PENDAHULUAN
Industri Rumah Potong Ayam (RPA) dalam bidang peternakan menjalankan fungsinya
dalam pemotongan ayam hidup dan mengolah menjadi karkas yang siap konsumsi untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat (Kariana dan Singgih, 2008). Akan tetapi,
Industri Rumah Potong Ayam (RPA) dalam menjalankan fungsinya, seringkali melupakan
permasalahn yang sangat berpengaruh pada lingkungan, yaitu limbah yang dihasilkan.
Proses pemotongan ayam di RPA menghasilkan 2 jenis limbah, yaitu limbah padat dan
limbah cair. Limbah padat Rumah Pemotongan Ayam (RPA) relatif lebih mudah ditangani
dibanding dengan limbah cair.
Dari permasalahan di atas, kami akan membahas limbah yang dihasilkan oleh Industri
Rumah Potong Ayam (RPA) dan cara pengolahan limbahnya.
PEMBAHASAN
2.1 Klasifikasi Limbah Industri Rumah Potong Ayam (RPA) dan Karakterisasi
Limbahnya serta Parameter Limbahnya
2.1.1 Jenis limbah dan klasifikasi limbah
2. Limbah padat
Limbah padat pada industri Rumah Potong Ayam (RPA) yaitu berupa ayam mati
danoffal (sisa usus/jeroan),darah,bulu, jeroan (sisa-sisa usus dan potongankloaka),
tulang dan ayam mati. Bagian lainyang tidak sengaja ikut terbuang menjadilimbah yaitu
kepala ayam dan lemak yangterdapat di dalam rongga perut, dibagianampela dan ekor. Pada
umumnya kepala ikutterbuang bersama bulu pada saat pencabutanbulu, sedangkan limbah
berupa lemak ikutterbuang bersama air yang mengalir pada saatpencucian. Dari hasil
pengukuran debit limbah,diketahui bahwa limbah berupa darah yangdihasilkan adalah sekitar
3,5%, limbah usus5%, serta limbah ayam mati sekitar 0,5% darijumlah ayam yang dipotong
dalam satu hari (Voslarova et al., 2007; Bolu dan Adakeja,2008).
Sebagian besar dari jenis limbah yangmeliputi lemak, usus, kepala, tulang sisa
dariproses pengolahan daging tanpa tulang(boneless), kulit, hati, ampela dan ceker/kakiayam
masih mempunyai nilai jual yang tinggidan dibutuhkan oleh pengguna tertentu.
Namundemikian, hampir semua jenis limbah yangdihasilkan oleh RPA mempunyai potensi
yangcukup besar untuk dimanfaatkan sebagai bahanpakan sumber protein, energi/lemak
maupunmineral dalam pemeliharaan ternak unggas danruminansia. Sebagaimana dilaporkan
bahwadaging ayam mengandung protein sebanyak18,6%, lemak 15,06%, air 65,95% dan
abu0,79% (Suradi, 2009).
3. Limbah gas
Limbah gas akan muncul ketika limbah padat dan limbah cair ditimbun dan tidak
segera dilakukan penanganan.
No Limbah Jenis limbah Asal limbah
1. Air limbah I Pencelupan ayam ke dalam air panas
2. Darah Limbah Cair Penyembelihan ayam
3. Air limbah II Pemcucian ayam
4. Bulu Pemcabutan bulu ayam
5. Selaput ceker Pembersihan selaput ceker
6. Kotoran ayam I Penampungan ayam
7. Tembolok Kantong tempat makanan pd leher
Limbah Padat
8. Kotoran ayam I
9. Selaput ampela
Dari dalam ayam (jeroan)
10. Usus besar
11. Empedu
Di Indonesia, limbah dari pemotongan rumah ayam yaitu limbah cair yang
berasal dari darah ayam, proses pencelupan, pencucian ayam dan peralatan
produksi.Parameter dalam limbah cair berupa (Biological Oxygen Demand) BOD, (Chemical
Oxygen Demand) COD, (Total Suspended Solid) TSS, minyak dan lemak yang tinggi, dengan
komposisi berupa zat organik.
Menurut Kusnoputranto, 1983, beberapa parameter yang digunakan dalam pengukuran
kualitas air limbah,yaitu:
1. Kandungan zat padat
Yang diukur dari kandungan zat padat dalam bentuk Total Solid Suspended (TSS) dan
Total Dissolve Solid (TDS).
2. Kandungan zat organik
Zat organik dalam penguraiannya memerlukan oksigen dan bantuan mikroorganisme.
