Anda di halaman 1dari 65

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS 2

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KRITIS


TRAUMA MEDULA SPINALIS DENGAN SPINAL SHOCK

Disusun Oleh: Kelompok 5


Kelas: A-2 2015
Agi Putri Alfiyanti (131511133046)
Elly Ardianti (131511133058)
Heny Oktora Safitri (131511133068)
Asti Pratiwi (131511133069)
Fara Anggita Rosa (131511133104)
Talia Puspita Adianti (131511133118)
Dewita Pramesti S. (131511133125)
Nadia Nur Mar’atush S (131511133137)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala


limpahan berkah dan rahmat yang diberikan, sehingga sebuah makalah berjudul
“Asuhan Keperawatan Klien Kritis Trauma Medula Spinalis dengan Spinal Shock”
ini dapat terselesaikan.

Dalam menyusun makalah ini, tentunya berbagai hambatan telah dialami.


Oleh karena itu, terselesaikannya makalah ini bukan semata-mata karena
kemampuan individual belaka, melainkan karena adanya dukungan dan bantuan
dari pihak-pihak terkait. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketulusan hati
disampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Erna Dwi Wahyuni, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku PJMA Keperawatan Kritis II dan


fasilitator kelompok kami.

2. Seluruh anggota kelompok 5 Kelas A-2 Angkatan 2015 yang selalu memberikan
bantuan dalam penyusunan makalah ini.

3. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga dan


kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Dalam penyusunannya, disadari bahwa pengetahuan dan pengalaman yang


dimiliki masih sangat terbatas, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah berikutnya. Dan akhir kata, semoga
makalah ini dapat memberi manfaat untuk kita semua.

Surabaya, 16 Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Cover ................................................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar Isi ...........................................................................................................iii
BAB 1 Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3. Tujuan ................................................................................................... 3
BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1. Anatomi dan Fisiologi Medula Spinalis ............................................. 4
2.2. Trauma Medula Spinalis ................................................................... 11
2.2.1 Definisi ................................................................................. 11
2.2.2 Etiologi ................................................................................ 12
2.2.3 Manifestasi............................................................................ 13
2.2.4 Patofisiologi ......................................................................... 17
2.2.5 WOC.................. ...................................................................18
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang .......................................................19
2.2.7 Penatalaksanaan .................................................................... 20
2.2.8 Komplikasi............................................................................ 22
2.2.9 Algoritma .............................................................................. 23
2.3. Spinal Shock ..................................................................................... 25
2.2.1 Definisi ................................................................................. 25
2.2.2 Etiologi ................................................................................ 25
2.2.3 Manifestasi............................................................................ 26
2.2.4 Patofisiologi ......................................................................... 26
2.2.5 WOC.................. ...................................................................29
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang .......................................................30
2.2.7 Penatalaksanaan .................................................................... 30
2.2.8 Komplikasi............................................................................ 31
2.2.9 Algoritma .............................................................................. 32
BAB 3 Asuhan Keperawatan Umum
2.1.ASKEP Umum Trauma Medula Spinalis ............................................ 34

iii
2.2.ASKEP Umum Spinal Shock ............................................................... 40
BAB 4 Asuhan Keperawatan Kasus
4.1 ASKEP Kasus ...................................................................................... 50
BAB IV Simpulan dan Saran ......................................................................... 57
Daftar Pustaka ................................................................................................. 59

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks yang terdiri dari
jaringan-jaringan saraf. Sistem saraf dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat
dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat yang terdiri dari otak dan medulla spinalis
memiliki peranan penting dalam tubuh manusia dalam mengorganisasikan sistem
saraf tubuh (Ethel, 2004). Kondisi gangguan atau trauma pada sistem saraf pusat
telah menjadi masalah yang serius, karena jika terjadi cedera pada salah satu saraf
pusat akan berdampak pada sistem tubuh yang dipersyarafi. Ibaratnya apabila pusat
tubuh kita mengalami cedera, tentunya bagian-bagian yang berada pada
koordinasinya akan mengalami gangguan juga.

Trauma atau cedera tulang belakang (Spinal Cord Injury) merupakan


kondisi di mana terjadinya perlukaan pada sumsum tulang belakang yang
mengakibatkan perubahan fungsi motorik, sensorik, atau otonom baik secara
permanen maupun sementaran (Lawrence, 2014). Trauma medula spinalis bisa
menyebabkan dampak yang cukup buruk bagi tubuh jika tidak segera mendapatkan
terapi yang mendukung, karena bisa menyebabkan kondisi trauma permanen dan
salah satunya adalah kondisi spinal shock. Syok spinal merupakan hilangnya reflek
pada segmen atas dan bawah lokasi terjadinya cedera pada medulla spinalis. Reflek
yang hilang antara lain reflek yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan
usus, tekanan darah, dan suhu tubuh (Corwin, 2009).

Angka kejadian Trauma Medula Spinalis dipengaruhi oleh banyaknya


pencetus yang mendasari. The National Spinal Cord Injury Statistical Center
(2006) menyebutkan bahwa penyebab terbesar dari terjadinya trauma medula
spinalis adalah kecelakaan (42%), kesalahan manusia (27,1%), kekerasan (15,3%),
olahraga (7,4%) dan sisanya disebabkan oleh faktor lain. Berdasarklan hasil survey,
membuktikan bahwa cidera tulang belakang lebih banyak diderita oleh pria
daripada wanita, hal ini didasari oleh konsumsi alkohol, merokok maupun

1
bertambahnya umur yang mengarah kepada cidera tulang belakang traumatis
(McQuillan et al, 2009).

Tingginya kasus penyebab trauma medula spinalis banyak terjadi di sekitar


kita, namun masih banyak masyarakat yang kurang memperdulikannya. Trauma
medulla spinalis masih dianggap cedera biasa yang akan sembuh dengan
sendirinya. Kondisi yang demikian inilah yang akan membawa kondisi penderita
menuju kegawatan yang permanen, yaitu spinal shock. Sehingga sebagai seorang
tenaga kesehatan yaitu perawat, kita harus bisa memberikan asuhan keperawatan
pada pasien dengan Trauma medula spinalis baik pada kondisi tanpa dan disertai
dengan spinal shock dengan tujuan agar komplikasi akibat cedera medula spinalis
dapat dikurangi dan angka kematian dapat dicegah.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dibuat, rumusan masalah yang
dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi dari sistem tulang belakang (Medula
Spinalis) ?
2. Apakah definisi dari Trauma Medula Spinalis dan Spinal Shock?
3. Apakah etiologi dari Trauma Medula Spinalis dan Spinal Shock?
4. Apa saja manifestasi yang bisa ditemukan dari Trauma Medula Spinalis dan
Spinal Shock?
5. Bagaimanakah patofisiologi terjadinya Trauma Medula Spinalis dan Spinal
Shock?
6. Bagaimanakah penatalaksanaan yang sesuai dengan Trauma Medula
Spinalis dan Spinal Shock?
7. Apa sajakah pemeriksaan penunjang yang bisa digunakan dalam
mendeteksi adanya Trauma Medula Spinalis dan Spinal Shock?
8. Apa sajakan komplikasi yang bisa terjadi pada Trauma Medula Spinalis dan
Spinal Shock jika tidak segera mendapatkan pengobatan?
9. Bagaimana konsep asuhan keperawatan umum pada Trauma Medula
Spinalis dan Spinal Shock?

2
10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan kasus pada Trauma Medula
Spinalis dan Spinal Shock?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah Small Group Discussion ini adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi dari sistem tulang belakang (Medula
Spinalis)
2. Menjelaskan definisi dari Trauma Medula Spinalis dan Spinal Shock
3. Menjelaskan etiologi dari Trauma Medula Spinalis dan Spinal Shock
4. Menjelaskan manifestasi yang bisa ditemukan dari Trauma Medula Spinalis
dan Spinal Shock
5. Menjelaskan patofisiologi terjadinya Trauma Medula Spinalis dan Spinal
Shock
6. Menjelaskan penatalaksanaan yang sesuai dengan Trauma Medula Spinalis
dan Spinal Shock
7. Menjelaskan pemeriksaan penunjaang yang bisa digunakan dalam
mendeteksi adanya Trauma Medula Spinalis dan Spinal Shock?
8. Menjelaskan komplikasi yang bisa terjadi pada Trauma Medula Spinalis dan
Spinal Shock jika tidak segera mendapatkan pengobatan
9. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan umum pada Trauma Medula
Spinalis dan Spinal Shock
10. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan kasus pada Trauma Medula
Spinalis dan Spinal Shock

1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini mahasiswa diharapkan mampu menambah
wawasan dan informasi tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
trauma medula spinalis dan spinal shock. serta dapat mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari selama memberikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan kasus yang sesuai.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Medula Spinalis


Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat, terletak
didalam canalis vertebralis dan merupakan lanjutan dari medulla oblongata dan
ujung caudalnya membentuk conus medullaris. Panjangnya pada pria sekitar 45cm
dan wanita 42-43 cm dengan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medula
spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki sepasang
saraf yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramen intervetebra (lubang pada
tulang vertebra). Saraf-saraf spinal diberi nama sesuai dengan foramen
intervertebra, kecuali saraf servical pertama yang keluar di antara tulang oksipital
dan vertebra servikal pertama. Dengan demikian, terdapat 8 pasang saraf servikal
(dan hanya tujuh vertebra servikalis), 12 pasang saraf torakalis, 5 pasang saraf
lumbalis, 5 pasang saraf sakralis, dan 1 pasang saraf koksigis (Akhyar, 2009).
Segmen upper cervical & thoracal berbentuk silindris dan segmen lower cervical
dan lumbal berbentuk oval. Berawal dari dasar otak (atlas/V.C1), berakhir setinggi
L1-L2 (conus medullaris), ke bawah melanjutkandiri sebagai fillum terminale. Di
bawah Conus medullaris terbentuk anyaman akarsaraf (saraf tepi) menyerupai ekor
kuda (cauda equina). Saraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligamen juga
oleh meningen spinal dan CSF (Muttaqin, 2008).

Gambar 2.1 Anatomi fisiologi

4
Pada potongan melintang medulla spinalis terdapat substansia grisea atau
gray matter (abu-abu) dan substansi alba atau white matter (putih). Bagian central
membentuk huruf H (Gray Matter) dan dikelilingi oleh white matter. Kedua bagian
medulla spinalis dipisahkan oleh septum medianus (dorsal/posterior) dan fissura
medianus (ventral/anterior). Sulcus dorsolateral (posterior) adalah pintu masuk akar
saraf posterior (sensorik) dan sulcus ventrolateral (anterolateral) adalah pintu keluar
akar saraf ventral (motorik). 3 area white matter: funikulus posterior, funikulus
lateralis, funikulus anterio.

a. Substansia grisea (gray matter)


1. Cornu Anterior (anterior horn cell/ AHC) berisi akar saraf motorik.
2. Cornu Intermediolateral terbatas pada regio thoracal dan upper lumbal.
3. Cornu Posterior (posterior horn cell/ PHC) berisi akar saraf sensorik
4. Canalis Centralis terletak di tengah substansia abu-abu,membagi medulla
spinalis menjadi 2 daerah commisura grisea anterior & posterior
b. Substansia alba (white matter)
1. Berisi serabut-serabut sensorik, motorik dan otonom
2. Terdiri dari tiga area funikulus, yaitu :
a) Anterior (berisi fasikulus descending/motorik)
b) Lateral (berisi fasikulus decsending dan ascending)
c) Posterior (berisi fasikulus ascending/sensorik)
3. Tiap funikulus terdiri dari satu atau lebih traktus atau funikulus

Gambar 2.2 Potongan melintang Mdulla Spinalis

5
Medulla spinalis melewati dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus
desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat
perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum
berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat
mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1)
informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan
raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot
dan sendi (Akhyar, 2009)

Menurut Mahadewa & Maliawan (2009) medula spinalis diperdarahi oleh 2


susunan arteria yang mempunyai hubungan istimewa. Arteri - arteri spinal terdiri
dari arteri spinalis anterior dan posterior serta arteri radikularis.

a. Arteri spinalis anterior dibentuk oleh cabang kanan dan dari segmen
intrakranial kedua arteri vertebralis.
b. Arteri spinalis posterior kanan dan kiri juga berasal dari kedua arteri
vertebralis.
c. Arteria radikularis dibedakan menjadi arteria radikularis posterior dan
anterior.

