1 & 6)
(Q
Demam Tifoid 1 dosis untuk 3 tahun
Yellow Fever Wajib bila akan berpergian ke negara tertentu ( 1 dosis untuk 10 tahun) CJ
({)
~
Q
V>
Q
Panduan Praktik llinis .-·~r.
Perhimpvnon Dokfer Spesktlis PerrYaklt Do!arn Indonesia
USIA LANJUT
Orang yang berusia di atas 60 tahun memiliki kekebalan tubuh yang menurun.
Produksi dan proliferasi limfosit T berkurang sesuai usia sehingga imunitas selular
dan produksi antibodi berkurang sehingga lebih mudah terserang penyakit. 4 Menurut
American Geriatrics Society, vaksinasi yang dianjurkan bagi individu;::: 65 tahun yaitu,
seperti tercantum pada tabel 3.
HAMIL
Pada wanita hamil terjadi perubahan pada tubuhnya termasuk sistem imun. Pada
kehamilan, sistem imun mengalami pergeseran dari imunitas selular menjadi imunitas
humoral sehingga wanita hamil rentan terkena infeksi. 6
Rekomendasi vaksinasi untuk wanita hamil dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
HAJ!l· 8
Kementerian Kesehatan Kerajaan Arab Saudi, sejak tahun 2002 telah mewajibkan
negara-negara yang mengirimkan jemaah haji untuk memberikan vaksinasi
meningokok tetravalen (A/C/Y /W-135) sebagai syarat pokok pemberian visa haji dan
umroh, dalam upaya mencegah penularan meningitis meningokokus. Cara pemberian
vaksin berupa dosis tunggal 0,5 mL disuntikkan subkutan di daerah deltoid atau gluteal.
Respons antibodi terhadap vaksin dapat diperoleh setelah 10-14 hari dan dapat
bertahan selama 2-3 tahun. Vaksin diberikan pad a jemaah haji minimall 0 hari sebelum
berangkat ke Arab Saudi dan bagi jemaah yang sudah divaksin sebelumnya (kurang
dari tiga tahun) tidak perlu vaksinasi ulang.
Di sam ping vaksin meningokok dianjurkan juga pemberian vaksin influenza dan
pneumokok mengingat lingkungan tempat tinggal yang berdesakkan dan usia jemaah
yang sebagian besar termasuk usia lanjut.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
Vaksinasi pada Orang Dewasa
REFERENSI
1. Winulyo EB. lmunisasi Dewasa. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B,
Syam AF (ed). Buku Ajar llmu Penyakit Do lam Jilid I. Edisi ke-6. Jakarta: Intern a Publishing: 2014.
h. 951-7.
2. Yunihastuti E. Vaksinasi pada Kelompok Khusus. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata
M, Setiyohadi B, Syam AF (ed.). Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ke-6. Jakarta: lnterna
Publishing; 2014. h. 958-62.
3. Center for Disease Control & Prevention. Recommended immunization schedule, United States.
Washington DC: Center for Disease Control & Prevention; 2014.
4. The American Geriatrics Society. A Pocket Guide To Common Immunization for the Older Adults.
Centers for Disease Control and Prevention. USA, 2009.
5. Wahyudi ER. Yasmin E. Vaksinasi pada Usia Lanjut. Dalam: Pedoman lmunisasi pada Orang
Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (ed). Tahun2012. Jakarta: Badon Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.261-7.
6. Ocvyanti D, Novianti H. Vaksinasi pada Kehamilan. Dalam: Pedoman lmunisasi pada Orang
Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (ed). Tahun20 12. Jakarta: Badon Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.268-79.
7. Yunihastuti E. Winulyo BE, Sukmana N, Yogani I. Vaksinasi pada Pasien lmunokompromais.
Dalam: Pedoman lmunisasi pad a Orang Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (Ed).
Tahun2012. Jakarta: Badon Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.331-41.
8. Koesnoe S, Novianti H. Vaksinasi untuk Jemaah Umroh dan Haji. Dalam: Pedoman lmunisasi
pada Orang Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (ed). Tahun2012. Jakarta: Badon
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.320-6.
HIV/AIDS TANPA KOMPLIKASI
PENGERTIAN
Masalah HIV1AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan ban yak
negara di dunia serta menyebabkan krisis multi dimensi. Berdasarkan hasil estimasi
Departemen Kesehatan tahun 2006 diperkirakan terdapat 169.000- 216.000
orang dengan HIV dan AIDS di Indonesia. Program bersama UNAIDS dan WHO
memperkirakan sekitar 4,9 juta orang hidup dengan HIV di Asia.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Keluhan
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau keluhan tertentu.
Pasien datang dapat dengan keluhan:
1. Demam (suhu>37,5°C) terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
2. Diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
3. Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari berat badan dasar.
4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya.
Faktor Risiko
1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama lal<i-lal<i dan transgender
4. Hubungan seksual yang berisikoltidak aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
6. Pernah mendapatkan transfusi darah
7. Pembuatan tato dan atau alat medislalat tajam yang tercemar HIV
8. Bayi dari ibu dengan HIV I AIDS
9. Pasangan serodiskor (yang satu terinfeksi HIV, lainnya tidak) dan salah satu
pasangan positif HIV
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
a. Berat badan turun
b. Demam
2. Kulit
a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering, dermatitis
seboroik.
b. Tanda-tanda herpes simpleks dan zoster atau jaringan parut bekas herpes
zoster.
3. Pembesaran kelenjar getah bening
4. Mulut: kandidiasi oral, oral hairy leukoplakia, keilitis angularis
5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat infeksi paru
6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau massa.
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra
8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan neurologis.
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Hitung jenis leukosit :
Limfopenia, dan CD4 hitung <500 (CD4sekitar 30% dari jumlah totallimfosit)
b. Tes HIV menggunakan strategi III yaitu menggunakan 3 macam tes dengan titik
tangkap yang berbeda, umumnya dengan ELISA dan dikonfirmasi Western Blot
c. Pemeriksaan DPL
2. Radiologi: Rontgen toraks
Sebelum melakukan tes HIV perlu dilakukan konseling sebelumnya. Terdapat dua
macam pendekatan untuk tes HIV :
1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT =Voluntary Counseling & Testing)
2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK - PITC = Provider-
Initiated Testing and Counseling)
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit gangguan sistem imun.
TATALAKSANA
Prosedur
Untuk memulai terapi anti retroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV.
1. Dokter melakukan workup kemungkinan adanya infeksi oportunistik, seperti
tuberkulosis dan ensefalitis toksoplasma. Bila di temukan infeksi oportunistik seperti
tuberkulosis dan ensefalitis toksof!asma, lakukan terapi untuk infeksi oportunistik
terse but dahulu.
2. Dilakukan pemeriksaan CD4 dan viral load (bila memungkinkan)
3. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Penentuan mulai terapi ARVdidasarkan pada penilaian klinis.
4. Pada pasien dengan CD4 <200 pada orang dewasa dan tidak ditemukan toksoplasma
ensefalitis, berikan profilaksis untuk toksoplasma ensefalitis, yaitu kortimoksasol.
Indikasi pada anak sesuai bagian profilaksis pencegahan kortimoksasol diatas.
5. Dokter mengidentifikasi apakah terdapat indikasi untuk memulai ARV seperti pada
tabel 2.
6. Bila terdapat indikasi memulai ARV dilakukan pemeriksaan yang menunjangyang
sesuai dengan ARVyang diberikan untuk mengetahui ada tidaknya kontraindikasi
sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium pada tabel 2.
7. Identifikasi dan tatalaksana fk+ctor yang dapat mempengaruhi adherens.
8. Sebelum memulai ARV, pasien diberikan konseling sebelum memulai ARV
(konseling pra ARV)
Tabel 2. Rekomendasi lnisiasi ARV pada anak dan Dewasa
Populasi Rekomendasi
Dewasa dan lnisiasi ARV pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4, atau jika jumlah CD4
anak 25 tahun :5350 sel/mm 3
lnisiasi ARV tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4
• Koinfeksi TB"
• Koinfeksi hepatitis 8
• lbu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
o Orang terinfeksi HIV yang pasanganya HIV negative (pasangan
serodiskordan), untuk mengurangi risiko penularan
• LSL, PS, atau Penasuno
• Populasi umum pada daerah dengan epidemi HIV meluas
•Pengobalan TB horus di rnulai terlebih dahulu, kernudian obat ARV diberikan dalarn 2-8 minggu sejak mulai TB, tanpa menghentikan
lerapai TB. Pado ODHA dengon CD4 kurang dari 50 sel/mm', ARV horus dimulai dalam 2 minggu selelah mulai pengobalan TB.
Sedangkan untuk ODHA dengan rneningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobaton kriptokokus.
: Dengan memperhatikan kepatuhan.
Panduan Pmktik llinis
PerhimpuMon Dokter Spesio!is Penyokif Da!om 1ndonesia:
Tabel 3. Panduan Lini Pertama yang Direkomendasikan pada Orang Dewasa yang Belum
Mendapat Terapi ARV (Treatment Nai've)
Populasl Target Pilihan yang Direkomendasikan Catatan
Dewaso don AZT at au TDF + 3TC (at au FTC) + Merupokon pilihan paduan yang sesuoi
onak EVF otou NVP untuk sebagion besar posien
Gunokan FDC jika tersedia
Perempuon hamil AZT + 3TC + EFV otou NVP TDF biso merupokon pilihan
Ko-infeksi HIV /TB AZT a tau TDF + 3TC (FTC) + EFV Muloi teropi ARV segoro seteloh teropi
TB dapat ditoleronsi (on taro 2 minggu
hingga 8 minggu)
a. Pemantauan klinis
Dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV
dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.
b. Pemantauan laboratorium
• Pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada
indikasi klinis.
• Pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan
pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pad a minggu
ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia
• Bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 an tara 250-350 self
mm 3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu
2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan
dengan pemantauan berdasarkan gejala klinis.
" Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF.
Kriteria Rujukan
1. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke Pelayanan
Dukungan Pengobatan untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi
penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi.
2. Pasien HIV I AIDS dengan komplikasi.
Sarona Prasarana
Layanan VCT
PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan pengobatan. Terapi
hingga saat ini adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum merupakan terapi
definitif, sehingga prognosis pada umumnya buruk.
PanduansPesiaJfs
Praktik Klinis
~lerblmPunan Dokter Penyaklf Oa!dm lnd0!19:iia
REFERENSI
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional
Tatalaksana lnfeksi HIV dan Terapi Antiretrovira/ pada Orang Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011.
2. Djoerban Z. Djauzi S. HIV/AIDS di lndonesia.Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata
M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. 411'Ed. Vol II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
llmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Hal. 1825-30.
3. Yunihastuti. E, Karjadi TH, Suroyo Yudianto. B. Nelwan JE, Ujainah ZN, Kurniati N, lmran D, dkk
Pedoman Layanan HIV RSCM 2014.
PENATALAKSANAAN
Dl BIDING ILMU PENYAKIT DALAM
PANDOAN
PRAKTIK
KLINIS
METABOLIK E
PENGERTIAN
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia kronik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya. 1 Dalam praktik sehari-hari DM tipe 2 yang paling sering
ditemui, sehingga pembahasan lebih banyak difokuskan pada DM tipe 2.
(i)
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis DM (Gambar 1) 1
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu;:::: 200 mgjdl
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir atau
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa;:::: 126 mg/dL
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO;:::: 200 mgjdl
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan be ban glukosa yang setara
dengan 75 gram glukosa anhidrat yang dilarutkan ke dalam air.
/
/I Keluhan Klinik o·'abet~ I
• ~
I
Keluhan Klasik (+)
l
~
[
GDP ;?:126 < 126 GDP ;?: 126 100-125 < 100
a tau :?:200 < 200 a tau :?:200 < 140
GDS GDS
l GDP ~ TIGO
~
a tau ;?:126 GD2jam
GDS :?:200
w ~---------------:----1---L---,
~
f l f f
a~n
,------------------------;•
DIABETES MELITUS I ~~ 6 I
l
Normal
'
I
*TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL
GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (5.6-6,9
mmoi/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam< 140 mg/dL
ANAMNESIS
• Gejala yang timbul
• Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C, dan hasil
pemeriksaan khusus yang terkait DM
• Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
• Riwayat tumbuh kembang pada pasien anakjdewasa muda
• Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi
medis dan penyuluhan yang telah diperoleh ten tang perawatan DM secara mandiri,
serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan
• Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan
makan dan program latihan jasmani
• Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, dan
hipoglikemia)
• Riwaya infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis
serta kaki
• Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pad a ginjal, jan tung,
susunan saraf, mata, saluran pencernaan, dll.)
• Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
• Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan
riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)
• Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
• Pola hidup, budaya, psikososial, pen_didikan, dan status ekonomi
• Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan 1
(i)
Pemeriksaan Fisik1
• Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
• Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
• Pemeriksaan funduskopi
• Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
• Pemeriksaan jantung
• Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
• Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis
• Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinann adanya hipotensi ortostatik, serta ankle
brachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri
tepi
• Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain 1
Pemeriksaan Penunjang
• Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
• HbAlc
• Profillipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
• Kreatinin serum
• Albuminuria
• Keton, sedimen, dan protein dalam urin
·~
• Elektrokardiogram
• Foto sinar-x dada'
DIAGNOSIS BANDING
• Hiperglikemia reaktif
• Pre diabetes
TATALAKSANA
Non farmakologis''
• Edukasi
• Terapi gizi medis
• Kebutuhan kalori'
Cara menghitung berat badan ideal pasien DM menggunakan rum us Broeea:
IMT= BB(kg)
TB(m 2 )
Untuk wanita paling sedikit 1000-1200 kkal, untuk pria 1200-1600 kkal, dibagi
menjadi makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan
ringan (10-15%) diantaranya .
• • Karbohidrat
Karbohidrat 45-65% total asupan energi, diutamakan yang berserat tinggi
Pembatasan karbohidrat total <130 gr jhari tidak dianjurkan
Gula dalam bumbu diperbolehkan, sukrosa <5% total asupan energi
Pemanis alternatif dapat digunakan asal tidak melebihi batas aman konsumsi
harian
Makan 3xjhari. makanan selingan buah a tau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori lain dapat diberikan
• Lemak
Asupan lemak + 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi
Farmakologis '·'
1
Tabel3. Obat Hipoglikemik Oral
1.-6 24
Glinid Repaglinid 1- 1,5-6 3
Nateglinid 120 360 3
. .Tiozolidin- fliG>glitGzon." ~-----Hi-3G-~.---·----1-0-4a---- ·--·------24 ··-·-·--~ "-· J ....
dion
15-30 15-45 24
(I)
Gaga! mencapai target dengan penggunaan kombinasi OHO dosis optimal (3-6 bulan}
DMT2 rawat jolon dengan :
• Kehamilan
• lnfeksi paru (tuberkulosis}
• Kaki diabetik terinfeksi
• Fluktuasi glukosa darah yang tinggi
• Riwayat ketoasidosis berulang
• Riwayat pankreatektomi
Selain indikasi di alas, terdapat beberapa kondisi tertentu yang memerlukan pemakaian insulin, seperti pe-
nyakit hati kronik, gangguan fungsi ginjal, dan terapi steroid dosis tinggi
lndividualisasi Terapi
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh ADA/EASD 2012, maka diperlukan
pendekatan individual untuk menentukan regimen dan target pengobatan pada
penyandang DM tipe 2,4
Lebih agresif Kurang agresif
Sikap pasien dan usaha yang Motivasi tinggi, mengikuti nasihat, Kurang motivasi, tidak penurut,
diharapkan mempunyai kapasitas perawatan kapasitas perawatan diri yang
diri yang baik buruk
·~
Resources, support system Tersedia Terbatas
KOMPLIKASI
Ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperglikemia hiperosmolar (SHH), hipoglikemi,
retinopati, nefropati, neuropati, penyakit kardiovaskular .1•3
PROGNOSIS
Diabetes menyebabkan kematian pada 3 juta orang setiap tahun (1,7 -5,2%
kematian di dunia).l
;:,::,
I DM I 1· . Tahap-1 I I Tahap-11 I I Tahap-111 I
GHS
+
Monoterapi
GHS
I +
Catatan: Kombinasi 2 OHO
1. GHS= gaya hidup
sehat GHS
2. Dinyatakan gagal bila
I +
Ja ur pilihan alternatif. bila: Kombinasi 2 OHO
terapi selama 2-3 bulan pada
tid :Jk terdapat insulin
tiap tahap tidak mencapai tar- +
D lbetesi betul-betul rnenolak Basal insulin
get terapi HbA 1c <7%
in Jlin
3. Bila tidak ada peme-
Ke ndali glukosa belum optimal
riksaan HbA 1c dapat dipergu-
nakan pemeriksaan glukosa
darah
Rata-rata hasil peme-
riksaan beberapa kali glukosa l
darah sehari yang dikonversikan GHS
ke HbA 1c menurut kriteria ADA. + Insulin intensif
2010 Kombinasi 3 OHO
I GHS I
GHS GHS
+ +
Gaya Hidup
Sehat
Penu-
Monoterapi
Met, SU, AGI,
Glinid, TZD,
L Kombinasi 2
obat
Met, SU, AGI,
DPP 4-1 Glinid, TZD,
runan be-
DPP 4-1
rat badan
Mengatur GHS
diit +
• Latihan Kombinasi 3
jasmani GHS
obat
teratur +
Met, SU, AGI,
Kombinasi 3
Glinid, TZD,
obat
Catatan: DPP 4-1
1. Dinyatakan gag ll bila terapi selama 2-3 Met, SU, AGI,
bulan pada tiap tahap tidak mencapai Glinid, TZD,
target terapi Hb ,1c <7% DPP 4-1
2. Bila tidak ada pe meriksaan HbA 1c dapat +
dipergunakan p 1meriksaan estimated Basal insulin
averaged g/uco e
Rata-rata hasil p ~meriksaan beberapa GHS
kali glukosa dara h sehari yang dikonversi- +
kan ke HbAlc m murut kriteria ADA, 2010
Insulin lntensif
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Kardiologi - Departemen
Penyakit Dalam, Departemen Neurologi, Patologi Klinik,
Mata dan Gizi.
• RS non pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi.
REFERENSI
1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.
2. The Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Report of The
Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Jan
2003;26(Suppl. 1):SS-20.
3. Suyono S. Type 2 Diabetes Mellitus is a Beta-Cell Dysfunction. Prosiding Jakarta Diabetes Meeting
2002: The Recent Management in Diabetes and Its Complications : From Molecular to Clinic.
Jakarta, 2-3 Nov 2002. Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta, 11-12
November 2000:185-99.
4. lnzucch SE, Bergenstal RM, Buse JB et al. Management of HyperglycemiainType2 Diabetes: A
Patient-Centered Approach. Position Statement of the American Diabetes Association (ADA)
and the European Association for the Study of Diabetes (EASD).Diunduh dari http://care.
diabetesjournals.org/content/35/6/1364.full.pdf+html pada tanggal 7 Juni 2012
0
59
I DIABETES MELITUS GESTASIONAL
PENGERTIAN
Diabetes Melitus Gestasional (GDM) adalah diabetes yang didiagnosis pertama kali
saat kehamilan, dan terjadi pada 5-10% kehamilan. Definisi ini berlaku dengan tidak
me man dang apakah pasien diabetes melitus hamil yang mendapat terapi insulin a tau
diet saja, juga apabila pada pasca persalinan keadaan intoleransi glukosa menetap.
Demikian pula ada kemungkinan pasien tersebut sebelum hamil sudah terjadi
intoleransi glukosa. Resistensi insulin pada kehamilan normal diperkirakan meningkat
40-70% umumnya pada trimester pertama. Pada GDM terjadi gangguan fungsi sel beta
pankreas, dan terjadi penurunan insulin. Resistensi insulin memperberat keadaan
defek sel beta pankreas pada GDM. Risiko tinggi diabetes gestasional:
1. Umur lebih dari 30 tahun
2. Obesitas dengan indeks massa tubuh > 30 kgjm 2
3. Riwayat diabetes melitus dalam keluarga
4. Pernah menderita diabetes melitus gestasional sebelumnya
5. Pernah melahirkan anak besar >4000 gram
6. Adanya glukosuria
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Wanita dengan diabetes gestasional hampir tidak pernah memberikan keluhan,
sehingga perlu dilakukan skrining. Anamnesis ditujukan untuk mencari faktor risiko
diabetes melitus gestational.
Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium: glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan, HbAlc
label 1. Nilai Glukosa Plasma Puasa dan les loleransi Glukosa Oral dengan Beban Glukosa 75
gram
Glukosa plasma puasa
Normal <1 10mg/dl
Glukosa puasa terganggu ;<:1 10 mg/dl- <126 mg/dl
Diabetes melitus :<:126 mg/dl
Glukosa plasma 2 jam setelah pemberian 75 gram glukosa oral
Normal <140mg/dl
Toleransi glukosa terganggu ;<:140 mg/dl- <200 mg/dl
Diabetes melitus ;<:200 mg/dl
DIAGNOSIS BANDING
TATALAKSANA
1. Terapi Nutrisi Medik
a. Jumlah kalori yang dianjurkan adalah 30 kkaljberat badan ideal sebelum hamil.
b. Sasaran glukosa plasma puasa :=:; 105 mg/dl dan dua jam setelah makan :=:; 130
mgjdl. Apabila sasaran tidak tercapai dapat diberikan terapi insulin
2. Terapi Insulin
a. Jenis insulin yang dipakai adalah insulin man usia.
b. Insulin analog dipakai jika tidak tersedia insulin manusia.
c. Dosis dan frekuensi sangat tergantung kadar glukosa darah.
d. Pada umumnya insulin dihentikan pada saat pasien bersalin untuk mencegah
hipoglikemia
3. Terapi Farmakologis
label 2. lerapi Farmakologis pada Diabetes Melitus Gestasional
Insulin .· GUI:iel'lklar11id · Mefforlninb
Mekanisme Pengambilan insulin Menstimulasi sekresi insu- Meningkatkan
melalui reseptor lin oleh sel beta pankreas sensitivitas terhadap
insulin, menstimulasi
---"·------·-------------------·
pengambilan glu-
kosa yang disebab-
kan insulin
<i .
..
-
I
Peak Bervariasi 4jam 2-4jam
Dosis Bervariasi 2.5 mg pada pagi hari 500 mg pada pagi
atau setiap 12 jam, hari atau setiap 12
dapat ditingkatkan jam. Maksimum 1000
setiap minggu dari 2.5 mg setiap 12jam.
mg-10 mg setiap 12 jam.
Melewati plasenta Minimal (hanya fraksi Minimal-tidak ada Yo
terikat antibodi)
Kategori FDA Be c B
Pengalaman Banyak Sedang c Terbatas
kegunaan dalam
kehamilan
Angka kegagalan 20% 35%
sehingga
membutuhkan insulin
FDA: food and Drug Administration
a Beberapa insulin analog terbaru termasuk kategori C
b Rekomendasi penggunaan dalam kehamilan masih tidak cukup
c Pengalaman minimal pada penggunaan di usia gestasi < 11 minggu.
Risiko pada neonates belum terbukti karena keterbatasan penelitian.
KOMPLIKASI
• Komplikasi pada ibu
Preeklampsi
Infeksi kandung kemih
Persalinan seksio sesaria
Dan trauma persalinan akibat bayi besar
• Komplikasi pada anak
Makrosomia (paling sering)
Hambatan pertumbuhan janin
Cacat bawaan
Hipoglikemia
Hipokalsemia dan hipomagnesemia
Hiperbilirubinemia
Polisitemia hiperviskositas
Sindrom gawat napas neonatal
PROGNOSIS
Hipertensi kronik terjadi pada 1 dari 10 ibu hamil dengan diabetes melitus. 3
Preeklamsia terjadi lebih sering pada wanita dengan diabetes melitus (mencapai
12%) dibandingkan pada wanita yang tidak mengidap diabetes mellitus.
Preeklamsia berhubungan dengan kontrol glikemik. Jika glukosa darah puasa
< 105 mgjdL preeklamsia terjadi pada 7.8 %, sedangkan glukosa darah puasa > 105
mg/dL preeklamsia terjadi pada 13.8%.4 Risko abortus dalam kehamilan terjadi pada
9-14% kasus. Malformasi terjadi pada 13.3% dari 105 wanita hamil dengan diabetes
melitus 5 ,sedangkan risiko bayi lahir dengan besar usia gestasi terjadi pada 30% kasus. 6
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Kardiologi, Departemen Patologi Klinik, Gizi Klinik
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Gizi Klinik
REFERENSI
1. Adam JMF. Diabetes Melitus Gestasional dalam Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill edisi IV.
Pusat Penerbitan Departemen llmu enyakit Dalam. Jakarta, 2006 (1927-1929)
2. Pridjian G, Benjamin TD. Update Gestational Diabetes. Obstet Gynecol Clin N Am 37 (201 OJ 255-267
3. Tobias DK, Hu FB, Forman JP, Chavarro J, Zhang C. Increased Risk of Hypertension After
Gestational Diabetes Mellitus: Findings from a large prospective cohort study. Diabetes Care.
Jul2011;34(7):1582-4.
4. Yogev Y, Xenakis EM, Langer 0. The association between preeclampsia and the severity of
gestational diabetes: the impact of glycemic control. Am J Obstet Gynecol. Nov 2004; 191 (5): 1655 60.
5. Lucas MJ, Leveno KJ, Williams ML Raskin P, Whalley PJ. Early pregnancy glycosylated hemoglobin,
severity of diabetes, and fetal malformations. Am J Obstet Gynecol. Aug 1989; 161 (2) :426-31
6. Ehrenberg HM, Mercer BM, Catalano PM. The influence of obesity and diabetes on the prevalence
of macrosomia. Am J Obstet Gynecol. Sep 2004;191 (3):964-8
l DISLIPIDEMIA
PENGERTIAN
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan
atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah
kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida, serta penurunan kadar
kolesterol HDL. European Atherosclerosis Society {EAS) menetapkan klasifikasi
sederhana yaitu : 1
• Hiperkolesterolemia (peningkatan lipoproterin LDL, Kolesterol > 240 mg/dL),
• Hipertrigliseridemia (peningkatan lipoprotein VLDL, Trigliserida > 200 mg/dL),
• Dislipidemia campuran ( peningkatan VLDL + LDL; kadar TG > 200 mgj dL +
Kolesterol > 240 mgjdL).
Berdasarkan patogenesisnya, dislipidemia dibagi 2 menjadi dislipidemia primer
(akibat kelainan genetik) dan dislipidemia sekunder (akibat penyakit lain).
PENDEKATAN DIAGNOSIS 1
• Untuk menegakkan diagnosis, perlu pemeriksaan kadar kolesterol total, HDL, LDL
dan TG plasma darah vena.
Persiapan puasa 12 jam sebelumnya diperlukan untuk pemeriksaan TG dan LDL
indirek yang menggunakan rum us Friedwald yaitu
I LDL = Kol Total- kol HDL- TG/51
*Rum us ini tidak dapat digunakan apabila kadar TG > 400 mg/dL
• Pemeriksaan penyaring dianjurkan untuk setiap orang usia> 20 tahun (bila normal
perlu diulang tiap 5 tahun)
• Pemeriksaan lain dapat disesuaikan dengan klinis untuk mencari adakah penyakit
lain yang menyertai atau menjadi penyebabnya (misalnya glukosa darah, tes fungsi
hati, urin lengkap, tes fungsi ginjal, TSH, EKG)
• Penting untuk menilai seberapa besar faktor risiko penyakit jan tung koroner (PJK)
sebelum memulai terapi dislipidemia. Faktor risiko utama (selain kolesterol LDL)
yang menentukan sasaran kolesterol LDL yang ingin dicapai, di antaranya yaitu: 1
Merokok
Hipertensi (TD;:::: 140/90 atau dalam terapi antihipertensi)
Kolesterol HDL rendah (< 40 mgfdL)*
Riwayat PJK dini dalam keluarga (ayah< 55 tahun, ibu < 65 tahun)
Umur pria ;: : 45 tahun, wanita ;: : 55 tahun
Terdapat 3 kelompok faktor risiko, menurut NCEP ATP III dengan Framingham
Risk Score (FRS} untuk menghitung besarnya risiko penyakit jantung koroner (PJK)
yang meliputi: umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan
hipertensi (lihat appendix). Penjumlahan skor pacta FRS akan menghasilkan angka
persentase risiko PJK dalam 10 tahun.'
* kolesterol HDL (<: 60 mg/dL) dianggap sebagai faktor risiko negatif, artinya mengurangi 1 faktor risiko dari
perhitungan total.
(i)
1. Risiko tinggi:
a. Mempunyai riwayat PJK
b. Mereka yang memiliki risiko yang disamakan dengan PJK:
t Diabetes
Gaga] ginjal kronik
Bentuk lain aterosklerosis: stroke, penyakit arteri perifer, aneurisma aorta
abdominalis
Faktor risiko multipel ( > 2 faktor) dan mempunyai risiko PJK dalam 10
tahun > 20%
2. Risiko multi pel ( ~ 2 faktor risiko) dengan risiko PJK dalam waktu 10 tahun < 20 %
3. Risiko Rendah ( 0-1 faktor risiko) dengan risiko PJK dalam waktu 10 tahun < 10%
DIAGNOSIS BANDING 1
• Hiperkolesterolemia sekunder, karena hipotiroidisme, penyakit hati obstruksi, sindrom
nefrotik, anoreksia nervosa, porfiria intermiten akut, obat (progestin, siklosporin,
thiazide)
• Hipertrigliseridemia sekunder, karena obesitas, DM, penyakit ginjal kronik,
lipodistrofi, glycogen storage disease, alkohol, bedah bypass ileal, stres, sepsis,
kehamilan, obat (estrogen, isotretinoin, penyekat beta, glukokortikoid, resin
pengikat bile-acid, thiazide), hepatitis akut, lupus eritematosus sistemik,
gammopati monoklonal: myeloma multipel, limfoma AIDS: inhibitor protease
• HDL rendah sekunder, karena malnutrisi, obesitas, merokok, penyekat beta, steroid
anabolik
TATALAKSANA
label 3. Faktor Risiko Utama (terkecuali kolesterol LDL) yang Menentukan Sasaran
Kolesterol LDL *4
Perokok sigaret
- Hipertensi (TD ~140/90 mmHg atau sedang dapat obat hipertensi)
- Kolesterol HDL-C S40 mg/dLI
- Riwayat keluarga adanya PJK dini (P JK orang tua pria <55 tahun, orang tua wanita <65 tahun)
- Umur (pria ~5 tahun, wanita ~55 tahun)
*Diabetes mellitus disamakan dengan penyakit jantung koroner {P JK)
tKoleserol HDL >60 mg/dldihitung sebagai faktor risiko negatif. oleh karena itu dapat mengurangi satu dari faktor risiko di atas
label 4. Target Kolesterol LDL (mg/dl) dan Batasan untuk Pemberian Terapi berdasarkan
4
Kelompok Risiko
Farmakologis 1
Predominan
• Golongan statin:
Simvastatin 5-40 mg
Lovastatin 10-80 mg
Pravastatin 10-40 mg
Fluvastatin 20-80 mg
Atorvastatin 10-80 mg
Rosuvastatin 10-40 mg
Pitavastatin 1-4 mg
• Golongan bile acid sequestrant:
Kolestiramin 4- 16 g
• Golongan nicotinic acid:
Nicotinic acid (immediate release) 2 x 100 mg s.d. 1,5- 3 g
Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin atau
bile acid sequestrant atau nicotinic acid. Pemantauan profil lipid dilakukan setiap
6 minggu.
Bila target sudah tercapai (lihat tabel target di atas), pemantauan setiap 4-6
bulan. Bila setelah 6 minggu terapi, target belum tercapai: intensifkan atau naikkan
dosis statin a tau kombinasi dengan yang lain. Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi
non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi
farmakologis diintensifkan. Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor a tau dirawat
untuk prosedur koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL
> 100 mg/dL. 1
KOMPLIKASI
Aterosklerosis, penyakit jan tung koroner, stroke, pankreatitis akut 1
PROGNOSIS
Risiko menjadi PJK dalam 10 tahun ke depan berdasarkan Skor Framingham yaitu
menjumlahkan poin-poin dari faktor usia, nilai kolesterol, nilai HDL, tekanan darah
sistolik. 1
(i)
Tabel5. Skor Framingham untuk Risiko PJK dalam 10 Tahun untuk Wanita 5
l
LDL·C alau Kolesterol
35-39 -4 [-4J
HDL-C
40-44 0 [OJ
Tekanan Darah
45-49 3 [3J
50-54 6 [6J Diabetes
55-59 7 [7] Perokok
60-64 B [8J Tolal Poin
65·69 8 [8J
70-74 B 181
Langkah 2 Langkah 8
l: ;.,-c::.::~~~~
~\'f~~':"'~~~~:2~5:7'f?ii:~l¥{~~~1~~~~t~:IJSII<O:~P:)Kti~
alifQIN!~~t"$1rsll(oiio1Tiiliun:C"f>.itofcir:r,Oii
<-2 1% [<-2J [1%J
0 -1 2% HJ [2%J
0 0 2% [OJ [2%J
2
1 2% [1] [2%J
2 3% [2J [3%]
3 3% [3J [3%J
4 4% [4J (4%]
5 5% [5] [4%]
160-199 4,15-5,17 [0] 6 6% [6J [5%]
200-239 5,18-6,21 [1]
7 7% [7] [6%]
240-279 6,22-7,24 [1J
<=7,25 8 8% [8J [7%J
2:280 -~ -- 9% --- -------- [9]
9 [8%J
10 11% [lOJ- [10%J
Langkah 3 11 13% [11J [11%]
12 15% [12] [13%]
13 17% [13] [15%]
14 20% [14J [18%]
35-44 0,91-1,16 2 [2J
15 24% [15] [20%J
45-49 16 27% [16J [24%]
50-59 :>17 2:32% [2:17) [<:27%]
2:60
<120 -3 [-3J
120-129 O[OJ
130-139 0 [0] 30-34 <1% <1% <1%
140-159 2 [2] 35-39 <1% <1% 1%
2:160 3 [3] 40-44 2% 1% 2%
Keterongon: opobilo tel<onon sistolik: don diostolil< menunjukkan estimasi pain yang
berbeda. gunokon ppoin tertinggi 45-49. 5% 2% 3%
50-54 8% 3% 5%
55-59 12% 7% 7%
Langkah 5
60-64 12% 8% B%
65-69 13% 8% 8%
70-74 14% 11% 8%
•p JK berat termasuk angina pektoris
Tidak 4 [4J ••Risiko ringan dihitung dari orang dengan usia yang soma, tekanan darah yang optimal.
LDL-C I00-129mg/dl atau kolesterol 160-199mg/dl, HDL-C 45mg/dl pada pria atau
55mg/dl pada wanita , bukan perokok, tidak diabetes
Ya 0 [0]
Tidak 2 [2J
5
label 6. Skor Framingham untuk Risiko PJK dalam 10 Tahun untuk Pria
Langkah 1 Langkah 6
Perokok
8;t~~~.r~~~~'!cu;r;cta~~~'jf~P,Ornt.KOJf(s;~'t~'~
Yo 0 [0]
35-39 .Tidak 2 [2]
40-44 1
45-49 2 Langkah 7 (Jumlah Poin dari langkah 1-6)
50-54 3 Jumlah Semua Poln
55-59 4 Usia
.60-64 5 LDL-C a tau Kolesterol
65-69 6 HDL-C
70-74 7 TekananDarah
·Diabetes
Perokok
Langkah 2 ·rotal Poin ·
Langkah 8
0
1 <-3 1%
2 . -2 ·2%
-1 2% [<-1] [2%]
0 3% [0] [3%]
1 4% [1] [3%]
2 4% [2] [4%]
4;15-5;17 3 -6% [3] .. [5%] ..
. 200-239 5,18-6,21 4 7% [4] [7%]
240-279 6.22-7,24 5 9% [5] . [8%]
2:280 >7,25 6 11% [6] [10%]
7 14% [7] [13%]
8 18% [8] [16%]
9 22% [9] [20%]
10 27% [10] [25%]
11 . ... 3,3,% [11] .[3,1%1
12 40% [12] [37%]
35-44 13 47% [13] [45%]
45-49 1.17-1.29 0 2:14 2:56% [2:14] [2:53%]
50-59 1.30-1.55 0
2:60 2:1.56 -1 Langkah 9 (Perbandingan dengan rata-
rata orang dalam usia yang soma)
Langkah 4
30-34 3% 1% 2%
35-39 5% 4% 3%
40-44 7% 4% 4%
45-49 11% 8% 4%
50-54 14% 10% 6%
yang berbeda. gunakan ppoin tertinggi
~5-59 16% 13% 7%
6~- .2.1% 20% 9%
:. -··t;5"69- ... 25%___ . --- --22%' ··-··--~-n%·
Langkah 5
70-74 30% 25% 14%
'"P JK berat termasuk angina pektoris
'"*Risiko ringan dihitung dari orang dengan usia yang soma.
Yo 0 [0] tekanan darah yang optimal. LDL-C IOQ-J29mg/dL atau
kolesterol160-199mg/dL HDL-C 45mg/dl pada pria atau
Tidak 2 [2] 55mg/dl pada wanita , bukan perokok. tidak diabetes
(iJ
.·
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Departemen Patologi Klinik, Gizi Klinik
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Gizi Klinik
REFERENSI
1. Adam JMF, Soegondo S, Semiardji G, Adriansyah H. Editor. Petunjuk Praktis Penatalaksanaan
Dislipidemia. PB PERKENI. April 2004
2. Semiardji G. National Cholesterol Education Program - Adult Treatment Panel Ill
(NCEP-ATP Ill): Adakah hal yang baru? Makalah Siang Klinik Bagian Metabolik Endokrinologi
Bagian llmu Penyakit Dalam, 2002.
3. Reiner Z, Catapano A. Backer Get all. ESC/EAS Guidelines for the management of dyslipidaemias :
The Task Force for the management of dyslipidaemias of the European Society of Cardiology (ESC)
and the European Atherosclerosis Society (EAS). European Heart Journal (2011) 32, 1769-1818.
HIPOGLIKEMIA
PENGERTIAN
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah < 70 mgjdL, atau kadar
glukosa darah < 80 mgjdL dengan gejala klinis. Kasus hipoglikemia paling banyak
dijumpai pada penderita diabetes, sehingga pada panduan pelayanan medis ini akan
dibatasi pada kondisi terse but. Hipoglikemia pada penderita diabetes biasanya terjadi
karena: 1•2
• Kelebihan obat atau dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral
• Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik, pasca
persalinan
• Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
• Kegiatan jasmani berlebihan.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1·3
• Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu
pemakaian terakhir, perubahan dosis.
• Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
• Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
• Lama menderita DM, komplikasi DM
• Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll.
• Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik beta, dll.
Pemeriksaan Fisik
Pucat, diaforesis, tekanan darah, frekuensi denyut jan tung meningkat, penurunan
kesadaran, defisit neurologik fokal transien.
Pemeriksaan Penunjang
Kadar glukosa darah, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, C-Peptide. 2
DIAGNOSIS BANDING2
Hipoglikemia karena penyebab lain, seperti
• Obat:
sering: alkohol,
kadang: kinin, pentamidine
jarang: salisilat, sulfonamid
• Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, autoimun, sekresi insulin ektopik
• Gagal ginjal, sepsis, starvasi, gagal hati, gagal jantung
• Defisiensi endokrin: kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin
• Tumor non-sel: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma,
melanoma
• Pasca-prandial: reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol
TATALAKSANA
KOMPLIKASI
Kerusakan otak, koma, kematian. 3
PROGNOSIS
Hipoglikemia meningkatkan angka mortalitas pada pasien dalam kondisi kritis.
Pada 22% pasien mengalami episode hipoglikemia lebih dari 1 kali. Angka mortalitas
meningkat sesuai dengan parahnya derajat hipoglikemia. 3
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Sub-Bagian di Lingkungan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Rudianto A. KONSENSUS Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia
2011. Jakarta: PB PERKENI.
2. Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Longo DL Jameson JL.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 200.
3. Arsana PM, Purnamasari D. Hipoglikemia dan Hiperglikemia. Dalam: Abdullah M, Arsana PM,
Setyohadi B, Soeroto AY, Suryanto A. ElM ED PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit Dalam (Emergency
in Internal Medicine). Jakarta: lnterna Publishing; 2011;hal.305-13.
HIPOGONADISME
PENGERTIAN
Hipogonadisme adalah suatu kondisi yang dihasilkan akibat menurunnya produksi
fungsi gonad secara abnormal, terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan seksual,
serta karakteristik seksual sekunder. Sering juga disebut dengan hipogenitalisme. 1
Hipogonadisme bermanifestasi berbeda pada pria dan wanita sebelum dan sesudah
onset pubertas. 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis, berikut adalah langkah-langkah yang sebaiknya
dilakukan: 4•5
-~- (i)
1. Evaluasi kesehatan secara umum untuk melihat tanda dan gejala defisiensi
androgen dan mengeksklusikan penyakit sistemik, gangguan makanan, dan
masalah gaya hid up seperti olahraga yang berlebihan a tau penyalahgunaan obat-
obatan seperti etanol, marijuana, dan opiat.
2. Mengukur testosteron total, lebih baik dilakukan sam pel darah pada pagi hari.
3. Pengukuran LH pada pasien yang dianggap mengalami defisiensi androgen
untuk menentukan apakah defek tersebut terjadi pada tingkat testikular atau
pada tingkat hipotalamus-hipofisis. Pada defisiensi androgen, pasien seringkali
menunjukan keterlambatan perkembangan seksual atau terjadi seksual inkomplit
dan proporsi eunuchoidal. Pada pasien yang mengalami defisiensi androgen pada
masa prepubertal juga didapatkan suara yang high-pitched dan tidak mengalami
resesi temporal rambut seiring berjalannya umur. Pada lelaki yang mengalami
defisiensi androgen setelah lengkapnya maturasi pubertas, gejala-gejalanya
meliputi berkurangnya gairah seksual dan aktivitas, menurunnya ereksi spontan,
hilangnya rambut badan, infertilitas, berkurangnya massa otot dan tenaga, hot
flush, berkeringat, berkurangnya tinggi badan yang berhubungan dengan fraktur
atraumatik, testis mengkerut atau mengecil dan terjadi pembesaran payudara.
4. Selain itu diajukan kriteria minimum untuk diagnosis dari hipogonad late-
onset:
• Setidaknya tiga gejala seksual
Ereksi pagi yang buruk
Gairah seksual rendah
Disfungsi ereksi
• Tingkattestosteron total< 11 nmol/L (3.2 ngfmL)
• Tingkat testosteron total < 220 pmoljL (64 pgfmL)
Keluhan utama
Pada kebanyakan lelaki yang lebih tua libido rendah:Gejala lain : disfungsi ereksi,
penurunan massa otot dan kekuatan, penurunan vitalitas, mood menurun.
Riwayat Medikasi
Pada lelaki lebih muda ditanyakan riwayat konsumsi maternal estrogen, progestin
atau androgen pada kehamilan 2 bulan awal.
Riwayat Keluarga
Kematian saudara kandung saat neonatus meningkatkan kecurigaan hiperplasia
adrenal kongenital. Infertilitas dari saudara kandung orangtua meningkatkan
kecurigaan bentuk pseudohermafroditisme genetik lelaki
Pemeriksaan Penunjang 3 · 5
• Laboratorium
Pengukuran testosteron serum total, FSH, LH (ketiganya diambil pada sam pel
darah pagi hari), prolaktin serum, hormon hipofisis lain
Analisis semen untuk memeriksa infertilitas
• Radiologis
USG pelvis untuk mencari uterus, testis tersembunyi (cryptochismus)
Studi kontras dari orifisium perineal dapat membantu anatomi internal dan
mengkonfirmasi keberadaan vagina
MRI Kepala
DIAGNOSIS BANDING3-5
Hipogonadisme primer, hipogonadisme sekunder, resistensi target organ (sindrom
insensitivitas androgen atau defisiensi 5-alpha-reductase), hipogonadisme late-onset
TATALAKSANA3-s
Terapi pengganti androgen dapat dilihat pada Tabell. Indikasi dan kontraindikasi
pemberian androgen dapat dilihat pada Tabel 2.
KOMPLIKASI
Organ seksual tidak berkembang, kegagalan perkembangan karakteristik seksual
79
(i)
Pertimbangan
------+ penyakit sistemik
LH
I
l l
T I
LH rendah atau normal
I
80
sekunder (pubertas), osteoporosis, hilangnya massa otot, dan penurunan fungsi
seksual termasuk disfungsi ereksi dan penurunan libido (dewasa). 4•6•7
PROGNOSIS
Tabell. lndikasi dan Kontraindikasi Terapi Pengganti Testosteron 5
Jndikasl· . Kootraindikqsl
Defisiensi androgen (hipogonadisme) Absolut:
• Karsinoma prostat
• Karsinoma pada pria
Mikrophallus (neonatus) Relatif:
• Pria usia lanjut dengan pembesaran pros-
tat dan gejala miksi
• Peningkatan hematokrit
• Kelainan bema pas saat tidur
Pubertas terlambat pada anak laki-laki
Pria dewasa dengan kadar testosteron serum
total rendah
Edema angioneurotik
Kemungkinan penggunaan lainnya
• Kontrasepsi hormonal pria
• Penyakit wasting yang berkaitan dengan
kanker, infeksi HIV, infeksi kronis
• Wanita postmenopause
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 23rd Ed. Philadelphia. Elsevier. 2007
2. Viswanathan V, Eugster EA. Etiology and treatment of hypogonadism in adolescents. Endocrinol
Metab Clin North Am. Dec 2009;38(4):719-38.
3. Bhasin S, Jameson J. Disorders of the Testes and Male Reproductive System. In: Longo Fauci Kasper,
Harrison's Principles of Internal Medicine 18'" edition. United States of America. McGraw Hill. 2012
4. Kronenberg H, Melrned S, Polonsky K. Testicular disorder. William's textbook of endocrinology 11'"
edition. Philadelphia. Saunders Elsevier. 2008
5. Swerdloff R, Wang C. The Testis and Male Sexual Function.ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008
6. Wang C, Nieschlag E, Swerdloff RS et al. ISA. ISSAM, EAU, EAA and ASA recommendations:
investigation, treatment and monitoring of late-onset hypogonadism in males.
7. Otten B, Stikkelbroeck N, Hermus R. Hypogonadism in Males With Congenital Adrenal Hyperplasia
In: Winters S.Male hypogonadism: basic, clinical, and therapeutic principles. New Jersey. Humana
Press. 2004
82
HIPOPARATIROIDISME
PENGERTIAN
Hipoparatiroidisme adalah keadaan berkurangnya harmon paratiroid; yang dapat
dibagi menjadi hipoparatiroidisme herediter dan hipoparatiroidisme akuisita. 1
Hipoparatiroidisme herediter terjadi akibat defek genetik, biasanya awitan lebih
dini, sering muncul pada dekade pertama. Hipoparatiroidisme akuisita dapat terjadi
sekunder setelah pembedahan pada daerah leher. Penyebab yang lebih jarang adalah
jejas imbas radiasi setelah terapi radioiodin pada hipertiroidisme dan jejas kelenjar pada
pasien dengan hemokromatosis atau hemosiderosis setelah transfusi darah berulang.
Hipoparatiroidisme transient dapat terjadi paska pembedahan untuk hipertiroidisme. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
TATALAKSANA
Farmakologis
1. Kalsium oral dosis tinggi (~1 g kalsium elemental); jika perlu dikombinasikan
dengan vitamin D dosis 40.000-120.000 U/hari (1-3 mgjhari). 1
2. Diuretik tiazid. 1
3. Penambahan terapi pengganti harmon paratiroid 1-84 pada terapi konvensional
(kalsium dan vitamin D) terkait dengan penurunan kebutuhan kalsium dan vitamin
D harian. 2•3
KOMPLIKASI
Kejang, gagal napas, parkinsonisme, perubahan kronik pada kuku dan rambut,
katarak lentikular, insensitivitas terhadap digoksin. 4
PROGNOSIS
Hipoparatiroidisme permanen dapat terjadi pada 3,8% yang menjalani
tiroidektomi. 2
UNIT 'lERKAIT
• RS Pendidikan
• RS non Pendidikan
REFERENSI
1. Potts Jr JT. Diseases of the parathyroid gland. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS.
Hauser SL Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-
Hill Companies; 2012. Hal.
2. Rubin MR. Sliney J, McMahon DJ, Silverberg SJ, Bilezikian JP. Therapy of hypoparathyroidism with
intact parathyroid hormone. Osteoporosis lnt 201 0;21 (11 ): 1927-34
3. Sikjaer T, Rejnmark L, Rolighed L, Heickendorff L Mosekilde L. The effect of adding PTH ( 1-84) to
conventional treatment of hypoparathyroidism: a randomized placebo-controlled study. J Bone
Miner Res 2011 ;26(1 0):2358-70
4. Sitqes-Serra A. Ruiz S, Girvent M, Duenas JP, Sancho JJ. Outcome of protracted hypoparathyroidism
after total thyroidectomy. Br J Surg 201 0;97(11 ):1687-95
HIPOTIROIDISME
PENGERTIAN
Hipotiroidisme adalah berkurangnya efek harmon tiroid di jaringan. Terdapat
3 bentuk hipotiroidisme, yaitu hipotiroidisme sentral (kerusakan hipotalamus/
hipofisis seperti, tumor, nekrosis sistemik, iatrogen, infeksi), hipotiroidisme primer
(kerusakan kelenjar tiroid seperti pasca radiasi, tiroiditis, atrofi, dishormogenesis,
hipotiroidisme transien), hipotiroidisme karena sebab lain (farmakologis, defisiensi
yodium, kelebihan yodium dan resistensi perifer). Hipotiroidisme juga dapat
dibedakan berdasarkan gejala yaitu hipotiroidisme klinik dan subklinik. 1
DIAGNOSIS
Anamnesis 1
• Rasa capek
• Sering mengantuk
• Tidak tahan dingin
• Lesu, lamban
• Ram but alis mata lateral rontok
• Ram but rapuh
• Lamban bicara
• Berat badan naik
• Mudah lupa
• Dispnea
• Suara serak
• Otot lembek
• Depresi
• Obstipasi
• Kesemutan
• Reproduksi: oligomenorea, infertil, aterosklerosis
• Tipe sentral: gangguan visus, sakit kepala, muntah
(i)
l!!!!!!~sPraktik·Kiinis
Pemeriksaan Fisik 1
• Kulit kering, dingin, pucat, kasar
• Gerakan lamban
• Edema wajah
• Refleks fisiologis menurun
• Lidah tebal dan besar
• Otot Iembek, kurang kuat
• Obesitas
• Edema ekstremitas
• Bradikardia
Pemeriksaan Penunjangt2
• Darah perifer lengkap (bisa terdapat sitopenia)
• Kreatin fosfokinase
• Antibodi TPO
• Anti-Tg-Ab
• Pemeriksaan TSH, T3, FT4
• Profillipid
• Biopsi aspirasi jarum halus hila terdapat struma
• Elektrokardiogram (untuk mencari komplikasi jantung)
Pada hipotiroidisme subklinis, TSH naik, namun kadar hormon tiroid dalam batas
normal. Gejala dan tanda tidak ada atau minimal. 1•2
DIAGNOSIS BANDING
Euthyroid sick syndrome, insufisiensi adrenal, gaga! hati, efek obat-obatan, depresi,
sindrom Ielah kronik 3
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
edukasi, pemantauan fungsi tiroid berkala4
Farmakologis
• Levotiroksin: pagi hari dalam keadaan perut kosong. Dosis rerata substitusi L-T
4
adalah 112 !lg/hari atau 1,6 !lg/kgBB atau 100-125 11g seha:ri. Untuk L-T adalah
3
25 - 50 11g. Sebagian besar kasus membutuhkan L-T 100- 200 !lg/hari. Untuk
4
86
pasien-pasien kanker tiroid pasca tiroidektomi, dosis T4 rata-rata adalah 2,2 11g/
kgBB/hari. Target TSH disesuaikan dengan latar belakang kasus. ·
• Untuk hipotiroidisme subklinis, tidak dianjurkan memberikan terapi rutin apabila
TSH <10 mU/L. Substitusi tiroksin diberikan untuk memperbaiki keluhan dan
kelainan objektif jantung. Terapi diberikan dengan levotiroksin dosis rendah
(25-50 11g/hari) hingga mendapatkan kadar TSH normal,l
Terapi T4
Singkirkan efek obat, sick
euthyroid syndrome, evaluasi
fungsi hipofisis
~ .',
(i
HIPOTIROIDISME PADA KEHAMILAN
WHO merekomendasikan intake iodium sebesar 200!J.g/hari selama kehamilan
untuk mempertahankan produksi harmon tiroid yang adekuat. Hipotiroidisme pada
kehamilan berbahaya bagi ibu maupun bayi. Hipotiroidisme berat pada ibu dapat
menyebabkan anemia, miopati, gagal jantung kongestif, pre-eklamsia, abnormalitas
plasenta, be rat bayi lahir rendah dan perdarahan postpartum. Hipotiroidisme ringan
dapat bersifat asimtomatik pada kehamilan. Bagi bayi, hipotiroidisme pada ibu dapat
menyebabkan hipotiroidisme kongenital yang dapat menyebabkan abnormalitas
fungsi kognitif, neurologik dan gangguan perkembangan. Karena itu, semua bayi baru
lahir hendaknya dilakukan penapisan untuk mengetahui ada tidaknya hipotiroidisme
kongenital sehingga bayi dapat segera diberikan terapi. Abnormalitas ringan pada
perkembangan otak bayi dapat timbul pada wanita hamil dengan hipotiroidisme
ringan yang tidak diterapi. Karena itu, beberapa ahli merekomendasikan untuk
memeriksa kadar TSH wanita sebelum hamil atau segera setelah kehamilan
ditegakkan, terutama apabila wanita tersebut berisiko tinggi memiliki kelainan
tiroid (wanita yang sebelumnya mendapat terapi hipertiroidisme, wanita dengan
riwayat keluarga menderita kelainan tiroid a tau goiter). Kadar TSH ~2,5 miU /L dapat
dianggap abnormal. Kadar TSH 2,5- 10 miU /L tanpa penurunan IT4 dianggap sebagai
hipotiroidisme subklinik. Kadar TSH >10 miU/L dianggap sebagai hipotiroidisme
primer tanpa melihat ada tidaknya penurunan kadar IT4. 5
Wanita dengan riwayat hipotiroidisme harus memeriksa kadar TSH pada awal
kehamilan. Apabila TSH normal, maka tidak perlu dimonitor lebih Ian jut. Namun apabila
diketahui terdapat hipotiroidisme, maka terapi dengan levotiroksin diperlukan untuk
mencapai kadar TSH (0,1- 2,5 miU /L pada trimester 1, 0,2 - 0,3 miU /L pada trimester
2, 0,3 - 3,0 miU/L pada trimester 3) dan IT4 normal. Terapi hipotiroidisme pada
kehamilan sama dengan pasien yang tidak hamil, hanya saja kebutuhan levotiroksin
saat kehamilan meningkat 25- SO%. Tes fungsi tiroid dapat diulang setiap 6- 8 minggu
selama kehamilan. Apabila terdapat perubahan pada dosis levotiroksin, maka tes fungsi
tiroid harus dilakukan 4 minggu kemudian. Setelah melahirkan, maka do sis levotiroksin
kembali seperti tidak hamil. Suplemen kehamilan yang mengandung zat besi dapat
menurunkan absorpsi harmon tiroid pada saluran cerna sehingga harus dikonsumsi
dengan jarak minimal2- 3 jam dari konsumsi levotiroksin. 5•6
KOMPLIKASI
Kama miksedema, depresi, kelainan neuropsikiatri (myxedema madness), penyakit
jantung, komplikasi pengobatan 2 · 4
PROGNOSIS
Kebanyakan kasus hipotiroidisme klinik membutuhkan terapi seumur hidup.
Komplikasi kama miksedema terkait dengan kematian. Sekitar 40% kasus
hipotiroidisme subklinis akan berkembang menjadi hipotiroidisme klinis, hal ini
terkait dengan kadar awal TSH. Sisanya akan mengalami resolusi spontan dalam
waktu 1- 5 tahun. 2•3
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
• RS non Pendidikan
REFERENSI
1. Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. In: Sudoyo A. Setiyohadi
B. Alwi I. Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 51h ed. Jakarta; Pusat
lnformasi dan Penerbitan Bag ian llmu Penyakit Dol am FKUI. 2009:1993- 2008
2. La meson JL Weetman AP .Disorders of the thyroid gland.ln: Fauci A. Kasper D, Longo D. Braunwald
E. Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed.
United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012:2911-39
3. Gardner DG, Shoback D. editors. Greenspan's basic and clinical endocrinology. 81h ed. San
Fransisco.
4. Allahabadia A. Razvi S, Abraham P, Franklyn J. Diagnosis and treatment of primary hypothyroidism.
BMJ.2009;33:b725
5. Stagnaro-Green A. Abalovich M, Alexander E. Azizi F. Mestman J, Negro R, et al. Guidelines of
the American thyroid association for the diagnosis and management of thyroid disease during
pregnancy and postpartum. Thyroid. 2011 ;21 (10):1081 - 1125
6. Alinbinde, Steven W. et al. Thyroid and Others Endocrine Disorders During Pregnancy. Current
Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. The Mac-Grow Hill Companies.
2007.
HIPERPARATIROIDISME
~
PENGERTIAN
Hiperparatiroidisme adalah keadaan berlebihnya sekresi hormon paratiroid; yang
dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu primer, sekunder dan tersier. 1•2 Hiperparatiroidisme
primer terjadi jika sekresi hormon paratiroid yang berlebihan disebabkan oleh
kelenjar paratiroid yang autonom, menyebabkan hiperkalsemia, dengan insidens
tertinggi pada wanita pascamenopause. 2· 4 Perubahan patologik yang dapat terjadi
pada hiperparatiroidisme primer adalah adenoma, hiperplasia dan karsinoma. 3 · 5
Hiperparatiroidisme sekunder terjadi jika hipokalsemia atau defisiensi vitamin D
menjadi stimulus produksi hormon paratiroid, sering terjadi pada pasien gaga! ginjal
kronik dan pasien defisiensi vitamin D, terutama orang lanjut usia. 4 Hiperparatiroidisme
tersier disebabkan oleh kelenjar yang berfungsi secara autonom pada pasien dengan
hiperparatiroidisme sekunder yang telah berjalan lama, misalnya pada kasus gaga! ginjal
kronik yang telah berjalan lama. 4•5
PENDEKATAN DIAGNOSIS2.4·5
Anamnesis
• Gejala konstitusional nonspesifik: kelelahan, kelemahan, anoreksia, mual, muntah,
konstipasi, nyeri tulang.
• Gejala neuropsikologik: gangguan tidur, depresi, mental confusion, konsentrasi
menurun, iritabilitas, demensia
• Manifestasi pada sistem rangka: osteoporosis, patah tulang atau riwayat patah tulang
• Riwayat batu ginjal berulang
• Riwayat penggunaan obat: diuretik tiazid, litium
• Riwayat hipertiroidisme, hiperkalsemia.
Pemeriksaan Fisik
Manifestasi kardiovaskular: hipertensi, kalsifikasi valvular, hipertrofi ventrikel
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan darah
• Peningkatan kalsium serum total dan peningkatan hormon paratiroid, penurunan
kadar fosfat serum, peningkatan kadar 1,25-dihidroksi vitamin D, peningkatan
marker pembentukan (aktivitas osteoblastik) dan resorpsi tulang (osteoklastik).
Pada hiperparatiroidisme sekunder, terjadi peningkatan hormon paratiroid,
hipokalsemia atau defisiensi vitamin D. Pasien dengan hiperparatiroidisme tersier
memiliki kadar kalsium darah yang normal atau meningkat, penurunan kadar
vitamin D, penurunan kadar fosfat dan peningkatan fosfatase alkali.
• Pencitraan: nefrolitiasis dan gambaran keropos tulang
• Penurunan GFR
• Pemeriksaan urin: hiperkalsiuria, peningkatan ekskresi kalsium urin 24 jam.
• EKG: interval QT memendek
• Densitometri tulang: penurunan densitas tulang
• Kedokteran nuklir: Sestamibi scan
TATALAKSANA
PROGNOSIS
~l
Hiperparatiroidisme primer ringan yang tidak ditatalaksana terkait dengan
peningkatan mortalitas, penyakit kardiovaskular, gagal ginjal, dan batu ginjal. Pada
pasien hiperparatiroidisme primer simtomatik, paratiroidektomi bersifat kuratif dan
bermanfaat. Pada hiperparatiroidisme sekunder, sekitar 1-2% pasien membutuhkan
paratiroidektomi setiap tahunnya. Pad a hiperparatiroidisme tersier, kelenjar abnormal
jarang mengalami involusi.4.6
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Bedah
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah
REFERENSI
1. Hiperparatiroidisme. Dalam: Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnterna Publishing; 2009.
2. Potts Jr JT. Diseases of the parathyroid gland. In: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS, Hauser
SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. 18th Edition. McGraw-Hill. 2012.
3. Fraser WD. Hyperparathyroidism. Lancet 2009;37 4(9684): 145-58.
4. Ahmad R, Hammond JM. Primary, secondary, and tertiary hyperparathyroidism. Otolaryngol
Clin N Am 2004;37:701-13
5. Pitt SC, Sippel RS, Chen H. Secondary and tertiary hyperparathyroidism, state of the art surgical
management. Surg Clin North Am 2009;89(5):1227
KARSINOMA TIROID
PENGERTIAN
Karsinoma tiroid merupakan keganasan kelenjar tiroid yang paling sering
ditemukan. Klasifikasi karsinoma tiroid dibedakan atas dasar : asal sel yang
berkembang menjadi sel ganas dan tingkat keganasannya. 1 Untuk kepentingan praktis,
berdasarkan tingkat keganasan, karsinoma tiroid dibagi atas 3 kategori :2
1. Tingkat Keganasan Rendah
a. Karsinoma papilar
b. Karsinoma folikular ( dengan invasi minimal)
2. Tingkat Keganasan Menengah
a. Karsinoma folikular (dengan invasi luas)
b. Karsinoma medular
c. Limfoma maligna
d. Karsinoma tiroid berdiferensiasi buruk
3. Tingkat Keganasan Tinggi
a. Karsinoma tidak berdiferensiasi (anaplastik)
b. Haemangioendothelioma maligna (angiosarkoma)
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan FisikL2
• Modul padat, keras, tidak rata dan terfiksir
• Limfadenopati servikal
Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi Aspirasi Jarum Hal us (BAJAH):
2. Laboratorium
3. Pencitraan
• USG
• Skintigrafi Tiroid
4. Histopatologi
DIAGNOSIS BANDING
Nodul Tiroid Jinak
TATALAKSANA 1
1. Operasi
• Tiroidektomi total merupakan prosedur awal pilihan pada hampir sebagian
besar pasien karsinoma tiroid.
2. Terapi Ablasi Iodium Radioaktif
• Untuk memaksimalkan uptake iodium radioaktif setelah tiroidektomi total, kadar
hormon tiroid diturunkan dengan menghentikan obat L-tiroksin sehingga TSH
endogen terstimulasi hingga mencapai kadar di atas 25-30 mU/L. Mengingat
waktu paruh L-tiroksin adalah 7 hari, biasanya diperlukan waktu 4-5 minggu.
• Pasien juga menghindari makanan yang mengandung tinggi yodium paling
kurang 2 minggu sebelum skintigrafi dikerjakan.
3. Terapi Supresi L-Tiroksin
• Kelompok Risiko Rendah: Target TSH: 0.1-0.5 mU/L
• Kelompok Risiko Tinggi : Target TSH : 0.01 mU /L
4. Tyrosine kinase inhibitor
5. Radioterapi paliatif
EVALUASI
1. Skintigrafi Seluruh Tubuh (Whole Body Scan)
• Dilakukan 6-12 bulan setelah terapi ablasi pertama
2. USG
• Mengevaluasi kekambuhan atau adanya KGB lokal atau metastasis regional
3. Pencitraan Lain: CT scan, Rontgen dada, MRI dan FOG-PET tidak rutin dikerjakan
4. Tiroglobulin
Tiroglobulin dan TSH diperiksa setiap 6 bulan selama 3 tahun pertama
.KarsinomaTiroid
KOMPLIKASI
• Penekanan saluran nafas
• Metastasis fails
PROGNOSIS
Pada pasien muda, rata-rata kesembuhan 97% pada karsinoma tiroid baik yang
folikular maupun yang papilar. Karsinoma tiroid tipe medular, memiliki prognosis
lebih buruk karena menyebar ke kelenjar limfe lebih cepat sehingga membutuhkan
terapi lebih agresif.l
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non Pendidikan
REFERENSI
1. Jameson JL Weetman AP. Disorder of the Thyroid Gland. In : Longo DL Fauci AS, Kasper DL
Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'hed. New York:
McGraw-Hill; 2012.2911-39
2. Subekti Imam. Pengelolaan karsinorna tiroid. Dalam: Penatalaksanaan Penyakit-Penyakit Tiroid
bagi Dokter. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia Cabang Jakarta. Jakarta. 2008. Him 88-102.
KELAINAN ADRENAL
PENGERTIAN
Kelainan adrenal memiliki karakteristik defisiensi atau produksi berlebihan dari
satu atau beberapa kelas kortikosteroid utama. Defisiensi hormon dapat disebabkan
oleh kelainan enzimatik atau glandular bawaan atau rusaknya kelenjar hipofisis
atau adrenal oleh karena penyakit autoimun, infeksi, infark, atau kondisi iatrogenik
seperti pembedahan atau supresi hormonal. Hormon yang berlebihan biasanya
diakibatkan oleh neoplasia atau keganasan, yang meningkatkan produksi hormon
adrenokortikotropik (ACTH) oleh sel neuroendokrin atau adanya neoplasia di
tempat lain yang menghasilkan ACTH (ACTH ektopik), atau meningkatnya produksi
glukokortikoid atau mineralokortikoid oleh nodul adrenaJ.l
Kelainan adrenal yang akan dibahas pada bab ini adalah Sindrom Cushing, tumor
adrenal, hirsutisme, hiperaldosteronisme, dan insufisiensi adenokortikal.
DIAGNOSIS
TATALAKSANA
Non farmakologis :-
Farmakologis
Hiperplasia adrenal: "medical" adrenalektomi [Mitotan (2-3 gjhari)], penghambat
steroidogenesis [ketokonazol (600-1200 mgjhari)], penghambat sintesis steroid
aminoglutetimid (1 gjhari) dan metiraponi (2-3 gjhari), mifepristone.
Bedah
Adenoma atau karsinoma, hiperplasia bilateral (adrenalektomi)
lando klinik
Osteoporosis
Diabetes melitus
Hipertensi diastolik
Adipositas sentral
Hirsutisme dan amenorea
l
Tes skrining
1.Kortisol plasma pada jam 08.00
> 140 nmoi/L (5 g/dL) setelah 1 mg
deksametason pada tengah malam;
2.kortisol bebas urin > 275 nmoi/L (1 00
iJg/hari)
3. Salivary Cortisol tengah malam
l
Tes supresi deksametason
Respon kortisol pada hari ke-2
menjadi 0,5 mg per 6 jam
I
t t
I Respon normal
I 1 Respon abnormal Respon kortisol pada hari ke-2
supresi deksametason (2 mg
I
per 6jam)
t t
Supresi Tidak ada respon
Hiperplasia adrenal - Hiperplasia adrenal
Sekunder terhadap sekresi - sekunder terhadap tumor
ACTH hipofisis yang menghasilkan ACTH
- Neoplasia adrenal
t I
'
ACTH
ACTH tinggi
Hiperplasia adrenal
I ACTH rendah
Neoplasia
I I
sekunder terhadap tumor
yang menghasilkan ACTH
17-KS-urin a tau
Pencitraan pituitari dan/atau DHEA sulfat serum
pengambilan sampel darah vena yang CT scan abdomen
selektif
t t ... t
Positif
Adenoma hipofisis
II Negatif
Tumor ektopik
I I Tinggi (> 6 em)
Karsinoma adrenal
II Normal-rendah (<3 em)
Adenoma adrenal
I
Gambar 1. Alur Diagnostik untuk Mengevaluasi Pasien Tersangka Menderita Sindrom Cushing 1
Komplikasi
Trombosis vena dalam, emboli paru, ansietas, depresi, paranoid akut, psikosis
depresif, osteoporosis. Karsinoma adrenal : metastatis paru dan hati
Prognosis
• Overt Cushing's berhubungan dengan prognosis buruk
• Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah
diagnosis
• Adenoma adrenal yang berhasil diobati dengan pembedahan mempunyai prognosis
baik dan tidak mungkin kekambuhan terjadi.
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Kondisi dimana operasi tidak memberikan hasil yang baik diantaranya adalah
kelainan adrenal bilateral seperti corticotropin-dependent Cushing disease atau
hiperaldosteronisme bilateral. Adenoma kortikal adrenal non- fungsional bukan
merupakan premalignan dan tindak pembedahan tidak diindikasikan.
Temuan CT/MRI massa adrenal yang
didapatkan secara insidental
J
Skrining harmon berlebihan
• Metanefrin plasma atau urin 24 jam untuk ekskresi katekolamin
atau metanefrin
• Urin 24 jam untuk ekskresi kortisol bebas. ACTH plasma, cortisol
plasma (atau saliva) tengah malam, tes deksametason 1 mg
satu malam penuh (melakukan paling sedikit didapatkan
duo dari em pat tes)
• Aldosteron plasma dan renin plasma
• Jika tumor >2 em; 17-hidroksiprogesteron dan DHEAS
IU.:>IIII
I Negatif dan pencitraan tida k
Negatif tapi: didapatkan adanya keganasar
hasil pencitraan
I Tes konfirmasi
I tidak didapatkan
keganasan:
• Ukuran <4 em
• Densitas CT yang renda
(<10 HU)
I • Ukuran >4cm • Wash-out kontras CT >50%
• Densitas CT yang
tinggi (>20 HU)
• Wash-out kontras CT
<40%
Ulangi skrining untuk Ulangi skrining untuk harmon
harmon yang berlebih yang berlebih setelah 12 bulan;
---------------------------------llo>
setelah 12 bulan ulangi pencitraan setelah 6-12
bulan
[:!] G
F/U jika
diperlukan
I I Unilateral adrenalektomi b
r
JF/U jika diperlukan l
Keterangan gambar: F/U =follow up
Gam bar 2. Algoritma tate laksana pasien dengan masse adrenal yang
ditemukan secara insidentaP
Farmakologis
Pasien dengan hiperaldosteronisme idiopatik bilateral yang tidak dapat dioperasi
a tau menolak dioperasi harus diberikan penyekat reseptor mineralkortikoid selektif
dan nonselektif.
Bedah
Pengobatan untuk tumor adrenal yang secara hormonal aktif
PROGNOSIS
Delapan puluh persen adenoma adrenal merupakan non fungsional dan jinak.
Dan sebesar 20%, adenoma adrenal adalah fungsional atau ganas dan membutuhkan
evaluasi dan pengobatan lebih lanjut untuk mencegah komplikasi.
Gambaran Klinis
Pertumbuhan rambut ekstra pada daerah wajah, bibir atas, dan dagu. Rambut
pada lengan bawah meningkat dan rambut tumbuh panjang antara payudara dan
pubik, meluas sampai ke paha atas dan dinding perut depan (male escutcheon). Kulit
cenderung berkeriput, dan dapat muncul jerawat
TATALAKSANA
Non farmakologis
Depilatory cream, bleaches dan heavy layer cosmetics
Farmakologis
Siproteron asetat
Prognosis
Riwayat hirsutisme simpleks tidak jelas tetapi memberi kesan rambut tubuh
berlebihan dan tidak berkembang lebih luas setelah usia 35 tahun dan cenderung
berkurang setelah menopause
D. HIPERALDOSTERONISMEI.2
Etiologi hiperaldosteronisme ada tiga macam yaitu primer, sekunder, dan kelebihan
mineralkortikoid non aldosteron. Pacta hiperaldosteronisme primer terjadi kelainan
pad a adrenal dan tidak peningkatan hormon aldosteron tidak bergantung pacta renin.
Penyebab hiperaldosteronisme diantaranya adalah hiperplasia (70%), adenoma
(sindroma Conn, 25%), karsinoma (5%).
Pacta hiperaldosteronisme sekunder terjadi kelainan pada ekstraadrenal dan
peningkatan aldosteron bergantung dari renin. Primary reninism: tumor yang
mengsekresi renin (jarang), Secondary reninism: penyakit renovaskular (RAS,
hipertensi maligna), edema dengan penurunan volume arteri yang efektif (CHF,
sirosis, sindroma nefrotik, hipovolemia, diuretik, diabetes tipe 2, Bartter (gangguan
Na/K/2Cl transporter-mendapat loop diuretic), Gitelman (gangguan transporter Na/
Cl renal-mendapat diuretik golongan thiazid))
Adapula kelainan kelebihan mineralkortikoid nonaldosteron yang menyerupai
hiperaldosteronisme yaitu defisiensi 11 b- HSD (kekurangan penginaktivasi kortisol,
yang berikatan dengan reseptor mineralkortikoid nonselektif), Black licorice
(glycyrrhizinic)
Anamnesis
Sakit kepala, poliuria, nokturia, parestesia, kelemahan otot
Pemeriksaan Fisik
Hipertensi, edema, hiporefleksi, paralisis, distensi abdomen
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: Hipokalemia, kadar aldosteron tinggi, kadar renin rendah
• Radiologi: CT scan adrenal
Diagnosis Banding
Hipertensi esensial, adenoma adrenal, Sindrom Bartter, Sindrom Conn, Sindrom
Cushing, hipertensi renovaskular
Tatalaksana
• Nonfarmakologis: diet rendah garam
• Farmakologis: Spironolakton (awal400 mg/hari per oral, kemudian 100-400 mg
sekali sehari atau setiap 12 jam), amiloride, triamterene, nifedipin
• Terapi invasif: -
• Tindakan operatif: untuk kasus adenoma a tau karsinoma
Komplikasi
Komplikasinya adalah komplikasi yang berhubungan dengan hipertensi kronik
(infark miokard, penyakit serebrovaskular, gaga! jantung kongestif)
E. INSUFISIENSI ADRENAL'- 2
Adalah defisiensi kortisol absolut atau relatif yang terjadi mendadak biasanya
disebabkan oleh penyakit atau stres yang berat. Insufisiensi adrenal akut juga dapat
terjadi akibat stres, infeksi berat, pada pasien dimana respons adrenal menurun karena
sesuatu sebab atau gangguan pelepasan ACTH akibat kerusakan hipofisis atau terapi
kortikosteroid lama.
Anamnesis
Akut: Nyeri kepala, mual, muntah, diare
Kronik: lesu, letih, lemah, anoreksia, mual, penurunan berat badan, muntah-muntah,
nyeri perut, depresi, psikosis
Pemeriksaan Fisik
Hipotensi
Kronik: kurus, lemah, hipotensi, pigmentasi pada perut, tempat-tempat tertekan
(daerah tali pinggang, lipatan telapak tangan, areola, perineum dan daerah yang
terpapar sinar matahari), vitiligo, atau pigmentasi kelabu pada muka pipi, gusi dan
bibir
Pemeriksaan Penunjang
• Kadar kortisol darah
• Kronik: hipoglikemia
• Tes Synacthen (ACTH stimulation test)
• CT scan adrenal
Diagnosis Banding
Krisis adrenal, perdarahan adrenal, eosinofilia, histoplasmosis, sarkoidosis
TATALAKSANA
Non farmakologis: Edukasi pasien
Farmakologis: Pemberian larutan NaCl 0,9%, kortikosteroid, glukosa intravena, dan
pengobatan penyakit pencetusnya
Alternatiflain: hidrokortison IV dengan larutan NaCl 0,9%
Kronik:
• Pemberian kortisol
Mula-mula pasien diberikan kortison dosis tinggi. Untukjangka panjang, dosis 25 mg
pagi hari dan 12,5 mg pada sore hari per oral
• Mineralkortikoid (fludrokortison 100 11g/hari)
.
103
(j)
.
.
Komplikasi
Syok, krisis adrenal
Prognosis
Kecuali risiko krisis adrenal, kesehatan dan usia pasien biasanya normal, sedangkan
pigmentasi dapat menetap
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Arlt W. Disorder of the Adrenal Cortex. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL
Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181hed. New York: McGraw-Hill; 2012.2940-61
2. Nieman L. Adrenal Cortex. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia.
Saunders, Elsevier. 2008
104
KISTA TIROID
PENGERTIAN
Kista tiroid adalah nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 10 - 25 % dari
seluruh nodul tiroid. Insidens keganasan pada nodul kistik lebih rendah dibandingkan
nodul solid. Pada nodul kistik kompleks masih mungkin merupakan suatu keganasan.
Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1.2
• Anamnesis Umum:
Sejak kapan benjolan timbul
Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
Cara membesarnya: cepat atau lam bat
Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan
atau hanya pembesaran leher saja
• Riwayat keluarga
• Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu keciljmuda
• Perubahan suara
• Gangguan menelan, sesak nafas
• Penurunan berat badan
• Keluhan tirotoksikosis
Pemeriksaan Fisikl.2
• Umum
• Lokal:
Nodus tunggal atau banyak, atau difus
Nyeri tekan
Konsistensi: kistik
Permukaan
Perlekatan pada jaringan sekitarnya
Pand.uan Pralltik.Kiini.s
PEirhimounon Dokl9i-'.
Pendesakan atau pendorongan trakea
Pembesaran kelenjar getah bening regional
Pemberton's sign
Pemeriksaan Penunjang4
• USG tiroid:
dapat membedakan bagian padat dan cair,
dapat untuk memandu BAJAH: menemukan bagian solid.
Gambaran USG Kista = kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen,
dinding tip is.
106
• Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin.
• Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH): pada bagian yang solid.
DIAGNOSIS BANDING
• Kista tiroid
• kista degenerasi
• Karsinoma tiroid
TATALAKSANA
Pungsi aspirasi seluruh cairan kista: 1 · 3
• Bila kista regresi ~ Observasi
• Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah ~Pungsi aspirasi dan Observasi
• Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas tinggi ~ Operasi Lobektomi
• Modalitas lain : Injeksi Ethanol (Skleroterapi)
KOMPLIKASI
Penekanan pada organ sekitar yang dapat mengakibatkan kesulitan makan,
menelan, bernapas, dapat juga terasa nyeri.
PROGNOSIS
Prognosis tergantung tipe kista tiroid.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen RadiologijKedokteran Nuklir, Patologi
Klinik, Departemen Bedah-Onkologi, Departemen
Patologi Anatomi
• RS non Pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.
REFERENSI
1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al. (eds). Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI:757-65.
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW, Effendy S,
Setiati S, Gani RA. Alwi I (eds). Naskah Lengkap Pertemuan llmiah Tahunan llmu Penyakit Dalam
1997. Jakarta, 1997:207-13.
107
3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I. Maryantoro, Gani
RA. Mansjoer A (eds). Pedoman Diagnosis dan Toto Laksana di Bidang llmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Do lam FKU1.1999: 187-9.
4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003.
Jakarta, 18 Oktober 2003.
KRISIS HIPERGLIKEMIA
PENGERTIAN
Krisis hiperglikemia, mencakup ketoasidosis diabetik (KAD) dan status
hiperglikemia hiperosmolar (SHH), merupakan komplikasi metabolik akut paling
serius pada pasien diabetes melitus. Krisis hiperglikemia terjadi akibat defisiensi
insulin dan peningkatan hormon counterregulatory (glukagon, katekolamin, kortisol
dan growth hormone). SHH terjadi ketika defisiensi insulin yang relatif (terhadap
kebutuhan insulin) menimbulkan hiperglikemia berat dan dehidrasi dan akhirnya
menyebabkan kondisi hiperosmolalitas. KAD terjadi bila defisiensi insulin yang
berat tidak saja menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi, tapi juga mengakibatkan
produksi keton meningkat serta asidosis metabolik. Spektrum kedua kondisi ini dapat
saling overlap. 1 -4
PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. KAD
• AnamnesisM
Mualjmuntah, hausjpoliuria, nyeri perut, sesak napas; gejala berkembang
dalam waktu <24 jam. Faktor presipitasi meliputi riwayat pemberian insulin
inadekuat, infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi intraabdominal,
sepsis), infark (serebral, koroner, mesenterika, perifer), obat (kokain),
kehamilan.
• Pemeriksaan Fisik4
Takikardia, dehidrasi, hipotensi, takipnea, pernapasan Kussmaul, distres
pernapasan, napas bau keton, nyeri tekan perut (menyerupai pankreatitis
akut), letargi atau koma.
• Pemeriksaan Penunjang3 ·5
Diagnosis KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia (>250 mgjdL),
ketonemia dan atau ketonuria dan asidosis metabolik (HC0 3 <18) dengan anion
gap meningkat.
~
.
-
l"~!!,g~!~s!~!!~a!j!!!!a
2. SHH
• Anamnesis 6
Riwayat poliuria, berat badan turun, dan berkurangnya asupan oral yang
terjadi dalam beberapa minggu dan akhir nya terjadi letargi/ koma. Faktor
presipitasi meliputi infark miokard, stroke, sepsis, pneumonia, infeksi berat
lainnya, keadaan seperti riwayat stroke sebelumnya a tau demensia atau situasi
sosial yang menyebabkan asupan air berkurang.
• Pemeriksaan Fisik6
Dehidrasi, hipotensi, takikardia, perubahan status mental.
• Pemeriksaan Penunjang6
Hiperglikemia (dapat >600 mgjdL), hiperosmolalitas (>350 mOsmoljL),
azotemia prerenal. Asidosis dan ketonemia tidak ada a tau ringan. pH> 7,3 dan
bikarbonat >18 mEqjL.
~$~~;~,\~:~"~~~~i~&~1~o';~:~~~liMtl.i'~
pH arteri 7,25-7,30
. 7,00-7,24
. <7,00 > 7,30
Bikarbonat serum 15-18 10-15 <10 >18
Keton urin Positif Positif Positif Kecil
Keton serum Positif Positif Positif Kecil
Osmolalitas serum Bervariasi Bervariasi Bervariasi > 320 mOsm/kg
efektif
Anion gap >10 >12 >12 Bervariasi
Status mental Sa dar Sadar/ mengantuk Stupor/ koma Stupor/ koma
GD = glukosa darah; Osmolalitas serum efektif= 2 x [No' ukur {mEq/L)] + glukosa {mg/dl)/ 18;
Anion gap = (Na') • [(CI· + HC03· (mEq/LJI
DIAGNOSIS BANDING
Starvation ketosis, alcoholic ketoacidosis, asidosis laktat, penyalahgunaan obat-
obatan (salisilat, metanol, etilen glikol, paraldehid), akut pada gagal ginjal kronik 5
TATALAKSANA
1. Pemberian cairan 4
Pemberian cairan mengikuti algoritma :
11 0
Cairan intravena
Hipovolemia
t
Dehidrasi Renjatan
berat ringan kardiogenik
t
NaCI 0.9%
t
Evaluasi natrium
t
Observasi
(1 L/hari) serum terkoreksi hemodinamik
,. t ""
I Na serum tinggi
I I Na serum normal
I I Na serum rendah
Jika glukosa serum mencapai 200 mg/dl (KAD) atau 300 mg/dl (SHH), ganti cairan dekstrosa
5% menjadi NaCI 0.45% (150-250 ml/jam)
0, l U/kgBB
sebagai bolus IV
0, l U/kgBB/jam
sebagai infus
insulin kontinu IV
1
Jika GD tidak turun 50-75 mg/dL naikkan drip insulin
KAD J 1 SHH
I I
~
Periksa kadar elektrolit, pH vena, kreatinin, dan GD tiap 2-4 jam sampai
pasien stabil. Setelah terjadi resolusi KAD atau SHH dan ketika pasien
mampu untuk makan. berikan regimen insulin subkutan. Untuk mengganti
dari IV ke subkutan, lanjutkan infus insulin IV selama l-2 jam setelah insulin
subkutan dimulai untuk mencapai kadar insulin plasma yang adekuat.
Pada pasien insulin-naive, mulai dengan 0,5 U/kgBB sampai 0,8 U/kgBB
per hari dan sesuaikan sesuai kebutuhan. Cari faktor presipitasi
Gamber 2. Algoritma Protokol Tatalaksana Insulin pada Pasien Dewasa dengan KAD atau SHH 4
3. Koreksi kalium 4
• Jangan memberikan insulin Kalium 20-30 mEq/L dalam Jangan berikan kalium.
terlebih dahulu setiap liter cairan intravena Periksa kadar kalium
• Kalium 20-30 mEq/L sampai untuk menjada kadar setiap 2 jam.
kalium > 3.0 mEq/L. kalium 4-5 mEq/L
Gambar 3. Algoritma Koreksi Kalium pada Pasien Dewasa dengan KAD atau SHH 4
4. Bikarbonat4
• Jika pH vena <6,9 , berikan 100 mmol natrium bikarbonat dalam 400 ml sterile
waterditambah 20 mEq KCI diberikan selama 2 jam. Jika pH masih <7, ulangi setiap
2 jam sampai pH >7. Periksan kadar kalium serum setiap 2 jam.
• Jika pH vena:::: 6.9: tidak perlu diberikan natrium bikarbonat.
5. Pemantauan 4•5
Pan tau tekanan darah, nadi, napas, status mental, asupan cairan dan urin tiap 1-4 jam
KOMPLIKASI
Renjatan hipovolemik, trombosis vena, perdarahan saluran cerna atas, sindrom
distres pernapasan akut.
Komplikasi pengobatan adalah hipoglikemia, hipokalemia, over load edema
serebral 5•6
PROGNOSIS
KAD memiliki angka kematian 2% untuk usia < 65 tahun dan 22% untuk usia >
65 tahun. SHH memiliki angka mortalitas 20- 30%. 5•6
UNIT YANG MENANGANI
• RS Pendidikan Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik
Endokrin
• RS non Pendidikan Bagian llmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : ICU
• RS non Pendidikan : ICU
REFERENSI
1. Soewondo Pradana. Ketoasidosis Diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi L Simadibrata
M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnterna Publishing; 2009.
Hal 1906-1911.
2. Davis Joe C. Diabetes Mellitus. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser
SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill
Companies;2012.
3. Perkeni. Petunjuk praktis terapi insulin pada pasien diabetes rnelitus. Jakarta:Pusat penerbitan
ilrnu penyakit dalam;2011
4. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises in adult patients with
diabetes. Diabetes Care 2009;32(7):1335-43. Diunduh dari http://care.diabetesjournals.org/
content/32/7 /1335.full.pdf+html pad atanggal 7 Juni 2012.
5. Trachtenbarg DE. Diabetic ketoacidosis. American Family Physician 2005;71 (9):1705-14
6. Stoner GD. Hyperosmolar hyperglycemic state. American Family Physician 2005;71 (9):1723-30
1 14
KRISIS Tl ROI D
PENGERTIAN
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling be rat dan
mengancam jiwa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit
Graves atau struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus:
infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stres emosi,
131
penghentian obat anti-tiroid, terapi 1 , ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru,
penyakit serebrovaskular/stroke, palpasi tiroid terlalu kuat. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala khas, berat badan turun,
perubahan suasana hati, bingung sampai tidak sadar, diare, amenorea. 1
Pemeriksaan Fisik1.2
• Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit Graves a tau penyakit lain
• Sistem saraf pusat terganggu: delirium, koma
• Demam tinggi sampai 40°C
• Takikardia sampai 130-200 xjmenit
• Dapat terjadi gagal jan tung kongestif
• Diare
• Ikterus
Pemeriksaan Penunjang
• TSHs sangat rendah, fT 4/T3 tinggi, anemia normositik normokromik, limfositosis
relatif, hiperglikemia, enzim transaminase hati meningkat hiperbilirubinemia,
azotemia prerenal
• EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat.
~
~
label 1. Skor lndeks Klinis Krisis Tiroid (Burch-Wartosky, 1993) 1
TATALAKSANA 1
1. Perawatan suportif:
• Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
• Memperbaiki gangguan keseimbangan cairfln dan elektrolit: infus dekstrosa
i ~
KOMPLIKASI
Krisis tiroid: kematian
PROGNOSIS
Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10 -15 %. 1
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Dalam Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Kardiovaskular
- Departemen Penyakit Dalam, Departemen Neurologi,
Departemen RadiologijKedokteran Nuklir, Patologi
Klinik, Departemen Bedah-Onkologi.
• RS non Pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.
REFERENSI
1. Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta:
lnternaPublishing. 1993-2008.
2. Jameson JL Weetrnan AP. Disorder of the Thyroid Gland. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL
Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'hed. New York:
McGraw-Hill; 2012.2911-39
PERIOPERATIF DIABETES MELITUS
PENGERTIAN
Perioperatif secara umum merupakan tiga fase pembedahan yaitu preoperatif,
intraoperatif dan pasca operasi. Tujuan dari evaluasi dan penatalaksanaan perioperatif
adalah mempersiapkan kondisi pasien yang optimal sebelum operasi, selama
operasi dan setelah operasi. Secara umum evaluasi perioperatif pada pasien DM
sama dengan kondisi pasien lain yang akan menjalani operasi. Pacta pasien DM maka
evaluasi difokuskan pacta evaluasi komplikasi jangka panjang DM (mikrovaskuler,
makrovaskuler dan neuropati) yang akan meningkatkan risiko operasi. Perhatian
khusus perlu diberikan pacta evaluasi fungsi kardiovaskuler dan ginjal. Evaluasi risiko
kardiovaskuler merupakan prioritas utama. Adanya neuropati otonom juga dapat
memperberat dan memperpanjang fase pemulihan pasca operasi.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING
KOMPLIKASI
Hipoglikemia, Hiperglikemia
TATALAKSANA
1. Kontrol Gula Darah (GD)
• Biasanya dilakukan saat rawat jalan sebelum tindakan
• Target GD belum ada keseragaman (secara umum GD 140-180mg/dL)
• Untuk memperbaiki kontrol GD
Pemeriksaan GD lebih sering
Dosis insulin disesuaikan
2. Pemberian Insulin
• GD dikendalikan dengan insulin kerja pendek (insulin manusia) atau insulin
kerja cepat analog
• Regimen insulin di rumah dapat dilanjutkan, terutama jika menggunakan
insulin basal
• Pemberian Insulin
Metode pemberian insulin sebaiknya dapat memberikan kontrol GD yang
baik sehingga dapat mencegah hiper- atau hipoglikemia dan mencegah
gangguan metabolik lain.
Regimen insulin intravena (IV) sebaiknya mudah dimengerti dan dapat
diterapkan dalam berbagai situasi.
Pemberian insulin intravena (IV) harus disertai pemantauan GDS secara
bedside. Insulin IV memiliki waktu paruh 5 menit dan efek biologik sekitar
20 menit.
Kecepatan infus insulin dapat disesuaikan dengan kadar GO.
Perkiraan kebutuhan insulin awal dapat diperkirakan berdasarkan tipe
DM, terapi sebelumnya, derajat kontrol glikemik, terapi steroid, obesitas,
infeksi dan gaga! ginjaL
3. Obat oral
• Umumnya dihentikan sebelum tindakan
• SU kerja panjang: 48-72 jam sebelum tindakan
• SU kerja pendek, pemicu sekresi insulin lain dan metformin dapat dihentikan
pada malam sebelum tindakan atau pada hari tindakan
4. Tipe Operasi
• Operasi Kecil
OAD oral atau insulin dapat diteruskan hila kadar GD terkendali baik
Tidak memerlukan persiapan khusus
• Operasi Sedang
Paling sering ditemukan
Persiapan sama dengan operasi besar
• Operasi besar
Memerlukan anestesi umum dan dipuasakan
Diberikan infus insulin dan glukosa
Periksa gula darah setiap jam di meja operasi
5. Operasi Rawat }alan
• Jika tidak membutuhkan anestesi umum
• OAD atau insulin dapat dilanjutkan hila GD sudah terkontrol baik
• Tidak memerlukan puasa dan pasca tindakan dapat makan seperti biasa
• Jika memungkinkan tindakan dilakukan sepagi mungkin
6. Operasi Gawat Darurat
• Stres kondisi akut maka kontrol GD dapat memburuk dan bahkan dapat
mencetuskan KAD
• Nilai kontrol GD, dehidrasi, asam basa
• Lebih agresif, periksa GD setiap jam di meja operasi
• Pada KAD maka operasi ditunda 4-6 jam jika mungkin, dan sebelumnya
diberikan terapi standar KAD
• Pengosongan lambung
semua pasien DM dengan trauma maka dianggap lambung penuh karena
kemungkinan adanya gastroparesis DM, sehingga sebaiknya ditunda 4-6
jam jika memungkinkan
• Infus insulin intravena
7. Penatalaksanaan Intra Operasi
• Semua pasien yang menggunakan insulin baik tipe 1 maupun tipe 2 harus
mendapatkan insulin selama prosedur operasi
• DM tipe 2 yang terkontrol baik dengan diet dan OAD mungkin tidak
membutuhkan insulin jika prosedur relatif mudah dan singkat
• Kontrol GD yang buruk dan prosedur operasi yang sulit : Pemberian insulin
bermanfaat
8. Pemberian Glukosa, Cairan dan Elektrolit
• Selama puasa sebaiknya diberikan glukosa yang adekuat dengan tujuan
mencegah hipoglikemia, mencukupi kebutuhan energi dan katabolisme berat.
• Dapat diberikan dekstrosa 5% lOOccjjam, disesuaikan dengan status hidrasi.
• Pada stress berat diperlukan glukosa lebih banyak.
• Jika dibutuhkan penambahan cairan dapat diberikan cairan yang tidak
mengandung dekstrosa.
• Kalium seharusnya dilakukan monitor sebelum dan sesudah operasi
9. Paska tindakan operasi
• Infus dextrose dan insulin dilanjutkan sampai pasien bisa makan lalu dimulai
dengan pemberian insulin subkutan sesuai dengan kebutuhan.
• Pada pasien dengan nutrisi enteral tetap dianjurkan pemberian insulin kerja
singkat tiap 6 jam dan pengawasan hipoglikemia.
• Bila tidak bisa makan per oral maka dapat diberikan nutrisi parenteral.
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Imu Penyakit Dalam
• RS non Pendidikan
REFERENSI
1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk praktis terapi insulin pada pasien diabetes melitus.
PB PERKENI. Jakarta 2011.
2. Jacober SJ, Sowers JR. Scott J. An Update on Perioperative Management of Diabetes. Arch
Intern Med. 1999; 159:2405-11
3. Kedokteran Perioperatif 2007
KAKI DIABETIK
PENGERTIAN
Kaki diabetes merupakan komplikasi kronik DM yang diakibatkan kelainan
neuropati sensorik, motorik, maupun otonomik serta kelainan pada pembuluh darah.
Alasan terjadinya peningkatan insiden ini adalah interaksi beberapa faktor patogen:
neuropati, biomekanika kaki abnormal, penyakit arteri perifer, penyembuhan luka
yang buruk dan infeksU
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Lama menderita DM, kontrol gula darah, gejala komplikasi (jantung, ginjal,
penglihatan) penyakit penyerta, riwayat pengobatan saat ini, pemakaian sepatu, ada
callus, ada kelainan bentuk kaki, riwayat infeksi atau pembedahan pada kaki, nyeri
pada tungkai saat beristirahat. 1
Pemeriksaan Fisik2
a. Pemeriksaan vaskular
Palpasi pulsasi arteri, perubahan warna kulit, adanya edema, perubahan
suhu, riwayat perwatan sebelumnya, kelainan lokal di ekstremitas: kelainan
pertumbuhan kaki, rambut, atrofi kulit.
b. Pemeriksaan neuropati
Vibrasi dengan garputala 128 Hz, sensasi halus dengan kapas, perbedaan dua
titik, sensasi suhu, panas dan dingin, pinprick untuk nyeri, pemeriksaan refleks
fisiologis, pemeriksaaan klonus, dan tes Romberg.
c. Pemeriksaan kulit
Tekstur, turgor dan warna, kulit kering, adanya callus, adanya fisura, ulkus,
gangren, infeksi, jamur, sela-sela jari, adanya kelainan akantosis nigikans dan
dermopati.
(i) .~1
label 1. Klasifikasi pada Ulkus Diabetik berdasarkan Klasifikasi PEDIS International Consensus on
the Diabetic Foot 2003 2
Impaired Perfusion
2 Penyakit arteri perifer
3 Critical limb ischemia
Size/Extent in mm2 Tuliskan dalam ukuran mm2
Tissue Loss/Depth Superfisial, tidak mengenai dermis
2 Ulkus dalam melewati lapisan dermis, meliputi struktur subkutan,
fascia, otot, atau tendon.
3 Meliputi tulang dan sendi
Infection Tidak ada keluhan atau gejala infeksi
2 lnfeksi pada kulit dan jaringan subkutan saja
3 Eritema >2 em atau infeksi meliputi struktur subkutan. Tidak ada gejala
sistemik
4 lnfeksi dengan gejala sistemik : demam, leukositosis, shift to the left,
ketidakstabilan metabolik, hipotensL azotemia
Impaired Sensation 1
2 +
DIAGNOSIS BANDING
Peripheral arterial disease (PAD), vaskulitis, tromboangiitis obliterans (penyakit
Buerger's), venous stasis ulcer. 1
TATALAKSANA
Pengelolaan kaki diabetik dimulai sejak diagnosis diabetes ditegakkan. Pengelolaan
awal meliputi deteksi dini kaki diabetik dan identifikasi kaki diabetik. Terdapat sistem
skoring neuropati yang dibuat untuk mempermudah deteksi dini yaitu Modified
Diabetic Examination Score yaitu:
a. Pemeriksaan kekuatan otot
Otot Gastroknemius : plantar fleksi kaki
Otot Tibialis anterior: dorsofleksi kaki
b. Pemeriksaan refleks
Tendon Patela
Tendon Achilles
Pemeriksaan sensorik pada lbu jari kaki
Sensasi terhadap tusukan jarum
Sensasi terhadap perabaan
Sensasi terhadap vibrasi
Sensasi terhadap gerak posisi
Pengelolaaan kaki diabetik dengan risiko tinggi dan kaki diabetik dengan luka,
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Deteksi Dini4
• Kaki berisiko tinggi
Penyandang DM yang memiliki satu atau lebih risiko terdiri dari kelainan
neuropati, vaskular (iskemia), deformitas, kalus dan pembengkakan.
Dilakukan kontrol mekanik, metabolik, edukasi dan ditambah dengan kontrol
vaskular
• Kaki dengan sensasi normal disertai deformitas
Kelainan deformitas yang lazim dijumpai antara lain claw toes, hammer toes,
metatarsal heads yang menonjol, hallux rigidus, hallux valgus dan callus
Adanya kulit kering atau fisura akibat neuropati dapat diatasi dengan
pemberian krim pelembab untuk mencegah timbulnya lecet, mengingat setiap
lecet berpotensi sebagai tempat masuknya infeksi bakteri
• Kaki insensitifitas dengan deformitas
• Iskemia dengan deformitas
TindakanPencegahan
Dilakukan bila belum ada luka di kaki (Texas Modifikasi Stadium A Tingkat 0) dan
berdasarkan kategori risiko lesi kaki diabetik. 4
Langkah-langkah pencegahan perlu dijelaskan saat edukasi perawatan kaki
diabetes, diantaranya sebagai berikut: 5
• Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di atas pasir dan di air.
• Periksa kaki setiap hari untuk deteksi dini dan laporkan pad a dokter fperawat
apabila ada kulit terkelupas, kemerahan, atau luka.
• Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
• Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim
pelembab ke kulit yang kering.
• Potong kuku secara teratur.
~
• Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki teratur setelah dari kamar mandi.
• Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada ujung-
ujung jari kaki.
• Kalau ada kalus atau mata ikan, ditipiskan secara teratur.
• Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kali yang dibuat khusus.
• Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
• Jangan gunakan banta! panas atau botol berisi air panas atau batu untuk kaki.
Studi yang dilakukan dr.Allaida S.R.SpRM membuktikan edukasi perawatan kaki
yang diberikan terus menerus meningkatkan pengetahuan dan perubahan perilaku
penderita kaki diabetes. Senam kaki yang dilakukan terus menerus dapat meningkatkan
ketahanan otot, mempertahankan lingkup gerak sendi dorsa dan plantar fleksi serta
mempertahankan vaskularisasi daerah kaki. 5
Sepatu Diabetes5
• Kategori risiko 0: meskipun bel urn ada gangguan sensasi, karena gangguan sensasi
pada kategori tersebut dapat terjadi sewaktu-waktu.
• Kategori resiko 1: saat mana sudah terdapat gangguan sensoris dan pembentukan
cal us
• Kategori resiko 2 dan 3: sudah terdapat deformitas dan kerapuhan jaringan akibat
tukak terdahulu
KOMPLIKASI
Osteomielitis, sepsis, amputasi
PROGNOSIS
Di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo angka kematian dan angka amputasi masih
tinggi masing masing 16% dan 25% (data RSUPN Cipto Mangunkusumo 2003).
Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi dan sebanyak 37%
akan meninggal 3 tahun pasca-amputasL2· 3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah, Departemen Rehabilitasi Medik,
Divisi Kardiologi, Divisi Hematologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Bedah, Bagian Rehabilitasi Medik.
REFERENSI
1. Powers A. Diabetes Mellitus. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 18th
edition.United States of America.Mcgraw Hill. 2012
2. Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo,Setiyohadi, Buku Ajar llrnu Penyakit Dalarn. Edisi V.
Jakarta. lnterna Publishing. 2011
3. Konsensus Kaki Diabetik. Jakarta. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB
PERKENI). 2008
4. Pedoman Penatalaksanaan Kaki Diabetes. Jakarta. Perkeni. 2010
5. Adhiarta. Penatalaksanaan Kaki Diabetes. Dalam: Kariadi SHKS, Arifin A YL Adhiarta IGN, Permana
H, Soetedjo NNM. Editors. Naskah Lengkap Forum Diabetes Nasional V. Bandung. 2011
6. lsmiarto YD. Aspek Bedah Penanganan Luka Diabetes. Dalam : Kariadi SHKS, Arifin A YL Adhiarta
IGN, Permana H, Soetedjo NNM. Editors. Naskah Lengkap Forum Diabetes Nasional V. Bandung.
2011
7. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus
tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI. Jakarta, 2011.
SINDROM OVARIUM POLIKISTIK (PCOS)
PENGERTIAN
Sindrom ovarium polikistik (PCOS) yang didapatkan pada sekitar 5 -10% perempuan
usia produktif, didefinisikan sebagai suatu sindrom klinis akibat resistensi insulin yang
ditandai dengan obesitas, menstruasi tidak teratur, dan terdapat tanda berlebihan
androgen (seperti hirsutisme, jerawat). Pada mayoritas pasien, ditemukan kista multipel
dalam ovariumnya, dengan etiologi multifaktorial yang tidak jelas. 1 Istilah lain PCOS
adalah Gambaran Ovarium Polifolikular fpolyfo/licular ovarian appearance). 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan harmon, kehamilan, atau
infertilitas. Mayoritas perempuan dengan PCOS memiliki periode menstruasi yang
tidak teratur (oligomenorea).
Kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis PCOS dari EshrejAsrm (Rotterdam)2003 dipenuhi minimal 2
dari 3 kriteria berikut: 1
1. Disfungsi ovulasi yang menyebabkan menstruasi tidak teratur dan infertilitas
2. Hiperandrogenisme dengan bukti klinis atau laboratoris (biokimia)
3. Dengan USG pelvis atau transvaginal, pada bagian perifer dalam satu ovarium
ditemukan > 10 kista folikular tampak seperti untaian mutiara, berukuran 2 - 6
mm atau kadang lebih besar berisi sel-sel atresia.
Pemeriksaan Penunjang
• Gula darah puasa/ sewaktu (atau TTGO bila perlu) dan profillipid untuk mencari
adakah sindrom metabolik.
• Horman kortisol pada pagi hari (pk 08.00), untuk menyingkirkan sindrom Cushing
• Harmon 17-hidroksi progesteron pada pagi hari, untuk menyingkirkan virilisme adrenal
• DHEAS (dehydroepiandrosterone sulfate) serum, dinilai sebagai amenorea bila
hasilnya abnormal
• USG, juga untuk menyingkirkan virilizing tumor
ll:\ ,1
··~ ~··
2
DIAGNOSIS BANDING
Hirsutisme idiopatik, hiperprolaktinemia, hipotiroidisme, hiperplasia adrenal non
klasik, tumor ovarium, tumor adrenal, sindrom Cushing, resistensi glukokortikoid,
hiperandrogen dengan penyebab lain yang jarang. 1
TATALAKSANA3
• Prinsip penatalaksanaan disesuaikan dengan gejala klinis dan apakah
menginginkan kehamilan.
• Setiap pasien PCOSyang overweight sebaiknya dimotivasi untuk menurunkan be rat
badannya, untuk memperbaiki manifestasi klinis (terutama menstruasi yang tidak
teratur) dan menurunkan risiko DM tipe 2.
Metformin (untuk mengurangi resistensi insulin sehingga dapat mengembalikan
siklus ovulasi yang teratur)
Thiazolidinedione (tidak disarankan untuk perempuan yang ingin hamil)
Klomifen sitrat (untuk mengembalikan fertilitas agar kehamilan dapat terjadi)
Progesteron (medroksi progesteron 5 -10 mg PO, 1 xj hari, selama 10 -14 hari
tiap 1 - 2 bulan 4
Progestogen-impregnated intra uterine coil
PROGNOSIS3.4.5
Wanita dengan PCOS memiliki risiko jangka panjang yang lebih besar untuk
terjadinya:
• intoleransi glukosa, DM tipe 2, hipertensi, hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia
• obesitas; bertambahnya rasio pinggang-pinggul
• infertilitas involunter (17,5% vs 1,3% kelompok kontrol)
• risiko hiperplasia atau kanker endometrium
• risiko penyakit serebrovaskular dan kardiovaskular
• hirsutisme
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Obstetri dan Ginekologi
• RS non Pendidikan : Bagian Obstetri-Ginekologi
REFERENSI
1. Kronenberg HM, Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR, editors. Disorders in female reproductive
system. In: Williams Textbook of Endocrinology, ll'h ed. Philadelphia, Pa: Saunders-Elsevier; 2008.
2. Gazvani MR, Hamilton M, Kingsland CR, et al. Polycystic ovarian syndrome: a misleading label?
Lancet. 2000; 355(9201 ):411-2.
3. Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors. In : Davidson's Principles and Practice of Medicine
21 '' ed.Churchill Livingstone-Eisevier: 2010
4. Porter RS, Kaplan JL, editors. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy 19th ed. USA: Merck
Research Laboratories, 2011.
5. Wild S, Pierpoint T, Jacobs H, et al. Long-term consequences of polycystic ovarian syndrome:
results of a 31 year follow-up study. Hum Fertil (Camb) 2000;3(2):1 01-5.
6. Wild S, Pierpoint T, McKeiqueP, et al. Cardiovascular disease in women with polycystic
ovary syndrome at long-term follow up: a retrospective cohort study. Clin Endocrinol (Oxf).
2000;52(5):595-600.
STRUMA DIFUSA NON TOKSIK
PENGERTIAN
Pembesaran kelenjar tiroid difus tanpa adanya nodul maupun hipertiroid. Struma
difusa non toksik paling sering disebabkan oleh defisiensi yodium dan disebut juga
goiter endemik apabila menyerang >5% populasi. Pada area yang kekurangan iodium,
pembesaran tiroid meneerminkan efek kompensasi untuk mempertahankan iodium
sehingga tetap dapat memproduksi harmon yang eukup. WHO, UNICEF dan ICCIDD
menganjurkan kebutuhan yodium sehari adalah 90 meg untuk anak pra sekolah, 120
meg untukanaksekolah dasar (6 -12 tahun), 150 meguntukdewasa (di atas 12 tahun)
dan 200 meg untuk wan ita hamil dan menyusui. Goiter endemik juga disebabkan oleh
pajanan terhadap goitrogen lingkungan seperti singkong yang mengandung tiosianat,
sayur-sayuran dari famili Cruciferae (kol, kembang kol) dan susu sa pi pada area yang
memiliki rumput yang mengandung goitrogen. Goiter juga dapat terjadi pada defek
sintesis harmon tiroid yang diturunkan. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Goiter kebanyakan asimtomatik. Apabila goiter sangat besar, maka dapat
menimbulkan gejala-gejala kompresi trakea atau esofagus. Goiter substernal dapat
mengobstruksi thoracic outlet.'
Pemeriksaan Fisik1
• Palpasi kelenjar tiroid menunjukkan adanya pembesaran yang tidak nyeri, lunak
dan tidak adanya nodul pada kelenjar tiroid
• Apabila terjadi obstruksi thoracic outlet didapatkan Pemberton's sign positif (rasa
pusing yang disertai dengan kongesti wajah dan obstruksi vena jugularis eksterna
saat lengan dinaikkan di atas kepala).
Pemeriksaan Penunjang: 2
• Tes fungsi tiroid: untuk menyingkirkan adanya hipotiroid atau hipertiroid. Pada
simple goiter, kadar T4 dan TSH adalah normal. Pada bentuk yang baru dan lama
T4 dapat ditemukan rendah
• Antibodi TPO: untuk mengidentifikasi pasien dengan peningkatan risiko penyakit
tiroid autoimun
• Kadar iodium urin: rendah, <10 gjdL
• Scan tiroid: peningkatan ambilan yodium radioaktif
• Pengukuran laju pernapasanjCT/MRI: diperlukan pada pasien goiter substernal
yang memiliki gejala atau tanda obstruksi
DIAGNOSIS BANDING
Tiroiditis, adenoma non neoplastik, kista tiroidfparatiroid/tiroglosus, hyperplasia
remnant post bedah, keganasan 1
TATALAKSANA
Non farmakologis
Edukasi,2
Farmakologis
Terapi dengan iodium maupun hormon tiroid dapat mengecilkan goiter pada
defisiensi iodium, tergantung pada lamanya goiter dan derajat fibrosis yang timbul.
Pemberian hormon tiroksin harus berhati-hati terutama apabila TSH rendah atau
normal. Pada pasien muda, dosis levotiroksin dapat dimulai pada 100 mcgjhari
sedangkan pada pasien yang lebih tua dimulai pada 50 mcgjhari. Regresi nyata
biasanya terlihat dalam 3- 6 bulan terapi. 2
Bedah
Terapi bedah dilakukan apabila terjadi kompresi trakea ataupun obstruksi thoracic
outlet. Tirodektomi subtotal atau hampir total dapat dilakukan untuk kepentingan
kosmetik. Operasi harus diikuti penggantian hormon dengan levotiroksin agar TSH
tetap pada batas bawah nilai normal sehingga mencegah timbulnya kembali goiter.
., 135
KOMPLIKASI
Kompresi saluran napas dan esofagus, obstruksi thoracic outlet, sindrom vena
kava superior, penekanan nervus frenikus atau laringeus rekuren, sindrom Horner.
Stroke dan iskemik serebral dapat terjadi akibat kompresi arteri atau sindrom pintas
tiroservikal. 1
PROGNOSIS
Pacta pasien tua, goiter yang telah lama diderita dan tingkat fibrosis yang lebih
tinggi, kurang dari sepertiga yang menunjukkan respons dengan terapi farmakologis. 4
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
• RS non Pendidikan
REFERENSI
1. Djokomoeljanto. Gangguan akibat kekurangan iodium . In: Sudoyo A Setiyohadi B, Alwi L
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi
dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUL 2009:2009- 15
2. La meson JL, Weetman AP.Disorders of the thyroid gland.ln: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald
E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed.
United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012:2911-39
3. Fritzgerald PA. Endocrine disorders. In: McPhee S. Papadakis M, Rabow M. Current medical
diagnosis and treatment 2011. 501h ed. California; The McGraw -Hill Education. 2010:1061 -90
4. Gardner DG, Shoback D, editors. Greenspan's basic and clinical endocrinology. 8'h ed. San
Fransisco
5. Peloquin JM, Wondisford FE. Nontoxic diffuse and nodular goiter. In: Wondisford FE, Radovick S,
editors. Clinical management of thyroid. 1'' ed. Philadelphia; Saunders, 2009: 339- 47
STRUMA NODOSA NON TOKSIK (SNNT)
PENGERTIAN
Pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul, tanpa disertai tanda-
tanda hipertiroidisme. 1
Berdasarkan jumlah nodul, dibagiY
• Struma mononodosa non toksik
• Struma multinodosa non toksik
Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif:
• Nodul dingin
• Nodul hangat
• Nodul panas
Berdasarkan konsistensinya:
• Nodullunak
• Nodul kistik
• Nodul keras
• Nodul sangat keras
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 3
• Sejak kapan benjolan timbul
• Rasa nyeri spontan a tau tidak spontan, berpindah a tau tetap
• Cara membesarnya: cepat, atau lambat
• Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan
atau hanya pembesaran leher saja
• Riwayat keluarga
• Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu keciljmuda
• Perubahan suara
• Gangguan men elan, sesak nafas
• Penurunan berat badan
• Keluhan tirotoksikosis
Pemeriksaan Fisik4·5
• Umum
• Lokal:
Nodus tunggal atau majemuk, atau difus
Nyeri tekan
Konsistensi
Permukaan
Perlekatan pada jaringan sekitarnya
Pendesakan atau pendorongan trakea
Pembesaran kelenjar getah bening regional
Pemberton's sign
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Biosi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid
• BAJAH merupakan prosedur diagnostik yang penting dilakukan pada kasus SNNT,
dapat dilakukan tanpa menunggu hasillaboratorium bila klinis eutiroid.
• Laboratorium: T4 atau FT4, dan TSHs sesuai gambaran klinis 6
• USG tiroid:
• USG baik untuk mengukur jumlah, ukuran, dan karakteristik sonografi nodul.
Karakteristik sonografi yang curiga keganasan adalah hypoechoic, mikrokalsifikasi,
makrokalsifikasi, intra nodular vaskularity, taller-than-wide dimensions, dan batas
yang samar. 8
TATALAKSANA3•
Sesuai hasil BAJAH, maka Tata Laksana :
' 139
Nodul tiroid
Menemukan kriteria
yang diutarakan
y dalam teks
cp
Mung kin jinak,
Co/d/tdk
spesifik
adenoma toksik :
ablasL reseksL terapi
medikamentosa
Observasi atau
terapi supresi
~
I I
Observasi Bedah
Mung kin jinak,
adenoma toksik :
ablasL reseksL terapi
medikamentosa
D. Jinak
Tata Laksana dengan Levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis.(terapi supresi)
• dosis dititrasi mulai 2 x 2S ug (3 hari),
• dilanjutkan 2 x SO ug (3 - 4 hari),
• hila tidak ada efek samping atau tanda toksis: dosis i menjadi 2 x 100 mg
sampai 4- 6 minggu, kemudian evaluasi TSH (target 0,1- 0,3 mlU/L)
• supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
• evaluasi dengan USG: apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasil hila
mengecil > SO% dari volume awal)
• Bila nodul mengecil atau tetap
~ L-tiroksin distop dan diobservasi:
Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin dimulai lagi (target
TSH 0,1-0,3 miU/L).
Bila setelah 1-tiroksin distop, struma tidak berubah, diobservasi saja.
• Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi ~ obat dihentikan
dan operasi tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi ~ hasil PA:
Jinak: Observasi
Ganas: Tata Laksana dengan L-tiroksin
• Individu dengan risiko ganas tinggi: target TSH < 0,01- O,OS miU/L
• Individu dengan risiko ganas rendah: target TSH O,OS- 0,1 miU/L
KOMPLIKASI
Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akutfsubakut
PROGNOSIS
Prognosis baik. Biasanya SNNT berkembang sangat lam bat. Bila ada pertumbuhan
yang cepat harus dievaluasi kemungkinan adanya degenerasi, perdarahan pad a nod ul,
atau adanya neoplasma.
· ·~·9nT9r<~lk.(~~~Tl····
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
• RS non Pendidikan
REFERENSI
1. Brunicardi. Charles F. Schwartz's Principle Of Surgery, 81h Edition. Copyright @2007 The McGraw-
Hill Companies.
2. Ganong, William F. Buku ajarf1siologi Kedokteran, Edisi 20. EGC, Jakarta, 2002:305-309.
3. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al. (eds). Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI:757-65.
4. Cooper DS, Doherty GM, Haugen BR, et al. Revised American Thyroid Association management
guidelines for patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer. Thyroid. Nov
2009;19(11):1167-214.
5. Bahn RS, Castro MR. Approach to the patient with nontoxic multinodular goiter. J Clin Endocrinol
Metab. May 2011 ;96(5):1202-12. (Medline].
6. Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi L Maryantoro, Gani
RA Mansjoer A (eds). Pedoman Diagnosis dan Toto Laksana di Bidang llmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Pen yak it Dol am FKUL 1999:187-9.
7. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J: Harrison's Principles of Internal
medicine, 18th edition : www.accesmedicine.com
8. Cooper DS, Doherty GM, Haugen BR, et al. Revised American Thyroid Association management
guidelines for patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer. Thyroid. Nov
2009;19(11):1167-214. [Medline].
9. Jameson JL Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL
Hauser SL Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine.l8 1h ed. New York:
McGraw-HilL 2001 :2060-84.
10. Bahn RS, Castro MR. Approach to the patient with nontoxic multinodular goiter. J Clin Endocrinol
Metab. May 2011 ;96(5):1202-12.
/
STRUMA NODOSA TOKSIK
PENGERTIAN
Adalah nodul tiroid soliter berkapsul yang berfungsi secara autonom menghasilkan
hormon tiroid. Disebut juga adenoma tiroid toksik. 1 -3
Sebagian besar pasien mengalami mutasi somatik pada gen reseptor TSH. Mutasi
ini menyebabkan peningkatan proliferasi dan fungsi sel folikular tiroid. Sebagian kecil
mengalami mutasi pada gen protein Gs-alpha (G 5.). 2•3
PENDEKATAN DIAGNOSIS2·3
Anamnesis
Gejala tirotoksikosis ringan (kelelahan, tidak tahan panas, refleks hiperaktif,
peningkatan berkeringat, peningkatan nafsu makan, palpitasi, polidipsia, tremor, berat
badan turun)
Pemeriksaan fisik
Nodul tiroid yang biasanya cukup besar (2:: 3cm) sehingga dapat dipalpasi
Pemeriksaan penunjang
• Tes fungsi tiroid: TSH rendah
• Thyroid scan: dapat menjadi tes diagnostik definitif, menunjukkan adanya uptake
lokal pada nodul dan berkurangnya uptake pada bagian lain dari kelenjar tiroid
• USG
DIAGNOSIS BANDING
Graves disease, struma multinodosa toksik, tiroiditis, nodul tiroid.
TATALAKSANA
• Farmakologis4
Antitiroid dan penyekat beta:
~
Dapat menormalkan fungsi tiroid namun bukan terapi jangka panjang optimal.
• Bedah4
Lobektomi tiroid ipsilateral atau isthmusektomi (jika adenoma terdapat pada
isthmus).
Lebih dipilih pada pasien dengan gejala dan tanda kompresi pada leher,
ukuran goiter besar (2::80 g), ekstensi substernal atau retrosternal, atau
kebutuhan untuk koreksi cepat status tirotoksikosis. Kontraindikasi mencakup
komorbiditas signifikan seperti penyakit kardiopulmoner dan kanker stadium
akhir. Kontraindikasi relatif adalah kehamilan.
• Radiasi 4
Terapi radioiodin:
Lebih dipilih pada pasien usia lanjut, memiliki komorbiditas, riwayat operasi
atau jaringan parut pacta anterior leher, dan ukuran struma kecil. Kontraindikasi
mencakup kehamilan, laktasi, wanita yang merencanakan akan hamil dalam
4-6 bulan.
• Terapi Lainnya4 •5
Injeksi etanol berulang atau ablasi termal radiofrekuensi per kutan.
KOMPLIKASI
Hipertiroidisme, tirotoksikosis, krisis tiroid. Komplikasi terapi: hipotiroid.
PROGNOSIS
Kebanyakan pasien yang diterapi memiliki prognosis baik. Prognosis buruk
berhubungan dengan hipertiroid yang tidak ditangani. Jika tidak ditangani, hipertiroid
dapat menyebabkan osteoporosis, aritmia, gagal jantung, koma, dan kematian. Ablasi
iodine"'dapat mengakibatkan hipertiroid, pada beberapa pasien (menurut beberapa
penelitian berkisar 73%, tergantung pada ukuran goiter dan dosis radioiodine)
membutuhkan terapi ulang a tau operasi pengangkatan tiroid. Hipotiroid setelah ablasi
radioiodine telah dilaporkan pada 0-35% individu. Tatalaksana operatif terdiri dari
lobektomi nodul yang hyperfungtioning. Tingkat hipotiroid berkaitan dengan prosedur
ini, sangat rendah. Tingkat kekambuhan hipertiroid dengan operasi, dilaporkan berkisar
0-9%.'
REFERENSI
1. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaPublishing: 2009. hal
2. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL. Loscalzo J. penyunting. Harrison's
principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies: 2012. Hal.
3. Mandel SJ, Larsen PR, Davies TF. Thyrotoxicosis. Dalam: Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR.
Kronenberg HM, penyunting. Williams textbook of endocrinology. Edisi XII. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011
4. Bahn RS, Burch HB, Cooper DS, Garber JR, Greenlee MC, Klein I, et al. . Hyperthyroidism and
other causes of thyrotoxicosis: management guidelinesof the american thyroid association and
american association of clinical endocrinologists. Endocrine Practice 2011: 17(3): 456-520
5. Siegel RD. Lee SL. Toxic nodular goiter: toxic adenoma and toxic multinodular goiter. Endocrinol
Metab Clin North Am 1998; 27 ( 1): 151-68
6. Allahabadia A. Daykin J. Sheppard MC, et al. Radioiodine treatment of hyperthyroidism-prognostic
factors for outcome. J Clin Endocrinol Meta b. Aug 2001 :86(8):3611-7
TIROIDITIS
PENGERTIAN
Istilah tiroiditis mencakup kelainan-kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi
pada tiroid. Gejala yang timbul dapat berupa asimtomatik sampai nyeri yang he bat pada
tiroid, dengan atau tanpa manifestasi disfungsi tiroid maupun pembesaran kelenjar
tiroid. Berdasarkan perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit, tiroiditis dapat
dibagi atas tiroiditis akut, subakut serta tiroiditis kronis. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik masing-masing tipe tiroiditis dapat dilihat pada
tabell.
Pemeriksaan Penunjang
• KadarT3,T4,TSH
• Sidik tiroid
DIAGNOSIS BANDING
Jenis-jenis tiroiditis, karsinoma tiroid.
TATALAKSANA
Apabila pasien dalam keadaan hipotiroid dapat diberikan levotiroksin untuk
mencapai kondisi eutiroid. 1
KOMPLIKASI
Hipotiroidisme permanen, thyroid storm 3 Obstruksi trakea, paralisis pita suara,
gangguan saraf simpatis regional, ruptur abses ke jaringan sekitar, trombosis vena
jugularis internal (sindrom Lemierre), sepsis, abses retrofaring, mediastinitis,
perikarditis, pneumonia. 2
-
12 6
Tabel 1. Diagnosis Tiroiditis. ' '
Tiroiditis akibat trauma Rasa sa kit pad a kelenjar tiroid, riway0t memijat-mijat kelenjar tiroid, riwayat
penggunaan sabuk pengo man yang terlalu kencang
Tiroidi~is Subakut
- Dis~rtai sakit Rasa sakit yang timbul perlahan tetqpi kadang-kadang dapat mendadak Pada palpasi teraba kelenjar tiroid membesar
berlangsung 2 - 6 minggu, rasa sakit terbatas pada kelenjar tiroid atau difus dan nyeri tekan.
menjalar sampai leher depan, telinga, rahang, dan tenggorokan, demam,
malaise, anoreksia, mialgia dan gejala-gejala hipertiroid (tidak selalu ada).
Terdapat gejala-gejala hipertiroid ringan yang timbul 1 - 2 minggu dan Kelenjar tiroid teraba sedikit membesar,
- Tanpa sakit
berakhir 2-8 minggu, riwayat keluarga menderita penyakit tiroid autoimun. difus, tidak ada nyeri tekan, tidak ditemukan
i Gejala hipertiroid yang muncul dalbm kurun waktu 1 - 4 bulan setelah adanya oftalmopati.
- Pas~a persalinan
persalinan atau abortus, diikuti hipotiroid selama 2 - 8 minggu dan diakhiri Kelenjar tiroid teraba sedikit membesar,
dengan eutiroid. Pada 20- 40% kasus dapat terjadi hanya hipertiroid soja difus, tidak ada nyeri tekan, tidak ditemukan
dan 40 -50% kasus hanya hipotiroid soja adanya oftalmopati.
I
nroldirls kronik
Ha~himoto Rasa seperti terikat di leher, gejala-gejala hipertiroid pada fase inflamasi Sebanyak 90% pasien pada palpasi teraba
I
diikuti dengan gejala hipotiroid yang muncul perlahan dan menetap. 6 pembesaran kelenjar tiroid umumnya hingga
2- 3x ukuran normaL difus, simetris. Sedangkan
10% kasus memiliki kelenjar tiroid mengecil,
pada kebanyakan pasien tidak terdapat nyeri
tekan. 7·8
Rie~el Pembesaran kelenjar secara progr~sif tanpa rasa nyeri, disfagia, suara
Kelenjar tiroid teraba bilateral tanpa nyeri
serak, sesak napas dan gejala-gejala hipoparatiroid, malaise umum dan
tekan dan keras seperti batu serta melekat
kelelahan. 1
pada jaringan otot sekitarnya sehingga tidak
bergerak soot menelan. Kadang-kadang
ditemukan pembesaran kelenjar limfe
sekitarnya. 1
PROGNOSIS
• Tiroiditis akut: Apabila pasien diterapi dengan antibiotik yang tepat, maka kelainan
tiroid ini umumnya bersifat self-limiting. Kelainan tiroid ini jarang menimbulkan
komplikasi apabila diterapi dengan baik. 3
• Tiroiditis subakut :
Tiroiditis karena kehamilan: Sebanyak 20- 50% kasus dapat terjadi hipotiroid
permanen, 70% kasus kambuh pada kehamilan berikutnya. 1
Tiroiditis de duervain's: Sebanyak 45% fungsi tiroid akan kembali normal
dalam 6 sampai 12 bulan hanya 5% yang menetap hipotiroid
• Tiroiditis kronis :
Tiroiditis Hashimoto : Sebanyak 24% pasien dengan hipotiroidisme karena
tiroiditis autoimun kronik yang mendapat terapi tiroksin > 1 tahun akan tetap
menjadi eutiroid walaupun terapi sudah dihentikan. 1
Tiroiditis Riedel merupakan penyakit self-limiting. 9 Apabila tidak diobati
penyakit juga dapat menjadi progresif, kadang-kadang stabil a tau regresi. 1
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Wiyono P. Tiroiditis. In: Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi L Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 5'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bag ian 1\mu Penyakit Dalam
FKUL 2009:2016-2021
2. La meson JL, Weetman AP.Disorders of the thyroid gland.ln: Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald
E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed.
United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 - 39
3. Yamada M, Satoh T, Hashimoto K. Thyroiditis. In: Wondisford FE, Radovick S, editors. Clinical
management of thyroid disease. 1' 1 ed. Philadelphia; Saunders Elsevier, 2009: 191 - 203
4. Gardner DG, Shoback D, editors. Greenspan's basic and clinical endocrinology. 8'h ed. San Fransisco
5. Stagnaro-Green A. Abalovich M, Alexander E, eta\. Guidelines of the american thyroid association
for the diagnosis and management of thyroid disease during pregnancy and postpartum. Thyroid.
2011 ;21 (10):1081-125
6. Dayan CM, Daniels GH. Chronic autoimmune thyroiditis. N Eng\ J Med. 1996;335(2):99-1 07
7. Bindra A. Braunstein GD. Thyroiditis. Am Fam Physician. 2006;73( 10): 1769-7 6
8. Pearce EN, Farwell AP, Braverman LE. Thyroiditis. N Engl J Med. 2003;348{26):2646-55
9. Slatosky J, Shipton B, Wahba H. Thyroiditis: differential diagnosis and management. Am Fam
Physician. 2000;61 {4):1047-52, 1054
•
TIROTOKSIKOSIS
•
PENGERTIAN
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi. Sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan
oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.l Penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang
dikarakteristikkan dengan adanya antibodi terhadap reseptor tirotropin (TRAb).
Penyakit Graves merupakan penyebab tersering hipertiroidisme. 2
Penunjang
TSH, FT4, T3 (dengan indikasi), sidik tiroid
DIAGNOSIS BANDING2
• Hipertiroidisme primer: penyakit Graves, struma multinodosa toksik, adenoma
toksik, metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii, mutasi reseptor
TSH, obat: kelebihan iodium (fenomena]od Basedow)
• Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme: tiroiditis subakut, tiroiditis silent, destruksi
tiroid (karena amiodarone, radiasi, infark adenoma), asupan hormon tiroid
berlebihan (tirotoksikosis factitia)
• Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom
resistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional
I
Tersangka Tirotoksikosis
I
I
I Ukur TSH, T4 bebas
I
I
I I
TSH rendah, T4 TSH rendah, T4 TSH normal atau TSH dan T4 bebas I
bebas tinggi bebas normal meningkat. T4 bebas tinggi normal
I I
Tirotoksikosis TSH-secreting pituitary
Ukur T3 be bas adenoma atau thyroid
primer
hormone resistance syndrome
I
Tidak diperlukan
(ringgi) (Norma0 tes tambahan
T
H T3 toksikosis
I Hipertiroid
subklinis
I
l l
Yo J (Tidak
T T
Goiter multinodular atau adenoma
Penyakit Graves
toksik I
I
,..-- l l
Yo:) ( Tidak-
"' T T
l Hipertiroid nodular toksik I I Pengambilan radionukleida rendah I
I
l l
\., Yo : ) ( Tidak...t/1
I T
l
Tiroiditis destruktif. kelebihan
iodin atau hormon tiroid
II Singkirkan penyebab lain termasuk
stimulasi oleh gonadotropin korionik
I
Gam bar 2. Algoritma Evaluasi Tirotoksikosis 2
TATALAKSANA
Farmakologis
1. Obat Antitiroid
• Propiltiourasil (PTU) dosis awal300- 600 mgjhari, dosis maksimal2.000 mgj
hari.
• Metimazol dosis awal 20- 40 mgjhari.
• Indikasi:
Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada
pasien muda dengan struma ringan - sedang dan tirotoksikosis
Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau
sesudah pengobatan iodium radioaktif
Persiapan tiroidektomi
Pasien hamil, lanjut usia
Krisis tiroid
2. Penyekat adrenergik beta
Pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah
6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40- 200 mg dalam 2-3 dosis.
Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid,
pemantauan setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta lab.
FT 4 dan TSHs. Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan
dipertahankan do sis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama 12-24
bulan. Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan
remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan
eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps.
Bedah 1
Indikasi
• Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid
• Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
• Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima terapi iodium radioaktif
• Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
• Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
Radioiodine 1.2
Indikasi
· tirotoksikosls
KOMPLIKASP
Penyakit Graves: penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati
Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid.
PROGNOSIS
Cenderung tidak mengalami remisi pada laki-laki usia< 40 tahun dengan ukuran
gondok yang besar dan tirotoksikosis yang klinis lebih be rat ( didapatkan titer antibodi
reseptor TSH yang tinggi). 1
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Kardiologi - Departemen
Penyakit Dalam, Departemen Neurologi, Departemen
Radiologi/Kedokteran Nuklir, Patologi Klinik, Departemen
Bedah-Onkologi.
• RS non Pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.
REFERENSI
1. Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta:
lnternaPublishing. 1993-2008.
2. Jameson JL, Weetman AP. Disorder of the Thyroid Gland. In : Longo DL Fauci AS, Kasper DL
Hauser SL, Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181hed. New York:
McGraw-Hill; 2012.2911-39
TUMOR HIPOFISIS
PENGERTIAN
Tumor hipofisis jarang ditemukan dan terdiagnosis biasanya karena gangguan
hormonal, mass effect, atau tidak sengaja pacta pemeriksaan CT Scan atau MRI karena
trauma kepala a tau nyeri kepala. 1 Tumor hipofisis, biasanya dapat berupa adenoma
mikro (diameter~ 10 mm) ataupun adenoma makro (diameter> 10 mm). Sekitar
92% lesi di sella tursika merupakan adenoma hipofisis. Adenoma hipofisis adalah
neoplasma jinak yang muncul dari satu atau lima tipe sel hipofisis anterior. TumorI
adenoma hipofisis merupakan penyebab tersering dari sindrom hiposekresi dan
hipersekresi hormon hipofisis pacta orang dewasa. Manifestasi secara klinis dan
secara fenotipe biokimiawi dari tumor hipofisis, tergantung dari tipe sel tumor asal
dan besar ukuran tumor tersebut1 • Sekitar 15 % neoplasma intrakranial merupakan
tumor hipofisis yang ditemukan pacta populasi dengan prevalensi 80/100.000 2 • Paling
sering ditemukan pacta wanita usia reproduktif, dengan perkiraan insiden 1,2 - 1, 7I
satu juta orang/ tahun di Denmark dengan 60% kasus hiperkortisolisme. 3 Prevalensi
pacta growth hormone-secreting pituitary adenoma adalah 50 - 60 kasus/1,000,000
orang. Pacta wanita lebih sering ditemukan corticotropin-secreting pituitary adenoma,
daripada pria dengan perbandingan 8:1. 3
Tumor hipofisis dapat pula digolongkan menjadi 2 jenis: 4• 5
1. Functioning
Prolactin-secreting tumors, (kadar prolaktin serum >100 !lg/L)
Growth Hormone-secreting tumors,
Corticotropin (adrenocorticotropic hormone [ACTH]}-secreting tumors,
Thyrotropin (thyroid-stimulating hormone [TSH])-secreting tumors, and
Gonadotropin (Follicle-Stimulating Hormone [FSH]/ Luteinizing Hormone [LH])-
secreting tumors
Beberapa tumor mensekresi gabungan/ campuran beberapa hormon, misalnya
prolaktin dan hormon lain ( contoh Growth Hormone), dengan kadar prolaktin
serum berkisar antara 30-100 11g/L.
2. Non-functioning
Biasanya berupa adenoma hipofisis jinak, yang mengsekresi hormon hipofisis yang
tidak dapat terdeteksi secara klinis. Prolaktin disekresikan melalui penekanan
pembuluh portal dan pituitary stalk, dengan kadar prolaktin serum 25-75 11-g/L
(Stalk effect).
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Manifestasi klinik tumor hipofisis diakibatkan oleh massa tumor, hipopituitari,
serta sekresi hormon yang berlebihan. Pada tiap kasus mungkin ditemukan gabungan
dari ketiga efek terse but.
Anamnesis
Gejala sakit kepala, migren, gangguan penglihatan, masalah lapangan pandang
menyempit atau gangguan saraf ekstraokular. 4 Pada kecurigaan disfungsi gonad
atau defisiensi hormon hipofisis, perlu ditanyakan bagaimana riwayat menstruasi:
oligomenorea famenorea (± 20% wanita yang mengalami amenorea primer/ sekunder
6
) dan infertilitas pada wanita usia reproduktif, atau disfungsi ereksi dan menurunnya
Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan luas lapangan pandang (visual field testing) untuk menilai fungsi
optic chiasm dan traktusnya.
• Akromegali (pembesaran akral, perubahan wajah), moon face, buffalo hump,
penipisan kulit, osteoporosis, hirsutisme
• Produksi keringat berlebih, nodul tiroid, tirotoksikosis, muscle wasting, tekanan
darah meningkat
Manifestasi klinis akibat efek massa tumor hipofisis terhadap struktur sekitar
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Manifestasi Klinik Akibat Efek Massa Tumor Hipofisis Terhadap Struktur yang Terkena 2
· · · ·•· · .•· stn.iidurvali9~~rkel:lcf···· -~~- · · · -Mci't~!l~stp~fl<llfjl~;;·· ·· ·.·C··-·~· ...~ . . . ·
Struktur Hipofisis dansekitar Gangguan-perh:Jmbuhan. hipogonadisme, hipotiroidisme,-1-lipoadrenal-
isme
Traktus optikus Hilangnya penglihatan warna merah, hemianopsia bitemporal, defek
Ia pang pandang superior atau bitemporal, skotoma, kebutaan
. HipGtalamus- --Dis~egulasLter:npewturrobesitas...diabe.tesjnsipidus,_ganggu_anJidur.. ____ __
Pemeriksaan Penunjang 2
• Magnetic resonance imaging (MRI)
• Computed Tomography {CT) Scan kepala, fokus pada hipofisis dan regia parasella
• Pemeriksaan laboratorium harmon dalam darah :
(1) prolaktin basal;
(2) insulin-like growth factor {IGF) I;
(3) ACTH;
(4) FSH dan LH; and
(5) Tes fungsi tiroid :TSH dan FT4.
Selain itu, perlu juga diperiksa kadar harmon testosteron atau estradiol, dan
kadar kortisol pk. 8 pagi hari. Pemeriksaan laboratorium analisis sperma dapat
didapatkan abnormalitas spermatogenesis pada prolaktinoma.
• Angiografi (untuk menyingkirkan adanya aneurisma)
Pemeriksaan penapis pada adenoma hipofisis fungsional :
~
MRI
Kepala
Evaluasi
Hipotpituitari
TSH,ACTH,
FSH, LH
Uji lapang
I penglihatan
II I
Galaktorea, lmpotensi, II Gambaran klinis Gambaran klinis
Amenorca akromegali
II Cushing
I
I I
IGF-1 dan GH Kortisol
Prolaktin pasca pembebanan dan
serum glukosa ACTH
I I
MRI MRI MRI
I Kepala I I Kepala
I I Kepala I
Catalan: Pada pasien dengan efek massa, saki! kepala, serta gangguan penglihatan segera dilakukan pemeriksaan MRI
dan pemeriksaan fungsi penglihatan. Pada pasien dengan kecurigaan adenoma hipofisis fungsionalperlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium dahulu.
DIAGNOSIS BANDING 2
• Prolaktinoma:
Kehamilan
Perdarahan postpartum
Hipotiroidisme primer
Penyakit pada payudara atau akibat stimulasi payudara
Penggunaan obat (fenotiazin, antidepresan, haloperidol, metildopa, reserpin,
opiat, amfetamin, simetidin)
• Gaga! ginjal kronik
• Liver disease
• Polycystic ovarian disease
• Gangguan dinding dada
• Lesi medula spinalis
• Riwayat iradiasi kepala
TATALAKSANA 1·2·5
Tata laksana tumor hipofisis harus bersifat komprehensif dan individualistik
Tujuan tata laksana meliputi beberapa aspek :
1. Mengontrol manifestasi klinis akibat kelebihan sekresi harmon.
2. Mempertahankan fungsi hipofisis yang normal semaksimal mungkin.
3. Memperbaiki gangguan fungsi hipofisis yang terjadi.
4. Mengendalikan pertumbuhan tumor serta efekmekanikyang ditimbulkan oleh tumor.
Beberapa modalitas yang ada adalah tindakan bedah, radioterapi, serta
medikamentosa.
1. Tindakan bedah
Tindakan operasi (mikro) transfenoid sangat efektifpada 90% kasus dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang rendah.
Tindakan operasi transkranial biasanya dikerjakan pacta tumor dengan perluasan
ekstensifke suprasella atau fossa media. Pembedahan atau radioterapi merupakan
terapi pilihan pacta tumor hipofisis nonsekretorik
Ketelitian saatfollow up pasien sangat penting, terutama yang menjalani operasi
pembedahan mikro trans-sfenoid, sebaiknya kontrol dalam 4 - 6 minggu
., untuk memastikan adenoma tersebut sudah diangkat seluruhnya dan masalah
hipersekresi endokrin sudah teratasi.
2. Radioterapi (Stereotactic radio surgery)
Radioterapi jarang menjadi pilihan pertama pacta tata laksana tumor hipofisis.
Radioterapi saat ini berperan sebagai terapi tambahan pacta pasien adenoma
fungsional maupun non fungsional, terutama yang gaga! dengan terapi pembedahan.
3. Medikamentosa
Tata laksana medikamentosa dapat menjadi pilihan utama pacta beberapa kasus
tumor hipofisis.
Prolaktinoma(baik mikroprolaktinoma maupun makroprolaktinoma) -7 agonis
dopaminjanalog merupakan terapi lini pertama; yang sering digunakan adalah
bromokriptin (per oral1,5- 10 mg dalam dosis terbagi) dan cabergoline.
Akromegali-7 pengobatannya terdiri atas tiga golongan, yaitu agonis dopamin
(bromokriptin 10- 20 mg p.o tid- qid), analog somatostatin (octreotide 100
j.lg s.c), dan antagonis reseptor harmon pertumbuhan. Meskipun bromokriptin
kurang efektifbila dibandingkan dengan octreotide, namun bromokriptin dapat
diberikan per oral.
Adenoma Tirotropin -7 dapat digunakan analog somatostatin kerja panjang
(octreotide; dosis seperti pad a akromegali)
Penyakit Cushing -7 Ketokonazol, yang menghambat enzim sitokrom P-450
yang terlibat pada biosintesis steroid, efektif dalam penyakit cushing ringan-
sedang, dengan dosis 600- 1200 mg p.o per hari.
PROGNOSIS
• Meskipun telah menjalani operasi transfenoid, Penyakit Cushing dapat muncul
kembali pada ± 25% pasien. 7
• Insiden (adjusted) dalam 3 tahun untuk terjadinya sindroma metabolik adalah
23,4% pada riwayat Penyakit Cushing vs 9,2% pada riwayat adenoma hipofisis
non-functioning (p= 0,01)
• Tidak terdapat perbedaan bermakna pada insiden (adjusted) 3 tahun untuk
terjadinya penyakit kardiovaskular atau penyakit serebrovaskular, atau diabetes
melitus. 8
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Mata, Departemen Neurologi,
Departemen Bedah Saraf, Departemen Radioterapi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1. Hall JE, Nieman LK. Editors. Contemporary Endocrinology: Handbook of Diagnostic Endocrinology.
Humana Press. Totowa, NJ. 2003
2. Jameson JL Melmed S. Disorders of the Anterior Pituitary and Hypothalamus. In :Longo DL Fauci
AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h
Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
3. Ferri FF. Editor. Ferri's Clinical Advisor, 1'1 ed. Mosby Elsevier. 2009.
4. McDermott MT. Editor. Endocrine Secrets, 4th edition. Elsevier Mosby.
5. Rakel RE, Bope ET. Conn's Current Therapy, 601h ed. Saunders Elsevier. 2008
6. Pituitary Tumor. From: Dynamed. www.searchebscohost.com
7. J Clin Endocrinol Metab 2009 Jun;94(6):1897.
8. J Clin Endocrinol Metab 2010 Feb;95(2):630.
OBESITAS
PENGERTIAN
Obesitas merupakan suatu keadaan di mana terdapat massa jaringan adiposa yang
berlebih. 1 Penyakit ini bersifat multifaktorial dan dapat mengganggu kesehatan. Obesitas
dapat juga terjadi secara sekunder akibat adanya penyakit penyebab. Beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan obesitas adalah defisiensi hormon tiroid (hipotiroidisme ),
sindrom ovarium polikistik, sindrom Cushing, kelainan di hipotalamus, dan mutasi genetik. 2
Pacta tahun 2000 WHO membuat klasifikasi berat badan berdasarkan IMT (Indeks
Massa Tubuh). Obesitas didefinisikan hila IMT seseorang;:: 30 kg/m 2• Sedangkan wilayah
Asia Pasifik pacta saat ini telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri. 3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis obesitas ditegakkan dengan cara pengukuran IMT, yaitu berat badan
dalam kilogram (kg) dibagi tinggi dalam meter kuadrat (m 2). Pacta pemeriksaan fisik,
harus diperiksa tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat badan, tinggi badan, IMT,
dan lingkar perut. Berikut adalah klasifikasi berat badan lebih dan obesitas menurut
kriteria Asia Pasifik (tabell).
Tabel 1. Klasifikasi Beret Badon Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut
Kriteria Asia Pasifik3
TATALAKSANA4·5
Berikut adalah manajemen penanganan obesitas menurut IMT (tabel 2).
Tabel 2. Manajemen Penanganan Obesitas berdasarkan IMT'
IMT 23,0-24,9 25,0-29,9 2:30,0
Risiko Ringan Sedang Be rat
"" "
Nutrisi -.J
Aktivitas fisik -.J -.J
" "
Terapi perilaku -.J
Medikasi -.J· -.J
Pembedahan -.J•
Keterangan:
*Do pat dipertimbangkan apabila terdapat faktor risiko atau berat badan gaga I terkontrol dengan modifikasi
gaya hidup
Nonfarmakologis
• Perubahan gaya hidup
Terapi diet: Bertujuan membuat defisit kalori sebesar 500- 1000 kkaljhari
Aktivitas fisik : Program aktivitas fisik harus dibuat berdasarkan status kesehatan
dan kondisi fisik pasien. Perlu juga diperhatikan asupan cairan pasien sebelum, saat,
dan sesudah melakukan aktivitas fisik Pada tahap awal dapat melakukan aktivitas
fisik sedang selama 30 - 45 menit sehari, sebanyak 3 - 5 kali seminggu. Aktivitas
fisik dapat ditingkatkan sesuai kemampuan pasien. Pasien juga harus melakukan
latihan kekuatan otot dengan 1 - 3 set latihan untuk otot-otot utama setidaknya
dua kali dalam seminggu.
• Terapi perilaku
Farmakologis
Orlistat
Pembedahan
Indikasi: BMI ~ 35 kg/m 2 ; adanya satu atau lebih penyakit komorbid yang dapat
teratasi secara signifikan dengan penurunan berat badan (imobilitas, artritis, DM Tipe
2); berat badan tidak dapat dikontrol setelah dilakukan pengontrolan diet, aktivitas
fisik, terapi perilaku dan obat-obatan.
Endatang J
~ BMI ~ 30 kg/m2 atau
Pemeriksaan BMI {[BMI 23-29,9 atau LP
Nilai faktor risiko > 80 em (W), > 90 em lya
___:__
~ 23 Kg/m 2
(P)] dan~ 2 faktor Dokter dan pasien
risiko
~
menentukan tujuan
serta strategi penurunan
~ berat badan dan
BMI dihitung dalam
2 tahun terakhir Ya Ya ~ Tidak pengontrolan faktor
risiko
~ Apakah pasien
ingin menurunkan 1-
-
berat badanya? Ya
Hitung berat badan, Hitung berat badan,
tinggi badan, lingkar tinggi badan, lingkar
pinggang (LP), pinggang (LP),
kemudian hitung BMI kemudian hitung BMI
i Tidak Perkembangan
terapi/ apakah
I
tujuan tereapai
Edukasi o( BMI < 23 Kg/m 2
pengontrolan
berat badan I
Tidak
~
Sarankan untuk
Ya
Ya
1 Tidak
PROGNOSIS
Tiap peningkatan 5 kg/m 2 pacta BMI > 25 kg/m 2 berhubungan ctengan peningkatan
risiko kematian sebesar 30%. 5
UNIT TERKAIT
• RS Penctictikan : Semua Divisi cti lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Departemen Rehabilitasi Mectik, Departemen
Gizi, Departemen Bectah
• RS non Penctictikan
REFERENSI
1. Flier J, Maratos-Fiier M. Biology of Obesity: Introduction. In : Longo DL. Fauci AS, Kasper DL.
Hauser SL, Jameson JL. Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New
York, McGraw-Hill. 2012.
2. Sugondo S. Obesitas. Dalam: Alwi I. Setiati S, Setiyohadi B. Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010:1973-1983.
3. National Heart Lung and Blood Institute. Executive summary of the clinical guidelines on the
identification, evaluation. and treatment of overweight and obese adults. Arch Intern Med. 1998
Sep 28;158(17):1855-67.
4. Badarsono S, Moersadika N, Purnamasari D, Sukardji K, Tahapary D. Identification, Evaluation
and Treatment of Overweight and Obesity in Adults: Clinical Practice Guidelines of the Obesity
Clinic, Wellnes Cluster Cipto Mangunkusumo Hospital. Jakarta, Indonesia.
5. National Task Force on the Prevention and Treatment of Obesity. Medical care for obese patients:
advice for health care professionals. Am Fam Physician. 2002 Jan 1;65( 1) :81-8.
6. Institute for Clinical Systems Improvement. Prevention and Management of Obesity (Mature
Adolescent and Adults). 5'h ed. Bloomington. MN; Institute for Clinical Systems Improvement. April
2011
/
• •
~. ,;§%>;·''
~--~--
PENATALAKSANAAN
Dl BIDING ILMU PENYAKIT DALAM -~ ~
~'-~'A~ ""
PANDOAN "'~.
\ . '.;··~~--·
: Sf' •i'j~
'%•.<..·••.. :·.
- 1,·~.· :~ )~
PRAKTIK i - -'1:::
I
··:C...
II
I (!
14"'~,
KLINIS !'· '
'--·
PENGERTIAN
Diare kronikadalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari sejakawal diare. Diare
dapat diklasifikasikan berdasarkan: 1
1. Lama waktu: akut atau kronik
2. Mekanisme patofisiologi: sekretorik, osmotik, dll
3. Berat ringannya diare: ringan atau berat
4. Penyebab infeksi atau tidak: infektif atau non-infektif
5. Penyebab organik atau tidak: organik atau fungsional
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1
1. Waktu dan frekuensi diare
2. Bentuk tinja
3. Keluhan lain yang menyertai seperti nyeri abdomen, demam, mual muntah,
penurunan berat badan
4. Obat-obatan: laksan, antibiotika, imunospresan, dll
5. Makananjminuman
Pemeriksaan Fisik1
Keadaan umum, status dehidrasi
Pemeriksaan Penunjang 1
• Pemeriksaan tinja, darah, urin
• Pemeriksaan anatomi usus sesuai indikasi: Barium enema/ colon in loop (didahului
BNO), Kolonoskopi, ileoskopi, dan biopsi, barium follow through atau enteroclysis,
USG abdomen, CT Scan abdomen
• Fungsi usus dan pankreas: tes fungsi pankreas, CEA dan CA 19-9.
PandUIIJ_, _~
'Pe.rhimpu~a~. ~o"'te(~peslalis"P~ollokit: pOiprll
I:Panduan Praktik Klinis
DIAGNOSIS BANDING
Penyebab tersering diare kronis di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Seperti tatalaksana pada diare umumnya. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada
tabel diare infeksi.
I DIARE KRONIS
I
Kecuali masalah iatrogenik:
pengobatan, bedah
Kolonoskopi
+ biopsi
Usus halus:
pencitraan, biopsL
l Curiga IBS J Pertimbangkan
diare fungsional
aspirasi
I DIARE KRONIS
1 Terbatas
I
I I I
Hb dan albumin rendah, I Rendah K+ Semua tes
MCV & MCH abnormal, penapisan normal
banyak lemak pada feses
I I I
I
Volume feses, osmolari- Reaksi opioid +
I
I
1 tas, pH: laxative screen;
hormonal screen
tindak lanjut
KOMPLIKASI
Dehidrasi sampai syok hipovolemik, sepsis, gangguan elektrolit, dan asam basaj
gas darah, gagal ginjal akut, kematian 1
PROGNOSIS
Prognosis diare kronik ini sangat tergantung pada penyebabnya. Prognosis baik
pada penyakit endokrin. Pada penyebab obat-obatan, tergantung pada kemampuan
2
untuk menghindari pemakaian obat-obat terse but.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Departemen Bedah Digestif, /CU j Medical High Care
• RS non pendidikan: ICU, Bagian Bedah
REFERENSI
1. Kolopaking SM. Pendekatan Diagnostik Diare Kronik. Dalam Alwi I, Setiati S, Setiyohadi
B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:
lnterna Publishing; 2010:534-559.
