Ditetapkan di : Depok
menyatakan bahwa naskah ringkas ini telah diperiksa dan disetujui untuk:
Akan ditulis dalam bahasa Inggris dan dipresentasikan sebagai makalah Internasional,
yaitu :
yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan ......... tahun
Akan diterbitkan pada Jumal Program StudiiDepaftemen/Fakultas di UI, yaitu:
Hum)
Pembimbing
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
beserta perangkat yang ada (ika diperlukan). Dengan Hak Bebas R-oyalti Noneksklusif ini
Dibuat di : Depok
Yang menyatakan
G+-
(Lili Muhammad Romli)
Abstrak
Gerakan Sanusiyah merupakan gerakan tarekat yang didirikan oleh Muhammad ibn Ali al-Sanusi. Gerakan ini
lahir pada akhir paruh pertama abad ke-19 dan mulai terkenal pada awal abad ke-20 karena perjuangannya dalam
melawan kolonialisme Eropa di Libya. Gerakan ini berjasa dalam mendirikan negara Libya modern. Dalam hal
pemikiran, gerakan ini bersifat puritan dan revivalis. Al-Sanusi sebagai pendirinya berpandangan bahwa
interpretasi syari’ah haruslah bebas. Ia juga menekankan bahwa umat Islam harus menghidupkan kembali akidah
dan praktik Islam yang murni sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad, serta membebaskan diri dari dogma-
dogma yang telah melemahkannya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bahwa Gerakan Sanusiyah merupakan gerakan revivalis yang
sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan negara Libya dari kolonialisme, baik melalui jalan koperatif maupun
non-koperatif.
Abstract
Sanusiyah Movement is thariqa movement which was established by Muhammad ibn Ali al-Sanusi. The
movement appeared at the end of first half 19th century and became popular at the beginning of 20th century
because of its struggle to resist European colonialism in Libya. The movement was meritorious in instituting the
modern country of Libya. The characteristic of Sanusiyah movement are puritan and revivalist thought. Al-Sanusi
as the founder thought that the interpretation of Shari’a must be free. He also emphasized that muslim must revive
akidah and Islamic practice which is pure, in the same manner as taught by Mohammad, and liberate themselves
from dogmas which was debilitate them. This research is qualitative research with literatural studies. The purpose
of this research is to clarify that the Sanusiyah Movement is revivalist movement which was very persistent in
fighting for Libya’s independence from colonialism by cooperative or non-cooperative way.
Pendahuluan
Sejak abad ke-18 M umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai bidang. Umat Islam
terbelakang dalam bidang ilmu, sosial-budaya, ekonomi dan politik. Dalam bidang ilmu umat
Islam mengalami kemandekan berpikir. Ini jauh tertinggal oleh Barat. Dalam bidang ekonomi
umat Islam mengalami kemiskinan. Dalam bidang sosial-budaya umat Islam merasa minder
dengan kebudayaan lain. Begitu pula dalam bidang politik, wilayah umat Islam yang tadinya
sangat luas terpecah-pecah dan kemudian banyak menjadi jajahan para kolonial.
Gerakan Sanusiyah muncul bersamaan dengan kemunduran Turki Utsmani. Pada saat itu
wilayah Turki Utsmani sangat luas, tetapi di satu sisi dibarengi dengan kemunduran dalam
bidang sosial, ekonomi, dan politik. Selain itu, pemerintahan Turki Utsmani juga dilanda
perpecahan karena ketidakpuasan terhadap kekhalifahan. Dalam kondisi demikian, sulit bagi
Turki untuk mengontrol kekuasaannya. Seorang perdana menteri Inggris pada waktu itu sampai
menyebut Turki sebagai The Sick Man.
Dalam kondisi yang demikian, sangat mudah bagi Turki Utsmani untuk diruntuhkan, bahkan
negara-negara Eropa sudah memiliki rencana untuk membagi-bagikan wilayah Turki Utsmani.