Gambar 2.3 Medulla Spinalis dan penghubung ke Arteri spinalis

6
Saraf spinal diberi nama dan angka sesuai dengan regia kolumna bertebra
tempat munculnya saraf tersebut, adapun saraf spinal terdiri dari:
1. Saraf servical ; 8 pasang, C1-C8
2. Saraf torax; 12 pasang, T1-T12
3. Saraf lumbal; 5 pasang L1-L5
4. Saraf sacral; 5 pasang, S1-S5
5. Saraf coccyigeal; 1 pasang

Beberapa fungsi dari masing-masing sistem saraf adalah sebagai berikut:


Fungsi Otot Saraf
I. Pleksus servikalis C1 – C4
Fleksi, ekstensi, Mm. koli profundi (M. Saraf servikalis
rotasi, dan eksorotasi sternokleidomastoideus, M. C1-C4
leher trapezius)
Pengangkatan dada Mm. Skaleni C3-C5
atas, inspirasi
Inspirasi Diafragma Saraf frenikus
C3–C5
II. Pleksus brakhialis C5-T1
Aduksi dan endorotasi M. pektoralis mayor dan Saraf torakalis
lengan, minor anterior
Menurunkan bahu ke C5-T1
dorsoventral
Fiksasi skapula M. seratus anterior Saraf torakalis
selama mengangkat longus
lengan C5-C7
Elevasi dan aduksi M. levator skapula, Saraf skapularis
skapula ke arah Mm. Rhomboidei dorsal
kolumna spinalis C4-C5
Mengangkat dan M. supraspinatus Saraf
eksorotasi lengan supraskapularis
C4-C6
Eksorotasi lengan M. infraspinatus
pada sendi bahu C4-C6
Endorotasi sendi M. latissimus dorsi, Saraf torakalis
bahu; aduksi dari M. teres major, dorsal
ventral ke dorsal; M. subskapularis C5-C8
menurunkan lengan (dari daerah dorsal
yang terangkat pleksus)
Abduksi lengan ke M. deltoideus Saraf aksilaris
garis horizontal C5-C6

Eksorotasi lengan M. teres minor C4-C5

7
Fleksi lengan atas dan M. biseps brakhii Saraf
bawah dan supinasi muskulokutaneus
lengan bawah C5-C6
M. korakobrakhialis
Elevasi dan aduksi C5-C7
lengan M. brakhialis
C5-C6
Fleksi lengan bawah
Fleksi dan deviasi M. fleksor karpi radialis Saraf medianus
radial tangan C5-C6

Pronasi lengan bawah M. pronator teres C5-C6

Fleksi tangan M. palmaris longus C7-T1

Fleksi jari II-V pada M. fleksor digitorum C7-T1


falangs tengah superfisialis

Fleksi falangs distal M. fleksor polisis longus C6-C8


ibu jari tangan

Fleksi falangs distal M. fleksor digitorum C7-T1


jari II dan III tangan profundus (radial)
Abduksi metakarpal I M. abduktor polisis brevis C7-T1

Fleksi falangs M. fleksor polisis brevis C7-T1


proksimal ibu jari
tangan
M. oponens polisis brevis C6-C7
Oposisi metakarpal I
Fleksi falangs Mm. lumbrikalis Saraf medianus
proksimal dan Jari II dan III tangan C8-T1
ekstensi sendi lain
Jari IV dan V tangan Saraf ulnaris
Fleksi falangs C8-T1
proksimal dan
ekstensi sendi lain
Fleksi dan M. fleksor karpi ulnaris Saraf ulnaris
pembengkokan ke C7-T1
arah ulnar jari tangan
M. fleksor digitorum C7-T1
Fleksi falangs profundus (ulnar)
proksimal jari tangan
IV dan V M. aduktor polisis C8-T1

Aduksi metakarpal I M. abduktus digiti V C8-T1

Abduksi jari tangan V M. oponens digiti V C7-T1

8
Oposisi jari tangan V M. fleksor digiti brevis V Saraf ulnaris
C7-T1
Fleksi jari V pada
sendi Mm. interosei palmaris dan C8-T1
metakarpofalangeal dorsalis
Mm. lumbrikalis III dan IV
Pembengkokan
falangs proksimal,
meregangkan jari
tangan III, IV, dan V
pada sendi tangan dan
distal seperti juga
gerakan membuka dan
menutup jari-jari
Ekstensi siku M. biseps brakhii dan M. Saraf radialis
ankoneus C6-C8

Fleksi siku M. brakhioradialis C5-C6

Ekstensi siku dan M. ekstensor karpi radialis C6-C8


abduksi radial tangan

Ekstensi falangs M. ekstensor digitorum C6-C8


proksimal jari II-IV

Ekstensi falangs M. ekstensor digiti V C6-C8


proksimal jari V

Ekstensi dan deviasi M. ekstensor karpi ulnaris C6-C8


ke arah ulnar dari
tangan
M. supinator C5-C7
Supinasi lengan
bawah M. abduktor polisis longus C6-C7

Abduksi metakarpal I:
ekstensi radial dari M. ekstensor polisis brevis C7-C8
tangan

Ekstensi ibu jari M. ekstensor polisis longus C7-C8


tangan pada falangs
proksimal M. ekstensor indisis proprius C6-C8

Ekstensi falangs distal


ibu jari

9
Ekstensi falangs
proksimal jari II
Elevasi iga; ekspirasi; Mm. toracis dan abdominalis N. toracis
kompresi abdomen; T1-L1
anterofleksi dan
laterofleksi tubuh.
III. Pleksus lumbalis T12-L4
Fleksi dan endorotasi M. iliopsoas Saraf femoralis
pinggul L1-L3

M. sartorius L2-L3
Fleksi dan endorotasi
tungkai bawah
M. quadriseps femoris L2-L4
Ekstensi tungkai
bawah pada tungkai
lutut
Aduksi paha M. pektineus Saraf obturatorius
M. aduktor longus L2-L3
M. aduktor brevis L2-L3
M. aduktor magnus L2-L4
M. grasilis L3-L4
L2-L4
Aduksi dan eksorotasi M. obturator eksternus L3-L4
paha
IV. Pleksus sakralis L5-S1
Abduksi dan endorotasi paha M. gluteus medius dan Saraf glutealis
minimus superior
L4-S1
Fleksi tungkai atas pada M. tensor fasia lata
pinggul; abduksi dan L4-L5
endorotasi

Eksorotasi paha dan abduksi M. piriformis


L5-S1
Ekstensi paha pada pinggul, M. gluteus maksimus Saraf glutealis
Eksorotasi paha M. obturator internus inferior
Mm. gemeli L4-S2
M. quadratus L5-S1

L4-S1
Fleksi tungkai bawah M. biseps femoris Saraf skiatikus
M. semitendinosus L4-S2
M. semimembranosus L4-S1
L4-S1
Dorsifleksi dan supinasi kaki M. tibialis anterior Saraf peronealis
profunda
L4-L5

10
Ekstensi kaki dan jari-jari M. ekstensor digitorum L4-S1
kaki longus
L4-S1
Ekstensi jari kaki II-V M. ekstensor digitorum
brevis L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki
M. ekstensor halusis L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki longus

M. ekstensor halusis
brevis
Pengangkatan dan pronasi Mm. peronei Saraf peronealis
bagian luar kaki superfisialis
L5-S1
Fleksi plantar dan kaki dalam M. gastroknemius Saraf tibialis
supinasi, M. triseps surae L5-S2
Supinasi dan fleksi plantar M. soleus
dari kaki M. tibialis posterior
L4-L5
Fleksi falangs distal jari kaki M. fleksor digitorum L5-S2
II-V (plantar fleksi kaki longus
dalam supinasi)

Fleksi falangs distal ibu jari L5-S2


kaki M. fleksor halusis longus

Fleksi jari kaki II-V pada S1-S3


falangs tengah M. fleksor digitorum
brevis
Melebarkan, menutup, dan S1-S3
fleksi falangs proksimal jari-
jari kaki Mm. plantaris pedis
Menutup sfingter kandung Otot-otot perinealis dan Saraf pudendalis
kemih dan rectum sfingter S2-S4

2.2 Trauma Medula Spinalis


2.2.1 Definisi Trauma Medula Spinalis
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis (Brunner & Suddaerth,
2008). Trauma medula spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan
yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi
lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia (Fransiska B. Batticaca, 2008).

11
Pada trauma medula spinalis timbul perlukaan pada sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau permanen,
perubahan fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Pasien dengan cedera tulang
belakang biasanya memiliki defisit neurologis permanen dan sering mengalami
kecacatan (Lawrence, 2014).
Cidera medula spinalis bisa meliputi fraktur, kontusio, dan kompresi
kolumna vertebra yang biasa terjadi karena trauma pada kepala atau leher.
Kerusakan dapat mengenai seluruh medula spinalis atau terbatas pada salah satu
belahan dan bisa terjadi pada setiap level (Kowalak, 2011).
Jadi, trauma medulla spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis akibat
trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek.

2.2.2 Etiologi Trauma Medula Spinalis


Trauma Medula Spinalis bisa disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya
adalah akibat trauma langsung yang mengenai tulang belakang dan melampaui
batas kemampuan tulang belakang dala melindungi saraf-saraf yang ada di
dalamnya. Trauma tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas, kecelakaan industri,
jatuh dari bangunan, pohon, luka tusuk, luka tembak dan terbentur benda keras
(Muttaqin, 2008).
Menurut Hagen dkk (2009), Trauma Medula Spinalis dibedakan menjadi 2
macam:
1. Cedera medula spinalis traumatik
Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Cedera medula spinalis traumatic ditandai sebagai lesi
traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik
dan sensorik atau paralisis.
2. Cedera medula spinalis non traumatik
Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor
mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang
terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik

12
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup
penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan

Sedangkan menurut Baticaca, 2008 penyebab terjadinya trauma medula


spinalis adalah sebagai berikut:Kecelakaan di jalan raya (penyebab paling sering) ;
1. Olahraga
2. Menyelam pada air dangkal
3. Luka tembak atau luka tikam
4. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit
yang mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar;
mielitis akibat inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang
disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra; siringmielia; tumor
infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.

