Anda di halaman 1dari 58

Pemberian Profilaksis Norepinefrin Terhadap Pencegahan Hipotensi

Akibat Anestesi Spinal Pada Operasi Sectio Sesarea

Oleh :
Riki Punisada
NPM 130121150008

USULAN PENELITIAN

Diajukan untuk memenuhi syarat


guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Anestesiologi
Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
ii

Pemberian Profilaksis Norepinefrin Terhadap Pencegahan Hipotensi


Akibat Anestesi Spinal Pada Operasi Sectio Sesarea

Oleh :
Riki Punisada
NPM 130121150008

USULAN PENELITIAN

Diajukan untuk memenuhi syarat


guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Anestesiologi
Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal


seperti tertera di bawah ini

Bandung, 6 Agustus 2019

Ketua Tim Pembimbing Anggota Tim Pembimbing

DR. Dewi Yulianti Bisri, dr., SpAn-KNA, KAO., M.Kes.. Radian Ahmad Halimi, dr., SpAn. KNA
NIP. 197907032010122001 NIP. 198509012016043001
iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar

akademik (sarjana, magister, atau doktor), baik di Universitas Padjadjaran maupun di

perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa

bantuan dari pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau

dipublikasikan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai

acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar

pustaka

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat

penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima

sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini,

serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Bandung, 6 Agustus 2019


Yang membuat pernyataan,

Riki Punisada, dr.


130121150008
iv

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. iv


DAFTAR TABEL .......................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... vii
BAB I ................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………. 1

1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………………… 3

1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………………... 3

1.4 Kegunaan Penelitian ……………………………………………………………………………… 4

1.4.1 Kegunaan Ilmiah …………………………………………………………………………………... 4


1.4.2 Kegunaan Praktis …………………………………………………………………………………. 4
BAB II .............................................................................................................................. 5
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS .................... 5
2.1 Kajian Pustaka ……………………………………………………………. 5

2.1.1 Hemodinamik................................................................................................ 5
2.1.2 Anestesi Obstetrik ...................................................................................... 12
2.1.3 Anestesi Spinal ............................................................................................ 13
2.1.4 Anestesi Spinal pada Sectio Sesarea ......................................................... 19
2.1.5 Hipotensi akibat Anestesi Spinal pada Sectio Sesarea ............................ 20
2.2 Kerangka Pemikiran ………………………………………………………… 29

2.3 Premis dan Hipotesis ………………………………………………………… 31

2.3.1 Premis .......................................................................................................... 31


2.3.2 Hipotesis ...................................................................................................... 33
BAB III ………………………………………………………………………………… 34
SUBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………. 34
3.1 Subjek Penelitian ………………………………………………………………………………….. 34

3.1.1 Kriteria Inklusi........................................................................................... 34


v

3.1.2 Kriteria Ekslusi ........................................................................................... 34


3.2 Metode Penelitian …………………………………………………………… 35

3.2.1 Rancangan Penelitian................................................................................. 35


3.2.2 Ukuran dan Cara Pemilihan Sampel ........................................................ 35
3.2.3 Definisi Variabel dan Operasional Penelitian ......................................... 37
3.2.4 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 39
3.2.5 Tata Cara Pelaksanaan Penelitian ............................................................ 39
3.2.6 Rancangan Analisis .................................................................................... 42
3.2.7 Hipotesis statistik ........................................................................................ 44
3.3 Aspek Etik Penelitian ….………………………………………………... 45

3.4 Alur Penelitian …………………………………………………………… 46

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………. 47


vi

DAFTAR TABEL

Gambar 2 0.1 Faktor faktor yang berpengaruh terhadap regulasi tekanan

darah ...................................................................................................................... 7

Gambar 2.0.2 Perubahan Anatomi, fisiologi dan farmakologi pada

Kehamilan ............................................................................................................ 11

Gambar 2.0.3 Potongan sagital ruas vertebra lumbar .................................... 15

Gambar 2.0.4 Jalur nyeri proses persalinan dan blockade saraf dalam

beberapa teknik anestesia .................................................................................. 16

Gambar 2.0.5 Kerangka Pemikiran .................................................................. 31

Gambar 3.0.1 Bagan Alur Penelitian ................................................................ 46


vii

DAFTAR GAMBAR

Tabel 2.0-1 Perubahan Hemodinamik pada Ibu Hamil ......................................... 11

Tabel 3.0-1 Definisi Operasional Penelitian ......................................................... 38


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anestesi regional merupakan pilihan yang paling banyak digunakan pada

operasi sectio Sesarea, dengan angka mencapai 95% di Amerika Serikat pada

sectio Sesarea terencana.1 Anestesi spinal merupakan jenis anestesi regional yang

sering menjadi pilihan karena kemudahan tekniknya serta efektivitasnya dalam

memberikan blokade sensorik dan motorik. 1

Meskipun memiliki berbagai keunggulan, anestesi spinal juga dapat

menyebabkan beberapa komplikasi. Salah satu kejadian komplikasi tersering

adalah hipotensi dengan angka kejadian mencapai 70%. 1-3 Komplikasi ini dapat

menyebabkan mortalitas maupun morbiditas yang signifikan. Bagi ibu hipotensi

dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan aspirasi paru sedangkan bagi janin

hipotensi dapat menyebabkan hipoksia, asidosis, dan jejas neurologis.1,2

Hipotensi setelah anestesi spinal terjadi dikarenakan blokade saraf

simpatetik yang menyebabkan vasodilasi perifer dan pengumpulan darah vena.

Oleh karena itu, terdapat venous return dan cardiac output yang berkurang

sehingga menyebabkan hipotensi. Hal ini menjadi lebih buruk pada pasien hamil

di mana blok T4 diperlukan apabila saat dibutuhkan operasi sesar. Perubahan

fisiologis pada ibu hamil serta resistensi terhadap vasoperessor menjadi risiko-

risiko utama yang menyebabkan lebih tingginya risiko terjadi hipotensi pada ibu

hamil.3

1
2

Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam usaha mencegah kejadian

komplikasi hipotensi post-spinal adalah manipulasi posisi pasien dan preloading

cairan. Teknik manipulasi posisi umumnya bertujuan untuk meningkatkan venous

return sehingga terjadi peningkatan cardiac output.1,4 Dengan pemberian

preloading cairan, baik koloid maupun kristaloid, diharapkan terjadi ekspansi

volume intravaskular yang meskipun tidak menghilangkan namun dapat

meminimalisir risiko terjadinya hipotensi.1

Selain kedua hal diatas, penggunaan vasopressor juga seringkali

digunakan bahkan telah menjadi prosedur rutin untuk mencegah kejadian

hipotensi post-spinal. Penggunaan vasopressor biasanya dikombinasikan dengan

pemberian preloading baik koloid maupun kristaloid. Tanpa penggunaan

vasopressor profilaksis, angka kejadian hipotensi post-spinal pada operasi sectio

Sesarea mencapai 60%.2,3 Efedrin dan Phenylephrine adalah contoh vasopressor

yang banyak digunakan dalam operasi sectio Sesarea karena dinilai cukup aman

dan efektif mengatasi hipotensi. Namun, kedua jenis vasopressor ini juga

memiliki efek samping dimana efedrin terkait dengan kejadian tachycardia pada

ibu dan penurunan pH janin sedangkan phenylephrine dapat menyebabkan depresi

kerja jantung.4

Norepinephrine merupakan jenis vasopressor lain yang baru baru ini

diperkenalkan penggunaannya untuk anestesi pasien obstetri. Aktivitas obat ini

bersifat agonis α-adregenik dengan tambahan agonis β-adrenergik lemah. Dengan

karakteristik ini, norepinephrine hanya menyebabkan depresi kerja jantung


3

minimal sehingga menjadikannya kandidat yang baik untuk alternatif bagi

phenylephrine dan efedrin.5,6

Berdasarkan latar belakang diatas dapat diambil tema sentral sebagai

berikut: perbandingan pemberian cairan preloading koloid dengan norepinefrin

dengan preloading koloid terhadap pencegahan hipotensi akibat anestesi spinal

pada operasi sectio Sesarea. Diharapkan penelitian ini dapat berguna untuk

menentukan teknik intervensi farmakologis yang memberikan efek terbaik dalam

pencegahan hipotensi, sehingga juga dapat mengurangi angka morbiditas akibat

hipotensi terhadap ibu dan janin pada operasi sectio Sesarea dengan teknik

anestesi spinal.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, maka dirumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana perbandingan dari pemberian cairan preloading koloid dengan

norepinefrin dibandingkan dengan preloading koloid terhadap pencegahan

hipotensi akibat anestesi spinal pada operasi sectio Sesarea?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbandingan pemberian cairan

preloading koloid dengan norepinefrin dibandingkan dengan preloading koloid

terhadap pencegahan hipotensi akibat anestesi spinal pada operasi sectio Sesarea

terhadap pencegahan hipotensi akibat anestesi spinal pada operasi sectio Sesarea.
4

