TUTORIAL LBM 4
BLOK KARDIOVASKULER DAN RESPIRASI 1I
“MENGAPA KAKIKU NYERI SAAT NAIK TANGGA”
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
Kadek Yulia Inggriani ( 017.06.0029 )
Kadek Indah Novita Rahayuni ( 017.06.0048 )
Nabila Araishabeby Yudhyatirta ( 017.06.0055 )
Renaldo Tegar Prasetyo ( 018.06.0022 )
Kinanti Puji Lestari ( 018.06.0028 )
Ni Luh Putu Anita Pradnyani Supraba ( 018.06.0030 )
Ayu Baitul Muhsinin ( 018.06.0052 )
Zuriyatun Toyibah ( 018.06.0054 )
Gusti Putu Satya Diva Pradana ( 018.06.0072 )
Ahmad Tristan Amartya (018.06.0074 )
Luh Made Sari Diantari (018.06.0076 )
Tutor : dr. Sukandriani Utami, S.Ked.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD (Small
Group Discussion) LBM 4 yang berjudul ‘Mengapa Kakiku Nyeri Saat Naik Tangga’
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa (LBM) 4
yang berjudul ‘Mengapa Kakiku Nyeri Saat Naik Tangga’ meliputi seven jumps step
yang dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan
lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini kami
mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Sukandriani Utami, S.Ked. sebagai dosen fasilitator SGD 7 yang senantiasa
memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami dalam
berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk menyusun
makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Masalah 2
1.3 Manfaat Masalah 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial 3
2.2 Skenario LBM 2 3
2.3 Pembahasan LBM 2 4
2.3.1 Klarifikasi Istilah 4
2.3.2 Identifikasi Masalah 4
2.3.3 Brain Stroming 5
2.3.4 Rangkuman Permasalahan 7
2.3.5 Learning Issue 8
2.3.6 Referensi 9
2.3.7 Pembahasan Learning Issue 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 19
DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I
PENDAHULUAN
Pak Doni berusia 56 tahun dating ke dokter untuk memeriksakan dirinya karena
keluhan nyeri pada kaki kiri bagian bawah yang sering hilang timbul sejak 3 bulan
terakhir. Pak Doni diketahui memiliki penyakit kencing manis sejak 10 tahun yang lalu
dan riwayat merokok sejak usia 15 tahun. Keluhan nyeri ini dirasakan terutama saat
menaiki tangga di rumahnya. Pasien diketahui memiliki berat badan berlebih.
Pada Pemeriksaan fisik diperoleh tekanan darah 150/90 mmHg, denyut nadi
86x/menit, frekuensi pernapasan 20x/menit dan suhu 37 C. Hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan LDL 170 mg/dl, dan kolesterol total 270 mg/dl, gula darah
puasa 103 mg/dl, dengan HbA1c = 6,7%
2.3 Pembahasan LBM 2
2.3.1 Klarifikasi Masalah
NO TERMINILOGI PENJELASAN
1 HbA1c : HbA1c (hemoglobin A1c) atau
glycated hemoglobin adalah
hemoglobin yang berikatan dengan
glukosa (gula). Di dalam darah, secara
alami glukosa akan saling mengikat
dengan hemoglobin yang berada di
dalam sel darah merah.
Jawaban :
(Walsh. Fang. Fuster. 2013. Hurst’s The Heart: Manual Of Cardiology. New York:
Mc Graw Hill. Edition 13).
Jawaban :
Hyperlipidemia
Diabetes Mellitus
Hypertension
Tobacco Smoking
(Rosendorff, Clive. 2015. Essential Cardiology Principles and Practice. New Jersey:
Humana Press. Edition 2)
Jawaban :
Iskemia adalah kekurangan suplai darah ke jaringan atau organ tubuh karena
permasalahan pada pembuluh darah. Tanpa pasokan darah yang cukup, jaringan atau
organ juga tidak mendapat cukup oksigen. Akibatnya, kondisi yang membahayakan
dapat terjadi, seperti serangan jantung dan stroke.