2.2.3 Manifestasi Trauma Medula Spinalis


Menurut Towarto (2007) tanda dan gejala dari cedera medulla spinalis, yaitu:
1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
Hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan
dan prospriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya
fungsi spinal dan reflex autonom. Batas cedera medulla spinalis, tanda dan
gejala :

Tabel Manifestasi klinis sesaui radiks yang mengalami gangguan


Level Fungsi Motorik Refleks Fungsi Fungsi Pernapasan Fungsi Usus
Cedera Tendon Sensorik dan Kandung
Spinal Profunda Kemih
Volunter
C1-C4 Kuadriplegia: Semuanya Hilangnya Hilangnya fungsi Tidak ada
Hilangnya hilang semua fungsi pernapasan kendali usus
semua fungsi sensorik pada volunter atau kandung
leher ke bawah (interkostal) dan kemih

13
motorik dari (C4 involunter (frenik);
leher ke bawah mempersarafi dukungan ventilasi
klavikula) dan trakeostomi
dibutuhkan
C5 Kuadriplegia: C5, C6 Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada
Hilangnya sensasi di tetapi otot kontrol usus
semua fungsi bawah interkostal tidak atau kandung
di bawah bahu klavikula dan utuh kemih
atas sebagaan besar
bagian lengan,
tangan, dada,
abdomen dan
ekstrimitas
bawah.

C6 Kuadriplegia: C5, C6 Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada


Hilangnya brakioradi semua aspek tetapi otot kontrol usus
semua fungsi alis pada lesi C5 interkostal tidak atau kandung
di bawah bahu tetapi sensasi utuh kemih
dan lengan lengan dan ibu
atas; jari lebih terasa
penurunan
kontrol siku,
lengan bawah,
dan tangan
C7 Kuadriplegia: C7, C8 Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada
hilangnya trisep sensasi di tetapi otot fungsi usus
kontrol bawah interkostal tidak atau kandung
motorik pada klavikula dan utuh kemih
bagian lengan bagian lengan
dan tangan serta tangan

C8 Kuadriplegia: Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada


hilangnya sensasi di tetapi otot fungsi usus
kontrol bawah dada interkostal tidak atau kandung
motorik pada dan bagain utuh kemih
lengan dan tangan
tangan
T1-T6 Paraplegia: Hilangnya Saraf frenik Defekasi atau
hilangnya sensasi di berfungsi mandiri. berkemih tidak
setiap sensasi bawah area beberapa berfungsi
di bawah area dada tengah

14
dada, termasuk gangguan otot
otot di batang intercostal
tubuh
T6- Paraplegia: Hilangnya Fungsi pernapasan Kontrol
T12 kehilangan setiap sensasi tidak terganggu defekasi atau
kontrol di bawah berkemih tidak
motorik di pinggang berfungsi
bawah
pinggang
L1-L3 Paraplegia: L2-L4 Hilangnya Fungsi pernapasan Kontrol
hilangnya (sentakan sensasi tidak terganggu defekasi atau
sebagian besar lutut) abdomen baah berkemih tidak
kontrol tungkai dan tungkai ada
dan pelvis
L3-S5 Paraplegia: S1-S2 Saraf sensori Fungsi pernapasan Kontrol
inkomplet (sentakan lumbal tidak terganggu defekasi atau
Kontrol pergelanga menginervasi berkemih
motorik n kaki) tungkai atas mungkin
segmental dan bawah terganggu
L4-S1: abduksi L5: aspek Segmen S2-S4
dan rotasi medial kaki mengendalikan
internal S1: aspek kontinensia
pinggul, lateral kaki urin
dorsifleksi S2: aspek Segmen S3-S5
pergelangan posterior mengendalikan
kaki dan betis/paha kontinensia
inversi kaki Saraf sensori feses (otot
L5-S1: eversi sakral perianal)
kaki menginervasi
L4-S2: fleksi tungkai bawah,
lutut kaki dan
S1-S2: fleksi perineum
plantar S1-S2:
(sentakan
pergelangan
kaki)
S2-S5: kontrol
usus/kandung
kemih

Sumber: Patricia G. Morton. Keperawatan Kritis Vol. 2 Hal 1089-1093

15
Lokasi Fungsi Motorik dan Sensorik
Funsi Motorik Funsi Sensorik
Lokasi Fungsi Lokasi Area Sensasi
C1-C6 Fleksor Leher C5 Deltoid
C1-T1 Ekstensor Leher C6 Ibu jari
C3-C5 Diafragma C7 Jari tengah
C5 Fleksor Siku C8 Jari-jari
C6 Ekstensor pergelangan tangan T4 Batas putting
susu
C7 Ekstensor siku T10 Umbilikus
C8 Fleksi pergelangan tangan L5 Empu kaki
T1-T6 Interkosta otot dada S1 Little toe
T7-L1 Otot abdomen S2-S5 Perineum
L1-L4 Fleksi pinggul
L2-L4 Adduksi pinggul ekstensi lutu
L4-S1 Abduksi pinggul
Dorsofleksi kaki
L5-S2 Ekstensi pinggul
Plantar Fleksi kaki
L4-S2 Fleksi Lutut

2. Perubahan reflex
Setelah cedera medulla spinalis terjadi edema medulla spinalis sehingga
stimulus reflex juga terganggu misalnya reflex pada bladder, aktivitas
visceral, reflex ejakulasi.
3. Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit transversal,
dimana pasien terjadi ketidakmampuan melakukan pergerakan.
4. Spinal shock
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flaccid paralisis dibawah garis
kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks-refleks spinal, hilangnya
tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak

16
adanya keringat dibawah garis kerusakan dan inkontinensia urin dan retensi
feses.
5. Autonomic dysreflexia
Autonomic dysreflexia terjadi pada cidera thorakal enam ke atas, dimana
pasien mengalami gangguan refleks autonom seperti terjadinya bradikardi,
hipertensi paroksimal, distensi bladder.
6. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi,
menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak
dapat ejakulasi.

2.2.4 Patofisiologi Trauma Medula Spinalis


Kerusakan yang dialami medula spinalis dapat bersifat sementara atau
menetap akibat trauma terhadap tulang belakang. Medula spinalis dapat tidak
berfungsi untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat sembuh kembali
dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan
perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medula spinalis
yang menetap, secara makroskopis, kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
kontusio, laserasi dan pembengkakan daerah tertentu di medula spinalis.

Segera setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cedera, serabut-serabut


saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea medulla
spinalis menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cedera
pembuluh darah medula spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan
kerusakan yang terjadi pada cedera medula spinalis akut. Suatu rantai sekunder
kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi-lesi
hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan kerusakan mielin dan akson. Reaksi
sekunder ini, diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi medula spinalis pada
tingkat cedera, sekarang dianggap reversibel 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk
itu jika kerusakan medula tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali
pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat anti-inflamasi
lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari
perkembangannya, masuk kedalam kerusakan total dan menetap.

17
2.2.5 WOC

Kecelakaan kendaraan, industry, terjatuh dari olahraga, menyelam, luka tusuk, tumor, dll.

Kerusakan medulla spinalis

hemoragik

Serabut-serabut syaraf membengkak/ rusak

Trauma Medula Spinalis

Sapasme Kerusakan Kerusakan Kerusakan Lesi/


otot para T1-12 C5 lumbal 2-5 robekan
vertebralis karena
trauma
Heart rate Paraplegia pada area
Kehilangan
menurun paralisis sekitar
Iritasi inervasi
vertebra
serabut otot
saraf intercosta
Penurunan Penurunan
Curah fungsi sendi
Kerusakan
Hipoksia Jantung
Pelepasan Integritas
mediator Kulit
Hambatan
nyeri
Mobilisasi
Ketidakefe
Fisik
ktifan Pola
Nafas
Nyeri Akut

18
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien spinal cord
injury (SCI) meliputi :
1. Serum kimia
Melihat apakah ada ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan
menurunnya Hemoglobin dan hematocrit (untuk monitor kadar kehilangan
darah)
2. X-Ray Spinal
X-Ray Spinal dilakukan untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(fraktur atau dislokasi). Pencitraan diagnostik dimulai dengan X-Ray dari
wilayah yang terkena dampak dari tulang belakang

3. CT-Scan Spinal
CT-Scan Spinal dilakukan untuk menentukan tempat luka/jejas,
mengevaluasi gangguan structural
4. MRI Spinal
Dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat kerusakan saraf spinal, edema
dan kompresi
5. Myelografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
patologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).

19
2.2.7 Penatalaksanaan
Dua hal penting dalam penatalaksanaan (spinal cord injury) SCI menurut
Hanafiah (2007) yaitu:
1. Instabilitas dari Kolumna Vertebralis (Spinal Instability)
Spinal instability adalah hilangnya hubungan normal antara struktur
anatomi dari kolumna vertebralis sehingga terjadi perubahan dari fungsi
alaminya. Kolumna vertebralis tidak lagi mampu menahan beban
normal. Deformitas yang permanen dari kolumna vertebralis dapat
menyebabkan rasa nyeri. Keadaan ini juga merupakan ancaman untuk
terjadinya kerusakan jaringan saraf yang berat (catastrophic neurologic
injury). Instabilitas dapat terjadi karena fraktur dari korpus vertebralis,
lamina dan atau pedikel. Kerusakan dari jaringan lunak juga dapat
menyebabkan dislokasi dari komponen komponen anatomi yang pada
akhirnya menyebabkan instabilitas. Fraktur dan dislokasi dapat terjadi
secara bersamaan.
2. Kerusakan jaringan saraf, baik yang terancam maupun yang sudah
terjadi (actual and potential neurologic injury)

Sejatinya ada 5 prinsip utama dalam penatalaksanaan trauma spinal yaitu:


immobilisasi, stabilisasi medis, mempertahankan posisi normal vertebrae,
dekompresi dan stabilisasi spinal, serta rehabilitasi (Hanafiah, 2007)
1. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat
kejadian/kecelakaan. Immobilisasi leher dan dan stabilkan dalam
posisi anatomis dengan menggunakan cervical collar. Cegah agar leher
tidak terputar (rotation). Baringkan pasien dalam posisi terlentang
(supine) pada tempat/alas yang keras.
2. Stabilisasi Medis
Terutama pada pasien tetraparesis/etraplegia:
a. Periksa vital signs\
b. Pasang nasogastric tube
c. Pasang kateter urin

20
d. Segera normalkan vital signs
Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan
yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor
BGA (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock.
Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun
waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula
spinalis.
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong
atau Gardner- Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi
dislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban
ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi realignment artinya terjadi dekompresi. Bila realignment
dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan open reduction dan
stabilisasi dengan approach anterior atau posterior.
5. Rehabilitasi.
Yang termasuk dalam program ini adalah bladder training, bowel
training, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi – fungsi
neurologik dan program kursi roda bagi penderita paraparesis /
paraplegia.

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada kasus trauma spinal menurut Hanafiah
(2007) adalah sebagai berikut:
1. Penanganan trauma spinal telah dimulai sejak di tempat kejadian.
2. Proteksi terhadap cervical spine merupakan hal yang sangat penting
3. Mobilisasi pasien ke rumah sakit harus dilaksanakan dengan cara yang
benar.
4. Penatalaksanaan trauma spinal harus menurut prinsip-prinsip baku yang
telah dianut.
5. Tindakan operasi dan instrumentasi banyak menolong penderita dari cacat
neurologi yang berat.