2. McQuaid K. Chronic Diarrhea. In Lawrence M (Eds). Current Medical Diagnosis &
Treatment 37th Ed. Prentice Hall International Inc, 1998: 544
3. Camilleri M, Murray JA. Diarrhea and Constipation. Dalam: Fauci A. Kasper D, Longo
D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012. Chapter
40, p308.
171
GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE
(GERD)
PENGERTIAN
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan suatu keadaan patologis
sebagai akibat refluks kandungan lam bung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala
yang timbul akibat keterlibatan esophagus, laring, dan saluran nap as; akibat kelemahan
otot sfingter esofagus bagian bawah (LESjLower Esophageal Sfingter). Refluks dapat
terjadi melalui 3 mekanisme yaitu refluks spontan pada saat relaksasi LES, aliran
balik sebelum kembalinya tonus LES setelah menelan, meningkatnya tekanan dalam
1,2
a bd omen.
Faktor risiko terjadinya refluks esofagus yaitu alkohol, hernia hiatus, obesitas,
kehamilan, skleroderma, rokok, obat-obatan seperti antikolinergik, beta blocker,
3
bronkodilator, Calcium channel blockers, progestin, sedatif, antidepresi trisiklik.
Terdapat dua kelompok pasien GERD yaitu pasien dengan esofagitis erosif yang
ditandai dengan adanya mucosal break diesofagus pad a pemeriksaan endoskopi (GERD)
dan pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan mucosal break
4
(non erosive reflux diseasejNERD).
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
12
Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan seperti: , .4
Pemeriksaan Penunjang
Jika keluhan tidak berat, jarang dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
34
dilakukan jika keluhan berat atau timbul kembali setelah diterapi. '
• Esophagogastroduodenoscopy (EGD): melihat adanya kerusakan esofagus
• Barium meal: melihat stenosis esofagus, hiatus hernia.
• Continuous esophageal pH monitoring: mengevaluasipasien GERDyang tidak respon
dengan PPI (proton pump inhibitor), evaluasi pasien-pasien dengan gejala ekstra
esophageal sebelum terapi PPI, memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti
refluks atau mengevaluasi NERD berulang setelah operasi anti refluks.
• Manometri esofagus: mengevaluasi pengobatan pasien NERD dan untuk tujuan
penelitian.
• Stool occult blood test: untuk melihat adanya perdarahan dari iritasi esofagus,
lambung, atau usus.
• Pemeriksaan histopatologis: menentukan adanya metaplasia, displasia, atau
keganasan.
DIAGNOSIS BANDING2
• Dispepsia
• Ulkus peptikum
• Kolik bilier
• Eosinophilic esophagitis
• Infeksi esofagitis
• Penyakit jantung koroner
• Gangguan motilitas esofagus .
TATALAKSANA
Nonfarmakologis2
1. Modifikasi gaya hidup, menghentikan obat-obatan (anti kolinergik, teofilin) dan
mengurangi makan makanan yang yang dapat menstimulasi sekresi asam seperti
kopi, mengurangi coklat, keju dan minuman bersoda.
2. Menaikkan posisi kepala saat tidur jika keluhan seringkali dirasakan pada malam hari.
3. Makanan selambat-lambatnya 2 jam sebelum tidur.
Farmakologis 2.4
1. Histamine type-2 receptor antagonists (H 2 RAs)
2. Proton pump inhibitors (PPis): umumnya diberikan selama 8 miggu dengan dosis
ganda.
3. Untuk NERD, terapi inisial dengan dosis stan dar selama 8 minggu lalu diberikan
3
pada saat keluhan timbul dan dilanjutkan sampai keluhan hilang.
4. Antasida hanya untuk mengurangi gejala yang timbul
Tindakan invasif3.4
1. Pembedahan anti refluks: Laparoscopic Nissen fundoplication
2. Terapi endoskopi: radiofrequency ablation, endoscopic suturing, endoscopic
implantation, endoscopic gastroplasty
KOMPLIKASI
Refluks esofagus dapatmenimbulkan komplikasi esofagus maupun ekstra esofagus.
• Komplikasi esofagus: striktur; ulkus, Barrett's esophagus bahkan adenokarsinoa
12
di kardia dan esofagus. '
• Komplikasi ekstra esofagus: asma, bronkospasme, batuk kronik atau suara serak,
3
masalah gigi,
PROGNOSIS
Pengobatan dengan penghambatsekresi as am lam bung dapatmengurangi keluhan,
derajat esofagitis dan perjalanan penyakit. Risiko dari striktur menjadi Barrett's
3
esophagus atau adenokarsinoma yaitu 6% dalam 2-20 tahun pada kasus.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Bedah Digestif- Departemen Bedah, ICUjMedical
High Care
• RS non pendidikan : Bagian Bedah
Gostroesophag:§"~t&~~;Oux Disease (GERD)
-- __ :~:-~I~,:~-;",-.•. -~- -·-~:. . . . .
REFERENSI
1. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam jilid I edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit
Dalam FKUI, 2006. him 317-321.
2. Kahrilas PJ. Esophageal Structure and Function.ln: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald
E, Hauser S, Jameson J,Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th
ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.
3. Longstreth GF. Gastroesophageal reflux disease. ln. Peptic esophagitis; Reflux esophagitis;
GERD: Heartburn- chronic; Dyspepsia- GERD. 2011. Diunduh dari http:// www.ncbi.
nlm.nih.gov /pubmedhealth/ PMH00013ll / pad a tanggal 7 Mei 2012.
4. Kelompok Studi GERD Indonesia. Konsensus Nasional: Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal di Indonesia. Perkumpulan Gastroenterologi lndonesia.2004.
HEMATEMESIS MELENA
PENGERTIAN
Hematemesis adalah muntah darah kehitaman yang merupakan indikasi adanya
perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimalligamentum Treitz. Perdarahan
saluran cerna bagian atas (SCBA), terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi
dalam bentuk keluarnya darah segar per anum bila perdarahannya banyak. Melena
(feses berwarna hitam) biasa berasal dari perdarahan SCBA, walaupun perdarahan
usus halus dan bagian proksimal kolon dapat juga bermanifestasi dalam bentuk
melena. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1·2
1. Jumlah, warna, perdarahan
2. Riwayat konsumsi obat NSAID jangka panjang
3. Riwayat merokok, pecandu alkohol
4. Keluhan lain seperti mual, kembung, nyeri abdomen, dll
Pemeriksaan Fisik1. 2
Memeriksa status hemodinamik:
1. Tekanan darah dan nadi posisi baring
2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
4. Kondisi pernapasan
5. Produksi urin
l'r!!!!!!s!!!!!I~!!!~!!o
Tabel 1. Keparahan perdarahan saluran cerna bagian atas berdasarkan skor Glasgow-
Blatchford (Modifikasi) 3
Perempuan 2:10-12 1
<10 6
Tekanan darah Sistolik 100-109 1
90-99 2
<90 3
Laju Nadi 2: 100
Datang dengan Melena 1
Datang dengan Sinkop 2
Penyakit Hati 2
Gagal Jantung 2
Keterangan:
Skor 0: risiko minimal akan membutuhkan intervensi seperti transfusi, endoskopi at au pembedahan. do pat dipulangkan dini at au
rawat jolon
Skor I - 5: memiliki risiko yang meningkat membutuhkan intervensi
Skor ~ 6: memiliki risiko > 50% akan membutuhkan intervensi
DIAGNOSIS BANDING
. 1
Hemoptoe, hematokezta.
TATALAKSANA
Stabilisasi hemodinamik4 ·5
1. Jaga patensi jalan napas
2. Suplementasi oksigen
3. Akses intravena 2 line dengan jarum besar, pemberian cairan Normal Saline atau
Ringer Laktat
4. Evaluasi laboratorium : waktu koagulasi, Hb, Ht, serum elektrolit, ratio Blood Urea
Nitrogen (BUN) : serum kreatinin
5. Pertimbangkan transfusi Packed Red Cell (PRC) apabila kehilangan darah sirkulasi
> 30% atau Ht < 18% (atau menurun >6%) sampai target Ht 20-25% pada dewasa
muda atau 30% pada dewasa tua
6. Pertimbangkan transfusi Fresh Frozen Plasma (FFP) atau trombosit apabila INR
>1,5 a tau trombositopeni
7. Pertimbangkan Intersive Care Unit (ICU) apabila :
a. Pasien dalam keadaan syok
b. Pasien dengan perdarahan aktif yang berlanjut
c. Pasien dengan penyakit komorbid serius, yang membutuhkan transfusi darah
multi pel, atau dengan akut abdomen
Nonfarmakoiogis
Balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esophagus. 1
Farmakologis1
• Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varises
transfusi sampai dengan Hb 1Ogr%, pada kasus non varises transfusi sampai dengan Hb
12gr%. Bila perdarahan berat (25-30%), boleh dipertimbangkan transfusi whole blood.
• Semen tara menunggu darah dapat diberikan pengganti plasma (misalnyadekstran/
hemacel) atau NaCl 0,9% atau RL
• Untuk penyebab non varises :
1. Penghambat pompa proton dalam bentuk bolus maupun drip tergantung
kondisi pasien jika tidak ada dapat diberikan Antagonist HZ reseptor.
2. Sitoprotektor: Sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3 x 1 tab atau Rebamipide
3x100 mg
3. Injeksi vitamin K3x1 ampul, untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati
• Untuk penyebab varises :
1. Somatostatin bolus 250 ug + drip 250 mcgjjam intravena atau okreotide
(sandostatin) 0,1 mg/2 jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti
atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah skleroterapi/ligasi varises esofagus.
2. Vasopressin : sediaan vasopressin 50 unit diencerkan dalam 100 ml dekstrosa
5%, diberikan 0,5-1 mgjmenit iv selama 20-60 menit dan dapat diulangtiap 3-6
jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infuse 0,1-0,5 Ujmenit.
Pemberian vasopressin disarankan bersamaan dengan preparan nitrat misalnya
nitrogliserin iv dengan dosis awal 40 mcgfmenit lalu titrasi dinaikkan sampai
maksimal400 mcgfmenit. Hal ini untuk mencegah insufisiensi aorta mendadak.
3. Propanolol, dimulai dosis 2 x 10 mg dosis dapat ditingkatkan hingga tekanan
diastolik turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah keadaan stabil
hematemesis melena (-)
4. Isosorbid dinitratjmononitrat 2 x 1 tabletjhari hingga keadaan umum stabil
5. Metoklorpramid 3 x 10 mgjhari
Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan
Pada pasien dengan pecah varisesjpenyakit hati kronik/sirosis hati dapat
ditambahkan :
a. Laktulosa 4 x 1 sendok makan
b. Antibiotika ciprofloksacin 2x500 mg atau sefalosporin generasi ketiga.
Obat ini diberikan sampai konsistensi dan frekuensi tinja normal.
HEMOSTASIS ENDOSKOPI
• Untuk perdarahan non varises: Penyuntikan mukosa disekitar titik perdarahan
menggunakan adrenalin 1: 10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali suntik dengan batas
do sis 10 mi. Penyuntikan ini harus dikombinasi dengan terapi endoskopik lainnya
seperti klipping, termo koagulasi atau eleltro koagulasi.
• Untuk perdarahan varises: dilakukan ligasi atau sklerosing
TATALAKSANA RADIOLOGI
Terapiangiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan
belum bisa ditentukan asal perdarahan. Pada varises dapat dipertimbangkan TIPS
{Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt). Pada keadaan sumber perdarahan
yang tidak jelas dapat dilakukan tindakan arteriografi. Prosedur bedah dilakukan
sebagai tindakan emergensi atau elektif.
KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, pneumonia aspirasi, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal,
koma hepatikum, anemia karena perdarahan 1
PROGNOSIS
Pada umumnya penderita dengan perdarahan SCBA yang disebabkan pecahnya
varises esofagus mempunyai faal hati yang burukjterganggu sehingga setiap
perdarahan baik besar maupun kecil mengakibatkan kegagalan hati yang berat.
Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb,
tekanan darah selama perawatan, dan lain-lain. Mengingat tingginya angka kematian
dan sukarnya dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas maka
perlu dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif terutama untuk mencegah
terjadinya terjadinya pecahnya varises pada pasien.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi- Onkologi Medik- Departemen Penyakit
Dalam, Divisi Bedah Digestif- Departemen Bedah, ICU/
Medical High Care
• RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
REFERENSI
1. Adi P. Pengelolaan Perdarah saluran Cerna Bagian Atas. Dalam Alwi I, Setiati S, Setiyohadi
B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: lnterna
Publishing; 2010:447-452.
2. Cirrhosis and its Complications, Peptic Ulcer Disease and Related Disorders. Dalam: Fauci A,
Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of
internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011
3. Stephens JR, Hare NC, Warshow U, Hamad N, Fellows HJ, Pritchard C, Thatcher P, Jackson L,
Michell N, Murray lA, Hyder Hussaini S, Dalton HR. Management of minor upper gastrointestinal
haemorrhage in the community using the Glasgow Blatchford Score. Eur J Gastroenterol Hepatol.
2009;21 (12):1340-6.
4. Zuccaro G Jr. Management of the adult patient with acute lower gastrointestinal bleeding.
American College of Gastroenterology. Practice Parameters Committee. Am J Gastroenterol.
1998;93(8) :1204.
5. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of acute upper and lower
gastrointestinal bleeding. A national clinical guideline. SIGN publication; no. 1OS. Edinburgh
(Scotland): Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN); 2008
HEMATOKEZIA
PENGERTIAN
Hematokezia merupakan suatu gejala perdarahan gastrointestinal, yaitu keluarnya
darah segar atau merah marun dari rektum. 1 Hematokezia lebih sugestif ke arah
perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB), namun pada 10% kasus, dapat
juga berasal dari perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yang masif.2 Apabila
hematokezia merupakan gejala klinis dari perdarahan SCBA, maka akan terjadi
instabilitas hemodinamik dan terjadi penurunan hemoglobin. 1
Evaluasi diagnostik perdarahan SCBB lebih sulit secara signifikan dibandingkan
dengan perdarahan SCBA. Hal ini disebabkan oleh: 1) lokasi perdarahan dapat terjadi
di traktus gastrointestinal manapun, 2) perdarahan seringkali bersifat intermitent
(hilang-timbul), 3) bukti adanya perdarahan aktifmungkin tidak jelas sampai perdarahan
berhenti, dan 4) operasi kegawatdaruratan mungkin dibutuhkan untuk diagnosis spesifik
dan lokalisasi perdarahan. 3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING
Tabel 1. Diagnosis Banding Perdarahan SCBB berdasarkan Karakteristik Klinis 4·5
Frekuensi
Etlologl · Karakterlstlls Klinis
(%)
Perdarahan Akut, berat, perdarahan tanpa nyeri pada suspek atau diketahui 17-40
divertikular menderita penyakit divertikular
Angiodisplasia Rekuren, episode perdarahan tanpa nyeri; dapat menjadi kronik 2-30
dan timbul anemia defisiensi Fe
Frekuensi
Etiologi Kcuakteristik. Kiln is
(%)
Kolitis
• Kolitis iskemik Self-limited, diare berdarah diikuti dengan nyeri perut akut bagian
bawah pada pasien dengan faktor risiko jantung
• Kolitis infeksius Diare berdarah disertai demam, dan risiko diet tinggi atau 9-21
penggunaan antibiotik sebelumnya
• Penyakit Crohn Diare berdarah disertai berat badan turun dan nyeri perut rekuren
Karsinoma kolon Lambat, perdarahan kronis dengan perubahan polo BAB atau 11-14
anemia defisiensi Fe
Pasco polipektomi Perdarahan self-limited yang terjadi dalam 30 hari setelah 11-14
atau perdarah polipektomi atau biopsi sebelumnya
an pasco biopsi
endoskopik
Hemoroid Perdarahan yang terkait dengan pergerakan BAB dan pruritus 4-10
ani; umumnya tidak nyeri, tapi dapat juga nyeri pada trombosis
hemoroid
Perdarahan SCBA Meningkatnya BUN terhadap ratio kreatinin, atau terdapat aspirasi 0-11
darah (+) pada NGT
TATALAKSANA
Penatalaksanaan perdarahan SCBB memiliki 3 komponen yaitu: 1•2•4
1. Resusitasi dan penilaian awal
2. Identifikasi sumber perdarahan ~ dengan pemeriksaan penunjang terse but diatas
3. Intervensi terapeutik untuk menghentikan perdarahan
a. Endoskopi: injeksi epinefrin, elektrokauter, pemasangan endoklip, lem fibrini
b. Angiografi: infus vasopresor intra-arterial, embolisasi
c. Bedah: apabila diperlukan transfusi dalam jumlah besar (contoh: >4 unit PRC
dalam 24 jam), instabilitas hemodinamik yang tidak merespon terapi medis,
perdarahan berulang yang tidak merespon terapi, perdarahan divertikular ;:: 2
episode
KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, gagal ginjal akut, anemia karena perdarahan
PROGNOSIS
Meskipun sebagian besar perdarahan divertikular bersifat self-limited dan sembuh
spontan 7•8 , hilangnya darah bersifat masif dan cepat pada 9-19% pasien. 9•10 Pada
pasien dengan penyakit komorbid, malnutrisi, a tau penyakit hati, memiliki prognosis
buruk. 5 Penggunaaan aspirin dan NSAID berkaitan erat dengan meningkatnya risiko
perdarahan divertikular (odds ratio= 1,9-18,4)_11
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi - Onkologi Medik - Departemen
Penyakit Dalam, Divisi Bedah Digestif- Departemen Bedah,
ICUjMedical High Care
• RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
REFERENSI
1. Laine L. Gastrointestinal Bleeding. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson
JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine 18th Edition. New York: McGraw-
Hill. 2012.
2. Bjorkman D. Gastrointestinal Hemorrhage and Occult Gastrointestinal Bleeding. In:
Goldman, Ausiello. Cecil Medicine 23rd Edition. Philadelphia: Saunders, Elsevier. 2008.
3. Currie G, Towers P, Wheat J. Improved Detection and Localization of Lower
Gastrointestinal Tract Hemorrhage by Subtraction Scintigraphy: Phantom Analysis. J
Nucl Med Technol 2006; 34:160--8.
4. Wilkins T, Baird C, Pearson AN, Schade RR. Diverticular bleeding. Am Fam Physician. Nov
1 2009;80(9) :977-83
5. Zuccaro G Jr. Management of the adult patient with acute lower gastrointestinal
bleeding. American College of Gastroenterology. Practice Parameters Committee. Am
J Gastroenterol. 1998;93(8):1204.
6. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of acute upper and
lower gastrointestinal bleeding. A national clinical guideline. SIGN publication; No. 105.
Edinburgh (Scotland): Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN): 2008,
7. Stallman NH, Raskin JB. Diagnosis and management of diverticular disease of the
colon in adults. Ad Hoc Practice Parameters Committee of the American College of
Gastroenterology. Am J Gastroenterol. 1999;94(11 ):3110-21.
8. McGuire HH Jr. Bleeding colonic diverticula. A reappraisal of natural history and
management. Ann Surg. 1994;220(5):653-6.
9. Browder W, Cerise EJ, Litwin MS. Impact of emergency angiography in massive lower
gastrointestinal bleeding. Ann Surg. 1986;204(5):530-6.
10. Peura DA, Lanza FL Gostout CJ, Foutch PG. The American College of Gastroenterology
Bleeding Registry: preliminary findings. Am J Gastroenterol. 1997;92(6):924-8.
11. Laine L, Smith R, Min K, Chen C, Dubois RW. Systematic review: the lower gastrointestinal
adverse effects of non-steroidal anti-inflammatory drugs. AlimentPharmacol Ther.
2006;24(5) :751-67
0
ILEUS PARALITIK
PENGERTIAN
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagaljtidak
mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. 1 Keadaan ini dapat
disebabkan oleh tindakan/ operasi yang berhubungan dengan rongga perut, hematoma
retroperitoneal yang berhubungan dengan fraktur vertebra, kalkulus ureteral, atau
pielonefritis berat, penyakit paru seperti pneumonia lobus bawah, fraktur iga, infark
miokard, gangguan elektrolit (berkurangnya kalium), dan iskemik usus, baik dari
oklusi vaskular ataupun distensi usus. 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 2
• Rasa tidak nyaman pada perut, tanpa nyeri kolik
• Muntah sering terjadi namun tidakprojUse, sendawa, bisa disertai diare, sulit buang
air besar
• Dapat disertai demam
• Perlu dicari juga riwayat: batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen,
diabetes, hipokalemia, obat spasmolitik, pankreatitis akut, pneumonia, dan semua
jenis infeksi tubuh
Pemeriksaan Fisik2
• Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan
kesadaran, demam, tanda dehidrasi, syok.
• Distensi abdomen (+),rasa tidak nyaman pada perut, perkusi timpani, bising usus
yang menurun sampai hilang.
• Reaksi peritoneal (-) (nyeri tekan dan nyeri lepas tidak ditemukan). Apabila
penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah
gambaran peritonitis.
• Pada colok dubur: rektum tidak kolaps, tidak ada kontraksi
Pemeriksaan Penunjang1.2
• Laboratorium: darah perifer lengkap, amilase-lipase, gula darah, elektrolit, dan
analisis gas darah
• Radiologis: foto polos abdomen, akan ditemukan gambaran air fluid level. Apabila
meragukan, dapat mempergunakan kontras
DIAGNOSIS BANDING
Ileus obstruktif
TATALAKSANA 1·2
• Non farmakologis
Puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif a tau dapat huang
angin melalui dubur
Pasang NGT dan rectal tube bila perlu
Pasang kateter urin
• Farmakologis
Infus cairan, rata-rata 2,5-3 liter jhari disertai elektrolit
Natrium dan kalium sesuai kebutuhan/24 jam
Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai kebutuhan kalori basal ditambah
kebutuhan lain
Metoklopramid (gastroparesis), cisapride (ileus paralitik pasca operasi),
klonidin (ileus karena obat-obatan)
• Terapi Etiologi
KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, septikemia sampai dengan sepsis, malnutrisi
PROGNOSIS
Tergantung penyebabnya
REFERENSI
1. Djumhana A Syam A. Ileus Paralitik. Dalam: Sudoyo A Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009. Hal307-8
2. Silen W. Acute Intestinal Obstruction. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL,
Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181hEdition. New York, McGraw-Hill. 2012.
KONSTIPASI
PENGERTIAN
Konstipasi merupakan gangguan motilitas kolon akibat terganggunya fungsi
motorik dan sensorik kolon. Keluhan ini sering ditemukan dalam praktek sehari-hari,
dan biasanya merujuk pacta kesulitan defekasi yang persisten atau rasa tidak puas.
Meskipun konstipasi seringkali hanya menjadi suatu gejala yang mengganggu, hal ini
dapat menjadi berat dan mengancam nyawa.
Pacta konstipasi fungsional, transit time biasanya normal, dan tidak ada kelainan
evakuasi. Pasien sering mengeluh nyeri yang terkait dengan konstipasi, dan seringkali
tumpang tindih dengan sindrom kolon iritabel dengan predominan konstipasi.l.2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Perlu juga diperhatikan apakah ada tanda-tanda "alarm" seperti penurunan be rat
badan, perdarahan rektum, a tau anemia, terutama pada pasien usia> 40 tahun, harus
dilakukan sigmoidoskopi a tau kolonoskopi untuk menyingkirkan penyakit struktural
seperti kanker atau striktur. 1
Pemeriksaan Penunjangl.2
• Laboratorium: darah perifer lengkap, glukosa dan elektrolit (terutama kalium dan
kalsium) darah, fungsi tiroid
• Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi
untuk menemukan fisura, ulkus, hemoroid, dan keganasan)
• Foto palos perut harus dikerjakan pada pasien konstipasi, terutama yang terjadinya
akut untuk mendeteksi adanya impaksi feses yang dapat menyebabkan sumba tan
dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan
dengan barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan.
• Pemeriksaan yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan bila
pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat
pengelolaan konstipasi tertentu.
Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomis (enema, proktosigmoidoskopi,
kolonoskopi) atau fisiologis (trans time di kolon, sinedefekografi, manometri,
dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi biasanya dikerjakan pada
konstipasi yang baru terjadi sebagai prosedur penapisan adanya keganasan
kolon-rektum. Bila ada penurunan be rat badan, anemia, keluarnya darah dari
rektum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan
kolonoskopi.
Trans time suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan
pemeriksaan radiologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini
terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan
hila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
Sinedefekografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anorektal untuk
menilai evakuasi feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal
dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai
semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam rektum.
Kemudian penderita duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar
X. Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai
kelainan anorektal saat proses berlangsung.
Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran
anus saat istirahat dan pacta berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal.
Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan
fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respons
sfingter yang terhambat. Pacta kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan
anatomis maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut
sebagai non-spesifik.
Kriteria Diagnosis3
Dalam menegakkan diagnosis konstipasi fungsional, digunakan kriteria Rome
III yaitu munculnya gejala dalam 3 bulan terakhir atau sudah dimulai sejak 6 bulan
sebelum terdiagnosis:
1. Terdapat <': 2 gejala berikut:
a. Mengejan sedikitnya 25% dari defekasi
b. Feses keras sedikitnya 25% dari defekasi
c. Sensasi tidak puas saat evakuasi pada sedikitnya 25% dari defekasi
d. Sensasi obstruksi anorektal pada sedikitnya 25% dari defekasi
e. Diperlukan manuver manual untuk memfasilitasi pada sedikitnya 25% dari
defekasi (evakuasi jari, bantuan dasar panggul)
f. Defekasi < 3 kali dalam seminggu
2. Feses lunak jarang terjadi tanpa penggunaan laksatif
3. Kriteria tidak memenuhi sindrom kolon iritabel
TATALAKSANA4
• Non-farmakologis
Apabila diketahui bahwa konsumsi obat-obatan menjadi penyebab, maka
menghentikan konsumsi obat dapat menghilangkan keluhan konstipasi. Namun
pada kondisi medis tertentu, konsumsi obat tidak boleh dihentikan sehingga
digunakan cara-cara lain untuk mengatasinya. 4
Bowel training. Pasien dianjurkan untuk defekasi di pagi hari, saat kolon dalam
keadaan aktif, dan 30 menit setelah makan, dengan mengambil keuntungan dari
refleks gastrokolon. 4 Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita
tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan
atau menunda dorongan untuk BAB ini.
Asupan cairan yang cukup dan diet tinggi serat. 1•5 Rekomendasi asupan serat
adalah 20- 35 gram per hari. 5
Aktivitas dan olahraga teratur. 4
• Farmakologis
Apabila terapi nonfarmakologis diatas tidak mampu meredakan gejala, maka dapat
digunakan obat-obatan seperti tercantum pada tabel 3.
Tabel 3. Golongan Obat yang Digunakan pada Konstipasi Kronik4
Golt;i~gCin ol)cd Formula· .ooslsde:wCisa
Bulk laxatives
Methylcellulose Bubuk: 2 gram (dilarutkan dalam 240 ml air) 1- 3x/hari
Tablet: 500 mg 2 tablet/hari
(rnak5imol 6x/hari)
Polycarbophil Tablet: 625 mg 1 - 4 x 2 tablet/hari
Psyllium Bubuk: 3.4 gram (dilarutkan dalam 240 ml air) 1- 4x/hari
Pelunak feses/Laksatif emolien
Docusate Kapsul: 240 mg 1 x 1/hari
calcium
Docusate sodium Kapsul: 50 atau 100 mg 50 - 300 mg* /hari
Cairan: 150 mg per 15 ml
Sirup: 60 mg per 15 ml
Golongan ~bat Formula Dosis dewasa
Laksatif osmotik
Laktulosa Cairan: 10 g per 15 ml 15-60 ml*/hari
Magnesium sitrat Cairan: 296 ml per botol '12 - 1 botol/hari
Magnesium Cairan: 400 mg per 5 ml 15-60 mL*/hari
hidroksida
Polyethylene Bubuk: 17 gram (dilarutkan dalam 240 ml air) 1x/hari
glycol3350
Sodium bifosfat Cairan: 45 ml (dilarutkan dalam 120 ml air), 90 20- 45 ml/hari
ml (dilarutkan dalam 240 ml air)
Sorbitol Cairan: 480 ml 30- 150 ml/hari
Laksatif stimulan
8isacodyl Tablet: 5 mg 5 - 15 mg/hari
Cascara Cairan: 120 ml 1 x5 ml/hari
sagrada Tablet: 325 mg 1 x 1 tablet/hari
Castor oil Cairan: 60 ml 15-60 mL*/hari
Senna Tablet: 8.6 mg 2 atau 4 tablet sekali atau duo
kali/hari
Agen Prokinetik
Tegaserod Tablet: 2 mg, 6 mg 2 x 1 tablet•• /hari
Keterangan:
*Dapat dibagi dalam beberapa dosis
**Diberikan pada konstipasi pada wanita yang berhubungan dengan sindrom kolon iritabel
• Terapi lainnya 6
Bakterioterapi (probiotik): lactobacillus, bifidobacterium
Complimentary Alternative Medicine: herbal, akupuntur
• Bedah
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan
cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan.
Secara umum, tindakan pembedahan tidak dianjurkan pada konstipasi yang
disebabkan oleh disfungsi anorektal.4
Kolektomi subtotal dengan ileorektostomi merupakan prosedur pilihan bagi
pasien dengan konstipasi transit lama yang persisten dan sulit dikontroJ.?
Koreksi pembedahan dibutuhkan bagi pasien dengan rektokel besar yang
mengganggu defekasi. 4
KOMPLIKASI
Sindrom delirium akut, aritmia, ulserasi anorektal, perforasi usus, retensio urin,
hidronefrosis bilateral, gagal ginjal, inkontinensia urin, inkontinensia alvi, dan volvulus
daerah sigmoid akibat impaksi feses, serta prolaps rektum. 5
PROGNOSIS
Secara umum, konstipasi memiliki dampak signifikan terhadap indikator kualitas
hidup (quality of life) terutama pada usia lanjut. 9 Hampir 80% dari 300 anak yang
dievaluasi pada usia 16 tahun memiliki prognosis baik. Prognosis buruk setelah usia
16 tahun secara signifikan berhubungan dengan usia ketika onset gejala, lamanya jeda
antara onset gejala dengan kunjungan pertama ke dokter, dan rendahnya frekuensi
defekasi (sekali seminggu) saat datang berobat. Risiko prognosis buruk sebanyak 16%
pada tipikal pasien dengan onset keluhan saat usia 3 tahun, tertundanya berobat selama
5 tahun, frekuensi defekasi dua kali seminggu, dan 10 episode inkontinensia per minggu.
Apabila penundaan antara onset dan berobat 1 tahun, risiko berkurang menjadi 7%,
dan bila jeda waktu 9 tahun, risiko meningkat menjadi 31%. 10
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, Departemen Gizi Klinik
• RS non pendidikan : Bagian Bedah, Bagian Gizi
REFERENSI
1. Camilleri M. Disorders of Gastrointestinal Motility.ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition.
Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008
2. Camilleri M, Murray J. Diarrhea and Constipation. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181hed. New York: McGraw-Hill;
2012.
3. Functional Constipation. Rome Ill Diagnostic Criteria for Functional Gastrointestinal Disorders.
Diunduh dari http:/ /www.romecriteria.org/assets/pdf/19_Romelll_apA_885-898.pdf pad a tanggal
9 Mei 2012.
4. Hsieh C. Treatment of Constipation in Older Adults. Am Fam Physician 2005;72:2277-84, 2285.
5. Thomas DR, Forrester L, Gloth MF, Gruber J, Krause RA, Prather C, et al. Clinical consensus: the
constipation crisis in long-term care. Ann Long-Term Care 2003;Suppl:3-14.
6. Leung L, Riutta T, Kotecha J, Rosser W. Chronic Constipation: An Evidence-based Review. JAm
Board Fam Med 2011 ;24:436- 451
7. Cameron JL. Current surgical therapy. 7th ed. St. Louis: Mosby, 2001
8. Jewell DJ, Young G. Interventions for treating constipation in pregnancy. Cochrane Database
Syst Rev 2001;(2):CD001142.
9. O'Keefe EA, Talley NJ, Zinsmeister AR, Jacobsen SJ. Bowel disorders impair functional status and
quality of life in the elderly: a population-based study. J Gerontal A Bioi Sci Med Sci 1995;50:
M184-9.
10. Bongers ME, van Wijk MP, Reitsma JB, Benninga MA. Long-term prognosis for childhood
constipation: Clinical outcomes in adulthood. Pediatrics 2010 ; 126( 1) :e 156-62
PANKREATITIS AKUT
PENGERTIAN
Pankreatitis akut adalah proses peradangan pankreas yang reversibel. 1 Hal ini
memiliki karakteristik episode nyeri perut yang diskret (menyebar) dan meningkatnya
serum amilase dan lipase. 2
DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala klinis khas pada pankreatitis akut adalah onset nyeri perut bagian atas
yang akut dan persisten, dan biasanya disertai mual dan muntah. Lokasi tersering
adalah regio epigastrium dan periumbilikalis. Nyeri dapat menjalar ke punggung,
dada, pinggang, dan perut bagian bawah. Pasien biasanya sulit tidur dan membungkuk
ke depan (knee-chest position) untuk meredakan nyeri karena posisi supine dapat
memperberat intensitas nyerU· 4
Pemeriksaan Fisik
• Demam (biasanya <38,5°C), takikardi, gangguan hemodinamik (hipotensi), nyeri
perut be rat, guarding j de fans muscular, distres pernapasan, dan distensi abdomen.
Bising usus biasanya menurun sampai hilang akibat ileus. Ikterus dapat muncul
tanpa adanya batu pankreas sebagai akibat dari kompresi duktus koledokus dari
edema pankreas. 2.4
• Pada serangan akut, dapat terjadi hipotensi, takipneu, takikardi, dan hipertemi.
Pada pemeriksaan kulit dapat terlihat daerah indurasi yang nyeri dan eritema
akibat nekrosis lemak subkutaneus. 2
• Pada pankreatitis dengan nekrosis berat, dapat muncul ekimosis besar yang
terkadang muncul di pinggang (tanda Grey Turner) atau area umbilikus (tanda
Cullen); ekimosis ini diakibatkan oleh perdarahan dari pankreas yang terletak di
daerah retroperitoneaU
• Perlu juga dicari: tanda Murphy untuk membedakan dengan kolesistitis akut. 5
Pemeriksaan Penunjang2 · 4
• Laboratorium: darah rutin (biasa ditemukan leukositosis), serum amilase, lipase,
gula darah, serum kalsium, LDH, fungsi ginjal, fungsi hati, profillipid, analisis gas
darah, elektrolit
• Radiologis: USG abdomen, foto abdomen, CT scan abdomen dengan kontras, MRI
abdomen (lebih baik untuk ibu hamil dan pasien yang memiliki alergi terhadap
zat kontras)
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
• Suportif: pada pankreatitis ringan, ora/feeding sebaiknya dimulai dalam 24-72 jam
setelah onset. Apabila pasien tidak dapat mentoleransi, dapat dipertimbangkan
enteral feeding dengan NGT. Nutrisi parenteral hanya diberikan pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi enteral feeding a tau pemberian infus yang adekuat tidak
dapat dicapai dalam 2-4 hari. 2
• Resusitasi cairan dengan kristaloid (sampai dengan 10 Lfhari bila terjadi gangguan
hemodinamik pad a pankreatitis be rat). 11 Koloid seperti packed red cells diberikan
apabila Ht < 25% dan albumin apabila serum albumin< 2 mg/dLY
• Bedah: dapat dipertimbangkan nekrosektomi apabila terjadi infeksi pad a nekrosis
pankreas atau peripankreas. Teknik debridement yang dapat dipertimbangkan
adalah open packing atau single necrosectomy with continuous lavage. Pada
pankreatitis bilier, dapat dipertimbangkan kolesistektomU· 11
Farmakologis2 ·4 · 10•11
• Analgesik dan sedatif
• Antibiotik sistemik diberikan apabila ada tanda-tanda infeksijsepsis sambil
menunggu hasil kultur. Apabila hasil kultur negatif, maka antibiotik dihentikan.
KOMPLIKASF
• Lokal: nekrosis pankreas yang terinfeksi, infeksi pankreas atau peripankreas,
ascites, pseudokista pankreas
• Sistemik: gagal ginjal, gagal napas
PROGNOSIS
Tergantung berat-ringannya pankreatitis akut, maka disusun sistem skoring
prognostik berdasarkan klinis pasien seperti tercantum pada tabel 2 dan tabel 3.
label 2. Sistem Skoring Prognostik Pankreatitis Akut berdasarkan Klinis
Skorlng BaHhazar
Skala APACHE* II' Slstem Skoring Imrie• Krlteria Ranson'•
(Cl severil}" lridexy.•
Perhitungan NilaiCT: • Usia > 55 tahun Saat didiagnosis/
menggunakan usia, suhu A =normal (nilai 0) • Leukosit > 15.000/mm3 dirawat:
rektal, mean arterial B =pembesaran fokal! • GDS > 180 mg/dl pada • Usia > 55 Ia hun
pressure, nadi, Pao;•. difus pankreas (nilai 1) pasien non-OM • Leukosit > 16.000/mm3
pH arteri. serum Na, K, C =B + infiamasi • Serum LDH > 600 U/L • GDS > 200 mg/dl
kreatinin, Ht. leukosit, ekstrapankreas (nilai 2) • Serum SGOT/SGPT > 100 • Serum LDH > 350 U/L
GCS, keadaan umum. D =adanya cairan bebas U/L • Serum SGOT > 250 U/L
di 1 lokasi (nilai 3) • Serum Ca < 8 mg/L Dalam48jam
Skoring: dapat dihilung E =cairan bebas di;:, 2 • Pa0 2 < 60 mmHg pertama:
melalui http://www.sfar. lokasi dan/atau adanya • Serum albumin < 3,2 g/dl • HI .J.> 10%
org/scores2/apache22. udara bebas di dalam • Serum urea > 45 mg/dl • BUN t > 5 mg/dl
html#calcul atau sekitar pankreas (16 mmoi!L) • Base deficit > 4
(nilai 4) mmoi/L
• Sekuestrasi cairan >
6.000 ml
Skor nekrosis: Skoring: 1 poin untuk tiap • Pa0 2 < 60 mmHg
Tidak ada (nilai 0) kriteria terpenuhi. 48 jam
:$ 30% (nilai 2) setelah dirawat inap Skoring: 1 poin untuk
30-50% (nilai 4) tiap kriteria terpenuhi
>50% (nilai 6)
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Bedah Digestif- Departemen Bedah, ICU j Medical
High Care
• RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
REFERENSI
1. Carroll J, Herrick B, Gipson T, et al. Acute Pancreatitis: Diagnosis, Prognosis, and Treatment. Am
Fam Physician. 2007 75(10):1513-20.
2. Owyang C. Pancreatitis. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia.
Saunders, Elsevier. 2008
3. Nurman A. Pankreatitis Akut. Dalam: Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009. Hal731-8
4. Greenberger N, Conwell D, Wu B, et al. Acute and Chronic Pancreatitis. In: Longo DL Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18thed.
New York: McGraw-Hill; 2012.
5. Urbano F, Carroll M. Murphy's Sign of Cholecystitis. Hospital Physician. 2000; 11 :51-2.
6. Knaus WA. Zimmerman JE, Wagner DP, Draper EA. Lawrence DE. APACHE-acute physiology
and chronic health evaluation: a physiologically based classification system. Crit Care Med
1981 ;9:591-7.
7. Balthazar EJ, Robinson DL, Megibow AJ, Ranson JH. Acute pancreatitis: value of CT in establishing
prognosis. Radiology 1990; 17 4:331-6.
8. Mortele K, Wiesner W, lntriere Let al. A Modified CT Severity Index for Evaluating Acute Pancreatitis:
Improved correlation with Patient Outcome. AJ R 2004; 183:1261-5.
9. Blarney SL, Imrie CW, O'Neill J, Gilmour WH, Carter DC. Prognostic factors in acute pancreatitis.
Gut 1984;25: 1340-6.
10. Ranson JH. Etiological and prognostic factors in human acute pancreatitis: a review. Am J
Gastroenterol 1982;77:633-8.
11. Talukdar R, Vege S. Recent developments in acute pancreatitis. Clinical Gastroenterology and
Hepatology .2009;7:S3-S9.
12. Forsmark CE, Baillie J. AGA Institute technical review on acute pancreatitis. Gastroenterology
2007; 132:2022-44.
PENY AKIT TUKAK PEPTIK
PENGERTIAN
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu
hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa. Dispepsia
diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional.
Bedasarkan Rome III, dispepsia fungsional merupakan rasa penuh (kekenyangan)
setelah makan (bothersome postprandial fullness), perasaan cepat kenyang, nyeri ulu
hati, rasa terbakar di ulu hati, dan tidak ditemukan kelainan struktural yang dapat
menjelaskan keluhan saat dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas
(SCBA). (lebih lanjut lihat di bab Dispepsia Fungsional). Sedangkan dipepsia organik
banyak disebabkan oleh tukak peptikum, penyakit refluks gastroesofagus, keganasan
lambung atau esofagus, kelainan pankreas atau bilier, intoleran makanan dan obat,
infeksi, a tau penyakit sistemik 1
Tukak peptik adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang kronis.
Tukak peptik terbagi dua yaitu tukak duodenum dan tukak lambung. Kedua tukak ini
seringkali berhubungan dengan infeksi Helicobacter pylori. H. pylori adalah organisme
yang hidup pada mukosa gaster, gram negative berbentuk batang atau spiral,
mikroaerofilik berflagela, mengandung urease, hidup di bagian antrum dan migrasi
ke proksimal lambung berubah menjadi kokoid suatu bentuk dorman bakteri; dan
diperkirakan berhubungan dengan beberapa penyakit. 2•3
Tukakadalah suatu gambaran bulatatau oval berukuran >5 mm mencapai submukosa
pada mukosa lambung dan duodenum akibat terputusnya integritas mukosa. Faktor
yang berperan yaitu faktor agresif dan faktor defensif. Faktor agresif yaitu H. pylori, obat
nonsteroid antiinflamasi (OAINS), sedangkan faktor defensifyaitu: 2
• Faktor preepitel:
Mukus dan bikarbonat: untuk menahan pengaruh asam lam bung atau pepsin
Mucoid cap: struktur terdiri dari mucus dan fibrin yang terbentuk sebagai
respon terhadap rangsangan inflamasi
Active surface phospholipid: meningkatkan hidrofobisitas membran sel dan
meningkatkan viskositas mukus.
Panduan Praktis llinis
CPerhimpuna~ bolder Speslolls Penyak(tbotamlndonesla.
• Faktor epitel:
Kecepatan perbaikan mukosa rusak
Pertahanan seluler
Kemampuan transporter asam-basa
Faktor pertumbuhan, prostaglandin, dan nitrit oksida
• Faktor subepitel
Aliran darah (mikrosirkulasi)
Prostaglandin endogen
Faktor lain yaitu stres beperan sebagai faktor agresif dan defensif. Stress ulcer
merupakan erosi mukosa lambung atau timbulnya ulkus dengan perdarahan pada
pasien penderita syok, sepsis, luka bakar masif, trauma berat, atau cedera kepala.
Ulkus paling banyak terjadi pada daerah fundus dan corpus yang merupakan lokasi
produksi asam lambung. Peningkatan asam lambung juga menjadi faktor penyebab
khususnya pada pasien dengan trauma kepala (Cushing's ulcer) dan luka bakar berat
(Curling's ulcer), selain itu iskemik mukosa lambung dan rusaknya jaringan mukosa
juga berperan dalam terjadinya stress ulcer. 2
DIAGNOSIS
Diagnosis tukak duodenum dan tukak gaster yaitu: 2•3
Rapid urease 80-95 95-100 Simpel. False negative: PPI. antibiotik, komponen
bismut
Histologi 80790 >95 Membutuhkan proses pewarnaan
"" Kultur "-··-
-
~'- ·- -· .. , ' Mdhol.febih sulit, terganh)ng keahlidn, dapat
memberikan informasi resistensi terhadap
antibiotik
Serologi >80 >90 Murah, tida berg una untuk follow up awol.
Urea breath >90 >90 Simpel, cepat, berguna untuk follow up. awal.
test False negatives dengan PPI. antibiotik, komponen
bismut
Stool antigen >90 >90 Murah, nyaman untuk pasien
I .I
I Tanda bahaya*
I
··-·-···
l
Terapi empiris
I
Ya Rujuk
Respon setelah
I Endoskopi SCBA 14
I 2 minggu I ~
ITemuan menjelaskanl
gejala I
IApabila ada indikasi: parasit dan darah samar tinja, I
kimia darah, dan/atau pencitraan abdomen
!
I Hasil pemeriksaan I I
I Dispepsia organik I 1 menjelaskan gejala 1
: Dispepsia fungsional
Keterangan:
*Tanda bahaya: penurunan beret badan (unintended), disfagia progresif. muntah rekuren/persisten, perdarahan saluran cerna, anemia,
de mom, massa daerah abdomen bagian atas. riwayat keluarga kanker lambung, dispepsia awitan baru pada pasien >45 tahun.
PF: pemeriksaan fisik, SCBA: sa luran cema bagian alas.
DIAGNOSIS BANDING 4
• Akalasia
• Penyakit refluks gastroesofagus
• Pankreatitis
• Hepatitis
• Kolesistitis
• Kolik bilier
• Keganasan esofagus atau gaster
• Inferior myocardial infarction
• Referred pain (pleuritis,perikarditis)
• Sindrom arteri mesenterium superior Terapi
TATALAKSANA
2
Tanpa Komplikasi
• Suportif: nutrisi
• Memperbaiki atau menghindari faktor risiko
• Pemberian obat-obatan:
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lam bung (PPI
misalnya omeprazol, rabeprazol dan lansoprazol danjatau HZ-Receptor Antagonist
[H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipid,teprenon, sukralfat),
di mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan
pasien sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja melalui
down-regulation proton pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang
lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411,6
Dengan Komplikasi
Pad a tukak peptik yang berdarah dilakukan penatalaksanaan umum a tau suportif
sesuai dengan penatalaksanaan hematemesis melena secara umum. 2
2
Talaksanaan atau tindakan khusus:
• Tindakan a tau terapi hemostatikper endoskopik dengan adrenalin dan etoksisklerol
atau obat fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan klipping, heat
probe atau terapi laser atau terapi koagulasi listrik atau bipolar probe.
• Pemberian obat somatostatin jangka pendek.
• Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi.
• Terapi bedah atau operasi, bila setelah semua pengobatan terse but dilaksanakan
tetap masuk dalam keadaan gawat I s.d. II maka pasien masuk dalam indikasi
operasi (Lihat pada Bab Hematemesis-Melena)
KOMPLIKASI 4
• Perdarahan: hematemesis, melena disertai tanda syok jika perdarahan masif
• Anemia defisiensi besi jika perdarahan tersembunyi
• Perforasi
• Penetrasi tukak yang dapat mengenai pankreas
• Obstruksi atau stenosis
• Keganasan: jarang
Tabel 3. Obat-obatan untuk Ulkus Peptikum 2
Obat Contoh Do sis
Acid-suppressing drugs Antasida 100-140 meq/1. 1 dan 3 jam setelah makan.
H2 receptor antagonists Simetidin 400 mg bid
Ranitidin 300mghs
Famotidin 40 mghs
Nizatidin 300 mghs
Proton pump inhibitors Omeprazole 20mg/d
Lansoprazole 30mg/d
Rabeprazole 20mg/d
Pantoprazole 40mg/d
Esomeprazole 20 mg/d
Mucosal protective agents Sukralfat 1 gqid
Teprenone 50 mg tid
Rebamipide 100mg tid
Prostaglandin analogue Misoprostol 200g qid
Dosl.s J)qrqSI
LINI PERTAMA
PPI* 2x1 7-14hari
Amoksisilin 1000 mg (2x1)
Klaritromisin 500mg (2x1)
Di daerah yang diketahui resistensi klarHromisin >20%:
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : DepartemenPenyakit Dalam ( RS tertentu )
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Oustamanolakis P, Tack J. Dyspepsia: Organic Versus Functional. Journal of Clinical
Gastroenterology. 2012;46(3): 175--90.
2. Valle JD. Peptic Ulcer Disease. In: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine 18th ed. New
York: The McGraw-Hill Companies, 2012.
3. Tarigan Pengarepan. Tukak Gaster. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata
M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing;
2010: Hal513-522
4. Akil HAM. Tukak Duodenum. Dalam: Alwi L Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo
AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 2010: Hal523-8.
5. DyspepsiaManageemntGuidelines.British Society of Gastroenterology. 2002. Dunduh dari
www. bsg.org.uk/pdf_word_docs/dyspepsia.doc pada tanggal7 Mei 2012.
6. Kolopaking MS, Makmun D, Abdullah M, et al. Konsensus nasional penatalaksanaan dispepsia
dan infeksi He/icobacter pylori. Jakarta, 2014.
7. NHS. Dyspepsia-proven peptic ulcer-whati,s the prognosis? Diunduhdarihttp:/ /www.
c ks .n hs. u k/ dyspepsia_proven_peptic_ulcer / backgrou nd_information /prognosis.
pada tgnggal 7 mei 2012
TUMOR GASTER
PENGERTIAN
Tumor merupakan salah satu dari lima karakteristik inflamasi berasal dari bahasa
latin, yang berarti bengkak. lstilah tumor ini digunakan untuk menggambarkan
pertumbuhan biologi jaringan tidak normal. Karsinoma gaster adalah pertumbuhan
abnormal secara tidak terkontrol dari sel-sel pada gaster, yang membentuk masa
(tumorJ.l Klasifikasi tumor gaster dapat dilihat pada gam bar 1.
I
Tumor Gaster
I
I
I
I Mukosa
I Non mukosa
I
I
I I l
Non neoplastik polip II Neoplastik polip
I I mesenkim
lI vaskular
I
I I I
Tidak berkaitan Berkaitan dengan Gastrointestinal stromal Hemangioma,
dengan sindrom sindrom polyposis tumor {GIST) lymphangioma I
polyposis Lipoma, fibroma, glomus
tumor
Anamnesis
Berat badan turun, nyeri epigastrium, muntah, keluhan pencernaan, anoreksia,
disfagia, nausea, kelemahan, sendawa, hematemesis, regurgitasi, dan cepat kenyang. 1
Faktor risiko kanker gaster: diet tinggi garam, nitrat (pengawet makanan), obesitas,
merokok, hormon reproduksi, riwayat kanker pada keluarga, riwayat ulkus gaster. 3
Pemeriksaan Fisik
Mungkin ditemukan adanya masa didaerah epigastrium. Jika sudah metastasis ke
hati maka hati teraba ireguler, teraba pembesaran kelenjar limfe klavikula. 1
Pemeriksaan Penunjang 1
• Radiologi
• USG abdomen
• Gastroskopi dan biopsi: curiga ganas jika ditemukan mukosa merah, erosi pada
permukaan dan tidak adanya pedikle.
• Endoskopi ultrasound
• Pemeriksaan darah pada tinja, darah samar (+), test benzidin
• Sitologi: pemeriksaan papanicolaou dari cairan lambung.
DIAGNOSIS BANDING 1
Karsinoma esofagus
TATALAKSANA 1
Beberapa tatalaksana yang dapat dilakukan:
1. Pembedahan: reseksi tumor dan jaringan sekitar, pengambilan kelenjar linfe
2. Kemoterapi: SFU, trimetroxote, mitomisin C, hidrourea, epirubisin, dan karmisetin
3. Radiasi
KOMPLIKASI
Perforasi, hematemesis, obstruksi, adhesi, metastasis.
PROGNOSIS
Faktor yang menentukan prognosis adalah derajat invasi dinding gaster, adanya
penyebaran ke kelenjar limfe, metastasis di peritoneum dan tempat lain. 1 Kanker
gaster lanjut memiliki rata-rata bertahan dalam 5 tahun sebesar 60-80%, tumor
yang menginvasi subserosa memiliki angka bertahan 5 tahun sebesar SO%. Pacta
pasien dimana kelenjar limfe telah terkena sekitar 16 kelenjar limfe, angka bertahan
5 tahun adalah 44%, sementara apabila yang terkena 7-15 kelenjar limfe maka angka
bertahannya sekitar 30%. Pacta GIST, Pacta MALToma, angka bertahan 5 tahun sebesar
99% pacta kelompok risiko rendah, 85-88% pacta kelompok risiko sedang dan 27%
pacta kelompok risiko tinggi. Pacta GIST, angka kekambuhan pacta risiko rendah adalah
2,4%, 1,9% pacta risiko sedang dan 62,5% pacta risiko tinggi. Penggolongan tingkat
risiko pacta GIST, dapat dilihat pacta tabel1. 3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi- Onkologi Medik- Departemen Penyakit
Dalam, Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah, ICU j
Medical High Care
• RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
REFERENSI
1. Julius. Tumor Gaster. Dalam Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010:576-580.
2. Park DY, Lauwers GY. Gastric polyps: classification and management. Arch Pathol Lab Med.
2008;132(4) :633-40.
3. Bearzi I, Mandolesi A Arduini F, Costagliola A Ranaldi R. Gastrointestinal stromal tumor. A study
of 158 cases: clinicopathological features and prognostic factors. Anal Quant Cytol Histol.
2006;28(3) :137-47.
TUMOR KOLOREKTAL
PENGERTIAN
Tumor kolorektal dapat dibagi dalam dua kelompok yakni polip kolon dan kanker
kolon. Po lip adalah tonjolan diatas permukaan mukosa. Makna klinis yang penting dari
polip ada dua yakni pertama kemungkinan mengalami transformasi menjadi kanker
kolorektal dan kedua dengan tindakan pengangkatan polip, kanker kolorektal dapat
dicegah. 1 Faktor risiko kanker kolorektal: 2
1. Umur risiko terkena kanker kolorektal meningkat dengan bertambahnya usia.
Kebanyakan kasus terjadi pacta usia 60- 70 an tahun.
2. Adanya polip (tumor jinak) pacta usus besar, polip (terutama adenomatous).
3. Riwayat kanker: wanita yang memiliki kanker ovarium, rahim, atau payudara juga
berisiko tinggi terserang penyakit kanker kolorektal.
4. Adanya riwayat kanker usus besar pacta keluarga, terutama keluarga de kat (atau
bisa juga beberapa kerabat) yangterkena sebelum usia 55 tahun bisa meningkatkan
resiko kanker ini. Selain itu, keberadaan Familial adenomatous polyposis (FAP)
membawa resiko yang mendekati 100% terkena kanker kolorektal pacta usia 40
tahun jika tidak diobati. Juga perlu diperhatikan bahwa Hereditary nonpolyposis
colorectal cancer (HNPCC) atau syndrome Lynch, yaitu kondisi genetik autosomal
dominan yang memiliki risiko tinggi kanker usus besar serta kanker lainnya.
5. Merokok. Perokok lebih cenderung meninggal karena kanker kolorektal
dibandingkan non-perokok. Sebuah studi American Cancer Society menemukan
bahwa wanita yang merokok lebih dari 40% lebih cenderung meninggal karena
kanker kolorektal dibandingkan wanita yang tidak pernah merokok, sedangkan
pria perokok memiliki lebih dari 30% peningkatan risiko kematian akibat penyakit
ini dibanding laki-laki yang tidak pernah merokok.
6. Makanan. Studi menunjukkan bahwa konsumsi tinggi daging merah dan kurang
mengkonsumsi buah segar, sayuran, ikan, dan unggas meningkatkan resiko terkena
kanker kolorektal.
7. Fisik tidak aktif.
8. Primary sclerosing cholangitis (PSC) - penyakit hati kronis - membuka peluang
terkena risiko independen untuk colitis ulseratif.
9. Radang usus. Sekitar satu persen pasien kanker kolorektal memiliki riwayat
a ulcerative colitis kronis.
10. Alkohol. terutama peminum berat, dapat memiliki risiko terkena kanker ini
(khususnya pacta pria). NIAAA (melalui studi epidemiologi) telah menemukan
hubungan dosis kecil (tapi konsistenjsering) minuman ber-alkohol dengan kanker
kolorektal (walaupun peminum itu juga mengkonsumsi makanan serattinggi dan
rendah lemak).
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1
1. Perubahan pola huang air besar, perdarahan per anus (hematokezia, dan
konstipasi).
2. Gejala obstruksi:
a. Parsial: nyeri abdomen
b. Total: nausea, muntah, distensi, dan obstipasi
3. Invasi lokal bisa menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih
berulang, dan obstruksi urethra.
4. Anamnesa adanya faktor risiko kanker kolorektal seperti tercantum diatas.
Pemeriksaan Fisik2
Dapat ditemukan mas a yang nyeri pad a abdomen. Nyeri dapat menjalar ke pinggul
sampai tungkai atas. Bila ada obstruksi dapat ditemukan distensi abdomen. Tumor
pacta kolon kiri lebih sering menyebabkan gejala obstruksi. Metastasis paling sering
ke organ hati, dapat ditemukan hati teraba ireguler.
Pemeriksaan Penunjang 1
• Laboratorium: perdarahan intermitten dan polip yang besar dapat dideteksi melalui
darah samar feses atau anemia defisiensi Fe.
• Radiologi; Kolonoskopi
• Evaluasihistologi: gambaranatipikberat menunjukkan adanya fokuskarsinomatous
yang belum menyentuh membrane basalis. Bilamana sel ganas men em bus membrane
basalis tapi tidak melewati muskularis mukosa disebut karsinoma intra mukosa.
Berikut dijelaskan mengenai strategi penapisan kanker kolorektal.
-·.,;
DIAGNOSIS BANDING 4
Tumor Retrorektal, Volvulus, Prolaps rekti
TATALAKSANA 1
1. Kemoprevensi: obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) termasuk aspirin. Beberapa
OAINS seperti sulindac dan celecoxib telah terbukti secara efektif menurunkan
insidens berulangnya adenoma pada pasien dengan FAP (Familial Adenomatus
Polyposis)
2. Endoskopi dan operasi
• Bila ukuran < 5 mm maka pengangkatan cukup dengan biopsy atau
elektrokoagulasi bipolar
• Hemikolektomi apabila tumor di caecum, kolon ascending, kolon transfersum
tetapi lesi di fleksura lienalis dan kolon desending
• Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR
(Low Anterior Resection)
3. Terapi ajuvan
SFU (pada Dukes C), irnotecan (CPT 11) inhibitor topoisomer, Oxaliplatin.
Manajemen kanker kolorektal yang non reseksibel:
• Nd-YAG foto koagulasi laser
• Self expanding metal endoluminal stent
KOMPLIKASI
1. Perdarahan masif dapat menyebabkan anemia defisiensi besi,
2. Metastase
PROGNOSIS
Pada Familial adenomatous Polyposis, kemungkinan berkembang menjadi kanker
noncolorektal adalah 11% pada usia 50 tahun dan 52% pada usia 75 tahun. 5 Pada
kanker kolorektal, prognosis tergantung pada stadium kanker. Lebih lengkapnya
dapat dilihat pada tabel 1.
label 1. Strategi Penapisan Kanker KolorektaP
Rekomendasi Keterangan
Pasien dengan risiko umum
Asimptomatik ~50 tahun Kolonoskopi setiap 10 tahun Pertimbangkan strategi
t (pada afrika-amerika ~ 45) pencegahan kanker
Tes fecal immunochemical setiap Strategi deteksi kanker, gaga!
tahun, pemeriksaan fecal DNA mendeteksi polip lain atau
setiap 3 tahun kanker lain
CT colonografi setiap 5 tahun Perkembangan teknologi
Flexible sigmoidoscopy setiap 5 Gaga! mendeteksi polip kolon
tahun proksimal dan kanker
Double-contrast barium enema Kurang sensitif dari kolonoskopi
setiap 5 tahun atau CT colonografi, terlewatkan
beberapa polip rektosigmoid
dan kanker.
Riwayat kanker/polip kolorektal
1 atau 2 adenoma kecil Ulang Kolonoskopi dalam 5 Dengan asumsi reseksi polip
(<1cm) dengan dysplasia tahun komplit
stadium rendah
3-9 adenoma, atau Ulang kolonoskopi dalam 3 Dengan asumsi reseksi polip
berapapun jumlahnya dengan tahun, kolonoskopi berikutnya komplit
ukuran > 1em atau memiliki tergantung penemuan
dysplasia stadium tinggi atau
villus features
~10 adenoma Kolonoskopi , 3 tahun tergantung Pertimbangkan evaluasi FAP
keputusan klinis atauHNPCC
Piecemeal removal pada Pemeriksaan dalam 2-6 bulan
sessile polyp untuk mengecek tuntasnya
pengambilan
Polip hiperplastik kecil (<1 em) Kolonoskopi dalam 10 tahun
pad a sigmois atau rektum
>2 serrated polyp, atau Ulangi kolonoskopi dalam 3
berapapun serrated polyp tahun
atau polip hiperplastik ~ 1 em
Pengangkatan serrated polip ~ Pemeriksaan dalam 2-6 bulan
1 em yang tidak komplit untuk mengecek tuntasnya
pengambilan
Kanker kolon Evaluasi keseluruhan kolon
selama reseksi. lalu ulang
kolonoskopi dalam 3 tahun
Inflammatory Bowel Disease
Colitis ulseratif lama (>8 tahun) Kolonoskopi dengan biopsi
atau crohn's colitis, atau colitis setiap 1-3 tahun
ulseratif sisi kiri > 15 tahun
Riwayat pollp atau kanker kolorektal pada keluarga
Keluarga derajat pertama Soma seperti risiko umum
cj~_n_g_go__ q_cj~n()rna_tu_bt,JLqr__~~g_ij________ __________________ _
Rekomeridasl Keterang~n
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik- Departemen Penyakit
Dalam, Divisi Bedah Digestif- Departemen Bedah
• RS non pendidikan : Bagian Bedah
REFERENSI
1. Abdullah, M. Tumor kolorektal. In: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku
Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal 5567-75.
2. Cohen, AM. Colorectal tumors. Oxford Textbook of Surgery 2nd Edition.
3. Gastrointestinal endoscopy. In: Fauci A. Kasper D. Longo D. Braunwald E, Hauser S, Jameson
J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine 18th ed. United New York: The
McGraw-Hill Companies, 2012.
4. Colon, rectum and anus. In: Brunicandi. Charles F. Schwartz's Principles of Surgery 8th Edition.
Chapter 28.
5. Wehbi M. Familial adenomatous polyposis. Diunduh dari: http://emedicine. medscape.com/
article/l75377-followup#a2650
216
PENATALAKSANAAN
Dl BIDANG ILMU PENYAKIT DAlAM
PANDUAN
PRAKTIK
KLINIS
HEPATO-~
Batu Sistem Bilier ...........................~~··~·· ······
Hepatitis lmbas Obat ........................r. ...................................,.
PENGERTIAN
Abses hati adalah rongga patologis yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi
bakteri, parasit, jamur, yang bersumber dari saluran cerna, yang ditandai adanya
proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik,
sel-sel inflamasi, atau sel darah di dalam parenkim hati. Abses hati dapat terbentuk
soliter atau multi pel dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat
terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Abses hati terbagi 2 yaitu abses hati
amebik (AHA) dan piogenik (AHP). 1•2
Abses hati piogenik adalah rongga supuratifpada hati yang timbul dalam jaringan
hati akibat infeksi bakteri seperti enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci,
anaerobic streptococci, klebsiella pneumonia; bacteroides,fusobacterium, staphylococcus
au reus, salmonella typhi. Sedangkan abses hati amebik disebabkan infeksi Entamoeba
histolytica Abses hati amebik lebih banyak terjadi pada laki-laki dan jarang pada
anak-anak 2
Abses hati piogenik dapat terjadi karena beberapa mekanisme:
• Infeksi dari traktur bilier (kolangitis, kolesistitis) a tau dari fokus septik sekitarnya
(pylephlebitis)
• Komplikasi lanjut dari sfingterektomi endoskopik untuk batu saluran empedu
atau 3-6 minggu setelah operasi anastomosis bilier-intestinal.
• Komplikasi bakteremia dari penyakit abdomen seperti divertikulitis, apendisitis,
ulkus peptikum perforasi, keganasan saluran cerna, inflammatory bowel disease,
peritonitis, endokarditis bakteria, atau penetrasi benda asing melalui din ding kolon.
• 40 % abses hati piogenik tidak diketahui sumber infeksinya. Adanya flora dalam
mulut diduga menjadi penyebabnya, terutama pada pasien dengan penyakit
periodontal berat.
Sedangkan abses hati amebik terjadi karena 2
• Entamoeba histolytica keluar sebagai trofozoit atau bentuk kista. Setelah terinfeksi,
kista melewati saluran pencernaan dan menjadi trofozoit di kolon, lalu menginvasi
mukosa dan menyebabkan ulkus flask shaped. Selanjutnya organisme dibawa
~Panduan Pralltikllillis
t:_p'emimbtmbn·i'"lnH~sPesi_alis Penyakit OatCnl !Od.on~sio
menuju hati dan dapat menyebabkan abses di paru-paru atau otak. Abses hati
dapat ruptur ke dalam pleura, perikardium, dan rongga peritoneum .
• DIAGNOSIS
Anamnesis Demam, nyeri spontan perut kanan atas, Periode Iaten ontara infeksi
pasien jalan membungkuk ke depan interstinal dan infeksi hati
dengan kedua tangan diletakkan di dapat berlangsung beberapa
atasnya. Jika letaknya dekat dengan minggu. Kurang dari 10% kasus
diafragma dapat terjadi iritasi diafragma mengeluhkan adanya diare
sehingga te~adi nyeri pada bahu kanan, berdarah karena disentri amebik.
batuk, ataupun atelektasis. Gejala lain Keluhan lain yaitu nyeri perut
yaitu mual, muntah, penurunan berat terlokalisisr pada kuadran kanan
badan, berkurangnya nafsu makan, atas. Demam dapat te~adi
disertai malaise, ikterus, buang air besar intermiten. Malaise, mialgia, dan
seperti dempul, dan buang air kecil artralgia. Dapat ditemukan keluhan
berwarna gelap. paru-paru. lkterikjarang ditemukan
dan jika'ada ikterik merupakan
penanda prognosis buruk.
Pemeriksaan Peningkatan suhu tubuh, ikterus, Pasien cenderung untuk tidur
fisik hepatomegali yang nyeri tekan, nyeri dengan posisi miring ke kiri.
tekan perut kanan atas. Jika AHP telah Peningkatan suhu tubuh dan
kronik dapat ditemukan asites dan tanda- menggigil < 10 hari, ikterik, nyeri
tanda hipertensi portal. tekan abdomen yang dapat
menjalar dengan batuk atau
inspirasi dalam dan sering dirasakan
pada malam harL terlihat ada masa
di kuadran kanan atas abdomen,
terdengar friction rub di hati.
Pemerlksaan • DPL: leukositosis, pergeseran ke kirL Seperti pada abses hati piogenik
penunjang anemia, peningkatan laju endap darah • Tes serologis: ELISA dan
(LED) hemaglutinasi indirek,
• Alkali fosfatase, enzim transaminase, dan cellulose acetate precipitin,
serum bilirubin: meningkat counterimmunoelectrophoresis,
• Albumin serum: dapat menurun antibodi immunofluorescent, dan
• Waktu protrombin: dapat memanjang rapid latex agglutination tests.
• Tes serologis: untuk menyingkirkan Serum antibodi dapat bertahan
diagnosis banding sampai setahun setelah sembuh.
• Kultur darah Sensitivitas dan spesifisitas
• Foto toraks: diafragma kanan meninggi, pemeriksaan ini mencapai 95%
efusi pleura, atelektasis bilier, empiema, dan >95%. Hasil false negative
atau abses paru, Pada posisi PA sudut dapat te~adi pada 10 hari
kardiofrenikus tertutup, pada posisi pertama infeksi.
lateral sudut kostofrenikus anterior • Pemeriksaan PCR untuk
tertutup. Di bawah diafragma terlihat air mendeteksi DNA amuba ELISA
fuid level. untuk mendeteksi antigen amuba
• Foto polos abdomen pada serum.
• Organisme dapat diisolasi di tinja
hanya padEJ 50% kasus,
• Angiografik: daerah avaskular
• CT scan abdomen:dapat mendeteksi
lesi ukuran <1 em, lesi hipodens. Dapat • lmajing tidak dapat membedakan
menetukan lokasi abses, hubungan abses disebabkan oleh amuba
dengan struktur jaringan sekitarnya, dan atau kuman piogenik.
mendeteksi adakah udara dalam abses • Ultrasonography abdomen:
(berhubungan dengan meningkatnya sering di lobus kanan, single, dan
angka mortalitas). 2 berdekatan dengan diafragma.
• MRI abdomen:
• Ultrasonography abdomen: dapat
digunakan untuk aspirasi cairan pus
DIAGNOSIS BANDING
Hepatoma, kolesistitis, tuberkulosis hati, aktinomikosis hati
TATALAKSANA
KOMPLIKASI
PROGNOSIS
Jika diterapi dengan antibiotika yang sesuai dan dilakukan drainase, angka kematian
adalah 10-16%. Abses piogenik yang unilokular abses di lobus kanan hati mempunyai
prognosis lebih baik dengan angka harapan hidup 90%. Jika abses multipel terutama
yang mengenai traktur bilier, akan mempunyai prognosis lebih buruk.
Pada abses amebik yang berada di lobus kiri lebih besar kemungkinan ruptur ke
peritoneum. Prognosis buruk jika terjadi keterlambatan diagnosis dan penanganan
serta hasil kultur memperlihatkan adanya bakteri yang multipel, tidak dilakukan
drainase, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleura, atau adanya penyakit lain
seperti keganasan bilier, disfungsi multiorgan, sepsis. 1
PENGERTIAN
Pembentukan batu pada sistem bilier, baik di kandung empedu (kolesistolitiasis)
maupun di saluran empedu (koledokolitiasis). Menurut gambaran makroskopik dan
kimiawinya batu empedu dibagi menjadi: batu kolesterol (komposisi kolesterol > 70%),
batu pigmen coklat atau batu calcium bilirubinate dan batu pigmen hitam. Insiden
terjadinya batu di duktus koledokus meningkat dengan seiringnya usia (25% pada
pasien usia lanjut). 1•2 Faktor risiko terbentuknya batu: 3
• Usia dan jenis kelamin: batu kolesterol jarang sering terjadi pada anak-anak dan
remaja, insiden meningkat sesuai pertambahan usia dan wanita lebih banyak terkena
daripada laki-laki. Pada wanita usia 70 tahun insiden meningkat sampai 50%.
• Diit: makanan mengandung tinggi kalori, kolesterol, asam lemak tersaturasi,
karbohidrat, protein, dan garam dengan jumlah serat yang rendah meningkatkan
insiden batu empedu.
• Kehamilan dan paritas: kehamilan meningkatkan risiko terjadinya biliary sludge
dan batu empedu. Selama kehamilan, empedu menjadi lebih lithogenic karena
peningkatan kadar estrogen sehingga terjadi peningkatan sekresi kolesterol
dan supersaturated bile. Selain itu hipomotilitas kendung empedu menyebabkan
peningkatan volume dan stasis empedu.
• Penurunan be rat badan terlalu cepat menyebabkan peningkatan sekresi kolesterol
oleh hati selama restriksi kalori, peningkatan produksi musin oleh kandung
empedu, dan gangguan motilitas kandung empedu. Sebagai profilaksis dapat
diberikan Ursodeoxy Cholic Acid (UDCA) 600 mg setiap hari
• Total parenteral nutrition (TPN) dalam jangka waktu lama akan menyebabkan
gangguan pada relaksasi sfingter Oddi sehingga menimbulkan aliran ke kandung
empedu. Sebagai profilaksis dapat diberikan cholecystokinin (CCK} octapeptide 2
kali sehari intravena.
• Biliary sludge: mencetuskan kristalisasi dan glomerasi kristal kolesterol dan
mempresipitasi kalsium bilirubinat.
• Obat-obatan: estrogen, clofibrate, oktreotid (analog somatostatin), seftriakson.
• Abnormalitas metabolisme lemak: hipertrigliseridemia berhubungan dengan
peningkatan insiden batu empedu.
• Penyakit sistemik: obesitas, diabetes melitus, penyakit crohn
• Trauma saraf spinal: diperkirakan meningkatkan risiko batu empedu karena gangguan
relaksasi kandung empedu menyebabkan meningkatnya risiko stasis empedu.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Biasanya asimtomatik, ada juga yang menimbulkan keluhan kolik bilier, yakni
nyeri di perut bagian atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam.u
Pemeriksaan fisik
Ikterus, nyeri epigastrium, dan tanda-tanda komplikasi seperti kolesistitis,
kolangitis. 1-3
DIAGNOSIS BANDING
• kolesistolitiasis: tumor kandung empedu, sludge, polip.
• Koledokolitiasis: tumor saluran bilier
TATALAKSANA
13
Kolelitiasis -
Koledokolitiasis 2
• Kolesistektomi baik secara laparoskopik maupun endoskopik (ERCP) dikerjakan
pacta pasien:
Gejala cukup sering maupun cukup be rat hingga mengganggu aktifitas sehari-hari.
Adanya komplikasi batu saluran empedu
Adanya faktor predisposisi pacta pasien untuk terjadinya komplikasi
• Terapi farmakologik dengan menggunakan Ursodeoxy Cholic Acid (UDCA) untuk
mencegah dan mengobati batu kolesterol dosis 8-10 mgjhari selama 6 bulan
sampai 2 tahun, persentase keberhasilan lebih baik pacta batu diameter< 10 mm.1,2
Kriteria untuk diberikan terapi farmakologik:
KOMPLIKASI
Kolesistitis akut, kolangitis, apendisitis, pankreatitis, secondary biliary cirrhosis. 1•2•3
PROGNOSIS
Adanya obstruksi dan infeksi di dalam saluran bilier dapat menyebabkan kematian.
Akan tetapi dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, prognosis
umumnya baik.
UNITY ANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero-
Hepatologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1. Lesmana L.A. Penyakit Batu Empedu. Dalam: Sudoyo A.W., Setyohadi B., ldrus 1., dkk. Buku Ajar
llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010. h.721-6.
2. Greenberger NJ. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts. In: Fauci AS, Kasper DL Longo DL
Braunwald E, Lauser SL Jameson JJ, et al, eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi
ke-17. New York: McGraw-Hill2008. Chapter 311.
3. Wang DQ, Afdhal NH. Gallstone Disease. In: Feldman M, Friedman L, Brandt L. Sleisenger and
Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis/Management. 9'h ed.
USA: Elsevier. Chapter 66.
HEPATITIS IMBAS OBAT
PENGERTIAN
Hepatitis imbas obat atau yang sekarang lebih dikenal dengan drug-induced liver
injury (DILl) merupakan suatu peradangan pada hati yang terjadi akibat reaksi efek
sam ping obat atau hepatic drug reactions ketika mengkonsumsi obattertentu. Hepatitis
imbas obat merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit hati akut maupun
kronis. 1 Pada umumnya, ada 2 tipe hepatotoksisitas utama yaitu toksik langsung
(direct toxic) dan idiosinkrasi. Hepatitis toksik langsung dapat diduga terjadinya pad a
individu yang terpapar dengan obat tertentu dan tergantung dosis (dose dependent).
Periode Iaten antara paparan dan jejas hati biasanya singkat (seringkali hanya
beberapa jam), meskipun manifestasi klinisnya dapat terlambat 24-48 jam. 2 Faktor
risiko hepatotoksisitas imbas obat tercantum pada tabell.
DIAGNOSIS
Anamnesis 4
• Riwayat konsumsi obat atau jamu dalam 5-90 hari terakhir
• Tanggal mulai dan tanggal berhenti konsumsi untuk tiap obat dan jamu
• Riwayat hepatotoksisitas dan konsumsi obat yang dimaksud
• Onset gejala (demam, ruam, Ielah, nyeri perut, nafsu makan menurun)
• Penyakit lainnya, dari obat yang dikonsumsi
• Episode hipotensi akut
Pemeriksaan Fisik4
• Ikterik, ruam, demam, klinis adanya pruritus
• Hepatomegali, splenomegali
• Stigmata penyakit hati kronis
Pemeriksaan Penunjang 4
• Laboratorium
Rutin: darah perifer Iengkap dan hitung jenis leukosit (ditemukan gambaran
eosinofilia), trombosit protein total, albumin/globulin, prothrombin time (PT)/
INR, kreatinin
Kimia hati: SGOT, SGPT, alkali fosfatase, bilirubin totaljdirek, gamma GT
Serologis: IgM anti-HAV, HBsAg, IgM anti-HCV, HCV RNA, anti-HEV, anti-EBV,
anti-CMV
Autoantibodi: antibodi antinuklear, antibodi otot polos, antibodi
antimitokondrial
Khusus: serum besi, ferritin, ceruloplasmin, a-1-antitrypsin
• Radiologis: USG, CT scan, MRI/MRCP (atas indikasi)
• Biopsi hati, dengan indikasi :
Apabila hubungan temporal antara konsumsi agen hepatotoksik dengan onset
jejas hati tidak jelas 1
Tabel 2. Terminologi Jejas Hati lmbas Obat menurut Kriteria Konsensus CIOMS 5
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis viral akut, hepatitis autoimun, syok hati, kolesistitis, kolangitis, sind rom
Budd-Chiari, penyakit hati alkoholik, penyakit hati kolestatik, kondisi hati yang
berhubungan dengan kehamilan, keganasan, penyakit Wilson, hemokromatosis,
gangguan koagulasi. 1A
TATALAKSANA
Terapi sebagian besar bersifat suportif, kecuali pada hepatotoksisitas
acetaminophen. Pada pasien dengan hepatitis fulminan akibat hepatotoksisitas obat,
maka transplantasi hati dapat menyelamatkan nyawa. Penghentian konsumsi dari
agen yang dicurigai diindikasikan pada tanda pertama terjadinya reaksi simpang obat.
Pada kasus toksin direk, keterlibatan hati sebaiknya juga diperhatikan keterlibatan
ginjal atau organ lain, yang juga dapat mengancam nyawa. Glukokortikoid untuk
hepatotoksisitas obat dengan gambaran alergi, silibinin untuk keracunan jamur
hepatotoksik, dan ursodeoxycholic acid untuk hepatotoksisitas obat kolestatik tidak
dianjurkan. 2
KOMPLIKASI
Gaga! hati sampai dengan kematian.
PROGNOSIS
Tergantung etiologi dan respons terapi. Pada sebagian besar kasus, fungsi hati
akan kembali normal apabila obat dihentikan.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Teoh NC, Chitturi S, Farrell GC. Liver Disease Caused by Drugs. In : Feldman M, Friedman LS,
Brandt LJ. Sleisenger and Fordtrand's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th Edition. Philadelphia:
Saunders, Elsevier. 2010. Hal1431-9.
2. Dienstag J. Toxic and Drug-Induced Hepatitis. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-
Hill. 2012.
3. Mitchell S, Hilmer SN. Drug-induced liver injury in older adults. Therapeutic Advances in Drug
Safety 201 O; 1:65.
4. Seeff LB, Fontana RJ. Drug-Induced Liver lnjury.ln: Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK, et al. Sherlock's
Diseases of the Liver and Biliary System. 12th Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. 2011
HEPATITIS VIRUS AKUT
PENGERTIAN
Hepatitis virus akut adalah inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang
berlangsung selama < 6 bulan. 1
DIAGNOSIS
Anamnesis
Anoreksia, nausea, muntah,fatique, malaise, atralgia, myalgia, sakit kepala, 1-5
hari sebelum ikterus timbul. Urine pekat dan kadang feses seperti dempul. Setelah
ikterus timbul, gejala-gejala diatas menjadi berkurang. Demam tidak terlalu tinggi,
biasa terjadi pada hepatitis A dan E (jarang pada B dan C).
Pemeriksaan Fisik
Ikterus, hepatomegali, splenomegali. 1
Laboratorium
SGOT, SGPT, bilirubin. Serologi hepatitis :
1. Hepatitis A : IgM anti HAV ( +) 3
2. Hepatitis B : dapat dilihat pada tabel 2
3. Hepatitis C: HCV RNA(+) setelah 7-10 hari pajanan, anti HCV (+) 5-10 minggu
setelah pajanan dan dapat bertahan seumur hid up·
4. Hepatitis D : HDV Ag, HDV-RNA and Ig M anti-HDV ( +) sekitar 30-40 hari setelah
gejala awal timbul. 6
5. Hepatitis E: Ig G dan Ig Manti HEV. 3
Tabell. Epidemiologi dan Manifestasi Klinis Hepatitis Virus. 2
Masa inkubasi 15-45, 3G-180, rata 2 6G-90 15-160, rata 2 50 3G-180, rata 2 14-60,
(hari) rata 2 30 6G-90 rata 2 40
Onset Akut Insidious I acute Insidious Insidious I akut Akut
Usia Anak2, Dewasa muda Umurberapa Soma seperti Dew a sa
dewasa (seksual dan aja, tapi HBV muda (20-40
mud a perkutaneus), bayi. umumnya to hun)
bolita pada dewasa
Penularan
Fekal-oral +++ - - - +++
Perkutaneus Tidak +++ +++ +++
biasa
Perinatal - +++ ±" +
Seksual ± ++ ±" ++
Manifestasi Klinis
Keparahan Ringan kadangkala berat Sedang Kadangkala Ringan
be rat
Keganasan 0.1% 0.1-1% 0.1% 5-2Q%b 1-2%•
Progresifitas Tidakada Kadangkala (1-1 0%) Umum (85%) Umumd lidakada
menjadi kronis (90% of neonatal)
Karier lidak ada O.l-30%C 1.5-3.2% Variatif' lidakada
Risiko kanker lidakada + (terutama lnfeksi + ± lidakada
neonatal)
Prognosis Sangat Memburuk Sedang Akut, kronis Baik
baik tergantung usia baik, buruk
IG, vaksin HBIG, vaksin
Profilal<sis Tidakada Vaksin HBV Yaks in
inaktiv recombinant
Keterangan label
a. Primer dengan koinfeksi HIV dan level tinggi viremia pacta index kaus; risiko 5%
b. Hingga 5% pada koinfeksi HBV /HDV akut, sampai dengan 20% pada superinfeksi HDV dari infeksi kronis HBV
c. Tergantung populasi
d. Pada koinfeksi HBV /HDV akut, frekuensi menuju kronis sama seperti HBV; pada superinfeksi HDV, kekronisan tetap
e. Pada wanita hamill0-20%
Urn urn pada Negara mediterania, jarang pad a am erika utara dan eropa barat
Anti-HBs + - + -1+
. Anti~HBG. -- JgManti .TQtoLanti .... JQtaLanti .. . .. . . Total .:1:.
HBC HBC HBC anti HBC
Anti-HBe - + - + -/+
HBeAg + + h+
HBsAg - +
HBV DNA + + (>105) + (<10 5) + (<10 3)
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis akibat obat, hepatitis alkoholik, penyakit saluran empedu, leptospirosis. 2
TATALAKSANA
• Hepatitis A akut: Terapi suportif.3
• Hepatitis B akut
Hepatitis B akut ringan-sedang: Terapi suportif. 6 Tidak ada indikasi terapi anti virus.
Hepatitis B akut berat: pemberian antivirus mungkin dapat dipertimbangkan
Monitor pasien dengan pemeriksaan HBV DNA, HBsAg 3-6 bulan untuk
mengevaluasi perkembangan menjadi hepatitis B kronik. 3
• Hepatitis C akut
Peginterferon alfa-2a (180 11g) atau alfa-2b (1.5 11g/kg) seminggu sekali selama
12 minggu pada genotipe non 1, pada genotipe 1 selama 24 minggu.
• Hepatitis D akut: Terapi suportif. 6 Lamivudine dan obat antiviral, tidak efektif
melawan replikasi virus. 3
• Hepatitis E akut: Terapi suportif.
KOMPLIKASI
Hepatitis fulminan, kolestasis berkepanjangan, hepatitis kronik. 1
PROGNOSIS
• Hepatitis A akut
Biasanya sembuh komplit dalam waktu 3 bulan, tidak menyebabkan hepatitis virus
kronik. Rata-rata angka mortalitas < 0,2%. 3
• Hepatitis B akut
Sekitar 95-99% pasien dewasa penderita hepatitis B yang sebelumnya sehat,
sembuh dengan baik. Pada pasien dengan hepatitis B be rat sehingga harus dirawat,
rata-rata tingkat kematian sebesar 1% tetapi meningkat pada usia lanjut dan yang
memiliki komorbit. Pad a pasien pengguna obat suntik, penderita hepatitis B dan D
secara bersamaan, dilaporkan rata-rata kematian 5%. 2 Risiko berkembang menjadi
kronis tergantung pada usia, yaitu: 90% pada bayi, sekitar 30% pada infant,< 10%
pad a dewasa. 3
• Hepatitis C akut
Sekitar 50-85% berkembang menjadi kronik. 3
• Hepatitis D akut
Risiko fulminant hepatitis pada koinfeksi sekitar 5%. 6
• Hepatitis E akut
Pada wabah hepatitis E di India dan Asia, rata-rata tingkat kematian adalah 1-2%
dan 10-20% pada wanita hamil. 2.4
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Sanityoso, Andri. Hepatitis Viral Akut. Dalam: Sudoyo A Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'" ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bag ian
llmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:644-652.
2. Acute Viral Hepatitis. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'" ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2012.
3. Acute Viral Hepatitis. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders :
Philadhelphia. 2007.
4. Liver and Biliary tract. Dalam : McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A Current Medical
Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.
5. Lisotti A Azzaroli F, Buonfiglioli F, Montagnani M, Alessandrelli F, Mazzella G. Lamivudine treatment
for severe acute HBV hepatitis. lnt J Med Sci 2008; 5(6):309-312. Available from http://www.
rnedsci.org/v05p0309 .htm
6. Heathcote, J. et all. Management of acute viral hepatitis. World Gastroenterology Organisation,
2007.
7. Torbenson M, Thomas DL. Occult Hepatitis B. Lancet Infect Dis 2002;2:479-86.
HEPATITIS B KRONIK
PENGERTIAN
Suatu sindrom klinis dan patologis yg disebabkan oleh virus hepatitis, ditandai
oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pacta hati, dimana seromarker virus
hepatitis positifpada 2 kali pemeriksaan berjarak ~ 6 bulan.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Dapat tanpa keluhan, tetapi dapat juga berupa fatigue, malaise, anoreksia, ikterus
persisten atau intermiten. Faktor risiko penularan virus hepatitis yaitu pengguna
narkoba suntik, infeksi hepatitis 8 pacta ibu, pasangan a tau saudara kandung, penerima
transfusi darah, perilaku seksual risiko tinggi, riwayat tertusuk jarum suntik atau
terkena cairan tubuh pasien berisiko. 2
Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus (jarang). Bila telah
terjadi komplikasi, dapat ditemukan asites, ensefalopati, dan hipersplenisme.
Pemeriksaan penunjang2
• Seromarker hepatitis : HBsAg (+), pemeriksaan selama 6 bulan, Anti- HBc (+), IgM
anti-HBc (-), Anti-HBs (-)
• Aminotransferase meningkat (100-1000 unit), alanin aminotransferase (ALT) lebih
meningkat daripada aspartate aminotransferase (AST), alkali fosfatase normal
atau meningkat ringan.
• Serum bilirubin meningkat (3-10 mgjdL), hipoalbuminemia, protrombin time
(PT) memanjang.
• USG hati: gambaran penyakit hati kronis (inhomogen echostructure, permukaan
mulai ireguler, vena hepatika mulai kaburjterputus-putus), sirosis (parmukaan
hati yang iregular, perenkim noduler, hati mengecil, dapat disertai pembesaran
limpa, pelebaran vena porta), atau adanya karsinoma hepatoselular.
• Biopsi hati: untuk mengetahui derajat nekroinflamasi, harus dilakukan sebelum
memulai terapi antivirus, dan dianjurkan pada pasien dengan SGPT normal.
• Tumor marker karsinoma hepatoseluler: Alfa feto protein (AFP), PIVKA-II
(Prothrombine Induced by Vitamin KAbsence).
• Monitoring untuk deteksi dini kanker hati dan progresivitas penyakit SGOT, SGPT
tiap 1-3 bulan dan USG abdomen dengan AFT tiap 6 bulan.
KRITERIA DIAGNOSTIK
Hepatitis B: dikatakan hepatitis B kronik hila HBsAg positif dalam 2 kali
pemeriksaan berjarak 6 bulan.
DIAGNOSIS BANDING
Perlemakan hati
TATALAKSANA2 ·6
• Interferon: 1x 5 juta unit atau 10 juta unit 3 kali seminggu, subkutan, selama 4-6
bulan untuk HBeAg (+ ), dan setidaknya 1 tahun untuk pasien dengan HBeAg (-),
hila dengan pegylated interferon baik HBeAg (-) dan HBeAg (+) diberikan selama1
tahun
• Lamivudine: 1x100 mg
• Adefovir dipivoxi/: 1 x 10 mg
• PEG IFN a- 2a (monoterapi): 180 gram atau PEG IFN a- 2b 1,5ugjKgBB
• Entecavir: 1x0,5 mg
• Telbivudine: 1x600 mg
• Tenofovir: 1x300 mg
• Thymosin 1 selama 6 bulan
• Lamapemberian antivirus tergantung pada status HBeAg pasien ketika memulai
terapi dan target pencapaian HBV DNA serta HBeAg loss
KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular.
PROGNOSIS
5-year mortality rate adalah 0-2% pada pasien tanpa sirosis, 14-20% pada pasien
dengan sirosis kompensasis, dan 70-86% yang dekompensasi. Risiko sirosis dan
karsinoma hepatoselular berhubungan dengan level serum HBV DNA. 4
HBsAg (+)
HBV DNA < 20.000 IU/ HBV DNA > 20.000 IU/ml
ml (<1 05 kopi/ml) (> 105 kopi/ml)
I
I I I
ALT normal
I
ALT normal ALT 1-2x ULN ALT 2-5x ULN I I ALT >5x ULN I
I I I
ridak ada tera- Tidak ada tera- Terapi jika pe- lndikasi terapi
Tidak ada tera-
pi. pantau HBV pi. pantau HBV nyakit persisten Jika HBV DNA>
pi, pantau HBV
DNA, HbeAg, DNA, HbeAg, DNA. HbeAg, selama 3-6 2x1061U/ml ® obser-
ALT setiap 3-6 ALT setiap 1-3 bulan atau ada vasi serokonversi se-
ALT setiap 3
bulan bulan kecurigaan lama 3 bulan jika ti-
bulan
dekompensasi dak ada kecurigaan
hati. Lini pertama dekompensasi hati.
: interferon, ente- Jika ada dekompen-
covir, tenefovir, sasi hati. rekomedasi
telbivudine. lami- terapi : interferon.
vudine, adelovir. entecovir. tenefovir.
telbivudine. lamivu-
dine, adelovir
I
Biopsi hati jika usia > 40 tahun, terapi I I
jika pada biopsi tampak fibrosis atau Respon Tidak Respon
inflamasi sedang atau membesar
t
Pantau HBV Pertimbangkan
DNA HbeAg, ALT strategi lain
setiap l-3 bulan termasuk
transplantasi hati
Gam bar 1. Algoritme Managemen lnfeksi Hepatitis B Kronik dengan HBsAg Positif. •
HBsAg (-)
I
I I
...
Biopsi hati jika usia > 40 tahun, terapi I
jika pada biopsi tampak fibrosis atau Respon Tidak Respon ~
infiamasi sedang atau membesar
t
Pantau HBV Lanjutkan terapi
DNA. ALT setiap untuk mengenali
1-3 bulan respon lambat.
setelah terapi pertimbangkan
strategi lain
DIAGNOSIS
Anamnesis
Umumnya tanpa keluhan, tetapi dapat juga berupa fatigue, malaise, anoreksia.
Faktor risiko: penggunaan narkoba suntik, menerima transfusi darah, tingkat ekonomi
rendah, perilaku seksual risiko tinggi, tingkat edukasi rendah, menjalani tindakan invasif,
menjalani hemodialisis, tertusuk jarum suntik atau terkena cairan tubuh pasien berisiko. 2
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus (jarang). Bila telah terjadi
komplikasi, dapat ditemukan asites, ensefalopati, dan hipersplenisme.
Manifestasi ekstrahepatik (cryoglobulinemia, porfiria kutanea tarda, glomerulonefritis
membranoproliferatif, dan sialoadenitis limfositik).Z
Pemeriksaan Penunjang
• Seromarker hepatitis (Anti HCV)
• Jumlah virus: HCV RNA kuantitatif dan genotipe
• Enzim hati: SGOT dan SGPT, untuk menilai aktifitas kerusakan hati dan keputusan
pengobatan antivirus
• USG hati: gambaran penyakit hati kronis (inhomogen echostructure, permukaan
mulai ire gular, vena hepatik mulai kabur /terputus-putus ), sirosis (parmukaan hati
yang iregular, parenkim noduler, hati mengecil, dapat disertai pembesaran limpa,
pelebaran vena porta), atau adanya karsinoma hepatoseluler.
• Biopsi hati: untuk mengetahui derajat nekroinflamasi, dianjurkan untuk dilakukan
sebelum memulai terapi antivirus, terapi antivirus sangat dianjurkan diberikan
pada fibrosis P2 dan F3 (skor METAVIR).
• Alfa feto protein (AFP), PIVKA-11 (Prothrombine Induced by Vitamin K Absence).
• Monitoring tahunan untuk deteksi dini kanker hati dan progresivitas penyakit
SGOT, SGPT tiap 1-3 bulan dan USG abdomen serta AFT per 6 bulan
Kriteria Diagnosis
Hepatitis C kronik: anti HCV positif dan HCV RNA terdeteksi dalam 2 kali
pemeriksaan berjarak 6 bulan.
DIAGNOSIS BANDING
Perlemakan hati
TATALAKSANA4·5
Pada infeksi hepatitis C kronis genotip 1:
• Terapi dengan pegylated interferon (peg-IFN) dan ribavirin selama 1 tahun - 72
minggu. Peg-IFNa-2a 180 g seminggu sekali atau peg-IFNa-2b 1,5 mg/kg BB. Bila
menggunakan Peg-IFNa-2a. Dosis ribavirin 1000 mg (BB 75 kg) dan 1200 mg (BB
>75mg), bila menggunakan peg-IFNa-2b dosis ribavirin± 15 mgjkg BB, ribavirin
diberikan dalam 2 dosis terbagi.
• Jika respon virologis cepat (serum HCV RNA tidakterdeteksi (<50 IU/ml) dalam 4
minggu), maka terapi dapat distop setelah 24 minggu, bila HCP RNA< 4 x 10 5 IU jml.
• Jika respon virologis dini (serum HCV RNA tidak terdeteksi ( < 50 IU jml) a tau
terjadi penurunan 2log serum HCV RNA dari level awal setelah 12 minggu), terapi
dilanjutkan sampai 1 tahun.
• Terapi distop jika pasien tidak mencapai respon virologis dini dalam waktu 12 minggu
Pada infeksi hepatitis C kronik genotip 2 dan 3: Interferon konvensional dan ribavirin
atau peg-IFN-dengan ribavirin selama 24 minggu. Dosis Interferon/Peg IFN sama
dengan geotipe 1, hanya dosis ribavirin 800 mg sehari dalam 2 dosis terbagi.
Pada infeksi hepatitis c kronik genotip 4, berikan terapi peg-IFN +ribavirin selama
48 minggu, dosis Peg IFN dan ribavirin sama dengan geotipe 1.
Pantau kemungkinan terjadinya efek samping terapi Ribavirin, yaitu anemia.
Dosis ribavirin sedapat mungkin dipertahankan, bila terjadi anemia dapat diberikan
eritropoietin untuk meningkatkan Hb. Pantau kemungkinan efek samping terapi
interferon, yaitu neutropeni, trombositopenia, depresi, dan lain-lain.
Bagi pasien yang memiliki kontaindikasi penggunaan interferon a tau tidak berhasil
dengan terapi interferon maka berikan terapi ajuvan :
• Flebotomi
• Urcedeoxycholic acid (UDCA) 600mgjhari
• Glycyrrhizin
• Medikasi herbal: silymarin atau silibinin
Antiviral terbaru untuk terapi hepatitis C kronik (terutama genotip 1) adalah:
• Teleprevir, dikombinasikan dengan peg-IFN + Ribavirin.
• Boceprevir, dikombinasikan dengan peg-IFN + Ribavirin
• Direct Acting Antiviral (DAA), lain seperti: sofosbuvir, ledipasvir dll, antiviral (DAA)
dapat diberikan pacta pasien yang kontraindikasi pacta interveron atau gejala
pengobatan dengan interveron tersebut.
KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular.
PROGNOSIS
Rata-rata per tahun terjadinya karsinoma hepatoselular pacta pasien sirosis dengan
infeksi hepatitis C adalah 1-4%, muncul setelah 30 tahun infeksi virus hepatitis C.
Indikator prognosis pacta hepatitis C kronis adalah dengan biopsi hati. Pasien dengan
nekrosis dan inflamasi sedang-berat atau adanya fibrosis, progresifitas ke arah sirosis
sangattinggi dalam 10-20 tahun kedepan. Diantara pasien dengan sirosis kompensasi
yang terkait hepatitis C, angka bertahan 10 tahun adalah 80%, mortality rate 2-6%,
sementara pacta sirosis dekompensasi terkait infeksi virus hepatitis C mortality rate
4-5%/tahun, dan 1-2%/tahun pacta karsinoma hepatoseluler terkait infeksi virus
hepatitis C. 4
HEPATITIS D KRONIK
Hepatitis D kronik biasa mengikuti infeksi hepatitis B. Anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang sama seperti pacta hepatitis 8. 2
TATALAKSANA2
• Sesuai dengan Hepatitis B kronik
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Gunawan, Stephanus. Soemahardjo, Soewignjo. Hepatitis B Kronik. Dalam: Sudoyo A Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'h ed. Jakarta; Pusat
lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:653-661.
2. Chronic Viral Hepatitis. Dalam : Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
Loscalzo J. editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 - 39
3. Liaw YF, Leung N, Kao JH, et al. Asian-Pacific consensus statement on the management of chronic
hepatitis B: a 2008 update. Hepatollnt 2008. Available at: http:/ /www.springerlink.com/content/
du475ul2q655175j/ Accessed July 27, 2008.
4. Liver and Biliary tract. Dalam : McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A Current Medical
Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.
5. Asian Pacific Association for the Study of the Liver consensus statements on the diagnosis,
management and treatment of hepatitis C virus infection. Diunduh dari: http://onlinelibrary.
wiley.com/doi/1 0.1111 /j.l440-1746.2007.04883.x/pdf pada tanggal30 mei 2012.
6. Amarapurkar, D. Et all. APASL guidelines on the management chronic hepatitis B. Feb 16-19,2012
HEPATOMA
PENGERTIAN
Hepatoma (hepatocarcinomajhepatocellular carcinomajHCC) merupakan kanker
yang berasal dari sel hatU HCC merupakan kanker no. 5 tersering di dunia dan no. 3
yang paling sering menyebabkan kematian. Insidens HCC bervariasi di setiap negara,
secara umum bergantung pada prevalensi penyakit hati kronis, khususnya hepatitis
virus kronis.
Faktor risiko hepatoma dibagi menjadi 2 yaitu :2
• Umum : sirosis karena sebab apapun, infeksi kronis Hepatitis B atau C, konsumsi
etanol kronis, NASH/NAFL, aflatoxin B1 atau mikotoksin lainnya
• Lebih jarang: sirosis bilier primer, hemokromatosis, defisiensi-antitrypsin, penyakit
penyimpanan glikogen, citrullinemia, tirosinemia herediter, penyakit Wilson
DIAGNOSIS
Anamnesis
Penurunan berat badan, nyeri perut kanan atas, anoreksia, malaise, benjolan perut
kanan atas,jaundice, nausea. 1
Pemeriksaan Fisik
Hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik. 1
Pemeriksaan Penunjang 2
• Laboratorium: anemia, trombositopenia, kreatinin meningkat, prothrombin
time (PT) memanjang, partial thromboplastin time (PTT), fungsi hati; aspartat
aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) meningkat (AST>ALT),
bilirubin meningkat.
• Serologis: peningkatan Alfa Feto Protein (AFP), AFP-L3, des-y-carboxy prothrombin
(DCP), atau (PIVKA-2), vitamin B12, ferritin, antibodi antimitokondria, serologis
hepatitis B, dan C.
• Biomarker terbaru: profil genomik berbasis jaringan dan serum
• Radiologis :
USG: lesi fokal/ difus di hati.
CT-Scan abdomen atas dengan kontras 3 fasejmultifase: nodul di hati yang
menyangat kontras terutama di fase arteri dan 'early wash out'di fase vena
(typical pattern).
DIAGNOSIS BANDING
Abses hati
TATALAKSANA
Algoritma terapi pacta hepatoma dapat dilihat lebih lengkap pacta gam bar 1.
KOMPLIKASI
Ensefalopati hepatikum, ruptur tumor spontan, hematemesis melena, kegagalan
hati. 1
PROGNOSIS
Pasien dengan hepatoselular karsinoma dini dapat bertahan selama 5 tahun
setelah dilakukan reseksi, transplantasi hati atau terapi perkutaneus sebesar 50-
70%. Kekambuhan tetap dapat terjadi walaupun telah dilakukan terapi kuratif.
Kesintasan 1 dan 2 tahun adalah masing-masing 10-72% dan 8-50%. Demikian
pula, HCC stadium lanjut dan Child-Pugh C mempunyai prognosis yang sangat buruk.
Dilaporkan kesintasan untuk 6 bulan sebesar 5% pacta HCC stadium Child-Pugh C
dengan peritonitis bakteri spontan dan stadium lanjut. 12
0 Massa < I em pada USG observosi sirosis hati
Tatalaksana
sesuai ukuran lesi
I
EJ
cr._-
Tekanan portal, Meningkat
Terminal
bilirubin
Kemoembol I I Sorafenib I
Normal
Terapi
simptomatik
Gamber 2. Skema Stadium dan Strategi Tatalaksana Hepatoma berdasarkan Barcelona Cancer
3
of the Liver Clinic (BCLC).
Klasifikasi dan stadium Hepatoma dapat dilihat pada tabel 1.
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Departemen Bedah, Divisi Bedah Digestif, Radiologi
Intervensi
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah, Bagian Radiologi
REFERENSI
1. Webster's New World Medical Dictionary. 3'd Edition. Wiley Publishing. 2008.
2. Carr Bl. Tumors of the Liver and Biliary Tree. In :Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson
JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
3. Sherman M. Primary Malignant Neoplasms of the Liver. In : Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK,
et al. Sherlock's Diseases of the Liver and Biliary System. 121h Edition. United Kingdom: Blackwell
Publishing Ltd. 2011. Hal681-95.
4. Okuda K, Ohtsuki T, Obata H, Tomimatsu M, Okazaki N, Haregawwa H, et al. Natural history of
hepatocellular carcinoma and prognosis in relation to treatment. Cancer. 1985;56:918-28.
5. Chevret S, Trinchet JC, Mathieu D, Rached AA. Beaugrand M, Chastang C. A new prognostic
classification for predicting survival in patients with hepatocellular carcinoma. J Hepatol.
1999;31 :133-41.
6. CLIP. Prospective validation of the CLIP score: a new prognostic system for patients with cirrhosis
and hepatocellular carcinoma. Hepatology 2000 ;31 :840-5.
7. Llovet JM, Bru C, Bruix J. Prognosis of hepatocellular carcinoma: the BCLC staging classification.
Semin Liver Dis. 1999; 19:329-38.
8. Leung TW, Tang AM, Zee B, Lou WY, Lai PB, Leung KL, et al. Construction of the Chinese University
Prognostic Index for hepatocellular carcinoma and comparison with the TNM staging system,
the Okuda staging system, and the Cancer of the Liver Italian Program staging system: a study
based on 926 patients. Cancer. 2002;94: 1760-69.
9. Vauthey J, Lauwers G, Esnaola N, Do KA, Belghiti J, Mirza N, et al. Simplified staging for
hepatocellular carcinoma. J Clin On col. 2002;20: 1527-36.
10. Kudo M, Chung H, Osaki Y. Prognostic staging system for hepatocellular carcinoma (CLIP score):
its value and limitations, and a proposal for a new staging system, the Japan Integrated Staging
Score (JIS score) J Gastroenterol. 2003;38:207-15.
11. Villa E, Colantoni A, Comma C, Grottola A, Buttafoco P, Gelmini R, et al. Estrogen receptor
classification for hepatocellular carcinoma: comparison with clinical staging systems. J Clin
On col. 2003;21 :441-6.
12. Pons F, Varela M, Llovet JM. Staging systems in hepatocellular carcinoma. HPB (Oxford). 2005;
7(1): 35-41.
IKTERUS
DEFINISI
Ikterus adalah warna kuning pada jaringan tubuh karena deposit bilirubin. 2
Terlihatnya ikterus jika level bilirubin> 3 mgjdU (tergantung dari warna kulit 2).
Ikterus diklasifikasikan menjadi tiga kategori, tergantung pada bagian mana dari
mekanisme fisiologis mempengaruhi patologi. Klasifikasi ikterus terse but adalah :
1. Pra-hepatik: Patologi yang terjadi sebelum hati.
2. Hepatik: Patologi terletak di dalam hati.
3. Post-hepatik: Patologi terletak setelah konjugasi bilirubin dalam hati.
DIAGNOSIS
Anamnesis 1
• Penggunaan obat-obatan jangka panjang seperti anabolik steroid, vitamin, herbal,
dll.
• Riwayat penggunaan obat-obatan suntik, tato, aktivitas seksual risiko tinggi
• Riwayat konsumsi makanan dengan kontaminasi yang tidak baik, konsumsi alkohol
jangka panjang
• Atralgia, mialgia, rash, anoreksia, be rat badan turun, nyeri perut, pruritus, demam,
perubahan warna urin dan warna feses
Pemeriksaan Fisik1
• Stigmata penyakit hati kronis: spider nevi, palmar eritema, gynecomastia, caput
medusa.
• Atrofi testis pada sirosis hepatis dekompensata.
• Pembesaran kelenjar limfe supraclavicular atau nodul periumbilical: curiga
keganasan abdomen
• Distensi vena jugular, gejala gagal jantung kanan: pada kongesti hati
• Efusi pleura kanan, ascites: pada sirosis hati dekompensata
• Hepatomegali, splenomegali
Laboratorium 1·2
• Darah: Alkalin fosfatase (ALP), Aspartat aminotranferase (AST), Alanin
Aminotransferase (ALT), bilirubin total, konjugasi bilirubin, bilirubin tak
terkonjugasi, albumin, protrombim time (PT)
• Urin: urobilinogen, bilirubin urin
DIANOSIS BANDING
Hiperkarotenemia
TATALAKSANA 1
1. Tatalaksana suportif: koreksi cairan dan elektrolit, penurun demam (jika disertai
demam), dan lain lain.
2. Tatalaksana sesuai dengan penyakit yang mendasari, dapat dilihat pada bab
malaria, hepatitis virus akut, sirosis hati, batu sistem bilier.
KOMPLIKASI
Sepsis, komplikasi lain sesuai dengan penyakit penyebabnya.
PROGNOSIS
Prognosis tergantung penyakit penyebabnya, lebih lengkap dapat dilihat pad a bab
malaria, hepatitis virus akut, sirosis hati, batu sistem bilier, dan lain lain.
Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, lab :
I ALT, AST, ALP, PT. albumin.
I
I
I I
I Isolated I I Bilirubin dan tes fungsi hati I
elevation bilirubin lainnya meningkat
T I
•
Hiperbilirubinemia
indirek (direk < 15%)
I
I
Hiperbilirubinemia
direk (direk > 15%)
I •
~Polo hepatoseluler:
peningkatan ALT/AST
l
Polo kolestatik : ALP
diluar proporsi ASTI ALT
·I
diluar proporsi ALP
+ I I
Obat : rifampisin. Kelainan bawaan I
probenecid dubin Johnson
syndrome, rotor's
1. Serologis virus : antigen 1 I
~
permukaan Hep B, lgM
I
Kelainan bawaan :
syndrome Hep A, core antibody
(lgM), Hep C RNA
I Dilatasi duktus:
lkterus Obstruktif
Diktus tidak
dilatasi;
2. Skrining keracunan ; kolestasis
Gilbert's syndrome,
level acetaminophen parenkimal
Crigler-Naliar
3. Ceruloplasmin (jika usia
syndrome
I
< 40 tahun)
4. ANA, SMA, LKM, SPEP l
ICT/ERCP/MRCP I Tes serologis :
Kelainan hemolitik,
eritropoiesis inefektif tr-l AMA, serologis
hepatitis, Hep A,
Tes virologist CMV, EBV
tambahan : CMV
DNA, EBV capsid
antigen, Hep D
antibody (jika ada
t
B1opsl hall
indikasi), Hep E lgM
(jika ada indikasi)
I I
~(-)
Biopsi hati
r I
t
Gambar 1. Algoritma Evaluasi Pasien dengan lkterus 1
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah, Divisi Bedah Digestif
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bagian Bedah
REFERENSI
1. Jaundice. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2012.
2. Liver and Biliary tract. Dalam : McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A. Current Medical
Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011
3. Approach to patient with jaundice or abnormal liver test results. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil
Medicine 23'd edition. Saunders: Philadhelphia. 2007.
KOLANGITIS
PENGERTIAN
Kolangitis adalah inflamasi dan infeksi pada saluran empedu yang paling sering
disebabkan oleh karena koledokolitiasis. Penyebab lain an tara lain karena intervensij
manipulasi dan pemasangan stent, keganasan hepatobilier, hepatolitiasis. 1-3 Kuman
tersering penyebab infeksi yaitu Escherichia coli, Klebsiella, Enterococcus Sp, dan
Bacteroides fragilis. 4 Ada 2 jenis kolangitis yaitu primary sclerosing cholangitis dan
secondary sclerosing cholangitis. Pada bah ini akan dibahas mengenai secondary
sclerosing cholangitis. Secondary sclerosing cholangitis disebabkan oleh 5
• Trauma saat operasi
• Iskemia misalnya trombosis arteri hepatik setelah transplantasi, a tau kemoterapi
trans arterial
• Batu kandung empedu
• Infeksi bakterijvirus (sitomegalovirus, kriptosporidiosis, sepsis berat)
• Luka caustic misalnya pada terapi formalin untuk kista hidatid
• Pankreatitis autoimun berhubungan dengan IgG4
• Keganasan
• Penyakit hati polikistik
• Sirosis
• Kistik fibrosis
DIAGNOSIS
Anamnesis
Nyeri abdomen yang dirasakan tiba-tiba dan hilang-timbul, dapat disertai dengan
menggigil dan kaku. Riwayat koledokolitiasis atau manipulasi traktus bilier. 4
Pemeriksaan Fisik
Pada pasien usia lanjut dapat terjadi perubahan status mental, konfusi, letargi,
a tau delirium. Trias Charcot terdiri dari nyeri abdomen kuadran kanan atas, ikterik,
Panduan Praktikllinis
dan demam. Perubahan status mental disertai hipotensi dan Trias Charcot dikenal
dengan Reynolds' pentad yang bisa terjadi pad a kolangitis supuratif be rat. 4
Pemeriksaan Penunjang4
• DPL: leukositosis
• Fungsi hati : hiperbilirubinemia, peningkatan alkali fosfatase, enzim transaminase,
serum amilase jika ada pankreatitis.
• Kultur darah: positif pada 50 % kasus
• Kultur empedu: positif hampir pad a semua kasus.
• Ultrasonografi abdomen: untuk diagnosis dan terapeutik
• Endoscopic retrograde cholangiopancreatography [ERCP)
• Percutaneous transhepatic cholangiography {PTC}
DIAGNOSIS BANDING
Primary sclerosing cholangitis, infeksi
TATALAKSANA4
• Hidrasi dengan cairan intravena dan koreksi ketidakseimbangan elektrolit
• Antibiotik :
Derivat penisilin (piperasilin) : untuk gram negatif
Sefalosporin generasi II atau III (ceftazidim): untuk gram negative, cefoksitin
2 gram intravena setiap 6-8 jam
Ampisilin untuk gram positif
Metronidasol untuk kuman anaerob
Fluorokuinolon (siprofloksasin, levofloksasin)
Keadaan umum pasien akan membaik dalam 6-12 jam setelah pemberian
antibiotik dan dapat diatasi dalam 2-3 hari. Jika dalam 6-12 jam tidak membaik,
harus segera dilakukan tindakan dekompresi secepatnya.
• Dekompresi dan drainase sistem bilier: jika tekanan dalam bilier meningkat karena
adanya obstruksi
Non operatif
Percutaneous cholecystostomy
Percutaneous transhepatic biliary drainage [PTBD): tindakan drainase
bilier tanpa operasi.
Drainase bilier dengan pemasangan NBT (Nasa Billiary Tube) atau Stent
bilier melalui tindakan ERCP
Kolang.itis
KOMPLIKASI
Sepsis, kematian
PROGNOSIS
Angka kematian bervariasi antara 13-88 %.
REFERENSI
1. Lee JG. Diagnosis and management of acute cholangitis. Nat Rev Gastroentero/ Hepatol. Aug
4 2009
2. Esmaeilzadeh M, Ghafouri A Mehrabi A Various techniques for the surgical treatment of common
bile duct stones: a meta review. Gastroenterol Res Pract. 2009;2009:840208.
3. Li FY, Cheng NS, Mao H, Jiang LS, et al. Significance of controlling chronic proliferative cholangitis
in the treatment of hepatolithiasis. World J Surg. Jul 30 2009; Diunduh dari http://www.wjgnet.
com/1 007-9327 /15/95.asp pada tanggal 22 Mei 2012.
4. Wang D, Afdhal N. Gallstone Disease. In : Feldman M, Friedman L Brandt L. Sleisenger and
Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis/Management. 9'h ed.
USA: Elsevier. Chapter 65.
5. Rushbrook S, Chapman RW. Sclerosing Cholangitis. In: Dooley J, Lok A Burroughs A Heathcote
E Diseases of the Liver and biliary System. 12'h ed. UK: Blackwell Science.p 342-352
KOLESISTITIS
PENGERTIAN
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu denganjatau tanpa
adanya batu, akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan
atas, nyeri tekan dan panas badan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya kolesistitis
akut yaitu statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung
empedu. Kuman yang tersering menyebabkan kolesistitis akut yaitu E.con Strep.
Fecalis, Klebsiella, anaerob (Bacteroides dan Clostridia); kuman akan mendekonjugasi
garam empedu sehingga menghasilkan asam empedu toksik yang merusak mukosa.
Penyebab utama adalah batu kandung empedu yang terletak di duktus sistikus sehingga
menyebabkan statis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa
adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus) seperti karena regurgitasi enzim
pankreas. Wanita, obesitas, dan usia lebih dari 40 tahun akan lebih sering terkenaY
DIAGNOSIS
Anamnesis
Nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar ke daerah pundak,
skapula kanan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa recta, disertai demam. 1
Nyeri dapat dirasakan tengah malam atau pagi hari, penjalaran dapat ke sisi kiri
menstimulasi angina pektoris. Nyeri timbul dipresipitasi oleh makanan tinggi lemak,
2
palpasi abdomen, atauyawning.
Pemeriksaan Fisik
Peningkatan suhu tubuh mengindikasikan adanya infeksi kuman. Posisi pasien
akan menekuk badannya, teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-
tanda peritonitis lokal, tanda Murphy (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu
di saluran empedu ekstrahepatik 1
Pemeriksaan Penunjangt2
• Laboratorium: DPL (leukositosis ), SGOT, SGPT, fosfatase alkali, bilirubin meningkat
(jika kadar bilirubin total > 85.6 mol/L atau 5 mgjdl dicurigai adanya batu di
duktus koledokus), kultur darah
• USG hati: penebalan dinding kandung empedu (double layer) pada kolesistisis
akut, sering ditemukan pula sludge atau batu
• Cholescintigraphy
Klinis dan laboratorium Nyeri tekan kuadran kanan atas, demam, leukositosis, amylase meningkat
Ultrasonografi Penebalan din ding kandung empedu (> 4 mm) tanpa adanya asites dan
hipoalbuminemia. Adanya cairan di perikolesistik, Muphy's sign yang positif
pada ultrasonografi
CT scan Penebalan dinding kandung empedu (> 4 mm) tanpa adanya asites dan
hipoalbuminemia. Adanya cairan di perikolesistik, edema subserosa! (tanpa
adanya asites), gas intramural, atau kerusakan mukosa
Scintigraphy Tidak tampak kandung empedu dengan ekskresi radionuklir yang normal ke
hepatobilier dalam duktus bilier dan duodenum.
DIAGNOSIS BANDING
Angina pektoris, infark miokard akut, apendisitis akut retrosaekal, tukak peptik
perforasi, pankreatitis akut, obstruksi intestinaF
TATALAKSANA
KOMPLIKASI
Gangrenjempiema kandung empedu, perforasi kandung empedu, fistula,
peritonitis umum, abses hati, kolesistitis kronik2
PROGNOSIS
Penyembuhan total didapatkan pada 8S% kasus, sekalipun kandung empedu
menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu, dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang
menjadi rekuren, maksimal 30 % akan rekuren dalam 3 bulan ke depan. Pacta SO %
kasus dengan serangan akut akan membaik tanpa operasi, dan 20% kasus memerlukan
tindakan operasi. Tindakan bedah akut pada usia lanjut (> 7S tahun) mempunyai
prognosis yang buruk. 2 Pencegahan kolesistitis akut dengan memberikan CCK SOng/
kg intravena dalam 10 menit, terbukti mencegah pembentukan sludge pada pasien
yang mendapatkan total parenteral nutrition. 3
KOLESISTITIS KRONIK
PENGERTIAN
Kolesistitis kronik adalah inflamasi pada kandung empedu yang berlangsung lama
dan berhubungan dengan adanya batu di kandung empedu, kolesistitis akut atau subakut
yang berulang, atau iritasi dinding kandung empedu karena batu. Adanya bakteria di
dalam empedu ditemukan pada > 25% pasien dengan kolesistitis kronik. 4
DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala sangat minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di
epigastrium, dan nausea setelah makan makanan berlemak. Perlu ditanyakan riwayat
batu empedu dalam keluarga, ikterus, kolik berulang. 2
Pemeriksaan Fisik
Ikterus, nyeri tekan pada daerah kandung empedu, tanda Murphy ( +) 2
Pemeriksaan Penunjang 1
• Ultrasonografi: melihat besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu
dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai
90-95%
• MRCP (Magnetic Resonance Choledochopancreaticography): melihat adanya batu
di kandung empedu dan duktus koledokus
• ERCP (Endoscopy Retrogade Choledochopancreaticography): bisa digunakan juga
untuk terapi
• Kolesistografi oral: gambaran duktur koledokus tanpa adanya gambaran kandung
empedu
DIAGNOSIS BANDING
Intoleransi lemak, ulkus peptik, kolon spastik, karsinoma, kolon kanan, pankreatitis
kronik, dan kelainan duktus koledokus. 2
TATALAKSANA
Jika gejala + denganjtanpa batu empedu : kolesistektomF
KOMPLIKASI
Keganasan kandung empedu, jaundice, pankreatitis, empiema dan hydrops,
gangren, perforasi, pembentukan batu kandung empedu dan fistulaY
PROGNOSIS
Angka rekurensi mencapai 40% dalam 2 tahun. Jarang menjadi karsinoma kandung
empedu dalam perkembangan selanjutnya. 2
REFERENSI
1. Pridady. Kolesistitis. Dalam Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. AlwL I. Setiati, S. Sundaru,
H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 2010. Hal.718-726
2. Sherlock S, Dooley J. Gallstones and Benign Biliary Disease. In: Dooley J, Lok A Burroughs A
Heathcote E. Diseases of the Liver and biliary System. 12'h ed. UK: Blackwell Science. P257-293
3. Andersson KL, Friedman LS. Acalculous Biliary Pain, Acalculous Cholecystitis, Cholesterolosis,
Adenomyomatosis, and Polyps of the Gallbladder. In : Feldman M, Friedman L Brandt L. Sleisenger
and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis/Management. 9'h
ed. USA: Elsevier. Chapter 67.
4. Greenberger NJ. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts. In: Fauci AS, Kasper DL Longo DL,
Braunwald E, Lauser SL Jameson JJ, et aL eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi
ke-17. New York: McGraw-Hill 2008. Chapter 311.
PENYAKIT PERLEMAKAN HATI
NON ALKOHOLIK
PENGERTIAN
Penyakit perlemakan hati non alkoholik (NAFLD j Non Alcoholic Fatty Liver a tau NASH/
Non Alcoholic Steatohepatitis) merupakan suatu sindrom klinis dan patologis akibat
perlemakan hati, ditandai oleh berbagai tingkat perlemakan, peradangan dan fibrosis
pada hati. Perlemakan hati (Fatty liver atau steatosis) merupakan suatu keadaan
adanya lemak di hati (sebagian besar terdiri dari trigliserida) melebihi 5% dari
seluruh berat hati yang disebabkan kegagalan metabolisme lemak hati dikarenakan
defek di antara hepatosit atau proses transport kelebihan lemak, asam lemak, atau
karbohidrat karena melebihi kapasitas sel hati untuk sekresi lemak. Kriteria non
alkoholik disepakati bahwa konsumsi alkohol:::; 20 gramjhari. Terjad4nyaperlemakan
hati melalui 4 mekanisme yaitu :1•2
• Peningkatan lemak dan asam lemak dari makanan yang dibawa ke hati.
• Peningkatan sintesis asam lemak oleh mitokondrial atau menurunnya oksidasi
yang meningkatkan produksi trigliserida
• Kelainan transport trigliserid keluar dari hati
• Peningkatan konsumsi karbohidrat yang selanjutnya dibawa ke hati dan dikonversi
menjadi asam lemak.
Faktor risiko: obesitas, diabetes melitus, hipertrigliserida, obat-obatan (amiodaron,
tamoksifen, steroid, estrogen sintetik), dan toksin (pestisida)-3 Berdasarkan tingkat
gambaran histopatologik ada beberapa perjalanan ilmiah penyakit ini yaitu perlema:kan
hati sederhana, steatohepatitis, steatohepatitis yang disertai fibrosis dan sirosis.
Hipotesis terjadinya NAFLD yaitu :2
• First Hit
terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit akibat peningkatan lemak bebas
pacta dislipidemia, obesitas, diabetes mellitus. Bertambahnya asam lemak bebas
di dalam hati akan menimbulkan peningkatan oksidasi dan esterifikasi lemak
pada mitokondria sel hati sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kerusakan
mitokondria itu sendirP· 2
Pandoan Praldik Klinis
.Perhimpu_nah Dolder Speslalis PenyaJdt Qalam Indonesia
• Second Hit
peningkatan stres oksidatif dapat terjadi karena resistensi insulin, peningkatan
endotoksin di hati, peningkatan aktivitas un-coupling protein mitokondria, pe-
ningkatan aktivitas sitokrom P 450, peningkatan cadangan besi, dan menurunnya
aktivitas anti oksidan. Ketika stres oksidatif yang terjadi melebihi kemampuan
perlawanan anti oksidan, maka aktifasi sel stelata dan sitokin pro inflamasi akan
berlanjut dengan inflamasi progresif, pembengkakan hepatosit dan kematian sel,
pembentukan badan Mallory, serta fibrosis. 1•2
DIAGNOSIS
Anamnesis
Umumnya pasien tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda penyakit hati,
Beberapa pasien mengeluhkan rasa lemah, malaise, rasa mengganjal di perut kanan
atas. Riwayat konsumsi alkohol, riwayat penyakit hati sebelumnya. 2
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan adanya kelebihan berat badan, hepatomegali, komplikasi sirosis
yaitu asites, perdarahan varises. Sindrom resistensi insulin: obesitas (lemakviseral).1.2
Pemeriksaan Penunjang2 -4
• Fungsi hati : peningkatan ringan ( <4 kali) AST (aspartate aminotransferaseJ ALT
(alanine aminotransferase). AST>ALT pada kasus hepatitis karena alkohol.
• Alkali fosfatase, gamma GT (glutamil transferase): dapat meningkat
• Bilirubin serum, albumin serum, dan prothrombin time: dapat normal, kecuali
pada kasus NAFLD terkait sirosis hepatis.
• Gula darah, profillipid, seromarker hepatitis.
• ANA, anti ds DNA : titer rendah ( < 1 : 320)
• USG: gambaran bright liver
• CT Scan
• MRI: deteksi infiltrasi lemak
• Biopsi hati: baku emas diagnosis. Ditemukan 5-10% sellemak dari keseluruhan
hepatosit, peradangan lobulus, kerusakan hepatoselular, hialin Mallory dengan
a tau tanpa fibrosis. Kegunaan biopsy hati : membedakan steatosis non alkoholik
dengan perlemakan tanpa atau disertai inflamasi, menyingkirkan etiologi penyakit
hati lain, memperkirakan prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke
waktu. Grading dan staging NAFL :
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis 8 dan C kronik, penyakit hati autoimun, hemokromatosis, Penyakit
Wilson's, defisiensi a1 antitripsin 1
TATALAKSANA
Non farmakologis
Mengontrol faktor risiko : penurunan berat badan, kontrol gula darah, memperbaiki
profillipid, memperbaiki resistensi insulin, mengurangi asupan lemak ke hati, dan olah
raga 2•3
T
Perlemakan hati +
KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular 3
PROGNOSIS
Pada 257 pasien NAFL yang dipantau selama 3,5 tahun sampai 11 tahun melalui
biopsi hati, didapatkan 28% mengalami kerusakan hati progresif, 59% tidak mengalami
perubahan, dan 13 % membaik. Pasien steatohepatitis non alkoholik memiliki kesintasan
yang lebih pendek yaitu 5-10 tahun, kesintasan 5 tahun hanya 67% dan kesintasan 10
tahun 59%. Banyak faktor yang mempengaruhi mortalitas yaitu obesitas, diabetes melitus
dan komplikasinya, komorbiditas lain yang berkaitan dengan obesitas, serta kondisi hati
sendirU
Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa NAFL merupakan kondisi yang
berlangsung kronik (beberapa tahun) dan tidak akan berkembang menjadi penyakit
hati berat. Fungsi hati tetap stabil dalam beberapa waktu. Pada beberapa pasien,
NAFLD dapat berkembang menyebabkan kerusakan hati pada 3% pasien, 54% tetap
stabil, dan 43% pasien memburuk. Risiko menjadi sirosis yaitu 8-26 %. 3
REFERENSI
1. Sherlock S, Dooley J. Non-alcoholic Fatty Liver Disease and Nutrition. In: Dooley J, Lok A Burroughs
A Heathcot. Diseases of the Liver and biliary System. 12'h ed. UK: Blackwell Science. P546-567
2. Hasan lrsan. Perlemakan Hati Non Alkohol. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I.
Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing;
2010. Hal.695-701
3. Kaplan M. Nonalcoholic steatohepatitis (NASH). Diunduh dari http:/ /www.u ptodate.com/
contents/patient-information-nonalcoholic-steatohepatitis-nash-beyond-the-basics pada
tanggal22 Mei 2012
4. Reid AE. Nonalcoholic fatty liver disease. In :Feldman M, Friedman L Brandt L. Sleisenger and
Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis/ Management. 9'h ed.
USA: Elsevier. Chapter 85.
5. Sonya AJ, Chalasani N, Kowdley KV et all. Pioglitazone, Vitamin E, or Placebo for Nonalcoholic
Steatohepatitis. N Eng! J Med 201 0;362:1675-85.
SIROSIS HATI
PENGERTIAN
Sirosis adalah penyakit hati kronis yang ditandai dengan hilangnya arsitektur lobulus
normal oleh fibrosis, dengan destruksi sel parenkim disertai dengan regenerasi yang
membentuk nodulus. Penyakit ini memiliki periode Iaten yang panjang, biasanya diikuti
dengan pembengkakan abdomen dengan atau tanpa nyeri, hematemesis, edema dan
ikterus. Pada stadium Ian jut, gejala utamanya berupa asites,jaundice, hipertensi portal,
dan gangguan sistem saraf pusat yang dapat berakhir menjadi koma hepatikum. 1-3
Etiologi sirosis dapat dilihat pada tabell.
label 1. Etiologi Sirosis 2
Alkoholisme
Sirosis kardiak :
Hepatitis autoimun
Steatohepatitis non-alkoholik
Sirosis bHiar: sirosis bHiar primer, primary sclerosing cholangitis, kolangiopati autoimun
Hepatitis virus kronis, hepatitis B, Hepatitis C
Penyakit hati metabolik diturunkan: hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi a 1-antitripsin,
fibrosis kistik
Sirosis kriptogenik
DIAGNOSIS
Anamnesis 4
• Perasaan mudah Ielah dan berat badan menurun
• Anoreksia, dispepsia
• Nyeri abdomen
• jaundice, gatal, warna urin lebih gelap dan feses dapat lebih pucat
• Edema tungkai atau asites
• Perdarahan : hidung, gusi, kulit, saluran cerna
• Libido menurun
• Riwayat: jaundice, hepatitis, obat-obatan hepato toksik, transfusi darah
• Kebiasaan minum alkohol
• Riwayat keluarga : penyakit hati, penyakit autoimun
• Perlu juga dicari gejala dan tanda:
Gejala awal sirosis (kompensata):
Perasaan mudah Ielah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung, mual, berat badan menurun.
Gejala lanjut sirosis (dekompensata):
Bila terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal, meliputi hilangnya ram but
badan, gangguan tidur, demam subfebris, perut membesar. Bisa terdapat
gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis melena,
ikterus, perubahan siklus haid, serta perubahan mental. Pada laki-laki dapat
impotensi, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas.
Pemeriksaan Fisik2 · 4
• Status nutrisi, demam, fetor hepatikum, ikterus, pigmentasi, purpura, clubbing
finger, white nails, spider naevi, eritema palmaris, ginekomastia, atrofi testis,
distribusi rambut tubuh, pembesaran kelenjar parotis, kontraktur dupuytren-
(dapat ditemukan pada sirosis akibat alkoholisme namun dapat juga idiopatik),
hipogonadisme, asterixis bilateral, tekanan darah.
• Abdomen: asites, pelebaran vena abdomen, ukuran hati bisa membesarjnormalj
kecil, splenomegali
• Edema perifer
• Perubahan neurologis: fungsi mental, stupor, tremor
Pemeriksaan Penunjang2.4
1. Laboratorium:
a. Tes biokimia hati
• SGOT /SGPT: dapat meningkat tapi tak begitu tinggi, biasanya SGOT lebih
meningkat dari SGPT, dapat pula normal
• Alkali fosfatase: dapat meningkat 2-3x dari batas normal atau normal
• GGT: dapat meningkat a tau normal
• Bilirubin: dapat normal atau meningkat
• Albumin: menurun
• Globulin meningkat: rasio albumin dan globulin terbalik
• Waktu protrombin: memanjang
b. Laboratorium lainnya
Sering terjadi anemia, trombositopenia, leukopenia, netropenia dikaitkan dengan
hipersplenisme. Bila terdapat asites, periksa elektrolit, ureum, kreatinin, timbang
setiap hari, ukur volum urin 24 jam dan ekskresi natrium urin.
2. Pencitraan
• USG: sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan ada tidaknya mass a,
pada sirosis lanjut hati mengecil dan nodular, permukaan ireguler, peningkatan
ekogenitas parenkim hati, vena hepatika sempit dan berkelok-kelok.
• Transient Elastography (fibroscan®)
• CT scan : informasi sama dengan USG biaya relatif mahal, MRI
• EEG hila ada perubahan status neurologis
3. esofagugastroduodenoskopi, skrining varises esofagus.
4. Biopsi hati : Algoritma biopsi pada pasien dengan hepatitis virus kronis dapat
dilihat pada gambar 1.
5. Cek AFP untuk skrining hepatoma.
6. Mencari etiologi: serologi hepatitis (HbsAg, anti HCV), hepatitis autoimun (ANA,
antibodi anti-smooth muscle), pemeriksaan Fe dan Cu (atas kecurigaan adanya
penyakit Wilson), pemeriksaan a 1 -antitripsin (atas indikasi pada yang memiliki
riwayat merokok dan mengalami PPOK), biopsi hati.
Hasil sesuai
+ ! +
cr
Biopsi hanya bila hasilnya
akan mempengaruhi
tatalaksana
Hepatitis B Makro/mikro + +
nodular
Hepatitis C Makro/mikro + ± +
Nodular
Alkohol Mikro/makro + ± ± ± +
nodular
Hemokroma- Mikronodular ± +
tosis
Penyakit Makronodu- ± ± ± + +
Wilson lar
Defisiensi a,- Mikro/makro ± ± ± ± + ±
antitripsin Nodular
Biliar primer Biliar + + .±
Obstruksi Reversed
aliran vena
Operasi Mikronodular + ± ±
bypass usus
Sirosis masa Mikronodular ± + +
kanak-kanak
Indian
Keterangan:- biasanya tidak ada; ± mungkin ada; + biasanya ada
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis kronik aktif.2
KOMPLIKASI
Varises esofagusjgaster, hipertensi portal, peritonitis bakterial spontan, sindrom
hepatorenal, sindrom hepatopulmonal, gangguan hemostasis, ensefalopati hepatikum,
gastropati hipertensi portaU
TAT ALAKSANA2 -4
• lstirahat cukup
• Diet seimbang (tergantung kondisi klinis)
• Pada pasien sirosis dekompensata dengan komplikasi asites: diet rendah garam.
• Laktulosa dengan target BAB 2-3 x sehari.
• Terapi penyakit penyebab, lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 1.
PROGNOSIS
Lihat pada tabel 3 dan 4.
UNITYANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero-
Hepatologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan
• RS non Pendidikan
REFERENSI
1. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 23rd Ed. Philadelphia. Elsevier. 2007
2. Bacon BR. Cirrhosis and Its Complications. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson
JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGraw-Hill. 201 2.
3. Nurdjanah S. Sirosis Hati. Dalam : Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing. 2009. Hal 668-73.
4. McCormick PA. Hepatic Cirrhosis. In: Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK, et al. Sherlock's Diseases of
the Liver and Biliary System. 121h Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. 2011. Hall 03-19
5. Elsayed EY, Riad GS, Keddeas MW. Prognostic Value OF MELD Score in Acute Variceal Bleeding.
Researcher 201 0;2(4) :22-27
TUMOR PANKREAS
PENGERTIAN
Tumor pankreas dapat diklasifikasikan sebagai neoplasma eksokrin atau
endokrin berdasarkan asal dari selnya dan morfologi tumor (solid atau kistik).
Kasus adenokarsinoma duktus terjadi sekitar 90% dari kasus neoplasma pankreas.
Adenokarsinoma duktus infiltrat merupakan tumor pankreas yang paling sering
terjadi. Karsinoma sel asinar, tipe lain dari tumor pankreas solid, menyerupai bola
kecil sel epitel yang berbentuk piramid. Tumor pankreas eksokrin ini lebih banyak
mengenai pria. Seringkali overproduksi lipase menyebabkan sindrom metastasis
nekrosis lemak, yang dikarakteristikan dengan nekrosis lemak perifer, eosinofilia,
dan poliartralgia. Tumor pankreas kistik termasuk neoplasma (tipe musin, serosa),
dan tumor solid-pseudopapillary sangat jarang terjadi, umumnya jinak dan dapat
disembuhkan dengan reseksi bedah. Namun terkadang, tumor kistik memiliki
komponen invasifyang memberikan prognosis buruk secara keseluruhan. 1 Klasifikasi
tumor primer pankreas menurut WHO dapat dilihat pacta tabell.
Karsinoma pankreas merupakan penyakit kanker no.4 yang menyebabkan
kematian terbanyak di Am erika Serikat dan sering dikaitkan dengan prognosis buruk.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan karsinoma pankreas an tara lain merokok (20-
25%), pankreatitis kronis, dan diabetes. 1 Pembagian stadium karsinoma pankreas
tidak menggunakan sistem tumor-nodus-metastasis (TNM), namun dibagi menjadi 3
kategori primer yaitu 1) terlokalisir, dan dapat direseksi; 2) lokasi meluas, dan tidak
dapat direseksi; dan 3) adanya metastasis. 3
Skrining rutin CA 19-9 dan carcinoembryonic antigen (CEA) tidak dianjurkan
karena tidak memiliki sensitivitas yang cukup, dan computed tomography (CT) tidak
memiliki resolusi yang adekuat untuk mendeteksi displasia pankreas. Endoscopic
ultrasound (EUS) merupakan alat skrining yang menjanjikan, dan merupakan usaha
preklinis untuk mendeteksi biomarker yang dapat mendeteksi stadium awal karsinoma
pankreas. 1
Tabell. Klasifikasi WHO Terhadap Tumor Eksokrin Pankreas 2
i. Serous cystadenoma
ii. Mucinous cystadenoma
iii. Intraductal papillary mucinous adenoma
iv. Mature cystic teratoma
i. Ductal adenocarcinoma
ii. Osteoclast-like giant cell tumor·
iii. Serous cystadenocarcinoma
iv. Mucinous cystadenocarcinoma (invasif atau noninvasif)
v. Intraductal papillary mucinous carcinoma (invasif atau noninvasif)
vi. Acinar cell carcinoma
vii. Pancreatoblastoma
viii. Solid-pseudopapillary carcinoma
ix. Karsinoma lainnya
DIAGNOSIS
Anamnesis 1
• Rasa tidak nyaman pacta perut, mual, muntah, pruritus, letargi, penurunan berat
badan
• Jarang : nyeri epigastrium, nyeri punggung, diabetes new onset
• Penyakit komorbid seperti pankreatitis kronis, diabetes
• Riwayat kebiasaan merokok
Pemeriksaan Fisik1
• Ikterik, kakesia, tanda bekas garukan
• Kandung empedu teraba (tanda Courvoisier)
• Tanda metastasis jauh : hepatomegali, asites, limfadenopati supraklavikular kiri
(nodus Virchow), limfadenopati periumbilikus (nodus Sister Mary joseph)
Pemeriksaan Penunjang 1A
• Laboratorium
Rutin : darah perifer lengkap dan hitung jenis leukosit, amilase, lipase, serum
bilirubin, alkali fosfatase, protein total, albumin/globulin,
Tumor-associated carbohydrate antigen 19-9 (CA 19-9)
• Radiologis: CT scan, ERCP, MRI, Positron-emission tomography with
fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FOG-PET), EUS
• Sitologi: EUS-guidedfine needle aspiration (EUS-FNA)
• Laparoskopi
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis ini harus dipertimbangkan pada semua pasien > 40 tahun dengan
ikterik progresif a tau intermiten, terutama bila diperkuat dengan gejala seperti nyeri
abdomen persisten atau tidak dapat dijelaskan, lemah dan berat badan menurun, diare,
glikosuria, faecal occult blood (+), hepatomegali, limpa teraba a tau tromboflebitis
migrans. 3
TATALAKSANA2 -5
1. Reseksi (pancreaticoduodenectomy / operasi Whipple)
2. Adjuvan: 5-fluorouracil (5-FU), asam folinik
3. Paliatif: diberikan pada pasien yangtidak dapat menjalani reseksi untuk meredakan
ikterik, obstruksi duodenum atau nyeri
Pendekatan Diagnosis
t
IERCP dan atau EUS I Laparoskopi
dengan sitologi
[GJ --
IBedah eksplorasi untuk reseksi ~ !CDJ
Gamber 1. Algoritma Diagnosis Kanker Pankreas'
Stadium kanker pankreas dapat dilihat pacta tabel 2.
KOMPLIKASI
Ikterik, nyeri, obstruksi usus, penurunan berat badan. 2•5
PROGNOSIS
Prognosis tumor pankreas dapat dilihat pacta tabel 2 dan tabel 3.
Lokal 7 22
Locally advanced 1 tidak dapat direseksi 26 9
Metastase 53 2
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Bedah Digestif
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah
REFERENSI
1. Hidalgo M. Progress in Pancreatic Cancer: Where Are We Now and Where Must We Go?. Optimal
Treatment of Locally Advanced/Metastatic Pancreatic Cancer: Current Progress and Future
Challenges. Clinical Care Options Oncology. Diakses melalui http:/ /www.clinicaloptions.com/
Oncology/Treatment%20Updates/Pancreatic/Modules/Progress/Pages/Page%202.aspx pada
tanggal 25 Juni 2012.
2. Jimenez RE, Castillo CF. Tumors of the Pancreas. In : Feldman, Friedman, Brandt. Sleisenger and
Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th Edition. Vol I. 2010
3. Chong I, Cunningham D. Pancreatic Cancer. In : Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL,
Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-
Hill. 2012.
4. Ko A. Pancreatic Adenocarcinoma. CCO in Practice. Diakses melalui http://www. clinicaloptions.
com/inPractice/Oncology/Gastrointestinai_Cancer/ch 13_GI-Pancreas.aspx pad a tanggal 22
Mei 2012.
5. Koti RS, Davidson BR. Malignant Biliary Diseases. In : Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK, et al.
Sherlock's Diseases of the Liver and Biliary System. 12th Edition. United Kingdom: Blackwell
Publishing Ltd. 2011. Hal 302-8.
TUMOR SISTEM BILlER
Tumor sistem bilier dibagi berdasarkan anatomis yaitu tumor jinak dan ganas kandung
empedu, tumor jinak saluran empedu ekstrahepatik, karsinoma saluran empedu
intrahepatik (cholangiocarcinoma). Pada bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
karsinoma kandung empedu dan cholangiocarcinoma.
+ +
ICholangiocarcinoma I • Papiloma
• Adenomioma
• Karsinoma sel skuamosa • Fibroma
• Small cell carcinoma ·Tumor sel granular
PENGERTIAN
Merupakan kanker yang berawal di dalam kandung empedu, termasuk dalam
keganasan yang jarang terjadi. Jenis keganasan tersering yaitu adenokarsinoma
(adenokarsinoma papilla), jenis lain yang lebih jarang terjadi yaitu adenoskuamosa,
karsinoma sel skuamosa, dan small cell carcinoma. Faktor risiko terjadinya karsinoma
kandung empedu : batu empedu, porcelain gallbladder, jenis kelamin perempuan,
obesitas, usia lanjut, etnis Amerika-Meksiko, adanya kista koledokus, abnormalitas
duktus bilier, polip kandung empedu, paparan bahan kimia, tifoid kronik, riwayat
keluarga menderita karsinoma kandung empedu. 2
1 Panduan Praklik.lliois
DIAGNOSIS
Anamnesis
Pacta stadium awal umumnya tidak menimbulkan gejala sampai pacta stadium
lanjut. Beberapa keluhan pasien yaitu nyeri abdomen kuadran kanan atas, mual dan
muntah, ikterik, napsu makan menurun, kehilangan berat badan, pembengkakan
abdomen, gatal-gatal, tarry stools 2
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak ikterik, dapat ditemukan pembesaran kandung empedu a tau teraba
masa pacta area kandung emperu, nyeri tekan abdomen1.2
Pemeriksaan Penunjang
• Tes fungsi hati dan kandung empedu : bilirubin, albumin, alkalin fosfatase, AST
(aspartate aminotransferase), ALT (alanine aminotransferase), and Gama GT
(glutamil transferase).
• Tumor markers : CEA dan CA 19-9
• Pemeriksaan urin dan feses
• Ultrasonography: adanya masa di lumen kandung empedu
• CT Scan (Computed Tomography): masa di daerah kandung empedu sebagai diagnosis
awal, menentukan staging dari penyebaran tumor dan keterlibatan lymph nodes, juga
dapat digunakan sebagai alat bantu dalam biopsi dengan jarum. Dapat dilakukan CT
scanner {CT angiography) untuk melihat keadaan pembuluh darah hepatik dan portal.
• Magnetic resonance imaging (MRI) scan : melihat secara detail kandung empedu
dan salurannya, serta organ sekitar. Salah satu jenis MRI yang berguna pad a kasus
ini yaitu MR cholangiopancreatography (MRCP) yang dapat melihat langsung ke
dalam saluran empedu dan MR angiography {MRA) yang dapat melihat keadaan
pembuluh darah hepatik dan portal.
• Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) : melihat adanya
sumbatan pacta duktus biliaris atau duktus pankreatikus.
• Percutaneous transhepatic cholangiography {PTC}: dapat digunakan untuk
mengambil sampel cairan atau jaringan
• Laparoskopi : membantu, merencanakan operasi atau terapi lain, konfirmasi
staging kanker, pengambilan sampel biopsi, mengangkat kandung empedu pacta
kasus batu empedu atau inflamasi kronik (laparoscopic cholecystectomy).
• Biopsi
Tabell. Staging untuk Karsinoma Kandung Empedu :3
DIAGNOSIS BANDING
Batu kandung empedu, sludge
TATALAKSANA
• Operasi : kolesistektomi
• Radiasi
• Kemoterapi
KOMPLIKASI
Metastasis, obstruksi sistem bilier
PROGNOSIS
Faktor yang menentukan prognosis yaitu staging dari kanker, kanker dapat
diangkat seluruhnya atau tidak, tipe dari kanker (dilihat dari mikroskop), kanker
pertama kali didiagnosis atau rekuren. Prognosis umumnya buruk karena umumnya
tidak dapat dioperasi saat terdiagnosis. Pada 50 o/o kasus sudah terjadi metastasis
jauh. Rata-rata harapan hidup dari saat terdiagnosis yaitu 3 bulan, 14 o/o dapat
bertahan sampai 1 tahun. Kanker jenis papilari dan well-differentated adenokarsinoma
mempunyai harapan hid up lebih lama dibandingkan jenis tubuler dan undifferentiated.
13 2
• Berdasarkan staging angka harapan hidup dalam 5 tahun yaitu :
label 2. Angka Harapan Hidup sesuai staging2
0 81%
lA 50%
29%
IliA 9%
IliB 7%
IVA 3%
IVB 2%
B. KOLANGIOKARSINOMA
PENGERTIAN
Kolangiokarsinoma adalah keganasan yang berasal dari sel epitel bilier, dapat
timbul pada saluran intra- dan ekstrahepatik. Merupakan keganasan primer hepatik
yang kedua terbanyak. Umumnya tumor ini jenis adenokarsinoma. 4 Klasifikasi
terbagi menjadi intrahepatik dan ekstrahepatik (terbagi lagi menjadi hilar dan
distal). Kolangiokarsinoma berhubungan dengan kolitis ulseratif denganjatau tanpa
kolangitis sklerosing, usia lanjut >60 tahun, jenis kelamin laki-lakU Faktor risiko
untuk kolangiokarsinoma :4
• Prosedur drainase bilier-enterik
• Penyakit Caroli
• Kista duktus koledokus
• Sirosis hepatik
• Infeksi Clonorchis sinensis
• Hepatitis C
• Hepatolithiasis
• Infeksi Opisthorchis viverrini
• Primary sclerosing cholangitis
• Toksin (dioksin, polivinil klorida)
Klasifikasi Bismuth-Corlette
Khusus untuk kolangiokarsinoma yang terletak pada daerah perihilar, dibagi
berdasarkan keterlibatan duktus hepatikus menjadi :
• Tipe 1: tumor distal dari pertemuan duktus hepatikus kiri dan kanan
• Tipe II: tumor mencapai daerah pertemuan kedua duktus
• Tipe III: tumor yang mencakup duktus hepatikus komunis dan salah satu duktus
hepatikus ( duktus hepatikus kanan tipe Ilia, duktus hepatikut kiri tipe Illb)
• Tipe IV: tumor yang multisentrik, atau mencakup daerah pertemuan kedua duktus
dan kedua duktus kanan dan kiri.
Bila tumor melibatkan daerah pertemuan kedua duktus maka disebut klatskin
tumor.
Adenokarsinoma dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan bentuk pertumbuhannya:
nodular, sklerosis, dan papiler.
• Sklerosis: terdapat banyak jaringan yang fibrosis, cepat menginvasi din ding duktus.
Jenis yang terbanyak.
• Noduler: lesi anular yang mengkonstriksi duktus bilier, sangat invasif.
• Papiler: lesi tampak sebagai massa yang jelas pada duktus biliaris komunis,
menyebabkan obstruksi bilier sejak awal penyakit.
~v
Tipe IV
Gombar 2. Klasifikasi Bismuth-Corlette untuk Kolangiosarkoma 5
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Umumnya tidak bergejala sampai timbul obstruksi bilier. Gejala yang sering
dikeluhkan yaitu pruritus, nyeri abdomen, terasa sebagai nyeri tumpul di region kanan
atas. penurunan berat badan, demam, tinja berwarna seperti dempul, urin warna gelap
Pemeriksaan Fisik
Ikterus, hepatomegali, massa abdomen bagian kanan atas, penurunan be rat badan,
tanda Courvoisier: (kandung empedu teraba), biasanya karena sumbatan tepat di
distal duktus sistikus. 1
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium 1
Peningkatan bilirubin total dan direk, alkali fosfatase, 5'-nukleotidase, dan
y-glutamiltransferase
SGOT, dan SGPT dapat meningkat pada obstruksi bilier lama
Tumor marker: CEA, CA 19-9
Billiary insulin-like growth factor
Fluorescence in situ hybridization
1
• Imaging
USG: dapat ditemukan gambaran mas sa, dilatasi duktus bilier intrahepatik pada
sumbatan proksimal (pada tumor duktus intrahepatik atau pada pertemuan
kedua duktus ), dilatasi duktus intra- dan ekstrahepatik pad a sumbatan distal.
Klatskin tumor tampak sebagai tidak menyatunya duktus hepatikus kanan
dan kiri. Tumor papiler: massa intralumen polipoid. Tumor noduler : massa
diskret disertai penebalan dinding duktus.
CT scan: berguna untuk mendeteksi tumor intrahepatik, level obstruksi bilier,
dan adanya atrofi hepar.
MRCP: massa hipointens pada Tl, hiperintens pada T2. Dapat juga untuk
melihat struktur anatomis sekitar -7 evaluasi resektabilitas
Kolangiografi: melalui endoscopic retrograde pancreatography (ERCP) atau
perkutan, dengan percutaneous transhepatic cholangiogram (PTC).
ERCP /PTC + -7 sam pel empedujsitologi brushing
Endoscopic ultrasonography (EUS): dapat menunjukkan gambaran massa, lebih
baik untuk lesi distal.
PET scan: dapat mendeteksi mulai dari lesi 1 em, dan lesi - lesi metastasis
Angiografi : Digunakan untuk melihat adanya pembuluh darah yang melingkari
lesi, sekaligus mendeteksi trombosis vena porta.
Kriteria diagnosis untuk kolangiokarsinoma (tabel 3).
Suspek kolangiokarsinoma
Pemeriksaan CA 19-9,
kolangiografi endoskopi
(brushing, sitologL FISH)
~
Striktur dominan, CA 19- Tidak ada striktur
9 > 129 U/ml. BiopsL
sitologL atau FISH llnderterminate I dominan, CA 19-9 < 129
U/ml. BiopsL sitologL atau
polisomi yang positif FISH polisomi yang negatif
I MRI
I
I
~ ~
~
I Mass vascular I
encasement
I II
Klinis
signifikan
Klinis
tidak signifikan
~
j_
I Penatalaksanaan
kolangiokarsinoma 1,.
~
IHot spot I I Negatif Observasi
Stage 0 Tis NO MO
Stage I T1 NO MO
Stage II T2a-T2b NO MO
Stage Ill A T3 NO MO
Stage Ill B Tl-T3 Nl MO
Stage IV A T4Any N MO
Stage IV B AnyT N2 MO
AnyN Ml
DIAGNOSIS BANDING
Koledokolitiasis, striktur duktus biliaris jinak, kolangitis sklerotikans, keganasan
pankreas, pankreatitis kronik
TATALAKSANA1
• Terapi diutamakan reseksi pada yang masih memenuhi kriteria
• Radioterapi dengan atau tanpa sensitisasi menggunakan kemoterapi
• Brakiterapi intralumen
• Terapi fotodinamik
• Kemoterapi : gemcitabin.