Penyebab iskemia yang sering terjadi adalah aterosklerosis, di mana plak yang
sebagian besar mengandung lemak ini menghambat aliran darah. Seiring waktu, arteri
yang terharmbat dapat mengeras dan menyempit (aterosklerosis). Selain itu, kondisi
yang juga dapat menimbulkan iskemia adalah bekuan darah yang terbentuk dari
pecahan plak dan berpindah ke pembuluh darah yang lebih kecil, sehingga dapat
menghentikan aliran darah secara tiba-tiba.
Dikarenakan Iskemia merupakan penyakit sistemik maka kemungkinan besar nyeri
dapat terjadi pada kaki sebelah kanan juga.
Jawaban :
(Rosendorff, Clive. 2015. Essential Cardiology Principles and Practice. New Jersey:
Humana Press. Edition 2)
Jawaban :
Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah gangguan vaskular yang disebabkan oleh
proses aterosklerosis, yang mengganggu struktur maupun fungsi aorta dan cabang
viseralnya serta arteri yang memperdarahi ekstrimitas bawah. PAP biasanya juga
terjadi pada orang yang mengalami obesitas. Karena pada obesitas cenderung
menurunkan dari adiponektin dimana dapat menyebabkan aterosklerosis.
PEMERIKSAAN FISIK
DIAGNOSA BANDING
SUSPECT
2.3.6 Referensi
Peripheral arterial disease (PAD) atau penyakit arteri perifer adalah kondisi di
mana aliran darah ke tungkai tersumbat akibat penyempitan pembuluh darah yang
berasal dari jantung (arteri). Dampaknya, tungkai yang kekurangan pasokan darah akan
terasa sakit, terutama saat berjalan.
Penyakit ini dipicu oleh berbagai kondisi akibat gaya hidup yang tidak sehat,
seperti hipertensi, diabetes, dan kolesterol tinggi. Oleh karena itu, cara paling efektif
untuk mencegah penyakit arteri perifer adalah menjalankan gaya hidup sehat, yaitu
dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dan rutin berolahraga.
2.3.7 Pembahasan Learning Issue
Jawaban :
Rasa nyeri yang dirasakan pasien ini dapat dirasakan pada kaki yang sehat
(kanan), karena ini merupakan penyakit sistemik. Apabila kaki yang terasa nyeri tidak
diketahui penyebabnya dan tidak segera diobati, maka lama-kelamaan penyebab nyeri
yang dirasa ini dapat menjalar ke kaki bagian atas (paha), kemudian ke kaki sebelah
kanan. Salah satu penyebab rasa nyeri tersebut yaitu penyakit arteri perifer terjadi
akibat adanya penyempitan pada pembuluh darah arteri. Penyempitan pembuluh darah
ini menyebabkan aliran darah pada kaki menjadi tersumbat. Kondisi ini terkait adanya
faktor resiko kadar kolesterol yang tinggi pada penderita. Penumpukan lemak ini
mengarah pada aterosklerosis, dimana lemak di dalam darah menumpuk dinding
sekitar pembuluh darah dan mennyebabkan penyumbatan. Gejala dapat semakin berat
bergantung pada kondisi dan usia penderita serta kemungkinan besar dapat menjalar
ke kaki sebelah kanan akibat dari tekanan pada kaki saat menopang tubuh dan
beraktivitas lainnya.
Jawaban :
a. PAP
Definisi Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada
pembuluh darah non sindroma koroner akut setelah keluar dari jantung dan aortailiaka,
sehingga pembuluh yang dapat menjadi lokasi terjadinya PAP adalah pembuluh pada
keempat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika, aorta abdominalis,
dan semua pembuluh cabang yang keluar dari aortailiaka. Namun demikian, secara
klinis PAP merupakan gangguan pada arteri yang memperdarahi ekstremitas bawah.