21
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien SCI menurut Bhimji (2014) meliputi:
1. Perubahan tekanan darah yang ekstrim (autonomic hyperreflexia)
2. Chronic kidney disease
3. Komplikasi dari immobilisasi: Deep vein thrombosis, Lung infections,Skin
breakdown, Muscle contractures
4. Increased risk of injury to numb areas of the body
5. Peningkatan risiko urinary tract infections
6. Kehilangan control bladder
7. Kehilangan control bowel
8. Nyeri
9. Paralysis
10. Shock

2.2.9 Algoritma Spinal Cord Injury


1. Lakukan pengkajian terhadap faktor risiko adanya spinal cord injury,
yaitu:
a. Terdapat luka tusuk dan tembak
b. Terdapat luka terbuka/ langsung pada wajah, leher, atau punggung
(misal karena kecelakaan)
c. Kecelakaan saat menyelam
d. Sengatan listrik
e. Putaran yang ekstrim pada tulang belakang
f. Cedera olahraga (mendarat di kepala)
g. pukulan yang kuat dan besar pada kepala atau dada (kecelakaan
mobil, jatuh dari ketinggian)
2. Jika tidak: mulailah untuk memberi pendidikan kesehatan
a. Anjurkan untuk melakukan tindakan safety precautions: memakai
helm, seatbelts, menghindari prilaku berisiko.
b. Mencegah faktor risiko: mengindari mabuk saat mengemudi,
penyalagunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, bahaya industri,

22
berenang dikolam dangkal atau sedikit air tanpa diketahui, berada
ditempat tak berpagar.
3. Jika iya: kaji adanya
a. Posisi kepala yang tidak seperti biasa (abnormal)
b. Mati rasa atau kesemutan yang menjalar ke bawah lengan atau kaki
c. kelemahan
d. Kesulitan berjalan
e. Paralisis lengan atau kaki
f. Tidak ada kontrol bladder dan bowel
g. Syok: pucat, kulit lembab, dimgin, bibir dan kuku kebiruan, bertindak
kebingungan, atau setengah sadar
h. Tidak sadar
i. Kaku leher, sakit kepala, sakit leher
4. Diagnosa ditegakkan, bahwa terdapat spinal cord injury. Buat
perencanaan tindakan mengenai perkembangan dan persyaratan untuk
rehabilitasi; diskusikan mengenai prosedur diagnostik, pemeriksaan
radiologis. Pantau adanya tanda gejala dari komplikasi: autonomic
disreflexia, neurogenic syok. Diskusikan menganai medikasi: steroid,
atropine, vasopressor. Pastikan untuk membuat strategi untuk mencegah
terjadinya komplikasi akibat immobilisasi
5. Lalu kaji apakah pasien berpotensi unstable. Jika iya, buat rencana
perawatan mengenai potensial komplikasi: nurogenik syok. Autonomic
disreflexia, spinal syok; rencana perawatan untuk hipoventilasi,
pneumonia, sepsis, fraktur, neurogenic bladder, konstipasi, ileus pain,
disuse syndrome.

23
Gambar Algoritma Spinal Cord Injury menurut U.S. National Library of
Medicine, National Institute of Health.

24
2.3 Spinal Shock
2.3.1 Definisi Spinal Shock
Spinal Shock (syok spinal) merupakan kehilangan aktifitas otonom, refleks,
motorik, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat terjadinya cedera medula
spinalis. Syok Spinal terjadi sekunder akibat kerusakan pada medula spinalis
(Kowalak, 2011).
Spinal shock /syok pada medula spinalis adalah keadaan disorganisasi
fungsi medula spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu,
keadaan ini timbul segera setelah cedera dan berlangsung dari beberapa jam hingga
beberapa minggu. Syok spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah
akibat dari kehilangan tonus vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan
arteriol umum. Syok ini menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada
pembuluh penyimpan atau penampung dan kapiler organ splanknik. Tonus
vasomotor dikendalikan dan dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan serat
simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara
berurutan. Karenanya kondisi apapun yang menekan fungsi medulla atau integritas
medulla spinalis serta persarafan dapat mencetuskan syok neurogenik/syok spinal
(Tambayong, 2000).

Jadi, syok spinal adalah kerusakan medulla spinalis sekunder yang


menyebabkan kehilangan aktifitas otonom, reflex, motorik, dan sensorik pada
daerah di bawah tingkat terjadinya medulla spinalis.

2.3.2 Etiologi Shock Spinal

Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS.


Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan hambatan hantaran
simpatik dari pusat vasomotor pada otak. Dan penyebab utamanya adalah SCI .
Syok neurogenik keliru disebut juga dengan syok tulang belakang. kondisi
berikutnya mengacu pada hilangnya aktivitas neurologis dibawah tingkat cedera
tulang belakang, tetapi tidak melibatkan perfusi jaringan tidak efektif.

Tipe syok ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang menstimulasi
parasimpatik atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vaskular. Trauma pada

25
syaraf spinal atau medulla dan kondisi yang mengganggu suplai oksigen atau
gulokosa ke medulla menyebabkan syok neorogenik akibat gangguan aktivitas
simpatik. Obat penenang, anestesi, dan stres hebat beserta nyeri juga merupakan
penyebab lainnya.

2.3.3 Manifestasi Shock Spinal

Hilangnya sensasi, kontrol motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu


didalam tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian
tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal akan
tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah (Corwin, 2009).

2.3.4 Patofisiologi Shock Spinal

Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada spinal.
Syok spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah lokasi
terjadinya cedera pada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain reflek yang
mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan usus, tekanan darah, dan suhu tubuh.
Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara akut yang seharusnya
disalurkan melalui neuron dari otak untuk mempertahankan fungsi reflek. Ketika
syok spinal terjadi akan mengalami regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan
spastisitas otot serta reflex pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009).
Syok spinal akan menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah
pada pembuluh darah dan kapiler organ splanknik. Tonus vasomotor di medula dan
saraf simpatis yang meluas ke medula spinalis sampai pembuluh darah perifer
secara berurutan. Kerena itu kondisi yang menekan fungsi medula atau integritas
medula spinalis serta persarafan akan mengakibatkan syok neurogenik
(Tambayong, 2000).
Syok spinal adalah kombinasi dari arefleksia / hiporefleksia dan disfungsi
otonom yang menyertai cedera tulang belakang. Hiporefleksia diawali dengan
hilangnya refleks cutaneus dan reflek tendon dalam (deep tendon reflexes) disertai
dengan hilangnya aliran simpatis, mengakibatkan hipotensi dan bradikardia.
Refleks umumnya kembali dalam pola tertentu, dengan refleks cutaneus umumnya
kembali sebelum refleks tendon dalam (Silver,2000).

26
Ko et AL telah dijelaskan pola tertentu kembalinya refleks dan yang
pertama kembali adalah Delayed Plantar Reflex (DPR), diikuti oleh
bulbocavernosis (BC) dan cremasteric reflex (CR), dan akhirnya reflek pergelangan
kaki dan lutut (AJ, KJ). Bulbocavernosous reflex (BCR) diperiksa untuk
menentukan akhir dari syok spinal. Menarik pada kateter Foley juga dapat
menimbulkan Bulbocavernosous reflex (BCR) (Ko et Al,2000). Hal ini biasanya
kembali 1 sampai 3 hari setelah cedera. Terdapat 4 fase shok spinal yaitu:

1. Fase I: areflexia/hyporeflexia (0–1 hari)


Fase pertama terjadi 0-24 jam setelah cedera. Bila SCI (Spinal Cord Injury)
Complete, diawali dengan hilangnya DTR(deep tendon reflexes) seperti
ankle jerk (AJ) atau refleks Achilles dan knee jerk (KJ) atau refleks patella
disertai otot yang lemah dan lumpuh. Selama periode ini reflek cutenous
(polysynaptic) mulai pulih seperti bulbocavernosus (BC), Anal Wink (AW),
dan cremasteric (CM). Refleks patologis, Delayed Plantar Response (DPR)
yang pertama kembali dan dapat diamati setelah beberapa jam setelah
cedera. Saat terjadi SCI, rangsangan menjadi hilang dan neuron spinal
menjadi tidak terangsang. Ini merupakan penyebab utama depresi refleks
selama syok spinal. Refleks depresi mungkin juga karena peningkatan
penghambatan tulang belakang. Hiperpolarisasi lumbar neuron motorik dan
interneuron kemudian kurang merespon untuk refleks input segmental.
Secara klinis, ini adalah hiporefleksia syok spinal. Hiporefleksia diamati
dengan lesi di bawah level mid-pons; lesi di atas tingkat ini menghasilkan
kekakuan deserebrasi. hiporefleksia shock spinal, bagaimanapun, segera
muncul setelah SCI. Jadi, meskipun perubahan metabolik dan struktural
dapat berkontribusi untuk awal hiporefleksia, ini mungkin bukan penyebab
utama.
2. Fase 2 initial reflex return (1–3 hari)
Fase ini syok spinal berlangsung selama 1-3 hari postinjury. Refleks
cutaneous (BC, AW, dan cremasteric) menjadi lebih kuat selama periode
ini. Biasanya, DTR masih tidak ada. Pada fase ini akan terjadi mekanisme
denervasi supersensitivity yang meliputi: (1) mengurangi rangsang
neurotransmitter reuptake, (2) peningkatan sintesis dan masuknya reseptor

27
dalam membran postsinaps (3) menurunkan pelepasan danpenurunan
reseptor, dan (4) mengubah sintesis dan komposisi subunit reseptor.
3. Fase 3 early hyper-reflexia (4 hari-1 bulan)
Kebanyakan DTR pertama muncul kembali selama periode ini. AJ biasanya
kembali lebih dulu daripada KJ dan tanda Babinski. Refleks cutaneous (BC,
AW, dan CM) biasanya muncul pada akhir periode ini. Meskipun pada
umumnya, waktu pengembalian refleks bervariasi bahkan setelah SCI
complete karena perbedaan rangsangan refleks antara subyek. Fungsi
otonom terus berkembang dengan membaiknya saraf vagus dimediasi
bradiaritmia dan hipotensi. Disrefleksia otonom dapat mulai muncul. Hal
ini biasanya disebabkan oleh viskus membesar (misalnya, kandung kemih
atau usus) bertindak sebagai stimulus menyebabkan aliran simpatis masif di
bawah zona cedera, yang tidak diatur oleh Input supraspinal.
4. Fase 4 spasticity/hyper-reflexia (1–12 bulan)
Tahap keempat syok spinal terjadi antara 1 dan 6 bulan pasca cedera. DPR
telah menghilang di sebagian besar kasus. Refleks kulit, DTR, dan BS
menjadi hiperaktif dan menanggapi rangsangan minimal. Vasovagal
hipotensi dan bradiaritmia diselesaikan dalam 3-6 minggu. Kemudian 4
hari-4 minggu pertumbuhan sinaps, akson pendek dan / atau akson
disediakan. Setelah itu 1-12 bulan pertumbuhan sinaps, akson panjang dan
soma disediakan. (Ditunno, Little, Tessler, & Burns, 2004)