Konferensi Berlin pada 12 Juli 1878 M pun diadakan untuk menyepakati perbatasan-perbatasan
geografi dan politik negara-negara di Eropa. 1
Meskipun konferensi ini bisa sedikit memperpanjang kekuasaan Turki Utsmani sampai 35
tahun, tetapi sebenarnya perjanjian ini merupakan serangkaian pertemuan yang bertujuan
memperburuk kondisi pemerintahan Turki Utsmani. Dimulai dengan Perjanjian Carlo Vega
(1699 M) sampai perjanjian London (1913 M) yang mengharuskan Turki mengakui
kemerdekaan tiga pemerintahan yang berada di daerah kekuasaannya, yaitu Rumania, Serbia,
dan Qurrah Daj. Kemudian setelah itu membersihkan secara total kekuasaan Turki Utsmani.2
Libya pada waktu itu merupakan wilayah Turki Utsmani yang disebut Wilayah Tharablus Al-
Gharb (Wilayah Tripoli Barat)3. Kondisi Turki yang demikian membuat Libya menjadi daerah
jajahan Eropa. Libya pernah dijajah Perancis dan kemudian Italia.
Gerakan Sanusiyah tercatat sebagai kelompok yang sangat gencar melawan penjajahan
Perancis dan Italia terhadap Libya. Gerakan ini sempat membuat Perancis dan Italia kewalahan.
Salah satu panglimanya yang bernama Umar Mukhtar merupakan pejuang paling ditakuti. Ia
merupakan tokoh terkenal sampai kisahnya difilmkan dengan judul Lion of The Desert.
1
Isham Abdul Fatah, Umar Mukhtar, Singa Padang Pasir, Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2013, hlm. 4.
2
Ibid. hlm. 5.
3
Ibid. hlm. 2.
Landasan Teori
4
Dalam penulisan ini diambil istilah revival dengan maksud seperti yang diuraikan oleh
Lapidus, yaitu respon langsung terhadap perubahan global yang biasa disebut modernisme.5
Menurut Lapidus, modernisme6 dalam berbagai bidang seperti bentuk pemerintahan,
kemunculan ekonomi kapitalis, perkembangan ilmu dan teknologi, dan perubahan sosial-
budaya menyebabkan munculnya pergerakan keagamaan di kalangan Islam, Kristen, Yahudi,
Hindu, dan beberapa agama lainnya, serta pergerakan nasionalis. Lebih lanjut Lapidus
menjelaskan bahwa revival mungkin bisa diartikan sebagai perlawanan terhadap modernisme,
dan bisa juga diartikan sebagai ekspresi terhadap modernisme.
Revivalisme dalam dunia Islam bukanlah merupakan hal yang baru. Ia telah ada sebelumnya
dengan bentuk yang berbeda. Bentuk yang berbeda-beda ini disebabkan berbedanya fenomena
yang dihadapi. Degan demikian, revivalisme di masa modern merupakan respon terhadap
fenomena yang terjadi di masa modern. Pada dasarnya Revivalisme merupakan respon
terhadap perubahan sosial-politik sebagai upaya untuk mengembalikan kondisi seperti pada
masa Nabi masih hidup dengan mengikuti haluan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. 7
4
Dalam Cambridge International Dictionary of English, Revive diartikan sebagai “ To come or bring
(Something) back to life, health, existence, or use”. Dengan demikian, gerakan revivalis bisa juga disebut
dengan “Gerakan Kebangkitan”.
5
Ira. M. Lapidus, Islamic Revival And Modernity: The Contemporary Movements And The Historical
Paradigms, Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 40, No. 4 (1997), Leiden: BRILL,
hlm.444.
6
Gerakan Islam Revivalis biasa disebut fundamentalis, Islamis atau revivalis. Di sini Lapidus memakai istilah
revivalis sebagai ekspresi dari semangat revitalisasi yang tersirat dalam pergerakan Islam modern , serta usaha
untuk menggaungkan tajdid atau pembaharuan sebagaimana yang terjadi abad 18-20.
7
Ira. M. Lapidus, , loc. cit.