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban serta informasi ilmiah dalam

mengisi kekosongan ilmu mengenai pemberian cairan preloading koloid dengan

norepinefrin dibandingkan dengan preloading koloid terhadap pencegahan

hipotensi akibat anestesi spinal pada operasi sectio Sesarea.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan membantu para klinisi

dalam memilih intervensi farmakologis yang efektif dalam mencegah hipotensi

akibat anestesi spinal pada operasi sectio Sesarea.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Hemodinamik

2.1.1.1 Fisiologi Hemodinamik

Hemodinamik sangat dipengaruhi oleh fisiologi dari siklus jantung. Siklus jantung

sangat dipengaruhi oleh dua mekanisme penting yaitu secara elektrik dan mekanik

yang mana kedua mekanisme tersebut mempengaruhi tekanan darah. Tekanan

darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan pembuluh darah perifer. Curah

jantung didefinisikan sebagai jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel ke

dalam sirkulasi pulmonal dan sirkulasi sistemik dalam waktu satu menit. Pada

orang dewasa curah jantung yang normal berkisar 4-8 liter per menit. Terdapat

beberapa faktor yang memengaruhi curah jantung tersebut, yaitu volum sekuncup

(stroke volume) dan denyut jantung (heart rate), sedangkan faktor yang

memengaruhi tahanan pembuluh darah perifer ukuran pembuluh darah dan

viskositas darah.7

CO= SVR x HR

Stroke volume adalah volume darah yang dipompa keluar dari ventrikel

dalam satu kali denyutan, atau diantara akhir diastolik dan akhir sistolik. Nilai

normal stroke volume pada orang dewasa adalah ±70-75 ml. Terdapat tiga faktor

yang memengaruhi stroke volume yaitu preload, afterload dan kontraktilitas

5
6

jantung. Preload merupakan panjang otot sebelum kontraksi, sedangkan

afterload adalah tahanan yang harus dilawan otot dengan kontraksi.

Kontraktilitas adalah karakteristik otot jantung yang terkait dengan kekuatan

kontraksi.7-8

Denyut jantung menggambarkan jumlah kontraksi ventrikel per menit.

Denyut jantung merupakan gambaran fungsi dari nodus SA namun dipengaruhi

oleh faktor otonom, humoral dan lokal. Pada orang dewasa normal laju intriksik

dari nodus SA adalah 90-100 kali per menit, namun keadaan tersebut semakin

menurun dengan bertambahnya usia. Peningkatan aktivitas vagal dapat

memperlambat denyut jantung akibat stimulasi dari reseptor kolinergik M2,

sedangkan peningkatan aktivitas simpatetik meningkatkan denyut jantung,

utamanya akibat aktivasi reseptor adrenergik β1 dan sedikit akibat reseptor

adrenergik β2.7-8

Vaskularisasi sistemik secara fungsional dapat dibagi menjadi arteri,

arteriol, pembuluh kapiler dan vena, dimana masing masing pembuluh darah

memiliki ukuran yang berbeda beda. Selama sirkulasi, penurunan tekanan

terbanyak, hampir 50%, terjadi di arteriol sehingga arteriol adalah pembuluh

darah yang paling berpengaruh dalam menentukan resistensi perifer. Darah

dalam tubuh paling banyak terdistribusi di vena. Bila terjadi kehilangan darah,

peningkatan tonus secara sistemik akan menurunkan ukuran vena dan

menyebabkan darah terdistribusi ke lokasi lain. Sebaliknya, penurunan tonus

secara sistemik memungkinkan vena menjadi lokasi penampungan darah.

Penurunan tonus vena yang terjadi setelah induksi anestesi seringkali


7

menyebabkan terkumpulnya darah di vena, sehingga menurunkan venous return

dan menyebabkan hipotensi. Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi aliran

darah di dalam pembuluh seperti mekanisme kontrol lokal dan metabolik,

endothelium-derived factors, sistem saraf otonom dan hormon. 7-8

Gambar 2 0.1 Faktor faktor yang berpengaruh terhadap regulasi tekanan


darah
Dikutip dari : Lawton dkk9

Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure / MAP) merupakan gaya

utama yang mendorong darah ke jaringan. MAP harus dipantau dengan baik

karena apabila tekanan ini terlalu tinggi dapat memperberat kerja jantung dan

meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah serta terjadinya ruptur pada


8

pembuluh-pembuluh darah kapiler. MAP sebanding dengan hasil perkalian

antara curah jantung dan resistensi pembuluh darah sistemik. Secara matematis,

MAP dapat dirumuskan sebagai :6-9

MAP – CVP = CO x SVR

Tekanan vena sentral atau Central Venous Pressure (CVP) normalnya

bernilai sangat kecil, sehingga seringkali dapat diabaikan dalam perhitungan.

Hipotensi terjadi bila terdapat penurunan resistensi pembuluh darah sistemik,

curah jantung, ataupun keduanya. Untuk menjaga stabilitas MAP, penurunan

resistensi pembuluh darah sistemik harus dikompensasi oleh peningkatan curah

jantung, begitupun sebaliknya. Tekanan arteri akan tetap normal melalui

penyesuaian jangka pendek (per menit), menengah (setelah beberapa menit), dan

penyesuaian jangka panjang (setelah beberapa jam). 7-9

2.1.1.2 Regulasi Hemodinamik

Penyesuaian jangka pendek tekanan darah adalah fungsi utama dari refleks sistem

saraf otonom. Perubahan tekanan darah dimonitor secara sentral di hipotalamus

dan batang otak maupun secara perifer oleh sensor sensor baroreseptor yang

berada di bifurkasi dari arteri karotis komunis dan arkus aorta. Penurunan tekanan

darah menyebabkan peningkatan tonus simpatetik, peningkatan sekresi epinefrin

pada kelenjar adrenal, dan penurunan aktivitas vagal. Perubahan ini menyebabkan
9

vasokonstriksi sistemik, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan

kontraktilitas untuk meningkatkan tekanan darah.8-9

Setelah beberapa menit penurunan tekanan darah terjadi respon jangka

menengah yang mengaktivasi renin–angiotensin–aldosterone system,

meningkatkan sekresi arginine vasopressin (AVP), dan menurunkan pertukaran

cairan kapiler. Angiotensin II dan AVP adalah vasokonstriktor arteriol poten.

Respon kedua hormon ini menyebabkan peningkatan tekanan perifer pembuluh

darah. Berkebalikan dengan produksi angiotensin II yang merespon terhadap

perubahan kecil, sekresi AVP yang cukup untuk menyebabkan vasokonstriksi

hanya akan terjadi bila terdapat hipotensi yang lebih berat. Perubahan tekanan

darah yang berkelanjutan dapat pula mengubah pertukaran cairan di jaringan

akibat efek sekundernya terhadap tekanan kapiler. Hipertensi meningkatkan

penyimpanan cairan vaskuler di interstisial, sedangkan hipotensi menyebabkan

reabsorpsi cairan interstisial.7,9

Penyesuaian jangka panjang yang terjadi setelah beberapa jam melibatkan

mekanisme pengaturan tekanan darah oleh ginjal. Terjadi perubahan

keseimbangan natrium dan air dalam tubuh untuk menjaga tekanan darah berada

dalam keadaan normal. Hipotensi menyebabkan retensi natrium dan air,

sedangkan hipertensi secara umum meningkatkan ekskresi natrium pada individu

normal.7,9
10

2.1.1.3 Perubahan Hemodinamik pada Ibu Hamil

Ibu hamil mengalami perubahan hemodinamik pada tubuhnya. Terjadi

peningkatan konsumsi oksigen basal hingga 50 mL/menit pada ibu hamil aterm.

Volume darah dan massa sel darah merah mengalami peningkatan secara bertahap

selama masa kehamilan. Curah jantung meningkat hingga 50% pada pertengahan

trimester ketiga. Tekanan darah sistolik dan diastolik mengalami penurunan

selama kehamilan. Meskipun pada ibu hamil terjadi peningkatan curah jantung

yang cukup signifikan, namun hal ini tidak dibarengi dengan peningkatan tekanan

darah. Dalam hal ini terdapat peran dari penurunan tahanan perifer yang terjadi

selama masa kehamilan.10

Stroke volume dan nadi juga meningkat selama masa kehamilan.