KOMPLIKASI
Kolangitis, kematian.
PROGNOSIS
Prognosis tergantung lokasi tumor, lokasi lebih distallebih besar kemungkinan
direseksi daripada yangdi hilus. Secara histologik well-differentated lebih baik
prognosisnya daripada yang undifferentiated. Jika direseksi, angka harapan hidup
1 tahun sebesar SO%, 2 tahun 20%, dan 3 tahun 10 %. 1
REFERENSI
1. Sherlock S, Dooley J. Tumours of the Gallbladder and Bile Ducts. In: Dooley J, Lok A Burroughs
A Heathcote E Diseases of the Liver and biliary System. 121h ed. UK: Blackwell Science. P294-311
2. American Cancer Society. Gallbladder Cancer. 2012. Diunduh dari http:/ I www. cancer.org/
Cancer/GallbladderCancer/DetailedGuide/gallbladder-cancer pada tanggal 21 Mei 2012
3. National Cancer Institute. Gallbladder Cancer Treatment. 2011. Diunduh dari http:/I www.cancer.
gov /cancertopics/pdq/treatment/gallbladder/Patient/page 1 pad a tanggal 21 Mei 2012.
4. Blechacz B, Gores G. Tumors of the Bile Ducts, Gallbladder, and Ampulla. In: Feldman M, Friedman
L Brandt L. Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/
Diagnosis/Management. 91h ed. USA: Elsevier. Chapter 69.
5. Blechacz BR, Gores GJ. Cholangiosarcoma. Clin Liver Dis 2008; 12:131-150.
6. DeOliveira ML Schulic RD, Nimura Y et all. New Staging System and a Registry for Perihilar
Cholangiocarcinoma. HEPATOLOGY 20 11 ;53: 1363-1371).
PENATALAKSANAAN
Dl BIDANG ILMU PENYAKIT DAlAM
PANDOAN
PRAKTIK
KLINIS
Dehidrasi ····································f······l···l-1-·)·k···f·r·;;>_········
Gangguan Kognitif Ringan Da
i
~·
I
DEHIDRASI
PENGERTIAN
Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih
banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam
jumlah yang sama (dehidrasi isotonik), atau hilangnya natrium yang lebih banyak
daripada air ( dehidrasi hipotonik).l
Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih
dari 145 mmol/Liter) dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 285
mosmol/Liter). Dehidrasi isotonik ditandai dengan normalnya kadar natrium serum
(135-145 mmol/Liter) dan osmolalitas efektif serum (270-285 mosmol/Liter).
Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang dari
135 mmoljLiter) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 mosmol/Liter).
Penting diketahui perubahan fisiologi pada usia lanjut. Secara umum, terjadi
penurunan kemampuan homeostatik seiring dengan bertambahnya usia. Secara
khusus, terjadi penurunan respons rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan
h.iperosmolaritas. Di samping itu juga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus,
kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron, dan penurunan tanggapan
ginjal terhadap vasopresin.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala klasik dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering, mengantuk. 1
Pemeriksaan Fisik
Aksila lembabjbasah, suhu tubuh meningkat dari suhu basal, diuresis berkurang.
Penurunan turgor dan mata cekung sering tidak jelas. Penurunan berat badan akut
lebih dari 3%. Hipotensi ortostatik. 1
I.Panduan Praklik.Kiinis
Laboratoriu m
Urin: berat jenis (BJ) urin ~1,019 (tanpa adanya glukosuria dan proteinuria), serta
rasio Blood Urea NitrogenjKreatinin ~16,9 (tanpa adanya perdarahan aktif saluran cerna).
Kriteria ini dapat dipakai dengan syarat: tidak menggunakan obat-obat sitostatik,
tidak ada perdarahan saluran cerna, dan tidak ada kondisi overload (gagal jantung
kongestif, sirosis hepatis dengan hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium
terminal, sindrom nefrotik).
Jika memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan pengukuran kadar natrium
plasma darah, osmolaritas serum, dan tekanan vena sentral.
TATALAKSANA
Lakukan pengukuran keseimbangan cairan yang masuk dan keluar secara berkala
sesuai kebutuhan. Pada dehidrasi ringan, terapi cairan dapat diberikan secara oral
sebanyak 1500-2500 ml/ 24 jam (30 mljkg berat badan/24 jam) untuk kebutuhan
dasar, ditambah dengan penggantian defisit cairan dan kehilangan cairan yang masih
berlangsung. Menghitung kebutuhan cairan sehari, termasuk jumlah insensible water
loss sangat perlu dilakukan setiap hari. Perhatikan tanda-tanda kelebihan cairan
seperti ortopnea, sesak napas, perubahan pola tidur, atau confusion. Pemantauan
dilakukan setiap 4-8 jam tergantung beratnya dehidrasi. Cairan yang diberikan secara
oral tergantung jenis dehidrasi.
• Dehidrasi hipertonik: cairan yang dianjurkan adalah air atau minuman dengan
kandungan sodium rendah, jus buah seperti apel, jeruk, dan anggur
• Dehidrasi isotonik: cairan yang dianjurkan selain air dan suplemen yang
mengandung sodium (jus tomat), juga dapat diberikan larutan isotonik yang ada
di pasaran
• Dehidrasi hipotonik cairan yang dianjurkan seperti di atas tetapi dibutuhkan kadar
sodium yang lebih tinggi
Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat minum per oral, selain
pemberian cairan enteral, dapat diberikan rehidrasi parenteral. Jika cairan tubuh
yang hilang terutama adalah air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat
dihitung dengan rumus:
Defisit cairan (liter) = Cairan badan total (CBT) yang diinginkan- CBT saat ini
CBT yang diinginkan = Kadar Na serum x CBT saat ini
140
CBT saat ini (pria) =50% x berat badan (kg)
CBT saat ini (perempuan) = 45% x berat badan (kg)
Dehicdrasi'
-.-,,. ' '., '.- ., '"' ·'
Jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis
dehidrasinya. Pad a dehidrasi isotonik dapat diberikan cairan Na Cl 0, 9% atau Dekstrosa
5% dengan volume sebanyak 25-30% dari defisit cairan total per hari. Pada dehidrasi
hipertonik digunakan cairan NaCl 0,45%. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan
mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet natrium, dan bila perlu
pemberian cairan hipertonik. 1
KOMPLIKASI
Gagal ginjal, sindrom delirium akut, kejang.
PROGNOSIS
Deteksi dan terapi dini dehidrasi menghasilkan prognosis kesembuhan yang baik.
Bila tidak ada komplikasi maka keseimbangan cairan akan terkoreksi.
KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam : A3, B4
• Konsultan Geriatri
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1. Kuswardhani. RA Tuty. Sari. Nina Kemala. Dehidrasi dan gangguan elektrolit. Dalam :Sudoyo, Aru
W. Setyohadi. Bambang. Alwi, ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar llmu Penyakit
Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-
RSCM; 2009. Halaman 797-801.
GANGGUAN KOGNITIF RINGAN
DAN DEMENSIA
PENGERTIAN
Antara fungsi kognitif yang normal untuk usia lanjut dan demensia yang jelas,
terdapat suatu kondisi penurunan fungsi kognitif ringan yang disebut dengan mild
cognitive impairment (MCI) dan vascular cognitive impairment (VCI), yang sebagian
akan berkembang menjadi demensia, baik penyakit Alzheimer maupun demensia
tipe lain.
Mild cognitive impairment (MCI) merupakan suatu kondisi "sindrom
predemensia" (kondisi transisi fungsi kognisi antara penuaan normal dan demensia
ringan), yang pacta berbagai studi telah dibuktikan sebagian akan berlanjut menjadi
demensia (terutama demensia Alzheimer) yang simtomatik. 1
Vascular cognitive impairment (VCI) merujuk pacta keadaan penurunan fungsi
kognitif ringan dan dihubungkan dengan iskemia serta infark jaringan otak akibat
penyakit vaskular dan aterosklerosis. 1
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual (berpikir abstrak, penilaian,
kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial) dan memori didapat yang disebabkan
oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran,
sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna. 1
Demensia Alzheimer merupakan demensia yang disebabkan oleh penyakit
Alzheimer; munculnya gejala perlahan-lahan namun progresif. Demensia vaskular
merupakan demensia yang terjadinya berhubungan dengan serangan strok (biasanya
terjadi 3 bulan pasca strok); munculnya gejala biasanya bertahap sesuai serangan strok
yang mendahului (step ladder). Pacta satu pasien pasca strok bisa terdapat kedua jenis
ini (tipe campuran). Pacta kedua tipe ini lazim terdapat faktor risiko seperti: hipertensi,
diabetes melitus, dislipidemia, dan faktor risiko aterosklerosis lain. 2
Demensia dapat disertai behavioral and psychological symptoms of dementia
(BPSD) yang lazim disebut sebagai perubahan perilaku dan kepribadian. Gejala
BPSD dapat berupa depresi, wandering/pacing, pertanyaan berulang atau manerism,
kecemasan, atau agresivitas.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Memori pasien, tingkat aktivitas sehari-hari, juga diperlukan anamnesis dari orang
terdekat pasien, riwayat stroke, hipertensi, diabetes. 1
Pemeriksaan Penunjang 1
• Pemeriksaan neuropsikiatrik dengan the Mini-Mental State Examination (MMSE),
The Global Deterioration Scale (GDS), dan The Clinical Dementia Ratings (CDR). Nilai
MMSE dipengaruhi oleh umur dan tingkat pendidikan, sehingga pemeriksa harus
mempertimbangkan hal-hal terse but dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan
MMSE.
• Fungsi tiroid, hati, dan ginjal
• Kadar vitamin B12
• Kadar obat dalam darah (terutama yang bekerja pada susunan saraf pusat)
• CT scan, MRI
Untuk kriteria diagnosis MCI dan VCI dapat dilihat pada Tabel 1, sementara kriteria
diagnosis demensia dapat dilihat pada Tabel 2.
···~-~~--'~"~·:···~i'
, Pe~J~piJna.~_ Do~ter. SP.e~ic;:rlis . ~erly~":J(Pald!):l lndq,nf?~lq
DIAGNOSIS BANDING
Transient ischemic attack, delirium, depresi,Jactitious disorder_ normal aging. 2
Kondisi klinis lain yang juga harus dibedakan adalah pengaruh obat-obatan
dan defisit sensori pacta orang tua. Beberapa jenis obat yang sering dikatakan
menimbulkan confusi adalah opiat, benzodiasepin, neuroleptik, antikolinergik, H2
blockers, dan kortikosteroid. Gangguan sensoris pacta orang tua seperti impairment
of hearing dan vision juga sering menyebabkan identifikasi yang salah dengan
demensia. (current) Demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi dan/
atau penyakit Parkinson. 2
label 3. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer menurut the Nationallnstitute of
Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer's Disease
and Related Disorders Association (ADRDA]4
1. Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:
• Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan the
mini-mental test. Blessed Dementia Scale, atau pemeriksaan sejenis, dan dikonfirmasi oleh tes
neuropsikologis
• Defisit pada dua atau lebih area kognitif
• Tidak ada gangguan kesadaran
• Awitan antara umur 40 dan 90, umumnya setelah umur 65 tahun
• Tidak adanya kelainan sistemik a tau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit
progresif pada memori dan kognitif
2. Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
• Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia
• Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan polo perilaku
• Riwayat keluarga dengan gangguan yang soma, terutama bila sudah dikonfirmasi secara
neuropatologi ·
• Hasillaboratorium yang menunjukkan
• Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
• Polo normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan aktivitas slow-wave
• Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh
pemeriksaan serial
3. Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer, setelah
mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
• Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
• Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, halusinasi,
verbal katastrofik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan
• Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut, seperti
peningkatan tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah (gait disorder)
• Kejang pada penyakit yang lanjut
• Pemeriksaan CT normal untuk usianya
4 .. Gainbaranyan€J-membuat·aia€Jnosis-prebable-penyakitAizheimer-menjaditidakeocekadalah;
• Onset yang mendadak dan apolectic
• Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit lapang pandang,
dan inkoordinasi pada tahap awol penyakit; dan kejang atau gangguan melangkah pada saat
awitan atau tahap awol pe~alanan penyakit
5. Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
• Dibuat berdasarkan adanyci sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis, psikiatrik,
.....atau.sistemikJain ..yang.dapatmen"y"ebabkan.demensia, ..dan.adanyavariasi pada awitan, gejala
klinis, atau perjalanan penyakit
• Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk
menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukan merupakan penyebab demensia
.'8
292_l!ll';
· · G:~itl@·@·oo'h·v""'~-~·:*:
label 4. Penatalaksanaan terhadap Faktor Risiko Timbulnya Gangguan Kognitif pada Usia Lanjut
KOMPLIKASI
Jatuh, rusaknya struktur sosial keluarga, isolasi, malnutrisi
PROGNOSIS
Rata-rata harapan hidup pasien demensia sekitar delapan tahun dengan kisaran
1-20 tahun. Pasien dengan awitan dini atau memiliki riwayat demensia dalam keluarga,
progesifitasnya lebih cepat. 10-15% pasien berpotensi untuk kern bali ke kondisi awal
jika terapi dimulai sebelum terjadi kerusakan otak permanen. 2
KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam
• Konsultan Geriatri
{}
Anamnesis
I Faktor risiko: I Laboratorium:
• Lama keluhan • Fungsi tiroid
• Fungsi hati Kelola semua
•Awitan • Hipertensi • Gagal jantung faktor risiko
• Progresivitas • Diabetes melitus • Hiperkoagulasi • Fungsi ginjal
• Kadar obat dalam darah sesegera &
• Aktivitas hid up • Dislipidemia • Hiperagregasi seoptimal
sehari-hari • Merokok trombosit (Terutama yang bekerja
pada SSP) mungkin
• Riwayat keluarga • Obesitas • Neurosifilif
• Penggunaan obat- •PPOK &HIV
obatan dan alkohol Terapi sesuai penyebab
• Riwayat CABG bila abnonmal
I Modifikasi/terapi bila ada
I
MMSE<24
Dugaan Demensia
il
MMSE24-28
Dugaan MCI-VCI
MMSE>28
Normal(?)
Lanjutkan
pengelolaan
faktor resiko:
•Terapi
{}
Edukasi
{}
Edukasi
v antihipertensi
• lnjeksi/obat
hipoglikemik
• Obat penurun
kadar lemak
Rujuk SpKJ/SpS/ Inhibitor kolinesterase (masih kontroversi) • Antikoagulan
Konsultan Geriatri Kerjasama dengan spesialis terkait
• Olahraga
yang teratur
Skor MMSE
{} • Suplementasi
asam folat &
Vit, B12
tetap/turun • Konsumsi
Evaluasi 6 bulan sera! larut air
• Asupan kalori
yang baik
(proper caloric
intake)
• Berhenti
merokok
Gamber 1. Algoritme Evaluasi dan Penatalaksanaan Pasien Usia Lanjut dengan Penurunan Fungsi
Kognitif
REFERENSI
1. Dementia. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011
2. Dementia. Dalam : Kaplan and Sadock's Synopsis of Psychiatry 1O'h Edition. Lippincott Williams
& Wilkins. 2007
3. Rochman, Wasilah. Murti, Kuntjoro Hari, Demensia. Dalam :Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang.
Alwi, ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat
lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM; 2009. Halaman 837-844.
4. McKhan Guy et al. Clinical diagnosis of alzheimer disease. Report of the NINCDSADRDA Work
group neurology, Neurology 1984(34) :939-943.
5. Current: Sink KM, Yaffe K. Cognitive impairment and dementia. In: Williams BA, Chang A, Ahalt
C, Conant R, Ritchie C, Chen H, Landefeld CS, Yukawa M. Current Diagnosis and treatment
Geriatrics. 2nd ed. New York; Me Grow HilL 2014.
IMOBILISASI
PENGERTIAN
Mobilisasi tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik
persepsi, keterampilan motorik, kondisi jasmani, tingkat kognitif, dan kesehatan
premorbid, serta variabel eksternal seperti keberadaan sumber-sumber komunitas,
dukungan keluarga, adanya halangan arsitektural (kondisi lingkungan), dan
kebijaksanaan institusional. 1
Imobilisasi didefinisikan sebagai kehilangan gerakan anatomik akibat
perubahan fungsi fisiologis, yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas mobilitas di tern pat tidur, transfer, a tau
ambulasi selama lebih dari tiga hari. Imobilisasi menggambarkan sindrom degenerasi
fisiologis yang diakibatkan penurunan aktivitas dan "deconditioning". 1 Berbagai faktor
jasmani, psikologis, dan lingkungan yang dapat menyebabkan imobilisasi pada usia
lanjut dapat dilihat pada Tabel 1.
DIAGNOSIS
Anamnesis 1
• Riwayat dan lama disabilitasfimobilisasi
• Kondisi medis yg merupakan faktor risiko dan penyebab imobilisasi
• Kondisi premorbid
• Nyeri
• Obat-obatan yang dikonsumsi
• Dukungan pramuwerdha
• Interaksi sosial
• Faktor psikologis
• Faktor lingkungan
Pemeriksaan Fisik1
• Status kardiopulmonal
• Kulit
• Muskuloskeletal: kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi, lesi dan deformitas
kaki
• Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik
• Gastrointestinal
• Genitourinarius
• Status Fungsional: Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan
sehari-hari (AKS) Barthel
• Status Mental: Antara lain penapisan dengan pemeriksaan geriatric depression
scale (GDS)
• Status Kognitif: Antara lain penapisan dengan pemeriksaan mini-mental state
examination (MMSE), abbreviated mental test (AMT)
• Tingkat Mobilitas: Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di
kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan (gait), nyeri saat
bergerak.
Pemeriksaan Penunjang 1
• Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto lutut,
ekokardiografi, dll) dan komplikasi akibat imobilisasi (pemeriksaan albumin,
elektrolit, glukosa darah, hemostasis, dll.
TAT ALAKSANA 1
Tatalaksana Umum
• Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan
pramuwerdha
• Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan
pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien
• Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan
pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan
untuk mencapai target terapi
• Temukenali dan tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan
elektrolit yang mungkin terjadi pacta kasus imobilisasi, serta penyakitjkondisi
penyerta lainnya
• Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat
menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau
dihentikan hila memungkinkan.
• Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat,
serta suplementasi vitamin dan mineral
• Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis sudah
tercapai, meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi
(pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguatan otot-otot (isotonik,
isometrik, isokinetik), latihan koordinasijkeseimbangan (misalnya berjalan pacta
satu garis lurus ), transfer dengan bantuan, dan ambulasi terbatas.
• Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri
dan ambulasi
• Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet
TATALAKSANA KHUSUS
• Tatalaksana faktor risiko imobilisasi (lihat Tabell)
• Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi
• Pacta keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter
spesialis yang kompeten
• Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pacta pasien-pasien yang mengalami
sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk mencegah imobilisasi
lebih lanjut
• Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilitas yang
adekuat bagi usia Ian jut yang mengalami disabilitas permanen
• Low dose heparin (LDH), dan Low Molecular Weight Heparin (LMWH), pencegahan
kontraktur dan pneumonia (gerakan-gerakan yang harus dikerjakan, pencegahan
ulkus dekubitus)
KOMPLIKASI
Trombosis, emboli paru, kelemahan otot, kontraktur otot dan sendi, osteoporosis,
ulkus dekubitus, hipotensi postural, pneumonia dan infeksi saluran kemih, gangguan
nutrisi (hipoalbuminemia), konstipasi dan skibala.1.2
PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi
yang ditimbulkannya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat memperberat penyakit
dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai menimbulkan
kematian.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam R S n on pend i d i k an
Departemen llmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1. Setiati, Siti. Roosheroe, Arya Govinda. lmobilisasi Pada Usia Lanjut. Dalam :Sudoyo, Aru W.
Setyohadi, Bambang. Alwi, ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-
RSCM; 2009. Halaman 859-864.
2. Stechmiller JK, Cowan L, Whitney JD, et al. Guidelines for the prevention of pressure ulcers. Wound
Repair Regen 2008; 16(2): 151-168
INKONTINENSIA URIN
PENGERTIAN
Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga
menimbulkan masalah higiene dan so sial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang
sering dijumpai pada pasien geriatri dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial,
seperti dekubitus, jatuh, depresi, dan isolasi sosiaJ.l
Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang akut
dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi
saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, obat-obatan, masalah psikologik,
dan skibala. Inkontinensia urin yang persisten biasanya dapat pula dikurangi dengan
berbagai modalitas terapU
2
Inkontinensia urin persisten dapat dibedakan menjadi:
• Inkontinensia urin tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih,
keinginan berkemih yang tidak tertahankan (urgensi), yang disebabkan oleh
overaktivitas otot detrusor karena hilangnya kontrol neurologis atau iritasi lokal
• Inkontinensia urin tipe stres adalah kegagalan mekanisme sfingter menutup
ketika ada peningkatan tekanan intra-abdomen mendadak seperti bersin, batuk,
mengangkat barang berat dan tertawa.
• Inkontinensia urin tipe overflow dicirikan oleh menggelembungnya kandung kemih
melebihi volume yang seharusnya dimiliki kandung kemih, post-void residu (PVR)
>100 cc.
Penyebab reversibel dari inkontinentia (DIAPPERS):3
Delirium or confusion = delirium atau acute cofusional state
Infection, urinary symptoms= infeksi, gejala traktus urinarius
Atrophic genital tract changes (vaginitis or urethritis)= atrofi traktus genitalia (vaginitis
a tau urethritis)
Pharmaceutical agents= obat-obatan atau zat yang menimbulkan efek sering berkemih
Psychological factors= faktor psikologi
Excess urine production (excess fluid intake, volume overload, metabolic such as
hyperglycemia or hypercalcemia)= kelebihan produksi urin (konsumsi cairan yang
banyak, kondisi overload atau metabolik seperti hiperglikemia atau hiperkalsemia)
Restricted mobility (chronic illness, injury or restraint)= mobilitas terbatas (penyakit
kronis, kecelakaan atau restraint/diikat)
Stool impaction = skibala
DIAGNOSIS
Anamnesis
Frekuensi, urgensi, nokturia, disuria, hesitancy, pancaran lemah, tanyakan
frekuensi miksi, banyaknya kejadian inkontinensia, konsumsi cairan, gejala ginekologis:
perdarahan pervaginam, iritasi vagina. 4
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaaan neurologis: kesadaran, nervus cranialis, fungsi motorik, refleks
spinal, dan fungsi sensoris. Pemeriksaan pelvis : inflamasi atau infeksi traktus genitalia
dapat meningkatkan sensasi aferen yang menyebabkan irritative voiding symptoms. 4
Pemeriksaan Penunjang
Urin lengkap dan kultur urin, PVR, kartu catatan berkemih, gula darah, kalsium
darah dan urin, perineometri, urodynamic study.
TATALAKSANA
Terapi untuk inkontinensia urin tergantung pacta penyebab inkontinensi urin. 1
• Untuk inkontinensia urin tipe urgensi dan overactive bladder, diberikan latihan
otot dasar panggul, bladder training, schedule toiletting, dan obat yang bersifat
antimuskarinik (antikolinergik) seperti tolterodin, solifenacin, propiverine atau
oksibutinin. Obat antimuskarinik yang dipilih seyogyanya yang bersifat uroselektif.
• Untuk inkontinensia urin tipe stres, latihan otot dasar panggul merupakan pilihan
utama, dapat dicoba bladder training dan obat agonis alfa (hati-hati pemberian
agonis alfa pacta orang usia lanjut).
• Untuk inkontinensia tipe overflow, perlu diatasi penyebabnya. Bila ada sumbatan,
perlu diatasi sumbatannya (misalnya hipertrofi prostat).
KOMPLIKASI
Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet
pada area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh
dan fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.
PROGNOSIS
• Inkontinensia urin tipe stres biasanya dapat diatasi dengan Iatihan otot dasar
panggul, prognosis cukup baik.
• Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat diperbaiki
dengan obat-obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik.
• Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan
mengatasi sumbatanjretensi urin).
KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam; A3, B4
• Konsultan Geriatri
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Geriatri-Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Departemen Penyakit Dalam
REFERENSI
1. Setiati, Siti. Pramantara, I Dewa Putu. lnkontinensia Urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam
:Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi, ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar
llmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit
Dalam FKUI-RSCM; 2009. Halaman 837-844.
2. Clinical problems of aging. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson
J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2011.
3. Resnick NM. Urinary incontinence in the elderly. Medical Grand Rounds 1984;3:281-90.
4. Botros, Sylvia M. sand, Peter K. Urinary Incontinence. Diunduh pada: http://www. menopausemgmt.
com/issues/13-05/MM 13-5_1ncontinence.pdf pada tanggal 28 Mei 2012.
INSTABILITAS DAN JATUH
PENGERTIAN
Stabilitas adalah proses menerima dan mengintegrasikan input sensorik serta
merencanakan dan melaksanakan gerakan untuk mencapai tujuan yang membutuhkan
postur tegak, atau mengontol pus at gravitasi tetap berada di atas landasan penopang. 1
Instabilitas adalah kekurangan atau kehilangan kemampuan mempertahankan
stabilitas 2 • Jatuh adalah suatu kondisi seseorang mengenai lantai atau posisi yang
lebih rendah karena ketidak hati-hatian (inadvertently) dengan atau tanpa penurunan
kesadaran. 3
Adanya instabilitas membuat seseorang berisiko untuk jatuh. Kemampuan untuk
mengontrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi kompleks sistem
saraf dan muskuloskeletal yang dikenal sebagai sistem kontrol postural. Jatuh terjadi
manakala sistem kontrol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak
mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang (kaki, saat berdiri) pada
waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan. Kondisi ini seringkali
merupakan keluhan utama yang menyebabkan pasien datang berobat (keluhan utama
dari penyakit-penyakit yang juga bisa mencetuskan sindrom delirium akut).l
Terdapat faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik untuk terjadinya jatuh. Faktor
intrinsik terdiri atas faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor intrinsik lokal: osteoartritis
genu/vertebra lumbal, plantar [ascii tis, kelemahan otot kuadrisep femoris, gangguan
pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pada alat keseimbangan seperti vertigo
yang dapat ditimbulkan oleh gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulasi,
hiperagregasi, atau spondiloartrosis servikal. Faktor intrinsik sistemik: penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, infark miokard akut, gagal jantung,
infeksi saluran kemih, gangguan aliran darah ke otak (hiperkoagulasi, strok, dan
transient ischemic attactjTIA), diabetes melitus danjatau hipertensi (terutama
jika tak terkontrol), paresis inferior, penyakit atau sindrom parkinson, demensia,
gangguan saraf lain serta gangguan metabolik seperti hiponatremia, hipoglikemia
atau hiperglikemia, dan hipoksia. Faktor risiko ekstrinsik/lingkungan antara lain:
alas kaki yang tidak sesuai, kainjpakaian bagian bawah tubuh yang terjuntai, lampu
1 Panduan Pralltik Klillis
ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, basah, atau tidak rata, furnitur yang
terlalu rendah atau tinggi, tangga yang tak aman, kamar mandi dengan bak mandi/
closet terlalu rendah a tau tinggi dan tak memiliki alat bantu untuk berpegangan, tali
atau kabel yang berserakan di lantai, karpet yang terlipat, dan benda-benda di lantai
yang membuat seseorang terantuk. 1
DIAGNOSIS
Anamnesis
Terdapat keluhan perasaan seperti akan jatuh, disertai atau tanpa dizziness, vertigo,
rasa bergoyang, rasa tidak percaya diri untuk transfer atau mobilisasi mandiri. Riwayat
jatuh, frekuensi, dan gejala yang dirasakan saat jatuh, riwayat pengobatan, dan faktor
risiko jatuh perlu ditanyakan. 4
Pemeriksaan Fisik
Pendekatan dalam pemeriksaan jasmani dapat menggunakan singkatan "/HATE
FALLING"yaitu :5
I : inflamasi pad a sendi ( deformitas sendi)
H: hipotensi (orthostatik)
A : auditory and visual abnormalities
T: tremor (penyakit Parkinson atau penyebab lain)
E : equilibrium problem
F : Foot problem
A : aritmia, heart block atau penyakit katup jantung
L: leg-length discrepancy (akibat fraktur femur misalnya)
L : lack of conditioning (generalize weakness)
I: illness
N : nutrisi (status nutrisi buruk, kehilangan berat badan)
G :gait disturbance
Anamnesis
Riwayat medis umum
Tingkat mobilitas
Riwayat jatuh sebelumnya
Obat-obatan yang dikonsumsi Terutama obat antihipertensi dan psikotropika
Apa yang dipikirkan pasien Apakah pasien sador bahwa akan jatuh?; Apakah kejadianjatuh
sebagai penyebab jatuh? tersebut soma sekali tak terduga?; Apakah pasien terpeleset
atau terantuk?
Lingkungan sekitar tempat Waktu dan tempat jatuh; Saksi; kaitannya dengan perubahan
jatuh postur,. batuk, buang air kecil, memutar kepala.
Gejala yang terkait Kepala terasa ringan, dizziness, vertigo; palpitasi, nyeri dada,
sesak; gejala neurologis fokal mendadak (kelemahan, gangguan
sensorik, disortria, ataksia, bingung, afasia); Aura; lnkontinensia
urin atau alvi
Hilangnya kesadoran Apakah yang langsung diingat segera setelah jatuh?
Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh dan jika
do pat, berapa lama waktu yang diperlukan untuk do pat bangkit
setelah jatuh?
Apakah adanya hilangnya kesadaran dapat dijelaskan ?
Pemeriksaan Jasmani: Demam, hipotermia, frekuensi pernapasan, frekuensi nodi dan
Tanda vital tekanan _darah soot berboring, duduk, dan berdiri.
Kulit Turgor, trauma, kepucatan
Mota Vis us
KerelioveskuiElf -- ----Aritmia,--t:>ruit-lcEarotis,tanEiastenosis-aoFta,sensitivites-siRus-kerGtis
Ekstremitas Penyakit sendi degeneratif, lingkup gerak sendi, deformitas,
fraktur, masalah podiatrik (kalus, bunion, ulserasi, sepatu yang
tidak sesuai, kesempitan/ kebesoran, atau rusak)
Neurologis Status mental. tanda fokal, otot (kelemahan, rigiditas, spastisitas),
soraf perifer (terutama sensasi posisi), proprioseptif, refleks, fungsi
soraf kranial, fungsi serebelum (terutama uji tumit ke tulang
keiing) ,·· ·gejala-el<strapiramidal: ·tremor saat··istirah·at;-bradikinesia,
gerakan involunter lain, keseimbangan dan cora be~alan dengan
mengobservasi cora pasien berdiri dan berjalan (uji get up and go)
Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan (dapat dilihat pada bab prosedural) seperti the timed
up-and-go test (TUG), uji menggapai fungsional (functional reach test), dan uji
keseimbangan Berg (the Berg balance sub-scale of the mobility index) dapat untuk
mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis bermakna
yang menyebabkan seseorang berisiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam
mobilitas. Instrumen untuk memeriksa keseimbangan dan mobilitas fungsional
dapat dilihat pad a lamp iran 1,1 Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu
mengidentifikasi faktor risiko; menemukan penyebabjpencetus: 1
• Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit neurologis fokal,
adakah cerebra vascular disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT
scan jika ada indikasi
• Darah perifer lengkap
• Elektrolit (terutama natrium dan kalium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah
• Analisis gas darah
• Urin lengkap dan kultur resistensi urin
• Hemostasis darah dan agregasi trombosit
• Foto toraks, vertebra, genu, dan pergelangan kaki (sesuai indikasi)
• EKG
• Identifikasi faktor domisili (lingkungan tempat tinggal)
Penilaian Risiko Jatuh Ada beberapa metode untuk menilai risiko jatuh pada
geriatri seperti the downtown fall risk index dan rumus seperti di bawah ini :6•7
Kemungkinan exp [-7.519 + 0.026 x (reaction time)- 0.071x (ABCl}- 2.139 x (Berg 14)]
jatuh ----------------------------------------------------- x100%
1 + exp {-7.519 + 0.026 x (reaction time)- 0.071x (ABCl)- 2.139 x (Berg 14}]
Keterangan :
Skala uji keseimbangan Berg : lihat di lamp iran
Reaction time : merupakan waktu yang diukur dari pemberian unexpected stimulus sampai merespon
terhadap stimuli tersebut
Skala Activities-specific Balance Confidence (ABC) : terdiri dari 16 poin (subsea/e), subjek diminta untuk
menentukan tingkat kepercayaan diri mereka ketika diminta menyelesaikan suatu aktivitas.
Catalan: risiko jatuh dengan rumus di atas lebih banyak untuk kepentingan penelitian.
Tabel 3. Penilaian Klinis dan Tatalaksana yang Direkomendasikan bagi Orang Usia Lanjut yang
Berisiko Jatuh'
Tekanan darah postural (setelah ~5 Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
menit dalam posisi berbaring/supine, memungkinkan; review dan kurangi obat-obatan;
segera setelah berdiri, dan 2 menit modifikasi dari restriksi garam; hidrasi yang adekuat;
setelah berdiri) tekanan sistolik turun ~ 20 strategi kompensasi (elevasi bagian kepala tempat
mmHg (atau ~ 20%), dengan atau tanpa tidur, bangkit perlahan, atau latihan dorsofleksi);
gejala, segera atau setelah 2 menit stoking kompresi; terapi farmakologis jika strategi di
berdiri. atas gagal.
TATALAKSANA
• Prinsip dasar tatalaksana usia Ian jut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh
adalah identifikasi faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik, mengkaji dan mengobati
trauma fisik akibat jatuh; mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas
dan jatuh; memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan,
penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai; mengubah lingkungan
agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup; pegangan; lantai yang tidak
licin, dan sebagainya. 1
• Latihan desensitisasi faal keseimbangan, latihan fisik (penguatan otot, fleksibilitas
sendi, dan keseimbangan), latihan Tai Chi, adaptasi perilaku (bangun dari duduk
perlahan-lahan, menggunakan pegangan atau perabot untuk keseimbangan, dan
teknik bangun setelah jatuh) perlu dilakukan untuk mencegah morbiditas akibat
instabilitas dan jatuh berikutnya. 1
• Perubahan lingkungan acapkali penting dilakukan untuk mencegah jatuh berulang
karena lingkungan tempat orang usia Ian jut tinggal seringkali tidak aman sehingga
upaya perbaikan diperlukan untuk memperbaiki keamanan mereka agar kejadian
jatuh dapat dihindarU
• Keluarga harus dilibatkan dalam program pencegahan jatuh berulang
• Penatalaksanaan faktor risiko juga dilakukan seperti pada Tabel 3. 1
• Suplementasi vitamin D dengan dosis 800 IU setiap hari dapat diberikan pada
usia lanjut yang berisiko jatuh, adanya defisiensi vitamin D, adanya gangguan
keseimbangan a tau gaitl
• Algoritme pendekatan dan penanganan jatuh pad a usia lanjut8 •9 dapat dilihat pada
lampiran 2.
KOMPLIKASI
Fraktur (tersering tulang vertebra, panggul, ibu jari, tungkai, pergelangan kaki,
lengan atas, tangan), memar jaringan lunak, isolasi dan depresi, imobilisasF 0
PROGNOSIS
Kemungkinan jatuh berulang lebih dari satu kali setiap tahunnya, terjadi pada
50% penghuni rumah perawatanjpanti werdha, 10-25% mengalami komplikasi serius.
jatuh dapat memengaruhi kualitas hidup. Ketakutan mengalami jatuh dialami 25-40%
orang berusia lanjut. 1
J atuh menyebabkan kematian karena kecelakaan dan terbanyak menyebabkan perawatan
di rumah sakit. Sebanyak 20-30% kasus jatuh menyebabkan luka berat seperti laserasi, fraktur
panggul, atau trauma kepala (46%). Kematian berhubungan dengan usia ( 82% kasus terjadi
pada usia> 65 tahun), jenis kelamin laki-laki, ras kulit putih, non-Hispanics. 9
KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam
• Konsultan Geriatri
REFERENSI
1. Setiati Siti, Laksmi Niko Adhi. Gangguan Keseimbangan Jatuh dan Fraktur. Dalam: Suyono, S.
Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010. Ha1.812-825.
2. Instability. Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers.2007. Diunduh dari http:/ /medical-
dictionary.thefreedictionary.com/instability pada tanggal 29 Mei 2012.
3. Yoshida S. A Global Report on Falls Prevention Epidemiology of Falls. Diunduh dari http://www.
who.int/ageing/projects/1.Epidemiology%20of%20falls%20in%20older%20age.pdf pad a tanggal
20 Mei 2012.
4. 2010 AGS/BGS Clinical Practice Guideline: Prevention of Falls in Older Persons. http://www.
americangeriatrics.org/files/documents/health_care_pros/Falls.Summary.Guide.pdf
5. Sloan JP. Mobility failure. In: Protocols in primary care geriatrics. New York: Springer, 1997:33-8.
6. Lajoie Y, Gallagher S. Predicting falls within the elderly community:comparison of postural sway,
reaction time, the Berg balance scale and the Activities-specific Balance Confidence (ABC)
scale for comparing fallers and non-fallers. Arch. Gerontal. Geriatr. 38 (2004) 11-26. Diunduh
dari http:/ /mrvar.fdv.uni-lj.si/sola/info4/tina/clanki/dolinar_eva.pdf pad a tanggal 28 Mei 2012.
7. Rosendahl E. Prediction of falls among older people in residential care facilities by the Downtowm
Index. Aging Clin Exp Resp, vol 15, no 2. 2002. Diunduh dari http:/ /ourfuture.eu/OurFutureEU/
Files/results/ /Health%20and%20Sociai%20Services/Home%20Visits/Prediction%20of%20falls%20
among%20older%20people%20%20DFRI.pdf pada tanggal 29 Mei 2012.
8. Summary of the Updated American Geriatrics Society/British Geriatrics Society Clinical Practice
Guideline for Prevention of Falls in Older Persons. e Panel on Prevention of Falls in Older Persons,
American Geriatrics Society and British Geriatrics Society. http://www. americangeriatrics.org/
files/documents/health_care_pros/ JAGS.Falls.Guidelines.pdf
9. Ferrucci L. Clinical Problems of Aging .. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal
Medicine 181h edition.United States of America.Mcgraw Hill. 2012
10. Falls Among Older Adults. Centers for Disease Controland Prevention. 2012. Diunduh dari http:/I
www.cdc.gov/HomeandRecreationaiSafety/Falls/adultfalls.html pada tanggal 20 Mei 2012.
Lampiran 1
Gangguan
Menentukan faktor Pemeriksaan adakah
keseimbangan
risiko multifaktorial gangguan keseimbangan dan gait
dan gait
FRAILTY
Frailty merupakan sindroma geriatri yang dihasilkan dari kumulasi penurunan
sistem fisiologi yang multipel, dengan gangguan cadangan homeostatik dan
penurunan kapasitas terhadap stress, termasuk kerentanan terhadap risiko jatuh,
perawatan ulang, dan mortalitas. Fried dkk, menyatakan terdapat tiga atau lebih
gejala : penurunan be rat badan, kelelahan, kelemahan, kecepatan berjalan menurun
dan aktifitas fisik lambat. Frailty dan sarkopenia tumpang tindih; sebagian besar
usia lanjut yang frail memperlihatkan sarkopenia, dan beberapa usia lanjut yang
sarkopenia juga mengalami frail. 5 Sarkopenia adalah sindroma yang ditandai dengan
menurunnya kekuatan dan massa otot secara progresif yang dapat menyebabkan
disabilitas, kualitas hidup menurun dan kematian. 6 Salah satu penyebab sarkopenia
>;
,,·•.:.~ . '~--,· '-,::>~~/~~: -~?:'~~:'_:;'~~~t:_ -~·.:<.:>:·~·~,h~-.:·:·. _, _:~~ -; '. ~::. :_ {.~~~·~;f:t%;: ;;:~:~i< ~~~-;,:/ ·,· ..:__ -. " ' .
···tns1····N)c:reia
< , :: >~·~(/';~;;' :
·Rrartt·~·j··ttlsro··l~""""'·
r ;c·: ;~·: .\,;'. . w.·./ •:>.· .·.
adalah asupan energi dan protein tidak adekuat, misalnya malabsorpsi, gangguan
gastrointestinal atau obat-obatan. 5
Protein
Protein merupakan suatu "kunci" nutrient pada usia lanjut. 9 Diet protein yang
mengandung asam amino diperlukan untuk sintesis protein otot. Absorbsi asam
amino mempunyai efek stimulasi pada sintesis protein otot setelah makan. 10 Pada
asupan makanan yang kurang dan konsumsi protein bersamaan dengan karbohidrat,
menyebabkan respon sintesa as am amino tidak bekerja baik pada usia lanjut. 9•11 Asupan
protein pada usia lanjut perlu ditingkatkan untuk mempertahankan keseimbangan
nitrogen dan mencegah kehilangan otot pada sarkopenia. 9 Suplementasi asam amino
dapat meningkatkan massa otot dan meningkatkan fungsi fisik. 12 ·
Pada kondisi sarkopenia terjadi penurunan massa otot 3-8% per dekade. Untuk
mencegah atau memperlambat terjadinya sarkopenia, seorang usia lanjut perlu
mengkonsumsi protein dalam jumlah adekuat. Untuk memaksimalkan sintesis protein
otot, asupan protein 25-30 gram protein dengan kualitas tinggi per kali makan (setara
dengan 10 gram asam amino esensial). Leusin, suatu insulin secretagogue, dapat
meningkatkan sintesis protein otot, sehingga suplementasi leusin ke dalam asupan
makanan dapat mencegah terjadinya sarkopeniaJU 3·
Vitamin D
Hubungan defisiensi vitamin D osteomalasia dan myopati sudah dikenal sejak
beberapa tahun yang lalu. 14 Tetapi, peranan vitamin D Iangsung terhadap kekuatan otot
dan fungsi fisik masih kontroversial. 15 Mekanisme status vitamin D terhadap fungsi otot
cukup kompleks, termasuk peranan genomik dan nongenomik. 14•16 Reseptor vitamin
D, suatu target organ telah diisolasi dari otot skeletaJ.l 4 dan polimorfisme reseptor
vitamin D berhubungan dengan perbedaan kekuatan ototY Pada tingkat genomik,
ikatan bentuk aktif biologis vitamin (1,25-dihidroksivitamin D) meningkatkan
transkripsi protein, termasuk metabolisme kalsium. 14 Mekanisme nongenomik vitamin
D belum sepenuhnya dipahami,l 6
Banyak penelitian yang menyatakan terdapat efek langsung vitamin D terhadap
kekuatan otot. Penelitian NHANES III pada usia ~ 60 tahun status vitamin D rendah
(serum 25-hidroksivitamin D < 15 ng mL- 1 ) berhubungan dengan empat kali
peningkatan risiko frailty (18). Studi metanalisis suplementasi vitamin D (700-1000
IU per hari) menunjukkan berkurang risiko jatuh 19%. 19
Antioksidan
Kerusakan yang disebabkan stres oksidatif dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi fisik usia lanjut. 2°Kerusakan DNA, lipid, dan protein dapat terjadi hila reactive
oxygen species (ROS) pada sel meningkat. Kerja ROS diimbangi oleh mekanisme
pertahanan antioksidan yang termasuk enzim dismutase peroksidase dan peroksidase
gluthation, sebagai antioksidan eksogen pada diet, misalnya selenium, karotenoid,
tokopherol, flavonoid, tanaman polyphenol yang lain. 10•20 Pada usia lanjut, akumulasi
ROS memicu kerusakan oksidatif dan berperan pada hilangnya massa dan kekuatan
otot. 10 Sejumlah studi observasional menunjukkan hubungan positif antara status
anti oksidan tinggi dengan pengukuran fungsi fisik 7 Pada studi cross-sectional dan
longitudinal, status oksidan rendah merupakan prediksi penurunan fungsi fisik Studi
lnCHIANTI pada usia lanjut laki-laki dan wanita, kadar karotenoid plasma tinggi
berhubungan dengan risiko yang rendah terhadap disabilitas berjalan yang be rat, di-
follow-up selama enam tahun. Pada studi ini setelah diperhitungkan faktor perancu
termasuk level aktifitas fisik dan morbiditas yang lain, OR 0,44 (95% CI 0,27-0,74). 2 1.
KESIMPULAN
Perlu pemahaman strategi mencegah a tau menunda frailty j sarkopenia pad a usia
lanjut. Faktor gaya hid up (lifestyle) berpengaruh pad a penurunan mass a dan kekuatan
otot. Hal yang penting dalam diet adalah asupan nutrisi yang adekuat dalam hal kualitas
dan kuantitas yang mencakup nutrient protein, vitamin D dan antioksidan. Nutrisi dan
diet adekuat selama hidup merupakan kunci dalam pencegahan sarkopenia dalam
meningkatkan kapabilitas fisik pada usia lanjut. Gabungan asupan nutrisi yang adekuat
dan exercise lebih baik dalam pencegahan dan tatalaksana sarkopenia.
REFERENSI
1. Nieuwenhuizen WF, Weenen H, Rigby P, Hetrington MM. Older adults and patients in need of
nutritional support: review of current treatment options and factors influencing nutritional intake.
Clin Nutr2010; 29(2):160-69.
2. Murphy C. The chemical senses and nutrition in older adults. Jour Nutr Eld 2008;27(3-4):247-65.
3. Richard N, Baumgartner, Waters DL. Sarcopenia and sarcopenic-obesity. In: Pathy MSJ, Sinclair
AJ, Morley JE, eds Principles and Practice of Geriatric Medicine. 41h ed. John Wilwy & sons Ltd.
; 2006.p. 909-27.
4. Robinson S, Cooper C. Sayer AA. Nutrition and sarcopenia: a review of the evidence and
implications for preventive strategies. Jour Aging Research 2012: 1-6.
5. Cruz-jentoft AJ, Baeyens JP, Bauer JM, Boirie Y, Cederholm T, Landi F, et al. Sarcopenia:European
consensus on definition and diagnosis. Age and Ageing 201 0; 39: 412-23.
6. Delmonico MJ, Harris TB, Lee JS et al. Alternative definitions of sarcopenia, lower extremity
performance,and functional impairment with aging in older men and women. J Am Geriatr
Soc 2007; 55: 769-74.
7. Kaiser M, Bandinelli, Lunenfeld B. Frailty and the role of nutrition in older people. A review of the
current literature. Acta Biomedica 201 0; 81 (5): 37-45.
8. Calder PC. N-3 Polyunsaturated fatty acid, inflammation, and inflammatory disease. Am Jour of
Clin Nutr 2006; 83(6): 1505S-1519S.
9. Wolfe RR, Miller SL Miller KB. Optimal protein intake in the elderly. Clin Nutr 2008; 27(5): 675-84.
10. Kim JS, Wilson JM, Lee SR. Dietary implication on mechanisms of sarcopenia: roles of protein,
amino acids and antioxidants. Jour Nutr Biochem 201 0; 21 (1): 1-13.
11. Paddon-Jones D, Rasmussen BB. Dietary protein recommendations and the prevention of
sarcopenia. Curr Opin Clin Nutr Metab Care 2009; 12(1 ): 86-90.
12. Borsheim E, Bui QT, Tissier S, Kobayashi H, Ferrando A, Wolfe RR. Effect of amino acid supplementation
on muscle mass, strength and physical function in elderly. Clin Nutr 2008; 27(2): 189-95.
13. Konsensus pengelolaan nutrisi pada usia lanjut 2012. PB Pergemi
14. Hamilton B. Vitamin D and human skeletal muscle. Scandinavian Jour Med Sci Sports 201 0; 20(2):
182-90.
15. Annweiler C, Schott AM, Berrut G, Fantino B, Beauchet 0. Vitamin D-related changes in physical
performance: a systematic review. Jour Nutr Health Aging 2009; 13(10): 893-98.
16. Ceglia L. Vitamin D and its role in skeletal muscle. CurrOp Clin Nutr Metab Care 2009; 12(6): 628-33.
17. Geusens P, Vandevyver C, Vanhoof J, Cassiman JJ, Boonen S, Raus J. Quadriceps and grip
strength are related to vitamin D receptor genotype in elderly nonobese women. Jour Bon Min
Research 1997; 12( 12): 2082-88.
18. Wilhelm-Leen ER, Hall YN, de Boer IH, Chertow GM. Vitamin D deficiency and frailty in older
Americans. Jour lnt Med 201 0; 268(2): 171-80.
19. Bischoff-Ferrari HA, Dawson-Hughes B, staehelin HB et al. Fall prevention with supplemental and
active forms of vitamin D: a meta-analisis of randomised controlled trials. British Med Jour 2009;
339: ID b 3692.
20. Semba RD, Ferruci L Sun et al. Oxidative stress and severe walking disability among older women.
Am Jour Med 2007; 120( 12): 1084-89.
21. Lauretani F, Semba RD, Bandinelli S, et al. Carotenoids as protection against disability in older
persons. Rejuvenation Research 2008; 11 (3): 557-63.
22. Jensen GL.Inflammation: roles in aging and sarcopenia. Jour Parent Ent Nutr 2008; 32(6): 656-59.
23. Robinson SM, Jameson KA, Batelann SF et al. Diet and its relationship with grip strength in
community-dwelling older men and women: the Hertfordshire cohort study. Jour Am Ger Soc
2008; 56(1 ): 84-90.
24. Smith Gl. Atherton P, Reeds DN et al. Dietary omega-3 fatty acid supplementation increases the
rate of muscle protein synthesis in older adults: a randomized controlled trial. Am Jour Clin Nutr
2011; 93(2): 402-12.
25. Liu CJ, Latham NK. Progressive resistence strength training for improving physical function in older
adults. Cochrane Database of Systematic Review 2009; 3: article IDCD002759.
26. Symons TB, Sheffield-Moore M, Mamerow MM, Wolfe RR, Paddon-Jones D. The anabolic response
to resistence exercise and a protein-rich meal is not diminished by age. Jour Nutr Health Aging
2010; 15(5): 376-81.
PENDEKATAN PARIPURNA PASIEN
GERIATRI (COMPREHENSIVE GERIATRIC
ASSESSMENT)
STATUS FUNGSIONAL
Pendekatan yang dilakukan untuk menyembuhkan kondisi akut pasien geriatri
tidak akan cukup untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Meskipun kondisi
akutnya sudah teratasi, tetapi pasien tetap tidak dapat dipulangkan karena belum
mampu duduk, apalagi berdiri dan berjalan, pasien belum mampu makan dan minum
serta membersihkan diri tanpa bantuan. Pengkajian status fungsional untuk mengatasi
berbagai hendaya menjadi penting, bahkan seringkali menjadi prioritas penyelesaian
masalah. Nilai dari kebanyakan intervensi medis pacta orang usia lanjut dapat diukur
dari pengaruhnya pada kemandirian a tau status fungsionalnya. Kegagalan mengatasi
hendaya maupun gejala yang muncul akan mengakibatkan kegagalan pengobatan
secara keseluruhan.
Mengkaji status fungsional seseorang berarti melakukan pemeriksaan dengan
instrumen tertentu untuk membuat penilaian menjadi obyektif, antara lain dengan
indeks aktivitas kehidupan sehari-hari (activity of daily living/ADL) Barthel atau
Katz. Pasien dengan status fungsional tertentu akan memerlukan berbagai program
untuk memperbaiki status fungsionalnya agar kondisi kesehatan kembali pulih,
mempersingkat lama rawat, meningkatkan kualitas hid up dan kepuasan pasien.
STATUS KOGNITIF
Pada pasien geriatri, peran dari aspek selain fisik justru terlihat lebih menonjol
terutama saat mereka sakit. Faa! kognitif yang paling sering terganggu pada pasien
geriatri yang dirawat inap karena penyakit akut antara lain memori segera dan jangka
pendek, persepsi, proses pikir, dan fungsi eksekutif. Gangguan tersebut dapat menyulitkan
dokter dalam pengambilan data anamnesis, demikian pula dalam pengobatan dan tindak
!anjut. Adanya gangguan kognitif tentu akan mempengaruhi kepatuhan dan kemampuan
pasien untuk melaksanakan program yang telah direncanakan sehingga pada akhirnya
pengelolaan secara keseluruhan akan terganggu juga.
Gangguan faa! kognitif bisa ditemukan pada derajat ringan (mild cognitive
impairmentjMCl dan vascular cognitive impairmentjVCl) maupun yang lebih berat
(demensia ringan, sedang, dan berat). Hal terse but tentunya memerlukan pendekatan
diagnosis dan terapeutik tersendiri. Penapisan adanya gangguan faa! kognitif secara
obyektif antara lain dapat dilakukan dengan pemeriksaan neuropsikiatrik seperti
Abbreviated Mental Test {AMT} dan the Mini-Mental State Examination (MMSE).
STATUS EMOSIONAL/PSIKO-AFEKTIF
Kondisi psikologik, seperti gangguan penyesuaian dan depresi, juga dapat
mempengaruhi hasil pengelolaap. Pasien yang depresi akan sulit untuk diajak bekerja
sama dalam kerangka pengelolaan secara terpadu. Pasien cenderung bersikap pasif
atau apatis terhadap berbagai program pengobatan yang akan diterapkan. Hal ini tentu
akan menyulitkan dokter dan paramedik untuk mengikuti dan mematuhi berbagai
modalitas yang diberikan. Keinginan bunuh diri secara langsung maupun tidak, cepat
atau lambat akan mengancam proses penyembuhan dan pemulihan.
Instrumen untuk mengkaji status emosional pasien misalnya Geriatric Depression Scale
(GDS) yang terdiri atas 15 atau 30 pertanyaan. Instrumen ini bertujuan untuk menapis
adanya gangguan depresi atau gangguan penyesuaian. Pendekatan secara profesional
dengan bantuan psikiater amat diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti.
STATUS NUTRISI
Masalah gizi merupakan masalah lain yang mutlak harus dikaji pada seorang
pasien geriatri. Gangguan nutrisi akan mempengaruhi status imun dan keadaan umum
pasien. Adanya gangguan nutrisi seringkali terabaikan mengingat gejala awal seperti
rendahnya asupan makanan disangka sebagai kondisi normal yang terjadi pad a pasien
geriatri. Sampai kondisi status gizi turun menjadi gizi buruk baru tersadar bahwa
memang ada masalah di bidang gizi. Pada saat tersebut biasanya sudah terlambat atau
setidaknya akan amat sulit menyusun program untuk mengobati status gizi buruk.
Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan anamnesis gizi (anamnesis
asupan), pemeriksaan antropometrik, maupun biokimiawi. Dari anamnesis harus
dapat dinilai berapa kilokalori energi, berapa gram protein, dan berapa gram lemak
yang rata-rata dikonsumsi pasien. Juga perlu dievaluasi berapa gram serat dan mililiter
cairan yang dikonsumsi. Jumlah vitamin dan mineral biasanya dilihat secara lebih
spesifik sehingga memerlukan perangkat instrumen lain dengan bantuan seorang
ahli gizi. Pemeriksaan antropometrik yang lazim dilakukan adalah pengukuran indeks
massa tubuh dengan memperhatikan perubahan tinggi tubuh dibandingkan saat usia
dewasa muda. Rumus tinggi lutut yang disesuaikan dengan ras Asia dapat dipakai
untuk kalkulasi tinggi badan orang usia lanjut. Pada pemeriksaan penunjang dapat
diperiksa hemoglobin dan kadar albumin plasma untuk menilai status nutrisi secara
biokimiawi.
Instrumen untuk mengkaji status nutrisi pasien geriatri yaitu dengan Mini
Nutrisional Assessment (MNA). Mini Nutrisiona/ Assessment terdiri dari pertanyaan
penapisan dan pengkajian meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Instrumen untuk mengkaji status fungsional, kognitif, emosional dan nutrisi dapat
dilihat pada lampiran.
REFERENSI
1. Soejono CH. Pengkajian paripurna pada pasien geriatri. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I.
Sirnadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llrnu Penyakit Dalarn. Edisi V. lnternaPublishing Pusat Penerbitan
Departemen llmu Penyakit Dalam. 2010.p.768-75
2. Reuben DB, Rosen S. Principles of Geriatric Assessment. In : Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME,
Studenski S, High KP, Asthana S. Eds. Hazzard's Geriatric Medicine and Gerontology. 6'h ed. New
York: McGraw-Hill Companies, Inc. 2009. p.141-52
3. Evaluating the geriatric patient. In : Kane RL Oustlander JG, Abrass IB, Resnick B. Eds. Essentials
of Clinical Geriatrics. 6'h ed. New York: McGraw-Hill. 2009.p.41-77
4. Steinweig KK.Initial assessment. In: Ham RJ. Sloane PD. Warshaw GA, Bernard MA. Flaherty E. Eds.
Primary care geriatrics a case-based approach. S'h ed.Philadelphia: Mosby Elsevier. 2007.p.50-71
Lampiran 1
Skor AMT:
0-3 : gangguan ingatan berat
4-7 : gangguan ingatan sedang
8-1 0 : normal
11 . Perasaan hati 1. Saik 2. Labil 3. Depresi
4. Gelisah 5. Cemas
: 326
Lampiran 3
ORIENTASI
5 (} Sekarang ini (tahun}, (musim}, (bulan}. (tanggal}, (hari} apa?
5 (} Kita berada dimana ? (negara}, (propinsi), (kota}. (rumah sakit},
(lantai/kamar}
REGISTRASI
3 (} Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda : satu detik untuk
setiap benda. Kemudian pasien diminta mengulangi nama ketiga
objek tadi. Berilah nilai 1 untuk tiap nama objek yang disebutkan
benar. Ulangi lagi sampai pasien menyebut dengan benar : (bola,
kursi, buku)
JUMLAH NILAI ( )
Lampiran 4
Pilihlah jawaban yang paling tepat, yang sesuai dengan perasaan pasien/responden dalam duo
minggu terakhir. Jawaban yang bercetak tebal diberi nilai 1.
1. Apakah Bapak/lbu sebenarnya puas dengan kehidupan Bapak/lbu ? Ya T/DAK
2. Apakah Bapak/lbu telah meninggalkan banyak kegiatan dan minot YA Tidak
atau kesenangan Bapak/lbu ?
3. Apakah Bapak/lbu merasa kehidupan Bapak/lbu kosong ? YA Tidak
4. Apakah Bapak/lbu sering merasa boson ? YA Tidak
5. Apakah Bapak/lbu mempunyai semangat yang baik setiap saat ? Ya TIDAK
6. Apakah Bapal</lbu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada YA Tidak
Bapak/lbu?
7. Apakah Bapak/lbu me rasa bahagia untuk sebagian besar hid up Bapak/ Ya TIDAK
lbu?
8. Apakah Bapak/lbu sering merasa tidak berdaya ? YA Tidak
9. Apakah Bapak/lbu lebih senang tinggal di rumah daripada pergi ke luar YA Tidak
dan mengerjakan sesuatu hal yang baru ?
10. Apakah Bapak/lbu merasa mempunyai banyak masalah dengan daya YA Tidak
ingot Bapak/lbu dibandingkan kebanyakan orang ?
11. Apakah Bapak/lbu pikir bahwa hidup Bapak/lbu sekarang ini Ya TIDAK
menyenangkan ?
12. Apakah Bapak/lbu merasa tidak berharga seperti perasaan Bapak/lbu YA Tidak
saat ini?
13. Apakah Bapak/lbu merasa penuh semangat? Ya TIDAK
14. Apakah Bapak/lbu merasa bahwa keadaan Bapak/lbu tidak ada YA Tidak
harapan?
15·
Apakah Bapak/lbu pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari YA Tidak
Bapak/lbu ?
- 328
Lampiran 5
PENAPISAN (SCREENING)
A. Apakah ada penurunan asupan makanan dalam jangka waktu 3 bulan oleh
karena kehilangan nafsu makan, masalah pencernaan, kesulitan menelan, atau
mengunyah?
0 = nafsu makan yang sangat berkurang
1 = nafsu makan sedikit berkurang (sedang) D
2 = nafsu makan biasa soja
B. Penurunan berat badan dalam 3 bulan terakhir:
0 = penurunan berat badan lebih dari 3 kg
1 = tidak tahu
D
2 = penurunan berat badan 1 - 3 kg
3 = tidak ada penurunan berat badan
C. Mobilitas
0 = horus berbaring di tempat tidur atau menggunakan kursi roda
1 = bisa keluar dari tempat tidur atau kursi roda, tetapi tidak bisa ke
luar rumah.
D
2 = bisa keluar rumah
D. Menderita stres psikologis atau penyakit akut dalam 3 bulan terakhir
0 = ya 2 = tidak D
E. Masalah neuropsikologis
0 = demensia berat atau depresi berat
1 = demensia ringan D
2 = tidak ada masalah psikologis
F. lndeks massa tubuh (IMT) (berat badan dalam kg/tinggi badan dalam m 2 )
0 = IMT < 19 1 = IMT 19- < 21
2 = IMT 21 - < 23 3 = IMT 23 atau lebih
D
Skor PENAPISAN (subtotal maksimum 14 poin)
Skor ~12 normal, tidak berisiko 7 tak perlu melengkapi form pengkajian
Skor ~11 kemungkinan malnutrisi 71anjutkan pengkajian
D
PENGKAJIAN (ASSESSMEND
G. Hidup mandiri, tidak tergantung orang lain (bukan di rumah sakit atau panti
werdha)
0 = tidak 1 = ya
D
H. Minum obat lebih dari 3 macam dalam 1 hari
0 = ya 1 = tidak
I. Terdapat ulkus dekubitus/luka tekan atau luka di kulit
0 = ya 1 = tidak D
J. Berapa kali pasien makan lengkap dalam 1 hari ?
0 = 1 kali 1 = 2 kali 2 = 3 kali
K. Konsumsi bahan makanan tertentu yg diketahui sebagai bahan makanan
D
sumber protein (asupan protein)
• Sedikitnya 1 penukar dari produk susu (susu, keju, yogurt)
per hari (ya/tidak)
• Duo penukar atau lebih dari kaeang-kaeangan atau telur
perminggu (ya/tidak)
• Daging, ikon, atau unggas tiap hari (ya/tidak)
0,0 =jika 0 atau 1 pertanyaan jawabannya 'ya'
0,5 =jika 2 pertanyaan jawabannya 'ya'
D
1,0 =jika 3 pertanyaan jawabannya 'ya'
L. Adakah mengkonsumsi 2 penukar atau lebih buah atau sayuran per hari ?
0 = tidak 1 = ya
M. Berapa banyak eairan (air, jus,kopi,teh, susu, ... ) yang diminum setiap hari?
D
0,0 = kurang dari 3 gelas
0,5 = 3 sampai 5 gelas
1,0 = lebih dari 5 gelas
D
N. Cora makan
0 = tidak dapat makan tanpa bantuan
1 = makan sendiri dengan sedikit kesulitan
2 = dapat makan sendiri tanpa masalah
D
0. Pandangan pasien terhadap status gizinya
0 = merasa dirinya kekurangan makan/kurang gizi
1 = tidak dapat menilai/tidak yakin akan status gizinya
D
2 = merasa tidak ada masalah dengan status gizinya.
P. Dibandingkan dengan orang lain yang seumur, bagaimana pasien
melihat status kesehatannya ?
0,0 = tidak sebaik mereka
0,5 = tidak tahu
D
1,0 = soma baik
2,0 = lebih baik
Q. Lingkar Lengan atas (LLA) dalam em
D
0,0 = LLA < 21 0,5 = LLA 21 - < 22 1,0 = LLA:?: 22
R. Lingkar betis (LB) dalam em
0 = LB < 31 1 = LB :?: 31
D
Skor PENGKAJIAN ( maksimum 16 poin)
Skor PENAPISAN
PENILAIAN TOTAL (maksimum 30 poin)
' 330 ~
iiJ
SINDROM DELIRIUM AKUT
PENGERTIAN
Sindrom delirium akut (acute confusional state/ACS) adalah sindrom mental organik
yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif atau
gangguan persepsi yang timbul dalam jangka pendek dan berfluktuasi. Penyebabnya
yaitu defisiensi neurotransmiter asetilkolin, gangguan metabolisme oksidatif di otak
yang berkaitan dengan hipoksia dan hipoglikemia, meningkatnya sitokin otak pada
penyakit akut; sehingga mengganggu transduksi sinyal neurotransmiter serta second
messenger system dan akibatnya menimbulkan gejala serebral dan aktivitas psikomotor.
Faktor predisposisi dan fator pencetus yaitu: 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala yang dapat dijumpai yaitu gangguan kognitif global berupa gangguan
memori jangka pendek, gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), gangguan proses pikir
(disorientasi waktu, tempat, orang), komunikasi tidak relevan, autoanamnesis sulit
dipahami. Pasien mengomel terus atau terdapat ide-ide pembicaraan yang melompat-
lompat, gangguan siklus tidur (siang hari tertidur sedangkan malam hari terjaga).
Gejala-gejala terse but terjadi secara akut dan fluktuatif, dari hari ke hari dapat terjadi
perubahan gejala secara berganti-ganti. Pada anamnesis perlu ditanyakan fungsi
intelektual sebelumnya, status fungsional, awitan dan perjalanan konfusi, riwayat
serupa sebelumnya, Faktor pencetus dan faktor predisposisi juga perlu ditanyakan
pada anamnesis.U
Pemeriksaan Jasmani
Perubahan kesadaran dapat dijumpai. Perubahan aktivitas psikomotor baik
hipoaktif (23%), hiperaktif (25%), campuran keduanya (35%), atau normal (15%).
Pasien dapat berada dalam kondisi fully alert di satu hari namun hari berikutnya
pasien tampak gelisah. Gangguan konsentrasi dan perhatian terganggu saat
pembicaraan. 1 Pemeriksaan neurologis, tingkat kesadaran (Glasgow Coma Scale),
pemeriksaan tanda-tanda vital (adanya demam)-2
Pemeriksaan Penunjang 1
Diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis; menemukan penyebab/
pen cetus:
• Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit neurologis fokal,
adakah cerebra vascular disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT
scan jika ada indikasi
• Darah perifer lengkap
• Elektrolit (terutama natrium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah, fungsi hati,
• Analisis gas darah
• Urin lengkap dan kultur resistensi urin
• Foto toraks
• EKG
• Kultur darah
• Uji atensi (mengurutkan nama hari dalam seminggu, mengurutkan nama bulan
dalam setahun, mengeja balik kata "pintu")
• Uji status mental : MMSE (Mini-mental State Examination), Delirium Rating Scale,
Delirium Symptom Interview.
• Pemeriksaan lain sesuai indikasi yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan
jasmani :2
CT Scan : jika ditemukan kelainan neurologis
Kadar B12 dan asam folat
Analisis gas darah
Kultur sputum
Pungsi lumbal jika dicurigai adanya meningitis
Kriteria diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM-IV-TR) :
• Meliputi gangguan kesadaran yang disertai penurunan kemampuan untuk
memusatkan, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian, perubahan kognitif
(gangguan daya ingat, disorientasi, atau gangguan berbahasa) atau timbulnya
gangguan persepsi yang bukan akibat demensia, gangguan tersebut timbul dalam
jangka pendek (jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari, serta
terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan jasmani, atau pemeriksaan penunjang
bahwa gangguan tersebut disebabkan kondisi medis umum maupun akibat intoksikasi,
efek samping, atau putus obatjzat. Berdasarkan DSM-IV telah disusun algoritme (CAM/
Confusion Assessment Methode) ditambah uji status mentallainnya yang dapat dipakai
sebagai uji baku emas diagnosis. 1
Gangguan perhatian/konsentrasi
Sindrom delirium
" 333
SISTEM PENSKORAN PASCA-OPERASI
Ada beberapa sistem penskoran untuk menentukan risiko demensia setelah
tindakan operasi seperti :dapat dilita pada tabel 2.
DIAGNOSIS BANDING
Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis, gangguan cemas, gangguan
depresi, gangguan kognitif pasca operasi (GKPO).l
_, -
1
334
PENATALAKSANAAN 1
• Tujuan pengobatan: menemukan dan mengatasi pen cetus serta faktor predisposisi
Penanganan tidak hanya dari aspek jasmaniah, namun juga aspek psikologik/
psikiatrik, kognitif, lingkungan, serta pemberian obat.
• Berikan oksigen, pasang infus dan monitor tanda-tanda vital pasien setidaknya
4 jam sekali
Segera dapatkan hasil pemeriksaan penunjang untuk memandu langkah
selanjutnya; tujuan utama terapi adalah mengatasi faktor pencetus.
• Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa naso-gastrik
• Kateter urin dipasang terutama jika terdapat ulkus dekubitus disertai inkontinensia
urin
• Awasi kemungkinan imobilisasi (lihat topik imobilisasi)
Hindari sebisa mungkin pengikatan tubuh untuk mencegah imobilisasi. Jika
memang diperlukan, gunakan dosis terendah obat neuroleptik dan atau
benzodiazepin dan monitor status neurologisnya; pertimbangkan penggunaan
antipsikotik atipikal. Kaji ulang intervensi ini setiap hari; targetnya adalah
penghentian obat antipsikotik dan pembatasan penggunaan obat tidur
secepatnya (algoritme 2).
Kaji status hidrasi secara berkala, hitung urine output setiap 4 jam
/
T
l
Non-urgent treatment
agitation/aggression
KOMPLIKASI
Fraktur, hipotensi sampai renjatan, trombosis vena dalam, emboli paru, sepsis
PROGNOSIS
Gejala dan tanda sindrom delirium dapat bersifat akut maupun menetap sampai
berbulan-bulan. Pasien dengan sindrom delirium mempunyai risiko 1,71 kali lebih
tinggi untuk meninggal dalam tiga tahun kedepan. Peningkatan risiko demensia
pasca delirium sebesar 5.97. Delirium berhubungan dengan status fungsional yang
lebih rendah, baik pada kelompok dengan maupun tanpa demensia. Pasien dengan
sindrom delirium mempunyai skor ADL Barthel (Activities of daily living) yang lebih
buruk dibandingkan dengan kontrol. Gejala sisa delirium dari125 pasien didapatkan
hanya 44% dari pasien yang gejalanya sudah tidak sesuai kriteria diagnostic DSM-IV
untuk delirium. Setelah enam bulan pascarawat terdapat 13% pasien menunjukkan
gejala delirium, 69% pasien menunjukkan gejala perubahan aktivitas namun tidak
sesuai kriteria diagnostik delirium, dan hanya 18% pasien menunjukkan gejala resolusi
komplit. Risiko kematian meningkat jika komorbiditasnya tinggi, penyakit yang lebih
berat, dan jenis kelamin laki-laki. Pencegahan delirium:
REFERENSI
1. Soejono Czeresna H.Sindrom Delirium Akut (Acute Confusional State. Dalam: Suyono, S. Waspadji.
S. Lesmana, L. Alwi. I. Setiati. S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V.
Jakarta: Intern a Publishing; 2010. Hal.907-912.
2. Purchas M, Guidelines for the Diagnosis and Management of Acute Confusion. Diunduh dari
http:/ /www.acutemed.co.uk pad a tanggal 19 Mei 2012.
3. Marcantonio ER, Goldman L.Mangione CM, et al. A clinical prediction rule for delirium after
elective noncardiac surgery. JAMA 1994; 271:134-139.
4. Inouye SK, van Dyck CH, Alessi CA. Balkin S, Siegal AP, Horwitz Rl. Clarifying confusion: the confusion
assessment method. A new method for detection of delirium. Ann Intern Med (1990) 113:941-8.
5. Guidelines for the prevention, diagnosis and management of delirium in older people in hospital.
British Geriatrics Society Clinica1Guidelines.2006.Diunduhdari http://www .bgs.org.uk/Publications/
Clinicai%20Guidelines/clinical1-2_fulldelirium.htm pada tanggal19 Mei 2012.
ULKUS DEKUBITUS
PENGERTIAN
Ulkus dekubitus (UD) atau luka akibat tekanan merupakan salah satu komplikasi
imobilisasi pada usia Ian jut. UD adalah luka akibat peningkatan tekanan pada daerah
kulit yang sam a secara terus-menerus. Pada posisi berbaring, tekanan akan memberikan
pengaruh pada daerah kulit ,dimana terjadi penonjolan tulang yang menyebabkan
aliran darah terhambat, dan terbentuknya anoksia jaringan dan nekrosis. 1 UD dapat
terjadi dimana saja, namun 80%-nya terjadi pada tumit, malleolus lateralis, sakrum,
tuberositas ischium, dan trochanter mayor. 2 Opini bahwa semua UD dapat dicegah
masih kontroversial. Beberapa faktor risiko UD pada geriatri tercantum pada tabell.
Mobilitas terbatas : jejas medula spinalis, penyakit Tekanan dari berbagai permukaan
serebrovaskular, kelainan neurologis progresif (Parkinson, keras (seperti tempat tidur, kursi
Alzheimer, sklerosis multipel), nyeri, fraktur, prosedur pasco roda, atau brankar/stretcher)
operasi, koma atau sedasi, artropati
Nutrisi buruk : anoreksia, dehidrasi, gigi keropos, restriksi Friksi dari ketidakmampuan pasien
makanan, lemahnya sensasi kecap atau penghidu, untuk bergerak dengan baik di
kemiskinan atau berkurangnya akses makanan tempat tidur
Penyakit komorbid: diabetes, depresi a tau psikosis, vaskulitis Tergores (shear) akibat gerakan otot
atau penyakit vaskular kolagen lainnya, penyakit vaskular involunter
perifer, berkurangnya sensasi nyeri, imunodefisiensi atau
terapi kortikosteroid, gaga! jantung kongestif, keganasan,
gaga! ginjal, demensia, penyakit paru obstruktif kronik
Kulit menua : elastisitas menghilang, berkurangnya aliran Kelembaban (menyebabkan
darah kutaneus, perubahan pH kulit, hilangnya lemak maserasi): inkontinensia urin
subkutaneus, berkurangnya aliran darah epidermis-dermis, atau buang air besar, keringat
flattening of rete ridges berlebihan, drainase luka
DIAGNOSIS
Anamnesis 3
• Identifikasi faktor-faktor risiko seperti tercantum pada Tabel 1
• Onset dan durasi ulkus
• Riwayat perawatan luka sebelumnya
• Identifikasi faktor lainnya: kesehatan fisiologis, status kognitif dan perilaku,
sumber daya sosial dan finansial, akses terhadap caregiver dan kemungkinan
penelantaran (abuse/neglected case)
Pemeriksaan Fisik3.4
• Inspeksi kulit dari kepala hingga ujung kaki, de pan hingga belakang, palpasi sesuai
indikasi: perhatikan jumlah, lokasi, ukuran (panjang, lebar, kedalaman) ulkus dan
periksalah apakah ada eksudat, bau, traktus sinus, formasi nekrosis atau eschar,
undermining(cekungan), tunneling (terowongan), infeksi, penyembuhan (granulasi
dan epitelialisasi), dan batas luka. Kemudian klasifikasikan ke dalam stadium klinis
seperti tercantum pada Tabel 2.
• Penilaian ulang kulit tiap 8-24 jam, dengan perubahan kondisi atau level of care
• Tanda infeksi
(NPUAP)l
label 2. Stadium Ulkus Dekubitus menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel
Suspek jejas jaringan Perubahan warna ungu atau marun pada area terlokalisir. kulit utuh
profunda (suspected (intact) atau luka lecet terisi darah yang disebabkan oleh kerusakan
deep-tissue injury) pada jaringan lunak akibat tekanan atau goresan (shear); diskolorasi
ini dapat muncul sebelum rasa nyeri, keras, lunak, basah, lebih hangat
atau lebih din gin daripada jaringan sekitarnya
Kemerahan non-blanchable terlokalisir pada kulit utuh, biasanya pada
puncak tulang; pada kulit hitam, warna pucat mungkin tidak terlihat,
dan area yang terkena dapat berbeda dengan sekitarnya; area yang
terkena mungkin nyeri, keras, lunak, lebih hangat atau lebih dingin
daripada jaringan sekitarnya
Partial-thickness loss dari dermis yang tampak sebagai ulkus dangkal,
terbuka, dengan dasar kemerahan, tanpa slough (tidak bergaung); luka
dapat juga tampak utuh atai,J terbuka dan terisi serum; stadium ini tidak
termasuk luka robek (tear), luka bakar adhesif (tape burns), dermatitis
perineum, maserasi, atau ekskoriasi
Ill Full-thickness tissue loss; lemak subkutan dapat terlihat, dasar luka dapat
bergaung, tapi tidak dapat menentukan kedalaman hilangnya jaringan;
dapat termasuk undermining dan tunneling
IV Full-thickness tissue loss dengan otot, tulang, dan tendon yang terlihat;
dasar IUka daj.YatbergaLn1g atau eschar, seringkali termasuk undermining
dan tunneling
Tidakdapat Full-thickness tissue loss dengan dasar ulkus tertutup gaung (kuning,
diklasifikasikan tan??, abu-abu, hijau atau coklat) atau nekrosis/eschar (tan??, coklat,
(unstageable) atau hitam)
Keterangan: kedalaman UD stadium Ill atau IV bervariasi tergantung lokasi anatomis. Karena jembatan?? jaringanantara
hidung, telinga, oksiput, dan malleolus tidak memiliki jaringan subkutan, maka ulkus pada daerah ini dopa! dangkal.
Sebaliknya, area dengan jaringan lemak yang cukup dapat berkembang menjadi ulkus stadium Ill dan IV dalam. Pada ulkus
stadium IV, tulang atau tendon dapat terekspos atau dipalpasi secara langsung
PEMERIKSAAN PENUNJANG4·5
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap, protein total, albumin, gula darah
• Sesuai indikasi: foto toraks, USG, termografi
TATALAKSANA
Dressing Bersihkan
protektif luka, dressing dressing lemba-
bila perlu lembab absorbent
(misfilm (hydrogel, foam,
transparan) atau alginate;
konsul Bedah
Film transparan* ./ ./
Hidrokoloid* ./ ./ ./ ./ ./
Alginates ./ ./ ./
Foam ./ ./ ./ ./
Hydrogels** ./ ./
Hydro fibers ./ ./
Kelerangan:
'Dapat digunakan pada UD stadium I
''Diindikasikan pada dasar luka kering untuk rehidrasi atau rehidrasi jaringan nekrosis untuk debridement
KOMPLIKASI
Hipoalbuminemia, anemia, Infeksisepsis 5
PROGNOSIS
Prognosis ulkus dekubitus stadium I dapat diprediksi dengan penilaian awal dan
manajemen yang sesuai.5 Studi di Texas menunjukkan angka mortalitas sebanyak 68,9%
ditemukan pada pasien yang mengalami ulkus dekubitus stadium III-IV nosokomial,
dengan rata-rata 4 7 hari mulai dari onset ulkus dekubitus hingga kematian. Menurut
penelitian ini, pasien dengan be ban penyakit berat yang mendekati akhir hidupnya,
berkembangnya ulkus dekubitus full-thickness nosokomial merupakan suatu proses
patologis komorbidY
KOMPETENSI
• Spesialis Penyakit Dalam : A3, B3
• Konsultan Geriatri : A3, B3/B4
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Bidang Keperawatan, Departemen Kulit dan Kelamin
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Setiati S, Roosheroe AG. lmobilisasi Pada Usia Lanjut. Dalam: Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I. et
al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009. Hal859-63.
2. Caruso LB. Geriatric Medicine. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo
J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17'" Edition. New York, McGraw-Hill. 2008
3. Bluestein D, Javaheri A. Pressure Ulcers : Prevention, Evaluation, and Management. Am Fam
Physician. 2008;78( 10): 1186-1194, 1195-1196. Diunduh dari http:/ /www.aafp.org/afp/2008/1115/
p1186.pdf pada tanggal25 Mei 2012.
4. Institute for Clinical Systems Improvement. Health Care Protocol: Pressure Ulcer Prevention and
Treatment Protocol. 3rd Edition. January 2012. Diakses melalui http:/ /www.icsi.org/pressure_ulcer_
treatment_protocol_review_and_comment__jpressure_ulcer_treatment_protocol_.html pada
tanggal 25 Mei 2012.
5. Sato M, Sonoda H, Konya C, et al. Prognosis of stage I pressure ulcers and related factors. lnt
Wound J. 2006 Dec;3(4):355-62. [Abstract]
6. Anders J, Heinemann A. Leffmann C, et al. Decubitus Ulcers: Pathophysiology and Primary
Prevention. Dtsch Arztebllnt. 2010 May; 107(21 ): 371-382. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.
gov/pmc/articles/PMC2883282/pdf/Dtsch_Arztebl_lnt-1 07-0371.pdf pad a tanggal 25 Mei 2012.
7. Pressure Ulcer. Tersedia di http:/ /bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/378/
diagnosis/ differential.html
8. Livesley NJ, Chow AW.Infected Pressure Ulcers in Elderly Individuals. Clinical Infectious Diseases
2002; 35:1390---6. Diunduh dari http:/ /cid.oxfordjournals.org/ content/35/11 /1390.full.pdf pad a
tanggal 25 Mei 2012.
9. Vanderwee K, Grypdonck MH, Defloor T. Effectiveness of an alternating pressure air mattress for
the prevention of pressure ulcers. Age and Ageing 2005; 34: 261-267. Diunduh dari http:/ I ageing.
oxfordjournals.org/content/34/3/261 .full. pdf pada tanggal 25 Mei 2012.
10. Lyder CH. Pressure Ulcer Prevention and Management. JAMA 2003;289(2) :223-6.
11. Bito S, Mizuhara A. Oonishi S, et al. Randomised controlled trial evaluating the efficacy of wrap
therapy for wound healing acceleration in patients with NPUAP stage II and Ill pressure ulcer.
BMJ Open 2012;2:e000371. Diunduh dari http:/ /bmjopen.bmj.com/content/2/1 I e000371. full.
pdf pada tanggal 25 Mei 2012.
12. Brown G. Long-term outcomes of full-thickness pressure ulcers: healing and mortality. Ostomy
Wound Manage 2003 Oct;49(10):42-50. [Abstract]
SARKOPENIA
DEFINISI SARKOPENIA
Sarkopenia merupakan sindroma yang ditandai dengan berkurangnya massa
otot rangka serta kekuatan otot secara progresif dan menyeluruh. Sarkopenia
umumnya diiringi inaktivitas fisik, penurunan mobilitas, cara berjalan yang lam bat,
dan enduransi fisik yang rendah. Otot rangka mengalami penurunan sejalan dengan
bertambahnya usia baik pada wan ita ataupun pria. Massa dan kekuatan otot tertinggi
dicapai pad a usia belasan sampai dengan dua puluhan dan kemudian mulai mengalami
penurunan pada usia tiga puluhan. Kecepatan penurunan kekuatan otot sekitar 10-
15% per dekade setelah usia 50 tahun, dan akan menurun dengan cepat setelah usia
75 tahun. 1
Definisi Sarkopenia menurut The European Working Group on Sarkopenia in Older
People (EWGSOP) 2010 dapat ditegakkan bila didapatkan penurunan massa otot
rangka ditambah salah satu atau lebih dari dua kriteria berikut yaitu kekuatan otot
buruk dan atau performa fisik yang kurang. 2•3
Penurunan massa otot didefinisikan berdasarkan Indeks Otot Rangka (Skeletal
Muscle IndexjSMI) yaitu , massa otot rangka apendikular (Appendicular Skeletal
MusclejASM) (kg) dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (SMI =kg/m 2).
Massa otot rangka apendikular didapatkan dari penjumlahan total dari massa otot
rangka kedua lengan dan kedua kaki. Titik pintas (Cut-off) SMI adalah nilai kurang dari
2 kali standar deviasi referensi populasi laki-laki a tau perempuan dewasa muda yang
sehat di wilayah tersebut. Pemeriksaan massa otot rangka dapat dilakukan dengan
pemeriksaan Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA) atau dengan Bioelectric
Impedance Analysis (BIA). 3•4 Kriteria diagnosis terse but sulit diterapkan di Indonesia
karena bel urn ada data normatif besaran massa otot rangka pada populasi dewasa
muda serta data referensi kekuatan otot pada berbagai kelompok usia dan jenis
kelamin. Selain itu, hingga kini bel urn ada stan dar teknik pengukuran besaran massa
otot untuk usia lanjutY
Tabel 1. Kriteria Sarkopenia pada Populasi Asia 5
2 Korea
ASM/ Tinggi bad an
Pria : 7.40 kg/m2
Wanita 5.14 kg/m2
SMI (%)
BIA SMI Taiwan
Pria < 8,87 kg/m2
Wanita < 6.42 kg/m2
Saat ini teknik yang dianggap sebagai baku emas untik pemeriksaan masa otot
adalah pemeriksaan dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA), Bioelectric Impedance
Analysis (BIA) computed tomography, magnetic resonance imaging, serta pengukuran
146
ekskresi kreatinin urin, pengukuran antropometri dan aktivasi netron. • •
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis Sarkopenia
Berdasarkan European Working Group on Sarkopenia in Older People (EWGSOP)
tahun 2010 oleh Cruz-JentoftAJ dkk., kriteria sarkopenia harus memenuhi yaitu adanya
massa otot yang kurang disertai kekuatan otot yang berkurang dan atau perfoma
aktivitas fisik yang menurun. 2 • 7 Seperti terlihat pada gam bar di bawah ini mengenai
algoritma diagnosis sarkopenia
7
Gombar 3. Algoritma Diagnosis Sarkopenia menurut EWGSOP
Presarkopenia -J,
Manajemen Sarkopenia
Keberhasilan penatalaksanaan pada sarkopenia sangat bergantung pada
latihan fisik, gaya hidup, dan pola makan. Latihan fisik memberikan dampak positif
pada sarkopenia terutama yang berkaitan dengan kondisi penyakit kronis seperti
diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit jantung koroner. Pengaturan pola makan
sebaiknya tetap dikombinasikan dengan program latihan fisik, mencakup latihan
tahanan dan peregangan. Latihan tahanan progresif sebanyak 2-3 kali per minggu
terbukti meningkatkan kapasitas fisik dan mencegahjmengurangi disabilitas dan
kelemahan otot pada usia lanjut. Faktor psikologis pada pasien dengan sarkopenia
dan frailty syndrome juga penting, sehingga terapi suportifpsikologis diperlukan pada
penatalaksanaan sarkopenia.
Tujuan dari penatalaksanaan sarkopenia adalah tercapainya perbaikan dari
keluaran primer dan sekunder. Untuk terapi yang bersifat intervensi EWGSOP
merekomendasikan tiga variabel keluaran yaitu massa otot, kekuatan otot dan
performa fisik
NUTRISI
Sebagian besar populasi usia lanjuttidak dapat memenuhi asupan nutrisi terutama
protein sesuai jumlah yang dianjurkan sehingga terjadi pengurangan massa otot dan
gangguan fungsionaF Hal ini disebabkan karena berkurangnya kemampuan ekonomi
untuk membeli bahan makanan dengan nilai biologis tinggi, kesulitan mengunyah,
ketakutan untuk mengkonsumsi terlalu banyak lemak a tau kolesterol dan intoleransi
terhadap beberapa jenis makanan. 11 Asupan protein yang tidak adekuat adalah barrier
utama untuk mendapatkan peningkatan massa otot pada usia lanjut walaupun telah
menjalani latihan tahanan dan aerobik.
Asupan nutrisi merupakan kontributor utama proses menua terutama dalam
terjadinya sarkopenia dan sindroma kerapuhan. Pada penelitian kohort 10 tahun di
Amerika Serikat yang melibatkan 304 orang sehat dengan rerata usia 72 tahun saat
penelitian dimulai, sindroma kerapuhan atau kematian dalam 10 tahun lebih banyak
terjadi pada kelompok yang mengkonsumsi kalori lebih tinggi dari anjuran RDA (25-
30 kaljkgBB/ hari). Sebaliknya, pada kelompok yang mengkonsumsi protein lebih
tinggi dari anjuran RDA (>0.8 gr/kgBBjhari) lebih sehat daripada kelompok yang
mengkonsumsi protein lebih sedikitY
PROTEIN
Protein merupakan nutrisi kunci pada usia lanjut. Asupan protein yang tinggi
diperlukan untuk mencegah keseimbangan nitrogen negatifyang dapat memperburuk
pengurangan mas sa otot secara progresif yang berhubungan dengan proses menua.
Diit tinggi protein ini terbukti dapat memperbaiki status fungsional, meningkatkan
kualitas hidup, mempercepat penyembuhan, memperpendek masa perawatan di
rumah sakit, mempercepat penyembuhan trauma sehingga dapat menurunkan biaya
perawatan. Akibat penurunan massa otot, komposisi tubuh akan berubah sehingga
komposisi lemak menjadi lebih tinggi. Usia lanjut dengan komposisi lemak yang lebih
tinggi akan lebih mudah menderita gangguan toleransi glukosa dan diabetes dan
resistensi insulin. Penurunan massa otot menyebabkan penurunan kekuatan otot dan
berakibat pacta gangguan kesehatan tulang 13
Otot berperan dalam metabolisme protein tubuh sebagai cadangan asam amino
untuk mempertahankan sintesa protein pacta organ dan jaringan vital terutama pacta
saat tidak ada absorbsi usus melalui proses glukoneogenesis. Kondisi patologis dan
penyakit kronis dapat menyebabkan pengurangan mass a otot; Gangguan metabolism
otot memainkan peranan terutama sebagai respons terhadap stress. 14 Kekurangan
asupan protein dan inaktifitas merupakan faktor utama penyebab deplesi otot. Asupan
protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan laju sintesa protein lebih rendah
daripada degradasi protein otot sehingga dapat mempercepat terjadinya sarkopenia. 15
Berdasarkan rekomendasi RDA, jumlah protein yang harus dikonsumsi untuk
untuk dewasa adalah sebesar 0.8 grjkgBB/hari tanpa melihat umur. Jumlah protein
ini didasarkan pacta penelitian keseimbangan nitrogen selama 10-14 hari. Jumlah
tersebut merupakan perkiraan asupan protein minimal yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan nitrogen pacta dewasa muda yang sehat untuk
mempertahankan kesehatannya secara optimal untuk mencegah kehilangan massa
otot secara progresif pacta populasi normal. Pacta survey yang diselenggarakan
oleh USDA tahun 1996 di Amerika Serikat, didapatkan data bahwa 32-41% wanita
dan 22-38 % laki-laki berusia lebih dari 50 tahun dan lebih dari 40 % usia lanjut
berusia lebih dari 70 tahun mengkonsumsi protein kurang dari jumlah tersebut. 11
15 13
Beberapa penelitian membuktikan bahwa jumlah tersebut tidak cukup untuk
mencegah terjadinya sarkopenia 13 •16
Gangguan sistem imun dan inflamasi kronis pacta usia lanjut dapat menyebabkan
katabolisme protein. Sitokin inflamasi yang berperan dalam hal ini adalah Tumor
Necrosis Factor a (TNF a), Interleukin 6 (IL-6) dan (-reactive protein (CRP). Sitokin ini
juga berhubungan dengan penurunan status fungsional, degradasi otot dan mortalitas
pacta usia lanjut. Pacta Penelitian Framingham didapatkan hubungan an tara tingginya
IL-6 dan TNF a berhubungan dengan penurunan kekuatan otot dan meningkatkan
mortalitas. Sebagian besar sitokin inflamasi berasal dari jaringan adiposa, sehingga
peningkatan proporsi lemak karena penurunan massa otot menyebabkan terjadinya
peningkatan sitokin inflamasi. Hal ini terutama terlihat pacta usia lanjut dengan
rheumathoid arthritis dan osteoarthritis dan disebut sarcopenic obesity. Penelitian
juga membuktikan, sitokin inflamasi yang diproduksi oleh jaringan adiposa juga akan
memacu terjadinya katabolisme otot sehingga terjadi lingkaran setan yang menginisiasi
dan mempertahankan terjadinya sarcopenic obesity. Penderita dengan sarcopenic
obesity mempunyai risiko disabilitas 2-3 kali lebih besar daripada non-sarcopenic
obesity. Berdasarkan hal tersebut, maka peningkatan massa otot dan penurunan
komposisi lemak dapat menurunkan sitokin inflamasi dan selanjutnya mencegah
terjadinya katabolisme protein.B
Sejumlah penelitian prospektif selama 3 tahun terakhir membuktikan bahwa
kecukupan asupan protein berperngaruh secara positif terhadap preservasi otot
dan mencegah terjadinya sarkopenia pada usia lanjut berusia lebih dari 70 tahun.
15
Penelitian terhadap 608 orang usia lanjut sehat etnis China mulai tahun 1993-1997
oleh Stookey, dkk membuktikan bahwa pada kelompokyang mendapat intake protein
tinggi, terjadinya penurunan massa otot lebih rendah pada follow up selama 4 tahun
dibandingkan pada kelompok yang mendapat intake protein rendahY Penelitian
lain dari Houston di Memphis dan Pitstburg pada 2732 usia lanjut selama 3 tahun
membuktikan bahwa asupan protein merupakan faktor yang dapat dimodifikasi
untuk terjadinya sarkopenia, pada kelompok usia lanjut dengan konsumsi protein
rata-rata 1.1 grjkg BB/ hari penurunan massa otot lebih rendah 40% dibandingkan
pada kelompok yang mengkonsumsi protein sebanyak 0.7 grjkgBBjhari. 18
Manfaat dari pemberian diit tinggi protein ini juga terjadi pad a usia lanjut dengan
malnutrisi bahkan pada penderita perfusi organ. Peningkatan asupan protein dari
0.5 grjkgBB/hari menjadi 1 grjkgBBjhari selanjutnya ditingkatkan hingga 2 gram/
kgBB/hari per hari terbukti dapat meningkatkan sintesis protein secara progresif dan
13
memperbaiki keseimbangan nitrogen.
Efek positif asupan protein terhadap komposisi tubuh diperantarai oleh stimulasi
insulin-like growth factor 1 {IGF-1). Pad a usia lanjut, terjadi penurunan kadar IGF-1 yang
berakibat pada penurunan sintesa protein dan mempercepat terjadinya penurunan
massa otot. Intervensi nutrisi dapat meningkatkan kadar IGF-1 pada usia lanjut.B
Efek lain dari peningkatan kadar protein pada usia lanjut adalah peningkatan
kepadatan tulang. Diit tinggi protein dapat meningkatkan retensi kalsium dalam
otot terutama bila asupan kalsium rendah. Ini merupakan efek sinergistik dari diit
tinggi protein dan kalsium bagi kesehatan tulang. Selain itu asupan protein tinggi
meningkatkan kepadatan tulang melalui efek peningkatan massa otot dan kekuatan
otot. Rangsang mekanis pada tulang merupakan hal yang penting untuk meningkatkan
kekuatan tulang dan massa tulang melalui peningkatan kekuatan kontraksi otot.
Korelasi antara kekuatan otot yang diukur dengan hand grip dengan bone mineral
content dan kepadatan tulang.B
Manfaat lain dari diit tinggi protein adalah dapat mempercepat penyembuhan luka
yang dibuktikan melalui beberapa meta analisis. Pemberian suplementasi protein 61
atau 37 gram protein selama 8 minggu dapat memperbaiki penyembuhan luka secara
signifikan. 13
Terdapat hubungan an tara asupan protein dengan fungsi kardiovaskuler. Penelitian
Nurses Health Study dengan penelitian prospektif selama 14 tahun pad a 80.000 wan ita
berumur 34-59 tahun menunjukkan terdapat hubungan antara asupan protein dengan
angka kejadian penyakit jantung iskemik. Selain itu, diit tinggi protein mempunyai efek
proteksi terhadap peningkatan tekanan darah. Diit tinggi protein dapat memperbaiki
13
fungsi endotel kapiler sehingga mencegah kekakuan pembuluh darah.
Penelitian selama 6 bulan terhadap 82 penderita fraktur panggul berusia rata-
rata 80 tahun, suplementasi kasein 20 grjhari dapat meningkatkan serum IGF-1 dan
kekuatan kontraksi otot bisep sebesar 15.7 % 19
Manfaat diit rendah protein pada penderita gaga! ginjal dan untuk mencegah
kerusakan ginjal masih dipertanyakan. Pada penelitian tehadap 585 orang penderita
gaga! ginjal yang diberikan protein 0.58- 1.3 gr/kg BB jhari, tidak memberikan manfaat
terhadap penurunan progresifitas gaga! ginjal. Tidak ada bukti bahwa diit rendah
protein memberikan manfaat bagi penderita yang tidak memiliki penyakit ginjal. Diit
rendah protein hanya direkomendasikan bagi penderita gaga! ginjal akibat diabetes,
hipertensi dan polycystic kidney disease. Kontraindikasi pemberian protein tinggi
adalah pada penyakit Parkinson yang diakibatkan oleh tingginya kadar asam amino
L-dopa. Pad a kelompok ini diperlukan as am amino spesifik yang mencukupi kebutuhan
untuk sintesa protein yang tidak mempengaruhi produksi neurotransmitter.B
Berdasarkan berbagai penelitian tersebut, makan asupan protein lebih besar
dari yang direkomendasikan tersebut dapat memperbaiki massa otot, kekuatan
otot dan fungsi otot pada usia lanjut terutama pada keadaan gangguan status imun,
penyembuhan luka, gangguan metabolisme tulang yang membutuhkan protein yang
lebih tinggi. Jumlah asupan protein 1.5 gr /kgBB/hari a tau 15-20 % total kalori
merupakan jumlah yang cukup bagi usia Ian jut untuk mengoptimalkan kesehatan tanpa
mengganggu fungsi ginjal, kesehatan tulang dan fungsi kardiovaskular 13 7 Perubahan
komposisi protein ini harus disertai dengan penurunan proporsi karbohidrat dan
lemak sehingga jumlah kalori yang masuk tetap. Untuk memenuhi kebutuhan protein
tersebut, diperlukan suplementasi protein yang cukup untuk mencegah sarkopenia.
1s ENREF 10 20,21 22
Jen is protein yang diperlukan dalam proses sintesa protein adalah as am amino
esensial. Protein otot berespons terhadap pemberian 15 gram asam amino esensial
lebih baik dibandingkan dengan pemberian hormone anabolik termasuk testosteron,
insulin dan growth hormone . Protein berkualitas tinggi seperti protein whey, kasein
dan protein sapi menstimulasi sintesis protein otot sesuai proporsi asam amino
esensial yang terkandung di dalamnya. Pada do sis rendah, asam amino esensial yang
dikonsumsi usia lanjut kurang responsif dibandingkan dengan pada orang yang lebih
muda, sehingga pada orang tua, jumlah asam amino esensial yang dibutuhkan juga
13
lebih tinggi. Pemberian protein yang direkomendasikan per hari dibagi menjadi 3
kali pemberian untuk menghasilkan efek sintesis protein yang lebih tinggi seperti
terlihat pada gambar di bawah ini. Pemberian suplementasi protein secara merata
dalam 3 kali makan lebih baik dalam menghasilkan efek anabolik dibandingkan dengan
pemberian protein dengan distribusi tidak merata 13 •16 23
Pemberian asam amino esensial merupakan stimulus utama sintesa protein. Leusin
adalah insulin secretagog yang penting dalam proses translasi, inisiasi dan sintesis
protein. Leusin merupakan asam amino paling paten yang mempunyai efek anabolic
dengan menstimulasi mTOR pathway (mammalian target of rapamycin). mTOR
merupakan sensor nutrisi leusin pada ptpt. Asam amino esensial berperan secara
sinergis dengan latihan fisik untuk meningkatkan fraksi sintesa protein. Pemberian
8 gram asam amino esensial selama 18 bulan pada usia lanjut dengan sarkopenia
menurunkan produksi TNF-alfa, meningkatkan massa otot dan memperbaiki
sensitivitas insulin. 10 16
KREATIN
Kreatin adalah asam amino yang penting untuk otot. Kreatin berperan penting
dalam metabolisme protein dan metabolisme seluler. Kreatin meningkatkan ekspresi
faktor transkripsi miogenik seperti miogenin dan faktor regulasi miogenik yang akan
meningkatkan massa dan kekuatan otot. Suplementasi kreatin akan meningkatkan
kadar fosfokreatin otot. Hal terse but akan meningkatkan kemampuan untuk melakukan
latihan dengan intensitas tinggi, yang akan mendorong terjadinya proses sintesis
7
protein otot.
Kreatin sebagai bahan alami makanan terutama terdapat pada produk daging
dengan asupan harian rata-rata 2 gram per hari. Masih terdapat pertentangan
mengenai suplementasi keratin karena dapat meningkatkan risiko terjadinya nefritis
interstitial sehingga menjadi perhatian khusus pada pemberian terhadap orang usia
7
lanjut. Kreatin saat ini bukan menjadi rekomendasi terapi sarkopenia.
8-HYDROXY -8-METHYL8UTYRATE (HM8)
Usia lanjut yang mengalami imobilisasi selama 10 hari dapat kehilangan 1 kg
massa otot yang selanjutnya dapat menurunkan kekuatan otot dan menyebabkan
sarkopenia. Untuk mencegah terjadinya hal ini dapat diberikan campuran asam amino
esensial (leusin, isoleusin dan valin). Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah
pemberian ~-Hydroxy -~-methylbutyrate (HMB) yang merupakan metabolit dari
leusin. Penelitian dengan memberikan makan dan 2 dosis HMB 1.5 gj dosis dalam 10
hari tirah baring disertai dengan rehabilitasi dan latihan fisik 3 kali per minggu dapat
mencegah penurunan massa otot 2 kg dibandingkan dengan plasebo. 24
Berdasarkan penelitian, HMB bermanfaat pacta keadaan terjadinya penurunan
massa otot karena AIDS, kanker, tirah baring atau pada periode defisit kalori. HMB
juga aman dan dapat memperbaiki tekanan darah dan kolesterol LDL. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 gr HMB 3 kali per hari. Beberapa penelitian ten tang efek sam ping
HMB terutama berhubungan dengan efek antikataboliknya dan peningkatan ekspresi
gen ubiquitin. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang HMB 24•
Penemuan-penemuan baru dalam bidang fisiologi molekular telah mengidentifikasi
beberapa target obat yang potensial yang berhubungan dengan perubahan otot rangka
kualitatif dan kuantitatif yang dikenal dengan sarkopenia pad a man usia yang menua.
Beberapa contoh jalur potensial dan target molekular untuk obat sarkopenia dapat
dilihat pada tabel di bawah ini: 32
Tabel. Contoh Jalur Potensial dan Target Molekular untuk Obat Sarkopenia
VITAMIN D
Kadar vitamin D menurun sesuai dengan penambahan usia. Tidak jarang
didapatkan kadar vitamin D yang sangat rendah pada orang usia lanjut. Studi
longitudinal (jangka panjang) yang dilakukan di Amsterdam, Belanda oleh Visser
dkk. (2003) menunjukkan bahwa kadar vitamin D yang rendah berhubungan erat
dengan melemahnya kekuatan dan menurunnya massa otot rangka. Peranan vitamin
D dalam osteoporosis telah lama diketahui. Pacta beberapa tahun terakhir, peranan
vitamin D dalam sarkopenia telah banyak diteliti. 26 Beberapa penelitian membuktikan
bahwa penurunan kadar 1,25 hidroksivitamin D dan 25-hidroksivitamin D (25-0HD)
berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, peningkatan body sway dan risiko
jatuh, sindroma kerapuhan dan disabilitas pada usia lanjut. 26 Kadar vitamin D yang
rendah juga dapat disebabkan insufisiensi ginjal dan rendahnya asupan kalsium atau
karena hiperparatiroid sekunder. Kadar vitamin D yang rendah berhubungan dengan
sarkopenia 25
Reseptor vitamin D pada otot menurun sejalan dengan penambahan usia. Vitamin
D dalam bentuk metabolit aktif 1.25(0H)2D menstimulasi diferensiasi mioblas yang
selanjutnya menstimulasi masuknya kalsium ke dalam sel yang diperlukan dalam
kontraksi otot. Kadar vitamin D menurun seiring dengan bertambahnya usia dan kadar
vitamin D pada kulit usia lanjut lebih rendah empat kali lipat dibandingkan kadar
orang dengan usia muda. Vitamin D memiliki peranan pada sintesis protein otot dan
mendorong pengambilan kalsium melalui membran sel. Kadar vitamin D yang rendah
biasanya berdampak pacta kelemahan otot, kesulitan bangun dari tempat duduk,
kesulitan menaiki tangga, dan masalah keseimbangan. Beberapa sumber makanan
yang mengandung vitamin D an tara lain: ikan, hati sa pi, telur, dan sereal. 7• 15
Sekitar 30-90% usia lanjut mengalami defisiensi vitamin D terutama pada pasien
rawat inap. Hal ini terutama disebabkan karena rendahnya paparan sinar matahari
dan menurunnya kemampuan kulit usia lanjut untuk mensintesa vitamin 03. 25
Hubungan vitamin D dengan fungsi otot rangka adalah melalui reseptor Vitamin
D (Vitamin D receptorsjVDR) yang terdapat di otot rangka. Peran VDR pada otot
rangka adalah dalam proses stimulasi sel-sel otot rangka untuk meningkatkan asupan
fosfat-inorganik yang penting dalam menghasilkan senyawa fosfat kaya-energi seperti
ATP dan Creatine-phosphate yang berperan penting dalam proses kontraksi otot.
Peran VDR lainnya adalah bertugas dalam mengatur distribusi dan regulasi kalsium
intraseluler. Keadaan defisiensi vitamin D juga dapat mengakibatkan suatu keadaan
hipoparatiroidisme sekunder dimana hal tersebut menyebabkan perburukan pada
fungsi otot. Pacta studi percobaan yang dilakukan pada tikus, kadar PTH yang berlebihan
meningkatkan proses katabolisme protein otot, mengurangi serabut otot tipe 2 dan
senyawa fosfat intraseluler kaya energi, serta mengurangi asupan oksigen mitokondria. 26
Terdapat hubungan yang sangat erat antara osteoporosis dengan sarkopenia.
Pasien-pasien osteoporosis biasanya disertai dengan menurunnya massa otot dan
kekuatan otot, dimana hal ini menunjukkan bahwa berkurangnya kepadatan massa
tulang berhubungan erat dengan berkurangnya massa otot. Pada pasien-pasien usia
lanjut yang memiliki pola diet dengan asupan kalsium dan vitamin D yang buruk,
disertai juga dengan menurunnya kemampuan menghasilkan vitamin D melalui kulit
dan menurunnya produksi kalsitriol (1,25(0H)2 vit D) oleh ginjal, keadaan ini dapat
meningkatkan risiko kejadian jatuh disebabkan karen a terjadi suatu miopati proksimal
yang disebabkan oleh karena defisiensi vitamin D dan hiperparatiroidisme sekunder. 26
Berbagai studi telah menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D dapat
memperbaiki lemahnya kekuatan dan berkurangnya massa otot (sarkopenia), dan
bahkan membalikkan proses ini. Suatu studi oleh Bischoff-Ferrari dkk. (2004)
menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D memberikan suatu manfaat yang baik
dalam meningkatkan kekuatan otot dan menurunkan risiko kejadian jatuh pada usia
lanjut. 27 Terdapat beberapa studi tinjauan sistematik dan meta-analisis yang dilakukan
tentang pengaruh suplementasi vitamin D pada kekuatan otot. Latham dkk (2003)
melakukan suatu tinjauan sistematik dan meta-analisis tentang efek suplementasi
vitamin D pada kekuatan, performa fisik dan kejadian jatuh pada usia lanjut. Total
sebanyak 13 studi dengan jumlah subjek sebanyak 2496 masuk sesuai kriteria inklusi.
Walaupun disimpulkan masih kurang cukup bukti-bukti, namun beberapa data yang
dianalisis menunjukkan manfaat suplementasi vitamin D disertai kalsium dalam
meningkatkan kekuatan otot rangka pada usia lanjut. 28
Suatu studi tinjauan sistematik dan meta-analisis berikutnya oleh Muir dkk
(2011) memelajari pengaruh suplementasi vitamin D pada kekuatan otot, cara
berjalan (gait), dan keseimbangan pada orang usia lanjut. Total sebanyak 714 artikel
yang diulas dan 13 studi RCT yang masuk kriteria inklusi menunjukkan hasil bahwa
suplementasi vitamin D dengan dosis berkisar antara 800-1000 IU secara konsisten
memberikan efek yang menguntungkan pada kekuatan dan keseimbangan tubuh.
Studi meta-analisis yang terakhir dilakukan oleh Beaudart dkk. (2014) dengan total
subjek sebanyak 5615 dari 30 studi RCT dengan rerata usia 61 tahun menunjukkan
bahwa suplementasi vitamin D memiliki efek yang baik dalam meningkatkan kekuatan
otot, namun masih diperlukan suatu studi lanjutan untuk menentukan dosis vitamin
D, durasi pemberian dan cara administrasi obat yang optimal dalam meningkatkan
29
kekuatan. otot dan memperbaiki keseimbangan tubuh.
Suatu studi analisis kohort retrospektif menggunakan basis data pasien dari
National Center Geriatrics and Gerontology di Jepang oleh Sadayuki dkk. (2009)
menunjukkan bahwa pemberian vitamin D Alfakalsidol, suatu vitamin D anabolik,
pada kelompok pasien osteoporosis disertai massa otot rendah dibanding kelompok
yang tidak diberikan Alfakalsidol dapat memberikan manfaat yang baik untuk mas sa
otot. Pemberian Alfakalsidol dapat mempertahankan hilangnya massa otot sejalan
dengan bertambahnya usia, dan terbukti dapat meningkatkan Indeks Massa Otot
Rangka (Skeletal muscle index). 30
O'Donnel S. et al (2008) melakukan suatu tinjauan sistematik ten tang manfaat dan
bahaya pemberian Alfakalsidol dan kalsitriol dalam menghindarkan jatuh dan kejadian
fraktur dimana dari penelitian tersebut didapatkan 51 penelitian metanalisis dari
1019 artikel. Alfakalsidol dan kalsitriol secara bermakna mengurangi risiko kejadian
fraktur non vertebra karena diduga memiliki efek pleiotropik selain kepada tulang,
yaitu efeknya kepada VD R yang terdapat di otot dimana kejadian fraktur non vertebra
berhubungan erat dengan kejadian jatuh. Diduga pengaruh kalsitrioljkalsidol terhadap
peningkatan kekuatan otot. 31
Morley dkk. (2010) yang tergabung dalam The Society for Sarkopenia, Cachexia,
and Wasting Disease di Amerika Serikat memberikan suatu rekomendasi tatalaksana
nutrisi dalam penatalaksanaan sarkopenia. Rekomendasi yang dianjurkan adalah
semua pasien usia lanjut dengan sarkopenia sebaiknya selalu diperiksakan kadar
vitamin D (25 (OH) vitamin D) dan perlu diberikan suplementasi vitamin Dyang sesuai
untuk meningkatkan kadar vitamin D diatas 100 nmoljL. Vitamin D yang diberikan
dapat berupa vitamin D2 maupun D3, dan dinyatakan dalam rekomendasi bahwa dosis
vitamin D sampai 50.000 IU per minggu aman diberikan tanpa efek samping yang
bermakna. Heaney dkk. merekomendasikan rum us "Rule ofthumb" dalam menentukan
dosis suplementasi vitamin D yang diberikan, yaitu untuk setiap kenaikan 1 ngfml
(2.5 nmoljL) serum 25 OH Vit D maka diperlukan 100 IU asupan vitamin D. Sebagai
contoh, pasien dengan kadar serum 25(0H)D 15 ng/ml akan memerlukan 1500 IU/
30
hari untuk mencapai kadar sampai 30 ngfml.
TERAPI HORMONAL
Proses penuaan akan diikuti dengan penurunan kadar hormon-hormon esensial
pada tubuh terutama hormon pertumbuhan (growth hormone) dan testosteron.
Kekurangan atau minimalnya hormon testosteron berpengaruh pacta berkurangnya
massa dan kekuatan otot serta penurunan densitas tulang. Pada akhirnya akan
berdampak pada peningkatan risiko keterbatasan fungsional, disabilitas, fraktur dan
risiko jatuh. Menopause juga berhubungan dengan penurunan densitas tulang dan
penurunan kekuatan otot. 30
• Growth hormone (GH) menstimulasi pertumbuhan pacta fase awal kehidupan
dan ini dibutuhkan untuk pemeliharaan otot dan tulang pada masa dewasa.
Meskipun seseorang memiliki pola makan dan latihan yang baik, tanpa adanya
kadar hormon pertumbuhan yang adekuat akan sulit untuk mempertahankan
kekuatan otot. Pada orang usia lanjut terjadi ketidakseimbangan sekresi hormon
pertumbuhan. Berbagai penelitian yang melibatkan percobaan dengan terapi
pengganti hormon melaporkan insidensi berbagai efek samping contohnya
retensi cairan, ginekomastia, dan hipotensi ortostatik. Pada penelitian pada tikus
yang dilakukan oleh Briosche (2013), pemberian GH dengan dosis rendah dapat
meningkatkan lean body mass dan meningkatkan sintesis protein otot. Namun
studi-studi mengenai suplemantasi growth hormone memberikan hasil kurang baik,
bahkan GH meningkatkan mortalitas pada penderita yang mengalami sakit berat
dengan malnutrisi. Efek samping yang didapatkan an tara lain artralgia, edema, efek
samping kardiovaskular, dan resistensi insulin membatasi penggunaan hormon
ini. GH juga mempunyai efek karsinogenik. 30
• Hormon testosteron : pemberian hormon ini tidak dianjurkan sebagai terapi
dari sarkopenia dikarenakan efek samping yang besar yaitu peningkatan kadar
Prostat Specific Antigen (PSA), hematokrit dan risiko kardiovaskular dibandingkan
dengan bukti-bukti yang lemah untuk peningkatan performa fisik. Studi lain untuk
pemberian DHEA juga melaporkan tidak adanya perubahan dari kekuatan otot.
• Estrogen dan tibolone: pada penelitian mengenaikekuatan otot dan komposisi
tubuh, kedua hormon ini dapat meningkatkan kekuatan otot, tapi hanya tibolone
yang dapat meningkatkan lean body mass dan menurunkan massa lemak total.
Tibolone adalah steroid sintetis yang mempunyai efek estrogenik, androgenik
dan progestogenik.
MIOSTATIN
Miostatin baru-baru ini ditemukan sebagai inhibitor alami terhadap pertumbuhan
otot, dan adanya mutasi pacta gen miostatin ini mengakibatkan hipertrofi otot.
Antagonis miostatin dapat meningkatkan regenerasi jaringan otot pacta mencit dengan
meningkatkan proliferasi dari sel sate lit. Sel sate lit ini sangat penting untuk regenerasi
sel otot. Terapi dengan miostatin mungkin dapat digunakan pacta sarkopenia di masa
yang akan datang.
INHIBITOR SITOKIN
Inhibitor sitokin seperti talidomid dapat meningkatkan berat badan dan
menimbulkan efek anabolik pacta pasien AIDS. TNF a menyebabkan atrofi otot secara
in vitro. Antibodi anti TNF a yang biasa diberikan sebagai terapi pacta pasien artritis
reumatoid dapat menjadi terapi alternatif pacta sarkopenia. Akan tetapi sampai saat
ini bel urn ada penelitian pacta penderita sarkopenia, dan juga mengingat keterbatasan
dana dan efek samping dari obat ini. Dari data-data epidemiologi didapatkan bahwa
lemak ikan mempunyai efek anti inflamasi yaitu omega-3, dan zat ini mungkin dapat
mencegah sarkopenia. 1
REFERENSI
1. Cesari M, Ferrini A Zamboni V, Pahor M. Sarcopenia: Current Clinical and Research Issues. The
Open Geriatric Medicine Journal. 2008;1 :14-23.
2. Cruz-Jentoft Aj, Baeyens Jp, Bauer Jm, Cederholm T, Landi F, Martin Fe, et al. Sarcopenia: European
consensus on definition and diagnosis. Report of the European Working Group on Sarcopenia in
Older People. Age and Ageing 2010. 201 0;39:412-23.
3. Nakasato, Yuri R., Carnes, Bruce A. Myopathy, Polymyalgia Rheumatica, and Temporal Arteritis
in hazzard's geriatric medicine and gerontology Sixth Edition. Him 1475.2009. Me Grow Hill
4. Rom 0, Kaisari S, Aizenbud D, Reznick AZ. Lifestyle and Sarcopenia-Etiology, Prevention, and
Treatment. Rambam Maimonides Medical Journal. 2012;3:1-12.
5. Chen L.K, Liu L., Woo Jean, Assantachai P, Auyeung T, Bahyah K.S, Sarcopenia in Asia: Consensus
Report of the Asian Working Group for Sarcopenia JAMDA 15 (2014) 95e 101
6. Setiati S. Geriatric Medicine, Sarkopenia, Frailty, dan Kualitas Hid up Pasien Usia Lanjut: Tantangan
Masa Depan Pendidikan, Penelitian dan Pelayanan Kedokteran di Indonesia. eJKI. 2013;1 No
3:236-45.
7. Rosenberg I. Sarcopenia: Origins and Clinical Relevance. J Nutr. 1997;127:990S-1 S.
8. Bergera MJ, Doherty TJ. Sarcopenia: Prevalence, Mechanisms, and Functional Consequences.
lnterdiscipl Top Gerontal Basel, Karger,. 201 0;37:94-114.
9. Visser M. Towards a definition of sarcopenia-resulds from epidemiologic studies The Journal of
Nutrition, Health & Aging. 2009; 13 No 8:713-16.
10. Janssen I, Shepard D, Katzmarzyk P, Roubenoff R. The Health care Costs of Sarcopenia in the
United States. JAGS. 2004;52:80-5.
11. Data tables: results from USDA's 1996 Continuing Survey of Food Intakes by Individuals and
1996 Diet and Health Knowledge Survey. Online ARS Food Surveys Research: USDA Agricultural
Research Service. 1996.
12. Vellas BJ, Hung WC, Romero LJ. Changes in nutritional status and patterns of morbidity among
free-living elderly persons: A 1Oyear longitudinal study .. Nutrition 1997; 13:515-9.
13. Wolfe RR, Miller SL Miller KB. Optimal protein intake in the elderly. Clin Nutr 2008;27:675-84.
14. Wolfe RR. The underappreciated role of muscle in health and disease. Am J Clin Nutr 2006;84:475-
82.
15. Mithal A, Bonjour JP, Boonen S, Burckhardt P, Degens H, Fuleihan GEH, et al. Impact of nutrition
on muscle mass, strength, and performance in older adults. Osteoporos lnt 201 3;24: 1555--66.
16. Paddon-Jones D, Rasmussen BB. Dietary protein recommendations and the prevention of
sarcopenia. Curr Opin Clin Nutr Metab Care 2009; 12:86-90.
17. Stookey JD AL Popkin BM .. Do protein and energy intakes explain long-term changes in body
composition?. J Nutr Health Aging. 2005;9:5-17.
18. Houston DK, Nicklas BJ, Ding J, Harris TB, Tylavsky FA, Anne B Newman, et al. Dietary protein intake
is associated with lean mass change in older, community-dwelling adults: the Health, Aging, and
Body Composition (Health ABC) Study. Am J Clin Nutr 2008. 2008;87:150-5.
19. Schurch MA, Rizzoli R, Slosman D, Vadas L, Vergnaud P, Bonjour J. Protein supplements increase
serum insulinlike growth factor-1 levels and attenuate proximal femur bone loss in patients with
recent hip fracture. A randomized, double-blind, placebo-controlled trial. . Ann Intern Med
1998; 128:801-9.
20. Catnpbell WW, Trappe TA, Wolfe RR, Evans WJ. The Recommended Dietary Allowance for Protein
May Not Be Adequate for Older People to Maintain Rangka Muscle. Journal of Gerontology.
2001 ;56A(6) :M373-80.
21. Paddon-Jones D, Rasmussen BB. Dietary protein recommendations and the prevention of
sarcopenia: Protein, amino acid metabolism and therapy. Curr Opin Clin Nutr Metab Care.
2009; 12( 1) :86-90.
22. Gaffney-Stomberg E, lnsogna KL, Rodriguez NR, Kerstetter JE. Increasing Dietary Protein
Requirements in Elderly People for Optimal Muscle and Bone Health. J American Geriatrics
Society. 2009;57: 1073-9.
23. Arnal M-A, Mosoni L, Boirie Y, Houlier M-L, Morin L Verdier E, et al. Protein pulse feeding improves
protein retention in elderly women. Am J Clin Nutr 1999. 1999;69:1202-8.
24. Wilson GJ, Wilson JM, Manninen AH. Nutrition & Metabolism Review Effects of beta-hydroxy-beta-
methylbutyrate (HMB) on exercise performance and body composition across varying levels of
age, sex,and training experience: A review. Nutrition & Metabolism 2008;5.
25. Visser M, Deeg DJH, Lips P. Low Vitamin D and High Parathyroid Hormone Levels as Determinants of
Loss of Muscle Strength and Muscle Mass (Sarcopenia): The Longitudinal Aging Study Amsterdam.
The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 88( 12) :57 66-5772. 2003;88( 12) :57 66-72.
26. Mosekilde L. Vitamin D and the Elderly. Clinical Endocrinology (2005) 62,265-281
27. Bischoff-Ferrari HA, Dawson-Hughes B, Staehelin HB, Orav JE, Stuck AE, Theiler R, et al. Fall
prevention with supplemental and active forms of vitamin D: A meta-analysis of randomised
controlled trials. BMJ. 2009;339:339. b3692
28. Latham N.K, Anderson C.S., Reid I.R. Effects of Vitamin D Supplementation on Strength, Physical
Performance, and Falls in Older Persons: A Systematic Review. JAm GeriatrSoc 2003;51 :1219-1226
29. Muir. W.S. Effect of Vitamin D Supplementation on Muscle Strength, Gait and Balance in Older
Adults : Systematic Review and Meta-Analysis. J Am Geriatr Soc. 201 1:1-1 0
30. Morley JE. Vitamin D redux. JAmMed Dir Assoc 2009;10:591-2.
31. Burton L, Sumukadas D. Optimal management of sarcopenia. Clinical Interventions in Aging
201 0;5:217-28.
32. Brass EP, Sietsema KE. Considerations in the Development of Drugs to Treat Sarcopenia. JAm
Geriatric Soc. 2011 ;59(3);530-535.
33. Ryall JG, Lynch GS. Role of !?>-Adrenergic Signalling in Skeletal Muscle Wasting: Implications for
Sarcopenia: Sarcopenia- Age-related Muscle Wasting and Weakness. London: Springer; 2011.
p. 449-471.
34. Blahd W. Sarcopenia with Aging. J Nutr Health Aging. Jul2013;17(7):612-618.
35. Salva A. Experimental Treatment Shows Promise in Reversing Loss of Muscle Mass. The International
Conference on Frailty & Sarcopenia Research 2014. Press Release.
36. Morley JE. Frailty: Pathy's Principles and Practice of Geriatric Medicine, 5'" edition. Oxford: John
Wiley & Sons. Ltd; 2012. p. 1387-1393.
PENATALAKSANAAN
Dl BIDING llMU PENYAKIT DALAM
PANDOAN
PRAKTIK
KLINIS
GINJAL HIP
PENGERTIAN
Batu saluran kemih adalah batu di traktus urinarius mencakup ginjal, ureter, vesika
urinaria. 1 Faktor resiko batu saluran kemih adalah: 2
• Volume urin yang rendah
• Hiperkalsiuria, hiperoksalaturia
• Faktor diet: asupan cairan kurang, sering konsumsi soda, jus aple, jus jeruk bali,
asupan tinggi natrium klorida, rendah kalsium, tinggi protein
• Riwayat batu saluran kemih sebelumnya
• Renal tubular asidosis tipe 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1
Nyerifkolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala infeksi saluran kemih,
hematuria, riwayat keluarga, faktor resiko batu ginjal penyakit gout
Pemeriksaan Fisik1
Nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian bawah, terdapat tanda
balotemen
Pemeriksaan Penunjang
1
• Laboratorium :hematuria
• Radiologi: bayangan radio opak pada foto BNO, filling defect pada IVP atau
pielogra antegradfretrograd, gambaran batu di ginjal atau kandung kemih serta
hidronefrosis pada USG
DIAGNOSIS BANDING
• Nefrokalsinosis
• Lokasi batu: batu ginjal, batu ureter, batu vesika
• Jenis batu: asam urat, kalsium, struvite
Ci>
..
Tabel 1. Beberapa Etiologi Batu Saluran Kemih 2
' il·:· .:: . ·
·.·.·. P~~~!*~i~ ~arr "',-11
:.',•;-·
et1~i~b1
),·r :
'
3.
~---
-g=,
ill:
.· ~:T(I~ ~:>atu l i;=
- ,;J-·- '._'
,, - ~: '<·.· ' (. :; '.'<'! &DI
~~--
Batu kalsium 75-85
m"'!DD
g: . .
Hiperkalsiuria 50-55 2:1 Herediter Normokalsemia, hiperkalsiuria Diet rendah Na, tinggi <:;;Dit
~~~
idiopatik yang tidak dapat dijelaskan protein, diuretik : thiazide
0·-·-
~~
~-
3-
Hiperurikosuria 20 4:1 Diet Asam urat urin >750 mg/24 jam
[wanita), >800mg/24 jam [pria)
Allopurinol. diet rendah purin
&'[:li.·
=
3" - ·
a
Hiperparatiroid 3-5 3:10 Neoplasma Hiperkalsemia dengan Bedah
primer hormone paratiroid yang tidak
tersupresi
Asidosis tubular Jarang 1:1 Herediter I Asidosis hiperkhloremik, min ph Penggantian alkali
renal distal did a pat urin > 5,5
Diet hiperoksalat 10-30 1:1 Diet tinggi oksalat. Oksalat urin > 40 mg/24 jam Diet rendah oklsalat. kalsium
rendaj kalsium normal
Enteric -1-2 1:1 Operasi usus besar Oksalat urin > 75 mg/24 jam Diet rendah oksalat. kalsium
hiperoksalaturia oral
Hiperoksalaturia Jarang 1:1 Herediter Meningkatnya oksalat urin dan Cairan, pyridoxine. citrat
primer glikolik atau asam 1-gliseril dan fosfat murni
Hipocitraturia 20-40 1-2:1 Herediter Citrat urine <320 mg/24jam Suplemen alkali
Penyakit batu 20 2:1 Tidak diketahui Fosfat oral, cairan
idiopatik
Batu asam urat 5-10
Sindrom metabolik -30 1:1 Diet lntoleransi glukosa, obesitas, Jika asam urat urin harian
hiperlipidemia > 1000 mg : Alkali dan
alopurinol
Gout -30 3-4:1 Herediter Diagnosis klinis Alkalinisasi urin dan
allopurinol
Jika asarn urat urin harian
> 1000 mg : Alkali dan
alopurinol
Dehidrasi ? 1:1 Pencernaan, Anamnesis, kehilangan cairan Alkali. cairan. memperbaiki
kebiasaan pada saluran pencernaan penyebab
Sindrom Lesch- Jarang Hanya Herediter Menurunnya tingkat hypoxan- Allopurinol
nyhan pria tine-guanine phosphoribosyl-
trans ferase
Batu cystine 1:1 Herediter Tipe batu, rneningkatnya Cairan yg banyak. Alkali. jika
ekskresi cystine perlu D-penicilamine
Batu struvit 5 1:3 lnfeksi Tipe batu Antimikroba, bedah
TATALAKSANA
' Nonfarmakologis 1
• Batu kalsium: kurangi asupan garam dan protein hewani
• Batu urat: diet rendah asam urat
• Min urn banyak (2,5 L/hari) bila fungsi ginjal masih baik
Farmakologis
• Antispasmodik bila ada kolik
• Antimikroba hila ada infeksi
• Batu kalsium: kalium sitrat
• Batu urat: allopurinol, pemberian oral bicarbonate or potassium citrate untuk
membuat pH urin menjadi basa. 3
Bedah 3
• Extracorporea/ shock-wave lithotripsy (untuk batu pada proksimal ginjal dan
I
urethra <2cm)
• Percutaneous lithotripsy (untuk batu >2cm)
• Ureteroscopy (untuk batu pada ginjal dan ureter)
• Pielotomi
• Nefrostomi
KOMPLIKASI
Abses, gaga! ginjal, fistula saluran kemih, stenosis urethra, perforasi urethra,
urosepsis, rena/loss karena obstruksi kronis. 4
PROGNOSIS
Batu saluran kemih adalah penyakit seumur hidup. Rata-rata kekambuhan pada
pertama kali batu terbentuk adalah 50% dalam 5 tahun dan 80% dalam 10 tahun.
Pasien yang mamiliki risiko tinggi kambuh adalah yang tidak patuh pad a pengobatan,
tidak modifikasi gaya hidup, atau ada penyakit lain yang mendasari. Fragmen batu
yang tersisa pada pembedahan biasanya keluar dengan sendirinya jika ukuran batu
tersebut < 4mm. 4
Sa luran Kemih
UNITYANG MENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Ginjal-Hipertensi- Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Urologi
• RS non pendidikan : Bagian Urologi
REFERENSI
1. lnfeksi saluran Kemih. In: Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I. Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 51h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit
Dalam FKUI, 2009:2009- 15
2. Nephrolithiasis. In: Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011.
3. Nephrolithiasis. Dalam :Acosta, Jose. Sabiston Textbook of Surgery 18'h Edition. Saunders. 2008
4. Stoller ML. Urinary stone disease. In: Tanagho EA. McAninch JW, eds. Smith's General Urology,
16'h Edition. New York, NY:McGraw-Hill. 2004:256-291.
•
GANGGUAN ASAM BASA
PENGERTIAN
Ganggguan asam basa terdiri dari dua yaitu asidosis dan alkalosis. Tingkat
keasaman arteri (pH) dipertahankan 7.35-7.45. Asidosis jika pH< 7.35 dan alkalosis
jika pH> 7.45. Pengontrolan tekanan C0 2 (PaC0 2) dilakukan oleh sistem saraf pusat
dan sistem respirasi, sedangkan pengaturan bikarbonat plasma diatur oleh ginjal
dengan mengekskresi dan meretensi asam atau basa. Regulasi pH darah digambarkan
dengan rumus Henderson-Hasselbalch:1.2
PaC0 2 x 0.0301
plasma yang bersifat a sam seperti a sam bukan klorida yang mengand ung bah an
inorganik (fosfat, sulfat), bahan organik (asam keto, laktat, anion uremia),
bahan eksogen (salisilat, toksin lain)
c. Jika AG menurun: terdapat penurunan albumin atau peningkatan kation yang
tidak terukur (kalsium, magnesium, kalium, bromine, imunoglobulin)
d. Nilai normal8-12 mEq/L
e. AG meningkat menunjukkan adanya penambahan asam lain sedangkan jika
AG normal menunjukkan bikarbonat yang kurang yang menjadi penyebab
asidosis metabolik
f. AG dihitung dengan rum us: I AG = Na _ (Cl+ HC0 )
3
Jika terjadi peningkatan glukosa plasma, gunakan kadar natrium yang diukur,
jangan menggunakan kadar natrium terkoreksi.
6. Mengetahui 4 penyebab high AG yaitu ketoasidosis, asidosis asam laktat, gagal
ginjal, toksin
7. Mengetahui 2 penyebab hiperkloremik atau asidosis nongap (hilangnya bikarbonat
dari saluran cerna, renal tubular acidosisjRTA).
8. Mengestimasi respon kompensasi (Tabel 2)
ASIDOSIS METABOLIK
PENGERTIAN
Asidosis metabolik adalah adalah suatu keadaan patologis ditandai dengan penurunan
HC03 -1 dan sebagai kompensasi terjadi penurunan PC02 . Asidosis metabolik dengan
anion hgap(AG) disebabkan oleh: ketoasidosis, laktat asidosis, gaga! ginjal, intoksikasi
(metanol, salisilat, etilen glikol, propilen glikol, asetamonofen). Sedangkan asidosis
' metabolik tanpa AG disebabkan oleh diare atau asidosis tubulus renalis (RTA)
3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat penyakit yang diderita seperti penyakit ginjal (gaga! ginjal akut), diabetes
lcohol, riwayat konsumsi alkohol, kelaparan, gangguan herediter, obat-obatan yang
rutin dikonsumsi, atau riwayat operasi sebelumnya. Pacta kasus kronik pasien dapat
tidak menunjukkan gejala (asimptomatik) atau merasa Ielah, letih dan nafsu makan
menurun.L 3
• Kehilangan melalui saluran cerna: daire, fistula intestinal atau pankreas, drainase
• Renal Tubular Acidosis
• Gaga! ginjal tahap awal
• Intoksikasi: asetazolamid, kolestiramin, toluen
• Dilusi karena infus bikarbonat terlalu cepat
• Post-hypocapnia respiratory alkalosis
• Renal wasting HC0 3
• Koreksi alkalosis respiratorik terlalu cepa
• Diversi ureter
Pemeriksaan Fisik
Penurunan tekanan darah, takikardia, hiperventilasi (pernapasan Kussmaul's),
kulit dingin dan lembab, disritmia, dan syok. 1. 3
Pemeriksaan Penunjang 3
• Analisis gas darah: pH< 7.35. PaC0 2 < 35 mmHg, bikarbonat < 22 mEq/L
• Elektrolit serum: mungkin terjadi peningkatan kalium.
• Osmolalitas darah, glukosa darah, ureum, kreatinin
• Keton urin
• Skrining toksin
• EKG: disritmia akibat hiperkalemia, memuncaknya gelombang T, penurunan
segmen ST, penurunan ukuran gelombang R, menurun atau tidak terdapatnya
gelombang P, dan melebarnya kompleks QRS.
DIAGNOSIS BANDING 1
• AG normal: saluran cerna diare, fistula, ileal loop), ginjal (renal tubular acidosis,
carbonic anhydrase inhibitor, post hypocapnia).
• AG meningkat: eksogen (salisilat, metanol, paraldehid), endogen (laktat asidosis,
ketoasidosis, uremia)
TATALAKSANA3
• Terapi penyakit yang mendasarinya
• Terapi asidosis metabolik dengan AG
Jika keton urin negatif: hitung osmolalitas gap (OG}. Jika OG > 10: curiga
intoksikasi.
Osmolalitas gap = osmolalitas terukur - osmolalitas perhitungan
Osmolalitas perhitungan = [2x Na] + [glukosa/18] + [BUN/2.8]
• Terapi asidosis metabolik tanpa AG
Terapi penyakit yang mendasarinya
Periksa AG urin (UAG)
Hasil UAG yang negatif menunjukkan adanya peningkatan ekskresi NH4+ yang
merupakan respon ginjal terhadap asidosis, adanya gangguan pada saluran
cerna, RTA tipe II, intoksikasi, atau dilusi.
Hasil UAG yang positifmenunjukkan adanya kegagalan ginjal mensekresi NH 4 +,
t RTA tipe I atau IV, gaga! ginjal tahap awal.
• Terapi asidosis metabolik berat (pH < 7.2)
Ketoasidosis diabetik: insulin dan cairan
Ketoasidosis berhubungan alkohol: saline dan glukosa
Gaga! ginjal akut: dialisis
• Terapi bikarbonat dengan natrium bikarbonatz
Menghitung ruang bikarbonatj Ru-bikar:
Ru-bikar: [0.4+ (2.6: HC03)] x berat badan (kg)
KOMPLIKASI
Aritmia, koma dan kematian jika asidosis metabolik berat3
PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Pada 543 pasien
yang menderita asidosis metabolik, 44% di antaranya menderita asidosis laktat, 3 7%
di antaranya menderita asidosis dengan AG yang tinggi, dan 19 % dengan asidosis
hiperkloremik. Angka kematian mencapai 45% pada kasus asidosis metabolik,
pasien dengan laktat asidosis 56%, asidosis dengan AG yang tinggi 39%, dan asidosis
hiperkloremik 29% 3.4
ASIDOSIS RESPIRATORIK
PENGERTIAN
Peningkatan PaC0 2 dengan kompensasi peningkatan HC0 3. Faktor resiko yaitu: 3
• Penyakit pernapasan akut: pneumonia,ARDS (acute respiratory distress syndrome)
• Obat-obatan yang mendepresi susunan saraf pusat
• Trauma dinding dada: flail chest, pneumotoraks
• Trauma sistem saraf pusat: dapat menimbulkan depresi pernapasan
• Kerusakan otot pernapasan: hiperkalemia, polio, sindroma Guilla in-Barre
• Asfiksia: obstruksi mekanik, anafilaksis
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Sesak nafas, asteriksis, gelisah menimbulkan letargi, perubahan status mental,
dan koma 3 "-.,
Pemeriksaan Fisik
Peningkatan frekuensi jantung dan pernapasan, diaphoresis, dan sianosis. Dapat
ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial seperti edema papil, dilatasi
pembuluh darah konjungtiva dan wajah.
Pemeriksaan Penunjang 3
• Analisa gas darah (AGO): PaC0 2 > 40 mmHG, pH< 7.40
• Elektrolit serum
• Rontgen paru: melihat adanya penyakit pernapasan yang mendasari
• Skrining obat
DIAGNOSIS BANDING
Dilihat dari beberapa faktor resiko yang dapat menyebkan terjadinya asidosis
respiratori 3
TATALAKSANA2 ·3
• Terapi penyakit yang mendasarinya
• Menaikkan frekuensi napas dan menurunkan C0 2
• Akut: Oksigen jika saturasi oksigen rendah, ventilator
• Kronik: oksigen, bronkodilator dan antibiotik sesuai indikasi, fisioterapi dada.
KOMPLIKASI
Gagal napas, syok3
PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Jika cepat diatasi
• maka maka tidak ada efek jangka panjang. Asidosis respiratorik dapat terjadi secara
kronik bersamaan dengan penyakit paru atau gagal nap as yang membutuhkan ventilasi
mekanik. 3
ALKALOSIS METABOLIK
PENGERTIAN 5
Peningkatan HC0 3 dengan peningkatan PaC0 2 sebagai kompensasi. Penyebab
alkalosis metabolik yaitu:
• Saline responsive: kehilangan W melalui muntah, penghisapan dari selang NGT,
-, adenoma villous, laksatif, cystic fibrosis; dari ginjal misalnya pemakaian diuretik
• Saline resistant: kelebihan mineralokortikoid, hipokalemia berat, hipokalsemia
atau hipoparatiroidisme, sindroma Bartter's, sindroma Cite/man's
DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala klinis kelemahan otot, ketidakstabilan saraf otot, menurunnya refleks,
perubahan status mental seperti apatis, stupor. Riwayat penyakit sebelumnya dan
obat-obatan seperti diuretik tiazid. 1•3
Pemeriksaan Fisik
Konfusi, aritmia, peningkatan kepekaan neuromuskular, dapat ditemukan ileus
karena penurunan motilitas saluran pencernaan. 1·3
l
l Klorida urin >20
J
i
I
Saline resistant
J
I
l
Kehilangan dari sal-
uran cerna : muntah,
Diuretik Setelah hipokapnia,
laks Jtit, cystic
I
Hipertensi
J Normal atau
hipotensi
drainase NGT, brosis
adenoma vilus
. derajat 1,
Hiperaldosteronisme .. diuretik,
sindroma Bartter's,
derajat 2, sindroma Gitelman's
. non-mineralocorticoid
DIAGNOSIS BANDING 5
• Sensitif terhadap klorida ( klorida urin < 10 mEq/L): saline responsive
Kehilangan klorida dari urin: pemakaian diuretik, kistik fibrosis, post
hiperkapnia
Kehilangan klorida dan W dari saluran cerna: penghisapan selang NGT, muntah,
kelainan kongenital
• Resisten terhadap klorida (klorida urin >10 mEq/L): saline resistant
Hipertensi: kelebihan mineralokortikoid: sindrom Cushing, sindrom Conn,
Normotensif atau hipotensi: hipokalemia berat, sindrom Barttler.
TATALAKSANA2 ·3
• Terapi penyakit yang mendasarinya
• Infus normal saline
• Kalium klorida (KCl) sesuai indikasi
• Antagonis reseptor histamin H2 , menurunkan produksi HCl dan mencegah alkalosis
metabolik yang dapat terjadi akibat penghisapan dari NGT
• Inhibitor karbonik anhidrase: asetazolamid
• Asam hidroklorida (HCl) 0.1 N juga efektif, tetapi dapat menyebabkan hemolisis
dan harus diberikan melalui pembuluh darah sentral dan perlahan-lah
KOMPLIKASI
Aritmia jantung, gangguan elektrolik, koma
PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Angka kematian
pada pH darah 7.55 sebesar 45 %, sedangkan angka kematian pada pH darah lebih
dari 7,65 yaitu 80 %. 3 ' 5
ALKALOSIS RESPIRATORIK
I PENGERTIAN
Penurunan PC0 2 dengan penurunan HC0 3 sebagai kompensasi. Terjadi karena
3
peningkatan ventilasi alveolar. Penyebab terjadinya alkalosis respiratorik:
• Hipoksia: hiperventilasi pada pneumonia, edema pulmonal, penyakit paru restriktif
• Hiperventilasi primer: gangguan sistem saraf pusat, nyeri, cemas, obat (salisilat,
progesteron, metilxantin), kehamilan, sepsis, gagal hati.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
-'
Anamnesis
Gejala yang dikeluhkan: kepala terasa melayang, ansietsas parestesia, tetani,
3
pingsan, dan kejang jika sudah berat.
Pemeriksaan Fisik
Ditemukan adanya peningkatan frekuensi dan kedalaman pernapasan 3
Pemeriksaan Penunjang 3
• Analisis gas darah (AGO): PaC0 2 < 40 mmHG, pH> 7.40, Pa0 2 menurun
• Elektrolit serum
• Fosfat serum: penurunan
• EKG: disritmia
DIAGNOSIS BANDING
Dibedakan berdasarkan etiologinya
TATALAKSANA 3
• Terapi penyakit yang mendasarinya
• Memastikan apakah ansietas merupakan penyebabnya dan penurunan PaC0 2
• Jika gejala memberat: pasien perlu menghirup kern bali C0 2 melalui masker oksigen
yang dihubungkan dengan reservoir C0 2 • a tau mengunakan sejenis kantong untuk
bernapas.
• Terapi oksigen jika hipoksia dalah faktor penyebabnya
• Sedatif dan tranquilizer jika disebabkan karena cemas
• Ventilasi mekanik
KOMPLIKASI
Aritmia jantung, gangguan elektrolik, koma
PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Angka kematian
27,9 % seiring dengan meningkatnya pH, mencapai 48,5 % jika pH > 7.60. Pasien
dengan alkalosis respiratori dan alkalosis metabolik mempunyai prognosis lebih
buruk (44.2%) 6
REFERENSI
1. DuBose TD. Acidosis and alkalosis. In: Fauci A. Kasper D. Longo D. Braunwald E. Hauser S, Jameson
1
J, Loscalzo J. editors. Harrison's principles of internal medicine. 18 h ed. New York: McGraw-Hill
Medical Publishing Division; 2012.
2. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi
B. Sirnadibrata M. Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: lnterna
Publishing; 2009: Hal 189-196.
3. Seitter JL. Acid-base disorders. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Cecil Medicine. 24th ed.
Philadelphia, Po: Saunders Elsevier; 2011 :chap 120.
4. Gunnerson K, Saul M, He S, et al. Lactate vs. non-lactate metabolic acidosis: a retrospective
outcome evaluation of critically ill patients. Crit Care. 2006; 10(1 ): R22.
5. Galla J. Metabolic alkalosis. JASN. 2000;11 (2):369-75.
6. Anderson LE, Henrich WL. Alkalemia-associated morbidity and mortality in medical and surgical
patients. South Med J. 1987;80(6):729-33.
-,
GANGGUAN GINJAL AKUT
PENGERTIAN
Gangguan ginjal akut a tau yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA),
sekarang disebut jejas ginjal akut (acute kidney injuryI AKI). AKI merupakan kelainan
ginjal struktural dan fungsional dalam 48 jam yang diketahui melalui pemeriksaan
darah, urin, jaringan, a tau radiologis. 1•2 Kriteria diagnosis AKI menurut the International
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) sebagai berikut: 3
• peningkatan serum kreatinin (SCr) 2: 0,3 mgjdL (2: 26,5 11moljL) dalam 48 jam; atau
• peningkatan SCr 2: 1,5 x baseline, yang terjadi atau diasumsikan terjadi dalam
kurun waktu 7 hari sebelumnya; atau
• Volume urin < 0,5 mLjkgBBfjam selama > 6 jam
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1
1. Suspek pre-renal azotemia: muntah, diare, poliuria akibat glikosuria, riwayat
konsumsi obat termasuk diuretik, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID),
Panduan Praktik Klinis ·
Pemeriksaan Fisik1
1. Hipotensi ortostatik, takikardi, tekanan vena jugularis menurun, turgor kulit
menurun, dan membran mukosa kering.
2. Perut kern bung dan nyeri suprapubik -7 pembesaran kandung kemih
3. AKI dengan purpura palpable, perdarahan paru, atau sinusitis-?sugestifvaskulitis
sistemik
l
Jejas ginjal akut
f l t
I
I l lntrinsik
J I Post-renal I
t
Hipovolemia
Cardiac output -I,
Volume sirkulasi efektif -I,
I
'(
Tubulus dan
interstitium
J kemih
'
• Obstruksi sa luran kandung
• Obstruksi pelvo-ureteral
• Gagal jan tung kongestif bilateral (atau obstruksi
• Gagal hati unilateral dari fungsi ginjal
Autoregulasi ginjal terganggu
• NSAID
soliter)
I
• ACE-I I ARB
• Siklosporin • Glomerular • Vaskular
"
• Glomerulo • Vaskulitis
nefritis akut • Hipertensi maligna
• TIP-HUS
_j _i
I
lskemi
I I
Sepsis I infeksi J NEFROTOKSIN
• Eksogen: kontras, aminoglikosida,
cisplatin, amfoterisin B
• Endogen: hemolisis, mieloma, kristal
Kef: TTP-HUS = thrombotic thrombocytopenic
intratubular, rhabdomiolisis
purpura-hemolytic uremic syndrome
Pemeriksaan Penunjang 1
1. Laboratorium: darah perifer lengkap, urinalisis, sedimen urin, serum ureum,
kreatinin, asam urat, kreatin kinase, elektrolit, lactate dehydrogenase (LDH), blood
urea nitrogen (BUN), antinuclear antibodies (AN As), antineutrophilic cytoplasmic
antibodies (ANCAs), antiglomerular basement membrane antibodies (AGBM), dan
cryoglobulins.
2. Radiologis: USG ginjal dan traktus urinarius, CT scan, pielografi antegrad atau
retrograd, MRI
3. Biopsi ginjal
Pre-renal azotemia Riwayat intake cairan sulit Ratio BUN: kreatinin FeNa rendah, BJ
atau kehiiangan cairan >20, FeN a <1 %, dan osmolalitas
(muntah, diare, perdarahan, gambaran hialin (+) urin tinggi, mung kin
sekuestrasi ke dalam ruang pada sedimen urin, BJ tidak terlihat
ekstravaskular), gaga! urin > 1.01 8, osmolalitas pada penyakit
jantung, NSAID/ACE-1/ARB, urin >500 mOsm/kg ginjal kronis.
adanya bukti kekurangan Penggunaan
cairan (takikardL hipotensi diuretik, proporsi
absolut/posturaL tekanan peningkatan
vena jugularis rendah, ratio BUN:
membran mukosa kering), kreatinin dapat
Volume sirkulasi efektif menjadi indikasi
menurun (gaga I jantung, perdarahan
sirosis hepatis) saluran cerna atau
meningkatnya
katabolism e.
Respons
untuk restorasi
hemodinamik
menjadi faktor
diagnostik
terpenting.
AKI-terkait sepsis Sepsis, sindrom sepsis, atau Kultur (+) dari cairan FeNa mungkin
syok sepsis. Hipotensi nyata tubuh, sedimen rendah (<1%),
tidak selalu terlihat pada AKI urin sering terdapat khususnya di awal
ringan atau sedang bentuk granular, sel onset namun
epitel tubular biasanya > 1%
dan osmolalitas
<SOOmOsm/kg
AKI-terkait iskemik Hipotensi sistemik, kadang Sedimen urin sering
disertai sepsis dan/atau terdapat bentuk
faktor risiko terbatasnya granular, sel epitel
fungsi ginjal seperti usia tua, tubular, FeN a > 1%
PGK
~~ll~f&r~q;~~~~~1QJ~i~&l~(f9m9!(k'\t!i1flit~t~g~~~~-~t~:~!l1~~a~•~~-!tim,~~~~J¥~r~i
Rhabdomiolisis Trauma crush injury, kejang, Mioglobin , keratin FeNa mungkin
imobilisasi kinase, gross rendah (<1%)
hematuria
Hemolisis Riwayat reaksi tranfusi pada Anemia, LDH , FeNa mungkin
transfusi darah seb~lumnya haptoglooin rendah rendah (<1%);
evaluasi unruK
reaksi transfusi
Lisis tumor Riwayat kemoterapi Hiperfosfatemia,
hipokalsemia,
hiperurisemia
Mieloma multipel Usia >60 tahun, gejala Anion gap rendah, Biopsi sumsum
konstitusional, nyeri tuJang monoclonal. spike tulang atau
pada urin atau serum ginjal dapat
elektroforesis memberikan
diagnosis pasti
,'~.~-7"~·-·,---·;"~"'~-,-...,.,-."':~''1-'
[/,i~,L~':c;~~~1~~~~f[~~'{;:';h :;,;~:~ ';~~~~!~~~~~~;~!~l~·,,/:; . .
, '. 'fiell'iei1ks.c
. ;. :~, c~~i)ijhjg~,
Nefropati kontras Paparan terhadap kontras Serum kreatinin dalam FeNa mungkin
yang teriodinasi 1-2 harL puncaknya rendah (<1%)
pada hari 3-5, pulih
dalam 7 hari
1. Asupan nutrisP
• Pemberian nutrisi enterallebih disukai
• Target total asupan kalori per hari: 20- 30 kkal/kgBB pada semua stadium
• Hindari restriksi protein
• Kebutuhan protein per hari:
AKI non-katabolik tanpa dialisis: 0,8- 1 gjkgBB
AKI dalam terapi penggantian ginjal (TPG): 1 - 1,5 gjkgBB
AKI hiperkatabolik dan dengan TPG kontinu: sjd maksimal1,7 gjkgBB
2. Asupan cairan dan terapi farmakologis 3
• Tentukan status hidrasi pasien, bila tidak ada syok hemoragik ainfus kristaloid
isotonik
• Pada pasien dengan syok vasomotor a berikan vasopressor dengan cairan IV
• Pad a seting perioperatif a tau syok sepsis, tatalaksana gangguan hemodinamik
dan oksigenasi sesuai protokol
• Pada pasien sakit berat berikan terapi insulin dengan target glukosa plasma
110-149 mgjdL
• Diuretik hanya diberikan pada keadaan volume overload
• Tidak dianjurkan: dopamin dosis rendah, atrial natriuretic peptide (ANP),
recombinant human (rh) IGF-1
3. Intervensi dialisisl.3
• Indikasi dialisis:
Terapi yang sudah diberikan tidak mampu mengontrol volume overload,
hiperkalemia, asidosis, ingesti zat toksik
Komplikasi uremia berat: asterixis, efusi perikardial, ensefalopati, uremic
bleeding
• Inisiasi dialisis secepatnya pada keadaan gangguan cairan, elektrolit,
keseimbangan asam-basa yang mengancam nyawa
• Pertimbangkan kondisi klinis lain yang dapat dimodifikasi melalui dialisis
(tidak hanya ratio BUN: kreatinin saja)
• Gangguan ginjal akut stadium III
• Diskontinu dialisis hila tidak lagi dibutuhkan (fungsi intrinsik ginjal telah
pulih) atau jika dialisis tidak lagi memenuhi tujuan terapi
KOMPLIKASI
Gangguan asam basa dan elektrolit, uremia, infeksi, perdarahan, komplikasi pada
jantung, malnutrisU
PROGNOSIS
Tingkat mortalitas AKI yang berat hampir 50%, tergantung tipe AKI dan penyakit
komorbid pasien. Pacta studi Madrid, pasien dengan nekrosis tubular akut memiliki
386
angka mortalitas 60%, sedangkan pacta penyakitpre-renal atau post-renal35%. Sebagian
besar kematian bukan disebabkan AKI itu sendiri, melainkan oleh penyakit penyerta dan
komplikasi. Pacta data Madrid, 60% kematian disebabkan oleh penyakit primer dan 40%
lainnya disebabkan oleh gagal kardiopulmonal atau infeksi. Sekitar 50% orang pulih
sepenuhnya dari nekrosis tubular akut, 40% tidak pulih dengan sempurna, hanya 5-10%
yang memerlukan hemodialisis. 8
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Hemodialisis, lCUjMedical High Care, Departemen
Bedah Urologi
• RS non pendidikan : Unit hemodialisis, ICU
REFERENSI
1. Bonventre J, Waikar S. Acute kidney injury. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson
JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'" Edition. New York: McGraw-Hill; 2012.
hal a man
2. Molitoris B. Acute kidney injury. In: Goldman, Ausiello. Cecil medicine. 23'd Edition. Philadelphia:
Saunders, Elsevier; 2008. halaman
3. The International Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). KDIGO clinical practice
guideline for acute kidney injury. Kidney International Supplements (2012) 2, Diunduh dari http:/1
www .kdigo .org/clinical_practice_guidelines/pdf/KDIG0%20AKI%20 Guideline .pdf pad a tanggal
16 Mei 2012.
4. Mehran R, Aymong E, Nikolsky E, et al. A simple risk score for prediction of contrast-induced
nephropathy after percutaneous coronary intervention. JAm Coli Cardiol. 2004; 44:1393-9.
