BAB
5
METODOLOGI DAN PENDEKATAN TEKNIS
5.1. UMUM
Sesuai dengan tugas yang tercantum dalam “ Kerangka Acuan Kerja (TOR)” ,
Konsultan berkewajiban untuk dapat menganalisa semua data yang ada dan
selanjutnya merencanakan secara detail perencanaan tersebut.
Untuk dapat mendukung pekerjaan Detail Desain ini agar didapatkan suatu hasil studi
yang optimal, diperlukan suatu prosedur pelaksanaan yang baik. Untuk
merealisasikan hal tersebut perlu disusun organisasi proyek, yang menggambarkan
suatu pola hubungan / interaksi kerja antara pihak Pemberi Kerja dengan Tim
Pelaksana Pekerjaan, serta konsep pelaksanaan pekerjaan tersebut.Untuk itu dalam
hal ini konsultan (PT. Wahana Adya) menggunakan format kerja sebagai berikut :
Kegiatan persiapan adalah kegiatan awal sebelum tim memulai kegiatan, yaitu
meliputi :
Pengumpulan data
Pengumpulan data-data yang diperlukan, antara lain data statistik wilayah
studi, data hidrologi (yang meliputi data hujan, data debit dan data
klimatologi, data yang berkaitan dengan bendungan dan tampungannya),
data geologi wilayah, data topografi wilayah, data-data administratif dan
juga yang tidak kalah penting adalah data laporan atau kajian yang pernah
dilaksanakan (studi terdahulu) pada lokasi proyek, serta data-data lain
yang dapat dipakai sebagai acuan untuk ketelitian studi ini.
Pada tahap ini, tim konsultan akan melakukan peninjauan lapangan. Survey
lapangan ini termasuk Survey Topografi yang berupa pemetaan situasi
bendungan / reservoir dan pengukuran situasi tubuh bendungan, Investigasi
Geoteknik berupa bor inti, uji lapangan dan tes laboratorium. Dari hasil kegiatan
ini akan dipergunakan sebagai bahan kajian pada tahapan berikutnya, yaitu
pekerjaan perencanaan detail untuk masing-masing bidang.
Agar mampu menyajikan analisa hidrologi dan evaluasi neraca air yang sesuai
standar teknis maka diperlukan kondisi pemetaan daerah dari hasil survey dan
investigasi. Parameter dan konstanta lapangan yang diperlukan akan
mendekati kondisi sesungguhnya saat diperoleh hasil survey dan investigasi
maksimal. Parameter tersebut antara lain berkait dengan analisa evaporasi,
analisa hujan, lengkung kapasitas waduk, elevasi dasar sungai, dan banjir
desain.
Setelah dilakukan analisa hidrologi dan evaluasi neraca air, tahap selanjutnya
ialah dilakukannya analisa hidrolika. Analisa hidrolika dilakukan berdasarkan
data awal, data studi terdahulu dan data dari pencatatan lapangan yang
dilakukan. Metode, prinsip dasar dan tahapan pelaksanaan pekerjaan dilakukan
berdasarkan pengalaman konsultan dalam melaksanakan pekerjaan sejenis
sebelumnya. Pengalaman PT. Wahana Adya dalam melaksanakan laporan
sebelumnya sangat membantu dalam menentukan keakuratan hasil analisa.
Sebagai acuan evaluasi secara teknis, maka tahapan ini akan membahas
system planning dan pekerjaan pelaksanaan detail konstruksi. Seluruh analisa
yang dilakukan akan didasarkan dengan kriteria perencanaan yang berlaku dan
telah dibakukan di Indonesia. Analisa ini akan menekankan pembahasan pada
penentuan type bendungan sampai tahap analisa stabilitas bangunan.
Metode yang digunakan adalah simulasi neraca air waduk dimana didalamnya
terdapat kondisi inflow, kehilangan (evaporasi), kebutuhan (air baku, air irigasi).
Hasil dari kegiatan ini ialah suatu pola operasi waduk optimal yang ada di
waduk dalam kondisi normal.
Aspek pemeliharaan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk menjaga
kondisi operasi waduk agar dapat terus beroperasi normal. Tujuan dari tahap ini
ialah diperolehnya acuan dasar yang harus dilakukan sehubungan dengan
desain waduk untuk menjaga waduk mampu beroperasi sesuai usia guna yang
direncanakan.
2. Unit biaya konstruksi hanya terdiri dari komponen rupiah murni dan
didasarkan pada harga cipta karya dan pengairan periode terbaru. Apabila
diperlukan maka dapat digunakan harga dari SK Gubernur Bali sebagai
pembanding.
5.4.1. Umum
Guna mendapatkan hasil pekerjaan perencanaan yang maksimal untuk pekerjaan
Detail Desain Waduk Titab di Kabupaten Buleleng, diperlukan metode pelaksanaan
pekerjaan dan koordinasi yang baik dengan pihak / instansi terkait.
3) Jenis-jenis Pengukuran
Gambar konsep dilakukan diatas kertas putih yang telah disetujui oleh
Direksi.
Pada tiap interval 5 (lima) garis kontur dibuat tebal dan ditulis angka
elevasinya.
Titik pengikat / reference peta tercantum pada peta dan ditulis dibawah
legenda.
Gambar kampung, sungai, sawah dan rawa diberi nama yang jelas dan
diberi batas.
Titik poligon utama, poligon cabang dan poligon raai digambar dengan
sistem koordinat dan pada lembar peta diberi nomor urut.
2. Jalur calon jalan masuk (access road) / jalan inspeksi untuk menuju
bendungan
6) Hasil Pekerjaan
Semua hasil pengukuran diserahkan pada Direksi dengan lengkap dan sudah
diperbaiki dari beberapa kesalahan-kesalahan sebelumnya guna diadakan
pengecekan oleh Direksi
Pemetaan Situasi :
Access road ( 1 : 1.000 )
Lokasi rencana bangunan inlet ( 1 : 500 )
Lokasi Rencana bangunan outlet ( 1 : 500 )
Terowongan Pengelak ( diversion canal ) ( 1 : 1.000 )
Lokasi Spillway ( 1 : 1.000 )
Intake ( 1 : 500 )
Quarry Area ( 1 : 2.000 )
Rincian batas pemilikan lahan ( land use )
Potongan Memanjang dan Melintang :
Access road ( 1 : 1.000 / 1 : 200 )
Terowongan Pengelak ( diversion canal ) ( 1 : 1.000 / 1 : 200)
Lokasi Spillway ( 1 : 1.000 / 1 : 200)
Penyerahan gambar sesui dengan BOQ
Diskripsi dari semua patok-patok beton dan titik triangulasi atau NWP
yang dipakai sebagai titik awal pengukuran.
1) Umum
B. Pengujian di Laboratorium
a. Soil Properties.
b. Rock Properties
3) Metode Pelaksanaan
Maksud pekerjaan
Pekerjaan pemetaan geologi akan dilaksanakan di rencana lokasi as
bendungan dan daerah tampungan dengan maksud untuk mengetahui
jenis, penyebaran dan sifat fisik dari batuan permukaan untuk keperluan
perencanaan bendungan.