Etiologi PAP, yaitu PAP ini dapat terjadi oleh karena adanya perubahan
struktur ataupun fungsi dari pembuluh darah. PAP sering kali merupakan bagian dari
proses penyakit sistemik yang berpengaruh terhadap kelainan arteri multipel. Adanya
PAP pada satu arteri menjadi prediktor kuat adanya PAP pada arteri lainnya, termasuk
pada pembuluh darah koroner, karotis dan serebral. Selain itu etiologi PAP bisa berasal
dari non aterosklerotik dan aterosklerotik. Penyebab non aterosklerotik seperti trauma,
vasculitis, dan emboli, namun aterosklerotik lebih banyak menunjukkan PAP dan
menyebabkan dampak epidemiologi yang besar.
Manifestasi Klinis PAP yang paling umum adalah sensasi sakit pada kaki saat
sedang berolahraga/aktivitas fisik, ini dikenal sebagai klaudikasio intermiten. Sensasi
sakit, sensasi terbakar, sensasi berat, atau sesak pada otot-otot kaki ini biasanya dimulai
setelah berjalan pada jarak tertentu, berjalan menaiki bukit, atau menaiki tangga, dan
akan hilang setelah beristirahat selama beberapa menit. Pasien dengan klaudikasio
intermiten memiliki aliran darah yang normal pada saat istirahat, oleh karena itu, tidak
ada gejala nyeri/sakit pada kaki saat istirahat. Dengan berolahraga, aliran darah pada
arteri otot-otot kaki dapat dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Ini mengakibatkan
terjadinya ketidaksesuaian antara suplai oksigen dan otot permintaan metabolik,
sehingga memunculkan gejala klaudikasio. Pasien dengan PAP yang parah dapat
mengalami klaudikasio setelah berjalan walaupun hanya dalam jarak yang pendek, atau
mengalami sensasi sakit di kaki ketika istirahat atau ketika berbaring di tempat tidur di
malam hari. Pada kasus yang parah, pasien juga dapat mengalami ulkus yang tidak
dapat sembuh dengan sendirinya atau kulit yang menghitam (gangren) pada kaki atau
jari kaki
Klasifikasi PAP yaitu Vena Disease, Arterial Disease dan Limfoid Disesase.
Berdasarkan perubahan struktur dapat dibagi menjadi 2, yaitu organik dan fungsional.
b. DMDF
Definisi Diabetic Foot Infections (DFIs) atau biasa disebut Infeksi Kaki
Diabetes (IKD) merupakan kombinasi aterosklerosis kedua tersering setelah
aterosklerosis pembuluh darah koroner; dan yang terserang pembuluh darah tungkai
bawah. Umumnya kelainan ini dikenal sebagai Peripheral Vascular Disease (PVD).
Ada tiga faktor yang bisa dianggap sebagai predisposisi kerusakan jaringan pada kaki
diabetik (KKD), yaitu neuropatik, vaskulopatik dan infeksi. KKD dapat dipandang
sebagai satu kesatuan dari dua elemen yaitu kaki iskemik (ischemia foot) dan kaki
neuropatik (neuropathic foot).
Etiologi Secara patogenetik ada tiga faktor utama (metabolik, autoimun dan
vaskuler) yang dianggap sebagai sebab terjadinya neuropatik pada diabetes melitus.
Diabetes melitus bersama faktor genetik dan lingkungan akan lewat ketiga faktor
tersebut memberi tanda klinis neuropatik. Kebanyakan kasus DFIs ditemukan adalah
polymicrobial infections, dengan penyebab utamanya bakteri gram positif coccus
(GPC) aerobik, terutama staphylococci. Basil gram negatif aerobik sering copathogens
infeksi yang kronis atau mengikuti pengobatan antibiotik. Pada bakteri anaerob bisa
jadi copathogens pada luka iskemik atau nekrotik.
Manifestasi Klinis kaki diabetes melitus seperti sering kesemutan, nyeri pada
kaki saat istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan
denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan
kuku menebal serta kulit kering.