Lapidus menguraikan dua straregi kaum revivalis untuk mencapai tujuan di atas. Pertama
dengan menggalakan pendidikan dan mengorganisir masyarakat untuk membentuk komunitas
muslim yang solid sehingga akan terbentuk kekuatan massa yang besar yang nantinya akan
mengambil alih pemerintahan tanpa harus terlibat peperangan. Strategi lainnya ialah dengan
jalan kekerasan untuk menyingkirkan para penguasa yang korup serta dominasi politik asing
dengan cara mengambil alih kekuasaan secara langsung. Kedua metode di atas tidaklah selalu
eksklusif. Ia bisa jadi bergantian sesuai situasi dan kondisi, atau bahkan dipakai bersamaan
pada situasi tertentu.8
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Bahan-bahan penelitian diperoleh melalui studi
pustaka. Setelah bahan-bahan didapatkan, kemudian dikaji dan dilakukan perbandingan antara
satu sumber dengan sumber lainnya, lalu dianalisis mana di antara sumber-sumber tersebut
yang bisa diambil secara koheren, sehingga bisa dipadukan untuk kemudian diambil
kesimpulan. Selain koherensial, sumber juga dipertimbangkan berdasarkan keotoritatifan
sumber tersebut.
8
Ira. M. Lapidus,op. cit. hlm. 447.
9
Ibid. hlm. 448.
Gerakan Sanusiyah muncul pada akhir paruh pertama abad ke-19 M. Pendirinya adalah
Muhammad bin Ali al-Sanusi yang sering disebut dengan Sanusi Agung. Muhammad bin Ali
al-Sanusi dilahirkan di dekat Mustaghanin, Aljazair, 12 Rabiul Awwal 1202 H, yang bertepatan
dengan 22 Desember 1787 M. Muhammad bin Ali al-Sanusi merupakan keturunan Nabi
Muhammad s.a.w. dari jalur Hasan. 10
Al-Sanusi dilahirkan di lingkungan yang berpendidikan dan shalih. Ia belajar pertama kali dari
bibinya, Fatimah, seorang wanita yang berpendidikan tinggi.11 Dari beliau al-Sanusi belajar al-
Quran. Setelah dari bibinya, al-Sanusi kemudian belajar tauhid dan fikih dari guru-guru yang
ada di sekitar kampung halamannya.
Pada usia remaja, al-Sanusi pergi meninggalkan kampung halamannya menuju Maroko. Di sini
ia kemudian masuk Universitas Qarawiyin. Di universitas ini al-Sanusi belajar ilmu Qur’an,
Hadits, Fiqih, Bahasa Arab dan Tasawwuf. Di sini pula al-Sanusi mulai mendalami tasawwuf
dan berkenalan dengan ulama-ulama sufi.12
Ia merupakan seorang murid yang cemerlang. Dengan kecemerlangannya ini ia sempat diminta
sultan Maroko untuk bekerja di istana. Ia menolak tawaran tersebut dan akhirnya ia pergi
meninggalkan Maroko dan bergabung dengan sarjana-sarjana terkemuka melanjutkan
perjalanan ilmiyahnya ke Tunisia, Libya dan Mesir.
Ia pernah singgah di Mesir dan mengunjungi al-Azhar, tetapi tidak bertahan lama karena
ketidakpuasannya dengan al-Azhar. Ketidakpuasan tersebut karena pertentangannya dengan
ulama-ulama di sana yang menurutnya terlalu dekat dengan penguasa Mesir. Ia bahkan pernah
10
Sri Mulyati, (et.al), Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia: Jakarta: Pranada
Media, 2004, hlm. 376.
11
Maryam Jamilah, Para Mujahid Agung, Bandung: Mizan, 1984, hlm. 50.
12
Sri Mulyati, op. cit. hlm. 377.
13
Ibid.
Setelah Mesir, al-Sanusi kemudian meneruskan perjalanan ke Hijaz, dengan tujuan utama kota
Makkah. Ia tiba di Makkah pada 1825 M. Di kota ini al-Sanusi bertemu dengan guru yang
kemudian sangat berpengaruh terhadap al-Sanusi, Sayyid Ahmad bin Idris al-Fasi (1794-1837
M)16, seorang ulama terkemuka asal Maroko yang mendorong dilakukannya Ijtihad,
interpretasi yang bebas terhadap Syari’ah, kembali kepada prinsip pokok Islam yang ada dalam
al-Qur’an dan Hadits, dan mengkritik paraktik taqlid.