Prosedur pelaksanaan
Pemetaan geologi berdasarkan acuan dari Peta Geologi skala 1 : 100.000
yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Bandung, 1991 dan Peta
Topografi skala 1 : 50.000 sebagai acuan didalam melakukan pelaksanaan
pekerjaan di lapangan. .
Hasil dari pemetaan geologi ini akan digambarkan didalam peta geologi
daerah telitian sesuai dengan hasil pemetaan di lapangan dan hasil dari
korelasi batuan , penyebaran di lapangan .
b. Pemboran inti
Maksud pekerjaan
Pekerjaan core boring akan dilaksanakan di rencana lokasi as bendungan
dengan maksud untuk mengetahui jenis, penyebaran dan sifat fisik
Dengan membuat log dari inti (core) hasil boring akan diperoleh urutan
per-lapisan batuan (stratigrafi) di titik tersebut dan dengan jalan
mengkorelasi terhadap log bor titik lain akan diperoleh penampang geologi
yang mewakili keadaan geologi di daerah tersebut.
Prosedur pelaksanaan
Pengambilan core inti (core sampling) akan dilakukan pada seluruh
kedalaman dengan inklinasi lubang vertikal.
Penggunaan mesin bor putar dan “non wire line” menyebabkan core
sampling akan dilakukan secara bertahap dan terus menerus sesuai
dengan kemajuan (“run”) dari pemboran. Tekanan pemboran akan diatur
dengan hidrolis dan disesuaikan dengan kondisi batuan. Pemboran akan
dilakukan dengan tabung penginti rangkap (double core barrel)
berdiameter 76,00 mm dengan sirkulasi air pembilas atau “wet drilling”
pada formasi batuan. Bila ternyata “wet drilling” tidak memberikan core
recovery mendekati 100 %, maka pemboran akan dilakukan dengan “dry
drilling”, yaitu tanpa air pembilasan (sludge water) dan mempergunakan
tabung penginti tunggal (single core barrel).
Contoh inti yang terambil dimasukkan ke dalam kotak kayu (core box),
dilengkapi pula dengan tutup. Setiap kotak kayu terbagi dalam 5 (lima)
lajur, panjang setiap lajur 1 (satu) meter dan lebarnya disesuaikan dengan
diameter contoh inti tanah, setiap kotak kayu dilengkapi pula dengan lebel
Nama proyek, Lokasi , Nomor lobang bor dan pada setiap lajur akan
dicantumkan pula angka kedalaman dari kiri ke kanan pada sekat
pembatas.
Pada lokasi yang tidak terambil inti tanah, diberi tanda kayu dan
keterangan singkat. Selama pemboran berlangsung akan dilakukan
pengukuran kedalaman air tanah yaitu pada pagi hari sebelum pekerjaan
pemboran dimulai dan sore hari setelah pemboran selesai.
Geotechnical Investigation
Waduk Titab Project
Location :
Hole No :
Total Depth :
Depth :
40 cm
PT. WAHANA ADYA Hal : V-15
Cab. Denpasar
110 cm
DOKUMEN USULAN TEKNIK
Detail Desain Waduk Titab di Kabupaten Buleleng
Harga "N" didefinisikan sebagai jumlah pukulan dengan palu seberat 63,5
kg yang jatuh bebas dari ketinggian 75 cm, untuk memasukkan alat
pengambil contoh sedalam 30 cm kedalam tanah.
Prosedur pelaksanaan
Prosedur pelaksanaan akan mengikuti prosedur yang dibakukan dalam
ASTM D 1586-84 ;
d. Permeability test
Untuk setiap variabel tekanan akan dicatat debit air yang masuk
kedalam lobang bor setiap menit selama 10 menit. Perhitungan
koefisien kelulusan air dan harga Lugeon akan dikerjakan dengan
rumus :
Q
Lu 10 6
HxL
Dengan:
Lu = Lugeon ( unit )
Q = Debit ( Lt/menit )
L = Panjang yang ditest ( m )
H = Tekanan ( Kg/cm2 )
Q.103 L
K Ln jika : L 10r
2. .L.H .60 R
atau :
Q.103 L
K sinh 1 . jika : 10r L r
2. .L.H .60 R
Dengan :
K = Koefisien kelulusan air (cm/det3)
Q = Debit air yang masuk (lt/menit)
L = Panjang bagian yang diuji (cm)
H = Defferential hand of water + H (Grafity + pressure)
R = Jari-jari lobang bor (cm).
A = Tekanan pompa pada injeksi air yang masuk (cm)
B = Kedalaman bagian tengah interval pengujian dari
permukaan tanah . Jika ada air dari tanah, maka B adalah
kedalaman air tanah diukur dari permukaan tanah (cm).
C = Ketinggian “pressure gauge” dari muka air (cm).
P P
^ ^
h
v
^ p
1
hp2 casing
m.a.t v 1/2 L
packer
^
< > v
L
< <
v < <
PT. WAHANA ADYA
2r Hal : V-18
m.a.t
Cab. Denpasar
DOKUMEN USULAN TEKNIK
Detail Desain Waduk Titab di Kabupaten Buleleng
Q
K
5,5.r .H .60
Dengan :
k = Koefisien kelulusan air (cm/det)
Q = Kuantitas air yang masuk pipa pelindung (cm3/mnt)
R = Jari-jari “casing pipe” (cm)
H = Tinggi air mulai dasar lobang pemboran sampai dengan muka air
yang berada di dekat puncak pelindung. Bila ada air tanah, maka
muka air akan dihitung mulai muka air tanah sampai dengan muka
air yang berada di dekat puncak pipa pelindung (casing)
^ A
v B m.a.t
C
^
D v
2r
e. Test Pit
Maksud
Test pit atau sumur uji akan dengan maksud untuk memperoleh gambaran
yang lebih jelas mengenai jenis dan tebalnya lapisan, hingga dapat untuk
menghitung volume bahan yang tersedia. Pembuatan sumur uji akan
dilaksanakan di lokasi “Borrow area” disertai dengan pengambilan contoh
tanah terganggu (disturbed) untuk keperluan pengujian laboratorium.
Dimensi sumur uji yang dibuat di lokasi “ Borrow area” adalah 1,50 m x 1,50
m dan dalam 4,00 m. Pengambilan contoh tanah terganggu diambil pada
setiap lobang sumur uji dengan interval kedalaman 1,00 m, 2,00 m dan
3,00 m.
Prosedur pelaksanaan
Galian test pit (sumur uji) akan dilaksanakan untuk menentukan pembagian
lapisan tanah dan mengambil contoh tanah untuk pengujian laboratorium.
3m
1.0 m
f. Pengujian laboratorium
Pengujian Batuan :
Unconfined Rock : ASTM D 2938-71
Modulus elastisitas : ASTM D 2938-71
Diametrial Strain : ASTM D 2938-71
Axial Strain : ASTM D 2938-71
4) Perhitungan Analisis Waktu Pemboran (Time Duration Analysis) dan Test Pit
Lokasi proyek : Titab, Kab. Buleleng, Bali.