5. Palomba H, Castro I, Neto ALC, et al. Acute kidney injury prediction following elective cardiac
surgery: AKICS Score. Kidney International. 2007;72:624-31.
6. Candela~Toha A, Elias-Martin E, A bra ira V, et al. Predicting acute renal failure after cardiac surgery
external validation of two new clinical scores. Clin JAm Soc Nephrol. 2008;3:1260-5.
7. Karkouti K, Wijeysundera D, You T, et al. Acute kidney injury after cardiac surgery: focus on
modifiable risk factors. Circulation 2009;119:495-502.
8. Liano F, Junco E, Pascual J, Madero R, Verde E. The spectrum of acute renal failure in the
intensive care unit compared with that seen in other settings. The Madrid Acute Renal Failure
Study Group. Kidney lnt Suppl1998; 66:S16-S24.
387
GANGGUAN KALIUM
PENGERTIAN
Gangguan kalium ada 2 yaitu hipokalemia dan hiperkalemia. Nilai normal kalium
plasma yaitu 3.5-5 meq/L. Hipokalemia yaitu kadar kalium plasma< 3.5 meqLJL, dan
hiperkalemia jika kadar kalium plasma> 5 meqjL. Kalium adalah kation utama dalam
intraselular dan berperan penting dalam metabolism sel. Kalium berfungsi dalam
sintesis protein, kontraksi otot, konduksi saraf, pengeluaran hormone, transport
cairan, perkembangan janin. Ginjal merupakan pengatur utama keseimbangan kalium
dengan mengatur jumlah yang diekskresikan dalam urin. Penyebab dari hipokalemia
dan hiperkalemia pada tabel 1. 1
I Tabel 1. Penyebab Terjadinya Hipokalemia dan Hiperkalemia '
r;
Hipokalemia ·. p ,. · ',: • ' • ·· ·" ;fii~er~~~~ritia~J ': ' " ''
DIAGNOSIS BANDING
TATALAKSANA
A. HIPOKALEMIA
Pendekatan tatalaksana hipokalemia: 3
• Menyingkirkan adanya transcel/ular shifts (keadaan yang menyebabkan masuknya
kalium ke dalam sel)
• Pemeriksaan kalium urin 24 jam
• Menghitung transtubular potassium gradient (TTKG) =
Jika Kalium urin > 30 meqjhari atau > 15 mEq/L atau TTKG >7: kehilangan kalium
melalui ginjal, cek tekanan darah, cek klorida urin.
Jika Kalium urin < 25 meqjhari atau < 15 mEq/L atau TTKG < 3: kehilangan kalium
tidak melalui ginjal
Hipokalemia
f
-1
vilus adenoma
hiperaldosteronisme derajat 1.
hiperaldosteronisme derajat 2,
nonaldosterone mineralocorticoid
TI KAD, RTA I
CTJ
Muntah/ NGT
?
Diuretik, sindroma Bartter's,
sindroma Gitefman 's
Tatalaksana Hiperkalemia 6
1. Pengobatan penyebab dasar
2. Pembatasan asupan kalium: menghindari makanan yang mengandung kalium
tinggi
3. Pengecekan ulang kadar kalium 1-2 jam setelah terapi untuk menilai keefektifan terapi,
dan diulang secara rutin sesuai kadar kalium awal dan gejala kilnis.
4. Subakut: slow correction
Kation yang mengubah resin (sodium polystyrene sulfonate/ Kayexalate):
I
diberikan secara oral, selang nasogastrik, atau melalui retensi enema untuk
menukar natrium dengan kalium di usus. Dosis 20-60 gram per oral dengan
100-200 ml sorbitol atau 40 gram Kayexalate dengan 40 gram sorbitol dalam
100 ml air sebagai enema.
5. Akut: rapid correction
Kalsium glukonat intravena: untuk menghilangkan efek neuromuskular dan
jantung akibat hiperkalemia
Glukosa dan insulin intravena: untuk memindahkan kalium ke dalam sel,
dengan efek penurunan kalium kira-kira 6 jam. Dosis: insulin 10 unit dalam
glukosa 40%, 50 ml bolus intravena, lalu diikuti dengan infuse Dekstrosa
5 % untuk mencegah hipoglikemia.
Natrium bikarbonat: untuk memindahkan kalium ke dalam sel, dengan efek
penurunan kalium kira-kira 1-2 jam.
6. Pemberian cx2 agonis (albuterol): untuk memindahkan kalium ke dalam sel.
Dosis 10-20 mg secara inhalasi maupun tetesan intravena.
7. Dialisis: untuk membuang kalium dari tubuh paling efektif.
KOMPLIKASI
Aritmia jantung, henti jantung. 6
"
,j 392 ~
' {:
;
~qng;gpan KGlliL1h1.
PROGNOSIS
Pacta hipokalemia jika ctiterapi ctengan actekuat akan sembuh. Resiko peningkatan
kactar kalium mencapai 7-8 meq/L menjacti fibrilasi ventrikel yaitu 5 %, sectangkan
jika kactar kalium 10 meq/L resiko menjacti fibrilasi ventrikel meningkat 90 %. Pacta
6
kasus berat resiko mortalitas sebesar 67 %.
REFERENSI
1. Aminoff M .. Fiuid and Electrolyte Disturbances . In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.
2. Siregar Parlindungan. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S,
Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta:
lnterna Publishing; 2006: Hal 134-142.
3. Gennari FJ. Hypokalemia. N Eng I J Med 1998; 339:451-458August 13, 1998. Diunduh dari http:/1
www.nejm.org/doi/pdf/l 0.1 056/NEJM 199808133390707 pad a tanggall5 Mei 2012.
4. Arroliga AC. Algorithms forHypokalemia K<3.5. Diunduh dari http://www. clevelandclinicmeded.
com/medicalpubs/micu/ pada tanggal 15 mei 2012
5. Weisberg LS. Management of severe hypokalemia. Crit Care Med. 2008; 36:3246-51.
6. Elliot M. Management of patient with acute hyperkalemia. CMAJ. 2010;182(15): 1631-5.
GANGGUAN KALSIUM
PENGERTIAN
Kadar kalsium ion normal adalah 4.75-5.2 mgjdl atau 1-1.3 mmoljL. Nilai normal
kalsium total serum: 8.2-10.2 mgjdl. Hipokalsemia jika kadar kalsium total plasma
< 8.2 mgjdl. Gejala hipokalsemia belum timbul hila kadar kalsiumion >3.2 mgjdl
atau>0.8 mmoljL atau kalsium total sebesar>8-8.5 mgjdl. Gejala hipokalsemia akan
timbul jika kadar kalsium ion< 2.8 mg/dl atau< 0.7 mmoljL atau kadar kalsium total
:;:; 7 mgjdl. Hiperkalsemia jika kadar kalsium total plasma >10.2 mg/dl. Kalsium aktif
-1 terdapat dalam bentuk kalsium terionisasi. Pemeriksaan serum kalsium merupakan
kalsium total yaitu gabungan dari kalsium bebas dan yang terikat albumin. Nilai
kalsium total dapat tetap normal dengan penurunan kalsium terionisasi seperti
pada alkalosis (menyebabkan banyak kalsium yang terikat dengan albumin, sehingga
pemeriksaan paling akurat dengan memeriksa kalsium terionisasi secara langsung. 1•2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
A. HIPOKALSEMIA
Anamnesis
Pasien dengan hipokalsemia dapata simptomatik jika penurunan kadar kalsium
plasma ringan dan sudah kronik. Sedangkan jika penurunan kalsium sedang-berat
dapat menimbulkan keluhan-keluhan seperti kebas, kramotot, parestesia umumnya di
jari kaki, jari-jari tangan, dan regio circumoral, peningkatkan reflex, yang disebabkan
karena meningkatnya iritabilitas neuromuskular. Jika sudah be rat dapat terjadi tetani
dan kejang. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan factor risiko seperti pada tabel2. 1
Pemeriksaan Fisik1·2
• Tanda Trousseau's: spasme karpal karena iskemia. Cara: dengan mengembangkan
manset pada lengan atas 20 mmHg lebih tinggi dari tekanan sistolik selama 3 me nit.
• Tanda Chvostek's: kontraksi unilateral dari wajah dan otot kelopak mata karena
iritasi saraf fasial dengan memperkusi wajah tepat di depan telinga. Cara:
mengetukkan ringan saraf wajah di daerah anterior telinga
• Hipokalsemia berat: spasme carpopedal, bronkospasme, laringospasme, kejang.
B. HIPERKALSEMIA
Anamnesis
Hiperkalsemia ringan (kadar kalsium 11-11,5 mg/ dl) umumnya asimptomatik dan
terdeteksi saat pemeriksaan kalsium rutin. Beberapa pasien mengeluhkan keluhan
neuropsikiatrik seperti kesulitan konsentrasi, perubahan kepribadian, ataudepresi.
Keluhan lain dapat berupa ulkus peptikum atau nefrolitiasis. Hiperkalsemia berat
(kadar kalsium>12-13 mgjdl) jika terjadi secara mendadak atau akut, dapat
menyebabkan letargi, stupor, koma. Keluhan lain seperti mual, nafsu makan menurun,
konstipasi, pankreatitis, poliuria, polidipsi perlu ditanyakan. Keluhan nyeri pacta tulang
ataua danya fraktur patologis dapat mengarahkan kehiperparatiroid ismekronik. Pacta
~, anamnesis juga perlu ditanyakan faktor risiko seperti pacta tabel 2Y
Pemeriksaan Fisik
Pacta pemeriksaan fisik tidak ada yang spesifik untuk hiperkalsemia, penemuan
dapat tergantung etiologi penyebab. Pacta pasien dengan keganasan dapat ditemukan
adanya perubahan kulit, limfadenopati, hepatosplenomeglali. Pada pemeriksaan dapat
ditemukan hipertensi dan bradikardia, akan tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan sendi
ditemukan nyeri pacta palpasi, kelemahan otot, hiperrefleksia, fasikulasi ototli dahd
apatdi temukan. Tanda-tanda dehidrasi juga perlu diperhatikan. Tingkat kesadaran
pasien mungkin menurun menjadi letargi a tau stupor. Jika kadar kalsium 13-15 mgj dl
dikenal dengan istilah krisis hiperkalsemia yang ditandai dengan poliuria, dehidrasi,
dan perubahan status mental. 4
Pemeriksaan PenunjangL4
• Kadar kalsium serum total:> 10.5 mgjdl
• Kalsium terionisasi :> 5.5 mgjdl
• Hormon paratiroid
• Fungsi ginjal: kreatinin dan ureum
• Rontgen tulang : osteoporosis.
• EKG: pemendekan segmen ST dan interval QT, bradikardia, blok AV.
DIAGNOSIS BANDING2
• Hipokalsemia :Hydrofluoric Acid Burns, hiperkalemia, hipermagnesemia,
hipernatremia, Hyperosmolar Hyperglycemic Non ketotic Coma, hipoparatiroidisme,
hiperfosfatemia.
• Hiperkalsemia: hiperparatiroidisme, keganasan, sarkoidosis, intoksikasi obat
seperti litium, teofilin.
TATALAKSANA
A. HIPOKALSEMIA 1
1. Pengobatan penyakit dasar
2. Penggantian kalsium tergantung dari tingkat keparahan penyakit, progresifitas,
dan komplikasi yang timbul.
3. Peningkatan asupan diet kalsium: 1000-1500 mgjhari pada orang dewasa.
4. Antasida hidroksia lumunium: mengurangi kadar fosfor sebelum mengatasi
hipokalsemia
5. Hipokalsemia akut (simptomatik) :
a. Kalsium glukonat 10 % 10ml ( 90 mg atau 2.2 mmol) diencerkan dengan
50 ml Dekstrosa 5% atau 0.9 Na Cl secara intravena selama 5 menit.
b. Dilanjutkan pemberian secara infus 10 ampul kalsium glukonat (atau
900 mg kalsium dalam 1liter Dekstrosa 5% atau 0.9 NaCl) dalam 24 jam.
c. Jika ada hipomagnesemia dengan fungsi ginjal normal larutan magnesium
sulfat 10% sebesar 2 gram selama 10 menit, dilanjutkan dengan 1 gram dalam
100 cc cairan per 1 jam.
6. Hipokalsemia kronik :
a. Tujuan: meningkatkan kadar kalsium sampai batas bawah normal, menghindari
terjadinya hiperkalsiuria yang dapat mencetuskan batu ginjal.
b. Suplemen kalsium 1.000-1.500 mgjhari dalam do sis terbagi. Kalsium karbonat;
250 mg kalsium elemental dalam 650 mg tablet.
c. Vitamin D2 atau D3 25.000-100.000 U/hari
d. Kalsitriol [1,25 (OH) 2 D] 0.23-2 gramfhari
7. Jika albumin serum menurun: penurunan albumin serum 1.0 gramjdl (dari nilai
normal4.1 gramfdl), koreksi konsentrasi kalsium dengan menambahkan 0.8 mg/
dl dari kadar kalsium total :
Koreksi konsentrasi kalsium = kalsium basil pemeriksaan (mgfdl) + [ 0.8 x (4- albumin (gr/dl)
B. HIPERKALSEMIA 1
1. Pengobatan penyebab dasar
2. Diet rendah kalsium
3. Hiperkalsemia ringan (asimtomatik) : tidak memerlukan koreksi cepat
4. Hiperkalsemia yang bergejala (simtomatik)
• Hidrasi karena hiperkalsemia berhubungan dengan dehidrasi: 4-Bliter cairan
isotonic secara intravena dalam 24 jam pertama, dengan target urin 100-
150 ml per jam. Jika ada penyakit komorbid (gaga! jantung kongestif) dapat
ditambahkan loop diuretic untuk meningkatkan ekskresi natrium dan kalsium;
setelah status volume menjadi normal.
• Penghambat resorbsi tulang: pada keganasan atau hiperparatiroidisme berat
KOMPLIKASI
Hipokalsemia dapat terjadi kejang dan laringospasme. Hiperkalsemia dapat
meningkatkan resiko terjadinya batu ginjal, dehidrasi, gaga! ginjal, resiko patah tulang,
dan osteoporosis.l.4· 5
PROGNOSIS
Pada hipokalsemia dapat meninggalkan kelainan neurologis seperti kejang dan
tetani. Kematian sangat jarang karena hipokalsemia. Hiperkalsemia yang berhubungan
dengan keganasan mempunyai prognosis lebih buruk, harapan hidup dalam 1
tahun sekitar 10-30%. Dalam suatu studi, 50 % pasien meninggal dalam 1 bulan
setelah dimulainya terapi, dan 75% meninggal dalam 3 bulan. Hiperkalsemia yang
berhubungan dengan hiperparatiroidisme mempunyai prognosis baikjika diterapi. 3 -5
REFERENSI
1. Khosla$. Hypercalcemia and Hypocalcemia .In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.
2. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairandan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi
B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: lnterna
Publishing; 2006: Hal 134-142.
3. Anne L. Schafer.Hypocalcemia: Diagnosis and Treatment.2011. Diunduh darihttp:/ /www.
endotext.org/parathyroid/parathyroid7 /parathyroid7.htm pada tanggal 9 Mei 2012.
4. Ciammaichella D. Hypercalcemia. Diunduhd dari http:/ /www.emjournal.net/ htdocs/pages/
art/115hypercalcemia.html.pada tanggal 9 Mei 2012.
5. Cooper R.Hypercalcemia. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmedhealth/
PMH0001404/ pada tanggal9 Mei 2012
GANGGUAN NATRIUM
HIPONATREMIA
PENGERTIAN
Hiponatremia adalah penurunan kadar natrium (Na) plasma < 135 mEq/L.
Hiponatremia akut adalah hiponatremia yang terjadi < 48 jam dan membutuhkan
penanganan segera, sedangkan hiponatremia kronik adalah hiponatremia yang
berlangsung > 48 jam. Gejala akan muncul jika kadar natirum < 125 mEq/L. Hiponatremia
dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan osmolalitas plasma: 1
-, • Isotonik hiponatremia: osmolalitas plasma normal
• Hipertonik hiponatremia: osmolalitas plasma meningkat. Cairan berpindah dari
intrasel ke ekstrasel sebagai respon adanya kosentrasi terlarut yang meningkat
(glukosa, manito!)
• Hipotonik hiponatremia: osmolalitas plasma menurun. Berdasarkan perjalanan
penyakit dan status volume intravaskular yaitu hipovolemia hiponatremia,
euvolemik hiponatremia, dan hipervolemia hiponatremia. Pembagian klasifikasi
dari hiponatremia yaitu:
-.· · ·:'; -·
,,'- ,-·~"C''o
I:HP9:\t~ltiil:lla,fiip#neitt~riiia
"': ,·,;.,.,; 'o \ '._,·,, • ·,,:·~ ~· •
'
Status volume
Total body water Meningkat Meningkat Menurun
Total body sodium meningkat Tetap Menurun
Cairan Sangat meningkat Meningkat Menurun
ei(streseluler
Edema +
Etiologi Congestive Heart SIADH Kehilangan melalui ginjal: diuretic,
Failur Hipotiroid penyakit Addison, hipoaldostero-
Nefrosis Hipoadrenal nisme, diuresis post obstruksi
gagal ginjal Diuretik tiazid Kehilangan cairan melalui
. ______ peny-akiLb.ati ... _lntoksikasi air- ------ mur~tah, -Giiare,- keringat,
Luka bakar, pankreatitis, peritonitis,
obstruksi saluran cerna, trauma otot
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pendekatan dalam mendiagnosis hiponatremia yaitu menentukan osmolaliats
plasma. Jika hipotonik hiponatremia tentukan status volume (tanda vital, ortostatik,
JVP Uugular Venous Pressure), turgor kulit, membrane mukosa, edema perifer, BUN,
kreatinin, asam urat) 3
Anamnesis
Umumnya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang dikeluhkan berhubungan
dengan disfungsi susuan saraf pusat seperti mual, muntah, sakit kepala, perubahan
kepribadian, kelemahan, keram otot, agitasi, disorientasi, kejang, bahkan koma. Pada
kasus asimptomatik dapat mulai bermanifestasi kehilangan kestabilan sehingga
beresiko jatuh. Selain itu perlu ditanyakan riwayat penyakit seperti yang tercantum
dalam table 1. 1•2
Pemeriksaan Fisik
Perubahan kesadaran atau perubahan kepribadian, hipotermia, reflex menurun,
pola pernapasan Cheyne-Stokes, pseudobulbar palsy, kulit dingin dan basah, tremor,
12
dan disertai gangguan saraf sensorik. •
Pemeriksaan Penunjang 1
• Natrium serum:< 137 mEq/L
• Osmolalitas serum: menurun kecuali pada kasus pseudohiponatremia, azotemia,
intoksikasi etanol, metanol.
• Berat jenis urin ·
• Natrium urin
• Fungsi ginjal: ureum, kreatinin, asam urat
• Glukosa darah (setiap peningkatan glukosa 100mgjdl menurunkan natrium
2.4 mEq/L), profile lemak
• Fungsi tiroid
• Radiologi: mencari apakah ada efek hiponatremia pada paru atau susunan saraf
pusat
DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan klasifikasi hipotonik hiponatremia (tabell)
Hipervolemia
hiponatremia
Kehilangan
melalui gin-
jal, defisiensi • Sirosis
mineralokor- • Nefrosis
tikoid
• SIADH
• Hipotiroid
-, • Defisiensi
glukokortikoid
TATALAKSANA2 · 3
1. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
• Cepat lambatnya onset penyakit
• Derajat, durasi, dan gejala dari hiponatremia
• Ada atau tidaknya factor resiko yang dapat meningkatkan resiko komplikasi
neurologis
2. Menyingkirkan diagnosis pseudohiponatremia atau hipertonik hiponatremia
(hiperglikemia)
3. Mengatasi penyakit dasarnya
4. Hiponatremia asimptomatik: menaikkan natrium dengan kecepatan :5 0.5 mEq/L/
jam
5. Hiponatremia akut simptomatik:
• Tujuan: meningkatkan kadar natirum 1.5-2 mEq/Lfjam sampai gejala
berkurang atau sampai konsentrasi natrium serum > 118 mEq/L dan
mengobati penyakit dasarnya
• Peningkatan kadar natrium harus < 12 mEq/L dalam 24 jam pertama dan
< 18 mEq/L dalam 48 jam pertama untuk menghindari demielinisasi osmotik.
• Cairan saline hipertonik 3 % diberikan secara infuse intravena dengan
kecepatan 1-2 mljkgjjam dan ditambah loop diuretic
• Jika ada gejala neurologik berat: kecepatan dapat dinaikkan menjadi 4-6 mlj
kg/jam.
• Jika gejala sudah menghilang dan kadar natrium> 118 Eq/L, pemberian cairan
diturunkan menjadi maksimal 8 mEq/L dalam 24 jam sampai target kadar
natrium 125 mEqjL.
• Pemantauan ketat natrium serum dan elektrolit sampai terjadi kenaikan kadar
natrium dan gejala meghilang.
6. Hiponatremia kronik simptomatik
• Jika tidak diketahui durasi atau onset gejala, koreksi dilakukan dengan hati-hati
karena otak sudah beradaptasi dengan kadar natrium yang rendah.
• Jika gejala berat: tatalaksana seperti kasus hipernatremia akut. Peningkatan
natrium tidak melebihi 10-12 mEq/L pada 24 jam pertama, dan< 6 mEq/L/
hari pada hari berikutnya.
• Jika gejala ringan-sedang: koreksi dilakukan secra perlahan. 0.5 mEq/L/jam,
sampai target tercapai terapi tetap diteruskan. Maksimal pemberian 10 mEqjL
dalam 24 jam
7. Hiponatremia kronik asimptomatik
• Tujuan terapi: mencegah penurunan natrium serum dan menjaga kadar
natrium mendekati normal.
8. Hipervolemia hiponatremia: restriksi cairan 1000-1500 mlj hari dan restriksi
natrium. CHF: furosemid dan ACE (Angiotensin Converting Enzyme) inhibitor.
9. Euvolemik hiponatremia (SIADH): restriksi cairan 1000-1500 mljhari.
10. Hipovolemia hiponatremia: berikan normal saline (NS) atau D5NS
Rum us untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium hipertonik yang
3
diberikan:
Na infus- Na serum
TBW+1
PROGNOSIS
Wanita yang belum menopause, anak prepubertas, dan pasien dengan hipoksia
serebral lebih besar kemungkinan berkembang menjadi ensefalopati dan sequelae
gejala neurologic yang berat.1.2
HIPERNATREMIA
PENGERTIAN
Hipernatremia adalah peningkatan kadar natrium plasma> 145 mEqjL akibat dari
-, kehilangan cairan dan elektrolit lebih besar daripada kehilangan natriumY
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Pasien dapat mengeluhkan rasa haus, kelelahan, iritabilitas atau gelisah,
disorientasi, mulut kering, demam 4•5
Pemeriksaan Fisik
Hiperventilasi, demam ringan, kulit kemerahan, edema perifer, edema pulmonary,
hipotensi, peningkatan tonus otot, peningkatan refleks tendon dalam, disertai oligouria
atau anuria.Tingkat kesadaran pasien dapat koma jika perjalanan penyakit sudah progresif.
Hipernatremia yang disertai hipovolemia dapat menunjukkan tanda-tanda kekurangan
cairan seperti takikardia, hipotensi. 4•5
Pemeriksaan Penunjang4·5
• Natrium serum> 147 mEqjL. Jika > 150-170 mEq/L bisanya karena dehidrasi,
sedangkan jika > 170 mEq/L karena diabetes insipidus. Natrium > 190 mEq/L
karena asupan natrium yang tinggi dan kronik.
• Osmolalitas serum: meningkat
• Berat jenis urin: meningkat. Menurun pada diabetes insipidus. Jika normal dapat
terjadi pada pemakaian diuretik.
• Natrium urin
• Water Deprivation Test: pada diabetes insipidus, osmolalitas urin tidak meningkat
dengan hipernatremia
• Antidiuretic Hormone (ADH) Stimulation: diabetes insipidus nefrogenik, osmolalitas
urin tidak meningkat setelah pemberian ADH ( desmopressin).
• CT Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala: melihat adanya tarikan
pada vena duramater dan sinus yang dapat menyebabkan perdarahan intracranial
dan meningkatkan kadar natrium
I Tidak I G
insensible water
losses, kehilangan
cairan dari saluran
cerna, ginjal
TATALAKSANA 1
1. Tujuan: menghentikan kehilangan cairan yang sedang terjadi dengan mengatasi
penyakit penyebabnya dan mengoreksi defisit cairan.
2. Tentukan defisit cairan
• Estimasi TBW
• Kalkulasifree-water deficit: {([Na+]-140)/140} x TBW
• Pemberian defisit dalam 48-7 jam tanpa menaikkan konsentrasi natrium
plasma> 10 mM/24 jam
3. Tentukan ongoing water losses
• Kalkulasi electrolyte-free water clearance
•
Volume urin (1- natrium urin +kalium urin)
l Natrium plasma
KOMPLIKASI 4
• Kejang
• Retardasi mental
• Otak mengecil sehingga menarik pembuluh darah otak yang dapat meningkatkan
resiko perdarahan maupun infark.
• Kongesti vena menyebabkan thrombosis
• Hiperaktivitas
PROGNOSIS
Resiko kematian akibat hipernatremia mencapai 40-60 % kasus berhubungan
dengan tignkat keparahan penyakit penyertanya, terbanyak terjadi pad a usia tua. Pada
hipernatremia akut dan kadar > 180 mEq/L kerusakan neurologik permanen terjadi
pada 10-30% kasus. Durasi perjalan penyakityang lama(> 2 hari) akan meningkatkan
156
resiko kematian. • •
REFERENSI
1. Aminoff M .. Fiuid and Electrolyte Disturbances .In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.
2. Douglas lvor. Cleveland Clinic Journal of Medicine vol 73, supplement 3. 2006. Diunduh dari
http:/ /www.ccjm.org/content/73/Suppi_3/S4.full.pdf pad atanggal 10 Mei 2012.
3. Androgue H, Madias N. Hyponatremia. Diunduh dari http:/ /www.nejm.org/doi/full/1 0.1056/
NEJM2000052534221 07 pada tanggal1 0 Mei 2012.
4. Siregar Parlindungan. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S,
Setiyohadi B, Sirnadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta:
lnterna Publishing; 2006: Hal 134-142.
5. Ciammaichella D. Hypernatremia. Diunduh dari http:/ /www.emjournal.net/htdocs/pages I
art/118_hypernatremia.html pada tanggal10 Mei 2012
6. Alshayeb, Halo, Arif, Bobar Fatima. Severe Hypernatremia Correction Rate and Mortality in
Hospitalized Patients. American Journal of the Medical Sciences:. May 2011 -Volume 341 -Issue
5- pp 356-360. Diunduh dari http:/ /journals.lww.com/amjmedsci/ Abstract/2011 /05000/ Severe_
Hypernatremia_Correction_Rate_and_Mortality.5.aspx pada tanggal10 Mei 2012.
HIPERTENSI
PENGERTIAN
Hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah (TO) sama atau melebihi 140
mmHg sistolik dan/ a tau sam a a tau lebih dari 90 mmHg diastolik pada seseorang yang
tidak sedang minum obat antihipertensi.U
To bel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan Joint National Committee VII (2007) 3
~;; -. r::::,·t~~!r-,"'"'.·:~·-,. .,, '·"·C;,'·£>;- j -~1Y-:c;;::.::.~ ~·£f,7:>;ct<' ,··*· o·:;,-·0-< f3<' ~;-:--:'>--~> <<;:;o'"',<-l(c~>:\:,t:;~Op"'-p;f~~-~i~IYi$>Y::~~~.1:~:S·:}";~"Y.lVi.<~·"/~ <.::-"·:r:c:;c,;.._~ · .,. ' · · ~' · ·"- ~ '-
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan Fisik1·5
1. Pengukuran tinggi dan berat badan, tanda-tanda vital
2. Metode auskultasi pengukuran TD:
• Semua instrumen yang dipakai harus dikalibrasi secara rutin untuk memastikan
keakuratan hasil.
• Posisi pasien duduk di atas kursi dengan kaki menempel di lantai dan telah
beristirahat selama 5 menit dengan suhu ruangan yang nyaman.
• Dengan sfigmomanometer, oklusi arteri brakialis dengan pemasangan cuff di
lengan atas dan diinflasi sampai di atas TD sistolik. Saat deflasi perlahan-lahan,
suara pulsasi ali ran darah dapat dideteksi dengan auskultasi dengan stetoskop
tipe belljgenta di atas arteri tepat di bawah cuff
• Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang
dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih
dengan menggunakan cuff
• Tekanan sistolik =suara fase 1 dan tekanan diastolik =suara fase 5.
• Pengukuran pertama harus di kedua sisi lengan untuk menghindarkan kelainan
pembuluh darah perifer
• Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada pasien
dengan risiko hipotensi postural (Ian jut usia, pasien DM, dll)
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis, tes fungsi ginjal, ekskresi albumin, serum BUN, kreatinin, gula darah,
elektrolit, profillipid, foto toraks, EKG; sesuai penyakit penyerta: asam urat, aktivitas
renin plasma, aldosteron, katekolamin urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal,
ekokardiografi. 1•2
DIAGNOSIS BANDING
Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertension, rasa nyeri, peningkatan
tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dll
i
' 410 ;•
'
TATALAKSANA 3
1. Modifikasi gaya hidup (Tabel4).
2. Pemberian {3-blockerpada pasien unstable angina j non-STelevated myocardial infark
(NSTEMI) atau STEM I harus memperhatikan kondisi hemodinamik pasien. {3-blocker
hanya diberikan pada kondisi hemodinamik stabil. 6 (Gam bar 1)
3. Pemberian angiotensin convertin enzyme inhibitor (ACE-I) atau angiotensin
receptor blocker (ARB) pada pasien NSTEMI atau STEMI apabila hipertensi
persisten, terdapat infark miokard anterior, disfungsi ventrikel kiri, gagal jantung,
atau pasien menderita diabetes danpenyakit ginjal kronik. 6
4. Pemberian antagonis aldosteron pada pasien disfungsi ventrikel kiri bila terjadi
gagal jan tung berat (misal gagal jantung New York Heart AssociationjNYHA kelas
III-IV atau fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% dan klinis terdapat gagal jantung) 6
5. Kondisi khusus lain:
a. Obesitas dan sindrom metabolik
Terdapat 3 atau lebih keadaan berikut: lingkar pinggang laki-laki >102 em
atau perempuan >89 em, toleransi glukosa terganggu dengan gula darah
puasa 110 mgjdl, tekanan darah minimal130/85 mmHg, trigliserida tinggi
150 mgjdl, kolesterol HDL rendah <40 mgjdl pada laki-laki atau <SO mgjdl
pada perempuan) a modifikasi gaya hidup yang intensif dengan pilihan terapi
utama golongan ACE-I. Pilihan lain adalah ARB, CCB.3
b. Hipertrofi ventrikel kirP
• Tatalaksana agresif termasuk penurunan berat badan dan restriksi garam
• Pilihan terapi: dengan semua kelas antihipertensi
• Kontraindikasi: vasodilator langsung, hidralazin dan minoksidil
c. Penyakit arteri perifer: semua kelas anti hipertensi, tatalaksana faktor risiko
lain, dan pemberian aspirin. 3
d. Lanjut usia(~ 65 tahunf
• Identifikasi etiologi lain yang bersifat ireversibel
• Evaluasi kerusakan organ target
• Evaluasi penyakit komorbid lain yang mempengaruhi prognosis
• Identifikasi hambatan dalam pengobatan
• Terapi farmakologis: diuretik thiazid (inisial), CCB.
e. Kehamilan 3
• Pilihan terapi: metildopa, j3-blocker, dan vasodilator.
• Kontraindikasi: ACE-I dan ARB.
label 4. Modifikasi Gaya Hidup pada Penderita Hipertensi'
Turunkan berat badan Target indeks massa tubuh (IMT) < 25 kg/m 2
Diet rendah garam < 6 g NaCI/hari
Adaptasi menu diet DASH (Dietary Perbanyak buah, sayur, produk susu ren.dah
Approaches to Stop Hypertension) lemakjenuh
Membatasi konsumsi alcohol Bagi peminum alkohol, konsumsi :s;2 gelas/hari
pada pria dan :s;l gelas/hari pada wanita
Aktivitas fisik Aerobik rutin, seperti jalan cepat selama 30
menit/hari
-t
1
lnisiasi obat lini pertama
t t t
Stable 01 gina,
t
Pencegahan umum Risiko tinggi PJK Disfungsi ventrikel kiri
PJK Target <140190 Target <130180 unstable c gina I Target <120180
- J
NSTEML TEMI
30180
ACE-I atau ARB atau {3-blocker* +ACE-I ACE-I atau ARB dan
CCB atau diuretik thiazid atau ARB {3-blocker dan antagonis
atau kombinasi aldosteron dan diuretik
I
thiazid atau diuretik loop,
dan ISDN I hydralazine
......
Target TD masih belum
tercapai setelah
optimalisasi dosis
PROGNOSIS
Hipertensi tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan terapi yang sesuai.
Terapi kombinasi obat dan modifikasi gaya hidup umumnya dapat mengontrol tekanan
darah agar tidak merusak organ target. Oleh karena itu, obat antihipertensi harus terus
diminum untuk mengontrol tekanan darah dan mencegah komplikasi. Studi menunjukkan
kontrol tekanan darah pacta hipertensi menurunkan insidens stroke sebesar 35-44%, 3
tetapi sampai saat ini bel urn jelas apakah golongan obat antihipertensi tertentu memiliki
perlindungan khusus terhadap stroke. Satu studi menunjukkan efek ARB (antagonis
reseptor All) dibandingkan dengan penghambat ACE menurunkan risiko infark miokard,
stroke, dan kematian 13% lebih banyak, termasuk 25% penurunan risiko stroke baik fatal
maupun non-fatal. 8
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU/ /CU, Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Departemen
Neurologi
• RS non pendidikan : ICCU/ /CU, Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Neurologi
REFERENSI
1. Ketchen T. Hypertensive vascular disease. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL
Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New Yark: McGraw-Hill; 20 12.halaman
2. Victor R. Arterial hypertension. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia:
Saunders, Elsevier; 2008.
3. Chobanian A Vet al: The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report. JAMA. 2003;289:2560.
4. O'Brien E, Asmar R, Beilin Let al. Practice guidelines of the European Society of Hypertension for
clinic, ambulatory and self blood pressure measurement. J Hypertens 2005;23:697-701.
5. Pickering TG, Hall JE, Appel LJ, et al. Recommendations for blood pressure measurement in
humans and experimental animals part 1: blood pressure measurement in humans a statement for
professionals from the Subcommittee of Professional and Public Education of the American Heart
Association Council on High Blood Pressure Research. AHA Scientific Statement. Hypertension.
2005;45: 142-61 .
6. Rosendorff C, Black H, Cannon C, et al. Treatment of hypertension in the prevention and
management of ischemic heart disease. Circulation. 2007; 115:2761-88.
7. AronowW, Fleg JL, Pepine CJ, et al. ACCF/AHA 2011 Expert Consensus Document on Hypertension
in the Elderly. JAm Coli Cordial. 2011 ;57;2037-114.
8. Psaty BM, Smith NL, Siscovick DS, et al. Health outcomes associated with antihypertensives
therapies used as first line-agent. A systematic review and meta-analysis. JAMA. 1997;277:739-45.
HIPERTROFI PROSTAT BENIGNA
PENGERTIAN
Hipertropi prostat adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang kemudian
mendesak jaringan prostat asli ke perifer. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1
1. Gejala iritatif, yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun pada malam hari untuk
miksi (nokturia ), perasaan ingin miksi yang san gat mendesak ( urgensi), dan nyeri
saat miksi (disuria).
2. Gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas setelah miksi, kalau
mau miksi harus menunggu lama, harus mengedan, miksi terputus-putus, waktu
miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinen karena
overflow.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus,
mukosa rektum, serta kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada
perabaan melalui colok dubur diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri,
adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi
dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa miksi
ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa
urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah
miksi.
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis, serum prostate spesific antigen (PSA}, serum creatinin. transrectal
ultrasonography (TRUS) of the prostate untuk melihat ukuran dan volume prostat.
DIAGNOSIS BANDING
1. Striktur uretra
2. Kontraktur leher vesika urinaria
3. Kanker prostat
4. Kanker vesika urinaria
5. Bladder calculi
6. lnfeksi saruran kemih dan prostatitis
7. Neurogenic bladder
TATALAKSANA
Medikamentosa 1
• Antagonis a-adrenergik (menghilangkan ketegangan otot halus): terazosin,
doksazosin, dan tamsulosin
• Inhibitor 5-a reduktase (mengurangi ukuran prostat): finasteride
-1
Pembedahan 2
• Transuretral resection of prostate {TURP)
Indikasi: retensi urin akut, infeksi berulang, hematuria berulang, azotemia
• Open prostatectomy
Indikasi sama seperti TURP. Teknik ini dapat lebih dipertimbangkan untuk
obstruksi saluran keluar vesika urinaria, perkiraan pembesaran prostat > 100
.~ gram, dan pada laki-laki dengan ankilosis panggul atau penyakit ortopedi lainnya.
KOMPLIKASI
1. Retensio urine
2. Insufisiensi renal
3. Infeksi saluran kemih berulang
4. Gross hematuria
5. Bladder calculi
6. Gaga! ginjal atau uremia
PROGNOSIS
Sekitar 2,5% pasien mengalami retensio urine akut dan 6% membutuhkan terapi
in vas if dalam 5 tahun. Risiko progresivitas BPH meningkat pada volume pro stat dan
level PSA yang tinggi. Turunnya risiko progresivitas BPH tampak pada 39% pasien
416
Pro.. )cit. . Beoigda. •· .
s.
' '• .• ~' . ._,
diterapi dengan doksazosin, 34% dengan finasterid, dan 66% dengan kombinasi
keduanya. Kombinasi doksazosin dan finasterid menurunkan risiko retensi urin akut
sebesar 81% dan operasi invasif sebesar 69%. 3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Urologi
• RS non pendidikan : Bagian Bedah
REFERENSI
1. AUA guideline on the management of benign prostatic hyperplasia: diagnosis and treatment
recommendations. Diunduh dari http:/ /www.auanet.org/guidelines/main_reports/bph_
management/chapt_1_appendix.pdf pada tanggal15 Mei 2012.
2. AUA clinical guidelines- management of BPH. Diunduh dari http://www.auanet.org/content/
guidelines-and-quality-care/clinical-guidelines.cfm?sub=bph pada tanggal15 Mei 2012.
3. McConnell JD, Roehrborn CG, Bautista 0, et al. The long term effect of doxazosin, finasteride,
and combination therapy on the clinical progression of benign prostatic hyperplasia. N Engl J
Med. 2003;349:2387-98.
INFEKSI SALURAN KEMIH
PENGERTIAN
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah keadaan adanya infeksi (ada perkembangbiakan
bakteri) dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di
kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna. Bakteriuria bermakna adalah
hila ditemukan pada biakan urin pertumbuhan bakteri sejumlah >100.000 per ml urin
segar (yang diperoleh dengan cara pengambilan yang steril atau tanpa kontaminasi).l
Konsensus 2010 Infectious Disease Society of America (IDSA) memberikan batasan
hasil positifkultur urine pacta wanita adalah 10 3-10 4 organismejml urine yang diambil
-I secara midstream. 2 Sebanyak 20-40% wanita penderita ISK dengan gejala, memiliki
hasil kultur bakteri 10 2-10 4 /ml urine. 3 Faktor risiko: Kerusakan atau kelainan anatomi
saluran kemih berupa obstruksi internal oleh jaringan parut, pemasangan kateter urin
yang lama, endapan obat intratubular, refluks, instrumentasi saluran kemih, konstriksi
arteri-vena, hipertensi, analgetik, ginjal polikistik, kehamilan, OM, atau pengaruh obat-
obat estrogen. 4
ISK Berkomplikasi
ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pacta anak-anak, laki-laki, atau ibu
hamil
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 4
ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik.
ISK atas: nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah, hematuria
Anannesa adanya faktor risiko seperti disebutkan diatas.
GEJALA KARAKTERISTIK PASIEN DIAGNOSIS DAN PERTIMBANGAN
KLINIS MANAJEMEN
Pertimbangkan CAUTI
~I ~
• Urinalisis dan kultur
Pasien lain • Cari adanya abnormalitas
fungsi maupun anatomi
Pertimbangkan pyelonefritis
Gejala akut :
nyeri punggung
1l Wanita sehat, tidak hamil ~ tanpa komplikasi
• kultur urin
• pertimbangkan rawat jalan
nausea/muntah f--
r
demam,
kemungkinan
gejala sistisis --I Pasien lainnya
Pertimbangkan pyelonefritis
• kultur urin, kultur darah
Gejala akut :
nyeri punggung Pertimbangkan ISK komplikasi I
Pasien dengan tanda dan
nausea/muntah pielonefritis
gejala infeksi sistemik dan
demam, tidak ada gejala yang ~ • pertimbangkan etiologi
kemungkinan jelas potensial lainnya
gejala sistisis • kultur urine, kultur darah
-
GEJALA I KARAKTERISTIK PASIEN DIAGNOSIS DAN PERTIMBANGAN
KLINIS MANAJEMEN
Pasien dengan
kehamilan, penerima Pertimbangkan Bakteriuri
;-----+1 transplantasi ginjal, akan asimptomatik
Kultur urine(+),
tidak ada:
Gejala saluran
I I j o Skrining dan terapi
r
Pertimbangkan Bakteriuri
~I
kemih
Pasien lainnya asimptomatik
Gejala
o tidak ada tambahan pemeriksaan
sistemik yang
penunjang atau tatalaksana 1
berhubungan
dengan
saluran kemih
Pertimbangkan Bakteriuri
asimptomatik terkait kateter
Pasien dengan kateter urin~ o tidak ada tambahan pemeriksaar'
diperlukan
_,
Pertimbangkan sistisis rekuren
o kultur urine untuk menegakkan
;-----+ Wanita sehat, tidak hamil diagnosis
o pertimbangkan profilaksis atau
Pemeriksaan Fisik4
Febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebra, demam
Pemeriksaan Penunjang'
• DPL, tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah.
• Kultur urin (+): bakteriuria >10 5 jml urin
• Foto BNO-IVP hila perlu
• USG ginjal hila perlu
DIAGNOSIS BANDING
• Keganasan kandung kemih
• Nonbacterial cystitis
• Interstitial cystitis
• Pelvic inflammatory disease
• Pyeolonephritis akut
• Urethritis
• Vaginitis
TATALAKSANA 1
Nonfarmakologis
• Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik
• Menjaga higiene genitalia eksterna
Farmakologis
• Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada; Bila hasil tes resistensi kuman
sudah ada, pemberian antimikroba disesuaikan
PENGERTIAN
Bakteriuria asimptomatik: ditemukan minimall0 5 jml bakteri specimen urin steril
pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut
Infeksi saluran kemih: ditemukan 10 3/ml bakteri dan adanya gejala ISK.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat faktor risiko: wanita usia tua, paritas tinggi, status sosial ekonomi rendah,
riwayat ISK sebelumnya, abnormalitas fungsi dan anatomi, memiliki penyakit diabetes
mellitus atau sickle sell.
_, Pemeriksaan Fisik
Sarna seperti ISK pada umumnya
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis, kultur urin. Ulangi pemeriksaan setelah 2 minggu untuk melihat eradikasi
bakteri.
TATALAKSANA
:~ ISK pada kehamilan diterapi dengan antibiotika dan menghilangkan faktor
predisposisi. Terapi antibiotika lebih lengkapnya dibahas pada tabel 3.
Amoxicillin, 3g
Ampicilin, 2g
Cephalosporin, 2g
- -Nitrofurantoin;-200mg -
TMP-sulfamethoxazole, 320/160mg
Amoxicillin, 3x500mg/hari
Ampicillin, 4x250mg/hari
Cephalosporin, 4x250mg/hari
-----bevofloxacir:h-1-x2-SQm@/-Aeri-------- ---- --------·-
Nitrofurantoin, 4x50-1 OOmg ; 2x 1OOmg/hari
TMP-sulfamethoxazole, 2x160/800mg
lerapi lainny:a
Nitrofurantoin, 4x1 OOmg/hari untuk 10 hari
Nitrofurantoin, 1OOmg pad a waktu tidur selama 10 hari
,.. ;,B!Ii;t:'teiaPi 9at:i~li,lo)~~~i,~~~~i··;~~~;·"~:i::;;;I!;.rJ~~i;~''l•{t!i%l1·¥~l;'i;"~ r1 J
Nitrofurantoin, 4x100mg/hari selama 21 hari
·aglffifJ:h)er$ist~n :gtau kafYil:)~li· ·
Nitrofurantoin, 1OOmg at bedtime for reminder of pregnancy
PENGERTIAN
Infeksi simple: kultur urin ditemukan > 10 5/ml organism.
Infeksi complex: melibatkan infeksi saluran kemih bagian atas dan kultur darah positif.
Infeksi jamur pada saluran kemih kebanyakan adalah infeksi oportunistik. Yang paling
sering menyebabkan funguria adalah spesies Candida.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesa
Penderita dapat tanpa gejala, disuria dan frekuensi. Adanya faktor resiko:
imunosupresan, diabetes, penggunaan antibiotika atau kortikosteroid jangka panjang,
penggunaan kateter urin jangka panjang.
Pemeriksan Fisik
Sarna seperti ISK pada umumnya.
Pemeriksaan Penunjang
Kultur urin, urinalisis, pada CT scan dan IVP dapat tampakfungal ball.
TATALAKSANA
Infeksi simple: stop antibiotik yang biasa digunakan, lepas kateter urin. Bila cara ini
tidak berhasil maka lakukan irigasi saluran kemih dengan amphoterisi B (SOmg/L
sebanyak 42mljjam)
Infeksi complex: Terapi utama ISK jamur adalah dengan amphoterisin 8 intravena.
Untuk mengurangi efek sistemik seperti menggigil, demar dan kaku yang berhubungan
dengan terapi, maka berikan premedikasi steroid, meperidine, ibuprofen, dan
dantrolene. Jika terdapatfungal ball: ambiljimgal ball secara percutaneus lanjutkan
dengan irigasi pelvis renalis dengan amphoterisin B.
KOMPLIKASI
Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman yang
multiresisten, gangguan fungsi ginjaP
PROGNOSIS
Infeksi saluran kemih tanpa kelainan anatomis mempunyai prognosis lebih baik
bila dilakukan pengobatan pada fase akut yang adekuat dan disertai pengawasan
terhadap kemungkinan infeksi berulang. Prognosis jangka panjang pada sebagian
besar penderita dengan kelainan anatomis umumnya kurang memuaskan meskipun
telah diberikan pengobatan yang adekuat dan dilakukan koreksi bedah, hal ini terjadi
terutama pada penderita dengan nefropati refluks. Deteksi dini terhadap adanya
kelainan anatomis, pengobatan yang segera pada fase akut, kerjasama yang baik an tara
dokter, dan pasien sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya perburukan yang
mengarah ke fase terminal gagal ginjal kronis. 4
-1
UNITY ANG MENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Ginjal-Hipertensi- Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Departemen Bedah Urologi -
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Bedah
!~
REFERENSI
1. lnfeksi saluran Kemih. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. S'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit
Dalam FKUI, 2009:2009- 15
2. Infection of the Urinary Tract. Dalam: Wein et al. Campbell-Walsh Urology 9'h Edition. Saunders.
3. Mehnert-Kay SA. Diagnosis and Management of Uncomplicated Urinary Tract Infections.
American Family Physician [serial online]. August 1, 2005;27/No.3:1-9. Accessed September 22,
2010. Available at http:/ /www.aafp.org/afp/20050801 /451.html.
4. Urinary tract Infections, Pyelonephirits, ad Prostatitis. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E,
Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United
States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 -39
5. Urinary tract Infection. Copyrights 2012@ Mayoclinic. Diunduh dari http:/ /www.rnayoclinic.com/
health/urinary-tract-infection/DS00286
6. Renal and Urinary Tract Disorders. Dalarn: Cunningham, Gary F et al. Williams Obstretic 22nd
Edition. The McGraw-Hills Companies.
. 424
7. Hickey, Kimberly W. Renal Complications. Dalam:Evans, ArthurT. Manual of Obstretic. Lippincott
Williams & Wilkins. 2007
8. Urology. Dalam; Brunicandi, Charles F. Schwartz's Principle of Surgery 8'h Edition. The McGraw-
Hill Companies. 2007.
425
Jc'
"'
KRISIS HIPERTENSI
PENGERTIAN
lstilah "Krisis Hipertensi" merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah mendadak pacta penderita hipertensi, dimana tekanan
darah sistolik (TDS) >180 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) >120 mmHg,
dengan komplikasi disfungsi dari target organ, baik yang sedang dalam proses
{impending) maupun sudah dalam tahap akut progresif. Yang dimaksud target organ
disini adalah jantung, otak, ginjal, mata (retina), dan arteri perifer. 1 Sindroma klinis
krisis hipertensi meliputi :2
-1 1. Hipertensi gawat (hypertensive emergency): peningkatan tekanan darah yang
disertai kerusakan target organ akut.
2. Hipertensi mendesak (hypertensive urgency): peningkatan tekanan darah tanpa
disertai kerusakan target organ akut progresif.
3. Hipertensi akselerasi (accelerated hypertension): peningkatan tekanan darah yang
berhubungan dengan perdarahan retina atau eksudat.
4. Hipertensi maligna (malignant hypertension): peningkatan tekanan darah yang
berkaitan dengan edema papil.
~·~
Dari klasifikasi di atas, jelas terlihat bahwa tidak ada batasan yang tajam antara
hipertensi gawat dan mendesak, selain tergantung pacta penilaian klinis. Hipertensi
gawat (hypertensive emergency/ HE) selalu berkaitan dengan kerusakan target organ,
tidak dengan level spesifik tekanan darah. Manifestasi klinisnya berupa peningkatan
tekanan darah mendadak sistolik >180 mmHg atau diastolik >120 mmHg dengan
adanya atau berlangsungnya kerusakan target organ yang bersifat progresif seperti
perubahan status neurologis, hipertensif ensefalopati, infark serebri, perdarahan
intrakranial, iskemi miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru
akut, diseksi aorta, insufisiensi renal, atau eklampsia. Istilah hipertensi akselerasi
dan hipertensi maligna sering dipakai pacta hipertensi mendesak.
Tabel 1. Karakteristik Klinis HE 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS3-5
• Anamnesis: selain ditanyakan mengenai etiologi hipertensi pada umumnya,
perlu juga ditanyakan gejala-gejala kerusakan target organ seperti : gangguan
penglihatan, edema pada ekstremitas, penurunan kesadaran, sakit kepala, mual I
muntah, nyeri dada, sesak napas, kencing sedikit I berbusa, nyeri seperti disayat
pada abdomen.
• Pemeriksaan fisik: Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi
perifer, bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan
cairan, funduskopi, dan status neurologis.
• Pemeriksaan penunjang: darah perifer Iengkap, panel metabolik, urinalisis,
toksikologi urin, EKG, CT Scan, MRI, foto toraks
Berikut merupakan evaluasi triase hipertensi emergency dan hipertensi urgency (tabel 2).
Gejala Nyeri kepala, cemas; sering Nyeri kepala berat. napas Napas pendek, nyeri dada,
asimptomatik pendek (shortness of nokturia, disartria, lemah,
breath) gangguan kesadaran
Pemerlksaan Kerusakan organ target(-), Kerusakan organ target(+), Ensefalopati. edema paru,
temuan klinis kardiovaskular temuan klinis kardiovaskular insufisiensi renal. gangguan
(-) (+), stabil serebrovaskular, iskemik
jantung
Terapl Observasi 1-3 jam; mulai dan Observasi 3-6 jam; turunkan Pemeriksaan laboratorium;
lenjutkan terar::>i; naiklwn· -l"D eengen--antihir::>ertensi----liAeiAtreveAa; eer::>eteimuloi
dosis agen yang tidak oral short-acting terapi parenteral di IGD
adekuat
Rene ana Follow-up dalam 3-7 hari Follow-up dalam < 72jam Rawat dalam ICU; terapi
inisial untuk mencapai target
TD; pemeriksaan diagnostik
tambahan
Kelerangan :
TD = tekanan darah; IGD = instalasi gawat darurat; ICU =intensive care unit
DIAGNOSIS BANDING
TATAlAKSANA
:~
• Hipertensi mendesak (hypertensive urgency I HU) dapat diterapi rawat jalan
dengan antihipertensi oral; terapi ini meliputi penurunan TD dalam 24-48 jam.
Penurunan TD tidak boleh lebih dari 25% dalam 24 jam pertama. 6 Terapi lini
pertama HU seperti tercantum pada tabel 3. Nifedipine oral ataupun sublingual
(SL) saat ini tidak lagi dianjurkan karena dapat menyebabkan hipotensi berat dan
iskemik organ. 7
Tabel3. Terapi lini pertoma .pada HU 2 ·8
• Pada sebagian besar HE, tujuan terapi parenteral dan penurunan mean arterial
pressure (MAP) secara bertahap (tidak lebih dari 25% dalam beberapa menit
sampai 1 jam). Aturannya adalah menurunkan arterial pressure yang meningkat
sebanyak 10% dalam 1 jam pertama, dan tambahan 15% dalam 3-12 jam. Setelah
diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi organ, penurunan dapat dilanjutkan dalam
2-6 jam sampai tekanan darah 160/100-llOmmHg selanjutnya sampai mendekati
normal. TD dapat diturunkan lebih lanjut dalam 48 jam berikutnya. Pengecualian
untuk aturan ini an tara lain pad a diseksi aorta dan perdarahan pasca operasi dari
bekas jahitan vaskular, yang merupakan keadaan yang membutuhkan normalisasi
TD secepatnya. Pada sebagian besar kasus, koreksi cepat tidak diperlukan karena
pasien berisiko untuk perburukan serebral, jantung, dan iskemi ginjal,1.4
• Pada hipertensi kronis, autoregulasi serebral di-set pada TD yang lebih tinggi
daripada normal. Penyesuaian kompensasi ini untuk mencegah overperfusi
jaringan (peningkatan TIK) pada TD sangat tinggi, namun juga underperfusion
(iskemi serebral) apabila TD diturunkan terlalu cepat. Pada pasien dengan penyakit
jantung koroner, penurunan TD diastolik terlalu cepat di ICU dapat memicu iskemik
miokard akut atau infark. 4
• Terapi antihipertensi parenteral pada HE seperti tercantum pada tabel 4.
Nitroprusside
Nicardipine
Labetalol
lnisial 0,3 J.JQ/kg/menit; biasa 2-4 J.Jg/kg/menit; maks 10 J.Jg/kg/menit
selama 10 menit
lnisial 5 mg/jam; titrasi 2,5 mg/jam tiap interval 5-15 menit; maks 15 mg/jam
2 mg/menit s/d 300 mg atau 20 mg dalam 2 me nit. kemudian 40-80 mg
pada interval10 menit s/d total300 mg
·----EsmoloL---~------lr:lisiai-80~500-J.Jg/kg-dalamJ.menit,kemudian.50~300.. J.Jglkg/menit.
Tabel 7. Rekomendasi AHA/ASA 2006 untuk tatalaksana hipertensi pada stroke iskemik akut10
.. ·. • ;t!~~~~N1'blR:~I1?l!:;:·~: 1•~·ti•:;·::;· ":')'fi%!:'.+··:··•'.:;r;''1i ;;,,,••<tAr~~!(s·~f)i~';F;:Jrf(;;~: .•-' ·. ··•.•••·-: · •· · · -··~:,••·-- •
Non-kandidat terapi Observasi kecuali ada disfungsi organ target (contoh diseksi aorta, infark
trombolisis: TDS ~220 miokard akut, edema paru, hipertensif ensefalopati)
atau TDD ~120 Tatalaksana gejala lain stroke (nyeri kepala, nyeri, agitasi, mual. muntah)
·-·--. --- _.... ------·--· --T atalgksQRG-komplikasi-ek~Jt-strokelainnya-sepeFii-fliF>ok-sie.--peningkatan- ·
TIK, kejang atau hipoglikemia
~·
Non-kandidat terapi Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, dapat diulang atau digandakan
trombolisis: TDS >220 tiap 10 menit (max 300 mg) atau Nicardipine 5 mg/jam infus dosis awol,
atau TDD 121-140 titrasi 2,5 mg/jam tiap 5 menit s/d 15 mg/jam sampai target TD yang
diinginkan. Target penurunan TD 10-15%
Non-kandidat terapi Nitroprussid 0,5 g/kgBB/menit infus IV dosis inisial dengan monitoring TD
trombolisis: TDD > 140 kontinu
Target penurunan TD 10-15%
Kandidat terapi Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, dapat diulang 1x atau nitropaste
trombolisis (sebelum 1-2 menit
tatalaksana) TDS > 185
atau TDD >110
Kandidat terapi • cek TD tiap 15 menit selama 2 jam -7 tiap 30 menit selama 6 jam
trombolisis (selama/ berikutnya -7 lanjut tiap jam selama 16 jam
setelah perawatan) • Sodium Nitroprussid 0,5 g/kgBB/menit infus IV dosis inisial, titrasi sampai
• Monitor tekanan target TD
darah • Labetalol 10 mg selama 1-2 menit, dapat diulang at au digandakan
• TDD 140 tiap 10 men it (max 300 mg) at au diberikan dosis inisial, kemudian mulai
• TDS >230 atau drip 2-8 mg/menit atau Nicardipine 5 mg/jam infus dosis awol, titrasi 2,5
diastolik 121-140 mg/jam tiap 5 menit s/d 15 mg/jam sampai target TD yang diinginkan.
• TDS 180-230 atau Apabila TD tidak dapat terkontrol dengan labetalol, pertimbangkan
TDD 121-140 sodium nitroprussid
• TDS 180-230 atau • Labetalol1 0 mg selama 1-2 me nit, dapat diulang at au digandakan tiap
TDD 105-120 10-20 me nit (max 300 mg) at au diberikan dosis inisial, kemudian mulai
drip 2-8 mg/menit
KOMPLIKASI
Kerusakan organ target
PROGNOSIS
Tergantung respon terapi dan kerusakan target organ
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU, Departemen Kesehatan Mata, Departemen Penyakit Saraf
• RS non pendidikan : ICCU j ICU, Bagian Kesehatan Mata, Bagian Penyakit Saraf
REFERENSI
1. Chobanian AV et al: The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report. JAMA. 2003; 289:2560-72.
2. Vidt DG. Hypertensive Crisis. In : Carey W, Abelson A, Dweik R, et al. Current Clinical Medicine.
2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia :Elsevier. 2010. Tersedia di http://
www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/nephrology/hypertensive-
crises/
3. Kotchen T. Hypertensive Vascular Disease.ln: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson
JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. NewYork: McGraw-Hill Medical
Publishing Division; 2012.
4. Victor R. Arterial Hypertension.ln: Goldman L Ausiello D, eds. Cecil medicine 23'd ed. Philadhelphia,
Pa: Saunders Elsevier; 2007.
5. Roesma J. Krisis Hipertensi. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Edisi V. Jilid II. Jakarta: lnterna Publishing; 2009. Hal1103-4
6. Vadiya C, Ouellette J. Hypertensive urgency and emergency. Hospital Physician. 2007;43:43-50.
7. BenderS, Filippone J, Heitz S, Bisognano J. A systematic approach to hypertensive urgencies and
emergencies. Curr Hypertens Rev. 2005;1 :275-281.
8. Hardy Y, Jenkins A. Hypertensive Crisis: Urgencies and Emergencies. US Ph arm. 2011 ;36(3) :Epub.
Diakses melalui http:/ /WWW.uspharmacist.com/content/d/feature/i/1444/c/27112/ pada 12
Mei 2012.
9. National Institute for Health and Clinical Excellence. NICE clinical guideline 107- Hypertension in
pregnancy: the management of hypertensive disorders during pregnancy. August 2010. Diunduh
dari http:/ /www.nice.org.uk/nicemedia/live/13098/50418/50418.pdf pad a tanggal18 Mei 2012.
_J
10. Goldstein LB, Adams R, Alberts MJ, et al. American Heart Association; American Stroke Association
Stroke Council. Primary prevention of ischemic stroke: a guideline from the AHA/ASA. Circulation
2006; 113:e873-e923.
PENYAKIT GLOMERULAR
PENGERTIAN
Penyakit Glomerular merupakan penyakit ginjal berupa peradangan pada glomerulus
dan dapat dibedakan menjadi penyakit glomerular primer atau sekunder. 1
Keterangan
• Difus: lesi mencakup >80% glomerulus.
• Fokal: lesi mencakup <80% glomerulus.
• Segmental: lesi mencakup sebagian gelung glomerulus.
• Global: lesi mencakup keseluruhan gelung glomerulus.
DIAGNOSIS 2
Anamnesis
Warna urine, keluhan penyerta: lemas, bengkak, sesak, kadang terdapat syndroma
uremik: mual, muntah.
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan hipertensi, edema anasarka
Pemeriksaan Penunjang
• Urin : proteinuria, hematuria, piuria, silinder eritrosit.
• Darah : kreatinin meningkat
• Biopsi ginjal
DIAGNOSIS BANDING
-t Etiologi dari penyakit glomerular
TATALAKSANA
Tatalaksana tergantung etiologi, terapi beberapa penyakit glomerular dapat dilihat
lebih lengkap pacta tabel 1.
KOMPLIKASI
Gagal ginjal akut dan kronis, penyakit ginjal stadium akhir. 2
PROGNOSIS
Prognosis tergantung etiologi. Prognosis beberapa penyakit glomerular dapat
dilihat lebih lengkap pada tabel 1.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Penyakit glomerular. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi L Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 51" ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit
Dalam FKUL 2009:2009- 15
_J 2. Lewis JB, Neilson EG. Glomerular Disease. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181" ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 -39
PENY AKIT GINJAL KRONIK
PENGERTIAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penurunan progresif fungsi ginjal yang
bersifat ireversibel. Menurutguideline The National Kidney Foundation's Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (NKF KDOQI), PGK didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
persisten dengan karakteristik adanya kerusakan struktural atau fungsional (seperti
mikroalbuminuriafproteinuria, hematuria, kelainan histologis ataupun radiologis ),
danfatau menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) menjadi <60 mlfmenit/1,73 m 2
selama sedikitnya 3 bulan. 1
Berikut adalah stadium PGK dan rencana tindakan berdasarkan klinis
(tabel1) dan klasifikasi tekanan darah (tabel 2).
Proteinuria merupakan suatu marker dini dan sensitif pada berbagai tipe
kerusakan ginjal. Albumin merupakan protein yang paling banyak terdapat pada urin
penderita PGK. Nilai normal ekskresi albumin urin pada dewasa adalah 10 mgfhari,
dan dipengaruhi oleh berbagai kondisi seperti postur tubuh, olahraga, kehamilan,
dan demam. 2 Oleh karena itu, sering terjadi hasil proteinuria dan albuminuria palsu
dalam praktek sehari-hari karena berbagai kondisi seperti tercantum pada tabel 2.
Penilaian hasil proteinuria pada dewasa dilakukan dengan pengambilan spesimen
urin pagi hari dan hasil ~ +1 pada dipstick memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan
penilaian kuantitatif dalam 3 bulan. Pada pasien dengan proteinuria~ +2 pada tes
kuantitatif dalam interval1-2 minggu, didiagnosis sebagai proteinuria persisten dan
dilakukan evaluasi dan tatalaksana lebih lanjut seperti pada pasien PGK. Monitoring
proteinuria pada PGK selalu menggunakan tes kuantitatif.Z
LFG
' · DerCijat Deskrlpsi Rencana
(ml/merdt/1,73 m2)
G3a J-LFG sedang 45-59 Evaluasi dan tatalaksana komplikasi
G3b J-LFG sedang-berat 30-44 Evaluasi dan tatalaksana komplikasi
G4 J-LFG berat 15-29 Persia pan dialisis I transplantasi
ginjal
G5 Gaga! ginjal kronik (end- <15 Dialisis I transplantasi ginjal
stage renal diseaseiESRD)
label 3. Kondisi yang Menyebabkan Hasil Positif Palsu pada Proteinuria dan Albuminuria2
PosltHpalso ··· ·· ' Negatif·polsu.<
Keseimbangan Dehidrasi ~ konsentrasi protein urin 1' Hidrasi berlebihan ~ konsentrasi
cairan protein urin -1-
Hematuria Jumlah protein urin 1'
Olahraga Ekskresi protein urin 1'
lnfeksi Produksi protein dari organisme dan
reaksi selular terhadap organisme
terse but
Protein urin lain Protein ini biasanya tidak
selain albumin bereaksi sekuat albumin pada
reagen dipstick
Obat-obatan Urin sangat alkalis (pH >8) dapat
bereaksi dengan reagen dipstick
Penilaian awal / skrining pada dewasa dengan risiko tinggi PGK, pemeriksaan
sampel albumin urin sebaiknya menggunakan albumin-specific dipstick atau ratio
albumin-kreatinin. Sedangkan untuk monitoring proteinuria pada dewasa dengan
PGK, ratio protein-kreatinin pada sam pel urin sebaiknya diperiksa menggunakan ratio
albumin-kreatinin dan ratio protein total-kreatinin, apabila ratio albumin-kreatinin
tinggi (> 500 mg- 1.000 mg/g). 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis3.4
• Riwayat hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, hipertensi, hiperurisemia, lupus
• Riwayat hipertensi dalam kehamilan (pre-eklampsi, abortus spontan)
• Riwayat konsumsi obat NSAID, penisilamin, antimikroba, kemoterapi, antiretroviral,
proton pump inhibitors, paparan zat kontras
• Evaluasi sindrom uremia : lemah, nafsu makan.J-, berat badanJ., mual, muntah,
nokturia, sendawa, edema perifer, neuropati perifer, pruritus, kram otot, kejang
sampai koma
• Riwayat penyakit ginjal pada keluarga, juga evaluasi manifestasi sistem organ
seperti auditorik, visual, kulit dan lainnya untuk menilai apa ada PGK yang
diturunkan (Sindrom Alport atau Fabry, sistinuria) atau paparan nefrotoksin dari
lingkungan (logam berat)
Pemeriksaan Fisik3
• Difokuskan kepada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target organ :
funduskopi, pemeriksaan pre-kordial (heaving ventrikel kiri, bunyi jantung IV)
• Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : edema, polineuropati
• Gangguan endokrin-metabolik: amenorrhea, malnutrisi, gangguan pertumbuhan
dan perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual
• Gangguan saluran cerna: anoreksia, mual, muntah, nafas bau urin (uremic fetor},
disgeusia (metallic taste), konstipasi
• Gangguan neuromuskular: letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus, fasikulasi otot,
restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma
• Gangguan dermatologis : pal or, hiperpigmentasi, pruritus, ekimosis, uremic frost,
nephrogenic fib rasing dermopathy
Pemeriksaan Penunjang3.4
• Laboratorium : darah perifer lengkap, penurunan LFG dengan rumus Kockroft-
Gault, J.serum ureum dan kreatinin, tes klirens kreatinin (TTK) ukur, asam urat,
elektrolit, gula darah, profillipid, analisa gas darah, serologis hepatitis, Sl, TIBC,
feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, pemeriksaan imunologi, hemostasis
lengkap, urinalisis
• Radiologis : foto polos abdomen, BNO IVP, USG, CT scan, ekokardiografi
• Biopsi ginjal
Rumus Kockroft-Gault :3
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit ginjal akut, Acute on Chronic Kidney Disease
TATALAKSANA
Nonfarmakologis 1·3.4
• Nutrisi: pada pasien non-dialisis dengan LFG <20 mLjmenit, evaluasi status nutrisi
dari 1) serum albumin danjatau 2) berat badan aktual tanpa edema.
• Protein:
pasien non dialisis 0,6-0,75 gramjkgBB idealjhari sesuai dengan CCT dan
toleransi pasien
pasien hemodialisis 1-1,2 gramjkgBB idealjhari
pasien peritoneal dialisis 1,3 gramjkgBBjhari
• Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang
sama antara asam lemak be bas jenuh dan tidak jenuh
• Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
• Natrium: <2 gramjhari (dalam bentuk garam <6 gramjhari)
• Kalium: 40-70 mEqjhari
• Fosfor: 5-10 mgjkgBB/hari. Pasien HD: 17 mgjhari
• Kalsium: 1400-1600 mg/hari (tidak melebih 2000 mgjhari)
• Besi: 10-18 mgjhari
• Magnesium: 200-300 mgjhari
• Asam folat pasien HD: 5 mg
• Air: jumlah urin 24 jam+ 500 ml (insensible water loss).
KOMPLIKASI
Kardiovaskular, gangguan keseimbangan cairan, natrium, kalium, kalsium, fosfat,
asidosis metabolik, osteodistrofi renal, anemia.1.3
PROGNOSIS
Penting sekali untuk merujuk pasien PGK stadium 4 dan 5. Terlambat merujuk
(kurang dari 3 bulan sebelum onset terapi penggantian ginjal) berkaitan erat dengan
meningkatnya angka mortalitas setelah dialisis dimulai. Pada titik ini, pasien lebih
baik ditangani bersama oleh pelayanan kesehatan tingkat primer bersama nefrologis.
Selama fase ini, perhatian harus diberikan terutama dalam memberikan edukasi
pada pasien mengenai terapi penggantian ginjal (hemodialisis, dialisis peritoneal,
transplantasi) dan pemilihan akses vaskular untuk hemodialisis. Bagi kandidat
transplantasi, evaluasi donor harus segera dimulai,l
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Hemodialisis, ICUj Medical High Care, Departemen
Bedah Urologi
• RS non pendidikan : Unit hemodialisis, ICU, Bagian Bedah
_J REFERENSI
1. Lascano M, Schreiber M. Nurko S. Chronic Kidney Disease. In :Carey W, Abelson A. Dweik R,
et al. Current Clinical Medicine. 2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia :
Elsevier. 2010. Hal 853-6
2. The National Kidney Foundation : NKF KDOQI Clinical Practice guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis 2002;39:S 1-266
3. Bargman J, Scorecki K. Chronic Kidney Disease. In : Longo DL, Fauci AS. Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL. Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New York, McGraw-
Hill. 2012.
4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sudoyo A. Setiyohadi B. Alwi I. et al. Buku Ajar llmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1035-40
442
PENY AKIT GINJAL POLIKISTIK
PENGERTIAN
Merupakan penyakit ginjal yang diturunkan secara autosomal dominan (autosomal
dominant polycystic kidney disease/ADPKD) maupun autosomal resesif (autosomal
recessive polycystic kidney disease/ARPKD). ADPKD lebih sering dijumpai pacta orang
dewasa, sedangkan ARPKD lebih banyak pada anak-anak. Penyakit kista ginjal juga
dapat dijumpai pacta beberapa penyakit ginjal keturunan lainnya, seperti di tabel 2.
Hampir semua kasus ADPKD disebabkan akibat mutasi pada gen PKDl dan PKD 2.
Mutasi gen PKD 2 berjalan lebih lambat dan onset gejala muncullebih lama. Mutasi
PKDl mencakup sekitar 85% kasus dan menyebabkan gaga! ginjal yang lebih dini
dibandingkan mutasi PKD2. PKDl dan PKD2 merupakan protein transmembran
yang ada di semua nefron yang berfungsi dalam regulasi trankripsi gen sel epitel,
apoptosis, differensiasi, dan interaksi matriks sel pada fetal dan orang dewasa.
Gangguan pada protein akan menyebabkan terganggunya proses-proses tersebut,
proliferasi sel berlebihan, sekresi cairan dalam kista. Pad a umumnya penyakit ini akan
asimpotomatik, kista akan membesar, menekan parenkim ginjal sekitarnya, secara
progresif akan menganggu fungsi ginjal dan menimbulkan gejala. Faktor risiko untuk
progresivitas penyakit yaitu usia muda saat terdiagnosa, ras kulit hitam, laki-laki,
ditemukan adanya mutasi pada PKDl, dan adanya hipertensi. 1
ARPKD merupakan penyakit primer pada balita dan anak-anak. Pacta SO %
neonates akan meninggal karena hipoplasia paru, oligohidromnion karena penyakit
ginjal berat, dan sepertiganya akan berkembang menjadi gaga! ginjal tahap akhir.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasonography saat dalam kandungan.
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik, yang dilakukan adalah terapi simptomatik
sesuai keadaan klinis pasien. 1•2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pacta umumnya diagnosis ditegakkan sebelum timbul keluhan pada saat dilakukan
skrining. Diagnosis berdasarkan riwayat keluarga dan pemeriksaan imaging yang
menunjukkan kista multipel pada kedua ginjal, bahkan pada hepar. Kriteria untuk
diagnosis ADPKD dengan ultrasonography pacta pasien yang asimpomatik berdasarkan
pacta onset yang lama timbul pacta PKDZ dan asumsi bahwa genotip dari individu dan
keluarga yang sedang diperiksa tidak diketahui. Sensitifitas dan spesifisitas diagnosis
1
ADPKD berdasarkan usia:
Anamnesis
Pacta anamnesis perlu ditanyakan riwayat penyakit pacta keluarga, riwayat
hipertensi sebelumnya. Gambaran klinis dapat berupa rasa nyeri pacta perut (flank
.J pain), hematuria, infeksi saluaran kemih, dan keluhan poliuria atau nokturia, urin
berwarna merah. 1•2
Sedangkan manifestasi di luar ginjal dapat menyebabkan kista di hati yang
membesar sehingga merusak hati dan menimbulkan masalah di abdomen. Kista di
limpa dan pankreas umumnya bersifat asimptomatik. Pacta jantung dapat dijumpai
kelainan katup. Sehingga perlu ditanyakan keluhan-keluhan yang mencakup organ-
organ terse but. 1
Pemeriksaan Fisik
Terabanya massa pada abdomen, nyeri tekan pacta abdomen, tanda-tanda
1
peritonitis lokal, hipertensi.
-' KOMPLIKASI
Batu ginjal, infeksi saluran kemih, pielonefritis akut, infeksi pada kista ginjal. 1
PROGNOSIS
Risiko untuk menjadi batu ginjal sekitar 2 % pada pasien dengan ADPKD, dan
meningkatkan risiko 2-4 kali lipat terjadinya perdarahan serebral dan subaraknoid.
Aneurisma sakular pada sirkulasi serebral anterior terdeteksi pada 10% pasien
yang asimptomatik saat skrining magnetic resonance angiography {MRA),umumnya
kecil dan kecil kemungkinan akan ruptur spontan. Jika ada riwayat keluarga dengan
perdarahan intrakranial, maka besar kemungkinan akan terjadi hal serupa sebelum
usia 50 tahun; dan jika selamat akan mempunyai aneurisma >10mm dan hipertensi
yang tidak terkontrol. Abnormalitas katup jantung terjad pada 25 % kasus. Insiden
terjadinya kista hepar berkisar 83% pada pemeriksaan MRI pasien usia 15-46 tahun,
wanita mempunyai kecenderungan menjadi kista masif. Sekitar 4 % kasus akan
berakhir dengan end-stage renal disease (ESRDP
REFERENSI
1. Sal ant, David J. Polycystic Kidney Disease and Other Inherited Tubular Disorders, In: Fauci A Kasper
D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J. Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.
2. Pirson, Yves. Autosomal Polycystic Kidney Disease, In: Davidson A Cameron J, Grunfeld J, editors.
Oxford Textbook of Clinical Nephrology. 2nd ed. United States of America. 1998.
3. Grantham J, Winklhofer F. Cystic Disease of The Kidney. In: Brenner B, Rector F, editors. Benner &
Rector the Kidney. ?'h ed. United States of America; Saunders. 2003.
SINDROM NEFROTIK
PENGERTIAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular
yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24 jam disertai hipoalbuminemia
<3,5 g/L, edema, hiperkolesterolemia dan lipiduria. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Gejala klasik SN ditandai dengan edema, proteinuria berat , hpoalbuminemia,
hperkolesterolemia, dan lipiduria. 2 SN dapat bermanifestasi dengan spektrum keluhan
J yang luas, mulai dari proteinuria asimtomatik sampai keluhan yang sering yaitu
bengkak.
Anamnesis 1
Bengkak biasanya berawal pada area dengan tekanan hidrostatik intravaskular
yang tinggi seperti kedua kaki dan ankle, tetapi dapat juga terjadi pada area dengan
tekanan hidrostatik intravaskular yang rendah seperti periorbita dan skrotum. Bila
bengkak hebat dan generalisata dapat bermanifestasi sebagai anasarka. Keluhan
huang air kecil berbusa. Gejala-gejala lain dapat muncul sebagai manifestasi penyakit
penyebab SN sekunder seperti diabetes melitus, nefritis lupus riwayat obat-obatan,
riwayat keganasan atau amyloidosis.
Pemeriksaan Fisik 1
Pretibial edema, edema periorbita, edema skrotum, edema anasarka, asites.
Xanthelasmas bisa didapatkan akibat hyperlipidemia.
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: Proteinuria masif >3,5 gram/24 jam, hiperlipidemia,
hipoalbuminemia ( <3,5 gramfdl), lipiduria, hiperkoagulabilitas
• Biopsi ginjal: dapat digunakan untuk penegakkan diagnosis
Tabell. Polo Klinis Sindroma Nefrotik2
t'< i£~~~'iJ,;'t1\i:rio~l:it§lit~~r,~t;~;i;~''ii;~!~~~!,;{~l,;~~I!tlfi~tii~~r~,~, ~:I.;~t:J~~:~~~ai~!i:t'Qtifti!!i~~;{i~~'f,r~~~~ui~~lV;q'i~l!:iM; .1
Minimal change disease ++++
Fokal segmental +++/++++ +
glomerulonephritis
Membranous ++++ +
glomerulonephritis
Nefropati diabetik '
++/++++ -I+
AL dan AA amiloidosis +++/++++ + +/++
Light-chain deposition +++ +
disease
Fibrillary-immunotactoid +++/++++ + +
disease
Fabry's disease + +
DIAGNOSIS BANDING
Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi, diagnosis etiologi SN. 1
TATALAKSANA
Nonfarmakologis 1
• Istirahat
• Restriksi protein dengan diet protein 0,8 gramjkgBB idealjhari + .ekskresi protein
dalam urin/24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga
0,6 gramjkgBB idealjhari + ekskresi protein dalam urin/24 jam
• Diet rendah kolesterol <600 mgjhari
• Berhenti merokok
• Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema
Farmakologis 1
• Pengobatan edema: diuretik loop
• Pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE danjatau antagonis reseptor
Angiotensin II
• Pengobatan dislipidemia dengan golongan statin
• Pengobatan hipertensi dengan targettekanan darah <125/75 mmHg. Penghambat
ACE dan antagoni's reseptor Angiotensin II sebagai pilihan obat utama
• Pengobatan kausal sesuai etiologi SN (lihat topik penyakit glomerular)
KOMPLIKASI
Gagal jantung, sirosis hepatis, penyakit ginjal kronik, tromboembolF
PROGNOSIS
Hanya sekitar 20% pasien yang menderita fokal glomerulosclerosis mengalami
remisi dari proteinuria, 10% membaik tapi masih mengalami proteinuria. Stadium
akhir penyakit ginjal berkembang pacta 25-30% pasien dengan fokal segmental
glomerulosclerosis dalam waktu 5 tahun dan 30-40% dalam 10 tahun. Prognosis
pasien dengan perubahan nefropati minimal memiliki risiko kambuh. Tetapi prognosis
jangka panjang untuk fungsi ginjalnya baik, dengan sedikit risiko gagal ginjal. Respon
pasien yang buruk terhadap steroid dapat menyebabkan hasil yang buruk. Pacta
sindroma nefrotik sekunder, mortalitas dan morbiditas tergantung pacta penyakit
primernya. Pacta nefropati, diabetik tingkat proteinuria berhubungan langsung dengan
mortalitas. Pacta amyloidosis primer, prognosis buruk, meskipun dengan kemoterapi.
Pacta amyloidosis sekunder, perbaikan penyakit penyebab diikuti oleh perbaikan
-1 amyloidosis dan sindroma nefrotik yang mengikutiY
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Sindroma Nefrotik. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 51h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam
FKUI, 2009:2009- 15
2. Glomerular Disease. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2012:2911 -39
3. Donadio JV Jr, Torres VE, Velosa JA, Wagoner RD, Holley KE, Okamura M.ldiopathic membranous
nephropathy: the natural history of untreated patients. Kidney Int. Mar 1988;33(3) :708-15. [Medline].
4. Jude EB, Anderson SG, Cruickshank JK, et al. Natural history and prognostic factors of diabetic
nephropathy in type 2 diabetes. Quart J Med. 2002;95:371-7. [Medline].
PENATALAKSANAAN
Dl BIDANG llMU PENYAKIT DAlAM
PANDOAN
PRAKTIK
KliNIS
HEMATOLOGI
ME
Anemia Aplastik .................................,.......•......
PENGERTIAN
Anemia aplastik (AA) adalah suatu kelainan hematologi dengan manifastasi klinis
pansitopenia dan hiposelularitas pacta sumsum tulang, dapat bersifat didapat atau
diturunkan (Tabel1) 1•2
Tabel 1. Klasifikasi Anemia Aplastik Berdasarkan Etiologi1· 2
Acquired ldiopatik (autoimun} TERC, TERT. TERF 1 & 2, TIN2 susceptibility mutations
Obat-obatan sulfonamid, kloramfenikol, aspirin.fenilbutazon, PTU,
salicylamide, kuinidin, karbamazepin, hidantoin, felbamate,
tiklopidin, furosemid
Toksin Benzene, chlorinated hydrocarbons, organofosfat
Virus Virus Epstein-Barr, virus hepatitis non-A. non-B. non-C. non-D.
non-E, and non-G. human immunodeficiency virus {HIV}
Paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria
Autoimun/connective Eosinophilic fasciitis, Immune thyroid disease {Graves
tissue disorders disease, Hashimoto thyroiditis), Rheumatoid arthritis,
Systemic lupus erythematosus, Thymoma
Kehamilan
Herediter Anemia Fanconi, diskeratosis kongenital, shwachman-diamond syndrome
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Onset keluhan dapat terjadi perlahan-perlahan berupa lemah, dyspnea, rasa lelah,
pusing, adanya perdarahan (petekie, epistaksis, perdarahan dari vagina, atau lokasi
lain) dapat disertai demam dan menggigil akibat infeksi. Riwayat paparan terhadap
zat toksik (obat, lingkungan kerja, hobi), menderita infeksi virus 6 bulan terakhir
(hepatitis, parvovirus ), pernah mendapat transfusi darah 1·3
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak pucat pada konjungtiva atau kutaneus, resting tachycardia,
perdarahan (ekimosis, petekie, perdarahan gusi, purpura). Jika ditemukan limfadenopati
dan splenomegali perlu dicurigai adanya leukemia atau limfomaY
Pemeriksaan PenunjangL 2
• Normositik normokrom, makrositik
• Darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, tidak terdapat sel abnormal pada
-1
hitung jenis leukosit
• Hi tung retikulosit: rendah ( < 1 %)
• Serologi virus (hepatitis)
• Aspirasi dan biopsi sumsum tulang: terdapat spicules yang kosong, terisi lemak,
dan sel hematopoietik yang sedikit. Limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel mast
mungkin prominen
• MRI (Magnetic resonance imaging): membedakan lemak pada sumsum tulang
dengan sel hematopoietic, mengestimasi densitas sel hematopoietik pad a sumsum
tulang, dan membedakan anemia aplastik dengan leukemia mielogenik hipoplasia.
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom mielodisplastik (MDS), anemia karena keganasan sumsum tulang,
hipersplenisme, leukemia akutM
TATALAKSANA
Pemilihan terapi berdasarkan beberapa faktor seperti usia pasien, kondisi umum,
dan ketersediaan donor stem cel/. 1
Tatalaksana Penunjang1.2
• Menghentikan obat-obatan yang diduga sebagai faktor pencetus dan mengganti
dengan obat lain yang lebih aman
• Transfusi komponen darah (PRCjpacked red cell danjatau TC) sesuai indikasi
(pada topik transfusi darah)
• Menghindari dan mengatasi infeksi: antibiotik spektrum luas
• Kortikosteroid: prednison 1-2 mg/ kgBB/ hari, metilprednisolon 1 mg/kg be rat badan
• Androgen: Metenolol asetat 2-3 mgjkgBBjhari, maksimal diberikan selama 3
bulan.Nandrolone decanoate 400 mg IM (intramuskular)jminggu
• Terapi imunosupresif:
• Siklosporin 10-12 mgjkgBB/hari selama 4-6 bulan
• ATG (anti thymocyte globulin) 15-40 mgj kgBB jhari intravena selama 4-10 hari
• Terapi kombinasi: untuk anemia aplastik berat. ATG 40 mg/kgjhari untuk 4 hari,
siklosporin 10-12 mgjkgjhari for 6 bulan, dan metilprednisolon 1 mg/kgjhari
untuk 2 minggu.
• Transplantasi sumsum tulang alogenik, bila ditemukan HLA yang cocok,
dilakukan tes histokompatibilitas pada pasien, orang tua, dan keluarga.
Penyebab kegagalan terapi dapat karena kelelahan cadangan sel asal, imunosupresi tidak
cukup, kesalahan dalam mendiagnosis, atau adanya kegagalan sums urn tulang herediter. 4
KOMPLIKASI
Infeksi (bisa fatal), perdarahan, gagal jan tung akibat anemia berat 3
PROGNOSIS
Tergantung pada jumlah neutrofil, trombosit, dan ada tidaknya komorbiditas.
Jumlah neutrofil < 200/111 mempunyai respon yang rendah terhadap imunoterapi.
Transplantasi sumsum tulang dapat menyembuhkan pada 80% pasien berusia < 20
tahun, 70% pada usia 20-40 tahun, dan 50% pada usia> 40 tahun. Pacta pasien yang
menerima terapi dengan siklosporin sebelum transplantasi, risiko menjadi kanker
sebesar 11%. Dalam 10 tahun, anemia aplastik dapat berkembang menjadi paroxysmal
nocturnal hemoglobinuria, sindrom mielodisplastik, atau leukemia mielogenik akut
sebesar 40% pasien yang menerima terapi imunosupresan. Angka relaps pada
pasien yang menerima imunosupresi adalah 35% dalam 7 tahun. 4 Pada 168 pasien
yang menerima transplantasC angka harapan hidup dalam 15 tahun sebesar 69 %,
sedangkan pada 227 pasien yang menerima terapi imunosupresan angka harapan
hid up hanya 38%. 1
REFERENSI
1. Lichtman M. Aplastic Anemia: Overview. In: Lichtman M, Beutler E, Kipps T, editors. Williams
Hematology 7'h ed. Me Grow Hill. Chapter 33
2. Marsh J. et all. Guidelines for the diagnosis and management of aplastic anaemia., British Journal
of Haematology, 147, 43-70.2010. Diunduh dari http:/ /www.bcshguidelines.com/docurnents/
Aplast_anaern_bjhjune2010.pdf pada tanggal22 Mei 2012
3. Young N.S .. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes:
introduction. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 18'h edition.United
States of America.Mcgraw Hill. 2012
4. Widjanarko A Sudoyo A Salonder, H. Anemia aplastik. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana,
L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: lnterna
Publishing; 201 0. Hal.111 7-1126
ANEMIA DEFISIENSI BESI
PENGERTIAN
Anemia adalah menurunnya kadar hemoglobin (Hb) di bawah normal yang
disebabkan banyak faktor seperti defisiensi besi, asam folat, 812, hemolitik, aplastik,
atau penyakit sistemik kronik. Nilai normal hemoglobin bervariasi sesuai usia dan jenis
kelamin, sehingga nilai yang digunakan sebagai patokan untuk mendiagnosis anemi
yaitu: 1
label 1. Nilai Hb untuk Kriteria Anemia 1
Anemia defisiensi besi adalah salah satu golongan anemia hipoproliferatif yang
disebabkan karena kelainan metabolisme besi. Besi merupakan elemen penting
dalam fungsi semua sel karena perannya dalam transport oksigen sebagai bagian
dari hemoglobin. Besi juga merupakan bagian penting dari enzim sitokrom dalam
mitokondria. Jika kekurangan besi maka sel akan kehilangan kemampuan dalam
transpor elektron dan metabolisme energi, sehingga mengganggu sintesis Hb.
Metabolisme sel besi lebih dipengaruhi absorbsi daripada eksresi. Kehilangan besi
terjadi karena perdarahan atau kehilangan sel. Laki-laki dan wanita yang tidak
menstruasi kehilangan besi sebesar 1 mgjhari, sedangkan wanita yang sedang
menstruasi kehilangan besi 0.6-2.5 %/hari. Besi akan diabsorbsi dari saluran cerna
(proksimal usus halus) dalam bentukferrous atau dari cadangan ke dalam sirkulasi
dan berikatan dengan transferin (protein pengangkut besi). Distribusi besi dalam
tubuh terbagi menjadi: 2
Absorbsi besi dihambat oleh oksalat, phytates, fosfat, dan red wine. Sedangkan
yang dapat meningkatkan absorbsi besi yaitu hidrokuinon, askorbat, laktat, piruvat,
suksinat, fruktosa, sistein, dan sorbitol. Progresivitas defisiensi besi dapat dibedakan
menjadi 3 stadium yaitu negative iron balance, iron-deficient erythropoiesis, dan anemia
defisiensi besi seperti pada tabel di bawah ini: 2•3
~\~-t~~--
Cadangan besi normal < << <<<
-' Erythron iron normal < << <<<
Marrow iron store 1-3 + 0-1 + 0 0
Feritin serum (IJg/L) 50-200 <20 <15 <15
TIBC (IJg/dl) 300-360 >360 >380 >400
Sl (IJg/dl) 50-150 NL <50 <30
Saturasi(%) .. 30-50. NL <20 <10
Marrow sideroblast (%) 40-60 NL <10 <10
RBC protoporphyrin 30-50 NL >100 >200
{IJg/dl)
Morfologi RBC NL NL NL Mikrositik/
hipokrom
Faktor penyebab Kebutuhan besi lebih Kelainan Penurunan Hb
besar daripada sintesis Hb dan hematokrit
kemampuan absorbsi
dari makanan
Etologi Perdarahan, kehamilan,
pertumbuhan cepat
pada masa remaja, diit
tidak odeku_at
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala klinis bervariasi tergantung beratnya dan lamanya anema, berupa rasa
lemah dan Ielah, sakit kepala, light-headedness, kesemutan, rambut rontok, restless
leg, dan gejala angina pektoris pada kasus berat. Gejala khas yaitu adanya glositis,
disfagia, pica, koilonychia (spoon nail) jarang ditemukan. 3
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak lemah dan pucat (anemis ), disertai takikardia, adanya glositis ( lidah
bewarna merah dan permukaannya licin), stomatitis, angular cheilitis, koilonychia.
Perdarahan maupun adanya eksudat pada retina dapat ditemukan pad a anemia be rat.
Splenomegali mengindikasikan adanya penyebab defisiensi besi lainnya.3.4
Periksa feritin
_J
~
:> 45 ng per ml
t
146 to 99 ng per ml I ~
l
100 ng per ml
1 {45 meg per L {46 to 99 meg per L) {100 meg per L)
+ + 1
TIBCmeningkat, besi
serum menurun,
I Hasillain :
eek TfR
l
I
TIBC menurun, FE
meningkat. 1
+ 1
J ITfR meningkat I Hasillain : I TfR menurun I
jika dieurigai periksa
biopsi sumsum tulang A .
nem1a
defisiensi ..._
+ + besi-
Keterangan :
ng : Nanogram
meg : microgram
~m : mikrometer
DIAGNOSIS BANDING
Talasemia, anemia sideroblastik, anemia penyakit kronik, dan keracunan logam berat3
TATALAKSANA
• Tatalaksana diet 3
Makan makanan yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
Makan makanan yang mengandung zat besi tinggi, seperti daging merah
• Preparat besi oraF· 3
Preparat besi inorganik mengandung 30 dan 100 mg besi elementaL
Oasis 200-300 mg besi elemental per hari harus diabsorbsi sebanyak 50 mgjhari.
Tujuan terapi tidak hanya memperbaiki anemia tetapi juga menambah
cadangan besi minimal 0.5-1 gram, sehingga diperlukan terapi selama 6-12
bulan setelah anemia terkoreksi.
Oasis: 3-4 kali 1 tablet (150 dan 200 mg) diminum 1 jam sebelum makan.
Efek sam ping: mual, heartburn, konstipasi, meta lie taste, buang air besar hi tam
Macam-macam preparat besi oral:
KOMPLIKASI
Gangguan jantung (kardiomegali a tau gaga! jantung), gangguan pertumbuhan pad a
anak dan remaja. 2•3
PROGNOSIS
Jika penyebab defisiensi besi diatasi maka prognosis akan baik. Terapi inadekuat
akan menyebabkan anemia rekuren, sehingga terapi harus diberikan minimal12 bulan
setelah anemia terkoreksi. 2•3
-' REFERENSI
1. Killip S. Iron Deficiency Anemia. American Academy of Family Physicians. Volume 75, Number 5.
2007. Diunduh dari www.aafp.org/afp pada tanggal23 Mei 2012.
2. Adamson J.lron deficiency and other hypoproliferative anemias. ln:Longo DL. Kasper DL. Jameson
DL. Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison's Principals of Internal Medicine 18'" ed. Me
Grow Hill. Chapter 98
3. Beutler E. Disorders of iron metabolism. ln:Lichtman M, Beutler E, Kipps T. editors. Williams
Hematology 7'" ed. Me Grow Hill. Chapter 40
4. Bakta I, Suega B, Charmayuda T. Anemia defisiensi besi. Dalam: Suyono, S. Waspadji. S. Lesmana.
L. Alwi. I. Setiati. S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: lnterna
Publishing; 2010. Hal.1127-1140.
ANEMIA HEMOLITIK
PENGERTIAN
Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena destruksi atau pembuangan
sel darah merah dari sirkulasi sebelum waktunya, yaitu 120 hari yang merupakan
masa hid up sel darah merah normal. Ada 2 mekanisme terjadinya hemolitik yaitu :1•2
• hemolitik intravaskular destruksi sel darah merah terjadi di dalam sirkulasi
pembuluh darah dengan pelepasan isi sel ke dalam
plasma. Penyebabnya antara lain karena trauma
mekanik dari endotel yang rusak, fiksasi komplemen
serta aktivasi pada permukaan sel, dan infeksi.
• hemolitik ekstravaskular destruksi sel darah merah yang ada kelainan membran
oleh makrofag di limpa dan hati. Sirkulasi darah
difiltrasi melalui splenic cords menuju sinusoid
limpa. Sel darah merah dengan abnormalitas
struktur membran tidak dapat melewati proses
filtrasi sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh
makrofag yang ada di sinusoid.
Klasifikasi anemia hemolitk dapat berdasarkan mekanisme terjadinya, secara
klinis (akut atau kronik), dan berdasarkan penyebabnya :3
AIPerbllirublnemla
indirek I
Anemia I I Relikulositosis
~ +
Evaluasi hemolisis : DPL retikulosil,
~
-
Pikirkan diagnosis lain, termasuk
LDH. Bilirubin indirek, haptoglobu- yang menyebabkan normosilik
lin. SDT (sediaan darah tepi) normokrom. seperti penyakil kronik,
I Tidak I gaga I ginjal kronik
I
Keterangan :
LDL : Laktat dehidrogenase DAT : Direct antiglobulin test
PT : Prothrombin time G6PD : Glucose-6-phosphate dehydrogenase
PTI : Partial thromboplastin time TIP : Thrombotic Thrombocytopenic Purpura
HUS: Hemolytic Uremic Syndrome DIC : Disseminated intravascular coagulation
Pada bab ini akan dibahas mengenai anemia hemolitik autoimun secara khusus.
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
PENGERTIAN
Anemia hemolitik autoimun (AHA) adalah anemia hemolitkyang ditandai adanya
autoantibodi terhadap sel darah merah autolog yang ditandai dengan pemeriksaan
DAT jtes Coombs yang positif. Penyebab pasti belum diketahui. Klasifikasi dari anemia
hemolitik autoimun yaitu:M (Tabel 3)
PENDEKATAN DIAGNOSIS
• lemah juga dapat ditemukan tanpa adanya tanda hemolisis. Pada 34 % kasus positif
pada pasien AIDS denganjatau tanpa tanda hemolisis. Hasil negatif ditemukan pada
2-5 % kasus karena jumlah globulin pada pada permukaan sangat sedikit sehingga
tidak terdeteksi. Metode lama (tube method) hanya dapat mendeteksi sampai 150-
200 molekul lg Gjsel, sedangkan dengan metode terbaru sedikitnya 8 Ig G molekulj
sel akan menimbulkan aglutinasi sebanyak 5 %. Ada 3 kemungkinan pola reaksi pada
DAT yaitu :4•5
Tabel 5. Kemungkinan Polo Reaksi pada DAT4
~Ill--
Hanya lg G
AHA Warm-Antibody, drug-immune hemolytic anemia, Hapten or
drug adsorption mechanism
Hanya komplemen AHA Warm-Antibody dengan deposit lgG yang sedikit (subthreshold},
penyakit cold agglutinins, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
(PNH)drug-immune hemolytic anemia : tipe ternary complex
lg G dan komplemen AHA Warm-Antibody, drug-immune hemolytic anemia : tipe
autoantibodi.
J
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit autoimun lain seperti sferositosis herediter (hereditary spherocytosis/
HS), Zieve syndrome, sepsis karena klostridium, anemia hemolitik yang mengawali
penyakit Wilson. 4
TATALAKSANA
Jika pasien mengalami hemolisis minimal, hematokrit stabil, dengan DAT positif
umumnya tidak membutuhkan terapi dan hanya diobservasi jika terjadi kelainan klinis.
Transfusi PRC (packed red cell} dapat diberikan terutama jika ada penyakit komorbid
seperti penyakit arteri koroner simptomatik atau anemia berat dengan kegagalan
sirkulasi seperti pada paroxysmal cold hemoglobinuria. 4
KOMPLIKASI
Emboli paru, infeksi, kolaps kardiovaskular, tromboemboli, gagal ginjal akut 3
PROGNOSIS
Pasien dengan AHA warm antibodyidiopatik dapat relaps dan remisi. Tidak
ada faktor yang dapat memprediksi prognosisnya. Umumnya berespon terhadap
glukokortikoid dan splenektomi. Angka kematian mencapai 46% pada beberapa
kasus. Angka harapan hidup dalam 10 tahun sebesar 73%. Sedangkan prognosis
AHA warm antibody sekunder tergantung penyakit penyebabnya. Pada kasus AHA
cold antibody idiopatik, perjalanan penyakit umumnya benign dan bertahan untuk
beberapa tahun. Kematian karena infeksi, anemia berat, atau proses limfoproliferatif
yang mendasarinya. Jika disebabkan karena infeksi, AHA cold antibody akan sembuh
sendiri dalam beberapa minggu. Pada kasus hemoglobinuria masif dapat terjadi gagal
ginjal akut yang membutuhkan hemodialisis. 4
REFERENSI
1. Dhaliwal G. Hemolytic Anemia. American Family Physician, June 1, 2004 I VOL. 69, No. 11. Diunduh
dari http://www.aafp.org/afp/2004/0601/p2599.html pada tanggal23 Mei 2012.
2. Parjono E. Hariadi K. Anemia Hemolitik Autoimun . .Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana. L.
Alwi, I. Setiati. S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: lnterna
Publishing; 2010. Hal.1152-1156
3. Luzzato L. Hemolytic Anemias and Anemia Due to Acute Blood Loss. In: Longo Fauci Kasper,
Harrison's Principles of Internal Medicine 181" edition.United States of Arnerica.Mcgraw Hill. 2012
4. Packman C. Hemolytic Anemia Resulting from Immune Injury . In : Lichtman M. Beutler E, Kipps
T, editors. Williams Hematology 71" ed. Me Grow Hill. Chapter 52
5. Neff A. Autoimmune Hemolytic Anemia. In: Geer J, Foerster J, Luken J. Wintrobe's Clinical
Hematology 11 1" ed. Lippincott Williams&wilkins. Chapter 35.
6. Lechner K, Jager U. How I treat autoimmune hemolytic anemias in adults. The American
Society of Hematology .BLOOD, 16 September 2010 Vol 116, No 11. Diunduh dari bloodjournal.
hematologylibrary.org pada tanggal 23 Mei 2012,
ANEMIA PENYAKIT KRONIK
PENGERTIAN
Anemia adalah suatu keadaan berkurangnya sel darah merah dalam tubuh. Anemia
penyakit kronik adalah anemia yang terjadi pada yang ditemukan pada kondisi penyakit
kronik seperti infeksi kronik, inflamasi kronik, atau beberapa keganasan. Pada penyakit
inflamasi, sitokin dihasilkan oleh leukosit yang aktif dan sellain yang ikut berperan
menurunkan kadar hemoglobin (Hb). Ada beberapa mekanisme terjadinya anemia
pada anemia penyakit kronik :1•2
• Anemia yang terjadi disebabkan karena sitokin inflamasi yaitu interleukin-6
-f (IL-6) menghambat produksi sel darah merah. IL-6 meningkatkan produksi
harmon hepcidin yang diproduksi oleh sel hepatosit berperan dalam regulator zat
besi. Harmon hepcidin akan menghambat pelepasan zat besi dari makrofag dan
hepastosit, sehingga jumlah zat besi untuk pembentukan sel darah merah terbatas.
• Inhibisi pelepasan eritropoietin dari ginjal oleh IL-l dan TNF a (tumour necrosisfactor)
• Inhibisi langsung proliferasi progenitor eritroid oleh TNF a dan INF y (interferon y ),
dan IL 1
• Peningkatan eritrofagositosis makrofag RES (reticuloendothelial system) oleh TNF a
Keadaan yang berkaitan dengan anemia penyakit kronik yaitu :1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis cukup sulit terutama jika bersamaan dengan defisiensi zat besi. Penyebab
anemia lain harus disingkirkan sebelum mendiagnosis, seperti perdarahan, malnutrisi,
defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, dan hemolisis. 2
Anamnesis
Keluhan-keluhan yang didapatkan berupa rasa lemah dan Ielah, sakit kepala,
nafas pendek3
Pemeriksaan Fisik
Pucat, tampak anemis, dapat ditemukan kelainan-kelainan sesuai penyakit
penyebabnya. 4
Pemeriksaan Penunjang 2 ·5
• Hemoglobin (Hb): menurun ( kadar: 8-9 gfdl)
• Hitung retikulosit absolut: normal atau meningkat sedikit3
• Feritin serum: normal atau meningkat. Merupakan penanda simpanan zat besi,
kadar 15 ngjml mengindikasikan tidak adanya cadangan zat besi
• Besi dalam serum: menurun (hipoferemia). Half-life: 90 menit
• Transferin serum: menurun. Half-life: 8-12 hari, sehingga penurunan transferin
serum lebih lama terjadi daripada penurunan kadar besi serum.
• Saturasi transferin
• Reseptor transferin terlarut (soluble transferrin receptor): menurun
• Rasio reseptor transferin terlarut dengan log feritin
• Kadar sitokin
• Eritropoietin
• Hapusan darah tepi: normositik normokrom, dapat hipokrom mikrositik ringan
• Aspirasi dan biopsi sumsum tulang : jarang dilakukan untuk mendiagnosis anemia
penyakit kronik, tetapi dapat dilakukan sebagai gold standard untuk membedakan
dengan anemia defisiensi besi. Morfologi sumsum tulang dan pewarnaan zat besi
normal, kecuali dikarenakan penyakit penyebabnya. Hal yang penting diperhatikan
adanya simpanan zat besi dalam sitoplasma makrofag atau berfungsi di dalam
nucleus. Pada individu normal, dengan pewarnaan Prussian blue partikel dapat
ditemukan di dalam atau di sekitar makrofag, sepertiga mukleus mengandung
1-4 badan inklusi halus bewarna biru (sideroblas). Pada anemia penyakit kronik,
partikel besi di sideroblas bekurang atau tidak ada, tetapi di makrofag meningkat.
Peningkatan simpanan zat besi di makrofag berhubungan dengan menurunnya
kadar besi di sirkulasi. 4
Perbedaan anemia penyakit kronik dengan anemia defisiensi besi dari hasil
pemeriksaan labroratorium :
Normal atau t
1
TFR normal t
TFR/Iog feritin Rendah (<1) Tinggi (>4) Meningkat (<2)
Sitokin Meningkat Normal t
DIAGNOSIS BANDING 1
• Supresi sumsum tulang karena obat: besi serum meningkat, hi tung retikulosit rendah
• Hemolisis karena obat: hitung retikulosit, haptoglobin, bilirubin, dan laktat
dehidrogenase meningkat
• Kehilangan darah kronik: serum besi menurun, feritin serum menurun, transferin
meningkat
• Gangguan ginjal
• Gangguan endokrin: hipotiroid, hipertiroid, diabetes mellitus
• Metastasis sumsum tulang: poikilosit, normoblas, teardrop-shaped red cells, sel
mieloid imatur
• Thalasemia minor
TATALAKSANA 1•7
• Mengenali dan mengatasi penyakit penyebabnya
• Terapi besi: kegunaannya masih dalam perdebatan
• Kontraindikasi jika feritin normal ( >100 ngjml ) 4
•
~
~. 472
. ~:i'V~~~~~~i~~li\1~~~t;~~~~~:
• Agen Erythropoietic :
o lndikasi: anemia pada kanker yang akan menjalani kemoterapi, gaga! ginjal
kronik, infeksi HIV yang akan menjalani terapi mielosupresif.
o 3 jenis: epoetin a, eportin ~' darbepoetin a
o Epoetin :Dosis awa!S0-150 U/kg be rat badan diberikan 3 kali seminggu selama
minimal 4 mingu, jika tidak ada respon dosis dinaikkan 300 Ujkg diberikan
3 kali seminggu 4-8 minggu setelah dosis awal.
o Target: Hb 11-12 gramjdl
o Sebelum pemberian harus menyingkirkan adanya anemia defisiensi besi
o Monitoring selama terapi: setelah terapi selama 4 minggu dilakukan
pemeriksaan kadar Hb, dan 2-4 minggu kemudian. Jika Hb meningkat <1 gram/
dl, evaluasi ulang status besi dan pertimbangkan pemberian suplemen besi.
Jika Hb mencapai 12 gramjdl, diperlukan penyesuaian dosis. Jika tidak ada
respon dengan dosis optimal dalam 8 minggu, berarti pasien tidak responsif
terhadap terapi agen erythropoietic.
• Transfusi darah: jika anemia sedang-berat (Hb<6.5 gramjdl) dan bergejala
KOMPLIKASI
Gaga! jantung, kematian 3
PROGNOSIS
Keluhan anemia akan berkurang jika mengobati penyakit penyebabnya . Pada
suatu penelitian dinyatakan bahwa anemia berhubungan dengan gaga! ginjal, gaga!
jantung kongestif, dan kanker. Derajat anemia berhubungan dengan tingkat keparahan
penyakit, prognosis buruk pad a pasien dengan penyakit keganasan, gaga! ginjal kronik,
dan gaga! jantung kongestif. Kematian yang terjadi tidak dikarenakan anemia secara
langsung. Belum terbukti bahwa perbaikan anemia saja akan meningkatkan prognosis
penyakit penyebabnya seperti kanker atau penyakit inflamasi. 2,3
REFERENSI
1. Gans T. Anemia of Chronic Disease. In :Lichtman M, Beutler E, Kipps T, editors. Williams Hematology
7'h ed. Me Grow Hill. Chapter 43
2. Zarychanski R. Clinical paradigms Anemia of chronic disease: A harmful disorder or an adaptive.
CMAJ. 2008 August 12; 179(4): 333-337. Diunduh dari http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
PMC249297 6/ pad a tanggal 19 Mei 2012.
3. Gardner LB. Benz Jr EJ. Anemia of chronic diseases. In: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS, et al.,
eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill
Livingstone; 2008:chap 37.
4. Supandiman I. Fadjari H, Sukrisman L. Anemia Pada Penyakit Kronis. Dalam: Suyono, S. Waspadji.
S. Lesmana, L. Alwi. I. Setiati. S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V.
Jakarta: Intern a Publishing; 2010. Hal.1138-1140
5. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Eng I J Med. 2005, 352: 1011-1023.
6. Silver B, Anemia, Diunduh dari https:/ /www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/
----1
diseasemanagement/hematology-oncology/anemia/#top pada tanggal 19 Mei 2012.
7. Adamson J. Iron Deficiency and Other Hypoproliferative Anemias. In :Longo DL Kasper DL
Jameson DL Fauci AS, Hauser SL. Loscalzo J, editors. Harrison's Principals of Internal Medicine
18'h ed. Me Grow Hill. Chapter 98
DASAR-DASAR KEMOTERAPI
PENDAHULUAN
Agen kemoterapi diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Kelompok agen
kemoterapi yang sering digunakan dapat dilihat pada tabel 1.
Alkylators
Siklofosfamid 400-2000 mg/m 2 IV Sumsum tulang, Metabolisme di hati.
100 mg/m 2 PO qd kardiotoksik (dosis tinggi)
Mekloretamin 6 mg/m 2 IV hari 1 dan Sumsum tulang, nausea Digunakan pada
hari 8 cutaneus lymphoma
secara topikal
Klorambusil 1-3 mg/m 2 qd PO Sumsum tulang
Mefalan 8 mg/m 2 qd x 5, PO Sumsum tulang, Fungsi clearance
pencernaan (dosis ginjal menurun
tinggi)
Karmustin (BCNU) 200 mg/m 2 IV 150 Sumsum tulang,
mg/m 2 PO pencernaan, hepar,
ginjal
Lomastin (CCNU) 100-300 mg/m 2 PO Sumsum tulang
lfosfamid 1.2 g/m 2 per hari qd x Mielosupresif, kandung Isomeric analogue of
5 + mesna kemih, neurologik, cyclophosphamide,
asidosis metabolik, lebih larut lemak,
neuropati horus menggunakan
mesna
Prokarbazin 100 mg/m 2 per hari Sumsum tulang, nausea,
qd X 14 neurologik
Dakarbazin (OTIC) 375 mg/m 2 IV hari 1 Sumsum tulang Aktivasi metabolit
dan hari 15 Nausea
.~ - ~.. - ~ -- -FlU/ike- .
Temozolomid 150-200 mg/m 2 qd x 5 Nausea, muntah, Mielosupresi (jarang)
q28d atau 75 mg/m 2 sakit kepala, fatique,
qd x 6-7 minggu konstipasi
Altretamin (formerly 260 mg/m 2/hari qd x Nausea, neurologik Aktivasi hati, menin~
hexamethytmelamine) 14-21 dibagi 4 dosis (mood swing), gkatkan barbiturate
oral neuropati. sumsum I menghilangkan
~·-······~-···---·---- ··--·tolang(s·edikiW ___ -----c;metidin·e·.--
; lllteri::ll<si~ ~alygng- .
·. ;"OI:iiit -~~~i~.~(f.t~ITI ;. •tb~is'ita~
;, '," •:c~>' '" ,.• 2 '-
.·:..t.~iVs·~lp:e~69t;k~n·.
Cisplatin 20 mg/m 2 qd x 5 IV 1 Nausea, neuropati. Jaga high urine flow;
q3-4 minggu a tau 100- pendengaran. trombosit osmotic diuresis,
200 mg/m 2 per dosis IV sumsum tulang> darah monitor intake/output
q3-4 minggu tepi. Renal Mg 2+, Co 2+ K+, Mg 2+
Profilaksis antiemetik
Carboplatin 365 mg/m 2 IV q3-4 Trombosit sumsum Reduce dose
minggu, disesuaikan tulang > darah tepi. according to CrCI: to
dengan kreatinin nausea, ginjal (dosis AUC of 5-7 mg/ml
klirens tinggi) per min [AUC = dose/
(CrCI + 25)]
Oxaliplatin 130 mg/m 2 q3 minggu Nausea, Anemia Acute reversible
selama 2 jam atau 85 neurotoxicity, chronic
mg/m 2 q2 minggu sensory neurotoxicity
cumulative with
dose; reversible
laryngopharyngeal
spasm
Antitumor Antibiotics dan Topoisomerase Poisons
Bleomisin 15-25 mg/d qd x 5 Paru-paru, efek pada lnaktif oleh bleomycin
IV bolus atau kontinu kulit, Raynaud's, hydrolase (menurun
continuous IV hipersensitifitas pada paru/kulit),
meningkatkan
I
toksisitas 0 2 pad a
paru.
Aktinomisin D 10-15 mg/kg per hari Sumsum tulang, nausea, Radiation kembali
qd x 5 IV bolus mucositis, bengkak,
alopesia
Etoposid (VP16-213) 100-150 mg/m 2 IV qd Susmsum tulang Metabolisme hati,
x 3-5 hari atau 50 mg/ (trombosit darah 30% ginjal, kurangi
m 2 PO qd x 21 hari tepi>sumsum tulang), dosis bila pasien
atau sampai 1500 mg/ alopesia, hipotensi. disertai gagal ginjal.
m2 per dosis. hipersensitivitas (IV Schedule-dependent
cepat). nausea, (5 hari lebih baik
mucositis (dosis tinggi) dari 1 hari), Late
leukemogenic
Accentuate
antimetabolite action
Topotekan 20 mg/m 2 IV q3-4 Sumsum tulang, Kurangi dosis bila ada
minggu selama 30 mucositis, nausea, gagal ginjal, tidak
me nit atau 1.5-3 alopesia ringan hepatotoksik
mg/m 2 q3-4 minggu
selama 24 jam atau
0.5 mg/m 2 per hari
selama 21 hari
lrinotekan-.(CPTII) 100-150 mg/m 2 1V - Dime :gejala awal- -Diere-karena ekskresi
selama 90 menit q3-4 dengan kram, muntah, bilier, gunakan
minggu atau 30 mg/ gejala lam bat setelah loperamide (2 mg
m 2 per hari selama 120 beberapa dosis q2-4jam)
jam : sumsum tulang,
alopesia, nausea.
muntah, paru
Doksorubisin dan 45-60 mg/m 2 dosisi Sumsum tulang, Agregasi heparin
daunorubisin q3-4 minggu atau mucositis, alopesia, : coadministration
10-30 mg/m 2 dosis akut/kronik increases clearance
q minggu atau kardiovaskular, bengkak Acetaminophen,
continuous-infusion BCNU meningkatkan
regimen hepatotoksik,
membutuhkan radiasi
kembali
ldarubisin 10-15 mg/m 2 IV q 3 Sumsum tulang, kardiak
minggu atau 10 mg/ (lebih sedikit dari
m 2 1V qdx3 doxorubicin)
Epirubisin 150 mg/m 2 IV q3 Sumsum tulang, kardiak
minggu
Mitoxantrone 12 mg/m 2 qd x 3 Sumsum tulang, kardiak lnteraksi dengan
atau 12-14 mg/m 2 q3 (lebih sedikit dari heparin, efek
minggu doxorubicin), bengkak alopesia dan
(ringan), urin, sklera dan ·nausea lebih kecil
kuku berwarna biru. dari doxorubicin,
membutuhkan radiasi
kembali.
Indirect DNA-Interacting Agents
Antimetabolites
Deoxycoformycin 4 mg/m 2 IV setiap Nausea, immunosupresi, Dikeluarkan di
minggu neurologik, renal urine, kurangi dosis
pada gaga! ginjal,
menghambat
adenosine
deaminase.
6-Mercaptopurine 75 mg/m 2 PO Sumsum tulang, hati, Bioavaibilitas
Atau sampai 500 mg/ nausea metabolisme
m2 PO (dosis tinggi) bervariasi,
dimetabolisme oleh
xanthine oxidase,
kurangi dosisi dengan
allopurinol, toksisitas
meningkat dengan
thiopurine
methyltransferose
deficiency
6- Thioguanine 2-3 mg/kg per hari Sumsum tulang, hati, Bioavaibilitas
sampai 3-4 minggu nausea bervariasi, toksisitas
meningkat dengan
thiopurine
me thy/transferase
deficien-cy-
Azatioprin 1-5 mg/kg per hari Sumsum tulang, hati, Metabolisme menjadi
nausea 6MP, oleh karena itu
kurangi dosis dengan
allopurinol, toksisitas
meningkat dengan
thiopurine
---- --- ------- - methYttrarisrercis_e_
deficiency
2-Kiorodeoksiadenosin 0.09 mg/kg per hari qd Sumsum tulang, ginjaL Patut
x 7 secara continuous demam dipertimbangkan
infusion untuk terapi hairy cell
leukemia
Hidroksiurea 20-50 mg/kg PO qd Sumsum tulang, nausea, Kurangi dosis
atau 1-3 g/hari mukositis, perubahan dengan gaga! ginjal,
kulit, jarang pada ginjal, menambah efek
hati dan paru. antimetabolit.
CNS
Metotreksat 15-30 mg PO or IM qd Sumsum tulang, paru I Ekskresi di urin,
x3-5 hati, renal tubular. kurangi dosis pada
Atau 30 mg IV hari 1 mukositis gaga! ginjaL NSAIDs
dan 8 atau 1.5-12g/ meningkatkan
m2 per hari (dengan toksisitas ginjal.
leucovorin)
5-Fiuorouracil (5FU) 375 mg/m 2 IV qd x 5 Sumsum tulang, Toksisitas meningkat
atau 600 mg/m 2 IV hari mukositis, neurologik, oleh leucovorin,
1 dan 8 perubahan kulit Dihydropyrimidine
dehydrogenase
deficiency
meningkatkan
toksisitas metabolit di
jaringan.
478
Pemetrexed 200 mg/m 2 q3 weeks Anemia, neutropenia Suplementasi folat/
Thrombositopenia B12, waspada pada
gagal ginjal
Antimitotic Agents
Yin kristin 1-1.4 mg/m 2 per Bengkak, sumsum Hepatic clearance
minggu tulang, neurologik, Dose reduction for
pencernaan :ileus, bilirubin > 1.5 mg/dL
konstipasi. kanndung Prophylactic bowel
kernih : hipotoksisitas, regimen
SIADH kardiovaskular
Vinblastin 6--8 mg/m 2 per minggu Bengkak, sumsum Hepatic clearance
tulang, neurologik, Dose reduction as
hipertensi. Raynaud' s with vincristine
Vinorelbin 15-30 mg/m 2 per Bengkak, sumsum Hepatic clearance
minggu tulang, bronkospasme/
alergi.
Dispnea/batuk,
neurologik
Paklitaksil 135-175 mg/m 2 per Hipersensitivitas, sumsum Premedikasi dengan
24 jam infuse atau tulang, mukositis, steroid, H1 dan H2
175 mg/m 2 per 3 jam alopesia, blocker,
infuse atau 140 mg/m 2 Sensory neuropathy, Hepatic clearance
per 96 jam infuse atau
250 mg/m 2 per 24 jam CV conduction Dose reduction as
infus plus G-CSF disturbance, nausea with vincas
Doketaksil 100 mg/m 2 per 1 jam Hipersensitivitas, retensi Premedikasi dengan
infus q3 minggu cairan, sumsum tulang, steroid, H1 dan H2
dermatologis, blocker
Sensory neuropathy,
nausea, stomatitis
Estramustin fosfat 14 mg/kg per hari Nausea, muntah,
terbagi dalam 3-4 diaere, CHF, Thrombosis
dosis dengan air> 2 Ginekomasti.
jam setelah makan,
hindari makanan kaya
kalsium
Nab-paclitaxel 260 mg/m 2 q3 minggu Neuropati. anemia, Waspada pada
(protein bound) Neutropenia, insufisiensi hati
thrombocytopenia
lxabepilone 40 mg/m 2 q3 minggu Myelosupresi. neuropati
Molecularly Targeted Agents
Retinoids
Tretinoin 45 mg/m 2 per hari Teratogenik, APL differentiation
sam poi respon komplit · Kutdneus · syntlrome: disfungsi/
+ anthracycline-based infiltrat pulmonal.
regimen in APL efusi pleura I
perikardial. demam
Bexarotene 300-400 mg/m2 per Hypercholesterolemia, Hipotiroidisme sentral
hari. continuous Hypertriglyceridemia
Kutaneus, teratogenik
Targeted Toxins
Denileukin diftitox 9-18 mg/kg per hari x Nausea/muntah, Hypersensitivitas
5 d q3 minggu menggigil/demam, akut, hipotensi,
asthenia, hepatik vasodilatasi, rash,
kebocoran vascular
:hipotensi, edema,
hipoalbuminemia,
thrombotic events
(MI, DVT, CVA)
Penghambat Tyrosine Kinase
lmatinib 400 mg/d, continuous Nausea, edema Mielosuppresi tidak
periorbital sering pada tumor
solid
Gefitinib 250 mg PO per hari Rash, diare
Erlotinib 150 mg PO per hari Rash, diare 1 jam sebelum, 2 jam
sesudah makan
Dasatinib 70 mg PO bid; 100 mg Perubahan hari,
PO per hari rash, neutropenia,
trombositopenia
Sorafenib 400 mg PO bid Diare,
Hand-foot syndrome,
rash
----1 Sunitinib
Penghambat Proteosome
Bortezomib
50 mg PO qd for 4-6
minggu
Neuropati,
trombositopenia
Penghambat Histone Deacetylase
Vorinostat 400 mg/hari Fatigue, diare,
trombositopenia, emboli
Romidepsin 14 mg/m 2 hari 1, 8, 15 Nausea, muntah,
sitopenia, cardiac
conduction
Penghambat mTOR
Temsirolimus 25 mg setiap minggu Stomatitis,
trombositopenia,
nausea, anoreksia,
fatigue, metabolik
(glukosa, lipid)
Everolimus 10 mg setiap hari Stomatitis, fatigue
Agen hormon
Tamoxifen Retensi cairan, nausea
&onadotropin" · ·· ·· · Naoserr;muntah; ·
Releasing Hormone edema, tromboemboli,
Agonists painful gynecomastia
Inhibitor Aromatase
Lainnya
Arsenik trioksida 0.16 mg/kg per Meningkatkan QTc APL differentiation
hari sampai 50 hari _,ne.vmpoJi perifer, syndrome (lihat
derigOnAPI - nyeri musculoskeletal, tretinoinT -
hiperglikemia
PENANGANAN KOMPLIKASI AKUT KEMOTERAPI
MielosupresF
Manifestasi klinik
Febril neutropenia. Neutropenia maksimal muncul 6-14 hari setelah pemberian
kemoterapi.
Tatalaksana
1. Rontgen toraks
2. Kultur darah, urin, sputum
3. Resistensi obat
4. Antibiotika empiris sambil menunggu kultur : seftazidim, vankomisin atau
metronidazol j imipenem jika curiga kuman anaerob dari abdomen atau tempat lain.
5. Antibiotika sesuai kuman penyebab
Diare2
• Diare terkait kemoterapi dapat timbul segera a tau delayed (48-72 jam setelah
pemberian obat).Tatalaksana:
• Hidrasi
• Jaga keseimbangan elektrolit
• Dosis loperamid tinggi, dosis awal 4 mg, lanjutkan 2 mg setiap 2 jam sampai 12
jam bebas diare. Maksimal dosis 16 mgjhari.
• Untuk yang tidak respon terhadap loperamid : Oktreotid (100-150 mg),
somatostatin analog, atau opiate-based preparations
Mukositis2
• Terapi anestesi topikal dan barrier-creating preparations
• Mukosistis berat: palifermin atau keratinocyte growth factor
Alopesia 2
• Mulai muncul sekitar awal minggu kedua atau ketiga setelah siklus pertama
• Chemo caps mengurangi temperatur kulit kepala sehingga mengurangi derajat
alopesia
• Kosmetik
• Dukungan psikologis
i Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Perawatan Khusus Imunosupresi
• RS non pendidikan : Unit Perawatan Khusus Imunosupresi
REFERENSI
1. Salmon, S. E. and Sartorelli, A. C. Cancer Chemotherapy, in Basic and Clinical Pharmacology,
(Katzung, B. G., ed) Appleton-Lange, 1998, p. 881-911.
2. Principle of cancer treatment. Dalam : Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011.
DIATESIS HEMORAGIK
PENGERTIAN
Diathesis adalah suatu tampilan fisik atau kondisi tubuh yang menyebabkan
jaringan tubuh bereaksi secara khusus terhadap stimulus ekstrinsik tertentu yang
akan membuat seseorang lebih mudah terkena penyakit tertentu. Diatesis hemoragik
(hemorrhagic diathesis/bleeding diathesis/bleeding tendency) merupakan suatu
predisposisi hemostasis abnormal atau kecenderungan perdarahan (bleeding
tendency].l Proses patofisiologis ini terbagi menjadi 3 kategori yaitu kelainan fungsi
atau jumlah trombosit, gangguan faktor koagulasi, dan kombinasi dari keduanya. 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 2 · 4
• Riwayat perdarahan spontan di masa lalu, perdarahan di berbagai tempat (multiple
sites), perdarahan terisolasi (mis hematuria, hematemesis, hemoptisis)
• Riwayat perdarahan masif pasca operasi atau trauma (immediate atau delayed),
termasuk sirkumsisi, tonsilektomi, melahirkan, menstruasi, pencabutan gigi,
vaksinasi, dan injeksi
• Riwayat penyakit komorbid (gagal ginjal, infeksi HIV, penyakit mieloproliferatif,
penyakit jaringan ikat, limfoma, penyakit hati)
• Riwayat transfusi
• Riwayat kebiasaan makan, malabsorpsi, dan antibiotik ~ predisposisi defisiensi
vitamin K
• Riwayat konsumsi obat seperti aspirin, nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs)
• Riwayat koagulopati dalam keluarga (hemofilia, dll)
Pemeriksaan Fisik2· 5
• Identifikasi tanda perdarahan (perdarahan mukosa, petekia, purpura, ekimosis/common
bruises, perdarahan jaringan lunak, saluran cerna, epistaksis, hemoptisis)
• Tanda infeksi
• Tanda penyakit autoimun
-1
Pemeriksaan Penunjang 2 · 5
• Laboratorium :
o Inisial: darah perifer lengkap, prothrombin time (PT), activated partial
thromboplastin time (aPTT) dan morfologi darah tepi
o Skrining pre-operatif : hila riwayat perdarahan negatif 7 darah perifer
lengkap, PT, aPTT, bleeding time (BT}
o Lainnya (sesuai indikasi): thrombin time (TT), faktor koagulasi, fibrin
degradation products (FDP), agregasi trombosit, serologi virus (Dengue,
CMV, Epstein Barr Virus, hepatitis C, HIV, rubella), serologi LES, elektroforesis
serum protein, imunoglobulin, fungsi hati, defisiensi IgA atau monoclonal
gammopathies (selektif), tes Coomb
Ya
• Konsumsi antikoagulan
oral
Mayor:
• Hemophilia A atau B derajat berat
• vWD tipe 3 (berat)
• inhibitor faktor VIII didapat
•VWD didapat
• Hipofibrinogenemia
• Defisiensi faktor II, V,
X derajat ringan
• Afibrinogenemia
• Defisiensi faktor II, V, X derajat berat
•Kombinasi defisiensi faktorV dan VIII
Keterangan:
HK =high molecular weight kininogen; • Kombinasi defisiensi faktor vitam in-K dependent
PK = prekalikrein; • Inhibitor faktor II dan V didapat
=
vWD penyakit von Wi!lebrand: • Inhibitor faktor X did apat (amiloidosis)
KID = koagufasi intravaskular diseminata
Diturunkan
Defisiensi faktor Defisiensi faktor von Defisiensi protrombin, fibrinogen, faktor V,
VII Wi/tebrand (vWF), faktor VIII. X, atau kombinasi
IX, XI. atau XII
Dldapat
Defisiensi vitamin K Penggunaan heparin Penyakit hati
Penyakit hati Inhibitor vWF, faktor VIII. IX, KID
XI. atau XII
Penggunaan Antibodi antifosfolipid Heparin atau warfarin supraterapeutik
warfarin
Inhibitor faktor VII Kombinasi heparin atau warfarin
Inhibitor protrombin, fibrinogen, faktor V
atauX
Direct thrombin inhibitor
DIAGNOSIS BANDING
Sesuai etiologi
TATALAKSANA
Dosis (unit) = (target kadar faktor- baseline) x berat badan [kg] x 1,2
1 o
o
Cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 6 minggu, atau
Pada pasien dengan kontraindikasi imunosupresan ~ IVIG 0,4 gjkgfhari
selama 5 hari
3. Kelainan hematologis terkait abnormalitas fungsi trombosiC
Kelainan mieloproliferatif kronis
o Polisitemia vera ~ lihat pada bab Polisitemia Vera
o Trombositosis esensial ~ lihat pada bab Trombositosis Esertsial
o Leukemia mielogenus kronis ~ lihat pada bab Leukemia
o Mielofibrosis dengan metaplasia mieloid
Terapi sebaiknya diberikan pada pasien simptomatis, usia >60 tahun, individu
yang akan menjalani operasi, meliputi koreksi polisitemia, pemeliharaan mas sa
eritrosit, tatalaksana penyakit yang mendasari. Reduksi trombosit hingga
<400.000/uL dengan plateletferesis atau agen sitoreduktif.
Leukemia dan sindrom mielodisplasia~ lihat pada bab Leukemia
Disproteinemia : terapi sitoreduktif, plasmaferesis
Penyakit von Willebrand didapat: infus DDAVP, vWF-containing factor VIII
concentrates, IVIG dosis tinggi
4. Kelainan sistemik terkait dengan abnormalitas fungsi trombosiC
Uremia: agregasi trombosit abnormal, dan BT memanjang sering terjadi pada
pasien uremik, tapi bukan merupakan indikasi intervensi terapeutik. Terapi:
dialisis, transfusi trombosit, recombinant human Epo, DDAVP, estrogen konjugasi,
kriopresipitat
Antibodi antitrombosit (ITP, LES, alloimunisasi trombosit, trombositopenia)
~ lihat pacta bab Immune Thrombocytopenia dan Lupus Sistemik
Eritematosus
Cardiopulmonary bypass
o Evaluasi preoperatif: riwayat perdarahan pacta pasien atau keluarga
o Transfusi profilaksis komponen darah allogenik tidak diindikasikan
o Pacta pasien anemia preoperatif, dapat diberikan recombinant human Epo
dan non-anemis dapat diberikan Epo + donor darah autolog
o Cell savers dan darah yang dikumpulkan dari drainase chest tube dapat
digunakan selama operasi dan di re-infus untuk mengurangi transfusi
allogenik. Keamanan transfusi dalam jumlah besar dengan teknik ini
belum ditetapkan.
o Perdarahan pasca operasi pacta pasien dengan BT memanjang dan
kehilangan darah berlebihan dapat merespon terapi DDVAP, dan
perdarahan pasca operasi yang tidak dapat dikontrol dapat diberikan
recombinant factor VIla.
o Inhibisi fibrinolisis dengan aprotinin, EACA, asam traneksamat terbukti
mengurangi kehilangan darah mediastinum dan kebutuhan transfusi.
o Apabila perdarahan pasca operasi non-bedah terjadi, pastikan pasien
tidak dalam keadaan hipotermia dan heparin telah fully reversed. Pacta
tahap ini, administrasi obat dan transfusi trombosit, kriopresipitat, FFP,
dan PRC dapat diberikan.
Kelainan lainnya
o Penyakit hati kronis ~ BT memanjang merespon infusan DDVAP
o KID~ lihat pacta bab Koagulasi Intravaskular Diseminata
KOMPLIKASI
Perdarahan internal profunda, kerusakan sendi, infeksi
PROGNOSIS
Tergantung dari etiologi dan respon terapi
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi-
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Transfusi Darah
• RS non pendidikan : Unit Transfusi Darah
REFERENSI
1. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 23'd Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007
2. Baz R, Mekhail T. Bleeding Disorders. In : Carey W, Abelson A Dweik R, et al. Current Clinical
Medicine. 2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia: Elsevier. 2010.
3. Kaushansky K, Selighson U. Classification, Clinical Manifestations, and Evaluation of Disorders of
Hemostasis: Overview. In : Lichtman M, Beutler E, Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th
Edition. New York, McGraw-Hill. 2007
4. McMillan R. Evaluation of the Patient With a Possible Bleeding Disorder. In: Goldman, Ausiello.
Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
----1 5.
6.
Konkle B. Disorders of Platelets and Vessel Wall. In : Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL,
Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGraw-
Hill. 2012.
Escobar M, Roberts HR, White II GC. Hemophilia A and Hemophilia B. In : Lichtman M, Beutler E,
Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th Edition. New York, McGraw-Hill. 2007
7. Abrams CS, Bennett JS, Shattil SJ. Acquired Qualitative Platelets Disorders: Overview.ln: Lichtman
M, Beutler E, Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th Edition. New York, McGraw-Hill. 2007
HEMOGLOBI NOPATI
PENGERTIAN
Hemoglobinopati adalah kelainan dari struktur, fungsi, atau produksi hemolobin
(Hb) yang diturunkan secara genetik ataupun didapat. Hemoglobin normal pacta orang
dewasa (HbA) terdiri dari tetramer polipeptida globin yang mempunyai subunit atau
rantai yaitu 2a dan 2 ~. Rantai a berhubungan dengan kromosom 16, sedangkan
1
rantai ~ (non a) berhubungan dengan kromosom 11. Subunit tidak selalu ~ tetapi
dapat £ (embrionik), 8 (normal minor HbA2l atau y (fetus). Sel darah merah pacta
orang dewasa mempunyai 3 tipe yaitu HbA (a2 ~2) sebanyak 95 o/o, HbA2 (a2 82)
sebanyak 2.5 %, dan HbF (a2 y2) sebanyak 2.5 o/o. Perbedaan pacta ketiga tipe rantai
menentukan afinitas oksigen, kelarutan, dan stabilitas. Segera setelah lahir, produksi
rantai ~ baru dimulai, sedangkan produksi rantai y mulai menurun. Abnormalitas
rantai ~ tidak bermanifestasi pacta bulan pertama kehidupan. Mutasi pacta Hb dan
sindroma yang berhubungan dapat dilihat pacta tabel di bawah ini: 2
A Dewasa normal a2 ~2
A2 Dewasa normal (minor) a2o2
A Talasemia a, asimptomatik atau fatal Menurunnya atau tidak adanya sintesis rantai 16
a
A Talasemia ~ Menurunnya atau tidak adanya sintesis rantai 11
~
F Fetal (usia <6 bulan) a2y2
S Sickle cell disease/trait Lisin mengsubsitusi glutamat di posisi nomor · 11
6 pada rantai ~
H Terbentuk pada talasemia a berat ~4 16
·G-----MentJrunya:~Jsia-sel
deiran-meran,- --· ··· -· ~isin-mengsuasit\:Jsi-§1\Jtamat-diposisi-nomo~-- 11
anemia ringan.vaso-occ/usive 6 pada rantai ~
disease:
SC HbS dari 1 orang tua, HbC dari orang Lisin mengsubsitusi glutamat di posisi nomor 11
tua lainnya. Gejala ringan 6 pada rantai ~
D Asimptomatik, terkecuali jika Glutamat disubstitusi di nomor 121 pada 11
diturunkan bersama HbS rantai ~
E,-------Mikrositosis;-jarang-terjadianemia -- --Hsin-mengsubsiti:Jsi-di--nomor-26-J:><:ldarantai·-~- ------- -1+---
Ada 5 golongan dari hemoglobinopati yaitu:
l
fetal hemoglobin: persistensi exposures
HbF dengan kadar tinggi B. Sulfhemoglobin due to
sampai dewasa. toxic exposures
C. Carboxyhemoglobin
D. HbH in erythroleukemia
E. Elevated HbF in states of
erythroid stress and bone
marrow dysplasia
Acquired Methemoglobin dan
hemoglobinopathies sulfhemoglobin karena
paparan bahan toksik,
karboksihemoglobin, HbH
pada eritroleukemia,
meningkatnya HbF pada
sritroid stres dan displasia
sumsum tulang
PENGERTIAN
Kelainan biosintesis rantai a dan ~ globin yang bersifat diturunkan yaitu
menurunnya kecepatan produksi atau abnormalitas produksi satu atau lebih rantai
globin sehingga menyebabkan menurunnya produksi hemoglobin dan terjadi detruksi
berlebihan. Ada 2 tipe talasemia yaitu: 3•4
• Talasemia a: hilang atau berubahnya gen yang berhubungan dengan rantai globin a
o Paling banyak terjadi pada daerah Asia Tenggara, Timur Tengah, China, dan
keturunan Afrika
o Terbagi menjadi dua subtype yaitu mayor dan minor
• Talasemia ~: hilang a tau berubahnya gen yang berhubungan dengan rantai globin~
o Paling banyak terjadi pada Mediteranian
o Terbagi menjadi dua subtipe yaitu mayor (anemia Cooley) dan minor
DIAGNOSIS
label 3. Diagnosis Talasemia
• Gangguan • Splenomegali
perkembangan progresif
dan retardasi
mental
• Deformitas skel-
etaL artritis, nyeri
tulang
Talasemia ~ • Asimptomatik • Hb 9-11 gram/dl
minor • HbF meningkat pada 50
% kasus
• Sumsum tulang: hip-
erplasia ringan dari
eritroid, jarang disertai
inklusi sel darah merah
yang
Talasemia a Hemoglo- • Stillbirth atau hidup • Pucat anemia • Hb Bart+, Hb Port/and
bin Bart's dalam beberapa • Edema 10-20% dari total Hb
Hydrops jam setelah dila- • HbA dan Hb F negative
Fetalis Syn- hirkan • Hepatospleno-
drome megali • SOT: banyak sel darah
merah berinti.
i Hemo-
globin H
Disease
• Retikulosit mencapai 5 %
• HbH 5-40% dari total Hb.
• Jumlah HbA2 sedikit
menurun
• SOT: hipokromik, aniso-
poikilositosis.
Milder. • Splenomegali • Anemia ringan
Forms of • SOT: perubahan mor-
a -Thalas- fologi sel darah merah,
semia, hipokromik ringan.
Including
the Traits
£y6{3- • Neonatus: anemia • Talasemia heterozigot
Tha/assemia • Anak dan dewasa: • Jumlah HbA2 normal
asimptomatik
DIAGNOSIS BANDING
Anemia sideroblastik kbngenital,juvenile chronic myelogenous leukemia.
TATALAKSANA
• Transfusi darah:
Ditransfusi jika Hb terlalu rendah agar pertumbuhan normal
Jika ditransfusi terlalu dini maka talasemia intermedia dapat terlewatkan.
Transfusi dilakukan setiap 4 minggu pada pasien rawat jalan.
Ras, riwayat keluarga, usia saat pertama
keluhan pertama muncul, perkembangan
Penatalaksanaan umum
Mengatasi keluhan infeksi, penyakit tulang, atau gaga! jantung.
Jika ada defisiensi folat: diberikan suplementasi asam folat. Suplementasi tidak
diberikan jika sudah menjalani transfusi darah rutin.
Mengatasi gangguan akibat deformitas tulang tengkorak khususnya pada teliga,
hidung, dan tenggorokan, seperti infeksi sinus kronik dan penyakit telinga
tengah.
• Iron Chelation
Anak-anak yang mendapat transfusi dapat menyebabkan kelebihan besi
sehingga harus menjalani program chelation pada usia 2-3 tahun kehidupan.
Deferoxamine diberikan selama 8-12 jam melalui syringe pump, diinfuskan ke
dalam jaringan subkutan pada dinding anterior abdomen.
Diberikan jika kadar feritin serum mencapai 1000 gramjdl, atau setelah
transfusi ke 12-15.
Dosis inisial 20 mgjkg selama 5 malam dalam seminggu, bersamaan dengan
vitamin C 200 mg per oral, a tau setelah deferoxamine diberikan. Jika diberikan
sebelum pemberian deferoxamine dapat mencetuskan miokardiopati.
Jika kelebihan besi be rat terutama pad a pasien dengan komplikasi kardiak dan
endokrin, infus deferoxamine dapat diberikan sampai SO mg/kg berat badan
Feritin serum dijaga < 1500 gram/liter
Komplikasi: eritema lokal, nodul subkutan yang nyeri pada lokasi suntikan,
reaksi alergi, toksisitas neurosensori (30% kasus), penurunan pendengaran
sampai kehilangan pendengaran permanen, gangguan penglihatan, buta warna,
perubahan densitas tulang, retardasi mental, nyeri tulang.
Terapi jika muncul komplikasi: hidrokortison 5-10 mg secara infusan.
• Transplantasi sumsum tulang
Sebelum dilakukan transplantasi, sebaiknya dilakukan chelation secara adekuat
sampai transplantasi akan dilakukan
• Terapi spesifik talasemia
Penyakit HbH: tidak ada terapi spesifik, splenektomi mungkin dapat berguna
pada kasus anemia berat dan adanya splenomegali. Obat oksidan sebaiknya
tidak diberikan pada penyakit HbH,
Talasemia intermedia: observasi ketat pasien selama tahun pertama kehidupan.
Jika tanpa keluhan dan tidak ada deformitas pasien tidak perlu ditransfusi.
Jika selama observasi ditemui adanya gangguan pertumbuhan (retardasi a tau
keterbatasan dalam akivitas karena anemia) harus ditransfusi rutin. Splenektomi
KOMPLIKASI 5·6
Gagal jantung, gangguan hati, infeksi
PROGNOSIS
Talasemia berat dapat menyebabkan kematian karena gagal jantung terutama
pada usia 20 dan 30. Terapi dengan transfusi darah dan chelation secara adekuat
mempunyai prognosis yang baik dan meningkatkan kualitas hidup. Pencegahan
dengan skrining dan konseling dignostik pada pasangan yang mempunyai riwayat
talasemia dalam keluarga. Diagnosis antenatal dilakukan berdasarkan pemeriksaan
DNA pada amplifikasi PCR DNA fetus yang didapatkan dari amniosentesis atau biopsi
viii korionik. 1•5•6
REFERENSI
1. Benz E. Disorders of Hemoglobin. ln:Longo DL Kasper DL Jameson DL Fauci AS, Hauser SL
Loscalzo J. editors. Harrison's Principals of Internal Medicine 18'" ed. Me Grow Hill. Chapter 104
2. Wilson M, Forsyth P. Haemoglobinopathy and sickle cell disease. Continuing Education in
Anaesthesia, Critical Care & Pain.2012. Diunduh dari http:/ /ceaccp.oxfordjournals.org/ pad a
tanggal26 Mei 2012.
3. Shivashankara A.R, Jailkhani R, Kini A. Hemoglobinopathies In Dharwad. Journal of Clinical and
Diagnostic Research 2008 February; 2:593-599. Diunduh dari http://www.jcdr.net/back_issues.
asp?issn=0973-709x&year=2008&month= February&volume=2&issue=l &page=5 &id=l56 pada
tanggal 26 Mei 2012.
4. Weatherall S.Disorders of Globin Synthesis: The Thalassemias. In: Lichtman M, Beutler E, Kipps T,
editors. Williams Hematology 7'" ed. Me Grow Hill. Chapter 46.
5. Giardina PJ, Forget BG. Thalassemia syndromes. In: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS, et al.,
eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill
Livingstone; 2008:chap 41.
6. DeBaun MR, Vichinsky E. Hemoglobinopathies. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton
BF, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007:chap 462.
TROMBOSITOPENIA IMUN
PENGERTIAN
Immune Thrombocytopenia, atau yang sebelumnya dikenal dengan Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura yang kemudian menjadi Immune Thrombocytopenic Purpura
(ITP), merupakan suatu kelainan autoimun dimana terjadi destruksi imunologis
trombosit yang seringkali menjadi respon dari stimulus yang tidak diketahui. ITP
dapat terisolasi (primer) a tau berkaitan dengan kelainan lainnya (sekunder). Etiologi
sekunder ITP meliputi penyakit autoimun (terutama sindrom antibodi antifosfolipid),
infeksi virus (hepatitis C dan human immunodeficiency virusjHIV), dan beberapa
macam obat (tabel1).1 ITP primer didefinisikan sebagai hi tung trombosit < 100 x 10 9 /L
-I dan tidak ditemukan kelainan lain yang dapat menjadi penyebab trombositopenia. 2
Tabel 2. Kriteria Diagnosis ITP Kronis Menurut American Society of Hematology: DiagnosisEksklusi 4
• Anamnesis sesuai dengan diagnosis ITP kronis
• Pemeriksaan fisik normal kecuali adanya tanda trombositopenia (petekia, purpura, atau
perdarahan mukosa); tanpa adenopati atau splenomegali
• Hitung darah lengkap : trombositopenia terisolasi dengan trombosit besar tanpa anemia,
kecuali adanya perdarahan atau hemolisis imun
• Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan nilai normal atau peningkatan megakariosit (tidak
diperlukan dalam diagnosis kecuali manifestasi tidak biasa atau usia > 60 tahun)
• Pada klinis dan laboratorium tidak ditemukan penyebab lain dari trombositopenia
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
• Gejala perdarahan terisolasi yang konsisten dengan trombositopenia tanpa gejala
konstitusional (penurunan be rat badan signifikan, keringat mal am, nyeri tulang) 1
• Pada kasus akut, perlu ditanyakan riwayat infeksi yang mengawali seperti rubeola,
rubella, atau infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) 5
• Pada kasus kronis, perlu ditanyakan riwayat epistaksis berulang, menometrorrhagia,
infeksi hepatitis C, HIV, penyakit autoimun (LES)3.4
Pemeriksaan Fisik
• Perdarahan mukokutaneus (petekia, purpura, ekimosis) pada mukosa oral [gum
bleeding}, saluran cerna3.4
• Tanda infeksj3
• Tanda penyakit autoimun 3
• Jarang ditemukan hepatosplenomegali, limfadenopati, tidak ditemukanjaundice
atau stigmata kelainan kongenitaP
Pemeriksaan Penunjang 3
• Laboratorium : darah perifer lengkap, morfologi darah tepi, serologi virus (Dengue,
CMV, Epstein Barr Virus, hepatitis C, HIV, rubella), serologi LES, elektroforesis serum
protein, imunoglobulin, fungsi hati, defisiensi lgA atau monoclonal gammopathies
(selektif), tes Coomb.
• Pungsi sumsum tulang, dengan indikasi 6 (tidak rutin dikerjakan)
• Usia> 60 tahun dengan manifestasi atipik (Ielah, demam, nyeri sendi, makrositosis,
neutropenia
• Sebelum splenektomi pada pasien dengan diagnosis non-definitif
DIAGNOSIS BANDING
ITP-like syndrome pada penderita HIV atau hepatitis C, ITP sekunder imbas obat,
hipogamaglobulinemia. 4
TATALAKSANA
Prinsip tata laksana ITP ditentukan berdasarkan beratnya trombositopenia
dan terjadinya perdarahan. Tujuan tata laksana awal adalah mencapai keadaan
hemostatik, dengan jumlah hitung trombosit 2: 30.000x10 9 fL. Gam bar 1 di bawah
ini memperlihatkan tata laksana ITP sebelum dilakukan splenektomi. Splenektomi
direkomendasikan pada kasus dimana memerlukan lebih dari 12 bulan untuk
mecapai hi tung trombosit yang hemostatik dan kondisi tidak tole ran terhadap terapi
sebelumnya
Terapi diindikasikan pada semua pasien dengan keluhan perdarahan dan jumlah
hitung trombosit kurang dari 20.000 x 10 9 /L karena pada kondisi ini kurang dari
10% yang dapat mencapai remisi spontan. Pada kondisi dimana hitung trombosit
I
l
> 50.000 x 10 9 /L biasanya cukup dilakukan observasi saja meskipun beberapa kasus
memerlukan tata laksana lebih Ian jut. Secara umum, pada kondisi hitung trombosit
Emergency'
IV methylpre.:inisC>IOOO {1.0 gld X 1-3d)
IVIG (1.0 glkgld fer 2-3 days)
:!: IV snti-D (75 ~g•'kg)
±IV vincristine (1-2 mg}
± Platelet translusicn
;t; Factor VIla Initial Treatment'
I
~
Stable platelet count:
>30-50,DOOx10°/L
I
No therapy, observe
I
[
~ ~
'Platelet count: <20,000•10~/l 'Stable pllltelet coum: >30-50,000 •10 911.
ITP KRONIK
Tigapuluh sampai dengan empat puluh persen pasien tetap memiliki hitung
trombosit kuang dari 50.000 x 10 9 /L meskipun telah dilakukan splenektomi, hal ini
diakibatkan tidak respon maupun kekambuhan. Pada kondisi seperti ini, tujuan dari
pengobatan lebih ke arah mencapai kondisi trombosit hemostatik dengan efek sam ping
minimal, dibandingkan mencapai kesembuhan.
First-lim!' Therapy~
Second-line Third-line Therapy
1Vanti-CD20 Therapy
or Combination chemotherapy
Danazor + eilher Azathioprine ~-~ Cyclophosphamkle ---+I Slem-.:;ell transplantation
or Mycophenola!e mofetU (IV or oral)
--------------------- Cyctosporjne
Predniwne or IVIG pm
Experlmental Therapy
ThromOOpoietic factors
Berikut adalah terapi ITP sekunder pada keadaan khusus seperti tercantum pada
tabel 3.