Salah satu penentuan zat organik adalah dengan mengukur BOD (Biological Oxygen
Demand) dari buangan tersebut. BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
bakteri untuk melakukan dekomposisi aerobik bahan-bahan organik dalam larutan,
dibawah kondisi waktu dan suhu tertentu (biasanya lima hari pada 20 C).
3. Kandungan zat anorganik
Beberapa komponen zat anoragnik yang penting untuk mengawasi kualitas air limbah
antara lain : Nitrogen dalam senyawaan nitrat, phosphor dalam total phospor, H2O
dalam zat beracun dan logam berat seperti Hg, Cd, Pb, dan lain-lain.
4. Gas
Adanya gas N2, O2, dan CO2 pada air buangan berasal dari udara yang larut ke dalam
air, sedangkkan gas H2S, NH3, dan CH4 berasal dari proses dekomposisi air buangan.
Oksigen di dalam air buangan dapat diketahui dengan mengukur DO (Dissolved
Oxygen). Jumalah oksigen yang ada di dalam air sering digunakan untuk mennetukan
banyaknya atau besarnya pencemaran zat organik dalam larutan, makin rendah DO
suatu larutan, makin tinggi kandungan bahan organiknya.
5. Kandungan bakteri
Bakteri golongan E.coli terdapat normal di dalam usus dan tinja manusia. Sumber
bakteri patogen dalam air limbah bersal dari tinja manusia yang sakit. Untuk
menganalisis bakteri patogen yang terdapat dalam air buangan cukup sulit, sehingga
sebagai parameter mikrobiologis digunakan perkiraan terdekat jumlah golongan
koliform. (MPN= Most Probable Number) dalam 100 ml air limbah serta perkiraan
terdekat jumlah golongan koliform tinja dalam 100 ml air limbah.
6. pH (derajat keasaman)
Pengukuran pH berkaitan dengan proses pengolahan biologis karena pH yang kecil
akan menyulitkan, disamping akan mengganggu kehidupan dalam air bila dibuang ke
perairan terbuka.
7. Suhu
Suhu air limbah umumnya tidak banyak berbeda dengan suhu udara, tapi lebih tinggi
dari pada suhu air minum. Suhu dapat mempengaruhi kehidupan dalam air, kecepatan
reaksi atau penguraian, proses pengendapan zat padat serta kenyamanan dalam badan-
badan air.
Air limbah yang harus diolah adalah seluruh air limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
rumah potong unggas, yaitu air yang berasal dari pemotongan, pembersihan lantai tempat
pemotongan, pembersihan kandang penampung, pembersihan kandang isolasi, dan
pembersihan isi perut, serta air sisa perendaman. Pengambilan dan pengujian kualitas air
dilakukan setelah IPAL beroperasi selama 3 bulan.
Parameter yang perlu diamati adalah pH, BOD, COD, TSS, Minyak dan lemak, dan
NH3-N. Hasilnya dibandingkan dengan baku mutu limbah cair kegiatan rumah sakit yang
telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 02 Tahun 2006 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan Rumah Pemotongan
Hewan. Berikut ini tabelnya:
NH3-N Mg/L 25
pH - 6-9
Volume air limbah maksimum untuk sapi, kerbau, dan kuda : 1,5 m3/ ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk kambing dan domba : 0,15 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk babi : 0,65m3/ekor/hari
1. BOD
BOD (Bological Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi) hampir semua zat organik yang terlarut
dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air. Kadar BOD maksimum yang
diperbolehan bagi kegiatan rumah potong hewan adalah 100mg/L.
2. COD
COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk
mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air. Hal ini karena bahan
organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat
Kalium Bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat
sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks
dan sulit urai, akan teroksidasi. Kadar COD maksimum yang diperbolehkan bagi
kegiatan Rumah Pemotongan Hewan adalah 200mg/L.
3. TSS (Total Suspended Solid)
TSS (Total Suspended Solid) adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air yang
tidak larut dan tidak dapat mengendap langsung. Padatan tersuspensi teridri dari
partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih rendah dari sedimen. Kadar TSS
maksimum yang diperbolehkan bagi kegiatan rumah pemotongan hewan adalah
100mg/L.
4. Minyak dan lemak
Minyak dan lemak yang mencemari air sering dimasukkan ke dalam kelompok
padatan, yaitu padatan yang mengapung diatas permukaan air.