28
2.3.5 WOC Shock Spinal

Cidera medulla spinalis Obat penenang,


(primer & sekunder) Spinal Cord Injury anestesi, dan stres
hebat

Syok Spinal

Hilangnya Kelumpuhan Adanya Suplai oksigen


muatan tonik saraf perlukaan ke otak
pernapasan spinal cord menurun

Hilangnya reflek
pada lokasi Ekspansi Inflamasi Gangguan
terjadinya paru pada spinal metabolisme
cedera medspin menurun cord

Kehilangan Kehilangan Pemenuhan Peningkatan


Perangsang
reflek fungsi reflek fungsi kebutuhan asam laktat
reseptor
kandung rektum O2 nyeri
kemih berkurang
MK: MK: Resiko
MK: Timbul nyeri ketidakefektifan
MK: Inkotinesia Ketidakefektifa
Gangguan n pola nafas hebat perfusi jaringan
defekasi otak
eliminasi
urin
MK : Nyeri
akut

29
2.3.6 Pemeriksaan Penunjang Shock Spinal

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien spinal shock


antara lain:

1. X-Ray spinal : untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur
, dislokasi), untuk kesejajaran traksi atau operasi
2. CT-Scan spinal untuk menentukan tempat luka / jejas, mengevalkuasi
gangguan structural
3. MRI untuk mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema
dan kompresi
4. Mielografi untuk memperlihatkan kolumna spinalis jika terda[at oklusi
pada subaraknoid medulla spinalis
5. Rongent thoraks untuk memperlihatkan keadan paru
6. Pemeriksaan fungsi paru untuk mengukur volume inspirasi maksimal
dan ekpirasi maksimal terutama pada kasus trauma servikal bagian bawah
7. GDA untuk menunjukan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

2.3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien dengan kondisi shock
spinal adalah sebagai berikut:
1. Imobilisasi pasien untuk mencegah semakin beratnya cedera medulla
spinalis atau kerusakan tambahan
2. Kolaborasi tindakan pembedahan untuk mengurangi tekanan pada medulla
spinalis akibat terjadinya trauma yang dapat mengurangi disabilitas
jangka panjang.
3. Pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (satu jam pertama) untuk
mengurangi pembengkakan dan inflamasi medulla spinalis serta
mengurangi luas kerusakan permanen.
4. Fiksasi kolumna vertebralis melalui tindakan pembedahan untuk
mempercepat dan mendukung proses pemulihan.
5. Terapi fisik diberikan setelah kondisi pasien stabil.

30
6. Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka panjang seperti
komplikasi pada kulit, system reproduksi, dan system perkemihan dengan
melibatkan anggota keluarga (Corwin, 2009).

Sedangkan menurut Batticaca dan Fransisca B (2008) penatalaksanaan syok


spinal yaitu :
1. Lakukan konpresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara
teratur agar mencegah terjadinya inkontinensia overfloe dan dribbling.
2. Lakukan pengosongan rectum dengan cara tambahkan diet tinggi serat,
laksatif, supposutoria, enema untuk BAB atau pengosomngan secara
teratur tanta terjai inkontinensia.

2.3.8 Komplikasi
1. Henti nafas karena kompresi saraf frenikus diantara C3 dan C5 akibat
kerusakan dan pembengkakan pada area cedera.
2. Hiperrefleksia otonom ditandai dengan tekanan darah yang tinggi
disertai bradikardi, serta berkeringat dan kemerahan pada kulit wajah.
3. Cedera yang lebih berat akan mempengaruhi system tubuh, hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya infeksi pada ginjal dan saluran kemih,
kerusakan kulit hingga terjadi dekubitus, dan terjadi atrofi pada otot.
4. Ileus paralitik dapat ditemukan pada pasien syok spinal dan ditandai
dengan hilangnya bising usus, kembung, dan defekasi tidak ada. Hal ini
merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang akan berlangsung
beberapa hari samapai beberapa minggu.
5. Depresi, stress pada keluarga dan pernikahan, kehilangan pendapatan,
serta biaya medis yang besar sebagai respon dari psikososial
(Muttaqin,2008;Corwin, 2009).

31
2.3.9 Algoritma Penanganan Shock Spinal

32
ALGORITMA SPINAL SHOCK

33
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN UMUM
PASIEN DENGAN TRAUMA MEDULA SPINALIS DAN SPINAL SHOCK

3.1 ASKEP UMUM Trauma Medula Spinalis


3.1.1 Pengkajian Trauma Medula Spinalis
1. Primary Survey
a. Airway
Pengkajian pernafasan yang lengkap sangat penting untuk
menentukan kelangsungan hidup pasien dan prognosisnya. Pengkajian
utama dimulai dengan mengevaluasi kebersihan nafasnya. Bila ada
sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan
jari atau suction jika tersedia. Pada pasien yang tidak sadar, alat
pernafasan melalui mulut dimasukkan dan di samping itu juga leher
pasien dipertahankan dalam posisi netral. Pasien harus dibantu dengan
memberikan intubation sebelum dapat terjadi hipoksia berat yang mana
dapat merusak medulla spinalis.
- Look : Lihat gerakan pergerakan naik turunnya dada.
- Listen : Dengar suara napas pada mulut pasien. Kaji ada atau
tidaknya suara napas tambahan seperti snoring, gurgling, dan
crowing.
- Feel : Rasakan adanya aliran udara pernafasan.
b. Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya
dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun sesak. Kaji juga apakah ada suara
nafas tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau wheezing. Selain
itu kaji juga kedalaman nafas klien. Berikan oksigenasi yang adekuat
dan bantuan ventilasi bila diperlukan. Waspadai adanya sesak napas
dan gagal napas.
c. Circulation

34
Ada 3 penemuan klinis yg dlm hitungan detik dapat
memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik,yaitu : tingkat
kesadaran, warna kulit, dan nadi.
d. Disability
Dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat.Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil.
- Penilaian Tingkat kesadaran,ukuran dan reaksi pupil,tanda-
tanda lateralisasi dan tingkat level cedera spinal.
- Penilaian GCS.
e. Exposure : akral dingin, kering
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan cara
menggunting untuk memeriksa dan evaluasi penderita. Paparan
lengkap dan visualisasi head-to-toe pasien adalah wajib pada pasien
dengan trauma medula spinalis. Setelah pakaian dibuka, penderita
harus diselimuti agar penderita tidak kedinginan.

2. Secondary Survey
a. Pemeriksaan TTV
b. Pemeriksaan Fisik
- B1 (Breath) : Klien sulit bernapas, pernapasan dangkal atau
labored , periode apnea , penurunan bunyi napas, dan ronkhi.
- B2 (Blood) : Hipotensi , hipotensi postural, bradikardi,
ektremitas dingin, sianosis, dan pucat.
- B3 (Brain) : Nyeri tekan otot, hiperestesia tepat diatas daerah
trauma.
- B4 (Bladder) : Inkontinensia defekasi dan berkemih, dan retensi
urine.
- B5 (Bowel) : Distensi abdomen, peristaltic usus hilang, dan
melena.
- B6 (Bone) : Terjadi kelemahan dan kelumpuhan otot pada/
dibawah lesi.

35
c. Identitas
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status
perkawinan, dan penanggung biaya.
d. Keluhan Utama
Terjadi defisit neurologis pada pasien, trauma berat pada kepala.
e. Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan dan
adanya kehilangan fungsi neurologic. Medulla spinalis dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme yang disebabkan oleh penyakit tertentu,
benturan, laserasi dan trauma tembak, olahraga dan lainnya.
f. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya penyakit yag diderita seperti: osteoporosis, keganasan,
infeksi, penyakit kongenital dan lainnya.
g. Riwayat penyakit keluarga
Kaji adanya penyakit keluarga seperti osteoporosis, osteoarthritis,dll.
h. Riwayat penggunaan obat
Kaji obat-obatan yang dikonsumsi pasien, seperti penggunaan obat
penenang, anastesi spinal/ lumbal.
i. Pemeriksaan Diagnostik
1) Sinar X spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(fraktur , dislokasi), untuk kesejajaran traksi atau operasi.
2) Scan CT: menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi
gangguan struktural.
3) MRI: mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema
dan kompresi.
4) Mielografi: untuk memperlihatkan kolumna spinalis jika
terdapat oklusi pada subaraknoid medula spinalis/
5) Rongent torak : untuk memperlihatkan keadan paru.
6) Pemeriksaan fungsi paru: mengukur volume inspirasi maksimal
dan ekpirasi maksimal terutama pada kasus trauma servikal
bagian bawah.

36
7) GDA : menunjukan keefektifan pertukaran gas atau upaya
ventilasi.
3.1.2 Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b.d cedera pada medula spinalis
2. Nyeri akut b.d agens cedera fisik
3. Penurunan curah jantung b.d perubahan kontraktilitas
4. Gangguan integritas kulit b.d faktor mekanis
5. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler

3.1.3 Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa NOC NIC

1. Pola napas tidak Manajemen Jalan Napas


Setelah dilakukan tindakan
efektif b.d cedera
keperawatan selama 2x24 1. Monitor adanya kecemasan
pada medula
jam, diharapkan pola nafas pasien terhadap oksigenasi
spinalis
kembali efektif dengan 2. Monitor vital sign
kriteria hasil : 3. Informasikan pada pasien dan
keluarga tentang tehnik relaksasi
1. Irama pernafasan klien
untuk memperbaiki pola nafas.
normal.
4. Posisikan pasien untuk
2. Tidak ada penggunaan
memaksimalkan ventilasi
otot bantu nafas.
5. Buka jalan napas dengan teknik
3. Tidak ada suara napas
chin lif/ jaw thrust, sebagaimana
tambahan.
mestinya
4. Tidak ada sianosis.
6. Instruksikan bagaimana
melakukan batuk efektif
7. Lakukan penyedotan melalui
endotrachea atau nasotrachea
sebagaimana mestinya

37
Monitor Pernapasan
1. Monitor status pernafasan dan
oksigenasi sebagaimana
mestinya
2. Kolaborasi dengan tim dokter
mengenai kelola pemberian
bronkodilator atau nebulizer
2. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan Pemberian Analgesik
agens cedera fisik keperawatan selama 2 x 24 1. Tentukan lokasi, karakteristik,
jam diharapkan nyeri yang kualitas dan keparahan nyeri
dirasakan klien berkurang sebelum mengobati pasien.
dengan criteria hasil : 2. Kolaborasi dengan tim dokter
1. Nyeri yang dilaporkan mengenai pengobatan meliputi
berkurang. obat, dosis dan frekuensi obat
2. Ekspresi nyeri wajah analgesic yang diresepkan.
berkurang. 3. Tentukan pilihan obat analgesic
3. Klien dapat beristirahat berdasarkan tipe dan keparahan
dengan tenang. nyeri.
4. Dokumentasikan respon
terhadap analgesic dan adanya
efek samping.
Manajemen Nyeri
1. Kurangi / eliminasi faktor-faktor
yang dapat mencetuskan atau
meningkatkan nyeri.
2. Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri.
3. Monitor Tanda-Tanda Vital
4. Monitor tekanan darah, nadi,
suhu dan status pernafasan
dengan tepat.