Jumlah mesin/unit : 3 unit mesin bor
Estimate drilling speed : 10,00 m / hari / unit.
Moving equipment : 2 hari
36 Terowongan 60
2 4
38 24 62
Dam site
Analisa & Evaluasi
36 19,5
Quarry 3
4 8
2 4
6 4 10
Quarry 1
4
Quarry 2
4 Quarry 4
4 8
3 5
6 4 10
5) Analisis geoteknik
Dari hasil pengeboran dan tes pit kemudian dibuat peta geologi yang gunanya untuk
penentuan letak / lokasi tubuh bendungan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
geologi dan hasil analisis laboratorium. Disamping itu hasil pekerjaan tes
laboratorium terhadap contoh tanah yang diambil akan merupakan parameter-
parameter desain yang akan diambil.
a. Lay out
Tata letak pendahuluan akan mencakup :
b. Pengecekan lapangan
Demikian juga halnya dengan bendungan dan bangunan pelengkapnya akan
ditelusuri di lapangan serta diukur dan diberi tanda patok yang permanen.
Untuk menentukan semua besaran tersebut di atas maka dalam melakukan analisa
hidrologi diperlukan bantuan gambar-gambar dan peta-peta pengukuran. Hal ini
dilakukan supaya dalam menentukan parameter-parameter yang berkaitan dengan
analisa hidrologi dapat lebih mendekati kondisi yang ada.
1. Pengumpulan data
Data Meteorologi
Data meteorologi biasanya lebih banyak didapat dari hasil pencatatat dan
data yang dibutuhkan antara lain data curah hujan, data kelembaban udara,
lama penyinaran matahari, kecepatan angin dan juga data suhu udara.
Selain itu bila diperlukan adanya data pembanding seperti data hujan di
daerah sekitar daerah tangkapan waduk.
Data Hidrometri
Data hidrometri seperti tinggi muka air sungai dan pengukuran debit, hal ini
penting untuk penetapan debit time series yang akan digunakan sebagai
dasar perhitungan hirdologi pada perencanaan bendungan. Bila data
pengukuran debit tidak didapat maka diperlukan adanya pengukuran debit
secara langsung. Untuk penyelidikan hydrometri konsultan harus
melaksanakan beberapa penyelidikan yaitu :
Pengukuran debit air dan pemasangan papan duga ( peil schale ).
Pemeriksaan laboratorium
Pemasangan stasiun hujan otomatis dilokasi lengkap dengan pagar
pengaman sesuai dengan petunjuk direksi
Pengukuran Debit
Pengukuran debit akan dilaksanakan selama periode penyelidikan lapangan
dan akan dilanjutkan pengamatan sampai akhir studi. Adapun metode
pengukuran adalah dengan menggunakan current meter, tetapi bila kondisi
tidak memungkinkan dipergunakan dengan metode apung dan dianalisis
dengan pendekatan Manning.
Pengukuran Sedimen
Pelaksanaan pengukuran sedimentasi dilakukan bersamaan dengan
pelaksanaan survey hidrometri dengan tujuan memperoleh gambaran laju
sedimentasi waduk. Analisa data lapangan yang diperoleh digunakan
memperkirakan kondisi tampungan mati ( dead storage ) yang berkaitan
dengan perencanaan usia guna waduk. Tingkat keakuratan dalam survey
lapangan dan dipadu dengan penentuan parameter empiris diharapkan
mampu menghasilkan desain usia guna yang mendekati kondisi normal.
Rating Curve
Rating curve adalah hubungan antara tinggi muka air dengan debit. Setiap
stasiun pengukuran debit akan dibuat rating curve dan persamaannya. Fungsi
dari rating curve ini ialah memperoleh gambaran fluktuasi debit di
downstream.
2. Analisa data
Ketersediaan air dapat diperkirakan dengan tepat bila tersedia data debit
amatan yang cukup baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Akan tetapi
bila data debit yang tersedia belum cukup, maka dapat diekstrapolasi dengan
cara mentransformasikan data hujan.
Dalam kajian ini, akan digunakan dua metode transformasi yang selanjutnya
akan dipilih salah satu yang terbaik. Metode transformasi yang akan
digunakan nantinya adalah metode dari FJ Mock dan Model Tangki (Tank
Debit andalan yang mewakili peluang kejadian untuk tahun basah, kering
dan normal. Analisa tersebut sangat penting untuk menentukan kapasitas
waduk dan rencana operasinya. Untuk keperluan studi, data debit sungai
dengan jangka waktu yang panjang sangat diperlukan di lokasi rencana
bendungan.
Kondisi ini bisa terjadi bila tangkapan hujan cukup luas, sehingga sangat
cocok untuk bendungan dengan kriteria:
dengan :
V = Kecepatan aliran (m/det)
Q = Debit aliran (m3/det)
n = Koefisien kekasaran dinding
S = Slope permukaan air
A = Luas penampang melintang aliran
R = A/P = Jari-jari hidrolis (m)
P = Keliling basah (m)
Hidrograph satuan
Untuk menentukan hidrograph satuan daerah aliran Sungai rencana
bendungan, dipergunakan metode NAKAYASU, SNYDER MODIFIKASI .
Hasil perhitungan ini akan dikontrol dengan metoda GAMA, seperti yang
disarankan dalam standar nasional (SNI).
Koefisien pengaliran
Koefisien pengaliran adalah suatu variable yang didasarkan pada kondisi
daerah pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut,
kondisi yang mempengaruhi besaran variabel tersebut diantaranya :
1. Keadaan hujan
2. Luas dan bentuk daerah aliran
3. Kemiringan Daerah Pengaliran Sungai dan Dasar sungai
4. Daya infiltrasi dan perkolasi tanah
5. Kebasahan tanah
6. Tataguna tanah dan
7. Suhu udara, angin serta evaporasi.
- Volume air yang dibutuhkan (irigasi, peternakan, air baku dan lain-lain)
- Kehilangan air akibat penguapan, resapan baik melalui dasar, tubuh,
maupun dinding waduk.
- Volume tampungan mati dalam hal ini diperuntukkan untuk tampungan
sedimen
- Kondisi topografi daerah lokasi proyek
Volume air untuk keperluan irigasi, ternak dan air baku didapat dari
perhitungan kebutuhan air irigasi, sedangkan keperluan air untuk ternak
diperhitungkan dengan memperkirakan populasi ternak yang ada di
sepanjang saluran yang direncanakan sedangkan untuk keperluan air baku
dihitung berdasarkan kebutuhan air masyarakat sekitar.
Evaporasi juga mempengaruhi berkurangnya air di waduk hal ini karena air di
waduk akan menguap terutama pada musim kemarau. Besar
penguapan/evaporasi ini dapat diperhitungkan dengan rumus empiris seperti
metode Penman atau metode yang lain.