2.2 Proses Pengolahan Limbah
2.2.1 Pengolahan limbah cair
Proses pengolahan limbah Rumah Potong Ayam (RPA) terdiri atas pengolahan limbah
cair dan pengolahan limbah padat. Pengolahan limbah cair dilakukan melalui beberapa cara,
diantaranya proses perombakan limbah cair hasil pemotongan, penggunaan Granular
Activated Carbon-Sequencing Batch Reactor (GAC-SBR), menggunakan membran
filtrasi dan menggunakan bioreaktor.
Perombakan limbah cair hasil pemotongan, pengolahannya meliputi:
1. Proses Separasi
Proses separasi adalah proses dimana sebelum limbah cair bekas cucian ayam diolah,
limbah cair tersebut dipisahkan terlebih dahulu antara cairan dan padatan seperti bulu-bulu
halus dan lemak. Agar padatan kecil terpisah dari larutan, air bekas cucian diaduk dengan
mesin yang memompa udara, sehingga menghasilkan gelembung-gelembung. Setelah air
diaduk dengan gelembung, maka lemak dan padatan kecil akan naik, dan padatan tersebut
disebut dengan sludge. Kemudian limbah masuk kedalam mesin scrapper, yaitu mesin
pemisah sludge dengan cairan. Setelah sludge terpisah, sludge dan darah ditampung di tanki
penampungan sementara, kemudian sludge dan darah di sedot ke dalam mobil tanki limbah
berijin dan dibuang di IPLT.
2. Sistem Aerasi
Setelah melalui proses separasi, dimana cairan telah dipisahkan dari sludge dan darah,
selanjutnya air masuk kedalam kolam yang dibuat di lahan kosong dekat pabrik, dan telah
dipasang alat pengaduk dan disebut sebagai kolam aerasi. Air yang telah masuk dalam kolam
aerasi diberi bakteri pengurai kemudian diaduk dengan mesin pengaduk selama kurang lebih
lima belas menit, hal tersebut dilakukan agar bakteri tesebar merata ke dalam air. Setelah
proses pengadukan selesai, air di alirkan ke kolam pengendapan, lalu di uji dan di analisa
setiap bulan di laboraturium. Apabila lolos uji, air tersebut dibuang dengan cara dialirkan ke
tanah.
Penggunaan Granular Activated Carbon-Sequencing Batch Reactor (GAC-SBR)
dilakukan dengan menggunakan karbon aktif. Karbon aktif banyak digunakan dalam air, air
limbah, udara dan treatment polusi udara dengan sistem mekanisme adsorpsi fisik. Disamping
murah, produk GAC jauh lebih baik dibanding produk serupa berasal bahan konvensional lain
karena memiliki porositas tinggi, luas permukaan yang lebih besar, dan daya ikat yang tinggi
terhadap logam berbahaya, seperti tembaga (Cu), kadmium (Cd), dan ion Zn. Jika digunakan
untuk mengendapkan polutan/limbah, berupa senyawa kimia yang mengandung unsur logam
seperti tersebut di atas sungguh sangat besar manfaatnya. Tetapi, nilai estetika produk ini akan
menjadi pertimbangan bila digunakan sebagai penyaring air untuk keperluan manusia seperti
lazimnya penggunaan bahan karbon aktif lain seperti batok kelapa (adrizal,2014). Selain itu,
karbon aktif dapat digunakan bersama-sama dengan treatment biologis atau digunakan
meningkatkan efisiensi penghilangan. Karbon aktif dapat digunakan sebagai media untuk
mikroorganisme dalam sistem pertumbuhan terpasang. Seperti yang telah ditliti oleh
(Sirianuntapiboon dan manoonpong, 2001). Kemampuan adsorbsi dari GAC hampir stabil
ketika dioperasikan dalam sistem SBR dalam satu bulan. Kemampuan adsorpsi COD dan
TKN dengan menggunakan GAC adalah sekitar 98.58 % yang nd75.00/o masing-masing dari
GAC yang masih baru. Hasil efisiensi penghilangan COD dari kedua sistem SBR dan GAC-
SBR dibawah berbagai macam kondisi HRT ditunjukkan dalam table berikut :
Pengolahan limbah cair dari RPA juga dapat dilakukan dengan menggunakan
membran filtrasi. Membran filtrasi dapat memiliki peran penting dalam treatment pengolahan
air limbah pemotongan unggas (PPW) dan berpotensi untuk penggunaan air kembali karena
proses tekanan unik yang menggunakan membran semipermeabel untuk memisahkan dan
konsentrasi koloid dan bahan berat molekul tinggi dalam larutan (Lo et al.,2005).