38
5. Monitor irama dan tekanan
jantung.
3. Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan Pengaturan Hemodinamik
jantung b.d keperawatan selama 2 x 24
1. Kaji hemodinamik
perubahan jam, diharapkan curah
komprehensif
kontraktilitas jantung klien meningkat
2. Kaji status cairan
dengan kriteria hasil :
3. Kaji CRT
6. Tekanan darah sistol dan
4. Monitoring TTV secara berkala
diastol normal.
5. Periksa adanya edema perifer
7. Tidak ada sianosis.
atau pitting edema
8. Denyut nadi normal.
6. Monitoring tanda dan gejala
gangguan perfusi jaringan
dengan mengecek JVP, kaji
status perfusi
4. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Perawatan Luka
integritas kulit b.d tindakan keperawatan
1. Monitor karakteristik luka.
faktor mekanis selama 4 x 24 jam,
2. Berikan perawatan pada luka
diharapkan integritas kulit
yang diperlukan.
pasien mulai membaik
3. Berikan balutan yang sesuai
strukturnya dengan kriteria
dengan jenis luka.
hasil :
4. Periksa luka setiap kali
1. Suhu kulit normal.
perubahan balutan.
2. Integritas kulit tidak
5. Dorong cairan yang sesuai.
terganggu.
3. Lesi pada kulit mulai
membaik.

5. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Terapi Latihan


mobilitas fisik b.d keperawatan selama 3 x 24
1. Monitor vital sign sebelum dan
kerusakan jam, diharapkan pasien
sesudah aktivitas
neuromuskuler terbebas dari hambatan

39
mobilitas fisik dengan 2. Kaji kemampuan pasien dalam
kriteria hasil: mobilisasi
3. Dampingi dan bantu pasien saat
1. Peningkatan aktivitas
mobilisasi dan bantu penuhi
pasien.
kebutuhan sehari hari pasien
2. Memperagakan
(ADLS)
penggunaan alat bantu
4. Ajarkan keluarga untuk
untuk mobilisasi
membatu pasien memenuhi
ADL’s pasien selama di rumah
5. Berikan alat bantu jika pasien
membutuhkan
6. Ajarkan pasien bagaimana
mengubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan

3.2.1 Pengkajian Spinal Shock


1. Primary Survey
a. Airway
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam
keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang
tidak sadar, yang disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya
pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Bila ada sumbatan maka
dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika
tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan
pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat perlu
bantuan napas.Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas klien. Nilai
airway sewaktu dengan mempertahankan posisi tulang leher tetap dalam
keadaan in line position.
Lakukan pemeriksaan pula dengan:
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada asimetris atau
tidak, adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran, bila
diduga terjadi fraktur servical maka lakukan jaw thrust.

40
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan, dengar suara nafas vesikuler
atau tidak.
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan
b. Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea,
takipnea, bradipnea, ataupun sesak. Kaji juga apakah ada suara nafas
tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau wheezing. Selain itu kaji
juga kedalaman nafas klien. Berikan oksigenasi yang adekuat dan bantuan
ventilasi bila diperlukan. Biasanya pada pasien dengan spinal shock
didapatkan sesak nafas bahkan bisa juga gagal napas.
c. Circulation
Status sirkulasi dinilai secara cepat dengan cara memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi. Kaji ada tidaknya peningkatan/ penurunan
tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya takikardi, bradikardi. Kaji
juga ada tidaknya sianosis dan capilarrefil. Kaji juga kondisi akral dan nadi
klien. Kaji vena leher dan warna kulit (adanya sianosis), periksa keluaran
urin. Biasanya pada klien dengan spinal shock didapatkan tekanan darah
rendah, bradikardia, vasokontriksi perifer, CRT > detik.
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks,
pupil anisokor dan nilai GCS. Menilai kesadaran dengan cepat, apakah
sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar.
Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan
cepat dengan metode AVPU.
A = Alert: Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
V = Verbal: Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras
di telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang
atau menyentuh klien, jika tidak merespon lanjut ke P.
P = Pain: Cobalah beri rangsang nyeri pada klien, yang paling mudah
adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain
itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan
juga areal diatas mata (supra orbital).

41
U = Unresponsive: setelah diberi rangsangan nteri tetapi tidak bereaksi
klien berada dalam keadaan unresponsive.
e. Exposure
Melihat secara kesluruhan keadaan klien. Kien dalam keadaan sadar
(GCS 15) dengan simple head injury bila tidak ada defisit neurologis
dilakukan rawat luka, pemeriksaan radiologi, klien dipulangkan. Bila
terjadi penurunan kesadaran segera bawa ke rumah sakit
2. Secondary Survey
A: Alergi (adakah alergi pada klien seperti obat-obatan, plester, makanan)
M: Medikasi/ obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, diabetes, jantung, dosis atau penyalah
gunaan obat).
P: Pertinent medical history (riwayat medis klien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal).
L: Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jamsebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam komponen ini).
E: Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama).

Tahap selanjutnya yang harus dilakukan dalam secondary survey adalah:


1) Anamnesa
a. Identitas
Identitas klien meliputi nama, usia, jenis kelamin, agama, suku bangsa,
pekerjaan, Pendidikan, alamat, status perkawinan, no RM, tanggal dan
tahun lahir.
b. Keluhan utama
Klien mengalami kelemahan alat gerak bahkan kelumpuhan secara total
atau partial setelah terjadi trauma atau cidera pada spinal cord.
Penurunan kesadaran, nyeri juga bisa menjadi keluhan utama klien.
c. Riwayat Penyakit Sekarang

42
Tanyakan pada klien kapan terjadinya spinal syok, apa yang dirasakan
dan apa saja yang sudah dilakukan untuk mengatasi sakitnya, biasanya
penyebab terjadinya spinal shock adalah kecelakaan, trauma, jatuh, dll.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya penyakit degeneratif seperti osteoporosis, osteoarthritis,
dll.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Adakah anggota keluarga yang memiliki penakit yang sama dengan
klien.
f. Riwayat Penggunaan Obat
Kaji obat-obatan yang dikonsumsi klien seperti penggunaan obat
penenang anestesi spinal/lumbal.
g. Pengkajian bio-psiko-sosio-spiritual
Kaji perasaan dan emosi yang dialami klien mengenai kondisinya. Kaji
juga psikologis klien, stress psikologis mungkin dalam kondisi berduka
atau kehilangan. Kaji pula spiritual klien, persepsi terhadap kondisi
sakitnya dan pola kebiasaan klien sehari-hari.

2) Pemeriksaan Fisik
a. B1 (breath): RR klien akan menurun (bradikardia) dan nafas pendek.
BGA tidak normal, saturasi oksigen <90%, sianosis
b. B2 (blood): Tekanan darah akan menurun (hipotensi), tampak pucat.
c. B3 (brain): Klien kehilangan refleks sensori dan motorik, mengalami
tetraplegia dan atau paraplegia, penurunan kesadaran, beberapa klien
akan mengalami sianosis. Pengkajian objektif wajah klien terlihat
meringis,
d. B4 (bladder): Terjadi gangguan eliminasi urin, distensi abdomen akibat
penumpukan urin, retensi urin.
e. B5 (bowel): terjadi gangguan eliminasi fekal, peristaltik usus
menghilang
f. B6 (bone): klien mengalami kelemahan otot ekstremitas, terjadi,
gangguan mobilitas fisik.

43
3) Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar X: menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, dislokasi),
untuk kesejajaran traksi atau operasi.
b. Scan CT: menentukan tempat luka/ jejas, mengevaluasi gangguan
structural.
c. MRI: mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan
kompresi.
d. Mielografi: untuk memperlihatkan kolumna spinalis jika terdapat
oklusi pada subaraknoid medulla spinalis.
e. GDA: menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

3.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Domain 4. Aktivitas/ Istirahat. Kelas 4. Fungsi Respirasi. Respon
Kardiovaskular/ Pulmonal. Ketidakefektifan Pola Napas b.d Cedera
Medula Spinalis (00032).
2. Domain 12. Kenyamanan. Kelas 1. Kenyamanan Fisik. Nyeri Akut b.d Agen
Injuri (00132).
3. Domain 4. Aktivitas/ Istirahat. Kelas 4. Respon Kardiovaskular/Pulmonal.
Risiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak (00201).
4. Domain 3. Eliminasi dan Pertukaran. Kelas 1. Fungsi Urinarius. Gangguan
eliminasi urin b.d Gangguan sensori motorik (00016).
5. Domain 3. Gangguan Eliminasi dan Pertukaran. Kelas 2. Fungsi
Gastrointestinal. Inkontinesia Defekasi b.d Disfungsi Sfingter Rektal
(00014).

44
3.2.3 Intervensi Keperawatan
NO Diagnosa Keperawatan NOC (Kriteria Hasil) NIC (Intervensi)
1. Domain 4. Aktivitas/ Setelah dilakukan asuhan Monitor Pernapasan:
Istirahat. Kelas 4. Fungsi keperawatan selama 3 x 24 1. Monitor frekuensi,
Respirasi. Respon jam diharapkan: ritme,
Kardiovaskular/ 1. RR dalam batas kedalaman, dan
Pulmonal. Normal (16-24 penggunaan alat bantu
Ketidakefektifan Pola x/menit). nafas klien. Monitor
Napas b.d Cedera Medula 2. Auskultasi suara SaO2.
Spinalis (00032). napas (terdengar 2. Posisikan klien semi
vesikuler). fowler.
3. Volume tidal normal 3. Auskultasi suara nafas.
4. Saturasi Oksigen 4. Kolaborasi pemberian
>95%. O2
5. Tanda sianosis tidak 5. Observasi adanya tanda-
ada tanda hipoventilasi.
6. Dispnea tidak ada. Terapi Oksigen
1. Jaga kepatenan jalan
nafas
2. Monitor aliran oksigen
3. Monitor SaO2.
4. Monitor BGA.
5. Monitor adanya
kecemasan oksigenasi
2. Domain 12. Kenyamanan. Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri
Kelas 1. Kenyamanan keperawatan selama 2 x 24 1. Kaji rasa nyeri secara
Fisik. Nyeri Akut b.d Agen jam diharapkan: komprehensif untuk
Injuri (00132). 1. Pasien mampu menentukan lokasi,
merespon kontrol karakteristik,
nyeri onset/durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas atau

45
2. Pasien mampu beratnya nyeri, dan
mengenali penyebab faktor pencetus.
nyeri 2. Observasi tanda-tanda
3. Pasien mampu non-verbal dari
menjelaskan faktor ketidaknyamanan,
penyebab nyeri terutama pada klien
4. Pasien mampu yang mengalami
menggunakan catatan kesulitan
untuk memonitor berkomunikasi.
gejala setiap waktu. 3. Tentukan dampak nyeri
5. Pasien mampu terhadap kualitas hidup
menggunakan klien (misalnya tidur,
tindakan pencegahan nafsu makan, aktivitas,
6. Pasien mampu kognitif, suasana hati,
menggunakan non- hubungan, kinerja kerja,
analgesik teknik dan tanggung jawab
untuk menghilangkan peran).
nyeri. 4. Kontrol faktor
lingkungan yang
mungkin menyebabkan
respon
ketidaknyamanan klien
(misalnya temperature
ruangan, pencahayaan,
suara).
5. Pilih dan terapkan
berbagai cara
(farmakologi,
nonfarmakologi,
interpersonal) untuk
meringankan nyeri.