Suatu waduk dikatakan telah habis usia gunanya bila sedimen yang
tertangkap sudah melebihi kapasitas tampungan mati yang telah
ditetapkan. Dalam struktur waduk, tampungan mati ini terletak pada
bagian paling bawah dan dibatasi oleh dasar waduk dengan muka air
rendah dalam waduk (low water level), dimana pada elevasi tersebut
merupakan kedudukan dari dasar intake.
dengan ;
St = Tampungan waduk pada periode t
St-1 = Tampungan waduk pada periode t-1
Et = Kehilangan air akibat evaporasi di waduk pada periode t
Oabt = Suplai untuk air baku pada periode t
Oirt = Suplai untuk air irigasi pada periode t
Ost = Outflow melalui pelimpah banjir
t = Periode operasi waduk
Dalam analisa hidrolika jenis data yang ke dua yaitu pengamatan dan pencatatan
yang diperlukan antara lain data topografi, data luas genangan dan volume
tampungan waduk, dan bila diperlukan peta sistem sungai yang terkait dengan
lokasi rencana bendungan.
Sedangkan data hasil analisa hidrologi yang diperlukan antara lain adalah data debit
banjir rencana, data volume waduk efektif (hasil simulasi) dan juga data kapsitas air
yang akan dialirkan melalui pintu pengambilan. Adapun analisa hidrolika yang akan
dilakukan dalam perencanaan bendungan antara lain :
Namun demikian tidak semua analisa hidrolika tersebut dilakukan, hal ini tergantung
juga dari tingkat kepentingan dan juga memperhatikan standar perencanaan yang
ada dan telah ditetapkan dan umum digunakan dalam perencanaan bangunan air.
Tinggi bendungan rencana merupakan fungsi dari tinggi air kondisi banjir (hasil
penelusuran banjir) ditambah dengan jagaan, yang mana tinggi jagaan ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah kenaikan muka air akhibat
gempa, kenaikan muka air akhibat gelombang disamping itu perlu
dipertimbangkan adanya penambahan tinggi bendungan rencana untuk
mengantisipasi adanya penurunan tubuh bendungan (settlement).
Dari hasil simulasi dapat ditentukan tinggi elevasi muka air untuk mencukupi
berbagai kebutuhan air, hal ini berarti elevasi pelimpah bendungan dapat
direncanakan. Setelah elevasi pelimpah ditentukan kemudian direncanakan
lebar pelimpah, dan langkah selanjutnya dilakukan penelusuran banjir lewat
pelimpah berdasarkan hidrograf banjir rencana masuk waduk. Dari hasil
penelusuran banjir rencana 1000 tahunan lewat pelimpah akan didapat elevasi
muka air banjir di atas pelimpah.
Hasil perhitungan tinggi jagaan ini harus diadakan cheking terhadap banjir ab-
normal (PMF) dengan tinggi jagaan minimum 75 Cm. Dasar kajian penelusuran
banjir digunakan rumus umum kontinuitas sebagai berikut :
dS
I-Q =
dt
Dengan :
I = Debit masuk ke waduk
Q = Debit keluar waduk
dS = Perubahan besar tampungan waduk
dt = Periode penelusuran banjir
I1 + I 2
I =
2
Q1 + Q 2
Q =
2
dS = S2 - S1
I1 + I 2 Q1 + Q 2
+ = S2 - S1
2 2
dengan :
I1 dan I2 = Debit banjir masuk waduk yang dapat diketahui dari
hasil perhitungan hidrologi yaitu hidrograf banjir masuk
waduk
Q1 dan Q2 = Debit banjir keluar waduk periode waktu ke 1 dan ke 2
S1 dan S2 = Volume waduk periode waktu ke 1 dan ke 2
Q = C x L x H3/2
dengan :
Q = Debit lewat pelimpah
C = Koefisien debit pelimpah
L = Lebar efektif pelimpah
H = Tinggi air di atas pelimpah
Pada umumnya saluran transisi direncanakan dengan hilir menyempit, hal ini
selain konstruksinya akan lebih murah juga untuk mengurangi kecepatan air
yang mengalir di akhir saluran transisi.
Z1 + d1 + hv1 + = Z2 + d2 + hv2 + hL
Dengan :
Z = Elevasi dasar saluran pada suatu bidang vertikal
d = Kedalaman air pada bidang tersebut
hv = Tinggi tekan kecepatan pada bidang tersebut
hL = Kehilangan tinggi tekanan yang terjadi diantara dua bidang
vertikal yang ditentukan.
Pemilihan bentuk yang sesuai dengan tipe pelimpah yang direncanakan perlu
dipertimbangkan beberapa hal berikut ini :
Salah satu rumus umum yang digunakan untuk bangunan peredam energi type
olakan adalah :
D2
= 0,5 (( 1 + 8 F12 )0,5- 1 )
D1
V1
F1 =
( g x D1 )0,5
dengan :
D1 = Kedalaman air masuk kolam peredam energi ( kedalaman di
akhir saluran peluncur )
D2 = Kedalaman air di dalam kolam olakan (kedalam konjungasi)
F1 = Bilangan froude
dengan :
V = Kecepatan aliran (m/det)
Q = Debit aliran (m3/det)
n = Koefisien kekasaran dinding
S = Slope permukaan air
A = Luas penampang melintang aliran
R = A/P = Jari-jari hidrolis (m)
P = Keliling basah (m)
2 x g x H 0,5
V2 =
f
Q = AxV
dengan :
Q = Debit yang melalui pipa / saluran tertutup
V = Kecepatan aliran
H = Tinggi tekan air antara air waduk sampai dengan air di bak
pembagi
g = Gravitasi
f = Koefisien gesekan
Baik tubuh bendungan maupun pondasi harus mampu untuk menahan gaya
yang ditimbulkan oleh adanya aliran filtrasi yang mengalir melalui celah-celah
butiran tanah timbunan tubuh bendungan dan tanah pondasi bendungan.
Tidak ada kriteria yang pasti untuk menentukan jumlah seepage yang diijinkan
yang mengalir melalui tubuh bendungan dan pondasi. Tetapi untuk itu ada
standar yang tidak ditetapkan yaitu :
1. Jumlah rembesan dalam 1 hari (24 jam) adalah kurang atau lebih dari 0,05%
dari Gross storage waduk.
2. Jumlah rembesan dalam setahun adalah 1% dari jumlah aliran air sungai ke
waduk.
Apabila nilai laju infiltrasi ini melebihi nilai yang disyaratkan dikawatirkan akan
terjadi piping serta gejala sembulan yang dapat membahayakan kesetabilan
tubuh bendungan. Khusus untuk aliran melalui tubuh bendungan dihitung
dengan cara pembuatan jaringan trayektori aliran filtrasi melalui tubuh
bendungan, yang selanjutnya dari gambar trayektori tersebut dihitung masing-
masing jumlah angka pembagi garis trayektori dan garis equi-potensial.
Nf
Qf = K x H x L
Np
dengan :
Qf = Debit aliran filtrasi ( m3/dt )
Nf = Angka pembagi garis trayektori aliran filtrasi
Np = Angka pembagi dari garis equi potensial
Nf
Qr = KHB
Np
dengan :
Qr = Kapasitas aliran filtrasi (m3/dt)
Nf = Jumlah Trayektori aliran filtrasi
Np = Jumlah garis equipotensial
K = Koefisien permeabilitas (cm/dt)
H = Tinggi tekanan air total
B = Panjang dasar tubuh bendungan.