Kinerja pemisahan dari membrandipengaruhi olehkomposisi kimia, suhu, tekanan,
aliran umpandan interaksiantar komponendalam aliranumpandanpermukaanmembran.
interaksiantar komponendalam aliranumpandanpermukaanmembran. membran yang paling
efektif adalah PVDF 0.30μm ( membran dengan nominal terbesar bukaan gap ) yang
menghasilkan tertinggi penyerapan nilai-nilai fluks sambil menghasilkan COD terendah
kedua dan konsentrasi TS terendah . Ultrafilic membran 0,05um ( membran dengan bukan
nilai ) juga efektif dalam menghasilkan nilai fluks tinggi ( tidak berbeda nyata dari membran
0.30μm PVDF ) saat memproduksi COD terendah dan kedua konsentrasi TS terendah .
Membran 0.10μm Polisulfon adalah yang paling efektif memiliki fluks terendah dan
konsentrasi COD dan TS tertinggi dalam menyerap limbah . Percobaan yang dilakukan oleh
(Afari dan Kiepper, 2011) ini menunjukkan kelangsungan hidup membran filtrasi sebagai
metode pra – traetmen untuk PPW . Semua uji coba berakhir dengan penyerapan fluks dalam
keadaan stabil menunjukkan ketahanan yang baik terhadap pengikatan oleh membran .
Menyerap nilai-nilai fluks lebih dari 32 Gm2h diperoleh sementara mencapai lebih dari 90 %
dan 35% dari COD dan TS.
Pengolahan dengan menggunakan bioreaktor dilakukan mengingat bahwa limbah cair
Rumah pemotongan hewan memiliki konsentrasi lipid yang tinggi yang membuat reaktor
anaerobik biomassa tersuspensi seperti UASB tidak cocok. Hal ini karena akumulasi lipid
hingga membentuk flocs, dengan konsekuensi kehilangan efisiensi. Hal ini menyebabkan
aktivitas metanogen rendah, biomassa mengapung dan tercuci (hilang).
Anaerobik filter memiliki bahan pendukung acak telah berhasil digunakan dalam
treatment air limbah pemotongan unggas memperoleh penurunan kadar COD hingga 80-90%
untuk beban di kisaran 20-25 kg COD / m3/hari dan start up cepat dari dua atau tiga minggu .
Penggunaan reaktor packed bed dalam treament limbah cair pemotongan unggas di skala
laboratorium setelah pretreatment menggunakan aluminium klorida (AlCl3) juga dilaporkan
memiliki hasil yang sukses. Ditemukan bahwa efek penghambatan asam lemak rantai panjang
(LCFA) pada methanognes berkurang oleh pengaruh ion aluminium pada konsentrasi 40ppm.
Pretreatment limbah rumah potong dengan aluminium klorida dilaporkan meningkatkan hasil
metana juga (Shindu dan meera, 2012).
Pada APBR total pengurangan COD dicapai dalam dua langkah:
1) oleh pengendapan keberadaan SS yang terdapat dalam limbah
2) oleh degradasi COD dengan aksi mikroorganisme anaerob
Dalam penelitiannya Sindhu and Meera, 2012 SS dalam sampel influen bervariasi antara 267-
1735 mg / L Efisiensi penghilangan SS di APBR tetap di kisaran 90-98%.
Selain itu untuk dihasilkan pengurangan TDS, fosfat dan amonia nitrogen. Tingkat
penghilangan TDS berada di bawah 20%. penghilangan Fosfat dan nitrogen amonia yang
ditemukan adalah kurang dari 30%. Efisiensi tinggi dalam pengurangan fosfat tidak tercapai
dari pengolahan anaerobik. Penghapusan fosfat membutuhkan zona kontak anaerob diikuti
oleh zona aerobik .
Tingkat reduksi yang rendah untuk nitrogen amonia dalam penelitiannya, (Sindhu and Meera,
2012) menjelaskan hal tersebut juga mungkin karena konversi protein yang ada dalam
influent menjadi amonia nitrogen. Rendahnya tingkat sintesis bakteri dalam proses anaerobik
diterjemahkan menjadi penghilangan keseluruhan nitrogen yang rendah.