Klasifikasi DMDF yaitu sebelum ditemukan Derajat PEDIS, dahulu lebih
sering digunakan Derajat Wagner. Derajat tersebut dianggap praktis untuk bisa dipakai
pedoman penentuan keparahan dan pengelolaan infeksi kaki diabetic sebagai berikut :
Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan
disertai kelainan bentuk kaki seperti claw, callus.
Derajat I : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa
selulitis.
Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.
c. GA
Definisi lain menyebutkan Artritis gout adalah penyakit yang sering ditemukan
dan tersebar di seluruh dunia. Artritis gout atau dikenal juga sebagai artritis pirai,
merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium
urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraseluler.
Gangguan metabolisme yang mendasarkan artritis gout adalah hiperurisemia yang
didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl untuk pria dan 6,0 ml/dl
untuk wanita (Tehupeiory, 2006).
Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi,
obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat serum asam urat lebih
tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang artritis gout.
Perkembangan artritis gout sebelum usia 30 tahun lebih banyak terjadi pada pria
dibandingkan wanita. Namun angka kejadian artritis gout menjadi sama antara kedua
jenis kelamin setelah usia 60 tahun. Prevalensi artritis gout pada pria meningkat dengan
bertambahnya usia dan mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun (Weaver, 2008).
Manifestasi Klinis artritis gout terdiri dari artritis gout asimptomatik, artritis
gout akut, interkritikal gout, dan gout menahun dengan tofus. Nilai normal asam urat
serum pada pria adalah 5,1 ± 1,0 mg/dl, dan pada wanita adalah 4,0 ± 1,0 mg/dl. Nilai-
nilai ini meningkat sampai 9-10 mg/ dl pada seseorang dengan artritis gout (Carter,
2006). Pada tahap pertama hiperurisemia bersifat asimptomatik, kondisi ini dapat
terjadi untuk beberapa lama dan ditandai dengan penumpukan asam urat pada jaringan
yang sifatnya silent. Tingkatan hiperurisemia berkolerasi dengan terjadinya serangan
artritis gout pada tahap kedua (Sunkureddi et al, 2006).
Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat dalam
waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit
yang hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan
utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa
demam, menggigil dan merasa lelah (Tehupeiory, 2006). Serangan artritis gout akut
terjadi ditandai dengan nyeri pada sendi yang berat dan biasanya bersifat
monoartikular. Pada 50% serangan pertama terjadi pada metatarsophalangeal1 (MTP-
1) yang biasa disebut dengan podagra. Semakin lama serangan mungkin bersifat
poliartikular dan menyerang ankles, knee, wrist, dan sendi-sendi pada tangan
(Sunkureddi et all, 2006).
d. RA
a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki
angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).
b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron
(DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen
plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun
humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA
respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai
efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana,
2009).
c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk
semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul
timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).
e. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai
respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam
amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana
antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host.
Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel
Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).
f. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).
Manifestasi Klinis RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo,
tetapi paling sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan
kaki dan lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, da n bursa menebal akibat radang yang
diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).
a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan
gejalanya berupa penurunan berat badan, demam >38,3°C , kelelahan (fatigue),
malaise, depresi dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum
merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal
pada kerusakan sendi (Longo, 2012);
b. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi
aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan
dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru,
pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan
diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi dan gangren (Longo, 2012);
c. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary sjogren’s
syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan keratoconjutivitis sicca (dry
eyes) atau xerostomia (Longo, 2012);
d. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan
penyakit paru interstitial (Longo, 2012);
g. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang
disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti
arteri koreoner atau disfungsi diastol (Longo, 2012).
h. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit
RA yang sudah kronis (Longo, 2012).
i. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia
dan keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA
sering disebut dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA
tahap akhir (Longo, 2012).
j. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar
dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma
sercara luas (Longo, 2012).