Peningkatan stroke volume terjadi akibat peningkatan volume akhir diastolik / end

diastolic volume dan kestabilan nilai fraksi ejeksi yang mungkin terjadi akibat

peningkatan kontraktilitas jantung. Terdapat bukti dari penelitian bahwa terjadi

remodeling pada seluruh pembuluh darah ibu hamil.10

Selain perubahan hemodinamik secara sentral, terdapat beberapa faktor

yang menambah perubahan hemodinamik. Pada ibu hamil terjadi perubahan

tekanan vena yang dipengaruhi oleh perubahan posisi sehingga dapat

menyebabkan penurunan venous return. Hal ini, pada akhir kehamilan, diperberat

dengan efek penekanan uterus gravid pada vena cava dan aliran arah aortik pada

posisi supinasi.10,11
11

Tabel 2.0-1 Perubahan Hemodinamik pada Ibu Hamil


Meningkat Menurun

Aliran darah ke uterus Tahanan vaskular sistemik

Volume plasma Tahanan vakular pulmoner

Massa sel darah merah Hematokrit

Dimensi diastolik Tekanan osmotik koloid

Volume sekuncup / stroke volume Konsentrasi plasma albumin

Nadi Tensi karbon dioksida arterial

Tensi oksigen arterial Konsentrasi ion hidrogen arterial

Kapasitas vena Tekanan darah arterial

Gambar 2.0.2 Perubahan Anatomi, fisiologi dan farmakologi pada


Kehamilan
DIkutip dari : shanon dkk8
12

2.1.2 Anestesi Obstetrik

Anestesi Obtetrik adalah cabang dari ilmu anestesi yang memberikan manajemen

peripartum, perioperatif, nyeri dan anestesi pada wanita selama kehamilan dan

nifas. Dalam pekerjaannya, bidang ini berhubungan dengan bidang obstetri,

perinatologi, dan neonatologi, untuk menyediakan pelayanan bagi ibu hamil dan

bayinya.1,13 Penanganan nyeri pada saat persalinan sangat menentukan asuhan dan

pelayanan obstetric setelahnya.13

Meskipun kebanyakan dari ibu hamil berada pada kondisi sehat dan

memiliki risiko operatif yang rendah, namun kehamilan, beberapa faktor

maternal-fetal dan beberapa kondisi patologis selama kehamilan dapat

meningkatkan risiko obstetri dan pembedahan. Hal ini berarti dokter anestesi

harus memberikan perhatian khusus pada pasien obstetri terutama terhadap

komplikasi yang mungkin timbul baik dari kondisi kehamilan maupun dari

prosedur anestesi.1,13

Dalam proses persalinan normal, dokter anestesi berperan dalam

manajemen nyeri yang dilakukan dengan tujuan memberikan kenyamanan bagi

ibu selama menjalani proses persalinan. Manajemen nyeri pada persalinan

normal dapat dilakukan dengan pemberian agen anestesi maupun analgetik.

Pemberian obat dapat dilakukan secara parenteral, blok saraf pudendal, maupun

pemakaian teknik regional. Terdapat beberapa pilihan teknik anestesi regional

dalam proses persalinan normal seperti pemberian opioid, anestesi lokal,

maupun campuran keduanya secara spinal atau epidural. Pada kasus emergensi,

seperti gawat janin selama kala dua, kontraksi uterus tetanik, ektraksi sungsang,
13

versi dan ekstraksi, manual plasenta, dan penanganan manual inversi uterus,

pemberian anestesi umum dapat dipertimbangkan.12,13

Dalam proses persalinan sectio Sesarea, pemilihan metode anestesi

tergantung pada beberapa faktor, seperti indikasi operasi dan urgensinya, pilihan

pasien serta dokter spesialis kandungan, dan pengalaman dokter anestesi.

Anestesi regional saat ini lebih banyak digunakan karena anestesi umum lebih

banyak menyebabkan risiko morbiditas dan mortalitas. Kematian terkait anestesi

umum kebanyakan diakibatkan karena masalah jalan nafas, seperti kegagalan

intubasi, kegagalan ventilasi dan aspirasi pneumonitis, sedangkan kematian

terkait anestesi regional biasanya diakibatkan oleh perluasan penyebaran blok

dermatomal ataupun toksisitas anestesi lokal.7,13

2.1.3 Anestesi Spinal

2.1.3.1 Anatomi Tulang Belakang

Tulang belakang atau vertebra terbentuk dari 33 ruas tulang yang terdiri

dari 7 servikal, 12 thorakal, 5 lumbar, 5 sakral dan 4 koksigeal. Masing masing

ruas tulang memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda. Tulang servikal pertama,

disebut juga atlas, memiliki korpus berukuran kecil dan artikulasi terhadap

tengkorak dan tulang servikal kedua yang disebut axis. Seluruh tulang thorakal

memiliki artikulasi dengan tulang rusuk. Vertebra lumbar memiliki bentuk korpus

anterior yang besar dan silindris. Keempat tulang sakral biasanya menyatu

membentuk suatu tulang besar yang disebut sakrum.7


14

Pada masing masing tulang vertebra terdapat suatu ruangan kosong

berbentuk cincin yang dibatasi oleh korpus vertebra di bagian anterior, pedikel

dan prosesus tranversus di bagian lateral, serta lamina dan prosesus spinosus di

bagian posterior. Lamina memanjang diantara prosesus tranversus dan prosesus

spinosus dan pedikel memanjang diantara korpus vertebra dan prosesus

tranversus. Ruangan kosong di masing masin vertebra ini membentuk suatu

terowongan yang bernama kanalis spinalis.7

Kanalis spinalis terdiri dari korda spinalis dan meniges, jaringan lemak

dan pleksus venosus. Meninges terdiri dari tiga lapisan yaitu pia mater,

arachnoid mater dan dura mater. Pada ruang subarachnoid, yang terletak diantara

pia dan arachnoid mater, terdapat cairan serebrospinal. Diantara membran dura

dan arachnoid terdapat ruang dengan batas yang kurang jelas yang disebut ruang

subdural. Diantara dura mater dan ligamentum flavum terdapat ruang epidural.6
15

Gambar 2.0.3 Potongan sagital ruas vertebra lumbar


Dikutip dari : morgan dkk7

2.1.3.2 Jalur nyeri pada fisiologi persalinan13

Rasa nyeri pada proses persalinan merupakan hasil kombinasi dari

kontraksi uterin dan dilatasi serviks. Sensasi nyeri tersebut berjalan menuju uterus

melalui serabut saraf simpatetik visceral afferent melalui korda spinalis pada

bagian segmen posterior dari saraf thorakal spinalis 10, 11 dan 12. Pada saat kala

II persalinan, stimulus nyeri bertambah akibat dari meregangnya dasar panggul,

vagina dan perineum akibat turunnya kepala bayi. Serabut sensoris saraf sacral 2,3

dan 4 (saraf pudendal) mengirimkan rasa nyeri dari perineum menuju korda

spinalis pada kala II persalinan. Pada saat persalinan sesar, insisi biasanya

dilakukan sekitar kulit yang dipersarafi sraf thorakal spinal atau dermatome T-12.

Oleh karena itu, diperlukan anestesi yang mencapai tingkat saraf thorakal spinalis
16

4 (T-4) untuk memblock secara keseluruhan rasa tidak nyaman pada peritoneal

khususnya saat eksteriosasi uterus. Rasa nyeri setelah persalinan sesar diakibatkan

oleh dua yaitu nyeri akibat insisi dan involusi uterus.13

Gambar 2.0.4 Jalur nyeri proses persalinan dan blockade saraf dalam
beberapa teknik anestesia
Dikutip dari : Joy L Hawkins dkk13
17

2.1.3.3 Anestesi Spinal

Pada proses anestesi spinal dilakukan blokade transmisi saraf di serabut

akar saraf posterior untuk menginterupsi sensasi nyeri somatik dan viseral,

sedangkan blokade serabut akar anterior akan mencegah motorik eferen dan

respon otonom. Efek dari anestesi lokal pada serabut saraf bergantung pada

ukuran dan karakteristik serabut saraf tersebut, seperti myelinisasi, panjang saraf

yang terendam anestesi lokal dan konsentrasi obat anestesi.7,13

Akar saraf spinal memiliki berbagai tipe serabut saraf. Serabut saraf yang

kecil dan terbungkus myelin lebih mudah diblok daripada yang berukuran besar

dan tidak terbungkus myelin. Perbedaan ukuran dan karakteristik serabut saraf

dan fakta bahwa konsentrasi anestesi lokal menurun dengan bertambahnya jarak

dari level injeksi menjelaskan terjadinya fenomena differential blockade. Keadaan

ini mengacu pada keadaan dimana serabut saraf dengan fungsi berbeda memiliki

sensitivitas berbeda terhadap anestesi lokal. Fenomena differential blockade

biasanya menyebabkan blokade simpatetik dan dapat mencapai dua segmen lebih

sephalad dibandingkan blokade sensorik atau beberapa segmen lebih sephalad

dibandingkan blokade motorik.7 Interupsi pada transmisi eferen otonom pada akar

saraf spinal selama anestesi spinal menyebabkan blokade simpatetis. Oleh karena

itu, respon fisiologis blokade neuroaksial adalah penurunan tonus simpatetis

namun tidak terganggunya tonus parasimpatetis.7,13

Indikasi anestesi spinal telah terbukti pada operasi di daerah abdomen

bagian bawah, inguinal, urogenital, rectal, dan ekstremitas bawah. Operasi

tulang belakang di ruas lumbar juga dapat dilakukan dengan anestesi spinal.
18

Anestesi spinal dapat juga dilakukan pada prosedur operasi abdomen bagian atas

seperti gastrektomi namun, dikarenakan terdapat kesulitan untuk mencapai level

blok sensorik yang aman untuk kenyamanan pasien, teknik ini jarang

digunakan.7,13

Terdapat beberapa kontraindikasi absolut dari prosedur anestesi spinal

seperti penolakan pasien, hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial

terutama akibat masa intrakranial dan infeksi pada lokasi injeksi. Kondisi

kelainan katup jantung yaitu stenosis katup mitral dan aortik juga menjadi

kontraindikasi.8 Kontraindikasi relatif dari prosedur anestesi spinal adalah

sepsis, pasien yang tidak kooperatif, terdapatnya defisit neurologis, penyakit

demyelinisasi dan kelainan jantung seperti lesi katup stenosis, obstruksi aliran

ventrikel kiri dan deformitas spinal berat.7,13

Pada prosedur anestesi spinal dapat terjadi komplikasi akibat efek obat

yang berlebih pada penempatan di lokasi yang tepat. Perluasan blokade saraf

yang berlebih ke dermatom lain dapat terjadi akibat kelebihan dosis obat,

ketidaksesuaian dosis obat pada kasus tertentu (contoh : lanjut usia, hamil,

obesitas, atau sangat pendek), atau karena penyebab yang tidak diketahui. Pasien

dapat mengeluhkan sesak nafas dan mati rasa atau kelemahan di ekstremitas

atas. Keluhan mual dapat menjadi penanda yang mendahului kejadian hipotensi.7

Penyebaran anestesi spinal hingga ke level servikal dapat menyebabkan

hipotensi berat, bradikardia dan gagal nafas. Kondisi tidak sadar, apnea dan

hipotensi yang terjadi akibat penyebaran anestesi ke level atas spinal disebut

high spinal atau bila blokade saraf meluas ke saraf kranial disebut total spinal.
19

