Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN

TUTORIAL LBM 4
BLOK KARDIOVASKULER DAN RESPIRASI 1I
“MENGAPA KAKIKU NYERI SAAT NAIK TANGGA”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
Kadek Yulia Inggriani ( 017.06.0029 )
Kadek Indah Novita Rahayuni ( 017.06.0048 )
Nabila Araishabeby Yudhyatirta ( 017.06.0055 )
Renaldo Tegar Prasetyo ( 018.06.0022 )
Kinanti Puji Lestari ( 018.06.0028 )
Ni Luh Putu Anita Pradnyani Supraba ( 018.06.0030 )
Ayu Baitul Muhsinin ( 018.06.0052 )
Zuriyatun Toyibah ( 018.06.0054 )
Gusti Putu Satya Diva Pradana ( 018.06.0072 )
Ahmad Tristan Amartya (018.06.0074 )
Luh Made Sari Diantari (018.06.0076 )
Tutor : dr. Sukandriani Utami, S.Ked.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD (Small
Group Discussion) LBM 4 yang berjudul ‘Mengapa Kakiku Nyeri Saat Naik Tangga’
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa (LBM) 4
yang berjudul ‘Mengapa Kakiku Nyeri Saat Naik Tangga’ meliputi seven jumps step
yang dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan
lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini kami
mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Sukandriani Utami, S.Ked. sebagai dosen fasilitator SGD 7 yang senantiasa
memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami dalam
berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk menyusun
makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 12 Desember 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Masalah 2
1.3 Manfaat Masalah 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial 3
2.2 Skenario LBM 2 3
2.3 Pembahasan LBM 2 4
2.3.1 Klarifikasi Istilah 4
2.3.2 Identifikasi Masalah 4
2.3.3 Brain Stroming 5
2.3.4 Rangkuman Permasalahan 7
2.3.5 Learning Issue 8
2.3.6 Referensi 9
2.3.7 Pembahasan Learning Issue 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 19
DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jantung merupakan salah satu organ vital dalam tubuh manusia yang terletak dalam
mediastinum di antara kedua paru-paru. Jantung memiliki fungsi utama sebagai pemompa
darah. Jantung merupakan salah satu organ yang tidak pernah beristirahat dalam keadaan
fisiologis, pembentukan rangsang irama denyut jantung berawal dari nodus sinoatrial nodus
SA danmenyebar ke serat otot lainnya sehingga menimbulkan kontraksi jantung. Jika rangsang
irama inimengalami gangguan dalam pembentukannya dan penghantarannya, maka dapat
terjadigangguan pada kinerja jantung. Gangguan pada sistem kardiovaskuler merupakan
masalah kesehatan utama yang dialami masyarakat pada umumnya. hal ini dikarenakan,
jantung mempunyai suatu sistem pembentukan rangsang tersendiri. pada zaman modern ini.
Angka kejadian penyakit jantung semakin meningkat baik dinegara maju maupun berkembang,
penyebab yang sering ditemukan adalah gaya hidup misalnya, diet yang salah, stress, kondisi
lingkungan yang buruk, kurang olahraga,kurang istirahat dan lain-lain.
Diet yang salah, seperti terlalu banyak mengkonsumsi junk food yang notabene banyak
mengandung kolesterol jahat, yang berujung pada kegagalan jantung. Apalagi ditambah
dengan lingkungan yang memiliki tingkat stressor tinggi, kurang olahraga, dan istirahat, maka
resiko untuk terkena penyakit jantung akan semakin tinggi.
Berbagai macam penyakit jantung seperti penyakit jantung koroner, infark miokard
akut, hipertensi yang semuanya berujung pada gagal jantung. hal ini sangat membahayakan
bagi kehidupan seseorang, sehingga untuk mecegah komplikasi lebih lanjut harus segera
mendapat perawatan medis di rumah sakit.
1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui klasifikasi penyakit arteri perifer
1.2.2 Untuk mengetahui diagnosis banding dari penyakit arteri perifer
1.2.3 Untuk mengetahui mekanisme dari patofisiologi, gejala , serta faktor resiko dari
penyakit arteri perifer
1.2.4 Untuk dapat mengetahui penatalaksanaan gagal jantung kongestif dan memahami
komplikasi dari penyakit arteri perifer
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial


Hari/Tanggal Sesi I : Senin, 9 Desember 2019.
Hari/Tanggal Sesi II : Rabu, 11 Desember 2019.
Tutor : dr. Sukandriani Utami, S.Ked
Moderator : Renaldo Tegar Prasetyo
Sekretaris : Ahmad Tristan Amartya

2.2 Skenario LBM 4

MENGAPA KAKIKU NYERI SAAT NAIK TANGGA

Pak Doni berusia 56 tahun dating ke dokter untuk memeriksakan dirinya karena
keluhan nyeri pada kaki kiri bagian bawah yang sering hilang timbul sejak 3 bulan
terakhir. Pak Doni diketahui memiliki penyakit kencing manis sejak 10 tahun yang lalu
dan riwayat merokok sejak usia 15 tahun. Keluhan nyeri ini dirasakan terutama saat
menaiki tangga di rumahnya. Pasien diketahui memiliki berat badan berlebih.
Pada Pemeriksaan fisik diperoleh tekanan darah 150/90 mmHg, denyut nadi
86x/menit, frekuensi pernapasan 20x/menit dan suhu 37 C. Hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan LDL 170 mg/dl, dan kolesterol total 270 mg/dl, gula darah
puasa 103 mg/dl, dengan HbA1c = 6,7%
2.3 Pembahasan LBM 2
2.3.1 Klarifikasi Masalah
NO TERMINILOGI PENJELASAN
1 HbA1c : HbA1c (hemoglobin A1c) atau
glycated hemoglobin adalah
hemoglobin yang berikatan dengan
glukosa (gula). Di dalam darah, secara
alami glukosa akan saling mengikat
dengan hemoglobin yang berada di
dalam sel darah merah.

2 Gula darah puasa : gula darah puasa adalah kadar glukosa


dalam darah setelah seseorang berpuasa
selama kurang lebih 8 jam.

3 LDL : Lipoprotein berkerapatan rendah

4 Kolesterol : Kolesterol adalah metabolit yang


mengandung lemak sterol

2.3.2 Identifikasi Masalah


1. Mengapa pak doni mengalami nyeri pada kaki dan hilag timbul dan kenapa saat
menaiki tangga terasa nyeri?
2. Apakah riwayat penyakit dan kebiasaan merokok mempengaruhi gejala yang
dialami nya?
3. Apakah nyeri yg terasa dapat menyebar ke kaki sebelah kanan?
4. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium pak Doni?
5. Bagaimana obesitas mempengaruhi keluhan pasien?

2.3.3 Brain Storming


1. Mengapa pak doni mengalami nyeri pada kaki dan hilag timbul dan
kenapa saat menaiki tangga terasa nyeri?

Jawaban :

Claudication Secara harfiah berarti pincang (Latin), claudication adalah


stereotip, tekanan yang dapat direproduksi dalam kelompok otot tunggal atau ganda
dari ekstremitas bawah yang disebabkan oleh latihan yang berkelanjutan dan dilegakan
dengan istirahat. Diagnosis diferensial klaudikasia luas. Dengan pemikiran ini,
informasi mengenai risiko aterosklerosis, masalah medis saat ini, sebelum ekstremitas
bawah dan trauma punggung, dan semua prosedur vaskular dan ortopedi harus
diperoleh. Deskripsi gejala klaudikasio adalah unik untuk setiap pasien. Gejala
spesifik, termasuk onset, progres, dan faktor yang memberatkan atau meringankan,
harus diklarifikasi dengan seksama. Umumnya, beberapa jenis ketidaknyamanan yang
disebabkan oleh hadirnya beberapa etiologi. Gejalanya biasanya digambarkan sebagai
kram, tetapi mati rasa, lemah, menyerah, sakit, dan nyeri tumpul adalah kata sifat yang
umum. Distress berubah dalam karakter dan / atau lokasi seiring dengan lesi yang
membatasi aliran. Ketika beban kerja ditingkatkan dengan langkah cepat, beban, atau
berjalan menanjak atau melewati medan yang kasar, jarak atau waktu untuk onset akan
lebih pendek. Ketika jarak ke onset atau tingkat keparahan berubah tiba-tiba, trombosis
in situ atau peristiwa emboli harus dipertimbangkan. Secara umum, gejala terjadi distal
ke tingkat stenosis atau oklusi. Ketika posisi spesifik diperlukan untuk bantuan,
gangguan muskuloskeletal atau neurologis harus dicurigai. Pengujian treadmill
terstandarisasi menggunakan ABI saat istirahat dan setelah selesai protokol latihan
mengkonfirmasi diagnosis, menentukan tingkat keparahan, dan mendokumentasikan
jarak klaudikasiasi untuk tindak lanjut di masa mendatang.