Diagnosa Kerja :
Tes non-invasif dapat menilai status PAP secara obyektif dan dapat
memfasilitasi perencanaan terapi. Tes ini relatif murah, dapat dilakukan tanpa risiko,
dan dapat memberikan informasi prognostik. Sedangkan Ankle Brachial Index (ABI)
adalah tes skrining vaskular non invasif untuk mengidentifikasi penyakit arteri perifer.
Jawaban :
Beberapa studi epidemiologi juga menemukan bahwa tingginya kadar kolesterol total
dan rendahnya HDL secara independen berkaitan dengan meningkatnya risiko PAP.
Hiperlipidemia mengubah dinding endotel arteri mengarah ke pembentukan lesi
aterosklerotik. Kolesterol LDL adalah salah satu penyebab utama dari disfungsi endotel
dan cedera otot polos.
Jawaban :
a) Ras
Jenis kelamin pria merupakan salah satu faktor resiko PAP. Pria lebih rentan
mengalami proses aterosklerosis dibandingkan wanita. Hormon estrogen memilki
properti vasoprotektif yang mencegah proses aterosklerosis pada wanita. Mekanisme
vasoproteksi estrogen belum sepenuhnya dimengerti dan diduga diperantarai oleh efek
estrogen terhadap NO, profil lipid dan efek antiinflamasi. Estrogen mempengaruhi
kadar dan aktivitas NO. Wanita memilki respon relaksasi dan vasodilatasi pembuluh
darah yang lebih baik dibandingkan pria. Estrogen meningkatkan kerja antioksidan,
menurunkan kadar LDL dan meningkatkan kadar HDL, serta memiliki efek anti-
inflamasi. Estrogen juga memacu pertumbuhan endotel baru, menghambat proliferasi
sel otot polos pembuluh darah. Hormon estrogen diduga bekerja menghambat
aterogenesis melalui berbagai mekanisme tersebut
c) Usia
Usia tua adalah faktor resiko utama menderita PAP. Resiko PAP meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, dari 3% pada usia 20% pada usia ≥70 tahun.
Hubungan usia dan PAP mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap
faktor-faktor aterogenik disertai efekefek kumulatif penuaan pada pembuluh darah.
Proses penuaan secara alami menyebabkan pembuluh darah orang tua lebih rentan
mengalami aterosklerosis. Sel-sel radang, sel endotel dan sel otot polos pembuluh
darah pada orang tua berbeda dibandingkan sel-sel pada orang dengan usia lebih muda.
Penuaan menyebabkan perubahan dalam potensi proliferasi sel, proses apoptosis dan
kerusakan DNA. Jumlah NO dan respon vaskular terhadap NO menurun seiring
bertambahnya usia. Penurunan NO menyebabkan gangguan relaksasi pada pembuluh
darah.18 Sel endotel dan sel otot pembuluh darah pada orang tua mensekresi sitokin
proinflamasi yang menyebabkan inflamasi persisten pada pembuluh darah. Lapisan
intima dan media pembuluh darah pada proses penuaan terus mengalami remodeling
berupa peningkatan deposisi kolagen dan degenerasi elastin sehingga pembuluh darah
kehilangan elastisitasnya dan menjadi kaku.