Jika dilihat dari ajarannya, al-Fasi termasuk tokoh yang revivalis dan puritan, mirip dengan
pergerakan Wahhabi. Hal ini bisa dipahami karena zaman itu merupakan zaman berkuasanya
Wahhabi di Saudi. Meskipun sama, tetapi ada beberapa perbedaan dengan kaum Wahhabi.
Perbedaan tersebut terletak pada sikap al-Fasi yang menerima praktik tarekat. Selain itu, al-
Fasi lebih memilih berdakwah dengan cara halus dibandingkan dengan kekerasan seperti yang
dilakukan oleh kelompok wahhabi.
Jalan yang dilalui al-Fasi dan al-Sanusi di Makkah tidaklah mudah. al-Sanusi dan al-Fasi
banyak berkonfrontasi dengan penduduk Makkah karena ajarannya. Atas alasan inilah
kemudian al-Sanusi dan al-Fasi hijrah ke Yaman. Setelah al-Fasi meninggal (1837 M), al-
Sanusi kembali lagi ke Makkah. Di Makkah Al-Sanusi kemudian mendirikan Zawiyahnya yang
pertama di daerah Abu Qubays.17
Di Makkah beliau mampu menarik jumlah pengikut yang besar, tetapi karena adanya sikap
permusuhan dari ulama Makkah, ia akhirnya meninggalkan kota tersebut (1840 M). Pada
awalnya ia berniat pulang ke kampung halamannya, Aljazair, namun karena Aljazair waktu itu
dikuasai Perancis, ia membatalkannya dan melanjutkan perjalanan ke Libya.
14
Maryam Jamilah op. cit. hlm. 51.
15
Sri Mulyati, op. cit. hlm. 377-378.
16
Ia merupakan pemimpin Orde Sufi Khidriyah.
17
Sri Mulyati, op. cit. hlm. 378.
18
Saima RAZA, op. cit. hlm. 94.
Di Cyrenaica, al-Sanusi banyak menengahi pertikaian-pertikaian yang terjadi antar kabilah dan
berhasil menyatukan kabilah-kabilah nomad di daerah tersebut. Setelah berhasil menciptakan
kedamaian dan ketenteraman yang sebelumnya tidak ada, al-Sanusi kemudian banyak
memusatkan perhatiannya pada penyebarluasan ajaran Islam sampai ke daerah pedalaman
tropis Afrika.20
Al-Sanusi merupakan tokoh yang dihormati. Keadaan tersebut membantunya dalam meluaskan
zawiyahnya. Ia berhasil mendirikan zawiyah di Kufra21 setelah beberapa kabilah setempat yang
terkenal ganas dan menakutkan meminta al-Sanusi untuk mendirikan zawiyah di daerah
mereka. Mereka juga bejanji untuk meninggalkan perbuatan mencuri dan merampok untuk
selama-lamanya.22
Usaha-usaha al-Sanusi membuahkan hasil. Pada 1902 M, semua suku badui di daerah
Cyrenaica, Siritika, sebagian besar daerah gurun sebelah barat Mesir, dan daerah Senegal
mengikuti al-Sanusi. Ini membuat Gerakan Sanusiyah mempunyai kekuatan dominan di
Fezzan dan Sahara Tengah, serta mencapai perkembangan di daerah Tripolitania. Bahkan
setelah Perancis menghancurkan zawiyah-zawiyah Sanusiyah di Afrika bagian tengah,
Gerakan Sanusiyah tetaplah berkembang.23
Sebagai seorang sufi, al-Sanusi juga merupakan seorang yang berpendidikan tinggi. Ia pernah
belajar di Universitas Qarawiyin di Afrika. Ia juga telah menulis tak kurang dari 50 buah buku.
Dari 50 buku tersebut, hanya 10 buku yang masih bertahan sampai saat ini.24
Buku-buku yang dikarang al-Sanusi terdiri dari berbagai jenis meliputi ilmu-ilmu eksoteris
Islam seperti Hadits dan hukum Islam. Beliau juga menulis buku faharis, yaitu daftar guru-
19
Sri Mulyati, op. cit. hlm. 379.