(Walsh. Fang. Fuster. 2013. Hurst’s The Heart: Manual Of Cardiology. New York:
Mc Graw Hill. Edition 13).

2. Apakah riwayat penyakit dan kebiasaan merokok mempengaruhi gejala


yang dialami nya?

Jawaban :

Seperti manifestasi aterosklerosis lainnya, prevalensi penyakit arteri perifer


terkait dengan hiperlipidemia, diabetes mellitus, hipertensi, dan merokok tembakau,
yang memodifikasi efek usia, jenis kelamin, dan faktor keturunan. Sulit untuk
memisahkan data yang berkaitan dengan penyakit aterosklerotik dalam sirkulasi perifer
dari pengamatan penyakit arteri koroner, tetapi ada sedikit alasan untuk mencurigai
perbedaan substansial berdasarkan pada situs anatomi keterlibatan. Faktor risiko
spesifik nampak aditif dan memprediksi risiko relatif lebih baik daripada risiko absolut.
Secara keseluruhan, profil risiko yang terdiri dari faktor risiko kardiovaskular utama
berkorelasi lebih baik dengan klaudikasio intermiten dibandingkan dengan manifestasi
klinis penyakit jantung koroner.

Hyperlipidemia

Prevalensi hiperlipoproteinemia pada pasien dengan rentang PAD dalam


berbagai penelitian dari 31 hingga 57%, sementara klaudikasio intermiten lebih dari
dua kali lebih umum pada pasien dengan kadar kolesterol serum lebih tinggi dari 260
mg / dL dibandingkan pada mereka yang tidak hiperlipidemia. Edinburgh Artery Study
menunjukkan bahwa PAD secara langsung dikaitkan dengan peningkatan kadar
kolesterol serum dan berbanding terbalik dengan tingkat high-density lipoprotein
(HDL). Selain itu, pengembangan PAD secara independen terkait dengan peningkatan
peroksida lipid, seperti lipoprotein densitas rendah (LDL) teroksidasi dan lipoprotein
densitas sangat rendah (VLDL).

Diabetes Mellitus

Aterosklerosis perifer berkembang lebih sering pada pasien diabetes, dengan


kecenderungan untuk arteri tibialis dan peroneum antara lutut dan pergelangan kaki, di
mana prosedur revaskularisasi lebih sulit. Sementara insidensi penyakit obstruktif
arteri femoropopliteal serupa dengan yang terjadi pada populasi nondiabetes, penyakit
oklusif aortoiliac sebenarnya dapat terjadi lebih jarang pada penderita diabetes. Risiko
mengembangkan PAD tampaknya terkait dengan durasi diabetes mellitus yang tidak
tergantung. Diabetes meningkatkan risiko gangren iskemik 20 kali lipat dan amputasi
bedah berlipat empat. Neuropati sensoris dan otonom yang berdampingan, kurangnya
refleks hiperemia, hilangnya sensasi nyeri, dan pirau arteriovenosa berkontribusi
terhadap komplikasi iskemik pada penderita diabetes.

Hypertension

Frekuensi dan keparahan penyakit aterosklerotik dan komplikasi koroner dan


otaknya meningkat pada pasien hipertensi. Dalam kelompok penelitian Framingham,
hipertensi meningkatkan risiko PAD 2,5 hingga 4 kali lipat pada pria dan wanita,
masing-masing. Studi otopsi telah menunjukkan aterosklerosis yang lebih luas dari
arteri aortoiliac pada pria hipertensi daripada kontrol normotensif yang sesuai. Pada
wanita, perbedaan ini lebih digeneralisasi di sepanjang jalannya arteri. Penyakit
obstruktif arteri tungkai terjadi dua kali lebih sering daripada penyakit arteri koroner di
antara individu hipertensi.

Tobacco Smoking

Framingham Heart Study menemukan hubungan antara jumlah rokok yang


dihisap dan kejadian klaudikasio intermiten. Analisis multivariat menemukan bahwa
merokok tembakau adalah faktor risiko tunggal terkuat untuk pengembangan penyakit
arteri obstruktif simtomatik. Dari Framingham Offspring Study, untuk setiap kenaikan
merokok 10 bungkus, ada peningkatan kejadian PAD 1,3 kali lipat. Terjadinya
klaudikasio intermiten dua kali lebih sering pada perokok dibandingkan pada bukan
perokok. Pada pria dengan penyakit aterosklerotik simtomatik pada pembuluh tungkai,
mayoritas pasien melaporkan merokok pada awal fase klinis penyakit. Merokok jelas
terkait dengan peningkatan amputasi dan bypass oklusi graft. Tujuh puluh tiga hingga
90% pasien dengan penyakit arteri tungkai adalah perokok, sehingga jarang ditemukan
seorang wanita muda dengan penyakit yang tidak merokok. Mekanisme patofisiologis
dari merokok tembakau melibatkan vasokonstriksi, metabolisme lipid, dan
trombogenisitas.

(Rosendorff, Clive. 2015. Essential Cardiology Principles and Practice. New Jersey:
Humana Press. Edition 2)

3. Apakah nyeri yg terasa dapat menyebar ke kaki sebelah kanan?

Jawaban :

Iskemia adalah kekurangan suplai darah ke jaringan atau organ tubuh karena
permasalahan pada pembuluh darah. Tanpa pasokan darah yang cukup, jaringan atau
organ juga tidak mendapat cukup oksigen. Akibatnya, kondisi yang membahayakan
dapat terjadi, seperti serangan jantung dan stroke.

Penyebab iskemia yang sering terjadi adalah aterosklerosis, di mana plak yang
sebagian besar mengandung lemak ini menghambat aliran darah. Seiring waktu, arteri
yang terharmbat dapat mengeras dan menyempit (aterosklerosis). Selain itu, kondisi
yang juga dapat menimbulkan iskemia adalah bekuan darah yang terbentuk dari
pecahan plak dan berpindah ke pembuluh darah yang lebih kecil, sehingga dapat
menghentikan aliran darah secara tiba-tiba.
Dikarenakan Iskemia merupakan penyakit sistemik maka kemungkinan besar nyeri
dapat terjadi pada kaki sebelah kanan juga.

(Sihombing B. Prevalensi penyakit arteri perifer pada populasi penyakit diabetes


melitus di Puskesmas Kota Medan Januari-Juli 2008. [Tesis]. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2008.)

4. Apakah interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium?

Jawaban :

Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Interpretasi

Tekanan Darah 150/90 Tinggi

Nadi 86x/menit Normal

Frekuensi Nafas 20x/menit Normal

LDL 170mg/dL Tinggi

Kolesterol 270mg/dL Tinggi

GDP 103mg/dL Normal


HbA1c 6.7% Tinggi

(Rosendorff, Clive. 2015. Essential Cardiology Principles and Practice. New Jersey:
Humana Press. Edition 2)

5. Apakah obesitas ada hubungan dengan gejala yang dialami pasien ?

Jawaban :

Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah gangguan vaskular yang disebabkan oleh
proses aterosklerosis, yang mengganggu struktur maupun fungsi aorta dan cabang
viseralnya serta arteri yang memperdarahi ekstrimitas bawah. PAP biasanya juga
terjadi pada orang yang mengalami obesitas. Karena pada obesitas cenderung
menurunkan dari adiponektin dimana dapat menyebabkan aterosklerosis.

(Antono D, Ismail D. Penyakit arteri perifer. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II,
edisi kelima. Jakarta: Interna publishing; 2009.h:1831-6)
2.3.4 Rangkuman Permasalahan

KELUHAN KAKI KIRI NYERI

PEMERIKSAAN FISIK

DIAGNOSA BANDING

(PAP, GA, DMDF, RA)

DEFINISI ETIOLOGI GEJALA & TANDA KLASIFIKASI

SUSPECT

EPIDIMIOLOGI PATOFISIOLOGI FAKTOR RESIKO PATOFISIOLOGI

PEMERIKSAANAA FISIK DAN PENUNJANG TATALAKSANA FARMAKO &


NIN FARMAKO

KOMPLIKASI & PROGNOSIS


2.3.5 Learning Issue
1. Apakah rasa nyeri dapat dirasakan pada kaki sebelahnya? Mengapa?
2. Bagaimana Definisi, Etiologi, dan Manifestasi Klinis dari DD (PAP, GA,
DMDF, RA), dan bagaimana diagnosa kerjanya?
3. Bagaimana epidemiologi PAP ?
4. Jelaskan mengenai faktor resiko PAP ?
5. Bagaimana patofisologi PAP ?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari PAP ?
7. Bagaimana tatalaksana dari PAP ?
8. Bagaimana komplikasi dan prognosis PAP ?