46
6. Ajarkan penggunaan
obat anti nyeri
3. Domain 4. Aktivitas/ Setelah dilakukan tindakan Monitor Neurologi
Istirahat. Kelas 4. Respon keperawatan selama 3 x 24 1. Monitor tingkat
Kardiovaskular/Pulmonal. jam diharapkan: kesadaran.
Risiko Ketidakefektifan 1. Nilai rata-rata tekanan 2. Monitor tanda-tanda
Perfusi Jaringan Otak darah normal. vital: suhu, tekanan
(00201). 2. Tidak ada penurunan darah, denyut nadi
tingkat kesadaran. dan respirasi.
3. Refleks saraf yang 3. Monitor respon
terganggu berkurang. terhadap stimuli:
verbal, taktil, dan
respon bahaya.
4. Tingkatkan frekuensi
pemantauan
neurologis yang
sesuai.
4. Domain 3. Eliminasi dan Setelah dilakukan tindakan Urinary Elimination
Management
Pertukaran. Kelas 1. keperawatan selama 3 x 24
1. Monitoring eliminasi
Fungsi Urinarius. jam diharapkan:
urin meliputi frekuensi,
Gangguan eliminasi urin Klien melaporkan pola
konsistensi, bau,
b.d Gangguan sensori eliminasi urin normal,
volume,
motorik (00016). dengan indikator:
dan warna jika
1. Kandung kemih
diperlukan.
kosong secara penuh.
2. Kolaborasikan dengan
2. Tidak ada residu urin
dokter untuk tindakan
>100-200cc.
Urinalisis jika
3. Intake cairan dalam
diperlukan dengan
rentang normal.
mengumpulkan
4. Bebas dari ISK.
spesimen urin porsi
5. Tidak ada spasme
tengah.
bladder.

47
6. Balance cairan 3. Ajarkan teknik berkemih
seimbang. yang benar dan kenali
7. Eliminasi urin tidak urgensi berkemih.
terganggu (bau, 4. Ajarkan klien tentang
jumlah, warna urin tanda dan gejala ISK.
normal, kejernihan 5. Instruksikan klien dan
urin) keluarga untuk mencatat
haluaran urin.
6. Catat waktu eliminasi
urin terakhir, yang
sesuai.
7. Anjurkan pasien /
keluarga untuk merekam
output urin, yang sesuai
8. Masukkan supositoria
uretra, yang sesuai.
9. Rujuk ke dokter jika
tanda-tanda dan gejala
infeksi saluran kemih
terjadi.
10. Anjurkan pasien untuk
minum 8 liter perhari
kecuali ada
kontraindikasi
5. Domain 3. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Perawatan Inkontinensia
Eliminasi dan Pertukaran. keperawatan selama 3 x 24 Saluran Cerna
Kelas 2. Fungsi jam diharapkan: 1. Kaji factor fisik atau
Gastrointestinal. 1. Pasien mampu psikologis penyebab
Inkontinesia Defekasi b.d mengenali keinginan inkontinensia fekal.
Disfungsi Sfingter Rektal untuk defekasi, 2. Monitor keadekuatan
(00014). 2. Mampu BAB.
mempertahankan

48
kontrol pengeluaran 3. Diskusikan prosedur dan
feses. kriteria hasil yang
3. Persarafan sfingter diharpakan bersama
fungsional. pasien.
4. Eliminasi secara 4. Jadwalkan toileting
mandiri. dengan menggunakan
pispot disamping tempat
tidur sesuai dengan
kebutuhan.
5. Sediakan bantalan
inkontinen sesuai
dengan kebutuhan.

49
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
TRAUMA MEDULA SPINALIS DENGAN SPINAL SHOCK

Tn. Y usia 38 tahun dibawa ke RS A oleh keluarganya. Tn. Y mengeluh


nyeri pada bagian pinggul belakang, sesak nafas, dan anggota ekstremitas bawah
melemah dan semakin memberat. Tiga hari sebelum masuk RS Tn.Y mengalami
kecelakaan motor. Tn. Y menjelaskan kronologi terjadinya kecelakaan, posisi jatuh
Tn. Y terdorong ke depan sehingga bagian pantat Tn.Y terbentur motor. Setelah
kecelakaan terjadi Tn. Y merasa pusing dan nyeri pada bagian pinggul sehingga
tidak langsung dibawa ke Rumah sakit, tetapi dibawa ke pengobatan alternatif
untuk dipijat. Saat dirumah Tn.Y merasakan kesulitan untuk mengontrol kencing
sehingga sering mengompol, Tn.Y juga mengalami kesulitan BAB, dan nyeri terasa
ketika Tn.Y melakukan aktivitas. Hasil pemeriksaan TTV didapatkan TD : 90/60
mmHg, RR : 27x/menit, Nadi 100x/menit, Suhu 38°C, skala nyeri 7 , saat
diauskultasi terdapat bising usus 16x/menit, Tn.Y terlihat menggunakan otot bantu
napas, Tn. Y Nampak gelisah dan takut. Hasil CT-Scan menunjukkan terjadi
dislokasi di S1.

4.1 ASKEP KHUSUS


4.1.1 Pengkajian Keperawatan
1. Primary Survey
- Airway : tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak ada sekret,
klien terlihat menggunakan otot bantu nafas
- Breathing : sesak nafas, PCH (+), RR 27x/menit (Takipnea)
- Circulation : TD 90/60, Nadi 100x/menit, suhu 380C
- Disability : pasien sadar GCS E4V5M6
- Exposure : suhu 38°C, terdapat jejas pada punggung bawah
sejajar pinggul
2. Secondary Survey
Riview of System

50
a) B1 (breathing) : Sesak nafas, RR 27x/menit (Takipnea),
Klien terlihat menggunakan otot bantu pernafasan, PCH (+)
b) B2 (blood) : TD 90/60 mmHg (Hipotensi), Nadi
100x/menit, Suhu 380C (Hipertermi)
c) B3 (brain) : kesadaran composmentis, nyeri skala 7
(dari 0-10) pada area cidera
d) B4 (bladder) : klien mengatakan tidak bisa mengontrol
keinginan kencing
e) B5 (bowel) : klien mengatakan sulit untuk BAB, bising
usus 16x/menit, distensi abdomen
f) B6 (bone) : pasien tampak lemah, terdapat kelemahan
pada anggota tubuh ekstremitas bawah, jejas pada punggung
bawah (pinggul)
3. Anamnesa
a) Identitas Pasien
Nama : Tn. Y
Usia : 38 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Surabaya
Tanggal MRS : 10 Februari 2019
No. Register : 14151112230
Agama : Islam
Status : Menikah
b) Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan sesak nafas yang berat, terjadi kelemahan
anggotan badan ekstremitas bawah yang semakin memberat
c) Riwayat Kesehatan Sekarang
Tn. Y usia 38 tahun dibawa ke RS A oleh keluarganya. Tn. Y
mengeluh nyeri pada bagian pinggul belakang, sesak nafas, dan
anggota ekstremitas bawah melemah dan semakin memberat. Tiga
hari sebelum masuk RS Tn.Y mengalami kecelakaan motor. Tn. Y

51
menjelaskan kronologi terjadinya kecelakaan, posisi jatuh Tn. Y
terdorong ke depan sehingga bagian pantat Tn.Y terbentur motor.
Setelah kecelakaan terjadi Tn. Y merasa pusing dan nyeri pada
bagian pinggul sehingga tidak langsung dibawa ke Rumah sakit, tetapi
dibawa ke pengobatan alternatif untuk dipijat. Saat dirumah Tn.Y
merasakan kesulitan untuk mengontrol kencing sehingga sering
mengompol, Tn.Y juga mengalami kesulitan BAB, dan nyeri terasa
ketika Tn.Y melakukan aktivitas. Hasil pemeriksaan TTV didapatkan
TD : 90/60 mmHg, RR : 27x/menit, Nadi 100x/menit, Suhu 38°C,
skala nyeri 7 , saat diauskultasi terdapat bising usus 16x/menit, Tn.Y
terlihat menggunakan otot bantu napas, Tn. Y Nampak gelisah dan
takut. Hasil CT-Scan menunjukkan terjadi dislokasi di S1.
d) Riwayat kesehatan dahulu
Tn. Y tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya dan tidak
mempunyai penyakit degeneratif ataupun kronis
e) Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang sama
dengan Tn. Y
f) Psikososial
Tn. Y nampak gelisah dan takut

4.1.2 Pemeriksaan Penunjang

Hasil CT-Scan menunjukkan terjadi dislokasi di S1.

4.1.3 Analisa Data


Data Etiologi Masalah
Keperawatan
DS Kecelakaan Motor Nyeri Akut
- P: Klien mengatakan ↓
nyeri karena terbentur Trauma medulla
motor saat kecelakaan spinalis
- Q : Nyeri seperti ↓
ditusuk-tusuk Kerusakan Medula
- R : Klien mengeluhkan Spinalis
nyeri pada bagian ↓
Iritasi serabut saraf

52
punggung bawah ↓
(pinggul) Pelepasan mediator
- T : Klien mengatakan nyeri
nyeri memberat ketika ↓
melakukan aktivitas Nyeri akut

DO
- Klien tampak gelisah
- RR : 27x/menit, Nadi
100x/menit
- S : skala nyeri klien 7
dari 0-10
DS: Kecelakaan Motor Hambatan
- Klien mengeluh ↓ mobilitas fisik
kelemahan ekstremitas Kerusakan medulla
bawah yang semakin spinalis
memberat ↓
DO: Serabut-serabut syaraf
- Klien nampak lemah membengkak/ rusak
- Terdapat jejas pada
punggung bawah ↓
- Hasil CT-Scan Kerusakan Sacrum 1
menunjukkan trauma
pada S1 ↓
- Klien membutuhkn
Penurunan fungsi sendi
bantuan pemenuhan
ADL ↓

Hambatan Mobilisasi
Fisik

DS Kecelakaan Motor Ketidakefektifan


- Tn.Y mengeluh sesak ↓ Pola Nafas
nafas Kerusakan medulla
DO spinalis
- RR 27x/menit
(Takipnea), Klien ↓
terlihat menggunakan Kerusakan Sacrum 1
otot bantu pernafasan,
PCH (+) ↓

53
Kehilangan inervasi
otot intercosta

Hipoksia

Ketidakefektifan Pola
Nafas

4.1.4 Diagnosa keperawatan SDKI


1. Pola Nafas Tidak Efektif D.0005 b.d Cedera Medulla Spinalis d.d Dispnea,
Kategori: Fisiologis Subkategori: Respirasi
2. Nyeri Akut D.0077 b.d Trauma d.d mengeluh nyeri, Kategori: Psikologis
Subkategori: Nyeri dan Keamanan
3. Gangguan Mobilitas Fisik D.0054 b.d gangguan Neuromuskular d.d sulit
menggerakkan ekstremitas, Kategori: Fisiologis Subkategori: Aktivitas/
istirahat
4.1.5 Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa NOC NIC
keperawatan
1. Pola Nafas Tidak Setelah dilakukan asuhan Monitor pernafasan (3350)
Efektif D.0005 b.d keperawatan dalam waktu 1x24 jam 1. Monitor kecepatan, irama,
Cedera Medulla klien dapat mencapai outcomes: kedalaman, dan kesulitan
Status Respirasi : Kepatenan bernafas
Spinalis d.d Dispnea
Jalan Nafas (0410) 2. Monitor pola nafas
Kategori: Fisiologis 1. RR klien normal (16- (takipnea)
20x/menit) 3. Monitor keluhan sesak
Subkategori: Respirasi
2. Klien tidak menggunakan nafas pasien termasuk
otot bantu pernafasan kegiatan
3. Tidak ada PCH Manajemen Jalan Nafas
(3140)
1. Mengajarkan klien untuk
terapi pernafasan
2. Mengedukasi klien untuk
memposisikan dirinya pada
posisi yang baik agar