Tabel 3. Terapi ITP Sekunder pada Keadaan Khusus'
ITP sekunder terkait HIV • Tatalaksana infeksi HIV dengan antiviral
• IVIG, kortikosteroid, atau anti-D
• Apabila gagal. pertimbangkan splenektomi
ITP-sekl:lncler terj(ait hepetitis C- - • Terapi entiviralbila tidak ada kontraindikasi
• Observasi ketat karena interferon dapat memperburuk
kondisi trombositopenia
• Bila diperlukan, mulai terapi IVIG
ITP sekunder terkait H. pylori • Skrining H. pylori sebelum terapi dimulai
• Terapi eradikasi H. pylori bila diemukan infeksi H Pylori
ITP pada kehamilan • Kortikosteroid atau IVIG
- -· - -------------------------- ~-Metode persalinansesuai inClTICasroEstefnc- --- - - -- ··· - ·
KOMPLIKASI
Infeksi, ITP berat, diabetes-induced steroid, hipertensi, imunokompromais
PROGNOSIS
Prognosis pada dewasa baik, sebagian besar pasien memiliki hi tung trombosit aman
pasca terapi. Dalam studi Italia tahun 2010, 310 anak dan dewasa dengan ITP kronis,
sebanyak 40,3% dapat mempertahankan hitung trombositnya > SO x 10 9 /L dengan
prednison dosis rendah atau terapi lainnya. Hanya 11% yang tetap memiliki hi tung
trombositrendah (< 30 x 109 /L) dalam follow-up selama 121 bulan; dan 56% diantaranya
menjadi ITP be rat karena tidak diterapi. Dari 109 pasien pasca splenektomi, 66% merespon
dengan baik dan 34% lainnya dilaporkan relaps. 8 Risiko perdarahan fatal pada dewasa
dengan ITP kronis pada analisis tahunan sebanyak 1,6-3,9 kasus per 100 pasien dalam 1
tahun. Risiko ini lebih rendah pada usia< 40 tahun dan lebih tinggi pada usia> 60 tahun. 9
l
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi-
Onkologi Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Transfusi Darah
• RS non pendidikan : Unit Transfusi Darah
REFERENSI
1. Neunert C, Lim W, Crowther M, et al. The American Society of Hematology 2011 evidence-based
practice guideline for immune thrombocytopenia. Blood 2011 ;117: 4190-4207. Diunduh dari http:/I
bloodjournal.hematologylibrary.org/content/117 /16/4190.full.pdf pad a tanggal 17 Mei 2012.
2. Rodeghiero F, Stasi R, Gernsheimer T, et al. Standardization of terminology, definitions and outcome
criteria in immune thrombocytopenic purpura of adults and children: report from an international
working group. Blood. 2009; 113( 11) :2386-2393.
3. Konkle B. Disorders of Platelets and Vessel Wall. In : Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL
Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181" Edition. New York, McGraw-
Hill. 2012.
4. McMillan R. Hemorrhagic Disorders: Abnormalities of Platelet and Vascular Function. In: Goldman,
Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
5. Purwanto I. Trombositopenia Purpura lmun. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku
Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1165-73.
6. Baz R, Mekhail T. Disorder of Platelet Function and Number. In : Carey W, Abelson A, Dweik R,
et al. Current Clinical Medicine. 2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia:
Elsevier. 2010. Hal577-8
7. Cines DB, Bussel JB.How I treat Idiopathic Trombocytopenia purpura. Blood.2005;1 06: 2244-9.
8. Vianelli N, Valdre L Fiacchini M, et al. Long-term follow-up of idiopathic thrombocytopenic
purpura in 310 patients. Haematologica. 2001 ;86:504-509. [Abstrak]
9. Cohen YC, Djulbegovic B, Shamai-Lubovitz 0, Mozes B. The bleeding risk and natural history of
idiopathic thrombocytopenic purpura in patients with persistent low platelet counts. Arch Intern
Med. 2000;160:1630-1638. [Abstrak]
KOAGULASIINTRAVASKULAR
DISEMINATA
PENGERTIAN
Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) atau Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC), juga dikenal dengan sebutan consumptive coagulopathy atau
defibrination, merupakan suatu sindrom klinikopatologis yang ditandai dengan
pembentukan fibrin intravaskular yang menyebar akibat aktivitas protease darah
berlebihan yang mengganggu mekanisme antikoagulan alami. Beberapa kondisi yang
berkaitan dengan KID seperti tercantum pada tabel 1.1.2
Trauma dan jejas Jejas otak (luka tembak), luka bakar luas, emboli lemak,
jaringan rhabdomiolisis
Gangguan vaskular Giant hemangioma (Kasabach-Merritt syndrome), aneurisma
pembuluh darah besar (mis. aorta)
Komplikasi obstetri Solusio plasenta, emboli air ketuban, dead fetus syndrome, abortus
septik
Keganasan Adenokarsinoma (prostat, pankreas, dll), keganasan hematologis
(acute promye/ocytic leukemia)
Gangguan imunologis Reaksi transfusi hemolisis akut. reaksi penolakan organ/jaringan
transplan
Obat-obatan Agen fibrinolisis, aprotinin, warfarin (khususnya pada neonatus
dengan defisiensi protein C), konsentrat kompleks protrombin, obat
rekreasional (amfetamin)
Toksin I racun Bisa ular, serangga
Penyakit hati Gagal hati fulminan, sirosis, perlemakan hati dalam kehamilan
Lainnya Syok, sindrom distres pernapasan, transfusi masif
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis KID dapat ditegakkan dengan sistem skoring The International Society
for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) seperti tercantum pada tabel 2. Skoring ini
memberikan 5-tahap diagnosis KID dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium
sederhana yang tersedia di hampir semua laboratorium rumah sakit. Skoring ini juga
dapat digunakan pada KID akut (misalnya sepsis) maupun kronis (mis. malformasi
vaskular dan aneurisma) dan memiliki sensitivitas 91 o/o dan spesifisitas 97% untuk
KID nyata [overt DICP
DIAGNOSIS BANDING
Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, kelainan mikroangiopati.l.2
TATALAKSANA
Tatalaksana KID terdiri dari :2•6
1. Identifikasi dan tata laksana penyakit komorbid yang mendasari terjadinya KID
dan terapi suportif tanda vital
2. Terapi tidak dibutuhkan apabila gejala ringan, asimptomatik, dan sembuh sendiri
[self-limited)
3. Menjaga keseimbangan hemodinamik
(i) ~~
0 ' ]
4. Terapi komponen darah (lebih lengkap lihat pada bab prosedur Transfusi Darah)
Indikasi transfusi trombosit :
i. Perdarahan aktif atau
ii. Risiko tinggi perdarahan (mis. pasien pasca operasi atau akan menjalani
prosedur invasif dengan hitung trombosit < SOx 10 9 /LP atau
iii. Pasien tanpa perdarahan dengan hitung trombosit 10-20 x 10 9 /L. 3
Fresh-frozen plasma (FFP) 3
i. Dapat diberikan pada pasien KID dengan perdarahan dan aPTT dan PT
memanjang, atau level fibrinogen< SO mgjdL
ii. Dosis inisial : 1S-30 mljkg
iii. Apabila transfusi FFP tidak memungkinkan (mis. karena adanya fluid
overload) 7 pertimbangkan faktor konsentrat seperti konsentrat
kompleks protrombin
Trombosit jika :
1. Trombosit < 10.000/mm 2 atau 20.000 jmm2 dengan infeksi berat
-, 2. Terdapat perdarahan dengan jumlah trombosit < SO.OOO/mm2
Pada kasus dengan defisiensi fibrinogen spesifik 7 koreksi dengan purified
fibrinogen concentrates atau kriopresipitat. 3 1 kantung kriopresipitat/10 kg
BB dapat meningkatkan kadar fibrinogen 100 mg/dl.
Pad a kasus tertentu, pertimbangkan kriopresipitat (mis. pada hipofibrinogenemia
berat <1 g/L) 3, antitrombin III
S. Terapi obat
Antikoagulan diberikan pada KID dengan manifestasi predominan trombosis
seperti tromboemboli arteria tau vena, purpura fulminan be rat yang berkaitan
dengan iskemi atau infark kulit akral, atau pada pasien KID kritis tanpa
perdarahan dapat diberikan antikoagulan profilaksis unfractioned heparin
(UFH) diberikan 10 unit/kg/jam tanpa target aPTT sampai 1,S-2,S x kontrol
atau LMWH. 3
Konsentrat faktor koagulan : recombinant human activated protein C (Drotrecogin
alfa) infus selama 96 jam 2 7 terbukti efektifpada pasien KID dengan sepsis berat
dan dalam seting ICU karena adanya risiko perdarahan.5
Antifibrinolisis pada umumnya merupakan kontraindikasi kecuali pada
perdarahan yang mengancam nyawa dan kegagalan terapi komponen darah
KID PADA KEADAAN KHUSUS 6
• Kehamilan
Solusio plasenta
Derajat keparahan berbeda-beda,dari ringan hingga syok dan kematian janin.
Penggantian volum secara cepat dan evakuasi uterus merupakan terapi
terpilih. Transfusi kriopresipitat, FFP, dan trombosit sebaiknya diberikan
bila perdarahan masif terjadi. Akan tetapi, bila tidak ada perdarahan berat,
pemberian komponen darah tidak perlu karena deplesi faktor koagulasi
meningkat secara cepat saat persalinan. Heparin atau antifibrinolisis tidak
diindikasikan.
Emboli cairan ketuban
Pemicu KID adalah adanya faktor jaringanjtissue factor (TF) pada cairan
ketuban. Oklusi ekstensifpada arteri pulmonalis dan respon anafilaktoid akut
merupakan tanda dari SIRS [systemic inflammatory response syndrome) berat
yang memicu dispneu tiba-tiba, sianosis, kor pulmonal akut, disfungsi ventrikel
kiri, syok, dan kejang. Gejala ini terjadi dalam hitungan me nit sampai beberapa
jam diikuti perdarahan berat yang disebabkan oleh atonia uteri, tempat
tusukan, saluran cerna, dan organ lainnya. Cara terbaik untuk menurunkan
mortalitas adalah terminasi dini pada pasien risiko tinggi dan pencegahan uteri
tetani dan hipertonus saat persalinan. Saat sindrom dikenali, sangat penting
untuk terminasi kehamilan segera dengan support paru dan kardiovaskular.
Preeklampsia dan eklampsia
Pemberian heparin tidak menunjukkan manfaat bermakna
Sindrom HELLP
Sindrom hemolisis (H), peningkatan enzim hati (E), trombositopenia (LP),
dan nyeri epigastrium akut merupakan komplikasi dari hipertensi kehamilan.
Tatalaksana meliputi terapi suportif, observasi ketat, dan terapi komponen
darah. Dengan beberapa pengecualian, persalinan tidak harus dilakukan per
abdominam. Sindrom HELLP cenderung berulang.
Sepsis
Terapi untuk semua kasus KID terkait sepsis termasuk antibiotik, dukungan
fungsi vital, dan intervensi bedah untuk membuang sarang infeksi lokal. Dapat
dipertimbangkan aborsi atau bahkan histerektomi.
Dead Fetus Syndrome
Beberapa minggu setelah kematian janin, sekitar 1/3 pasien menunjukkan
tanda laboratorium KID, yang biasanya diikuti dengan perdarahan. Komplikasi
jarang terjadi karena induksi persalinan dilakukan segera setelah diagnosis
ditegakkan. Namun apabila induksi persalinan harus ditunda, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan serial koagulasi darah. Apabila kasus kematian janin
pada kehamilan multipel aterm, terapi dimulai menurut diskusi. Namun hila
terjadi saat preterm, pemberian heparin jangka panjang dapat bermanfaat.
Perlemakan hati akut
Terapi primer pada pasien ini adalah persalinan lebih awal dan terapi suportif.
Komplikasi yang berpotensi leta! adalah pankreatitis.
KOMPLIKASI
Gaga! organ, trombosis vena dalam, KID fulminan
PROGNOSIS
Tergantung penyebab dan respon terhadap terapi
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Unit Transfusi Darah
• RS non pendidikan :Unit Transfusi Darah
REFERENSI
1. Arruda V, High KA. Coagulation Disorders. In :Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson
JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
2. Schafer AI. Hemorrhagic Disorders : Disseminated Intravascular Coagulation, Liver Failure, and
Vitamin K Deficiency. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia. Saunders,
Elsevier. 2008.
3. Levi M, Toh CH, Thachil J, Watson HG. Guidelines for the diagnosis and management of
disseminated intravascular coagulation. British Journal of Haematology 2009; 145:24-33
4. Sukrisman L. Koagulasi lntravaskular Diseminata. Dalam : Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I, et al.
Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1319-22.
5. Vincent JL Bernard GR. BealeR, et al. Drotrecogin alfa (activated) treatment in severe sepsis frorn
the global open-label trial ENHANCE: further evidence for survival and safety and implications
for early treatment. Crit Care Med. 2005;33:2266-2277.
6. Levi M, Selighson U. Disseminated lntravascularCoagulation.ln: Kaushansky K. Lichtman M, Beutler
E. et al. Williams Hematology. 8th Edition. China, McGraw-Hill. 2012
LEUKEMIA
PENGERTIAN
Leukemia merupakan penyakit proliferasi neoplastik yang sangat cepat dan
progresif sehingga susunan sumsum tulang normal digantikan oleh sel primitif dan
sel induk darah. 1 Leukemia akut dibagi dua berdasarkan sel yang mendominasi yaitu:
1. Leukemia seri mieloid: akut dan kronik
2. Leukemia seri limfoid: akut dan kronik
Berikut akan dijelaskan satu persatu mengenai jenis leukemia terse but diatas.
PENGERTIAN
Leukemia mieloblastik akut adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Mudah Ielah, dapat ditemukan gusi berdarah, mimisan, anoreksia, berat badan
turun. 2
Pemeriksaan Fisik
Peteki a tau purpura yang biasanya terdapat pada ekstremitas bawah, tanda-tanda
infeksi tenggorokan, paru-paru, kulit, daerah perirektal, dll, demam, gejala leukostatis:
gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada, dan priapismus, hepatomegali,
splenomegali. 1•2
Laboratorium
• Pemeriksaan morfologi sel: tampak blast, banyak granul, auer rods (eusinofil
batang-seperti inklusi)
• Pengecatan sitokimia (sudan black b dan mieloperoksidase): hasil pengecatan
sitokimia pada setiap tipe LMA dapat dilihat pada tabell.
• Immunofenotip: CD13 dan CD33, CD41 berkaitan dengan M7.
DIAGNOSIS BANDING
Leukemia mieloblastik kronik, sindrom dismielipoetik. 3
TATALAKSANA 1
1. Tatalaksana standar 7+3: kemoterapi induksi dengan sitarabin 100mg/m 2
diberikan secara infuse kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60mg/m 2I
hari iv selama 3 hari
2. Tatalaksana pasca remisi dapat dilihat pada tabel 2.
PROGNOSIS
Sekitar 80-90% pasien dibawah 60 tahun dan 50-60% pasien usia lanjut mengalami
remisi komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan obat tunggal,3
Sedang hila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60%
pasien. Durasi median remisi komplit kedua umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa
HSCT dengan disease free survival kurang dari 10 bulan. 1
PENGERTIAN
Leukemia mieloblastik kronik ganguan mieloproliferatif dari primitive hemapoietic
stem cell yang dikarakteristikan dengan produksi berlebihan sel seri myeloid. 4 LMK
diidentifikasi dengan ditemukannya ekspansi klonal dari hematopoietic stem cell dengan
translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan 2Z.Z
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesa
Fatigue, malaise, be rat badan turun, demam, dapat ditemukan nyeri kuadran kiri atas. 2
Pemeriksaan Fisik
Splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, perdarahan (jarang), dapat ditemukan
arthritis gout, tanda leukositosis berat seperti infark miokard, vasoocc/usive disease,
cerebrovascular accidents, trombosis vena, gangguan penglihatan, insufisiensi
pulmonal, tanda-tanda infeksi. 4
Laboratorium 4
• Leukositosis (10.000-500.000 jm 3 ) didominasi oleh neutrofil, basofil dan eusinofil
meningkat. Level Leukosit alkaline phosphatase (LAP) rendah. Hemoglobin
> 11 g% ditemukan pada 1/3 kasus. Level serum vitamin B12, laktat dehidrogenase,
asam urat, lisosim.
' 512
• Pada sumsum tulang tampak hiperselular dengan hiperplasia mieloid, meningkatnya
retisulin atau fibrosis kolagen.
o Kronis: < 10% blast (perifer atau sumsum tulang)
o Akselerasi: 10-20% blast
o Blastik: >20% bias (2/3 mieloid, 1/3 limfoid)
• Sitogenetik ditemukan abnormalitas t(9;22)(q34;q11.2).
DIAGNOSIS BANDING
Polisitemia rubra vera 3
TATALAKSANA2
• Non transplantasi: imatinib mesylate
• Transplantasi: (allogenic stem cell transplantation)
• HSCT otologi
• Interferon a
• Kemoterapi: hidroksiurea
• Leukapharesis dan splenektomi
PROGNOSIS
Dengan terapi imatinib, perkiraan angka bertahan 5 tahun . 90%. Dengan
(allogeneic stem cell transplantation), angka kesembuhan 40-80% pada pasien dalam
fase kronik dari LMK, 15-40% pada pasien dalan fase akselerasi LMK, 2-20% pada
pasien fase blastik LMK. 4
PENGERTIAN
Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid.
Dapat terjadi pada limfosit T maupun limfosit B. 5
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis4
• Gejala anemia: rasa lemasjlemah, pucat, pusing, sesak napasjgagal jantung,
berkunang-kunang
• Tanda-tanda infeksi: sering demam
• Akibat trombositopenia: perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan
gusi, perdarahan di bawah kulit, hematuria, huang air besar cam pur darah, muntah
darah)
Pemeriksaan Fisik
Pucat, demam, pembesaran kelenjar getah bening (KGB) superfisial, organomegali,
petekiejpurpuraj ekimosis. 5
Pemeriksaan Penunjang5
• Laboratorium: darah tepi lengkap (termasuk retikulosit dan hitung jenis), LDH,
asam urat, fungsi ginjal, fungsi hati, serologi virus (hepatitis, HSV, EBV, CMV)
• Morfologi : tidak ada granul
• Sitologi aspirasi sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat
banyak, hitung jenis sel blas danjatau progranulosit > 30%
• Pengecatan sitokimia, sudan black dan mieloperoksidase negatif, pewarnaan asam
fostase positif pada limfosit T ganas, pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) akan
positif pada limfosit B.
• Sitogenetik: pada LLA sel B ditemukan t(8;14), t(2;8), dan t(8;22).
DIAGNOSIS BANDING
Leukemia limfositik kronik, hairy cell leukemia, limfoma, atypical lymphocytosis
of mononucleosis dan pertussis. 4
TATALAKSANA
• Kombinasi kemoterapi dengan daunorubisin, vinsristin, prednison dan
asparaginase. 3
• Transplantasi sumsum tulang bagi pasien yang memiliki risiko tinggi unuk kambuh
(kromosom Philadelphia, perubahan susunan gen MLL, hiperleukositosis, gagal
mencapai remisi komplit dalam 4 minggu). 5
KOMPLIKASI
Sindrom lis is tumor, infeksi neutropenia dan perdarahan trombopeniajkoagulasi
intravaskular diseminata. 5
PROGNOSIS
Kebanyakan pasien dewasa mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan kemoterapi
saja, dan hanya 30% yang bertahan hidup lama. (Overall disease free survival rate)
untuk pasien dewasa kira-kira 30%. Pasien usia> 60 tahun mempunyai (disease free
survival rate) 10% setelah remisi komplit. 5
PENGERTIAN
Leukemia limfoblastik kronik (LLK) adalah suatu keganasan hematologik yang
ditandai oleh proliferasi klonal dan penumpukan limfosit 8 neoplastik dalam darah,
sumsum tulang, limfonodi, limpa, hati, dan organ-organ lain. 6
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Hilangnya nafsu makan, menurunnya kemampuan latihanjolahraga, demam,
keringat malam, dapat juga tanpa gejala. 3
Pemereiksaan Fisik
Limfadenopati terlokalisir a tau generalisata, hepatosplenomegali. 3
Laboratorium 6
• Hapus darah tepi: peningkatan jumlah leukosit dengan limfositosis kecil sekitar
95% (kriteria diagnostik).
• Imunofenotip khas limfosit (CDS+, CD19+, CD20+, CD23+, CD22-/+)
• Sumsum tulang: normal atau hiperselular, infiltrasi limfosit pada sumsum tulang
> 30%
• Sitogenetik: 11q22-23 & 17p13 unfavorable, trisomy 12 neutral, 13q14 favorable
DIAGNOSIS BANDING
Pertussis, (Waldenstrom macroglobulinemia), hairy cell leukemia, mantle cell
lymphoma, leukemia limfoplasmasitik, leukemia sel T kronik. 3
KOMPLIKASI
Infeksi, hipogamaglobulinemia, transformasi menjadi keganasan limfoid yang
progresif, komplikasi akibat penyakit autoimun, keganasan. 6
PROGNOSIS
Prognosis tergantung stadium, lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 3.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Kurnianda. Johan. Leukemia mieloblastik akut. Dalam Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bam bang. Alwi,
ldrus. Simadibrata. Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta
:Balai Penerbit FKUI;2009.p. 1234-40.
2. Acute and chronic myeloid leukemia. Dalam: Fauci A Kasper D. Longo D. Braunwald E. Hauser
S. Jameson J. Loscalzo J. editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies. 2011.
3. General approach to anemia. Dalam : McPhee. Stephen J. Papadakis. Maxine A. Current
Medical Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011
4. The acute Leukemia. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders :
Philadhelphia. 2007.
5. Fianza. Panji Irani. Leukemia limfoblasyik akut. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi,
ldrus. Simadibrata. Marcellus. Setiati. Siti. Buku ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat
lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM ; 2009. Halaman 1266-1275.
6. Rotty. Linda W.A. Leukemia Limfositik Kronik. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setyohadi. Bambang. Alwi.
ldrus. Simadibrata. Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat
lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM; 2009. Halaman 127 6-82.
LIMFOMA
PENGERTIAN
Limfoma adalah keganasan sellimfoid yang terjadi pada jaringan limfoid. 1 Limfoma
dibagi menjadi 2 macam; 1. Limfoma non Hodgkin, dan 2. Limfoma Hodgkin.
PENGERTIAN
Limfoma non Hodgkin adalah kelompok keganasan primer limfosit yang dapat
berasal dari limfosit B, limfosit T, dan kadang berasal dari sel NK (natural Killer).l
Klasifikasi Limfoma non Hodgkin dapat dilihat pacta tabel 1.
Pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih sati sisi diafragma
112 : pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih satu sis diafragma
113 : pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma
liE : pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra
limfatik tidak difus I batas tegas
IV Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1
Umum
• Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum : berat badan menurun
10% dalam waktu 6 bulan, demam tinggi. 38° dalam waktu 1 minggu tanpa sebab,
keringat malam.
• Keluhan anemia
• Keluhan organ
• Penggunaan obat (diphantoine)
Khusus
• Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis luas) dan lain-lain
Pemeriksaan Fisik
Limfadenopati yang sangat besar dan cepat berkembang, hepatomegali,
splenomegali, masa abdomen yang besar (biasanya pada limfoma burkittV masa
testikular, lesi kulit. 3
Laboratorium
Darah lengkap, morfologi darah tepi, urine lengkap, SGOT /SGPT, LDH, protein total,
albumin, asam urat, alkali fosfatase, gula darah puasa dan glukosa darah 2 jam post
prandial, elektrolit: natrium, kalium, klorida, Kalsium, fosfat. Gamma GT, cholinesterase
(CHE), LDH/fraksi, serum protein elektroforesis (SPE), Tes HIV, imuno elektroforese
(IEP), tes coombs, B2 mikroglobulin. Biopsi sumsum tulang. 2
DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin, limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis, tumor
padat yang lain. 1
TATALAKSANA4
Tatalaksana yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Tatalaksana
yang dapat dilakukan adalah:
1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)jindolen:
Pada prinsipnya simtomatik
• Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu: COP
(Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone)
• Radioterapi: LNH sangat radiosensitif. Radioterapi ini dapat dilakukan untuk
lokal dan paliatif.
• Radioterapi: Low Dose TO/+ Involved Field Radiotherapy saja.
2. Derajat Keganasan Mengah (DKM)jagresiflimfoma
• Stadium 1: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU)+radioterapi CHOP
(Cyclophosphamide, Hydroxydounomycin, Oncovin, Prednisone)
• Stadium II- IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk
tujuan paliasi.
3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT)
DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik)
• Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:
1. setelah siklus kemoterapi kedua dan keempat
2. setelah siklus pengobatan lengkap
KOMPLIKASI 4
Akibat langsung penyakitnya:
• Penekanan terhadap organ khususnya jalan napas, usus, dan saraf
• Mudah terjadi infeksi, bisa fatal
Akibat efek sam ping pengobatan:
• Aplasia sumsum tulang
• Gagal jan tung oleh obat golongan antrasiklin
• Gagal ginjal oleh obat cisplatin
• Neuritis oleh obat vinkristin
PROGNOSIS
Indolen : respon kemoterapi turun, tapi median survival panjang
2 78% 51%
~3 52% 35%
2 67% 51%
3 55% 43%
0 10% 94%
PENGERTIAN
Limfoma Hodgkin adalah keganasan limforetikular yaitu limfoma malignum dimana
secara histopatologis ditemukan sel reed-sternberg. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesa
Demam, berkeringat pada malam hari, penurunan berat badan, lemah badan,
pruritus, pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri, dapat dijumpai nyeri
abdomen atau nyeri tulang. 1
Pemeriksaan Fisik2
• Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak nyeri
• Demam, tipe pel-ebstein
• Hepatosplenomegali
• Neuropati
Laboratorium
Darah : anemia, eosinofilia, peningkatan LED, pad a flow-cytometry dapat terdeteksi
limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi, peningkatan ureum kreatinin,
hiperkalsemia, hiperurikemia, biopsi sumsum tulang, CT scan.
DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin, limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis, tumor
padat yang lain. 1
TATALAKSANA
Target tatalaksana limfoma Hodgkin adalah menghancurkan sebanyak mungkin
sel kanker menuju remisi penyakit. Pengobatan limfoma Hodgkin adalah dengan
radioterapi meliputi Extended Field radiotherapy (EFRT), Involved Field Radiotherapy
(IFRT) dan radioterapi (RT) ditambah dengan kemoterapi. Regimen kemoterapi yang
paling banyak digunakan adalah doxorubicin, bleomycin, vinblastine, dan dacarbazine
(ABVD) dan mechlorethamine, vincristine, procarbazin, dan prednisone (MOPP), a tau
kombinasi obat dari kedua regimen ini. 5
KOMPLIKASI
Efusi perikardial, metastasis ke tulang.
PROGNOSIS
Ada 7 faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progesi penyakit
FFR (Freedom From Progression), yaitu: 1. Jenis kelamin, 2. Usia> 45 tahun, 3. Stadium
IV, 4. Hb <10 gr%, 5. Leukosit > 15000jmm3, 6. Limfosit < 600jmm 3 atau < 8% leukosit,
7. Serum albumin< 4 gr%. Pasien tanpa faktor risiko FFR = 84%, dengan 1 faktor risiko
FFR = 77%, dengi'ln dia faktor risiko FFR = 67%, dengan tiga faktor risiko = 60%, dengan
empat faktor risiko =51%, dengan lima atau lebih faktor risiko = 42%.5
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen THT, Patologi Anatomi, Radiologi/Radioterapi
• RS non pendidikan : Bagian THT, Patologi Anatomi, Radiologi/Radioterapi
REFERENSI
1. Reksodiputro, AH. lrawan C. Limfoma non Hodgkin. In: Sudoyo, Aru W. Setyohadi. Bambang.
Alwi. ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati. Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V.
Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2009.p. 1251-61.
2. Malignancies of Limphoid cells. Dalam : Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'" ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011
3. Hsia CC. Howson-Jan K, Rizkalla KS. Hodgkin lymphoma with cutaneous involvement. Dermatol
Online J. May 15 2009;15(5):5. [Medline].
4. Abdulmuthalib. Limfoma non-Hodgkin. In: Simadibrata M. Setiati S, Alwi L Oemardi M. Gani RA
Mansjoer A editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM; 1999. p. 113-4.
5. Blood Disorder. Dalam: Mcphee, Stephen J. Papadakis, Maxine A Curret Medical Diagnosis and
Ttreatment. The MacGraw Hill Companies. 2011
6. Celiqny P, Solal. Et all. Follicular lymphoma international prognostic index. Blood 2004
Sep 1; 104(5): 1258-65. Epub 2004 May 4. Diunduh 'pad a : http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/15126323 pada tanggal29 mei 2012.
POLISITEMIA VERA
PENGERTIAN
Polisitemia adalah kelainan sistem hemopoesis yang merupakan bagian dari
penyakit mieloproilferatifyang dihubungkan dengan peningkatan jumlah dan volume
sel darah merah (eritrosit) di atas ambang batas nilai normal dalam sirkulasi darah,
tanpa memperdulikan jumlah leukosit dan trombosit. Disebut polisitemia vera bila
sebagian populasi eritrosit berasal dari suatu klan sel induk darah yang abnormal
(tidak membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya). 1 Perjalanan klinis :2
1. Fase eritrositik atau fase polisitemia
Berlangsung 5-25 tahun, membutuhkan flebotomi teratur untuk mengendalikan
viskositas darah dalam batas normal.
2. Fase burn out atau spent out
Kebutuhan flebotomi menurun jauh, kesannya seperti remisi, kadangtimbul anemia.
3. Fase mielofibrotik
Bila terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, menyerupai mielofibrosis dan
metaplasia mieloid
4. Fase terminal
Berbeda dengan polisitemia sekunder (eritrositosis sekunder) yang kadar eritropoetin
meningkat secara fisiologis sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat
atau eritropoetin meningkat secara non fisiologis pacta sindrom paraneoplastik sebagai
manifestasi neoplasma lain yang mensekresi eritropoetin. Polisitemia sekunder ditandai
dengan peningkatan hanya pacta jumlah eritrosit dalam darah, tanpa peningkatan sel
darah putih dan splenomegali. Keadaan ini dapat disebabkan karena penyakit lain seperti
infeksi paru pacta penyakit paru obstru~tif kronis dengan cor pulmonale. 3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala klinis berjalan lambat dan tidak terdeteksi, umumnya pacta decade ke 6,
meskipun mungkin terjadi pacta usia anak atau usia tua. Gejala klinis terbagi menjadi
3 fase: 1•3
• Gejala awal: gejala sangat minimal dan dapat asimptomatik walaupun telah diketahui
melalui tes laboratorium. Gejala awal biasanya sakit kepala (48%), telinga berdenging
(4 7%), mudah Ielah (4 7%), gangguan daya ingat, susah bernapas (26%), darah tinggi
(72%), gangguan penglihatan (31 o/o), rasa panas pada tangan atau kaki (29%), gatal
(43%), perdarahan dari hidung, lam bung (24%), atau sakit tulang (26%)
• Gejala akhir dan komplikasi: perdarahan atau thrombosis
• Fase splenomegali: sekitar 30 o/o dari gejala akhir berkembang menjadi fase
spelnomegali. Pada fase ini terjadi kegagalan sumsum tulang sehingga timbul
anemia, kebutuhan transfusi meningkat, pembesaran hati dan limpa.
Pemeriksaan Fisik
Berkeringat, pembesaran limpa, gangguan neurologis seperti gangguan penglihatan
dan transient ischemic attacks (T!As). Tekanan darah sistolik dapat meningkat karena
peningkatan masa sel darah merah. Dapat dijumpai perdarahan (bruising, epistaksis,
perdarahan saluran cerna). Eritromelalgia yang terdiri dari eritema, rasa terbakar, dan
nyeri pada ekstremitas merupakan komplikasi dari trombositosis.1.3
Pemeriksaan Penunjang 3
• Eritrosit dan hematokrit: meningkat
• Leukosit: neutrofilia absolut, basofilia (pada kasus tidak terkontrol)
• Trombosit: meningkat pada sebagian pasien saat didiagnosis, dapat melebihi
1000 x 10 9 /liter
• Leukosit alkalin fosfat: meningkat pada 70 o/o
• Serum besi, TIBC (Total Iron Binding Capacity), Ferritin serum: jika ada perdarahan
atau setelah plebotomi.
• B12 serum: meningkat karena peningkatan pemecahan leukosit
• Hiperurisemia: timbul sebagai akibat mielopoiesis hiperproliferatif
• Eritropoietin plasma: normal atau rendah. Digunakan untuk membedakan kelainan
polisitemia lain.
• Saturasi oksigen arteri: < 63 mmHg (10 o/o pasien)
• Pemeriksaan massa sel darah merah (Red Cell Mass): mahal dan membutuhkan
keahlian pemeriksan. Tidak dapat membedan polisitemia primer dan sekunder.
• Kultur bone marrow: melihat koloni eritroid endogen spesifik dansensitif untuk
diagnosis polisitemia vera.
• Bone Marrow: hiperselular, tidak adanya cadangan besi, menyingkirkan kelainan
mieloproliferatif lain
International Polycythemia Study Group IP
Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria
a. A1 +A2+A3 atau
b. A1 +A2+ 2 kategori B
Kategori A 1
1. Meningkatnya mas sa sel darah merah diukur dengan krom radioaktif Cr-51. Pada
pria 36 ml/kg dan pada wanita 32 mljkg.
2. Saturasi oksigen arterial92% (pada polisitemia vera, saturasi oksigen tidak menurun)
3. Splenomegali
Kategori 81
1. Trombositosis: trombosit 400.000/ml
2. Leukositosis: leukosit 12.000/ml (tidak ada infeksi)
3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100 (tanpa ada panas/infeksi)
4. Kadar vitamin B12 > 900 pgjml dan atau UB 12 BC dalam serum 2200 pgjml
2
Klasifikasi berdasarkan WHO (World Health Organization):
Peningkatan masa sel darah merah tanpa adanya pertumbuhan spotan eritroid pada
kultur dan:
• Satu di antara kriteria berikut: splenomegali, abnormalitas kariotipikselain t9:22,
adanya formasi koloni eritroid endogen; atau
• Dua di antara berikut: Jumlah trombosit > 400 x 10 9 /liter, sel darah putih > 12 x
10 9 /liter, aspirasi sumsum tulang menunjukkan panmielosis, dan eritropoietin
serum menurun
DIAGNOSIS BANDING
Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah atau eritropoetin
meningkat akibat manifestasi sindrom paraneoplastik4
TATALAKSANA
Prinsip pengobatan 2
A. HIDRASI
Dehidrasi dapat mencetuskan terjadinya trombosis, sehingga berikan pasien
hidrasi yang cukup, terutama dengan kelainan saluran cerna. 3
B. FLEBOTOMI
Pacta PV tujuan prosedur flebotomi adalah mempertahankan hematokrit 42% pacta
wanita dan 4 7% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan
shear rate. Indikasi flebotomi terutama untuk untuk semua pasien pada permulaan
penyakit dan yang masih dalam usia subur. Indikasi: 2•4
1. Polisitemia vera fase polisitemia
2. Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% (target Ht 55%)
3. Psolisitemia sekunder nonfisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang
ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate
C. KEMOTERAPI SITOSTATIKA
Tujuannya adalah sitoreduksi. Indikasi: 2
• Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV)
• Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan
• Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
• Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
• Splenomegali simtomatikjmengancam ruptur limpa
D. FOSFOR RADIOAKTIF
P32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3 mCijm2 intravena, hila per oral
dinaikkan 25%. Selanjutnya hila setelah 6-8 minggu pemberian P32 pertama: 3
• Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Dapat diulang jika diperlukan
• Tidak berhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, diberikan setelah
10-12 minggu do sis pertama. Pasien diperiksa setiap 2/3 bulan setelah keadaan stabil
F. PENGOBATAN SUPORTIF 3
• Hiperurisemia: allopurinol100-600 mgjhari
• Pruritus dengan urtikaria: antihistamin kurang bermanfaat, fotokemoterapi dengan
psoralen dan PUVA, aspirin telah direkomendasikan, interferon a juga bermanfaat.
2
• Gastritisjulkus peptikum: antagonis reseptor H
• Antiagregasi trombosit: anagrelid, aspirin
G. SPLENEKTOMI
Indikasi jika ada trombositopenia be rat atau pembesaran limp a yang mengganggu. 3
KOMPLIKASI
Trombosis pada vena hepatik (Budd-Chiari Syndrome) terjadi pada 10% dari 140
pasien, stroke iskemik dan transient ischemic attacks (TIA), perdarahan, mielofibrosis,
peningkatan asam urat sekitar 10% berkembang menjadi gout, peningkatan risiko
ulkus peptikum (10%), infark miokard, tombosis vena dalam {deep vein thrombosis
jDVTJ emboli paru. Dari 164 kematian, 41% karena thrombosis dan 7% karena
perdarahan. 1•3
PROGNOSIS
Angka harapan hid up setelah terdiagnosis tanpa diobati yaitu 1,5-3 tahun, sedangkan
dengan pengobatan lebih dari 10 tahun. Pasien yang diterapi dengan flebotomi
mempunyai angka harapan hid up 13,9 tahun, 8.9 tahun pad a pasien yang diterapi dengan
klorambusil. Polisitemia vera meningkatkan resiko menjadi leukemia. Dalam 10 tahun,
40-60% kasus menjadi trombosis. Kematian terjadi paling banyak karena trombosis
(31 %), leukemia akut (19%), keganasan lain (15%), perdarahan (5%). 3
~i
l 528 w
0
REFERENSI
1. Prenggono M. Darwin. Polisitemia vera. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati,
S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010.
Hal.l214-l219.
2. Polycythemia vera. Hematologie Klapper. gth ed. Leids Universitair Medisch Centrum Leiden.
Juni 1999:48-9.
3. Beutler Ernest. Primary dan Secondary Polycythemias (Erythrocytosis). In: Lichtman M, Beutler E,
Kipps T, editors. Williams Hematology 7'h ed. Me Grow Hill. Chapter 56
4. Spivak JL. Polycythemia Vera and Other Meloproliferative Disease. In: Longo Fauci Kasper,
Harrison's Principles of Internal Medicine 18th edition.United States of America.Mcgraw Hill.2012
SINDROM ANTIFOSFOLIPID
PENGERTIAN
Sindrom antibodi antifosfolipid (antiphospholipid antibody syndrome/ APS),
merupakan suatu trombofilia autoimun didapat dengan karakteristik trombosis arteri
atau vena berulang danjatau adanya morbiditas kehamilan; dengan adanya antibodi
terhadap protein plasma yang mengikat fosfolipid. 1
Sindrom antifosfolipid ditandai dengan trombosis arteri dan vena, abortus spontan
berulang (akibat trombosis), trombositopenia, dan sejumlah variasi manifestasi
neuropsikiatrU
Sindrom antibodi antifosfolipid didefinisikan sebagai penyakit trombofilia
autoimun yang ditandai dengan adanya 1) antibodi antifosfolipid (antibodi cardiolipin
danjatau antikoagulan lupus) yang menetap (persisten) serta 2) kejadian berulang
trombosis venajarteri, keguguran, atau trombositopenia. 3
Sindrom antifosfolipid didiagnosis pada seorang pasien dengan trombosis dan/
atau morbiditas kehamilan yang memiliki antibodi antifosfolipid (aPL). Trombosis
vena dalam pada ekstremitas bawah danjatau emboli paru merupakan trombosis
vena yang paling sering terjadi pada APS, namun semua sistem vena dapat terlibat,
termasuk vena superfisial, portal, renal, mesenterika, dan intrakranial. Sedangkan
tempat yang paling sering menjadi trombosis arteri adalah pembuluh darah serebral
yang berakibat pada iskemi serebral sementara (transient ischemic attackjTIA) atau
stroke. Trombosis mikrovaskular pada APS jarang terjadi namun dapat berpotensi
fatal yang dikenal dengan catastrophic antiphospholipid syndrome (CAPS), dimana
terdapat kegagalan fungsi multiorgan termasuk paru, otak, dan ginjal. 4
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis3
Difokuskan pada kejadian dan frekuensi terjadinya tromboemboli
• Mata: penglihatan kabur a tau ganda, melihat kilatan cahaya, kehilangan sebagian
atau seluruh lapang pandang
• Kardiorespirasi: nyeri dada, menjalar ke lengan, napas pendek
• Gastrointestinal: nyeri perut, kembung, muntah
• Pembuluh darah perifer : nyeri atau bengkak tungkai, klaudikasio, ulserasi jari/
tungkai, nyeri jari tangan atau kaki yang dicetuskan oleh dingin
• Muskuloskeletal: nyeri tulang, nyeri sendi
• Kulit: purpura danjatau petekia, ruam livedo retikularis temporer atau menetap,
jari-jari tanganjkaki kehitam-hitaman atau terlihat pucat
• Neurologi dan psikiatri: pingsan, kejang, migrain, parestesi, paralisis, ascending
weakness, tremor, gerakan abnormal, hilangnya memori, masalah dalam pendidikan
(sulit berkonsentrasi, sulit mengerti yang dibaca dan berhitung)
• Endokrin: rasa lemah, lelah, artralgia, nyeri abdomen (gambaran penyakit Addison)
• Urogenital: hematuria, edema perifer
• Riwayat kehamilan: riwayat abortus berulang, kelahiran prematur, pertumbuhan
janin terhambat (PJT)
• Riwayat keluarga: risiko APS meningkat pacta pasien yang memiliki anggota
keluarga dengan abortus berulang, kelahiran prematur, oligohidramnion, khorea
gravidarum, infark plasenta, preeklampsia, PJT, tromboembolisme neonatorum,
infark miokard atau stroke pacta anggota keluarga yang berusia < 50 tahun,
trombosis vena dalam, flebitis, atau emboli paru, penyakit Raynaud, TIA
• Riwayat kontrasepsi oral
Pemeriksaan Fisik3
Pembuluh darah • Nyeri tekan pada palpasi tulang atau sendi (infark tulang)
perlfer • Nyeri saat sendi digerakkan, tanpa artritis (nekrosis avaskular)
• Pembengkakan tungkai (trombosis vena dalam)
• J.Capillary refill time, denyut nodi, perfusi (trombosis arterial/ vasospasme)
• Gangren (trombosis arteri atau infark)
Manifestasi kulit • Livedo retikularis
• Purpura
• Tro.mboflebitis superfisial
• Vasospasme 7 fenomena Raynaud
• Splinter hemorrhages periungual atau subungual (perdarahan dibawah
kuku)
• lnfark perifer (digital pitting)
• Ulserasi
•"Memor
Ginjal • Hipertensi 7 trombosis arteri renalis, lesi pembuluh dara.h intrarenal
• Hematuria 7 trombosis vena renalis
Paru • Distres pernapasan
• Takipneu 7 emboli paru, hipertensi pulmonal
Gastrointestinal • Nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas, hepatomegaly (sindrom Budd-
-"-GAieri,tromeesis-jaemeuluA-GiereF!-keGil-flGti,-ir:~fer~Gtij --------
• Nyeri tekan abdomen (trombosis arteri mesenterika)
• Endokrin: kelemahan otot, kekakuan progresif pada otot-otot pelvis dan
paha dengan kontraktur fleksi (infark/perdarahan adrenal)
Kelainan sistem • Strok
saraf pusat atau • TIA
perifer • Parestesia, polineuritis atau mononeuritis multikompleks -7 iskemi/infark
vasovorum
• Paralisis, hiperrefleksi, lemah -7 transvere myelitis, sindrom Guillain-Barre
• Tremor khoreiform
• Short-term memory loss
• Kelainan menyerupai sklerosis multipel
Jantung • Murmur pad a katup aorta, a tau mitral -7 endokarditis
• Nyeri dada, diaphoresis -7 infark miokard
Mata • Oklusi arteri retina
• Trombosis vena retina
DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan eksklusi penyebab trombofilia didapat atau diturunkan
lainnya. 1 Banyak kelainan genetik dan didapat yang berakibat pada keguguran,
penyakit tromboemboli, atau keduanya (mis. trombositopenia diinduksi heparin,
homosisteinemia, kelainan mieloproliferatif, dan hiperviskositas). Penyakit lain yang
berhubungan dengan APS adalah immune thrombocytopenia (ITP), kelainan autoimun
sekunder, keganasan, penyakit infeksi, sirosis hati, sindrom hemolitik, thalassemia,
inkompatibilitas ibu dan bayi (ABO, Rh, HLA)-3
TATALAKSANA
Setelah trombosis pertama kali, pasien APS sebaiknya diberikan warfarin seumur
hidup untuk mencapai INR (international normalized ratio) antara 2,5-3,5 atau
kombinasi dengan aspirin 80 mgjhari. Morbiditas kehamilan dapat dicegah dengan
kombinasi heparin dengan aspirin 80 mgjhari. Intravena immunoglobulin (IVIG) 1
x 400 mgjkg selama 5 hari dapat juga mencegah aborsi, sementara glukokortikoid
tidak efektif. Terapi evidence-based pada pasien dengan aPL tanpa gambaran klinis
tidak tersedia; akan tetapi aspirin 80 mgjhari melindungi pasien dengan lupus
eritematosus sistemik dengan antibodi aPL positif dari berkembangnya trombosis.
Beberapa pasien APS dan CAPS sering mengalami trombosis rekuren meskipun telah
mendapat antikoagulan sesuai. Dalam kasus ini IVIG 1 x 400 mgjkg selama 5 haria tau
antibodi monoklonal anti-CD20 375 mg/m 2 per minggu selama 4 minggu bermanfaat.
Pasien CAPS yang dirawat didalam ICU, tidak dapat menerima warfarin; pada situasi
ini dosis terapeutik low molecular weight heparin/LMWH dapat diberikan. Pada
kasus trombositopenia imbas heparin dan sindrom trombosis, inhibitor faktor X yang
mengikat fosfolipid (inhibitors of phospholipid-bound activated factor X/ FXa) seperti
fondaparinux 7,5 mg SC per hari atau rivaroxaban 10 mg PO per hari terbukti efektif.
Obat-obatan tersebut diberikan dalam fixed dose dan tidak memerlukan observasi
ketat; namun keamanannya dalam trimester pertama kehamilan belum ditentukan. 1
KOMPLIKASI
Keguguran, koagulasi intravaskular diseminata. 1
PROGNOSIS
Bahaya serangan kedua terbesar pada pasien dengan antibodi yang mengenali ~2
glikoprotein I yang memiliki hemolisis autoimun pada serangan pertama, dan terkecil
pada pasien tanpa antibodi tersebutyang mengalami aborsi berulang sebagai serangan
pertama mereka. Penyesuaian terapi pada pasien yang mengalami serangan dua kali,
tingkat efek sam ping serius yang mengikuti 6,86 kali lebih tinggi, pada pasien dengan
presentasi hemolisis autoimun 1,56 kali lebih tinggi, dan pada pasien dengan antibodi
anti-~2-glikoprotein-1 sebesar 1,69 kali lebih tinggi, dan 46% lebih rendah pacta
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Moutsopoulos HM, Vlachoyiannopoulos PG. Antiphospholipid Antibody Syndrome.ln: Longo DL
Fauci AS, Kasper DL Hauser SL, Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine.
18'h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
2. Schafer AI. Thrombotic Disorders: Hypercoagulable States. In :Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
3. Effendy S. Sindrom Antibodi Antifosfolipid: Aspek Hematologik dan Penatalaksanaan. Dalam :
Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi L etal. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal1345-53.
4. Keeling D, Mackie L Moore GW, et al. Guidelines on the investigation and management of
antiphospholipid syndrome. British Journal of Haematology 20 12; 157:47-58
5. Miyakis S, Lockshin MD, Atsumi T, et al. International consensus statement on an update of the
classification criteria for definite antiphospholipid syndrome (APS). J Thromb Haemost 2006; 4:295.
6. Tektonidou MG, loannidis JPA. Boki KA, et al. Prognostic factors and clustering of serious clinical
outcomes in antiphospholipid syndrome. Q J Med 2000;93:523-530. Diunduh dari http:/ /qjmed.
oxfordjournals.org/content/93/8/523.full.pdf pada tanggal30 Mei 2012.
SINDROM LISIS TUMOR
PENGERTIAN
Sindrom lisis tumor adalah suatu kelainan metabolik yang mengancam jiwa, akibat
pelepasan sejumlah zat interseluler ke dalam ali ran darah akibat tingkat penghancuran
sel tumor yang tinggi karena pemberian kemoterapi. Sindrom ini ditandai dengan:
hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Faktor risiko ;
peningkatan LDL, ukuran tumor yang besar (bulky tumor) dengan tingkat ploriferasi
yang tinggi, tumor yang sangat sensitif, hiperurisemia yang sudah ada sebelum
pengobatan, penurunan fungsi ginjal,l
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Dapat ditemukan pembengkakan pacta sendi, otot melemah, konstipasi. Riwayat
mendapat kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir, jenis tumor yang diderita (limfoma
burkitt, leukemia limfoblastik akut dan limfoma derajat tinggi lainnya)
Pemeriksaan Fisik
Tidak khas, sesuai dengan kelainan yangterjadi (misalnya: pernapasan kussmaul
pacta asidosis laktat, oliguria/anuria bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pacta
hiperkalemia) 1
Laboratorium
Peningkatan LDH, asam urat darah, kalium darah, fosfat darah, penurunan
kalsium darah, analisis gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolik, urinalisa
menunjukkan pH urin < 7 danjterdapat kristal asam urat. 2
DIAGNOSIS BANDING
Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain.
TATALAKSANA 1
• Mencegah dan mendeteksi faktor risiko lebih penting
• Hidrasi adekuat 2000-3000 ml/mz per hari
• Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na bikarbonat
• Allopurinol 2x300 mg/m2 per hari
• Natrium bikarbonat 50-100 mEq/L cairan intravena
• Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD dan asam urat
• Bila secara konservatiftidak berhasil dan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut
(K > 6 meqjl, asam urat > 10 mg/ dl, kreatinin > 10 mg/ dl, F> 10 mgf dl atau semakin
meningkat, hipokalsemia simtomatik) maka dilakukan hemodialisa
KOMPLIKASI
Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak. 2
PROGNOSIS
Mengenali gejala dini pada pasien dengan risiko sindrom lisis tumor, termasuk
mengidentifikasi abnormalitas manifestasi klinis dan laboratorium, dapan mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Penyakit dalam - Konsultan Hemato
Onkologi medik
• RS non pendidikan : Departemen Penyakit dalam - Konsultan Hemato
Onkologi medik
REFERENSI
1. Jack, Zakifman. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Lisis Tumor. Dalam: Sudoyo, Aru W.
Setyohadi. Bambang. Alwi. ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati. Siti. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta:Balai Penerbit FKU1;2009.p. 311-12.
2. Oncologies Emergency. Dalam: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies. 2011
TERAPI SUPORTIF PADA PASIEN KANKER
PENGERTIAN
Terapi suportif pacta pasien kanker merupakan terapi yang diberikan pacta
pasien kanker, yang menunjang pengobatan kanker. Pengobatan suportif ini tidak
hanya diperlukan pacta pasien kanker yang menjalani pengobatan kuratiftetapi juga
pacta pengobatan paliatif. Terapi suportif ini meliputi semua aspek kesehatan dan
terdiri dari berbagai prosedur yang bertujuan untuk meningkatkan atau setidaknya
mempertahankan kondisi kesehatan pasien sehingga ia dapat menerima pengobatan
kuratif (bedah, radiasi, kemoterapi, atau kombinasi) tanpa efek sam ping yang berarti. 1
Beberapa aspek yang termasuk dalam terapi ini an tara lain :2
1. Nyeri terkait kanker (cancer-related pain)
2. Lelah terkait kanker (cancer-related fatigue)
3. Dispneu
4. Delirium
5. Anoreksia dan cachexia
6. Depresi dan ansietas
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Perlu ditanyakan tipe nyeri (berdenyut, kram, seperti terbakar, dll), periodisitas
(terus-menerus, denganjtanpa eksaserbasi, atau tiba-tiba), lokasi, intensitas, faktor
yang memperberatfmemperingan, efek terapi, dampak fungsional, dampak terhadap
pasien. 3 Beberapa penilaian kualitas nyeri yang dapat digunakan alat bantu seperti
Visual Analogue Scale (VAS), the Brief Pain Inventory, atau sistem klasifikasi nyeri
kanker Edmonton. 2•3 Untuk menentukan mekanisme nyeri apakah termasuk nyeri
nosiseptif (somatik, viseral) atau neuropatik (tabell).
Tabel 1. Mekanisme Nyeri Kanker dan Tatalaksananya 2
fiM~!tqb1~m~~~?,ti~~,t~~,~~~~·~:t9~~~niti~:il~~iettra::'i~}j{~:~J1i~~~§r~~~~!~!:ril~tl:;~~2~~~~~~,~::'~~f~l;!~~,l!:*~&f:~gqR!1:1~~~\~,~:. ··J
Nosiseptif
• Somatik Well focalized Metastasis tulang, fraktur NSAIDs, opioid,
patologis, nyeri insisi bisfosfonat, radiasi
bedah
• Viseral Poorly focalized, dalam, seperti Metastasis hati, Opioid
ditekan (squeezing, pressure), pankreatitis, obstruksi
nyeri yang menjalar {referred usus
pain)
Neuropatik Poorly focalized, nyeri seperti Kompresi medula spinalis, Gabapentin, TCA,
terbakar, ditusuk-tusuk, kompresi saraf oleh carbamazepine,
shooting/radiating, secara tumor, neuropati perifer venlafaxine, opioid
umum lebih sulit dlkontrol imbas kemoterapi
Keterangan: NSAIDs = nonsteroidal anti-inflammatory drugs; TCAs = tricyclic antidepressants
Pemeriksaan Fisik
Umum dan status neurologis
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap, elektrolit
• Radiologis (sesuai indikasi): foto polos abdomen 3 posisi, CT scan, MRI
Anamnesis
Karena Ielah terkait kanker bersifat subyektif, maka evaluasi klinis dilakukan
berdasarkan keluhan pasien sendiri. Alat bantu untuk menilai skala Ielah seperti the
Edmonton Functional Assessment Tool, the Fatigue Self-Report Scales, dan the Rhoten
Fatigue Scale umumnya hanya dapat digunakan untuk keperluan penelitian, bukan
evaluasi klinis. Pada praktik klinis, evaluasi performa sederhana dapat menggunakan
Karnofsky Performance Status atau the Eastern Cooperative Oncology Groups. Perlu
juga diidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan Ielah seperti gangguan
tidur, anemia, nyeri, depresi, ansietas, gangguan elektrolit, anoreksia-cachexia,
hipotiroidisme, hipogonadisme, dan penyakit komorbid lainnya. 2
Pemeriksaan Fisik
• Umum, status gizi, dan status psikiatri
• Konjungtiva anemis, tanda Chovstek, tanda Trousseau
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap, elektrolit, fungsi kelenjar
tiroid, fungsi hati, profillipid
Anamnesis
Dokumentasi dan nilai episode dispneu beserta intensitasnya. Derajat keparahan
dan efek terapi dapat dinilai melalui skala dispneu visual atau analog. Perlu juga
dievaluasi penyebab dispneu lain yang berpotensi reversibel atau dapat diobati
seperti infeksi, efusi pleura, emboli paru, edema paru, asma, a tau tumor yang berada
di jalan napas.
Pemeriksaan Fisik
• Takipneu, restriksi gerakan dada ipsilateral, stem fremitus, bunyi napas, ronki,
mengi, adajtidaknya distensi vena jugularis
• Tanda infeksi
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: darah perifer lengkap, D-dimer, analisa gas darah
• Radiologis: foto toraks PA/lateral
IV. DELIRIUM
Anamnesis
Disorientasi onset baru, gangguan kognitif, restlessness, somnolen, tingkat fluktuasi
kesadaran. 2
Pemeriksaan Fisik
• Umum, status psikiatri, dan status neurologis
• Tanda infeksi
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap
V. ANOREKSIA DAN CACHEXIA
Anamnesis
Kehilangan be rat bad an yang tidak dikehendaki, laju kehilangan be rat badan, be rat
badan sebelum sakit, penurunan nafsu makan dari biasanya, pola diet terakhir. Apabila
penurunan berat badan >5% dari biasanya (sebelum sakit) dalam 6 bulan maka harus
dicurigai cachexia, terutama apabila terdapat muscle wasting. Sedangkan hila terjadi
penurunan berat badan >10% menunjukkan adanya malnutrisi berat dan sindrom
cachexia-anoreksia mulai ditegakkan. Untuk mendapatkan informasi hilangnya nafsu
makan secara kuantitatif, dapat digunakan skor 0-7 dengan penjelasan 0 =tidak ada
nafsu makan, 1 = nafsu makan sangat kecil, 2 = nafsu makan kecil, 3 = nafsu makan
cukup, 4 = nafsu makan baik, 5 = nafsu makan sangat baik, 6 = nafsu makan luar biasa,
7 = selalu lapar). 4
Pemeriksaan Fisik
Umum dan antropometri secara keseluruhan; berat badan, tinggi badan, tebal
lemak subkutis, wasting jaringan, edema atau asites, tanda-tanda defisiensi vitamin
dan mineral, serta status fungsional pasien. Harus diperhatikan apabila ditemukan
adanya muscle wasting dan hilangnya jaringan lemak merupakan tanda lanjut dari
malnutrisi. 4
Pemeriksaan Penunjang 4
• Laboratorium : albumin, prealbumin, transferrin, imbang nitrogen 24 jam, kadar
Fe, pemeriksaan sistem imun seperti limfosit total, fungsi hati dan ginjal, elektrolit,
dan mineral serum, C reactive protein (CRP).
Anamnesis
Karena Ielah terkait kanker bersifat subyektif, diperlukan alat bantu untuk menilai
skala Ielah seperti the Edmonton Functional Assessment Tool, the Fatigue Self-Report
Scales, dan the Rhoten Fatigue Scale.
Pemeriksaan Fisik
• Umum, status psikiatri, dan status neurologis
• Tanda infeksi
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap
TATALAKSANA
tiap 4jam
Hydromor- 1-2 0,5-1 PO 5 PO, PR. SC, Ganti ke
phone tiap 4jam tiap 1 jam PRN IV hydromorphone
long-acting
Keterangan: IV, intravena; PO. per oral: PR. per rectal: PRN. bile perlu; SC. subkutan; TD. transdermal
'Ratio ekuianalgesik disediakan untuk opioid oral vs morfin oral. Contoh. hydromorphone Sx lebih paten daripada morfin oral.
Potensi methadone meningkat dengan dosis. lni sebaiknya dipertimbangkan dengan input spesialis
''Morfin. hydromorphone. oxycodone. dan oxymorphone sekitar 2-3 kali lebih paten daripada sediaan oral/rektal
'"Apabila nyeri stabil. dapat dipertimbangkan formula long-acting untuk kenyamanan
""Patch fentanyl sebaiknya dimulai setelah pasien mencapai kontrol nyeri yang baik dengan dosis stabil opioid. Untuk mengganti
patch fentanyl dengan morf1n oral. bagi dosis total ekuivalen morfin per hari dalam milligram dengan 3.6 untuk mendapat dosis
patch fentanyl dalam mikrogram. Contoh. 360 mg morfin/hari ekuivalen dengan patch fentanyl I 00 mg.
• Terapi adjuvan non-opioid : NSAIDs, bisfosfonat, gabapentin, TCA, karbamazepin,
venlafaksin
Ill. DISPNEU 2
• Intervensi bedah pacta obstruksi jalan napas akibat pertumbuhan tumor: reseksi
bronkoskopik, elektrokauter, dilatasi halon, krioterapi, laser, brakiterapi
• Torasentesis terapeutik: pacta efusi pleura besar. Hindari mengambil >1,5 L per
seting karena risiko reekspansi edema paru. Pleurodesis dan indwelling kateter
jangka panjang dapat menjadi pilihan bagi pasien dengan efusi pleura berulang
dengan ekspektasi harapan hidup 3 bulan.
• Suplementasi oksigen: meredakan hipoksemia
• Opioid, kortikosteroid, bronkodilator
IV. DELIRIUM
• Neuroleptik: haloperidol, chlorpromazine, olanzapine, dan quetiapine
• Golongan benzodiazepine disarankan karena memiliki efek sedasi dan amnesia,
namun juga berpotensi memperburuk delirium
KOMPLIKASI
Hati-hati dengan efek sam ping morfin
PROGNOSIS
Tergantung etiologi dan respon terapi
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Reksodiputro AH. Pengobatan Suportif pada Pasien Kanker. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B,
Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1482-97.
2. Bruera E, Hui D. Palliative and Supportive Care. Diunduh dari http://www.clinicaloptions.com/
inPractice/Oncology/Supportive_Care/ch51_SuppCare-Palliative.aspx pada tanggal 21 Mei
2012.
3. Emanuel EJ. Palliative and End-of-Life Care. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson
JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
4. Sutandyo N. Terapi Nutrisi pada Pasien Kanker. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku
Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009. Hal 342-6.
TROMBOSIS VENA DALAM
PENGERTIAN
Tromboemboli vena merupakan suatu spektrum kondisi yang mencakup trombosis
vena dalam (deep venous thrombosisjDVT) dan emboli paru (pulmonary embolism/
PE).l Sedangkan DVT merupakan suatu kondisi yang dikarakteristikkan oleh bekuan
darah pada vena, dan paling sering terjadi pada ekstremitas bawah, seringkali naik
menjadi emboli dan jaringan nekrosis. 2 Trombosis vena dalam dibagi menjadi 2
kategori prognosis yaitu 1) trombosis vena betis, dimana trombus tetap berada di
vena betis dalam, dan 2) trombosis vena proksimal, yang melibatkan vena popliteal,
femoral, atau iliaka. 3
Triad Virchow untuk trombogenesis terdiri dari: 1) gangguan pada aliran darah
yang menyebabkan stasis, 2) gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan
antikoagulan yang menyebabkan aktivasi faktor pembekuan, dan 3) gangguan pada
dinding pembuluh darah (endotel) yang menyebabkan prokoagulan. 4 Faktor risiko
tromboembolisme tercantum pada tabell.
r~~~~:t~7~i.~tiWJr~;yY.~~;!~~~gl~!:tqt~1l:~~t~~~~~~t~~~Jt~~t~l~~ff~,~~;~f~~J;~~::~;~~1~1~1~GJ~-¥~Jtf~~i~11lf!itff~~~ff~1~;1t~~~~~~r~~~::~ ~: : 1
Usia lanjut (~40 tahun) Activated protein C resistance
Riwayat tromboemboli sebelumnya Protrombin G2021 OA
Pasco operasi Defisiensi antitrombin
Pasco trauma Defisiensi protein C
lmobilisasi lama Defisiensi protein S
Bentuk kanker tertentu Disfibrinogenemia
Gaga I jantung kongestif
Pasco in fork miokard
Paralisis tungkai bawah
Penggunaan estrogen
Kehamilan atau periode pasco persalinan
Vena varikosus I varices
Obesitas
------ Sindrom-antfbodlanfiTosfolipfcr--------------~-~----------~~-----------------
Hiperhomosisteinemia
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis4·5
• Kram pada betis bagian bawah yang menetap selama beberapa hari dan
memberikan ketidaknyamanan seiring berjalannya waktu
• Kaki bengkak, nyeri tungkai bawah
• Riwayat trombosis sebelumnya
• Riwayat trombosis dalam keluarga
Keterangan:
lnlerpretasi IPretest probability DVT): ~ 3 = risiko tinggi (75%): 1-2 = risiko sedang (17%): ~0 = risiko rendah (3%). Pada pasien yang
gejalanya pada kedua tungkai. tungkai yang lebih bergejala digunakan.
Pemeriksaan Fisik3-5
• Rasa tidak nyaman pada palpasi ringan betis bagian bawah
• Edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah superfisial dapat
teraba, Homan's sign ( +), distensi vena, diskolorasi, sianosis
Pemeriksaan Penunjang: 4 ·6
• Laboratorium :
Kadar antitrombin III menurun
Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat
Titer D-dimer meningkat: indikator adanya tronibosis yang aktif, sensitif tapi
tidak spesifik
• Radiologis :
Compression USG (CUS): sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk DVT
proksimal simptomatik, sensitivitas 11-100% dan spesifisitas 90-100% untuk
DVT distal simptomatik. Kriteria diagnostik USG dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. USG Vena Dalam Tungkai Bawah 5
Kriteria diagnosis DVT akut:
• Kriteria utama: kurangnya kompresibilitas vena
• Vena tidak "wink" soot kompresiperlahan pada cross-section
• Gagal untuk mendekati dinding vena akibat distensi pasif
Visualisasi trombus direk:
• Homogen
• Hipoekoik
Dinamika aliran Doppler abnormal
• Respon normal: kompresi betis meningkatkan sinyal aliran Doppler dan
mengkonfirmasi patensi vena proksimal dan distal
• Respon abnormal: aliran Doppler terhalangi dengan kompresi betis
Algoritma diagnostik bagi tersangka DVT dapat dilihat pada gam bar 1. 10
DIAGNOSIS BANDING
Ruptur kista Baker, selulitis, sindrom pasca phlebitis/insufisiensi vena. 2
TATALAKSANA
Farmakologis
1. Terapi antikoagulan 3•5
• Merupakan terapi terpilih bagi sebagian besar pasien dengan trombosis vena
proksimal atau emboli paru
• Kontraindikasi absol~t: perdarahan intrakranial, perdarahan aktifberat, pasca
operasi otak, mata, atau medula spinalis, dan hipertensi maligna
Gejala tungkai bawah dan klinis
tersangka DVT
547
• Regimen low-molecular-weight heparin (LMWH) dan fondaparinux dapat
dilihat pada tabel 5.
label 5. Regimen Low-Molecular-Weight Heparin {LMWH) dan Fondaparinux pada lerapi
lromboemboli Vena 3
· "'\~'" ~ ' .::,~t~Jlroerrs\JI>!<yf"l'f~:7ff.:il;J~"'{;;;,_i·r .;~ · · ·
Enoxaparin 2 X 1 mg/kg/hari0
Dalteparin 1 X 200 IU/kg/harib
Tinzaparin 1 x 175 IU/kg/haric
Nadroparin 2 x 6150 IU (untuk berat badan 50-70 kg)d
Reviparin 2 x 4200 IU (untuk berat badan 46-60 kg)•
Fondaparinux 1 x 7,5 mg/hari (untuk berat bad an 50-1 00 kg )I
Keterangan:
0
Regimen I x I ,5 mg/kg/hari dapat diberikan namun kurang efektif pada pasien dengan kanker
bSetelah I bulan, dapat diikuti dengan dosis I x 150 IU/kg/hari sebagai alternatif antagonis vitamin K oral untuk terapi
jangka panjang
"Regimen ini dapat juga digunakan untuk terapi jangka panjang sebagai alternatif antagonis vitamin K oral
d2 x 4100 IU/hari bila berat bad an pasien <50 kg a tau 2 x 9200 IU/hari bila berat bad an pasien >70 kg
"2 x 3500 IU/hari bila berat badan pasien 35-45 kg atau 2 x 6300 IU/hari bila berat badan pasien >60 kg
'I x 5 mg/hari bila berat badan pasien <50 kg atau I x 10 mg/hari bila berat badan pasien > 100 kg
• Jika diperlukan, dosis LMWH disesuaikan untuk mencapai target anti faktor
Xa: 0,6- 1 IU/ml- 4 jam setelah pemberian LMWH. 10
• Apabila unfractionatedheparin digunakan sebagai terapi inisial, sangatpenting
untuk mencapai efek antikoagulan adekuat yaitu aPTT di atas batas bawah
therapeutic range dalam 24 jam pertama. Regimen heparin dapat dilihat pada
tabel6.
aPTI <35 detik (<1 ,2x kontrol) Bolus 80 U/kg, kemudian 4 U/kg/jam dengan infus
aPTI 35-45 detik ( 1,2-1 ,5x kontrol) Bolus 40 U/kg, kemudian 2 U/kg/jam dengan infus
aPTI >90 detik (>3x kontrol) Hentikan infus selama 1 jam, kemudian turunkan
kecepatan infus 3 U/kg/jam
• Warfarin diberikan pada hari pertama atau kedua dengan dosis awal 5 mgj
hari- untuk mencapai target INR 2-3 dalam 4-5 hari. Pada pasien usia lanjut,
be rat badan rendah, warfarin diberikan dengan dosis awal yang lebih rendah
(2-4 mgj hari). 10
2. Trombolisis
• Terapi ini tidak dianjurkan pada DVT karena risiko perdarahan intrakranial
yang besar, kecuali kasus tertentu seperti trombus ileofemoral masif atau
bagian dari protokol penelitian. 8
3. Antiagregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon)
• Bukan merupakan terapi utama
• Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar
heparin atau warfarin
KOMPLIKASI
Perdarahan akibat antikoagulanjantiagregasi trombosit, trombositopenia imbas
heparin, osteoporosis imbas heparin (biasanya setelah terapi >3 bulan). 5
PROGNOSIS
Sekitar SO% pasien dengan DVT proksimal simptomatis yang tidak mendapat
diterapi akan berkembang menjadi emboli paru simptomatis dalam waktu 3 bulan.
Meskipun telah mendapat terapi adekuat, DVT dapat berulang. Sekitar 10% pasien
dengan DVT simptomatis berkembang menjadi sindrom post-trombosis berat dalam
5 tahun. 9
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Radiologi, BedahfVaskular
• RS non pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI
1. Ramzi DW. Leeper KV. DVT and Pulmonary Embolism: Part I. Diagnosis. Am Fam Physician
2004;69:2829-36. Diunduh dari http:/ /www.aafp.org/afp/2004/0615/p2829 .pdf pad a tanggal 29
Mei 2012.
2. McGraw-Hill Concise Dictionary of Modern Medicine. New York, McGraw-Hill. 2002
3. Hull RD, Pineo GF, Raskob GE. Venous Thrombosis. In : Lichtman M, Beutler E, Selighson U, et al.
Williams Hematology. 7th Edition. New York, McGraw-Hill. 2007
4. Sukrisman L. Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et
al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal1354-8.
5. Goldhaber SZ. Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism. In: Longo DL, Fauci
AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h
Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
6. Ho WK. Deep vein thrombosis: risks and diagnosis. Australian Family Physician July 2010;39:7
7. Ramzi DW. Leeper KV. DVT and Pulmonary Embolism: Part II. Treatment and Prevention. Am Fam
Physician 2004;69:2841-8.
8. Kovacs MJ, Rodger M, Anderson DR, Morrow B, Kells G, Kovacs J, et al. Comparison of 10-mg and
5-mg warfarin initiation nomograms together with low-molecular-weight heparin for outpatient
treatment of acute venous thromboembolism. A randomized, double-blind, controlled trial. Ann
Intern Med 2003;138:716.
9. Kearon C. Natural history of venous thromboembolism. Circulation 2003;107(23 suppl1 ):i22-30.
10. Hirsh J, Lee A YY. How we diagnose and treat deep vein thrombosis. Blood 2002; 99; 31 02-10.
TROMBOSITOSIS ESENSIAL
PENGERTIAN
Trombositosis esensial/TE (nama lainnya antara lain trombositosis primer,
trombositemia esensial, trombositosis idiopatik, trombositemia hemoragik) termasuk
dalam klasifikasi penyakit keganasan mieloproliferatif. TE merupakan kelainan klonal
dengan etiologi yang belum diketahui, yang melibatkan sel progenitor hematopoiesis
multipoten dengan manifestasi klinis produksi trombosit berlebihan tanpa penyebab
yang jelas. 1 Istilah trombositosis esensiallebih banyak dipakai di Amerika Serikat,
sedangkan di Eropa dikenal dengan trombositemia vera. 2 Macam-macam etiologi
trombositosis dapat dilihat pacta tabel 1.
Anamnesis1.2
• Tidak ada tanda dan gejala spesifik, 113 pasien tidak memiliki gambaran klinis
• Acroparesthesis: sensasi gatal pada kaki yang diikuti dengan rasa nyeri I terbakar,
kemerahan, berdenyut, cenderung timbul kembali disebabkan panas, pergerakan
jasmani dan hilang bila kaki ditinggikan (eritromialgia).
• Riwayat mudah memar
• Riwayat gangguan penglihatan sementara, klaudikasio intermiten, infark I gangren
pada jari kaki dengan pulsasi arteri perifer masih baik, perdarahan spontan dari
hidung atau ginggiva, genitourinarius, saluran cerna
• Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang, pertumbuhan janin
terhambat
Pemeriksaan Fisik1·2
• Splenomegali (70%), hipertensi (30%), tanda-tanda perdarahan atau trombosis
sesuai lokasi yang terkena
TATALAKSANA4
Tujuan pengobatan untuk menurunkan jumlah trombosit dan menurunkan fungsi
trombosit
• Untuk menurunkan trombosit:
o PThombopheresis -7 pacta trombositosis akut dan gangguan hemostasis yang
mengancam nyawa
o Hydroxyurea: 10-30 mgjkgBB/hari. Hitung darah harus diperiksa dalam 7 hari
setelah terapi dimulai dan diperiksa secara rutin karena hydroxyurea dapat
menyebabkan mielosupresi dengan cepat
o Anagrelide: dosis awal 4 x 0,5 mgjhari atau 2 x 1 mgjhari (maksimal 10 mgj
hari), dosis disesuaikan dengan interval tiap minggu. Do sis pemeliharaan 2-3 mgj
hari
o Rekombinan interferon alfa: 3 juta IU subkutan sebanyak 3xjminggu
• Untuk menurunkan fungsi trombosit (terapi adjuvan):
o Aspirin dosis rendah (100 mgjhari) masih menjadi kontroversi
KOMPLIKASI
Risiko klinis komplikasi trombohemoragik pacta trombositosis esensial tercantum
pacta tabel 2.
Risiko il" Riwayat trombosis sebelumnya Penggunaan aspirin dan nonsteroidal anti-
inflammatory drugs (NSAIDs) lainnya
Faktor risiko terkait kardiovaskular Trombositosis ekstrim (trombosit > 1.500.000/IJL)
(terutama merokok)
Usia lanjut (> 60 tahun)
Trombositosis tidak terkontrol (pada
pasien risiko tinggi)
Tanpa risiko Derajat trombositosis Masa perdarahan {bleeding time)
terkait memanjang
Fungsi trombosit in vitro Fungsi trombosit in vitro
PROGNOSIS
Tergantung usia dan riwayat trombosis. Angka harapan hid up 10 tahun pacta 64%-
80% terutama pacta pasien usia muda. Kurang dari 10% pasien dengan trombositosis
esensial berubah menjadi leukemia mieloid akut dan kurang dari 5% berubah menjadi
mielofibrosis dengan metaplasia meiloid. 5
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
ft'EFEIENSI
1. Spivak JL. Polycythemia Vera and Other Myoproliferative Diseases. In: Longo DL Fauci AS, Kasper
DL Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181" Edition. New
York, McGraw-Hill. 2012.
2. Wahid I. Trombositosis Esensial. Dalam: Sudoyo A Setiyohadi B, Alwi Let al. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal1220-4.
3. Harrison CN, Bareford D, Butt N, et al. Guideline for investigation and management of adults
and children presenting with a thrombocytosis. British Journal of Haematology 201 0; 149:352-375.
4. Schafer AI. Essential Thrombocythemia and Thrombocytosis: Overview. In : Lichtman M, Beutler
E, Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th Edition. New York, McGraw-Hill. 2007
5. Ciesla B. Hematology in Practice. Philadelphia, FA Davis. 2007
PENATALAKSANAAN
Dl BIDING ILMU PENYAKIT DAlAM
PANDOAN
PRAKTIK
KLINIS
KARDIO-~
Angina Pektoris Stabil ................ r······~···n·/;_t:;_:_"···r-r-7·~;,_·· .. .
Angina Pektoris Tidak Stabil/
Non St Elevation Myocardiallnfara~ (I
ST Elevation Myocardia/Infarction d;TE
PENGERTIAN
Angina pektoris stabil adalah nyeri dada atau chest discomfort yang terjadi karena
keadaan seperti olahraga atau stres emosional yang meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard. Karakteristik nyeri dada khas angina yang mengarah ke infark miokard/
1
iskemia miokard akut adalah:
1. Lokasi di dadajsubsternaljsedikit di kiri, dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri,
sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar, punggungjpundak kiri.
2. Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri tumpul seperti rasa tertindih, terdesak,
diremas-remas, dada mau pecah. Seringkali disertai keringat dingin, sesak napas.
3. Nyeri pertama kali timbul biasanya agak nyata, dari beberapa menit sampai < 20
menit.
Nyeri dada ada yang memiliki ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap, sehingga
tak diragukan lagi diagnosisnya disebut nyeri dada (angina) tipikal, sedangkan nyeri
dada yang meragukan tidak memiliki ciri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan
yang hati-hati disebut, nyeri dada (angina) atipik. Nyeri dada lain yang sudah jelas
berasal dari luar jantung disebut nyeri non kardiak. 1 Klasifikasi angina pektoris stabil
dapat dilihat pada tabel 1.
label 2. Probabilitas Penyakit Arteri Koroner Berdasarkan Usia dan Gejala (NEJM 1979:300:1350)3
., ~-·~-.~~.,,~_ .,.. ~. ,..,
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Biasa muncul pada pria >SO tahun atau wanita > 60 tahun dengan keluhan chest
discomfort (seperti berat, tertekan, diremas, terdesak, dan jarang nyeri yang nyata),
biasanya lokasi di dada, crescendo-decrescendo, berlangsung 2-S menit (dapat
menjalar ke bahu maupun kedua lengan, punggung, interscapular, leher, rahang, gigi,
dan epigastrium). Biasanya episode angina muncul karena latihan atau emosi, dapat
juga saat istirahat dan membaik setelah istirahat. Pasien dapat terbangun pada malam
hari karena chest discomfort dan dispnea. 2
Pemeriksaan Fisik
Auskultasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi lateral dekubitus. Pada
auskultasi dapat ditemukan bruit arteri, bunyi jantung III atau IV, jika iskemi akut
atau infark sebelumnya merusak fungsi otot papilar maka dapat ditemukan murmur
sistolik di apikal karena regurgitasi mitral, meskipun tidak khas untuk iskemi miokard. 2
Pemeriksaan Penunjang2
• Elektrokardiografi (EKG): tidak spesifik, dapat ditemukan hipertrofi ventrikel
• Stress testing dengan EKG
• Rontgen dada: pembesaran jantung, aneurisma ventrikular (tidak khas)
• Darah (untuk mengetahui faktor yang memperberat seperti DM, gangguan ginjal,
dan lain-lain): GDS, profillipid, hemoglobin AlC, fungsi ginjal
• Pencitraan jantung: SPECT, MSCT
• Arteriografi koroner, dipertimbangkan pada: pasien yang tetap pada kelas III-IV
meskipun telah mendapat terapi yang cukup, pasien dengan risiko tinggi tanpa
mempertimbangkan beratnya angina, pasien-pasien yang pulih dari serangan
aritmia ventrikel yang berat sampai cardiac arrest, yang telah berhasil diatasi,
dan pasien-pasien yang diketahui mempunyai disfungsi ventrikel kiri (fraksi
ejeksi < 45%)
TATALAKSANA
• Non farmakologis: stop rokok, stop alkohol, kurangi be rat badan, olahraga 30-60
menit setiap hari. 4
• Farmakologis: 2.4
Aspirin 75-162 mgjhari
Hipertensi: ACE inhibitor, Renin-Angiotensin-Aldosterone System Blockers,
Penyakit Beta.
Kontrol gula darah,lipid
Untuk obat-obatan nirat, nitrogliserin, penyakit beta dan calcium channel blocker
dapat dilihat pada tabel 3, 4 dan 5.
KOMPLIKASI
Aritmia jantung, regurgitasi mitral, gagal jantung kongestif, perikarditis, emboli
paru, renjatan kardiogenik, stroke.
label 3. lerapi Nitrat dan Nitroglycerin 2
,,
. Rtit& . ·[)g~ls'· '·· ·
Nitroglycerin Tablet sublingual 0.3-0.6 mg sampai dengan 1.5 mg
Spray 0.4 mg sesuai kebutuhan
Salep 2%(15x15cm)
7.5-40 mg
Transdermal 2x0.2-0.8 mg/jam
Oral sustained release 2.5-13 mg
lntravena 5-200 mcg/menit
lsosorbide dinitrate Sublingual 2.5-10 mg
Oral 2-3x5-80 mg
Spray 1x1.25 mg
Tablet kunyah 5mg
Oral slow release 1-2x40 mg
lntravena 1.25-5.0 mg/jam
Salep 1x100 mg
lsosorbide mononitrate Oral 2x20 mg atau 1x 60-240 mg
Pentaerythritol tetranitrate Sublingual 10 mg sesuai kebutuhan
PROGNOSIS
Prognosis menggunakan bantuan tes Treadmill, akan didapatkan Dukes Treadmill
score seperti tercantum pada tabel 6.
Pektoris SJopiL
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Penyakit dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Departemen Penyakit dalam - Divisi Kardiovaskular
REFERENSI
1. Rahman, A Muin. Angina pektoris stabil. Dalam : Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi,
ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati. Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat
lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM: 2009. Halaman 1735-39.
2. Ischemic heart disease in adult. Dalam : Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies. 2011.
3. Diamond GA. Forrester JS. Analysis of Probability as an Aid in the Clinical Diagnosis of Coronary-
Artery Disease. N Eng I J Med 1979; 300: 1350-8.
4. Theroux, Pierre. Angina Pectoris. Dalam: Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders
: Philadhelphia. 2007.
5. Fraker, Theodore D. 2007 Chronic Angina Focused Update of the ACC/AHA 2002 Guidelines for
the Practice Management of Patients With Chronic Stable Angina: A Report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Guidelines Writing Group to
Develop the Focused Update of the 2002 Guidelines for the Management of Patients With Chronic
Stable Angina. J. Am. Coli. Cardiol. 2007;50;2264-2274: originally published online Nov 12, 2007
5. Harris, lan S. Foster, Elyse. Congenital Heart Disease in Adults. Dalam : Crawford, Michael H.
Current Diagnosis & Treatment Cardiology 3'd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.
6. Warnes, Carole A. et al. ACC/AHA 2011 Guidelines for the management of adults with congenital
heart disease : executive summary. Circulation. 2008; 118:2395-2451 ;originally published online
November 7, 2008; doi: 10.1161 I CIRCULATIONAHA.1 08.190811.
7. Fox, Kim. Et all. Guidelines on the management of stable angina pectoris: full text {The Task Force on
the Management of Stable Angina Pectoris of the European Society of Cardiology. Diunduh dari
: http:/ /www.escardio.org/guidelines-surveys/esc-guidelines/GuidelinesDocuments/guidelines-
angina-FT.pdf. pada tanggal1 0 juni 2012.
ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL/
NON ST ELEVATION MYOCARDIAL
INFARCTION (APTS/NSTEMI)
PENGERTIAN
Unstable angina (UA) adalah angina pektoris setara dengan ischemic discomfort
dengan 1 diantara 3 kriteria: 1. Muncul saat istirahat (atau latihan ringan), biasanya
berlangsung > 10 menit, 2. Gejala berat dan baru pertama kali timbul, dan atau 3.
Muncul dengan pola crescendo (lebih berat, panjang, dan sering daripada sebelumnya).
Diagnosis Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) ditegakkan jika pasien
dengan UA memiliki nekrosis miokard, yang terlihat pad a peningkatan cardiomarkers. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1
• Nyeri dada : lokasi regio substernal atau kadangkala epigastrium, yang menjalar
ke leher, bahu kiri, dan atau tangan kiri
• Sesak napas, epigastric discomfort
Pemeriksaan Fisik1
Jika iskemi miokard luas, dapat ditemukan diaphoresis, pucat, kulit dingin, sinus
takikardi, bunyi jantung ketiga atau keempat, ronki basal paru, terkadang ditemukan
hipotensi.
Pemeriksaan Penunjang 1
• EKG : depresi segmen ST, peningkatan transien segmen ST dan atau inversi
gelombang T -7 tampak pada 30-50% pasien.
• Cardiac Biomarkers: CK-MB dan Troponin meningkat
• Stress testing
• CT angiography
Tabel 1. Kemungkinan Sindrom Koroner Akut2
Anamnesis Nyeri dada atau lengan Nyeri dada atau lengan Gejala atipik (nyeri
kiri seperti angina, riwayat kiri, usia > 70 tahun, loki- pleuritik, tajam, atau
penyakit jantung koroner loki, diabetes posisional)
(termasuk infark miokard)
Pemeriksaan Hipotensi, diaphoresis, Penyakit arteri perifer atau Pain reproduce on pa/p
Fisik gaga! jantung kongestif, penyakit serebrovaskular
regurgitasi mitral transient
EKG Depresi ST baru (?.1 mm), Gelombang Q lama, Gelombang T datar
inversi gelombang T pada deperesi ST (0,5-0,9 mm), atau inversi gelombang
multipellead inversi gelombang T T (< 1 mm) dengan
(>1mm) gelombang R dominan
Biomarker Troponin atau CK-MB (+) Normal Normal
Risiko tinggi
Treadmill score < ll
.----::--....,.---, (Defek perfusi besar (terutama
anterior), defek perfusi
TATALAKSANA 3
• Nitrat diberikan sublingual atau buccal spray (0,3-0,6 mg). Jika telah diberikan
3 dosis dengan jeda 5 menit tetapi nyeri tetap ada, maka berikan nitroglycerin
intravena (5-10 gjmenit), titer infus dapat dinaikkan 10 gramjmenit setiap 3-5
menit sampai gejala hilang atau tekanan darah sistol turun jadi < 100 mmHg.
Setelah 12-24 jam bebas nyeri, ganti nitroglycerin iv dengan oraljtopikal.
• Beta Adrenergik Bloker : Metoprolol 4x25-50 mg po. Jika diperlukan dan tidak
ada gaga! jantung dapat dinaikkan bertahap 5 mg setiap 1-2 menit.
• Atorvastatin 20-80 mg
• Calcium channel blockers: verapamil atau diltiazem. Direkomendasikan untuk
pasien yang memiliki gejala persisten atau rekuren setelah terapi beta bloker
dan nitrat dosis penuh, atau pada pasien yang kontaindikasi ca channel blocker
• Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) inhibitor
• Morfin (bila diperlukan); 2-5 mg IV dapat diulang setiap 5-30 menit
• Antitrombotik
Abciximab 0.25 mg/kg bolus lalu infus 0.125 g/kg per men it (maksimal 10 g/menit)
selama 12-24 jam
Eptifibatid 180 g/kg bolus lalu infus 2.0 g/kg/menit selama 72-96 jam
Tirofiban 0.4 g/kg/menit selama 30 me nit lalu infuse 0,1 gram/kg selama 48-96 jam
l)ofrgr.;tioooted . Bolus 6Q-70 U/kg ..(maksimal 5000 U) IV lalu infus .12-15 U/kg/jam (dosis
Heparin (UFH) maksimal awol 1000 U/jam) titrasi sampai PTT 50-70 detik a tau 1,5-2,5
kali kontrol
Enoxaparin 2x1 mg/kg SC, dosis awol 30 mg iv bolus. Disesuaikan dengan kondisi
ginjal jika creatinin clearance < 30 cc/menit :1 x1 mg/kg
Fondaparinux 2.5 mg SC qd
Bivalituoin · DbsisCiwal 0,1 rl1g7J<g iv boh.Js, infuse 0/25 ms;l:kg/jarrl. Sebelum PC/, dapat
ditambahkan 0,5 mg/kg iv bolus dan infuse dinaikkan sampai 1,75 mg/kg/jam.
PROGNOSIS
Prognosis NSTEMI berdasarkan TIM! Risk Score dapat dilihat pada tabel 1.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Unstable Angina and Non ST Elevation Miocard lnfark. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D,
Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine.
181h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.
2. Anderson, Jeffrey L. Et all. ACC/AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients With Unstable
Angina/Non-ST-Eievation Myocardial Infarction. Vol. 50, No.7, 2007.
3. Wright, R. Scott. 2011 ACCF/AHA Focused Update of the Guidelines for the Management of
Patients With Unstable Angina/Non-ST-Eievation Myocardial Infarction (Updating the 2007
Guideline). JAm Coli Cardiol, 2011; 57:1920-1959, doi:lO.l 016/j.jacc.2011.02.009.
4. Goncalves, Pedro de Araujo. Et all. TIMI, PURSUIT, and GRACE risk scores : sustained prognostic
value and interaction with revascularization in NSTE-ACS. European Heart Journal (2005) 26, 865-
872. Doi:l 0.1 093/euheartj/ehil87.
ST ELEVATION MYOCARDIAL
INFARCTION (STEMI)
PENGERTIAN
MenurutACC/AHA STEM/ Guidelines 2004, STEM I adalah elevasi segmen ST > lmm
pada 2 lead berturut-turut (baik prekordial atau limb leads). Progresifitas infark
miokard dibagi menjadi 1. akut (beberapa jam pertama-7 hari), 2. healing (7-28 hari),
1
dan 3. Sembuh (29 hari).
DIAGNOSIS
Anamnesa
Nyeri vi sera seperti terbakar a tau tertusuk, letaknya biasanya di dada tengah atau
epigastrium, biasanya terjadi pada saat istirahat, terkadang menjalar ke lengan, dapat
juga ke perut, punggung, rahang bawah, dan Ieber, nyeri dibarengi dengan lemah,
nausea, keringat, muntah, ansietas. 1
Pemeriksaan Fisik
Pucat, eketremitas teraba dingin, dapat ditemukan takikardi dan atau hipertensi
(pada anterior infark), bradikardi dan atau hipotensi (posterior infarc). Terdapat
bunyi jantung III dan IV, penurunan intensitas bunyi jantung, paradoxical splitting
pada bunnyi jantung II, dapat juga ditemukan transient midsystolic atau late systolic
apical systolic murmur karena disfungsi katup mitral. Pericardia/ friction rub dapat
ditemukan pada transmural STEM I. Pulsasi karotis seringkali menurun dalam volume. 1
Laboratorium 1
1. EKG: elevasi segmen ST dengan gelombang Q
Tabel 1. Lokasi lnfark Miokard 2
45
40
35
....
:;:::
Ill 30
...
Qj
·;;; 25
....!!!
r:: 20
Q)
1/)
r:: 15
0
~
10
5
0
0 5 10 24
Waktu setelah onset nyeri dada
Keterangan: > = GPBB, o = mioglobin, o = Troponin T, segitiga penuh: CKMB
3. Pencitraan jantung
• Ekokardiografi: infark ventrikel ,kanan, aneurisma ventrikel, efusi perikardial,
dan trombus ventrikel kiri. Doppler ekokardiografi untuk deteksi dan kuantitas
defek septum ventrikel dan regurgutasi mitral.
• Cardiac MRI
DIAGNOSIS BANDING
Unstable angina, Non ST Elevation Myocardial Infarction, gambaran EKG elevasi
segmen ST: perikarditis dengan miokard infark, kor pulmonal akut, kontusio miokard,
dressier's syndrome.
TATALAKSANA
Pacta ruang emergensi
1. Aspirin: 160-325-mg tablet buccal, lanjutkan 75-162 mgjhari,l
2. Jika hipoksemia, berikan suplementasi 02 2-4ljmenit selama 6-12 jam
3. Kontrol ketidaknyamanan
• Nitrogliserin sublingual3x0,4 mg dengan jeda 5 menit. Bila gejala tidak hilang,
berikan nitrogliserin intravena.
• Morfin 2-4 mg intravena, dapat diulang sampai 3 kali dengan jeda 5 menit.
• Beta blocker iv: Metoprolol5 mg. 2-5 me nit sebanyak 3 kali. 15 me nit setelah dosis
ke-3, berikan 4x50 mg p.o selama 2 hari, lalu 2x100mg. atenolol: 2,5-5 mg selama
2 menit, total10 mg selama 10-15 menit. bisoprolol1x 2,5-10 mg. Percutaneous
Coronary Intervention (PCI): jika diagnosis meragukan, kontraindikasi terapi
fibrinolisis, ada renjatan kardiogenik, risiko perdarahan meningkat, atau gejala
tidak tertangani dalam 2-3 jam.
4. Terapi revaskularisasi
• Jika tidak tersedia sarana Intervensi Koroner Perkutan (IKP) atau tidak
mungkin mengerjakan IKP primer< 2jam
a. Terapi Fibrinolisis 5
• Waktu pemberian: efektifitas menurun dengan lamanya waktu, terutama
hila > 3 jam setelah onset
• Indikasi: serangan < 12 jam, elevasi segmen ST ~ 0,1 mV (~1mm) dalam 2
lead berturut-turut atau adanya Left Bundle Branch Block (LBBB)
• Kontraindikasi:
Absolut: neoplasma intrakranial, aneurisma, malformasi arteri vena,
strok non hemoragik atau trauma kepala tertutup dalam 3 bulan terakhir;
perdarahan internal aktif atau adanya perdarahan diastesis, curiga
diseksi aorta
Relatif: hipertensi be rat dengan tekanan darah sistol > 180 atau diastol
> 110 mmHg, strok iskemik, resusitasi kardiopulmonal yang lama> 10
me nit, trauma atau operasi besar dalam 3 minggu terakhir, perdarahan
interna dalam 2-4 minggu terakhir, noncompressible vascular puncture,
kehamilan, menggunakan antikoagulan.
• Tissue Plasminogen Activator (tPA): 15 mg bolus iv, lanjutkan 50 mg selama
30 menit, lalu 35 mg selama 60 menit
• Streptokinase: 1,5 juta unit iv selama 1 jam
• Tenecteplase (TNK): 0,53 mgjkg iv bolus
• Reteplase (rPA): 2x10 juta unit bolus dalam 2-3 menit, jeda 30 menit antara
dosis pertama dan kedua.
b. Intervensi Koroner Perkutan (IKP): jika tersedia sarana ikp dan ikp bisa
dikerjakan <2 jam. jika tidak bisa berikan fibrinolitik
5. Tienopiridin 2
• Clopidogrel 300-600 mg
• Prasugrel 60 mg
6. Glycoprotein lib/Ilia Inhibitors {GP Ilbjiiia inhibitors): bekerja menghambat
agregasi trombosit. 2
7. ACE Inhibitor untuk hipertensi, akut miokard infark anterior, atau disfungsi
ventrikel kiri: captopril 3x6,25 mg, mulai dalam waktu 24 jam atau ketika stabil
(tekanan darah sistolik > 100 mmHgJ-3
8. Lipid-lowering agent (jika LDL > 70-100 mgjdL, total cholesterol> 135 mgjdL):
Atorvastatin 10-BOmgjhari, rosuvastatin 20-40 mgjharU
KOMPLIKASI
Disfungsi ventrikel, hipovolemia, gaga! jantung kongestif, renjatan kardiogenik,
infark ventrikel kanan, aritmia, ventrikel takikardi dan fibrilasi. 1
PROGNOSIS
Terapi jangka panjang dengan antiplatelet agent (biasanya aspirin) mengurangi
angka kekambuhan STEMI sebesar 25%. 1
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Departemen Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan: Departemen Rehabilitasi Medik
'W"~"f~
~~~
DJ!;JA{f~XJ ,__ 5, •
~ ··~~~i'':tr'£:!5'!TI5:!:t"~~iJ~J
~..c~~
Segera kirim ke RS
dengan fasilitas PCI .----.~
Lebih baik
1
.:::. 90menit
Lebih baik
.:::_30menit
Segera kirim
ke RS dengan
fasilitas PCI
FMC = first medical contact, IKP = lntervensi Koroner Perkutan, STEM/ = ST Segment Elevation Myocardia/Infarction
REFERENSI
1. ST Elevation Miocard lnfark. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson
J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2011.
2. Boyle, Andrew J. Jaffe, Allan S. Acute Myocardial Infarction. Dalam: Crawford, Michael H. Current
Diagnosis & Treatment Cardiology 3'd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.
3. Jois, Preeti. NSTEMI and STEMI Therapeutic Updates 2011. Emergency Medicine Reports I Volume
32, Number 1 I January 1, 2011.
4. Anderson, Jeffrey L. ST Segment Elevation Acute Myocardial Infarction and Complications
of Myocardial Infarction. Dalam: Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders:
Philadhelphia. 2007.
5. Wright. RScott. 2011 ACCF/AHA Focused Update of the Guidelines for the Management of Patients
With Unstable Angina/Non-ST-Eievation Myocardial Infarction (Updating the 2007 Guideline).
6. http:/ /en.wikipedia.org/wiki/File:CardiacMarkerComparison.JPG
PENYAKIT JANTUNG KORONER
PENGERTIAN
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyempitan atau blokade arteri yang
mensuplai oksigen dan nutrisi ke jantung. Penyempitan itu dapat disebabkan
ateroskeloris yaitu akumulasi zat lemak pad a bagian dalam arteri yang menyebabkan
keterbatasan aliran darah ke jantung. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Nyeri dada, napas pendek, letih, lemah, berkurangnya kapasitas aktivitas, palpitasi,
kaki bengkak, berat badan turun, gejala yang berkaitan dengan faktor risiko seperti
DM dan hipertensi. 3
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan hipo/hipertensi, S4/S3 gallop, murmur, edema tungkai, dan
pemeriksaan fisik lain yang berkaitan dengan faktor risiko. 3
Pemeriksaan Penunjang
• Darah: Darah lengkap, profillipid, hemoglobinAtc' gula darah
• Elektrokardiografi: inversi gelombang T pada lead aVL
• Stress testing
• Ekokardiografi
• Arteriografi jika ditemukan hasil tes risiko tinggi yaitu pada Tes Treadmill
ditemukan depresi ST ~ 2 mm atau ~ 1 mm pada stage 1 atau di ~ 5 lead atau
recovery~ 5 me nit, menurunnya tekanan darah, angina selama latihan, duke score
~ -11, serta fraksi ejeksi < 35%.
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit jantung hipertensi, angina pektoris stabil dan tidak stabil, infark miokard.
Gambaran EKG T inverted: miokarditis, kardiomiopati.
TATALAKSANA4
Tujuan terapi: tekanan darah ~ 140/90 mmHg, HbA 1 c ~ 7%, kolesterol LDL .:5...100
mg/dL (~ 70 mgjdL pada pasien dengan DM).
Non farmakologis : stop rokok, olahraga 30-60 menitjhari, kurangi berat badan
(BMI 21-25 kgjm 2)
• Hipertensi: ACE inhibitor, beta blocker, calcium channel blocker, diuretik
• Aspirin 81-162 mgjhari, clopidogrel75 mgjhari, prasugrel
• Nitrat
• Hiperkolesterolemia : statin
KOMPLIKASI
Strok, infark miokard, aritmia.
PROGNOSIS
Prognosis tergantung beratnya penyakit.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Coronary artery disease definition. Diunduh dari : http:/ /medical-dictionary.thefreedictionary.
com/coronary+artery+disease pad a tanggal 10 juni 2012.
2. Crawford, MH. Chronic Ischemic Heart Disease. Dalam: Crawford, Michael H. Current Diagnosis
& Treatment Cardiology 3'd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.
3. Ischemic heart disease in adult. Dalam : Fauci A, Kasper D. Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011.
4. The UCLA Comprehensive Atherosclerosis Treatment Program Clinical Practice Guideline. Diunduh
dari: www.med.ucla.edu/champ/CHAMP05b.pdf pada tanggal 10 juni 2012
5. Cardiovascular Disease (ASCVD) Prevention, Screening, and Treatment Guideline. Diunduh dari
: http:/ /www.ghc.org/all-sites/guidelines/ascvd.pdf pada tanggal 10 juni 2012.
BRADIARITMA
PENGERTIAN
Bradikardia adalah laju denyut jantung kurang dari 60 kalijmenit. Pada orang yang
sering berolahraga, laju denyut jantung 50 kalijmenit saat terjaga dapat merupakan
hal yang normal. Sinus bradikardia yang penting secara klinis umumnya didefinisikan
sebagai laju denyut jantung kurang dari 45 kalijmenit yang menetap saat terjaga.
Disfungsi nodus sinus/ sinus node dysfunction (SND), atau lebih dikenal dengan sick
sinus syndrome (S~S), dapat juga merupakan manifestasi dari kegagalan akselerasi
laju sinus (kurangnya respons kronotropik) dalam situasi seperti olahraga, gagal
jantung, demam, obat simpatomimetik, atau parasimpatolitik. Sangat penting untuk
menentukan bahwa SND termasuk sinus bradikardia pad a seorang individu bukanlah
akibat sekunder dari obat kardioaktif seperti ~-blockers a tau calcium-channel blockers
non dihydropyridine. 1 Klasifikasi bradiaritmia secara umum dapat dilihat pada tabell.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1·2
• Gejala bradikardia: pusing, Ielah, exertional dyspnea, perburukan gagal jantung,
lightheadedness (presinkop), atau pingsanjsinkop
• Sindrom nervus vagus: episode vasovagal, muntah, bedah abdomen, prosedur
invasif saluran cerna atas dan bawah
• Penyakit komoabid: penyakit jantung koroner, iskemik atau infark miokard,
tumor intrakranial, tumor servikal dan mediastinum, peningkatan tekanan
intrakranial, hipoksia berat, myxedema, hipotermia, perubahan fibrodegeneratif,
fase konvalesens dari infeksi tertentu, depresi mental, sepsis gram negatif
• Riwayat konsumsi obat digitalis, antiaritmia
• Riwayat penyakit infeksi (mis. Penyakit Chagas, meningitis)
• Pasca bedah jantung dengan trauma pada sinus node
• Riwayat operasi mata, arteriografi koroner
Pemeriksaan Fisik1.2
• Tekanan darah, nadi: dapat ditemukan bradikardia, takikardia (pada bradycardia-
tachycardia syndrome).
• Stimulasi sinus karotis: masase karotis dilakukan saat pasien supine dan nyaman,
dengan kepala menengok ke arah yang berlawanan dengan sisi yang distimulasi.
Auskultasi bruit karotis perlahan-lahan sebelum dilakukan masase karena dapat
terjadi emboli akibat masase. Palpasi sinus karotis pada bifurkasio arteri dengan 2
jari, pad a sudut rahang sampai pulsasi yang bagus teraba. Dengan tekanan minimal
dapat menginduksi reaksi hipersensitivitas pada individu yang terkena. Apabila
tidak ada efek inisial, gerakan jari memutar atau sisi-demi-sisi (side-by-side) di
atas bifurkasio arteri dilakukan seiama 5 detik. Respons negatif adalah kurangnya
efek pad a EKG setelah penekanan adekuat selama 5 detik yang menyebabkan rasa
tidak nyaman yang ringan (tidak ada penurunan laju denyut nadi ~20%). Karena
respons masase dapat berbeda pad a kedua sisi, maneuver ini dapat dilakukan pada
sisi kontralateral, akan tetapi kedua sisi tidak boleh dirangsang secara bersamaan.
• Temuan fisik lain sugestif penyakit struktural jantung.
Pemeriksaan Penunjang 1• 3
• EKG 12 sadapan. Interpretasi EKG dapat dilihat pada tabel 2.
• Ambulatory monitoring, Holter monitors (lebih lengkap lihat pada bab prosedur
Holter Monitoring), event monitors, implantable loop recorders
• Tilt table testing: untuk menyingkirkan diagnosis sinkop neurokardiogenik
• Sulphate Atropine test
• Studi elektrofisiologis
• Ekokardiografi
• Exercise testing
label 2. lnterpretasi EKG pada bradiaritmia 1•3
biiP~IR!~t~!SJYlQit~f:1i!~WJ~~!!Ii~t~~l&~~~il~m~i~~!\~~l~\'~~~~~~i~\~~Iit£Z4!~¥&f:~\!~t~1
Derajat satu Interval PR >200 ms, semua impuls atrium terkonduksi
(1 :1)
Derajat duo Mobitz tipe I tPR progresif hingga tidak ada konduksi impuls
("grouped beating"), tinterval RR, durasi jed a <2x yang
mendahului interval RR
Derajat duo Mobitz tipe II Blok impuls sesekali atau berulang dengan interval PR
konsisten
Derajat Ill (blok total) Tidak ada konduksi A V
DIAGNOSIS BANDING
Sinus bradikardia fungsional, peningkatan rangsangvagal, kondisi gastrointestinal
dan neurologis, sinkop neurokardiogenik, hipersensitivitas sinus karotis (carotid sinus
syndrome/ collar syndrome, inflamasi (perikarditis, miokarditis, penyakit jantung
reumatik, penyakit Lyme), iatrogenik, pasca operasi, penyakit jantung kongenital,
penyakit infeksi. 1•3.4
TATALAKSANA
• Apabila tanpa gejala (asimptomatik) -7 terapi tidak diperlukan 1
• Manajemen SND dan blok AV derajat II dan III :atropine 1 mg IV a tau isoproterenol
1-2 IJ.g/menit infusan, pacu jantung sementara mungkin dibutuhkan 1
• Sinus bradikardia: apabila curah jan tung tidak cukup atau bila aritmia berkaitan
dengan laju denyut jantung pelan, berikan atropine 0,5 mg IV sebagai dosis inisial,
dapat diu lang bila perlu. Pada episode sinus bradikardia simtomatik yang lebih dari
sesaat atau rekuren (mis. saat infark miokard), pacu jantung sementara melalui
elektroda transvena lebih disukai daripada terapi obat yang lama atau berulang.
Pada sinus bradikardia kronis, pacu jantung permanen mungkin dibutuhkan bila
ada gejala 2
• Sinus aritmia: terapi biasanya tidak diperlukan. Meningkatkan laju denyut jantung
dengan olahraga atau obat-obatan umumnya menghilangkan sinus aritmia. Pada
pasien simtomatik, palpitasi dapat reda dengan sedatifjpenenang, sedangkan
atropin, efedrin, atau isoproterenol untuk terapi sinus bradikardia 2
• BlokAV: pacu jantung buatan semen tara a tau permanen. Eksklusi penyebab blok
AV reversibel berdasarkan kondisi hemodinamik pasien. Terapi farmakologis
adjuvan seperti atropin a tau isoproterenol mungkin dibutuhkan bila blok berada
di AV node. Pacu jantungtranskutaneus sangat efektifpada serangan akut, namun
durasi pemakaian sangat tergantung dari kenyamanan pasien dan kegagalan
menangkap ventrikel pada penggunaan jangka panjang. Bila pasien memerlukan
dukungan pacu jantung lebih dari beberapa menit ~ gunakan pacu jantung
transvena. Sadapan pacu jantung sementara dapat diletakkan pada sistem vena
jugularis atau subklavia dan diteruskan ke ventrikel kanan. Pada kebanyakan kasus
blokAV node distal tanpa adanya resolusi ~ pacujantungpermanen. 3 Rekomendasi
implantasi pacemaker pada disfungsi SA node dapat dilihat pada tabel 3.
KOMPUKASI
Pacemaker syndrome, takikardia terkait pacu jantung. 3
PROGNOSIS
Beberapa penelitian6•7 mengevaluasi morbiditas dan mortalitas pasien dengan SSS
yang menggunakan berbagai mode pacu jantung. Bila dibandingkan dengan pacu ventrikel,
pacu atrium berkaitan dengan insidens komplikasi tromboemboli, atrial fibrilasi, gagal
jantung, mortalitas kardiovaskular, dan morbiditas totallebih rendah. 8•9 Pasien dengan
SSS dengan gejala sinus bradikardia saja, memiliki prognosis yang lebih baik. 4
UNITYANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Akhtar M. Cardiac Arrythmias with Supraventricular Origin.ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
2. Olgin J. Specific Arrhythmias: Diagnosis and Treatment. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes
DP. Braunwald's Heart Disease. 9th Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2012.
3. Spragg D. The Bradyarrythmias. In :Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo
J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
4. Adan V, Crown L. Diagnosis and Treatment of Sick Sinus Syndrome. Am Fam
Physician. 2003 Apr 15;67(8):1725-1732.
5. Elhendy A, Domburg RT, Box JJ, et al. The functional significance of chronotropic incompetence
during dobutamine stress test. Heart 1999;81 :398-403
6. Lamas GA. Lee K, Sweeney M, Leon A, Yee R, Ellenbogen K, et al. The mode selection trial
(MOST) in sinus node dysfunction: design, rationale, and baseline characteristics of the first 1000
patients. Am Heart J. 2000; 140:541-51 .
7. Tang CY, Kerr CR, Connolly SJ. Clinical trials of pacing mode selection. Cardiol Clin. 2000;18:1-23.
8. Mangrum JM, DiMarco JP. The evaluation and management of bradycardia. N Eng! J
Med. 2000;342:703--9.
9. Andersen HR, Nielsen JC, Thomsen PE, Thuesen L, Mortensen PT, Vesterlund T, et al. Long-
term follow-up of patients from a randomised trial of atrial versus ventricular pacing for sick-sinus
syndrome. Lancet. 1997;350:121 0-6.
TAKIARITMIA
PENGERTIAN
Sinus takikardia didefinisikan sebagai peningkatan laju denyut sinus> 100xjmenit
sebagai respons stimulus fisiologis sesuai (mis. olahraga) atau stimulus berlebihan
(mis. hipertiroidisme ). Kegagalan mekanisme yang mengatur laju denyut sinus dapat
menyebabkan sinus takikardia yang tidak sesuai. Penyebabnya antara lain pireksia,
hipovolemia, atau anemia, yang dapat berasal dari infeksi. Obat-obatan yang dapat
menginduksi sinus takikardia termasuk stimulan (kafein, alkohol, nikotin); komponen
yang diresepkan (salbutamol, aminofilin, atropine, katekolamin); terapi antikanker
(doxorubicin/adriamycin, daunorubicin); dan beberapa obat rekreasionaljilisit
(amfetamin, kokain, kanabis, "ecstasy'V
Istilah takiaritmia umumnya merujuk pada bentuk takikardia berkelanjutan
(sustained) atau tidak (nonsustained), yang berasal dari fokus miokardial atau sirkuit
reentrant. 2 Takiaritmia supraventrikular dapat terjadi tunggal atau sebagai kompleks
prematur berturut-turut atau dalam bentuk takikardia sustained atau nonsustained. Definisi
nonsustained tachycardia adalah suatu aritmia dengan laju denyut jantung >100xjmenit
yang berlangsung;:: 3x namun bertahan <30 detik. Sustained tachycardia adalah episode
pemanjangan takikardia yang berlangsung sedikitnya 30 detik atau diterminasi lebih awal
dengan intervensi, seperti obat-obatan intravena, overdrive pacing, atau direct current
electrical cardioversion karena situasi yang mendesak (urgentP
Penting untuk membedakan takikardia ventrikular (VT) dari SVT dengan konduksi
intraventrikular abberant karena (a) VT umumnya lebih berat (meskipun SVT dapat
juga mencetuskan iskemia akut atau gagal jantung), dan (b) terapi lini pertama SVT
seperti ~-blocker dan calcium-channel blocker (CCB) dapat mencetuskan kolaps
hemodinamik pada pasien VT. SVT pada pasien dengan bundle branch block (BBB)
dapat diidentifikasi dengan ketidaksesuaian QRS pada sadapan dada (kompleks
positifpredominan pada V1-V2 hanya dengan right bundle branch block (RBBB), dan
left bundle branch block (LBBB) hanya pada VS-V6. Sementara takikardia pacemaker-
dependent diidentifikasi berdasarkan pacemaker spikes dan adanya generator
pacemaker pada pemeriksaan klinis dan radiologis. 4
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1-3.5•6
• Palpitasi, melambatnya nadi atau pusing akibat denyut prematur, dengan
takiaritmia cepat dapat terjadi gangguan hemodinamik seperti pusing a tau pingsan
akibat penurunan curah jantung atau sulit bernapas.
• Terkadang dapat terjadi rasa tidak nyaman pada dada yang menyerupai gejala
iskemi miokard.
• Kegagalan hemodinamik dengan berkembangnya fibrilasi ventrikel dapat
menyebabkan kematian mendadakjsudden cardiac death (SCD).
• Kondisi jantung komorbid umumnya menentukan derajat keparahan gejala pada
laju jantung tertentu.
• Riwayat penyakit komorbid seperti hipertiroidisme.
• Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi obat-obatan stimulan (kafein, alkohol,
nikotin); komponen yang diresepkan (salbutamol, aminofilin, atropine,
katekolamin); terapi antikanker (doxorubicin/ Adriamycin, daunorubicin); dan
obat adiktif (amfetamin, kokain, kanabis, "ecstasy')
Pemeriksaan Fisik3·5 ·6
• Maneuver fisik saat takikardia : maneuver Valsava atau masase sinus karotis
dapat menyebabkan peningkatan tonus vagal sementara; takiaritmia yang
bergantung pada nodus AV untuk kontinuasi dapat berhenti atau melambat
dengan maneuver ini, namun dapat juga tidak ada perubahan. Takikardia atrium
fokal sesekali berhenti karena respons stimulasi vagal, begitu juga takikardi
ventrikel yang jarang. Takikardia sinus sedikit melambat mengikuti stimulasi
vagal, dan kembali ke laju semula langsung setelahnya; respon ventrikel saat
fluter dan fibrilasi atrium dan takikardia atrium lainnya dapat menurun dengan
jelas. Selama takikardia QRS lebar 1:1 hubungan antara gelombang P dengan
kompleks QRS, pengaruh vagal dapat menggentikan atau memperlambat takikardia
supraventrikular (SVT) yang tergantung pada nodus AV; sebaliknya efek vagal
pada nodus AV dapat memblok konduksi retrograd sementara dan menegakkan
diagnosis VT yang menunjukkan disosiasi AV. Efek dari maneuver ini hanya
bertahan beberapa detik; sehingga pemantauan adanya perubahan pada EKG saat
maneuver ini dilakukan seringkali tidak dianggap
• Stimulasi sinus karotis (lebih lengkap lihat pada bab Bradiaritmia)
• Temuan fisik sugestif penyakit struktural jantung (lebih lengkap lihat pada
bab Bradiaritmia)
Pemeriksaan Penunjang2 ·3·5
• Laboratorium (sesuai indikasi) : tes fungsi tiroid, elektrolit, urinalisis untuk obat ilisit
• EKG 12 sadapan untuk mengkonfirmasi aritmia. Hasil ritme sinus harus dinilai
secara hati-hati pacta pasien tanpa penyakit jantung struktural untuk bukti adanya
elevasi segmen ST pacta V1 dan V2 yang konsisten dengan Brugada syndrome,
perubahan interval QT yang konsisten dengan long or short QT syndromes, atau
interval PR pendek dan gelombang delta yang konsisten dengan Wolff-Parkinson-
White (WPW) syndrome. Pola EKG ini mengidentifikasi kemungkinan substrat
aritmogenikyang dapat mengancam nyawa dan membutuhkan evaluasi dan terapi
lebih lanjut. Interpretasi EKG pacta SVT dapat dilihat pacta tabell.
• Holter monitoring selama 24 jam sebaiknya dipertimbangkan pacta pasien dengan
gejala harian, event monitor (King of Hearts) apabila gejala mingguan
• Rawat inap dan pemeriksaan elektrofisiologis pacta pasien dengan penyakit jantung
struktural dan sinkop yang dicurigai takikardia ventrikel dengan pertimbangan
kuat alat implantable cardioverterjdefibrillator (/CD).
• Penilaian ukuran dan fungsi ventrikel kiri dan kanan dengan ekokardiografi pacta
pasien takikardia ventrikel.
diturunkan
1 ~
I Rujuk ke studi EP I I Rujuk ke studi EP I I Kemungkinan
Rujuk ke studi EP I
lCD
Ablasi Pacu jantung 1
Gombar 1. Algoritma evaluasi pasien dengan gejala palpitasi, pusing, dan/atau sinkop 4
Kriteria diagnosis takikardia sinus berdasarkan metode invasif dan non-invasif
(ACC/ AHA/ESC 2003) :1
• Adanya takikardia sinus persisten (laju denyut jantung >100xfmenit) saat
siang hari dengan peningkatan laju berlebihan dalam merespons aktivitas dan
normalisasi laju denyut jantung pada malam hari yang dikonfirmasi dengan
monitor Holter selama 24 jam.
• Takikardia dan gejalanya bersifat non-paroksismal.
• Morfologi gelombang P dan aktivasi endokardium identik dengan ritme sinus.
• Eksklusi penyebab sekunder sistemik (mis. hipertiroidisme, feokromositoma,
physical deconditioning)
DIAGNOSIS BANDING
Hipertiroidisme, tirotoksikosis, feokromositoma, sindrom Brugada, sindrom Wolff-
Parkinson-White, sindrom long QTY
TATALAKSANA
Tatalaksana primer takikardia sinus yaitu identifikasi penyebab serta
mengeliminasi atau mengobatinya. Beta blocker dapat menjadi sangat berguna dan
efektifpada takikardia sinus simptomatis fisiologis yang dipicu oleh stres emosional,
dan gangguan lain terkait ansietas; manfaat prognostik pasca infark miokard;
simptomatis dan manfaat prognostik pada kondisi lain dengan etiologi sinus takikardia
ireversibel seperti gagal jantung kongestif; dan tirotoksikosis simptomatis yang
dikombinasikan dengan carbimazole atau propylthiouracyl (PTU). Nondihydropyridine
calcium-channel blockers, seperti dilitiazem a tau verapamil, dapat bermanfaat pada
pasien tirotoksikosis simptomatis apabila beta blocker dikontraindikasikan. 1 Terapi
SVT dapat dilihat pada tabel 2. Tatalaksana AF dapat dilihat pada tabel 3.
KOMPLIKASI
Tromboemboli, gagal jantung, kematian mendadak. 6
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, berat gejala dan respons terapi
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Medical High Care/ ICCU
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, ICCU
REFERENSI
1. Blomstrom-Lundqvist C, et al. ACC/AHA/ESC guidelines for the management of patients with
supraventricular arrhythmias: a report of the American college of cardiology/American heart
association task force on practice guidelines and the European society of cardiology committee
for practice guidelines (writing committee to develop guidelines for the management of patients
with supraventricular arrhythmias) Developed in Collaboration with NASPE-Heart Rhythm Society.
JAm Coli Cardiol. 2003; 42:1493-1531
2. Marchlinski F. The Tachyarrythmias. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
3. Akhtar M. Cardiac Arrythmias with Supraventricular Origin. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
4. Adelmann GA. Rhythm and Conduction Disorders. In: Cardiology Essentials in Clinical Practice.
London. Springer-Verlag. 2011
5. Olgin J. Approach to the Patient With Suspected Arrythmia.ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
6. Olgin J, Zipes DP. Specific Arrhythmias: Diagnosis and Treatment. In: Libby P, Bonow RO, Mann
DL Zipes DP. Braunwald's Heart Disease. 9th Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2012.
7. Fuster V, et al. 2011 ACCF/AHA/HRS Focused Updates Incorporated Into the ACC/AHA/ESC
2006 Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation: A Report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
Circulation 2011; 123:e269- e367.
CARDIAC ARREST
PENGERTIAN
Cardiac arrest didefinisikan sebagai berhentinya fungsi mekanis jantung secara
mendadak, yang mungkin dapat reversibel dengan intervensi cepat namun dapat
menyebabkan kematian apabila tidak ada intervensi,l
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1
Didapatkan secara aloanamnesis. Dapat diawali dengan riwayat peningkatan
angina, dispneu, palpitasi, mudah lelah, dan keluhan tidak spesifik lainnya. Akan tetapi
gejala prodromal umumnya prediktif untuk penyakit jantung, namun tidak spesifik
untuk memprediksi sudden cardiac death (SCD).
Pemeriksaan FisikU
• Nadi tidak teraba
DIAGNOSIS BANDING
Hipovolemia, hipoksia, asidosis, hipokalemia/hiperkalemia, hipotermia, tension
pneumothorax, tamponade jantung, toksin, trombosis paru, trombosis koroner. 2
TATALAKSANA
Tatalaksana cardiac arrest dapat dilihat pada gam bar 1.
Panduan Praktik llinis
Perhimpunan Ookter sPesiatis·'P9nyakit Dotam lndohe~i~
Kualitas CPR
Tekan 5 em dan cepat (~100x/
menit), allow complete chest
recoil
Mulai CPR berikan
o Kurangi interupsi soot kompresi
oksigen, tempelkan monitor/defibrilator
o Hindari ventilasi berlebihan
o Rotasi kompresor tiap 2 menit
o Bila tidak ada advanced airway,
gunakan rasio kompresi-ventilasi
30:2
o Kapnografi kuantitatif: bila
PETC02 <10 mmHg, tingkatkan
kualitas CPR
o Tekanan intraarteri: bila tekanan
lase relaksasi (diastolik) <20
mmHg, tingkatkan kualitas CPR
Return of Spontaneous Circulation
(ROSC)
o Nodi dan tekanan darah
o Kenaikan PET C02 ~40 mmHg
berkelanjutan
o Gelombang tekanan arteri span-
tan dengan monitor intraarterial
Shock energy
o Bifasik: dosis inisial 120-200 J; bila
tidak diketahui, gunakan dosis
maksimum yang tersedia. Dosis
kedua dan selanjutnya sebai-
knya ekuivalen atau lebih tinggi
o Monofasik : 360 J
Terapi obat
Epinefrin IV /10 1 mg per 3-5 me nit
o Vasopressin IV /10 40 unit dapat
menggantikan dosis epinefrin
pertama dan kedua
o Amiodaron IV /10. Dosis pertama
300 mg bolus, dosis kedua 150
mg
Advanced airway
o lntubasi endotrakeal atau supra-
glottic advanced airway
shockable? o Kapnografi waveform untuk kon-
firmasi dan monitor pemasangan
ETT
12
o RR: 8-1 Ox/me nit dengan kompresi
Tanda kembalinya sirkulasi dada kontinu
Lanjut ke 5 atau 7
spontan I ROSC (-) -7 lanjut ke Etiologi reversibel
10 atau 11. Bila ROSC (+) -7 post- -71ihat pada diagnosis banding
cardiac arrest care
KOMPLIKASI
Ensefalopati pasca resusitasi, kematian
PROGNOSIS
Prognosis cardiac arrest di dalam RS terkait penyakit non-kardiak buruk, dan
perawatan pasca resusitasi didominasi oleh penyakit komorbid. Pasien dengan kanker
stadium akhir, gaga! ginjal, penyakit sistem saraf pusat akut, infeksi tidak terkontrol,
memiliki survival rate <10%. 1
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Medical High Care I ICCU
• RS non pendidikan : ICCU
REFERENSI
1. Castellanos A, Myerburg RJ. Cardiovascular Collapse, Cardiac Arrest, and Sudden Cardiac
Death. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles
of Internal Medicine. 18'" Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
2. Sinz E, Navarro K, et al. Part 5: Managing VF/Pulseless VT. Advanced Cardiovascular Life Support
Provider Manual. American Heart Association. 2011
EKSTRASISTOL VENTRIKULAR
PENGERTIAN
Ekstrasistol ventrikular /premature ventricular contractions (PVC) merupakan
suatu aritmia yang terlihat jelas pada elektrokardiogram dengan Iebar (umumnya
> 120 milidetik) dan morfologi QRS unik, yang terjadi akibat aktivasi atrium secara
independen (gelombang P). PVS dapat terjadi akibat peningkatan automatisitas,
aktivitas yang dipicu, atau re-entry. 1 Macam-macam PVC dapat dilihat pada tabell.
Anamnesis1. 3
• Umumnya asimptomatik
• Palpitasi, rasa tidak nyaman pada leher atau dada, sinkop
• Pasien akan merasa jantungnya seolah-olah berhenti berdenyut setelah suatu PVC
• Pada pasien dengan penyakit jantung dan PVC frekuen jangka panjang, dapat
menyebabkan angina, hipotensi, atau gagal jantung
• Riwayat penyakit komorbid seperti penyakit jantung struktural (iskemia atau
penyakit katup jantung)
• Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi obat-obatan digitalis, kebiasaan
mengonsumsi tembakau, kafein, alkohol berlebihan
Pemeriksaan Fisikl.3
• Tekanan darah (dapat ditemukan hipotensi), nadi (dapat ditemukan denyut ektopik
yang diikuti dengan long pause), dapat diikuti dengan menurunnya intensitas bunyi
jantung, pulse oxymetry (hipoksia dapat memicu PVC)
• Gelombang A atau giant A pada pulsasi vena jugularis, splitting bunyi jan tung II,
dapat juga terdapat bunyi jantung S3 dan ronki (pada gagal jantung kongestif),
hipertensi dan S4 pada PVC dengan hipertensi lama
• Temuan neurologis: agitasi dan temuan aktivasi simpatis (dilatasi pupil, kulit kering
dan hangat, tremor, takikardia, hipertensi) sugestifkatekolamin sebagai penyebab
PVC
Pemeriksaan Penunjangl. 3
• Laboratorium (sesuai indikasi): elektrolit (terutama kalium dan magnesium),
kadar obat digitalis dalam serum darah, skrining obat-obatan
• EKG 12 sadapan selama 2 menit dapat membantu untuk menentukan frekuensi
ektopi dan merekam PVC infrekuen. Pada EKG dapat ditemukan hipertrofi ventrikel
kiri, iskemia jantung aktif (ST depresi atau elevasi, T-inverted), infark miokard
sebelumnya (gelombang Q atau hilangnya gelombang R, bundle branch block),
gangguan elektrolit (QT memanjang, gelombang T hiperakut), efek obat (QRS
melebar, QT memanjang), gambaran morfologi PVC. Derajat keparahan PVC dapat
diukur dengan skoring Lown yaitu nilai 0 = tidak ada PVC, 1 = sesekali ( <30/jam),
2 = frekuen (>30/jam), 3 =multiform, 4 = repetitif (A= couplets, B =Salvos atau
2:3), 5 = pola R-on-T. Semakin tinggi nilai Lown, maka PVC makin serius.
• Holter monitoring selama 24 jam untuk menentukan kuantitas dan karakteristik
PVC.
• Ekokardiografi berguna untuk evaluasi fraksi ejeksi, yang berguna untuk
menentukan prognosis dan juga mengidentifikasi penyakit katup atau hipertrofi
ventrikel.
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom koroner akut, infark miokard, miokarditis, fibrilasi ventrikel, takikardia
ventrikel
TATALAKSANAL3
• Secara umum tidak perlu diterapi, terutama pacta pasien yang tidak memiliki
penyakit jan tung struktural.
• Indikasi terapi primer adalah meredakan gejala.
• Terapi lini pertama adalah /]-blocker: atenolol 25-100 mgjhari atau metoprolol
50-200 mgjhari. Apabila tidak efektif, amiodaron dapat dipertimbangkan.
• Obat antiaritmia kelas I atau kelas III dapat dipertimbangkan, namun potensi untuk
proaritmia dan toksisitas organ harus menjadi pertimbangan. Alternatif pada
pasien simptomatis, terutama yang tidak memiliki penyakit jantung struktural,
adalah ablasi kateter radiofrekuensi (RFA).
• PVC yang mengikuti denyut ventrikel lambat dapat dihilangkan dengan
meningkatkan laju denyut jantung dasar dengan atropine a tau isoproterenol a tau
dengan pacu jan tung, sementara menurunkan HR pada pasien dengan takikardia
sinus dapat menghilangkan PVC.
• PVC frekuen, meskipun dalam seting infark miokard akut, tidak perlu diterapi,
kecuali memberi kontribusi hemodinamik kompromais. Pacta pasien rawat inap
dapat diberi lidokain. Apabila dosis maksimum lidokain maksimal tidak berhasil,
procainamide IV dapat diberikan. Propranolol dianjurkan bila obat lain tidak
berhasil.
• Koreksi gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan hipoksia
KOMPLIKASI
Takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel, kematian mendadak
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
UNITY ANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Lerman BB. Ventricular Arrythmias.ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia.
Saunders, Elsevier. 2008.
2. Adelmann GA. Rhythm and Conduction Disorders. In :Cardiology Essentials in Clinical Practice.
London. Springer-Verlag. 2011
3. Olgin J, Zipes DP. Ventricular Rhythm Disturbances. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL Zipes DP.
Braunwald's Heart Disease. 91h Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2012.
GAGAL JANTUNG
PENGERTIAN
Merupakan sindrom klinis yang terjadi karena abnormalitas struktur danjatau
fungsi jantung yang diturunkan atau didapat sehingga mengganggu kemampuan
pompa jantung. Ada beberapa istilah gagal jantung :1 · 4
• Berdasarkan onset tejadinya:
o Gagal jantung akut: adalah suatu kondisi curah jan tung yang menurun secara
tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer,
disebabkan sindrom koroner akut, hipertensi berat, regurgitasi katup akut.
o Gagal jan tung kronikjkongestif: adalah suatu kondisi patofisiologis terdapat
kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan,
terjadi sejak lama.
• Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan keluhan hipoperfusi. Gagal
jantung diastolik yaitu gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel a tau
disebut juga gagal jantung dengan fraksi ejeksi > SO%.
• Gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri disebabkan
kelemahan ventrikel kiri, sehingga meningkatkan tekanan vena pulmonalis
dan paru, sedangkan gagal jantung kanan terjadi akibat kelebihan melemahnya
ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer jsekunder, tromboemboli
paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik.
• Low output dan high output heart failure (secara klinis tidak dapat diebdakan)
o Low output heart failure adalah gagal jan tung yang disertai disebabkan oleh
hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikardium.
o High output heart failure adalah gagal jantung yang disertai penurunan
resistensi vaskular sistemik seperti pada hipertiroidisme, anemia, kehamilan,
fistula A-V, beri-beri, dan penyakit Paget.
• Berdasarkan klasifikasi NYHA :
Tabel 1. Klasifikasi Gagel Jantung berdasarkan NYHA3.4
Klasifikasi ini dikembangkan untuk pasien dengan infark miokard akut, terdiri dari:
1. Klasifikasi Forrester
Pasien diklasifikasikan berdasarkan hipoperfusi perifer, kongesti pulmonal,
hemodinamik, dan meningkatnya tekanan kapiler pulmonal, dikembangkan untuk
infark miokard akut
2. Klasifikasi berdasarkan perfusi dan kongesti (Klasifikasi Stevenson):
a. Kategori Forrester 1 (grup A) :warm and dry. Berisiko tinggi menderita gaga!
jantung tetapi tanpa kelainan struktur jantung atau tanpa adanya keluhan gaga!
jantung
b. Kategori Forrester 2 (grup B): warm and wet. Adanya penyakit struktur jantung
tanpa keluhan atau tanda gaga! jantung, PCWP > 18 mmHg
c. Kategori Forrester 3 (grup C) :cold and dry. Adanya penyakit struktur jantung
dengan keluhan atau tanda gaga! jantung, hipoperfusi : cardiac index< 2,2
d. Kategori Forrester 4 (grup D) : cold and wet. Gaga! jantung refrakter, kongesti
paru dan hipoperfusi
3. Klasifikasi berdasarkan Framingham
a. Kriteria major :
o Paroxysmal nocturnal dyspnea
o Distensi vena leher
o Ronki paru
o Kardiomegali
o Edema paru akut
o Gallop S3
o Peninggian tekanan vena jugularis
o Refluks hepatojugular
b. Kriteria minor ;
o Edema ekstremitas
o Batuk malam hari
o Dispnea d'effort
o Hepatomegali
o Efusi pleura
o Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
o Takikarida (> 120 kalijmenit)
4. Klasifikasi berdasarkan dominasi jantung yang kiri atau kana yaitu :
a. Forward acute heart failure_
b. Left heart backward failure: yang dominan gagal jantung kiri
c. Right heart backward failure: berhubungan dengan disfungsi paru dan jantung
sebelah kanan.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Fatigue, dyspnea, shortness of breath. Keluhan dapat berupa keluhan saluran
pencernaan seperti anoreksia, nausea, dan rasa penuh. Jika be rat dapat terjadi konfusi,
disorientasi, gangguan pola tidur dan mood. 1
Pemeriksaan Fisik
Posisi pasien dapat tidur terlentang atau duduk jika sesak. Tekanan darah dapat
normal atau meningkat pada tahap awal, selanjutnya akan menurun karena disfungsi
ventrikel kiri. Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian tekanan pengisian vena,
adanya murmur sistolik, murmur diastolik, dan irama gallop perlu dideteksi dalam
auskultasi jantung. Kongesti paru ditandai dengan ronki basah pada kedua basal paru.
Penilaian vena jugular dapat normal saat istirahat tetapi dapat meningkat dengan
adanya tekanan pada abdomen (abdominojugular reflux positif). Pada abdomen
adanya hepatomegali merupakan tanda penting pada gagal jantung, asites, ikterus
karena fungsi hepar yang terganggu. Edema ekstremitas yang umumnya simetris
dapat ditemukan. 1
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium : DPL, elektrolit, urea, kreatinin, gula darah, albumin, enzim hati.
• Analisa gas darah
• Natriuretic peptide (B type natriuretic peptidesjBNP atau NT- pro BNP)
• Elektrokardiografi
• Foto toraks
• Ekokardiografi
• Exercise Testing
l
I Abn;rmal I Normal
~
Menentukan tipe
dan derajat keparahan
~
Disfungsi
diastolik
!Disfungsi
sistolik transien
l
Penyebab lain dari
gaga I jantung.
Kesalahan dalam diagnosis
/pemeriksaan
diagnosis lain
DIAGNOSIS BANDING
Acute respiratory distress syndrome, gagal ginjal.
TATALAKSANA
Farmakologis 1.4.8
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit
diuretik regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis
normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretic
atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan
diuretik intravena, a tau kombinasi loop diuretik dan tiazid. Diuretik he mat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mgjhari dapat mengurangi mortalitas pacta
pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang
disebabkan gagal jan tung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pacta
gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai
dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sa rna seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dosis
kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom
gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pacta gagal jantung
klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol
atau metoprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan
diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi
penggunaan penghambat ACE
e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat memberi hasil yang baik pacta
pasien yang intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan
f. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi
sistolikventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-
sama diuretik, penghambat ACE , penyekat beta. Dosis : 0.125 qd dengan dosis
maksimal 0.375 qd.
g. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli
serebral pacta penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang
buruk. Antikoagulan perlu diberikan pacta fibrilasi atrial kronis maupun dengan
riwayat emboli, trombosis dan transient ischemic attacks, trombus intrakardiak
dan aneurisma ventrikel.
h. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau
aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali
pacta aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia kelas III terutama amiodaron
dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah
kematian mendadak.
i. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk
mengobati angina atau hipertensi pacta gagal jantung.
j. Pemakaian alat dan tindakan bedah:
o Revaskularisasi
o Operasi katup mitral
o Aneurismektomi
o Kardiomioplasti
o External cardiac support
o Pacu jan tung konvensional, resinkronisasi pacu jan tung biventricular
o Implantable carioverter defibrillators (/CD)
o Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart
o Ultrafiltrasi, hemodialisis
· ~~t!:i1~~~~;i~;',;ei~~~¥;J~!~~?i~n!m:s~;,~;:;s~~~~~~~~l;W!!!i~~r•~~ :~;,;~~~~]~!&Gc#-'~m~X6l~5~i;j
Furosemid 20-40 1-2 kali sehari 500
Bumetanid 0.5-1.0 1-2 1-2 kali sehari 10
Torasemid 10-20 qd at au bid 1 kali sehari 200
Hidroklorotiazid 25qd 1-2 kali sehari 100
Metolazon 2.5 qd atau bid 1 kali sehari 20
lndapamid 2.5 1 kali sehari 2.5
Amilorid 5 1 kali sehari 40
Triamteren 50 2 kali sehari 200
Spironolakton 1.5-50 qd 1 kali sehari 100-200
Tabel. 8. Jenis Obat yang Digunakan pada Gagal Jantung Kongestif'· 4·8
l'.tX8~t;'~ti:~::~s~~~~~6f:~:@ni~t~a:qi'J"f};'r~;eM~::'~~~:;~t~3!~?i''~§fR~)X$1:,nJ~~'!f:'tm91':\~l~:,}lti:!.it~:tt~ro:~u6:QtQ91fJm91~1
Obat ACE inhibitor Captopril 6.25 25~50 tid
Benazepril 2.5 5-10 bid
Enalapril 2.5 10bid
Lisinopril 2.5-5 5-20 perhari
Ramipril 1.25-2.5 2.5-5 bid
Trandolapril 0.5 4qd
Obat ARB inhibitor Valsartan 40bid 80-320
Candesartan 4qd 4-32
lrbesartan 75qd 150-300
Losartan 12.5qd 50-100
Qpat penyekaJ 13 Carvedilol 3.l25.qd - . 12.5-SO.bid
Bisoprolol 1.25qd 2-10qd
Metoprolol suksinat 12.5-25 qd 10-30
KOMPLIKASI
Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektrolit
PROGNOSIS
Angka kematian dalam 1 tahun setelah terdiagnosis mencapai 30-40 o/o, sedangkan
angkan dalam 5 tahun 60-70 %. Kematian disebabkan karena perburuhkan klinis
mendadakan yang kemungkinan disebabkan karena arimia ventrikel. Berdasarkan
klasifikasi, NYHA kelas IV mempunyai angka kematian 30-70 %, sedangkan NYHA
kelas II 5-10 %. 1
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : ICCU medical High Care
• RS non Pendidikan : ICCU / ICU
REFERENSI
1. Anil Chandraker A. Heart Failure. In: Fauci A. Kasper D. Longo D, Braunwald E. Hauser S, Jameson
J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181" ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 234.
2. Panggabean M. Gagal Jantung .. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B. Simadibrata M, Sudoyo
AW, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi IV. Jakarta: lnterna Publishing; 2006: Hal
1513-1514
3. Gary S. Francis, Theodore G. Ganiats, Marvin A. Konstarn. 2009 Focused Update: ACCF/AHA
Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults: 2009 Wrint Group to review
new evidence and update the 2005 guideline for the management of patients with chronic heart
failure witing on behalf the 2005 heart failure writing. Circulation. 2009;119:1977-2016. Diunduh dari
http:/ /circ.ahajournals.org/content/119/14/1977 pada tang gal 19 Juni 2012.
4. Sharon Ann Hunt. William T. Abraham, Marshall H Chin. ACC/AHA 2005 Guideline Update for the
Diagnosis and Management of Chronic Heart Failure in the Adult : A Report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Writing
Committee to Update the 2001 Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure):
Developed in Collaboration With the American College of Chest Physicians and the International
Society for Heart and Lung Transplantation: Endorsed by the Heart Rhythm Society. Circulation.
2005;112:e 154-e235. http:/ /circ.ahajournals.org/content/112/12/e 154
5. Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR et all. Executive summary of the guidelines on the diagnosis
and treatment of acute heart failure :The Task Force on Acute Heart Failure of the European
Society of Cardiology. European Heart Journal (2005) 26, 384-416.
6. Greenberg B, Kahn AM. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Bonow RO, Mann DL Zipes DP,
Lib P, editors. Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine.9 1" ed. United
States of America; Elsevier, 2012. P.517-542
; 604
Gagol Jantung
7. Panggabean MM. Dalam BAB 248: Gagaljantung akut. Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata
M, Sudoyo AW, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing;
2010: Hal1583-1585
8. Ghanie A. Gagal jantung kronik. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo
AW, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal
1596-1601
ENDOKARDITIS INFEKTIF
PENGERTIAN
Definisi endokarditis infektif (EI) menurut modifikasi kriteria Duke adalah :1
• Kriteria patologis :
o Kultur atau pemeriksaan histologis adanya vegetasi yang telah menjadi emboli,
a tau spesimen abses intrakardiak menunjukkan mikroorganisme (+), a tau
o Lesi patologis; vegetasi atau abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan
pemeriksaan histologis menunjukkan endokarditis aktif
• Kriteria klinis
o 2 kriteria mayor, atau
o 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor, atau
o 5 kriteria minor
• Kemungkinan EI
o 1 kriteria mayor dan 1 atau 2 kriteria minor, atau
o 3 kriteria minor
• Bukan EI
o Tegaknya diagnosis alternatifyang menjelaskan bukti EI atau
o Resolusi sindrom EI dengan terapi antibiotik dalam ::; 4 hari, atau
o Tidak ada bukti patologis EI pada saat operasi atau autopsi, dengan terapi
antibiotik dalam ::; 4 hari, atau
o Tidak memenuhi kriteria kemungkinan EI seperti diatas
Penjelasan kriteria mayor dan minor dapat dilihat pada tabel 1.
Klasifikasi dan definisi EI menurut European Society of Cardiology tahun 2009
dapat dilihat pada tabel 2.
Beberapa kondisi jantung terkait peningkatan risiko prognosis buruk dari
endokarditis ketika profilaksis tindakan dental diperlukan dapat dilihat pada tabel 3.
Tabell. Modifikasi kriteria Duke 1
Tabel 2. Klasifikasi dan Definisi El Menurut European Society of Cardiology Tahun 2009 2
El menurut lokasi infeksi dan adanya atau absennya materi intrakardiak
• El katup asli (native) sebelah kiri (NVE)
• El katup prostetik sebelah kiri (prosthetic valve endocarditis I PVE)
o PVE dini : < 1 tahun setelah operasi katup
o PVE lam bat : > 1 tahun setelah operasi katup
• El sebelah kanan
• El terkait alat (pacu jantung permanen atau cardioverter-defibrillator)
El menurut cara didapat
• El terkait pelayanan kesehatan
o Nesokomial ·· El berkembang pada pasien rawatinap >48 jam sebelum
onset tanda/gejala konsisten dengan El
o Non-nosokomial Tanda dan/atau gejala El muncul <48 jam setelah dirawat
dengan definisi kontak sebagai berikut:
1. Perawatan di rumah atau terapi IV, hemodialisis, atau
kemoterapi IV <30 hari sebelum onset El; atau
2. Dirawat <90 hari sebelum onset El; atau
·-·~---.-3,--Pefl§AtJfli-rumaM·jemJ')e atau-fasilitas-perawatafl--···
jangka panjang
• El didapat dari komunitas Tanda dan/atau gejala El dimulai <48 jam setelah dirawat
pada pasien yang tidak memenuhi kriteria infeksi terkait
pelayanan kesehatan
• El terkait penyalahgunaan obat IV El pada pengguna injeksi aktif tanpa sumber infeksi
lainnya
El aktif
• El dengan demam persisten dan kultur darah (+) atau
• Morfologi inflamasi aktif yang ditemukan soot operasi atau
• Pasien masih do lam terapi antibiotik atau
• Bukti histopatologis El aktif
Rekuren
• Relaps Episode berulang El oleh mikroorganisme yang soma <6
bulan setelah episode inisial
• Reinfeksi lnfeksi oleh mikroorganisme berbeda
Episode berulang El oleh mikroorganisme yang soma >6
bulan setelah episode inisial
Tabel 3. Kondisi Jantung Terkait Peningkatan Risiko Prognosis Buruk dari Endokarditis dimana
Protilaksis Tindakan Dental Diperlukan 1
Katup jantung prostetik atau materi prostetik yang digunakan untuk perbaikan katup jantung
Riwayat El sebelumnya
Penyakit jantung bawaan {PJB)*
PJB sianotik yang tidak dapat diperbaiki, termasuk shunt dan pipa (conduit) paliatif
Defek jantung kongenital yang telah diperbaiki dengan materi atau alat prostetik, baik yang
ditempatkan melalui operasi atau kateter, dalam 6 bulan pertama setelah tindakan**
Defek residual PJB yang telah diperbaiki pad a tempat pemasangan patch atau alat prostetik
atau sekitarnya (yang menghambat endotelialisasi)
Resipien transplantasi jantung yang memiliki valvulopati jantung
Keterangan :
*Kecuali kondisi yang disebutkan diatas, antibiotik profilaksis tidak lagi direkomendasikan
**Profilaksis dianjurkan karen a endotelialisasi materi prostetik terjadi do lam 6 bulan pasco tindakan
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 2 ·3
• Demam: akut dan subakut, menggigil, keringat, sepsis of unknown origin
• Anoreksia, penurunan be rat badan, malaise
• Mialgia, artralgia
• Nyeri punggung
• Riwayat EI sebelumnya, penyakit jantung bawaan (PJB), atau penyakit katup
jantung
Pemeriksaan Fisik2 ·3
• Febris (dapat absen pacta usia lanjut, setelah pre-terapi antibiotik, pasien
imunokompromais, dan EI virulensi rendah atau organisme atipikal)
• Manifestasi kardiak: takikardi, murmur regurgitasi baru atau perburukan (pacta
'
608
EI akut murmur dapat absen namun pada akhirnya akan terdeteksi), gagal jantung
kongestif akibat disfungsi katup atau fistula intrakardiak. Abses perivalvular
dapat menimbulkan perikarditis atau masuk ke dalam septum ventrikel atas dan
mengganggu sistem konduksi menimbulkan berbagai derajat blok jantung. Emboli
arteri koroner dapat menyebabkan infark miokard.
• Manifestasi non-kardiak
o Perdarahan subungual, nodus Osler (pada EI S. aureus), lesi Janeway, Roth's
spots, petekia
o Nyeri muskuloskeletal, nyeri dada pleuritis, batuk (akibat emboli sepsis),
infiltrat paru nodular, piopneumotoraks
o Splenomegali
Pemeriksaan Penunjang 3
• Laboratorium : anemia, leukositosis, hematuria mikroskopis, peningkatan LED
dan protein C-reaktif, faktor rheumatoid, kompleks imun sirkulasi, penurunan
komplemen serum, tes serologis Brucella, Bartonella, Legionella, Chlamydophila
psittaci, dan C. burnetii
• Kultur darah
• Ekokardiografi : konfirmasi anatomis EI, ukuran vegetasi, deteksi komplikasi
intrakardiak, dan penilaian fungsi jantung. Definisi anatomis dan ekokardiografi
dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Definisi anatomis dan ekokardiografi 2
f:!tltJf~11t11~~~-1tt~tl~Q:ltQf!Wfrftlf. . .~~-r~lfAW~Riltfif~~~~Jt~1Zl
Vegetasi Massa yang terinfeksi melekat Massa intrakardiak pada katup
pad a struktur endokardium, atau atau struktur pendukung yang
materi imp/an intrakardiak berosilasi atau tidak pada struktur
endokardium, atau materi implan
intrakardiak
Abses Kavitas perivalvular dengan Area perivalvular menebal. non-
nekrosis dan materi puri.Jien yang homogen dengan gambaran
tidak berhubungan dengan lumen ekodens dan ekolusen
kardiovaskular
Pseudoaneurisma Kavitas perivalvular berhubungan Ruang echo-free perivalvular
d(;ll1~(ln l~fT1~11-~(]r::c:ji()\!(J~k~!(lr .. . y(lng. puis(Jfile_, c:l~D.9(J_n_ (]li!(]n_yqng
terdeteksi oleh Doppler warna
Perforasi Diskontinuitas·jaringan Diskontinuitas jaringan endokardium
endokardium yang dilalui oleh Doppler warna
Fistula Hubungan antara 2 kavitasi melalui Hubungan Doppler warna ant ora 2
perforasi kavitasi melalui perforasi
Aneurisma katup Kantung sakular jaringan valvular Penonjolan sakular jaringan valvular
-· ---- -Dehisensi-katup-------------Gehisensi-pr-ostetil::~- -Regurgitasi-paravalvularyang-- ···
prostetik diidentifikasi oleh TTE/TEE, dengan
atau tanpa gerakan prostetik
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Klinis curiga EI
Katup prostetik
lntracardiac
device
TEE
Jika TEE pertama (-) tapi masih curiga El, ulang TEE setelah 7-10 hari
TATALAKSANA
Katup asli
Methicillin-susceptible staphylococci
Flucloxacillin 12 g/hari IV dalam 4-6 dosis 4-6
atau
Oxacillin
dengan
· Gentamisin -31Tlg/kg/hari-IV-atau IM .. - <~-Shari
-- Gentamicin .. tetap-dianj.u.rkan
dalam 2 atau 3 dosis pada PVE meskipun manfaat
klinisnya belum jelas. Fungsi ginjal
dan konsentrasi serum gentamisin
sebaiknya dimonitor tiap minggu,
pada pasien gagal ginjal 2x/
minggu. Saat diberikan dalam 3
-·· ----·-------------------------~-.. -------·---dosis..Jmos.e.ntra.sL~rum p_re-_cjpse __
<1 mg/L dan post-dose (puncak 1
jam setelah injeksi) 3-4 mg/L
Paslen alergl penlsilin atau stafilokokus resisten methicillin
Vancomycin 30 mg/kg/hari IV dalam 4-6 Konsentrasi serum vancomycin
2 dosis mencapai 25-30 mg/L pada pre-
dose
dengan
Gentamisin 3 mg/kg/hari IV atau IM 2 Fungsi ginjal dan konsentrasi serum
dalam 2 atau 3 dosis gentamisin sebaiknya dimonitor
tiap minggu. Pada dosis tunggaL
konsentrasi serum pre-dose <1
mg/L dan post-dose (puncak 1jam
setelah injeksi) -1 0-12 mg/L
Katup prostetik
Methicillin-susceptible staphylococci
(Fiu)coxacillin 12 g/hari IV dalam 4-6 dosis ;::6
a tau
Oxacillin
dengan
Rifampin 1200 mg/hari IV atau PO ;::6 Rifampin meningkatkan
dalam 2 dosis metabolisme warfarin dan
obat lainnya di hati. Sebaiknya
digunakan dalam kombinasi
dengan obat lain untuk mencegah
resistensi
dan
Gentamicin 3 mg/kg/hari IV atau IM 2 Gentamicintetap dianjurkan
· dalam 2 atau 3 dosis pada PVE meskipun manfaat
klinisnya belum jelas. Fungsi ginjal
dan konsentrasi serum gentamisin
sebaiknya dimonitor tiap minggu,
pada pasien gagal ginjal 2x/
minggu. Soot diberikan dalam 3
dosis, konsentrasi serum pre-dose
<1 mg/L dan post-dose (puncak 1
jam setelah injeksi) 3-4 mg/L
Pasien alergi penisilin atau stafilokokus resisten methicillin
Vancomycin 30 mg/kg/hari IV dalam 2 ;::6 Konsentrasi serum vancomycin
dosis mencapai 25-30 mg/L pada pre-
dose
dengan
Rifampin 1200 mg/hari IV atau PO ;::6 Rifampin meningkatkan
dalam 2 dosis metabolisme warfarin dan
obat lainnya di hati. Sebaiknya
digunakan dalam kombinasi
dengan obat lain untuk mencegah
resistensi
-d<in___ _
Gentamisin 3 mg/kg/hari IV atau IM 2 Fungsi ginjal dan konsentrasi serum
dalam 2 atau 3 dosis gentamisin sebaiknya dimonitor
tiap minggu. Pada dosis tunggal.
konsentrasi serum pre-dose <1
mg/L dan post-dose (puncak 1 jam
setelah injeksi) -1 0-12 mg/L
Beta-/actam and gentamicin susceptible strain (pada strain resisten lihat a.b.c)
Amoxicillin 200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 Terapi 6 minggu dianjurkan pada
4-6 dosis pasien dengan gejala >3 bulan
dan pada PVE
dengan
Gentamisin 3 mg/kg/hari IV atau IM 4-6 Monitor kadar serum aminoglikosida
dalam 2 atau 3 dosis dan fungsi ginjal sesuai yang
diindikasikan pada tabel 6
atau
Ampicillin 200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 Terapi 6 minggu dianjurkan pada
4-6 dosis pasien dengan gejala >3 bulan
dan pada PVE
dengan
Gentamisin 3 mg/kg/hari IV atau IM 4-6 Monitor kadar serum aminoglikosida
dalam 2 atau 3 dosis dan fungsi ginjal sesuai yang
diindikasikan pada tabel 6
atau
Vancomycin 30 mg/kg/hari IV dalam 6 Pada pasien alergi beta-lactam.