2.3.6 Referensi

Peripheral arterial disease (PAD) atau penyakit arteri perifer adalah kondisi di
mana aliran darah ke tungkai tersumbat akibat penyempitan pembuluh darah yang
berasal dari jantung (arteri). Dampaknya, tungkai yang kekurangan pasokan darah akan
terasa sakit, terutama saat berjalan.

Penyakit arteri perifer terkadang tidak menimbulkan gejala dan berkembang


secara perlahan. Jika dibiarkan tanpa penanganan, penyakit arteri perifer bisa
memburuk hingga menimbulkan kematian jaringan, dan berisiko untuk diamputasi.

Penyakit ini dipicu oleh berbagai kondisi akibat gaya hidup yang tidak sehat,
seperti hipertensi, diabetes, dan kolesterol tinggi. Oleh karena itu, cara paling efektif
untuk mencegah penyakit arteri perifer adalah menjalankan gaya hidup sehat, yaitu
dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dan rutin berolahraga.
2.3.7 Pembahasan Learning Issue

1. Apakah rasa nyeri dapat dirasakan pada kaki sebelahnya? Mengapa?

Jawaban :
Rasa nyeri yang dirasakan pasien ini dapat dirasakan pada kaki yang sehat
(kanan), karena ini merupakan penyakit sistemik. Apabila kaki yang terasa nyeri tidak
diketahui penyebabnya dan tidak segera diobati, maka lama-kelamaan penyebab nyeri
yang dirasa ini dapat menjalar ke kaki bagian atas (paha), kemudian ke kaki sebelah
kanan. Salah satu penyebab rasa nyeri tersebut yaitu penyakit arteri perifer terjadi
akibat adanya penyempitan pada pembuluh darah arteri. Penyempitan pembuluh darah
ini menyebabkan aliran darah pada kaki menjadi tersumbat. Kondisi ini terkait adanya
faktor resiko kadar kolesterol yang tinggi pada penderita. Penumpukan lemak ini
mengarah pada aterosklerosis, dimana lemak di dalam darah menumpuk dinding
sekitar pembuluh darah dan mennyebabkan penyumbatan. Gejala dapat semakin berat
bergantung pada kondisi dan usia penderita serta kemungkinan besar dapat menjalar
ke kaki sebelah kanan akibat dari tekanan pada kaki saat menopang tubuh dan
beraktivitas lainnya.

(Buku ilmu penyakit dalam edisi ke VI jilid II)

2. Bagaimana Definisi, Etiologi, dan Manifestasi Klinis dari DD (PAP, GA,


DMDF, RA), dan bagaimana diagnosa kerjanya?

Jawaban :

a. PAP

Definisi Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada
pembuluh darah non sindroma koroner akut setelah keluar dari jantung dan aortailiaka,
sehingga pembuluh yang dapat menjadi lokasi terjadinya PAP adalah pembuluh pada
keempat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika, aorta abdominalis,
dan semua pembuluh cabang yang keluar dari aortailiaka. Namun demikian, secara
klinis PAP merupakan gangguan pada arteri yang memperdarahi ekstremitas bawah.

Etiologi PAP, yaitu PAP ini dapat terjadi oleh karena adanya perubahan
struktur ataupun fungsi dari pembuluh darah. PAP sering kali merupakan bagian dari
proses penyakit sistemik yang berpengaruh terhadap kelainan arteri multipel. Adanya
PAP pada satu arteri menjadi prediktor kuat adanya PAP pada arteri lainnya, termasuk
pada pembuluh darah koroner, karotis dan serebral. Selain itu etiologi PAP bisa berasal
dari non aterosklerotik dan aterosklerotik. Penyebab non aterosklerotik seperti trauma,
vasculitis, dan emboli, namun aterosklerotik lebih banyak menunjukkan PAP dan
menyebabkan dampak epidemiologi yang besar.

Manifestasi Klinis PAP yang paling umum adalah sensasi sakit pada kaki saat
sedang berolahraga/aktivitas fisik, ini dikenal sebagai klaudikasio intermiten. Sensasi
sakit, sensasi terbakar, sensasi berat, atau sesak pada otot-otot kaki ini biasanya dimulai
setelah berjalan pada jarak tertentu, berjalan menaiki bukit, atau menaiki tangga, dan
akan hilang setelah beristirahat selama beberapa menit. Pasien dengan klaudikasio
intermiten memiliki aliran darah yang normal pada saat istirahat, oleh karena itu, tidak
ada gejala nyeri/sakit pada kaki saat istirahat. Dengan berolahraga, aliran darah pada
arteri otot-otot kaki dapat dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Ini mengakibatkan
terjadinya ketidaksesuaian antara suplai oksigen dan otot permintaan metabolik,
sehingga memunculkan gejala klaudikasio. Pasien dengan PAP yang parah dapat
mengalami klaudikasio setelah berjalan walaupun hanya dalam jarak yang pendek, atau
mengalami sensasi sakit di kaki ketika istirahat atau ketika berbaring di tempat tidur di
malam hari. Pada kasus yang parah, pasien juga dapat mengalami ulkus yang tidak
dapat sembuh dengan sendirinya atau kulit yang menghitam (gangren) pada kaki atau
jari kaki
Klasifikasi PAP yaitu Vena Disease, Arterial Disease dan Limfoid Disesase.
Berdasarkan perubahan struktur dapat dibagi menjadi 2, yaitu organik dan fungsional.

(Buku ilmu penyakit dalam edisi ke VI jilid II)

b. DMDF

Definisi Diabetic Foot Infections (DFIs) atau biasa disebut Infeksi Kaki
Diabetes (IKD) merupakan kombinasi aterosklerosis kedua tersering setelah
aterosklerosis pembuluh darah koroner; dan yang terserang pembuluh darah tungkai
bawah. Umumnya kelainan ini dikenal sebagai Peripheral Vascular Disease (PVD).
Ada tiga faktor yang bisa dianggap sebagai predisposisi kerusakan jaringan pada kaki
diabetik (KKD), yaitu neuropatik, vaskulopatik dan infeksi. KKD dapat dipandang
sebagai satu kesatuan dari dua elemen yaitu kaki iskemik (ischemia foot) dan kaki
neuropatik (neuropathic foot).

Etiologi Secara patogenetik ada tiga faktor utama (metabolik, autoimun dan
vaskuler) yang dianggap sebagai sebab terjadinya neuropatik pada diabetes melitus.
Diabetes melitus bersama faktor genetik dan lingkungan akan lewat ketiga faktor
tersebut memberi tanda klinis neuropatik. Kebanyakan kasus DFIs ditemukan adalah
polymicrobial infections, dengan penyebab utamanya bakteri gram positif coccus
(GPC) aerobik, terutama staphylococci. Basil gram negatif aerobik sering copathogens
infeksi yang kronis atau mengikuti pengobatan antibiotik. Pada bakteri anaerob bisa
jadi copathogens pada luka iskemik atau nekrotik.

Manifestasi Klinis kaki diabetes melitus seperti sering kesemutan, nyeri pada
kaki saat istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan
denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan
kuku menebal serta kulit kering.
Klasifikasi DMDF yaitu sebelum ditemukan Derajat PEDIS, dahulu lebih
sering digunakan Derajat Wagner. Derajat tersebut dianggap praktis untuk bisa dipakai
pedoman penentuan keparahan dan pengelolaan infeksi kaki diabetic sebagai berikut :

 Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan
disertai kelainan bentuk kaki seperti claw, callus.
 Derajat I : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
 Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
 Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
 Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa
selulitis.
 Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.

(Buku ilmu penyakit dalam edisi ke VI jilid II)

c. GA

Definisi Gout Artritis merupakan salah satu penyakit metabolik (metabolic


syndrom) yang terkait dengan pola makan diet tinggi purin dan minuman beralkohol.
Penimbunan kristal monosodium urat (MSU) pada sendi dan jaringan lunak merupakan
pemicu utama terjadinya keradangan atau inflamasi pada gout artritis (Nuki dan
Simkin, 2006). Artritis gout adalah jenis artritis terbanyak ketiga setelah osteoartritis
dan kelompok rematik luar sendi (gangguan pada komponen penunjang sendi,
peradangan, penggunaan berlebihan) (Nainggolan, 2009).