20
Maryam Jamilah, op. cit. hlm. 53.
21
Sebuah gunung, gugusan oase yang melingkupi daerah seluas lebih dari dua ribu mil persegi antara Cyrenaica
dan danau Chad.
22
Maryam Jamilah, loc. cit.
23
Saima RAZA, loc. cit.
24
Sri Mulyati, op. cit. hlm. 382.
Corak pemikiran al-Sanusi mengikuti gurunya, al-Fasi. Aturan dan ajaran Tarekat Sanusiyah
adalah menghidupkan kembali akidah dan praktik Islam yang murni sebagaimana diajarkan
oleh Nabi Muhammad, serta membebaskan diri dari dogma-dogma yang telah
melemahkannya; membangun kesatuan dan kekuatan Islam dengan cara menyatukan tarekat-
tarekat menjadi satu tarekat yang universal berdasarkan ajaran al-Qur’an dan yang sederhana;
dan mengajarkan Islam kepada para penduduk yang terbelakang di wilayah-wilayah pinggiran
dunia Arab.26
Dalam masalah sufi, ia mengkritik beberapa praktik dan klaim para sufi dalam bertasawwuf.
Al-Sanusi membantah klaim sufi yang dapat mencapai kesempurnaan hingga seperti Tuhan. Ia
juga menentang sufi yang menjauhkan diri dari kehidupan sehari-hari. Selain itu, ia juga
melarang keras musik dan tarian-tarian dalam praktik sufi karena merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan syari’at.28
Dalam Tarekat Sanusiyah, peranan zawiyah29 tidak bisa diabaikan. Ia memiliki peran penting
seperti sebuah negara. Di dalam kompleks zawiyah, selain ada rumah syekh zawiyah beserta
keluarga dan juga tempat ibadah, ada pula sekolah-sekolah untuk anak-anak, pemondokan
untuk para musafir, penampungan kafilah dagang dan pengungsi, serta gudang untuk
perbekalan dan barang-barang kafilah.30
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Ibid. hlm. 383.
28
Ibid.
29
Tempat para sufi melakukan seluruh kegiatannya.
30
Sri Mulyati, op. cit. hlm. 378.
Tarekat Sanusiyah tersebar dominan di wilayah Afrika Utara dan trans-Sahara. Pada masa
kepemimpinan al-Mahdi, tercatat 50-60 zawiyah telah berdiri, terutama di wilayah Cyrenaica,
Tripolitania dan Hijaz. Pada akhir 1920-an, sebagaimana dicatat oleh E.E. Evans-Pitchard,
jumlah zawiyah telah berkembang menjadi 146 buah, tersebar di Cyrenaica (45 zawiyah), 35
di Mesir, 7 di Hijaz, 18 di Tripolitania, 15 di Fezzan, 6 di Kufra, dan 14 di Sudan dan Chad.32
Tarekat Sanusiyah terkenal dengan perlawanannya terhadap Perancis dan Italia di Libya.
Dengan jaringan-jaringan zawiyah di berbagai daerah, serta ketaatan para pemimpin suku dan
masyarakat terhadap pemimpin tarekat, maka tak sulit bagi Tarekat Sanusiyah untuk
memobilisasi massa untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme.
Negara Libya modern terdiri dari tiga wilayah utama yaitu Tripolitania, Fezzan, dan Cyrenaica.
Secara historis, kesatuan tiga wilayah tersebut menjadi negara Libya modern terbentuk
semenjak abad ke-16, ketika kerajaan Turki Utsmani menaklukkan tiga wilayah tersebut.
Namun karena lokasinya yang terlalu jauh dari pusat kekuasaan, penguasaan terhadap wilayah
tersebut kurang efektif.33
Atas dasar itulah Tarekat Sanusiyah melalui zawiyah-zawiyahnya lebih menguasai daerah
tersebut dibanding Turki Utsmani yang pada saat itu pengaruhnya sudah mulai menghilang.