V = KI = h2/l
Vs = V/n
dengan :
V = Kecepatan supercritical (m/dt)
Vs = Kecepatan aliran filtrasi (m/dt)
K = Koefisien filtrasi (m/dt)
I = Gradien debit
h2 = Tinggi tekanan air rata-rata (m)
l = Panjang rata-rata berkas elemen aliran filtrasi pada
bidang keluarnya iltrasi (m)
n = Porositas......... n = e/1+e
e = Void ratio
Sebagai acuan Untuk evaluasi secara teknis, maka selanjutnya akan diteruskan
pada system planning serta diteruskan dengan pekerjaan perencanaan detail,
seluruh perhitungan yang dilakukan akan disesuaikan dengan kriteria perencanaan
yang berlaku dan telah dibakukan di Indonesia. Sedangkan Gambar-gambar akan
dibuat sesuai dengan Standar Penggambaran Bagian BI - 01 dan BI - 02 yang
dikeluarkan oleh Dirjen Pengairan.
Memastikan efek terhadap morfologi sungai dan muka banjir di sebelah hulu
dan hilir bendungan, serta merencanakan fasilitas yang baik guna mengurangi
efek negatif yang timbul terhadap lingkungan termasuk bangunan-bangunan
yang sudah ada.
Beberapa contoh kriteria desain yang akan digunakan oleh konsultan untuk
melaksanakan perencanaan detail dari beberapa macam bangunan/konstruksi
sepintas akan di gambarkan disini, antara lain :
1. Tinggi Bendungan
dengan tinggi jagaan. Disamping itu tinggi mercu tersebut harus lebih
tinggi setidak-tidaknya 0,50 meter bila terjadi debit banjir Q PMF.
dengan ;
hw = Tinggi gelombang (m)
V = Kecepatan angin maksimum (km/jam)
F = Panjang tegak lurus genangan waduk dari as
bendungan
F 0,37V 0,5
hw ( dalam _ ft )
3,41
V .2.F .Cos
S
6,300.D
dengan :
S = 0,20 hw + hw + 0,10
Menurut rumus praktis, tinggi jagaan adalah 1/2 % dari tinggi bendungan.
dengan :
Menurut USBR :
W = 8 * H1/3
dengan :
W = lebar puncak dalam feet
H = tinggi bendungan dalam feet
Rip-rap di lereng hulu harus diberi lapisan dasar dari filter untuk
bendungan tipe urugan. Kegunaan lapisan filter tersebut untuk
melindungi tererosinya material tanah sebagai timbunan tubuh
bendungan yang diakibatkan oleh gerakan gelombang air waduk yang
mengalir melalui celah-celah batu rip-rap.
Lebih mantap lagi apabila setelah lapisan filter tersebut dipasang dengan
lembaran Geo-textile, yang sangat berguna sekali menahan erosi
terhadap material dan menyebarkan tekanan ke seluruh permukaan
tanah. Pemilihan type geotextile berdasarkan estimasi dan analisa lebih
lanjut di lapangan.
4. Inti (Core)
Lapisan porous ini terdiri dari campuran batu kerikil dan batu besar
dengan tegangan geser yang tinggi. Lapisan ini digunakan untuk
mengalirkan air rembesan (seepage) dari lapisan kedap air.
(h1)2 - (h2)2 f1
2
S = t tan (45° )
2 2
dengan :
h1 = Jarak vertikal atau tinggi bendungan dari puncak sampai
dari lapisan yang keras atau batu, yang kekuatan lapisan
tersebut jauh lebih tinggi dibanding dengan material yang
berada diatasnya. (meter)
h2 = Jarak material dari dasar bendungan sampai dari lapisan
keras. (meter)
t = Berat isi effektif material timbunan (t/m3)
1 = Sudut kesamaan dari sudut geser dalam material timbunan
yang diperoleh dengan cara :
C + h1 tan
tan =
t h1
Tegangan geser pada titik kritis yaitu pada geser maksimum yaitu
tmaks = t h tan f1
Faktor keamanan pondasi terhadap gaya geser pada titik kritis (pada
lokasi gaya geser maksimum) :
tmaks
FS = > 4,00 (USBR)
Smaks
Qr = (Nf/Np) * K * H * B
dengan ,
Qr = Kapasitas aliran filtrasi (m3/det)
Nf = Jumlah trayektori aliran filtrasi
Np = Jumlah garis equipotensial
K = Koefisien permeabilitas (m/det)
H = Tinggi tekan air total (m)
B = Panjang dasar tubuh embung (m)
i * w = sub
i = sub / w
i = (Gs - 1)/(1 + e) merupakan gradien hidrolis kritis
dengan;
suatu gejala longsoran baik pada lereng hulu maupun lereng hilir
bendungan tersebut akibat ketidak stabilan kedua lereng tersebut. Oleh
karenanya dalam pembangunan suatu bendungan urugan, stabilitas
lereng-lerengnya merupakan kunci stabilitas bendungan secara
keseluruhan.
(b) Pada kondisi elevasi muka air waduk penuh, dimana bagian
bendungan yang terletak di atas garis depresi dalam kondisi
lembab, sedangkan bagian yang terletak di bawah garis depresi
dalam kondisi jenuh.
Sommer -
Kondisi JIS Davis U.S Army Corp Engineer
Sorensen
ad = z * a c * v ; k = ad /g
dengan :
k = Koefisien gempa
z = Koefisien zona gempa
ac = Percepatan gempa dasar (gal)
g = Percepatan gravitasi(cm /det2)
v = Faktor koreksi pengaruh jenis tanah setempat
ad = Percepatan gempa terkoreksi (gal)
Periode Ulang ac
(Tahun) (gal = cm/det2)
10 90
20 120
50 160
100 190
200 220
500 250
1000 280
5000 330
10000 350
ad = z * a c * v
k = ad /g
k h = 1 2 3 ko
dengan :
kh = koefisien gempa horisontal untuk desain
1 = faktor lokasi bendungan
2 = faktor pondasi bendungan
3 = faktor konstruksi
ko = koefisien gempa horisontal dasar
Lokasi Koefisien
Lokasi resiko tinggi 1,00
Lokasi resiko sedang 0,85
Lokasi resiko rendah 0,70
Faktor Pondasi
Faktor Konstruksi
Konstruksi Koefisien
Konstruksi baja 1,0
k = kh
Faktor gaya gempa suatu fungsi dua garis seperti terlihat pada gambar
berikut :
Fs =
{c.l ( N U Ne) tg }
(T Te)
dengan :
Fs = Faktor keamanan
N = Beban komponen vertikal yang timbul dari berat setiap irisan
bidang luncur (= . A . cos )
T = Beban komponen tangensial yang timbul dari berat setiap irisan
bidang luncur (= . A . sin )
U = Tekanan air pori yang bekerja pada setiap irisan bidang luncur
Ne = Komponen vertikal beban seismic yang bekerja pada setiap
irisan bidang luncur (= e . . A . sin )
Te = Komponen tangensial beban seismic yang bekerja pada setiap
irisan bidang luncur (= e . . A . cos )
l = panjang busur (m)
= Sudut gesekan dalam bahan yang membentuk dasar setiap
irisan bidang luncur ()
C = Angka kohesi bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang
luncur.