2 dosis Monitor serum vancomycin do pat
dilihat pada tabel 6
dengan
Gentamisin 3 mg/kg/hari IV atau IM 6 Monitor kadar serum aminoglikosida
dalam 2 atau 3 dosis dan fungsi ginjal sesuai yang
diindikasikan pada tabel 6
Keterangan :
Resistensi tingkat tinggi terhadap gentamisin (MIC >500 mg/L): bila sensitif terhadap streptomycin, ganti
0
gentamicin dengan streptomycin 15 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Jika tidak, gunakan terapi beta-lactam
jangka panjang. Kombinasi ampicillin dengan celtriaxone dianjurkan pad a E. faecalis yang resisten terhadap
gentamicin
bResistensi beta-lactam: (i) bila akibat produksi beta-lactamase, ganti ampicillin dengan ampicillin-sulbactam
atau amoxicillin dengan amoxicillin-clavulanate; {ii) bila akibat PBPS, gunakan rejimen berbasis vancomycin
cBila multiresistensi terhadap aminoglikosida. bela-/actam, dan vancomycin ~ alternatif : {i) linezolid 2 x
600 mg IV /hari atau PO selama ~8 minggu (monitor toksisitas hematologis); {ii) quinupristin-dafopristin 3 x
7,5 mg/kg/hari selama ~8 minggu; {iii) kombinasi beta-lactam dengan imipenem dilambah ampicillin atau
ceftriaxone ditambah ampicillin selama ~8 minggu
o,;
'·/·"
Tabel 8. Terapi Antibiotik El dengan Kultur Darah Negatif2
: ' •· :;::~(Jfqg~o:. · ,, ·;.· · ,r~"c;il't~riJu~a!l ···· · ·· ·'./~~:~R~~~·r,~,f~Rf:~~'" ··:;t'';;'·~·::;;l(~m~nta'r~?' : ;e· · 'n
Brucella spp. Doxycycline Sukses apabila Tambahan streptomycin 25
(200 mg/24 jam) titer antibodi mg/kg/hari dalam 2 dosis
+ Cotrimoxazole <1 :60 pada beberapa minggu
(960 mg/12 jam) pertama bersifat optional
+ Rifampin (300-600 mg/24
jam) selama ~3 bulan PO
Coxiella burnetti Doxycycline Sukses apabila Doxycycline + Hydroxychlo-
(Q fever) (200 mg/24 jam) titer anti-fase roquine (dengan monitor
+ Hydroxychloroquine lgG <1 :200, titer kadar serum hydroxychloro-
(200-600 mg/24 jam) PO lgG dan lgM quine) lebih superior diband-
gtgy <1:50 ing doxycycline sendiri dan
Doxycycline doxycycline+fluoroquinolone
(200 mg/24 jam)
+ Kuinolon
(Ofloxacin 400 mg/24 jam)
PO
selama >3 bulan
Bartonella spp. Ceftriaxone (2 g/24 jam) Diharapkan dilaporkan termasuk
atau Ampicillin (atau sukses pada aminopenici/lin
Amoxicillin) (12 g/24 jam) IV ~90% kasus
gtgy
Doxycycline (200 mg/24 Beberapa rejimen terapi
jam) PO selama 6 minggu dan cephalosporin
+ Gentamicin (3 mg/24 jam) dikombinasikan dengan
atau Netilmiciri IV selama 3 aminoglikosida, doxycycline,
minggu vancomycin, dan kuinolon
KOMPLIKASI
Kerusakan lokal pada endokardium atau miokardium, perforasi katup a tau fistula
intrakardiak, abses paravalvular, abses miokardium, gagal jantung, abses ginjal, emboli
serebrovaskular. 3
' 616
,Endokarditis lnfektif
PROGNOSIS
Studi menunjukkan EI dengan komplikasi gagal jantung, operasi katup dapat
menurunkan tingkat mortalitas sebesar 1 tahun. 4 Tingkat mortalitas NVE bervariasi
sebesar 16-27%, sedangkan PVE lebih tinggi. Lebih dari 50% kasus menunjukkan
infeksi dalam 2 bulan pasca operasi. Tingkat fatalitas pacu jantung EI dapat mencapai
34o/0 Prediktor prognosis buruk pada pasien EI dapat dilihat pacta tabel.
Karakteristik pasien : usia tua, El katup prostetik, diabetes melitus insulin-dependent, komorbiditas
(kelemahan, penyakit kardiovaskular, ginjal, paru sebelumnya)
Adanya komplikasi El : gaga I jantung, gagal ginjal, stroke, syok sepsis, komplikasi perianular
Mikroorganisme : S. aureus, jamur, basil gram negatif
Temuan ekokardiografi : komplikasi perianular, regurgitasi berat katup sebelah kiri, fraksi
ejeksi ventrikel kiri rendah, hipertensi pulmonal, vegetasi besar, disfungsi prostetik berat
penutupan katup mitral prematur dan tanda lain dari meningkatnya tekanan diastolik
UNITYANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik
REFERENSI
1. Baddour LM, Taubert KA Gewitz MH, Wilson WR. Infective Endocarditis. In : Fuster V. The AHA
Guidelines and Scientific Statements Handbook. American Heart Association. Texas: Willey-
Biackwell. 2009. Hal 312-35.
2. Habib G, Hoen B, Tornos P, et al. Guidelines on the prevention, diagnosis, and treatment of
infective endocarditis (new version 2009). The Task Force on the Prevention, Diagnosis, and
Treatment of Infective Endocarditis of the European Society of Cardiology (ESC). European Heart
Journal 2009:30; 2369-2413.
3. Karchmer AW. Infective Endocarditis. In: Longo DL. Fauci AS, Kasper DL. Hauser SL, Jameson JL,
Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
4. KieferT, Park L, Tribouilloy C, Cortes C, Casillo R, Chu V, et al. Association between valvular surgery
and mortality among patients with infective endocarditis complicated by heart failure. JAMA.
Nov 23 2011 ;306(20):2239-47. -
5. Wallace SM, Walton Bl, Kharbanda RK, Hardy R, Wilson AP, Swanton RH. Mortality from infective
endocarditis: clinical predictors of outcome. Heart. Jul 2002;88(1 ):53-60.
PENYAKIT KATUP JANTUNG
PENGERTIAN
Penyakit katup jantung adalah gangguan dari katup jantung, yaitu jaringan yang
mengatur aliran darah melalui bilik jantung. 1 Pada bab ini akan dibahas mengenai
stenosis Mitral dan regurgitasi, aorta stenosis dan regurgitasi.
Area Mitral
Area Tricuspid
STENOSIS MITRAL
PENGERTIAN
Stenosis Mitral adalah penyempitan atau konstriksi dari katup mitral, yaitu katup
yang memisahkan atrium kiri dengan ventrikel kirU
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Sesak napas yang diperberat aktivitas, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea,
fatique. 3
Pemeriksaan Fisik
Opening snap, loud 51 (closing snap), diastolic rumbling murmur dengan hipertensi
pulmonal, a parasternal lift with a loud P2. 3
Pemeriksaan PenunjangH 5
• Elektrokardiogram: pembesaran atrium kiri, fibrilasi atrial, hipertrofi ventrikel
kanan
• Rontgen thorax: pembesaran atrium kiri dan ukuran ventrikel normal
• Echokardiografi dua dimensi: penebalan katup mitral dengan keterbatasan gerakan
katup dan berkurangnya diameter katup.
• Doppler echokardiografi: peningkatan tekanan trasmitral dan pressure half-time
memanjang
• Kateter jantung: peningkatan tekanan baji kapiler paru, gradient transmitral
biasanya > 10 mmHg, pada kasus berat di area katup mitral< 1 cm 2 •
DIAGNOSIS BANDING,
Atrial septal defect dalam klinis, EKG dan rontgen thorax seringkali mirip dengan
stenosis Mitral yaitu ditemukannya pembesaran ventrikel kanan dan peningkatan
vaskularisasi paru, left atrial myxoma dapat menghalangi pengosongan atrium kiri
menyebabkan dyspnea dan murmur diastolik 4
TATALAKSANA3
• Nor farmakologis: diet rendah natrium, olahraga
• Farmakologis
• Beta bloker, kalsium channel bloker, diuretik, digoksin
• Perkutaneus BMV
• Pembedahan: closed commissurotomy, open commissurotomy, dan mitral valve
replacement
Stenosis sedang-berat,
area katup mitral~ 1,5 cm2
Pertimbangkan
PMBV
Pertimbangkan
commisurotomy atau mitral
valve replacement
Keterangan :
PASP = Pulmonary Artery Sistolic Pressure
PAWP = Pulmonary Artery Wedge Pressure
MVG =Mean Mitral Valve Pressure Gradient
PMBV =Percutaneous Mitral Balloon Valvotomy
4
Gombar 1. Algoritma Tatalaksana Stenosis Mitral
Pacta kehamilan, wanita dengan stenosis Mitral ringan sampai sedang dapat
diterapi dengan diuretik dan beta bloker. Obat antiaritmia yang disarankan adalah
quinidine atau procainamide. Jika memerlukan antikoagulan, sebaiknya berikan
heparin, hindari warfarin. Pacta stenosis Mitral berat, bila anatomi katup mitral baik,
pertimbangkan percutaneus balloon valvuloplasty. 3
REGURGITASI MITRAL
PENGERTIAN
Regurgitasi mitral (RM) adalah aliran balik darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri
karena insufisiensi dari katup mitral. 6
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Dyspnea karena latihan, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea. 5
Pemeriksaan Fisik
Holosistolik murmur menjalar ke aksila, S3, pergeseran apex jantung. 5
DIAGNOSIS BANDING
Stenosis aorta -7 murmur pacta stenosis aorta dapat menyerupai mitral regurgitasi,
terutama bila murmur mitral regurgitasi atipik atau menjalar ke area aorta, ventricular
septal defect, prolaps katup mitral. 3
TATALAKSANA4 ·5
• RM asimptomatik tanpa pembesaran ventrikel kiri, ritme sinus: hindari olahraga
atau latihan isometrik, ekokardiografi ulang setiap 6 bulan
• RM kronik: antikoagulan, ACE inhibitor, pembedahan
• RM akut: vasodilator nitropruside, jika terjadi hipotensi: intra-aortic balloon
counterpulsation
• Pembedahan: valvuloplasti
• lndikasi:
o Regurgitasi mitral kronik, berat, atau non iskemik.
o Hipertensi pulmonal: tekanan arteri pulmonal > 50 mmHg saat istirahat atau
> 60 mmHg saat aktivitas.
PROGNOSIS
Mitral regurgitasi kronik memiliki prognosis lebih baik daripada akut. 3
STENOSIS AORTA
PENGERTIAN
Stenosis aorta adalah penyempitan pada katup aorta yaitu katup an tara ventrikel
kiri dengan aorta.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Angina pektoris, sinkop, gejala gagal jantung kongestif: dyspnea saat aktivitas,
orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea. 7
' 622
Pemeriksaan Fisik
Murmur ejeksi sistolik; medium pitched, baik terdengar pada area aorta menjalar
sampai arteri karotis, carotid upstroke ; volume rendah, keterlambatan mencapai
amplituda puncak. 7
Pemeriksaan Penunjang 3 ·5
• EKG: pembesaran atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri
• Rontgen thorax: boot-shaped heart, pada foto lateral tampak kalsifikasi katup aorta
• Echokardiografi: penebalan katup aorta, berkurangnya mobilitas katup, hipertrofi
ventrikel kiri konsentris. Doppler echokardiografi: meningkatnya tekanan gradient
transvalvular dan menurunnya area aorta, gradient rata-rata > 50 mmHg (pada
kasus berat).
• Kateter jantung: meningkatnya left ventricular end-diastolic pressure, gradient
transaorta 50 mmHg, area katup aorta< 0,7cm 2 •
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom koroner akut, mitral regurgitasi, stenosis Mitral , prolaps katup mitral,
miokard infark.
TATALAKSANA3.4
• Hindari aktivitas berat
• Terapi simptomatik
o Hipertensi: ACE inhibitor (perlu hati-hati dalam penggunaannya karena dapat
menyebabkan hipotensi, penggunaanACE inhibitor pad a pasien asimptomatik
tidak direkomendasikan), beta bloker
o Angina: nitogliserin
o Statio untuk memperlambat kalsifikasi katup aorta
• Transcateter Aortic Valve Implantation (TAVI)
• Pembedahan: aortic valve replacement
Indikasi:
o Stenosis aorta berat: area katup < 1 cm 2 atau 0,6 cm 2 jm 2 area permukaan tubuh
o Disfungsi ventrikel kiri
o Aneurisma atau expanding aortic root (dimensi maksimal >4.5 em atau
peningkatan ukuran >0.5 cmjtahun).
o Hipertrofi ventrikel kiri dengan ketebalan dinding >15 mm
PROGNOSIS
Rata-rata kematian sebesar 5% dalam 3 bulan setelah gejala muncul, 75% dalam
3 tahun setelah gejala muncul, bila tidak dilakukan intervensi pembedahan. 3
Bila aorta stenosis berat, lakukan balloon valvuloplasty atau valve replacement.
REGURGITASI AORTA
PENGERTIAN
Regurgitasi aorta adalah ali ran balik darah dari aorta ke dalam ventrikel kiri karena
insufisiensi katup semilunaris aorta. 6
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Dyspnea, orthopnea, proxismal nocturnal dyspnea, angina, sinkop. 5
Pemeriksaan Fisik
Kronik: Diastolic blowing murmurpada batas kiri sternum, sirkulasi hiperdinamik,
perubahan point maximal impulse. Akut: short diastolic blowing murmur, soft 51. 5
DIAGNOSIS BANDING
Mitral stenosis , regurgitasi pulmonal, stenosis tricuspid.
TATALAKSANA4 ·5 ·8
• Kronik:
Vasodilator jika asimptomatik dan fungsi ventrikel kiri normal
Pembedahan
• Akut: vasodilator
• Pembedahan: aortic valve replacement
Indikasi:
o Kronik: adanya gejala, ejection fraction< 0,55, end-systolic diameter> 55 mm
o Akut: gagal jantung (walaupun ringan)
PROGNOSIS
Dengan aortic valve replacement, rata-rata kematian 3-4% dan bertahan selama
5 tahun sebesar 85%. 3
Regurgitas aorta kronik tanpa disfungsi ventrikel kiri biasanya ditoleransi dengan
baik, bahkan yang dengan gejala. Manajemen dengan vasodilator, diuretik, dan restriksi
garam. Indikasi pembedahan yaiutu pada aorta regurgitasi akut a tau yang gejalannya
tidak dapat dikontrol.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Jantung, Departemen Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan : Departemen Bedah Jantung, Departemen Rehabilitasi Medik
REFERENSI
1. Mosby's Medical Dictionary, 8th edition.© 2009, Elsevier.
2. The American Heritage® Medical Dictionary Copyright© 2007, 2004 by Houghton Miffiin Company.
Published by Houghton Mifflin Company.
3. Bryg, Robert J. Stenosis Mitral . Dalam: Crawford, Michael H. Current Diagnosis & Treatment
Cardiology 3'd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.
4. Valvular Heart Disease. Dalam: Fauci A. Kasper D. Longo D. Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies. 2011.
5. Carabello, Blase A. Valvular Heart Disease. Dalam: Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition.
Saunders: Philadhelphia. 2007.
6. Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers.© 2007 by Saunders, an imprint of Elsevier.
7. Carabello, blase A. Crawford, Michael H. Aortic stenosis. Dalam: Crawford, Michael H. Current
Diagnosis & Treatment Cardiology 3'd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.
8. Zoghbi, William A. Crawford, Michael H. Aortic Regurgitation. Dalam: Crawford. Michael H. Current
Diagnosis & Treatment Cardiology 3'd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.
9. Bonser, Robert. Pagano, Domenico. Haverich, Axel. Stenosis Mitral Surgery. Springer. 2011.
PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY
PENGERTIAN
Peripartum cardiomyopathy (PPCM) merupakan suatu kardiomiopati idiopatik
dengan gagal jantung sekunder akibat disfungsi sistolik ventrikel kiri pada akhir mas a
kehamilan atau dalam bulan menjelang persalinan, dan merupakan suatu diagnosis
eksklusU Kriteria diagnosis PPCM yaitu: 2
1. Berkembangnya gagal jantung pada akhir bulan masa kehamilan atau dalam 5
bulan pasca persalinan
2. Disfungsi sistolik ventrikel kiri (fraksi ejeksi ventrikel kiri <45%)
3. Penyebab gagal jantung tidak dapat diidentifikasi, dan
4. Tidak ditemukannya penyakit jantung sebelum bulan terakhir masa kehamilan
PPCM berkembang selama trimester akhir a tau dalam 6 bulan pertama kehamilan,
dengan frekuensi 1:3.000 dan 1:15.000 kelahiran. Faktor risikonya antara lain
meningkatnya usia maternal, paritas, kehamilan kembar, malnutrisi, penggunaan
terapi tokolitik pada kehamilan prematur, dan preeklampsia. 3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1·3 ·4
• Tanda dan gejala awal PPCM seringkali menyerupai fisiologis normal kehamilan
dan dapat meliputi kelelahan, edema perifer, sesak napas terutama saat beraktivitas
(dyspnea on exertion), orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan batuk kering
persisten.
• Gejala tambahan: rasa tidak nyaman pada abdomen akibat kongesti hati, pusing,
nyeri prekordial, palpitasi, pada stadium lanjut dapat terjadi hipotensi postural,
anemia
• Riwayat PPCM pada kehamilan sebelumnya
• Riwayat gagal jantung, miopati skeletal, gangguan konduksi dan takiaritmia,
kardiomiopati, sudden death dalam keluarga
• Riwayat kebiasaan minum alkohol, narkoba, kemoterapi, atau terapi radiasi
··panduan Praktik Klinis
PerhlmpUnan Doktef SpesialiS Penycikit DCicm lndotlesia
Pemeriksaan Fisik1A
• Konjungtiva anemis, takikardia, tekanan darah dapat normal atau meningkat,
I peningkatan tekanan vena jugularis (JVP)
• Bunyi jantung ke-III ( +), pergeseran impuls apeks (displaced apical impulse},
murmur baru yang konsisten dengan regurgitasi mitral dan trikuspid
• Ronki basal paru (+)
• Bunyi jantung ke-11 yang loud atau split, ronki ( +) -7 tanda hipertensi pulmonal
Pemeriksaan Penunjang 1A
• Laboratorium: darah perifer lengkap, parameter biokimia, fungsi tiroid, skrining
sepsis, serologi virus, marker molekular
• Marker jantung: troponin T (ditentukan dini setelah onset PPCM), peningkatan
B-type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro-BNP (NT-proBNP)
• EKG: umumnya tidak spesifik. Dapat menunjukkan gambaran ritme sinus atau
sinus takikardia, dapat terjadi atrial fibrilasi atau ventrikel takikardia terutama
hila disfungsi sistolik ventrikel kiri menjadi kronis
• Radiologis:
o Foto toraks: dapat ditemukan kardiomegali, edema parujkongesti, efusi pleura
o Ekokardiografi: tidak diagnostik untuk PPCM, namun penting untuk
menyingkirkan penyebab gaga] jantung lainnya, melihat EF, besar ventrikel
kiri
o Cardiac magnetic resonance imaging (MRI): menilai struktur dan fungsi jantung,
deteksi fibrosis miokard
• Biopsi endomiokard: tidak rutin dilakukan karena pola mikroskopik spesifik
PPCM tidak ada
DIAGNOSIS BANDING
KOMPLIKASI
Gagal jantung kronis, kematian. 1•3.4
PROGNOSIS
Pemulihan fungsi sistolikterjadi pada 23-41% dan biasanya terjadi dalam 6 bulan
setelah onset gejala. Pemulihan fraksi ejeksi cepat seringkali terlihat pada pasien
setelah diagnosis inisial dan diuresis. Fraksi ejeksi >45% pada 2 bulan setelah diagnosis
memberikan prognosis pemulihan fungsional secara penuh pada 75% wanita. Akan
tetapi suatu studi melaporkan mortalitas 28% dapat terjadi hingga 2 tahun setelah
terdiagnosis meskipun telah terjadi pemulihan fungsional. Sekitar 50% wanita tanpa
pemulihan fungsi sistolik sempurna, sebagian memperoleh perbaikan fraksi ejeksi
atau status fungsional, sementara lainnya mengalami disfungsi sistolik persisten
atau progresif sehingga membutuhkan transplantasi atau berakibat pada kematian. 4
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Medical High Care j ICCU
• RS non pendidikan : ICCU
REFERENSI
Sliwa K, Hilfiker-Kleiner D, Petrie MC, et al. Current state of knowledge on aetiology, diagnosis,
management, and therapy of peripartum cardiomyopathy: a position statement from the
Heart Failure Association of the European Society of Cardiology Working Group on peripartum
cardiomyopathy. European Journal of Heart Failure (201 0) 12, 767-778. Diunduh dari http:/ /eurjhf.
oxfordjournals.org/ pada tanggal 6 Juni 2012.
2. Morales A, Painter T, Li R, et al. Rare Variant Mutations in Pregnancy-Associated or Peripartum
Cardiomyopathy. Circulation 201 0;121 :2176-2182. Diunduh dari http:/ /circ.ahajournals.org/
content/121 /20/2176 pada tanggal 6 Juni 2012.
3. Loscalzo J, Stevenson LW. Cardiomyopathy and Myocarditis. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York,
McGraw-Hill. 2012.
4. Aursulesei V, Datcu MD. Periparturn Cardiomyopathy: A Systematic Review. In: Veselka J.
Cardiomyopathies- From Basic Research to Clinical Management. Croatia, lntech. 2011. Hal
83- 116. Tersedia di http://www.intechopen.com/books/cardiomyopathies-frorn-basic-research-
to-clinical-management
I
PERIKARDITIS
PENGERTIAN
Perikardium adalah lapisan avaskular yang melapisi jan tung, terdiri dari 2 bagian
yaitu perikardium viseralis dan parietalis. Perikardium viseralis merupakan membran
serosa yang terdiri dari satu lapisan tersusun atas sel mesotelial dan menempel pada
jantung, sedangkan perikardium parietalis merupakan membran fibrosa dengan tebal
< 2 mm yang banyak mengandung kolagen dan sedikit elastin. Perikardium viseralis
dan parietalis dipisahkan oleh cairan yang berasal dari ultrafiltrasi plasma dalam
jumlah sedikit ±15-35 ml. Fungsi dari perikardium yaitu Y
• Mencegah dilatasi jantung tiba-tiba terutama pada atrium dan ventrikel kanan
selama aktivitas dan hipervolemia.
• Menjaga posisi anatomis jantung dan mencegah terlipatnya pembuluh darah besar
• Mengurangi gesekan antara jantung dan struktur sekitarnya
• Mencegah perpindahan letak jan tung
• Mengurangi risiko penyebaran infeksi dari paru-paru dan rongg pleura
Walaupun perikardium mempunyai fungsi yang penting, tidak adanya perikardium
karena kelainan kongenital ataupun operasi, tidak menimbulkan keluhan klinis. Salah
satu kelainan yang dapat terjadi pada perikardium yaitu perikarditis. Perikarditis
adalah peradangan pada perikardium viseralis danjatau parietalis yang dapat
diklasifikasikan berdasarkan keadaan klinis dan etiologi,l
Pericardia! knock +
Filling pressures kiri sama dengan kanan + Kiri > 3-5 mmHg dari kanan
Filling pressures > 25 mmHg Jarang Umum
Tekanan sistolik arteri pulmonal > 60 mmHg umum
Tanda square root + Bervariasi
Variasi pola pernapasan pada tekanan kiri Berlebihan normal
dan kana
Ketebalan dinding ventrikel Normal tlmumnya meningkat
Ukuran atrium Normal Pembesaran kedua atrium
Septal bounce +
Kecepatan dalam Doppler Meningkat Menurun
Ketebalan perikardium Meningkat Normal
• Jika ada tamponade jantung:
o Lakukan perikardiosentesis tertutup emergensi atau observasi pasien
secara ketat jika efusi berkurang setelah diberikan terapi percobaan dengan
farmakologis
DIAGNOSIS BANDING
• Perikarditis akut: infark jantung akut, emboli paru, pleuropneumonia, diseksi
aorta, pneumonia, penumonitis, kostokondritis, gastroesophageal reflux disesase,
akut abdomen. 4
• Efusi perikardjtamponade: kardiomiopati dilatasi atau gaga! jantung, emboli paru,
• Perikarditis konstriktiva: kardiomiopati restriktif
Perikarditis Rekuren 4
• OAINS selama 2 minggu
• Kolkisin 2-3 mg per oral dilanjutkan dengan 1 mg
• Predniosn 0.2-0.5 mgjkg berat badanjhari
• Perikardiotomi
Efusi Perikard 4
• OAINS atau kolkisin : dapat mengurangi cairan efusi
• Pungsi perikardi untuk diagnostik
Tamponade Jantung 4
• Perikardiosentesis perkutan
• Bila belum bisa dilakukan perikardiosentesis perkutan, infus normal salin 500
ml dalam 10 menit disertai dobutamin 2-10 ugjkgBB/menit, untuk memperbaiki
hemodinamik atau isoproterenol 2-20 ugjmenit
• Kalau perlu membuat jendela perikardial dengan :
o Dilatasi halon melalui perikardiostomi jarum perkutan
o Pemhedahan (dengan mortalitas sekitar 15%) untuk memhuat jendela
perikardial dapat dilakukan hila : tidak ada cairan yang keluar saat
perikardiosentesis, tidak memhaik dengan perikardiosentesis, kasus trauma
• Pemhedahan yang dapat dilakukan :
o Bedah sub-xyphoid perikardiostomi
o Reseksi perikard lokal dengan hantuan video
o Reseksi perikard anterolateral jantung
• Pengohatan kausal : hila sehahnya antikoagulan, harus dihentikan; antihiotik,
antituherkulosis, atau steroid tergantung etiologi, kemoterapi intraperikard hila
etiologinya tumor.
Perikarditis Konstriktiva 4
• Bila ringan diherikan diuretika atau dapat dicoha OAINS
• Bila progresif, dapat dilakukan perikardiektomi
KOMPLIKASI 4
• Perikarditis akut: chronic relapsing pericarditis, efusi perikard, tamponade,
perikarditis konstriktiva
• Efusi perikardl tamponade: henti jantung, aritmia : fihrilasi atrial atau flutter,
_perikarditis ·konstriktiva.
PROGNOSIS
Tergantung heratnya gejala dan komplikasi yang terjadi. Perikarditis akut idiopatik
umumnya akan semhuh sendiri atau rekuren pada 70-90% kasus. Pada perikarditis
konstrikitiva, kematian saat dilakukan perikardiektomi terjadi pada 5-15 % kasus.
Kematian dini terjadi karena curah jantung yang rendah, sepsis, perdarahan masif,
insufisiensi ginjal, dan insufisiensi pernapasan. 4
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU I medical High Care, Departemen Bedah
• RS non pendidikan : ICCU I lCU, Bagian Bedah
640
Perikarditis
REFERENSI
1. Braunwald E. Pericardia! Disease.ln: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson
J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 20 12.chapter 239.
2. Little W, Freeman G. Pericardia! Disease. Circulation. 2006;113:1622-1632. Diunduh dari http:/I
circ.ahajournals.org/content/113/12/1622.full.pdf+html pada tanggal 3 Juni 2012.
3. Maisch B, Seferovi PM, Ristic A et all. Guidelines on the Diagnosis and Management of Pericardia I
Diseases Full Text: The Task Force on the Diagnosis and Management of Pericardia! Diseases of
the European Society of Cardiology. 2004. Diunduh dari http:/ /www.nvvc.ni/UserFiles/Richtlijnen/
ESC/Pericardial%20diseases%202004.pdf pada tanggal 2 Juni 2012.
4. LeWinter M, Tischler M. Pericardia! Diseases. In : Bonow R, Mann D, Zlpes D, Lib P, editors.
Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine.9h ed. United States of
America; Elsevier, 2012. P. 1651-1 671
5. Diunduh dari http:/ /www.cardiacedu.com/ecg/pericarditis.jpg pada tang gal 21 Juni 2012.
6. Diunduh dari www.emedu.org pada tanggal 12 Juni 2012.
7. Little WC, Freeman GL. Pericardia I Disease. Circulation. 2006; 113:1622-1632. Diunduh dari http:/I
circ.ahajournals.org/content/113/12/1622 pada tanggal 2 Juni 2012.
PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL
PENGERTIAN
Penyakit jantung kongenital adalah defek pada struktur jantung atau fungsi
dari sistem kardiovaskular yang sudah ada saat lahir, walaupun dapat ditemukan di
kemudian hari. Berdasarkan lesi, Penyakit jantung kongenital dapat diklasifikasikan
menjadi: 1. Sianosis: membran mukosa berwarna kebiruan karena peningkatan
pengurangan (saturasi oksigen yang rendah) hemoglobin, sianosis sentral terjadi
karena bercampurnya sirkulasi karena right-to-left shunt, dan 2. Asianosis. 1 Pada bab
ini hanya akan dibahas Atrial Septal Defect (ASD), Ventricular Septal Defect (VSD),
Patent Ductus Arteriosus (PDA), Tetralogy of Fa/lot (TOF).
PENGERTIAN
Atrial Septal Defect (ASD) adalah keadaan adanya defek pada bagian septum an tar
atrium sehingga terjadi komunikasi langsung antara atrium kiri dan kanan.
Berdasarkan lokasi anatomi, ASD diklasifikasikan menjadi: 1. Ostium Sekundum
ASD: kelainan pada bagian tengan septum interatrium yang disebabkan karena
pembesaran foramen ovale atau resorpsi berlebihan dari septum primum, 2. Ostium
primum ASD: kelainan pada bagian bawah septum atrium, 3. Sinus venosus ASD:
kelainan pada superior dari hubungan an tara vena cava superior dengan atrium kanan. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Jika tekanan arteri pulmonal normal, biasanya tanpa gejala. Dapat ditemukan sesak
napas setelah latihan dan nyeri dada yang atipik yang frekuensinya makin meningkat. 2
Pemeriksaan Fisik
Impuls ventrikel kanan yang menonjol pada batas dada kiri bawah, arteri pulmonal
teraba, sistolik ejeksi murmur, bunyi jan tung II dengan fixed split (patognomonik).
Pad a pasien dengan ostium primum ASD ditemukan holosistolik murmur. Jika terdapat
hipertensi pulmonal, dapat ditemukan peningkatan P2 dengan high-pitched murmur.
Tanda gagal jantung kanan: peningkatan tekanan vena jugular. 2
Pemeriksaan Penunjang 2
• Elektrokardiografi (EKG):
• Pada 90% kasus ditemukan incomplete right bundle branch block
• Pada ostium secundum dan sinus venosus ASD: aksis QRS tampak vertikal pada
lead VI atau rightward
• Rontgen thorax: cabang arteri pulmonalis tampak menonjol, small aortic knob,
pembesaran ventrikel kanan.
• Ekokardiografi: pembesaran jantung kanan, meningkatnya aliran arteri pulmonal,
ada shunt
• Kateter jantung kanan: oxygen step up dari vena kava ke atrium kanan. Semakin
besar saturasi oksigen arteri pulmonal, semakin besar shunt nya.
TATALAKSANA3
• Shuntkecil (rasio sirkulasi pulmonal: sirkulasi sistemik (Qp:Qs) < 1,5), ASD kecil
(<Smm) dan tidakada pembesaran jan tung kanan: observasi, ulangi ekokardiogram
setiap 2-3 tahun untuk memantau fungsi dan ukuran jantung kanan serta tekanan
pulmonal.
• Penutupan defek baik bedah maupun perkutaneus: hila ada pembesaran ventrikel
maupun atrium kanan dengan a tau tanpa gejala, adanya komplikasi. Sinus venosus,
sinus coronary atau primum ASD sebaiknya dikoreksi dengan pembedahan.
KOMPLIKASI
Gagal jantung kanan, hipertensi pulmonal, paradoxical embolization. 2
PROGNOSIS
Ostium secundum ASD yang tidak dikoreksi, harapan hidup sebesar 50% dibawah
usia 40 tahun. Rata-rata kematian sebesar 6% per tahun setelah usia 40 tahun. 2
_,
PENGERTIAN
Ventricular Septal Defect (VSD) adalah defekkongenital pacta septum di antara ventrikel,
biasanya disebabkan karena kegagalan septum spiral menutup foramen interventrikular.
VSD diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi: 1. Membranous: supracristal,
perimembranous, rna/alignment. 2. Muscular: inlet dan oulet. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Jika tekanan arteri pulmonal normal, biasanya tanpa gejala. Dapat ditemukan
sesak napas setelah latihan. 2
Pemeriksaan Fisik2·4
• Murmur holosistolik, kadangkala sistolic thrill, terdengar jelas di ruang interkostal
IV atau V sepanjang batas sternum kiri, menjalar ke regia parasternal kanan
• Bunyi jantung II denganfixed split.
• Dapat ditemukan S3 gallop dan diastolic rumble karena peningkatan aliran melalui
katup mitraL
• Jika ada komplikasi insufisiensi trikuspid akan ditemukan prominent jugular venous
v wave dan murmur sistolik.
• Jika ada komplikasi regurgitasi katup aorta akan ditemukan diastolic blowing
murmur, peningkatan pulsasi arteri
Pemeriksaan Penunjang2
• EKG: jika shunt besar, dapat ditemukan pembesaran ventrikel kiri atau kedua
ventrikel.
• Rontgen thorax lateral: pembesaran atrium kiri
• Ekokardiografi
• Color-flow Doppler: jet sistolik berkecepatan tinggi melintasi septum ventrikular
ke ventrikel kanan
• Kateter jantung kanan; menilai saturasi oksigen ventrikel kanan (untuk mengetahui
besarnya shunt dari ratio Qp:Qs), tekanan arteri pulmonal, dan resistensi vascular.
TATALAKSANA3
• Observasi: jika Op:Qs < 2, tidak ada gejala, tidak ada overload volume ventrikel
kiri, tidak ada regurgitasi aorta yang berhubungan dengan VSD.
• Pembedahan: jika Qp:Qs ~ 2 atau bila Op:Qs > 1,5 dengan disfungsi sistolik atau
diastolik ventrikel kiri atau dengan tekanan arteri pulmonal < 2/3 dari tekanan
sistemik.
• Terapi vasodilatasi pulmonal dapat dipertimbangkan pacta pasien VSD dengan
penyakit vaskular pulmonal berat.
• Percutaneus device closure dapat dipertimbangkan pacta VSD muskular
PROGNOSIS
VSD yang tidak dikoreksi, rata-rata bertahan 10 tahun sejak gejala muncul adalah
75%. 3
VSD DAN KEHAMILAN
Pada pasien dengan VSD ringan, kehamilan biasanya ditoleransi dengan baik, tanpa
peningkatan risiko kematian ibu maupun bayi meskipun /eft-to-right shunt meningkat
karena meningkatnya cardiac output selama kehamilan. Pada pasien dengan VSD be rat
(large shunt) dapat mengalami aritmia, disfungsi ventrikeP
PENGERTIAN
Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah sisa dari sirkulasi normal fetus. Pada
neonatus normal, PDA akan menutup dalam 10-15 jam setelah lahir. 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat ibu terinfeksi rubela ketika hamil, sesak nap as karena latihan, nyeri dada,
palpitasU
Pemeriksaan Fisik
-, Pulsasi nadi teraba lebar dan kolaps, murmur yang terdengar paling jelas dibawah
klavikula kiri dan bunyinya meningkat pada late systole. Jika shuntnya besar, dapat
ditemukan S3 gallop dan diastolic murmur. 4 Continous machinery murmur
Pemeriksaan Penunjang2
• EKG: Pada shunt yang besar dapat ditemukan hipertrofi atrium dan ventrikel kiri,
jika ada hipertensi pulmonal, dapat ditemukan P-pulmonale, right-axis deviation,
dan hipertrofi ventrikel kanan.
• Rontgen thorax: jika shunt besar, dapat ditemukan bayangan jantung membesar
dan vaskular pulmonal yang berlebihan. Jika ada hipertensi pulmonal, dapat
ditemukan ; pembuluh darah paru perifer berkurang, arteri pulmonalis sentral
menonjol. Pada pasien dewasa tampak duktus mengalami kalsifikasi.
• Ekokardiografi
• Color-flow Doppler: aliran berkecapatan tinggi yang kontinu didalam arteri
pulmonalis utama de kat cabang kiri.
• Kateter jantung kanan
TATALAKSANA 3
• Observasi denganfollow-up rutin setiap 3-5 tahun pada PDA ringan tanpa bukti
overload volume jantung kiri
• Penutupan PDA secara perkutaneus lebih disarankan karena tingkat keberhasilan
tinggi dan komplikasi kecil.
KOMPLIKASI
Gagal jantung kongestif, hipertensi pulmonal. 4
PROGNOSIS
Sekitar 15% pasien > 40 tahun memiliki kalsifikasi dan aneurismal dilatation dari
duktus yang menyulitkan operasi.
PENGERTIAN
Empat komponen tetralogy of fa/lot adalah rna/aligned VSD, obstruksi aliran
ventrikel kanan, aortic override of the VSD, dan hipertrofi ventrikel kanan karena
respon ventrikel kanan terhadap tekanan aorta lewat VSD besar. 4
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat sianosis ketika lahir, intoleransi latihan. 2
Pemeriksaan Fisik
Sianosis, clubbing, pulmonic flow murmur,
Pemeriksaan Penunjang4
• EKG: hipertrofi ventrikel kanan
• Rontgen thorax: boot shaped heart dengan ventrikel kanan yang menonjol dan
cekung di daerah konus paru.
• Echokardiografi dua dimensi: rna/aligned VSD dengan overriding aorta
• MRI
• Kateter jantung: tekanan pulmonal normal
TATALAKSANA
Pembedahan ; angioplasty dan stenting of branch pulmonary stenosis. 3
PROGNOSIS
Hanya 11 o/o individu yang lahir dengan TOF dapat bertahan hidup tanpa operasi
paliatif sampai usia 20 tahun, dan hanya 3% yang dapat hid up sampai usia 40 tahun. 2
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah Jantung, Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Divisi Kardiologi
• RS non pendidikan : Departemen Bedah, Departemen Anak, Departemen
Rehabilitasi Medik
REFERENSI
1. Morelli. Ariane J. Congenital Heart Disease. Dalam: Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition.
Saunders: Philadhelphia. 2007.
2. Harris, ian S. Foster, Elyse. Congenital Heart Disease in Adults. Dalam: Crawford, Michael H. Current
Diagnosis & Treatment Cardiology 3•d Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.
-I 3. Warnes. Carole A. Et all. ACC/ AHA 2008 Guidelines for the management of adults with congenital
heart disease: executive summary. Circulation. 2008;118:2395-2451 ;originally published online
November 7. 2008; doi: 10.1161 I CIRCULATIONAHA.108.190811.
4. Congenital heart disease in adult. Dalam: Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S.
Jameson J. Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2011.
HIPERTENSI PULMONAL
PENGERTIAN
Definisi hipertensi pulmonaljpulmonary hypertension (PH) merujuk pada adanya
tekanan vaskular paru yangtinggi secara abnormal. Sedangkan hipertensi arteri pulmonalj
pulmonary arterial hypertension (PAH) adalah kumpulan gejala akibat dari restriksi aliran
melalui sirkulasi arteri pulmonal, yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular
paru dan pada akhirnya gagal jantung kanan. PAH merupakan suatu kategori PH, oleh
karena itu keduanya bukan merupakan sinonim. 1 Pada individu yang sehat, tekanan darah
pada arteri pulmonallebih rendah daripada arteri lainnya didalam tubuh. Apabila tekanan
darah yang melewati seluruh tubuh berkisar 120/80 mmHg, maka tekanan arteri pulmonal
berkisar 25/10 mmHg. Apabila tekanan arteri pulmonal mencapai 40/20 mmHg, atau
tekanan rata-rata melebihi 25 mmHg, maka terjadi PH. Apabila PH menjadi persisten atau
sangattinggi, maka ventrikel kanan jantungyang menyuplai darah ke arteri pulmonal tidak
dapat memompa secara efektif sehingga pasien akan mengeluh napas pendek, kehilangan
energi, dan edema, yang merupakan tanda gagal jantung kanan. 2 Berbagai kondisi dan
penyakit juga dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonal tercantum pada tabel 1.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis2 ·3
• Sesak, Ielah, angina pektoris, sinkop, hampir sinkop
• Riwayat penyakit komorbid
Pemeriksaan Fisik 1
• Mencerminkan derajat keparahan PH :
o Aksentuasi komponen pulmonal S2 (terdengar pada apeks >90%)
o Bunyi klik pada awal sistolik (early systolic click)
o Ejeksi murmur midsistolik
o Left parasternal lift
:Panduan,Praltill/Kiinis
,\e~hiri;p;j~Ori
iiokter ~
DIAGNOSIS BANDING
Lihat tabel 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
r====:
TEE
Penyakitjantung kiri
Echocardiogram Excersice Echo VHD, CHD
~ Angiografi pulmonal
VQ scan L~
PE kronis
I~ Chest CT angiogram
1
PFTs
I I
Profil koagulopati
T
Tes fungsional Data dasar
(6MWT, CPED prognosis
Tes vasodilator
KOMPLIKASI
Gaga! jantung kanan (cor pulmonale), bekuan darah, aritmia, perdarahan
TATALAKSANA PH
Antikoagulan + diuretik
+ oksigen + digoksin
~ ,-------1.-----,
PROGNOSIS
Determinan prognosis PH dapat dilihat pada tabel 4.
-I
Tabel4. Determinan Prognosis PH'
e~"f'~~)c"ift~-~~(ii;i"'ll!:!''-"®'""~llfj~ZfJI!Il:>'~""' ~§82fi"P'i:~""'t"6;i;io;"'"'~~~ft;W~&~~i>~]~5ilriW;~iT&lfli.'i'."J"~~ff,"F"'~'"'I':'\i"t;i
!L~>\1!i.it~i!ot~l!!B!J]!0~.~!~~~~{,(~&a<1..m.l ~,JJl..,,,!l!"~\~!!I~JSJPJ!:~!t.cSI\IJDK~;fl>'!!i~J:rM~-li.~!!!-~;M£ID!!t!il~J..!!9_9!l~'!i(!
Bukti klinis kegagalan ventrikel Tidak ada Ada
kanan
Progresi gejala Perlahan-lahan Cepat ·
Kelas WHO* II, Ill IV
Jarak 6MW** Lebih jauh (> 400 meter) Lebih pendek (< 300 meter)
CPET Peak V0 2 > 10,4 mL/kg/menit Peak V0 2 < 10,4 mL/kg/menit
Ekokardiografi Disfungsi ventrikel kanan Efusi perikardial. disfungsi
minimal ventrikel kanan signifikan
Hemodinamik RAP <1 0 mmHg, Cl >2,5 L/ RAP >20 mmHg, Cl <2,0 L/
menit/m 2 menit/m 2
BNP*** Sedikit meningkat Meningkat secara signifikan
Keterangan :
*Kelas WHO merupakan klasifikasi fungsional PH dan merupakan modifikasi kelas fungsional NYHA
•• Jarak 6-minute-walk juga do pat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan tinggi bad an
***Soot ini penelitian BNP do lam mempengaruhi prognosis masih terbatas, oleh karena itu angka absolut tidak
diberikan pada variabel ini
Cl =cardiac index; CPET =cardiopulmonary exercise testing; peak V0 2 =average peak oxygen uptake during
exercise; RAP =right atrial pressure; WHO= World Health Organization
UNITY ANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular
• RS non pendidik
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Mclaughlin V, ArcherS, Badesch D, et al. ACCF/AHA 2009 Expert Consensus Document on
Pulmonary Hypertension: A Report of the American College of Cardiology Foundation Task
Force on Expert Consensus Documents and the American Heart Association Developed in
Collaboration With the American College of Chest Physicians; American Thoracic Society, Inc.;
and the Pulmonary Hypertension Association. J. Am. Coli. Cardiol. 2009;53; 1573-1619. Diunduh
dari http:/ /content.onlinejacc.org/cgi/reprintframed/53/17 /1573 pada tanggal 14 Juni 2012.
2. Newman JH, Hemnes AR. Pulmonary Hypertension. In : Schraugnagel DE. Breathing in America :
Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal175-84. Diunduh dari http:/I
www.thoracic.org/education/breathing-in-america/resources/breathing-in-america.pdf pada
tanggal 23 Mei 2012.
3. Rich S. Pulmonary Hypertension. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo
J. Harrison's Principles of Internal Medicine.lB'hEdition. New York, McGraw-Hill. 2012
·~ PENY A KIT ARTERI PERl FER
PENGERTIAN
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah kelainan klinis karena adanya stenosis atau
oklusi di aorta atau arteri ekstremitas. Stenosis atau oklusi pada usia> 40 tahun paling
banyak disebabkan karena aterosklerosis, sisanya disebabnya trombosis, emboli,
vaskulitis, displasia fibromuskular, tekanan organ sekitar, cystic adventitial disease,
dan trauma. Lokasi primer terjadi di aorta abdominalis dan arteri iliaka (30 o/o pada
pasien dengan gejala), arteri femoral dan poplitea (80-90 o/o pasien), dan arteri tibia
dan peroneus (40-50 o/o pasien).l,Z
Ada berbagai macam PAP yaitu :
• Vaskulitis : arteritis Takayasu, arteritis sel giant (temporal)
• Oklusi arteri akut
• Arteroemboli
• Thoracic Outlet Compression Syndrome
• Popliteal Artery Entrapment
-I
• Aneurisma arteri poplitea
• Fistula arteriovena
• Raynaud's Phenomenon
• Akrosianosis
• Livedo Reticularis
• Pernio (Chilblains)
• Eritromelalgia
• Frostbite
Anamnesis
Keluhan terjadi pada < 50 o/o pasien yaitu klaudikasio intermiten (rasa nyeri,
ache, keram, baal, atau kelelahan pada otot selama aktivitas dan menghilang dengan
istirahat) yang dirasakan di distal dari lokasi oklusi, misalnya di bokong, pinggul,
dan otot paha jika oklusi di aortoiliaka, sedangkan sakit di betis dirasakan jika oklusi
di arteri femoral-poplitea. Keluhan dirasakan lebih sering pada ekstremitas bawah
dibandingkan ekstremitas atas. Keluhan lain yaitu pasien merasakan dingin atau baal
pada kaki dan ibu jari kaki yang seringkali dirasakan pada malam hari ketika posisi
tungkai horizontal dan meningkat ketika tungkai pada posisi menggantung. Pada kasus
iskemia berat, nyeri dapat tetap ada pada saat istirahat. 1•2
Pemeriksaan Fisik
Menurunnya atau tidak terabanya nadi di distal dari oklusi, terdengarnya bruit,
dan otot ampak atrofi. Pada kasus berat terdapat penebalan kuku, kulit tampak hal us
dan mengkilap, menurunnya suhu kulit, ram but kaki rontok, pucat atau sianosis. Ulkus
atau gangren dapat ditemui pada pasien dengan critical limb ischemia. Pemeriksaan
13
refleks tungkai juga dapat menurun karena neuropati iskemia. ·
-I
l
ABI50.90
{abnormal)
Terapi farmakologik:
antiplatelet. inhibitor ACE
Terapi farmakologik:
antiplatelet, inhibitor ACE
DIAGNOSIS BANDING
Pseudoklaudikasio (nyeri jika berdirijposisi lordosis dan menghilang dengan
duduk, tidur terlentang, membungkuk ke depan, atau meregangkan spinal), penyakit
obstruksi vena berat, kompartemen sindrom kronik, penyakit lumbar dan stenosis
spinal, penyakit muskular inflamasi.
~ Diagnosis pasti PAP
~
.6 ~ ........
,I
ISObilitas
l I Keterbatasan aktivitas I Keterbatasan aktivitas
disertai bukti adanya PAP
I
!
Percobaan I Percobaanl~
1
Terapi endovaskular
atau operasi bypass
selama 3 bulan selama 3 bula ....----
per anatomy
~
Tes efikasi
sebelum
dan sesudah
program
+
Perbaikan klinis. Disabilitas yang signifikan walaupun
Follow up secara dengan terapi medis dan/atau
rutin soot kontrol terapi endovaskular.
!
Evaluasi kebutuhan operasi
-I
revaskularisasi atau endovaskular.
TATALAKSANA 1·2
• Tujuan: menurunkan risiko kardiovaskular, meningkatkan fungsi ekstremitas,
mencegah progresifitas menjadi iskemia, dan menjaga viabilitas ekstremitas.
• Modifikasi faktor risiko :
o Menghentikan rokok
o Mengontrol tekanan darah dengan Angiotensin converting-enzyme inhibitors
dan penghambat ~ adrenergik
o Mengatasi hiperkolesterolemia: statin. Target penurunan LDL < 100 mg/dl.
• Antiplatelet:
o Aspirin 81-325 mgjhari per oral
o Klopidogrel 75 mgjhari per oral
o Menurunkan risiko kardiovaskular pacta pasien dengan aterosklerosis
• Antikoagulan : warfarin
o Sarna efektif dengan antiplatelet, tetapi meningkatkan risiko perdarahan
sehingga tidak direkomendasikan pada PAP kronik.
• Suportif
o Perawatan kaki, menjaga kebersihan, dan menjaga kelembapan kulit kaki
o Mengurangi trauma dengan memakai sepatu dengan ukuran yang sesuai
o Menghindari pemakaian kaus kaki (berbahan karet) karen a dapat menurunkan
aliran darah ke kulit
• Olahraga:
o Secara teratur dan meningkat secara progresif
o Olahraga dengan pengawasan dilakukan 30-45 menit, 3-5 kali seminggu selama
12 minggu
o Olahraga dilakukan dengan berjalan kaki sampai muncul klaudikasio hampir
maksimal, lalu beristirahat sampai gejala menghilang sebelum mulai berjalan
lagi.
• Obat-obatan :
o Cilostazol: inhibitor fosfodiesterase dengan efek vasodilator dan anti platelet,
meningkatkan durasi olahraga. Dosis 100 mg (2 kali sehari), hati-hati
pemberian pada gagal jantung (dosis menjadi SO mg 2 kali sehari)
o Pentoxifylline : derivate xantin, meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi
dan oksigenasi jaringan, meningkatkan durasi olahraga. Dosis 3x400 mgjhari
minimal 8 minggu.
• Revaskularisasi
o Indikasi: keluhan klaudikasio intermiten progresif atau berat, adanya diabilitas,
critical limb ischemia.
o Sebelum revaskularisasi sebaiknya dilakukan angiografi kontras konvensional.
o Operasi:
Indikasi : pasien dengan keluhan klaudikasio dengan disabilitas fungsi
yang tidak membaik dengan farmakoterapi atau olahraga, pasien yang
berisiko keluhan klaudikasio bertambah berat. Tidak diindikasikan
untuk mencegah progresivitas critical limb ischemia pada pasien dengan
klaudikasio intermiten.
Tergantung lokasi oklusi, luasnya oklusi, dan komorbid.
Jenis operasi untuk penyakit aortoiliaka: aortobifemoral bypass,
axillofemoral bypass,femoro-femoral bypass, and aortoiliac endarterectomy
Jenis operasi untuk penyakit arteri femoralis-poplitea : autogenous
saphenous vein bypass grafts, penempatan PTFE (polytetrafluoroethylene),
dan tromboendarterektomi.
Femorofemora/ bypass 6 71
o Non-operasi:
Percutaneous transluminal angiography (PTA),pemasangan stent,
arterektomi
Angka keberhasilan pacta PTA iliaka sebesar 90-95 %, dan ketahanan
selama 3 tahun sebesar > 75%
Angka keberhasilan pacta PTA dan pemasngan stentpada femoral-poplitea
1 sebesar 80 %1 dan ketahanan selama 3 tahun sebesar 60%
KOMPLIKASI
Critical limb ischemia, amputasi, ulkus, gangren
PROGNOSIS
Pacta 1/3-1/2 pasien PAP dengan keluhan, berdasarkan klinis dan EKG juga
mengidap penyakit arteri koroner (CADjcoronary artery disease), sedangkan > liz
pasien terdeteksi dengan angiografi koroner. Angka harapan hidup 5 tahun pacta
pasien dengan PAP sebesar 15-30 %, dan meningkatkan risiko kematian akibat CAD
sebesar 2-6 kali. Angka kematian meningkat seiring dengan derajat beratnya PAP.
Sebanyak 75-80% pasien dengan PAP tanpa diabetes mellitus mempunyai keluhan
yang stabil, sedangkan 1-2% berkembang menjadi critical limb ischemia setiap tahun.
Pacta kasus critical limb ischemia, 25-30% kasus menjalani amputasi dalam 1 tahun,
dan mempunyai prognosis buruk pacta yang merokok dan diabetes mellitus. 1
REFERENSI
1. Creager MA. Vascular Diseases of the Extremities. In: Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E,
Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United
States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 249
2. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR et al. ACC/AHA 2005 Practice Guidelines for the Management
of Patients With Peripheral Arterial Disease (Lower Extremity, RenaL Mesenteric, and Abdominal
Aortic) : A Collaborative Report from the American Association for Vascular Surgery/Society
for Vascular Surgery.* Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for
Vascular Medicine and Biology, Society of lnterventional Radiology, and the ACC/AHA Task
Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Develop Guidelines for the Association of
Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National Heart, Lung, and Management of Patients
With Peripheral Arterial Disease): Endorsed by the American Blood Institute; Society for Vascular
Nursing; TransAtlantic Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation. Circulation.
2006; 113:e463-e654. Diunduh dari http:/ /circ.ahajournals.org/ pad a tang gal 2 Juni 2012.
3. Antono D, Ismail D. Penyakit arteri perifer. Dalam: Alwi L Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M,
Sudoyo AW, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing;
2010: Hal1831-1841
KELAINAN SISTEM VENA DAN LIMFATIK
PENGERTIAN
Penyakit vena kronik (chronic venous disease) yaitu kelainan yang ditimbulkan
akibat abnormalitas struktur dinding vena, katup danjatau abnormalitas sehinggga
menyebabkan refluks danjatau obstruksi. Pembuluh darah vena pada ekstremitas
terbagi atas superfisial dan profundus. Pada ekstremitas inferior, vena superfisial
terdiri dari vena safena magna dan parfa, sedangkan vena profundus berjalan
bersamaan dengan permbuluh darh arteri besar. Vena superfisialis dan profundus
dihubungkan dengan vena perforantes. Sistem vena disertai dengan katup bikuspid
yang mengatur aliran darah vena. Beberapa kelainan sistem vena yaitu :1
• Trombosis vena
o Trombosis vena dalam (deep venous thrombosisjDVT) dan tromboemboli
J pulmonal
Akut (bila gejala < 10 hari)
Kronik (bila gejala > 10 hari)
o Trombosis vena superfisial
o Faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya trombosis vena :
Operasi: prosedur ortopedik, thoracic, abdominal, dan genitourinarius
Keganasan: pankreas, paru-paru, ovarium, testis, traktus urinarius,
payudara, lambung
Trauma
Imobilisasi
Kehamilan
Pemakaian kontrasepsi atau preparat estrogen
Hiperkoaguabilitas
Venulitis
Riwayat DVT sebelumnya
• Vena varikosa (varicose veins)
o Primer: berasal dari sistem vena superfisial, terjadi lebih banyak pada wan ita
daripada laki-laki, disertai riwayat dalam keluarga.
o Sekunder: berasal dari insufisiensi sistem vena dalam dan oklusi vena dalam
yang menyebabkan pelebaran vena supersial
• Insufisiensi vena kronik
o Dapat berasal dari DVT danjatau inkompetensi katup. Setelah DVT, katup
menjadi menebal dan berkontraksi sehingga tidak dapat mencegah aliran
darah balik. Dinding vena menjadi kaku dan tebal.
o Klasifiaksi berdasarkan CEAP (clinical, etiologic, anatomic, pathophysiologic)
untuk memperkirakan derajat keparahan klinis.
l~i~GlSli-Bli~Wif-Aul!tl!l\wa~~tt-~11t~iiilt~iiltif!ilJ~'~~~;~~~i:~~
CO Tidak terlihat atau terabd adanya kelainan vena
Ec Kongenital
Etiologi Ep Primer
Es Sekunder
En No venous etiology indentified
As Vena superficial
Ap Perforator vein
Anatomis Ad Vena dalam (deep vein)
An No venous location indentified
Patofisiologi Pr Refluks
Po Obstruksi
Pr,o Refluks dan obstruks
Pn No venous pathophysiology indentified
Keterangan:diagnosis horus mencakup keempat klasifikasi di alas
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan Penunjang 3
• Ultrasonografi: Continuous-wave (CW) Doppler, duplex scan, echocardiografi
Doppler:
o Tujuan: melihat adanya refluks, mencari sumber lokasi dan morfologi,
pemeriksaan preoperatif
• Imajing: angiografi-CT scan, angiografi-MRI
• Plethysmography: quantitative photoplethysmography, phlebography (venography)
o Indikasi phlebography: mempunyai anomali anatomis atau malformasi, atau
jika ada indikasi operasi sistem vena dalam.
label 3. Kriteria Diagnosis DVT4
Kanker aktif
Paralisis, paresis, atau menggunakan cast
Terbaring di tempat tidur > 3 hari, post operasi mayor< 12 minggu
Nyeri tekan di sepanjang vena dalam
Edema tungkai
Pembengkakan pada betis unilateral > 3 em
Edema pitting
Collateral superficial nonvaricose vein
Adanya diagnosis alternative rnenyerupai DVT -2
Kelerangan :
« 0 : kecil kemungkinan adanya DVT
1-2 : kemungkinan DVT
« 3 : kemungkinan besar DVT
Pemeriksaan imajing
Ultrasonografi vena
DIAGNOSIS BANDING
Ruptur kista Baker, selulitis, sindroma postflebitis, sumbatan arteri menahun. 4
TATALAKSANA 1•3 •5
J Vena varikosa
• Menghindari posisi berdiri terlalu lama
• Memakai kaus kaki elastis atau compression stocking
• Elevasi tungkai secara periodik
• Prosedur:
o Indikasi: jika keluhan tetap ada, trombosis vena superficial yang rekuren, dan/
atau adanya
o Skleroterapi: jika varikosa kecil
o Radiofrekuensi endovenus:untuk mengatasi vena safena magna inkompeten
o Ablasi laser.
o Operasi: berupa ligasi dan stripping vena safena magna dan parva.
668
• Ulkus: kompres dan ditutup dengan occlusive hydrocolloid
• Operasi:
o lndikasi: jika ulkus berulang dan edema berat
o SEPS (Subfascial endoscopic perforator surgery): untuk memutuskan vena yang
inkompeten.
o Valvuloplasty dan bypass of venous occlusions
KOMPLIKASI
Tromboemboli, emboli paru, ruptur vena, perdarahan, gangguan sistem limfatik. 1
PROGNOSIS
Komplikasi tromboemboli dapat meningkatkan morbiditas ada DVT dan
meningkatkan angka kematian sebesar 30% dalam 1 bulan. Pacta 25 o/o kasus dengan
emboli paru akan menyebabkan kematian mendadak. Angka rekurensi DVT sebesar
30% dalam 10 tahun. 6
PENGERTIAN
Pacta sistem limfatik juga dikenal sistem limfe tepi dan dalam. Sistem limfe tepi
menerima cairan limfer dari dermis dan jaringan di bawah kulit, sedangkan sistem
limfe dalam menerima cairan limfe dari otot dan sendi. Cairan limfe akan didorong
dari dalam ke arah tepi. Cairan limfe diperoleh dari cairan interstitial yang berasal
dari darah arterial melalui proses ultrafiltrasi pacta dinding kapiler serta adanya
perbedaan tekanan onkotik. Kelainan sis rem limfatik yaitu kelainan yang ditimbulkan
akibat abnormalitas sistem limfatik sehingga menyebabkan gangguan drainase cairan
pacta jaringan dan organ. 1
Pacta bab ini akan dibahas mengenai limfedema.
LIMP EDEMA
Limfedema adalah akumulasi cairan berlebihan dari cairan ekstraseluler yang
dapat disebabkan oleh :
PENDEKATAN DIAGNOSIS
_I
Anamnesis
Asimptomatik atau tungkai terasa berat, chronic dullY
Pemeriksaan Fisik
Edema yang dimulai dari kaki dan menyebar sampai tungkai atas. Awalnya edema
bersifat hal us dan pitting, selanjutnya menjadi indurasi dan fibrosis. Dermatitis stasis
17
dan hiperpigmentasi dapat ditemui. •
Pemeriksaan Penunjang1.7
• Ultrasonografi vena:sesuai indikasi
• Ultrasonografi abdomen dan pelvis:untuk mendeteksi lesi obstruksi seperti
keganasan.
• MRI atau CT scan: sesuai indikasi
• Lymphoscintigraphy dan lymphangiography:
o Tujuan: untuk mendiagnosis a tau membedakan an tara limfedema primer atau
sekunder.
o Lymphoscintigraphy: menyuntikkan plasma protein radioaktif yang berlabel
technetium ke distal dari jaringan subkutaneus pada ekstremitas yang terkena.
o Lymphangiography:
Tujuan: mencari penyebab, melihat kelainan anatomis dari saluran limfe.
kontras disuntikkan ke distal saluran linfe yang sudah dikanulasi.
DIAGNOSIS BANDING
DVT, myxedema pretibial, lipedema.
TATALAKSANA 1·7
• Edukasi perawatan kaki pada pasien, menjaga kebersihan tungkai
• Fisioterapi: massage untuk meningkatkan drainase
• Konservatif: elevasi tungkai, kompresi dengan kaos kaki elastis, pemakaian
pelembab jika kulit kering
• Obat vasoaktif seperti flavonoid:memperbaiki mikrosirkulasi dinding pembuluh
darah.
• Antibiotik profilaksis:sesuai indikasi
• Terapi bedah: limfangioplasti, transposisi flap omentum, eksisi radikal dan graft
kulit, lymphovenous shunts.
KOMPLIKASF
• Komplikasi dermatologis:inflamasi (erysipelas, selulitis, dermatitis, limfangitis ),
onkologi (angiosarkoma/ Sindroma Stewar-Treves).
• Komplikasi terlibatnya sistem saraf, otot, dan skeletal:artropati, ligamentoses,
tendinoses, dan periostases.
PROGNOSIS
Limfedema menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas yang dapat mengakibatkan
distress psikis. Selain itu dapat menjadi limfangiosarkoma, dengan insiden sebesar 10
% pada penderita limfedema selama 10 tahun. 8•9
REFERENSI
1. Creager MA. Vascular Diseases of the Extremities. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E,
Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United
States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 249.
2. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR et all. ACC/AHA 2005 Practice Guidelines for the Management
of Patients With Peripheral Arterial Disease (Lower Extremity, Renal, Mesenteric, and Abdominal
Aortic):A Collaborative Report from the American Association for Vascular Surgery/Society
for Vascular Surgery,* Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for
Vascular Medicine and Biology, Society of lnterventional Radiology, and the ACC/AHA Task
Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Develop Guidelines for the Association of
Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National Heart, Lung, and Management of Patients
With Peripheral Arterial Disease): Endorsed by the American Blood Institute; Society for Vascular
Nursing; TransAtlantic Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation. Circulation.
2006;113:e463-e654. Diunduh dari http:/ /circ.ahajournals.org/ pada tanggal 2 Juni 2012
3. Agus GB, Allegra C, . Arpaia G et all. Guidelines for the diagnosis and therapy of diseases of
the veins and lymphatic vessels. Evidence-based report by the Italian College of Phlebology.
INTERNATIONAL ANGIOLOGY vol. 21 - suppl.2 to issue 2- JUNE 2005
4. Goldhaber SZ. Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism .. In: Fauci A, Kasper
J D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 262.
5. Jusi HD. Flebolofi. Dalam:Jusi HD. Dasar-Dasar llmu Bedah Vaskuler.edisi IV.Jakarta:Balai Penerbit
FKUI. 2008. Hal 21 0-31 6
6. CDC Division of Blood Disorders:Public Health Research Activities in Venous Thromboembolism.
Michele G. Beckman, Sara E. Critchley, W. Craig Hooper, Althea M. Grant and Roshni Kulkarni.
Arterioscler Thromb Vase Bioi. 2008;28:394-395.Diunduh dari http:/ /atvb.ahajournals.org/
content/28/3/394.full.pdf+html pada tanggal 4 Juni 2012.
7. Jusi HD.Limfologi. Dalam:Jusi HD. Dasar-Dasar llmu Bedah Vaskuler.edisi IV.Jakarta:Balai Penerbit
FKUI. 2008. Hal317-343
8. Chopra, S; Ors, F; Bergin, D (2007). "MRI of angiosarcoma associated with chronic lymphoedema:
Stewart Treves syndrome". British Journal of Radiology 80 (960): e310-3.DOI:10.1259/
bjr/19441948. PMID 18065640.
9. Stopple mS. Lymphedema.Diunduh dari http://www.emedicinehealth.com pada tanggal 22
Juni 2012.
PENATALAKSANAAN
Dl BIDING ILMU PENYAKIT DALAM
PANDUAN
PRAKTIK
KLINIS
PSI KOSO
ANSI ETAS
PENGERTIAN
Ansietas merupakan kecemasan yang berlebihan dan lebih bersifat subyektif.
Pada umumnya pasien datang ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan somatik.
Sindrom ansi etas menurut Diagnostic and Statistical Manual ofMental Disorder Fourth
Edition Text Revision (DSM IV-TR) dibedakan menjadi beberapa macam yaitu: ansi etas
GAD (Generalized Anxiety Disorder), ansietas panik (Panic Disorder), ansietas OCD
(Obsessive Compulsive Disorder), Fobia, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), dan
ansietas lainnya. 1
Pada bab ini akan lebih dibahas mengenai Generalized Anxiety Disorder (GAD)
karena kasusnya yang lebih sering ditemukan. Pada beberapa penelitian menyebutkan
adanya pengaruh dari agen anxiogenic sebagai penyebab. 1
PENDEKATAN DIAGNOSJS3.4
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan bila dicurigai adanya kelainan organik.
• Hb, Ht, Leukosit, Ureum, Kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap.
• Analisa gas darah, Na+, K+, Ca 2 -, T3, T4, TSH sesuai indikasi.
• Foto toraks, bila perlu.
• EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu.
• Endoskopi, kolonoskopi, USG bila perlu.
• Stress analyzer/ Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
DIAGNOSIS BANDING
Ansietas panik, fobia, PTSD, gangguan campuran ansietas dan depresi, depresi,
gangguan somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi).
TATALAKSANA5·6
• Nonfarmakologis : Edukasi, Reassurance, psikoterapi
• Farmakologis
a. Benzodiazepin : Diazepam, alprazolam, clobazam
b. Nonbenzodiazepin : Buspiron, penyekat beta bila gejala hiperaktivitas
menonjol
c. SSRI : Sertraline, fluoxetine, citalopram
d. SNRI : Duloxetine, venlafaxine
e. Simtomatik : Sesuai indikasi
KOMPLIKASI
Kurang atau tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari
PROGNOSIS
Angka remisi kurang dari 50% dalam rentang 5 - 12 tahun. Penurunan angka
remisi dapat disebabkan oleh:
1. Hubungan keluarga yang tidak harmonis.
2. Komorbid dengan kepribadian menghindar.
3. Komorbid dengan kepribadian dependent.
674
4. Komorbid dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif.
5. Komorbid dengan gangguan Axis I.
6. Jenis kelamin perempuan.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Mudjaddid E. Pemahaman dan penanganan psikosomatik gangguan ansietas dan depresi: di
bidang ilmu penyakit dalam. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW.
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid Ill edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 2010:2105-8.
2. Reus VI. Mental disorders. In: Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Jameson JL, Kasper DL, Longo
DL. Harrison's rinciples of Internal Medicine 17th Edition. New York: McGraw-Hill Companies;
201 0:2547-61 .
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorders 41h ed. Washington DC. American Psychiatric
Association. 2000
4. Yonkers A. Factors predicting the clinical course of generalised anxiety disorder .The British Journal
of Psychiatry.2000; 176: 544-9.
5. Baldwin DS, Anderson IM, Nutt DJ, et al. Evidence-based guidelines for the pharmacological
treatment of anxiety disorders: recommendations from the British Association for
Psychopharmacology. J Psychopharmacol, Nov 2005; 19: 567- 596.
6. Kendall T, Cape J, Chan M, Taylor C .Management of generalised anxiety disorder in adults:
summary of NICE guidance. BMJ;2011 :342: c7460.
DEPRESI
PENGERTIAN
Depresi merupakan gangguan afektifyang ditandai adanya mood depresi (sedih),
hilang minat, dan mudah Ielah. Pad a umumnya pasien datang ke klinik penyakit dalam
dengan keluhan somatik. Pada pembahasan berikut, depresi berat dengan gejala
psikotik tidak termasuk didalamnya. 1•2
DIAGNOSIS BANDING
Gangguan campuran ansietas dan depresi, ansi etas, gangguan somatisasi, kelainan
organ yang ditemukan (koinsidensi), kelainan karena pengaruh obat-obatan. 1
TATALAKSANA
Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapF· 5•6
Farmakologis : 1•2
• Antidepresan:
o antidepresan trisiklik (nortriptilin, imipramin, desipramin, amineptin)
o penghambat reversibel MAO (moklobemid)
o antidepresan generasi dua (amoksapin, maprotilin, trazodon, bupropion)
o golongan SRRI (sertralin, paroksetin, fluoksetin, sitalopram, esitalopram)
• Simtomatik, sesuai indikasi
Berikut ini adalah algoritma penatalaksaan depresi mayor menggunakan terapi
farmakologis.
KOMPLIKASI
Berkurangnyajtidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh
diri, komplikasi akibat pengobatan. 5
PROGNOSIS
Di antara individu dengan depresi mayor dengan pengobatan, 76% mencapai
remisi dengan angka rekurensi mencapai 70% dalam waktu 5 tahun dan setidaknya
80% dalam 8 tahun. 1
Tanyakan riwayat pengobatan depresi sebelumnya pada pasien atau pada keluarga lini
pertama yang pernah menjalani pengobatan, bila ada, pertimbangkan untuk menggunakan
obat yang soma. Bila tidak ada, evaluasi karakteristik pasien dan sesuaikan dengan obat-
obatan yang ada, pertimbangkan status kesehatan, efek samping, kenyamanan, harga,
preferensi pasien, interaksi obat, potensi bunuh diri dan riwayat kepatuhan pasien
lnisiasi terapi, mulai dengan 1/3 hingga 'h dosis sasaran apabila obat yang akan
digunakan adalah golongan antidepresan trisiklik, bupropion, venlafaksin, mirtazapin.
A tau gunakan dosis penuh yang dapat ditoleransi apabila menggunakan obat
golongan SSRI
Apabila efek samping berlanjut, turunkan dosis obat bertahap dalam satu minggu dan
inisiasi terapi baru. Pertimbangkan interaksi obat-obatan yang dipilih.
Evaluasi respon setelah 6 minggu pada dosis sasaran, apabila respon tidak adekuat,
tingkatkan dosis bertahap sesuai kemampuan toleransi pasien.
Apabila setelah pemakaian dosis maksimal respon belum adekuat, pertimbangkan untuk
penurunan dosis bertahap dan ganti dengan obat jenis lain atau pertimbangkan terapi
tambahan. Apabila obat yang dipakai adalah antidepresan trisiklik, periksa kadar obat
dalam plasma sebagai dasar untuk pemilihan obat selanjutnya
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Mudjaddid E. Pemahaman dan penanganan psikosomatik gangguan ansietas dan depresi: di
bidang ilmu penyakit dalam. In: Sudoyo A Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 2009:2105 -10
2. Reus V.Mental disorders. In: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine 18'" ed. New Yark: McGraw-Hill Medical
Publishing Division; 2012: 3529-43.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorders 4'"ed. Washington DC. American Psychiatric
Association. 2000
4. Sharp L Lipsky M. Screening for depression across the lifespan: a review of measures for use in
primary care settings. Am Fam Physician. 2002;66(6):1001- 9.
5. Current depression among adults---United States, 2006 and 2008. MMWR Morb Mortal Wkly Rep.
201 0;59 (38): 1229-35
6. Eisendrath S, Lichtmacher J. Psychiatric disorders. In: McPhee S, Papadakis M, Rabow M, editors.
Current medical diagnosis and treatment 2012. 51" ed. Asia; The McGraw -Hill Education.
2012:1034-47
7. Qaseem A Snow V, Denberg, TD, et al. Using Second-Generation Antidepressants to Treat
Depressive Disorders: A Clinical Practice Guideline from the American College of Physicians.
Ann Intern Med. 2008;149:725-733
679
DISPEPSIA FUNGSIONAL
PENGERTIAN
Dispepsia merupakan gejala atau kumpulan gejala berasal dari regio
gastroduodenum yang dapat berupa nyeri epigastrium, rasa terbakar, rasa penuh
setelah makan, perasaan cepat kenyang, dan lainnya termasuk rasa kembung pada
area abdomen atas, mual, muntah, dan berdahak. Keluhan dispepsia kronik dapat
terjadi terus-menerus, intermiten, atau kambuhan yang dirasakan minimal 6 bulan
atau lebih. 1•2•3
Berdasarkan kriteria Roma III, dispepsia fungsional adalah adanya satu atau lebih
dari:
• Rasa penuh (kekenyangan) setelah makan (bothersome postprandial fullness)
• Perasaan cepat kenyang
• Nyeri ulu hati
• Rasa terbakar di ulu hati
• Tidak ditemukan kelainan struktural yang dapat menjelaskan keluhan saat
dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA).
Keluhan berlangsung ~ 3 bulan terus menerus, a tau dimulai sejak 6 bulan sebelum
diagnosis ditegakkan. Dispepsia fungsional dibagi kedalam dua kategori diagnostik,
yaitu: 1•2•3
1. Postprandial distress syndrome (PDS)
2. Epigastric Pain Syndrome (EPS)
Penyebab dispepsia fungsional bersifat multifaktorial, diduga dapat timbul karena
keterlambatan pengosongan lam bung, hipersensitif aferen visera terhadap zat asam
dan lemak sehubungan dengan rangsang sentral maupun perifer, status inflamasi
ringan, serta predisposisi genetis. Rangsang psikis atau emosi dapat mempengaruhi
23
fungsi saluran cerna melalui jalur neurogenik atau jalur neurohormonal. •
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan berdasarkan klinis dan pemeriksaan endoskopi saluran cerna
bagian atasu
Anamnesis 1·4
Rasa sakit dan tidak enak di ulu hati. Perih, mual, muntah, cepat kenyang,
kembung, sering bersendawa, regurgitasi. Keluhan dirasakan umumnya berhubungan /
dicetuskan dengan adanya stres, berlangsung lama dan sering kambuh. Sering disertai
gejala- gejala ansietas dan depresi (misalnya dysphoric state)
Pemeriksaan Fisik1.4
• Evaluasi sistem kardiovaskuler, hepatobilier, ginjal, tiroid: dalam batas normal
• Turgor kulit, berat badan
I Tanda "alarm"
I Terapi empiris I ~
Respon setelah
Tidak
I Tes dan terapi untuk H.py/ori 1-----+ 4 minggu
Ya
Ya
Tidak
I Etiologi keluhan :
I
!
Jika ada indikasi klinis : pemeriksaan feses untuk parasit I
Ya dan darah samar, kimia darah, dan/atau imaging abdomen
j_
I Dispepsia organik I Ya I Hasil dapat menjelaskan l
I keluhan I
Tidak
·l Dispepsia fungsional J
Algoritma 1. Diagnose Dispepsia Fungsional'
Sebelum mendiagnosa dispepsia fungsional, hendaknya diperhatikan terlebih
dahulu apakah ada tanda-tanda bahaya seperti: ( lebih lanjut lihat di bab Dispepsia ). 2
• Penurunan berat badan
• Disfagia yang progresif
• Muntah yang berulang atau menetap
• Perdarahan saluran cerna
• Anemia
• Demam
• Mempunyai riwayat keluarga menderita kanker lambung
• Dispepsia pertama kali dirasakan pada kasus keganasan
• Usia > 45 tahun atau > 50 tahun pada populasi yang prevalensinya rendah
TATALAKSANA 1.4.s
• Pendekatan psikosomatik terhadap aspek fisik, psikososial dan lingkungan:
psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
• Pengaturan diet untuk mencegah pencetus gejala
• Simptomatik: diberikan antasida, antagonis H2 (simetidin, ranitidin), penghambat
pompa proton (omeprazol, lansoprazol) dan obat prokinetik (metoklopramid,
domperidon, cisapride ).
• Bila jelas terdapat ansietas atau depresi diberikan anti cemas atau anti depresan
yang sesuai.
• Eradikasi Helicobacter pylori bila terbukti ada infeksi penyerta.
• Obat relaksan fundus gaster (nitrat, sildenafil (phosphodiesterase-S inibitor) dan
sumartiptan (antagoni reseptor 5-HT 1)
DIAGNOSIS BANDING 6
• Dispepsia organik, misalnya ulkus peptikum, gastritis erosif, infeksi saluran cerna,
GERD
• Gangguan pada sistem hepato-bilier dan pankreas
• Intoleransi laktosa atau karbohidrat lain (fruktosa, sorbitol), sindrom kolon iritabel
• Dispepsia yang disebabkan penyakit kronik seperti gagal ginjal, diabetes melitus,
keganasan,dsb
• Iskemia jantung, gagal jantung kongestif, tuberkulosis
• Gangguan psikologis (ansietas dengan ataupun tanpa aerofagia, gangguan
penyesuaian, somatisasi pada depresi, hipokondriasis)
Tes dan eradikasi H.pylori apabila
belum pernah dilakukan sebelumnya
KOMPLIKASI
• Dehidrasi hila muntah berlebihan
• Gangguan gizi
• Berat badan turun
PROGNOSIS
Dispepsia fungsional merupakan penyakit kronis dan keluhan dapat menyerupai
gangguan gastrointestinallainnya. Pada beberapa pasien, keluhan akan tetap dirasakan
10 % kasus akan mempunyai keluhan menyerupai gangguan gastrointestinal lain,
sedangkan 10% kasus akan remisi spontan. Walaupun perjalanan penyakit ini tidak
stabil, tetapi hanya 2 % kasus akan berkembanga menjadi ulkus peptikum dalam 7
7
tahun, bel urn terbukti penyakit ini menyebabkan kematian.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi, Divisi Ginjal-Hipertensi,
Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Asian Consensus Report on Functional Dyspepsia, J Neurogastroenterol Motil. 2012 April; 18(2):
150-168. http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles/PMC3325300/
2. Mudjaddid E. Dispepsia Funsional. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam
jilid II edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. him 916
3. Hasler, W L. Naussea, Vomiting and Indigestion. In : Kasper D L, et al ediors. Harrison's Principal
of Internal Medicine 16th ed. Me Grow-Hill Companies: 2005. p222- 223.
4. Djojoningrat Dharmika. Dispepsia fungsional. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. Hal 354-356.
5. Karamanolis Georgios P, Tack Jan. Current management of functional dyspepsia: impact of Rome
Ill subdivision, Annals of gastroenterology. Volume 25. No. 2 (2012). http:/ /www.annalsgastro.gr/
index.php/annalsgastro/article/view/111 0/819
6. HANNAH VU, D.O. Ferri Fred F. Irritable bowel syndrome. In: Ferri's Clinical Advisor 2008, lOth ed.
Mosby. 2008.
7. Bhatia Shobna, Grover Anumeet Singh. Natural History of Functional Dyspepsia. SUPPLEMENT
TO JAPI • march 2012. VOL. 60. http:/ /www.japi.org/march_2012_special_issue_dyspepsia/05_
natural_history_of.pdf
NYERI PSIKOGENIK
PENGERTIAN
Nyeri psikogenik adalah keluhan nyeri yang penyebabnya bukan penyebab penyakit
organik. Faktor psikologis berperan dalam persepsi, awitan, keparahan, eksaserbasi
dan lamanya nyeri. Nyeri psikogenik tidak pura-pura diciptakan atau dibuat-buat.
Nama lainnya adalah pain disorder.1.3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 2 ·3
Faktoryang harus ditanyakan adalah lokasi nyeri, intensitas sifatnya terus-menerus
atau hilang timbul, karakteristik nyeri, faktor-faktor pemberat dan peringan nyeri,
faktor penyebabnya, akut atau kronik, riwayat penggunaan analgetik sebelumnya,
dan keadaan lain yang berhubungan dengan nyerinya. Perlu juga dilakukan penilaian
status psikis. 1
Nyeri psikogenik pada umumnya bersifat difus, tidak jelas hubungannya dengan
struktur jaringan, intensitasnya berubah-ubah, terdapat disparitas an tara mekanisme
yang mencetuskan dengan jenis dan beratnya nyeri. Pasien umumnya memiliki riwayat
sudah berulang kali mengunjungi petugas kesehatan, riwayat telah mengonsumsi
berbagai obat penghilang nyeri, dan riwayat memiliki stresor psikososial, an tara lain
masalah pernikahan, pekerjaan, a tau keluarga. Sering disertai komorbid depresi a tau
ansietas atau penyalahgunaan obat. Pemeriksaan status psikis menunjukkan bahwa
keluhan utama akan memburuk hila terdapat stres.
Pemeriksaan Fisik1·3
Diperlukan pemeriksaan yang teliti pada area nyeri dan sekitarnya, sistem saraf,
fungsi motoris dan sensoris serta fungsi organ-organ dalam.
Pada nyeri psikogenik tidak terdapat temuan fisis, atau temuan fisis tidak adekuat
untuk menjelaskan keparahan nyeri.
Pemeriksaan Penunjang 1· 3
• Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan diagnosis banding nyeri
organik Untuk menilai nyeri secara obyektif dapat dilakukan metode visual analog
scale (VAS). Untuk menilai deskripsi nyeri secara terperinci dapat digunakan
McGill Pain Questionnaire (MPQ). Untuk menilai nyeri kronik dapat digunakan
The Westhave-Yale Multidimensional Pain Inventory (WHYMPI). Stress analyzer j
Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance.
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis nyeri psikogenik menurut Diagnostic and Statistical Manual ofMental
Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM-IV-TR):'
1. Nyeri pada satu atau lebih daerah anatomis dengan keparahan yang cukup sehingga
membutuhkan perhatian klinis.
2. Menyebabkan distres atau gangguan pada bidang sosial, pekerjaan, atau bidang
fungsionallain yang signifikan secara klinis
3. Faktor psikologis dinilai memiliki peran penting dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi atau lamanya nyeri.
DIAGNOSIS BANDING
Nyeri organik sesuai dengan lokasi nyeri
TATALAKSANA 3- 6
Nonfarmakologis
istirahat, cognitive behavior therapy (CBT)
Farmakologis
1. Antidepresan: Fluoxetin, citalopram, fluvoxamin, mianserin, clomipramin
2. Antiansietas : benzodiazepin
3. Antinyeri
KOMPLIKASP
Kurang/tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh diri
PROGNOSIS
Bel urn ada studi yang melaporkan prognosis nyeri psikogenik
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Shatri H, Setiyohadi B. Nyeri psikogenik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaPublishing; 2009. hal.
2143-7.
2. Reus VI. Mental disorders. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012.
Hal. 3529-3545
3. Oyama 0, Paltoo C, Greengold J. Somatoform disorders. Am Fam Physician 2007;76:1333-8.
4. Kroenke K. Efficacy of treatment for somatoform disorders: a review of randomized controlled
trials. Psychosomatic Medicine 69:881--888 (2007)
5. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 41h ed. Washington DC. American Psychiatric
Association. 2000
6. Fishbain DA, Cutler RB, Rosomoff HL. , et al. Do antidepressants have an analgesic effect in
psychogenic pain and somatoform pain disorder? A meta-analysis. Psychosom Med 1998 ;
6:503.
PENY A KIT JANTUNG FUNGSIONAL
(NEUROSIS KARDIAK)
PENGERTIAN
Penyakit jantung fungsional adalah kelainan dengan keluhan seperti penyakit
jantung tanpa disertai kelainan organik. Etiologi berhubungan dengan keadaan
psikiatri, paling sering disebabkan ansietas, biasanya berhubungan dengan depresi
aktif dan tidak jarang dengan gejala histerik. 1
Menurut ICD 10, Penyakit jantung fungsional dikategorikan dalam gangguan
somatisasi. 3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 2
1. Nyeri dada menyerupai angina pectoris, biasanya dicetuskan suatu stressortertentu
2. Berdebar-debar jpalpitasi, sesak nafas, nafas terasa be rat
3. Keluhan vegetatif: kesemutan, tremor, sakit kepala, tidak bisa tidur, dan sebagainya
4. Keluhan psikis: rasa takut, risaujwas-was, gelisah, dan sebagainya
5. Keluhan-keluhan umum lainnya seperti pandangan mata gelap, berkunang-kunang
6. Terdapat stressor psikososial
7. Pemeriksaan penunjang1
8. EKG, echocardiography, maupun tes Treadmill normal
9. Stress analyzer I Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit jantung Koroner (angina pectoris, infark miocanl)l
TATALAKSANA2 .4
Nonfarmakologis
• Memberikan edukasi dan bimbingan, menjelaskan tentang gejala yang timbul
dengan tepat tanpa menakuti pasien, meluruskan pola pikir pasien yang salah
ten tang penyakit jan tung.
• Terapi Kognitif dan Perilaku (Cognitive Behavioural Therapy I CBT)
Farmakologis
• Analgetik untuk rasa nyeri
• Vasodilator koroner
• Psikotropik go Iongan benzodiazepine untuk mengurangi kecemasan
• Terapi simptomatik lain dapat diberikan sesuai indikasi.
KOMPLIKASP
• Merasa memiliki penyakit jantung organik sehingga menghindari aktivitas I
kegiatan sehari-hari.
• Pada pasien usia tua dengan faktor psikis yang menonjol dapat mencetuskan
timbulnya penyakit jan tung organik.
• Aritmia.
PROGNOSIS
Gangguan ini bersifat kronis, hilang timbul dan jarang sembuh secara sempurna.
Sangat jarang seseorang dengan gangguan ini dapat bebas dari gejala selama lebih
dari 1 tahun. 3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Kardiovaskular - Departemen Penyakit Dalam
• RS nonpendidikan
REFERENSI
1. Shatri H. Gangguan jantung fungsional. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M,
Sudoyo A W. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 201 0:21222126.
2. Wood P. Refresher Course for General Practitioners Cardiac Neurosis. British Medical Journal.
1950; 2(4669) :33-5.
3. Sa dock BJ, Sadock VA. Somatization disorders. In: Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry
Behavioural sciece/Ciinical Psychiatry 1Oth Edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
4. Thompson DR, Lewin RJP. Management of the post-myocardial infarction patient: rehabilitation
and cardiac neurosis. Heart 2000;84: 101-105
SINDROM KOLON IRITABEL
PENGERTIAN
Berdasarkan Rome III, Sindrom Kolon Iritabel (SKI) merupakan nyeri abdomen
berulang atau ketidaknyamanan abdomen (sensasi tidak nyaman yang tidak bisa
dikatakan sebagai nyeri) paling tidak 3 hari dalam satu bulan pada 3 bulan terakhir
yang berhubungan dengan 2 atau lebih hal berikut:
• Perbaikan gejala setelah defekasi
• Onset berhubungan dengan perubahan frekuensi defekasi
• Onset berhubungan dengan perubahan bentuk feses
Dikatakan positif jika kriteria terpenuhi pad a 3 bulan terkahir dengan onset paling
tidak 6 bulan sebelum didiagnosis. 1 •3
Sindrom kolon iritabel dibagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan konsitensi
feses yaitu tipe konstipasi, tipe diare, tipe campuran, dan tipe lainnya1.3
IBS dengan konstipasi Feses keras > 25%, dan feses lunak atau cair <25%
IBS dengan diare Feses lunak atau cair >25% dan feses keras < 25 %
IBS tipe campuran Feses keras > 25% dan feses lunak atau cair > 25%
IBS yang tak terklasitikasi Abnormalitas yang tidak memenuhi semua kriteria di atas
Penyebab sindrom ini belum diketahui pasti, diperkirakan karena beberapa faktor
pencetus seperti: 1
• Gangguan Motilitas
Kemungkinan terdapat gangguan intestinal inhibitory reflex karena distensi kolon
tidak dapat mengurangi motilitas duodenal.
• Hipersensitivitas viseral
Yaitu sensitivitas terhadap nyeri yang meningkat pada stimulasi usus. Hal ini yang
menyebabkan nyeri kronik pada pasien ini.
• Post Infeksi
Biasa terjadi setelah infeksi Shigella, Salmonella dan Campylobacter, ditandai
dengan meningkatnya jumlah limfosit dan sel mast pada mukosa usus.
• Faktor dalam lumen yang merangsang kolon
Komponen dalam makanan (eksogen) atau faktor kimiawi (endogen) yang terlibat
dalam proses pencernaan. Faktor endogen seperti hormon kolesistokinin (CCK)
dapat mempercepat motilitas sigmoid
• Respon terhadap stress
Stress yang berasal dari lingkungan dan riwayat penyiksaan masa kanak-kanak
adalah faktor predisposisi.
PENDEKATAN DIAGNOSIS2
Anamnesis
Pasien mengeluhkan nyeri pacta abdomen bagian bawah dengan kelainan pola
defekasi selama periode waktu tertentu tanpa progresivitas penyakit. Keluhan muncul
selama stress atau perubahan emosional tanpa disertai keluhan sistemik. Apakah nyeri
dirasakan hanya pacta satu tempat atau berpindah-pindah, seberapa sering merasakan
nyeri, berapa lama nyeri dirasakan, bagaimana keadaan nyeri jika pasien defekasi
atau flatus; memenuhi kriteria Rome III. Pacta anamnesis juga perlu menyingkirkan
tanda-tanda "alarm" seperti: usia> 55 tahun, riwayat gejala yang progresif atau sangat
berat, riwayat keluhan pertamakali kurang dari 6 bulan, berat badan menurun, gejala
nokturnal,laki-laki, riwayat kanker kolon pacta keluarga, anemia, anoreksia, perdarahan
rektal, anemia, distensi abdomen, demam. 1•2
Pemeriksaan Fisik
Perut tampak kembung atau distensi, kadang dapat teraba kolon pacta fosa
iliaka kiri (86%) disertai nyeri tekan (78%), bising usus meningkat pacta fosa iliaka
kanan(36%). Pacta colok dubur didapatkan adanya rasa nyeri (52%), rectum kosong
(64%), feses yang keras dalam rectum (68%), dan lendir yang banyak. 2
Pemeriksaan Penunjang 2A
• Laboratorium: dilakukan untuk mencari etiologi lain misalnya pemeriksaan darah
lengkap,
• Pemeriksaan hormon TSH dan serologis sesuai indikasi.
• Pemeriksaan feses: melihat adanya darah samar, bakteri a tau paras it jika dicurigai
pacta kasus diare kronik
• Rontgen abdomen: jika dicurigai adanya penyakit Crohn atau ada obstruksi
• Kolonoskopi atau sigmoidoskopi: dilakukan sesuai indikasi.
• Stress analyzer/ Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
DIAGNOSA BANDING2 ·3
• Intoleransi laktosa ~ diperiksa dengan hydrogen breath test
• Intoleransi makanan ~ contohnya MSG
• Infeksi
• Penyakit Celiac ~ diidentifikasi dengan analisis kadar lgA, antibodi anti
transglutaminase
• Pertumbuhan bakteri usus halus berlebih ~ ditandai malabsorpsi nutrient
• Inflammatory bowel disease ~ ditandai anemia, leukositosis. Kolonoskopi:
inflamasi, eritema, eksudat, ulserasi
• Kolitis mikroskopik
• Divertikulitis
• Obstruksi mekanis pada usus halus
• Iskemia
• Maldigesti
• Malabsorbsi
• Penyakit hati dan kandung empedu
• Pankreatitis kronik
• Endometriosis .
TATALAKSANA
Tabei2.Terapi FarmakologP
KOMPLIKASI
Sindrom kolon irritabel tidak menyebabkan komplikasi yang berbahaya. Beberapa
gangguan akibat Sindrom Kolon Iritabel seperti menurunnya kualitas hid up, dan waktu
cuti dari sekolah dan kerja yang memanjang, masalah psikologis seperti ansietas dan
depresi, malnutrisi. 5
PROGNOSIS
Keluhan akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus, dan hanya
kurang dari 5 %yang akan memburuk, dan sisanya dengan gejala menetap. 6
REFERENSI
1. Owyang C. Irritable bowel syndrome. In: Kasper, Braunwald, Fauci et al. Harrison's Principles of
Internal Medicine volll 17th ed. McGrawHill. 2008 pg 1899-1903.
2. Mudjaddid E. Sindrom kolon iritabel. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006; hal2115-2118.
3. Ferri Fred F. Irritable bowel syndrome. Ferri's Clinical Advisor 2008, 1Oth ed. Mosby. 2008.
4. Hay David W.lrritable bowel syndrome. The Little Black Book of Gastroenterology. 2nd ed. Jones
and Bartlett Publishers. 2006; hal 154-1 62.
5. Friedman S. Irritable bowel syndrome. In: Greenberger NJ, Blumberg RS, Burakoff R. Lange Current
Diagnosis &Treatment, Gastroenterology, Hepatology, Endoscopy. McGrawHill. 2009.
6. Manon Chudahman, Ari Fahrial Syam. Irritable bowel syndrome. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4 ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI. 2006; hal383-385.
7. R Spiller, Q Aziz, F Creed, A Emmanuel, L Houghton, P Hungin, R Jones, D Kumar, G Rubin, N
Trudgill, and P Whorwell. Guidelines on the irritable bowel syndrome: mechanisms and practical
management. Gut. 2007 December; 56(12): 1770-1798.
8. Aragon G, Graham DB, Borum M, Doman DB. Probiotic Therapy for Irritable Bowel Syndrome.
Gastroenterol Hepatol (NY). 2010 January; 6(1 ): 39-44.
SINDROM LELAH KRONIK
.~
PENGERTIAN
Suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan keluhan rasa Ielah yang berlangsung
terus-menerus atau berulang dalam waktu enam bulan atau lebih, dapat disertai
gejala demam tidak tinggi, mialgia, artralgia, sefalgia, nyeri tenggorok (faringitis)
yang kadang-kadang disertai pembesaran kelenjar, gejala psikis terutama depresi
dan gangguan tidur. Kelelahan yang tidak berkurang dengan istirahat dan mungkin
akan bertambah berat saat melakukan aktifitas fisik atau mental, sehingga sering
menurunkan tingkat aktivitas seseorang. Keluhan pasien dapat bervariasi dan
tidak spesifik, seperti kelemahan, nyeri otot, gangguan daya ingat atau konsentrasi,
gangguan tidur, dan kelelahan setelah aktifitas yang berlangsung minimal 24 jam
atau lebih, bahkan bertahun-tahun. Beberapa keluhan-keluhan pada sindrom Ielah
kronik seperti : 1 •2•3 ·4
L~~~~.,.~{;t+-~24;~-~;~~~fi~-?~#-:;'H·····,j~·J4i~~t~~~~~~~·!f'r',.~~~~i
Fatigue 100
Sulit berkonsentrasi 90
Sakit kepala 90
Sa kit tenggorokan 85
Pembesaran KGB 80
Nyeri otot 80
Nyeri sendi 75
Demam 75
Sulit tidur 70
Permasalahan psikiatri 65
Alergi 55
Keram perut 40
Berat badan menurun 20
Rash 10
Nadi cepat 10
Berat badan menurun 5
Nyeri dada 5
Keringat malam 5
PENYEBAB
Bel urn diketahui penyebab pastinya, ada kemungkinan bahwa sindrom Ielah kronik
menggambarkan tingkat akhir dari beberapa penyakit. Beberapa kemugkinan seperti
infeksi, gangguan imunologi, faktor stres yang mengaktifkan jalur hipotalamik-pituitari,
hipotensi neural, danjatau defisiensi nutrisi. 4
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kriteria untuk diagnosis hila memenuhi 2 kriteria dan tidak memenuhi kriteria
eksklusi (Tabel 3) 2
Tabel 3. Kriteria diagnostik sindrom Ieiah kronik2
~~f~~n~~~~Jr;~«~*tii~!~~~fq~~bfi€!~~~*~~~Jtf)~~~~¥4i~~!1~~ii~~~!@qJt!~t~9!~~f~!ii~~@~f~t~;~~; ~;;,~r
Lelah selama 6 bulan terakhir
Lelah onset baru atau definitif
Lelah bukan merupakan hasil dari penyakit organik atau pengeluaran tenaga secara terus-menerus
Lelah tidak berkurang dengan istirahat
Lelah merupakan hasil reduksi substansi dari pekerjaan,edukasi,sosial.dan aktivitas personal
sebelumnya
Empat gejala atau leb.i.b dari gejala berikut.dan berlanjut terus-menerus selama 6 bulan:
Gangguan memori daifkonsentrasi,nyeri tenggorok;p~emb-esaran kelenjargetah-bening-o3rvil<alis - -··-
atau, nyeri otot.nyeri beberapa sendi,sakit kepala,tidur yang tidak nyenyak.atau malaise setelah
pengeluaran tenaga
I
23
dan pemeriksaan fisik. '
DIAGNOSIS BANDING 3
• Depresi psikososial, dysthymia, gangguan cemas, dan penyakit psikiatrik lainnya.
• Penyakit infeksi (SBE, penyakit Lyme, janur, mononucleosis, HIV, hepatitis B kronik
atau C, TB, parasit kronik.
• Autoimun : SLE, miastenia gravis, multi pel sklerosis, tiroiditis, rheumatoid arthritis
• Kelainan endokrin: hipotiroid, hipopituari, insufisiensi adrenal, sindroma Cushing,
diabetes mellitus, hiperparatiroid, kehamilan, hipoglikemia reaktif
• Penyakit keganasan tersamar
• Ketergantungan obat
• Gangguan sistemik: gaga! ginjal kronik, penyakit kardiovaskular, anemia, kelainan
elektrolit, penyakit hati.
• Lain-lain : kurang istirahat, sleep apnea, narcolepsy, fibromyalgia, sarkoidosis,
medikasi, paparan bahan toksik, granulomatosis Wegener.
TATALAKSANA
Terapi Farmakologi
Umumnya bersifat paliatif, seperti anti depresi, anti inflamasi non steroid, terapi
alternatif (multivitamin, suplemen nutrisi). 2,3
KOMPLIKASI
lsolasi sosial,tidak mampu kerja
698
PROGNOSIS
Perbaikan sempurna dari sindrom Ielah kronik yang tidak diobati jarang: tingkat
pemulihan median adalah 5% (rentang 0-31 %) dan tingkatperbaikan dan 39% (rentang
8-63%). Hasil akan lebik buruk bila pasien dengan latar belakang gangguan psikiatri
dan kondisi gejala yang berlanjut tanpa ditangani secara medis .Keluhan berkurang
pada > 50 % kasus Penyembuhan total dalam 1 tahun terjadi pada 22 - 60 % kasus. 2•3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Mudjaddid E, Shatri H. Sindrom Lelah Kronik. dalam: Sudoyo,Setiyohadi, Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Edisi V. Jakarta. lnterna Publishing. 2011.
2. Bleijenberg G.Chronic Fatigue Syndrome. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's principles of internal
medicine 18'h edition.United States of America.Mcgraw Hill.
3. Ferri Fred F. Chronic Fatigue Syndome. In: Ferri's Clinical Advisor 2008, 1Oth ed. Mosby. 2008.
4. CDC (http:/ /www.cdc.gov /cfs/general/index.html)
5. Fernandez AA, Martfn AP, Martinez MI. Bustillo MA, Hernandez FJB, Labrado JC, et al. Penas RD,
Chronic fatigue syndrome: aetiology, diagnosis and treatment. BMC Psychiatry. 2009; 9 (Suppl
1): S1
6. White PD, Goldsmith KA. Johnson AL, Potts L Walwyn R, DeCesare JC, et al. Comparison of
adaptive pacing therapy, cognitive behaviour therapy, graded exercise therapy, and specialist
medical care for chronic fatigue syndrome (PACE): a randomised trial. Lancet. 2011 March
5; 377(9768): 823--836 ..
SINDROM HIPERVENTILASI
I PENGERTIAN
Hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi ventilasi
berlebihan yang mengakibatkan menurunnya PaC0/· 2 Ketika hiperventilasi
berlangsung lama (kronis) atau terjadi episode berulang dan berkaitan dengan
gejala somatik (respirasi, neurologis, intestinal) ataupun psikologis (ansietas), maka
kumpulan gejala ini dinamakan sindrom hiperventilasi (SH). Etiologi dan mekanisme
terjadinya hiperventilasi belum diketahui dengan jelas, namun SH erat kaitannya
dengan gangguan panik (panic disorder], karena sebagian besar pasien menunjukkan
karakteristik dari kedua kelainan tersebut namun tidak ditemukan kelainan organik
pada keduanya. 3•4
Pada level fisiologis, hiperventilasi murni merupakan gangguan pernapasan. Hal
ini hampir tidak pernah menjadi masalah hingga saatnya bermanifestasi sebagai gejala
menjadi kunci penting dalam memahami mengapa hiperventilasi menjadi masalah
besar bagi sebagian pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari faktor
pencetus terjadinya SH pada pasien. 5
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Cari faktor pencetus :5•6
1. Fisiologis: setelah berolahraga, nyeri. dispnea, pireksia, efek progesteron pada
wanita hamil
2. Organik: asma, pireksia, obatjalkohol, hipertiroid, gagal jantung, emboli paru,
hipertensi pulmonal, alveolitis fibrosa, gangguan metabolik (contoh: diabetes
ketoasidosis), dll
3. Psikogenik: pura-pura, depresijansietas, gangguan panik, fobia
Gambaran Klinis 6
1. Kesulitan be rna pas intermiten yang bersifat episodik dan tidak berkaitan dengan
olahraga, meskipun dapat diperburuk dengan olahraga.
2. Oapat berkaitan dengan gejala alkalosis respiratorik, seperti kebasjmati rasa
(numbness), kesemutan pada daerah ekstremitas (tingling of the extremities),
perasaan 'kiamat sudah dekat', dan rasa melayang (light-headedness), biasanya
sampai hilang kesadaran (vasokonstriksi serebral karena hipokapnia).
3. Sensasi tidak dapat bernapas dengan !ega.
4. Tidak ada riwayat sugestif gangguan pernapasan sebelumnya, meskipun terkadang
juga dapat ada.
5. Riwayat stres dalam kehidupan pasien.
6. Episode sebelumnya.
Pemeriksaan Penunjang 2
• Saturasi oksigen Sa0 2
• Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap, Elisa
0-dimer
• Analisa gas darah (AGO), K, Na, Ca
• Foto toraks, EKG (interval QT memanjang, ST depresi atau elevasi, gelombang T
inversi), sesuai diagnosis banding
• Hormon paratiroid
• VjQ scan, computed tomography pulmonary angiogram
• Stress analyzer/ Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
Kriteria Diagnosis 6
Untuk menegakkan diagnosis SH, pada dasarnya menggunakan kriteria diagnosis
ekslusi namun tetap diperlukan pemeriksaan penunjang tambahan lain, an tara lain: 6
1. Tidak ditemukannya etiologi kardiak pada kesulitan bernapas
2. Tidak ditemukannya etiologi respirasi pada kesulitan bernapas (fungsi paru
normal, rontgen thorax paru normal, dan Sa0 2 normal dalam keadaan istirahat
maupun olahraga)
3. Pola napas ireguler dalam keadaan istirahat maupun olahraga
4. Tidak ada bukti adanya hipertensi pulmonal
5. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menegakkan emboli paru
6. Tidak ada bukti hipertiroidisme
7. PaC0 2 rendah, pH meningkat pad a AGO (dan gradien A-a normal)
8. Tidak ditemukannya asidosis metabolik pada AGO (contoh: ketoasidosis,
laktoasidosis)
9. Masalah psikologis yang belum sembuh, atau fobia sosialjagorafobia
Selain itu, juga dapat digunakan skoring hiperventilasi Nijmegen.
I
Nyeri dada D D D D D
Perasaan D D D D D
tegang
Pandangan D D D D D
kabur
Pusing D D D D D
Rasa bingung D D D D D
Napas cepat D D D D D
I dalam
Napas D D D D D
pendek
Rasa tercekik D D D D D
di dada
Perut D D D D D
kembung
Jari D D D D D
kesemutan
Sulit bernapas D D D D D
dalam
Sulit buka D D D D D
mulut
Tongan atau D D D D D
kaki dingin
Palpitasi D D D D D
Ansi etas D D D D D
Total skor
Keterangan :
Formulir ini diisi oleh pasien. dan nilai <o 22 sugestif ke arah SH
DIAGNOSIS BANDING
Sangat penting untuk menyingkirkan penyebab patologis yaitu :6
1. Penyakit paru interstitial dengan rontgen thorax normal -7 pertimbangkan CT scan
2. Asma ringan dengan fungsi paru normal -7 pertimbangkan monitoring peak
expiratory flow rate (PEFR), provokasi olahraga, atau tes provokasi bronkus
3. Hipertensi pulmonal j penyakittromboembolus -7 pertimbangkan ekhokardiografi
atau CT pulmonary angiogram (CTPA)
4. Hipertiroidisme
5. Asidosis yang tidak terduga: misalnya pada gaga! ginjal, laktoasidosis, ketoasidosis
TATALAKSANA2 ·6·7
Pada penatalaksanaan pada pasien dengan SH, sangat penting untuk tidak
melupakan gejala pasien hanya karena beranggapan "ini hanya pikiran saja". Pasien
memiliki gejala, yang membutuhkan penjelasan sebenarnya. Belum ada rekomendasi
untuk manajemen pacta pasien SH, namun sebagian besar klinisi akan memberikan
penjelasan berdasarkan sensasi napas berlebihan yang diperburuk dengan ansietas.
Rekomendasi lama untuk bernapas di dalam paper bag belum sepenuhnya terbukti
dan tidak praktis. Penjelasan dengan hati-hati mungkin dirasakan cukup, atau dapat
digunakan anxiolitikjangka pendek (contoh: diazepam 2 x 2-5 mgjhari). Penanganan
dari bagian psikologis atau fisioterapi untuk latihan pernapasan mungkin dibutuhkan
untuk mengontrol gejala. Apabila pasien gagal merespon, selalu pikirkan penyakit
yang menyertai.
KOMPLIKASI
Sesuai dengan penyakit organik yang menyertai.
PROGNOSIS4 · 6
Baik pada serangan akut. Pada kasus kronik, 65% mengalami perbaikan dan 26%
keluhannya hilang dalam 7 tahun. Sindrom ini sangat jarang menyebabkan kematian.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Kardiologi- Departemen PenyakitDalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. McConville J, Solway J. Chapter 264: Disorders of Ventilation. In: Longo D. Fauci A. Kasper D. et
al. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill. 2011.
2. Mudjaddid E. Putranto R. Shatri H. Sindrom Hiperventilasi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I.
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: lnterna Publishing; 2009.p. 2130-32.
3. Malmberg L Tamminen K. Sovijarvi A. Orthostatic increase of respiratory gas exchange in
hyperventilation syndrome. Thorax 2000;55:295-301.
4. Cowley DS, Roy-Byrne PP. Hyperventilation and panic disorder. Am J Med 1987;83:929-37.
5. Gardner W. The Pathophysiology of Hyperventilation Disorders. Chest 1996;109;516-534. DOl
10.1378/chest.l 09.2.516
703
6. Chapman S, Robinson G, Stradling J, et al. Chapter 29: Hyperventilation Syndrome. Oxford
Handbook of Respiratory Medicine. 2nd Ed. Oxford University Press. 2011
7. Kern B. Hyperventilation Syndrome. Emedicine(serial online) last updates April2012 (cited 2012,
Jun 2) Available from: URL: http:/ /www.emedicine.com.
8. Meuret AE, Ritz T. Hyperventilation in Panic Disorder and Asthma: Empirical Evidence and Clinical
Strategies.lnt J Psychophysiol. 2010 October; 78(1): 68-79.
I
PENGELOLAAN PALIATIF PADA
PENY A KIT KRONIS
PENGERTIAN
Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) mendefinisikan
palliative care sebagai suatu intervensi yang dapat memperbaiki kualitas hid up pasien
dan keluarganya yang sedang mengalami pengalaman penyakit yang berat. Tujuan
intervensi ini adalah mengurangi keluhan nyeri dan gejala lain termasuk dukungan
psikososial dan spiritiual. Karakteristik penyakit kronis adalah perjalanan penyakit
yang fluktuatif dengan prognosis yang kadang tidak jelas. Menurut Centers for Disease
Control, yang termasuk penyakit kronis adalah heart disease, stroke, kanker, diabetes
dan arthritis. Klasifikasi lain penyakit kronis adalah depresi, diabetes, penyakit paru
obstruksi kronis,gagal ginjal kronis dan HIV j AIDS. Penyakit kronis menyebabkan
kecacatan dan kematian utama di Amerika serikat.
Murray dkk menyatakan bahwa pengelolaan pasien dengan penyakit kronis
progresif sering terlupakan aspek paliatif sehingga pengelolaan pasien tidak
holistik. Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit kronis non
kanker menunjukkan penderitaan yang lebih be rat dalam hal nyeri dan kualitas hid up
dibanding pasien kanker yang penilaiannya lebih baik. Pengelolaan paliatif dapat
digunakan sebagai model pelayanan kesehatan pasien penyakit kronis termasuk
kanker, sejak pasie terdiagnosis dan bukan saat pasien menjelang fase terminal.
Kementerian kesehatan telah mengeluarkan surat keputusan menteri yang
menegaskan bahwa seluruh rumah sakit diharapkan dapat menerapkan model
pelayanan paliatifbagi pasiennya. (SK Menkes Nomor: 812/MenkesjSK/VII/2007)
RUANG LINGKUP
1. Inisiasi diskusi tentang paliatif
2. Penapisan dan penilaian paliatif (lihat lampiran) serta tujuan pengelolaan
3. Pengelolaan aspek fisik, seperti :
• Nyeri
• Ansietas dan depresi
• Anoreksia dan kaheksia
• Konstipasi
• Delirium
• Diare
• Sesak nafas
• Fatik
• Gastroesophageal reflux disease
• Hypodermoclysis
• Malignant ascites and pleural effusions
• Mual dan muntah
4. Pengelolaan aspek psikis : ansietas, depresi (lihat ansietas, depresi)
5. Pengelolaan aspek kultural, psikologi, sosial, spiritual, religious, etika, dan legal
6. Hospis dan Rawatan rumah (Home care)
7. Konsultasi dan rujukan ke spesialis
8. Pengelolaan fase kritis (last day) dan masa duka cita
Rekomendasi 1: Setiap pasien rawat inap dengan penyakit seriusjberat pada fase
terminal, maka dokter harus secara reguler menilai adanya nyeri, sesak nafas, dan
depresi.
Recomendasi 2: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal, dokter
harus melakukan pengelolaan nyeri dengan baik. Pada pasien kanker dapat anti-
inflammatory, opioid, dan bisphosphonate.
Recomendasi 3: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal , dokter
harus dapat mengelola keluhan sesak napas dengan baik termasuk menggunakan
opioid pacta pasien yang tidak perbaikan dengan terapi stan dar dan pemberian oksigen
jangka pendek bila terjadi hipoksemia
Recomendasi 4: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal, dokter
harus mengelola depresi dengan efektif, termasuk pasienkanker dengan trsiklik
antidepresan, selective serotonin reuptake inhibitors (SSRl), atau psikoterapi
Recomendasi 5: Para klinisi harus memastikan perencanaan lanjut (advance care
planning) pada setiap pasien penyakit berat.
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Effiong A Effiong AI. Palliative care for the management of chronic illness: a systematic review
study protocol. BMJ Open. 2012; 2(3)
2. Keputusan Menteri Kesehatan Rl No 812 Menkes/VII/ 2007 tentang kebijakan perawatan paliatif
3. Qaseem A Snow V, Shekelle P, Casey Jr DE .. Cross Jr JT., Owens DK, for the Clinical Efficacy
Assessment Subcommittee of the American College of Physicians. Evidence-Based Interventions to
Improve the Palliative Care of Pain, Dyspnea, and Depression at the End of Life: A Clinical Practice
Guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med January 15, 2008 148:141-146
4. LoB, Quill T, Tulsky J. Discussing palliative care with patients. ACP-ASIM End-of-Life Care Consensus
Panel. American College of Physicians-American Society of Internal Medicine. Ann Intern
Med. 1999 May 4;130(9):744-9.
5. Beynon T, Hodson F,Coady K, Kinirons K, Selman L, Higginson I. Provision of palliative care for
chronic heart failure inpatients: how much do we need? BMC Palliat Care. 2009; 8: 8.
707
"~
Lampiran. Penapisan pasien paliatif
~
a. Kanker (Metastatis/Rekuren) d. Penyakit Ginjal Kronis
b. PPOK lanjut e. Penyakit Jantung Be rat- i.e. CHF, skor 2, Tiap pain
c. Stroke (dengan penurunan severe CAD, CM (LVEF < 2S%)
fungsional >50%) f. HIV/AIDS
PANDUAN
PRAKTIK
KLINIS
PULMON~~~~
Acute Respiratory Distress Synaro
~~~=~-~~~;~::~--~~~~-~~~~-~:.~:~~-
.(. .... l... .J / . . .. . >~ .,..~~·
Tumor Paru ....................................................... .( ...
i '···.,,, // i •'•,,,
·f·····V: .... ;802
:
f
I
ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
PENGERTIAN
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan suatu kondisi ketika paru
mengalami jejas berat yang tersebar, sehingga mempengaruhi kemampuan untuk
mengambil oksigen. Rendahnya kadar oksigen dalam darah dan ketidakmampuan
untuk mengambil oksigen pada tingkat normal merupakan gejala khas ARDS. Jejas
paru akut (acute lung injury/ALI) merupakan istilah baru yang saat ini digunakan,
yang meliputi ARDS dan juga jejas paru yang lebih ringan. Penyakit yang dapat
menyebabkan ARDS banyak sekali, dan dapat merusak organ lain selain paru, namun
jejas paru biasanya mendominasi gambaran klinis. 1 Gangguan klinis yang umumnya
berkaitan dengan ARDS dapat dilihat pada tabel 1.
-·
label 1. Gangguan Klinis yang Umumnya Berkaitan dengan ARDS 2
Pneumonia
Aspirasi cdirdn larnbung
Kontusi paru
Sepsis
Trauma berat : frdktur multipel, flail chest,
trauma kapitis, luka bakar
Transfusi multipel
Hampir tenggelam Overdosis obat
Jejas inhalasi toksin Pankreatitis
Pasco bypass kardiopulmonar
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1·2
Identifikasi penyakit yang mendasari: sepsis, pneumonia, aspirasi isi lambung,
pankreatitis, transfusi darah, atau trauma berat
Pemeriksaan Fisikl.2
• Demam, takipneu, takikardi, ronki difus
Pemeriksaan Penunjang 1•2
• Laboratorium: darah perifer lengkap, analisa gas darah, elektrolit, plasma brain
natriuretic peptide (BNP)
• EKG, ekokardiografi
• Radiologis: foto toraks menunjukkan infiltrat bilateral yang konsisten dengan
edema paru, CT scan tidak rutin dilakukan
Kriteria diagnosis ALI dan ARDS dapat dilihat pada tabel 2.
TATALAKSANA 1•2
• Prinsip urnurn: (1) identifikasi dan tatalaksana penyakit primer dan kelainan bedah
(mis. sepsis, aspirasi, trauma); (2) meminimalisir tindakan dan komplikasinya; (3)
profilaksis terhadap tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna, aspirasi, sedasi
berlebihan, dan infeksi kateter vena sentral; (4) identifikasi infeksi nosokomial;
dan (5) nutrisi adekuat.
• Dukungan ventilasi mekanik : tidal volum rendah, kurangi tekanan pengisian
atrium kiri -? lebih lengkap lihat pada bab Ventilasi Mekanik
• Kebutuhan cairan : restriksi cairan dan diuretik digunakan untuk mengurangi
tekanan pengisian atrium kiri, monitor tanda hipotensi dan hipoperfusi organ
seperti ginjal
• Glukokortikoid: beberapa studi menunjukkan adanya penurunan mortalitas dan
perbaikan prognosis pada pemberian kortikosteroid dosis rendahY
KOMPLIKASI
Fibrosis paru, pneumotoraks, emboli paru, infeksi akibat pemasangan ventilator. 2-4
PROGNOSIS
Mortalitas diperkirakan 26-44%. Pasien usia >75 tahun memiliki mortalitas lebih
tinggi ( ~60%) dibandingkan dengan <45 tahun ( ~20%).2.4
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi j Radiodiagnostik, Patologi Klinik
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Radiologi
REFERENSI
1. Hudson LD. Acute Respiratory Distress Syndrome. In : Schraugnagel DE. Breathing in America :
Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal 15-24.
2. Choi AMK, Levy BD. Acute Respiratory Distress Syndrome. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL
Hauser SL Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New
York, McGraw-Hill. 2012.
3. Tang BMP, Craig JC, Eslick GD, Seppelt I, Mclean AS. Use of corticosteroids in acute lung injury
and acute respiratory distress syndrome: A systematic review and meta-analysis. Crit Care Med
2009 Vol. 37, No.5
4. Amin Z. Sindrom Gangguan Respirasi Akut (ARDS). Dalam: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds).
Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
BRONKIEKTASIS
PENGERTIAN
Dilatasi jalan napas yang ireversibel dan melibatkan paru-paru lokal atau difus,
dengan gambaran pelebaran alveoli dapat berupa silindris atau tubular, varicose,
atau kistik. Etiologi bronkiektasis pada banyak kasus tidak diketahui, kemungkinan
penyebabnya dapat dilihat di tabell :1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada pasien bronkiektasis dapat ditemukan riwayat batuk produktif persisten
dengan sputum yang purulen (jika ada infeksi sekunder) atau mukoid (jika tidak ada
infeksi sekunder) dengan jumlah banyak terutama pada pagi hari sesudah perubahan
posisi tidur. Bau mulut yang tidak sedap (fetor ex ore) ditemukan jika ada infeksi
sekunder. Batuk darah, sesak napas, demam berulang dapat dikeluhkan pasien. 1 · 3 Pada
kasus bronkiektasis harus dicari kemungkinan penyebab seperti kelainan kongenital,
aspirasi cairan lam bung, riwayat infeksi saluran napas bawah yang disebabkan bakteri
atau virus pneumonia, pertusis, atau tuberkulosis, kelainan imunitas seperti pada
tabel 1. Pada orang dewasa jika tidak ditemukan penyebab bronkiektasis, riwayat
asma harus ditanyakan. 4
Pemeriksaan fisik
Pada kasus bronkiektasis dapat ditemukan sianosis, retraksi dinding dada dan
berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena disertai pergeseran mediastinum
akibat bagian paru yang terkena luas, ronki, mengi, jari tabuh, serta dapat disertai
demam. 1 Pada kasus be rat dapat ditemukan tanda-tanda kor pulmonal kronik maupun
gagal jantung kanan.
Sindrom kartagener terdiri atas gejala: bronkiektasis kongenital, sering disertai
dengan silia bronkus imotil, situs invertus, sinusitis paranasal atau tidak terdapatnya
sinus frontalis.
4
Tabel2. Jenis Pemeriksaan Fungsi Paru Yang Harus Dilakukan Pada Orang Dewasa
~Y~tt~tt~~~l~~t~l11:~~Q)J~~~~&:~~~t;~t~t1~~M~~~~1ffi~l~m~!TK~I91ttJ~f7~~4~3~i~:~\4i~itltlgY~if~itfillliiiii.4j!((&if1~~~
Bronkiektasis FVC, FEVl, PEF (peak Secara rutin setiap kontrol ke
expiratory flow} dokter
Defisiensi imun FVC, FEVl 4 kail dalam setahun
PPOK/emfisema Volume paru, gas transfer
coefficient
Sebelum dan setelah FVC, FEVl
antibiotik intravena
Antibiotik oral atau nebulisasi Spirometri dan volume
paru
DIAGNOSIS BANDING 3
• Bronkitis kronik
• Tuberkulosis paru
• Abses paru
• Karsinoma paru, adenoma paru
• Fistula bronkopleural dengan empiema
TATALAKSANA 1·2
• Mengontrol infeksi dan meningkatkan sekresi sputum dan higienitas bronkus
untuk menurunkan jumlah mikroba dalam jalan napas dan risiko infeksi berulang
• Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien :3
o Membuat ruangan hangat, udara ruangan kering
o Menghentikan merokok
o Mencegahfmeghindari debu, asap
• Memperbaiki drainase sekret bronkus dan menjaga higienitas bronkus 3
o Drainase postural: dikerjakan 10-20 menit 2-4 kali setiap hari, atau sampai
sputum tidak keluar lagi, dibantu dengan memberikan tepukan pacta punggung
pasien.
o Mencairkan sputum yang kental: hidrasi, mukolitik, inhalasi uap air panasj
din gin
o Mengatur posisi tempat tidur pasien
o Nebulisasi dengan bronkodilator dan cairan hiperosmolar (saline hipertonik):
Ketika nebulisasi dengan cairan saline hipertonik, sebelumnya diberikan
bronkodilator pacta pasien yang mempunyai hipereaktivitas bronkus. Sebelum
dan 5 me nit setelah dilakukan nebulisasi, FEV1 atau PEF harus diperiksa untuk
menilai adanya bronkokonstriksi. 4 · 6
o Fisioterapi dada: drainase postural, chest flapping, oscillatory positive expiratory
pressure flutter valve, a tau high-frequency chest wall oscillation vest.
o Sebelum dilakukan fisioterapi dapat diberikan nebulisasi dengan ~2 agonis
3
untuk meningkatkan pengeluaran sputum.
o Setiap 3 bulan harus dinilai keefektifan terapi.
• Latihan rehabilitasi paru
o Jika ada kesulitan bernapas ketika melakukan aktivitas sehari-hari
o Latihan kekuatan otot pernapasan
• Antiinflamasi
o Glukokortikoid oral/sistemik: jika disebabkan ABPA, kondisi autoimun
o Glukokortikoid inhalasi: tidak dianjurkan secara rutin, kecuali pacta pasien
asma.4.6
• Anti jamur
o Jika disebabkan ABPA: itrakonazol
• Antibiotik
o Eksaserbasi akut: patogen terduga paling sering adalah Haemophilus influenzae
dan P. aeruginosa. Antibiotik diberikan selama 7-10 hari.
o Pada kasus infeksi MAC dan HIV negatif : makrolid dengan rifampisin dan
etambutol
o Kombinasi antibiotik tidak diberikan jika infeksi disebabkan H. influenza,
Moraxel/a catarhalis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia.
o P.aeruginosa yang sensitif terhadap siprofloksasin dapat diberikan
siprofloksasin secara oral sebagai antibiotik lini pertama, dan diganti ke
intravena jika tidak membaik.
o Nebulisasi dengan antibiotik: jika eksaserbasi :::: 3 kali setahun atau episode
eksaserbasi yang jarang tetapi diperkirakan menyebabkan morbiditas yang
signifikan. Antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur sensitivitas. 4
• Operasi :3.4. 6
KOMPLIKASI
Perdarahan sampai hemoptisis masifkarena kerusakan mukosa pembuluh darah
akibat infeksi berulang. Resistensi terhadap antibiotik karena infeksi berat, berulang,
atau pemakaian antibiotik terlalu sering. 1 Pneumonia denganfatau tanpa atelektasis,
pleuritis, efusi pleura atau empiema, abses metastasis di otak, hemoptisis, sinusitis,
kor pulmonal kronik, kegagalan pernapasan, amiloidosis. 3•6
PROGNOSIS
Prognosis tergantung etiologi penyebab dan frekuensi eksaserbasi. FEV1 menurun
50-55 mlftahun, sedangkan pada orang sehat 20-30 mlftahun. Risiko infeksi berulang
dapat diturunkan dengan memberikan vaksinasi pada kasus infeksi pernapasan kronik
(seperti influenza, pneumokokus).l Pada kasus berat dan tidak diobati lama harapan
hidup <5-15 tahun. Penyebab kematian dikarenakan pneumonia, empiema, gagal
jantung kanan, hemoptisis. 3•6
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi, Bedahjtoraks, Departemen
Rehabilitasi Medik
• RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI
1. Baron R. Bronchiectasis and Lung Abscess. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 20 12.chapter 258.
2. Iseman M. Bronchiectasis. In: Mason: Murray & Nadel's Textbook of Respiratory Medicine, 4'h ed.
United States of America: Saunders .2005. chapter 39.
3. Rahmatullah P. Bronkiektasis. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW.
Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal2297-2304.
4. British Thoracic Society. BTS Guideline for non-CF Bronchiectasis A Quick Reference Guide.201 0.
Diunduh dari www.brit-thoracic.org.uk pada tanggal 30 mei 2012.
5. O'Donnell A. Bronchiectasis. Chest 2008; 134;815-823. Diunduh dari http:/ /chestjournal.chestpubs.
org/content/134/4/815.full.html pada tanggal30 Mei 2012.
6. Pranggono E. Mikobakteriosis Non-TB. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A {Eds). Panduan
Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
EMBOLI PARU
PENGERTIAN
Emboli paru adalah kelainan jaringan paru yang disebabkan oleh embolus pacta arteri
pulmonalis paru. Bekuan vena sistemik yang menyangkut di percabangan arteri
pulmonalis, merupakan komplikasi Deep Vein Thrombosis (DVT) yang umumnya terjadi
pacta kaki atau panggul. Faktor predisposisi trombosis vena yaitu: 1•2
• Trias Virchow, yaitu
o Stasis: Imobilitas, tirah baring, anestesi, gaga! jantung kongestifjkor pulmonal,
trombosis vena sebelumnya
o Hiperkoagulabilitas: keganasan, antibodi antikardiolipin, sindrom nefrotik,
trombositosis esensial, terapi estrogen, heparin-induced thrombocytopenia,
inflammatory bowel disease, Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, koagulasi
intravaskular diseminata, defisiensi protein C danS, defisiensi antitrombin III
o Kerusakan dinding pembuluh darah: trauma, pembedahan
• Keganasan
• Riwayat trombosis
• Preparat estrogen
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pacta 50 o/o kasus dapat asimptomatik
+2
Klinis Denyut jantung > l 00 kali/menit + 1.5
Tanda klinis trombosis vena dalam +3
Adanya alternatif diagnosis selain emboli paru +3
Kemungkinan emboli paru : rendah : skor 0-l
sedang : skor 2-6
tinggi : skor :<: 7
Kemungkinan emboli paru kecil jika skor 0-4, sedangkan kemungkinan paru besar jika skor > 4
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia, bronkitis, asma bronkial, bronkitis kronis eksaserbasi akut,
infark miokard, sindrom koroner akut, edema paru, kanker paru, pneumotoraks,
kostokondritis, aorta dissekans, tamponade, fraktur iga, hipertensi pulmoner primer,
nyeri muskukoskeletal, ansietas. 2
-
1 Poff 1
Gamber 1. Algoritma Pendekatan Diagnosis Berisiko Tinggi Emboli Paru dengan Gangguan
Hemodinamik1
Gamber 2. Algoritma Pendekatan Diagnosis Berisiko Rendah Emboli Paru Tanpa Gangguan
Hemodinamik'
TATALAKSANA
Terapi Suportif4
• Oksigen
• Infus cairan
• Inotropik: dobutamin drip, bila hipotensi, a tau tanda-tanda gagal jantung akut lain
• Vasopresor sesuai indikasi
• Anti aritmia sesuai indikasi
• Analgetik
< 35 detik (< 1.2 kali kontrol) 80 U/kg bolus. kecepatan infus dinaikkan menjadi 4 U/kg/jam
< 35-45 detik ( 1.2-1.5 kali kontrol) 40 U/kg bolus, kecepatan infus dinaikkan menjadi 3 U/kg/jam
< 46-70 detik (1.5-2.3 kali kontrol) Tidak berubah
< 71-90 detik (2.3-3.0 kali kontrol) kecepatan infus dikurangi menjadi 2U/kg/jam
>90 detik (>3.0 kali kontrol) Stop infuse selama 1 jam. selanjutnya kecepatan infus
dinaikkan menjadi 3 U/kg/jam
. 726 ~
Terapi Preventif
Sedang (1 0-40 %) Operasi pada umumnya, pasien yang UFH 5000 U subkutan (bid atau tid}
diharuskan bed rest
Tinggi (40-80 %) Operasi ortopedik, trauma susunan saraf LMWH (Fondaparinux), warfarin
belakang
KOMPLIKASI
Sindroma posttrombotik (25%) berupa nyeri dan edema. Emboli paru berulang
(1% pada emboli paru pertama kali- 5% dalam setahun pada emboli paru berulang),
gagal napas, gagal jantung kanan akut, hipotensi j renjatan kardiogenik. Komplikasi
diagnostik: reaksi alergi terhadap zat kontras. Komplikasi terapi: perdarahan
(termasuk intra-kranial), heparin-induced thrombocytopenia, nekrosis kulit, warfarin
embriopati.
PROGNOSIS
Prognosis baik jika terapi yang tepat dapat segera diberikan. Prognosis juga
tergantung pacta penyakit yang mendasarinya, ketepatan diagnosis, dan pengobatan
yang diberikan. Umumnya prognosis emboli paru kurang baik. Angka kematian karena
emboli paru mencapai 15% dalam 6 bulan. Sedangkan pacta emboli paru masif 70%
mengalami kematian dalam waktu 2 jam sesudah serangan akut. Prognosis juga buruk
pacta pasien emboli paru kronik dan sering mengalami serangan ulangan. Resolusi
komplit dapat tercapai dalam waktu 7-19 hari, tergantung dari waktu mulai terapi,
adekuat tidaknya terapi, dan derajat emboli paru. 4•8•9
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Radiolog,
Patologi Klinik, Bedah / toraks
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi
REFERENSI
1. Torbicki A. Perrier A. Konstantinides S. Guidelines on the diagnosis and management of acute
pulmonary embolism. European Heart Journal (2008) 29, 227 6-2315.Diunduh dari www.escardio.
erg/guidelines pada tanggal23 Juni 2012.
2. Goldhaber SZ. Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism. In: Fauci A. Kasper
D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 262.
3. Fedullo PF, Morris TA. Pulmonary Thromboembolism. In :Mason: Murray & Nadel's Textbook of
Respiratory Medicine, 4th ed. United States of America :Saunders .2005. chapter 48
4. Rahmatullah P. Tromboemboli Paru. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo
AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: lnterna Publishing; 2006: Hal1050-1056.
5. Diunduh dari Chest 2008;133;454S pada tanggal23 Juni 2012.
6. Diunduh dari NEJM 2008;359:2804 pada tanggal 23 Juni 2012.
7. Diunduh dari Chest 2008;133:381S pada tanggal 23 Juni 2012.
8. Diunduh dari Circ 2003;107:1-4 pada tanggal23 Juni 2012.
9. Rasyid A. Emboli Paru. Dalam: Am in Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur
Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
FLU BURUNG
PENGERTIAN
Flu burung (avian influenza) merupakan penyakit infeksi akibat virus influenza
tipe A yang biasa mengenai unggas. Subtipe virus influenza yang lazim mengenai
man usia adalah dari kelompok Hl, H2, H3, serta Nl dan N2 dan disebut sebagai human
influenza. Secara ringkas virus ini dikenal dengan virus A (HSNl).l
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1.2
• Gejala sistemik mendadak: sakit kepala, demam, menggigil, mialgia, malaise, batuk,
radangtenggorokan
• Keluhan gastrointestinal: diare
• Identifikasi untuk kelompok risiko tinggi: pekerja peternakanjpemrosesan unggas
(termasuk dokter hewanjinsinyur peternakan), pekerja laboratorium yang memproses
sam pel pasien, pengunjungpeternakanjpemrosesan unggas dalam 1 minggu terakhir,
pernah kontak dengan unggas (ayam, itik, burung) sakit/mati mendadakyang bel urn
diketahui penyebabnya danjatau babi serta produkmentahnya dalam 7 hari terakhir,
atau pernah kontak dengan penderita flu burung dalam 7 hari terakhir.
Pemeriksaan Fisik1·2
• Febris, takipneu, takikardi
• Konjungtivitis
• Ronkhi kasar pacta kedua lapang paru
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia
TATALAKSANA 1"3
• Prinsip penatalaksanaan adalah istirahat, peningkatan daya tahan tubuh,
pengobatan antiviral, antibiotik, perawatan respirasi, antiinflamasi, dan
imunomodulator
• Antiviral sebaiknya diberikan pacta awal infeksi yaitu 48 jam pertama
o Penghambat M2 : amantadine, rimantidin dengan dosis 2 x 100 mgjhari atau
5 mgjkgBB selama 3-5 hari
o Penghambat neuramidase (WHO) : zanamivir, oseltamivir (tamiflu) dengan
dosis 2 x 75 mg selama 1 minggu
• Pedoman Departemen Kesehatan RI :
o Kasus suspek: oseltamivir (tamiflu) 2 x75 mg selama 5 hari, simptomatik dan
antibiotik jika ada indikasi
o Kasus probabel : oseltamivir (tamiflu) 2 x 75 mg selama 5 hari, antibiotik
spektrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika ada
indikasi (pneumonia berat, ARDS). Respiratory care di ICU sesuai indikasi.
• Profilaksis pada kelompok risiko tinggi: oseltamivir 1 x 75 mg selama 1-6 minggu
KOMPLIKASI
Pneumonia dan manifestasi ekstrapulmonal seperti diare dan keterlibatan sistem
saraf pusat. Kematian berkaitan dengan disfungsi sistem multipel, termasuk gagal
jantung dan ginjai.2
PROGNOSIS
Berkaitan dengan derajat dan durasi hipoksemia. Angka mortalitas dari semua
kasus sampai saat ini mencapai 60%. Risiko mortalitas tergantung dari derajat penyakit
respirasi daripada komplikasi bakteri (pneumonia). Hanya sedikit bukti yang tersedia
yang menunjukkan efek jangka panjang dari korban selamat. 3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: RadiologijRadiodiagnostik, Patologi Klinik
• RS non pendidikan:·Bgian Radiologi, Bagian Patologi Klinik
REFERENSI
1. Nainggolan L, Rumende CM, Pohan HT. Influenza Burung. Dalam : Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi
L et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid Ill. 2009. Hal 2786-9.
2. Keliat EN. Pneumonia Virus. Dalam: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
3. Dolin RD. Influenza. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's
Principles of Internal Medicine. 181hEdition. New York, McGraw-Hill. 2012.
732
GAGAL NAPAS
PENGERTIAN
Gagal napas adalah suatu kondisi kegagalan sistem pernapasan pada fungsi
pertukaran gas seperti oksigenasi danjatau eliminasi karbondioksida dari darah
vena. Gagal napas juga didefinisikan tekanan oksigen arteri (Pa 0 2) <60 mmHg (8.0
kPa) danjatau tekanan karbondioksia arteri (Pa C0 2) >45 mmHg (6.0 kPa). Sistem
pernapasan terdiri dari :1
Paru-paru: sebagai organ pertukaran gas
Sistem pompa yang memventilasi paru-paru: terdiri dari din ding dada, otot pernapasan,
pusat pernapasan di susunan saraf pusat (SSP), dan jalur yang menghubungkan SSP
dengan otot pernapasan (saraf spinalis dan saraf perifer)
Gagal napas dapat terjadi karena 2 mekanisme yaitu :
Gagal napas
Penyakit paru dan jolon napas Asma akut, penyakit paru obstruktif kronik
eksaserasi akut, pneumonia, obstruksi jolon
napas atas, bronkiektasis
Lain-lain Sepsis, rejatan sirkulasi
Kronik Penyakit paru dan jolon napas penyakit paru obstruktif kronik (bronkitis,
emfisema, bronkiektasis)
Abnormalitas dinding dada Obesitas, kifoskoliosis, efusi pleura, gangguan
neuromuskular
Penyakit paru dan dinding dada Polimiositis, skleroderma, SLE
Abnormalitas susunan saraf pusat Hipoventilasi alveolar primer (Ondine's curse)
Lain-lain Malnutrisi, gangguan elektrolit, kelainan
endokrin
Pemeriksaaan penunjang
• Laboratorium : DPL.
• Analisis gas darah
• Foto toraks
• Kateter Swan Ganz dengan monitor- tekanan kapiler paru (PCWP)
• EKG
• CT (computed tomographic) angiography toraks: sesuai indikasi
• Bronkoskopi: sesuai indikasi
DIAGNOSIS BANDING
Edema paru, ARDS
TATALAKSANA
Tipe I
• Mengobatai penyakit dasar
• Oksigen
• Ventilasi mekanik: pada penyakit berat (ARDS)
• Bronkodilator
o Agonis beta adrenergik: terbutalin, albuterol
o Antikolinergik: diberikan kobi~asi dengan agonis beta adrenergik
• Antibiotika: sesuai indikasi
• Kortikosteroid oral atau parenteral
• Ekspektoran dan nukleonik
• Fisioterapi dada
Tipe 113.4
• Tujuan: memperbaiki ventilasi alverolar menjadi normal, hingga penyakit dasar
dapat diobati
• Menjaga patensi jalan napas: penyedotan secret, drainase postural, stimulasi batuk,
perkusi dada, atau dengan pemasangan selang endotrakea atau trakeostomi.
• Alat napas buatan: ventilator mekanik
• Oksigen: jika ada hipoksemia, diberikan secara hati-hati
KOMPLIKASI
• Komplikasi paru: emboli paru, barotrauma, fibrosis pulmonal.
• Komplikasi kardiovaskular: hipotensi, cardiac output menurun, aritmia,
perikarditis, infark miokard akut
PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari penyakit penyebab dan komorbid. Kematian pada kasus
gagal napas umumnya disebabkan karena kegagalan multi organ. Angka kematian pada
gagal napas yang disertai kegagalan kardiovaskular, ginjal, atau neurologis sebesar
55.4 %, 57.4 %, dan 48.1 %. Sedangkan angka kematian pada gagal napas dengan
kegagalan satu organ sebesar 20.7 %. 3-4
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Radiologi, AnestesijiCU
• RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Radiologi, Anestesi/ICU
REFERENSI
1. C. Roussos, A Koutsoukou. Respiratory failure. Eur Respir J 2003; 22: Suppl. 47, 3s-14s. Diunduh dari
http:/ /erj.ersjournals.com/content/22/47_suppl/3s.full.pdf pad a tanggal 20 Juni 2012.
2. Amin Z, Purwoto J. Gagal Napas Akut. Dalam :Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani
RA. Mansjoer A. editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang llmu Penyakit Dalam. Jilid I
Edisi IV Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p. 170-75.
3. Vincent JL, de Mendonca A. Cantraine F, Moreno R, Takala J, Suter PM, Sprung CL, Colardyn F,
Blecher S: Use of the SOFA score to assess the incidence of organ dysfunction/failure in intensive
care units: results of a multicenter, prospective study. Working group on 'sepsis-related problems'
of the European Society of Intensive Care Medicine. Crit Care Med 1998, 26: 1793-1800.
4. Amin Z, Pitoyo CW. Gagal Napas. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan
Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
. 736
•
MASSA MEDIASTINUM
PENGERTIAN
Mediastinum adalah regio di dalam rongga dada di antara rongga pleura yang di
dalamnya terdapat jan tung dan organ lain, kecuali paru-paru. Batas-batas mediastinum
yaitu sebelah lateral dibatasi oleh pleura parietalis, anterior oleh sternum, posterior
oleh kolum vertebra, superior oleh thoracic inlet, dan inferior oleh diafragma. Daerah
mediastinum terbagi menjadi 3 yaitu :1•2
• Mediastinum anterior
• Mediastinum media
• Mediastinum posterior
Massa mediastinum adalah lesi spesifik yang ditemukan di dalam mediastinum,
baik dari metastasis atau tumor dari lokasi intratorakallain yang menginvasi ke dalam
mediatinum, seringkali ditemukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan. Etiologi
dari massa mediastinum dapat dibagi berdasarkan lokasi dari massa :
Mediastinum media Jantung, perikardium, arkus aorta dan pembuluh darah besar, hilus,
kelenjar getah bening, vena inominata dan vena kava superior, nervus
phrenikus, nervus vagus bagian atas, jaringan ikat
Mediastinum posterior aorta torakalis desending, esofagus, duktus torasikus, vena azigos, vena
herniazigos, dan kelenjar getah bening bag ian posterior, nervus vagus
bagian bawah, jaringan ikat.
Anamnesis
Keluhan dapat disebabkan karena efek lokal atau gejala sistemik sesuai dengan
jenis tumor, yaitu :2
• Keluhan sesuai tirotoksikosis pada gondok intratoraks
• Sindroma cushing pada timoma dan tumor karsinoid
• Diare pada ganglioneuroma
Laboratorium : DPL
Hiperkalsemia Adenoma paratiroid dan limfoma
Hipoglikemia Tumor pleura, teratoma, fibrosarkoma, neurosarkoma
Fungsi tiroid, tiroid scan Gandok
Kadar katekolamin Tumor neurogenik
Alpha-fetoprotein and !3-human Germ cell tumor
chorionic gonadotropin
Anti-acetylcholine receptor antibody Simptom miastenik atau massa berkaitan dengan
tim us
Hipogamaglobulinemia Timoma
Gallium-67 scan Sarkoidosis
Somatostatin receptor scintigraphy Timoma
Technetium-99m scan Adenoma paratiroid
PET Kanker paru
DIAGNOSIS BANDING
Sesuai etiologi tabel1. 6•7
TATALAKSANA
Tergantung etiologi.
KOMPLIKASI
Obstruksi trakea, sindroma vena kava superior, invasi vaskular dan perdarahan
katastropik, serta ruptur esofagus. 4•7
PROGNOSIS
Prognosis tumor mediastinum jinak umumnya cukup baik, terutama jika tanpa
gejala. Sedangkan tumor mediastinum ganas tergantung dari keparahan penyakit dan
komorbid. Umumnya penyakit infeksi berespon baik terhadap terapi konvensional,
sedangkan penyakit infeksi berespon baik dan cepat terhadap pemberian antibiotik
yang tepat dan tindakan bedah. 6•7
UNITYANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah / toraks
• RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI
1. Light RW. Disorders of the Pleura and Mediastinum. In: Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E.
Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United
States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 263.
2. Park D. Vallieres E. Tumors and Cysts of the Mediastinum. In :Mason: Murray & Nadel's Textbook
of Respiratory Medicine, 4th ed. United States of America :Saunders .2005. chapter 71.
3. Diunduh dari www.chestjournaLchestpubs.org pada tanggal 30 Mei 2012.
4. Amin Z. Penyakit Mediatinum. Dalam: Alwi I. Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW.
Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal2249-2253.
5. Amin Z. Tumor Mediastinum. Dalam: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
6. Diagnostic Imaging Pathways :suspected mediastinal mass. 201 L Diunduh dari http://www.
imagingpathways.health.wa.gov.au/includes/pdf/med_mass.pdf pada tanggal 30 Mei 2012.
7. Haas C, Haap M. A mediastinal mass. The journal of family practise vol 59, no 6. Juni 2010.
Diunduh dari http:/ /www.jfponline.com/Pages.asp?AID=8696&issue=June%20201 O&UID= pada
tanggal30 Mei 2012.
PENYAKIT PARU KERJA
PENGERTIAN
Penyakit paru interstitial merupakan istilah klinis bagi sekelompok gangguan
traktus respiratorius bagian bawah yang meninggalkan jejas pada parenkim paru,
dan memberikan gambaran klinis, radiologis, dan manifestasi fisiologis atau patologis
yang sama. 1-3
Penyakit paru kerja adalah sekumpulan diagnosis yang disebabkan oleh inhalasi
debu, zat kimia, atau protein. "Pneumokoniosis" merupakan istilah yang digunakan
untuk penyakit yang berkaitan dengan inhalasi debu mineral. Keparahan penyakit
ini berkaitan erat dengan materi yang dihirup, intensitas, dan durasi dari paparan
terhadap materi terse but. Bahkan beberapa orang yang tidak bekerja di industri pun
dapat terkena penyakit ini melalui paparan tidak langsung. 4 Berikut daftar penyakit
paru kerja, zat paparan, dan waktu terpapar sampai onset timbul gejala tercantum
pada tabel 1.
label 1. Dafter Penyakit Paru Kerja, Zat Paparan, dan Waktu Paparan sampai Onset Gejala 4
' ~- -0 -, - · · ' "....·"""'", ' " · """'
Anamnesis 1· 3•5· 7
• Tempat tinggal pasien
• Manifestasi pulmonal dan ekstrapulmonal
o Sesak nap as terutama setelah beraktivitas (dyspnea on exertion), batuk kering/
non-produktifyang semakin memburuk pada usia pertengahan atau usia lanjut
yang tidak diketahui penyebabnya
• Tempo perjalanan penyakit
• Kebiasaan merokok
• Obat-obatan
• Riwayat penyakit dahulu dan komorbid
• Riwayat penyakit keluarga
• Riwayat pekerjaan, paparan lingkungan dalam waktu lama
Pemeriksaan Fisik5 · 7
• Auskultasi paru: crackles (ronki) pada kedua basal paru, terutama saat akhir
inspirasi
• Jari tabuh
• Tanda ekstrapulmonal
DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis kronis, penyakit paru obstruktifkronis j PPOK, fibrosis paru, kanker paru. 1
PanlluanPraktikKiinis
TATALAKSANA 1-3
• Silikosis
o Prinsip: mencegah progresifitas penyakit dan timbulnya komplikasi
o Terapi suportif, rehabilitasi, oksigen
o Pad a pasien positif silikosis dengan tes tuberkulin (+), pertimbangkan untuk
terapi infeksi TB Iaten, misalnya profilaksis INH 300 mgjhari
• Asbestosis
o Tidak ada terapi spesifik yang efektif, terapi umumnya bersifat suportif (sam a
dengan fibrosis interstitial difus yang tidak diketahui penyebabnya)
o Vaksinasi influenza dan pneumococcus
o Terapi oksigen
o Transplantasi paru dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu
o Konseling untuk berhenti merokok karena adanya peningkatan risiko kanker
paru
• Pneumokoniosis
o Terapi suportif dan rehabilitasi untuk gangguan fungsi paru
o Konseling untuk berhenti merokok
• Pneumonitis hipersensitivitas
KOMPLIKASI
Emfisema paru, infeksi tuberkulosis Iaten, PPOK, kanker paru, mesothelioma,
kanker lambung.U
PROGNOSIS
Tergantung lamanya paparan, usia saat onset gejala, dan komplikasi yang muncul.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Radiologi, Patologi Klinik, Mikrobiologi klinik, Patologi
Anatomi
• RS non pendidikan : Radiologi, Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Mikrobiologi
klinik
.ParuK~rja
REFERENSI
1. King Jr. TE. Interstitial Lung Diseases. In : Longo DL Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL,
Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
2. Raghu G.lnterstitial Lung Diseases. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia.
Saunders, Elsevier. 2008.
3. King Jr. TE, Schwarz MI. Infiltrative and Interstitial Lung Diseases. In : Mason, Murray, Broaddus,
Nadel. Murray and Nadel's Textbook of Respiratory Medicine. 41h Edition. Philadelphia. Saunders,
Elsevier. 2005.
4. Boylan AM, Broaddus VC. Pleural Diseases. In : Schraugnagel DE. Breathing in America : Diseases,
Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal 145-54. Diunduh dari http://www.
thoracic.org/education/breathing-in-america/resources/breathing-in-america.pdf pada tanggal
23 Mei 2012.
5. Guidotti TL Miller A Christiani D, et al. American Thoracic Society Documents : Diagnosis and
Initial Management of Nonmalignant Diseases Related to Asbestos. Am J Respir Crit Care Med
2004; 170:691-715.
6. Ryu JH, Daniels CE, Hartman TE, Yi ES. Diagnosis of Interstitial Lung Diseases. Mayo Clin
Proc. 2007;82(8) :97 6-986. Diunduh dari http:/ /www.cchil.org/hospitalmedicine/images/
resources/091408-024700am-ILD.pdf pada tanggall Juni 2012.
7. Pasiyan R, Arsyad Zulkarnain, Tandjung A Penyakit Paru akibat Kerja dan Lingkungan. Dalam
: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit
Kritis Paru.
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
(PPOK)
PENGERTIAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan
adanya keterbatasan aliran udara kronis dan perubahan patologis pada paru-paru,
beberapa memiliki efek ekstra pulmonaJ.l Ditandai dengan keterbatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara biasanya progresif
dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel
berbahaya atau gas. 2 Faktor risiko yaitu perokok aktif atau pasif, tinggal di daerah
berpolusi, lingkungan kerja) industri kapas, pertambangan batu bara, pertambangan
emas) defisiensi al antitripsin. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Sesak napas yang diperberat oleh latihan, batuk-batuk kronis, sputum yang
produktif, faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. 1
Pemeriksaan Fisik3
• Laju napas meningkat > 20 kalijmenit, bila sesak napas berat: sianosis (hipoksia
berat), retraksi intercostal.
• Pemeriksaan paru : barrel chest : meningkatnya diameter anteroposterior
(merupakan tanda hiperinflasi), diafragma letak rendah, suara napas melemah,
dapat ditemukan ronki dan wheezing.
• Suara jan tung melemah. Pada PPOK berat dapat ditemukan gagal jan tung kanan,
kor pulmonal : bunyi jantung kedua meningkat, distensi vena jugular, kongesti
hati, edema mata kaki.
Pemeriksaan Penunjang
• Uji spirometri (standard baku)
Volume Ekspirasi Paksa (VEPh I Kapasitas Vital Paru (KVP) atau FEVJFVC
3
< 70 %.
Meningkatnya kapasitas total paru-paru, kapasitas residual fungsional, dan
volume residuaJ.l
• Rontgen Thorax: paru hiperinflasi, diafragma mendatar. 3
• Analisis gas darah
• Level serumal antitripsin sesuai indikasF
Etiologi Eksaserbasi
Infeksi mukosa trakeobronkial, terutama Streptococcus pneumonie, Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrha/is, pajanan polusi udara. 1
II PPOK sedanq
VEP1 I KVP < 70%
30%5 VEP 1 $80% prediksi
Dengan keluhan naps pendek terutama pada saat latihan, terkadang ada
keluhan batuk dengan sputum produktif
Ill PPOK berat
VEP1 LKVP <:JQ%
30% 5 VEP 1 < 50% prediksi
Keluhan napas pendek bertambah, kemampuan latihan berkurang, Ieiah, dan
eksaserbasi berulang sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien
TATALAKSANA
Agonis b-2
Masa kerja pendek-
Fenoterol 100-200 (MDI) 0,05% (sirup) 4-6
Salbutamol 100,200 5 5 mg (tablet), 0.1, 0.5 4-6
(albuterol) (MDI.DPI) sirup 0,024%
Terbutaline 400, 500 (DPI) 0.2, 0.25 4-6
Masa kerja panjang
.[Qfm.Qteml _____________ 4J_5.::12. (MDI,_D_EI) 12:1-__ _
Salmeterol 25-50 12+
(MDI & DPI)
~b~t ····lhh~la;,· . •.·. . · · .· -.· ~~1t\~~r{uk··_ ····';&t.a~'/.::.~ .'::?~~~·;·, .·J\1%~~~i·.··.
Antikolinergik
Masa kerja pendek
lpratroprium 20,40 (MDI) 0,25-0,5 6-8
bromida
Oxitroprium bromida 100 (MDI) 1.5 7-9
Masa kerja panjang
Tiotropium 18 (DPI) 24+
Kombinasi agonis b-2 kerja pendek dengan antikollnergik dalam 1 inhaler
Fenoterol/ 200/80 (MDI) 1,25/0,5 6-8
ipratropium
Salbutamol/ 75/15 (MDI) 0,75/4,5 6-8
ipratropium
Metilsantin
Aminofilin 200-600 mg 240 mg Variatif.