Komplikasi lain yang terkait dengan akibat efek obat yang berlebih pada

penempatan di lokasi yang tepat adalah kejadian gagal jantung intraoperasi dan

retensi urin.7

Komplikasi lain yang dapat terjadi pada anestesi spinal adalah

komplikasi yang terkait dengan insersi jarum spinal. Pergerakan jarum saat

injeksi, masuknya ujung jarum ke ruang subarachnoid, injeksi subdural maupun

hilangnya efek anestesi lokal dapat menyebabkan kegagalan pembiusan akibat

tidak cukupnya obat anestesi. Bila terjadi kegagalan insersi yang berakibat

terjadinya injeksi intravaskular, efek samping yang dapat muncul adalah

gangguan sistem saraf pusaat seperti kejang dan tidak sadar serta gangguan

kardiovaskular seperti hipotensi, aritmia dan depressed contractility.7 Anestesi

spinal juga dapat menyebabkan komplikasi berupa nyeri seperti nyeri punggung

dan nyeri kepala pasca penusukan dura / post dural puncture headache (PDPH).

2.1.4 Anestesi Spinal pada Sectio Sesarea

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang paling sering digunakan pada

operasi sectio Sesarea. Terdapat beberapa teknis anestesi regional lainnya seperti

anestesi epidura, memungkinkan ibu berada dalam kondisi sadar dan merasakan

proses kelahiran bayinya. Kelebihan dari penggunaan anestesi spinal pada sectio

Sesarea adalah dapat meminimalisir efek samping yang dapat terjadi pada

penggunaan anestesi umum dan menurunkan nyeri postopertif secara efektif.10

Prosedur pada anestesi spinal perlu dilakukan hingga mencapai level

dermatom T4 untuk memberikan blokade saraf yang cukup untuk menjalani


20

prosedur sectio Sesarea. Akan tetapi konsekuensinya, hampir pasti terjadi blokade

simpatetik dan penurunan venous return yang diperberat dengan penekanan vena

cava menyebabkan hipotensi dan penurunan curah jantung.2,10

Efek hemodinamik yang sering terjadi akibat anestesi spinal pada ibu

hamil yang sehat adalah penurunan tahanan vaskular sistemik dan peningkatan

curah jantung sebagai kompensasinya. Beberapa penelitian menemukan bahwa

respon tipikal terhadap anestesi pada operasi sectio cesaria adalah hipotensi dan

peningkatan nadi. Berdasarkan pemantauan curah jantung secara non invasif,

ditemukan bahwa hal ini menunjukkan respon dari kompensasi tubuh berupa

peningkatan curah jantung untuk merespon turunnya tahanan vaskular sistemik.

Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, ditemukan bahwa terjadi respon berupa

hipotensi dan penurunan nadi setelah dilakukan anestesi spinal pada operasi sectio

Sesarea, dimana hal ini menunjukkan terjadinya penurunan curah jantung.10

2.1.5 Hipotensi akibat Anestesi Spinal pada Sectio Sesarea

Hipotensi setelah anestesi spinal merupakan komplikasi fisiologis yang

sering terjadi dengan insidensi yang berbeda-beda, mulai dari 25% sampai 75%

pada populasi umum dan sedikit lebih tinggi pada pasien yang menjalani operasi

sesar. Terkadang, hipotensi yang disebabkan oleh anestesi spinal dapat

memburuk, dengan komplikasi yang lebih banyak terutama pada wanita hamil

yang mengakibatkan peningkatan morbiditas saat dan sesudah operasi.1-3

Hipotensi setelah anestesi spinal terjadi dikarenakan blokade saraf

simpatetik yang menyebabkan vasodilasi perifer dan pengumpulan darah vena.


21

Oleh karena itu, terdapat venous return dan cardiac output yang berkurang

sehingga menyebabkan hipotensi. Hal ini menjadi lebih buruk pada pasien hamil

di mana blok T4 diperlukan apabila saat dibutuhkan operasi sesar. Perubahan

fisiologis pada ibu hamil serta resistensi terhadap vasoperessor menjadi risiko-

risiko utama yang menyebabkan lebih tingginya risiko terjadi hipotensi pada ibu

hamil.1

Turunnya tekanan sistolik dapat mengganggu aliran darah uterus dan

sirkulasi fetal sehingga dapat menyebabkan hipoksia, asidosis fetal dan jejas

neurologis. Hipotensi berat juga dapat menyebabkan risiko serius bagi ibu seperti

kehilangan kesadaran, aspirasi paru, apnea atau bahkan gagal jantung.2, 13

Ibu hamil yang mendapatkan tindakan anestesi spinal, dapat terjadi

sindroma hipotensif supinasi akibat kehamilan. Pada beberapa kasus, terjadi

hipotensi dan bradikardia serta nyeri kepala hebat akibat depresi refleks

kardiovaskular. Penyebab hal ini adalah kompresi dari vena cava inferior oleh

uterus gravid, sehingga menurunkan venous return dan tekanan atrial kanan.6

Hipotensi akibat anestesi spinal pada operasi sectio Sesarea sangat sering

terjadi. Meskipun sulit untuk dilakukan, namun ada beberapa cara yang dapat

dilakukan untuk menentukan kemungkinan seorang pasien mengalami hipotensi

selama operasi. Beberapa metode yang dapat menjadi prediktor hipotensi yaitu

supine stress test, perubahan tekanan darah posisional sebelum operasi dan

penilaian keseimbangan simpatovagal sebelum operasi melalui analisa variabilitas

nadi.1, 11, 14-15


22

Berbagai metode telah diteliti untuk menurunkan serta mencegah kejadian

hipotensi akibat anestesi spinal pada operasi sectio Sesarea, seperti preloading

cairaan kristaloid maupun koloid, pembungkusan tungkai, memiringkan bagian

kepala meja operasi kebawah dan penggunaan vasopresor seperti efedrin,

norepinefrin, fenilefrin dan metamarinol.14

2.1.5.1 Efek Preloading Cairan dalam Penanganan Hipotensi Akibat Anestesi

Spinal pada Sectio Sesarea

Anestesi spinal menyebabkan terjadinya blokade sistem saraf simpatetik

sehingga terjadi peningkatan kapasitas vena dan penurunan tahanan perifer

pembuluh darah. Hal ini menyebabkan cairan tubuh menumpuk di vena / venous

pooling. Pada kondisi ini, cairan tubuh akan tertahan di vena perifer atau dengan

kata lain terjadi penurunan venous return yang akan menyebabkan penurunan

curah jantung. Dampaknya akan terjadi penurunan tekanan darah. 1, 16

Pemberian cairan yang bertujuan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi

spinal dapat dilakukan dengan metode preloading dan coloading. Pemberian

cairan secara preloading dilakukan sebelum prosedur anestesi spinal dilakukan,

sedangkan pada coloading pemberian cairan dilakukan sesaat setelah induksi

anestesi spinal.