d) Merokok
e) Diabetes Melitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan faktor resiko utama terjadinya PAD, yang
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Kehadiran diabetes mellitus
sangat meningkatkan resiko serta mempercepat terjadinya PAD dua sampai tiga kali
lipat. Di Asia sendiri dalam penetian yang dilakukan pada tujuh negara termasuk
Indonesia didapatkan hasil 17,7 % dari penderita diabetes mellitus mengalami penyakit
arteri perifer
f) Hipertensi
Sekitar 2-5% pasien hipertensi memiliki resiko menderita PAP dan 35-55%
pasien dengan PAP diketahui menderita hipertensi. Derajat hipertensi mempengaruhi
kejadian PAP. Setiap peningkatan 10mmHg tekanan darah sistolik meningkatkan
resiko PAP sebesar 1,3 kali (IK95% 1,2-1,5). Hipertensi dapat mempengaruhi kejadian
PAP melalui perannya dalam perkembangan aterosklerosis. Hipertensi merupakan
faktor resiko terjadinya aterosklerosis melalui berbagai mekanisme antara lain
disfungsi sel endotel, inflamasi, penurunan kadar NO dan abnormalitas faktor
hemostasis yang dimediasi oleh peningkatan ANG-II serta ET-1 pada pasien dengan
hipertensi. Tekanan darah yang tinggi menyebabkan arteri berdilatasi dan teregang
berlebihan sehingga dapat mengakibatkan cedera pada endotel. Disfungsi endotel
menyebabkan abnormalitas tonus otot polos pembuluh darah, proliferasi sel otot polos
pembuluh darah, gangguan koagulasi dan fibrinolisis serta inflamasi persisten
g) Factor lainnya
(Thendria, T., Toruan, I. L., Natalia, D. 2014. Hubungan antara Hipertensi dan Penyakit
Arteri Perifer Berdasarkan Nilai Ankle-Brachial Index. Vol 2 No 1)
Jawaban :
Jawaban :
Pada beberapa pasien (diabetes atau penyakit ginjal berat) ABI bukanlah alat
diagnostik yang dapat diandalkan. Kalsifikasi berat arteri perifer menjadi non-
kompresibel, sehingga meningkatkan nilai ABI. Pasien-pasien ini biasanya memiliki
ABI ≥ 1,4, dan diperlukan pengujian non-invasif diperlukan untuk diagnosis PAP.
Selain itu, pengukuran ABI mungkin salah jika lesi obstruktif di subklavia atau arteri
axillaris. Oleh sebab itu penting mengukur tekanan darah sistemik di kedua lengan, dan
menggunakan nilai tertinggi yang diperoleh di lengan untuk perhitungan indeks.
Sebagai tes alternatifnya adalah dengan mengukur tekanan sistolik ibu jari kaki dan
analisis gelombang Doppler untuk mendeteksi penyakit arteri ekstremitas bawah.
Indeks ibu jari kaki dengan brachial ≤ 0,7 merupakan diagnostik untuk penyakit arteri
ekstremitas bawah .
• Treadmill Test
Pada saat istirahat, pasien mungkin bisa ditemukan nilai ABI yang normal,
sehingga diperlukan stress tes untuk meningkatkan akurasi diagnostik. Dengan
mengukur ABI sebelum dan sesudah treadmill berjalan atau provokasi stres yang sama,
setiap lesi vaskular yang signifikan secara hemodinamik dapat diketahui akibat
vasodilatasi perifer yang disebabkan oleh latihan. Selain itu treadmill test ini bisa
digunakan untuk membedakan antara klaudikasio yang berasal dari vaskuler (tekanan
di kaki akan turun setelah latihan) atau neurogenik (tekanan dikaki akan tetap sama
atau meningkat). Treadmill test juga bisa digunakan untuk menilai efektifitas terapi
(rehabilitasi latihan, terapi obat-obatan, atau dengan revaskularisasi). Treadmill
dilakukan dengan latihan sampai 3,2 km dengan tanjakan 10-20%. Terdapat beberapa
tehnik seperti peningkatan tanjakan setiap 3 menit dengan tetap berjalan dengan
kecepatan yang sama sampai nyeri klaudikasio muncul. Pemeriksaan ini harus tetap
didampingi untuk mengamati gejala yang muncul. Namun, pemeriksaan ini tidak
dianjurkan pada pasien dengan penyakit jantung koroner berat, gagal jantung, atau
dengan gangguan berjalan.4 Penurunan tekanan segera setelah uji treadmill, dan
terdapatnya gradien antara 15-20% menegakkan diagnosis PAP.Pasien yang tidak bisa
melakukan treadmill test, bisa dilakukan latihan fleksi pedal.