Penduduk di daerah tersebut secara de facto lebih tunduk kepada pemimpin-pemimpin informal
seperti kepala suku dan guru-guru tarekat. Dengan demikian, para pemimpin tarekat Sanusiyah
lebih mudah menancapkan pengaruhnya di Libya.34
Karena keadaan tersebut, hubungan antara Tarekat Sanusiyah dan Turki Utsmani menjadi
renggang. Turki Utsmani merasa Tarekat Sanusiyah membatasi kekuasaan Turki Utsmani.
Sebaliknya, Kelompok Tarekat Sanusiyah juga memiliki alasan khusus untuk menentang Turki
Utsmani. Tarekat Sanusiyah tidak suka dengan Turki Utsmani yang dinilai lalai terhadap
kolonialisme Eropa sebagaimana yang terjadi di daerah tempat lahir pendiri Tarekat Sanusiyah,
31
Ibid.
32
Sri Mulyati, op. cit. hlm. 386.
33
Ibid. hlm. 387
34
Ibid.
Awal abad ke-20 M beberapa negara di Eropa mulai mencaplok wilayah Afrika Utara. Inggris
dan Perancis telah bersekutu untuk membagi-bagi wilayah Afrika. Perancis mendapatkan
wilayah tengah Sudan dari Danau Chad di Barat sampai perbatasan Darfour di timur yang
ketika itu diperintah oleh sultan-sultan yang independen. Sementara Inggris mendapatkan
wilayah Sudan-Mesir. Konvensi ini kemudian diteruskan dengan perjanjian rahasia antara
Perancis dan Italia, di mana Perancis memberikan konsesi kepada Italia untuk mengambil
provinsi Tripolitania dan Cyrenaica yang ketika itu berada di bawah otoritas Turki Utsmani.
Sikap yang diambil Gerakan Sanusiyah terhadap penetrasi asing terdiri dari tiga respon:
menghindar, bekerja sama dan melawan. Respon menghindar mereka lakukan terhadap Turki
Utsmani karena mereka menganggapnya sebagai bangsa asing. Dari wilayah Jabal Akhdar di
utara Cyrenaica, mereka pindah ke Jaghbub, lalu ke Kufra di selatan. Masih belum merasa
aman, mereka berpindah lagi ke arah lebih selatan melintasi batas yang sekarang menjadi
wilayah Chad-Sudan. Semua ini dilakukan demi menghindari konfrontasi langsung dengan
penguasa Turki.35
Meskipun Tarekat Sanusiyah dan Turki Utsmani kurang harmonis, tetapi ketika keduanya
sama-sama terdesak, mereka kemudian bekerja sama. Salah satu pemimpin Tarekat Sanusiyah
yang terkenal memiliki karakter keras, gemar berperang dan fanatik terhadap agama adalah
Ahmad Syarif al-Sanusi. Di bawah komandonya pejuang Sanusiyah dan Turki Utsmani pernah
bersatu dalam menghadapi penjajah Eropa. Persekutuan ini menghasilkan senjata, uang, dan
pelatihan militer bagi kubu Sanusiyah.36
Pada 1911 M, Turki mendeklarasikan perang terhadap Italia. Imbasnya, rakyat Libya harus ikut
berperang melawan Italia. Penetrasi Italia di Libya pada awalnya tidak penah lebih dari sekitar
35
Ibid. hlm. 388.
36
Ibid. hlm. 390.
17 Oktober 1912 M, Italia dan Turki mengadakan negosiasi dalam perjanjian perdamaian
Ouchy. Namun, di medan perang perlawanan penduduk Libya tidak penah mereda. Di
Cyrenaica, Fezzan, dan Sirtica perlawanan dipimpin oleh Sayyid Ahmad Syarif, dengan
dibantu oleh Turki dan Jerman. Selama perang dunia pertama, kekuatan Italia terus terkurung
sepanjang pantai
Ahmad Syarif pernah mengalami kekalahan dengan Inggris37 di wilayah barat Mesir
(November 1915). Karena kekalahan ini Ahmad Syarif mengalihkan kontrol politik dan militer
kepada saudara sepupunya, Muhammad Idris al-Sanusi, putra Muhammad al-Mahdi dan cucu
Muhammad bin Ali al-Sanusi.38
Pengaruh Ahmad Syarif semakin lama semakin meredup, sehingga 21 Agustus 1918 ia
meninggalkan Libya, mengasingkan diri ke Istanbul dengan menunggang kapal selam Jerman.