Preloading serta coloading cairan dimaksudkan untuk meningkatkan

volume darah yang diharapkan dapat meringankan efek dari vasodilatasi akibat

anestesi spinal. Efek lain dari preloading serta coloading cairan adalah

menyebabkan kenaikan kenaikan curah jantung. Secara hipotesis, terjadinya


23

peningkatan volume darah dan curah jantung akan menyebabkan kenaikan

tekanan darah.7,17

Secara umum, produk cairan yang dapat diberikan terbagi dua yaitu

kristaloid dan koloid. Berdasarkan bukti dari berbagai penelitian, pemberian

cairan kristaloid secara preloading dinilai hanya berefek minimal atau bahkan

tidak berefek dalam pencegahan hipotensi akibat anestesi spinal. Penundaan

pemberian cairan kristaloid hingga setelah induksi atau tindakan coloading

menghasilkan efek lebih baik dibandingkan preloading kristaloid. Meskipun

begitu, coloading kristaloid saja tidak cukup untuk mencegah hipotensi akibat

anestesi spinal dan hal ini diperkirakan berkaitan dengan volume serta kecepatan

pemberian cairan terutama pada 5 – 10 menit pertama dimana obat anestesi spinal

mulai bekerja.23

Koloid memiliki kandungan senyawa senyawa dengan berat molekul

tinggi seperti glukosa atau protein. Karena kandungannya, koloid dapat

mempertahankan tekanan onkotik plasma dan bertahan di intravascular lebih lama

dibandingkan kristaloid yang dengan cepat terdistribusi ke ruangan

ekstraseluler.24

Pemberian koloid secara preloading terbukti lebih baik dalam menurunkan

insidensi hipotensi pasca spinal dibandingkan kristaloid. Sebagai tambahan,

pemberian koloid preloading menurunkan keparahan hipotensi dan dapat

mengurangi kebutuhan vasopressor. Cairan koloid ketika diberikan secara

coloading memberikan efek yang sama bagi kondisi hemodinamik serta

kebutuhan vasopressor dalam mencegah hipotensi. Penelitian dari Carvalho dkk


24

menemukan bahwa pemberian Hydroxy-Ethyl Starch (HES) secara coloading

sama efektifnya dengan pemberian secara preloading untuk pencegahan hipotensi

akibat anestesi spinal.25

Penelitian yang dilakukan ooleh Jabalameli M et al26 yang

membandingkan 3 pemberian obat yaitu antara crystalloid, colloid dan efedrin

dalam mencegahan hipotensi. Pada penelitiannya ditemukan tidak ada perbedaan

yang signifikan dalam pencegahan hipotensi dengan dosis crystalloid (15 ml/kg),

colloid (7 ml/kg), epinefrin 15 mg IV bolus secara pre-load. Akan tetapi pada

pemberiannya efek samping berupa bradikardia, hipertensi dan mual muntah

sangatlah kecil. Oleh karena itu dosis koloid dinilai aman sebanyak 7 ml/kg.26

2.1.5.2 Farmakologi Norepinefrin

Norepinefrin merupakan hormone dan juga neurotransmitter adrenergic

primer yang bekerja berikaran dengan reseptor α dan reseptor β. Menstimulasi

reseptor beta1-adrenergik dan alfa-adrenergic yang menyebabkan peningkatan

kontratilitas dan denyut jantungserta vasokontriksi, oleh karena itu terjadi

kenaikan tekanan darah sistemik dan aliran darah koroner; secara klinik efek alfa

(vasokontriksi) adalah lebih besar dari pada efek beta (efek inotropik dan

kronotropik). Efek terapi utama norepinephrin adalah vasokonstriksi dan stimulasi

jantung. Norepinefrin bekerja secara cepat setelah pemberian secara intravena

yang berefek dalam waktu 1-2 menit. Namun, apabila norepinefrin bekerja secara

oral efeknya kerjanya dapat dirusak oleh absorpsi pencernaan dan tidak
25

memberikan efek yang baik dalam penggunaan subkutan. Eksresi norepinefrin

dikeluarkan melalui urin sebanyak 84-96% sebagai metabolit yang tidak aktif. 20

Infus Norepinefrin pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan

diastolic, tekanan sistolik, dan biasnya juga tekanan nadi. Resistensi perifer

meningkat sehingga aliran darah melalui ginjal, hati dan juga otot rangka juga

berkurang. Filtrasi glomerulus menurun hanya bila aliran darah ginjal sangat

berkurang. Reflex vagal memperlambat denyut jantung, mengatasi efek

langsung dari norepinefrin yang mempercepatnya. Perpanjangan waktu pengisian

jantung akibat perlambatan denyut jantung ini, disertai venokonstriksi dan

peningkatan kerja jantung akibat efek langsung dari norepinefrin pada pembuluh

darah dan jantung, mengakibatkan peningkatan curah sekuncup. Tetapi curah

jantung tidak berubah atau bahkan berkurang. Aliran darah koroner meningkat,

mungkin karena dilatasi pembuluh darah koroner tidak lewat persarafan otonom

tetapi dilepasnya mediator lain, antara lain adenosin, akibat peningkatan kerja

jantung dan karena peningkatan tekanan darah. Berlainan dengan epinefrin,

norepinefrin dalam dosis kecil tidak menimbulkan vasodilatasi maupun penurunan

tekanan darah, karena norepinefrin boleh dikatakan tidak mempunyai efek

terhadap reseptor β2 pada pembuluh darah otot rangka. Efek metabolic

norepinefrin mirip epinefrin tetapi hanya timbul pada dosis yang lebih besar.21-22
26

2.1.5.3 Efek Norepinefrin dalam Penanganan Hipotensi Akibat Anestesi

Spinal pada Sectio Sesarea

Penggunaan vasopressor, selain manipulasi posisi serta preloading maupun

coloading cairan, seringkali digunakan bahkan telah menjadi prosedur rutin untuk

mencegah kejadian hipotensi post-spinal. Norepinephrine adalah salah satu

vasopressor yang merupakan agen alpha-adrenergic kuat. Reseptor alpha terletak

di pembuluh darah arteri, sehingga stimulasi oleh norepinephrine akan

menyebabkan vasokonstriksi arteri. Selain efek pada reseptor alpha,

norepinephrine juga memiliki sifat beta-adrenergic lemah yang berefek

menetralkan respon baroreseptor terhadap reseptor alpha.18

Efek beta-adrenergic lemah norepinephrine dapat menstablikan laju nadi

pasien di kisaran normal. Hal serupa tidak terlihat pada penggunaan

phenylephrine yang hanya memiliki sifat alpha-adrenergic dimana penggunaannya

terutama dengan dosis tinggi seringkali menyebabkan bradikardia.19

Gabungan sifat alpha dan beta adrenergic ini yang membuat

norepinephrine, secara teori, dapat mencegah hipotensi akibat anestesi spinal

tanpa efek bradikardia yang sering terlihat pada penggunaan vasopressor lain

seperti phenylephrine. Hal ini akan memberikan efek hemodinamik yang lebih

seimbang dalam pencegahan hipotensi.8

Pada penelitian klinis dengan populasi pasien sepsis, penggunaan

phenylephrine ditemukan dapat menurunan laju nadi, menurunkan perfusi

hepatosplanchnic dan mengganggu fungsi ginjal bila dibandingkan dengan


27

norepinephrine. Aliran darah regional serta aliran darah menuju organ juga lebih

terjaga pada penggunaan norepinephrine dibandingkan dengan phyenylephrine.

Aplikasi temuan ini pada pasien hamil yang menjalani section Sesarea diteliti oleh

Ngan Kee dkk pada tahun 2015. Dengan pemberian vasopressor secara computer-

controlled infusion selama anestesi spinal pada section Sesarea Ngan Kee dkk

menyimpulkan norepinephrine 5 μg/mL lebih efektif untuk menjaga tekanan

darah dengan laju nadi serta curah jantung yang lebih tinggi dibandingkan dengan

pemberian phenylephrine 100 μg/mL. 27

Pemberian norepinephrine untuk mencegah hipotensi akibat anestesi

spinal pada section Sesarea dapat diberikan dengan dua cara. Cara pertama adalah

pemberian bolus bila hipotensi terjadi dan cara kedua adalah titrasi sebagai usaha

pencegahan terjadinya hipotensi. Dari kedua cara ini, Ngan Kee dkk menemukan

bahwa teknik titrasi norepinephrine lebih efektif untuk menurunkan insidensi

hipotensi dan menjaga laju nadi. Meskipun dosis norepinephrine yang diterima

pasien lebih banyak bila diberikan melalui titrasi, tidak ada efek samping yang

terdeteksi pada janin.18

Pernyataan ini pun diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh daili

chen dkk bahwa pemberian norepinefrin dengan dosis 5mcg/kgbb/jam lebih aman

untuk perubahan hemodinamik, analisis gas darah neonates serta nilai APGAR

bayi.28
28

2.1.5.4 Efedrin rescue

Efedrin adalah agen simpatomimetik nonkatekolamin, yang bekerja baik

secara langsung maupun tidak langsung, yang utamanya, tidak secara langsung

merangsang reseptor alpha dan beta adrenergik. Efedrin memiliki sifat agonis

indirek karena menyebabkan pelepasan norepinefrin post-sinaptik atau karena

inhibisi penggunaan kembali epinefrin.1

Obat ini memiliki efek kardiovaskular yang mirip dengan epinefrin yaitu

peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan kontraktilitas jantung. Efedrin

secara umum digunakan sebagai vasopresor dalam anestesi dengan meningkatkan

curah jantung dan tahanan vaskular perifer.7

Pemberian profilaksis efedrin intravena baik dengan infus atau injeksi

bolus yang berulang telah dipertimbangkan sebagai gold standard untuk

mencegah dan mengobati hipotensi. Efek dari bolus efedrin intravena pada arteri

hanya bersifat sementara, dan hanya berlangsung selama 10 - 15 menit.1

Efedrin dapat sebagai profilaksis untuk menghindari perubahan

hemodinamik yang diakibatkan anestesi spinal. Selain itu, efedrin juga dapat

diberikan secara bolus sebagai terapi rescue setelah hipotensi terjadi. Pada

penelitian Bhattarai dkk dan Dua dkk, pemberian efedrin dengan dosis berturut

turut sebesar 5 mg dan 6 mg disertai bolus tambahan dengan dosis yang sama

efektif untuk mempertahankan tekanan darah dalam rentang 20% dari nilai

normal.7,26,27
29

2.2 Kerangka Pemikiran

Operasi sectio Sesarea merupakan salah satu operasi di bidang kandungan dan

kebidanan yang sangat sering dilakukan. Anestesi pada operasi sectio Sesarea

perlu memperhatikan beberapa perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu hamil,