Definisi lain menyebutkan Artritis gout adalah penyakit yang sering ditemukan
dan tersebar di seluruh dunia. Artritis gout atau dikenal juga sebagai artritis pirai,
merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium
urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraseluler.
Gangguan metabolisme yang mendasarkan artritis gout adalah hiperurisemia yang
didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl untuk pria dan 6,0 ml/dl
untuk wanita (Tehupeiory, 2006).

Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi,
obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat serum asam urat lebih
tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang artritis gout.
Perkembangan artritis gout sebelum usia 30 tahun lebih banyak terjadi pada pria
dibandingkan wanita. Namun angka kejadian artritis gout menjadi sama antara kedua
jenis kelamin setelah usia 60 tahun. Prevalensi artritis gout pada pria meningkat dengan
bertambahnya usia dan mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun (Weaver, 2008).

Wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah menopause,


kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan penurunan level estrogen
karena estrogen memiliki efek urikosurik, hal ini menyebabkan artritis gout jarang pada
wanita muda (Roddy dan Doherty, 2010).Pertambahan usia merupakan faktor resiko
penting pada pria dan wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan banyak faktor, seperti
peningkatan kadar asam urat serum (penyebab yang paling sering adalah karena adanya
penurunan fungsi ginjal), peningkatan pemakaian obat diuretik, dan obat lain yang
dapat meningkatkan kadar asam urat serum (Doherty, 2009).

Manifestasi Klinis artritis gout terdiri dari artritis gout asimptomatik, artritis
gout akut, interkritikal gout, dan gout menahun dengan tofus. Nilai normal asam urat
serum pada pria adalah 5,1 ± 1,0 mg/dl, dan pada wanita adalah 4,0 ± 1,0 mg/dl. Nilai-
nilai ini meningkat sampai 9-10 mg/ dl pada seseorang dengan artritis gout (Carter,
2006). Pada tahap pertama hiperurisemia bersifat asimptomatik, kondisi ini dapat
terjadi untuk beberapa lama dan ditandai dengan penumpukan asam urat pada jaringan
yang sifatnya silent. Tingkatan hiperurisemia berkolerasi dengan terjadinya serangan
artritis gout pada tahap kedua (Sunkureddi et al, 2006).

Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat dalam
waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit
yang hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan
utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa
demam, menggigil dan merasa lelah (Tehupeiory, 2006). Serangan artritis gout akut
terjadi ditandai dengan nyeri pada sendi yang berat dan biasanya bersifat
monoartikular. Pada 50% serangan pertama terjadi pada metatarsophalangeal1 (MTP-
1) yang biasa disebut dengan podagra. Semakin lama serangan mungkin bersifat
poliartikular dan menyerang ankles, knee, wrist, dan sendi-sendi pada tangan
(Sunkureddi et all, 2006).

Klasifikasi Berdasarkan penyebabnya, penyakit GA digolongkan menjadi 2,


yaitu sebagai berikut.

1. Gout primer yang merupakan Penyebab kebanyakan belum diketahui


(idiopatik). Hal ini diduga berkaitan dengan kombinasi faktor genetik dan
faktor hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat
mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat. Hiperurisemia atau
berkurangnya pengeluaran asam urat dari tubuh dikatakan dapat menyebabkan
terjadinya gout primer.
2. Gout sekunder, dimana Gout sekunder ini dibagi menjadi beberapa kelompok
yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan biosintesis de novo, kelainan
yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat
dan kelainan yang menyebabkan sekresi menurun. Hiperurisemia sekunder
karena peningkatan biosintesis de novo terdiri dari kelainan karena kekurangan
menyeluruh enzim HPRT pada syndome Lesh-Nyhan, kekurangan enzim
glukosa-6 phosphate pada glycogen storage disease dan kelainan karena
kekurangan enzim fructose-1 phosphate aldolase melalui glikolisis anaerob.
Hiperurisemia sekunder karena produksi berlebih dapat disebabkan karena
keadaanyang menyebabkan peningkatan pemecahan ATP atau pemecahan
asam nukleat dari dari intisel. Peningkatan pemecahan ATP akan membentuk
AMP dan berlanjut membentuk IMP atau purine nucleotide dalam metabolisme
purin, sedangkan hiperurisemia akibat penurunan ekskresi dikelompokkan
dalam beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa ginjal, penurunan
filtrasi glomerulus, penurunan fractional uric acid clearence dan pemakaian
obatobatan.

(Buku ilmu penyakit dalam edisi ke VI jilid II)

d. RA

Definisi Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit


autoimun sistemik (Symmons, 2006). RA merupakan salah satu kelainan
multisistem yang etiologinya belum diketahui secara pasti dan dikarateristikkan
dengan destruksi sinovitis (Helmick, 2008). Penyakit ini merupakan peradangan
sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris
(Dipiro, 2008). Penyakit RA ini merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan
inflamasi sendi yang berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima sendi
(poliartritis) (Pradana, 2012).

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan


dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana,
2009), akan dijelaskan berikut ini.

a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki
angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).
b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron
(DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen
plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun
humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA
respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai
efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana,
2009).
c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk
semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul
timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).
e. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai
respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam
amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana
antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host.
Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel
Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).
f. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).

Manifestasi Klinis RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo,
tetapi paling sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan
kaki dan lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, da n bursa menebal akibat radang yang
diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).

Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular dan


manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009), yaitu (1) Manfestasi artikular RA terjadi
secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan sarung tendo yang dapat
menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan
(Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi berupa nyeri, bengkak, kemerahan
dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau selama kekambuhan, namun
kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik (Surjana,
2009). Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis
tetap, meskipun sendi-sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-
tahun dari onset terjadinya (Longo, 2012). Distribusi sendi yang terlibat dalam RA
cukup bervariasi. Tidak semua sendi proporsinya sama, beberapa sendi lebih dominan
untuk mengalami inflamasi, misalnya sendi sendi kecil pada tangan (Suarjana, 2009).

Manifestasi ekstraartikular jarang ditemukan pada RA (Syamsyuhidajat, 2010).


Secara umum, manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian tubuh. Manifestasi
ekstraartikular pada RA, meliputi (Longo, 2012):

a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan
gejalanya berupa penurunan berat badan, demam >38,3°C , kelelahan (fatigue),
malaise, depresi dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum
merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal
pada kerusakan sendi (Longo, 2012);
b. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi
aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan
dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru,
pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan
diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi dan gangren (Longo, 2012);
c. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary sjogren’s
syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan keratoconjutivitis sicca (dry
eyes) atau xerostomia (Longo, 2012);
d. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan
penyakit paru interstitial (Longo, 2012);
g. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang
disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti
arteri koreoner atau disfungsi diastol (Longo, 2012).
h. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit
RA yang sudah kronis (Longo, 2012).
i. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia
dan keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA
sering disebut dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA
tahap akhir (Longo, 2012).
j. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar
dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma
sercara luas (Longo, 2012).

Klasifikasi Rheumatoid Arthritis, dimana Buffer (2010) mengklasifikasikan


rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu sebagai berikut.
1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu
6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu
6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu
6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu
3 bulan.

(Buku ilmu penyakit dalam edisi ke VI jilid II)

Diagnosa Kerja :

Berdasarkan diagnosis banding , gejala dan pemeriksaan fisik pada skenario


lebih mendekati penyakit vaskular perifer,yang mengarah ke arteri sehingga
didapatkan diagnosis kerja pada skenario adalah penyakit arteri perifer ( PAP).
Diagnosis klinis PAP tergantung pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penggunaan pemeriksaan pembuluh darah secara noninvasif dan invasif. Penilaian
PAP perlu dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat
mengidentifikasi faktor risiko, adanya klaudikasio intermiten, nyeri saat istirahat, dan
atau adanya suatu gangguan fungsi.

Tes non-invasif dapat menilai status PAP secara obyektif dan dapat
memfasilitasi perencanaan terapi. Tes ini relatif murah, dapat dilakukan tanpa risiko,
dan dapat memberikan informasi prognostik. Sedangkan Ankle Brachial Index (ABI)
adalah tes skrining vaskular non invasif untuk mengidentifikasi penyakit arteri perifer.

(Buku ilmu penyakit dalam edisi ke VI jilid II)


3. Bagaimana epidemiologi PAP ?

Jawaban :

Pada beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa merokok dan durasi


merokok secara konsisten menjadi faktor risiko yang penting untuk PAP khususnya
PAP di arteri ekstremitas bawah (LEAD). Keparahan PAP meningkat pada pasien
dengan peningkatan jumlah rokok yang digunakan.Durasi merokok juga merupakan
prediktor perkembangan PAP. Seseorang yang merokok < 25 tahun memiliki tiga kali
peningkatan risiko terjadinya PAP dibandingkan orang yang tidak merokok. Selain itu,
seseorang yang merokok ≥ 25 tahun memiliki peningkatan risiko PAP lima kali
dibandingkan orang yang tidak merokok.