54
ventilasi berjalan dengan
lancer
3. Kolaborasi Oksigenasi
4. Melakukan monitor
terhadap status respirasi dan
oksigenasi klien
2. Nyeri Akut D.0077 b.d Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri (1400)
Trauma d.d mengeluh keperawatan dalam waktu 1x24 jam 1. Menggali bersama klien
nyeri, klien dapat mencapai outcomes: faktor-faktor yang dapat
Kontrol Nyeri (1605) memperberat nyeri
Kategori: Psikologis 1. Klien mampu menggunakan (nyeri bertambah hebat
Subkategori: Nyeri dan tindakan pengurangan nyeri saat batuk).
tanpa analgesik. 2. Mengajarkan teknik
Keamanan
2. Klien mampu menggunakan nonfarmakologi yaitu
analgesik yang telah relaksasi (napas dalam)
direkomendasikan dengan dan kompres dingin
tepat. Pemberian Analgesik (2210)
3. Skala nyeri turun menjadi 0- 1. Menentukan lokasi,
2 karakteristik, kualitas
dan keparahan nyeri
sebelum mengobati
klien.
2. Mengecek adanya
riwayat alergi obat.
3. Berkolaborasi dengan
tim medis dalam
peresepan analgesik
sesuai dengan kondisi
klien
4. Mengecek perintah
pengobatan meliputi
obat, dosis dan
frekuensi obat analgesik
yang diresepkan.
5. Mengevaluasi
keefektifan pemberian
analgesik.
Monitor Tanda-Tanda Vital
(6680)
1. Memonitor tekanan
darah, nadi, suhu dan
status pernapasan secara
tepat
3. Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan asuhan Manajemen Energi ((0181)
Fisik D.0054 b.d keperawatan dalam waktu 3x24 jam 1. Batasi aktivitas klien
gangguan klien dapat mencapai outcomes: yang terlalu berlebihan
Pergerakan (0208)
Neuromuskular d.d sulit

55
menggerakkan -
Klien dapat bergerak 2. Anjurkan periode
ekstremitas, dengan mudah istirahat dan kegiatan
- Klien dapat melakukan secara bergantian
Kategori: Fisiologis gerakan sendiri tanpa 3. Bantu klien melakukan
Subkategori: Aktivitas/ terganggu ROM aktif/pasif untuk
istirahat - Klien dapat berjalan dengan menghilangkan
normal ketegangan otot
Ambulasi (0200)
- Klien dapat Manajemen Lingkungan
mempertahankan (6480)
keseimbangan dalam 1. Ciptakan lingkungan
menopang berat badan yang membuat klien
nyaman
2. Letakkan benda yang
sering digunakan dalam
jangkauan klien

4.1.6 Evaluasi
1. Ketidakefektifan Pola Nafas
- S : klien mengatakan bahwa sudah dapat bernafas dengan lebih lega
- O : PCH (-), tidak ada penggunaan otot bantu nafas
- A : masalah teratasi
- P : intervensi diberhentikan
2. Nyeri Akut
- S : klien mengatakan bahwa nyeri berkurang skala 2
- O : klien dapat menirukan teknik relaksasi yang diajarkan
- A : masalah teratasi
- P : intervensi dihentikan
3. Hambatan Mobilitas Fisik
- S : klien mengatakan bahwa kaki sudah lebih mudah digerakkan
- O : klien dapat menerapkan latihan yang diajarkan dengan baik
- A : masalah teratasi
- P : intervensi dihentikan.

56
BAB 5
PENUTUP

5.1 Simpulan
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis. Trauma medula
spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat
benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari
medula spinalis dengan quadriplegia. Pada trauma medula spinalis timbul
perlukaan pada sumsum tulang belakang yang mengakibatkan perubahan, baik
sementara atau permanen, perubahan fungsi motorik, sensorik, atau otonom.
Trauma Medula Spinalis bisa disebabkan oleh beberapa hal, salah
satunya adalah akibat trauma langsung, trauma tersebut meliputi kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan industri, jatuh dari bangunan, pohon, luka tusuk, luka
tembak dan terbentur benda keras. Cedera medula spinalis dibagi menjadi 2
yaitu traumatik dan non-traumatik.
Trauma medula spinalis bisa jatuh pada kondisi syok spinal jika tidak
ditangani dengan terapi yang sesuai. Syok spinal merupakan hilangnya reflek
pada segmen atas dan bawah lokasi terjadinya cedera pada medulla spinalis.
Reflek yang hilang antara lain reflek yang mengontrol postur, fungsi kandung
kemih dan usus, tekanan darah, dan suhu tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya
muatan tonik secara akut yang seharusnya disalurkan melalui neuron dari otak
untuk mempertahankan fungsi reflek. Ketika syok spinal terjadi akan
mengalami regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas otot serta
reflex pengosongan kandung kemih dan usus.
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang melakukan pemantauan terhadap
pasien selama 24 jam diharuskan mengetahui konsep tentang asuhan
keperawatan pada pasien dengan trauma medula spinalis yang mengarah ke
spinal shock. Sehingga selama melakukan asuhan keperawatan, bisa
mengaplikasikan ilmu dengan baik.

57
5.2 Saran
1. Makalah ini adalah makalah yang membahas tentang asuhan keperawatan
pasien dengan Trauma Medula Spinalis dan Spinal Shock, sehingga
diharapkan bermanfaat bagi pembaca yang membutuhkan.
2. Makalah ini belum memenuhi kesempurnaan, oleh karena itu dibutuhkan
perbaikan makalah ini agar lebih baik dan lengkap.
3. Setelah membaca makalah ini, pembaca dapat menerapkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan trauma medulla spinalis dan spinal shock.

58
DAFTAR PUSTAKA

ASIA ISCOS. 2013. International Standards for Neurological Classification of


Spinal Cord Injury. USA : American Spinal Injury Association
Baehr, M & Frotscher, M. 2007. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Jakarta : EGC.
Baradero, Mary, Dayrit, Siswadi. 2008-2009. Seri Asuhan Keperawatan pada
gangguan ginjal. Jakarta: Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta:
Salemba Medika.
Batticaca, B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku Untuk
Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikan Bedah: Buku Saku untuk
Brunner dan Suddarth. Jakarta : EGC.
Boswick, J.A. 1988. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta: EGC.
Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard k., Dochterman, Joannee. 2013. Nursing
Interventoins Classification (NIC) Sixth Edition. USA: Mosby Elseiver
Carpenito.
Corwin EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : Aditya Medika
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Ditunno, J. F., Little, J. W., Tessler, A., & Burns, A. S. (2004). Spinal shock
revisited: a four-phase model. Spinal Cord, 42(7), 383–395.
https://doi.org/10.1038/sj.sc.3101603.
Eliastam, Michael. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis. Jakarta : EGC.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 3.
Jakarta: EGC.
Gibson, John.2003.Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat, E/2. Jakarta :
EGC.
Hanafiah, Hafas (Juni 2007). Majalah Kedokteran Nusantara Volume 4 no. 2.
Universitas Sumatera Utara.

59
Kirshblum, steven dkk. 2011. International standards for neurological
classification of spinal cord injury. Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3232636/pdf/scm-34-535.pdf
Kneale, Julia & Davis, Peter 2005. Keperawatan Ortopedik dan trauma. Jakarta.
EGC.
Kneale, Julia D. 2011. Keperawatan Ortopedik & Trauma, Edisi 2. Jakarta:EGC.
Ko HY, Ditunno JF, Jr., Graziani V, et al. The pattern of reflex recovery during
spinal shock. Spinal Cord. 2000;37:402-409.
Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Lawrence S Chin, Robert B and Molly G King Endowed. (2014). Spinal Cord
Injuries. Medscape Medical News. Diakses
melalui http://emedicine.medscape.com/article/793582
Article about Definition of spinal cord injury. 2012. Diakses
melalui http://www.medicinenet.com/
Mahadewa T, Maliawan S. 2009. Cedera Saraf Tulang Belakang Aspek Klinis dan
Penatalaksanaannya. Denpasar: Udayana University Press.
McQuillan, Karen A., Makic, Mary B F., Whalen, Eileen. 2009. Trauma Nursing:
From Resuscitation Throgh Rehabilitation Fourth Edition. St. Louis, Missouri:
Saunders Elsevier.
Morton, P. G., & Fontaine, D. K. 2012. Essentials of critical care nursing: A holistic
approach (10th ed.). Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins.
Morton, Patricia G & Fontaine, Dorrie K 2009. Critical Care Nursing: A Holistic
Approach. Philadelphia. Lippincolt Wiliiam & Wilkins.
Morton, Patricia Gonce et al. 2011. Keperawatan Kritis: pendekatan asuhan
holistik vol.2 Ed.8; alih bahasa, Nike Budhi Subekti et al. Jakarta: EGC hlmn
1581.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Ganggguan Sisitem
Persarafan. Jakarta : EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

60
Nugroho. (n.d.). staff.unila.ac.id/gnugroho/files/2013/11/Anatomi-Fisiologi-
Sistem-Saraf.pdf. Retrieved Maret 3, 2017, from staff.unila.ac.id. pada tanggal
5 Maret 2017.
Pakasi, Ronald E. 2014. Patofisiologi dan Dampak Cedera Medula Spinalis Pada
Berbagai Sistem Tubuh. Jakarta: Unit Rehabilitasi Spinal Cord Injury RS
Fatmawati.
Pearce, E. (2002). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. (dr. Kartono Mohamad,
Ed., & S. Y. Handoyo, Trans.) Jakarta: Gramedia.
Pearce, E.2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Silver JR. Early autonomic dysreflexia. Spinal Cord. 2000;38:229-233.
Singapura : Willey Plus.
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Smeltzer & Bare . (2008). Textbook of Medical Surgical Nursing Vol.2.
Philadelphia: Linppincott William & Wilkins
Syaifuddin, M. (2006). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan (3 ed.).
Jakarta: EGC.
Tambayong, jan. 2005. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC.
http://meetdoctor.com/topic/spinal-cord-injury diakses pada 10 februari 2019
pada pukul 13.48 WIB
Tarwato, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persyarafan.
The National Spinal Cord Injury Statistical Center (NSCISC). 2006. Facts and
Figures at a Glance – June 2006. Diakses
dari http://www.spinalcord.uab.edu/show.asp?durki=21446 pada tanggal 13
Februari 2019 pukul 13.35 WIB
Tortora G. J. & Derrickson B. 2013. Essentials of Anatomy & Physiology 9th ed.
Urden Linda, Kathleen M.Stacy, Mary E.Lough. 2010. Critical Care Nursing
Diagnosis And Management Ed.6.St.Louis: Mosby Eldevier.
Urden, dkk. 2010. Critical care nursing. USA. Mosby elsevier.
WHO. 2013. International Perspectives on Spinal Cord Injury diakses dari
William & Wilkins. 2005. Pathophysiology :A2-in-1 Reference for Nurses.
Lippincott Williams&Wilkins.

61

Anda mungkin juga menyukai