salah satunya penurunan venous return.1

Anestesi spinal merupakan jenis anestesi regional yang sering menjadi

pilihan karena kemudahan tekniknya serta efektivitasnya dalam memberikan

blokade sensorik dan motorik. 1 Meskipun memiliki berbagai keunggulan,

anestesi spinal juga dapat menyebabkan beberapa komplikasi, salah satu yang

tersering adalah hipotensi.1-3

Pada ibu hamil yang dilakukan tindakan anestesi spinal, dapat terjadi

sindroma hipotensif supinasi akibat kehamilan. Pada beberapa kasus, terjadi

hipotensi dan bradikardia serta nyeri kepala hebat akibat depresi refleks

kardiovaskular. Penyebab hal ini adalah kompresi dari vena cava inferior oleh

uterus gravid, sehingga menurunkan venous return dan tekanan atrial kanan.6

Komplikasi ini dapat menyebabkan mortalitas maupun morbiditas yang

signifikan. Bagi ibu hipotensi dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan

aspirasi paru sedangkan bagi janin hipotensi dapat menyebabkan hipoksia,

asidosis, dan jejas neurologis.1,2

Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam usaha mencegah kejadian

komplikasi hipotensi post-spinal adalah manipulasi posisi pasien dan preloading

cairan. Teknik manipulasi posisi umumnya bertujuan untuk meningkatkan venous

return sehingga terjadi peningkatan cardiac output.1,4 Dengan pemberian


30

preloading cairan, baik koloid maupun kristaloid, diharapkan terjadi ekspansi

volume intravaskular yang meskipun tidak menghilangkan namun dapat

meminimalisir risiko terjadinya hipotensi.1

Selain kedua hal diatas, penggunaan vasopressor juga seringkali digunakan

bahkan telah menjadi prosedur rutin untuk mencegah kejadian hipotensi post-

spinal. Penggunaan vasopressor biasanya dikombinasikan dengan pemberian

preloading baik koloid maupun kristaloid. Tanpa penggunaan vasopressor

profilaksis, angka kejadian hipotensi post-spinal pada operasi sectio Sesarea

mencapai 60%.2,3

Norepinephrine merupakan vasopressor yang baru baru ini diperkenalkan

penggunaannya untuk anestesi pasien obstetri. Aktivitas obat ini bersifat agonis α-

adregenik dengan tambahan agonis β-adrenergik lemah. Dengan karakteristik ini,

norepinephrine hanya menyebabkan depresi kerja jantung minimal sehingga

menjadikannya kandidat yang baik untuk alternatif bagi phenylephrine dan

efedrin yang sebelumnya sudah banyak digunakan dengan tujuan yang sama.3,5
31

Anestesi Spinal pada Hipotensi


Operasi Sectio Sesarea

Pencegahan

Preloading cairan Perubahan posisi

Vasopressor

Norepinephrine

Gambar 2.0.5 Kerangka Pemikiran

2.3 Premis dan Hipotesis

2.3.1 Premis

Premis 1 :Ibu hamil mengalami perubahan fisiologis.8,10

Premis 2 :Pada ibu hamil terjadi kompresi dari vena cava inferior oleh uterus

gravid, sehingga menurunkan venous return dan tekanan atrial

kanan.10

Premis 3 :Penurunan venous return berpengaruh pada cardiac output yang

pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan tekanan darah.13


32

Premis 4 :Anestesi spinal yang sering digunakan pada operasi sectio Sesarea

dapat menyebabkan beberapa komplikasi, salah satu yang tersering

adalah hipotensi.14

Premis 5 :Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam usaha mencegah

kejadian komplikasi hipotensi post-spinal adalah manipulasi posisi

pasien, preloading cairan, dan pemberian vasopressor.16

Premis 6 :Salah satu vasopressor yang sering digunakan adalah

phenylephrine yang bersifat agonis α-adregenik.18

Premis 7 :Phenylephrine memiliki efek pencegahan hipotensi tetapi

seringkali menimbulkan efek samping berupa bradikardia.18

Premis 8 :Norepinephrine merupakan vasopressor bersifat agonis α-

adregenik dengan tambahan agonis β-adrenergik lemah.18-19

Premis 9 :Gabungan sifat agonis α-adregenik dengan tambahan agonis β-

adrenergik lemah ini secara teori dapat mencegah hipotensi akibat

anestesi spinal tanpa efek bradikardia4,19

Premis 10 :Norepinephrine akan memberikan efek hemodinamik yang lebih

seimbang dalam pencegahan hipotensi akibat anestesi spinal pada

sectio Sesarea.4,19
33

2.3.2 Hipotesis

Berdasarkan premis-premis yang disebutkan sebelumnya maka dirumuskan

hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis:

1. Pemberian profilaksis norepinephrine lebih efektif dalam mencegah hipotensi

akibat anestesi spinal pada operasi sectio Sesarea dibandingkan pemberian

preloading cairan coloid


BAB III

SUBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah pasien yang akan menjalani seksio sesarea dengan

anestesi regional spinal yang dirawat di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung dan

telah mendapatkan persetujuan secara tertulis dari pasien atau wali setelah

diberikan penjelasan (informed consent) untuk ikut dalam penelitian.

3.1.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien hamil berusia berkisar 20 hingga 40 tahun

2. Pasien hamil cukup bulan

3. Pasien dengan kehamilan tunggal

4. Body Mass Index (BMI) 25-30

5. Status fisik pasien ASA II (American Society of Anesthesiologist)

3.1.2 Kriteria Ekslusi

Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut:

1. Pasien dengan kelainan jantung

2. Pasien yang menolak tindakan anestesi spinal

3. Pasien gemeli, polihidroamnion

4. Pasien dengan gangguan hipertensi dalam kehamilan

5. Pasien yang mengalami pendarahan peripartum

34
35

6. Pendarahan yang lebih dari 750ml

7. Pasien yang mengalami gagal spinal anestesi

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian Randomized Controlled Trial (RCT) dengan

metode double blind. Desain penelitian untuk mengetahui perbandingan

pemberian cairan preloading koloid dengan norepinefrin dibandingkan dengan

preloading koloid terhadap pencegahan hipotensi akibat anestesi spinal pada

operasi sectio Sesarea.

Penelitian RCT double blind ini perlakuan intervensi tidak diketahui oleh

subjek dan peneliti. Setelah pasien terbagi menjadi dua kelompok, pasien akan di

berikan intervensi di kamar operasi tanpa diketahui oleh peneliti terkait kelompok

subjek peneliti.

3.2.2 Ukuran dan Cara Pemilihan Sampel

Ukuran sampel pada penelitian ini ditentukan berdasarkan tujan penelitian.

Untuk tujuan penelitian yang pertama yakni mengetahui perbandingan pemberian

cairan preloading koloid dengan norepinefrin dibandingkan dengan preloading

koloid terhadap pencegahan hipotensi akibat anestesi spinal pada operasi sectio

Sesarea terhadap pencegahan hipotensi akibat anestesi spinal pada operasi sectio

Sesarea dengan membandingkan:


36

Keterangan :

n1 = Ukuran sampel minimal yang dibutuhkan kelompok 1

n2 = Ukuran sampel minimal yang dibutuhkan kelompok 2

n1 + n2 = Total sample yang dibutuhkan

Z1 – α/2 = Kesalahan tipe 1

Z1 – β = Kesalahan tipe 2

x1 – x2 = Perbedaan rerata yang dipertimbangkan bermakna oleh peneliti

s = Standar deviasi dari penelitian sebelumnya3

(1,96 + 0,84)4,3
𝑛𝑖 = 𝑛2 = 2 𝑥 ( ) = 20,7 = 21
0,24 − 0,82

Hasil tersebut merupakan sampel minimal yang harus didapat sebanyak 42.

Sehingga untuk memenuhi tujuan penelitian maka jumlah sampel akhir adalah 21

untuk masing-masing kelompok preloading colloid dengan norepinefrin dan

kelompok hanya pemberian preloading coloid. Pemilihan sampel akan dilakukan

dengan teknik consecutive sampling pada setiap subjek yang datang memenuhi

kriteria inklusi.
37

3.2.3 Definisi Variabel dan Operasional Penelitian

3.2.3.1 Definisi Variabel Penelitian

Variabel bebas adalah preloading koloid dengan norepinefrin

Variabel tergantung adalah hipotensi post spinal

Variabel perancu adalah volume cairan tubuh, fungsi jantung baik.