(tablet) sampai 24
jam
Teofilin 100-600 mg Variatif,
(tablet) sampai 24
jam
Glukokortikoid inhalasi
Beklometason 50-400 (MDI & DPI) 0,2- 0.4
Budesonid 100, 200, 400 (MDI) 0.2, 0.25, 0.5
Flutikason 500-500 (MDI &
DPI)
Triamsinolon 100 (MDI) 40 40
Kombinasi agonis b-2 kerja panjang dengan glukokortikoid dalam satu inhaler
Formoterol/ 4,5/160, 9/320 (DPI)
budesonid
Salmeterol/ 50/100, 250, 500
Flutikason (DPI)
25/50, 125, 250
(MDI)
Glukokortikoid sistemik
Prednison 5-60 mg
(tablet)
Metil-prednisolon 4, 8,16 mg
(tablet)
label 2. Terapi Farmakologis yang Umum Digunakan pada Ppok Eksaserbasi Akut3
~~-~.:;;·,;QA?'f!J2]JH;;::l,.•,i;·~~,;{~[d,~bi;.;',i,;,~~J~q~gtq~Ul.9$Ji'~i'i.~~f!:~~,::~.;~iE1ilit~~~.~~if;;;~:0~~t~k~~~~~;c;; ···"·
·· · · · · ·- · ·· · · - - - - Bronkodilator - - -
Agonis 1)-Adrenergik
Salbutamol Metered-dose inhaler 100-200 ~g 4 kali sehari
Nebulizer 0.5-2.0 mg 4 kali sehari
Metaproterenol Nebulizer 0.1-0.2 mg 4 kali sehari
. ·--- ·--···----------------- ------------------- -- .... __ , -- --- ---·--·--·----------------------- ------------
Terbutalin Metered-dose inhaler 400 ~g 4 kali sehari
f •·:~: ·&~~·1~~i·.~'~;:Q'134f';;~~r~1;;':'ir ?X:'i\\;, ·~~.~f~J~i~f¢g(g;,gpi!~~~('/ ~;':~:d:~;;)j< •< ': :~i.P~~~~~~\~~·;f;j1¥~~·x;;~\~f,i~:~~~!q~l]t~~¥,~i:!l
Antikolinergik
lpratropium bromid Metered-dose inhaler 18-36j..lg 4 kali sehari
Nebulizer O.Smg 4 kali sehari
Metilsantin
Aminofrlin lntravena 0.9 mg/kgBB/ lnfus
hari
Teofrlin Tablet (sustained-release 150-450 mg 2 kali sehari
preparations)
Kortikosteroid
Metilprednisolon iv lalu oral 125mg Setiap 6jam
suksinat selama 3 hari. lalu
60mg 1x1 selama 4 hari
40mg 1x1 selama 4 hari
20mg 1x1 selama 4 hari
Prednison (untuk rawat Tablet 30-60 mg 1x1 selama 5-10
jalan) hari
Antibiotik spektrum terbatas
Trimetoprim- Tablet 160 mg dan 2 kali sehari selama
sulfametoksazol 800mg 5-10 hari
Amoksilin Tablet 250mg 4 kali sehari selama
5-10 hari
Doksisiklin Tablet 100mg Hari pertama 2
tablet, lalu 1xl tab/
hari selama 5-10
hari
KOMPLIKASI
Bronkitis akut, pneumonia, tromboemboli pulmo, gaga! jantung kanan, kor
pulmonal, hipertensi pulmonal, gaga! napas kronik, pneumotoraks spontan. 5
PROGNOSIS
Prognosis berdasarkan BODE index, dapat dilihat pada tabel 4 dan 5.
~~:~~g~B~~~1~~"~qrt: · ~9~t,t!t~~r~~~~~~~~r~~~6~
0-2 2 6 19
3-4 2 8 32
4-6 2 14 40
7-10 5 31 80
Penyokit Pa5~~:~,~~~~'tru ktif'Kronik· (PPOK)
_1~~~~ ;1·i~'@;~1{,)•
9
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Rehabilitasi Medik, Radiologi/Radiodiagnostik,
Anestesi/ICU
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi / ICU
REFERENSI
1. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Dalam: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser
S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181" ed. United States
of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.
2. Global strategy for the diagnosis, management. and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease. Global initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2006.
3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition.
Saunders: Philadhelphia. 2007.
4. Hunter, Mellisa. King, Dana E. COPD: Management of Acute Exacerbations and Chronic Stable
Disease. Am Fam Physician. 2001 Aug 15;64(4):603-613.
5. Pulmonary disorders. Dalam: McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A. Current Medical Diagnosis
and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.
6. Bartolome, R. Et all. The Body-Mass Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and Exercise Capacity
Index in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J Med 2004; 350:1005-1 012March 4, 2004
7. Childers, Julie Wilson. Arnold, Ronald. Curtis, J Randall. Prognosis in End Stage COPD. Diunduh
dari: http:/ /www.eperc.mcw.edu/EPERC/FastFactslndex/ff_l4l.htm pada tanggall 0 juni 2012.
8. Yuwono A. Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Dalam : Am in Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan
Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
PENYAKIT PLEURA
PENGERTIAN
Penyakit pleura merupakan suatu gangguan yang mempengaruhi lebih dari
3000 orang dalam 1 juta populasi setiap tahunnya. Penyakit ini berasal dari berbagai
kelainan patologis dan sering merupakan efek sekunder dari proses penyakit lain, oleh
karena itu dibutuhkan pendekatan sistematis untuk identifikasi dan tatalaksana lebih
lanjutY Penyebab tersering penyakit pleura adalah kanker, dan diperkirakan efusi
pleura maligna terjadi pada 150.000 orang per tahun di Amerika Serikat. 1 Penyakit
pleura terdiri dari efusi pleura dan pneumotoraks. 3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
I. EFUSI PLEURA
Efusi pleura adalah akumulasi cairan berlebihan dalam rongga pleura. 3 Hal ini
dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme seperti tercantum pada tabell.
AnamnesisM
• Nyeri unilateral, tajam, bertambah parah saat inspirasi atau batuk, dapat menjalar
ke bahu, leher, atau abdomen
• Sesak napas, batuk
• Riwayat trauma dada
• Riwayat penyakit komorbid (gagal jantung kongestif, sirosis, sindrom nefrotik,
tuberkulosis/TB, emboli paru, tumor mediastinum, dll)
• Riwayat penggunaan obat (nitrofurantoin, dantrolen, metisergid, bromokriptin,
prokarbazin, amiodaron, dasatinib)
Pemeriksaan Fisik4
• Paru: restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada; fremitus taktil menghilang,
perkusi redup, bunyi napas menurun, splinting (pada daerah paru yang terkena).
Kadang ditemukan egobronkofoni pada batas cairan atas bila terjadi kompresi
parenkim paru.
Pemeriksaan Penunjang
• Radiologis :
o Foto toraks :4
Gambaran sudut kostofrenikus tumpul dan bergeser ke arah medial
menggambarkan efusi pleura
Peningkatan nyata hemidiafragma atau perluasan bayangan lambung
yang terisi gas dan batas paru kiri bawah membawa kecurigaan efusi
subpulmonal
Bila efusi > 300 mL akan terlihat pada foto toraks PA
Bila efusi 150-300 mL akan terlihat pada foto toraks lateral dekubitus
o USG : menentukan adanya efusi, lokasi cairan di rongga pleura, membimbing
aspirasi efusi berseptajterlokulasi. 2
o CT Scan, dengan indikasi :2
Efusi pleura eksudatif yang tidak terdiagnosis, untuk membedakan
penebalan pleura benigna dari maligna
Sebelum dilakukan drainase cairan pleura, pertimbangkan CT scan dengan
kontras
lnfeksi pleura dengan komplikasi saat drainase awal gagal dan
dipertimbangkan untuk operasi
• Torakosentesis (pungsi pleura) dan analisis cairan pleura : melihat komposisi
cairan pleura dan membandingkan komposisi cairan pleura dengan darahY
Tentang ini lebih lengkap lihat pada bab prosedural Pungsi Cairan Efusi Pleura
• Biopsi pleura perkutaneus 4 lebih lengkap lihat pada bab prosed ural Biopsi Pleura
• Torakoskopi : merupakan prosedur invasif terpilih pada efusi pleura eksudatif
dimana aspirasi cairan pleura tidak konklusif dan dicurigai keganasan. 2A
PENDEKATAN DIAGNOSIS
~B
Tatalaksana
penyebab
- . I""'
Tatalaksana penyebab
DIAGNOSIS BANDING
Tergantung etiologi seperti tercantum pada tabel 2. Kriteria Light untuk
membedakan efusi eksudat dari transudatyaitu apabila memenuhi ~1 kriteria berikut
: (1) ratio kadar protein cairan pleura: kadar serum protein >0,5; (2) ratio kadar LDH
cairan pleura: kadar serum LDH >0,6; (3) kadar LDH cairan pleura >2/3 batas atas
nilai normal untuk kadar serum LDH. 5
Efusi Parapneumonia/Empiema
• Torakosentesis diagnostik, torakosentesis terapeutik, tube thoracostomy, tube
thoracostomy dengan trombolitik, torakoskopi, dan torakotomi dengan dekortikasi,
drainase
• Antibiotika sesuai tatalaksana pneumonia bakteri
Chylothorax
Chest tube/thoracostomy sementara, selanjutnya dipasang pleuroperitonea/ shunt
Hemotoraks
Chest tube/thoracostomy, bila perdarahan > 200 mL/jam, pertimbangkan
torakotomi
Ya
I Lengkap?* I Tidak •
Tidak Ya
Pertimbangkan indwelling
pleural catheter
at au
ulangi pleurodesis
KOMPLIKASI
Efusi pleura berulang, efusi pleura terlokalisir, empiema, gagal napas. 4•6
PROGNOSIS
Tergantung etiologi yang mendasari dan respon terapi.
II. PNEUMOTORAKS
Pneumotoraks adalah akumulasi udara dalam rongga pleura, yang dapat
disebabkan oleh 1) perforasi pleura viseral dan masuknya gas dari paru-paru, 2)
penetrasi dinding dada, diafragma, mediastinum, atau esofagus, atau 3) produksi gas
oleh mikroorganisme dalam empiema. 4 Pneumotoraks spontan dapat terjadi tanpa
trauma dada sebelumnya. Pneumotoraks spontan primer dapat terjadi tanpa adanya
penyakit komorbid, sedangkan pneumotoraks sekunder terjadi karena adanya penyakit
komorbid. Pneumotoraks traumatik merupakan akibat dari jejas dada denganjtanpa
penetrasi, sedangkan tension pneumothorax adalah suatu keadaan pneumotoraks
dengan terbentuknya tekanan positif dalam rongga pleura selama siklus respirasi. 3
Anamnesis3.4
• Onset mendadak atau dalam waktu beberapa jam
• Sesakjsulit bernapas, nyeri dada terlokalisir, batuk
• Riwayat trauma dada
• Riwayat penyakit paru komorbid
Pemeriksaan Fisik3.4
• Takipneu
• Pada area paru yang terkena: gerakan dada tertinggal, fremitus taktil menghilang,
perkusi hipersonor, bunyi napas menghilang
• Tanda pneumotoraks tension:
0 Keadaan umum sakit berat
0 Denyut jantung > 140 xjm
0 Hipotensi
0 Takipneu, pernapasan berat
0 Sianosis
0 Diaforesis
0 Deviasi trakea ke sisi kontralateral
0 Distensi vena leher
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit tromboemboli paru, pneumonia, infark miokardium, PPOK eksaserbasi
akut, efusi pleura, kanker paruY
PNEUMOTORAKS SPONTAN
Apobilo biloterol/hemodinomik tidok stobil
-71akukan drainase dado
Tidok
Yo
Yo!
Rawat inap, suplementasi oksigen
lkecuoli suspek sensitif oksigen).
observasi selama 24 jam
•Pod a beberopa pasien dengan pneumotoraks besar namun geja!a minimal. totoloksana konservatif mungkin sesuai
TATALAKSANA4 · 7
• Tatalaksana pneumotoraks spontan dapat dilihat pada gam bar 3.
• Jika pneumotoraks rekurens:
o Pleurodesis kimiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau:
o Konsul Bagian Bedah/Subbagian Bedah Toraks untuk pertimbangan:
Pleurodesis mekanik (abrasi permukaan pleura parietal atau stripping
pleura parietal ), atau
Torakoskopi, atau torakotomi terbuka.
Indikasi:
Kebocoran udara memanjang,
Reekspansi paru tidak sempurna
Bullae besar
Risiko pekerjaan
Indikasi relatif:
Pneumotoraks tension
Hemopneumotoraks
Bilateral pneumotoraks
Rekurens ipsilateraljkontralateral
KOMPLIKASI
Gagal napas, pneumotoraks tension, hemopneumotoraks, infeksi/piopneumotoraks,
penebalan pleura, atelektasis, pneumotoraks rekurens, emfisema mediastinum, edema
paru reekspansL4· 6•7
PROGNOSIS
Tergantung etiologi dan respon terapi
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen BedahjToraks, Radiologi/Radiodiagnostik,
Patologi Klinik, mikrobiologi klinik, Patologi Anatomi
• RS non Pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi, Patologi Anatomi,
Mikrobiologi klinik
REFERENSI
1. Boylan AM, Broaddus VC. Pleural Diseases. In: Schraugnagel DE. Breathing in America: Diseases,
Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal 145-54.
2. Rand ID, Maskell N. British Thoracic Society Pleural Disease Guideline 2010. Thorax Vol 65 Suppl2.
3. Halim H, Budiono E, Wibisono BH. Penyakit Pleura. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds).
Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
4. Light RW. Disorders of the Pleura. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL
Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
5. Celli BR. Diseases of the Diaphragm, Chest Wall, Pleura, and Mediastinum. In: Goldman, Ausiello.
Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
6. Light RW. Pleural Effusion. N Engl J Med 2002; 346:1971-1977
7. Broaddus VC, Light RW. Disorders of the Pleura.ln: Mason, Murray, Broaddus, Nadel. Murray and
Nadel's Textbook of Respiratory Medicine. 41h Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2005.
PNEUMONIA ATIPIK
PENGERTIAN
Pneumonia atipik adalah pneumonia yang disebabkan infeksi bakterial, tapi
mempunyai gambaran klinis radiologis tersendiri yang berbeda dari pneumonia
umumnya, yakni onset yang perlahan, demam ringan sampai berat, batuk tanpa
produksi sputum, dan tidak berespons dengan terapi antibiotik b-laktam.Etiologi:
Mycoplasma pneumoniae, chlamydia pneumoniae, legionella spp, influenza virus tipe
A dan 8. 1 Pneumonia ini disebut juga walking pneumonia.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 2
Pada pneumonia yang disebabkan oleh mikroba atipik, gejala sistem pernapasan
dapat tidak khas (umumnya tampak seperti faringitis dan trakeo bronkitis ), sedangkan
gejala sistemik seperti sakit kepala, nyeri ototjsendi dapat lebih menonjol.
• Batuk tanpa sputum, kecuali bila penyakit memberatjinfeksi sekunder·
• Demam ringan, dapat dengan cepat meningkat hingga menggigil
• Malaise, kelemahan seluruh anggota tubuh
• Sakit kepala, nyeri otot (sering)
• Nyeri dada (jarang), sesak napas (bila berat)
Pemeriksaan Fisik2
• Tanda-tanda radang dan konsolidasi paru: suara napas bronkial, ronkhi
• Efusi pleura, abses paru (bila berat)
• Gejala gangguan ekstra paru (terutama oleh Legionella dan Mycoplasma):
Infeksi saluran napas atas: laringitis, faringitis, rinitis
Saluran gastrointestinal: diare, muntah, nyeri perut, hepato-splenomegali
Sistem kardiovaskular: bradikardia relatif, miokarditis, perikarditis
Gangguan sistem saraf: gangguan kesadaran, ensefalitis, meningismus, paralisis
Guilla in Barre, kelumpuhan saraf kranial, neuropati perifer
Gangguan dermato-muskuloskeletal: rash, eritema, myalgia, artritis, arthralgia,
Gangguan sistem urogenital: glomerulonefritis, gagal ginjal akut, abses tuba-
ovarian
Mata: bullous myringitis
Telinga: otitis media
Laboratorium
Leukositosis (jarang), biasanya < 15.000/mL, trombositopenia, anemia hemolitik
(kadang-kadang), LED meningkat, SGOT, SGPT meningkat
Foto Thoraks
• Legionella: infiltrat pada lobus bawah paru, adenopati hilus
• Mycoplasma: infiltral dapat unijbilateral, dapat multilobus, adenopati hilus.
• Chlamydia: infiltrat subsegmen
DIAGNOSIS BANDING
• Pneumonia didapat di masyarakat Comunity Aqcuired Pneumonia (CAP): CAP
memiliki onset lebih cepat dan keadaan umum pasien lebih buruk sementara gejala
pneumonia atipik lebih ringan dan lebih menonjol gejala sistemiknya.
• Bronkitis kronik
TATALAKSANA
Antibiotik: pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin: 3 •
• Makrolid:
Eritromisin 4 x 250-500 mg
Claritomisin 2 x 500 mg
Azitromicin 1 x 500 mg
Roksitromisin 2 x 500 mg
• Doksisiklin 2 x 100 mg
• Respirasi- Fluorokuinolon
• Bila penyebabnya terkonfirmasi Legionella pertimbangkan Rifampisin 2 x 300-600 mg
Tatalaksana umum pneumonia atipik sama dengan tata laksana umum CAP): 4 ' 5
Rawat jalan
• Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan
• Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoranjmukolitik
• Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan
• Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan
• Bila tidak membaik dalam 48 jam: dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit,
atau dilakukan foto toraks
Rawat inap di RS
• Oksigen, hila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen
inspirasi. Tujuannya: mempertahankan PaOz> 60 mmhg dan SaOz >90 %.
• Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal
napas dituntun dengan pengukuran AGD berkala
• Cairan: bila perlu dengan cairan intravena
• Nutrisi
• Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoranjmukolitik
• Foto toraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang
memuaskan
Rawatdi ICU
• Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel
untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan
endobronkial.
KOMPLIKASI 5
Efusi pleura, empiema, abses paru, atelektasis, gagal napas, kor pulmonal,
pneumotoraks, septikemia, herpes labialis, penyakit tromboemboli
PROGNOSIS5
Tergantung derajat berat penyakit dan penyakit terkait.
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi/Radiodiagnostik, Patologi Klinik,
Mikrobiologi Klinik
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Mikrobiologi klinik
REFERENSI
1. McGraw-Hill Concise Dictionary of Modern Medicine.© 2002 by The McGraw-Hill Companies.
2. Bahar A. Diagnosis Pneumonia Atipik. Makalah Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI!RSUPN CM, 25
Maret 1999.
3. Suwondo A. Penatalaksanaan Pneumonia Atipik. Makalah Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI/
RSUPN CM, 25 Maret 1999.
4. American Thoracic Society. Guidelines for the Management of Adults with Community-Acquired
Pneumonia: Diagnosis, Assessment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J Respir
Crit Care Med, 2001 ;163:1730-54.
5. Dahlan Z. Pneumonia Bakterial. Dalam: Am in Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
PNEUMONIA DIDAPAT Dl RUMAH SAKIT
PENGERTIAN
Pneumonia didapat dirumah sakit a tau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah
pneumonia yang muncul ~ 48 jam setelah dirawat di Rumah Sakit (RS) dan tidak
diintubasi saat masuk. HAP dapat dibagi menjadi: 1. onset dini : muncul 4-5 hari
setelah masuk RS, 2. onset lambat: muncul setelah > 5 hari dirawat di RS. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gambaran klinis HAP tidak begitu jelas dan tidak bisa dijadikan kriteria diagnosis
HAP. Dapat ditemukan demam, sputum purulen. 1
Pemeriksaan Penunjang 1
• Darah: leukositosis > 10.000/mm3, atau leukopenia< 4000/mm 3
• Rontgen thorax: infiltrat alveolar
• Broncho alveolar lavage (BAL)
• Kultur darah
DIAGNOSIS BANDING
Eksaserbasi PPOK, tromboemboli paru, pendarahan paru, acute respiratory distress
syndrome (ARDS).
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dc1c.im, lndoriesia
TATALAKSANA2
• Suplementasi 0 2 jika perlu
• Berikan terapi cairan yang adekuat
• Jika ada nyeri pleuritik berikan analgetik: diklofenak 3 x 80 mg
• Terapi antibiotik seperti pada tabel 1. Antibiotik diberikan selama 8 hari.
• Tidak ada kriteria khusus untuk mengubah terapi antibiotik intravena menjadi
terapi per oral, hal ini disesuaikan dengan kondisi perbaikan pasien yang
diobservasi setiap hari.
• Pad a pasien yang imunokompromais, terutama yang neutropenia (hi tung neutrofil
< 0,5 x 10 9 /L selama > 2 minggu atau < 0,1 x 10 9 /L selama 1 minggu) yang sering
mengunjungi RS secara teratur atau dirawat di RS, disarankan untuk diberikan
profilaksis anti jamur.
KOMPLIKASI
Syok septik
PROGNOSIS
Mortalitas yang berhubungan dengan HAP a tau attributable mortality diperkirakan
sebesar 33-50%. Rata-rata mortalitas meningkat berkaitan dengan infeksi Pseudomonas
aeruginosa a tau Acinetobacter spesies, dan terapi antibiotik tidak adekuat. 5 Rata-rata
mortalitas pada patogen risiko tinggi dapat dilihat pada tabel 2.
PENGERTIAN
Pneumonia terkait ventilator atau ventilator associated pneumonia (VAP) adalah
pneumonia yang muncul > 48 jam setelah intubasi trakea dan pemasangan ventilasi
mekanik yang belum muncul sebelumnya. VAP dapat dibagi jadi : 1) Onset dini :
muncul pada 4 hari pertama setelah intubasi f pemakaian ventilasi mekanik, dan 2)
Onset lambat: muncul?. 5 hari setelah intubasi atau pemasangan ventilasi mekanik.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Pemasangan intubasi atau ventilasi mekanik > 48 jam, demam. 4
Pemeriksaan Fisik
Suhu tubuh >38,3°C, tachypnea, takikardi, perburukan oksigenasi, meningkatnya
minute ventilation, pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi seperti
perkusi yang pekak. 4
Pemeriksaan Penunjang 4
• Darah: leukositosis >10.000/mm 3, atau leukopenia< 4000/mm 3
• Rontgen thorax: infiltrat alveolar
• Kultur aspirasi trakea
• Kultur darah
Untuk mendiagnosis VAP dapat digunakan Modified Clinical Pulmonary Infection
Score (CPIS) seperti tampak pada tabel3. apabila CPIS > 6 aVAP. 7
Stop ciproftoxacin
[ill r--e:JCp
I
1 I
T T
Stop antibiotik
TATALAKSANA
Suportif: cairan adekuat, oksigenasi yang cukup, bersihkan jalan napas dari sekret,
antipiretik.
Antibiotik; dapat dilihat pada gam bar 2. Dosis obat dapat dilihat pada tabell.
KOMPLIKASI
Pemasangan ventilator mekanik dan perawatan ICU yang semakin lama. 4
PROGNOSIS
Crude mortality rate adalah 50-70%, tapi sebenarnya adalah mortalitas yg
disebabkan karena penyakit lain. Banyak pasien dengan VAP, memiliki penyakit
lain yang mendasari yang menyebabkan kematian bahkan jika VAP tidak timbul.
Attributable mortality melebihi 25%. 4
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Rehabilitasi Medik, RadiologijRadiodiagnostik,
Anestesi /ICU
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi/ICU
REFERENSI
1. Masterton, RG. Et all. Guidelines for the management of hospital-acquired pneumonia in the UK:
Report of the Working Party on Hospital-Acquired Pneumonia of the British Society for Antimicrobial
Chemotherapy. Journal of Antimicrobial Chemotherapy (2008) 62, 5-34 doi: 10.1 093/jac/dkn 162
2. Tores. Et all. Treatment Guidelines and Outcomes of Hospital-Acquired and Ventilator-Associated
Pneumonia. Clin Infect Dis. 2010 Aug 1;51 Suppl 1:S48-53.
3. Pneumonia. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011.
4. Overview of Pneumonia. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders :
Philadhelphia. 2007.
5. Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-associated, and
Healthcare-associated Pneumonia. American thoracic society. Am J Respir Crit Care Med Vol
171. pp 388-416, 2005.
Pneumoni:~l)iqi~apat D.i Rumah Sakit
'
6. Emine, Alp. Et all. Incidence, risk factors and mortality of nosocomial pneumonia in Intensive Care
Units: A prospective study. Ann Clin Microbial Antimicrob. 2004; 3: 17.
7. Luyt, Charles-Edouard. Chastre Jean. Fagon, Jean Yves. Value of the clinical pulmonary infection
score for the identification and management of ventilator-associated pneumonia. Intensive Care
Med (2004) 30:844-852 DOI10.1007/s00134-003-2125-0
8. Schurink, Carolina A.M. Clinical pulmonary infection score for ventilator-associated pneumonia:
accuracy and inter-observer variability. Intensive Care Med (2004) 30:217-224 DOl 10.1007/
s00134-003-2018-2.
9. Koenig, Steven M. Truwit, Jonathan D. Ventilator-Associated Pneumonia: Diagnosis, Treatment,
and Prevention. Clin Microbial Rev. 2006 October; 19(4): 637-657.
10. Dahlan Z. Pneumonia Bakterial. Dalam: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
PNEUMONIA DIDAPAT Dl MASYARAKAT
PENGERTIAN
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidas jaringan paru dan pertukaran gas setempat. 1 Pneumonia
dikelompokan menjadF:
1. Pneumonia didapat di masyarakat atau Community-Acquired Pneumonia (CAP) :
Pneumonia pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48
jam sejak masuk rumah sakit. 1
2. Pneumonia di dapat di rumah sakit atau Hospital-Acquired Pneumonia (HAP),
3. Pneumonia terkait pelayanan kesehatan atau Health Care Associated Pneumonia
(HCAP)
4. Pneumonia karena pemakaian ventilator atau Ventilator-associated Pneumonia
(VAP).
Di bab ini akan dibahas mengenai PNEUMONIA DIDAPAT DI MASYARAKAT dan
PNEUMONIA TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN.
ETIOLOGI
Etiologi pneumonia dibagi menjadi 4 kelompok pasien berdasarkan tempat dirawat,
ada tidaknya penyakit kardiopulmonal dan faktor modifikasinya. Untuk lebih jelas
dapat dilihat pada tabel 1.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Demam, fatique, malaise, sakit kepala, mialgia, athralgia, batuk produktif/tidak
produktif dengan sputum purulen, bisa disertai darah. Dapat dijumpai keluhan sesak
napas, nyeri dada. 2
.'Rne· ··u·····m·. 'nn·,,·•~ r.;·,...Ja.·· na·. ~ b\··, ·:N.Ar:t<:•'i:,....,;,;..~l
:.~ .!•>': ·:,..·:·-·~~·.,;:~.·~;j~::-:·:q~~/.~~.·9-; ·-·~-.tf<.-:'.::J··:,,;-~-- .:·<!.' ~-
1:::_,_·:,' }.:r '- .,
Pemeriksaan fisik
Demam, sesak napas (berbicara dengan kalimat terpengal), perkusi paru pekak,
ronki nyaring, suara pernapasan bronchia[.!
Pemeriksaan penunjangu
• Rontgen thoraks
• Pulse oxymetry
• Laboratorium Rutin: DPL, hitung jenis, LED/laju endap darah, glukosa darah,
ureum, kreatinin, SGOT, SGPT
• Analisis gas darah, elektrolit
• Pewarnaan Gram sputum
• Kultur sputum
• Kultur darah
• Pemeriksaan serologis
• Pemeriksaan antigen
• Pemeriksaan polymerase chain reaction ( PCR)
• Tes invasif (torakosentesis, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum
transtorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi
DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis akut, bronchitis kronis eksaserbasi akut, gagal jantung, emboli paru,
pneumonitis radiasi. 2
TATALAKSANA4·6
Tatalaksana Umum
Rawat jalan
• Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan
• Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoranjmukolitik
• Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan
• Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan
• Bila tidak membaik dalam 48 jam: dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit,
atau dilakukan foto toraks
Rawat lnap di RS
• Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen
inspirasi.
• Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal
napas dituntun dengan pengukuran analisis gas darah berkala
• Cairan: bila perlu dengan cairan intravena
• Nutrisi
• Nyeri pleuritikjdemam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoranjmukolitik
Foto toraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang memuaskan
Rawat di ICU
• Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel
untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan
endobronkial.
Tatalaksana Antibiotika
• Pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin, berdasarkan perkiraan
etiologi yang menyebabkan CAP pada kelompok pasien tertentu seperti tercantum
pada tabel 1.
• Terapi antibiotik diberikan selama 5 hari.
• Syarat untuk alih terapi antibiotik intravena ke oral (ATS 2007) : Hemodinamik
stabil dan gejala klinis membaik.
• Kriteria pasien dipulangkan: klinis stabil, tidak ada masalah medis aktif, memiliki
lingkungan yang sesuai untuk rawat jalan.
• Kriteria klinis stabil; suhu .$. 37,6, laju nadi .$. 100xjmenit, laju napas .$. 24xjmenit,
tekanan darah sistolik-": 90 mmHg, saturasi oksigen arteri-": 90% atau Pa0 2 > 60 mmHg
pada udara ruangan, dapat memelihara asupan oral, status kesadaran compos mentis.
KOMPLIKASI
• CAP berat:4
Bila memenuhi satu kriteria mayor atau dua kriteria minor
Kriteria Mayor
o Memerlukan ventilasi mekanik
o Syok septik dan memerlukan obat vasopresor
Kriteria minor;
o Laju napas > 30xjmenit
o Pa02/Fi02 rasio < 250
o Infiltrat multilobus
o Konfusi
o Blood Urea Nitrogen (BUN) > 20 mgjdl
o Leukopenia (leukosit < 4.000jmm3)
o Trombositopenia (trombosit < 100.000jmm3)
o Hipotermi (suhu tubuh < 36°C)
o Hipotensi, memerlukan terapi cairan agresif
• Gagal napas, syok, gagal multiorgan, koagulopati, eksaserbasi penyakit komorbid. 2
PROGNOSIS
Mortalitas pasien CAP yang dirawat jalan < 1%, yang dirapat inap di rumah sakit
5, 7-14%, yang dirawat di ICU > 3 0% (penelitian di United Kingdom). 4 Mortalitas pasien
dengan nilai CURB-65=0 adalah 1.2%, 3-4 adalah 31%. 5
DIAGNOSIS
Anamnesis
Batuk (90%), sesak napas (65%), sputum produktif, nyeri dada, malaise. 7
Pemeriksaan Fisik
Laju napas meningkat. 7
Pemeriksaan Penunjang
• Rontgen thorax
• Kultur sputum, tes serologis, identifikasi cold agglutinin, dan tes antigen bakteri
tidak direkomendasikan. 7
TATALAKSANA7·s
1. Tanpa faktor risiko komplikasi atau kematian ; Erythromycin, 500-1000 mg IV
q6h, diberikan dalam 10-14 hari.
2. Jika ditemukan faktor risiko seperti tercantum dalam tabel, maka pasien perlu di
rawat inap dan berikan tambahan cefotaxime (1 gram iv q24h) atau ceftriaxone
(1 gram iv q8h) selain erithromycin. Monoterapi dengan obat antipneumococcal
seperti fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin) juga dapat
diberikan.
3. Jika dicurigai penyebabnya adalah virus (biasanya paparan infeksi terjadi pada
bulan Oktober-Mei): Oseltamivir 2x75 mg oral, Zanamivir 2x10mg inhalasi
KOMPLIKASI
Persalinan prematur, sepsis dan asfiksi neonataJ.7
Gejala pneumonia pada geriatri cenderung lebih samar dari pada pneumonia
umumnya, dan terkadang dapat muncul delirium. Hal ini disebabkan karena
kapasitas paru pada usia lanjut cenderung menurun sehingga kemampuan untuk
batuk berkurang. Produksi sputum dapat banyak tapi kemampuan membersihkannya
berkurang, dan juga karena respon imum pasien usia lanjut telah menurun. 9
Faktor risiko pneumonia pada geriatri: kondisi komorbid, usia >70 tahun, status
nutrisi yang buruk, imunosupresi, curiga aspirasi, level serum albumin yang rendah,
gangguan menelan, kualitas hidup yang buruk, konsumsi alkohol dan merokok.
Terapi pneumonia pada geriatri sesuai dengan penyebab sama seperti pada umumnya
dapat dilihat pada tabel 1. Terapi antibiotik empiris adalah fluoroquinolon karena
kebanyakan CAP pada geriatri disebabkan oleh streptococcus pneumonia. 9 Pasien
usia lanjut disarankan untuk melakukan vaksinasi pneumococcal dan influenza untuk
mencegah terjadinya pneumonia. 10
"~·~·e.u·.mpn··i·q;·~fo9j8q~~~»~i~~~~~~v··
PENGERTIAN
Pneumonia terkait pelayanan kesehatan atau Health Care Associates Pneumonia
(HCAP) adalah pneumonia yang terjadi pada pasien setelah >48 jam masuk ke pelayanan
kesehatan.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Demam, batuk dengan sputum purulen. 11
Pemeriksaan Fisik
Suhu tubuh > 38,3°C, pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi
paru.U
Pemeriksaan Penunjang 11
• Darah: leukositosis
• Rontgen thorax: bervariasi dari infiltrat samar sampai konsolidasi lobus dengan
air bronchogram sampai infiltrat alveolar atau interstitial difus.
• Kultur darah, analisa gas darah, elektrolit, fungsi hati dan ginjal
• Aspirasi endotrakeal menggunakan kateter steril dan fibreoptic bronchoscopy
dengan broncholalveolar lavage untuk mengambil spesimen sehingga dapat di
analisis.
DIAGNOSIS BANDING
Gagal jantung kongestif, atelektasis, aspirasi, tromboemboli paru, perdarahan paru,
dan reaksi obat.U
TATALAKSANA
Suportif
• Terapi 0 2 jika diperlukan, untuk mencapai Pa0 2 80-100 mmHg atau saturasi 95-
96%.
• Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak
• Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak
• Terapi cairan
• Antipiretik
PROGNOSIS
Prognosis berdasarkan Pneumonia Severity Index (PSI) Bila nilai PSI < 90 (risiko
rendah, rata-rata mortalitas sebesar 3,3%. Bila nila PSI >130 (risiko tinggi), maka
rata-rata mortalitas sebesar 34%. Detail PSI dapat dilihat pacta tabel4. 13•14
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Tropik - Infeksi, Departemen Radiologi/
Radiodiagnostik, Patologi Klinik, mikrobiologi klinik,
Parasitologi, AnestesijiCU
• RS non pendidikan : Bagian Paru, Patologi Klinik, Radiologi, Parasitologi,
Mikrobiologi klinik, Anestesi/ICU
REFERENSI
1. Dahlan, Zul. Pneumonia. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setyohadi. Bambang. Alwi. ldrus. Simadibrata,
Marcellus. Setiati. Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid Ill. Edisi V. Jakarta :Balai Penerbit FKU I;
2009. p 2196-2206.
2. Dahlan Z. Pneumonia Bakterial. Dalam: Amin Z, Dahl an Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
3. Pneumonia. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011
4. American Thoracic Society. Guidelines for the Management of Adults with Community-Acquired
Pneumonia: Diagnosis, Assessment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J Respir
Crit Care Med, 2001 ; 163: 1730-54.
5. Mandell, Lionel A. Et all. Infectious Diseases Society of America .American Thoracic Society
Consensus Guidelines on the Management of Community-acquired Pneumonia in Adults. CID
2007:44 (Suppl 2). Diunduh dari : http:/ /www.thoracic.org/statements/resources/mtpi/idsaats-
cap.pdf. pada tanggal 29 Mei 2012.
6. Lutfiyya, M. Nawal. Et all. Diagnosis and Treatment of Community-Acquired Pneumonia. American
Family Psycian. 2006. Diunduh dari: http:/ /www.aafp.org/afp. pad a tanggal 29 Mei 2012.
7. British Thoracic Society Standards of Care Committee. British Thoracic Society Guidelines for the
Management of Community Acquired Pneumonia in Adults. Thorax 2001 ;56 (suppiiV) :1-64.
8. Pulmonary Disorders. Dalam : Cunningham, Gary F. Et all. William Obstetric 22nd Edition. The
MacGraw Hills Companies. 2007.
9. Infectious Complications. Dalam : Evans, Arthur T. Manual of Obstretic. Lippincott Williams &
Wilkins. 2007.
10. Marie, Thomas J. Community-Aquired Pneumonia in Elderly. Clinical Infectious Diseases
2000;31 :1 066-78 q 2000 by the Infectious Diseases Society of America.
11. Fung HB. Chu MO, Monteaqudo. Community-acquired pneumonia in the elderly. Am J Geriatr
Pharmacother. 2010 Feb;8(1):47-62.
12. Pulmonary disorders. Dalam: McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A. Current Medical Diagnosis
and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.
13. Tuberculosis. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23rd edition. Saunders: Philadhelphia.
2007.
14. Seymann, Gregory B. Health care-associated pneumonia : Meeting the clinical challenges.
The Journal Of Respiratory Diseases • Vol. 29, No.5 • May 2008
SIND ROM VENA KAVA SUPERIOR
PENGERTIAN
Sindrom vena kava superior (SVKS) adalah kumpulan gejala yang disebabkan
obstruksi pada dinding vena kava superior yang tipis, sehingga terjadi penurunan
venous return dari kepala, leher, dan ekstremitas atas. Obstruksi dapat disebabkan
2 hal yaitu keganasan dan non-keganasan. Penyebab keganasan seperti kanker paru
(small cell dan squamouscellpada 85 o/o kasus), limfoma (pada usia muda), dan tumor
metastasis. Sedangkan penyebab non-kegansan yaitu aneurisma aorta, thyromegaly,
trombosis, mediastinitis fibrosing akibat radiasi, histoplasmosis, atau sindroma Behcet,
dan alat intravaskular (seperti permanent central venous access catheters, pacemakerI
defibrillator leads) angka kejadian SVKS semakin meningkat (40% kasus). 1•2
DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan keluhan klinis
Anamnesis
Onset keluhan terjadi tanpa diketahui (insidious) dan berkembang menyebabkan
sesak nafas (63% kasus), batuk dapat berdarah (hemoptysis) pada 24% kasus, suara
serak, sakit kepala, hi dung tersumbat, epsitaksis, kesulitan menelan (dysphagia pad a
9% kasusJ, nyeri dada (15% kasus ), dizziness, sinkop. Keluhan dapat diperberat dengan
membungkukkan tubuh ke depan atau tidur terlentang. 1•2
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak lethargy, ditemukan adanya pembengkakan tangan (18 o/o kasus),
distensi vena leher (66 o/o), dinding dada (54%), edema wajah terutama pada daerah
mata ( 46 o/o), plethora (46 o/o), sianosis (19 %) pembengkakan lidah dan laring, nasal
congestion. Keluhan terjadi progresif dan dapat lebih ringan jika obstruksi terjadi di
atas vena azygos. Adanya edema serebral danjatau laring walaupun jarang terjadi
tetapi menandakan prognosis buruk dan membutuhkan penanganan segera. Kejang
terjadi lebih sering karena metastasis ke serebral daripada edema serebral akibat
oklusi vena. Adanya keluhan kardiorespiratori yang dipicu dengan perubahan posisi
menandakan adanya obstruksi jalan napas dan pembuluh darah disertai keterbatasan
cadangan fisiologis. Pada pasien yang mendapat sedatif atau anestesi umum dapat
terjadi cardiac arrest atau gaga! napas. Jika obstruksi vena kava superior terjadi di
proksimal vena azygos dapat menyebabkan terjadinya varises esofagus pada 1/3
bagian atas, sedangkan jika mengenai distal dari vena azygos maka varises akan terjadi
di sepanjang esofagus.
Pemeriksaan Penunjang 1
• Rontgen dada: pelebaran mediastinum superior terutama pada sisi kanan, adanya
efusi pleura eksudat dan chylous (hanya 25 % kasus) terutama pada sisi kanan.
Jika rontgen normal (16 %) kembali melihat pada keluhan klinis.
• CT scan: melihat mediastinum lebih jelas. Diagnosis ditegakkan bila tidak adanya
opasifikasi pada struktur vena sentral dengan sirkulasi vena kolateral yang
dominan.
• Venography: mengetahui sumber obstruksi dari dalam lumen atau luar lumen,
jika akan dilakukan operasi bypass. Tidak dilakukan jika ada peningkatan tekanan
intralumen karena dapat merusak integritas dinding pembuluh darah sehingga
berisiko perdarahan masif pada daerah penyuntikan.
• Galium single photo emission CT: sesuai indikasi
• Bronchoscopy, percutaneous needle biopsy, mediastinoscopy, dan thoracotomy:
dilakukan sesuai indikasi dan dilakukan oleh tenaga profesional.
• Percutaneous transthoracic CT guided fine needle biopsy: sesuai indikasi
T
Berikan segera :
oksigen, diuretik,
deksamateson 16 mg
sekali sehari
r
1
NSCLC Rekuren, tidak
J
Tumor Diagnosis
(non small cell responsive terhadap
kemosensitif belum pasti
lung cancer) kemoterapi dan XRT
! ! -r
Paliatif. External beam
XRT (radiation therapy,
single fraction)
I Kemoterapi
I lnisial external beam
XRT waktu singkat.
Diagnosis histologis
Stent. Antikoagulan
jika ada komplikasi
edema pulmonal.
sebelum terapi definitif
DIAGNOSIS BANDING
• Tumor mediastinum: tumor ganas, teratoma, limfoma malignum
• Tumor paru
TATALAKSANA3
• Elevasi kepala
• Menjaga patensi jalan napas
• Bed rest
• Oksigen
• Diet rendah garam
• Cairan infus: diberikan secara hati-hati
• Diuretik: furosemid 40 mg intravena (IV) untuk menghilangkan gejala
• Glukokortikoid: metilprednisolon 125 mg IV, dekstametason 16-20 mg IV; untuk
mengecilkan masa limfoma. Tidak berguna pada kasus kanker paru.
• Radioterapi: jika obstruksi disebabkan oleh non-small cell lung cancer dan
metastasis tumor solid lainnya. Pada kasus darurat dapat meringankan gejala
pada 70% kasus, dosis harian dimulai dengan dosis tinggi (>3Gy /hari) untuk
mendapatkan pengecilan masa tumor yg dibutuhkan 4
• Kemoterapi: jika obstruksi disebabkan small cell carcinoma of the lung, lymphoma,
atau germ cell tumor.
• Kombinasi radioterapi danjatau kemoterapi: keluhan berkurang pada waktu 2-4
minggu, efek sam ping seperti mual, muntah, nekrosis tumor, dan fibrosis radiasi. 3
• Antikoagulan: mencegah trombosis dan embolisasi pada pasien dengan kateter
vena sentral jangka panjang. Jika trombosis ditemukan secara dini dapat diberikan
fibrinolitik tanpa pencabutan kateter.
• Pemasangan stent: untuk kasus berulang, kasus berat.
• Operasi: jika obstruksi disebabkan oleh non-keganasan, dilakukan setelah pasien stabil
KOMPLIKASI
Trombosis vena jugularis dan otak
PROGNOSIS
Angka rekurensi terjadi pada 10-30% kasus. Tanpa diterapi, pasien SVKS karena
keganasan dapat bertahan sekitar 1 bulan. Angka rekurensi terjadi pada 17% pasien
yang diterapi dengan radiasi dan 19 % kasus yang diterapi dengan radiasi dan
kemoterapi. Rekonstruksi vena kava superior menunjukkan patensi 80-90 % dengan
angka kematian pada operatif mencapai 5%. 5•6 Kematian pada SVKS dikarenakan
penyakit penyebabnya, tidak berhubungan dengan obstruksi,l Efek samping serius
SVKS jarang terjadi dan berhubungan dengan obstruksi jalan napas atau edema
serebral. Pada 1986 pasien dengan SVKS, kematian hanya terjadi pada 1 kasus.4,6
UNITYANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi -
Onkologi Medik, Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedahjtoraks
• RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI
'
788
SinoroFri"'Vena Kava Superior
--~...:,,,_~ -----~-~_;, •• ~M ~
-'
2. Yahalom J. Superior Vena Cava Syndromes. In: Debvita V, Hellman S, Rosenberg S. Cancer:
Principles and Practice of Oncology. 6th ed. Lippincott. 2001. Chapter 51.
3. Roman M. Emergency Complications of Malignancy. In : Tintinalli J, Kelen G, Stapczynski.
Emergency Medicine. United States of America; The McGraw-Hill Companies. 2004. Chapter 18.
4. Shah A, Kennedy M. Oncologic Emergencies. In: Johnston P, Spence R. Cardiovascular
Emergencies. USA: Oxford University Press Inc. 2009.chapter 1.
5. Grant J, Lee J, Lee E. Superior Vena Cava Syndrome An update on causes and treatments. 2009.
Diunduh dari http://bmctoday.net/evtoday/pdfs/EVT0709_09.pdf pada tanggal30 Mei 2012.
6. Amin Z. Sindrom Vena Cava Superior. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan
Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
KELAINAN NAP AS SAAT TIDUR
(SLEEP-DISORDERED BREATHING/
SLEEP APNEA)
PENGERTIAN
Sleep-disordered breathing atau sleep apnea merupakan merupakan istilah bagi
beberapa kondisi kronis berupa hilangnya napas parsial a tau seluruhnya, yang terjadi
beberapa kali sepanjang malam, yang mengakibatkan ngantuk atau kelelahan di siang
hari sehingga mempengaruhi fungsi kehidupan seseorang dan menurunkan kualitas
hidup. Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan bentuk sleep-disordered breathing
yang paling sering terjadi, dan berkaitan dengan meningkatnya risiko kematian. 1
Obstructive sleep apneajhypopnea syndrome (OSAHS) didefinisikan sebagai
koeksistensi dari ngantuk berlebih pada siang hari yang tidak dapat dijelaskan dengan
sedikitnya 5 kali obstruksi napas (apneu atau hipopneu) per jam waktu tidur. Apneu
pada dewasa merupakan jeda napasjbreathing pauses selama :?:10 detik dan hipopneu
sebagai momen;::: 10 detik dimana nap as berlanjut tetapi ventilasi berkurang sedikitnya
SO% dari baseline sebelumnya saat tidur. Indikator klinis pada pasien ngantuk dapat
dilihat pada tabel1. 2
Anamnesis 1•4
• Aloanamnesis oleh pasangan tidur pasien: mengorok saat tidur, pausejjeda saat
bernapas, tidur terganggu
• Somnolen berlebihan di siang hari, gangguan kewaspadaan, performa kognitif dan
menyetir, hubungan interpersonal terganggu
• Kesulitan berkonsentrasi, sakit kepala di pagi hari, tidur malam tidak puas, rasa
tercekik di malam hari, libido menurun
Pemeriksaan Fisik2 · 4
• Hipertensi
• Obesitas
• Kelainan saluran napas atas: kongesti nasal, rhinitis, sinusitis kronis, kelainan
anatomis nasofaringeal, pembesaran tonsil atau adenoid, lidah besar
• Kelainan kraniofasial: mikrognatia, retrognatia
• Tanda hipotiroidisme atau akromegali
Pemeriksaan Penunjang
• Tes tidur (polisomnografi): mengukur beberapa parameter fisiologis saat tidur.
Salah satu parameter penting adalah napas dan hilangnya napas saat tidur. Jeda
napas (breathing pause) ::::10 detik disebut sebagai apnea.
• EEG (Electroencephalography)
• EKG (Elektrokardiogram)
DIAGNOSIS BANDING
Tidur tidak cukup, kerja shift, penyebab psikologis, obat-obatan, narkolepsi, IHS,
phase alteration syndromes. 2
TATALAKSANA3A
Tujuan tatalaksana adalah mengurangi fragmentasi tidur dan repetisi asfiksia,
stress kardiovaskular, dan meningkatnya us aha napas yang berkaitan dengan OSAHS.
• Umum
o Posisi tidur: posisi lateral dekubitus lebih baik daripada supinasi atau pro nasi
o Penurunan be rat bad an
o Terapi mekanis
o Ventilasi tekanan positif
o Oksigen
o Cara mekanis lain untuk meredakan atau bypass obstruksi
• Operasi
o Trakeostomi
o Uvulopalatofaringoplasti
• Medikamentosa
o Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI): fluoxetine dan paroxetine 20 mgj
hari selama 4-6 minggu
KOMPLIKASI
Hipertensi, gagal jantung, stroke, penyakit jan tung koroner, hipertensi pulmonal,
sampai kematian. 3
PROGNOSIS
lndeks ApneajHypopnea (AHI) tidur 5 per jam berkaitan dengan meningkatnya
risiko hipertensi arterial, gagal jantung, stroke, penyakit jantung koroner, dan
hipertensi pulmonal. Data menunjukkan bahwa OSAHS yang tidak diterapi berkaitan
dengan meningkatnya mortalitas, terutama pada pasien dengan indeks apneu
sedikitnya 20 kali per jam tidur. Pasien dengan OSAHS memiliki risiko lebih tinggi
untuk kematian mendadak saat tidur dan morbiditas dan mortalitas dari kecelakaan
lalu lintas 3 kali lebih tinggi. 3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Prasad B, Croft JB, Liu Y. Sleep-Disordered Breathing. In: Schraugnagel DE. Breathing in America
:Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal237-48. Diunduh dari http:/ I
www.thoracic.org/education/breathing-in-america/resources/breathing-in-america.pdf pad a
tanggal 23 Mei 2012.
2. Douglas NJ. Sleep Apnea. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL Loscalzo J.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.
~~laihan No pas Soot Tidur
3. Basner RC. Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea Syndrome.ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine.
23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.
4. Sumardi. Sleep Studies. Dalam: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur
Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
TUBERKULOSIS PARU
PENGERTIAN
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah infeksi paru yang menyerang jaringan
parenkim paru, disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Demam biasanya subfebril, batuk (dapat ditemukan batuk darah), sesak napas,
nyeri dada, malaise, be rat badan menurun, keringat malam, riwayat kontak penderita
TB.z,3
Pemeriksaan Fisik
Demam, konjungtiva anemis, berat badan berkurang, auskultasi suara napas
bronkial, dapat ditemukan ronki basahjkasar jnyaring. Bila infiltrat diliputi penebalan
pleura, suara napas jadi vesikuler melemah, hila terdapat kavitas besar ditemukan
perkusi hipersonor ertimpani, auskultasi suara amphorik. 1
Laboratorium2 ·3 ·4
• Darah: LED meningkat
• Mikrobiologis
• BTA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS
• Kultur Mycobacterium tuberculosis positif (diagnosis pasti)
• Foto toraks PA ± lateral (hasil bervariasi) : infiltrat, pembesaran kelenjar getah
bening (KGB) hilus/ KGB paratrakeal, milier, atelektasis, efusi pleura, kalsifikasi,
bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. 3
• Imuno- Serologis
• Uji tuberculin: sensitivitas 93,6%, spesifisitas 98,4%. 4 Kriteria positifuji tuberculin
dapat dilihat pada tabell.
• Tes PAP, ICT-TB: positif
• PCR- TB dari sputum (hanya menunjang klinis)
• Pemeriksaan adenosine deaminase pacta tuberkulosis di cairan pleura, perikardial dan
peritoneal. Kriteria positif adalah 100U /L untuk pleural TB, 92U /L untuk peritoneal
dan 90 U/L untuk efusi perikardial. Sensivisitas 100% dan spesifisitas 94,6%.
~ 10 Baru bermigrasi dari tempat yang berprevalensi tinggi TB, HIV (-) pengguna obat
suntik, yang memiliki risiko tinggi: tinggal dipanti jompo, orang yang merawat
pasien AIDS, tuna wisma, tenaga medis. Orang yang memiliki kondisi medis yang
dapat meningkatkan risiko TB: post gastrektomi. berat badan < 10% dari berat
ideaL bypass jejunoileol. diabetes mellitus, silikosis, gagal ginjal kronik, kelainan
hematologi. keganasan. Anak-anak <4 tahun, bolita atau remaja yang kontak
dengan orang dewasa berisiko TB.
> 15 Pasien yang tidak memiliki faktor risiko TB
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia, tumor jkeganasan paru, jamur paru, penyakit paru, akibat kerja.
TATALAKSANA
Suportif: istirahat, stop merokok, hindari polusi, tata laksana komorbiditas, nutrisi,
vitamin.
Medikamentosa : obat anti tuberkulosis ( OAT ) 6•7
1. Kategori 1. Pasien baru yaitu pasien yang belum pernah mendapatkan terapi
OAT atau pernah mendapatkan OAT sebelumnya selama <1 bulan, maka regimen
terapinya adalah 2HRZE/4HR. Dosis obat dapat dilihat pacta tabel 2. Pacta pasien
baru yang diketahui resisten isoniazid atau diketahui lingkungan sekitar risiko
ringgi resisten isoniazid, maka berikan 2HRZE/4HRE.
2. Kategori 2. Pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi OAT
• Kultur dan resistensi OAT atau drug susceptibility test (DST)
• Jika hasil DST belum ada
o Pasien yang gagal terapi (sputum BTA atau kultur tetap positif pacta
akhir bulan ke-5 pengobatan) Pasien yang putus berobat (pasien yang
putus berobat selama >2 bulan berturut-turut) atau kambuh, berikan
2HRZES/1HRZE/5HRE
• Jika hasil DST sudah ada, sesuaikan terapi dengan antibiotik spesifik patogen.
Panduan Praktik Klinis
Perhirripu~~n DOid~~·sPeSiaiis:PenYOidt pa!~n, lnd~O~sla
3. Indikasi kortikosteroid 7
• Meningitis TB
• TB milier dengan atau tanpa meningitis
• TB dengan Pleuritis eksudativa
• TB dengan Perikarditis konstriktiva.
• Manifestasi klinis insufisiensi adrenal karena TB
Pemeriksaan Terapi 6
• Pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT, periksa hasilDST pada bulan
kedua pengobatan, bila terdapat resistensi ganti obat sesuai protokol MDR-TB
• Cek sputum BTA pad a akhir fase intensif (akhir bulan ke- 2 terapi pada pasien baru
dan akhir bulan ke-3 pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT)
• Jika masih positif, cek ulang sputum BTA pada akhir bulan ke-3 terapi pada pasien
baru dan akhir bulan ke-4 pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT
• Jika masih positif, pasien dinyatakan gagal terapi. Pada pasien baru yang belum
pernah mendapat OAT stop kategori 1 atau mulai terapi kategori 2. Cek kultur dan
DST pada pasien baru cek bulan dan DST pasien yang sebelumnya telah mendapat
OAT)
• Jika hasil kultur dan DST positif ditemukan resistensi, maka pasien mulai dulu
protokol MDR-TB.
PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS
Multi Drug-Resistant TB (MDR-TB) dan Extensively Drug-ResistantTB (XDR-TB)
MDR-TB adalah resisten terhadap 2 jenis OAT lini pertama yang paling efektif yaitu
Isoniazid dan Rifampisin. XDR-TB adalah resiten terhadap Isoniazid, Rifampisin dan
OAT lini kedua? Faktor risiko MDR; tidak patuh berobat, hasil monitoring sputum BTA
tetap positifpada akhir bulan ke-2 dan ke-3 setelah terapi, riwayatperburukan dengan
terapi OAT, terpajan pada lingkungan atau instansi yang prevalensi tinggi MDR, gaga!
terapi sebelumnya, kondisi komorbid seperti malabsobsi, atau rapid-transit diare,
memiliki diabetes mellitus tipe 2. 6
Prinsip terapi MDR TB :
• Terapi dengan setidaknya 4 obat yang masih efektif berdasarkan hasil kultur
International Standars for Tuberculosis Care (ISTC)
• Pengobatan paling sedikit selama 18 bulan (ISTC)
• Monitoring kulturjsputum BTA setiap bulan, sampai terjadi konversi
• Bila sudah terjadi konversi, monitoring kultur /sputum BTA dilakukan tiap 2-3 bulan
• Terapi dilanjutkan selama 18 bulan setelah konversi. Tetapi agen injeksi dilanjutkan
4-6 bulan setelah konversi.
Pemilihan terapi MDR TB:
• Pemilihan obat berdasarkan hierarki seperti yang tercantum pada tabel 3.
• Pilihlah obat yang paling efektif (berdasarkan hasil DST) pada kelompok 1 terlebih
dahulu, baru kemudian kelompok 2, 3, dan 4.
Tabel 3. Kelompok Obat untuk Terapi MDR TBM
TB ekstra paru
TB ekstra paru diterapi sama seperti TB paru. Pada meningitis TB, disarankan
terapi berlangsung selama 9-12 bulan sementara pada TB tulang dan sendi, disarankan
terapi selama 9 bulan. Kortikosteroid ditambahkan pada terapi meningitis TB dan
perikarditis. Dosis kortikosteroid pada meningitis TB dan efusi perkardial dapat dilihat
pada tabel4. Pada meningitis TB, etambutol diganti streptomisin. 6
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait
dengan keterlibatan organjkomplikasi TB, Departemen
Radiologi/Radiodiagnostik, Patologi Klinik, mikrobiologi
klinik, Patologi Anatomi, Bedahjtoraks dan Bagian lain yang
terkait dengan keterlibatan organjkomplikasi TB
• RS non pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi
Anatomi, Mikrobiologi klinik dan Bagian lain yang terkait
dengan keterlibatan organjkomplikasi TB
REFERENSI
1. Amin, Zulkifli. Bahar, Asril. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setyohadi. Bambang. Alwi.
ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati. Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid Ill. Edisi V. Jakarta
:Balai Penerbit FKU I; 2009. P2230-39.
2. Achmad Y. Tuberkulosis Paru. Dalam: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/
Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
3. Tuberculosis. Dalam : Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J,
editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-
Hill Companies, 2011.
4. Pulmonary disorders. Dalam: McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A. Current Medical Diagnosis
and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.
5. EA. Talbot. D, Harland. W, Wieland-Aiter. S, Burrer. LV, Adams. Specificity of the tuberculin skin
test and the T-SPOT.TB assay among students in a low-tuberculosis incidence setting. Jam Coli
Health. 2012;60(1) :94-6. Diunduh dari : http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22171735 pada
tanggal3 Juni 2012.
6. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for Tuberculosis Care
(1ST C). The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2006.
7. Treatment of Tuberculosis Guidelines 4th Edition. World Health Organization. 2010.
8. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi Kedua Cetakan Pertarna. Depatemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2007.
9. Francis J. Curry National Tuberculosis Center and California Department of Public Health, 2009:
Tuberculosis Drug Information Guide
Tuberkulosis Paru
10. Tuberculosis. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23rd edition. Saunders : Philadhelphia.
2007.
11. Kadhiravan, Tamilarasu. Deepanjali, Surendran. Role of Corticosteroids in the Treatment of
Tuberculosis: An Evidence-based Update. http:/ /medind.nic.in/iae/t1 O/i3/iaetl Oi3p 153.pdf pad a
tanggal 10 juni 2012.
TUMOR PARU
Tumour-like Lesions
PENGERTIAN
Merupakan sel kanker yang tumbuh dan berasal dari jaringan paru. Pembagian
praktis karsinoma paru untuk tujuan pengobatan yaitu :1
• small cell lung cancer (SCLC)
• non small cell lung cancer (NSCLC)
Faktor risikol. 3
• Merokok (aktif, pas if),
• Polusi lingkungan kerja:
asbestis (galangan kapal, konstruksi, pertambangan)
arsenik (kebun anggur, gembala kambing, tambang emas, pelapis logam),
hidrokarbon aromatik polisiklik (industri baja)
kromat dan kromium (pekerja industri, pelapis krom)
silika (penemuan baja),
pabrik gas beracun, penyulingan nikel
tam bang uranium, radon, dan turunannnya
• Polusi udara: gas buangan kendaraan bermotor mengandung hidrokarbon aromatik
polisiklik
• Radiasi non-ionisasi (telepon selular),
• Radiasi prosedur diagnostik
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Asimptomatis, batuk, hemoptisis, nyeri dada, dyspnea karena efusi pleura. Jika
sudah ada metastasis dapat memberikan keluhan nyeri tulang, sakit kepala, suara
serak, sulit men elan, dan sesak napas. 1
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan wheezing, stridor, abses, atelektasis, aritmia
(invasi ke pericardium), sindrom vena kava superior, sindrom Horner (facial anhidrosis,
ptosis, miosis), suara serak (penekanan pad a N.laryngea/ recurrent), sindrom Pancoast
(invasi pleksus brakialis dan saraf simpatis servikalis ). Jika sudah ada metastasis dapat
ditemukan ikterus, perubahan neurologis, pembesaran kelanjar g~tah bening. 1
Pemeriksaan Penunjang 1·3
• Pemeriksaan serologijtumor marker: karena spesifisitas yang rendah dalam
mendiagnosis karsinoma paru, maka lebih banyak digunakan untuk evaluasi hasil
pengobatan.
o CEA(carcinoma embryonic antigen)
o NSE (neuron-spesific enolase)
o Cyfra 21-2 (cytokeratinfragments 19)
• Foto rontgen dada
• CT scan atau MRI
• Bone scanning
o Indikasi: jika diduga ada tanda-tanda metastasis ke tulang
• Pemeriksaan sitologi sputum: dilakukan rutin dan sebagai skrining untuk diagnosis
dini
o Hasil pemeriksaan tergantung: letak tumor terhadap bronkus, jen is tumor, teknik
mengeluarkan sputum, jumlah sputum yang diperiksa, dan waktu pemeriksaan
sputum.
• Pemeriksaan histopatologi: standar emas diagnosis karsinoma paru. Cara
mendapatkan spesimennya:
o Bronkoskopi
o Trans torakal biopsi (TTB)
o Torakoskopi
o Mediastinoskopi
o Torakotomi
Sindrom paraneoplastik terdapat pada 10% karsinoma paru, terdiri dari:
• Gejala sistemik: penurunan berat badan, anoreksia, demam
• Hematologi: leukosistosis, anemia, hiperkoagulasi
• Neurologik: demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer
• Endokrin: sekresi PTH (hiperkalsemia)
• Dermatologi: eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh
• Renal: SIADH (Syndrome Of Inappropriate Antidiuretic Hormone)
• Osteoartropati hipertrofi
STAGING KARSINOMA PARU
KETERANGAN
Tx : Tumor terbukti ganas didapat dari secret bronkopulmonar. tapi tidak terlihat secara bronkoskopis dan radiologis. Tumor tidak
dopa! dinilai pada staging retreatment.
Tl : Tumor dengan diameter< 3 em
T2 : Tumor dengan diameter> 3 em atau terdapat atelektasis pad a distal hilus
T3 : Tumor ukuran apapun meluas ke pleura, dinding dada. diafragma. perikardium, < 2 em dari carina.
terdapat atelektasis total
T4 : Tumor ukuran apapun invasi ke mediastinum a tau !erda pat efusi pleura malignan
NO: Tidak ada kelenjar getah bening (KGB) yang terlibat
N 1 : Metastasis KGB bronkopulmoner at au ipsilateral hilus
N2 : Metastasis KGB mediastinal atau sub carina
N3 : Metastasis KGB mediastinal kontralateral atau hilus atau KGB skaleneus atau supraklavikular
MD : Tidak ada metastasis jinak
M 1: Metastasis jinak pad a organ (otak, hati)
ITir 1
~
1
I
kemungkinan kanker
sedang
I 1 1 Tidak 1 I Ada faktor lisiko operasi I
Pemeriksaan tambahan :
• PET jika ukuran nodul ~ 1 em Video-assited thoracoscopic surgery. P
• Aspirasi jarum halus trans torasik emeriksaan klenjar getah bening
Hasil negatif jika letak nodul di perifer
• Bronkoskopi jika udara bronkus
1--1 Hasil Positif J---+ mediastinum dan frozen section
diikuti lobektomi jika sel ganas.
positif
• CTscan
TATALAKSANA
SCLC
• Limited stage (status tampilan baik) kemoterapi kombinasi dan radioterapi
toraks
• Extensive stage (status tampilan baik) : kemoterapi kombinasi
• Respons tumor komplit (semua stage) : radioterapi kranial profilaktik
• Status tampilan buruk (semuastage) : kemoterapi kombinasi dengan
modifikasi dosis radioterapi paliatif
label 3. Terapi untuk NSCLC 1·3·5
Stage OperCisi Keinoterapi . ·· RCidioterapi · Kemoter!Jpi kombinasi .
I dan II Lini pertama Adjuvan pada Lini kedua Tidak
stage IB, IIA, lib
II B Lini pertama Tidak Tidak Lini pertama-neoadjuvan
lilA Lini kedua Lini kedua- Tidak Lini pertama
neoadjuvan
Ill B resectable Lini pertama Tidak Tidak Lini pertama ± neoadjuvan
Ill B unresectable Tidak Tidak Tidak Lini pertama
IV Tidak Lini pertama Lini kedua Tidak
Kemoterapi :
Lini pertama : siklofosfamid, doksorubisin, metotraksat prokarbasin
Lini kedua : docetaxel. pemetrexed, and er/otinib, vinore/bine, gemcitabine, paclitaxe/, gisplatin, carboplatin
Kemoterapi dan/atau
radioterapi untuk paliatif
NO atau Nl
-r - -
i
Stage II atau Ill :
l
Stage IB:
I "'T' I
Tidak dioperasi.
, ,_,....,,.... U.)l , Operasi diikuti Ukuran < 4cm operasi. Terapi kemoterapi
kemoterapi adjuvan Ukuran > 4 em operasi kombinasi
dan kemoterapi adjuvan
KOMPLIKASI
Obstruksi jalan napas, gagal napas, perdarahan / hemoptisis, abses, atelektasis,
metastasis ke organ: otak,
PROGNOSIS
Tergantung tipe histologi, staging, resektabilitas dan operabilitas. Pada SCLS
kemungkinan harapan hidup rata-rata yaitu 1 tahun. Pada kelompok limited stage
kemungkinan hidup rata-rata yaitu 1-2 tahun. Sebesar 30 % kematian terjadi karena
komplikasi lokal dari tumor, 70% meninggal kareka karsinomatosis. Pada NSCLC yang
dilakukan tindakan bedah, kemungkinan hidup 5 tahun setelah operasi adalah 30 %.
Survival setelah tindakan bedah yaitu 30-40% pada stadium I, 10-15% pada stadium
II, dan< 10% pada stadium III. Kemungkinan hid up rata-rata pasien tumor metastasis
bervariasi, dari 6 bulan sampai dengan 1 tahun tergantung dari performance status (skala
Karnojsky), luasnya penyakit, adanya penurunan berat badan dalam 6 bulan terakhir. 1·3
UNITY ANG ME NANG ANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Pulmonologi
• RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah/
toraks
• RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI
1. Amin Z. Kanker paru. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW, editors.
Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal2254-62.
2. Brarnbilla E, Travis WD, Colby TV et all. The new World Health Organization classification
of lung tumours. Eur Respir J 2001; 18: 1059-1068. Diunduh dari http:/ /erj.ersjournals.corn/
content/18/6/1059.full.pdf+htrnl pada tanggal22 Juni 2012.
3. Takahashi T, Sidransky D. Neoplasms of the Lungln : Mason: Murray & Nadel's Textbook of
Respiratory Medicine, 4th ed. United States of America : Saunders .2005. chapter 42.
4. Horn L. Neoplasms of the Lung.ln: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America;
The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 89.
5. Am in Z. Kanker Paru. Dalam: Am in Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur
Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.
PENATALAKSANAAN
Dl BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM
PANDOAN
PRAKTIK
KLINIS
PENGERTIAN
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi
sistemik kronik dan progresif dimana sendi merupakan target utama selain organ
lain, sehingga mengakibatkan kerusakan dan deformitas sendi, bahkan disabilitas
dan kematian. Walaupun etiologi yang sebenarnya belum dapat diketahui dengan
pasti, ada beberapa faktor yang diperkirakan berperan dalam timbulnya penyakit ini
seperti kompleks histokompatibilitas utama kelas II dan faktor infeksi seperti virus
Epstein Barr (EBVJ.l
PENDEKATAN DIAGNOSIS
AnamnesisL 2
• Radang sendi (merah, bengkak, nyeri) umumnya menyerang sendi-sendi kecil,
lebih dari empat sendi (poliartikular) dan simetris.
• Kaku pada pagi hari yang berlangsung lebih dari 1 jam atau membaik dengan
beraktivitas
• Terdapat gejala konstitusional seperti kelemahan, kelelahan, anoreksia, demam
ringan
Pemeriksaan Fisik
Dalam keadaan dini AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic rheumatism yaitu
timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul antara 3-5 hari dan diselingi masa
remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai AR yang khas. AR awal juga dapat
bermanifestasi sebagai pauciarticular rheumatism yaitu gejala oligoartikuler yang
melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua gambaran ini seringkali menyulitkan
dalam menegakkan diagnosis AR dalam masa dini. 1
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan D~kter Spesialis Penyakit O~lam l~donesia
12
Tabel 1. Kelainan yang Ditemukan pada Pemeriksaan Fisik •
Pemeriksaan Penunjang2 ·3
• Darah perifer lengkap: anemia, trombositosis
• Rheumatoid Factor (RF), anti-cyclic citrullinated peptide antibodies (ACPA/anti-
CCP janti-CMV)
• Laju endap darah atau C-reactive protein (CRP) meningkat
• Fungsi hati, fungsi ginjal
• Analisis cairan sendi (peningkatan leukosit > 2.000 jmm3 ).
• Pemeriksaan radiologi (foto polojsUSG Doppler): gambaran dini berupa
pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-articular dan erosi
pada bare area tulang.
• Biopsi sinoviumjnodul reumatoid.
~£~~~~ii:~~1*'~i~~J~ltQ,~1~W:~~~;~~g~,·~~z~W~!i~""•
A Keterlibatan sendi** Satu sendi besar ••• 0
2 - 10 sendi besar
1 - 3 sendi kecil**** dengan atau tanpa
keterlibatan sendi besar 2
4 - 10 sendi kecil dengan atau tanpa
keterlibatan sendi besar 3
> 10 sendi , minimal satu sendi kecil 5
B. Serologi (minimall pemeriksaan untuk RF negatif dan ACPA negatif 0
dimasukkan dalam klasifikasi)# RF positif lemah a tau ACPA positif lemah 2
RF positif kuat atau ACPA positif kuat 3
ACR juga menilai sensitivitas dan spesifisitas baik dari pemeriksaan fisik atau
pemeriksaan penunjang guna mengarah pada diagnosis AR.
DIAGNOSIS BANDING
Lupus eritematosus sistemik, gout, osteoartritis, spondiloartropati seronegatif,
sindrom Sjogren 2•6
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Edukasi, proteksi sendi pada stadium akut, foot orthotic/splint (jika perlu), terapi
spa, latihan fisik (dynamic strength training) 30 me nit setiap latihan 2-3 kali seminggu
dengan intensitas sedang, suplemen minyak ikan, suplemen asam lemak esensiaJ. 2.4
Farmakologis 1.2.6
• Disease modifying anti rheumatic drugs (DMARD) konvensional: MTX,
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomid, azatioprin,
siklosporin
• Agen biologik: infliksimab, etanersep, tocilizumab, golimumab, adalimumab
• Glukokortikoid
• OAINS: non-selektif atau selektif COX-2
Pirimidin, synthesis inhibitors Leflunomide Dosis: 20 mg/hari; jika tidak dapat mentoleransi.
10 mg/hari.
Azatioprin Oral: 50-100 mg/hari. sampai maksimal 2.5 mg/
kg/hari.
Alkylating agents Siklofosfamid Oral: 50-100 mg setiap hari lalu naikkan sam poi
maksimal 2.5 mg/kg/hari
Siklosporin Oral 2.5-5 mg/kg/hari
Terapi Bedah
Dilakukan bila terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi
yang ekstensif, nyeri persisten pada sinovitis yang terlokalisasi, keterbatasan gerak
yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat, kompresi saraf dan adanya
ruptur tendon 1•2
KOMPLIKASI
Anemia, komplikasi kardiak, gangguan mata, pembentukan fistula, peningkatan
infeksi, deformitas sendi tangan, deformitas sendi lain, komplikasi pernapasan, nodul
reumatoid, vaskulitis, komplikasi pleuroparenkimal primer dan sekunder, komplikasi
akibat pengobatan. 6
Osteoporosis lebih sering terjadi pada penderita AR yang berkaitan dengan
aktivitas penyakit AR dan pemakaian glukokortikoid, sehingga perlu terapi terhadap
pencegahan osteoporosis dan patah tulang.
Artritis Reumatoid
PROGNOSIS
Kriteria remisi pada artritis reumatoid dapat menggunakan ACR/EULAR yaitu
apabila pasien memenuhi seluruh kriteria berikut: 2
1. Jumlah sendi yang nyeri .$. 1
2. Jumlah sendi yang bengkak .$. 1
3. Nilai CRP .$. 1mg/dL
4. Penilaian global pasien .$.1 (dalam skala 0- 10)
Sejumlah 10% pasien yang memenuhi kriteria AR akan mengalami remisi spontan
dalam 6 bulan. Akan tetapi kebanyakan pasien akan mengalami penyakit yang persisten
dan progresif. Tingkat kematian pada AR dua kali lebih besar dari populasi urn urn dengan
penyakit jantung iskemik yang menjadi penyebab utama kematian terbanyak diikuti
dengan infeksi. Median harapan hid up lebih pendek dengan rata-rata 7 tahun untuk laki-
laki dan 3 tahun untuk perempuan dibandingkan populasi kontrolY
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Sub-Bagian Di Lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Departemen Ortopedi, Departemen Rehabilitasi
Medik
• RS non pendidikan : Bagian Ortopedi, Bagian Rehabilitasi Medik
REFERENSI
1. Suarjana I. Artritis reumatoid. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. S'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu
Penyakit Dalam FKUI, 2009:2495-513
2. Shah A, StClair E. Rheumatoid arthritis. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S,
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of
America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2738 - 52
3. Mercier Lonnie R. Rheumatoid Arthritis. In: Ferri: Ferri's Clinical Advisor 2008, 1Oth ed. Mosby. 2008.
4. Aletaha C, Neogi T, Silman A Funovits J, Fe/son 0, Bingham C, eta/. 2010 rheumatoid arthritis
classification criteria. Arthritis & Rheumatism. 201 0;62(9): 2569- 81
5. Beers MH, Berkow R, editors. Crystal-Induced Conditions. In: The Merck Manual of Diagnosis and
Therapy 17th ed.
6. USA: Merck Research Laboratories, 1999. p 460- 4.
7. Hellmann D, Imboden J. Musculosceletal and immunologic disorders. In: McPhee S, Papadakis
M, Rabow M, editors.
8. Current medical diagnosis and treatment 2011. SO'h ed. California; The McGraw -Hill Education.
2010:779-840.
ARTRITIS GOUT DAN HIPERURISEMIA
PENGERTIAN
Hiperurisemia adalah meningkatnya kadar asam urat darah diatas normal (pria
>7 mgjdL, wanita >6 mg/dL) yang bisa disebabkan oleh peningkatan produksi asam
urat, penurunan ekskresi as am urat pad aurin, atau gabungan keduanya. Hiperurisemia
yang berkepanjangan dapat menyebabkan gout, namun tidak semua hiperurisemia
menimbulkan patologi berupa gout. 1
Gout atau pirai adalah penyakit metabolik yang sering ditemukan pada laki-laki
> 40 tahun dan perempuan pasca menopause, karena penumpukan kristal monosodium
urat (MSU) pada jaringan akibat dari hiperurisemia. Biasanya ditandai dengan episode
artritis akut dan kronis, pembentukan tofus, serta risiko untuk deposisi di interstitium
ginjal (Nefropati) dan saluran kemih (nefrolitiasis). 1
Artritis gout adalah peradangan akut yang he bat pada jaringan sendi disebabkan
oleh endapan kristal-monosodium urat dan mengakibatkan satu atau beberapa
manifestasi klinik. 2•3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis Hiperurisemia
Anamnesis
Perjalanan alamiah gout terdiri dari tiga periode yaitu: periode hiperurisemia
tanpa gejala klinis, episode artritis gout akut diselingi interval tanpa gejala klinis, dan
artritis gout kronis. Serangan artritis gout akut yang pertama paling sering mengenai
tungkai bawah (80-90% kasus) umumnya pada sendi metatarsofalangeal I (MTP I)
yang secara klasik disebut podagra, onsetnya tiba-tiba, sendi terkena mengalami
eritema, hangat, bengkak dan nyeri tekan, serta biasanya disertai gejala sistemik,
seperti demam, menggigil, dan malaise. 1•2
Pada beberapa pasien hanya mengalami satu kali episode serangan akut, namun pasien
pada umumnya akan mengalami serangan artritis akut kedua dalam 6 bulan sampai dengan
2 tahun. Serangan akut artritis berikutnya dapat mengenai beberapa sendi, menyebar
./%rtriti~,@8Ht .·t~t~Q··P~Tp·~.~~fi$ierr-no···
ke tungkai atas terutama lengan dan tangan. Serangan akut artritis yang tidak terobati
dengan baik akan mengakibatkan artritis gout kronis yang ditandai destruksi kronis
beberapa sendi yang telah sering mengalami serangan akut, disertai inflamasi ringan pada
sendi, deformitas sendi dan terdapattofi (kristal MSU dikelilingi sel mononuklear dan sel
raksasa). artritis gout Kronis berkembang dalam 5 tahun dari onset pertama akut artritis
gout pada sekitar 30% pasien yang tidak terobati dengan baik. 1•2
Anamnesis arthritis, perjalanan penyakit ditujukan untuk mencari adanya riwayat
keluarga, penyakit lain sebagai penyebab sekunder hiperurisemia, riwayat minum
minuman beralkohol, obat-obatan tertentu. 1
Pemeriksaan Fisik
Keadaan sendi harus dievaluasi apakah terdapat tanda-tanda inflamasi, seperti
eritema, hangat, bengkak, dan nyeri tekan, serta tanda deformitas sendi dan tofi (tanda
khas gout). Sendi yang terkena biasanya pada tungkai bawah, umumnya pada sendi
metatarsofalangeal I (MTP I).
Faktor lain perlu juga dicari kelainan atau penyakit sekunder seperti tanda-tanda
anemia, pembesaran organ limfoid, keadaan kardiovaskular, tekanan darah, tanda
kelainan ginjal. 1
Pemeriksaan Penunjang 1· 3
• Pemeriksaan darah rutin, asam urat, kreatinin
• Ekskresi asam urat urin 24 jam
• Bersihan kreatinin
• Radiologis sendi (jika perlu)
DIAGNOSIS BANDING 4
• Pseudogout (penimbunan kristal kalsium piro fosfat dehydrogenasefCPPD)
• Artritis septik
• Artritis reumatoid
• Palindromic rheumatism
TATALAKSANA
Prinsip pengelolaan hiperurisemia maupun gout, yaitu:
1. Non-farmakologis: 1•2•6
• Penyuluhan diet rendah purin (hindari jerohan, seafood)
• Hidrasi yang cukup
• Penurunan berat badan (target 88 ideal)
• Menghindari konsumsi alkohol dan obat-obatan yang menaikkan asam urat
darah (etambutol, pirazinamid, siklosporin, asetosal, tiazid)
• Olahraga ringan
2. Farmakologis: 2
• Pengobatan fase akut:
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) kerja cepat, baikyang non selektif
maupun yang selektif.
Kortikosteroid (glukokortikoid) per oral dosis rendah, parenteral, atau
injeksi lokal lA (seperti triamsinolon 5-10 mg untuk sendi kecil atau
20-40 mg untuk sendi besar) terutama bila ada kontraindikasi dari OAINS.
Kolkisin dapat menjadi terapi efektif namun efeknya lebih lambat
dibandingkan OAINS dan kortikosteroid. Manfaat kolkisin lebih nyata
untuk pencegahan serangan akut, terutama pada awal pemberian obat
antihiperurisemik, dengan dosis 0,5-1 mgjhari.
Obat antihiperurisemik seperti alopurinol tidak boleh diberikan pada fase
akut kecuali pada pasien yang sudah rutin mengkonsumsinya.
• Obat antihiperurisemik:
a. Obat penghambatxantin oksidase (untuk tipe produksi berlebih), misalnya
allopurinol
b. Obat urikosurik (untuk tipe ekskresi rendah), misal probenesid,
KOMPLIKASI
Tofus, deformitas sendi, nefropati gout, gaga! ginjal, batu saluran kencing ( obstruksi
danjatau infeksi).
PROGNOSIS
Angka kekambuhan gout akut: 60% dalam satu tahun pertama; 80 % dalam 2
tahun; 90% dalam 5 tahun. Perjalanan penyakit gout akan lebih buruk bila: onset
gejala muncul pada usia muda ( <30 tahun), serangan sering berulang, kadar asam urat
darah tinggi (tidak terkontrol), dan mengenai banyak sendi. Sekitar 20 o/o pasien gout
akan timbul urolitiasis dengan batu asam urat atau batu kalsium oksalat. 7
REFERENSI
1. Tjokorda RP. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid
II edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Him 1213-7.
2. Edward ST. Artritis Pirai. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid II
edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Him 1218-20.
3. Chen Lon X. Primary Immune Deficiency Diseases. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of
Internal Medicine 181h edition.United States of Arnerica:Mcgraw Hill. 2012
4. Schlesinger N. Diagnosis of Gout: Clinical. Laboratory, and Radiologic Findings. Arn JManagCare.
2005 Nov; 11 ( 15 suppl) :s443-50.http://www.ajrnc.com/publications/supplernent/2005/2005-11-vol
11-n 15Suppi/Nov05-2217pS443-S450
5. Hadi S. Garnbaran Klinik dan Diagnosisi Gout. Dalarn:Setiyohadi B, Kasjrnir Yl. editor. Kurnpulan
Makalah Temu llmiah Reumatologi 2010. Hlrn 94- 7.
6. Karapang K. Penatalaksanaan Artritis Gout. Dalam:Setiyohadi B, Kasjrnir Yl, editor. Kumpulan
Makalah Temu llrniah Reurnatologi 2011. Hlrn 17-21.
7. Thompson AE. Tarascon Pocket Rheumatologica, 4th ed. Massachusetts: Jones and Bartlett
Publishers. 2010, p 39-42.
ARTRITIS SEPTIK
PENGERTIAN
Artritis septik adalah infeksi pada sendi, yang umumnya disebabkan oleh bakteri
gonokokal maupun nongonokokal. Penyakit ini disebut juga artritis bakterialis,
artritis supuratif, atau artritis infeksiosa. Penyebab nongonokokal tersering adalah
Staphylococcus aureus, diikuti oleh Streptococcus sp. Selain itu, Escherichia coli dan
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram negatif paling sering ditemukan
pada de was a. Artritis septik yang disebabkan Neisseria gonorrhoeae merupakan entitas
yang terpisah dari disseminated gonococcal infection .Faktor risiko artritis septik an tara
lain adalah sebagai berikut: 1•2
• Prostesis sendi lutut dan sendi panggul disertai infeksi kulit
• Infeksi kulit dengan prostesis
• Prostesis panggul dan lutut tanpa infeksi lutut tanpa infeksi kulit
• Umur >80 tahun
• Diabetes Melitus
• Artritis reumatoid yang mendapat imunosupresif
• Tindakan bedah persendian atau prosedur injeksi intra-artikular
Lupus eritematosus sistemik (merupakan faktor risiko ke-5 di Filipina)
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 3
• Keluhan Utama: nyeri sendi akut, nyeri tekan, hangat, gerakan terbatas, gangguan
fungsi. Pada 90% pasien umumnya hanya terkena satu sendi, yaitu sendi lutut.
Lokasi lainnya dapat juga terjadi pada sendi panggul, bahu, pergelangan tangan
atau siku meskipun lebih jarang. Selain itu, keluhan demam ditemukan pada
rentang suhu tubuh 38.3°-38.9°C (101 °-102°F), namun dapat pula ditemukan
suhu tubuh yang lebih tinggi pad a keadaan, seperti: artritis reumatoid, insufisiensi
renal atau hepatik, dan kondisi yang membutuhkan terapi imunosupresif.
• Riwayat Penyakit Dahulu: prostesis sendi, injeksi intra-artikular, trauma sendi.
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan ookter Spe~iali,s Penyakit Dalam lridonesia
Pemeriksaan Fisik 2
Demam pada sepertiga pasien, pemeriksaan sendi yang terlibat: hangat, merah
dan bengkak. Sebagian besar kasus mengenai 1 sendi (80%-90%).
Pemeriksaan Penunjang
1. Evaluasi cairan Sinovial: 1•3
• Dapat ditemukan cairan sinovial yang keruh, serosanguin, atau purulen.
• Jumlah sel dan diferensiasi
• Jumlah selleukosit, yang berkisar 100,000/L (50,000-250,000/L), dengan >90%
neutrofil, merupakan karakterisitik infeksi bakteri akut. Pada Crystal-induced,
reumatoid, dan inflamasi artritis lainnya biasanya <30,000-50,000 seljL. Sedangkan,
hitung sel 10,000-30,000/L, 50-70% neutrofil dan sisanya limfosit, merupakan
gambaran yang paling umum dari infeksi mikobakterial dan infeksi fungal.
• Pewarnaan gram dan kultur untuk antibiotik
• Organisme yang ditemukan pada infeksi dengan S. au reus dan streptokokus hampir
mendekati tiga per empat kasus dan sisa 30-50% infeksi disebabkan oleh gram-
negatifbakteri lain. Kultur cairan sinovial positifpada >90% kasus.
• Mikroskopi polarisasi untuk mengeksklusi kristal artritis.
2. Pemeriksaan darah:
Kultur darah bisa positifwalaupun kultur cairan sinovial negatif. Jumlah sel darah
putih dan diferensiasinya, protein c reaktif, laju endap darah juga dapat membantu
monitoring terapi. 1•3
3. Gambaran rontgen
Pada orang dewasa pencitraan tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik artritis
septik, tetapi dapat membantu sebagai dasar penilaian kerusakan sendi. Rontgen
palos dapat digunakan untuk melihat jaringan lunak yang membengkak, pelebaran
ruang sendi, dan pergeseran jaringan oleh kapsul yang mengalami distensi. Gambaran
penyempitan ruang sendi dan erosi tulang menunjukkan bahwa telah terjadi infeksi
lanjut dan prognosis yang buruk. Ultrasonografi dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya efusi sendi dan bisa sebagai pemandu pada tindakan aspirasi. CT scan dan
MRI dapat digunakan untuk membantu menilai luasnya infeksF·3•5
DIAGNOSIS BANDING
Selulitis, bursitis, osteomielitis akut, artritis reumatoid, still disease, gout dan
pseudogout
TATALAKSANA
A. Aspirasi sendi yang adekuat 1•2
B. Pengobatan empiris dengan obat antibiotik intravena dapat dimulai setelah sam pel
kultur dan jenis gram didapatkan 1•3.4·5
1. Bila pada hasil pemeriksaan gram didapatkan gram positif maka antibiotik
empirik yang dapat diberikan adalah Oxacillin atau Cefazolin
2. Bila pada hasil pemeriksaan gram didapatkan gram negatif maka antibiotik
empirik yang dapat diberikan adalah sefalosporin generasi ketiga seperti
ceftriaxon atau cefotaxim
3. Antibiotik definitifintravena diberikan sesuai dengan hasil kultur selama dua
minggu dan dilanjutkan dengan antibiotik oral selama empat minggu.
C. Latihan sendi segera setelah infeksi teratasi untuk mencegah deformitas sendi
KOMPLIKASI
Kerusakan kartilago atau tulang, osteomielitis, syok septik, gagal organ
PROGNOSIS
Angka mortalitas rawat inap mencapai 7-15% meski dengan penggunaan antibiotik.
Pacta usia tua, angka kematian ditemukan lebih tinggi. Angka mortalitas pacta pasien
dengan sepsis poliartikular dapat mencapai 30%. Dari 335 pasien yang datang ke rumah
sakit dengan artritis septik, ditemukan data angka kematian sebagai berikut: 6
0.7% dari 87 pasien dengan umur < 60 tahun
4.8% dari 206 pasien dengan umur 60-79 tahun
9.5% dari 42 pasien dengan umur > 80 tahun
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Departemen Ortopedi, Departemen Rehabilitasi Medik,
Departemen Patologi Klinik/Departemen Mikrobiologi Klinik
• RS non pendidikan : Bagian Ortopedi, Bagian Rehabilitasi Medik, Departemen
Patologi Klinik/Departemen Mikrobiologi Klinik
REFERENSI
1. Fischer A.Primary Immune Deficiency Diseases. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of
Internal Medicine 18'h edition.United States of America:Mcgraw Hill. 2012
2. Setiyohadi B, Tambunan A. lnfeksi Tulang dan Sendi. dalam: Sudoyo,Setiyohadi,Buku Ajar llmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. lnterna Publishing. 2011
3. McPhee, Current Medical Diagnosis and Treatment 2011. 50'h ed. United State of American. 201
4. Kelley. Septic arthritis. 1701-45.
5. Primer 271-6.
6. Gavet F, et al. Septic arthritis in patients aged 80 and older: a comparison with younger adults. J
Am Geriatr Soc 2005 Ju1;53(7): 121 0). Diunduh dari http://www .ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/161 08940
pada tanggal3 Mei 2012.
: 822
FIBROMIALGIA
PENGERTIAN
Sindrom kronik yang ditandai dengan nyeri otot dan sendi yang menyebar luas. Sering
terkait dengan kelelahan, kesulitan tidur; gangguan kognitif, ansietas, dan depresU· 3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis fibromialgia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis American College
of Rheumatology (ACR) tahun 2010 (tabel1). 3
PanduanPraklik·Kiinis
R~rh_linpu~·a_n o~_~er ~pfsf~lis Pe~Yakit:~~!~m,ln-d~?~~a ·.,
DIAGNOSIS BANDING1.2
Sindrom nyeri regional miofasial, miopati karena kelainan endokrin (hipotiroid,
hipertiroid, hiperparatiroid, insufisiensi adrenal), miopati metabolik, neurosis,
metastasis karsinoma, sindrom lelah kronik.
TATALAKSANA
• Nonfarmakologis 1·2·4
Edukasi, olahraga aerobik, pemanasan, cognitive-behaviorial therapy, terapi kolam
panas, relaksasi, fisioterapi.
• Farmakologis 1·2·4
1. Antinyeri: tramadol, parasetamol, opioid lemah lainnya.
2. Antidepresan: amitriptilin, fluoxetin, duloxetin
3. Antikonvulsan: pregabalin. gabapentin
KOMPLIKASI
Depresi, penurunan kualitas hidup
PROGNOSIS
Pada usia muda dengan gejala ringan, prognosis lebih baik. Prognosis lebih buruk
pada pasien dengan ansietas atau depresi. Kebanyakan pasien terus mengalami nyeri
kronik dan kelelahan namun sebagian pasien masih dapat bekerja penuh dan hanya
sedikit mengganggu kehidupan mereka. 2.4
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Psikosomatik,
Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Psikiatri
• RS non pendidikan : Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Psikiatri
REFERENSI
1. Sjah OKM. Fibromialgia dan nyeri miofasial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Simadibrata
M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaPublishing; 2009.
Hal. 2709-13
2. Crofford LJ. Fibromyalgia. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL Loscalzo
J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012.
Hal. 2849-51
3. Wolfe F, Clauw DJ, Fitzcharles MA Goldenberg DL Katz RS, Mease P, et al. The american college
of rheumatology preliminary diagnostic criteria for fibromyalgia and measurement of symptom
severity. Arthritis Care and Research 201 0; 62 (5): 600-610.
4. Carville SF, Arendt-Nielsen S, Bliddal H, Blotrnan F, Branco JC, Buskilla D. Eular evidence
based recommendations for the management of fibromyalgia syndrome. Ann Rheum Dis.
2007;67(4):536-41.
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
PENGERTIAN
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi sistemik, yang dapat mengenai beberapa organ a tau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Etiopatologi dari SLE belum
diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan lingkungan. 1
DIAGNOSIS
Diagnosis SLE mengacu pada kriteria dariAmerican College ofRheumatology
(ACR) yang direvisi pada tahun 1982 dan kriteria Systemic Lupus International
Collaborating Clinics (SLICC) 2012. Berdasarkan kriteria ACR, diagnosis SLE
dapat ditegakkan jika memenuhi 4 dari 11 kriteria terse but yang terjadi secara
bersamaan atau dengan tenggang waktu (Tabel 1).1.2 Berdasarkan kriteria
SLICC 2012, diagnosis SLE dapat ditegakkan jika memenuhi 4 dari kriteria klinis
dan imunologis (Tabel 2), atau memiliki biopsi terbukti nefritis kompatibel dengan
SLE dengan adanya ANA (antinuclear antibody) dan antibodi anti-dsDNA (anti-double-
stranded DNA). 3
Ruam malar Eritema menetap, datar, atau menonjoL pada malar eminensia tanpa
melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut qapqt ditemukan parut atrofik.
Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari.
baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Artritis non-erosif Melibatkan duo atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyerL
bengkak, dan efusi.
Pleuritis atau perikarditis Pleuritis-riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura.
A tau
Perikarditis-bukti rekaman EKG atau pericardia/ friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+
a tau
b. Cetakan selular-dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tabular, atau
c. gabungan.
Gangguan neurologi Kejang yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit)
a tau
Psikosis yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
a tau
b. Leukopenia-<4000/mm 3 pada dua kali pemeriksaan
atau
c. Limfopenia-<1500/mm 3 pad a duo kali pemeriksaan
a tau
d. Trombositopenia-<100.000/mm 3 yang tidak disebabkan oleh obat-
obatan.
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal
a tau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm
a tau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik lgG atau lgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode stand or, atau
3) hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorpsi antibodi treponema!.
Antibodi antinuklear Titer abnormal dari dntibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
(ANA) positif imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.
Pemeriksaan Penunjang 2
• Darah perifer lengkap: Hemoglobin, Leukosit, Trombosit, Hematokrit, LED
• Ureum, kreatinin, fungsi hati dan profillipid
• Urinalisis
• ANA, Anti dsDNA
• Foto toraks
• C3 dan C4 (untuk menilai aktifitas penyakit)
Pemeriksaan berikut dilakukan jika ada indikasi:
• Protein urin kuantitatif 24 jam
• Profil ANA: Anti Sm, Anti-RojSS-A, anti La/SS-B dan anti-RNP
• antiphospholipid antibodies, lupus anticoagulant, anticardiolipin, anti-{32-
glycoprotein lbila ada kecurigaan sindroma anti-fosfolipid
• Coomb test, bila ada kecurigaaan AIHA
• EKG, ekokardiografi
• Biopsi kulit
:·,.,.
8. Neurologi
Kejang
Psikosis
Mononeuritis multiplex
tanpa adanya penyebab lain, seperti vaskulitis primer
Mielitis
Neuropati perifer atau kranial
tanpa adnaya penyebab lain, seperti vaskulitis primer, infeksi, dan DM
Status konfusional akut
tanpa adanya penyebab lain, seperti toksik/metabo/ic, uremia, obat-obatan
9. Anemia hemolitik
10. Leukopenia {<4.000/mm3 ) setidaknya sekali
tanpa adanya penyebab lain, seperti sindrom Felty, obat-obatan, dan hipertensi portal
ATAU limfopenia {<l.OOO/mm 3 ) setidaknya sekali
tanpa adanya penyebab lain, seperti pemakaian kortikosteroid dan infeksi
11. Trombositopenia {<1 OO.OOO/mm 3 ) setidaknya sekali
tanpa adanya penyebab lain, seperti obat-obatan, hipertensi portal, dan thrombotic
thrombocytopenic purpura (TTP)
B. Kriterla lmunologis:
I. Level ANA yang meningkat melebihi batas atas normal
2. Level antibody anti-dsDNA yang meningkat melebihi batas atas normal (atau 2x batas atas
normal bila pemeriksaan dilakukan dengan ELISA)
3. Anti-Sm: adanya antibodi terhadap antigen nuklir Sm
4. Adanya antibody antifosfolipid yang ditentukan dengan:
Tes lupus antikoagulan positif
Pemeriksaan RPR (rapid plasma regain) yang positif palsu
Titer antibodi antikardiolipin {lgA lgM, atau lgG) yang sedang atau tinggi
Anti-[)2-glikoprotein I {lgA lgM, atau lgG) positif
5. Kadar komplemen yang rendah
Rendah C3
Rendah C4
Rendah CHSO
6. Tes Coombs langsung tanpa adanya anemia hemolitik
Keterangan: 'Kriteria SUCC bersifal kumulalif dan lidak horus timbul pada waklu yang bersamaan. SLICC: Systemic Lupus International
Collaborating Clinics; ANA: antinuclear antibody; anti-dsDNA: anti-double-stranded DNA: ELISA: enzyme-linked immunosorbent assay.
DIAGNOSIS BANDING3
Undifferentiated connective tissue disease (UCTD), artritis reumatoid, sindrom
vaskulitis, sindrom sjogren primer, sindrom anti-fosfolipid primer, fibromyalgia, lupus
imbas obat.
3
trombositopenia <20.000/mm, purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.
9. Konstitusional: demam tinggi yang persisten tanpa bukti infeksi.
830
~·-··Q·~•.~••ws,. _gbiff,£Z)cy1bJr9·~~·~'\:si'st$t¥ti·l<.·.
muctah ctiterapkan pacta pusat kesehatan primer yang jauh ctari tersectianya fasilitas
4
laboratorium canggih, ctengan cara sebagai berikut:
Masukkan bobot MEX SLEDAI hila terctapat gambaran cteskripsi pacta saat
pemeriksaan a tau ctalam 10 hari ini.
BOBO'r DESKRIPSI DEFINI~I.
8 Gangguan • Psikosa.Gangguan kemampuan melaksanakan aktifitas fungsi normal
neurologis dikarenakan gangguan persepsi realitos. Termasuk: halusinasi, inkoheren,
kehilangan berasosiasi. isi pikiran yang dangkal, berfikir yang tidak log is,
bizzare,disorganisasi atau bertingkah laku kataton.
• Eksklusi:uremia dan pemakaian obat.
• CVA (Cerebrovascular accident): Sindrom baru. Eksklusi arteriosklerosis.
• Kejang: Onset baru, eksklusi metabolik, infeksi. atau pemakaian obat.
• Sindrom otak organik: Keadaan berubahnya fungsi mental yang ditandai
dengan gangguan orientasi, memori atau fungsi intelektuallainnya dengan
onset yang cepat, gambaran klinis yang berfluktuasi. Seperti: a) kesadaran
yang berkabut dengan berkurangnya kapasitas untuk memusatkan pikiran
dan ketidak mampuan memberikan perhatian terhadap lingkungan,
disertai dengan sedikitnya 2 dari b) gangguan persepsi; berbicara melantur;
insomnia atau perasaan mengantuk sepanjang hari; meningkat atau
menurunnya aktifitas psikomotor. Eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau
penggunaan obat.
• Mononeuritis: Defisit sensorik atau motorik yang baru disatu atau lebih
saraf kranial atau perifer.
• Myelitis: Paraplegia dan/atau gangguan mengontrol BAK/BAB dengan
onset yang baru. Eksklusi penyebab lainnya
6 Gangguan ginjal • Caste, Heme granular atau sel darah merah.
• Haematuria. >5 /lpb. Eksklusi penyebab lainnya (batu/infeksi)
• Proteinuria. Onset baru, >O.Sg/1 pad a random spesimen.
• Peningkatan kreatinine (>5 mg/dl)
4 Vasculitis • Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark periungual, splinter
haemorrhages. Data biopsi atau angiogram dari vaskulitis.
3 Hemolisis • Hb<l2.0 g/dl dan koreksi retikulosit >3%.
Trombositopeni • Trombosit: < 100.000. bukan disebabkan oleh obat
3 Miositis • Nyeri dan lemahnya otot-otot proksimal, yang dihubungkan dengan
peningkatan CPK
2 Artritis • Pembengkakan atau efusi lebih dari 2 sendi.
2 Gangguan • Ruam malar. Onset baru atau malar erithema yang menonjol.
Mucokutaneous • Mucous ulcers. Oral atau nasopharyngeal ulserasi dengan onset baru
atau berulang.
• Abnormal Alopenia. Kehilangan sebagaian atau seluruh rambut atau
mudahnya rambut rontok.
2 Serositis • Pleuritis. Terdapatnya nyeri pleura atau pleural rub atau efusi pleura
pada pemeriksaan fisik.
• Perikarditis. Terdapatnya ny~ri peric:arc;lipl qtqu terdengarnya rub.
• Peritonitis. Terdapatnya nyeri abdominal difus dengan rebound
tenderness (Eksklusi penyakit intra-abdominal).
Demam • Demam >38° C sesudah eksklusi infeksi.
Fatigue • Fatigue yang tidak dapat dijelaskan
Leukopenia • Sel darah putih < 4000/mrn 3 , bukan akibat obat
Limfopeni • Limfosit < 1200.mrn3 , bukan akibat obat.
TOTAL'SKOR · MEX~SfEDAI.; .~.~.-::.-................. ::-
PENGELOLAAN 1•5•6
Pengelolaan pasien SLE harus dilakukan secara komprehensif dengan
memperhatikan berbagai faktor seperti jenis organ yang terlibat dan derajat berat
ringannya, aktifitas penyakit, komorbiditas, dan komplikasi.
Pengelolaan ini terdiri dari:
1. Edukasi dan konseling: penjelasan tentang penyakit Lupus, perjalanan penyakit,
program pengobatan yang direncanakan, komplikasi dan perlunya upaya
pencegahan termasuk menghindari paparan sinar matahari (ultraviolet)
, 2. Rehabilitasi: istirahat, terapi fisik, terapi dengan modalitas, ortosis
3. Medikamentosa berdasarkan keterlibatan organ dan derajat aktifitas penyakit:
SLE ringan: parasetamol, OAINS, kortikosteroid topikal, klorokuin,
kortikosteroid oral dosis rendah, tabir surya
SLE sedang: kortikosteroid dosis sedang-tinggi, beberapa imunosupresan
seperti azatioprin dan mikofenolat mofetil (MMF)
SLE berat atau mengancam nyawa: kortikosteroid pulse dose, siklofosfamid
Terapi lain yang dapat digunakan pada kondisi respons steroid yang tidak adekuat
atau diperlukan steroid sparing agent antara lain: MMF, siklosporin, azatioprin,
metotreksat, klorokuin, rituximab. 2
KOMPLIKASI
Anemia hemolitik, trombosis, lupus serebral, nefritis lupus, infeksi sekunder.1.2
PROGNOSIS
Angka harapan hidup pasien dengan SLE di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan
Cina sekitar 95% dalam 5 tahun, 90% dalam 10 tahun, 78% dalam 20 tahun. Ras
Afrika-Amerika dan Hispanik-Amerika keturunan mestizo mempunyai prognosis lebih
buruk daripada ras kaukasia. Prognosis di negara berkembang lebih buruk daripada
negara maju yaitu dengan angka kematian SO% dalam 10 tahun; seringkali berkaitan
dengan saat pertama kali terdiagnosis, an tara lain: pasien dengan nilai kreatinin serum
>124 moljL atau >1.4 mgjdL, hipertensi, sindroma nefrotik (ekskresi protein urin
>2.6 g/24 jam), anemia (hemoglobin <124 g/L atau <12.4 gjdL), hipoalbumin, jenis
kelamin laki-laki, dan ras (Afrika-Amerika dan Hispanik-Amerika keturunan mestizo).
Disabilitas pada pasien SLE karena kelelahan kronis, artritis, nyeri, adanya penyakit
ginjal. Remisi terjadi pada 25% kasus selama hanya beberapa tahun. Kematian pada
dekade pertama karena penyakit sistemik, gagal ginjal, tromboemboli, dan infeksV
.·;;c;~f~~j~ite rTIQt~sV.~ ~$J~f:.E
UNITY ANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Reumatologi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Alergi Imunologi,
Divisi Ginjal Hipertensi, Divisi Pulmonologi, Divisi
Hematologi dan Departemen Ilmu Penyakit Kulit-Kelamin
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Kulit-Kelamin
REFERENSI
1. lsbagio H, AI bar Z, Kasjmir YL Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I. Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: lnterna Publishing;
2009.p. 2565-77.
2. Hahn BH. Systemic Lupus Erythematosus. ln:Longo DL Kasper DL Jameson JL Fauci AS, Hauser
SL, Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine 18'h ed. USA: The McGraw Hill companies;
2012.p.2724-35
3. Petri M, Orbai AM, Alarcon GS, et al. Derivation and validation of the systemic lupus international
collaborating clinics classification criteria for systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum.
2012;64(8):2677-86.
4. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus
guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9): 1785-96
5. Guzman J, Cardiel MH, Arce-salinas, et al. Measurement of disease activity in systemic lupus
erythematosus. Prospective validation of 3 clinical indices. J Rheumatol 1992; 19:1551-1558
6. Petri M. Systemic Lupus Erythematosus. In: Imboden J, Hellmann DB, Stone JH. Current
Rheumatology Diagnosis and Treatment. Singapore: McGraw Hill; 2005. P.171-178
7. Rekomendari IRA 2011
NYERI PINGGANG
PENGERTIAN
Nyeri pinggang diartikan sebagai nyeri pada daerah pinggang atau punggung
bagian bawah (low back pain) yaitu daerah di daerah lumbal antara tulang rusuk
• paling bawah dan garis pinggang. Identifikasi faktor risiko penting untuk memahami
penyakit dasarnya, umumnya berhubungan dengan radikulopati, fraktur, infeksi,
tumor, atau nyeri alih visera.l,2
Klasifikasi nyeri pinggang (LBP):3
- Akut : durasi 0-3 bulan
- Kronik: durasi >3 bulan
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
• Deskripsi nyeri pinggang: sifat, tingkat beratnya nyeri, onset, durasi, frekuensi,
lokasi nyeri, distribusifpenjalaran, serta faktor pencetus a tau yang memperberat.
12
• Adakah tanda bahaya (red flags) atau tanda waspada (yellow flags). ·
DIAGNOSIS ETIOLOGI1.2A
'f
[ Konsul ke spes1a11s
t Kecurigaaan kuat adanya keganasan, infeksi/inflamasi, sindrom 1 Ya MRI atau CT scan
kauda ekuina, atau defisit neurologis berat/progresif
)
+ Tidak
/
• Pertimbangkan pemeriksaan
Tidak mengarah kuat pada keganasan, infeksi/infiamasi, atau radiologi/foto palos awal (pada
fraktur kompresi vertebra, atau kondisi spesifik lain, tetapi Ya banyak kasus)
terdapat satu atau lebih faktor risiko f-----+ • Pertimbangkan pemeriksaan LED
untuk evaluasi keganasan, infeksi
/
+ Tidak atau infiamasi
• Jika faktor risiko lemah ke arah
Tidak diperlukan pemeriksaan radiologi rutin atau tes diagnosis kondisi berat 7 pertimbangkan
lain. Berikan informasi dan nasehat perawatan diri kepada pasien teraoi aw al
• Berikan informasi tentang target yang diharapkan serta "--
+
perawatan diri yang efektif
• Sarankan sebisa mungkin melanjutkan aktifitas, tidak dianjurkan
bed rest
Terdapat kondisi spesifik r_
• Jelaskan indikasi pemeriksaan kembali dan untuk diagnosis Ya ~ lidak
~
Nyeri pinggang sedang dan tidak ada gangguan fungsi yang Ya lanjutkan perawatan diri
signifikan Jelaskan indikasi pemeriksaan kembali
t Tidak
~ Terapi inisial
Pasien bersedia menerima risiko dan manfaat terapi Evaluasi respon terapi
J ..
l Tidak
KOMPLIKASP
Kerusakan sarafpada ganglion nervus dorsalis
PROGNOSIS 3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Ginjal Hipertensi,
Departemen Neurologi, Departemen Bedah Saraf,
Departemen Bedah Orthopedi
• RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1. Back and Neck Pain. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson DL Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors.
Harrison's Principals of Internal Medicine 18'h ed. McGraw Hill. 2012
2. Kasjmir Yl. Nyeri Spinal. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid II edisi
V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2011 him 1314- 6.
3. Huddleston J. Hip and Knee Pain. In: Firestein G, Budd R, Harris Jr E et al. Kelley's Textbook of
Rheumatology. 8th Edition. Vol I. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008
4. Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors. Presenting Problems In Musculoskeletal Disease. In:
Davidson's Principles and Practice of Medicine 21'' ed. Churchill Livingstone-Eisevier: 2010.Page
1072-4.
5. The Peterborough Back Rules chart template. G. Powell and The Peterborough Back Rules Working
Group. September, 1997.
6. Guide to Assessing Psychosocial Yellow Flags in Acute Low Back Pain: Risk Factors for Long-Term
Disability and Work Loss. January 1997
OSTEOPOROSIS
PENGERTIAN
Osteoporosis didefinisikan sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
• compromised bone strength sehingga tulang mudah patah. Meningkatnya aktivitas
resorpsi tulang (bone resorption) melebihi aktivitas pembentukan tulang (bone
formation) merupakan patogenesis utama terjadinya osteoporosis. Pada wanita
post-menopause hal terse but terjadi karena adanya defisiensi estrogen. Osteoporosis
merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial. Umur dan densitas tulang
merupakan faktor risiko osteoporosis yang berhubungan erat dengan risiko terjadinya
fraktur osteoporotik. 1•2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1•3
• Keluhan utama: Seringkali pasien tidak disertai keluhan sampai timbul fraktur.
Apabila sudah terjadi fraktur maka akan memberikan gejala sesuai lokasi fraktur
(leher femur, vertebra torakal dan lumbal, distal radius) misalnya nyeri pinggang
bawah, penurunan tinggi badan, kifosis.
• Faktor risiko osteoporosis atau penyebab osteoporosis sekunder:
Riwayat konsumsi obat-obatan rutin: kortikosteroid, harmon tiroid, anti konvulsan
(fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, pirimidon, asam valproat), warfarin.
Penyakit-penyakit lain yang berkaitan dengan osteoporosis: penyakit ginjal
kronik, saluran cerna, hati, hipertiroidisme, hipogonadisme, sindrom Cushing,
insufisiensi pankreas, artritis reumatoid.
Faktor-faktor lain: merokok, peminum alkohol, riwayat haid, menarche,
menopause dini, penggunaan obat-obat kontrasepsi, riwayat keluarga dengan
osteoporosis, asupan kalsium kurang.
. .
·. ·Osfeopor<:,;sis·
~'~~~--·-· :·.~-~---·-··--~~ ---·-···---·--- ___ ___:~----------·
Pemeriksaan Fisik1- 3
• Keadaan umum, tinggi dan berat badan, gaya berjalan, deformitas tulang, leg-
length inequality.
• Evaluasi gigi geligi
• Tanda-tanda goiter, atau adanya jaringan parut pada leher dapat menandakan
riwayat operasi tiroid.
• Protuberansia abdomen yang dapat disebabkan oleh kifosis
• Kifosis dorsal (Dowager's Hump), spasme otot paravertebra
• Nyeri tulang atau deformitas yang disebabkan oleh fraktur
• Kulit yang tip is (tanda McConkey)
Pemeriksaan Penunjang
• Radiologis
+ Foto polos (untuk kecurigaan fraktur osteoporosis misalnya pada fraktur
vertebra atau panggul)
+ Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) untuk mengukur Bone Mineral Density
(BMDp- 6
Indikasi: wanita premenopause dengan risiko tinggi, laki-laki dengan satu
atau lebih faktor risiko (hipogonadisme, pengguna alkohol, osteoporosis
pada radiografi, fraktur karena trauma ringan), imobilisasi lama (lebih
dari 1 bulan), masukan kalsium yang rendah lebih dari 10 tahun, artritis
reumatoid atau spondilitis ankilosa selama lebih dari S tahun terus
menerus, awal pengobatan kortikosteroid atau methotrexat dan setiap 1-2
tahun pengobatan, menggunakan terapi antikonvulsan dengan dilantin atau
fenobarbital selama lebih dari S tahun, kreatinin klirens < SO mililiter j
menit atau penyakit tubular ginjal, osteomalasia, hiperparatiroidisme,
penggunaan terapi pengganti tiroid lebih dari 10 tahun, evaluasi terapi
osteoporosis, wanita postmenopause dengan 2 atau lebih faktor risiko.
Pada wanita postmenopause dan laki-laki;::: SO tahun tanpa adanya fraktur
patologis menggunakan T-score:
Nilai T-score;::: -1 dikatakan normal
Nilai T-score -1 sampai dengan -2,S dikatakan osteopenia
Nilai T-score ~ -2,S dikatakan osteoporosis
+ Pada wanita premenopause dan laki-laki < SO tahun, dan anak-anak
menggunakan Z-score:
Nilai Z-score > -2 dikatakan within expected range for age
Nilai Z-score::;; -2 dikatakan low BMD for chronological age
o Keterangan:
Bagian tulang yang diperiksa adalah: tulang belakang (L1-L4), tulang
panggul (femoral neck, total femoral neck), lengan bawah (diperiksa bila
tulang belakang danjatau panggul tidak dapat diukur, hiperparatiroidisme,
obesitas).
DIAGNOSIS BANDING
Osteomalasia, tumor, osteonekrosis, metastasis, osteogenesis imperfekta, renal
osteodystrophy, sickle cell anemia, fraktur patologis sekunder yang disebabkan metastasis. u
TATALAKSANA 1· 3
Non farmakologis
• Edukasi dan pencegahan
• Latihan dan program rehabilitasi
Belum terkena osteoporosis: sifat latihan adalah pembebanan terhadap tulang
Pasien osteoporosis: latihan dimulai dengan latihan tanpa beban, kemudian
ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai latihan be ban yang adekuat.
• Memenuhi kebutuhan kalsium > 1200 mgjhari dan Vitamin D 800- 1000 Ujhari.
• Paparan sinar matahari yang cukup
Farmakologis
• Bifosfonat:
Alendronat, dosis 10 mgjhari atau 70 mgjminggu peroral
Risendronat, dosis 5 mgjhari atau 35 mgjminggu atau 150 mgjbulan peroral
lbandronat, dosis 150 mgjbulan peroral atau 3 mgj3bulan intravena
Asam Zoledronat, dosis 5 mgjtahun intravena
• Selective Estrogen Receptor Modulator (SERM): Raloxifene, dosis 60-120 mgjhari
• Terapi lainnya
Kalsitriol
Hormon Paratiroid
Strontium Ranelat
Kalsitonin injeksi (untuk pencegahan acute bone loss pada pasien dengan
imobilisasi, diberikan paling lama empat mingguJ?
Denosumab (belum tersedia di Indonesia)
Bedah
Tindakan pembedahan dilakukan hila terjadi fraktur, terutama fraktur panggul.
Beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan tindakan
bedah, sebaiknya segera dilakukan untuk menghindari imobilisasi yang lama dan
komplikasi fraktur.
2. Tujuan pembedahan adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil, sehingga
mobilisasi dapat dilakukan sedini mungkin.
3. Asupan kalsium harus tetap diperhatikan, sehingga mineralisasi kalus menjadi
sempurna.
4. Walaupun dilakukan pembedahan, terapi medikamentosa tetap diberikan.
KOMPLIKASI
Kifosis, penurunan tinggi badan, nyeri punggung, nerve entrapment syndrome,
peningkatan risiko jatuh, dan fraktur. 1-3
PROGNOSIS
Untuk menentukan risiko terjadinya fraktur panggul dan fraktur osteoporosis
lainnya, dapat menggunakan WHO Fracture Risk Assessment Tool (FRAX).? Hanya
dengan mengisi kuesioner yang terdiri dari 12 pertanyaan yang dapat diakses di
http:/ jwww.shef.ac.ukjFRAXjtool.jsp?country=46 (khusus Indonesia), maka akan
keluar prediksi berupa persentase terjadinya fraktur panggul osteoporosis mayor
dalam 10 tahun yang akan datang. Berikut merupakan faktor risiko yang digunakan
pacta kalkulasi FRAX ini (tabel 2).
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Bagian bedah - ortopedi, Rehabilitasi Medik
• RS Non Pendidikan : Bagian bedah- ortopedi, Rehabilitasi Medik
REFERENSI
1. Lindsay R, Cosman F. Osteoporosis. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine
18th Edition. United States of America. McGraw Hill. 2012
2. Setiyohadi B. Osteoporosis. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku
Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010:2650-76
3. Saag G, Sambrook P, Watts N. Osteoporosis. In: Klippel J, Stone J, Crofford L White P. Primer on
the Rheumatic Disease. 13th Edition. Springer. 2008
4. Curtis JR, Delzell E, Kilgore M, Patkar NM, Saaq K, Warriner AH. Which Fractures Are Most Attributable
to Osteoporosis? J Clin Epidemiol2011 Jan;64(1 ):46
5. Qaseem A, Snow V, Shekelle P, Hopkins R Jr, Forciea MA, Owens DK, Clinical Efficacy Assessment
Subcommittee of the American College of Physicians. Pharmacologic treatment of low bone
density or osteoporosis to prevent fractures: a clinical practice guideline from the American
College of Physicians. Ann Intern Med. 2008 Sep 16;149(6):404-15
6. Bates D, Black DM, Cummings SR. Clinical Use of Bone Densitometry: Scientific Review. JAMA
2002 Oct 16;288(15);1889
7. FRAX. WHO Fracture Assessment Tool. Diakses melalui http:/ /www.shef.ac.uk/FRAX/tool.
jsp?country=46 pada tanggal5 Mei 2012
OSTEOARTRITIS
PENGERTIAN
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dan inflamasi yang ditandai
dengan perubahan patologik pada seluruh struktur sendi. Keadaan patologis yang
terjadi adalah hilangnya rawan sendi hialin, diikuti penebalan dan sklerosis tulang
subkondral, pertumbuhan osteofit pad a tepi sendi, teregangnya kapsul sendi, sinovitis
ringan, dan kelemahan otot yang menyokong sendi.u
Secara etiopatogenesis, osteoartritis adalah kegagalan perbaikan kerusakan sendi
yang disebabkan oleh stres mekanik yang berlebih. Faktor mekanik yang mendasari
OA adalah peningkatan stres intra-artikular patologis, yang terjadi akibat peningkatan
kuantitatif dari pembebanan sendi (misalnya pembebanan impulsifberulang). Behan
impulsif menyebabkan jejas mikro pacta tulang subkondral dan rawan sendi yang
melebihi kemampuan sendi untuk memperbaiki kerusakan. Inflamasi pacta osteoartritis
timbul sekunder akibat produk degradasi rawan sendi dan tulang. 3-5
Faktor risiko osteoartritis adalah faktor genetik, faktor konstitusional (usia, jenis
kelamin perempuan, obesitas), dan faktor biomekanik (jejas sendi, penggunaan pacta
pekerjaan, berkurangnya kekuatan otot, rna/alignment sendi). 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding perlu dipikirkan terutama pacta osteoarthritis dengan efusi
sendi a tau inflamasi minimal. Diagnosis banding pacta kasus terse but adalah: Reumatik
ekstraartikuler (bursitis, tendinitis), artritis gout, artritis reumatoid, artritis septik,
spondilitis ankilosa, dan hemokromatosis. 10
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Edukasi, menghindari aktivitas yang menyebabkan pembebanan berlebih pada
sendi, olahraga untuk penguatan otot lokal dan olahraga aerobik, penurunan berat
badan jika berat badan berlebih atau obes, aplikasi lokal panas atau dingin, peregangan
sendi, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), penggunaan penyokong sendi,
penggunaan alat bantu pada yang mengalami gangguan dalam aktivitas sehari-hari. 2•10
Farmakologis 2· 10
1. Antinyeri: Parasetamol, obat anti inflamasi non steroid (OAINS) topikal atau sistemik
(baik yang nonspesifik maupun spesifik COX II), opioid, tergantung derajat nyeri dan
inflamasi
2. Pertimbangkan injeksi kortikosteroid intraartikular terutama untuk OA lutut
dengan efusi.
3. Injeksi hialuronat atau viscosupplement intra-artikular untuk OA lutut
Bedah
Tindakan bedah dilakukan jika terapi farmakologis sudah diberikan dan tidak
memberikan hasil misalnya pasien masih merasa nyeri, disabilitas, dan mengurangi
kualitas hid up mereka. Tindakan bedah yang diindikasikan untuk osteoartritis lutut
dan sendi panggul adalah total joint arthroplasty. 2
KOMPLIKASI
Deformitas sendi
PROGNOSIS
Osteoartritis tangan memiliki prognosis yang baik. Keterlibatan dasar ibu
jari memiliki prognosis yang lebih buruk. Osteoartritis lutut memiliki prognosis
yang bervariasi. Osteoartritis sendi pinggul memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan osteoartritis pada tern pat lain. Faktor risiko untuk total hip replacement
adalah usia ~60 tahun, kaku pagi, nyeri pada kemaluan atau paha sisi medial,
berkurangnya ekstensi/ adduksi, rotasi internal yang nyeri, IMT :530 kg/m 2 .U
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah- Orthopedi, Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan : Departemen Bedah
Osteoartritis
c _:,.,~~,,.:..__:._
REFERENSI
1. Soeroso J, lsbagio H, Kalim H, Broto R. Pramudiyo R. Osteoartritis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta;
lnternaPublishing; 2009. Hal. 2538-49
2. Felson DT. Osteoarthritis. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS, Hauser SL. Loscalzo
J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012.
Hal. 2828-36
3. Brandt KD, Dieppe P, Radin EL. Etiopathogenesis of osteoarthritis. Rheum Dis Clin N Am 2008;34:531-59
4. National Collaborating Centre for Chronic Conditions. Osteoarthritis: national clinical guideline
for care and management in adults. London: Royal College of Physicians, 2008
5. Abramson SB, Attur M. Developments in the scientific understanding of osteoarhtritis. Arthritis
research and therapy 2009, 11:227
6. Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, penyunting. Primer on the rheumatic diseases. Edisi
XIII. New York: Springer Science;2008. Hal 669-82
7. Altman R, Asch E, Block G, et al. Development of criteria for the classification and reporting of
osteoarthritis: classification of osteoarthritis of the bone. Arthritis Rheum 1986; 29. 1039-49.
8. Altman R, Alarcon G, Appelrouth D, Bloch D, Borenstein D. Brandt K. The american college of
rheumatology criteria for the classification and reporting of osteoarthritis of the hip. Arthritis and
Rheumatism 1991 ;34:5:505-14
----------- 9. Altman R, Alarcon G, Appelrouth D. et al. The American College of rheumatology for the
classification and reporting of osteoarthritis of the bone. Arthritis Rheum 1990; 33: 1601-10.
10. Conaghan PG, Dickson J, Grant RL. Care and management of osteoarthritis in adults: summary
of nice guidance. BMJ 2008;336:502-3
11. Lievense AM, Koes BW, Verhaar JAN, Bohnen AM, Bierma-Zeinstra SMA. Prognosis of hip pain in
general practice: a prospective followup study. Arthritis and rheumatism 2007; 57 (8): 1368-1374
REUMATIK EKSTRAARTIKULAR
PENGERTIAN
Reumatik ekstraartikular adalah sekelompok penyakit dengan manifestasi klinik
umumnya berupa nyeri dan kekakuan jaringan lunak, otot a tau tulang tanpa hubungan
yang jelas dengan sendi bersangkutan ataupun penyakit sistemik serta tidak semuanya
dapat dibuktikan penyebabnya. Terdapat tiga faktor yang diduga menjadi penyebab
REA antara lain mekanikal, inflamasi dan deposisi kristal. Beberapa penyakit reumatik
ekstraartikular yang penting dan sering ditemui adalah periartritis kalsifik, entesopati,
tenosinovitis, bursitis. Pada bab ini, reumatik ekstraartikular yang akan dibahas adalah
berdasarkan lokasi bagian tubuh yang terkena.L 2
2. Tenosinovitis De Quervain
Anamnesis: nyeri lokal pada bagian punggung pergelangan tangan menjalar ke ibu
jari dan lengan atas sisi radial, benda yang dipegang terlepas sendiri dari genggaman.
Pemeriksaan fisik: nyeri dan pembengkakan tendon di daerah prosesus stiloideus
radii, tes Finkelstein positif (nyeri bertambah dengan adduksi ibu jari dan deviasi
ulnar).
3. Carpal Tunnel Syndrome
Anamnesis: parastesia atau mati rasa pada ibu jari, telunjuk dan jari tengah, dapat
menjalar hingga telapak tangan, keluhan semakin bertambah pada saat mengetuk,
memeras, menggerakkan pergelangan tangan, nyeri bertambah he bat pada malam
hari, pergelangan tangan terasa diikat ketat dan kaku gerak.
Pemeriksaan fisik: kekuatan tangan menurun, atrofi tenar, tes provokasi (phalen
test), Tinnel's sign.
Diagnosis banding: sindrom nyeri servikobrakial, mononeuritis multipleks.
Bursitis trokanterik
Anamnesis: nyeri di daerah trokanter mayor, pembengkakan lokal, rasa nyeri
terutama malam hari, nyeri dirasakan intensif bila berjalan, gerakan yang bervariasi
dan berbaring pada sisi yang terkena.
Pemeriksaan fisik: nyeri tekan di atas daerah panggul lateral dan dapat menjalar
ke bawah, ke kaki atau ke lutut, nyeri bertambah pada rotasi eksternal dan abduksi
melawan tahanan, tenderness point pada daerah trokanterik.
Diagnosis banding: radikulopati, osteoartritis panggul.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan-pemeriksaan penunjangyang bisa dilakukan an tara lain ultrasonografi
muskuloskeletal, MRI, foto polos untuk menyingkirkan diagnosis banding, artrografi,
aspirasi bursa untuk mencari etiologi (pada bursitis), elektromiografU-8 Pemilihan
pemeriksaan penunjang untuk penyakit Reumatik ekstraartikular harus disesuaikan
dengan kecurigaan klinis. Misalnya pada kasus dengan nyeri bahu yang diduga
tendinitis rotator cuff disertai dengan ruptur tendon, maka diperlukan pemeriksaan
USG atau MRI bahu.
TATALAKSANA 1- 5 ·8
Nonfarmakologis: edukasi, menghindari faktor pencetus, istirahat, latihan,
rehabilitasi, fisioterapi (kompres air dingin, pemanasan, ultrasound, diatermi),
pemasangan bidai.
Farmakologis: OAINS, Analgesik, Injeksi intralesi (kortikosteroid, lidokain lokal)
Bedah: apabila dengan terapi konservatif tidak menunjukkan perbaikan
KOMPLIKASI
Kontraktur, jepitan saraf
PROGNOSIS
Pada umumnya penyakit Reumatik ekstraartikular bersifat self-limiting.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu PenyakitDalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Marpaung B. Reumatik ekstra artikular. In: Sudoyo A. Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata M, Setiati
S. editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. S'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian
llmu Penyakit Dalam FKUI. 2009:2698 - 2704
2. Langford C. Gilliland B. Periarticular disorders of the extremities. In: Fauci A. Kasper D. Longo D.
Braunwald E. Hauser S. Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine.
18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies. 2012: 2860-3
3. Woodward T, Best T. The painful shoulder. Am Fam Physician. 2000;61 (10):3079- 3088
4. Makkouk AH. Oetgen M, Swigart C, Dodds S. Trigger finger: etiology, evaluation and treatment.
Curr Rev Musculoskelet Med. 2008;1 (2): 92-96
5. Hellmann D, Imboden J. Musculosceletal and immunologic disorders. In: McPhee S, Papadakis
M, Rabow M. editors. Current medical diagnosis and treatment 2011. 501h ed. California; The
McGraw -Hill Education. 2010:779-840
,,
··'::~g:I~~w·rndtik Ekstraartikular·.·
.; · ;~;.~J·.as::{~ :.
6. Visentini PJ, Khan KM, Cook JL Kiss ZS, Harcourt PR, Work JD. The VISA score: an index of severity
of symptoms in patients with jumper's knee (patellar tendinosis). Victorian Institute of Sport Tendon
Study Group. J Sci Med Sport.1998;1 (1 ):22- 8
7. Handy JR. Anserine bursitis: a brief review. South Med J. 1997;90(4):376 -7
8. Starr M, Kong H. Recognition and management of common forms of tendinitis and bursitis.
Canadian J CME. 2001:155- 63
SKLERODERMA
PENGERTIAN
Sklerosis sistemik (skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak
diketahui penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ viseral serta
kelainan mikrovaskuler. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun, yang dimediasi
oleh limfosit. 1•2
DIAGNOSIS
Pada tahun 1980, American Rheumatism Association (ARA) mengajukan kriteria
pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresif. Kriteria ini terdiri atas: 3
1. Kriteria Mayor:
Skleroderma proksimal: penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang
simetrik pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal
atau metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka,
leher dan batang tubuh (toraks dan abdomen).
2. Kriteria Minor:
• Sklerodaktil: perubahan kulit seperti disebut diatas, tetapi hanya terbatas
pada jari.
• Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari terjadi akibat iskemia. Daerah
yang mencekung pada ujung jari atau hilangnya substansi jari terjadi akibat
iskemia.
• Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier a tau lineonodular yang retikuler
terutama dibagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada stan dar.
Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah.
Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau
<:: 2 kriteria minor. Namun kriteria ARA ini sudah mulai ditinggalkan dan tidak lagi
ditujukan untuk diagnosis karena banyak pasien dengan sklerosis sistemik terbatas
(limited systemic sclerosis) tidak memenuhi kriteria ini. 4
'SI<Ieroderma'
Pemeriksaan Penunjangu
Laboratorium
Autoantibodi ditemukan hampir pacta semua pasien dengan skleroderma
(sensitivitas >95%). ANA merupakan antibodi yang paling sering ditemukan, tetapi
tidak cukup spesifik untuk skleroderma. 4
Pemeriksaan Patolog
biopsi kulit
856
Pemeriksaan Penunjang lainnyau
• oesophagus maag duodenum (OMD): untuk menilai adanya dismotilitas saluran
cerna bagian atas
• Ekokardiografi: untuk mendeteksi kelainan kardiologi, seperti efusi perikard, dan
hipertensi pulmonal
• Spirometri: untuk menilai adanya restriksi paru
• Urinalisis dan kadar kreatinin serum: untuk menilai keterlibatan ginjal
• Kapilaroskopi: untuk menilai status mikrovaskuler pasien, pada skleroderma
didapatkan gambaran kapiler-kapiler yang berdilatasi dengan area pembuluh
yang dropout tampak jelas.
• Esofagogastroduodenoskopi dilakukan sesuai indikasi.
TATALAKSANA5
• Penyuluhan dan dukungan sosial
• Penanganan Fenomena raynaud dan kelainan kulit
Menghindari merokok dan udara dingin.
Pada keadaan berat, bila disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu
aktivitas sehari-hari dapat dicoba vasodilator,misalnya nifedipin,prazosin,atau
nitrogliserin topikal.
Obat lain adalah iloprost suatu analog protasiklin, diberikan secara intravena
dengan dosis 3ng/kgBB/mnt, 5-8 jamjhari selama 3 hari berturut-turut. Selain
itu obat ini juga digunakan untuk mengobati ulkus pada jari.
Perawatan kulit dapat dipertimbangkan bila ada infeksi sekunder, hila luka
cukup dalam dibutuhkan perawatan secara bedah,nekrotomi dan pemberian
antibiotik parenteral.
• Pemberian obat remitif
• 0-penisilamin,kolkisin, metotreksat, siklofosfamid dan obat-obat imunosupresif
lainnya.
• Penanganan kelainan muskuloskeletal
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) dapat diberikan. Bila nyeri menetap
dipertimbangkan injeksi steroid lokal atau steroid sistemik dosis kecil dalam
waktu singkat. Fisioterapi untuk mencegah dan mengatasi kontraktur.
• Penanganan kelainan gastrointestinal
Pasien dengan dismotilitas esofagus disarankan meninggikan kepalanya pacta
waktu berbaring, makan pacta posisi tegak dengan porsi kecil dan sering.
Antasida ,antagonis H2 dan obat sitoprotektifpada kasus ringan sedang, pacta
kasus berat dianjurkan PPI.
Obat prokinetik pacta keadaan disfagia dan hipomotilitas usus.
Bila terdapat striktur esofagus dilakukan dilatasi secara berkala.
Bila konstipasi diberikan pelunak tinja dan diet serat tinggi.
• Penanganan kelainan paru
Pneumonitis interstitial diterapi menggunakan kortikosteroid atau siklofosfamid.
Bila terjadi hipertensi arteri pulmonal,pengobatan dimulai dengan oral endothelin-1
receptor antagonist atau phosphodiesterase inhibitor seperti sildenafil, selain itu
pasien mungkin membutuhkan diuretik,antikoagulan dan digoksin.
• Penanganan kelainan ginjal
Krisis renal dengan hipertensi be rat merupakan komplikasi yang serius dan angka
kematian yang cukup tinggi, yang dapat diturunkan dengan menggunakan obat
penghambat enzim pengkonversi angiotensin. Jika diperlukan dapat dilakukan
dialisis.
KOMPLIKASI
Hipertensi pulmonal, krisis renal sistemik, Barret's esofhagitis. ulkus dan gangren
ujung jari.1,2.s
PROGNOSIS
Angka harapan hidup 5 tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar 68%.
Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk
prognosis sklerosis sistemik adalah: 5
• Usia lanjut (>64tahun) penurunan fungsi ginjal (BUN<l6mgjdl) anemia (Hb<llg/dl)
• Penurunan kapasitas difusi C02 pacta paru (<50% prediksi)
• Penurunan kapasitas difusi C02 pacta paru (<50% prediksi)
• Penurunan kadar protein serum total (6mgjdl)
• Penurunan cadangan paru (kapasitas vital paksa <80% pacta Hb >14gjdl atau
kapasitas vital paksa <65% pacta Hb <14g/dl).
···SI<Ieroderrria.
'"' .•.·'· -".'" ,. ' :· -c. .·' i' -::,_ ·-·<.-- : ··., -· . ~ ·,<.:
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : SemuaDivisidilingkunganDepartemenllmuPenyakitDalam,
Departemen Bedah Vaskuler
• RS non pendidikan : Departemen Bedah
REFERENSI
1. Varga J. Systemic Sclerosis (Scleroderma) and Related Disorders. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's
Principles of Internal Medicine 18'h Edition. United States of America. McGraw Hill. 2012
2. Setiyohadi B. Sklerosis Sistemik. Dalam: Sudoyo, Setiyohadi. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi
V. Jakarta. lnterna Publishing. 2011
3. Subcommittee for Scleroderma Criteria of the American Rheumatism Association Diagnostic
and Therapeutic Criteria Committee. Preliminary criteria for the classification of systemic sclerosis
(scleroderma). Arthritis Rheum 1980;23:581-90.
4. Haustein U. Systemic Sclerosis- scleroderma. Dermatology Online Journal 8(1 ):3. 2002. Diakses
melalui http:/ /dermatology.cdlib.org/D0Jvol8num 1/reviews/scleroderrna/haustein.html pad a
tanggal4 Mei 2012.
5. Hummers L, Wigley F. Scleroderma. In: Imboden J, Hellmann D, Stone J. Current Rheumatology
Diagnosis & Treatment. 2nd Edition. United States of America. McGraw Hill. 2004
6. Falanga V, Killoran C. Chapter 62: Morphea. In: Wolff K, Goldsmith L Katz S, et al. Fitzpatricks's
Dermatology in General Medicine. 7'h Edition. United States of America. McGraw Hill. 2008 p543-6
SPON Dl LOARTROPATI
PENGERTIAN
Spondiloartropati adalah sekelompok penyakit radang sendi yang mempunyai
faktor predisposisi dan tampilan klinis yang mirip. Yang termasuk spondiloartropati
adalah spondilitis ankilosa, artritis reaktif (termasuk Reiter's syndrome), artritis
psoriatik, inflammatory bowel disease-associated spondyloarthropathy,dan
undifferentiated spondyloarthropathy. Penyakit-penyakit ini mempunyai kesamaan
yaitu berhubungan dengan gen HLA-827 dan adanya entesitis sebagai lesi patologi
dasar. Tampilan klinis lain diantaranya adalah inflammatory back pain, daktilitis,
manifestasi ekstraartikular seperti uveitis dan ruam kulit. 1•2
DIAGNOSIS SPONDILOARTROPATI
Spondiloartropati dicurigai pada setiap kasus dengan nyeri pinggang inflamasi ;:::3
bulan (spondiloartritis aksial), maupun artritis perifer yang asimetris, danjatau yang
predominan di ekstrimitas bawah (spondiloartritis perifer). Kriteria nyeri pinggang
inflamasi mengikuti kriteria ASAS tahun 2009 (tabel 1].3 Selanjutnya penegakan
diagnosis spondiloartropati berdasarkan kriteria menurutASAS tahun 2010 (gam bar 1). 4
!
Sakroiliitis pada
pencitraaan PLUS
=1 gambaran SpA
=1 gambaran SpA:
'
Artritis atau entesitis atau daktilitis
PLUS
.•
Penyakit Crohn/Colitis Ulseratif
Uveitis
Daktilitis • lnfeksi yang mendahul ui
...
Psoriasis
Penyakit Crohn/Colitis Ulseratif
Respon baik dengan OAINS
.
• HLA-827
Sakroiliitis pada pencitraan
..
Riwayat keluarga dengan SpA
HLA-B27
Peningkatan kadarC-Reactive Protein
(CRP)
----------------------------------------~---------------------------------------
(diadaptasi dari Rudwa/eit M, dkk. Ann Rheum Dis 2011 ;70:25-31)
Keterangan:
1. Nyeri pinggang inftamasi: adanya gejala soot ini atau riwayat nyeri spinal {pinggang. dorsal atau servikal), dengan 4 dari 5 gejala.
yaitu onset <45 tahun. onset insidious. perbaikan dengan latihan. kaku pagi hari dan durasi > 3 bulan.
2. Sinovitis: adanya gejala soot ini atau riwayat artritis asimetris atau artritis yang predominan di ekstrimitas bawah.
3. Riwayat keluarga pada tingkat satu atau duo. berupa spondilitis ankilosa. psoriasis. uveitis akut, artritis reaktif. IBD
4. Psoriasis: adanya gejala soot ini atau riwayat psoriasis yang didiagnosis oleh dokter
5. IBD: adanya gejala soot ini a tau riwayat penyakit Crohn atau colitis ulseratif yang didiagnosis oleh dokterdan dikonfirmasi dengan
pemeriksaan radiologi dan endoskopi
6. Nyeri gluteus yang bergantian: adanya gejala soot ini atau riwayat nyeri bokong yang bergantian an tara regia gluteus kanan dan kiri.
7. Entesopati: adanya gejala soot ini atau riwayat nyeri spontan atau nyeri tekan pada insersi tendon achilles dan fasia plantaris
soot pemeriksaan fisik.
8. Diare akut: diare yang terjadi dalam satu bulan sebelum timbulnya artritis.
9. Urethritis/servisitis: uretritis atau servisitis non-gonokokal yang terjadi dalam satu bulan sebelum timbulnya artritis.
10. Sakroilitis: sakroilitis dengan grade 2-4 {bilateral) atau grade 3-4 {unilateral) berdasarkan pemeriksaan radiografi.
{0= normal. I =suspek. 2=minimal. 3=sedang. 4=ankilosis).
SPONDILITIS ANKILOSA
Nyeri pinggang pada spondilitis ankilosa timbul secara bertahap dan sifat nyerinya
tumpul, dengan penjalaran ke arah gluteal. Nyeri pinggang memberat pada pada pagi
hari dan membaik dengan aktivitas dan serta mempunyai komponen nyeri nokturnal. Hal
terse but sesuai dengan kriteria nyeri pinggang inflamasi, seperti yang telah dijelaskan
di subtopik Spondiloartropati. Seiring dengan berjalannya waktu, artritis aksial dapat
berkembang dari sendi sakroiliak, menuju ke vertebra lumbalisjservikalis. Mobilitas
tulang belakang menjadi terbatas karena adanya deformitas spinal seperti lordosis
lumbar yang mendatar, kifosis dada yang berlebih, hiperekstensi vertebra servikalis, dan
adanya sindesmofit dian tara ruas-ruas tulang belakang. Pemeriksaan tulang belakang
seperti tes Schober dan tes jarak occiput ke din ding memberikan hasil positifterutama
yang sudah lanjut. 5· 8
Pemeriksaan Penunjang 5· 8
• DPL, LED, dan CRP
• HLA-B27 (dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis tetapi tidak
direkomendasikan dilakukan secara rutin)
• Pemeriksaan radiologis: foto polos sendi sakroiliaka dan vertebra serta sendi lain
yang terlibat, bila diperlukan dapat dilakukan MRI pada sendi sakroiliaka, terutama
pada awal perjalanan penyakit
DIAGNOSIS
Diagnosis AS dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria modifikasi New
York 1984 seperti pada tabel 2. 9
TATALAKSANA 10·11
t Non farmakologis
Edukasi, terapi fisik, program latihan di rumah, sikap tubuh yang tepat dan sesuai.
Rehabilitasi pasien rawat mungkin dibutuhkan pada pasien-pasien tertentu.
Farmakologis
• OAINS adalah pilihan utama untuk mengatasi nyeri dan kaku. Analgesik lain seperti
asetaminofen dan tramadol bisa dipertimbangkan untuk kombinasi.
.spond.it¢ortrop(;lti>
-·~--·-·~: --~-··--•·--~"----,T~W'~.·~.~.-'---.0<-
• Injeksi steroid lokal dapat digunakan untuk mengontrol inflamasi lokal, sedangkan
pemberian sistemik tidak dianjurkan.
• DMARD konvensional seperti metotreksat dan sulfasalazine tidak terbukti
bermanfaat, kecuali sulfasalazin yang bisa digunakan pada kasus yang disertai
artritis perifer.
• Agen biologik yang saat ini direkomendasikan untuk terapi AS adalah golongan anti-
TNFa. Agen biologik sebaiknya diberikan pada kasus dengan aktifitas penyakit yang
tinggi dan menetap serta kurang respon dengan terapi konvensional.
Tindakan Bedah
• Artroplasti panggul dilakukan pada nyeri panggul yang refrakter disertai dengan
kerusakan struktural secara radiologis.
• Spinal corrective osteotomy dipertimbangkan pada pasien dengan deformitas
tulang belakang berat.
Anamnesis
Artritis reaktif terjadi satu sampai em pat minggu setelah infeksi saluran pencernaan
atau genitourinarius. Organisme penyebab diantaranya adalah Chlamydia, Ureaplasma,
Shigella, Salmonella, Yersinia, dan Campylobacter sp. Diare akut seringkali merupakan
manifestasi yang terlihat jika artritis reaktif terjadi setelah infeksi Shigella, Yersinia
dan Salmonella. Beberapa studi menunjukkan adanya bukti bahwa Chlamydophila
(Chlamydia) pneumoniae yang menimbulkan infeksi saluran nafas dapat menimbulkan
artritis reaktif, meskipun angka kejadiannya lebih jarang. Pada 20% pasien laki-laki
dengan artritis reaktif didapatkan balanitis sirsinata.
Pemeriksaan Fisik
Oligoartritis akutterjadi dalam beberapa hari, dengan distribusi asimetris, terutama di
ekstrimitas bawah. Entesitis seringterjadi, terutama pada tumit. Manifestasi ekstraartikuler
dapat berupa konjungtivitis (50%), atau uveitis (akut, unilateral, dan berulang).
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: darah perifer lengkap, LED, CRP, dan analisa cairan sendi (gambaran
inflamasi). Pemeriksaan mendapatkan sumber infeksi pemicu seperti dengan
kultur atau serologi, dapat membantu penegakan diagnosis (terutama untuk
Chlamydiae), namun tidak dianjurkan untuk dilakukan secara rutin.
• Radiologi: Pacta kasus artritis reaktifyang kronik, pemeriksaan radiologis foto palos
dapat memberikan gambaran sakroiliitis, periostitis, sindesmofit non-marginal,
erosi sendi dan penyempitan celah sendi. Pemeriksaan USG dan MRI pada sendi
terutama sendi sakroiliak akan sangat membantu deteksi dini perubahan terse but.
Tatalaksana
• Non farmakologis: edukasi, terapi fisikjrehabilitasi medik
• Farmakologis
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)
Injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat digunakan pada artritis yang
mengenai 1-2 sendi atau monoartritis yang berat
Pacta arthritis reaktif yang kronik dan be rat dapat diberikan DMARD, seperti
sulfasalazin dan metotreksat, atau steroid sistemik
Terapi terhadap infeksi pemicu hanya diindikasikan pada infeksi Chlamydia
trachomatis, an tara lain dengan kombinasi terapi sinovektomi dan azitromisin
selama 3 bulan.
Prognosis
Pada umumnya prognosis baik, dan sebagian besar sembuh total setelah beberapa
bulan, dan hanya didapatkan 14-20% pasien yang menetap dan menjadi artritis kronik.
ARTRITIS PSORIATIK1.14,15,l6
Anamnesis
Pada kebanyakan kasus, manifestasi kulit mendahului keterlibatan sendi.
Walaupun dapat terjadi sebaliknya pada 15-20% kasus. Ada beberapa tipe, yaitu tipe
oligoartikular (empat atau kurang sendi terlibat), tipe poliartikuler (lima atau lebih
sendi terlibat), pola dengan predominan keterlibatan sendi interfalangeal distal,
artritis mutilan, dan spondilitis psoriatik. Lebih dari 70% kasus merupakan tipe
oligoartikular.
label 2. Kriteria CASPAR 17
Untuk memenuhi kriteria CASPAR, pasien horus mempunyai penyakit radang sendi (joint, spine,
atau entheseol) dengan ;::: 3 poin dari 5 kategori berikut:a
1. Bukti adanya psoriasis, b. c riwayat psoriasis pribadi, a tau riwayat keluarga psoriasis d
2. Distrofi kuku • yang khas psoriatik, didapatkan pad a pemeriksaan sekarang
3. Faktor rematoid (-)
4. Dactylitis soot ini atau riwayat dacly/itis 1 yang dinilai oleh seorang ahli Reumatologi
5. Bukti radiologi adanya pembentukan tulang baru juxtaarticu/arg pad a telapak tang an dan kaki
Keterangan:
0
Spesifitas 99% dan sensitivitas 91%
bPsoriasis soot ini mendapat poin 2. sedangkan yang lain bernilai I poin
'Penyakit kulit atau kulit kepala psoriatik yang ada pada soot pemeriksaan. ditentukan oleh ahli Reumatologi atau ahli kulit
dRiwayat psoriasis pada keturunan pertama dan kedua
•Onikolisis. pitting. a tau hiperkeratosis
'Pembengkakan pada seluruh jari
oQsifikasi didekat batas sendi. namun tidak termasuk pembentukan osteofit
Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis dapat ringan hingga berat (destruktif). Selain di tempatnya yang
khas, permukaan ekstensor lutut, psoriasis dapat pula terdapat pada bagian kecil
pada kulit kepala, telinga, celah anus, perineum, a tau umbilikus. Lesi kuku, termasuk
pitting dan onikolisis, terdapat pada lebih dari 80% pasien dengan artritis psoriatik.
Pacta artritis psoriatik, uveitis cenderung kronik dan terjadi bilateral.
Tempat Predileksi
Asimetris, pada sendi distal. Jika akan dibuat diagnosis artritis psoriatik, maka
kulit diperiksa secara hati-hati untuk mencari lesi psoriatik.
Radiologi
Gambaran radiografi pasien dengan artritis psoriatik memperlihatkan adanya artritis
erosif, dengan terse ring terjadi pad a sendi DIP dan terjadi perubahan pencil-in-cup akibat
resorpsi tulang. Temuan lain diantaranya adalah enthesitis dengan reaksi periosteal,
sakroiliitis, dan spondilitis, sama seperti yang ditemukan pacta artritis reaktif
Tatalaksana
• Non farmakologis
• Farmakologis:
Manifestasi Kulit
• Terapi topikal kortikosteroid, retinoid
• Terapi UV
Manifestasi Sendi
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)
• Kortikosteroid oral
• Injeksi kortikosteroid intraartikular
• Metotreksat, sulfasalazin, dan inhibitor TNF-a
Prognosis
Riwayat keluarga adanya artritis psoriatik, onset penyakit dibawah 20 tahun,
adanya HLA DR3 atau DR4, kelainan sendi poliartikuler atau erosif dan kelainan kulit
yang luas diduga berkaitan dengan prognosis yang buruk.
Anamnesis
Penyakit ini berhubungan dengan penyakit Crohn atau kolitis ulseratif. Pada
beberapa pasien, manifestasi artritis terjadi sebelum manifestasi penyakit usus.
Pemeriksaan Fisik
Penyakit ini biasanya terjadi tiba-tiba dan pola nyeri berpindah-pindah. Artritis
secara umum berkurang dalam waktu enam hingga delapan minggu. Walaupun
rekurensi sering terjadi, 10% pasien terjadi artritis kronik. Pada 20% pasien,
manifestasi spondiloartropati yang berhubungan dengan inflammatory bowel disease
tidak berbeda dengan spondilitis ankilosa idiopatik.
Tempat predileksi
Artritis terjadi pada ekstremitas bawah secara asimetris
Tatalaksana
• Non farmakologis: edukasi, terapi fisikjrehabilitasi medik.
• Farmakologis
Obat anti inflamasi non-steroid harus digunakan secara hati-hati, karena dapat
mengeksaserbasi penyakit usus
Sulfasalazin, metotreksat, dan azatioprin
TNF-a inhibitor.
. c. :~ . '.~·~···.·.· :, ·t·. . .·;· "
..~·R@J)u I Q.ar cor n J
I •
•
••
•o~·-··----·· -··
.· - -'- -··- ~--......::..._ __...,_______ ·... --~--- ...:__,_, _____
UNDIFFERENTIATED SPONDYLOARTHRITIS1,2
Kriteria Diagnosis
Kebanyakan pasien mempunyai gejala yang tidak spesifik termasuk nyeri
punggung, nyeri pada bokong unilateral atau bergantian, entesitis, daktilitis, dan
kadang-kadang terdapat manifestasi ekstraartikular. Undifferentiated spondyloarthritis
merupakan diagnosis ekslusi, dimana terdapat manifestasi spondiloartritis tanpa
adanya spondilitis ankilosa, infeksi yang mendahului, psoriasis, kolitis ulseratif,
ataupun penyakit Crohn.
Sulfasalazin, Metotreksat
• Injeksi intraartikular kortikosteroid
• TNF-a inhibitor.
Ringkasan
label 3. Karakteristik Spondiloartropati Seronegatif'· 8
o •.> < ., " .• ·~·oLC •.•- >'ooY"•"'''"'">'• " -• > ··- • "'C.~· •'- 0
Artritis perifer
Frekuensi Jarang Sering Sering Sering
Distribusi Asimetrik, Asimetrik, Asimetrik, setiap Asimetrik,
ekstremitas ekstremitas sendi ekstremitas bawah
bawah bawah
Entesitis Sering Sangat sering Sangat sering Jarang
$p.oil(ji1His · ':''AtrWI~~¥eai<tif· "; i •• ~i .. · ... t· :r:~ :.;J~:~¥s~~i~i~J;:: ·
Ankilosa ... (terrn~~o.k R~itEn's ArlrH.is.,:~soriCJIII< ~ponqyiocirth~cip~thy
. syn<ir()!Ji~l. ..· .
t:'
KOMPLIKASI
Deformitas
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Rehab Medik
• RS Non Pendidikan : Bagian Rehab Medik
REFERENSI
1. Taurog JD. The Spondyloarthritides. In: Longo DL. Kasper DL Jameson JL Fauci AS, Hauser SL
Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine. Singapore: The McGraw Hill companies;
20 12.p.277 4-85
.· sRohcfiloc1rtr0:~ ·
-;:_·:''---~e-:,_:-<··_{: _ .:.,.-.. :· -:_··--<,,_:.:_:~.·-_·: ::':: -_ ·-'·-:-· .. :
PANDOAN
PRAKTIK
KLINIS
PENGERTIAN
Demam chikungunya merupakan suatu infeksi akutyang disebabkan oleh alfavirus
dan ditularkan melalui gigitan nyamuk A. aegypti dan A. albopictus.u
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1· 3
Penyakit ini dapat bersifat akut, subakut, maupun kronis. Fase akut berlangsung
3-10 hari, ditandai dengan demam tinggi mendadak (39°-40°C) dan nyeri sendi berat.
Nyeri sendi ini terkadang membuat seseorang menjadi terbaring lemah, namun
biasanya sembuh dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Infeksi chikungunya
dapat juga disertai gejala lain seperti sakit kepala, nyeri seluruh punggung, mialgia,
mual, muntah, poliartritis, bintik merah [rash), dan konjungtivitis. Pada fase subakut
dan kronis, dapat memberikan gejala klinis pembengkakan tangan disertai deskuamasi
halus, hiperpigmentasi wajah, tenosinovitis pada tangan, mata kaki, higroma siku,
bengkak dan kaku pada jari-jari tangan.