Beberapa studi epidemiologi juga menemukan bahwa tingginya kadar kolesterol total
dan rendahnya HDL secara independen berkaitan dengan meningkatnya risiko PAP.
Hiperlipidemia mengubah dinding endotel arteri mengarah ke pembentukan lesi
aterosklerotik. Kolesterol LDL adalah salah satu penyebab utama dari disfungsi endotel
dan cedera otot polos.

(Buku ilmu penyakit dalam edisi ke VI jilid II)

4. Jelaskan mengenai faktor resiko PAP ?

Jawaban :

a) Ras

The National Health and Nutrition Examination Survey, sebuah survei di


Amerika Serikat pada hasil penelitianya menemukan informasi bahwa ABI 0,90
umumnya lebih sering terdapat pada ras kulit hitam non - Hispanik (7,8 %)
dibandingkan dengan ras kulit putih (4,4 %).
b) Jenis Kelamin

Jenis kelamin pria merupakan salah satu faktor resiko PAP. Pria lebih rentan
mengalami proses aterosklerosis dibandingkan wanita. Hormon estrogen memilki
properti vasoprotektif yang mencegah proses aterosklerosis pada wanita. Mekanisme
vasoproteksi estrogen belum sepenuhnya dimengerti dan diduga diperantarai oleh efek
estrogen terhadap NO, profil lipid dan efek antiinflamasi. Estrogen mempengaruhi
kadar dan aktivitas NO. Wanita memilki respon relaksasi dan vasodilatasi pembuluh
darah yang lebih baik dibandingkan pria. Estrogen meningkatkan kerja antioksidan,
menurunkan kadar LDL dan meningkatkan kadar HDL, serta memiliki efek anti-
inflamasi. Estrogen juga memacu pertumbuhan endotel baru, menghambat proliferasi
sel otot polos pembuluh darah. Hormon estrogen diduga bekerja menghambat
aterogenesis melalui berbagai mekanisme tersebut

c) Usia

Usia tua adalah faktor resiko utama menderita PAP. Resiko PAP meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, dari 3% pada usia 20% pada usia ≥70 tahun.
Hubungan usia dan PAP mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap
faktor-faktor aterogenik disertai efekefek kumulatif penuaan pada pembuluh darah.
Proses penuaan secara alami menyebabkan pembuluh darah orang tua lebih rentan
mengalami aterosklerosis. Sel-sel radang, sel endotel dan sel otot polos pembuluh
darah pada orang tua berbeda dibandingkan sel-sel pada orang dengan usia lebih muda.
Penuaan menyebabkan perubahan dalam potensi proliferasi sel, proses apoptosis dan
kerusakan DNA. Jumlah NO dan respon vaskular terhadap NO menurun seiring
bertambahnya usia. Penurunan NO menyebabkan gangguan relaksasi pada pembuluh
darah.18 Sel endotel dan sel otot pembuluh darah pada orang tua mensekresi sitokin
proinflamasi yang menyebabkan inflamasi persisten pada pembuluh darah. Lapisan
intima dan media pembuluh darah pada proses penuaan terus mengalami remodeling
berupa peningkatan deposisi kolagen dan degenerasi elastin sehingga pembuluh darah
kehilangan elastisitasnya dan menjadi kaku.

d) Merokok

Rokok merupakan faktor risiko yang dominan dalam perkembangan dan


perburukan PAD, selain itu rokok juga meningkatkan risiko amputasi, oklusi graft dan
mortalitas. Trans-Atlantic inter-society consensus (TASC II) merekomendasikan untuk
berhenti merokok sebagai bagian dalam tatalaksana PAD. AHA/ACC 2016
merekomendasikan pasien dengan PAD yang merokok harus disarankan untuk
berhenti.

e) Diabetes Melitus

Diabetes mellitus (DM) merupakan faktor resiko utama terjadinya PAD, yang
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Kehadiran diabetes mellitus
sangat meningkatkan resiko serta mempercepat terjadinya PAD dua sampai tiga kali
lipat. Di Asia sendiri dalam penetian yang dilakukan pada tujuh negara termasuk
Indonesia didapatkan hasil 17,7 % dari penderita diabetes mellitus mengalami penyakit
arteri perifer

f) Hipertensi

Sekitar 2-5% pasien hipertensi memiliki resiko menderita PAP dan 35-55%
pasien dengan PAP diketahui menderita hipertensi. Derajat hipertensi mempengaruhi
kejadian PAP. Setiap peningkatan 10mmHg tekanan darah sistolik meningkatkan
resiko PAP sebesar 1,3 kali (IK95% 1,2-1,5). Hipertensi dapat mempengaruhi kejadian
PAP melalui perannya dalam perkembangan aterosklerosis. Hipertensi merupakan
faktor resiko terjadinya aterosklerosis melalui berbagai mekanisme antara lain
disfungsi sel endotel, inflamasi, penurunan kadar NO dan abnormalitas faktor
hemostasis yang dimediasi oleh peningkatan ANG-II serta ET-1 pada pasien dengan
hipertensi. Tekanan darah yang tinggi menyebabkan arteri berdilatasi dan teregang
berlebihan sehingga dapat mengakibatkan cedera pada endotel. Disfungsi endotel
menyebabkan abnormalitas tonus otot polos pembuluh darah, proliferasi sel otot polos
pembuluh darah, gangguan koagulasi dan fibrinolisis serta inflamasi persisten

g) Factor lainnya

Hiperlipidemia mempengaruhi struktur endotel dinding arteri, yang dapat


menyebabkan pembentukan lesi aterosklerotik. Kolesterol LDL merupakan salah satu
penyebab utama dari disfungsi endotel dan cedera otot polos. Perubahan struktur
endotel memungkinkan lipoprotein memasuki dinding arteri, menjadi teroksidasi, dan
mendukung pembentukan fatty streak, yang merupakan lesi awal pada aterosklerosis.
Hal ini akan berkembang menjadi lesi yang lebih kompleks yang menyebabkan
stenosis atau oklusi arteri. Peningkatan kadar Kolesterol LDL juga diketahui dapat
meningkatkan risiko terjangkit penyakit kardiovaskular dan PAP.

Peningkatan kadar C-reactive protein merupakan penanda serologis


peradangan sistemik yang berhubungan dengan PAP. Physicians 'Health Study'
menyatakan, orang yang memiliki konsentrasi C-reactive protein pada kuartil tertinggi
memiliki peningkatan risiko 2,1 kali lipat menderita PAP dibanding orang yang sehat.

Kadar homosistein dapat memberikan efek sitotoksis langsung terhadap


endotel, sehingga terjadi kerusakan dan gangguan terhadap endotel. Peningkatan kadar
homosistein berhubungan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya PAP sebesar 2
sampai 3 kali lipat. The European Concerted Action Project memperkirakan bahwa
konsentrasi homosistein puasa yang lebih besar dari persentil 80 (yaitu, lebih besar dari
12,1 mikromol per liter) berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit vaskular
aterosklerotik sebesar 2 kali lipat, salah satunya PAP dapat meningkatkan risiko PAP
sebesar 44%

Kondisi kadar hematokrit yang meningkat dan hiperviskositas dilaporkan


terdapat pada pasien dengan PAP, kemungkinan sebagai konsekuensi dari merokok.
Peningkatan kadar fibrinogen plasma, yang juga merupakan faktor risiko trombosis,
dikaitkan dengan kejadian PAP pada beberapa penelitian. Hiperviskositas dan
hiperkoagulabilitas, keduanya juga telah terbukti sebagai marker atau faktor risiko
terkait dengan prognosis yang buruk.

(Thendria, T., Toruan, I. L., Natalia, D. 2014. Hubungan antara Hipertensi dan Penyakit
Arteri Perifer Berdasarkan Nilai Ankle-Brachial Index. Vol 2 No 1)

5. Bagaimana patofisologi PAP ?

Jawaban :

PAP merupakan proses sistemik yang berpengaruh terhadap sirkulasi arteri


multipel yang disebabkan oleh karena adanya homosistein, apolipoprotein b,
lipoprotein a dan viskositas plasma. aterosklerosis, penyakit degeneratif, kelainan
displasia, inflamasi vaskuler (arteritis), trombosis in situ, dan tromboemboli. Dari
sekian proses patofisiologi yang mungkin terjadi, penyebab utama PAP yang paling
banyak di dunia adalah aterosklerosis.