= Berat isi dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur (t/m 3)
b N
e e
T
w
H1 e U
e
P w= N
H2 w
P w .A
N = W cos + P sin
T = W sin - P cos
Ne = WT sin . K
Te = WT cos . K
dengan :
Stabilitas lereng tubuh bendungan ini ditinjau dari beberapa kondisi yaitu :
Bagian Hulu
- Pada saat bendungan baru selesai (immediately after completion)
untuk kondisi normal (Fs 1,5) dan kondisi gempa k = 0,124 (Fs
1,2).
- Pada saat elevasi air banjir (FWL) untuk kondisi normal k=0 (Fs 1,5)
- Pada saat waduk penuh (NWL) untuk kondisi normal (Fs1,5) dan
kondisi gempa k= 0,124 (Fs 1,2)
- Pada saat air waduk mengalami penurunan secara tiba-tiba (Rapid
Draw Down) untuk kondisi normal (Fs 1,5) dan kondisi gempa k =
0,124 (Fs 1,2).
Bagian Hilir
- Pada saat bendungan baru selesai (immediately after completion)
untuk kondisi normal (Fs 1,5) dan kondisi gempa k = 0,124 (Fs
1,2).
- Pada saat elevasi air banjir (FWL) untuk kondisi normal k=0 (Fs 1,5)
- Pada saat waduk penuh (NWL) untuk kondisi normal (Fs1,5) dan
kondisi gempa k= 0,124 (Fs 1,2)
- Pada saat air waduk mengalami penurunan secara tiba-tiba (rapid
draw down) untuk kondisi normal (Fs 1,5) dan kondisi gempa k =
0,124 (Fs 1,2).
Dalam studi ini, secara teknis analisis stabilitas lereng ini dilakukan dengan
menggunakan sistem program “P-SLOPE”.
Lereng hulu
m k . y"
Fs tan
1 k .m. y '
dengan :
Lereng hilir
nk
Fs tan
1 k .n
dengan :
n = Kemiringan lereng hilir
100 (hw)2
Wa = --------------
Cotg µ
dengan :
Wa = berat batu dalam kg
µ = kemiringan lereng hulu.
Namun demikian hasil analisis di atas perlu dikontrol dengan kondisi debit
banjir abnormal (QPMF) yang mungkin terjadi. Bila terjadi Q PMF tidak
diperkenankan terjadi over topping, namun bila ini terjadi, maka perlu
dipertimbangkan dimensi pelimpah yang lebih memadai.
ds
I–Q=
dt
Apabila periode penelusurannya diubah dari dt menjadi t maka :
I1 I 2 Q1 Q2
I ;Q ; dS = S2 – S1
2 2
I1 I 2 Q1 Q2
S 2 S1
2 2
I1 I 2 Q Q
.t S1 1 .t S 2 2 .t
2 2 2
I1 I 2 S1 Q1 S 2 Q2
2 t 2 t 2
S1 Q1 S Q
Jika dan 2 2
I t I 2 t t
1
Maka :
2
dengan :
I1 = Inflow pada awal t
I2 = Inflow pada akhir t
Q1 = Outflow pada awal t
Q2 = Outflow pada akhir t
S1 = Tampungan pada awal t
S2 = Tampungan pada akhir t
t = Periode penelusuran banjir (3600 dt)
Persamaan debit :
Q = C . L . H3/2
dengan :
Q = debit m3/dt
C = koefisien debit
g = percepatan gravitasi, m/dt2 (= 9,81)
H = total tinggi tekanan air di atas mercu bendung
Koefisien debit C pada bendung berkisar antara 2,0 sampai dengan 2,1,
dicari dengan cara coba-coba. Koefisien debit (C) dari tipe standart suatu
pelimpah diperoleh dengan rumus Iwasaki (Sosrodarsono, 1989, 182) :
1 2a (h / Hd )
C = 1,6
1 a ( h / Hd )
Dalam hal ini :
C = Koefisien debit
Cd = Koefisien debit pada saat h = Hd
h = Tinggi air di atas mercu pelimpah (m)
Hd = Tinggi tekanan rencana diatas mercu pelimpah (m)
W = Tinggi pelimpah (m)
Le = L - 2 (nKp + Ka) H1
dengan :
n = jumlah pilar
Kp = koefisien konstraksi pilar
Ka = koefisien konstraksi pangkal bendung
H1 = tinggi energi (m)
0,85
X 1,85 2.H d Y
dengan :
Hd = tinggi tekanan rencana
X = Jarak horizontal dari titik tertinggi mercu bendung ke titik di
permukaan mercu di sebelah hilirnya.
Y = Jarak vertikal dari titik tertinggi mercu bendung ke titik di
permukaan mercu di sebelah hilirnya.
Profil di bagian hulu dapat diperoleh dengan persamaan :
X1 = 0,282 Hd
X2 = 0,175 Hd
R1 = 0,5 Hd
R2 = 0,2 Hd
X1 X1,85 2. H d 0,85 Y
Hd
X2
R2
Y = Poros Bendung R1
Vz 2 g z Hd Yz
Q
Vz Yz
L Vz
Fz
g Yz Q
2 g Z Hd Yz 0
Yz L
dengan :
Q = Debit banjir rencana (m3/det)
L = Lebar pelimpah (m)
Vz = Kecepatan pada titik sejauh z (m3/det)
Yz = Kedalaman air pada titik sejauh z (m)
Z = Tinggi pelimpah dihitung dari mercu pelimpah sampai dengan
lereng hilir pelimpah
Fz = Bilangan Froude pada titik sejauh z
Hd = Tinggi kecepatan di sebelah hulu (m)
Untuk mendapatkan kondisi aliran yang baik pada saluran peluncur maka di
bagian bawah dari saluran transisi ditempatkan suatu konstruksi pelimpah
untuk kontrol hidrolis seperti pada gambar di bawah ini.
Q2
Yc = 3
gB 2
he adalah kehilangan tinggi tekan akibat kontraksi vertikal
2
he = f
Vc
2g
f adalah koefisien akibat kontraksi vertikal (0,15).
Saluran Peluncur
Dalam merencanakan saluran peluncur (flood way) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1. Agar air yang melimpah dari saluran pengatur mengalir dengan lancar
tanpa hambatan-hambatan hidrolis.
2. Agar konstruksi saluran peluncur cukup kukuh dan stabil dalam
menampung semua beban yang timbul
3. Agar biaya konstruksinya seekonomis mungkin.
1 L 2
hL
V2
2g V2
V1 2g
V2
d2
z1
L1
datum z2
V12 V22
El.1 d1 cos El.2 d 2 cos hf
2g 2g
dengan :
d1,2 = Kedalaman air di bidang 1 dan 2 (m)
V1,2 = Kecepatan aliran di bidang 1 dan 2 (m/det)
g = Percepatan gravitasi (= 9,81 m/det2)
L = Jarak horisontal antara kedua bidang (m)
hf = Kehilangan tekanan karena gesekan (m)
2 2
n V
= L
4
R 3
n = Koefisien kekasaran manning (m)
R = Jari-jari hidrolis (m)
Agar diperoleh tipe peredam energi yang sesuai untuk suatu calon
bangunan pelimpah, maka perlu dipertimbangkan hal sebagai berikut :
Gambaran karakteristik hidrolis pada peredam energi yang
direncanakan.