Manifestasi AtipikaP
Meskipun sebagian besar infeksi virus chikungunya (CHIKV) bermanifestasi
sebagai demam dan artralgia, manifestasi atipikal dapat muncul seperti yang
digambarkan pada tabel 1. Manifestasi ini dapat terjadi akibat efek langsung dari
virus, respon imunologis tubuh terhadap virus, atau toksisitas obat.
Pemeriksaan Fisik
Demam 39°-40°C berlangsung beberapa hari - 1 minggu, bersifat kontinu atau
intermiten, terkadang dapat disertai bradikardi relatif.3
Nyeri sendi biasanya simetris dan sering mengenai sendi-sendi kecil pacta tangan
dan kaki. Pembengkakan sendi sering dikaitkan dengan tenosinovitis. 1•2•3
Bintik merah biasanya muncul2-3 hari setelah onset demam, dengan karakteristik
makulopapular pacta batang tubuh dan ekstremitas, namun juga dapat ditemukan
pacta telapak tangan, telapak kaki, dan wajah. Bintik merah juga dapat bermanifestasi
sebagai eritema difus, yang menghilang pacta penekanan. Pacta bayi, lesi vesikulobulosa
sering ditemukan. 3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah dapat ditemukan :3
• Trombositopenia
• Leukopenia
• Peningkatan tes fungsi hati
• Peningkatan LED dan CRP
• Ig M Chikungunya
Kriteria Diagnosis3
• Kasus suspek
Pasien dengan onset demam akut >38,5°C dan artralgia be rat atau artritis yang tidak
dapat dijelaskan oleh kondisi medis lain, dan telah tinggal atau berkunjung ke daerah
endemis atau epidemis dalam dua minggu terakhir sebelum munculnya gejala.
• Kasus terkonfirmasi (confirmed case)
Pasien kasus suspek dengan salah satu hasil pemeriksaan spesifik CHIKV :
1. Isolasi virus
2. Deteksi virus RNA dengan RT-PCR
3. IgM positif pacta satu sampel serum yang diambil pacta fase akut atau
convalescent
<Zt:lil(tJx:-rgl) nyg':~
4. Kenaikan titer antibodi spesifik CHIKV sebanyak 4x lipat dari sampel yang
diambil dengan selang waktu 2 atau 3 minggu
Catatan :3
Apabila terjadi epidemi, semua pasien tidak wajib dikonfirmasi dengan pemeriksaan
diatas. Evaluasi sensitivitas dan spesifisitas dari kriteria klinis infeksi CHIKV
dilakukan saat KLB terjadi. Kombinasi demam dan poliartralgia memiliki sensitivitas
dan spesifisitas terbaik dengan nilai 84% dan 89%. Kriteria klinis tersebut mampu
menegakan diagnosis pacta 87% individu dengan infeksi CHIKV yang konfirm secara
serologis.
Pemeriksaan penunjangyang saat inidapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis :3
a. lsolasi virus chikungunya (CHIKV)
lsolasi CHIKV dapat diambil dari nyamukyang didapat dari lapangan atau spesimen
serum akut yang diambil dari darah pasien pacta minggu pertama demam. Setelah
spesimen ini didapat, harus segera dikirim ke laboratorium dalam waktu 48 jam
setelah pengambilan dengan suhu 2- 8°C atau dry ice. lsolasi CHIKV ini kemudian
harus dikonfirmasi dengan immunofluorescence assay (IFA), antiserumspesifik
CHIKV, atau dengan kultur supernatan reverse transcriptase-polymerase chain
reaction (RT-PCR), atau suspensi otak tikus.
b. RT-PCR
Deteksi RNA CHIKV menggunakan metode RT-PCR sudah beberapa kali
dipublikasikan. Penggunaan sistem assay tertutup dan real time untuk
meningkatkan sensitivitas dan menurunkan resiko kontaminasi. Serum yang
digunakan sama dengan isolasi CHIKV.
c. Tes serologis
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)dan plaque reduction neutralization
testing (PRNT) untuk memeriksa serum darah digunakan untuk diagnosis
serologis. Pengiriman spesimen ke laboratorium dengan suhu 2- 8°C, tidak boleh
dibekukan.
Diagnosis serologis fase akut dan pemulihan ditegakkan dengan hasil titer lgM
antibodi spesifik CHIKV yang positif ata.u kenaikan titer PRNT sebanyak 4x lipat.
antibodi IgG dan lgM anti-chikungunya. Level antibodi IgM mulai muncul pacta
akhir minggu pertama demam, tertinggi pacta 3-5 minggu setelah onset penyakit
dan bertahan selama 2 bulan. Oleh karena itu, untuk menyingkirkan diagnosis
chikungunya, sam pel fase pemulihan (convalescent) harus tetap diperiksa apabila
hasil pemeriksaan sam pel fase akut negatif.
Apabila PRNT tidak tersedia, pemeriksaan serologis lain seperti hemaglutination
inhibition (HI) dapat digunakan untuk mengidentifikasi infeksi alfavirus yang baru
saja terjadi (recent infection). Namun PRNT tetap diperlukan untuk mengkonfirmasi
recent infection CHIKV.
Spesimen lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan laboratorium :
1. Cairan serebrospinal pada kasus meningoensefalitis
2. Cairan sinovial pada kasus artritis disertai efusi
3. Materi autopsi- serum atau jaringan yang tersedia
Sebelum mengidentifikasi CHIKV di sebuah negara, survailans laboratorium harus
mengambil 3 set sam pel untuk memeriksa :
1. Spesimen dengue negatif pada pasien dengan keluhan nyeri sendi berat
2. Sampel dari penyakit yang gambaran klinisnya serupa dari area geografis baru
tanpa sirkulasi dengue aktif
3. Sekumpulan (clusters) penyakit demam dengan nyeri sendi berat
Berikut adalah tabel yang menunjukkan pemeriksaan ideal yang sebaiknya
dilakukan dalam setting epidemiologis yang bervariasi :
DIAGNOSIS BANDING
Malaria, demam dengue, leptospirosis, demam rematik 3, demam typoid, influenza
Tabel 4. Perbandingan Gambaran Klinis dengan Laboratorium lnfeksi CHIKV dengan Denguec 3
.. GAMBARAN;KUNIS [)AN: •; INFEkSI CHIKV . \·~lNFEKSi:~IRUS DENGUE
LABORATORIUM · · · ..· ·. · .·· ·~
TATALAKSANA
Tidak ada terapi spesifik, tatalaksana ditujukan untuk meringankan gejala,
termasuk nyeri sendi.
label 5. Tatalaksana Demam Chikungunya 3
--c;cc\FA'$~ ~l(ijy?' ··•·· .. · .· .: ;J=).;ses~~;(~qr·~~~·~~~~l§/.~~~\:. •
Rehidrasi (bila muntah, berkeringat, insensible Nyeri sendi : kortikosteroid oral atau injeksi intra-
losses) artikular, atau NSAID oral
• Perhallan :tidak dianjurkan memberikan aspirin karena resiko perdarahan dan sindroma Reye pada anak <12 tahun
**Pada lase subakut dan kronis, dopa! dipertimbangkan bila terapi lain lidak adekuat untuk mengatasi keluhan artralgia
berulang (refractory joint symptoms)
PROGNOSIS
Sebagian besar pasien sembuh sempurna, namun pada beberapa kasus, nyeri sendi
dapat persisten untuk beberapa bulan sampai beberapa tahun. Tingkat mortalitas
pada individu >65 tahun lebih tinggi 50 kali lipat dibandingkan dengan dewasa muda
<45 tahun. 3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Peters CJ. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses. In: Longo Fauci Kasper,
Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition. United States of America. McGraw Hill. 2008
2. WHO. Fact sheets: Chikungunya. Diunduh darihttp:/ /www.who.int/mediacentre/factsheets/
fs327 /en/ pada tanggal 26 April 2012
3. Staples CJ eta\. Preparedness and Response for Chikungunya Virus: Introduction in the Americas.
CDC. 2011
DEMAM BERDARAH DENGUE
PENGERTIAN
Merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan melalui gigitan nyamukAedes aegypty dan Aedes albopictus serta memenuhi
kriteria WHO untuk demam berdarah dengue. 1
PENDEKATAN DIAGNOSIS2
Anamnesis
Demam mendadak tinggi dengan tipe bifasik disertai oleh kecenderungan perdarahan
(perdarahan kulit, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis, melena, hematuria), sakit
kepala, nyeri otot dan sendi, ruam, nyeri di belakang mata, mual-muntah, pemanjangan
siklus menstruasi. Riwayat penderita DBD di sekitar tempat tinggal, sekolah atau di
tempat bekerja di waktu yang sama. Pasien dapat juga datang disertai dengan keluhan
sesak, lemah hingga penurunan kesadaran.
Pemeriksaan Fisik
Demam
Gejala infeksi viral seperti: injeksi konjungtiva, mialgia, artalgia
Tanda perdarahan: ptekie, purpura, ekimosis
Hepatomegali
Tanda-tanda kebocoran plasma: efusi pleura, asites, edema, kandung empedu
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin: lekopenia, trombositopenia, hemokonsentrasi
Serologi: IgG-IgM antidengue (+), pemeriksaan protein virus NS-1 Dengue,
Foto toraks: penumpulan sudut kostofrenikus
USG abdomen: double layer pada din ding kandung empedu, a tau asites
Kriteria Diagnosis3.4
Definisi Kasus untuk Demam Dengue
Probable- demam akut disertai dua atau lebih gejala berikut:
• sakit kepala
• nyeri retro-orbital
• myalgia
• artralgia
• ruam
• manifestasi perdarahan
• leukopenia ; dan
• Hasil pemeriksaan serologi (+) a tau adanya demam dengue di lokasi dan waktu
yang sama
Confirmed- kasus di konfirmasi dengan kriteria laboratorium
• lsolasi virus dengue dari serum atau sampel otopsi
• Kenaikan 2: 4 kali titer antibodi IgG atau IgM pada sampel plasma
• Terdapatnya antigen virus dengue pada sam pel otopsi jaringan, plasma, atau LCS
dengan teknik imunihistokimia, imunofluoresens, atau ELISA
• Deteksi sekuens genom virus dengue di sampel jaringan atau LCS dengan cara PCR
Reportable - setiap kejadian kasus probable atau confirmed harus dilaporkan
Diagnosis Banding
Demam akut lain yang disertai trombositopenia seperti demam tifoid, malaria,
chikungunya
Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), lekosit, trombosit, serologi dengue, foto toraks.
Evaluasi Ht dan trombosit setiap 12/24 jam sesuai keadaan klinis, USG abdomen sesuai
indikasi atau bila perlu.
DIAGNOSIS BANDING
Demam akut lain yang disertai trombo,sitopenia seperti demam tifoid, malaria,
chikungunya.
TATALAKSANA4
Nonfaramakologis
• lstirahat, makanan lunak, tingkatkan asupan cairan oral
• Pantau tanda-tanda syok, terutama pada transisi fase febris (hari 4 - 6)
Klinis: tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah
Laboratorium: Hb, Ht, Trombosit, Lekosit
Farmakologis
• Simtomatis: antipiretik parasetamol bila demam
• Tatalaksana terinci pada lampiran protokol tatalaksana DBD
Cairan intravena: Ringer Laktat atau ringer asetat 4-6 jamjkolf. Evaluasi jumlah
cairan, kondisi klinis, perbaikanjperburukan hemokonsentrasi. Koloidjplasma
ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan.
Transfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi
Pertimbangan heparinisasi pacta DBD stdadium III dan IV dengan Koagulasi
intravaskular diseminata (KID)
Observasi Observasi
Rawat jolon Rawat jolon
Penanganan protocol
Periksa Hb, Periksa Hb,
Ht, Leuko, Ht, Leuko, rawat inap untuk
trombo/24 jam trombo/24 jam DBD (protokol2)
Suspek DBD
Perdarahan Spanton dan Masif (-)
Syok (-)
1
~ ~ ~
Hb, Ht meningkat 10-20%
Hb, HtTrombo < 100.000
Trombo < 100.000 Hb, Ht meningkat > 20%
lnfus Kristaloid Hb, Ht,
Trombo tiap 24 jam
f-+ lnfus Kristaloid Hb, Ht, f-+ Trombo < 100.000
Trombo tiap 12 jam
~
Protocol pemberian
cairan DBD dengan
Ht meningkat 2:20%
Keterangan :
* Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan:
Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x (berat badan dalam kg- 20)
Contoh volume rumatan untuk berat bad an 55 kg : 1500 + 20 x (55-20) = 2200 ml
** Pemantauan disesuaikan dengan fase/hari perjalanan penyakit dan kondisi klinis
PER BAlKAN
KONDISI
MEMBURUK
Tanda syok
Terapi cairan
dihentikan 24-48
jam
Tatalaksana sesuai
protocol syok dan
PERBAIKAN
perdarahan
Membaik: penurunan hematokrit, stabilnya pulsasi dan tekanan darah, urine output
meningkat
Tidak membaik: hematokrit dan pulsasi meningkat, tekanan darah menurun dibawah
20 mmHg, menurunnya urine output
Tanda -tanda vital tidak stabil: menurunnya urine output, tanda-tanda syok
' 882
' .
-•••PE;m~·nT•.~e_r(j.CJ·:r(J·h··IT)·e·n;gwe·•···
Kasus DBD:
Perdarahan spontan masif:
Epistaksis tidak terkendali,Gross hematuria,
Hematemesis dan atau melena, Hematokezia,
Perdarahan otak
T
Hb, Ht. Leukosit. Trombosit,
Pemeriksaan hemostasis (KID)
Golongan darah, uji cocok serasi
~ 1
KID(+)
Transfusi komponen darah : KID(-)
PRC (Hb <lOg%) Transfusi komponen darah :
FFP PRC (Hb <lOg%)
TC (Trombosit <1 00.000) FFP
Heparinisasi 5000-10000/24 jam drip TC (Trombosit <100.000)
Pemantauan Hb, Ht. Trombosit tiap 4-6 jam Pemantauan Hb, Ht, Trombosit tiap 4-6 jam
Ulang pemeriksaan hemostasis 24 jam kemudian Ulang pemeriksaan hemostasis 24 jam kemudian
Cek APTI tiap hari, target 1,5-2,5 kali kontrol
Protokol5: Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa
Jalan nap as
Pernapasan : 02 l-2L/menil dengan nasal kaleler.
Bila lebih memakai sungkup wajah.
Sirkulasi : cairan krislaloid dan alau koloid l 0-20 ml/kg
secepalnya (bila mungkin < lO menil)
Perhalikan : Ianda-Ianda hipovolemia. hipervolemia/
overload dan respon pemberian cairan
Perburukan
Perhilungon
T
Koloid 10-20 ml/kg Transfusi darah 10 ml/kg,
dapat diulang sesuai
1------......:----' nutrisi setelah dalam 10-15 me nil
l2jom kebuluhan
(dextrose 5%
T bila tidak ada
24-48 jam selelah kontra indikasi)
syok leralasL
Ianda vital I HI slabil,
dieresis cukup
Stop infus
Kombinasi IIIII
1 Perbaikan bertahap 1------1
koloid -krislaloid vasopresor
D~rnam Berdarah Dengue
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
KOMPLIKASI
Renjatan (syok), ensefalopati dengue, perdarahan saluran cerna, KID (koagulasi
intravaskular diseminata)
REFERENSI
1. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL, Longo DL Jameson JL. Infection caused by arthropod
and rodent-borne viruses. Harrisson's: Principle of Internal Medicine.17th ed.New York: McGraw-
Hill Companies; 2009: 1230,1239.
2. Suhendro LN, Khie C, Herdiman TP. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit
dalam edisi 5. Jakarta: lnterna Publishing; 2009: 2773-9.
3. World Health Organization. Dengue hemorrhagic Fever: Diagnosis, treatment prevention, and
control. 2nd ed. Geneva: World Health Organization Publication; 1997.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
DEMAM NEUTROPENIA
PENGERTIAN
Demam didefinisikan bila ditemukan suhu oral~ 38,3°C pacta satu kali pengukuran
atau suhu :::: 38°C bertahan lebih dari satu jam. Neutropenia didefiniskan sebagai
penurunan jumlah netrofil absolut <500 seljmm 3 atau jumlah netrofil diperkirakan
akan menurun <500 seljmm 3 selama 48 jam kemudian. 1•2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala dan tanda inflamasi seringkali kurang tampak atau tidak tampak sama sekali
pacta pasien neutropenia pacta keadaan klasik adanya. Infeksi bakteri pacta kulit dan
jaringan lunak jarang menimbulkan indurasi, eritema, panas, dan pustulasi. lnfiltrat
pacta infeksi paru dapat tidak terlihat pacta radiografi. Infeksi pacta meningen dapat
hanya ditemukan pleiositosis ringan di cairan serebro spinal (CSS). Infeksi traktus
urinarius dapat menunjukkan piuria ringan atau bahkan tidak ada sama sekali.
Demam seringkali merupakan satu-satunya tanda infeksi. Adanya kondisi komorbid
yang mendasari seperti diabetes, penyakit paru obstruktifkronik, danjatau prosedur
bedah harus dievaluasi. Pemeriksaan fisik pasien demam neutropenia membutuhkan
ketelitian untuk mendeteksi gejala dan tanda yang minimal, khususnya pacta lokasi
yang paling sering terkena infeksi seperti di kulit (khusunya tempat pemasangan
kateter, seperti tempat masuk atau keluarnya kateter atau tempat aspirasi sumsum
tulang), orofaring (termasuk periodontium), saluran cerna, paru, dan perineum. 2
I
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien demam neutropenia membutuhkan ketelitian untuk
mendeteksi gejala dan tanda yang minimal, khususnya pacta lokasi yang paling sering
terkena infeksi seperti di kulit (khususnya tempat pemasangan kateter, seperti
tempat masuk atau keluarnya kateter atau tempat aspirasi sumsum tulang), orofaring
(termasuk periodontium), saluran cerna, paru, dan perineum. 2
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung
jenis leukosit dan jumlah trombosit, mengukur kreatinin serum dan blood urea
nitrogen, elektrolit, enzim transaminase hati, dan bilirubin totaJ.2
• Kultur : sebaiknya dilakukan sesuai dengan gejala dan tanda klinis tetapi tidak
secara rutin. 2
Feses: diambil untuk memeriksa Clostridium difficile toxin assay pada pasien
yang mengalami diare
Urin: dilakukan pemeriksaan jika ditemukan gejala dan tanda infeksi saluran
kemih, terpasangnya kateter saluran kemih, atau ditemukannya hasil urinalisis
yang abnormal.
CSS: Pemeriksaan dan kultur cairan spinal diindikasikan jika dicurigai meningitis
Kulit: biopsi dari lesi kulit yang terinfeksi sebaiknya dilakukan pemeriksaan
sitologi, pewarnaan gram, dan kultur.
Spesimen respiratori: sampel sputum untuk kultur bakteri rutin dikirim jika
pasien mengalami batuk produktif. Spesimen traktus respiratori bawah diambil
dengan cara bilasan bronkus direkomendasikan pada pasien dengan infiltrat
yang penyebabnya tidak jelas pada foto thoraks. Nasal wash atau spesimen BAL
direkomendasikan untuk mengevaluasi gejala infeksi virus respirasi.
• Pencitraan
Pasien dengan gejala dan tanda respiratori sebaiknya dilakukan foto thoraks untuk
mengeksklusi pneumonia. Pneumonia selama neutropenia biasanya perjalanan
penyakitnya berlangsung progresif sehingga disarankan untuk segera dilakukan
perawatan di ruang rawat inap. 2
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding berdasarkan etiologi yang menyebabkan demam neutropenia yaitu: 2
Enterobacter spp.
Klebsiella spp.
Serratia spp
Acinetobacter spp
Citrobacter spp
Basilus gram positif Diphtheroids
Fungi Candida spp
Aspergillus spp
TATALAKSANA
Penilaian risiko komplikasi infeksi berat sebaiknya dinilai pada saat demam.
Penilaian resiko dapat menentukan jenis antibiotik empiri (oral a tau IV), jenis
perawatan (rawat inap atau rawat jalan), dan durasi terapi antibiotik. 2
Sistem skoring MASCC (Multinational Association for Supportive Care in Cancer
Risk-Index Score) merupakan hasil penjumlahan skor faktor risiko, termasuk umur
pasien, riwayat, status rawat inap a tau rawat jalan, tanda klinis akut, adanya kondisi
komorbid, dan deratnya demam dan neutropenia yang dinilai oleh beratnya beban
penyakit. Penilaian risiko dengan sistem skor MASCC ini dapat membantu menilai
kondisi pasien untuk menentukan regimen dan tern pat perawatan yang sesuai untuk
pemberian antibiotik empiris, juga waktu pemulangan dari rumah sakit. 2•3
Tabel2. The Multinational Association for Supportive Care in Cancer Risk-Index Score (apendiks) 2
:·. :i{A~~~ERISTI~ " ' .•r·• >$tori
.'f -.--~ ~-,--·,-,,•{:, :c;.:t:C=~--~---' __ , ,-.y- ':'L~·,<':
Pengobatan Antivirus
Pengobatan antivirus tidak dipergunakan sebagai pengobatan empirik. Obat
antivirus hanya diindikasikan hila terbukti secara klinis atau laboratoris dengan
adanya penyakit virus.1.3
oo ,~eutrq:p,er;li:
Pengobatan Lain
Pengobatan growth factor dn imunomodulator serta empirikal immunoglobulin
tidak direkomendasikan secara rutin, karena belum ada bukti nyata.1.3
KOMPLIKASI
Bakteriemia. 1.4
PROGNOSIS
Demam neutropeni terjadi pada 10%- 50% pasien dengan tumor solid dan 80%
pada keganasan hematologi, dan biasanya membutuhkan waktu pengobatan 7-12 hari
dengan angka kematian 10%. Angka kematian rata -rata sebesar 15% pada kelompok
risiko tinggi dan 1% pada kelompok risiko rendah. Demam neutropenia, jika tidak
ditangani dalam 48 jam pertama, maka angka kematian mencapai 50 %. 4
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Divisi Alergi lmunologi
- Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
REFERENSI
1. Kosten T.lnfections in Patients with Cancer. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal
Medicine 18th edition.United States of America.Mcgraw Hill. 2012
2. Clinical Practice Guideline for the Use of Antimicrobial Agents in Neutropenic Patientswith Cancer:
2010 Update by the lnfectiousDiseases Society of America
3. Ranuhardy D. Neutropeni Febril pad a Kanker. dalam: Sudoyo,Setiyohadi. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Edisi V. Jakarta. lnterna Publishing. 2011
4. Klastersky Jean. Management of Fever in Neutropenic Patients with Different Risks of
Complications. Diunduh dari http:/ /cid.oxfordjournals.org/content/39 /Supplement_ 1/S32.full
pada tanggal 1 Mei 2012.
DEMAM TIFOID
PENGERTIAN
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi
kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphU
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala yang paling menonjol adalah prolonged fever (38.8°-40.5°C), dan berlanjut
hingga 4 minggu jika tidak ditangani. S.paratyphi A dapat mengakibatkan gejala
penyakit yang lebih ringan daripada S.typhi, dengan predominan gejala gastrointestinal.
Pacta minggu pertama, gejala yang ditemukan adalah sakit kepala, menggigil, batuk,
berkeringat, mialgia, malaise, dan artralgia. Gejala gastrointestinal yang ditemukan
yaitu: anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, diare, konstipasU
Pemeriksaan Fisik
Pacta pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pacta sore hingga malam hari.
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardia relatif
(peningkatan suhu 1 oc, tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8xjmenit), lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteorism us, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium
atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pacta orang Indonesia. 1
Pemeriksaan Penunjang
Pacta pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat
pula terjadi kadar leukosit normal, atau leukositosis walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder. Selain itu dapat ditemukan anemia dan trombositopenia. Nilai SGOT dan
SGPT seringkali meningkat. 1•2
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organisme.
Kuman tifoid yang mengandung antigen (0 and H) dapat menstimulasi host untuk
terbentuknya antibodi. Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai aglutinin
yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di
berbagai laboratorium setempat. 1•2
Pada uji Widal, bila terjadi kenaikan 4 kali titer antibody 0 dan H pada spesimen
yang diambil dalam jarak 2 minggu, maka kemungkinan tinggi terjadi proses infeksi
S.typhi. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Bagaimanapun juga, pemeriksaan ini mempunyai
persentase sensitivitas sekitar 70% dan mempunyai nilai spesifitas yang rendah;
banyak strain Salmonella non typhoidal terjadi reaksi silang, dan sirosis hepatis dapat
mengakibatkan false-positif.l.2
Kultur merupakan standar baku dalam menegakkan diagnosis. Kultur darah,
feses dan urin sebaiknya dilakukan. Kultur darah biasanya positifpada awal2 minggu
pertama, tapi kultur feses biasanya positif selama minggu ke 3 hingga ke 5. Sedangkan
kultur urin pada minggu ke 4. Jika kultur tersebut negatiftetapi secara klinis suspek
kuat demam tifoid, maka kultur biopsi spesimen sumsum tulang belakang dapat
dijadikan pertimbangan untuk mencari kuman Salmonella. Tingkat sensitivitas kultur
sumsum tulang mencapai 55-90%, dan tidak seperti kultur darah, hasil kultur tidak
berkurang walaupun setelah 5 hari pemberian antibiotik sebelumnya. Akan tetapi,
metode ini memakan waktu lama dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang
relatif rendah, dan juga memerlukan fasilitas laboratorium yang khusus. 1•2
Selain uji Widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan dengan cepat, mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih
baik antara lain uji TUBEX, Typhidot dan dipstik. Uji TUBEX merupakan uji semi-
kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan.
Uji ini digunakan untuk mendeteksi antibodi anti-S.typhi 09 pada serum pasien.
Deteksi terhadap anti 09 dapat dilakukan lebih dini,yaitu pada hari ke 4-5 untuk
infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Pada penelitian tahun 2006,
di Jakarta, Surya H dkk, didapatkan sensitivitas uji Tubex sebesar 100%, spesifitas
90%. Uji Typhidot dapat mendeteksi antibody lgM dan IgG yang terdapat pad a protein
membran luar Salmonella Typhi. Hasil positif didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan
dapat mengidentifikasi secara spesifik lgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat
50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. 3
Tabel 1. lnterpretasi Hasil Uji Tubex2
<2 Negatif
-~~~~~
Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak do pat disimpulkan. Ulangi pengujian, apabila masih
meragukan lakukan pengulangan beberapa hari kemudian
4-5 Positif Menunjukan infeksi tifoid aktif
>6 Positif lndikasi kuat infeksi tifoid
Saat ini, metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) telah banyak
digunakan dalam membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dari serum dan urin.
Meskipun metode ELISA dengan mengambil cairan tubuh memiliki tingkat sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih tinggi dibanding uji Widal, teknik yang invasif serta
kesulitan mengambil dan mempertahankan sam pel hingga waktunya untuk diperiksa
telah mengurangi manfaat metode ini. Oleh karena itu, saat ini telah dikembangkan
ELISA untuk mendeteksi antibodi IgA lipopolisakarida anti-S.typhi pada sampel air
liur pasien yang dicurigai menderita demam tifoid. Dari hasil penelitian, metode ini
mampu mendeteksi demam tifoid pada fase akut dan paling efisien selama minggu
ke-2 dan ke-3 demam, yaitu saat dimana pasien datang untuk dirawat. 3
Tabel 2. Perbedaan Nilai Sensitivitas dan Spesifisitas dari Pemeriksaan ELISA, Tubex-TF, Typhidot
lgGdan lgM.
Tubex-TF 75 78 85 88 100
Typhidot lgM 63 62 95 97 100
Typhidot lgG 28 28 99 99 100
ELISA total lg 93 78 95 94 100
ELISA lgG 75 65 95 96 100
ELISA lgM 79 78 95 95 100
ELISA lgA 57 64 96 97 100
ELISA lgG + lgM 88 84 91 92 100
EI:ISA-IgG+ lgA -- 84 73 ---93-- 9.\i-- 100
ELISA lgM + lgA 88 85 91 94 100
ELISA lgG + lgM + lgA 90 86 90 92 100
Toksik Tifoid
Demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan a tau tanpa kelainan neurologis
lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. 2
Tifoid Karier
Seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung S.typhi setelah satu
tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinik. 2
DIAGNOSIS BANDING 6
Demam dengue, malaria, enteritis bakterial
TATALAKSANA
Trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
1. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman. 2•3
2. Pemberian antimikrobaLZ
Pilihan utama: Kloramfenikol4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam.
Alternatif lain:
Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol)
Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 2 minggu
Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mgjkgBB selama 2 minggu
Sefalosporin generasi III; yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc selama Yz jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari.
Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2 x 1 gram
Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV):
• Norfloksasin 2 x 400 mgjhari selama 14 hari
• Siprofloksasin 2 x 500 mgjhari selama 6 hari
• Ofloksasin 2 x 400 mgjhari selama 7 hari
• Pefloksasin 400 mgjhari selama 7 hari
• Fleroksasin 400 mgjhari selama 7 hari
KOMPLIKASI
Komplikasi lntestinaF
Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis
Komplikasi Ekstraintestinai 2
• Komplikasi kardiovaskuler: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis
• Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis,
• Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis.
• Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
• Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
• Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis.
• Komplikasi neuropsikiatrik atau tifoid toksik
: 896
~~·. >
PROGNOSIS
Jika tidak diobati, angka kematian pada demam tifoid 10-20%, sedangkan pacta
kasus yang diobati angka mortalitas demam tifoid sekitar 2%. Kebanyakan kasus
kematian berhubungan dengan malnutrisi, balita dan lansia. Pasien lanjut usia atau
pasien debil prognosisnya lebih buruk. Bila terjadi komplikasi, maka prognosis semakin
buruk. Relaps terjadi pacta 25% kasus. 6
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Peters CJ. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses. In: Longo Fauci Kasper,
Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition.United States of America. McGraw Hill.2008
2. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu
Penyakit Dalam; 2009 : 2797- 2805.
3. Parry Christopher M, Hi en Trans tin h. Thyphoid Fever. N Eng! J Med 2002; 347:1770-1782.
4. Herath. Early diagnosis of typhoid fever by the detection of salivary lgA. J Clin Pathol2003;56:694-
698.
5. Utah Public Health- Disease Investigation Plans. Thypoid Fever (Enteric Fever, Typhus Abdominalis).
2010. Diunduh dari http:/ /health.utah.gov /epi/diseases/typhoid/plan/TyphoidPian08161 O.pdf
pada tanggal 2 Mei 2012.
DIARE INFEKSI
PENGERTIAN 1·2 · 3
Diare didefinisikan sebagai perubahan frekuensi buang air besar menjadi lebih
sering dari normal/ lebih dari 3 kali per hari disertai perubahan konsistensi feses
menjadi lebih encer. Diare juga dapat diartikan sebagai keluarnya feses lebih dari
200 gram per hari (pada populasi barat), atau kandungan air pada feses lebih dari
200 mL per hari.
Berdasarkan durasinya, diare dibagi menjadi tiga: diare akut (kurang dari 14 hari),
diare persisten (berlangsung selama 2 - 4 minggu), dan diare kronis (berlangsung
lebih dari 4 minggu). Diare disebut sebagai diare infeksi bila etiologinya adalah karena
infeksi bakteri, virus, parasit, jamur, atau toksin dalam makanan
Anamnesis
Onset, durasi, frekuensi, progresivitas, kualitas diare (konsistensi feses, adakah
disertai darah atau lendir), gejala penyerta (muntah, nyeri perut, demam), riwayat
makananjminuman yang dikonsumsi 6 - 24 jam terakhir, adakah keluarga atau
orang disekitarnya dengan gejala serupa, kebersihan/ kondisi tempat tinggal, apakah
wisatawan atau pendatang baru, riwayat seksual, riwayat penyakit dahulu, penyakit
dasar jkomorbid.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum, tanda vital, status gizi, tanda dehidrasi, tanda anemia, kualitas
dan lokasi nyeri perut, colok dubur (dianjurkan untuk usia > SO tahun, dan feses
berdarah), identifikasi penyakit komorbid.
Pemeriksaan Penunjang
Darah Perifer Lengkap (DPL), elektrolit, ureum, kreatinin, Analisa Gas Darah
(AGD) bila dicurigai ada kelainan asam basa, analisa tinja, kultur dan resistensi feses,
immunoassay toksin bakteri (C. difficile)/antigen virus (rotavirus), antigen protozoa
(Giardia, E. Histolytica)
DIAGNOSIS BANDING
• Gastroenteritis (non infeksi)
• Infeksi C. difficile
• Divertikulitis akut
• Sepsis
• Pelvic inflammatory disease (PID)
TATALAKSANA4
A. Terapi Suportif
1. Rehidrasi cairan dan elektrolit
Per oral: larutan garam gula, oralit, Larutan Rehidrasi Oral (LRO)
Intravena: ringer laktat, ringer asetat, normal salin, ringer dekstrosa, dsb
Jumlah kebutuhan cairan disesuaikan dengan status hidrasi (menggunakan
klasifikasi berdasarkan CDC AS 2008) atau dengan menggunakan skor Daldiyono.
Tabel 1. Klasifikasi Dehidrasi menurut WHO
:cc~~':V ,, <'#~~tiQ!pll' :.·• .•.·.·· ' · . ''::· q~~W:~(i!rW.l>~l~n)%~~···. ::~~J?~~s{t'~9if~6''t)~~;,;::~i.{i~··~tif~·~
Tanpa dehidrasi/ dehidrasi ring an <5% <50 ml/kg
Dehidrasi sedang 5-10% 50-1 00 ml/kg
Dehidrasi berat >10% >100 ml/kg
Haus/muntah
_ID_sisiQlik..6_Q..,_2.0_mrnl:ig ______________ _l __ .______ _
TD sistolik<60 mmHg 2
Frekuensi nodi> 120 x/ me nit
. <~n•~r~#. / .
Kesadaran apatis 1
Somnolen/spoor koma 2
Frekuensi napas> 30 x/menit
Facieskholerica 2
Voxkholerica 2
Turgor kulit menurun
Washer Woman Hand
Ekstremitas dingin
Sianosis 2
Umur 50-60 tahun -1
Umur>60 tahun -2
• Terapi nutrisi sesuai kebutuhan: nutrisi oral, enteral, parenteral, ataupun kombinasi
KOMPLIKASP
Komplikasi sistemik: hipovolemia, hiponatremia, hipoglikemia, sepsis, kejang dan
ensefalopati, sindroma uremik hemolitik (HUS), pneumonia, kurang energi protein.
Komplikasi saluran cerna: perforasi, toksik megakolon.
PROGNOSIS5.6
• akut, diare cair, tipikal berlangsung 5-7 hari
• kebanyakan kasus membaik dalam 2 minggu
• hila ada komplikasi serius seperti dehidrasi dan syok hipovolemik: prognosis
umumnya baik bila rehidrasi berhasil
• faktor-faktor yang memiliki prognosis yang lebih buruk, diantaranya:
diare disertai darah· dehidrasi dan hipovolemia
syok hipovolemik, gejala diare berulang
malnutrisi·immunodefisiensi, termasuk infeksi HIV
usia > 65 tahun· diare karena antibiotika
infeksi nosokomial atau wabah diare
tanda - tanda peritonitis
REFERENSI
1. Makmun D, Simadibrata M, Abdullah M, Syam AF, Fauzi A editors. Konsensus penatalaksanaan
diare akut pada dewasa di Indonesia. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), 2009
2. Camilleri M, Murray JA. Diarrhea and constipation. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci
AS, FauciAS,HauserSLLoscalzoJ, editors. Harrison's Principals of Internal Medicine 18th ed. New
York: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2012. Chapter40, p308-19.
3. Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors. Presenting problems in infectious diseases. In :
Davidson's Principles and Practice of Medicine 21st ed. Churchill Livingstone-Eisevier;201 0. Page
302-4
4. Setiawan B. Diare akut karena infeksi. Dalam: Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia, 2011. Halaman
1794-8
5. WorldHealthOrganization.Thetreatmentofdiarrhoea:amanualforphysiciansandothersenior health
workers. WHO 2005 PDF
6. Manatsathit S; Dupont HL Farthing M, et al; Working Party of the Program Committee of the
Bangkok World Congress of Gastroenterology 2002. Guideline for the management of acute
diarrhea in adults.
DIARE TERKAIT ANTIBIOTIK
(INFEKSI CLOSTRIDIUM DIFFICILE)
PENGERTIAN
Diare terkait antibiotikjpseudomembran adalah peradangan pada kolon akibat
toksin A maupun toksin B dari Clostridium difficile yang ditandai dengan terbentuknya
lapisan eksudatif (pseudomembran) yang melekat di permukaan mukosa, yang
umumnya timbul setelah menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik menyebabkan
terganggunya kolonisasi flora normal di kolon sehingga Clostridium difficile tumbuh
berlebihan. Antibiotik yang paling sering dikaitkan dengan keadaan ini adalah
klindamisin, ampisilin dan sefalosporin generasi 2 dan 3. 1•2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1· 3
• Diare cair atau berlendir 10- 20 x sehari
• Diare berdarah
• Kram perut
• Demam
• Riwayat penggunaan antibiotik minimal 72 jam sebelumnya
Pemeriksaan Fisik1•3
• Febris
• Nyeri tekan abdomen bawah
Pemeriksaan Penunjang 1· 3
• Darah tepi lengkap -7 leukositosis, sering hingga 50.000/mm 3
• Hipoalbuminemia
• Kolonoskopi -7 diawali lesi kecil (2- Smm) putih atau kekuningan, diskret, timbul,
mukosa di antaranya terlihat normal atau eritema, granularitas, kerapuhan. Jika lesi
membesar, terbentuk pseudomembran yang luas berwarna kuning keabu-abuan
dan jika diambil dengan forsep biopsi terlihat mukosa di bawahnya mengalami
ulserasi.
• Histopatologi
• ELISA, PCR -7 mencari toksin A ataupun toksin B, antigen C.difficile
DIAGNOSIS BANDING
Diare akibat kuman patogen lain, efek samping obat non-antibiotik, kolitis non-
infeksi, sepsis intra abdominal. 1
TATALAKSANA
Nonfarmakologis 1.2.4
• Menghentikan antibiotik yang diduga sebagai penyebab, obat-obatan yang
mengganggu peristaltik, opiat
• Mencegah penyebaran nosokomial
• Pemberian cairan dan elektrolit (lebih lengkap lihat di bab Diare Infeksi)
Farmakologis 1·2·4
• Metronidazol-7 pada kasus ringan-sedang (leukosit~ 15.000/mm 3 atau kreatinin
~ 1,5 kali kreatinin awal) diberikan peroral dengan dosis 4 x 250- 500 mg selama
7-10 hari
• Vankomisin -7 digunakan pada kasus berat dengan dosis peroral 4 x 125-500
mg selama 7-14 hari. Pada kasus berat dengan komplikasi atau fulminan, dosis
vankomisin yang digunakan adalah 500 mg per oral a tau per NGT ditambah dengan
metronidazol iv 3 x sehari selama > 2 minggu. Tigesiklin iv 2 x 50 mg setelah dosis
awal100 mg dapat menggantikan metronidazol
• Kasus rekurensi pertama menggunakan dosis yang sama dengan kasus baru. Kasus
rekurensi kedua menggunakan vankomisin per oral dengan do sis tapering yaitu 4
x 125 mg selama 10-14 hari lalu 2 x sehari selama 1 minggu lalu 1x sehari selama
1 minggu lalu setiap 2-3 hari selama 2-8 minggu
• Kolestiramin -7 untuk mengikat toksin, dosis 3 x 4 gram selama 5- 10 hari
• Kuman laktobasilus atau ragi (Saccharomyces boulardil) selama beberapa minggu
• Imunoglobulin iv -7 antibodi terhadap toksin C.difficile
Bedah: operasi kolektomi subtotal untuk menyelamatkan nyawa dan apabila dengan
terapi farmakologis tidak berhasi1 2.4
KOMPLIKASI
Dehidrasi, gangguan elektrolit, syok, edema anasarka, megakolon toksik, perforasi
kolon, gagal ginjal, sepsis, kematian 1
PROGNOSIS
Sebanyak 15-35% kasus akan kambuh dalam beberapa minggu atau bulan.
Rekurensi dapat timbul sebagai relaps a tau reinfeksi oleh strain baru. Rekurensi lebih
sering pada pasien geriatri, pasien yang tetap melanjutkan pemakaian antibiotik
penyebab saat terapi Clostridium diffici/e, pasien yang tetap dirawat di rumah sakit
setelah pengobatan pertama selesai dan pasien yang menggunakan proton pump
inhibitor. Pasien yang telah mengalami rekurensi pertama memiliki kemungkinan
rekurensi kern bali sebesar 33-65%. Pada kasus rekuren, risiko timbulnya komplikasi
serius meningkat sebesar 11%. Angka mortalitas meningkat hingga 6, 9% dan lebih
tinggi pad a usia tua. 2•3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Oesman N. Kolitis infeksi. In: Sudoyo A. Setiyohadi B. Alwi I, Simadibrata M. Setiati S. editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 5'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit
Dalam FKUI. 2009:560- 6
2. Gerding DN. Johnson S.Ciostridium difficile infection. including pseudomembranous colitis. In: Fauci
A. Kasper D. Longo D. Braunwald E. Hauser S. Jameson J. Loscalzo J, editors. Harrison's principles of
internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 1091 -4
3. Bartlett JG, Gerding DN. Clinical recognition and diagnosis of clostridium difficile infection. Clin
Infect Dis. 2008;46 Suppl 1:S 12-
4. Cohen SH. Gerding DN, Johnson S, et al. Clinical practice guidelines for clostridium difficile infection
in adults: 2010 update by the society for healthcare epidemiology of America (SHEA) and the
infectious disease society of america (IDSA). Infect Control Hosp Epidemiol. 2010;31 (5):431- 55
FEVER OF UNKNOWN ORIGIN
PENGERTIANL 2
Fever of Unknown Origin (FUO) dibagi menjadi em pat rna cam, yaitu :
• FUO klasik adalah demam>38,3°C selama lebih dari 3 minggu, kemudian dirawat
selama 1 minggu untuk dicari penyebabnya, namun tidak ditemukan penyebabnya.
Penyebab bisa merupakan undetermined infection, malignancy, autoimmune disease.
• FUO pada pasien HIV adalah demam > 38,3°C selama lebih dari 4 minggu pada
rawat jalan atau lebih dari 3 hari pada pasien rawat inap
• FUO pada pasien netropenia adalah demam > 38,3°C pada pasien dengan jumlah
lekosit PMN <500 filL a tau diperkirakan akan turun mencapai nilai terse but dalam
1-2 hari (dibahas lebih lanjut pada bab demam neutropenia)
• FUO pada pasien nosokomial demam > 38,3°C timbul pada pasien yang dirawat
di RS dan pada saat mulai dirawat tidak timbul gejala atau dalam masa inkubasi,
penyebab demam tak diketahui dalam waktu 3 hari, termasuk 2 hari telah diperiksa
kultur.
ETIOLOGI
FUO disebabkan karena infeksi (30-40%), neoplasma (20-30%), penyakit kolagen
vaskular (10-20%), dan beberapa penyakit lainnya (15-20%). FUO yang menetap
selama lebih dari 1 tahun cenderung disebabkan oleh infeksi atau neoplasma dan
kebanyakan adalah penyakit granulomatosa.
PENDEKATAN DIAGNOSIS 3
Pemeriksaan Penunjang
Sesuai mikroorganisme dan organ terkait. Pemeriksaan hematologi, kimia darah,
urine Lengkap, mikrobiologi, imunologi, radiologi, EKG, biopsi jaringan tubuh,
pencitraan, sidikan (scanning), endoskopijperitoneoskopi, angiografi, limfografi,
tindakan bedah (laparatomi percobaan), uji pengobatan, PET scan.
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi, penyakit kolagen, neoplasma, efek sam ping obat
TATALAKSANA
Tidak ada pengobatan untuk FUO sampai penyakit yang mendasari teridentifikasi.
Obat-obatan untuk mengurangi demam tidak didukung bukti yang kuat. Pengobatan
empirik dengan menggunakan antibiotik, antituberkulosis, atau kortikosteroid tidak
direkomendasikan bila belum ditegakkan diagnosis pasti
KOMPLIKASI
Efek sam ping dari tes diagnostik untuk mencari etiologi FUO
PROGNOSIS
• 19-34% pasien dengan FUO tidak pernah mengetahui diagnosisnya
• Pasien dengan FUO idiopatik mempunyai prognosis yang baik sebab pada sebagian
besar kasus, penyakit dapat sembuh dengan spontan.
UNITY ANG MENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Tropik dan lnfeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Hematologi-Onkologi Medik,
Divisi Reumatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. ErgonOI 0, Willke A. Azap A, et al. Revised definition of 'fever of unknown origin': limitations and
opportunities. J Infect. 2005;50(1):1-5.
2. Cunha BA. Fever of Unknown Origin. New York, NY: lnforma Healthcare; 2007.
3. Arnow PM, Flaherty JP. Fever of unknown origin. Lancet.1997;350:575-80.
4. http:/ /medical-mastermind-community.com/uploads/Fever-of-Unknown-Origin.pdf
FILARIASIS
PENGERTIAN
Filariasis adalah infeksi pada saluran limfe atau kelenjar limfe yang disebabkan
oleh cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, a tau B. timori, dengan klinis bervariasi
mulai dari infeksi subklinis, limfedema, sampai hidrokel, dan kaki gajah (elephantiasis).
Toksin yang dilepaskan oleh cacing dewasa menyebabkan limfangiektasia, apabila
cacing dewasa telah mati dapat mengakibatkan limfangitis filaria akut dan obstruksi
saluran limfe.u
PENDEKATAN DIAGNOSIS2
Filariasis dapat berlangsung selama beberapa tahun dengan gambaran klinis yang
berbeda-beda.
Infeksi filaria, dibagi 3 stadium:
1. Bentuk tanpa gejala j asimptomatik
• Pembesaran kelenjar limfe terutama daerah inguinal
• Dalam darah ditemukan banyak mikrofilaria, disertai eosinofilia.
2. Filariasis dengan peradangan (akut)
• Demam, menggigil (bila ada infeksi sekunder karena bakteri), sakit kepala,
muntah, lemah, mialgia, hematuria mikroskopik, proteinuria
• Saluran limfejkelenjar getah bening (KGB) yang terkena: aksila, inguinal,
tungkai, epitroklear, genitalia (funikulitis, epididimis, orkitis)
• Pembengkakan epididimis, jaringan retro peritoneal, kelenjar ari-ari, dan
iliopsoas
• Infeksi kulit, plak edematosa, disertai vesikel, ulkus steril (cairan
serosanguineus ), dan hiperpigmentasi.
• Lekositosis dengan eosinofilia
• Sindroma eosinofilia paru tropik (tropical pulmonary eosinophilia), kejadian
<1% dari seluruh kasus filariasis, ditandai dengan:
kadar eosinofil darah tepi yang sangat tinggi,
gejala mirip asma, mengi, batuk
penyakit paru restriktif (dan kadang obstruktif)
Panduan Praktik Klinis
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan parasitologi mikroskopik, ditemukan mikrofilaria dalam darah
(kapiler lebih baik daripada vena), cairan hidrokel, atau cairan tubuh lainnya.
Kesulitan penegakan diagnosis sering dialami, karena mikrofilaria menghilang
setelah cacing dewasa mati, dan cacing dewasa hid up yang ada di pembuluh limfe
atau KGB sulit dijangkau.
• Limfoskintigrafi dengan radionuklir pada sistem limfatik ekstremitas
• USG Dopier pada skrotum atau payudara, terlihat cacing dewasa aktif
• ELISA dan ICT untuk antigen W: bancrofti yang bersirkulasi (sensitivitas
96-100 o/o, spesifisitas hampir 100%)
• Polymerase chain reaction(PCR) untuk deteksi DNA W: Bancrofti
DIAGNOSIS BANDING 2
Pada episode akut: tromboflebitis, infeksi, keganasan, gaga! jantung kongestif,
trauma, abnormalitas sistem limfatik.
TATALAKSANA 1·2 ·3
• Umum: tirah baring, penggunaan stocking elastis untuk kompresi edema, antibiotik
bila ada infeksi sekunder atau abses.
• Spesifik:
• Pengobatan infeksi:
Dietilkarbamazin (DEC), 6 mgjkgBBjhari selama 12 hari, dapat diulangi
1- 6 bulan kemudian bila perlu, atau selama 2 hari per bulan (6- 8 mg/
kgBB/hari)
Ivermektin, 200 meg/ kgBB, efektifuntuk mikrofilaremia
Albendazol, 1 - 2 x 400 mg setiap hari selama 2 - 3 minggu
• Pengobatan penyakit:
Aspirasi dan operasi, untuk drainase cairan limfe
Psikoterapi
Fisioterapi
KOMPLIKASP
• Abses pelvis renalis sampai kerusakan ginjal
• Fibrosis interstisial paru kronik dan gaga! nafas
• Rejeksi sosial, disabilitas seksual, depresi
PROGNOSIS
Prognosis baik pada kasus yang terdeteksi dini dan sedang, sedangkan prognosis
lebih buruk pada kasus yang sudah Ian jut terutama dengan edema genitalia (skrotum)
dan tungkaijelephantiasis, dapat menyebabkan kecacatan permanen. 2• 4
REFERENSI
1. Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors. Infections caused by helminths. In: Davidson's
Principles and Practice of Medicine 21 '' ed. Churchill Livingstone-Eisevier: 2010. page 366-8.
2. Herdiman T Pohan. Filariasis. Dalam: Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia, 2011.
3. Filarial and Related Infections. ln:Longo DL. Kasper DL. Jameson DL. Fauci AS, Hauser SL. Loscalzo
J, editors. Harrison's Principals of Internal Medicine 181h ed. Me Grow Hill. Chapter 218
LEPTOSPIROSIS
PENGERTIAN
Adalah penyakit zoonotik yang disebabkan spirochaeta dari genus Leptospira. Dalam
tubuh hewan, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak
di dalam epitel tubulus ginjal dan secara terus-menerus ikut mengalir dalam filtrat urin.
Leptospira menginfeksi manusia melalui mukosa atau melalui abrasi kulit, memasuki
aliran darah dan berkembang. Masa inkubasi berkisar antara 2-26 hari, rata-rata 10 hari.
Leptospira dapat melewati rongga interstisial ginjal, menembus membran basal tubulus
proksimal ginjal dan sel tubuloepitel proksimal ginjal dan menempel pada brush border
tubulus proksimal ginjal, sehingga dapat diekskresikan ke urin.l-3
Penyakit Wei/'s merupakan bentuk berat leptospirosis yang ditandai oleh demam,
ikterus, gagal ginjal akut, syok refrakter dan perdarahan (terutama perdarahan paru). 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 1• 3
Riwayat paparanj kontak dengan urin serta air, tanah, atau makanan yang
terkontaminasi urin dari hewan yang terinfeksi (hewan ternak, babi, kuda, anjing,
kucing, hewan pengerat, atau hewan liar)
Riwayat pekerjaan risiko tinggi, mencakup tukang potong hewan, petani, peternak,
pekerja limbah, dan pekerja kehutanan
Demam yang muncul mendadak, bersifat bifasikyaitu demam remiten tinggi pada
fase awalleptospiremia (berlangsung antara 3-10 hari) kemudian demam turun
dan muncul kembali pada fase imun.
Sakit kepala, terutama di bagian frontal
Anoreksia
Nyeri otot
Mata merah/ fotofobia
Mual, muntah
Nyeri abdomen
Pemeriksaan Fisik 1• 3
Demam
Injeksi konjungtiva tanpa sekret purulen
Bradikardi
Eritema faring tanpa eksudat
Nyeri tekan otot, terutama pada betis dan daerah lumbal
Ronki pada auskultasi paru
Redup pada perkusi dada di atas area perdarahan paru
Ruam (dapat berupa makula, makulopapula, eritematosa, petekia, atau ekimosis)
Ikterus
Meningismus
Hipo- atau arefleksia, terutama pada tungkai.
Penyakit Wei/'s ditandai oleh ikterus, gagal ginjal akut, hipotensi dan perdarahan
(terutama perdarahan paru namun juga dapat mengenai saliran cerna,
retroperitonium, perikardium dan otak). Sindrom lainnya mencakup meningitis
aseptik, uveitis, kolesistitis, akut abdomen, dan pankreatitis. Hepar dapat
membesar dan nyeri. Splenomegali dapat terjadi pada sebagian kecil kasus.
Pemeriksaan Penunjang 1· 3
Leukositosis atau leukopenia disertai gambaran netrofilia dan laju endap darah
yang meninggi.
Anemia hemolitik
Trombositopeni
Urinalisis: proteinuria, leukosituria, sedimen abnormal (leukosit, eritrosit, cast
hialin dan granular)
Diagnosis definitif: pemeriksaan langsung urin atau darah dengan mikroskop
lapang gelap.
Microscopic Agglutination Test (MAT) atau Macroscopic Slide Agglutination Test
(MSAT)
Kultur ganda darah atau LCS pada 7-10 hari pertama, kultur urin mulai minggu
kedua.
Peningkatan kreatin kinase isoform nonkardiak, menunjukkan kerusakan otot
rangka
Penyakit Weil ditandai dengan peningkatan blood urea nitrogen dan kreatinin
serum, campuran hiperbilirubinemia terkonjugasi dan tak terkonjugasi, serta
peningkatan aminotransferase sampai kurang dari 5 kali batas atas normal.
DIAGNOSIS BANDING
Influenza, malaria, infeksi dengue, chikungunya, demam tifoid, hepatitis virus
TATALAKSANA
Nonfarmakologis 1•3
Tirah baring
Farmakologis
1. Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mengatasi dehidrasi, hipotensi,
perdarahan, gagal ginjaF· 3
2. Antibiotik:H
a. Leptospirosis ringan:
Doksisiklin oral 2 x 100 mg selama 7 hari
Amoksisilin oral4 x 500 mg selama 7 hari
Ampisilin oral4 x 500-750 mg selama 7 hari
Azitromisin oral 1 x 1 gram pada hari pertama, selanjutnya 1x 500 mg
pada hari kedua dan ketiga. 5
b. Leptospirosis sedang-berat:
Penisilin G intravena 1,5 juta unit/6 jam selama 7 hari
Seftriakson intravena 1 gram/24 jam selama 7 hari
Doksisiklin intravena 100 mg/12 jam selama 7 hari
Amoksisilin intravena 1 gram/6 jam selama 7 hari
Ampisilin intravena 1 gramj6 jam selama 7 hari
Sefotaksim intravena 1 gram/6 jam selama 7 hari
KOMPLIKASI
Gaga! ginjal, meningitis aseptik, pankreatitis, perdarahan masif, hepatitis,
miokarditis
PROGNOSIS
Usia lanjut, keterlibatan paru, peningkatan kadar kreatinin serum, oliguria,
dan trombositopeni terkait dengan prognosis yang buruk. Faktor independen yang
terkait dengan keparahan penyakit meliputi hipertensi kronik, alkoholisme kronik,
keterlambatan pemberian antibiotik, hasil pemeriksaan auskultasi dada yang abnormal,
ikterus, oligoanuria, gangguan kesadaran, peningkatan AST, hiperamilasemia, dan
' 916
Leptospirosis
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : DivisiGinjal-Hipertensi- DepartemenPenyakitDalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Zein U. Leptospirosis.Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaPublishing; 2009. Hal2807-12
2. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison's
principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012. Hal.
3. Levett PN, Haake DA. Leptospira species. Dalam: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, penyunting.
Mandell, douglas, and bennett's principles and practice of infectious diseases. Edisi VII.
Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2010.
4. Gilbert DN, et al. The sanford guide to antimicrobial therapy. Edisi ke-40. 2010
5. Phimda K, Hoontrakul S, Suttinont C, Chareonwat S, Losuwanaluk K, Chueasuwanchai S, et al.
Doxycycline versus azithromycin for treatment of leptospirosis and scrub typhus. Antimicrob
Agents Chemother 2007; 51 (9): 3259-63
6. Ko AI. Leptospirosis. Dalam: Goldman L, Schafer AL penyunting. Goldman's cecil medicine. Edisi
XXIV. Philadelphia: Elsevier. 2012.
7. Herrmann-Storck C, Louis MS, Foucand T, Lamaury L Deloumeaux J, Baranton G, et al. Severe
leptospirosisin hospitalized patients, guadeloupe. Emerging Infectious Diseases 201 0; 16 (2) :331-4
8. · Dassanayake DLB, Wimalaratna H, Nandadewa D, Nugaliyadda A. Ratnatunga CN, Agampodi
SB. Predictors of the development of myocarditis or acute renal failure in patients with leptospirosis:
an observational study. BMC Infectious Diseases 2012; 12:4
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS
(HIV)/ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY
SYNDROME (AIDS)
PENGERTIAN
Infeksi HIV adalah suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan
tubuh ( dari infeksi primer, dengan a tau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik,
hingga stadium lanjut) yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus.l,2
PENDEKATAN DIAGNOSIS 1· 4
Anamnesis
• Kemungkinan sumber infeksi HIV
• Gejala dan keluhan pasien saat ini
• Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk
infeksi oportunistik
• Riwayat penyakit da:n pengob-atan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan
kontak dengan TB sebelumnya
• Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
• Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
• Riwayat penggunaan terapi anti retroviral (Anti Retroviral Therapy (ART))
termasuk riwayat rejimen untuk PMTCT (prevention ofmother to child transmission)
sebelumnya
• Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
• Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
• Kebiasaan merokok
• Riwayat Alergi
• Riwayat vaksinasi
• Riwayat penggunaan NAPZA suntik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan, tanda-tanda yang
mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang
terdapat pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari
faktor risiko penularan HIV dan AIDS seperti needle track pada pengguna NAPZA
suntik, dan tanda-tanda IMS.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah untuk Skrining HIV
• Anti HIV rapid
Pemeriksaan Darah untuk Diagnosis HIV
• Anti-HIV ELISA 3 X
• Anti-HIV Western Blot 1 X
Pemeriksaan Darah lainnya
• DPL dengan DiffCount.
• Total Limfosit Count (TLC) atau hi tung limfosit total: % limfosit x jumlah Leukosit
(dengan catatan jumlah leukosit dalam batas normal)
• Prediksi Hi tung CD4+ Berdasarkan Hi tung Limfosit Total
Persamaan di atas dapat membantu dokter untuk mengestimasi hi tung CD4+ pad a
penderita infeksi HIV dimana sudah diketahui ada infeksi oportunistik seperti
infeksi CMV atau tuberculosis.
• Hitung CD4
• Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR
Pemeriksaan HIV dipertimbangkan pada keadaan dibawah ini :
• Infeksi menular secara seksual (IMS)
• Pasangan atau anak:
diketahui positif HIV
mengidap HIV a tau penyakit yang terkait dengan HIV
• Kematian pasangan muda yang tidak jelas penyebabnya
• Pengguna NAPZA suntikan
• Pekerjaan yang berisiko tinggi
• Aktif secara seksual dan mempunyai banyak mitra seksual.
Berikut merupakan strategi penyaring tes HIV menurut WHO dan UNAIDS (tabel1).
label 1. Strategi Penyaring Tes HIV menurut WHO dan UNAIDS Berdasarkan Tujuan Pemeriksaan
dan Prevalens lnfeksi pada Populasi SampeP
TuJi/anPer'rleiiks~ari. ' ~r&va!~~~~rnt~~J . S,fi:C!tegi,~.eri*'~~an:~
Keamanan transfusi/ Semua Prevalensi I
tranplantasi
?.10%
Surveilans
..:;10%
Diagnosis Terdapat gejala klinis >30%
infeksi HIV
..:;30%
Tanpa gejala klinik >10%
infeksi HIV Ill
<10%
Stadium WH0 2
• Stadium 1: asimtomatik, limfadenopati generalisata
• Stadium 2
Berat badan turun <10%
Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur
kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Infeksi saluran napas atas rekuren
• Stadium 3
Berat badan turun >10%
Diare yang tidak diketahui penyebab, >1 bulan
Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan), >1 bulan
Kandidiasis oral
t Oral hairy leucoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri be rat (pneumonia, piomiositis)
• Stadium 4
HIV wasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis carinii
Toksoplasma serebral
Kriptosporidiosis dengan diare >1 bulan
Sitomegalovirus pacta organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
(misalnya retinitis CMV)
Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau viseral
Progressive multifocalleucoencephalopathy
Mikosis endemic diseminata
Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus
Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
Septikemia salmonela non-tifosa
Tuberkulosis ekstrapulmonar
Limfoma
Sarkoma kaposi
Ensefalopati HIV
DIAGNOSIS BANDING1.2
Penyakit imunodefisiensi primer
TATALAKSANA 1•4
• Konseling
• Suportif
• Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik ( dapat dilihat
pada bab Infeksi Oportunistik)
- -- - -- - -
Lint pertama
1. Zidovudin (ZDV) Tablet: Semua umur < 4 minggu: 4 mg/kg/
300mg dosis, 2x/hari (untuk
pencegahan)
4 minggu sampai 13 tahun: 180-
.240 mg/m2/dosis, 2x/hari
Dosis maksimal:
. --~-~~---- .....:~-----~---------------------~:l3.tahun:.300 mg/dosis,2x/hari .
2. Lamivudin (3TC) Tablet: Semua umur < 30 hari: 2 mg/kg/dosis,
150 mg ·2x/han (dosis pellC:egahan)
~ 30 hari atau < 60 kg:
4 mg/kg/dosis, 2x/hari
Dosis maksimal:
> 60 kg: 150 mg/dosis,
2x/hari
3. Kombinasi tetap Tablet: 300 mg Remajadan Dosis maksimal:
ZDV+3TC ZDV plus 150 Dewasa > 13 tahun atau > 60 kg:
mg3TC 1 tablet/dosis, 2x/hari
(tidak untuk berat badan
<30 kg)
4. Nevirapin (NVP) Tablet: 200 mg Semua umur < 8 tahun: 200 mg/m 2 , dua
minggu pertama sekali sehari.
Selanjutnya dua kali sehari.
> 8 tahun: 120-150 mg/m 2, dua
minggu pertama sekali sehari.
Selanjutnya dua kali sehari.
5. Efavirenz (EFY) 600mg Hanya untuk 10-15 kg: 200 mg sekali sehari
anak > 3 tahun 15- < 20 kg: 250 mg
dan berat > sekali sehari
10kg 20- < 25 kg: 300 mg
sekali sehari
25- < 33 kg: 350 mg sekali sehari
33- < 40 kg: 400 mg
sekali sehari
Dosis maksimal:
<:: 40 kg: 600 mg sekali sehari
6. Stavudin (d4T) Tablet: 30 mg Semua umur < 30 kg: 1 mg/kg/dosis,
2x/hari
30kg atau lebih: 30 mg/dosis,
2x/hari
7. Abacavir (ABC) Tablet: 300 mg Umur > 3 bulan < 16 tahun atau < 37.5 kg: 8
mg/kg/dosis, 2x/hari
Dosis maksimal:
> 16 tahun atau <:: 37.5 kg:
-------- _ __ ___ 300 mgj_cj()sis,_2xj_h<:J_ri,______
8. Tenofovir disoproxil Tablet: 300 mg Diberikan setiap 24 jam
fumarat {TDF) lnteraksi obat dengan
didanosine (ddl), tidak lagi
dipadukan dengan ddl
9. Tenofovir+ Emtricitabin Tablet 200 mg/ 300
mg
LiniKedua
1. Lopinavir /ritonavir Tablet tahan suhu <::6 bulan 400 mg/ 100 mg setiap 12 jam-
(LPV/r) panas, 200mg untuk pasien naif baik dengan
lopinavir + 50 mg atau tanpa kombinasi EFV
ritonavir atau NYP
600 mg/150 mg setiap 12 jam
bila dikombinasi dengan EFY
atau NVP-untuk pasien yang
pernah mer1aapallerapi.ARV
2 minggu-6 bulan: 16 mg/4 mg
/kgBB 2x/hari
6 bulan-18 tahun :. 10 mg/kgBB/
dose lopinavir
2. TDF Tablet : 300 mg Diberikan setiap 24 jam
lnteraksi obat dengan ddl, tidak
lagi dipadukan denganoal-
. .
922
~~"we~·j;{g~~A~~~S:ll~~~~Jt~1~;~~~·u<
Tabel 3. Rekomendasi Rejimen Lini Pertama pada Target Populasi yang belum pernah Terapi ARV 1-5
· lqrg~f.~oP.!,Ila$i ' .:; -:Rf:t.koin~b~g~l,_,._ .- ·--·· _-: . ,).}(~1\ __ "•lik>•- 'Q<;dgtcini; <:>:,_ :;,_l,· _•;:. i7:;.•..•./ :
Dewasa dan ZDV atau TDF + 3TC atau Pilih rejimen yang sesuai untuk mayoritas ODHA
Remaja FTC + EFV atau NVP Gunakan FDC
Perempuan ZDV + 3TC + EFV atau Tidak boleh menggunakan EFV pada trimester
Hamil NVP pertama
TDF bisa merupakan pilihan
Pada perempuan HIV yang pernah menjalani
rejimen PMTCT, lihat rekomendasi di bagian lain
(Tabel4)
Koinfeksi HIV /TB ZDV atau TDF + 3TC atau Mulailah terapi ARV secepat mungkin (dol am 8
FTC + EFV minggu pertama) setelah memulai terapi TB
Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan
Koinfeksi HIVI TDF + 3TC atau FTC + EFV Pertimbangkan screening HBsAg sebelum
HBV atau NVP memulai terapi ARV
Diperlukan penggunaan 2 terapi ARV yang
memiliki aktivitas anti-HBV
Pada ODHA yang mengalami resistensi pada lini pertama maka kombinasi obat yang
digunakan adalah :
(TDF atau ZDV) + 3TC atau FTC+(LPV /RTV)
Tabel 4. Rekomendasi Pemeriksaan Laboratorium untuk Memonitor Pasien dalam Terapi ArV
(Modifikasi Depkes} 3
R =rekomendasi; RT= rekomendasi pada orang tertentu; D =dipertimbangkan pada orang tertentu
924
Tabel 6. Jadwal Vaksin pada Pasien HIV Dewasa 6
Keterangan:
1 Rejimen PPP perlu disesuaikan dengan menggunakan obat yang tidak resisten terhadap sumber pajanan
{bila diketahui)
2 Efavirenz lebih baik dari pada NVP tapi tidak dianjurkan untuk perempuan hamil. Telah dilaporkan 2 kematian
dari petugas kesehatan dengan toksisitas hali yang terkait dengan PPP yang mengandun_g NVP, oleh karena
itu tidciK dianjurkan
Efek Samping 2 · 4
Efek sam ping yang paling sering terjadi pada pemberian ARV adalah mual dan rasa
tidak enak. Pengaruh yang lainnya kemungkinan sakit kepala, Ielah, mual dan diare.
Efek sam ping lain yang berat pada pemberian ARV adalah seperti di bawah ini
• NVP: pernah dilaporkan hepatotoksisitas berat pada PPP (NVP tidak dianjurkan
untuk rejimen kombinasi pada PPP)
• ddl: pankreatitis yang fatal
• IDV /NFV: diare, hiperglikemia, lipodistrofi
I dariwanita
Status HIV I
+
Sudah didiagnosis HIV
~
Tes HIV (+)
-.
Tes HIV (-)
I I r I
sebelumnya dan sudah
mendapatkan terapi
ZDV+3TC+NVP atau
TDF+3TC+EFC atau TDF+3TC
(atau FTC)+EFV
I
Lanjutkan terapi ARV
l
Gambar 1. Algoritma Tatalaksana HIV Pada Wanita Hamil
928
.. ~ " -
KOMPLIKASI
Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV, dan manifestasi HIV pacta organ lain.H
PROGNOSIS
Pemberian terapi ARV kepada orang dengan HIV j AIDS (ODHA) dapat menurunkan
penyebaran virus Human Immunodefficiency Virus (HIV) hingga 92%. 1"4
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Hematologi- Departemen Penyakit
Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus: AIDS and related disorders. In: Fauci A,
Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw-
Hill; 2009: 1138-1204
2. HIV. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Jakarta: lnterna Publishing; 2009.p. 2130-32.
3. Departemen Kesehatan Rl. Tata Laksana HIV/AIDS. 2012
4. World Health Organization. Antiretroviral therapy for hiv infection in adults and adolescent. 2010
revision. [Update 2010; cited 2011 Mar 11] Available from http://www.who.int
5. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infections in Infants:
Guidelines on care, treatment and support for women living with HIVI AIDS and their children in
resource-constrained settings. World Health Organization. Switzerland. 2004
6. Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Adult Immunization Schedule. United
States. 2012. Diunduh dari http:/ /www.cdc.gov/vaccines/recs/schedules/downloads/adult/
adult-schedule.pdf pada tanggal2 Mei 2012.
INFEKSI JAMUR
PENGERTIAN
Mayoritas jamur tidak patogenik bagi orang yang imunokompeten, namun
beberapa jamur dapat menginfeksi orang sehat, diantaranya dermatofita (trikofiton,
epidermofiton, dan mikrosporum), histoplasma, blastomyces, cryptococcus,
Coccidioides, dan paracoccidioides. 1
Pada individu dengan imunokompromis berisiko terkena infeksi oportunistik
oleh jamur seperti kandida, aspergillus, fusarium atau mukor. Mereka yang terkena
diantaranya adalah infeksi HIV, terapi imunosupresan, kemoterapi kanker, pasien
netropenik, pasien dengan diabetes melitus yang tidak terkontrol. Pada keadaan
tertentu, jamur dapat menginfeksi hampir semua organ a tau dapat terjadi diseminasi
dan menyebabkan sepsis fungal.
KANDIDIASIS
DefinisP
Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme dari genus Candida,
yang paling sering Candida albicans. Infeksi kandida pada penderita imunokompromais
dapat dilihat pada bab Infeksi Oportunistik.
Faktor Risiko
Faktor risiko untuk infeksi kandida adalah netropenia, imunosupresi, antibiotik
spektrum luas, terpasang infus, pengguna jarum suntik, operasi abdomen, OM, gagal ginjal
Manifestasi Klinis
Tergantung dari lokasi terkenanya, kandidiosis memiliki manifestasi klinis :
• Mukokutan: kutan (merah, lesi maserasi, zona intertriginosa)
• Candidiuria : kolonisasi karena antibiotik spektrum luas dan atau indwelling
catheter
• Candidemia: (nosocomial bloodstream infection)
Panduan PraktikKiinis
remimpunan oOkter SpesialiS PenY.akit DaiCm lndo'nesia
-·
Diagnosis4
Untuk menegakkan diagnosis candidiasis dengan menemukan pseudohifa atau
hifa spesies candida pada kultur spesimen.
Sebelum menunggu hasil kultur, kondisi pasien dapat kita nilai dengan
menggunakan scoring kandida untuk menentukan apakah ia memiliki kecenderungan
menderita infeksi jamur. Skoring kandida secara lengkap dibahas pada appendiks.
Tatalaksana 2 ·3
Terapi empirik
Terapl empirik
Prognosis
Pada pasien sehat dengan kandidiosis superfisial, terapi yang tepat dapat
sembuh sempurna tanpa meninggalkan kerusakan permanen. Candidiasis tidak akan
kambuh bila pasien tetap sehat dan asupannya baik. Pacta pasien immunokompromis,
kandidiosis lebih persisten dan lebih resisten terhadap terapi.
ASPERGILLOSIS
DefinisP
Aspergilosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Aspergillus.
Manifestasi Klinis
Beberapa bentuk aspergillosis
• Aspergilloma: biasanya didahului adanya kavitas (dari TB); kebanyakan
asimptomatik tapi dapat menyebabkan hemoptisis
• Necrotizing tracheitis: pseudomembran nekrotik putih pada pasien dengan AIDS
transplan paru
• Necrotizing kronik: pada pasien dengan PPOK; imunosupresi ringan
• Diseminatajinvasif : pada pasien dengan imunosupresi (neutropenia, post
transplant, steroid, AIDS dengan steroid atau neutropenia)
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Laboratorium: Kultur, pemeriksaan antibodi, deteksi antigen (histo urinjserum
Ag, 1,3-~-D-glucan, Galactomannan, Crypto Ag), pemeriksaan histopatologik.
TATALAKSANA4
Nonfarmakologis
Lepaskan akses intravaskular, menjaga higienitas
Farmakologis
Fungus ball biasanya tidak diterapi dengan antijamur kecuali ada perdarahan pada
jaringan paru-paru. Pada kasus tersebut, diperlukan tindakan operasi. Aspergillosis
invasiv aiterapi dengan antijamur voricunazole oral a tau intravena; Dapat juga
menggunakan Amphotherisin B, Ekinokandin, atau ltraconazole. Endokarditis yang
disebabkan Aspergillus diterapi dengan tindakan operasi mengambil katup jantung
yang terinfeksi serta terapi antijamur dalam jangka panjang.
PROGNOSIS
Invasif aspergilosis sulit membaik dengan terapi farmakologis, dapat menyebabkan
kematian.
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi - Departemen PenyakifDalam
• RS non pendidikan
lnfeksi Jamur,.
REFERENSI
1. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam.
Jakarta: lnterna Publishing; 2009.p. 2130-32.
2. Charlier C. HartE, Lefort A eta/. Fluconazole for the management of invasive candidiasis: where
do we stand after 15 years?. J Antimicrob Chemother. Mar 2006;57{3):384-410. [Medline].
3. Kuse ER, Chetchotisakd P, do Cunha CA. eta/. Micafungin versus liposomal amphotericin B for
candidaemia and invasive candidosis: a phase Ill randomised double-blind trial. Lancet. May 5
2007:369(9572): 1519-27. [Medline].
4. Fa unci et all. Harrison 'sPrincipal of Internal Medicine 181h Edition.
INFEKSI OPORTUNISTIK PADA AIDS
PENGERTIAN 1
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan
tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba yang berasal dari luar tubuh, maupun
yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali
oleh kekebalan tubuh. Infeksi oportunistik pada ODHA dihubungkan dengan tingkat
kekebalan tubuhnya (kadar CD4).
Berikut akan dibahas infeksi oportunistik yang sering terjadi pada ODHA di
Indonesia.
lUBER-KULOSlS
Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis: demam diurnal, keringat malam, batuk kronik lebih dari 3 minggu,
hemoptisis, penurunan berat badan, penurunan napsu makan, rasa letih, dan
nyeri dada pleuritik.
• Pemeriksaan fisik: febris, kakeksia, takipnea, suara napas bronkial, amorfik, suara
napas melemah, ronki basah yang terdengar jelas saat inspirasi.
• Pemeriksaan penunjang: sputum BTAyang positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS
pada waktu yang bersamaan, foto rontgen toraks (infiltrat, pembesaran KGB hilus/
paratrakeal, roilier, kavitasi, efusi pleura), laju endap darah meningkat, kultur
Mycobacterium tuberculosis yang positif, tes Mantoux positif, tes IGRA positif.
Diagnosis Banding
Pneumonia, tumor /keganasan paru, bronkiektasis, abses paru.
Tatalaksana
• Obat antituberkulosis (OAT) yang diberikan pada pasien ODHA tidak berbeda
pada pasien biasa.
• Semua pasien ODHA harus menerima terapi antiretroviral (ARV). OAT diberikan
lebih dahulu, disusul pemberian ARV sesegera mungkin selambat-lambatnya 8
minggu setelah dimulainya OAT.
• ARVyang dianjurkan adalah zidovudin atau tenofovir disoproksil fumarat (NRTI/
Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor) dikombinasikan dengan lamivudin a tau
emtrisitabin. Untuk NNRTI/ Non-Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor, WHO
merekomendasikan efavirenz atau nevirapin.
• Anamnesis: demam, penurunan berat badan, keringat malam, rasa letih, diare.
• Pemeriksaanfisik: limfadenopati, hepatosplenomegali, anemia.
• Pemeriksaan penunjang: gangguan fungsi hati, peningkatan alkali fosfatase serum,
leukopenia, anemia, kultur darah a tau cairan lain yang steril, pemeriksaan sputum
yang menunjukkan MAC positif sebanyak 2 kali, biopsi sumsung tulang atau hati.
Diagnosis Banding
Tuberkulosis
Tatalaksana
Diagnosis Banding
• Kandidiasis orofaring: lik-en planus, karsinoma sel skuamosa, leukoplakia,
aspergilosis invasif, mukormikosis, blastomikosis, histoplasmosis.
• Kandidiasis esofagus: esofagitis radiasi, GERD, infeksi CMV, esofagitis herpes
simpleks.
t • Kandidiasis vulvovagina: trikomoniasis, vaginosis bakterialis.
• Kandidiasis kulit: eritroderma, infeksi jamur lainnya.
Tatalaksana
• Kandidiasis orofaring:
Terapi pilihan:
Nistatin drop 4- Sx kumur 500.000 U lringga lesi hilang (10- 14hari)
Flukonazol oral1x100 mg selama 10- 14hari
Terapi alternatif:
Itrakonazol suspensi 200mgjhari saat perut kosong
Amfoterisin B iv 0,3mgjkgBB
• Kandidiasis esofagus:
Terapi pilihan:
Flukonazol oral 200mgjhari hingga 800 mgjhari selama 14- 21 hari
ltrakonazol suspensi 200mgjhari selama 14- 21 hari
Terapi alternatif: Amfoterisin B iv 0,3 mgjkgBB
• Kandidiasis vulvovagina:
Terapi pilihan:
Klotrimazol krim 1% Smgjhari selama 3 hari atau tablet vagin
Mikonazolkrim2%Smgjhari selama7hari Tiokonazolkrim0,8%5mgjhari
selama 3 hari
Terapi alternatif:
Flukonazol oral 1x150 mg tunggal
ltrakonazol oral 1 - 2x 200 mg selama 3 hari
Ketokonazol oral 1x200 mg selama5-7hariatau2x200mg selama 3 hari
• Kandidiasis kulit:
Krim atau losio klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketokonazol, sulkonazol,
oksikonazol.
Pendekatan Diagnosis:
• Anamnesis
Meningitis kriptokokus: gejala prodromal 2 - 4 minggu, mual, muntah,
gangguan kesadaran dan perilaku, sakit kepala.
Kriptokokosis paru: Demam, batuk dengan sputum tidak terlalu produktif.
• Pemeriksaan Fisik
Meningitis kriptokokus: kaku kuduk, edema papil, parese.
Pada infeksi C.neoformans juga dapat ditemukan lesi kulit yaitu kelainan serupa
akne, papul, vesikel, nodul, tumor, abses, ulkus dan granuloma.
kriptokokosis Jugidapat terjadipada mata dan menirribtilkan konjungtivitis,
korioretinitis, endoftalmitis, kebutaan.
• Pemeriksaan penunjang
CT scan /MRI otak: hidrosefalus, edema difus, atrofi, penyangatan meningen
dan pleksus koroideus.
Isolasi jamur (pewarnaan tinta India) dari darah, cairan serebrospinal, urin,
cairan pleura, sputum, bilasan bronkus, lesi kulit.
Histopatologi.
Serologi antigen C.n,eoformans.
Diagnosis Banding
Tuberkulosis, tuberkuloma,sifilis sistem saraf pusat
Tatalaksana
• Meningitis kriptokokus
Menurunkan tekanan intrakranial/ TIK hingga <200mmHg dengan: punksi
lumbal (bila TIK >250 mmHg), pemasangan drain lumbal (bila TIK > 400
mmHg), VP shunt (bila kedua terapi di atas gagal).
Antijamur pilihan pertama:
Induksi: amfoterisin 8 iv 0, 7 - 1mgjkg88jhari dan 5-fluorositosin oral
100 mgj kg88/hari selama 2 minggu.
Konsolidasi:flukonazol oral400 mgjhari selama 8 minggu atau hingga cairan
serebrospinal steril.
Pilihan kedua:
Induksi: amfoterisin 8 iv 0,7- 1mgjkg88jhari selama 2 minggu.
Konsolidasi:flukonazol oral400 mgjhari selama 10 minggu atau hingga cairan
serebrospinal steril.
Pilihan ketiga:
Flukonazol oral 400- 800mg/ hari dan fluorositosin oral100 mgjkg88/hari
selama 6- 10 minggu
't • Kriptokokosis paru, kriptokokosis diseminata dan antigenemia:
Flukonazol 200- 400mgjhari secara oral hingga nilai CD4 >200selfllL.
.lnfe:~si ··Op,ont.l:Jr1istH~'.p\jiLJ~>·~•
> ·' .' • ', ,- ··,. ·.<. · .·, ·· c ·' • . · • • ,; , • ''' Y. ·: r"~-
Diagnosis Banding
• Ensefalitis toksoplasma: limfoma sistem saraf pusat, tuberkuloma, progressive
multifocalleucoencephalopathy.
• Korioretinitis toksoplasma: korioretinitisTB, sifilis, lepra, histoplasmosis.
Tatalaksana
• Pilihan pertama
Fase akut: pirimetamin oral 200mg hari pertama, selanjutnya SO- 7S mgjhari +
leukovorin oral 10- 20 mgf hari + sulfadiazin Ol"al 1000- lSOOmgjhari.
Rumatan: pirimetamin oral 2S- SO mgjhari + leukovorin oral 10- 20 mgjhari
+sulfadiazine oral SOO- 1000mgjhari.
• Pilihan kedua
Fase akut: pirimetamin+leukovorin+klindamisin oral atauiv4x600mg
Rumatan: pirimetamin+leukovorin( do sis rumatan )+ klindamisinoral4x300-450mg
• Pilihan ketiga:
Fase akut: pirimetamin + leukovorin + salah satu: atovaquone oral 2x1500 mg,
azitromisin oral1x900- 1200mg,klaritromisinoral2x500 mg, dapson oral1x100
mg, minosiklinoral2x150-200mg.
Fase rumatan: pirimetamin + leukovorin (dosis rumatan) + salah satu antibiotik
tersebut dosis sama.
• Di Indonesia tidak terdapat sulfadiazin dan pirimetamin tunggal karena itu dapat
digunakan fansidar (pirimetamin 25mg dan sulfadoksin SOOmg) dengan dosis
pirimetamin seperti di atas.
PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA
Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis: demam tidak tinggi, batuk kering,nyeri dada retrosternal (tajam a tau
seperti terbakar)yang memburuk saat inspirasi, sesak napas subakut (2 minggu
atau lebih).
• Pemei'iksaanfisik: takipnea, takiK:ardi,- siahOsis akraC sentral; d-an. m.embrcm
mukosa. Tidak ditemukan ronki pada auskultasi paru.
• Pemeriksaan penunjang:
Roentgen dada: infiltrat interstitial bilateral di daerah perihiler yang kemudian
menjadi lebih homogen dan difus sesuai dengan perjalanan penyakit.
Kadang ditemui nodul soliter atau multipel, infiltrat di lobus bawah, abses,
pneumatokel, pneumotoraks .
CTscan: gambaran "ground glass" a tau lesi kistik. Peningkatan LDH (umumnya
• :2: 220 IU /L ).
Peningkatan gradient oksigen alveolar-arterial (AaDO ), pO <70 mmHg pada
analisis gas darah.
Peningkatan LED >50 mmjjam
Leukositosis ringan
Serum (1-3) beta-D-glukan positif
Pemeriksaan mikroskopik sputum, lavase bronkoalveolar atau jaringan paru
menunjukkan adanya kista Pneumocystis jiroveci
Diagnosis Banding
Pneumonia bakterialis, pneumonitis interstitial nonspesifik
Tatalaksana
• Derajat sedang- berat (sesak napas saat istirahatjPaO <70mmHg dalam udara
kamar atau AaD02 >35mmHg):
Rawat inap, oksigen, ventilator bila perlu.
Kotrimoksazol iv atau trimetoprim oral 15 - 20 mgjkgBB/hari dan 75 - 100
mgjkgBB/hari sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21 hari.
Prednison oral2x40 mg 5 hari pertama, 1x40 mg 5 hari berikutnya dilanjurkan
20mgj hari hingga terapi selesai atau metilprednisolon iv dosis 75% dosis
prednison atau hidrokortison iv dosis awal4x100mg.
Alternatif: primakuin 30mgjhari + klindamisin 3x600 mg atau pentamidin
4mgjkgBB/hari.
• Derajat ringan- sedang (sesak napas pacta latihan, PaO >70 mmHg dalam udara
kamar, AaDO >35mmHg):
Trimetoprim oral 15 - 20 mgj kgBB/hari dan 75 - 100 mg/ kgBB/hari
sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21 hari.
Alternatif: primakuin pral 30mg/ hari+klindamisin3x600mgjhari atau
atovaquone 2x750 mg selama 21 hari.
• Rep oris pengobafari dapaf dilihat setelah nad ke~5 sampai ke-7.
CYTOMEGALOVIRUS (CMV)
Pendekatan Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang:
• Korioretinitis:
Gangguan penglihatan unilateraL penglihatan floater, fotopsia, skotoma,
gangguan lapang pandang unilateral.
Funduskopi: perdarahan retina brush-fire, catchup-sauce appearance,
pigmentasi granuler atau eksudat kekuningan seperti pizza pie appearance,
cotton-wool spot pacta daerah perifer atau fundus.
Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
• CMV saluran cerna:
Diare, sariawan, nyeri epigastrium, ulkus pacta sfinkter esofagus, ulkus rectum,
perforasi ileum.
Biopsi mukosa saluran cerna: tanda inflamasi dan CMV inclusion body.
Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
• Pneumonitis CMV:
Sesak napas yang memburuk perlahan, sesak saat aktivitas, batuk non-
produktif, ronki minimal.
Roentgen dada: infiltrat difus interstitialis seperti PCP.
Biopsi parujmakrofag dari bilasan bronkoalveoler: CMV inclusion body
intraselular.
Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
• Ventrikuloensefalitis CMV:
Letargi, gangguan mental, delirium, demam, sulit konsentrasi, sakit kepala,
somnolen, gangguan saraf kranial.
Pemeriksaan cairan serebrospinal: ditemukan antigen atau DNA CMV dan
kultur.
Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
Tatalaksana
• Mata
Gansikloviriv2x5mgjkgBBjhari dalam infus 1 jam selama 2 - 3 minggu,
· dilanjutkari. dengari dosis rumatan iv SmgjkgBBfhari sekali :sehari.
Valgansiklovir oral2x900 mg selama 21 hari dilanjutkan dosis rumatan 1x900mg.
Foscarnet iv 2x60 mgfkgBB atau 2x90 mg/kgBB selama 2 - 3 minggu
dilanjutkan dosis rumataniv2x90-120mgjkgBB.
Pada ancaman gangguan penglihatan berat dan pemulihan sistem imun
sulit diharapkan, dipasang implant gansiklovir intraokuler per 6-8 bulan
dikombinasi dengan valgansikloviroral1x900mg.
• Saluran cerna
Gansiklovir iv 2x5 mgjkgBB selama 2 - 3 minggu.
Valgansiklovir2x900mgselama 2 -3 minggu.
Foscarnetiv3x60mgjkgBBatau 2x90 mg/kgBB selama 2 - 3 minggu.
Tidak diperlukan terapi rumatan kecuali relaps selama atau setelah terapi
• Paru
Gansiklovir iv 2x5 mgjkgBB selama >21 hari.
Valgansik.lovir2x900mgselama 21 hari.
Foscarnetiv3x60mgjkgBBatau 2x90mg/kgBBselama>21hari.
• Sistem saraf
Gansiklovir iv 2x5 mgjkgBB kombinasi dengan foscarnet iv 3x60 mg/kgBB
atau 2x90 mgj kgBB selama 3 - 6 minggu, dilanjutkan dengan dosis rumatan
seperti pada mata.
Gansiklovir iv 2x5 mgjkgBB selama3-6minggudilanjutkan dengan rumatan
gansiklovir iv atau valgansiklovir seperti dosis pada mata.
Diagnosis banding
Diare karena parasit lain, amebiasis, infeksi Campylobacter, colitis CMV,
gastroenteritis virus, gastroenteritis bakteri, giardiasis. -
Tatalaksana
• Cryptosporidia sp.:Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi Cryptosporidia sp. lnfeksi
ini akan mengalami resolusi dengan sendirinya apabila kadar CD4>100selj~L.
Alternatif: paramomisin 500 mg peroral3xsehariselama14hari.
• Microsporidia:
Albendazol 400 mg 2x sehari selama 14 hari. Untuk infeksi diseminata,
albendazol dapat dikombinasikan dengan itrakonazol 200 - 400mgjhari.
lnfeksi okular dapatmendapatterapi tambahan fumagilin bisiloheksilammonium
topikal
• Isospora belli:
Kotrimoksazol160mg TMP/800mg SMX oral atau iv 2- 4x sehari selama 10
hari, dapat diperpanjang hingga 3- 4 minggu hila gejala menetap.
Alternatif: pirimetamin 50 - 75 mgjhari ( +asam folat 5 - 10 mgj hari) atau
siprofloksasin 500mgoral2x sehari selama7harL
Terapi rumatan: kotrimoksazol 320mgTMP /1.600 SMX 1x sehari atau 3x
seminggu hila CD4 < 200selNL atau pirimetamin 25 mgjhari.
KOMPLIKASI
Kematian, komplikasi sesuai organ yang terlibat, komplikasi akibat pengobatan
PROGNOSIS
Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati, namun jika kekebalan tubuh
tetap rendah, infeksi oportunistik dapat kambuh kembali atau juga timbul infeksi
oportunistik yang lain.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Yunihastuti E. Djauzi S, Djoerban Z, editors. lnfeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta; Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.
2. Nasronudin. lnfeksi jamur. In: Sudoyo A. Setiyohadi B. Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit
Dalam FKUI. 2009:2871-80
3. Pohan HT.. Toksoplasmosis. In: Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th edition. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bag ian llmu
Penyakit Dalam FKUI. 2009:2881 -8
4. FauciAS,LaneHC.Humanimmunodeficiencyvirusdisease:AIDSandrelateddisorders.ln:FauciA.
Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of
internalmedicine.18thed.UnitedStatesofAmerica;TheMcGraw-HiiiCompanies,2012:1506-87
5. World Health Organization. Treatment of tuberculosis guidelines. 4th edition. 2010:65- 74
6. Kaplan JE, Benson C, Holmes KH. Brooks JT, Pau A. Masur H. Guidelines for prevention and
treatment of opportunistic infections in HIV-infected adults and adolescents: recommendations
t from CDC, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine Association of the Infectious
Diseases Society of America. MMWR Recomm Rep. 2009;58(RR-4):1-207.
7. Limper AH, KnoxKS,SarosiGA.AmpeiNM, Bennett JE, Cat a nzaroA.AnofficiaiAmericanthoracic society
statement: treatment of fungal infections in adult pulmonary and critical care patients. Am J
Respir Crit Care Med.2011; 183:96- 128
I
INFEKSI PADA KEHAMILAN
PENGERTIAN
Infeksi telah lama diketahui sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas
ibu dan janin di seluruh dunia, dan infeksi ini masih menjadi masalah di abad 21.
Faktor-faktor seperti status serologis maternal, waktu terjadinya infeksi saat hamil,
cara penularan, dan status imunologis mempengaruhi manifestasi penyakitnya. 1 Infeksi
akut selama kehamilan yang sering seperti infeksi kulit atau infeksi saluran nafas,
biasanya bukan merupakan masalah yang serius, namun pada beberapa kasus dapat
mempengaruhi persalinan ataupun pemilihan cara persalinan, dan meningkatkan
resiko kejadian abortus, ketuban pecah dini, kelahiran prematur, dan stillbirth. 2 -4
PENDEKATAN
Berikut merupakan beberapa infeksi yang sering ditemukan selama kehamilan
(tabell).
YES
INFEKSI PENCEG,AHAN I<,OMPLIKA,SI
LABORATORIUM
(bila riwayat cacar
air dan seronegatif
VZV) dalam kurun
waktu 96jam
paska paparan.
Herpes Klinis, sitologis, Kontrasepsi bonier Asiklovir atau lnfeksi neonatorum,
simplex isolasi virus, PCR, (kondom), hindari valasiklovir. infeksi berat pada
serologis kontak dengan pertimbangan ibu
penderita sectio caesarea
(SC). Neonatus
yang terinfeksi
diberikan asiklovir.
Hepatitis B Lihot pembohoson podo bob Hepatitis Virus Akut
HIV Lihot pembahoson pada bob HIV
Parvovirus B19 PCR, Serologis Simptomatik Anemia fetus,
antibodi lgG dan abortus spontan,
lgM hydrops fetalis
Campak Klinis, PCR, Vaksinasi tidak Simptomatik Abortus,
(Rubeola/ serologis dianjurkan pada prematuritas, berat
Measles) wanita hamil bad an lahir rendah
(BBLR)
Sifllis
Neisseria gon-
orrhoeae and Lihot pembohoson poda bob lnfeksi Menular Seksuol
Chlamydia
trachomatls
Listeriosis Kultur darah Hindari keju atau Ampisilin + lnfeksi fetus, stillbirth
produk susu yang gentamisin,
tidak dipasteurisasi. bila alergia
mencuci sayur trimetoprim-
mentah, memasak sulfametoksazol
dengan matang (TMP-SMX)
Brucellosis Riwayat Hindari produk Dual therapy Abortus spontan
paparan, isolasi susu yang tidak antimikroba: TMP-
bakteridari terpasteurisasi SMX, rifampin
darah atau
jaringan, kultur.
PCR, serologis,
tes aglutinasi.
dipstick
" K()tz\~tlkjii'Ji~',t .' ;
lnfeksi Strep- Klinis, darah Profilaksis: Penicillin Sesuai dengan Sepsis matemal post
tococcus lengkap, kultur G 5 juta unit iv (dosis profilaksis partum, infeksi neona-
GrupB dari swab vagina awol), dilanjutkan torum
dan rektum 2,5 juta unit iv tiap 4
jam s/d partus gtgy
ampisilin 2 g iv (dosis
awol), dilanjutkan
1 g iv tiap 4 jam s/d
partus.
Bila alergi penisilin:
Cefazolin2g
iv (dosis awol),
dilanjutkan 1 g iv
tiap 8 jam s/d partus
gtgy_klindamisin
900 mg iv tiap 8
jam s/d partus atau
eritromisin 500 mg iv
tiap 6 jam s/d partus
gtgy_vancomycin 1
g iv tiap 12 jam s/d
partus
Toxoplasmosis PCR, serologis Hindari daging yang Malformasi kongenital
ELISA lgM dan kurang matang
lgG, isolasi I mentah, cuci
parasit. USG tangan setelah
kontak dengan
oag1ng mentah,
cuci buah dan
sayuran sebelum
dikonsumsi,
gunakan sarung
tangan saat
membersihkan
kotciran kucing,
hindari memberi
makan daging
mentah pada
kucing, hindari
memelihara kucing
di dalam rumah
Malaria Lihat pembahasan pada bob Malaria
ISK Lihat pembahasan pada bab lnfeksi Saluran Kemih
Tuberkulosis Lihat pembahasan pada bob Tuberkulosis Paru
-~
PROGNOSIS
Tergantung infeksi
REFERENSI
1. Cunningham, Leveno, Bloom et al. Williams Obstetrics 23'd Ed. United States of America. McGraw-
Hill. 201 0;58:121 0-34.
2. Brocklehurst P.lnfection and preterm delivery. BMJ 1999;318:548e9.
3. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine infection and preterm delivery. N Engl J
Med 2000;342:1500e7.
4. Goldenberg RL McClure EM, Saleem S, et al. Infection-related stillbirths. Lancet 201 0;37 5: 1482e90.
5. Gershon A. Chapter 186: Rubella (German Measles). In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles
of Internal Medicine 17'h edition. United States of America. McGraw Hill. 2008
6. Yinon Y, Farine D, Yudin Metal. Cytomegalovirus Infection in Pregnancy. Society of Obstetricians
and Gynaecologists of Canada (SOGC) Clinical Practical Guideline no. 240, April 201 0. Diunduh
ggrLbttR:/ ,I~.S_()gc;_.oJg[g~i<::J~Iine;~_c:lociJ_01 el')tSjQUJ240C::PQ1QQ4~.p_d!fl()_<=l9_t(]nQg(JI2 Mei 201 2.
7. Anzivino E, Fioriti D, Mischitelli Metal. Herpes simplex virus infection in pregnancy and in neonate:
status of art of epidemiology, diagnosis, therapy and prevention. Virology Journal 2009, 6:40
doi:1 0.1186/17 43-422X-6-40. Diunduh dari http:/ /www.virologyj.com/content/pdf/17 43-422X-6-40.
pdf pada tanggal 2 Mei 2012.
8. Parvovirus B19 Infection in Pregnancy: Information Pack. Diunduh dari http:/ /www.fifthdisease.
org/cmsFiles/parvovirus_b 19_and_pregnancy_information_booklet.pdf pada tanggal2 Mei 2012.
9. Pappas G, Akritidis N, Bosilkovski M, et al. Brucellosis. N Eng I J Med 2005; 352:2325-2336. Diunduh
dari http:/ /www.nejm.org/doi/full/1 0.1 056/NEJMra050570 pada tanggal 2 Mei 2012.
10. Khan M, Mah M, Memish Z. Brucellosis in Pregnant Women. Clinical Infectious Diseases 2001;
32:1172-7. Diunduh dari http:/ /cid.oxfordjournals.org/content/32/8/1172.full.pdf pada tanggal
2 Mei 2012.
INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT
PENGERTIAN
Adalah intoksikasi akibat zat yang mengandung organofosfat. Organofosfat
digunakan sebagai insektisida. Mekanisme kerjanya adalah melalui inhibisi enzim
asetilkolinesterase, menyebabkan akumulasi asetilkolin pada sinaps-sinaps kolinergik,
baik perifer maupun sentral. Asetilkolin berlebih menyebabkan triggering reseptor
asetilkolin secara konstan, stimulasi berlebih pada sinaps kolinergik di sistem saraf
pusat, sistem saraf otonom, dan neuromuscular junction. 1•3
Intoksikasi organofosfat bermanifestasi dalam 3 fase, yaitu krisis kolinergik akut,
intermediate neurotoxic syndrome, dan delayed polyneuropathy. 3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan PenunjangM
• Berkurangnya aktivitas kolinesterase darah atau butirilkolinesterase plasma
Panduan PrakUk Klinis
DOkter s~sial~ 'PStwaidt. oc;;ICim lndoheSiO
1imPUnon
DIAGNOSIS BANDING
Intoksikasi karbamat, perdarahan pontin
TATALAKSANA
Nonfarmakologis5·6
• Membebaskan jalan napas
• Melepas pakaian yang terpapar
• Dekontaminasi kulit dengan air dan sabun
• Menempatkan pasien pada posisi lateral dekubitus kiri
Farmakologis 5
1. Resusitasi adekuat: oksigen, cairan normal saline (NS) 0,9%
2. Antagonis muskarinik: Atropin; untuk memperbaiki tanda dan gejala muskarinik
Dosis awal1-3 mg bolus
5 menit setelahnya, periksa nadi, tekanan darah, ukuran pupil, keringat dan
auskultasi dada; Jika belum ada perbaikan, gandakan dosis peFtama -
Pantau setiap 5 menit, gandakan dosis jika respon masih belum muncul. Jika
terjadi perbaikan, hentikan penggandaan dosis. Gunakan dosis yang sama
atau lebih kecil.
Berikan atropin bolus sampai denyut jantung >80 kalijmenit, dan tekanan
darah sistolik >80 mmHg dan lapang paru bersih.
Setelah pasien stabil, berikan infus atropin setiap jam sebesar 10-20% total
dosis yang dibutuhkan untuk menstabilkan pasien.
3. Reaktivator kolinesterase: pralidoxime (2-PAM), obidoxime, trimedoxime,
metohoxime, dll untuk memperbaiki tanda dan gejala nikotinik 7•8
2 g IV selama 20-30 me nit dilanjutkan dengan 0,5-1 gj jam dalam NS 0, 9%. Berikan
pralidoxime sampai atropin tidak digunakan lagi selama 12-24 jam dan pasien
telah diekstubasi
4. Diazepam jika agitasi dan kejang
Dosis awal2-10m:g, dosis maksimal30 mg.
5. Kumbah lambung
Hanya dilakukan setelah pasien stabil, biasanya dilakukan <4jam setelah keracunan,
yaitu dengan cara memberikan dan mengaspirasi 5 ml cairan/ kgBB melalui French
orogastric tube (OGT). Dapat menggunakan air atau NS.
6. Pemberian activated charcoal 50 mg dalam bentuk suspensi secara oral melalui
cangkir, sedotan, atau nasogastric tube (NGT)
7. Ventilasi mekanik jika terjadi gagal napas
KOMPLIKASI
Hipoksia, asidosis, pneumonia, gagal napas, aritmia jantung. 9•10
PROGNOSIS
Angka kematian lebih dari 15%. Skor APACHE II awal dapat digunakan sebagai
indikator prognostik. Nilai GCS juga dapat digunakan untuk memprediksi outcome.
Hipoksemia, asidosis, dan gangguan elektrolit merupakan faktor predisposisi komplikasi
jantung. 9•10
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Psikosomatik, Divisi
Gastroenterologi - Departemen Penyakit Dalam, Unit
Perawatan ICU
• RS non pendidikan : Unit Perawatan ICU
REFERENSI
1. Dalam: Sudoyo AW. Setiyohadi B. Alwi L Simadibrata M. Setiati S. penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaP ublishing; 2009. Hal
2. Poisoning and drug overdose. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS. Hauser
SL Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill
Companies; 2012. Hal.
3. Aardema H. Meertens JHJM. Ligtenberg JJM, Peters-Polman OM. Tulleken JE. Zijlstra JG.
Organophosphorus pesticide poisoning: cases and developments. The Netherlands Journal of
Medicine 2008; 66 (4): 149-153
4. Korki P. Ansari JA. Bhandary S, Koirala S. Cardiac and electrocardiographical manifestations of
acute organophosphate poisoning. Singapore Med J 2004; 45(8): 385
5. Eddlestone M, Buckley NA. Eyer P. Dawson AH. Management of acute organophosphorus
pesticide poisoning. Lancet 2008; 371 (9612): 597-607
951
6. Roberts MD, Aaron CK. Managing acute organophosphorus pesticide poisoning. BMJ 2007; 334:
629-34
7. Eddleston M, Eyer P, Worek F, Juszczak E, Alder N, Mohamed F, et a!. Pralidoxime in acute
organophosphorus insectiside poisoning- a randomised controlled trial. PLoS Med 2009;6(6)
8. Bajgar J. Treatment and prophylaxis of nerve agent. Organophosphates intoxication. Therapeutics
pharmacology and clinical toxicology 2009;13(3):hal247-253
9. Kong EJ, Seok SJ, Lee KH, Gil HW, Yang JO, Lee EY, eta!. Factors for determining survival in acute
organophosphorus poisoning. Korean J Intern Med 2009;24:362-267
10. Conder B, DurA, Yildiz M, Koyuncu F, Girisgin AS, Gul M, eta!. The prognostic value of the glasgow
coma scale, serum acetylcholinesterase and leukocyte levels in acute organophosphorus
poisoning. Ann Saudi Med 2011 ;31 (2):163-6
. 952
·,
-~
INTOKSIKASI OPIAT
PENGERTIAN
Intoksikasi opiat merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat
yaitu morfin, petidin, heroin, opium, pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan 1
PATOFISIOLOGI
Opiat akan berikatan dengan reseptor opiat pada sistem sarafpusat, menyebabkan
inhibisi jalur nyeri ascending, menyebabkan perubahan persepsi dan respons terhadap
stimulus nyeri. Opiat juga bekerja pada sistem neurotransmitter SSP lain seperti
dopamine, GABA, dan glutamate, menyebabkan depresi SSP secara umum. 2
PENDEKATAN DIAGNOSIS1.2
Anamnesis
Informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada
Pemeriksaan Fisik
Perubahan status mental (somnolen, konfusi, stupor, kama), miosis pupil, hipotensi,
sinus bradikardia, bising usus menurun, kelemahan otot, depresi napas, apneu, koma,
kejang (lebih sering karena overdosis propoksifen dan meperidin)
Pemeriksaan Penunjang
Opiat urinfdarah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks
Pemeriksaan Lain
Penemuan needle track sign, respon cepat terhadap pemberian nalokson
menunjang diagnosis intoksikasi opiat
DIAGNOSIS BANDING
Intoksikasiobatsedatif: bar.biturat, benzodiazepin, etanol.L2
Panduan Praktill Klinis-
PerhlmPunan Dolder Speslalls Perlyaki,t Dalam lnd~nesld
TATALAKSANA
A. Penanganan kegawatan: resusitasi A-B-C (airway, breathing, circulation) dengan
memperhatikan prinsip kewaspadaan universal. Bebaskan dan proteksi jalan
napas, berikan oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan
sesuai kebutuhan. 2-5
B. Pemberian antidot nalokson 2•3•6
1. Glukosa (D5W), tiamin 100 mg dan nalokson 2 mg harus diberikan pada semua
pasien dengan perubahan kesadaran dan ada kecurigaan keracunan. 4
2. Tanpa hipoventilasi: dosis awal nalokson 0,4 mg intravena pelan-pelan atau
diencerkan
3. Dengan hipoventilasi: dosis awal nalokson 1-2 mg intravena pelan-pelan atau
diencerkan
4. Bila tak ada respon, diberikan nalokson 1-2 mg intravena tiap 5 -10 me nit hingga
timbul respons (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dilatasi
pupil) atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tak ada respon,
diagnosis intoksikasi opiat perlu dikaji ulang,
5. Efek nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan pasien dapat jatuh kedalam
keadaan overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital,
kesadaran, dan perubahan pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan
drip nalokson satu ampul dalam 500 ml D5% atau NaCl 0,9% diberikan dalam
4-6 jam.
6. Simpan sam pel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto toraks
7. Pertimbangan pemasangan pipa endo trakeal hila: pernapasan tak adekuat setelah
pemberian nalokson yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, atau
hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson yang optimal
8. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik, bila
diperlukan dapat dipasang NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas lam bung pada
intoksikasi opiat oral
9. Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan memberikan
240 ml cairan dengan 30 gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram
10. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam intravena 5-10 mg dan dapat diulang
bila perlu
Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.
KOMPLIKASI
Pneumonitis aspirasi, gagal napas, edema paru akut1. 2
lntoksikasi Qpiot ·
PROGNOSIS
Dubia
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik, Divisi Pulmonologi - Departemen
Penyakit Dalam, Departemen Psikiatri, Departemen
Anestesi/Unit Perawatan ICU
• RS non pendidikan : Bagian Psikiatri
REFERENSI
1. Griffith CH. Hoellein AR. Feddock CA. Harrell HE. First Exposure to Internal Medicine: Hospital
Medicine. Edisi. McGraw-Hill Companies; 2007. Hal: 451-2
2. Toxicology in adults. Dalam: Hall JB. Schmidt GA. Hogarth DK, penyunting. Critical Care Medicine
just the facts. Edisi. McGraw-Hill Companies; 2007. Hal: 377
3. Clarke SFJ, Dargan PI, Jones AL. Naloxone in opioid poisoning: walking the tightrope. Emerg
Med J 2005;22:612-61 6
4. Poisoning and drug overdose. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser
SL Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill
.. i=.QffiRQni~~_2_Q12,Hql
5. The American Heart Association. Guidelines 2005 for cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care. Circulation. 2005; 112(Suppll): IV1-211
6. En do Pharmaceuticals. Narcan®(naloxone hydrochloride injection, USP) prescribing information.
Chadds Ford, PA; 2003 Jul
KERACUNAN MAKANAN
PENGERTIAN
Adalah penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan yang terkontaminasi
bakteri, toksin bakteri, parasit, virus, atau zat kimia. 1 · 3 Yang dibahas di sini adalah
keracunan makanan oleh bakteri atau toksin bakteri.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Hal yang perlu ditanyakan adalah makanan yang dikonsumsi; periode waktu an tara
konsumsi makanan dengan awitan gejala; gejala klinis yang dominan; jumlah orang
yang mengonsumsi makanan dan berapa banyak yang menjadi sakit; cara penyiapan
dan penyimpanan makanan yang dicurigaP
l-6jam
Staphylococcus Mual, muntah, Ham, daging unggas, identifikasi toksin dan kultur
··Eif;IFEW'5-.~~- · -----Eiiere ----SGkld-ker:~tol"lQ-a!aU----~-pa.daJeses,.m mtahan dan___
telur, mayonais makanan
Bacillus cereus tipe Mual, muntah, Nasi goreng identifikasi toksin dan kultur
emetik diare pada feses dan makanan
8-16jam
Clostridium perfringens Kram perut diare Daging sapi. daging pemeriksaan enterotoksin dan
[muntahjarang unggas, kacang- kultur kuantitatif pada feses
te~adi) kacangan
Bacillus cereus tipe Kram perut diare Daging, sayuran, identifikasi toksin dan kultur
diare (muntah jarang kacang kering, sereal pada feses dan makanan
te~adi)
>16jam
Clostridium botulinum Muntah, diare, Makanan kaleng yang pemeriksaan neurotoksin
__ pandcmg(l[) diawetkan
- - --- secara pada feses, serum. dan
kabur, diplopia,
~ ". -
DIAGNOSIS BANDING
Keracunan makanan akibat penyebab lain, gastroenteritis non-infeksi
TATALAKSANA
label 2. Tatalaksana Keracunan Makanan Akibat BakteriH
·., {~::<~~:~~~~is:.:rfe ' · · ;~·;~~~~~~i ,;t~i~~l!~~ :
Staphylococcus aureus Suportif
Baci//us-cereustip·e-emeti · -S0j50ffif
Clostridium perfringens Suportif
Bacillus cereus tipe diare Suportif
Clostridium botulinum Suportif; antitoksin botulinum equine trivalen dosis tunggal 10 ml
Vibrio cholerae Suportif dengan rehidrasi oral dan intravena agresif; pada kasus kolera
confirmed, antibiotik direkomendasikan (lihat di bob diare infeksi)
E. coli enterotoksigenik (ETEC) Suportif; antibiotik diberikan pad a kasus berat (lihat di bob diare infeksi)
E. coli enterohemoragik (EHEC) Suportif; pantau fungsi ginjal, Hb dan trombosit secara ketat
Salmonella spp. Suportif; selain untuk S. typhii dan S. paratyphii. antibiotik tidak
diindikasikan kecuali terdapat penyebaran ekstra-intestinal (lihat
di bob diare infeksi)
Campylobacter jejuni Suportif; pada kasus beratdapat diberikan antibiotik (lihat di bob
Diare lnfeksi)
Shigella spp. Suportif; antibiotik lihat di bob Diare lnfeksi
Vibrio parahaemolyticus Suportif, antibiotik direkomendasikan pada kasus berat (lihat di
bob Diare lnfeksi)
Terapi Suportif Mencakup
1. Rehidrasi, baik oral ataupun intravena (lebih lengkap lihat di bab Diare lnfeksi)
2. Koreksi gangguan elektrolit dan asam basa
3. Simtomatik: antiemetik
4. Ventilasi mekanik jika terjadi gaga I nap as (pada kasus botulisme)
KOMPLIKASI
• Dehidrasi
• Gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa
• Perforasi, perdarahan dan sepsis (kasus C. perfringens tipe C)
• Gagal napas (kasus botulisme)
PROGNOSIS
Sebagian sembuh sendiri. Mortalitas akibat C. perfringens tipe C 40%. Mortalitas
akibat C. botulinum 10-46%
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Bagian Mikrobiologi, ICU
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaPublishing; 2009. hal
2. Acute infectious diarrheal diseases and bacterial food poisoning. Dalam: Longo DL. Kasper DL.
Jameson JL Fauci AS, Hauser SL Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine.
Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012. Hal.
3. Giannella RA. Infectious enteritis and proctocolitis and bacterial food poisoning. Dalam: Feldman
M.', ~riedman LS, Brandt LJ, penyunting. Sleisenger and fordtran's gastrointestinal and liver disease:
pathophysiology/ diagnosis/ management. Edisi IX. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2010
4. CDC. Diagnosis and management of food borne ilnesses. MMWR 2004; 53(RR04): 1-33
5. Lawrence DT, Dobmeier SG, Bechtel LK, Holstege CP. Food poisoning. Emerg Med Clin N Am
2007; 25: 357-373
MALARIA
PENGERTIAN 1· 4
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit genus Plasmodium
(P. falsiparum, P.vivax, P.ovale, a tau P.malariae, P.knowlesi) yang hid up dan berkembang
biak dalam sel darah merah manusia (eritrositik) atau jaringan (stadium ekstra
eritrositik). Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles
betina. (WHO 201 0)
PENDEKATAN DIAGNOSIS
• Klinis :demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri
otot, penurunan kesadaran.
• Parasitologi: SediaanApus Darah Tepi (SADT) tebal dan tipis dijumpai parasitmalaria
Tanda dan gejala klinis malaria sangat tidak spesifik Secara klinis, kecurigaan
malaria sebagian besar berdasarkan riwayat demam. Diagnosis berdasarkan gambaran
klinis sendiri memiliki spesifisitas yang sangat rendah dan dapat berakibat pacta
tatalaks-crn;:cyang-b e rleoinart;3
ANAMNESIS
Riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dari atau pergi ke daerah
endemis malaria, dan trias malaria (keadaan menggigil yang diikuti dengan demam dan
kemudian timbul keringatyang banyak; pacta daerah endemis malaria, trias malaria mungkin
tidak ada, diare dapat merupakan gejala utama)Y
Kriteria diagnosis menurut rekomendasi WHO tahun 201 0 5
• Pacta daerah resiko rendah, diagnosis klinis malaria inkomplikata 1 sebaiknya
berdasarkan kemungkinan terpapar malaria dan riwayat demam dalam 3 hari
terakhir tanpa ada tanda penyakit akut lain.
• Pacta daerah resiko tinggi, diagnosis klinis sebaiknya berdasarkan keluhan demam
dalam 24 jam terakhir danjatau adanya anemia, yang pacta anak-anak, telapak
tangan yang pucat merupakan tanda yang sangat jelas.
Malaria tanpa komplikasi didefinisikan sebagai malaria simptomatik tanpa adanya Ianda malaria berat a tau bukli klinis/laboratoris
adanya disfungsi organ vital.'
Panduan Praktik Klinis
Perhimpunan Dolder Speslalis Penyakit Dalain Indonesia
Transmisi tinggi dan Mikroskop kualitas tinggi Terapi antimalaria berdasarkan gejala klinis
stabil atau RDT sebaiknya hanya dilakukan pada kelompok
resiko tinggi (anak <5 tahun, wanita hamil.
suspek malaria berat, dan area dengan
prevalensi HIV/AIDS tinggi) apabila diagnosis
parasitologis tidak tersedia, mengingat penyakit
ini dapat beresiko fatal terhadap kelompok ini.
Area yang sering ldentifikasi spesies (RDT) Apabila monoinfeksi P. vivox sering dan mikroskop
terinfeksi dengan ;e:2 tidak tersedia, disarankan menggunakan
spesies malaria kombinasi RDT yang mengandung antigen
pan-malaria.
Apabila P. vivax, P.malariae, atau P.ova/e terjadi
dan selalu ko-infeksi dengan P.fa/ciparum, maka
cukup dilakukan RDT untuk P.falciparum soja.
Situasi epidemi dan Pada situasi ini, fasilitas untuk diagnosis
kegawatdaruratan parasitologis mungkin tidak tersedia atau tidak
kompleks cukup menampung dengan banyaknya kasus
sehingga terapi dapat dimulai segera.
Pemeriksaan Fisik
·· Demam::>37,5°e, -konjurrgtiva·atau-telapaktangan-pucat; sklera -ikterik,-hepato/
splenomegali. 1•2,4,s
Pemeriksaan Penunjang
Sediaan darah tebal dan tipis ditemukan plasmodium, serologi malaria (+).1.2.4.s
Pada tersangka malaria P. falciparum berat, kriteria diagnosis berdasarkan
ditemukannya P. falciparum stadium aseksual disertai satu atau lebih gejala klinis
atau laboratorium berikut: 1•2.4· 5
Kriteria Diagnosis
1. Malaria Berat :
Klinis
Parasitologik
2. Malaria Rrngan:
Klirtis
Parasitologik (WHO, 2010)
Gejala Klinis
1. Gangguan kesadaran a tau kama yang tidak dapat dibangunkan
2. Prostrasi, contoh kelemahan menyeluruh (generalized weakness) sehingga pasien
tidak dapat duduk atau berjalan tanpa bantuan
3. Tidak dapat makan (failure to feed)
4. Kejang berulang - lebih dari 2 episode dalam 24 jamsetelah pendinginan pada
hipertermia
5. Napas dalam, distres pernapasan (napas Kussmaul)
6. Gagal sirkulasi atau syok, tekanan sistolik <70 mmHg pada dewasa dan <50 mmHg
pada anak-anakdisertai keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa >1oc
7. Ikterik disertai tanda disfungsi organ vital
8. Hemoglobinuria
9. Perdarahan spontan dan disertai abnormaldari hidung, gusi, saluran cerna, dan/
atau disertai gangguan koagulasi intravaskular
10. Edema paru (radiologis)jacute respiratory distress syndrome (ARDS)
Laboratorium
1. Hipoglikemia (gula darah <2.2 mmol/L atau <40 mgjdL)
2. Asidosis metabolik (pH 7,25, plasma bikarbonat <15 mEq/L)
3. Anemia normositik berat pada keadaan hitung parasit >10.000/ul(Hb <5 grjdL
atauHt<-15%} · ·· · - -- - - ---- - - - - -- - ---
4. Hemoglobinuri amakroskopik oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena efek
sam ping obat antimalaria pada pasien dengan defisiensi G6PD)
5. Hiperparasitemia (> 2%/100 000/lll pada area transmisi rendah atau 5% atau
250 000/lll pada area transmisi tinggi)
6. Hiperlaktatemia (laktat > 5 mmoljl)
7. Gangguan ginjal (urin <400 mlj24 jam pada orang dewasa, atau <12 mljkgBB pada
anak-anak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin >3 mgjdl).
8. Ditemukannya P. Falciparum yang padat pada pembuluh darah kapiler jaringan
otak apabila dilakukan otopsi
Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan
gambaran klinis daerah setempat: 2A
1. Gangguan kesadaran
2. Kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa dudukjjalan)
3. Hiperparasitemia >5% pada daerah hipoendemis atau daerah tak stabil malaria
-- ---
Pemeriksaan Penunjang
Oarah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, OPL, tes fungsi ginjal, tes fungsi
hati, gula darah, urin lengkap, AGO, elektrolit, hemostasis, foto toraks, EKG_l.ZA.s
DIAGNOSIS BANDING
lnfeksi virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminan, leptospirosis,
meningoensefalitis. ZA.s
TATALAKSANA2•4·5
Oosis obat diberikan sesuai dengan berat badan atau kelompok umur penderita
(lihat Tabell dan 2).
ATAU
label 2. Pengobatan dengan Artesunat+Amodiakuin dan Primakuin
.. ·"···· .· •. , r .,•.. , , ...,,,, .~.IJry:~la,h,t~b!~J.P.~r;bqr!:ni~P:~M,~erq_p:Jciqqi:l.
'7S$i'('g.' ·•~~·fo'kg. ')Fiik9''')a"~Pk:9 :~a1~41lk9'' -iF~'t@· s()~s91<9y :!:~!iks
.! , , ~~;~~ ~ ~ •;:~\~\;'' ~. 'I ;~~~~·,~·>;c~::~~~~~~J?m;~~" ,·: ·i~~:~. ,... ·1~g~~~ ·:~·:(!Je~ .
1-3 Artesunat '!. Y2 1 1'h 2 3 4 4
Amodiakuin '!. 'h 1 1'h 2 3 4 4
Primakuin % 1'12 2 2 2 3
ATAU
label 4. Pengobatan dengan Artesunat+Amodiakuin dan Primakuin
. · <~iirritcifi tc:~biE!f J)'er..fipil n1eijur(it b!i[at baC:\a11 #
•
Pengobatan malaria vivaks yang relaps (kambuh):
Dugaan relaps pada malaria vivaks adalah apabila pemberian primakuin dosis
0,25mgjkgBB/hari sudah diminum selama 14 hari dan pasien sakit kembali
dengan parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah
pengobatan. Pada kasus seperti ini regimen yang diberikan adalah ACT 1kali/
hari selama 3 hari ditambah dengan primakuin yang ditingkatkan menjadi
O,SmgjkgBB.
2. Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT {DHP a tau kombinasi
Artesunat+Amodiakuin) dengan dosis pemberian obat yang sama dengan untuk
malaria vivaks.
3. Pengobatan malaria malariae
Pengobatan P.malariae cukup dengan pemberian ACT 1kalijhari selama 3 hari
dengan dosis yang sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan
primakuin.
4. Pengobatan infeksi campur P.faciparum + P.vivaksjP.ovale
Metode pengobatan yang digunakan adalah:
ACT 1 kalijhari selama 3 hari + Primakuin 0,25mgjkgBB
selama 14 hari
Pemberian obat pada kasus seperti ini disesuaikan berdasarkan be rat bad an a tau
kelompok umur penderita (Tabel 5 dan 6).
ATAU
Tabel 6. Pengobatan dengan Artesunat+Amodiakuin dan Primakuin
'!5 - -- ··• -·~-:."'~-"'< :~·.;~u.,lqJ)'~f~fP.~~·Ha~•m~ill!ruf~el-0113'c:'i~an~/-
Han• Jeriis obot
!:5JqJ 411o~ _;•H-ig~};~.~a~lok9 _:H~4oi(!J 41~4~J(g ~~~- i!:6okg
PEMANTAUAN PENGOBATAN
Hitung parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasit pada H1 50% HO dan
H3 <25% HO. Pemeriksaan diulang sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria
dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut. Z.4,s
PENCEGAHAN 2 A· 5
WHO menetapkan langkah ABCD untuk pencegahan malaria, yakni dengan:
A. Awareness (Pengetahuan)
Mengetahui segala hal yang berisiko untuk terkena malaria, habitat nyamuk
Anopheles; sada:ri masa. inkubasi dan gejala u:ta.manya.
B. Bite prevention (Pencegahan gigitan nyamuk)
• Hindari gigitan nyamuk terutama menjelang senja hingga fajar dengan cara:
Membatasi aktivtas luar saat menjelang senja hingga fajar.
Memakai pakaian yang sesuai, misalnya dengan memakai baju lengan panjang
dan celana panjang.
Tutup jendela dan pintu rapat-rapat atau menggunakan kelambu yang
menggunakan insektisida.
Menggunakan spray atau losion anti nyamukyang mengandung diethyltoluamide
(DEET)
• Bersihkan daerah-daerah yang memungkinka untuk menjadi sarang nyamuk:
Menutup rapat tempat penampungan air.
Menguras bak mandi dan membuangjmengganti genangan-genangan air
secara rutin.
Mengubur kaleng bekas atau wadah kosong ke dalam tanah.
C. Chemoprophylaxis (Kemoprofilaksis)
Doksisiklin: diberikan 1-2 hari sebelum keberangkatan, diminum pacta waktu yang
sama pacta setiap harinya, sampai 4 minggu setelah meninggalkan daerah tersebut.
Obat ini tidak boleh diberikan kepada anak-anak <8 tahun dan ibu hamil.
Dosis dewasa: 1x100mg
·oosBanak2:8 tahun:2mgjkgBB1hcrri,maksimumlOOmg- -- -
• Untuk daerah dengan infeksi P.vivax:
Primakuin dengan cara pemberian yang sama dengan pemberian obat malaron. Obat
ini tidak boleh diberikan pacta pasien defisiensi G6PD, ibu hamil dan menyusui (kecuali
bayi yang disusui mempunyai bukti dokumen dengan level G6PD yang normal).
Dosis dewasa: primakuin basa 1x30mg
Dosis anak: primakuin basa O,SmgjkgBB/hari, maksimum 30mgjhari,
dikonsumsi saat makan.
• Sebagai terapi anti relaps pada infeksi P.vivax dan P.ovale:
Primakuin diberikan pacta orang-orang yang telah terkena eksposur yang
lama terhadap P.vivax dan P.ovale. Obat ini diberikan selama 14 hari setelah
meninggalkan daerah endemis malaria dan tidak boleh diberikan pacta pasien
defisiensi G6PD, ibu hamil dan menyusui (kecuali bayi yang disusui mempunyai
bukti dokumen dengan level G6PD yang normal).
Do sis dewasa: primakuiri. basa1x30mg
Dosis anak: primakuin basa O,SmgjkgBB/hari, maksimum 30mgjhari
D. Diagnosis
• Segera dapatkan diagnosis dan terapi apabila mengalami gejala malaria yang
muncull minggu setelah memasuki daerah rawan malaria sampai 3 bulan setelah
meninggalkan daerah tersebut.
KOMPLIKASI
Malaria berat, renjatan, gagal napas, gagal ginjal akut.l.2· 4•5 Pacta kehamilan, dapat
menimbulkan abortus spontan, pertumbuhan janin terhambat (IUGR), BBLR, malaria
kongenital ( <5% pacta bayi dari ibu terinfeksi), malaria berat pacta ibu, kematian ibu
dan janin. 7
label 2. Penatalaksanaan segera pada manifestasi berat dan komplikasi malaria P. falciparum
· MC:Ii'lifeltgsttk'6miiJIIk~fsi"'!;: ·········~·~ · r ·:!··':'l'F"~··:rf~f:i~\:l!~k~'tu1#Cin'}~9~ra ·: :;X'JF' •.·.· .· ··.
Koma (malaria serebral) Jaga patensi jalan napas (airway), posisi miring kanan/kirL singkirkan
etiologi lain (hipoglikemia, meningitis bakterial); hindari terapi
tambahan yang dapat membahayakan seperti kortikosteroid,
heparin, adrenalin; intubasi jika perlu.
Hiperpireksia Kompres hangat, selimut pendingin, dan obat antipiretik. Parasetamol
menjadi pilihan utama dibanding NSAID.
Kejang Jaga airway; beri diazepam iv/rektal atau paraldehid im. Cek gula
darah.
Hipoglikemia Cek gula darah, koreksi hipoglikemia, dan atur infus glukosa.
Anemia berat Transfusi whole blood
Edema paru akut Posisi kepala naik 45°, beri 0 2, diuretik, stop cairan iv, intubasi dan
berikan ventilasi tekanan positif (VTP) pada hipoksemia yang
mengancam nyawa.
Gaga! ginjal akut Eksklusi etiologi pre-renaL periksa balance cairan dan natrium urin;
pada gaga! ginjal tambahkan hemoflltrasi atau hemodialisis, atau
peritoneal dialisis bila tidak tersedia.
Perdarahan spontan dan Transfusi whole blood(kriopresipitat, FFP, dan trombosit jika tersedia),
koagulopati berikan injeksi vitamin K.
Asidosis metabolik Eksklusi atau koreksi hipoglikemia, hipovolemia, dan septikemia. Jika
berat tambahkan hemoflltrasi atau hemodialisis.
Syok Suspek septikemia, ambil kultur darah; berikan antimikroba parenteral
spektrum luas, koreksi gangguan hemodinamik.
PROGNOSISL2.4
• Malaria falsiparum ringanjsedang, malaria vivax, atau malaria ovale: bonam.
• Malaria berat: dubia ad malam. Prognosis malaria be rat tergantung kecepatan dan
ketepatan diagnosis serta pengobatan. Apabila tidak ditanggulangi, dilaporkan
bahwa mortalitas pacta anak-anak 15%, dewasa 20%, dan pacta kehamilan meningkat
sampai 50%. Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ adalah 50%, kegagalan
Malaria
4 fungsi organ atau lebih adalah 75%. Adanya korelasi antara kepadatan parasit
dengan mortalitas yaitu :
Kepadatan parasit < 100.000/ul, maka mortalitas < 1%
Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1%
Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas >50%
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Pulmonologi- Departemen
Penyakit Dalam dan Departemen Neurologi, ICU
• RS non pendidikan : Bagian Neurologi
REFERENSI
1. White NJ, Breman JG. Malaria Introduction. In: Kasper, Braunwald, Fauci et al.
Harrison's Principles of Internal Medicine voll 17 th ed. McGrawhill. 2009: 1280-1293
2. Harijanto PN. Malaria. Dalam: Sudoyo K, Setiyohadi B, et al., ed. Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006: 1732-1744.
3. Treiman M, Warberg J. Chapter 33: Infectious Diseases. In: Paulev PE, Textbook
in fy\edical Physiology and Pathophysiology: Essentials and clinical problems.
Copenhagen Medical Publishers. 1999-2000. Chapter 33.
4. Buku saku penatalaksanaan kasus malaria. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Kementrian Kesehatan Rl. 2012.
5. Pedoman Penatalaksanaan Malaria di Indonesia. Departemen Kesehatan Rl. 2008.
6. WHO. Guidelines for the treatment of Malaria. 2nd Edition. 2010. Diunduh dari http:/ I
whqlibdoc. who.int/publications/201 0/9789241547925_eng.pdf pad a tanggal26 April
2012.
7. WHO Expert Committee on Malaria. Twentieth report. Geneva, World Health Organization,
2000 in WHO Technical Report Series, No. 892.
8. Marchesini P, Crawley J. Reducing the burden of malaria in pregnancy. Roll Back
Malaria Department. Geneva, World Health Organization, 2004. Diunduh darihttp:/ /www.
who.int/malaria/ publications/atoz/merajan2003.pdf pada tanggal1 Mei 2012.
PENATALAKSANAAN GIGITAN ULAR
PENGERTIAN
Merupakan penyakit akibat gigitan ular. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular
dapat diklasifikasikan ke dalam 4 famili utama yaitu Famili Elapidae (ular sendok, ular
wereg), Famili Viperidae (ular tanah, ular hijau), Famili Hydrophidae (ular laut), dan
Famili Colubridae (ular pohon). Ciri-ciri ular tidak berbisa yaitu bentuk kepala segi
em pat panjang, gigi taring kecil, bekas gigitan berupa luka hal us berbentuk lengkungan.
Sedangkan ciri-ciri ular berbisa yitu kepala segi tiga, dua gigi taring besar di rahang
atas, dua luka gigitan akibat gigi taring. 1
Sedangkan berdasarkan dampak yang ditimbulkan yang banyak di Indonesia yaitu: 1
• Hematotoksik:menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun
prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
• Neurotoksik: neurotoksin pasca sinaps seperti a-bungarotoxindan dan cobratoxin
terikat pacta reseptor asetilkolin pacta motor end-plate, sedangkan neurotoksin
prasinaps seperti {3-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin, dan notexin merupakan
fosfolipase A- 2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pad aneuromuscular junction.
MANIFESTASI KLINISL 2
• Gejala lokal: edema, nyeri tekan pacta luka gigitan, ekimosis (dalam
30 menit-24 jam)
• Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, menggigil, mual,
hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
• Gejala khusus gigitan ular berbisa:
Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jan tung, ginjal, peritoneum,
otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit, hemoptoe, hematuria,
koagulasi intravascular diseminata (KID)
Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis,
oftalmoplegi, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang, kama.
Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda SP (pain, pallor,
paresthesia, paralysis, pulseslesness).
Tabel 1. Klasifikasi Gigitan Ular Menurut Schwartz 3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Identitas individu, waktu dan tempat kejadian, memastikan bahwa benar digigit
oleh ular, jenis, dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya. Perlu ditanyakan lokasi
yang tergigit, jarak dan waktu dari tergigit sampai ke pusat kesehatan, keberadaan
ular tersebut saat ini apakah sudah mati dan dibawa hal ini dapat mempermudah
mengetahui jenis spesies. Menanyakan bagaimana keadaan pasien saat ini, apakah
ada yang dirasakan nyeri, apakah pasien cenderung mengantuk. 2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan meliputi status umum dan lokal, serta perkembangannya setiap 12 jam.
971
adanya perdarahan saluran cerna atau retroperitoneal. Nyeri punggung bawah
dapat mengarah ke iskemia ginjal akut. Jika ada gangguan neurologis seperti pupil
anisokor, kejang, atau gangguan kesadaran; perlu dibuktikan apakah ada perdarahan
intrakranial. 2
Pemeriksaan Penunjang 1
DIAGNOSIS BANDING
Gigitan hewan lain seperti binatang !aut, sengatan lebah 2
TATALAKSANA
1. Penatalaksaan sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan yaitu: 1•2•4
• Penderita diistarahatkan dalam posisi horisontal terhadap luka gigitan
• Jangan memanipulasi daerah gigitan
• Penderita dilarang berjalan dan dilarang min urn minuman yang mengandung
alkohol.
• Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat
daerah proksimal dan distal dari gigitan. Tindakan ini kurang berguna jika
dilakukan lebih dari 30 menit setelah gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk
menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau arteri,
2. Penatalaksanaan setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif: 1•2.4
• Penatalaksanaan jalan napas, fungsi pernapasan, sirkulasi (beri infus cairan
kristaloid)
• Beri pertolongan pertama pacta luka gigitan: verbim ketat dan luas di atas luka,
imobilisasi dengan bidai
• Cek pemeriksaan laboratorium: ambi!S-10 ml darah untuk pemeriksaan waktu
protrombin, APTT, D-Dimer, fibrinogen, Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin,
urea, elektrolit (terutama kalium), CK. Jika waktu pembekuan > 10 menit
menunjukkan kemungkinan adanya kogulopati.
• Apus tern pat gigitan dengan venom detection.
• Berikan SABU (Serum Anti Bisa Ular, merupakan serum kuda yang dike balkan)
polivalen 1 mi.
Indikasi: adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian
luka.
Kontraindikasi: tidak ada kontraindikasi absolut. Perhatian diberikan
pada individu yang mempunyai riwayat alergi terhadap serum kuda atau
domba, seperti pada. anti tetanus serum, anti rabies serum. Serta pada
individu yang mempunyai riwayat dermatitis atopi, misalnya asma berat;
atau diperkirakan akan mengalami reaksi berat. Pada kasus seperti ini,
pemberian antivenom ditunda sampai muncul gejala sistemik.
Cara pemberian: 2 vial(@ 5 ml) dalam 500 ml NaCl 0.9% atau Dekstrosa 5%
diberikan melalui intravena dengan kecepatan 40-80 tetesjmenit. Jumlah
maksimal100 ml (20 vial). Tidak boleh diberikan secara infiltrasi pada luka.
13
Pedoman terapi SABU berdasarkan Schwartz dan Way •
• Derajat 0 dan I tidak memerlukan SABU, evaluasi dalam 12 jam, jika ditemukan
peningkatan derajat maka diberikan SABU
• Derajat II 3-4 vial SABU
• Derajat III 5-15 vial
• Derajat IV berikan penambahan 6-8 vial SABU
1
Pedoman terapi SABU berdasarkan Luck
• Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
• Pedoman terapi SABU menurut Luck berdasarkan derajat gigitan:
KOMPLIKASF
• Kehilangan permanen fungsi ekstremitas yang terkena gigitan
• Hipotensi dan syok
• Gagal ginjal akut
• Gangguan pembekuan darah
• Sindrom kompartemen
Pen~+8i~~$~anaan Gigitan Ular
PROGNOSIS
Angka kematian karena gigitan ular berbisa rendah pada area yang dekat dengan
pusat kesehatan dan tersedianya antivenom. Pada individu yang mendapat antivenom,
kematian hanya terjadi <1% kasus. 4
REFERENSI
1. Djoni D. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa. Buku ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi IV jilid 1.
Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam; 2006: Hal 210-212.
2. Warrell David A. WHO: Guideline for the management of snake-bites 2010. Diunduh dari
http:/ /www.searo.who.int/LinkFiles/BCT_snake_bite_guidelines.pdf pad a tanggal 2 Mei 2012.
3. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ularberbisa. Dalam SIKer. Ditjen POM Depkes Rl. Pedoman
penatalaksanaan keracunan untuk Rumah Sait: 253-259.
4. Norris Robert L. Disorders caused by reptile bites and marine animal exposures: Introduction.
Harrison's Principles of Internal Medicine 18'h edition.United States of Arnerica.Mcgraw Hill.2008
A
REFERENSI
1. World Health Organization. Managing for rational medicine use. Management Sciences for
Health. 2012. Chapter 27, p27.1-27.6.
2. Leekha S, Terrell CL, Edson RS. General principles of antimicrobial therapy. Mayo Clin Proc 2011;
86 (2): 156-167
3. Morel J, Casoetto J, Jospe R, Aubert G, Terrana R, Dumont A, et al. De-escalation as part of a
global strategy of empiric antibiotherapy management: a retrospective study in a medico-surgical
intensive care unit. Critical Care 2010; 14:R225
4. Mouton JW, Ambrose PG, Canton R, Drusano GL, Harbarth S, MacGowan A et al. Conserving
antibiotics for the future: new ways to use old and new drugs from a pharmacokineticand
pharmacodynamic perspective. Drug Resistance Updates 2011; 14: 107-117
5. Rodloff AC, Goldstein EJC, Torres A. Two decades of imipenem therapy. Journal of Antimicrobial
Chemotherapy 2006; 58:916-929
6. Kohanski MA Dwyer OJ, Collins JJ. How antibiotics kill bacteria: from targets to networks. Nat Rev
Microbiol2010; 8(6):423-35
l
~'
RABIES
PENGERTIAN
Rabies adalah infeksi virus akut dari sistem sarafpusat (SSP) yang ditransmisikan
dari hewan yang terinfeksi ke man usia dan dapat bermanifestasi sebagai ensefalitis
bahkan dapat menyebabkan koma dan kematian. 1
ETIOLOGI
Infeksi disebabkan virus rabies yang termasuk dalam genus Lyssavirus danfamili
Rhabdoviridae. Virus menular melalui gigitan he wan yang tertular, seperti anjing yang
merupakan reservoir pertama dan vektor untuk rabies. 1
MANIFESTASI KLINIS
label 1. Manifestasi klinis 1
Fase D\Jrasi~
Masa inkubasi 1-3 bulan Tidak ada
Prodro~------1=7 hari-- Demam, malaise, saklt k~pal~,-;ual, muntah, agitasL par~s
tesia fokal, nyeri
• Pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS): bisa ditemui peningkatan ringan sel
mononuklear, peningkatan kadar protein, dan pleositosis. Pleositosis berat ( >
1000 selj!J.l) sangat jarang ditemui dan harus dicari penyebab lain. Infeksi virus
rabies dicurigai jika ditemukan antibodi spesifik virus rabies pada CSS.
• Isolasi Virus: dari saliva, CSS, atau serum.
• CT Scan kepala: umumnya normal pada kasus rabies.
• MRI kepala: abnormalitas pada batang otak dan area lain, tetapi sangat beryariasi.
• Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction {RT-PCR): mendeteksi RNA virus
rabies dan membedakan variasi virus. Dapat ditemukan pada saliva, CSS, dan jaringan
iPanduan Pr; _
~ Perhirripuhdn Dcilc.ler Spe_sialis PenyakffDo_lam 'lndo~e~i.O
I'P&nduan PraktikKiinis
Perhlnlounan Dolder Speslaiis Pe~y9~ft Dalam:lndOneSi~
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesia
Riwayat tergigit binatang, adanya saliva binatang yang mengenai membran mukosa,
bekas garukan, atau luka terbuka. Diagnosa rabies dicurigai pada kasus ensefalitis akut
atau dengan ascending paralysis yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. 1
Pemeriksaan Fisik
Pada fase prodromal belum ada tanda-tanda yang spesifik. Jika memasuki fase
neurologik akut dapat ditemukan kelainan neurologi seperti hidrofobia, paresis,
disfagia. Jika selama pemeriksaan tidak ditemukan perubahan neurologi dan penyakit
sudah berlangsung selama ~ 2-3 minggu makan dapat dipikirkan penyebab lainnya. 3
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: pemeriksaan darah lengkap. Pada fase awal pemeriksaan mungkin
dalam batas normal.1· 2
• Antibodi virus rabies: ditemukannya antibodi neu{ralizirfg serum merupaka:n
diagnostik untuk kasus rabies. Antibodi mungkin dideteksi dalam beberapa hari
setelah muncul gejala. Beberapa pasien meninggal tanpa antibodi yang terdeteksi.
DIAGNOSA BANDINGL2
• Fase awal: penyebab lain ensefalitis, seperti infeksi virus herpes simpleks tipe 1
atau virus herpes lainnya, enterovirus, virus yang menular melalui arthropoda.
• Ensefalitis setelah vaksinasi rabies (contohnya: Semple vaccine).
• Reaksi obat
• Vaskulitis
• Rabies histeria: kelainan karena rasa ketakutan berlebihan terhadap rabies
yang bermanifestasi perilaku agresif, kehilangan kemampuan menelan atau
berkomunikasi.
• Guillain-Barre syndrome: fase paralitik.
• Poliomielitis
• Delirium tremens
TATALAKSANA
Nonfarmakologis2
• Isolasi pasien untuk mencegah transmisi virus ke orang lain.
• Terapi suportif
Farmakologis 1·2
• Tidak ada terapi spesifik untuk rabies.
• Profilaksis pada individu yang terpapar seperti pembersihan dan irigasi Iuka secepat
mungkin, imunisasi aktif dan pasif efektif dalam 72 jam setelah terpapar.
Tabel 2. Vaksinasi Virus Rabies 3.4
·. .
i,·:.:_"~": ~-~e~~,~~~~~-e"~ ·~:t:~~~~~j·~·~:_ ·:~.,-·~§~-~~;~~-~~~~:~~ ·;~~;;/~:1'~Hr.:~;;,-~+:~!~~a·n''
lntramuskular
Human diploid cell Ha ri k e 1ml intramuscular (deltoid} Tidak boleh diberikan
vaccine (HDCV} 0,3,7, 14, dan pada area gluteus
28
Human rabies 20 IU/kg. lnfiltrasi sekitar luka p ad a in d i v i d u
imunoglobulin (RIG} sebanyak mungkin, dan yang belum pernah
disuntikkan secara intramuscular mendapat imunisasi
pada lokasi lain yang jauh dari
luka.
Vaksinasi intradermal
~uma~iploid_s:~-- ________Q_,__L_mL.dL8__jo.ka.s1__s_e_c_ar.a_Dapat.digur:Jak.aA-pGld.a--
vaccine (HDCV} intradermal (8-0-4-0-1-1} kasus darurat yang tidak
tersedia RIG
Purified vero cell 0,1 ml di 2 lokasi secara
vaccine (PVRV} intradermal (2-2-2-0-1-1}
Purified chick embryo 0.1 ml di 8 lokasi secara
cell vaccine (PCECV} intradermal (8-0-4-0-1-1} atau 0,2
mldi 2 lokasi secara intradermal
(2-2-2-0-1-1}
PROGNOSIS
Rabies merupakan penyakit yang fatal. Pacta umumnya pasien dengan rabies
meninggal dalam beberapa hari meskipun sudah mendapat perawatan pacta unit
internsif. Akan tetapi, hal ini dapat dicegah dengan penanganan yang tepat setelah
terkena infeksi dan pemberian profilaksis setelah terpapar. Vaksinasi akan efektifjika
diberikan dalam waktu 2 hari setelah terpapar, seiring bertambahnya hari makan
tingkat efektivitasnya akan menurun. Walaupun demikian selama belum ada gejala,
vaksinasi akan tetap efektif diberikan dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan
setelah terpapar. 1
Jika gejala sudah muncul, koma dan kematian akan terjadi dalam 3-20 hari setelah
awal mulai gejala. Hampir 100% individu yang menunjukkan gejala akan meninggal.
Hanya kurang dari 10 kasus yang sembuh dan 2 diantaranya tidak ada riwayat
profilaksis sebelum maupun sesudah terpapar. 5•6
Rabies
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Jackson Alan C. Rabies and Other Rhabdovirus Infections. In: Harrison's Internal Medicine 17'h
ed.United States of America.Mcgraw Hill.
2. Opal Steven M, Policar Maurice. Rabies. In: Ferri's Clinical Advisor 2008, 1Oth ed. Mosby. 2008.
3. WHO. Current WHO Guide for Rabies Pre and Post-exposure Treatment in Human. Diunduh
dari http:/ /www.who.int/rabies/en/WHO_guide_rabies_pre_post_exp_treat_humans.pdf pada
tanggal 2 Mei 2012.
4. National Guidelines for Rabies Prophylaxis and Intra-dermal Administration of Cell Culture Rabies
Vaccine. 2007. National Institute of Communicable Diseases. New Delhi. Diunduh dari b11J:2;LL
www.ncdc.gov.in/Rabies_Guidelines.pdf pada tanggal2 Mei 2012.
5. CDC. Rabies. Diunduh dari http://www.cdc.gov/rabies/symptoms/index.html pada tanggal 2
Mei 2012.
6. MDGuidelines. Rabies. Diunduh dari http:/ /www.mdguidelines.com/rabies/prognosis pad a
tanggal 2 Mei 2012.
f
il
PENGERTIAN 1
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah pasien yang memiliki
dua atau lebih kriteria sebagai berikut:
a) suhu >38° C atau <36°C,
b) denyut jantung >90 denyutlmenit,
c) respirasi >201menit atau PaC0 2 < 32mmHg,
d) hitung leukosit >12.000lmm 3 atau >10% sel imatur (band).
Sepsis adalah SIRS ditambah sumber infeksi yang diketahui ( ditandai dengan
biakan positifterhadap organisme dari tempat tersebut).
Sepsis berat adalah sepsis ditambah dengan satu atau lebih disfungsi organ seperti
berikut:
• Tekanan sistolik darah < 90mmHg a tau MAP< 70 mmHg yang berespon terhadap
pemberian cairan intravena,
• keluaran urin <0,5 mLjkg/jam untuk selama 1 jam dengan resusitasi cairan,
• Pa0zfFI0 2 < 300,
• Trombosit < 100.000,
• pH .$.7,30 atau defisit basa~S,O mEqiL dan laktat plasma >1,5 kali batas atas nilai
normal, (> I mmol I L)
• adanya resusitasi cairan yang adekuat ditandai dengan tekanan arteri paru
~12mmHg atau tekanan vena sentral ~8mmHg.
PENDEKATAN DIAGNOSIS 3
Anamnesis
• Menentukan apakah infeksi didapat dari komunitas a tau nosokomial a tau apakah
pasien imunokompromais
• Demam
• Sesak napas
• Disorientasi, bingung, perubahan status mental
• Perdarahan
• Mual, munta!l,diare, ileus
Pemeriksaan Fisik
• Hi{wtensi
• Sianosis
• Nekrosis iskemik jaringan peri fer, umumnya jari
• Selulitis, pustul, bula a tau lesi hemoragik pada kulit
• Ikterik
• Pemeriksaan fisik lengkap untuk mencari sumber infeksi
Pemeriksaan Penunjang
• Darah perifer lengkap dengan hitung diferensial
• Urinalisis
• Gambaran koagulasi
• Glukosa darah
• Urea darah, kreatinin
• Tes fungsi hati
• Kadar asam laktat
• Analisis gas darah
• Kadar asam laktat
• Biakan darah (minimal 2 set dalam 24 jam), sputum, urin dan tempat lain yang
dicurigai terinfeksi
DIAGNOSIS BANDING
Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
TATALAKSANA2.4· 5
Nonfarmakologis
• Stabilisasi pasien (pemulihan airway, breathing, circulation)
• Perawatan ICU
• Dialisis
• Nutrisi, pemantauan glukosa hingga <150 mg/dL setiap 1- 2 jam hingga 4 hari
• Transfusi darah PRC apabila Hb<7 g/dL , TC apabila trombosit < 5000 tanpa
perdarahan atau 5.000- 30.000 dengan perdarahan
• Menghilangkan fokus infeksi (penyaluran eksudatpurulen, nekrotomi, drainase abses)
Farmakologis
• Cairan kristaloid atau koloid
• Obat-obatan vasoaktif untuk kondisi renjatan: dopamin (> 8 mcg/kg/menit),
norepinefrin (0,03 -1,5 mcgjkgjmenit), epinefrin (0,1- 0,5 mcgjkgfmenit) atau
fenilefrin ( 0,5 - 8 mcgjkgjmenit)
• Obat-obatan inotropik: dobutamin (2 - 28mcgfkgjmenit), dopamin (3 - 8 meg/
kgfmenit), epinefrin (0,1- 0,5/kgfmenit) atau fosfodiesterase inhibitor (amrinon
dan milrinon).
• Dalam 6 jam pertama, target resusitasi adalah: tekanan vena sentral 8 - 12mmHg,
MAP :2.65mmHg, keluaran urin :2.0,Smljkgjjam, saturasi oksigen vena sentral
atau campuran berturut-turut :2.70% atau :2.65%. Target tekanan vena sentral
pada penggunaan ventilasi mekanik atau penurunan compliance ventrikel adalah
12 -15mmHg.
• Sodium bikarbonat bila pH <7,2 a tau bikarbonat serum <9meq/L
• Antagonis reseptor HZ a tau penghambat pampa proton pada sepsis berat untuk
mencegah stress ulcer
• Kortikosteroid dosis rendah (hidrokortison 200- 300 mg/hari terbagi dalam 3- 4
dosis selama 7 hari) bila terbukti insufisiensi adrenal
• Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan
heparin dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-251UjkgBB/jam dengan
infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali
kontrol atau antikoagulan lainnya
• Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dugaan kuman
penyebab, profil antimikroba (farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan
fungsi ginjal dan fungsi hati. Antimikroba definitif diberikan hila hasil kultur
mikroorganisme telah diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji
kepekaan mikroorganisme. Antimikroba yang dipakai adalah yang dianggap
tidak menyebabkan pelepasan lebih banyak lipopolisakarida (LPS) sehingga
menimbulkan masalah yang lebih banyak. Antimikroba yang dianggap tidak
menyebabkan perburukan adalah: karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida,
aminoglikosida, kuinolon.
KOMPLIKASI 6
• Sindrom distres pernapasan dewasa (ARDS)
• Koagulasi intravascular diseminata (DIC)
• Gaga! ginjal akut (ARF)
• Perdarahan usus
• Gaga! hati
• Disfungsi sistem saraf pusat (SSP)
• Gaga! jantung
• Kematian
PROGNOSIS 6
Sekitar 20- 35% pasien dengan sepsis berat dan 40- 60% pasien dengan renjatan
septik meninggal dalam 30 hari. Sistem stratifikasi prognosis seperti APACHE II
menunjukkan bahwa usia pasien, penyakit dasar dan berbagai variabel fisiologi
menentukan risiko kematian pada sepsis berat. Pada pasien tanpa penyakit morbiditas
sebelumnya, case-fatality rate di bawah 10% hingga usia dekadekeempat, dan setelahnya
meningkat hingga 35%.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidika'n
REFERENSI
1. Bone RC, Balk RA, Cerra FB. eta!. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use
of innovative therapies in sepsis. The ACCP /SCCM Concensus Conference Committee. American
College of Chest Physicians/Scoiety of Critical Care Medicine. Chest. 1992. 101:1644-55
2. Chen K. Pohan HT. Penatalaksanaan syok setiks.ln: Sudoyo A. Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata M,
Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'" ed. Jakarta; Pusat lnformasi ggnPenerbjtan
Bagian llmu Penyakit Dalam FKUJ. 2009:252 - 7
3. Guntur A. Sirs & sepsis. 1'' edition. Surakarta; Sebeias Maret University Press. 2006:1 -66
4. Dellinger P, Carlet J, Masur H. Gerlach H. Calandra T, Cohen J, eta!. Surviving sepsis campaign.
guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2004;32:858 -7.
5. Dellinger P, Levy M. Carlet J, Bion J, Parker M. Jaeschke R. Surviving sepsis campaign: international
guidelines for management of severe sepsis and septic shock:2008.1ntensive Care Med. 2008;34: 17-60.
6. Reus V. Severe sepsis and septic shock, In: Fauci A. Kasper D. Longo D. Braunwald E. Hauser S.
Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'" ed. United States of
America; TheMcGraw-Hill Companies, 2012: 271 0- 23