Aterosklerosis biasanya didahului oleh adanya disfungsi endotel. Endotelium


sehat, normalnya berfungsi untuk mempertahankan homeostasis pembuluh darah
dengan menghambat kontraksi sel otot polos, proliferasi tunika intima, trombosis, dan
adhesi monosit. Endotel memiliki peranan penting dalam meregulasi proses inflamasi
dalam pembuluh darah yang normal, yakni menyediakan permukaan antitrombotik
yang menghambat agregasi platelet dan memfasilitasi aliran darah. Endothelium
normal mengatur proses trombosis melalui pelepasan oksida nitrat, yakni NO, yang
menghambat aktivasi trombosit, adhesi, dan Disfungsi endotel berhubungan dengan
sebagian besar faktor agregasi, serta mediator lain dengan kegiatan antitrombotik.
Risiko penyakit kardiovaskular, yang terkait dengan terjadinya mekanisme
sentral pembentukan lesi aterosklerotik. Penurunan kemampuan endotel untuk
bervasodilatasi juga dikaitkan dengan faktor-faktor risiko penyakit berperan dalam
proses relaksasi pembuluh darah adalah Nitrat Oksida kardiovaskular. Zat yang
diperdebatkan sebagai zat paling penting yang (NO). NO tidak hanya terlibat dalam
relaksasi otot polos pembuluh darah, tetapi juga memediasi penghambatan aktivasi
trombosit, adhesi, dan agregasi; mencegah proliferasi otot polos pembuluh darah; dan
mencegah adhesi leukosit pada endotel. Aktivitas biologis NO ternyata terganggu pada
pasien dengan penyakit vaskular aterosklerotik koroner dan pembuluh darah perifer.

(Buku ilmu penyakit dalam edisi ke VI jilid II)

6. Bagaimana Pemeriksaan Penunjang dari PAP?

Jawaban :

• Ankle-Brachial Index (ABI)

Berdasarkan ESC guideline 2011, pemeriksaan ABI direkomendasikan I B


untuk diagnosis non invasif pada penyakit arteri perifer. Nilai ABI normal adalah
Pengukuran ABI dilakukan dengan menggunakan manset sphygmomanometer 10-12
cm diatas peralatan Doppler. Biasanya tekanan tertinggi di pergelangan kaki dibagi
dengan tekanan tertinggi brachial. Namun, pada penelitian lain disebutkan sensitivitas
pengukuran ABI jauh lebih baik saat menggunakan tekanan terendah arteri pada kedua
pergelangan kaki.

Pada beberapa pasien (diabetes atau penyakit ginjal berat) ABI bukanlah alat
diagnostik yang dapat diandalkan. Kalsifikasi berat arteri perifer menjadi non-
kompresibel, sehingga meningkatkan nilai ABI. Pasien-pasien ini biasanya memiliki
ABI ≥ 1,4, dan diperlukan pengujian non-invasif diperlukan untuk diagnosis PAP.
Selain itu, pengukuran ABI mungkin salah jika lesi obstruktif di subklavia atau arteri
axillaris. Oleh sebab itu penting mengukur tekanan darah sistemik di kedua lengan, dan
menggunakan nilai tertinggi yang diperoleh di lengan untuk perhitungan indeks.
Sebagai tes alternatifnya adalah dengan mengukur tekanan sistolik ibu jari kaki dan
analisis gelombang Doppler untuk mendeteksi penyakit arteri ekstremitas bawah.
Indeks ibu jari kaki dengan brachial ≤ 0,7 merupakan diagnostik untuk penyakit arteri
ekstremitas bawah .

• Treadmill Test

Pada saat istirahat, pasien mungkin bisa ditemukan nilai ABI yang normal,
sehingga diperlukan stress tes untuk meningkatkan akurasi diagnostik. Dengan
mengukur ABI sebelum dan sesudah treadmill berjalan atau provokasi stres yang sama,
setiap lesi vaskular yang signifikan secara hemodinamik dapat diketahui akibat
vasodilatasi perifer yang disebabkan oleh latihan. Selain itu treadmill test ini bisa
digunakan untuk membedakan antara klaudikasio yang berasal dari vaskuler (tekanan
di kaki akan turun setelah latihan) atau neurogenik (tekanan dikaki akan tetap sama
atau meningkat). Treadmill test juga bisa digunakan untuk menilai efektifitas terapi
(rehabilitasi latihan, terapi obat-obatan, atau dengan revaskularisasi). Treadmill
dilakukan dengan latihan sampai 3,2 km dengan tanjakan 10-20%. Terdapat beberapa
tehnik seperti peningkatan tanjakan setiap 3 menit dengan tetap berjalan dengan
kecepatan yang sama sampai nyeri klaudikasio muncul. Pemeriksaan ini harus tetap
didampingi untuk mengamati gejala yang muncul. Namun, pemeriksaan ini tidak
dianjurkan pada pasien dengan penyakit jantung koroner berat, gagal jantung, atau
dengan gangguan berjalan.4 Penurunan tekanan segera setelah uji treadmill, dan
terdapatnya gradien antara 15-20% menegakkan diagnosis PAP.Pasien yang tidak bisa
melakukan treadmill test, bisa dilakukan latihan fleksi pedal.

• Metode Ultrasound Duplex ultrasound/duplex ultrasonography


(DUS) menunjukkan anatomi arteri dan aliran darah. Berdasarkan studi meta
analisis, sensitivitas DUS untuk mendeteksi angiografi stenosis > 50% mencapai 85-
90% dengan spesifisitas > 95%.23 Lokasi lesi dapat dilihat dengan ultrasonografi 2
dimensi dan colour- Doppler mapping. Sedangkan tingkat stenosisnya dapat
diestimasikan dengan analisis gelombang Doppler dan puncak dan ratio systolic
velocities. Penggunaan DUS untuk mendeteksi stenosis > 50% pada ekstremitas bawah
sangat baik kecuali untuk arteri pedis. DUS juga berguna untuk mengevaluasi setelah
angioplasti atau memonitor graft bypass.

Kelemahan DUS adalah kesulitan menilai lumen pembuluh darah yang mengalami
kalsifikasi berat, atau pada pasien dengan ulkus terbuka atau dengan luka parut yang
lebar. Kesulitan juga ditemui pada pasien obesitas. Kerugian DUS jika dibandingkan
dengan teknik pencitraan lain adalah DUS tidak memberikan pencitraan arteri yang
jelas seperti halnya teknik lainnya. Namun, DUS memberikan informasi penting
tentang hemodinamik. Pada pasien yang menjalani operasi bypass, DUS berperan
dalam menentukan lokasi anastomosis dengan identifikasi dari pembuluh darah yang
mengalami kalsifikasi.

• Computed Tomography Angiography (CTA)

Metode ini memungkinkan untuk imaging dengan resolusi tinggi.


Dibandingkan dengan DSA, sensitivitas dan spesifisitas untuk oklusi sudah mencapai
tingkat akurasi yang tinggi. Dalam penelitian meta-analisis terbaru, sensitivitas
dilaporkan dan spesifisitas dari CTA untuk mendeteksi stenosis aortailiaka 0,50%
adalah 96% dan 98%. Penelitian yang sama menunjukkan sensitivitas yang sama (97%)
dan spesifisitas (94%) untuk daerah femoropopliteal, sebanding dengan yang
dilaporkan untuk arteri di bawah lutut (sensitivitas 95%, spesifisitas 91%). Keuntungan
terbesar dari CTA tetap memvisualisasikan kalsifikasi, clip, stent, dan bypass. Namun,
beberapa artefak masih dapat muncul.

• Magnetic Resonance Angiography (MRA)


Teknik ini dapat memvisualisasikan secara non invasif arteri ekstremitas bawah
bahkan di bagiany ang paling distal. Dibandingkan dengan DSA, MRA memiliki
sensitivitas yang sangat baik (93-100%) dan spesifisitas (93-100%). Keterbatasan
penggunaan MRA yaitu pada pasien dengan alat pacu jantung atau implan logam
(termasuk stent), atau pada pasien dengan claustrophobia. Agen kontras pada MRA
tidak dapat digunakan dalam kasus gagal ginjal yang parah (GFR 30 mL / menit per
1,73 m2). Selain itu, MRA tidak bisa memvisualisasikan kalsifikasi arteri, sehingga
tidak bisa digunakan untuk memilih lokasi anastomosis untuk operasi bypass.