Sejak saat itu sampai akhir hayatnya ia tidak pernah menginjakkan kaki di tanah airnya lagi.
Meskipun dalam pengasingan dan telah kehilangan pengaruh politik, Ahmad Syarif tetap
diakui sebagai pemimpin Tarekat Sanusiyah.39 Ia meninggal di Damaskus, 10 Maret 1933.
Perlawanan gerilyawan Cyrenaica di bawah pimpinan Umar Mukhtar berjalan kurang lebih 10
tahun. Meskipun dari waktu ke waktu mereka terus terdesak, tetapi Italia tidak pernah tuntas
menguasai wilayah pedalaman. Umar Mukhtar terus diburu sampai akhirnya Italia menunjuk
Jenderal Graziani yang dikenal sangat brutal dan kejam.
Graziani banyak menutup zawiyah-zawiyah Sanusiyah dan mengambil alih seluruh properti
mereka, serta menangkap para Syekh dan pemimpin-pemimpin suku. Ia juga melakukan
serangan besar-besaran dengan teknologi militer yang semakin manju. Kufra sebagai basis
37
Ahmad Syarif melakukan pertempuran dengan Inggris atas pengaruh Turki dan Jerman.
38
Sri Mulyati, op. cit. hlm. 391.
39
Sementara kepemimpinan dalam bidang politik dan militer diserahkan kepada Muhammad al-Idris.
40
Umar Mukhtar lahir pada 1962 M di desa Janzour Asy-Syarqiyyah yang termasuk wilayah Bi`r al-Asyhab di
sebelah timur Thobruq di distrik al-Butnan, bagian timur Burqah, sebelah Timur Libya, dekat perbatasan Mesir.
(Fatah, 2013:20-21).
Sampai 1916 M, Muhammad al-Idris tidak pernah terlibat dalam melakukan perlawanan
terhadap Inggris dan Italia. Ia berseberangan dengan Ahmad al-Syarif dan Turki Utsmani. Ia
lebih menyukai jalan diplomasi dan kooperatif dibanding peperangan. Ia melakukan
perjuangan dalam skala lokal dibanding kekhilafahan yang diperjuangkan Ahmad Syarif dan
Turki.44.
Antara 1916 sampai 1922 M, Italia tidak pernah bisa mematahkan perlawanan gerakan
Sanusiyah. Di sisi lain, Italia juga melemah karena menanggung beban ekonomi dari perang
dunia kedua. Italia akhirnya membuat perjanjian dengan kelompok Sanusiyah. Italia
menyetujui untuk mengakui otonomi kelompok Sanusiyah dengan perjanjian 1916, 1917 dan
1920 M. Hal ini membuat pemimpin Gerakan Sanusiyah, Muhammad al-Idris, berhak
menyandang gelar amir dan kemudian dibentuklah Parlemen di Libya (1920 M).45
Ada beberapa perjanjian yang dibuat al-Idris dan Italia antara 1916-1920 M. Perjanjian-
perjanjian tersebut di antaranya adalah perjanjian Zuwaytina (1916) yang disahkan di Akrama
41
Isham Abdul Fatah, Umar Mukhtar, Singa Padang Pasir, Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2013, hlm, 56-100.
42
Jika Ahmad Syarif terkenal gigih dan keras, sebaliknya, Muhammad Idris adalah seorang pemimpin dengan
bakat diplomasi yang kuat. Ia lebih menyukai penyelesaian secara kooperatif.
43
Saima RAZA, op. cit. hlm 109.
44
Ibid.
45
Ibid.