38

Tabel 3.0-1 Definisi Operasional Penelitian

Variabel Definisi Skala Ukur

Cairan gelatin diberikan sebanyak 7

ml/kgbb yang diberikan melalui


Cairan koloid Pre-
intravena sebelum tindakan anestesi Nominal
loading
spinal selama 20 menit dengan infuse

pump26

Norepinefrin yang diberikan secara

intravena bolus 5 µg kemudian diikuti

Infus norepinefrin dosis titrasi infus dengan dosis 0,05 Nominal

µg/kg/menit setelah dilakukan

anestesi spinal.4,28

Penurunan tekanan darah sistolik

Hipotensi akibat seksio lebih dari 20% dari nilai awal, yang
Nominal
sesarea diukur menggunakan alat pengukur

tekanan darah, Nihon Kohden

Puasa preoperatif yang lebih dari 6

jam atau diberikan cairan infus kurang


Volume cairan tubuh Nominal
dari dosis pemeliharaan sebanyak 2

ml/kgbb

Anamnesa dan pemeriksaan fisik


Fungsi jantung baik Nominal
tidak menunjukan kelainan jantung
39

3.2.4 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.4.1 Tempat & waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin dari bulan ……. tahun

2019 sampai dengan bulan ……… tahun 2019.

3.2.5 Tata Cara Pelaksanaan Penelitian

3.2.5.1 Persiapan

Penelitian ini menggunakan alat-alat sebagai berikut :

1. Cairan gelatin 500 mL (BBraun)

2. Norepinefrin (Vascon)

3. Fentanyl 100 mcg (Jannsen)

4. NaCl 0,9% 100 mL (Widatra)

5. Bupivacaine heavy HCl 0,5% (Ethica)

6. Jarum spinal no. 25G (Univier)

7. Spuit 3 cc (Terumo)

8. Alat monitoring standar yang terdiri dari tekanan darah non invasif, ekg,

saturasi oksigen.

9. Infuse pump

10. Formulir penelitian

11. Alat tulis


40

3.2.5.2 Pelaksanaan

Untuk mendapatkan subjek penelitian setiap ibu hamil aterm yang datang ke

RSHS akan dinilai apakah memenuhi kriteria inklusi, kemudian dilakukan

pemeriksaan awal mengenai kondisi subjek. Pasien yang memenuhi kriteria

inklusi akan mengisi lembar informed concent untuk persetujuan dilakukannya

penelitian.

Semua pasien yang ikut serta dalam penelitian ini telah dipasang infus dengan

ringer laktat sebelum masuk ke kamar operasi. Setelah masuk ke kamar operasi,

dipasang alat – alat untuk memantau tekanan darah non invasif,

elektrokardiogram dan saturasi oksigen, kemudian diberikan oksigen melalui

nasal kanul 3 liter/menit. Sebelum dilakukan tindakan anestesi, pasien dilakukan

pemeriksaan tekanan darah untuk mengetahui baseline tekanan darah awal. Nilai

baseline yang didapatkan dari pengukuran tekanan darah pada posisi supinasi

pada dengan rata-rata dari tiga kali pengukuran yang diulang minimal interval dua

menit dengan perbedaan kurang dari 10%. Anestesi spinal dilakukan pada posisi

duduk, pada ketinggian L3 – L4 menggunakan jarum 25G. Semua pasien

menerima jumlah obat yang sama yaitu bupivakain hiperbarik 10 mg dan fentanyl

25 mcg, kemudian pasien diposisikan tidur. Ketinggian blok sensoris dinilai

dengan tes pinprick.

Setelah itu pasien akan dibagi kedalam 2 kelompok yang masing-masing

terdiri dari 21 orang, yaitu :


41

a. Kelompok Koloid (K) : kelompok kontrol dalam penelitian yang diberikan

cairan kolid gelatin sebelum dilakukan tindakan spinal sebanyak 7ml/kgbb

dalam 20 menit.

b. Grup Norepinefrin (N) : Kelompok studi yang mendapat profikasis

norepinefrin intravena setelah tindakan anestesi spinal dibolus sebanyak 5

mcg pada menit pertama kemudian di titrasi sebanyak 0,05 mcg/kgbb/menit

pada menit kedua menggunakan syringe pump. Pemberian norepinefrin

dilanjutkan hingga 5 menit setelah melahirkan bayi.

Pencatatan tekanan darah dan denyut jantung dinilai secara non invasif

setelah tindakan anestesi spinal kemudian 1 menit setelah pemberian norepinefrin

dan setiap 1 menit dalam 10 menit pertama, kemudian setiap 3 menit berikutnya

sampai menit ke-45. Pencatatan tanda vital diteruskan di ruang pemulihan setiap

10 menit selama 1 jam.

Jika pasien mengalami penurunan tekanan darah bila nilai sistolik turun 20%

dari nilai tekanan darah sistolik awal, atau apabila di kedua grup terjadi penurunan

sampai di bawah 20% dari tekanan darah awal maka akan diberikan resque

dengan pemberian efedrin 5 mg yang dapat di naikan hingga 15 mg sampai

tekanan darah sistolik meningkat sampai di atas nilai hipotensi dari pasien

tersebut. Bila terjadi denyut jantung di bawah 50x/menit maka akan diberikan

sulfas atropine 0,2 mg/kg. Pemberian efedrin untuk resque akan dicatat di setiap

grup. Oxytocin 10 U diberikan ketika bayi lahir (10 unit dalam 500 ml Ringer

laktat) pada kedua grup.


42

3.2.6 Rancangan Analisis

Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis sebagai berikut :

1) Editing, yaitu memeriksa kebenaran data yang diperlukan

2) Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data

angka atau bilangan.

3) Data entry yaitu memasukkan data, yakni hasil pemeriksaan dan

pengukuran subjek penelitian yang telah di-coding, dimasukan ke dalam

program komputer.

4) Cleaning, yaitu apabila semua data dari responden telah selesai

dimasukkan, maka perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan

sebagainya, kemudian dilakukan koreksi.

Analisis yang dilakukan selanjutnya bertujuan untuk

mendiskripsikan variabel-variabel dependen dan independen sehingga

dapat membantu analisis selanjutnya secara lebih mendalam. Selain itu,

analisis secara deskriptif ini juga digunakan untuk mengetahui

karakteristik subjek penelitian yang menjadi sampel penelitian. Analisis

data untuk melihat gambaran proporsi masing - masing variabel yang akan

disajikan secara deskriptif dapat diuraikan menjadi analisis deskriptif dan

uji hipotesis. Data yang berskala numerik seperti umur pasien dan BMI

dipresentasikan dengan rerata, standar deviasi, median dan range.

Kemudian untuk data karakteristik sampel berupa data kategorik seperti

jenis kelamin dan pekerjaan pasien maka diberikan koding dan


43

dipresentasikan sebagai distribusi frekuensi dan persentase. Setelah

dilakukan analisis deskriptif untuk studi karakteristik akan dilakukan uji

statistika data numerik variable yang dinilai sebagai berikut:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas yang akan digunakan pada penelitian untuk menentukan

apakah data ini berdistribusi normal atau tidak karena akan mempengaruhi

uji normalitas yang akan dipilih selanjutnya. Pada penelitian ini adalah

menggunakan Kolmogorov Smirnov apabila sampel lebih dari 50. Jika

sampel kurang dari 50, maka akan dilakukan uji normalitas dengan

menggunakan Saphiro Wilk. Hasil Uji normalitas ini digunakan sebagai

penentu uji analisis berikutnya yang akan digunakan. Apabila distribusi

data normal (p>0,05) maka uji analisis yang akan dilakukan adalah uji

parametrik. Namun, apabila dari uji normalitas didapatkan bahwa data

tidak terdistribusi normal (p<0,05), maka akan dilakukan uji non-

parametrik.

2. Uji Parametrik dan Non-Parametrik

Uji Parametrik akan digunakan apabila data terdistribusi normal. Uji

parametric tersebut adalah independentt test kemudian dari hasil

perhitungan kita melihat nilai P pada Levene’s Test. Jika (p>0,05) lihat p-

value pada baris pertama, dan jika (p<0,05) pada baris kedua. Setelah itu

kita interpretasikan P-value pada T test , apabila (p>0,05) maka artinya me-

retain H0, apabila (p<0,05) maka artinya me-reject H0. Apabila data tidak
44

terdistribusi normal maka dilakukan uji non parametrik, yaitu Uji- Mann-

Whitney jika (p>0,05) kita retain H0 dan jika (p<0,05) kita me-reject H0.

Sedangkan untuk data kategorik diuji dengan analisis Chi Square.

Apabila syarat Chi-Square terpenuhi bila terpenuhi maka digunakan uji

Exact Fisher untuk table 2 x 2, kemudian dari hasil perhitungan kita melihat

nilai P. Cek apakah terdapat baris yang memiliki E<5. Jika tidak ada cell

memiliki E<5 interpretasikan P-Value pada baris pertama, Jika terdapat cell

yang memiliki nilai E<5 interpretasikan P-Value pada baris ke empat.

Apabila (p>0,05) maka artinya me-retain H0, apabila (p<0,05) maka artinya

me-reject H0. Data yang diperoleh dicatat dalam formulir khusus kemudian

diolah melalui program SPSS versi 24.0 for Windows.