• Digital Subtraction Angiography (DSA)

Metode ini merupakan standar emas untuk diagnosis PAP, terutama untuk
pasien yang menjalani intervensi, terutama bersamaan dengan prosedur endovaskular.
Memang, teknik non-invasif memvisualisasikan pencitraan di hampir semua kasus,
dengan radiasi yang lebih sedikit, dan menghindari komplikasi punksi arteri < 1%
kasus. Teknik kateterisasi yang sering digunakan adalah transfemoral retrograde. Jika
akses femoralis tidak memungkinkan, akses transradial atau pendekatan dan
kateterisasi antegrade langsung transbrachial juga bisa dilakukan.

(Buku ilmu penyakit dalam edisi ke VI jilid II)

8. Bagaimana tatalaksana dari PAP ?

Jawaban :

Tatalaksana Penyakit Arteri Perifer

Pengelolaan klaudikasio intermiten terdiri dari kontrol faktor risiko yang


optimal dalam rangka meningkatkan prognosis vital dan meredakan gejala. Pilihan
terapi untuk meredakan gejala secara noninvasif dengan latihan disupervisi dan
medikamentosa ataupun invasif (revaskularisasi).
Pengendalian Faktor Resiko

 Obat Penurun Kolesterol

1. Terapi dengan hydroxymethyl glutaryl coenzyme-A reductase inhibitor (statin)


diindikasikan untuk semua pasien dengan penyakit arteri perifer untuk mencapai target
LDL < 100 mg/dL (IB)

2. Terapi dengan hydroxymethyl glutaryl coenzymeA reductase inhibitor (statin) untuk


mencapai target LDL < 70 mg/dL dengan resiko tinggi kejadian iskemik (IIa B).

3. Terapi dengan asam fibroat dapat digunakan pada pasien PAP dengan HDL yang
rendah, kadar LDL yang normal dan trigliserida yang tinggi. (IIa C)

 Obat Hipertensi

1. Obat hipertensi diberikan pada pasien hipertensi dengan PAP ekstremitas bawah
dengan target tekanan darah < 140/90 mmHg (pada pasien tanpa diabetes) atau <
130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes dan gagal ginjal kronik.

2. Beta blocker merupakan obat antihipertensi yang efektif dan bukan kontraindikasi
pada pasien PAP (IA)

3. Penggunaan ACE inhibitors pada pasien PAP ekstremitas bawah yang bergejala
direkomendasikan sebagai kelas IIa B.

 Terapi Diabetes

1. Perawatan kaki, termasuk penggunaan alas kaki, pemeriksaan kaki setiap hari,
pembersihan kulit dan penggunaan krim pelembab (IB)

2. Terapi diabetes pada pasien dengan PAP ekstremitas bawah dengan obat-obat
pengontrol gula dengan target HbA1C< 7% efektif untuk menurunkan komplikasi
mikrovaskular (IIa C)
 Berhenti Merokok

1. Pasien perokok atau bekas perokok sebaiknya ditanyakan mengenai status


merokoknya setiap kunjungan.

2. Pasien harus sebaiknya dikonseling dan dikembangkan rencana untuk berhenti


merokok baik dengan farmakoterapi dan atau dengan program konseling. 

 Antiplatelet dan antitrombotik

1. Aspirin, dengan dosis 75-325 mg, direkomendasikan sebagai terapi antiplatelet yang
aman dan efektif untuk menurunkan resiko infark miokard, stroke, atau kejadian
vaskular (IB).

2. Clopidogrel dengan dosis 75 mg per hari direkomendasikan sebagai terapi


antiplatelet untuk menurunkan resiko infark miokard, stroke, atau kejadian vaskular
(IB)

Terapi Medikamentosa

 Cilostazol

Cilostazol, golongan phosphodiesterase-3 inhibitor. Dalam penelitian Momsen dkk,


yang dikumpulkan dari sembilan percobaan (1258 pasien) membandingkan cilostazol
dengan plasebo, obat ini dikaitkan dengan peningkatan mutlak 42,1 m versus plasebo
(P, 0,001) selama rata-rata tindak lanjut dari 20 minggu. Dalam meta-analisis lain,
berjalan kaki maksimal meningkat rata-rata sebesar 36 m dengan cilostazol 50 mg /
hari, dan hampir dua kali (70 m) dengan dosis 100 mg.14 Panduan AHA
merekomendasikan cilostazol 100 mg 2 kali per hari pada pasien dengan PAP
ekstremitas bawah dan klaudikasio intermiten. Efek samping yang paling sering adalah
sakit kepala, diare, pusing, dan jantung berdebar.

 Pentoxifilin
Pentoxifilin dengan dosis 400 mg 3 kali per hari merupakan terapi alternative
lini kedua setelah cilostazol untuk meningkatkan jarak tempuh pasien
klaudikasio intermiten. Obat ini termasuk dalam golongan phosphodiesterase
inhibitor yang berfungsi sebagai vasodilator dan antiplatelet. Berdasarkan hasil
enam studi meta-analisis terbaru, ditemukan peningkatan signifikan jarak
berjalan kaki maksimal dengan pentoxifilin (59 m).
 Obat-obat lainnya
1. Naftidrofuryl
Naftidrofuryl telah tersedia di Eropa selama bertahun-tahun. Ini adalah
golongan 5- hydroxytryptamine tipe 2 antagonis yang mengurangi eritrosit dan
agregasi trombosit. Efikasi naftidrofuryl diperiksa dalam suatu penelitian meta-
analisis dari 5 studi termasuk 888 pasien: bebas rasa sakit berjalan kaki itu
secara signifikan meningkat 26% vs placebo. Hasil yang sama juga
dikonfirmasi dengan analisis Cochrane. Efek samping obat ini adalah gangguan
pencernaan ringan.
2. Carnitine dan Propionil-L-Carnitine
Obat ini mungkin memiliki efek pada metabolisme otot iskemik. Dalam dua uji
coba multisenter, propionil-L-karnitin meningkatkan jarak berjalan kaki dan
kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan plasebo. Uji coba tambahan
diharapkan untuk mengevaluasi keampuhan dalam kelompok besar pasien.
3. Buflomedil
Buflomedil dapat menghambat agregasi platelet dan meningkatkan
deformabilitas sel darah merah dan juga memiliki efek adrenolitik. Dalam
penelitian yang dilakukkan oleh De Backer dkk, pada 2078 pasien, pasien
menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan. Namun, dalam meta-analisis
ini, hasil ini dikutip sebagai 'moderat' positif, dengan beberapa derajat. Kisaran
dosis terapi sempit, dengan risiko kejang. Buflomedil baru-baru ini ditarik dari
pasar di beberapa negara Eropa karena efek samping utama dan manfaat yang
belum pasti.17 Agen farmakologis lainnya seperti inositol, proteoglikan, dan
prostaglandin. Meskipun positif, hasil memerlukan lebih lebih lanjut. Sebuah
meta-analisis tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam jarak
berjalan kaki dengan gingko biloba. Kompresi pneumatik intermiten mungkin
relevan untuk gejala. Dalam suatu penelitian, ditemukan data dengan kompresi
pneumatik intermiten menunjukkan peningkatan aliran darah (13-240%) di
poplitea atau arteri infragenikular. Bahkan jarak berjalan kaki maksimal
ditingkatkan sampai dengan 50% (90 m).18

(Departemen Farmakologi dan Teraupetik. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi5.


Jakarata : FK UI.P.)

Latihan Olahraga pada Klaudikasio Intermiten

Berdasarkan ACC/AHA dan ESC, latihan olahraga yang disupervisi


merupakan rekomendasi kelas IA sebagai terapi awal klaudikasio. Pada suatu
penelitian metaanalisis, latihan dapat meningkatkan waktu tempuh maksimal dengan
peningkatan kemampuan berjalan hingga 50-200%.3 Selain itu latihan juga dapat
meningkatkan jarak tempuh secara signifikan hingga 2 tahun.

Pada penelitian metaanalisis lainnya, terapi latihan yang disupervisi


menunjukkan perbaikan yang signifikan jarak tempuh maksimal dengan treadmill jika
dibandingkan dengan terapi latihan yang tidak disupervisi.19 Penelitian terbaru,
CLEVER (CLaudication: Exercise Versus Endoluminal Revascularization), yang
membandingkan antara farmakoterapi optimal, latihan disupervisi, dan revaskulariasi
endovaskuler memperlihatkan superioritas baik program latihan maupun
revaskularisasi terhadap farmakoterapi, dengan peningkatan bermakna terhadap
kemampuan berjalan pada grup yang menjalani latihan, serta dengan perbaikan kualitas
hidup secara umum yang lebih baik pada grup yang menjalani revaskularisasi.
Mekanisme fisiologis latihan terhadap perbaikan gejala klaudikasio belum
sepenuhnya dimengerti, namun beberapa penelitian menunjukkan kemungkinan efek
yang ditimbulkan sebagai berikut:

1. Meningkatnya efisiensi konsumsi oksigen jaringan otot karena modifikasi pola


berjalan sehingga dibutuhkan energi yang lebih sedikit untuk menjalani latihan.