Kelemahan DUS adalah kesulitan menilai lumen pembuluh darah yang mengalami
kalsifikasi berat, atau pada pasien dengan ulkus terbuka atau dengan luka parut yang
lebar. Kesulitan juga ditemui pada pasien obesitas. Kerugian DUS jika dibandingkan
dengan teknik pencitraan lain adalah DUS tidak memberikan pencitraan arteri yang
jelas seperti halnya teknik lainnya. Namun, DUS memberikan informasi penting
tentang hemodinamik. Pada pasien yang menjalani operasi bypass, DUS berperan
dalam menentukan lokasi anastomosis dengan identifikasi dari pembuluh darah yang
mengalami kalsifikasi.
Metode ini merupakan standar emas untuk diagnosis PAP, terutama untuk
pasien yang menjalani intervensi, terutama bersamaan dengan prosedur endovaskular.
Memang, teknik non-invasif memvisualisasikan pencitraan di hampir semua kasus,
dengan radiasi yang lebih sedikit, dan menghindari komplikasi punksi arteri < 1%
kasus. Teknik kateterisasi yang sering digunakan adalah transfemoral retrograde. Jika
akses femoralis tidak memungkinkan, akses transradial atau pendekatan dan
kateterisasi antegrade langsung transbrachial juga bisa dilakukan.
Jawaban :
3. Terapi dengan asam fibroat dapat digunakan pada pasien PAP dengan HDL yang
rendah, kadar LDL yang normal dan trigliserida yang tinggi. (IIa C)
Obat Hipertensi
1. Obat hipertensi diberikan pada pasien hipertensi dengan PAP ekstremitas bawah
dengan target tekanan darah < 140/90 mmHg (pada pasien tanpa diabetes) atau <
130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes dan gagal ginjal kronik.
2. Beta blocker merupakan obat antihipertensi yang efektif dan bukan kontraindikasi
pada pasien PAP (IA)
3. Penggunaan ACE inhibitors pada pasien PAP ekstremitas bawah yang bergejala
direkomendasikan sebagai kelas IIa B.
Terapi Diabetes
1. Perawatan kaki, termasuk penggunaan alas kaki, pemeriksaan kaki setiap hari,
pembersihan kulit dan penggunaan krim pelembab (IB)
2. Terapi diabetes pada pasien dengan PAP ekstremitas bawah dengan obat-obat
pengontrol gula dengan target HbA1C< 7% efektif untuk menurunkan komplikasi
mikrovaskular (IIa C)
Berhenti Merokok
1. Aspirin, dengan dosis 75-325 mg, direkomendasikan sebagai terapi antiplatelet yang
aman dan efektif untuk menurunkan resiko infark miokard, stroke, atau kejadian
vaskular (IB).
Terapi Medikamentosa
Cilostazol
Pentoxifilin
Pentoxifilin dengan dosis 400 mg 3 kali per hari merupakan terapi alternative
lini kedua setelah cilostazol untuk meningkatkan jarak tempuh pasien
klaudikasio intermiten. Obat ini termasuk dalam golongan phosphodiesterase
inhibitor yang berfungsi sebagai vasodilator dan antiplatelet. Berdasarkan hasil
enam studi meta-analisis terbaru, ditemukan peningkatan signifikan jarak
berjalan kaki maksimal dengan pentoxifilin (59 m).
Obat-obat lainnya
1. Naftidrofuryl
Naftidrofuryl telah tersedia di Eropa selama bertahun-tahun. Ini adalah
golongan 5- hydroxytryptamine tipe 2 antagonis yang mengurangi eritrosit dan
agregasi trombosit. Efikasi naftidrofuryl diperiksa dalam suatu penelitian meta-
analisis dari 5 studi termasuk 888 pasien: bebas rasa sakit berjalan kaki itu
secara signifikan meningkat 26% vs placebo. Hasil yang sama juga
dikonfirmasi dengan analisis Cochrane. Efek samping obat ini adalah gangguan
pencernaan ringan.
2. Carnitine dan Propionil-L-Carnitine
Obat ini mungkin memiliki efek pada metabolisme otot iskemik. Dalam dua uji
coba multisenter, propionil-L-karnitin meningkatkan jarak berjalan kaki dan
kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan plasebo. Uji coba tambahan
diharapkan untuk mengevaluasi keampuhan dalam kelompok besar pasien.