Pada awal 1920 M, ketika di wilayah Tripolitania terjadi perpecahan, penduduk setempat
menawarkan posisi amir seluruh tanah Libya ke tangan Muhammad al-Idris. Tawaran ini
menjadi dilema bagi Muhammad al-Idris. Jika ia menerima, ia telah terikat perjanjian dengan
Inggris dan Italia. Sebaliknya Jika ia menolak, ia akan kehilangan kewibawaannya di mata para
pengikutnya. Muhammad Idris akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Untuk
menghindari konfrontasi langsung dengan pemerintah pendudukan Italia, ia mengasingkan diri
ke Mesir pada 1922 M.48
Pada 1921 M, kelompok Sanusiyah dan Italia kembali berselisih. Kali ini Gubernur Italia di
Tripolitania yang sudah kehilangan kesabaran melancarkan serangan ke kelompok Sanusiyah.
Pembaruan perjanjian pernah diusahakan, tetapi gagal setelah Asosiasi Reformasi Nasional
menolak membahas Tripolitania secara terpisah dari Cyrenaica. 49
Setelah Italia terlibat perang dunia kedua, kepala-kepala suku di Cyrenaica menemui al-Idris
di Mesir (1940 M) untuk membangun Angkatan Perang Arab Libya. Al-Idris kembali ke Libya
46
Ibid. hlm 110.
47
Ibid. hlm 111.
48
Ibid. hlm 112.
49
Ibid.
21 November 1949 M, PBB memutuskan bahwa Libya akan menjadi negara merdeka sebelum
1 Januari 1952 M. Seorang diplomat Belanda ditunjuk oleh PBB untuk mengawasi jalannya
alih kekuasaan tersebut. Keputusan PBB ini memicu perpecahan politik dalam hal bentuk
negara. Ada dua kelompok yang saling berhadapan. Kepala suku dan pemimpin-pemimpin
agama menginginkan bentuk negara federasi di bawah kekuasaan Sanusiyah, sementara para
generasi muda mengajukan bentuk negara kesatuan. Karena tidak ingin ada perdebatan lebih
lanjut, akhirnya Muhammad al-Idris mengambil tindakan untuk memproklamirkan diri sebagai
amir di Cyrenaica, sementara urusan luar negeri dan pertahanan tetap berada di tangan Inggris.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Gerakan Sanusiyah merupakan gerakan revivalis.
Hal yang menjadikan gerakan revivalis layak disandingkan dengan Sanusiyah adalah
perjuangan gerakan ini dalam memobilisasi masyarakat Libya untuk melawan kolonialisme
Eropa, serta upaya pembaharuan gerakan ini dengan mengusahakan untuk menghidupkan
kembali akidah dan praktik yang murni sesuai dengan yang diajarkan Nabi. Selain itu, tarekat
ini juga mengusahakan interpretasi yang bebas terhadap syari’ah tanpa terlibat taqlid buta.
Muhammad bin Ali al-Sanusi sebagai pendiri tarekat Sanusiyah tergolong seorang revivalis.
Hal ini bisa dipahami karena al-Sanusi adalah murid dari seorang revivalis, Muhammad al-
Fasi. Selain itu, ia juga pernah tinggal di Hijaz saat Gerakan Wahhabiyah sedang bergelora.
Gerakan Sanusiyah memiliki peranan penting dalam terciptanya negara Libya modern.
Zawiyah-zawiyah yang dimilikinya berhasil memobilisasi massa untuk melakukan perlawanan
terhadap kolonialisme di Libya. Zawiyah-zawiyah ini juga memiliki sistem yang terstruktur
50
Menyatukan wilayah Tripolitania, Fezan dan Cyrenaica ke dalam negarah federal.
Asad, M. (2004). The Road to Makkah. New Delhi: Abdul Naeem for Islamic Book Services.
Fatah, I. A. (2013). Umar Mukhtar, Singa Padang Pasir. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Jurnal :
Lapidus, I. M. (1997). Islamic Revival and Modernity: The Contemporary Movements and the
Historical Paradigms. Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol.
40, No. 4, 444-460. Leiden: BRILL
RAZA, S. (2012). Italian Colonisation & Libyan Resistance to the Al-Sanusi of Cyrenaica
(1911-1922). Journal of Middle Eastern and Islamic Studies (in Asia) Vol. 6, No. 1, 87-
120. Shanghai: The Middle East Studies Institute Shanghai International Studies
University