2. Meningkatnya kemampuan metabolisme otot: meningkatnya kapasitas enzim


oksidatif, berkurangnya kadar acylcarnitine

3. Meningkatnya daya tahan dan kekuatan otot

4. Berkurangnya persepsi nyeri

5. Perbaikan fungsi endotel

6. Peningkatan kolateral

7. Berkurangnya viskositas darah

8. Berkurangnya faktor inflamasi sistemik

9. Memperbaiki faktor kardiovaskuler lainnya: berkurangnya tekanan darah, resistensi


insulin, faktor inflamasi (hs-CRP), depresi dan stres psikososial, obesitas, serta
perbaikan pada fungsi otonom, reologi darah, dan profil lipid.

Program latihan menggunakan treadmill atau lintasan untuk pasien dengan


klaudikasio terdiri atas 3-5 sesi per minggu selama 12-24 minggu. Latihan dijalankan
dibawah pengawasan dengan pengukuran objektif terhadap keluhan klaudikasio, jarak
dan lama berjalan maksimal, serta tanda-tanda iskemia miokard. Pengukuran tekanan
darah, denyut nadi, dan elektrokardiogram 12 lead dilakukan selama latihan. Target
program adalah peningkatan jarak tempuh maksimal dan jarak berjalan tanpa nyeri.
Setelah program yang disupervisi selesai, progam latihan dilanjutkan dirumah dengan
pola yang sama.
Keterbatasan pada program latihan ini terutama diakibatkan oleh adanya
komorbiditas. Penyakit otot, sendi, dan saraf merupakan faktor penghambat untuk
latihan. Penyakit jantung ataupun paru kronik menurunkan kapasitas fungsional
sehingga pasien tidak dapat mencapai tingkatan latihan yang diharapkan. Kurangnya
kesediaan pasien untuk menjalani program latihan menyebabkan hasil yang latihan
yang tidak sesuai dengan data dari berbagai penelitian. Umumnya ini timbul karena
pasien tidak menganggap program latihan ini sebagai suatu terapi, namun hanya
sebagai program tambahan (adjuvant), sehingga tidak menimbulkan minat.

Salah satu metode untuk mengatasinya adalah dengan memberikan program


latihan rumah yang terukur dan dimonitor dengan baik, yang memberikan hasil serupa
dengan program latihan dibawah supervisi.

Terapi Intervensi Pada kasus klaudikasio yang berat terapi dengan


medikamentosa atau pun dengan terapi latihan yang disupervisi, seringkali tidak
memadai untuk memperbaiki gejala sehingga diperlukan pencitraan lesi untuk
mengetahui lokasi yang tepat dan karakteristik lesi. Ini akan membantu apakah terapi
intervensi memungkinkan atau tidak. Bukti keuntungan jangka panjang revaskularisasi
dibandingkan latihan yang disupervisi dan terapi medikamentosa masih belum dapat
disimpulkan, terutama pada pasien dengan klaudikasio yang ringan sampai sedang.

Terapi endovaskular

Metode endovaskular telah banyak dikembangkan mengingat lebih rendahnya


mortalitas dan morbiditas pada penggunaan metode endovaskular bila dibandingkan
dengan bedah vaskular. Banyak institusi pengobatan yang menempatkan terapi
endovaskular sebagai pilihan pertama terapi revaskularisasi kasus penyakit arteri
perifer. Pemilihan terapi revaskularisasi didasarkan pada penelaahan masing-masing
kasus dalam hal kecocokan anatomi, komorbiditas, sarana fasilitas kesehatan dan
preferensi pasien. Kelemahan metode endovaskular ini adalah pada ketahanan jangka
panjangnya bila dibandingkan dengan metode bedah vaskular. Patensi setelah terapi
endovaskular terbaik adalah pada lesi-lesi arteri iliaka komunis dan tingkat patensi
semakin menurun pada arteri yang semakin distal. Tingkat patensi juga berbanding
terbalik dengan panjang lesi, lesi multipel dan difus, kualitas arteri run-off yang buruk
dan penyakit komorbid yang ada terutama diabetes melitus dan gagal ginjal.

Teknologi balon perifer yang bersalut obat telah banyak dikembangkan walau
masih memerlukan penelitian lanjutan. Pada beberapa kasus, teknik endovaskular
dapat melakukan implantasi stent perifer. Tujuan utama prosedur pemasangan stent ini
adalah untuk meningkatkan patensi jangka panjang atau meningkatkan hasil primer
tindakan endovaskular yang kurang memuaskan seperti stenosis residual atau rekoil.
Pemasangan stent harus diupayakan menjauhi daerah lipatan seperti daerah lutut dan
segmen-segmen yang nantinya potensial dapat digunakan untuk lokasi bypass bila
tindakan operasi diperlukan.

Terapi bedah vascular

Beberapa merode pembedahan dapat dilakukan, namun metode yang paling


umum digunakan adalah dengan byposs. Material yang digunakan dapat berupa graft
autblog, prostetik ataupun autolog. Pada pasien dengan (ffigrene terinfeksi atau
iskemia tungkaiyang tidak dapat dikembalikan, amputasi merupakan pilihan yang
terakhir.

(Jurnal Kesehatan Andalas 2018 : Diagnosis dan Tatalaksana Klaudikasio Intermiten;


IPD Jilid II Edisi VI)

9. Bagaimana komplikasi dan prognosis PAP ?

Jawaban :

KOMPLIKASI
 Stroke
 Serangan Jantung
 Iskemia Tungkai Kristis

PROGNOSIS

Dari penegakan diagnosis didapatkan diagnosis yaitu Penyakit Arteri Perifer


/PAD. PAD merupakan gangguan vaskular yang disebabkan oleh proses aterosklerosis
atau tromboemboli, yang menganggu struktur maupun fungsi aorta dan cabang
viseralnya serta arteri yang memperdarahi ekstremitas bawah. Prognosis dari PAD
tergantung pada pengobatan yang diberikan, jika pengobatan segera diberikan maka :

a. Ad vitam : dubia ad bonam


b. Ad sanationam : dubia ad bonam
c. Ad fungsionam : dubia ad bonam

(Tessa, thendria. 2014. Hubungan Hipertensi dengan Penyakit Arteri Perifer. Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura. Tanjungpura. eJKI. Vol. 2, No. 1, April. )
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Peripheral arterial disease (PAD) atau penyakit arteri perifer adalah kondisi di
mana aliran darah ke tungkai tersumbat akibat penyempitan pembuluh darah yang
berasal dari jantung (arteri). Dampaknya, tungkai yang kekurangan pasokan darah akan
terasa sakit, terutama saat berjalan. Penyakit arteri perifer terkadang tidak
menimbulkan gejala dan berkembang secara perlahan. Jika dibiarkan tanpa
penanganan, penyakit arteri perifer bisa memburuk hingga menimbulkan kematian
jaringan, dan berisiko untuk diamputasi.

Untuk itu Pak doni yang didiagnosa menderita penyakit ini, diharapkan dapat
mengikuti tatalaksana dari penyaki PAP ini sehingga mampu menghindari komplikasi
yang dapat terjadi pada panyekit ini
DAFTAR PUSTAKA

Walsh. Fang. Fuster. 2013. Hurst’s The Heart: Manual Of Cardiology. New York: Mc
Graw Hill. Edition 13

Rosendorff, Clive. 2015. Essential Cardiology Principles and Practice. New Jersey:
Humana Press. Edition 2

Sihombing B. Prevalensi penyakit arteri perifer pada populasi penyakit diabetes


melitus di Puskesmas Kota Medan Januari-Juli 2008. [Tesis]. Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2008.

Rosendorff, Clive. 2015. Essential Cardiology Principles and Practice. New Jersey:
Humana Press. Edition 2

Antono D, Ismail D. Penyakit arteri perifer. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid
II, edisi kelima. Jakarta: Interna publishing; 2009.h:1831-6

Tessa, thendria. 2014. Hubungan Hipertensi dengan Penyakit Arteri Perifer. Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura. Tanjungpura. eJKI. Vol. 2, No. 1, April.

Buku ilmu penyakit dalam edisi ke VI jilid II

Price, SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.
Jakarta: EGC, 2005

Jurnal Kesehatan Andalas 2018 : Diagnosis dan Tatalaksana Klaudikasio Intermiten;


IPD Jilid II Edisi VI

Departemen Farmakologi dan Teraupetik. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi5.


Jakarata : FK UI.P.

Anda mungkin juga menyukai