3. Buflomedil
Buflomedil dapat menghambat agregasi platelet dan meningkatkan
deformabilitas sel darah merah dan juga memiliki efek adrenolitik. Dalam
penelitian yang dilakukkan oleh De Backer dkk, pada 2078 pasien, pasien
menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan. Namun, dalam meta-analisis
ini, hasil ini dikutip sebagai 'moderat' positif, dengan beberapa derajat. Kisaran
dosis terapi sempit, dengan risiko kejang. Buflomedil baru-baru ini ditarik dari
pasar di beberapa negara Eropa karena efek samping utama dan manfaat yang
belum pasti.17 Agen farmakologis lainnya seperti inositol, proteoglikan, dan
prostaglandin. Meskipun positif, hasil memerlukan lebih lebih lanjut. Sebuah
meta-analisis tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam jarak
berjalan kaki dengan gingko biloba. Kompresi pneumatik intermiten mungkin
relevan untuk gejala. Dalam suatu penelitian, ditemukan data dengan kompresi
pneumatik intermiten menunjukkan peningkatan aliran darah (13-240%) di
poplitea atau arteri infragenikular. Bahkan jarak berjalan kaki maksimal
ditingkatkan sampai dengan 50% (90 m).18
6. Peningkatan kolateral
Terapi endovaskular
Teknologi balon perifer yang bersalut obat telah banyak dikembangkan walau
masih memerlukan penelitian lanjutan. Pada beberapa kasus, teknik endovaskular
dapat melakukan implantasi stent perifer. Tujuan utama prosedur pemasangan stent ini
adalah untuk meningkatkan patensi jangka panjang atau meningkatkan hasil primer
tindakan endovaskular yang kurang memuaskan seperti stenosis residual atau rekoil.
Pemasangan stent harus diupayakan menjauhi daerah lipatan seperti daerah lutut dan
segmen-segmen yang nantinya potensial dapat digunakan untuk lokasi bypass bila
tindakan operasi diperlukan.
Jawaban :
KOMPLIKASI
Stroke
Serangan Jantung
Iskemia Tungkai Kristis
PROGNOSIS
(Tessa, thendria. 2014. Hubungan Hipertensi dengan Penyakit Arteri Perifer. Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura. Tanjungpura. eJKI. Vol. 2, No. 1, April. )
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peripheral arterial disease (PAD) atau penyakit arteri perifer adalah kondisi di
mana aliran darah ke tungkai tersumbat akibat penyempitan pembuluh darah yang
berasal dari jantung (arteri). Dampaknya, tungkai yang kekurangan pasokan darah akan
terasa sakit, terutama saat berjalan. Penyakit arteri perifer terkadang tidak
menimbulkan gejala dan berkembang secara perlahan. Jika dibiarkan tanpa
penanganan, penyakit arteri perifer bisa memburuk hingga menimbulkan kematian
jaringan, dan berisiko untuk diamputasi.
Untuk itu Pak doni yang didiagnosa menderita penyakit ini, diharapkan dapat
mengikuti tatalaksana dari penyaki PAP ini sehingga mampu menghindari komplikasi
yang dapat terjadi pada panyekit ini
DAFTAR PUSTAKA
Walsh. Fang. Fuster. 2013. Hurst’s The Heart: Manual Of Cardiology. New York: Mc
Graw Hill. Edition 13
Rosendorff, Clive. 2015. Essential Cardiology Principles and Practice. New Jersey:
Humana Press. Edition 2
Rosendorff, Clive. 2015. Essential Cardiology Principles and Practice. New Jersey:
Humana Press. Edition 2
Tessa, thendria. 2014. Hubungan Hipertensi dengan Penyakit Arteri Perifer. Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura. Tanjungpura. eJKI. Vol. 2, No. 1, April.
Price, SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.
Jakarta: EGC, 2005