Stabilisasi Limbah dalam pengolahan anaerobik secara langsung berkaitan dengan
produksi metana. Hasil metana dari APBR ditemukan untuk rata-rata antara 175-220 mL / g
COD dapat dihilangkan. Tingkat produksi gas lebih rendah dari nilai teoritis 350ml / g COD
dapat dihilangkan pada Suhu dan Tekanan Standar (STP) . Ini mungkin karena efek adanya
amonia nitrogen dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada tingkat penerima manfaat
dalam influen.Reaktor ini hanya bisa menghilangkan <30% dari amonia nitrogen dan fosfat
ada dalam influen. Ini upflow APBR ditemukan mudah dioperasikan dan stabil. Stabilitas
reaktor mudah dicapai setelah operasi intermiten atau istirahat (Shindu dan meera,2012).
Lumpur di dalam reaktor itu dengan cepat mengendap secara alami. Tingkat produksi
lumpur dalam reaktor ditemukan sanga trendah. Kurang dari 2 L lumpur diproduksi selama
seluruh periode penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar materi larut serta yang
mengendap di air limbah itu terdegradasi selama di APBR.
2.2.2 Pengolahan limbah padat
Limbah padatan hasil proses pemotongan unggas ini biasanya berupa ayam mati
danoffal (sisa usus/jeroan), bulu, tulang dan ayam mati. Produk sampingan tersebut bila di
tinjau kembali masih memiliki nilai tambah yang lebih jika mendapati proses pengolahan
yang tepat. Pada umumnya, sebagian jenis dari limbah padatan ini oleh pihak pengelola RPA
hanya sebatas dijual terhadap pihak-pihak tertentu untuk dimanfaatkan kembalitanpa
adanya poses pengolahan menjadi produk lain yang memiliki nilai tambah lebih. Karena
jumlah yang dapat termanfaatkan masih sangat sedikit jumlahnya.
Untuk limbah bulu dapat langsung dijual ke masyarakat yang memanfaatkannya
sebagai bahan untuk kemoceng, dan kerajinan lainnya. Akan tetatpi bulu ayam merupakan
salah satu limbah yang tinggi akan kandungan protein. Tingginya kandungan protein ini
membuat bulu ayam masih dapat dimanfaatkan kembali menjadi sumber protein pakan
ruminansia. Akan tetapi protein pada bulu ayam memiliki tingkat daya cerna yang rendah,
sehingga memerlukan pretreatmen terlebih dahulu untuk meningkatkan daya cerna dari
protein bulu ayam tersebut.
Beberapa metode telah diteliti untuk meningkatkan kecernan bulu ayam agar dapat
digunakan sebagai sumber protein. Protein bulu ayam sebagian besar terdiri atas kertin yang
tergolong dalam protein serat. Pada prinsipnya pemrosesan bulu ayam adalah melemahkan,
atau memutuskan ikatan dalam keratin melalui proses hidrolisis sehingga mudah untuk di
cerna. Diketahui terdapat empat metode pemrosesan bulu ayam, yaitu secara fisik dengan
tekanan dan temperatur tinggi, secara kimiawi dengan penambahan asam, basa atau
karbonasi, dan secara enzimatis serta secara mikrobiologis melalui fermentasi oleh
mikroorganisme (Puastuti, 2007). Keempat metode Proses treatment bulu ayam dapat dilihat
seperti pada gambar dibawah ini.
Untuk limbah tulang ayam digunakan sebagai bahan tambahan pakan ransum yang
berupa tepung. Tepung limbah RPA mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi dan
mempunyai kandungan mikroba yang cukup rendah, sehingga sangat potensial untuk
digunakan sebagai bahan baku untuk pakan/konsentrat dalam pemeliharaan ternak. Dalam
penelitiannya, disimpulkan bahwa tepung berdasarkan kepada karakteristik fisiknya, tepung
limbah RPA yang baik dapat diperoleh melalui proses perebusan selama 45 menit dan
dilanjutkan dengan pengeringan di dalam oven dengan suhu 1150C selama 2 jam. Proses
perebusan belum dapat menurunkan secara optimal kandungan lemak yang tinggi di dalam
limbah RPA, mengakibatkan tepung yang dihasilkan tidak dapat disimpan untuk jangka
waktu yang lama (Risris et al.,2011).
Pengolahan limbah padat pada industri RPA juga terjadi secara alami. Karena
limbah padat yang dihasilkan mengandung berbagai macam mikroorganisme. Sehingga
mikroorganisme dilibatkan dalam berbagai langkah dari proses perombakan secara
anaerob dari substrat kompleks seperti limbah padat pemotongan ayam. Limbah padat dari
proses pemotongan ayam mengandung banyak jumlah kandungan protein dan lemak yang
beragam. Kandungan material organik tersebut akan dirombak oleh bakterial fermentatif
secara anaerobik untuk menghasilkan produk, yaitu berupa makanan hewan.