Hubungan lokasi antara peredam energi dengan tubuh bendungan
Karakteristik konstruktif dari bangunan pelimpah
Kondisi topografi, geologi dan hidrolis di daerah tempat kedudukan
calon bangunan peredam energi
Situasi serta tingkat perkembangan dari sungai di sebelahnya.
h2 b
Dengan h1 sebagai B dan B sebagai , Harbrand
mengembangkan hubungan empiris dengan memuaskan meramalkan
kedalaman konjugasi dalam suatu saluran yang mengekspansi, dalam
bentuk grafik hubungan Froude dan kedalaman.
20
19
= 0.8
= 10
17 Saluran Prisma
= 0.6
15 b B
h2 13 = 0.4
h1 h2
11 h1
= 0.2
9
1
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 20
F1
Hubungan Kedalaman Konjugasi untuk Ekspansi Tiba-tiba Tipe USBR
Kolam olakan tipe USBR yang dikembangkan untuk kolam olakan pada
bendungan tinggi, bendungan tipe urugan dan struktur kanal besar adalah
Kolam olakan USBR II. Pada kolam jenis ini terdapat blok-blok saluran tajam
pada ujung hulu dan ambang bergerigi di dekat ujung hilir. Tidak terdapat
dinding penahan arus yang digunakan, karena kecepatan masuk loncatan yang
tinggi dapat mengakibatkan kavitasi pada dinding. Rancangan kurva dan
perbandingan untuk kolam USBR II disajikan berikut ini.
1. Terowongan Pengelak
Umum
Terowongan pengelak difungsikan sebagai pengalih aliran sementara
aliran sungai Tukad Titab dengan tujuan mengeringkan areal pekerjaan
untuk konstruksi Bendungan. Setelah pembangunan terowongan pengelak
selesai dilaksanakan, maka aliran sungai dialihkan melalui terowongan
dengan menutup aliran sungai di bagian hulu.
Dengan dialihkannya aliran sungai, maka pembangunan bangunan
pelimpah dan bendungan utama dapat dilaksanakan. Apabila pelaksanaan
bendungan sudah selesai seluruhnya, maka dilakukan penutupan
terowongan pengelak dengan stoplog dan concrete plug. Terowongan
pengelak tersebut selanjutnya akan dimanfaatkan sebagai bangunan
pengambilan.
1 2/3 1/2
V
R S
n
Q =A. V
dengan:
Q = Debit yang mengalir pada kedalaman tertentu (m3/det)
R = Jari-jari hidrolis = A/P (m)
A = Luas penampang basah (m2)
P = Keliling basah (m)
D = Diameter terowongan (m)
S = Kemiringan terowongan
n = Koefisien kekasaran Manning
H
D
D
D
h
h
D D
A=D.h
P = D + 2. h
B 2.Rsin
R h
arc.cos
R
PT. WAHANA ADYA Hal : V-64
Cab. Denpasar
DOKUMEN USULAN TEKNIK
Detail Desain Waduk Titab di Kabupaten Buleleng
1 .
A=D.R+ . .R 2 - R 2 - sin . cos
2 180
P = D + 2.R + .R 1 -
180
B 2h R .sin
hR
arc.cos
R
dengan :
Aliran tekan terjadi apabila terowongan terisi penuh atau ujung hulu
terowongan tenggelam, dimana H/D > 1,2 (Suyono Sosrodarsono dan
Kensaku Takeda, 1989:262).
V2
2g
H
D
V2
he f e
2g
dengan :
Fe = 0,25
Fe = 0,1
L V2
hf f
D 2g
dengan :
V2
ho
2g
dengan :
2. Bendungan Pengelak
Analisa Flood Routing
Penelusuran banjir lewat waduk ini guna mendapatkan hubungan antara
pengeluaran (outflow) dan elevasi muka air waduk yang dimulai dari datum
fasilitas pengeluaran. Pada dasarnya penelusuran pada waduk
berdasarkan persamaan kontinuitas sebagai berikut (Soemarto, 1995:176):
ds
I–Q=
dt
dengan :
I dt O dt S 2 S1
I1 I 2 O O2
.t S2 S1 1 .t
2 2
I1 I 2 S1 O1 S 2 O 2
2 t 2 t 2
jika,
S1 O1
.
t 2
S2 O 2
.
t 2
maka,
I1
I2
PT. WAHANA ADYA Hal : V-67
Cab. Denpasar
DOKUMEN USULAN TEKNIK
Detail Desain Waduk Titab di Kabupaten Buleleng
dengan :
Tinggi Jagaan
Untuk menjaga agar tidak terjadi limpasan di atas bendungan pengelak,
maka perlu adanya tinggi jagaan, yang dapat dihitung dengan rumus
(Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda, 1989:171) :
he
Hf hw hi
2
dengan :
Hf = Tinggi jagaan (m)
Hw = Tinggi ombak akibat tiupan angin (m)
he = Tinggi ombak akibat gempa (m)
hi = Tinggi tambahan yang didasarkan pada tingkat urgensi dari
bendungan (m)
Tinggi ombak akibat gempa (he) dihitung dengan rumus empiris yang
dikembangkan oleh Seiishi Sato (Suyono Sosrodarsono dan Kensaku
Takeda, 1989:173) :
k.
he g.Ho
dengan :
Bangunan pengambilan
Pipa pesat dan Surge tank
Rumah PLTA / power-house
Turbin dan generator
Tail race
Switch yard
Pintu dan fasilitas mekanikal lainnya.
Bangunan Pengambilan
Bangunan pengambilan terdiri dari bangunan inlet, menara pengambilan dan
terowongan pengambilan, dimana berfungsi sebagai pengambilan air untuk
kebutuhan irigasi, air baku dan PLTA. Menara pengambilan direncanakan di
hulu bendungan, dengan elevasi dasar pengambilan tertentu. Bangunan
pengambilan direncanakan dengan konstruksi beton bertulang, dilengkapi
dengan fasilitas pintu, saringan/trash-rack dan stoplog. Terowongan pengelak
akan difungsikan sebagai terowongan pengambilan, dengan menutup /
plugging bagian hulu terowongan pengelak.
Q=VxA
Dimana :
Q = Debit aliran, m3/det.
V = Kecepatan aliran, m/det.
A = Luas penampang, m2
A=Q:V
dengan ;
V = Kecepatan aliran, m/dt
L = Panjang terowongan, m
At = Luasan trowongan, m2
hf = Kehilangan tinggi tekan, m
Hg = Tinggi jatuh, m
Turbin
Turbin direncanakan dengan pertimbangan debit yang mengalir, kapasitas
terpasang dan daya yang diingikan. Dengan acuan tersebut dapat ditentukan
jumlah dan tipe dari turbin.