3.2.7 Hipotesis statistik

H0 : µ1 = µ2

H1 : µ1 > µ2

Keterangan :

H0 : Pemberian norepinefrin sama dengan pemberian preloading koloid dalam

pencegahan hipotensi post spinal

H1 : Pemberian norepinefrin lebih efektif dalam pencegahan hipotensi

dibandingkan dengan pemberian preloading coloid dalam pencegahan hipotensi

post spinal
45

3.3 Aspek Etik Penelitian

Berdasarkan bentuk, desain penelitian dan tata cara pelaksanaan, penelitian

ini membutuhkan informed consent dan persetujuan tertulis dari subjek yang akan

diikutsertakan sebagai subjek penelitian. Sebelum dilakukan informed consent

akan dilakukan penjelasan mengenai isi penelitian secara keseluruhan. Beberapa

masalah etika penelitian yang bermakna yang dapat timbul yaitu pada saat

pemberian vasopressor mengalami efek samping yang ditimbulkan seperti

gangguan irama jantung dan perubahan hemodinamik. Perubahan hemodinamik

berupa hipotensi dan bradikardia dapat dihindari dengan monitoring yang ketat

dan pemberian obat-obatan untuk mengembalikan kembali hemodinamik agar

stabil. Peneliti akan memberikan penjelasan mengenai prosedur yang akan

dilakukan kepada subjek/wali subjek. Penjelasan itu meliputi cara dan

kemungkinan akibat yang ditimbulkan serta keuntungan serta manfaat dari

penelitian ini yakni untuk dalam pencegahan gangguan hemodinamik akibat

pemberian obat anestesi sehingga dapat dilakukan pencegahan terhadap

efeksamping pembiusan.

Keikusertaan bersifat sukarela. Setiap subjek/wali mempunyai gambaran

yang lebih baik terhadap keadaan dirinya kemudian dapat menentukan langkah

yang terbaik bagi dirinya. Walaupun demikian, subjek/wali subjek diberi

kebebasan untuk mencabut persetujuannya dalam keikutsertaan penelitian. Biaya

pemberian obat norepinefrin tidak dibebankan kepada subjek, tetapi hasil

pemberian obat dapat digunakan untuk tatalaksana penderita dalam pencegahan

efek samping pembiusan dan dijamin kerahasiaannya sehingga tidak


46

memungkinkan untuk diketahui oleh orang lain. Semua subjek dalam penelitian

ini akan diperlakukan secara sama dengan memperhatikan prinsip keadilan.

Penelitian dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari komisi Etik

Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP dr.

Hasan Sadikin Bandung.

3.4 Alur Penelitian

Gambar 3.0.1 Bagan Alur Penelitian


DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmed HO, Hossam M, Adel A. Volume Preload versus Ephedrine

Infusion for Prevention of Hypotension Due to Spinal Anesthesia for

Cesarean Section. Open Journal of Anesthesiology. 2016;6(03):37.

2. Kaufner, Lutz, et al. Crystalloid coloading vs. colloid coloading in elective

Caesarean section: postspinal hypotension and vasopressor consumption, a

prospective, observational clinical trial. Journal of anesthesia, 2019, 33.1:

40-49.

3. Bajwa SJS, Kulshrestha A, Jindal R. Co-loading or pre-loading for

prevention of hypotension after spinal anaesthesia! a therapeutic dilemma.

Anesthesia, Essays and Researches. 2013;7(2):155-9.

4. Hasanin, Ahmed M., et al. Norepinephrine Infusion for Preventing

Postspinal Anesthesia Hypotension during Cesarean Delivery. A

Randomized Dose-finding Trial. Anesthesiology: The Journal of the

American Society of Anesthesiologists, 2019, 130.1: 55-62.

5. Hasanin, Ahmed, et al. Leg elevation decreases the incidence of post-

spinal hypotension in cesarean section: a randomized controlled trial. BMC

anesthesiology, 2017, 17.1: 60.

47
48

6. KEE, Warwick D. Ngan, et al. Prophylactic norepinephrine infusion for

preventing hypotension during spinal anesthesia for cesarean

delivery. Anesthesia & Analgesia, 2018, 126.6: 1989-1994.

7. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J., & Larson, C. P. Clinical

anesthesiology. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill,

2016:(361)

8. Page, Shannon M., and Mark D. Rollins. "Physiology and Pharmacology

of Obstetric Anesthesia." Pharmacology and Physiology for Anesthesia.

Elsevier, 2019. 732-751.

9. Lawton, William J., Friedrich C. Luft, and Gerald F. DiBona. "Normal

blood pressure control and the evaluation of

hypertension." Comprehensive Clinical Nephrology 2010: 395-410.

10. Thornburg, Kent L., et al. Hemodynamic changes in pregnancy.

In: Seminars in perinatology. WB Saunders, 2000:11-14.

11. Somboonviboon, Wanna, et al. Incidence and risk factors of hypotension

and bradycardia after spinal anesthesia for cesarean section. Medical

journal of the Medical Association of Thailand, 2008; 91(2): 181.

12. Birnbach, David J., Bateman, Brian T. Obstetric Anesthesia: Leading the

Way in Patient Safety. Obstetrics and Gynecology Clinics, 2019, 46(2):

329-337.
49

13. Bucklin, Brenda A., et al. Obstetric Anesthesia Workforce SurveyTwenty-

year Update. Anesthesiology: The Journal of the American Society of

Anesthesiologists, 2005;103(3): 645-653.

14. KlÖHR S, Roth R, Hofmann T, Rossaint R, Heesen M. Definitions of

hypotension after spinal anaesthesia for caesarean section: literature search

and application to parturients. Acta Anaesthesiologica Scandinavica.

2010;54(8):909-21

15. Langesaeter, Eldrid, Dyer, Robert A. Maternal haemodynamic changes

during spinal anaesthesia for caesarean section. Current Opinion in

Anesthesiology, 2011;24(3): 242-248.

16. Cyna, Allan M., et al. Techniques for preventing hypotension during

spinal anaesthesia for caesarean section. Cochrane database of systematic

reviews, 2006;4.

17. Paul Barash BFC, Robert K. Stoelting, Michael Cahalan, Christine M.

Stock, Rafael Ortega. Clinical Anesthesia Seventh Edition. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2013.

18. KEE, Warwick D. Ngan. The use of vasopressors during spinal

anaesthesia for caesarean section. Current Opinion in Anesthesiology,

2017;30(3): 319-325.

19. Carvalho, Brendan, Dyer, Robert A. Norepinephrine for Spinal

Hypotension during Cesarean DeliveryAnother Paradigm


50

Shift?. Anesthesiology: The Journal of the American Society of

Anesthesiologists, 2015;122(4): 728-730.

20. Mercier FJ. Cesarean delivery fluid management: Obstetri and genecology

anesthesia. Cur Opin Anestesiol 2012; 25(3).287-97

21. Westfall TC, Westfall DP. Adrenergic agonists and antagonists. In :

Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, editor. Goodman & Gilman’s the

pharmacological Basis of Theraupetics. 11th ed. Ch 10. New York :

McGraw-Hill : 2006.p.237-63.) (Basics of Anesthesia Seventh Edition

22. Hoffman BB. Adrenoceptor-activating & other sympathomimetic drugs. In

: katzung BG, editor. Basic & Clinical pharmacology. 9th ed. Ch 10. New

York : McGraw-Hill : 2004.p.122-41.

23. Mercier FJ. Cesarean delivery fluid management: Obstetri and genecology

anesthesia. Cur Opin Anestesiol 2012; 25(3).287-97

24. Fornich MA. Obstetric anesthesia. Dalam: Butterworth JF, Mackey DC,

Wasnick JD, penyunting. Morgan and Mikhail's Clinical Anesthesiology.

Edisi ke-5. New York: McGraw-Hill Company; 2013: 848-56

25. Carvalho B, Mercier FJ, Riley ET, et al. Hetastarch co-loading is as

effective as preloading for the prevention of hypotension following spinal

anesthesia for Cesarean delivery. Int J Obstet Anesth 2009; 18:150–155.)

26. Jabalameli M, Soltani HA, Behdad S, Soleimani B , Bahram S. Prevention

of post-spinal hypotension ussing crystalloid, colloid and ephedrine with


51

three different combinations: a double blind randomized study. Adv

biomed res; 2012; 1:36

27. KEE, Warwick D. Ngan, et al. Randomized double-blinded comparison of

norepinephrine and phenylephrine for maintenance of blood pressure

during spinal anesthesia for cesarean delivery. Anesthesiology: The

Journal of the American Society of Anesthesiologists, 2015, 122.4: 736-

745.

28. Chen, D., Qi, X., Huang, X., Xu, Y., Qiu, F., Yan, Y., & Li, Y. Efficacy

and safety of different norepinephrine regimens for prevention of spinal

hypotension in cesarean section: a randomized trial. BioMed research

international. 2018

29. Bhattarai B, Bhat SY, Upadya M. Comparison of bolus phenylephrine,

ephedrine and mephentermine for maintenance of arterial pressure during

spinal anesthesia in cesarean section. JNMA; journal of the Nepal Medical

Association. 2010;49 (177):23-8)

30. Dua D, Jadliwala R, Gondalia D, Parmar V, Jain A. Comparison of bolus

phenylephrine, ephedrine and mephentermine for maintenance of arterial

pressure during spinal anaesthesia in caesarean section. IJPSR. 2014 Jun

1;5: (24)12-17.

Anda mungkin juga menyukai