Karena sebagai sumber yang tinggi akan kandungan protein dan vitamin, limbah
pemotongan ayam dapat diawetkan dengan menggunakan asam format dan digunakan sebagai
makanan hewan , seperti pada negara Finlandia yang digunakan bersama makanan regular
hewan, atau untuk produksi makanan hewan peliharaan. Akan tetapi limbah dalam bentuk
bulu biasanya tak dapat dimanfaatkan secara langsung untuk makanan hewan namun
memerlukan pre treatment terlebih dahuu agar dapat dipakai sebagai makanan hewan dan
mempermudah proses degradari secara natural. Akan tetapi pengggunaan limbah pemotongan
ayam sebagai makanan hewan membutuhkan pengawasan ataupun persyaratan yang sangat
ketat karen sifat dari limbah tersebut yan memang sangat tinggi resikonya (Salminen dan
Rintala, 2001).
Untuk pengolahan limbah padat dari RPA yang berupa bangkai ayam dilakukan
dengan incenerasi/pembakaran. Pertama-tama bangkai ayam di letakkan pada tempat
penampungan sementara, kemudian di bakar dengan mesin insenerator. Selama proses
pembakaran, asap yang ada di dalam dibakar dengan api dan gas elpigi yang dialirkan melalui
selang, dengan tujuan agar asap yang keluar bersih. Incenerasi disini berkaitan dengan
penggunaan teknologi pemanasan destruksi, yang merupakan metode paling efektif untuk
menghacurkan potensial agen penginfeksian. Pada proses insinerasi ini menghasilkan udara
kering yang dapat digunakan sebagai bahan bakar dengan nilai kalori sekitar 13,5 GJ per ton.
Sedangkan untuk material yang memiliki kandungan kelembapan yang tinggi hanya sedikit
atupun tidak memiliki nilai energi. Dalam proses incenerasi ini emisi udara yang dihasilkan
selama proses pembakaran, kondisi proses, dan pembuangan residu padatan ataupun cairan
harus dikontrol secara ketat(Salminen dan Rintala,2001).
Selain itu, dalam reviewnya (Salminen dan Rintala, 2001) juga menjelaskan
pengolahan limbah padat dari industri RPA juga dilakukan dengan cara:
Penguburan dan penimbunan terkontrol
Penimbunan unggas yang mati dikontrol secara ketat untuk menghindari terjadinya
kontaminasi pada air dalam tanah. Penimbunan ini harus dapat mencegah atau mengurangi
sebanyak mungkin hal-hal yang merugikan terhadap lingkungan sekitar, khususnya polusi
pada air di permukaan, air dalam tanah, tanah dan udara.
Komposting
Komposting merupakan salah satu proses perombakan secara aerob. Komposting
sendiri merupakan metode yang umum digunakan dalam treatmen limbah dari pemotongan
unggas, dimana dalam prosesnya meliputi screening, flotasi, pengendapan gemuk/grease,
pupuk, kotoran unggas, dan juga bulu. Komposting mengurangi pathogen dan juga material
yang berasal dari komposting ini dapat dijadikan sebagai pupuk/ penyubur tanah.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Jenis limbah yang dihasilkan oleh industri Rumah Potong Ayam (RPA) terdiri atas
limbah padat dan limbah cair. Limbah padat yang dihasilkan dari RPA berupa ayam
mati dan offal (sisa usus/jeroan), darah, bulu, jeroan (sisa-sisa usus dan potongan
kloaka), tulang dan ayam mati. Sedangkan limbah cair yang dihasilkan dari RPA
berupa daraha yam, proses pencelupan, pencucian ayam dan peralatan produksi.
2. Proses pengolahan limbah cair dari RPA yaitu dilakukan dengan beberapa metode,
diantaranya perombakan limbah cair hasil pemotongan, penggunaan Granular
Activated Carbon-Sequencing Batch Reactor( GAC-SBR), menggunakan membran
filtrasi dan menggunakan bioreaktor. Sedangkan untuk pengolahan limbah padat dari
RPA dilakukan dengan cara dijual terhadap pihak-pihak tertentu untuk dimanfaatkan
kembali, proses perombakan secara anaerob, dan incenerasi/pembakaran.