Tinjauan stabilitas konstruksi ini paling tidak harus mencakup hal-hal sebagai
berikut :
Berikut ini beberapa hal yang berhubungan dengan analisis stabilitas konstruksi
antara lain :
1. Tekanan tanah
Perhitungan tekanan tanah akan dipakai untuk desain konstruksi dinding
penahan tanah khususnya pada saluran peluncur dengan mempergunakan
Rankine's Formula sebagai berikut :
dengan :
Ea = Tekanan tanah aktif (KN/m)
Ep = Tekanan tanah pasif (Kn/m)
Ka = Koefisien tekanan tanah aktif
Kp = Koefisien tekanan tanah pasif
H1 = Tinggi tekanan tanah aktif (m)
H2 = Tinggi tekanan tanah pasif (m)
c = Kohesi (t/m2)
2. Tekanan air
Tekanan Hidrostatis
Tekanan hidrostatis dihitung berdasarkan rumus :
p = 1/2 w.h2
dengan :
p = Tekanan hidrostatis (t/m2)
w = Berta jenis air (t/m3)
h = Tinggi air (m)
Pd = 7/12 x w x K x Yi3 x Pi
dengan :
Pd = Tekanan air dinamis (ton)
w = Berat jenis air (t/m3)
K = Koefisien gempa (=0.12)
Yi = Kedalaman air pada titik tertentu (m)
pi = Kedalaman air dari dasar ke Permukaan (m)
Metode yang digunakan adalah simulasi neraca air di waduk. Data masukan inflow
berupa debit yang masuk ke waduk dan curah hujan yang masuk ke permukaan
waduk sedangkan keluaran (outflow) berupa supley air baku dan air irigasi serta
kehilangan-kehilangan lain. Fungsi kendala berupa kapasitas tampungan waduk.
Hasil dari simulasi operasi berupa rule curve yang merupakan aturan operasi untuk
setiap keadaan tampungan.
5.4.8 Penyusunan BOQ, RAB (Cost Estimate), Metode & Rencana Tahapan
Pelaksanaan
Prakiraan biaya finansial proyek dibuat dengan menggunakan kriteria dan anggapan
sebagai berikut :
Dalam penyusunan RAB dan metode pelaksanaan ini dihitung berdasarkan harga
yang sesuai acuan yang berlaku di pasaran. Biaya bunga dalam analisis ekonomi,
juga diperhitungkan karena biaya bunga tersebut telah diperhitungkan pada saat
investasi dikeluarkan.
Untuk barang dan jasa yang bersifat non perdagangan dihitung berdasarkan nilai
“Social Opportunity Cost of Capital”, karena harga dari faktor produksi tersebut tidak
mencerminkan nilai sosial yang sebenarnya. Hal ini disebabkan penyimpangan-
penyimpangan yang seringkali terjadi, seperti kebijakan Pemerintah berupa pajak
tidak langsung, subsidi pengaturan harga dan sebagainya.
Nilai tenaga kerja yang ada di pasar tenaga kerja masih belum mencerminkan
keadaan yang sebenarnya, karena banyaknya tenaga kerja yang tak terdidik. Oleh
karena itu dalam penyusunan harga tenaga kerja perlu dinilai kembali sehingga
dapat mencerminkan nilai yang sebenarnya. Sesuai dengan kebiasaan perbankan
yang berlaku di Indonesia, nilai tenaga kerja ditetapkan sebesar 50 % dari harga
yang berlaku di pasar tenaga kerja.
Dalam nilai pembebasan tanah dihitung berdasarkan nilai produksi yang hilang
(production for gone), sedang dalam analisis finansial dihitung berdasarkan luas
tanah yang dibebaskan dikalikan dengan harga tanah persatuan luas. Dimana
dalam pembebasan tanah seluruh biaya diupayakan ditanggung oleh Pemerintah
Daerah setempat.
c. Manfaat ekonomi
Analisis RAB ini dibuat dalam rangka mengetahui dari rencana pembangunan
Waduk ditinjau secara makro. Benefit dari proyek ini berasal dari pemanfaatan
air waduk untuk keperluan irigasi dan air baku domestik di Kotamadya
Denpasar dan Kabupaten Buleleng bagian selatan.
Selain adanya manfaat utama seperti tersebut diatas, pembangunan proyek ini juga
mempunyai manfaat tambahan (secondary benefit) seperti pengendalian banjir,
pariwisata dan sebagainya.
Ruang lingkup pekerjaan tinjauan lingkungan pada garis besarnya meliputi antara
lain :
a. Pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder, untuk menentukan
rona lingkungan awal yang ada.
b. Mengidentifikasi rencana kegiatan dalam beberapa tahap proyek yang
diperkirakan menimbulkan dampak penting. Kegiatan-kegiatan tersebut antara
lain :
1. Tahap Pra-Konstruksi :
Pembebasan lahan / pembayaran ganti rugi lahan dan tanaman
2. Tahap Konstruksi :
Mobilisasi material, alat berat dan tenaga kerja.
Pembukaan dan pembersihan lahan
Pembuatan jalan hantar (acces road)
Pembuatan / pengoperasian base camp, bengkel, gudang
Penggunaan Quarry (yang dikelola proyek) meliputi penggalian material
didaratan dan di badan sungai
Pekerjaan tanah (galian dan timbunan)
Pembuatan tubuh bendungan (urugan batu dengan inti kedap air)
termasuk bangunan pelengkap (spillway dan intake)
Pengangkutan tanah dan material bangunan.
3. Tahap Pasca-Konstruksi :
Pengisian air di waduk.
1. Komponen Biogeofisik-kimia :
Iklim : Pengenalan karakteristik curah hujan dalam kaitannya dengan
debit banjir, proses erosi dan kelongsoran di daerah proyek, type iklim,
suhu, keadaan angin, kualitas udara dan tingkat kebisingan
Hidrologi : Pola aliran air pernukaan, kualitas dan kuantitas air sungai
serta sumber-sumber air di permukaan lainnya yang ada di sekitar
proyek
Biologi : Inventarisasi jenis flora dan fauna terutama yang dilingdungi
baik didarat maupun di air (akustik)
Fisiografi, morfologi, topografi, dan struktur geologi permukaan
2. Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya:
Kependudukan : Jumlah dan komposisi penduduk.
Faktor ekonomi : kegiatan perekonomian yang menonjol dalam
masyarakat dalam kaitannya dengan ekonomi setempat maupun
regional. Lapangan usaha dan pekerjaan-pekerjaan yang utama /
dominan di masyarakat sekitar lokasi studi.
Sosial budaya :
o Kondisi kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan di lokasi
studi, termasuk jenis penyakit yang sering terjadi serta vektor
penyakit yang ada.
o Sikap dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan proyek.
o Perubahan sosial yang terjadi akibat kehadiran proyek.
o Kegiatan masyarakat setempat yang berkaitan dengan keberadaan
proyek seperti adat istiadat masyarakat, kegiatan upacara agama
dan aktifitas subak.